32
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Riwayat Kasus Pemeriksaan ayam buras dengan nomor protokol 146/N/08 diambil dari peternak ayam buras di daerah Ketewel, kabupaten Gianyar. Ayam buras tersebut telah berumur 3 bulan dengan berat badan satu kilogram. Sebelum dilakukan nekropsi, telah diamati gejala umum dan gejala klinis pada ayam tersebut. Gejala umumnya adalah anoreksia, bulu kusam, dan kekurusan., diare putih hijau, dipsnoe,terdapat leleran hidung. Ayam buras yang telah dinekropsi tersebut berasal dari peternakan tradisional dimana ayam dilepas di pekarangan rumah. Jenis pakan yang diberikan berupa dedak. Untuk air minum disediakan air yang berasal dari air PAM, tetapi karena ayam-ayam tersebut dilepas, maka kemungkinan besar ayam juga minum dari selokan. Menurut pemilik, belum pernah dilakukan vaksinasi terhadap ayam- ayam di peternakan tersebut. Populasi ternak ayam buras yang ada sekitar 50 ekor ayam muda. Dari jumlah tersebut, dalam kurun waktu 4 hari telah ditemukan ayam sakit 10 ekor dan telah mati 5 ekor. Setelah dinekropsi dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, sampel yang berupa darah, feses, parasit, dan organ-organ yang mengalami perubahan dikirim ke beberapa laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.

109671449-Laporan-PPDH

  • Upload
    franky

  • View
    38

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 109671449-Laporan-PPDH

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Riwayat Kasus

Pemeriksaan ayam buras dengan nomor protokol 146/N/08 diambil dari

peternak ayam buras di daerah Ketewel, kabupaten Gianyar. Ayam buras tersebut

telah berumur 3 bulan dengan berat badan satu kilogram. Sebelum dilakukan

nekropsi, telah diamati gejala umum dan gejala klinis pada ayam tersebut. Gejala

umumnya adalah anoreksia, bulu kusam, dan kekurusan., diare putih hijau,

dipsnoe,terdapat leleran hidung.

Ayam buras yang telah dinekropsi tersebut berasal dari peternakan tradisional

dimana ayam dilepas di pekarangan rumah. Jenis pakan yang diberikan berupa

dedak. Untuk air minum disediakan air yang berasal dari air PAM, tetapi karena

ayam-ayam tersebut dilepas, maka kemungkinan besar ayam juga minum dari

selokan. Menurut pemilik, belum pernah dilakukan vaksinasi terhadap ayam-ayam di

peternakan tersebut. Populasi ternak ayam buras yang ada sekitar 50 ekor ayam

muda. Dari jumlah tersebut, dalam kurun waktu 4 hari telah ditemukan ayam sakit 10

ekor dan telah mati 5 ekor.

Setelah dinekropsi dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, sampel yang

berupa darah, feses, parasit, dan organ-organ yang mengalami perubahan dikirim ke

beberapa laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.

1.2 Identifikasi Masalah

Permasalahan yang akan dijawab dalam studi kasus ini adalah :

1. Apa diagnosa penyakit pada ayam buras berdasarkan gejala klinis, patologi

anatomi, histopatologi, dan pemeriksaan laboratorium pendukung?

2. Bagaimanakah gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan

laboratorium pendukung?

3. Apakah ditemukan agen infeksius lainnya?

Page 2: 109671449-Laporan-PPDH

1.3 Tujuan Laporan

Laporan ini ditulis dengan tujuan untuk :

1. Mendiagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dari kasus dengan nomor

protokol 146/N/08.

2. Mengetahui gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan

laboratorium pendukung dari ayam kasus.

3. Mengetahui apakah ada agen infeksius lainnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penulisan studi kasus ini adalah untuk :

1. Memberikan gambaran secara rinci terhadap suatu kasus dari gejala klinis

sampai perubahan pada organ dan didukung dengan pemeriksaan

laboratorium.

2. Memberikan gambaran pada calon Dokter Hewan untuk mendiagnosa suatu

penyakit berdasarkan gejala klinis dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan

laboratorium.

1

Page 3: 109671449-Laporan-PPDH

BAB 11

MATERI DAN METODE

2.1 Laboratorium Patologi

Materi : organ yang mengalami perubahan secara makroskopis.

Metode : pembuatan dan pemeriksaan preparat histopatologi.

Cara kerja :

1. Sampel organ yang akan diperiksa dipotong dengan ukuran 1x1x1 cm, kemudian

direndam dalam larutan neutral buffer formalin (NBF).

2. Sampel organ selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis untuk disimpan

dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF.

3. Setelah fiksasi, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan satu sesi larutan

yang terdiri dari: alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol 96 %,

alkohol absolut, toluene, dan parafin, secara bertahap dalam waktu satu hari.

4. Sampel organ diblocking dengan embedding set yang dituangi parafin cair

kemudian didinginkan.

5. Blok yang sudah dingin disectioning menggunakan microtome dengan ketebalan

± 4 – 5 mikron.

6. Proses yang terakhir adalah pewarnaan dengan metode Harris Hematoxylin –

Eosin dan mounting media.

7. Preparat histopatologi diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan

mikroskopik yang ditemukan.

2.2 Laboratorium Patologi Klinik

Materi : darah dengan antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Acetic (EDTA).

