Upload
operator-warnet-vast-raha
View
1.719
Download
2
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Senyawa nitrogen merupakan senyawa organik yang memiliki peran penting
dalam tubuh makhluk hidup. Kita ambil contoh asam amino, selain berperan dalam
pembangunan sel sel tubuh yang sudah rusak, asam amino juga merupakan salah satu
nutrien yang diperlukan dalam metabolisme. Senyawa nitrogen (asam amino) yang
sudah diproses didalam tubuh, akan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan urea.
Begitulah skema sederhana tentang pentingnya peran senyawa organik di dalam tubuh
kita.
Seyawa nitrogen bisa dijumpai dalam bentuk protein (asam amino) dan
senyawa non protein nitrogen. Yang masing-masingnya memiliki komponen ekstraktif
yang berbeda. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya.
Ikan dan shellfish adalah makhluk hidup yang memiliki nilai gizi protein yang
tinggi, dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa ikan mengandung senyawa nitrogen
yang banyak. Disamping itu ikan dan shellfish yang memiliki kandungan air yang cukup
tinggi sehingga serat-serat dagingnya tidak terlalu padat.
Lumrahnya, semakin banyaknya kandungan protein dan air didalam tubuh akan
menyebabkan cepatnya proses pembusukan beberapa saat setelah mati. Hal ini
disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dari senyawa nitrogen dan
adanya distribusi komponen nitrogen tersebut.
Dan pada makalah ini, penulis bermaksud membahas beberapa hal tentang
senyawa nitrogen tersebut.
1.2.Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Biokimia Hasil Perikanan. Dan adapun mengenai manfaatnya adalah agar
mahasiswa mengerti dan memahami materi tentang karakteristik ekstraktif komponen
non protein nitrogen ikan dan shell fish.
2
II. ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. Karkteristik Komponen Ekstraktif Non Protein Nitrogen Pada Ikan dan Shellfish
Komponen eksraktif pada ikan dan shellfish menurut Konusu dan Yamaguchi
(1982) dan dibagi menjadi 2 yaitu : senyawa nitrogen, asam amino bebas, dan senyawa
non nitrogen,asam amino bebas, asam amino bebas, peptida dengan berat molekul
rendah, nukleotida, basa organik, dan senyawa nitrogen, asam organik, gula, dan
kontituen anorganik. Pada beberapa kasus anorganik komponen tidak termasuk
komponen ekstraktif nitrogen tetapi termasuk ekstraktif nonnitrogen.
Pada tubuh makhluk hidup, senyawa nitrogen dapat dijumpai dalam bentuk
protein dan juga non protein. Senyawa nonprotein nitrogen dalam tubuh makhluk hidup
dapat dijumpai berupa urea, amonia, asam urat, urea, dan kreatinin (Burhanuddin,
2012).
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komponen Non Protein Nitrogen
Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin, komposisi, penanganan telur, keberadaan parasit,
racun, kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan mutu intrinsik. Sifat-sifat biokimia daging ikan, seperti
rendahnya kadar kolagen, relatif tingginya kadar lemak tak jenuh serta komposisi
nitrogen terurai yang mempengaruhi otolisis, perkembangbiakan mikroba yang sangat
cepat, dan pembusukan. Ikan berlemak seperti sarden dan haring membusuk lebih cepat
dibandingkan ikan yang tidak berlemak. Ikan-ikan kecil yang diberi pakan terlalu banyak
sebelum penangkapan dapat mengalami pelunakan jaringan daging dan dapat menjadi
mudah rusak setelah ikan mati akibat otolisis. Ikan-ikan berukuran lebih besar memiliki
daya jual dan nilai yang lebih tinggi karena memiliki lebih banyak bagian yang dapat
dimakan dan tahan lebih lama.
Faktor-faktor ekstrinsik yang mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain,
lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali
panjang (longline)), atau perangkap, dan lain sebagainya. Penanganan ikan di atas kapal,
3
kondisi kebersihan kapal penangkap ikan, pemrosesan, dan kondisi penyimpanan.
Pengembangan produk perikanan bermutu tinggi dimulai dengan pertimbangan kondisi
hewan tersebut di dalam air, dampak stres lingkungan, kekurangan nutrisi, atau
perubahan-perubahan iklim pada mutu intrinsik dan pengaruh metode penangkapan
dalam keadaan yang alamiah.