Metode : penentuan kadar hemoglobin dengan hemoglobinometer, penentuan

packed cell volume (PCV) dengan mikrohematokrit, penentuan jumlah

total eritrosit dan leukosit dengan kamar hitung, dan pemeriksaan

differensial leukosit dengan ulas darah.

Cara kerja :

1. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan cara: tabung hemometer diisi

dengan larutan HCl 0,1 N, kemudian ditetesi darah yang mengandung

2

Page 4: 109671449-Laporan-PPDH

antikoagulan. Setelah 10 menit, campuran tersebut diencerkan dengan aquades

sambil diaduk sampai terbentuk warna coklat yang sama dengan warna gelas

standar. Kadar hemoglobin dapat diketahui dengan membaca miniskus dari

larutan.

2. Penentuan PCV dilakukan dengan cara: pipet mikrohematokrit diisi dengan

darah yang mengandung antikoagulan sebanyak 6/7 bagian, kemudian

dicentrifuge dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk

lapisan eritrosit, buffy coat, dan plasma, nilai hematokrit dibaca pada alat

microhematocrit reader.

3. Penentuan jumlah total eritrosit dan leukosit dilakukan dengan cara: darah

yang mengandung antikoagulan diisap dengan pipet, kemudian dicampur dengan

larutan Hayem untuk eritrosit dan larutan Turk untuk leukosit. Penghitungan

dilakukan pada kamar hitung dengan patokan 5 bidang yang di tengah untuk

eritrosit dan 4 bidang di tepi yang disebut kotak W untuk leukosit. Kalkulasi

diperoleh dari perhitungan 10.000 N untuk eritrosit dan 50 N untuk leukosit.

4. Pemeriksaan differensial leukosit dilakukan dengan cara: ulas darah tipis pada

kaca obyek diwarnai dengan Giemza. Kemudian dengan mikroskop cahaya

dihitung jumlah sel leukosit monosit, limfosit, basofil, eosinofil, heterofil, dan

trombosit yang ditemukan.

2.3 Laboratorium Mikrobiologi Veteriner

Materi : organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa trakea.

Metode : isolasi bakteri pada media umum Sheep Blood Agar (SBA) dan

media selektif Mac Conkey Agar (MCA), serta identifikasi bakteri

dengan pengamatan pertumbuhan koloni pada media, pewarnaan

Gram, uji katalase, uji oksidase, uji biokimia dengan penanaman pada

media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfite Indol Motility (SIM),

Simmon Citrate Agar, Methyl Red Voges Proskauer (MRVP) Medium,

dan uji gula-gula dengan penanaman pada media yang mengandung

manitol, maltosa, dan glukosa.

Cara kerja :

3

Page 5: 109671449-Laporan-PPDH

1. Isolasi bakteri dilakukan dengan cara: spesimen organ dilukai atau dikoyak

dengan ose steril, kemudian cairannya diambil dan diusapkan pada media biakan

secara multiple line. Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan dalam suhu

37o C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media secara

makroskopis untuk melihat bentuk, warna, elevasi, tepian dan diameter koloni.

2. Pengecatan Gram dilakukan dengan cara: koloni pada media biakan diambil

dengan ose steril dan dioleskan pada kaca obyek yang telah ditetesi aquades.

Setelah difiksasi, olesan tadi ditetesi dengan larutan crystal violet, lugol, alkohol,

dan safranin sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Diamati warna dan

bentuk bakteri di bawah mikroskop dengan pembesaran kuat.

3. Uji katalase dilakukan dengan cara: koloni pada media diambil dengan ose

steril dan dioleskan pada kaca obyek, kemudian ditetesi dengan larutan H2O2.

Diamati terbentuknya kabut pada kaca obyek tersebut.

4. Uji oksidase dilakukan dengan cara: stick penguji dicelupkan pada aquades,

kemudian dioleskan pada koloni pada media biakan. Diamati perubahan warna

yang terjadi.

5. Uji biokimia pada media TSIA, SIM, Simmon Citrate, dan MRVP dilakukan

dengan cara: koloni pada media biakan diambil dengan ose jarum yang steril.

Kemudian dipupuk pada media dengan menusukkan ujung ose pada bagian tegak

untuk media TSIA dan SIM, atau mengoleskan pada bagian miring untuk media

TSIA dan Simmon Citrate. Sedangkan untuk media MRVP yang berbentuk cair,

ose digoyangkan dalam media tersebut. Media diinkubasikan dengan suhu 37 o C

selama 24 jam. Diamati perubahan warna media dan bentuk pertumbuhan bakteri.

6. Uji gula-gula dengan penanaman pada media yang mengandung manitol,

maltosa, dan glukosa dilakukan dengan cara: koloni pada media biakan diambil

dengan ose steril. Kemudian dipupuk pada media tersebut yang berbentuk cair

dan di dasar tabung terdapat durham cup. Media diinkubasikan dengan suhu 37 o

C selama 24 jam. Diamati perubahan warna media dan perubahan posisi durham

cup.

2.4 Laboratorium Virologi Veteriner

4

Page 6: 109671449-Laporan-PPDH

Materi : organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa trachea,

paru-paru, proventrikulus dan usus halus.

Metode : pembuatan inokulum dari spesimen organ, isolasi virus pada telur

ayam bertunas (TAB) umur 9 hari, pemanenan cairan alantois, uji

Hemaglutinasi/Hambatan Hemaglutinasi (HA/HI), dan uji Reverse

Transkriptase – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Cara kerja :

1. Pembuatan inokulum dilakukan dengan cara: spesimen organ diambil sedikit

dimasukan ke dalam eppendorf dan digerus dengan meggunakan pipe pastel

sambil ditambahkan larutan phosphate buffered saline (PBS) sedikit demi sedikit

hingga diperoleh konsentrasi suspensi 10 %. Kemudian suspensi dicentrifuge

dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari

endapannya, lalu diberi antibiotik penisilin dan streptomisin dengan dosis

masing-masing 1000-5000 mg/ml. campuran supernatan dan antibiotik

dieramkan pada suhu 37 o C selama 30 menit.

2. Isolasi virus pada TAB dilakukan dengan cara: TAB umur 9 hari diamati

dengan teropong untuk mengetahui keadaan embrionya dan menandai kantong

udaranya. Cangkang telur dilubangi, kemudian inokulum disuntikkan ke dalam

ruang alantois dari TAB tersebut. Lubang ditutup dengan kuteks, lalu telur

dieramkan pada suhu 37 o C. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap

pergerakan embrio.

3. Setelah embrio mati, dilakukan pemanenan cairan alantois dengan cara:

cangkang dipotong dengan gunting pada daerah kantong udara. Cairan diisap

dengan pipet dan ditampung pada tabung steril.

4. Uji Hemaglutinasi dilakukan dengan cara: setiap lubang plat mikro diisi

dengan larutan PBS. Kemudian ditambahkan antigen pada lubang 1 dan

diencerkan secara berseri hingga lubang 11, dan diaduk dengan pengocok mikro.

Selanjutnya ditambahkan suspensi sel darah merah pada semua lubang dan

diaduk kembali. Setelah didiamkan selama 30 menit, diamati ada tidaknya

endapan sel darah merah.

5. Uji Hambatan Hemaglutinasi dilakukan dengan cara: setiap lubang plat mikro

diisi dengan larutan PBS. Kemudian ditambahkan serum yang mengandung virus

5

Page 7: 109671449-Laporan-PPDH

Avian Influenza (AI) atau virus New Castle Disease (ND) pada lubang 1 dan

diencerkan secara berseri hingga lubang 11, dilanjutkan dengan penambahan

antigen 4 unit HA pada lubang 1 – 11. Setelah itu, diaduk dengan pengocok

mikro. Selanjutnya ditambahkan suspensi sel darah merah pada semua lubang

dan diaduk kembali. Setelah didiamkan selama 30 menit, diamati ada tidaknya

endapan sel darah merah.

6. Uji RT-PCR dimulai dengan isolasi RNA-Trizol dari cairan spesimen organ.

Setelah RNA hasil isolasi diperoleh, langkah selanjutnya adalah pencampuran

RNA, primer matriks, SS, H1F, dan aquades. Campuran tersebut diproses dalam

mesin thermocycle. Hasilnya kemudian ditambahkan blue juice dan dimasukkan

ke polyacrilamide gel dalam mesin electrophoresis. Setelah semua proses selesai,

hasil dapat dibaca dan dilakukan pemotretan untuk dokumentasi.

2.5 Laboratorium Parasitologi Veteriner

Materi : feses, parasit cacing, dan ulas darah tipis.

Metode :Pemeriksaan feses dengan metode natif dan pengapungan,

sedimentasi dan pemeriksaan parasit cacing dengan metode permanen,

dan pemeriksaan ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemza.

Cara kerja :

1. Pemeriksaan feses dengan metode natif dilakukan dengan cara: feses sebesar

pentolan korek api diambil dan diletakkan di atas kaca obyek. Ditambahkan air

dan diaduk sampai homogen. Serat kasar dibuang, kemudian kaca obyek ditutup

dengan cover dan diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan telur cacing

dan melakukan identifikasi.

2. Pemeriksaan feses dengan metode pengapungan dilakukan dengan cara: feses ±

sebesar biji kemiri dicampur dengan air sampai konsentrasi 10 %, dan diaduk

hingga homogen. Campuran disaring dan cairannya ditampung dengan tabung

centrifuge sampai skala 10. Selanjutnya cairan tersebut dicentrifuge dengan

kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah

larutan garam jenuh (NaCl jenuh) sampai skala 10. Kemudian campuran diaduk

hingga homogen dan dicentrifuge kembali dengan kecepatan 1500 rpm selama 3

menit. Kemudian ditambahkan lagi larutan NaCl jenuh setetes demi setetes

6

Page 8: 109671449-Laporan-PPDH

hingga permukaan cairan cembung. Setelah didiamkan selama 2 menit, cover

disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan langsung ditempelkan pada

kaca obyek. Diamati di bawah mikroskop untuk menemukan telur cacing dan

melakukan identifikasi.

3. Pemeriksaan telur cacing dengan metode sedimentasi ; feses sebesar biji kemiri

dimasukan kedalam gelas beker dan tambahkan aquades agar konsentrasinya

kira-kira 10% kemudian aduk sampai homogen. Saring dengan menggunakna

saringan teh untuk menyingkirkan bagian yang besar, masukan kedalam tabung

sentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selam 2-3 menit .Tabung centrifuge

dikeluakan dari centrifugator, supernatannya di buang sedangkan sedimen yang

tertinggal didasar tabung diaduk kemudian buat preparat seperti pada

pemeriksaan langsung dan lakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan

pembesaran objektif 10 X. Adapun prinsip dari metode ini adalah dengan

menggunakan cairan dengan berat jenis (BJ) yang lebih rendah dari berat jenis

telur cacing akan mengendap. Metode ini biasa digunakan untuk cacing kelas

trematoda.