Suhu dapat mempunyai dua pengaruh yang saling berlawanan terhadap aktivitas
enzim dan juga sebaliknya mendenaturasi protein enzim. Denaturasi protein enzim
dapat menyebabkan hilangnya aktivitas katalik dalam enzim. Hamper semua enzim
mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-400 C dan mulai terjadi denaturasi pada
suhu 50C. Sedangkan pada suhu antara 5-650C merupakan suhu kritis bagi enzim
(Suwetja, 2011).
Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “Kemunduran Mutu Ikan
Nila Merah (Oreochromis Sp.) Selama Penyimpanan pada Suhu Ruang” menyatakan
bahwa Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase,
kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP
dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim
fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan.
Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi
dengan asam glutamat.
Menurut Rizal (2011), setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim
endogenous yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP),
adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino atau
HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U). Degradasi
ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
Menurut Suwetja (2011), ATP setelah ikan tersebut mati yaitu sampai tingkat IMP
berlangsung dalam reaksi yang cepat, sedangkan penguraian IMP menjadi inosin dan
inosin menjadi hipoksantin kecepatan reaksinya berbeda menurut jenis ikan.
Berdasarkan kecepatan reaksinya tersebut, telah dibedakan ikan ke dalam tiga tipe,
yaitu:
4
1. Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat
inosin.
2. Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat
hipoksantin.
3. Golongan ikan antara tipe 1 dan tipe 2.
Tipe ini diberi istilah lain oleh peneliti jepang, Uchiyama pada tahun 1978. Ia
mengatakan bahwa jenis ikan pembentuk inosin, jenis ikan pembentuk hipoksantin. Jenis
ikan pembentuk inosin artinya penguraian ATP pada ikan tersebut hampir seluruhnya
terhenti pada tingkat inosin dalam jangka waktu yang relatif lama. Jenis ikan pembentuk
hipoksantin artinya penguraian ATP pada jenis ikan ini hampir seleruhnya berlangsung
sampai pada tingkat hipoksantin. Sedangkan jenis-jenis ikan pembentuk inosin dan
hipoksantin adalah jenis ikan di mana penguraian ATPnya sebagian terhenti pada inosin
dan sebagian lagi reaksinya berjalan terus sampai ke tingkat hipoksantin. Selanjutnya
mengatakan bahwa jenis ikan yang termasuk tipe pembentuk inosin, antara lain tuna,
cakalang, marlin, kembung, selar, ekor kuning, dan lain-lain. Kemudian jenis ikan yang
termasuk pembentuk hipoksantin antara lain salmon, halibut, buntek, dan lain-lain.
Menurut Suptijah et al (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Hambat
Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada
Penyimpanan Suhu Ruang” menyatakan bahwa, Pengujian organoleptik merupakan
metode pengujian yang menggunakan panca indera sebagai alat utama untuk menilai
mutu produk. Pengujian ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian
awal dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan pada
produk. Penilaian secara organoleptik terhadap fillet ikan patin ini meliputi parameter
penampakan daging, tekstur, bau dan lendir di permukaan kulit fillet.
Pada ikan yang telah mati terdapat lima fase perubahan biokimiawi dalam
tubuhnya yaitu fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor, autolisis dan kerusakan. Dua fase
pertama dipengaruhi lamanya dan suhu penanganan ikan, sementara tiga fase terakhir
dipengaruhi terutama aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan.
Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan
perubahan permanen menuju perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan. Kualitas
ikan merupakan konsep kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor bagi
5
konsumen misalnya keamanan, kualitas gizi, ketersediaan, kenyamanan dan keutuhan
serta kesegaran. Teknik penanganan, pengolahan dan penyimpanan, termasuk waktu
dan suhu dapat mempengaruhi kesegaran dan kualitas produk. Selain itu, musim, kondisi
dan metode penangkapan juga mempengaruhi kualitas secara keseluruhan. Ini
merupakan karakteristik unik ikan sebagai komoditi yang sangat mudah rusak. Kesegaran
dan kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan yang
berbeda yang mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan
perubahan post mortem pada ikan. Secara umum metode untuk menilai pembusukan
ikan diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: metode sensori dan metode
instrumentasi (mikrobiologi, biokimia dan fisik). Namun pada praktiknya metode
pengujian kesegaran dibagi menjadi metode sensori, metode kimiawi dan metode
mikrobiologi. Kesegaran menjadi parameter kualitas yang paling sering ditemukan di
pasaran. Kesegaran ikan ini dapat dinilai dengan berbagai metode tetapi umumnya
berbiaya mahal, memakan waktu dan tidak mudah digunakan.
Temuan banyak peneliti mengungkapkan bahwa ada hubungan luar biasa antara
pH dan kesegaran ikan. Ini menunjukkan bahwa karakteristik fisik ini dapat digunakan
sebagai alat yang cocok untuk analisis dan evaluasi kesegaran ikan daripada metode
evaluasi sensori dengan ketidakpastian pengukurannya.
Keadaan segar dapat digambarkan dengan berbagai sifat melalui berbagai
indikator. Dengan demikian kesegaran dan kualitas produk akhir, tergantung pada
faktor-faktor biologis dan pengolahan yang berbeda mempengaruhi berbagai tingkatan
fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan perubahan post mortem pada ikan. Pembusukan
Ikan dan Indikatornya Komposisi biokimia makanan (faktor intrinsik) dan hubungannya
dengan faktor ekstrinsik selama penyimpanan, memberikan sumbangsih yang signifikan
terhadap kesegaran dan sebagian kualitas karena kedua faktor tersebut menentukan
dan meningkatkan pertumbuhan awal mikroba. Berkaitan dengan ikan, karakteristik
yang melekat pada keberadaan komponen nitrogen non-protein, seperti trimetilamina-
oksida (TMAO), kreatin, metionin, asam amino bebas, cystine, histamin, carnosine, basa
nitrogen yang mudah menguap seperti urea terutama dalam tulang rawan ikan
mendukung pertumbuhan mikroba dan menghasilkan metabolit yang bertanggung
jawab untuk pembusukan ikan selama penyimpanan. Pembusukan ikan merupakan
6
fenomena berurutan yang dimulai segera setelah ikan ditangkap dandimatikan.
Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan
perubahan permanen, perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan.
Bremner (2002) mendefinisikan pembusukan ikan sebagai perubahan yang
memburuk dalam karakteristik sensor produk seperti penampilan, bau, aroma dan
tekstur, yang juga dapat digunakan untuk menunjukkan nilai gizi dan keamanan. Ketika
ikan dimatikan terhenti sirkulasi darah dan akibatnya pasokan oksigen untuk
memfasilitasi energi molekul ATP diperlukan untuk mengaktifkan kontraksi otot dan
relaksasi dihambat. Dengan cara ini glikogen dipecah untuk memungkinkan produksi
energi dalam otot ikan dan sebagaimana tingkat glikogen menurun jumlah ATP yang
dihasilkan juga menurun. Karena interaksi antara aktin dan myosin dipicu oleh myosin
ATPase dan ion kalsium selama kontraksi otot membutuhkan ATP untuk bahan bakar
reaksi yang jumlahnya sudah terhambat setelah pemotongan ikan, ion kalsium bocor ke
otot-otot yang mengakibatkan kontraksi (kaku), sebuah proses yang disebut sebagai
rigor mortis. Kaku terus selama beberapa jam sebelum lemas karena tidak ada ATP yang
memungkinkan otot-otot untuk rileks lagi dan beroperasi sebagai diperlukan.
Permulaan dan akhir rigor mortis ditentukan oleh suhu selama penanganan
(mechanical stress), ukuran dan spesies ikan. Jenis ikan berukuran kecil, misalnya sarden
dan mackerel mengalami rigor mortis lebih awal dan lebih cepat daripada jenis ikan
besar (Huss 1995). Proses rigor mortis dapat mengakibatkan cacat mutu dalam daging
ikan seperti kerusakan otot/ menganga, noda darah, kehilangan kandungan air dan
pelunakan daging ikan (Bremner 2002). Pencapaian akhir dari rigor mortis bertepatan
dengan autolisis dan perubahan pembusukan berikutnya yang termasuk perubahan
pembusukan bakteri dan kimia yang akhirnya merontokkan mutu ikan, memberikan rasa
tidak enak atau tidak aman untuk dikonsumsi. Pembusukan autolisis Pada saat ikan
dipotong, enzim di usus dan daging, sebelumnya terlibat dalam metabolisme menjadi
katalisator autolisis (self digestion). Perubahan autolisis menyebabkan dekomposisi
protein dan senyawa penting lainnya yang pada akhirnya mengakibatkan pelunakan
daging ikan dan melumerkan substansi dalam rongga usus. Bakteri pembusuk ikan
Aktivitas bakteri merupakan penyebab utama kerusakan ikan terutama bakteri
pembusuk spesifik specific spoilage bacteria (SSB). Dalam ikan yang masih hidup dan
7
sehat, bakteri terdapat pada insang dan usus tetapi tidak dapat menyebabkan
pembusukan karena adanya mekanisme pertahanan alami pada ikan. Pada perubahan
autolisis bakteri mudah masuk ke daging dimana nutrisi didapatkan untuk pertumbuhan
dengan menguraikan berbagai komponen ikan seperti trimetilamina oksida (TMAO) dan
molekul protein non-nitrogen lainnya,lipid, asam amino dan sebagainya menghasilkan
bau yang tidak diinginkan.