4. Pemeriksaan parasit cacing dengan metoda permanen dilakukan dengan cara:

cacing diletakkan pada kaca obyek dan diamati di bawah mikroskop stereo untuk

memperbaiki posisinya agar bagian yang menjadi cirri khas dapat terlihat. Setelah

diperoleh posisi yang baik, cacing dijepit dengan kaca obyek yang lain lalu diikat

dengan karet gelang. Proses berikutnya adalah perendaman dalam alkohol 70 %

selama 24 jam. Untuk cacing nematoda dan trematoda dilakukan pewarnaan

dengan ditetesi zat warna Eosin. Perendaman dilanjutkan dengan alkohol 70 %,

80 %, 90 %, dan 95 % masing-masing selama 30 menit. Setelah dikeringkan,

preparat ditetesi minyak kayu putih dan dibiarkan selama 30 menit. Langkah

terakhir adalah merekatkan cacing pada kaca obyek menggunakan Canada

balsam. Preparat dapat diamati di bawah mikroskop untuk identifikasi cacing.

5. Pemeriksaan ulas darah tipis dilakukan dengan cara: ulas darah yang telah

diwarnai dengan Giemza diamati di bawah mikroskop untuk identifikasi adanya

protozoa darah.

7

Page 9: 109671449-Laporan-PPDH

BAB 111

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Sampel dari hewan yang telah dinekropsi dengan nomor protokol 146/N/08

dikirim ke beberapa laboratorium untuk mengetahui agen penyebab penyakit guna

meneguhkan diagnosa penyakit yang menyebabkan kematian pada hewan. Untuk

laboratorium patologi sampel berupa irisan organ jantung, paru-paru,

proventrikulus, , usus, hati, otak dan trakea. Sampel darah dengan antikoagulan

dikirimkan ke laboratorium patologi klinik. Irisan organ trakea yang mengalami

perubahan dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi. Sedangkan untuk laboratorium

virologi, sampel berupa irisan organ trakhea, paru-paru, proventrikulus, dan usus.

Cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan dikirimkan ke laboratorium

parasitologi disertai dengan pengiriman sampel lainnya yang berupa feses dan ulas

darah tipis.

Hasil dari pemeriksaan di beberapa laboratorium yang telah dilakukan,

disajikan dalam tabel-tabel berikut.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Patologi AnatomiSistem syaraf Tidak ada perubahanSistem kardiovaskuler Tidak ada perubahanSistem respirasi Perdarahan ptechie pada paru dan perdarahan garis

pada tracheaSistem gastrointestinal Perdarahan pada proventrikulus, Perdarahan pada

duodenum, perdarahan ileum dan caecumSistem integumen Tidak ada perubahanSistem otot dan tendon Tidak ada perubahanSistem tulang dan persendian Tidak ada perubahanSistem urinaria Tidak ada perubahanSistem reproduksi Tidak ada perubahan

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan HematologiHematologi Hasil Normal

Heterofil 38 % 15 – 40 %Eosinofil 5 % 1,5 – 6 %Basofil 0 % 0 %Monosit 7 % 5 – 10 %Limfosit 72 % 45 – 70 %Band/stab - -Kadar hemoglobin 8 g/dl 7 – 13 g/dlJumlah eritrosit 2 x 106 /µl (2,5 – 3,5) x 106 /µlJumlah leukosit 13 x 103 /µl (12 – 30) x 103 /µl

8

Page 10: 109671449-Laporan-PPDH

Hematokrit/PCV 24 % 22 – 35 %Trombosit 22 x 105 /µl (20 – 40) x 105 /µl

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan MikrobiologiPenanaman pada Blood AgarTidak terjadi pertumbuhan bakteri

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan VirologiPengujian Spesimen Hasil Keterangan

Inokulasi pada TAB umur 9 hari melalui jalur ruang alantois

Organ - Embrio mati pada hari ke-3

Hemaglutinasi Cairan alantois Positif dengan titer 24

Hambatan Hemaglutinasi

Antigen 4 unit HA Positif virus ND dengan titer 25

Dilakukan juga uji HI dengan serum AI, tetapi diperoleh hasil negatif

Polymerase Chain Reaction

Isolasi RNA virus Positif ND -

Kesimpulan/Diagnosa: Positif New Castle Disease

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan ParasitologiMateri Hasil

Feses Tidak ditemukan adanya telur /cacingCacing 1. Ascaridia galli

2. Raillietina sp

Kerokan kulit Tidak dilakukan pemeriksaanEktoparasit Tidak ditemukan ektoparasitDarah Protozoa Plasmodium galinaceumOrgan Tidak dilakukan pemeriksaan

Tabel 6. Hasil Pemeriksaan HistopatologiOrgan Perubahan Histopatologi

Paru-paru Ditemukan eritrosit, alveoli tertutupi sel radang, makrofag dan heterofil

Hati Terjadi perdarahan dan kongesti

Usus Terjadi perdarahan ringanOtak Ditemukan nekrosis pada pembuluh darah otak

Jantung Terjadi kongesti, perdarahan dan nekrosis

Proventrikulus Terjadi infiltrasi limfosit pada villi proventrikulus

Trakea Terjadi perdarahan pada epitel trakea

9

Page 11: 109671449-Laporan-PPDH

3.2 Pembahasan

Strategi diagnosa suatu penyakit dapat didasarkan pada beberapa pendekatan,

yaitu pendekatan epidemiologis, gejala klinis, patologis, dan laboratoris (Santhia,

2003). Ressang (1984) menyatakan bahwa pada diagnostik penyakit-penyakit unggas

harus dilakukan pemeriksaan pascamati, bakteriologik, virologik, dan histologik.

Oleh karena itu, diagnosa penyakit ayam buras dengan nomor protokol 146/N/08

didasarkan atas kedua pernyataan tersebut.

3.2.1 Epidemiologi

Kejadian penyakit pada beberapa ekor ayam buras di peternakan ayam

tradisional daerah Ketewel kabupaten Gianyar menunjukkan tingkat morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa dari 50

ekor populasi ayam pada peternakan tersebut telah ditemukan10 ekor ayam muda

menunjukkan gejala sakit dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Dari jumlah

ayam yang sakit, 5 ekor diantaranya mati mendadak dalam waktu 4 hari setelah

gejala sakit teramati. Ayam yang sakit rata-rata adalah ayam muda dengan umur di

atas 8 minggu. Pakan yang diberikan adalah pakan jadi berupa dedak padi. Air

minum berasal dari air PAM. Ayam buras yang ada di temapat ini belum pernah

mendapatkan pengobatan dan vaksinasi. Adanya penularan penyakit yang cepat pada

ayam dalam satu populasi dapat dihubungkan dengan agen penyebab penyakit yang

bersifat infeksius. Karena ayam mati beberapa hari setelah munculnya gejala sakit,

maka penyakit ini dapat dikatakan bersifat akut. Dari kedua temuan tersebut dapat

diambil suatu diagnosa sementara berdasarkan pendekatan epidemiologis bahwa

penyakit ini diakibatkan oleh agen infeksius yang bersifat akut.

3.2.2 Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit..

Diagnosa dini dan tepat tentang suatu penyakit menjadi sangat penting karena

berkaitan dengan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien (Santhia, 2003).

Beberapa kasus penyakit unggas dapat dijumpai gejala patognomonik yang dapat

mempermudah peneguhan diagnosa. Jika gejala klinis yang ditemukan tidak bersifat

10

Page 12: 109671449-Laporan-PPDH

menciri, maka peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan khusus di

laboratorium.

Gejala klinis yang tampak pada kasus ini adalah: diare putih hijau, anoreksia,

kaheksia, keluar leleran hidung, bulu kusam. Dari diagnosa sementara yang telah

diperoleh dengan ditambahkan gejala klinis yang tampak, penyakit tersebut

mengarah pada Newcastle Disease (ND). Tanda- tanda umum Newcastle Disease

(ND) adalah kesulitan bernafas, unggas tampak tercekam, tidak bergairah dan tidak

nafsu makan (Rasyaf, 1992).

Berdasarkan gejal klinis yang nampak, Ayam yang terserang mengarah pada

gangguan pernafasan dan pencernaan. Menurut Ressang (1984), gejala klinis pada

Newcastle Disease (ND) dibagi menjadi lima bagian yaitu gejala pernafasan,

pencernaan, syaraf, sepsis dan peredaran darah. Ayam mengalami kesulitan bernafas,

megap-megap dan terdengar suara ngorok karena aadanya lendir atau leleran

berwarna bening yang menyumbat saluran pernafasan atas yaitu laryng dan trakea.

Adanya perubahan-perubahan digesti nyata karena nafsu makan unggas terganggu.

Tinja pada permulaan berwarna putih sebagia kapur dan padat kemudian menjadi

encer dan hijau. Dalam beberapa hari ayam menjadi kurus . Pada seksi ada gastritis

cattarhalis di dalam lambung kelenjar. Di dalam usus ada enteritis cattarhalis et

mucopurulenta, akan tetapi yang tidak jarang terlihat ialah enteritis necrotikan.

3.2.3 Patologi anatomi

Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada penyakit Newcastle

Disease biasanya erat hubungannya dengan galur dan tipe patologik dari virus

Newcastle Disease, jenis unggas, faktor lingkungan, dan infeksi campuran dengan

mikroorganisme lainnya (Tabbu, 2004). Pada kasus ini, perubahan patologi anatomi

yang terlihat adalah terjadinya perdarahan pada paru-paru, trakhea, proventrikulus

dan perdarahan pada beberapa bagian usus.. Selain itu, saat nekropsi ditemukan

beberapa jenis cacing pada usus.

Menurut Dharma dan Putra (1997) perubahan patologi anatomi pada ayam

yang terserang New Castle Disease (ND adalah adanya perdarahan ptekie atau

ekimosa pada proventrikulus, seka tonsil, ulser dan nekrosis usus. Selain itu juga

dapat menyerang organ lain seperti hati, limpa, kantong udara dan paru-paru. Virus

11

Page 13: 109671449-Laporan-PPDH

dapat menyebar keberbagai organ atau virus bersifat pantropik sehingga pemeriksaan

pascamati terdapat perubahan pada berbagai organ.