Pembusukan kimiawi Hidrolisis dan oksidasi lipid merupakan faktor utama
penurunan mutu tergantung pada komposisi kimiawi ikan. Menurut Huss et al. (1992),
tahap utama dari oksidasi lipid menyebabkan produksi hydro peroksida dihubungkan
dengan rasa hambar dan kecoklatan, perubahan warna kekuningan pada jaringan ikan;
degradasi lebih lanjut hasil hydro peroksida menghasilkan senyawa volatil; aldehid,
keton dan alkohol menghasilkan aroma tengik yang kuat. Aroma tengik berhubungan
dengan penyimpanan ikan dalam keadaan beku atau kering yang biasanya agak lambat
dalam proses pembusukan. Bagaimanapun, perubahan post mortem pada ikan adalah
permanen. Ringkasan perubahan ini ditunjukkan pada Tabel 1. Daya simpan ikan segar
pasca panen tergantung pada pertumbuhan bakteri, suhu penyimpanan, penanganan
dan kondisi fisiologis ikan. Kualitas ikan dapat diperkirakan dengan tes sensorik, metode
mikrobiologi, pengukuran senyawa volatil dan oksidasi lipid, perubahan otot,
pemecahanATP dan perubahan fisik (termasuk sifat-sifat listrik dari kulit) pada ikan.
Parameter kualitas fisik seperti konsistensi, kadar air atau warna, atau perubahan
biokimia seperti perubahan lipid, protein atau enzim. Kesegaran membuat kontribusi
besar terhadap kualitas produk ikan dan perikanan. Untuk semua jenis produk,
kesegaran sangat penting untuk kualitas produk akhir. Gambar 1 menggambarkan
hubungan antara kualitas dan kesegaran, dengan fokus pada berbagai
karakteristikkesegaran. Kesegaran dapat dijelaskan sampai batas tertentu oleh beberapa
parameter sensori, kimia, biokimia, mikrobiologi dan parameter fisik dan karena itu
dapat didefinisikan sebagai atribut objektif yang harus menunjukkan bau normal, rasa,
penampilan dan karakteristik tekstur dari spesies yang akan digunakanuntuk sampel.
Indra manusia memainkan peranan penting dalam penilaian ini yang disebut evaluasi
sensori (M. Al Alawi Panggabean, 2012).
8
2.3. Distribusi Komponen Non Protein Nitrogen Dalam Tubuh Ikan
Hayashi et al dalam Mirna Ilza (1979, 2012), sudah melakukan studi kepiting,
mendapatkan sedikit komponen nonnitrogen yaitu mineral, gul dan asam organik.
Berdasarkan berat kering didapatkan 70% komponen nitrogen, 20% materi anirganik,
sedikit gula dan asam organik.
Selanjutnya Hayashi et al (1978,1981) menyatakan bahwa flavor secara simultan
menentukan rasa. Tes rasa gliserin, asam glutamat, arginin, AMP, GMP, Na+, Cl-,
memberikan karakteristik flavor kepiting rebus dan essen dari flavor bekerjasama
dengan alanin, betain glisin, K+, dan PO43-, dan kemungkinan CMP. Ditekankan bahwa Na+
dan Cl- sangat penting memberikan konstribusi flavor. Berdasarkan hal tersebut
diketahui bahwa tes rasa organoleptik berkorelasi sexara linear dengan flavor.
Urea terdapat pada teleostei dengan kandungan di bawah 50mg. Pada
elasmobranchi terkandung komponen nitrogen sekitar 1400-2000 mg yang mengatur
detoksifikasi ammonia.
9
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Komponen ekstraktif Non Protein Nitrogen pada tubuh ikan dan shellfish sangat
berpengaruh pada mutu dari ikan dan shellfish tersebut. Banyaknya kandungan
nonprotein nitrogen pada ikan akan mengakibatkan cepatnya penurunan mutu ikan
setelah mati.