Perubahan makroskopik yang terlihat dapat berupa nekrosis dan hemoragik

pada saluran pencernaan, meliputi proventrikulus, ventrikulus, dan berbagai bagian

usus. Perubahan pada saluran pernafasan tidak selalu ditemukan: tetapi jika

ditemukan, perubahan yang dapat terlihat berupa hemoragik dan kongesti (Tabbu,

2000)

3.2.4 Pemeriksaan Laboratorik

Pemeriksaan laboratorik yang telah dilakukan untuk membantu meneguhkan

diagnosa kasus ini meliputi pemeriksaan hematologi, virologi, dan histopatologi.

Hasil pemeriksaan hematologi yang menunjukkan perubahan adalah peningkatan

jumlah limfosit sebanyak 72%. Menurut Dharmawan (2002) Limfositosis dapat

disebabkan oleh infeksi virus, obstruksi saluran pencernaan, saluran respirasi.

Diagnosa awal yang mengarah pada penyakit ND dibuktikan dengan

pemeriksaan pada laboratorium virologi. Menurut Tabbu (2004), berbagai isolat atau

grup isolat virus ND dapat dibedakan berdasarkan uji virulensinya setelah isolasi

virus pada TAB umur 9 hari melalui jalur ruang alantois.. Berdasarkan atas

virulensinya, maka virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik, mesogenik,

dan lentogenik. Pembagian tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio setelah

disuntik dengan virus ND tertentu. Waktu kematian embrio untuk galur velogenik,

mesogenik, dan lentogenik berturut-turut adalah: kurang dari 60 jam, 60 – 90 jam,

dan lebih dari 90 jam (Saif, 2003). Kematian embrio terjadi pada hari ketiga setelah

isolasi, jadi virus ND yang menyerang ayam tersebut adalah galur velogenik.

Virus ND tergolong genus Avian Paramyxovirus dari famili

Paramyxoviridae, yang merupakan virus RNA yang mempunyai genom single

stranded (ss) dengan polaritas negatif. Paramyxovirus berbentuk sangat pleomorfik,

biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100 – 500 nm tetapi ada juga yang

berbentuk filamen (Tabbu, 2004). Virus ND mempunyai beberapa aktivitas biologis

antara lain: aktivitas neuraminidase, aktivitas hemaglutinasi, kemampuan untuk

menghemolisis sel darah merah ataupun fusi dari sel-sel tertentu, serta kemampuan

untuk bereplikasi (Saif, 2003). Adanya aktivitas hemaglutinasi dari virus ND

sehingga mampu mengaglutinasi sel darah merah hewan tertentu, menjadi prinsip

12

Page 14: 109671449-Laporan-PPDH

dasar dalam uji hemaglutinasi (HA). Selanjutnya untuk memastikan bahwa virus

tersebut adalah virus ND dilakukan uji hambatan hemaglutinasi (HI) menggunakan

antiserum ND (Santhia, 2003). Uji HA yang telah dilakukan menunjukkan hasil

positif dengan titer 24. Demikian pula uji HI menunjukkan hasil positif untuk virus

ND dengan titer 25, dan negatif untuk virus AI. Uji PCR dapat dikatakan bahwa ayam

tersebut positif untuk virus ND.

Hasil pemeriksaan histopatologi membantu dalam peneguhan diagnosa kasus

ini. Secara Histopatologi didapatkan adanya perdarahan dan nekrosis pada hati,

perdarahan ringan pada usus, nekrosis pada pembuluh darah otak, jantung mengalami

perdarahan, nekrosis dan kongsti, infiltrasi limfosit pada villi proventrikulus, trakea

mrngalami perdarahan, pada paru-paru ditemukan eritrosit makrofag, heterofil dan

septa alveoli paru-paru tertutupi sel radang. Virus VVND sesuai dengan sifatnya

akan menyerang sel-sel epitel pada saluran pencernaan dan organ-organ visceral

lainnya (Tabbu, 2004).

Menurut Dharma dan Putra (1997), adanya hiperemi pada paru-paru

diakibatkan karena virus yang menyerang saluran pernafasan mengakibatkan

rusaknya sistem sirkulasi darah sehingga terjadi kongesti/pembendungan yang terjadi

karena adanya darah berlebihan dalam pembuluh darah paru-paru. Sedangkan

Ressang (1984) menyatakan bahwa adanya ptekie pada mukosa proventrikulus

dianggap patognomonis untuk penyakit Newcastle Disease, virus bereplikasi dalam

organ ini mengakibatkan kerusakan sel termasuk pembuluh darah yang ada didalam

sehingga terjadilah gangguan peredaran darah berupa ptekie

Perubahan histopatologik yang ditimbulkan oleh Newcastle Disease

berhubungan erat dengan galur virus, rute infeksi, faktor lingkungan ataupun infeksi

campuran. Perubahan mikroskopik pada pembuluh darah meliputi: hyperemia, edema

dan hemoragik pada berbagai organ. Perubahan mikroskopik pada usus yang

disebabkan Newcastle Disease galur virulen meliputi nekrosis hemoragika yang

diperkirakan meluas dari kumpulan limfoid usus. Lesi mikroskopik pada saluran

pernafasan berhubungan dengan derajat keparahan gangguan pernafasan. Pada trakea

lesi mikroskopik dapat berupa kongesti, edema, dan infiltarsi limfosit dan makrofag.

Perubahan histopatologik pada organ-organ lain dapat juga ditemukan pada berbagai

kasus Newcastle Disease. Pada hati dapat ditemukan adanya nekrosis yang bersifat

13

Page 15: 109671449-Laporan-PPDH

multifokal, pada otak kerap kali ditemukan perivaskular cuffing sel limfosit dan

nekrosis (Tabbu, 2000).

Pemeriksaan bakteriologi dilakukan karena adanya diagnosa banding

penyakit bacterial yaitu Infectious Coriza yang disebabkan Haemopgilis

paragalinarum. Selain itu, pada peternakan ayam buras tersebut di atas, jenis pakan

yang diberikan berupa dedak sedangkan air minum berasal dari air PAM yang

memungkinkan ditemukan berbagai macam mikroorganisme patogen pada makanan

dan minuman yang diberikan, akan mempengaruhi ketahanan tubuh hospes.

Sehingga kemungkinan besar berbagai macam agen penyakit bisa masuk ke dalam

tubuh ayam-ayam tersebut. Sejumlah flora normal dalam tubuh ataupun

mikroorganisme yang secara alami ada di lingkungan dapat berpotensi menjadi

patogen dan menyebabkan penyakit ketika menyerang individu yang mengalami

penurunan daya tahan tubuh atau ketika berada pada jaringan atau organ yang tidak

semestinya (Schaechter et al., 2002).

Dari pemeriksaan di laboratorium bakteriologi, tidak ditemukan adanya

bakteri pada biakan organ trakea. Dengan tidak diketemukannya spesies bakteri

yang ada pada organ ayam tersebut, maka diagnosa banding Haemophilus

paragalinarum dapat disingkirkan.

Pemeriksaan dilakukan di laboratorium parasitologi karena ditemukannya

beberapa jenis cacing di sepanjang usus halus. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa

jenis cacing yang menginfeksi ayam buras tersebut ada dua jenis yaitu: Ascaridia

galli, Raillietina sp,. Soulsby (1968) menyatakan bahwa ayam umur lebih dari 3

bulan lebih tahan terhadap infeksi kemungkinan dikarenakan adanya peningkatan sel

goblet pada mukosa usus. Dalam bukunya, Saif (2003) melaporkan bahwa Raillietina

sp dapat menyebabkan granuloma pada tempat predileksinya dalam waktu 6 bulan

setelah diinfeksi dengan sistiserkus sebanyak 200 ekor. Pada pemeriksaan ulas darah

juga ditemukan adanya protozoa Plasmodium galinaceum dalam jumlah sedikit atau

jarang. Plasmodium ditularkan oleh nyamuk, yaitu Culex sp., Aedes sp., Anopheles.

Siklus hidupnya melibatkan 2 macam hospes, yaitu hospes perantara (vertebrata,

unggas) dan hospes serangga (nyamuk). Perkembangan aseksual dan bentuk seksual

muda terjadi didalam eritrosit unggas, sedangkan fertilisasi dan perkembangannya

bentuk seksual dewasa terjadi dalam tubuh nyamuk. Gejala klinis yang ditimbulkan

14

Page 16: 109671449-Laporan-PPDH

berupa kelemahan, gangguan pernafasan, kehilangan nafsu makan, dan

demam(Tabbu, 2002). Dengan berbagai analisa tersebut, maka dapat dipastikan

bahwa adanya infeksi cacing dan protozoa darah pada tubuh ayam tersebut bukanlah

penyebab kematian

Berdsarkan uraian dari riwayat kasus, gejala klinis, gambaran perubahan

makroskopik dan histopatologi, hasil patologi klinik serta pemeriksaan laboratorium

mengindikasikan kuat bahwa penyebab utama yang berisiko kematian pada kasus

protokol 146/N/08 yaitu Newcastle Disease.

15

Page 17: 109671449-Laporan-PPDH

Newcastle Disease

Penyakit Newcastle Disease disebabkan oleh Paramyxovirus-1 (PMV) dari

Famili Paramyxoviridae (Dharma dan Putra, 1997). Yang merupakan virus RNA

yang mempunyai genom single stranded (ss) dengan polaritas negatif (Tabbu, 2000).

Penyakit ini pertama kali diamati di Jawa pada tahun 1926, pada musim gugur tahun

itu virus menyebar ke inggris dan pertama kali diamati di Newcastle, karena itu

diberi nama demikian (Fanner dkk, 1993). Newcastle Disease dikenal dengan

berbagai nama yaitu Pseudofowl Pest, Pseudovogel Pest, Atypishe Glefulpest,

Pseudopoultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranikhet Disease, Tetelo

Disease (penyakit tetelo), Korean Fowl Plague dan Avian Pneumoencephalitisn

(Tabbu, 2000). Aziatische Vogelpest, Sampar Ayam (Ressang, 1984).

Penyakit Newcastle Disease merupakan penyakit yang sering menyerang

ayam, baik layer ataupun broiler, baik ras maupun buras dan sering dianggap sebagai

penyakit yang menduduki jajaran atas dalam menimbulkan kematian pada ayam

(Marhiyanto, 2000). Biasanya wabah sering terjadi pada saat peralihan musim dari

musim panas ke musim hujan atau sebaliknya yaitu pada saat ayam mengalami

stress. Tingat morbiditas penyakit sangat tinggi yaitu sekitar 90-100% dengan tingkat

mortalitas penderita hampir 100%. Hampir semua jenis unggas (ayam, itik, angsa

termasuk bangsa burung seperti kakaktua, merpati, nuri, beo ) peka terhadap penyakit

ini (Dharma dan Putra, 1997)

Newcastle Disease merupakan suatu penyakit pernafasan dan sistemik yang

bersifat akut dan mudah sekali menular. Pada pengamatan dilapangan menunjukan

bahwa setiap kasus Newcastle Disease selalu ditemukan adanya gangguan

pernafasan dan walaupun dalam bentuk campuran dengan gejala gangguan

pencernaan ataupun syaraf (Tabbu, 2000).

Penularan Newcastle Disease dapat terjadi secara langsung dari ayam sakit

ke ayam peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau

pekerja yang tercemar virus tersebut. Dapat juga terjadi melalui berbagai cara yaitu

lalu lintas ayam terinfeksi, burung peliharaan, burung liar, burung dara, unggas

peliharaan lainnya, hewan lainnya; lalu lintas manusia (pekerja, pengunjung,

pemilik) dan berbagai perlengkapan kandang/peternakan; lalu lintas sarana produksi

16

Page 18: 109671449-Laporan-PPDH

peternakan dan produk asal unggas (telur, daging , kotoran ayam); pakan dan

minuman tercemar; dan udara tercemar virus Newcastle Disease. Oleh karena itu

pengamatan biologis yang ketat akan sangat besar pengaruhnya dalam mencegah

penularan virus Newcastle Disease dari peternakan satu ke peternakan lainnya,

demikian juga dari satu daerah ke daerah lainnya ( Tabbu, 2000)

Patogenisitas virus ini pada mulanya bereplikasi pada epitel mukosa dari

saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan; segera setelah infeksi, virus

menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum yang menyebaban viremia

sekunder. Mengakibatkan infeksi pada organ sasaran sekunder: paru-paru, usus, dan

sistem saraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak nafas akibat penyumbatan pada

paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak ( Fanner, 1995).

Pendiagnosaan Newcastle Disease adalah dengan melakukan isolasi dan

identifikasi agen penyebab. Isolasi dapat dilakukan secara in vitro pada biakn sel dan

in vivo pada telur ayam beremberio. Selanjutnya antigen dalam cairan alantois telur

ayam beremberio atau biakan sel dapat dideteksi dengan uji hemaglutinasi (HA).

Dengan uji HA dapat diindikasikan adanya agen virus yang mampu mengaglutinasi

sel darah, kemudian untuk memastikan bahwa virus tersebut adalah virus Newcastle

Disease dilakukan uji hambatan hemaglutinasi (HI) menggunakan antiserum ND.

(Santhia, 2003).

17

Page 19: 109671449-Laporan-PPDH

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1Kesimpulan

Diagnosa sementara yang didasarkan pada data epidemiologi dan gejala

klinik yang muncul pada kasus ini adalah penyakit Newcastle Disease (ND). Setelah

dilakukan pemeriksaan pada beberapa laboratorium untuk meneguhkan diagnosa

tersebut, dapat diketahui dengan pasti bahwa penyebab kematian pada ayam tersebut

adalah virus Newcastle Disease (ND).

Ditemukannya beberapa jenis cacing (Ascaridia galli, Raillietina sp, ) dan

protozoa darah Plasmodium galinaceum sebagai infeksi sekunder saja.

4.2 Saran

1. Ayam yang sakit dieliminasi (dipotong paksa).

2. Ayam yang mati dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.

3. Kandang dan perlengkapannya disucihamakan dengan desifektan.

4. Melakukan tindak karantina ketat terhadap unggas yang diimpor dari negara-

negara endemik.

5. Melakukan program vaksinasi yang teratur dan sesuai prosedur.

18

Page 20: 109671449-Laporan-PPDH

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, D.M.N dan A.A.G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media Adhi Karsa. Denpasar.

Dharmawan, N.S., 2002, Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Penerbit Universitas Udayana, Denpasar

Fenner, F.J., Gibbs, E>P.J., Murphy, F.A., Root, R., Studert, M.J., White, D.O. (1995). Virologi Veteriner, Edisi Kedua, Terjemahan Pura, D.K.H. IKIP. Semarang.

Rasyaf, M, 1992, Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging, Kanisius, Yogyakarta

Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bali Castle Disease Investigation Unit. Denpasar.

Saif, Y.M., 2003, Disease of Poultry, 11th Edition, Iowa State University Press, USA

Santhia, Kt., 2003, Strategi Diagnosa dan Penanggulangan Newcastle Disease, disampaikan pada Seminar Regional Perunggasan 6 Oktober 2003 Universitas Udayana, Denpasar

Schaecter, M., N.C. Englebeig, B.I. Eisenstein, and G. Medoff, 2002, Mechanism of Microbial Disease, 3rd Edition, Lippincott Williams and Wilkins Ltd., USA

Soulsby, E.J.L., 1968, Helmiths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals, 6th Edition, Bailliere Tindall and Cassel Ltd., London

Tabbu, C.R., 2004, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Tabbu, C.R., 2006, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

19

Page 21: 109671449-Laporan-PPDH

20