Adapun faktor yang mempengaruhi komponen ekstraktif nitrogen alami adalah
pertumbuhan, variasi musim, pengaruh salinitas, perbedaan ikan kultur dan liar,
perbedaan oleh bagian dan jaringan, dan kesegaran.
Distribusi komponen nitrogen dalam tubuh ikan dan shellfish bervariasi pada
masing-masing spesiesnya. Pada spesies kepiting komponen nitrogennya lebih tinggi
daripada ikan. Dibandingkan spesies ikan yang terdapat di air tawar, ikan air laut lebih
banyak mengandung komponen nonprotein nitrogen sebab keadaan lingkungannya yang
hipertonis terhadap cairan tubhnya, mengakibatkan ikan air laut banyak mengeksikan
urea untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh dan kan kandungan garan dalam
tubuhnya.
3.2. Saran
Besarnya peranan komponen ektraktif nitrogen pada ikan dan shellfish dalam
mutu , sebaiknya dapat menjadi perhatian dalam upaya mempertahankan mutu ikan
sesudah mati. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi
komponen nitrogen tersebut, penanganan hasil perikanan akan dapat dilaksanakan
dengan baik sehingga mutu yang terdapat ikan akan dapat dipertahankan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin. 2012. Jurnal Metabolisme Protein dan NPN. www.google.com
Bremner dalam P, M, Alawi. 2012. Jurnal NPN dan degradasi Protein. www.google.com
Hayashi et al. 1979. Dalam Ilza Mirna.2012. Biokimper Hasil Perikanan. Universitas Riau.
Pekanbaru
Huss. 1995. Dalam P, M, Alawi. 2012. Jurnal NPN dan Degradasi Protein.
www.google.com
Huss et al dalam P, M, Alawi. 2012. Jurnal NPN dan degradasi Protein. www.google.com
Konusu, S., and K. Yamaguchi, 1982. The flavour Component In Fish and Shelfish and
Shellfish. In Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Ed.
Martin R.E.,G.j.Flick, C.E.Hebard, and D. R Ward. The Avi Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut. Dalam Mirna Ilza. 2012. Biokimia
Hasil Perikanan. Univeritas Riau. Pekanbaru.
Nurjanah et al. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp.) Selama
Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan
Suptijah et al. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu
Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang.
Bogor : Institut Pertanian Bogor
Suwetja. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta : Media Prima Aksara hal
Rizal, Ahmad. 2011. Analisis dan Desain Sistem Informasi Untuk Penerapan Dokumentasi
Program Treaceability Pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku.
Bogor.Institut Pertanian Bogor
11
Tugas Kelompok Biokimia Hasil Perikanan
KARAKTERISTIK EKSTRAKTIF KOMPONEN NITROGEN IKAN DAN
SHELLFISH NON PROTEIN NITROGEN
OLEH KELOMPOK 9
M.ZAID ABRAR (1004114305) VIKI BUANA SATRIA (1004114342) MAYA ERVIN PUTRI (1004114371) RAFIKA APRIANY (1004114390) SEPTIA MURNI (1004114477) TONGAM S. (1004114431) ALFIAN ARBY (1004114497)
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU 2012
12
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis senantiasa ucapkan kehadirat Allah SWT, karena
dengan berkat rahmat dan hidayah yang berikan-Nya penulis dapat menyelesaikan
artikel artikel ini dengan baik dan tepat waktunya. Adapun judul dari artikel ini
“Karakteristik Ekstraktif Komponen Nitrogen Ikan dan Shellfish Non Protein Nitrogen”
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam mengoreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan artikel ini. Untuk
kesalahan dan kekurangan pada laporan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pengoreksi demi kesempurnaan dalam penulisan untuk masa akan
datang. Semoga laporan ini bermanfaat dan berguna.
Pekanbaru, Juni 2012
Penulis
13
DAFTAR ISI
Isi Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... .. iii
I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................... ......... .. 1 1.2. Tujuan dan Manfaat ............................................................................ .. 1
II. ISI DAN PEMBAHASAN........................................................................ . .. 2
2.1. Karakteristik ekstraktif komponen non protein nitrogen...................... 2 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi komponen nonprotein notrogen... 2 2.3. Distribusi komponen non protein nitrogen dalam tubuh ikan ........... ... 8
III. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... .. 9 3.1. Kesimpulan..................................................................................... .... .. 9
3.1 Saran.......................................................... .......................................... .. 9
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN