Upload
franky
View
38
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Riwayat Kasus
Pemeriksaan ayam buras dengan nomor protokol 146/N/08 diambil dari
peternak ayam buras di daerah Ketewel, kabupaten Gianyar. Ayam buras tersebut
telah berumur 3 bulan dengan berat badan satu kilogram. Sebelum dilakukan
nekropsi, telah diamati gejala umum dan gejala klinis pada ayam tersebut. Gejala
umumnya adalah anoreksia, bulu kusam, dan kekurusan., diare putih hijau,
dipsnoe,terdapat leleran hidung.
Ayam buras yang telah dinekropsi tersebut berasal dari peternakan tradisional
dimana ayam dilepas di pekarangan rumah. Jenis pakan yang diberikan berupa
dedak. Untuk air minum disediakan air yang berasal dari air PAM, tetapi karena
ayam-ayam tersebut dilepas, maka kemungkinan besar ayam juga minum dari
selokan. Menurut pemilik, belum pernah dilakukan vaksinasi terhadap ayam-ayam di
peternakan tersebut. Populasi ternak ayam buras yang ada sekitar 50 ekor ayam
muda. Dari jumlah tersebut, dalam kurun waktu 4 hari telah ditemukan ayam sakit 10
ekor dan telah mati 5 ekor.
Setelah dinekropsi dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, sampel yang
berupa darah, feses, parasit, dan organ-organ yang mengalami perubahan dikirim ke
beberapa laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.
1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan dijawab dalam studi kasus ini adalah :
1. Apa diagnosa penyakit pada ayam buras berdasarkan gejala klinis, patologi
anatomi, histopatologi, dan pemeriksaan laboratorium pendukung?
2. Bagaimanakah gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan
laboratorium pendukung?
3. Apakah ditemukan agen infeksius lainnya?
1.3 Tujuan Laporan
Laporan ini ditulis dengan tujuan untuk :
1. Mendiagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dari kasus dengan nomor
protokol 146/N/08.
2. Mengetahui gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan
laboratorium pendukung dari ayam kasus.
3. Mengetahui apakah ada agen infeksius lainnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penulisan studi kasus ini adalah untuk :
1. Memberikan gambaran secara rinci terhadap suatu kasus dari gejala klinis
sampai perubahan pada organ dan didukung dengan pemeriksaan
laboratorium.
2. Memberikan gambaran pada calon Dokter Hewan untuk mendiagnosa suatu
penyakit berdasarkan gejala klinis dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan
laboratorium.
1
BAB 11
MATERI DAN METODE
2.1 Laboratorium Patologi
Materi : organ yang mengalami perubahan secara makroskopis.
Metode : pembuatan dan pemeriksaan preparat histopatologi.
Cara kerja :
1. Sampel organ yang akan diperiksa dipotong dengan ukuran 1x1x1 cm, kemudian
direndam dalam larutan neutral buffer formalin (NBF).
2. Sampel organ selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis untuk disimpan
dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF.
3. Setelah fiksasi, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan satu sesi larutan
yang terdiri dari: alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol 96 %,
alkohol absolut, toluene, dan parafin, secara bertahap dalam waktu satu hari.
4. Sampel organ diblocking dengan embedding set yang dituangi parafin cair
kemudian didinginkan.
5. Blok yang sudah dingin disectioning menggunakan microtome dengan ketebalan
± 4 – 5 mikron.
6. Proses yang terakhir adalah pewarnaan dengan metode Harris Hematoxylin –
Eosin dan mounting media.
7. Preparat histopatologi diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan
mikroskopik yang ditemukan.
2.2 Laboratorium Patologi Klinik
Materi : darah dengan antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Acetic (EDTA).
Metode : penentuan kadar hemoglobin dengan hemoglobinometer, penentuan
packed cell volume (PCV) dengan mikrohematokrit, penentuan jumlah
total eritrosit dan leukosit dengan kamar hitung, dan pemeriksaan
differensial leukosit dengan ulas darah.
Cara kerja :
1. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan cara: tabung hemometer diisi
dengan larutan HCl 0,1 N, kemudian ditetesi darah yang mengandung
2
antikoagulan. Setelah 10 menit, campuran tersebut diencerkan dengan aquades
sambil diaduk sampai terbentuk warna coklat yang sama dengan warna gelas
standar. Kadar hemoglobin dapat diketahui dengan membaca miniskus dari
larutan.
2. Penentuan PCV dilakukan dengan cara: pipet mikrohematokrit diisi dengan
darah yang mengandung antikoagulan sebanyak 6/7 bagian, kemudian
dicentrifuge dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk
lapisan eritrosit, buffy coat, dan plasma, nilai hematokrit dibaca pada alat
microhematocrit reader.
3. Penentuan jumlah total eritrosit dan leukosit dilakukan dengan cara: darah
yang mengandung antikoagulan diisap dengan pipet, kemudian dicampur dengan
larutan Hayem untuk eritrosit dan larutan Turk untuk leukosit. Penghitungan
dilakukan pada kamar hitung dengan patokan 5 bidang yang di tengah untuk
eritrosit dan 4 bidang di tepi yang disebut kotak W untuk leukosit. Kalkulasi
diperoleh dari perhitungan 10.000 N untuk eritrosit dan 50 N untuk leukosit.
4. Pemeriksaan differensial leukosit dilakukan dengan cara: ulas darah tipis pada
kaca obyek diwarnai dengan Giemza. Kemudian dengan mikroskop cahaya
dihitung jumlah sel leukosit monosit, limfosit, basofil, eosinofil, heterofil, dan
trombosit yang ditemukan.
2.3 Laboratorium Mikrobiologi Veteriner
Materi : organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa trakea.
Metode : isolasi bakteri pada media umum Sheep Blood Agar (SBA) dan
media selektif Mac Conkey Agar (MCA), serta identifikasi bakteri
dengan pengamatan pertumbuhan koloni pada media, pewarnaan
Gram, uji katalase, uji oksidase, uji biokimia dengan penanaman pada
media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfite Indol Motility (SIM),
Simmon Citrate Agar, Methyl Red Voges Proskauer (MRVP) Medium,
dan uji gula-gula dengan penanaman pada media yang mengandung
manitol, maltosa, dan glukosa.
Cara kerja :
3
1. Isolasi bakteri dilakukan dengan cara: spesimen organ dilukai atau dikoyak
dengan ose steril, kemudian cairannya diambil dan diusapkan pada media biakan
secara multiple line. Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan dalam suhu
37o C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media secara
makroskopis untuk melihat bentuk, warna, elevasi, tepian dan diameter koloni.
2. Pengecatan Gram dilakukan dengan cara: koloni pada media biakan diambil
dengan ose steril dan dioleskan pada kaca obyek yang telah ditetesi aquades.
Setelah difiksasi, olesan tadi ditetesi dengan larutan crystal violet, lugol, alkohol,
dan safranin sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Diamati warna dan
bentuk bakteri di bawah mikroskop dengan pembesaran kuat.
3. Uji katalase dilakukan dengan cara: koloni pada media diambil dengan ose
steril dan dioleskan pada kaca obyek, kemudian ditetesi dengan larutan H2O2.
Diamati terbentuknya kabut pada kaca obyek tersebut.
4. Uji oksidase dilakukan dengan cara: stick penguji dicelupkan pada aquades,
kemudian dioleskan pada koloni pada media biakan. Diamati perubahan warna
yang terjadi.
5. Uji biokimia pada media TSIA, SIM, Simmon Citrate, dan MRVP dilakukan
dengan cara: koloni pada media biakan diambil dengan ose jarum yang steril.
Kemudian dipupuk pada media dengan menusukkan ujung ose pada bagian tegak
untuk media TSIA dan SIM, atau mengoleskan pada bagian miring untuk media
TSIA dan Simmon Citrate. Sedangkan untuk media MRVP yang berbentuk cair,
ose digoyangkan dalam media tersebut. Media diinkubasikan dengan suhu 37 o C
selama 24 jam. Diamati perubahan warna media dan bentuk pertumbuhan bakteri.
6. Uji gula-gula dengan penanaman pada media yang mengandung manitol,
maltosa, dan glukosa dilakukan dengan cara: koloni pada media biakan diambil
dengan ose steril. Kemudian dipupuk pada media tersebut yang berbentuk cair
dan di dasar tabung terdapat durham cup. Media diinkubasikan dengan suhu 37 o
C selama 24 jam. Diamati perubahan warna media dan perubahan posisi durham
cup.
2.4 Laboratorium Virologi Veteriner
4
Materi : organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa trachea,
paru-paru, proventrikulus dan usus halus.
Metode : pembuatan inokulum dari spesimen organ, isolasi virus pada telur
ayam bertunas (TAB) umur 9 hari, pemanenan cairan alantois, uji
Hemaglutinasi/Hambatan Hemaglutinasi (HA/HI), dan uji Reverse
Transkriptase – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Cara kerja :
1. Pembuatan inokulum dilakukan dengan cara: spesimen organ diambil sedikit
dimasukan ke dalam eppendorf dan digerus dengan meggunakan pipe pastel
sambil ditambahkan larutan phosphate buffered saline (PBS) sedikit demi sedikit
hingga diperoleh konsentrasi suspensi 10 %. Kemudian suspensi dicentrifuge
dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari
endapannya, lalu diberi antibiotik penisilin dan streptomisin dengan dosis
masing-masing 1000-5000 mg/ml. campuran supernatan dan antibiotik
dieramkan pada suhu 37 o C selama 30 menit.
2. Isolasi virus pada TAB dilakukan dengan cara: TAB umur 9 hari diamati
dengan teropong untuk mengetahui keadaan embrionya dan menandai kantong
udaranya. Cangkang telur dilubangi, kemudian inokulum disuntikkan ke dalam
ruang alantois dari TAB tersebut. Lubang ditutup dengan kuteks, lalu telur
dieramkan pada suhu 37 o C. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap
pergerakan embrio.
3. Setelah embrio mati, dilakukan pemanenan cairan alantois dengan cara:
cangkang dipotong dengan gunting pada daerah kantong udara. Cairan diisap
dengan pipet dan ditampung pada tabung steril.
4. Uji Hemaglutinasi dilakukan dengan cara: setiap lubang plat mikro diisi
dengan larutan PBS. Kemudian ditambahkan antigen pada lubang 1 dan
diencerkan secara berseri hingga lubang 11, dan diaduk dengan pengocok mikro.
Selanjutnya ditambahkan suspensi sel darah merah pada semua lubang dan
diaduk kembali. Setelah didiamkan selama 30 menit, diamati ada tidaknya
endapan sel darah merah.
5. Uji Hambatan Hemaglutinasi dilakukan dengan cara: setiap lubang plat mikro
diisi dengan larutan PBS. Kemudian ditambahkan serum yang mengandung virus
5
Avian Influenza (AI) atau virus New Castle Disease (ND) pada lubang 1 dan
diencerkan secara berseri hingga lubang 11, dilanjutkan dengan penambahan
antigen 4 unit HA pada lubang 1 – 11. Setelah itu, diaduk dengan pengocok
mikro. Selanjutnya ditambahkan suspensi sel darah merah pada semua lubang
dan diaduk kembali. Setelah didiamkan selama 30 menit, diamati ada tidaknya
endapan sel darah merah.
6. Uji RT-PCR dimulai dengan isolasi RNA-Trizol dari cairan spesimen organ.
Setelah RNA hasil isolasi diperoleh, langkah selanjutnya adalah pencampuran
RNA, primer matriks, SS, H1F, dan aquades. Campuran tersebut diproses dalam
mesin thermocycle. Hasilnya kemudian ditambahkan blue juice dan dimasukkan
ke polyacrilamide gel dalam mesin electrophoresis. Setelah semua proses selesai,
hasil dapat dibaca dan dilakukan pemotretan untuk dokumentasi.
2.5 Laboratorium Parasitologi Veteriner
Materi : feses, parasit cacing, dan ulas darah tipis.
Metode :Pemeriksaan feses dengan metode natif dan pengapungan,
sedimentasi dan pemeriksaan parasit cacing dengan metode permanen,
dan pemeriksaan ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemza.
Cara kerja :
1. Pemeriksaan feses dengan metode natif dilakukan dengan cara: feses sebesar
pentolan korek api diambil dan diletakkan di atas kaca obyek. Ditambahkan air
dan diaduk sampai homogen. Serat kasar dibuang, kemudian kaca obyek ditutup
dengan cover dan diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan telur cacing
dan melakukan identifikasi.
2. Pemeriksaan feses dengan metode pengapungan dilakukan dengan cara: feses ±
sebesar biji kemiri dicampur dengan air sampai konsentrasi 10 %, dan diaduk
hingga homogen. Campuran disaring dan cairannya ditampung dengan tabung
centrifuge sampai skala 10. Selanjutnya cairan tersebut dicentrifuge dengan
kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah
larutan garam jenuh (NaCl jenuh) sampai skala 10. Kemudian campuran diaduk
hingga homogen dan dicentrifuge kembali dengan kecepatan 1500 rpm selama 3
menit. Kemudian ditambahkan lagi larutan NaCl jenuh setetes demi setetes
6
hingga permukaan cairan cembung. Setelah didiamkan selama 2 menit, cover
disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan langsung ditempelkan pada
kaca obyek. Diamati di bawah mikroskop untuk menemukan telur cacing dan
melakukan identifikasi.
3. Pemeriksaan telur cacing dengan metode sedimentasi ; feses sebesar biji kemiri
dimasukan kedalam gelas beker dan tambahkan aquades agar konsentrasinya
kira-kira 10% kemudian aduk sampai homogen. Saring dengan menggunakna
saringan teh untuk menyingkirkan bagian yang besar, masukan kedalam tabung
sentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selam 2-3 menit .Tabung centrifuge
dikeluakan dari centrifugator, supernatannya di buang sedangkan sedimen yang
tertinggal didasar tabung diaduk kemudian buat preparat seperti pada
pemeriksaan langsung dan lakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 10 X. Adapun prinsip dari metode ini adalah dengan
menggunakan cairan dengan berat jenis (BJ) yang lebih rendah dari berat jenis
telur cacing akan mengendap. Metode ini biasa digunakan untuk cacing kelas
trematoda.
4. Pemeriksaan parasit cacing dengan metoda permanen dilakukan dengan cara:
cacing diletakkan pada kaca obyek dan diamati di bawah mikroskop stereo untuk
memperbaiki posisinya agar bagian yang menjadi cirri khas dapat terlihat. Setelah
diperoleh posisi yang baik, cacing dijepit dengan kaca obyek yang lain lalu diikat
dengan karet gelang. Proses berikutnya adalah perendaman dalam alkohol 70 %
selama 24 jam. Untuk cacing nematoda dan trematoda dilakukan pewarnaan
dengan ditetesi zat warna Eosin. Perendaman dilanjutkan dengan alkohol 70 %,
80 %, 90 %, dan 95 % masing-masing selama 30 menit. Setelah dikeringkan,
preparat ditetesi minyak kayu putih dan dibiarkan selama 30 menit. Langkah
terakhir adalah merekatkan cacing pada kaca obyek menggunakan Canada
balsam. Preparat dapat diamati di bawah mikroskop untuk identifikasi cacing.
5. Pemeriksaan ulas darah tipis dilakukan dengan cara: ulas darah yang telah
diwarnai dengan Giemza diamati di bawah mikroskop untuk identifikasi adanya
protozoa darah.
7
BAB 111
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Sampel dari hewan yang telah dinekropsi dengan nomor protokol 146/N/08
dikirim ke beberapa laboratorium untuk mengetahui agen penyebab penyakit guna
meneguhkan diagnosa penyakit yang menyebabkan kematian pada hewan. Untuk
laboratorium patologi sampel berupa irisan organ jantung, paru-paru,
proventrikulus, , usus, hati, otak dan trakea. Sampel darah dengan antikoagulan
dikirimkan ke laboratorium patologi klinik. Irisan organ trakea yang mengalami
perubahan dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi. Sedangkan untuk laboratorium
virologi, sampel berupa irisan organ trakhea, paru-paru, proventrikulus, dan usus.
Cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan dikirimkan ke laboratorium
parasitologi disertai dengan pengiriman sampel lainnya yang berupa feses dan ulas
darah tipis.
Hasil dari pemeriksaan di beberapa laboratorium yang telah dilakukan,
disajikan dalam tabel-tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Patologi AnatomiSistem syaraf Tidak ada perubahanSistem kardiovaskuler Tidak ada perubahanSistem respirasi Perdarahan ptechie pada paru dan perdarahan garis
pada tracheaSistem gastrointestinal Perdarahan pada proventrikulus, Perdarahan pada
duodenum, perdarahan ileum dan caecumSistem integumen Tidak ada perubahanSistem otot dan tendon Tidak ada perubahanSistem tulang dan persendian Tidak ada perubahanSistem urinaria Tidak ada perubahanSistem reproduksi Tidak ada perubahan
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan HematologiHematologi Hasil Normal
Heterofil 38 % 15 – 40 %Eosinofil 5 % 1,5 – 6 %Basofil 0 % 0 %Monosit 7 % 5 – 10 %Limfosit 72 % 45 – 70 %Band/stab - -Kadar hemoglobin 8 g/dl 7 – 13 g/dlJumlah eritrosit 2 x 106 /µl (2,5 – 3,5) x 106 /µlJumlah leukosit 13 x 103 /µl (12 – 30) x 103 /µl
8
Hematokrit/PCV 24 % 22 – 35 %Trombosit 22 x 105 /µl (20 – 40) x 105 /µl
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan MikrobiologiPenanaman pada Blood AgarTidak terjadi pertumbuhan bakteri
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan VirologiPengujian Spesimen Hasil Keterangan
Inokulasi pada TAB umur 9 hari melalui jalur ruang alantois
Organ - Embrio mati pada hari ke-3
Hemaglutinasi Cairan alantois Positif dengan titer 24
Hambatan Hemaglutinasi
Antigen 4 unit HA Positif virus ND dengan titer 25
Dilakukan juga uji HI dengan serum AI, tetapi diperoleh hasil negatif
Polymerase Chain Reaction
Isolasi RNA virus Positif ND -
Kesimpulan/Diagnosa: Positif New Castle Disease
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan ParasitologiMateri Hasil
Feses Tidak ditemukan adanya telur /cacingCacing 1. Ascaridia galli
2. Raillietina sp
Kerokan kulit Tidak dilakukan pemeriksaanEktoparasit Tidak ditemukan ektoparasitDarah Protozoa Plasmodium galinaceumOrgan Tidak dilakukan pemeriksaan
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan HistopatologiOrgan Perubahan Histopatologi
Paru-paru Ditemukan eritrosit, alveoli tertutupi sel radang, makrofag dan heterofil
Hati Terjadi perdarahan dan kongesti
Usus Terjadi perdarahan ringanOtak Ditemukan nekrosis pada pembuluh darah otak
Jantung Terjadi kongesti, perdarahan dan nekrosis
Proventrikulus Terjadi infiltrasi limfosit pada villi proventrikulus
Trakea Terjadi perdarahan pada epitel trakea
9
3.2 Pembahasan
Strategi diagnosa suatu penyakit dapat didasarkan pada beberapa pendekatan,
yaitu pendekatan epidemiologis, gejala klinis, patologis, dan laboratoris (Santhia,
2003). Ressang (1984) menyatakan bahwa pada diagnostik penyakit-penyakit unggas
harus dilakukan pemeriksaan pascamati, bakteriologik, virologik, dan histologik.
Oleh karena itu, diagnosa penyakit ayam buras dengan nomor protokol 146/N/08
didasarkan atas kedua pernyataan tersebut.
3.2.1 Epidemiologi
Kejadian penyakit pada beberapa ekor ayam buras di peternakan ayam
tradisional daerah Ketewel kabupaten Gianyar menunjukkan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa dari 50
ekor populasi ayam pada peternakan tersebut telah ditemukan10 ekor ayam muda
menunjukkan gejala sakit dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Dari jumlah
ayam yang sakit, 5 ekor diantaranya mati mendadak dalam waktu 4 hari setelah
gejala sakit teramati. Ayam yang sakit rata-rata adalah ayam muda dengan umur di
atas 8 minggu. Pakan yang diberikan adalah pakan jadi berupa dedak padi. Air
minum berasal dari air PAM. Ayam buras yang ada di temapat ini belum pernah
mendapatkan pengobatan dan vaksinasi. Adanya penularan penyakit yang cepat pada
ayam dalam satu populasi dapat dihubungkan dengan agen penyebab penyakit yang
bersifat infeksius. Karena ayam mati beberapa hari setelah munculnya gejala sakit,
maka penyakit ini dapat dikatakan bersifat akut. Dari kedua temuan tersebut dapat
diambil suatu diagnosa sementara berdasarkan pendekatan epidemiologis bahwa
penyakit ini diakibatkan oleh agen infeksius yang bersifat akut.
3.2.2 Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit..
Diagnosa dini dan tepat tentang suatu penyakit menjadi sangat penting karena
berkaitan dengan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien (Santhia, 2003).
Beberapa kasus penyakit unggas dapat dijumpai gejala patognomonik yang dapat
mempermudah peneguhan diagnosa. Jika gejala klinis yang ditemukan tidak bersifat
10
menciri, maka peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan khusus di
laboratorium.
Gejala klinis yang tampak pada kasus ini adalah: diare putih hijau, anoreksia,
kaheksia, keluar leleran hidung, bulu kusam. Dari diagnosa sementara yang telah
diperoleh dengan ditambahkan gejala klinis yang tampak, penyakit tersebut
mengarah pada Newcastle Disease (ND). Tanda- tanda umum Newcastle Disease
(ND) adalah kesulitan bernafas, unggas tampak tercekam, tidak bergairah dan tidak
nafsu makan (Rasyaf, 1992).
Berdasarkan gejal klinis yang nampak, Ayam yang terserang mengarah pada
gangguan pernafasan dan pencernaan. Menurut Ressang (1984), gejala klinis pada
Newcastle Disease (ND) dibagi menjadi lima bagian yaitu gejala pernafasan,
pencernaan, syaraf, sepsis dan peredaran darah. Ayam mengalami kesulitan bernafas,
megap-megap dan terdengar suara ngorok karena aadanya lendir atau leleran
berwarna bening yang menyumbat saluran pernafasan atas yaitu laryng dan trakea.
Adanya perubahan-perubahan digesti nyata karena nafsu makan unggas terganggu.
Tinja pada permulaan berwarna putih sebagia kapur dan padat kemudian menjadi
encer dan hijau. Dalam beberapa hari ayam menjadi kurus . Pada seksi ada gastritis
cattarhalis di dalam lambung kelenjar. Di dalam usus ada enteritis cattarhalis et
mucopurulenta, akan tetapi yang tidak jarang terlihat ialah enteritis necrotikan.
3.2.3 Patologi anatomi
Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada penyakit Newcastle
Disease biasanya erat hubungannya dengan galur dan tipe patologik dari virus
Newcastle Disease, jenis unggas, faktor lingkungan, dan infeksi campuran dengan
mikroorganisme lainnya (Tabbu, 2004). Pada kasus ini, perubahan patologi anatomi
yang terlihat adalah terjadinya perdarahan pada paru-paru, trakhea, proventrikulus
dan perdarahan pada beberapa bagian usus.. Selain itu, saat nekropsi ditemukan
beberapa jenis cacing pada usus.
Menurut Dharma dan Putra (1997) perubahan patologi anatomi pada ayam
yang terserang New Castle Disease (ND adalah adanya perdarahan ptekie atau
ekimosa pada proventrikulus, seka tonsil, ulser dan nekrosis usus. Selain itu juga
dapat menyerang organ lain seperti hati, limpa, kantong udara dan paru-paru. Virus
11
dapat menyebar keberbagai organ atau virus bersifat pantropik sehingga pemeriksaan
pascamati terdapat perubahan pada berbagai organ.
Perubahan makroskopik yang terlihat dapat berupa nekrosis dan hemoragik
pada saluran pencernaan, meliputi proventrikulus, ventrikulus, dan berbagai bagian
usus. Perubahan pada saluran pernafasan tidak selalu ditemukan: tetapi jika
ditemukan, perubahan yang dapat terlihat berupa hemoragik dan kongesti (Tabbu,
2000)
3.2.4 Pemeriksaan Laboratorik
Pemeriksaan laboratorik yang telah dilakukan untuk membantu meneguhkan
diagnosa kasus ini meliputi pemeriksaan hematologi, virologi, dan histopatologi.
Hasil pemeriksaan hematologi yang menunjukkan perubahan adalah peningkatan
jumlah limfosit sebanyak 72%. Menurut Dharmawan (2002) Limfositosis dapat
disebabkan oleh infeksi virus, obstruksi saluran pencernaan, saluran respirasi.
Diagnosa awal yang mengarah pada penyakit ND dibuktikan dengan
pemeriksaan pada laboratorium virologi. Menurut Tabbu (2004), berbagai isolat atau
grup isolat virus ND dapat dibedakan berdasarkan uji virulensinya setelah isolasi
virus pada TAB umur 9 hari melalui jalur ruang alantois.. Berdasarkan atas
virulensinya, maka virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik, mesogenik,
dan lentogenik. Pembagian tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio setelah
disuntik dengan virus ND tertentu. Waktu kematian embrio untuk galur velogenik,
mesogenik, dan lentogenik berturut-turut adalah: kurang dari 60 jam, 60 – 90 jam,
dan lebih dari 90 jam (Saif, 2003). Kematian embrio terjadi pada hari ketiga setelah
isolasi, jadi virus ND yang menyerang ayam tersebut adalah galur velogenik.
Virus ND tergolong genus Avian Paramyxovirus dari famili
Paramyxoviridae, yang merupakan virus RNA yang mempunyai genom single
stranded (ss) dengan polaritas negatif. Paramyxovirus berbentuk sangat pleomorfik,
biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100 – 500 nm tetapi ada juga yang
berbentuk filamen (Tabbu, 2004). Virus ND mempunyai beberapa aktivitas biologis
antara lain: aktivitas neuraminidase, aktivitas hemaglutinasi, kemampuan untuk
menghemolisis sel darah merah ataupun fusi dari sel-sel tertentu, serta kemampuan
untuk bereplikasi (Saif, 2003). Adanya aktivitas hemaglutinasi dari virus ND
sehingga mampu mengaglutinasi sel darah merah hewan tertentu, menjadi prinsip
12
dasar dalam uji hemaglutinasi (HA). Selanjutnya untuk memastikan bahwa virus
tersebut adalah virus ND dilakukan uji hambatan hemaglutinasi (HI) menggunakan
antiserum ND (Santhia, 2003). Uji HA yang telah dilakukan menunjukkan hasil
positif dengan titer 24. Demikian pula uji HI menunjukkan hasil positif untuk virus
ND dengan titer 25, dan negatif untuk virus AI. Uji PCR dapat dikatakan bahwa ayam
tersebut positif untuk virus ND.
Hasil pemeriksaan histopatologi membantu dalam peneguhan diagnosa kasus
ini. Secara Histopatologi didapatkan adanya perdarahan dan nekrosis pada hati,
perdarahan ringan pada usus, nekrosis pada pembuluh darah otak, jantung mengalami
perdarahan, nekrosis dan kongsti, infiltrasi limfosit pada villi proventrikulus, trakea
mrngalami perdarahan, pada paru-paru ditemukan eritrosit makrofag, heterofil dan
septa alveoli paru-paru tertutupi sel radang. Virus VVND sesuai dengan sifatnya
akan menyerang sel-sel epitel pada saluran pencernaan dan organ-organ visceral
lainnya (Tabbu, 2004).
Menurut Dharma dan Putra (1997), adanya hiperemi pada paru-paru
diakibatkan karena virus yang menyerang saluran pernafasan mengakibatkan
rusaknya sistem sirkulasi darah sehingga terjadi kongesti/pembendungan yang terjadi
karena adanya darah berlebihan dalam pembuluh darah paru-paru. Sedangkan
Ressang (1984) menyatakan bahwa adanya ptekie pada mukosa proventrikulus
dianggap patognomonis untuk penyakit Newcastle Disease, virus bereplikasi dalam
organ ini mengakibatkan kerusakan sel termasuk pembuluh darah yang ada didalam
sehingga terjadilah gangguan peredaran darah berupa ptekie
Perubahan histopatologik yang ditimbulkan oleh Newcastle Disease
berhubungan erat dengan galur virus, rute infeksi, faktor lingkungan ataupun infeksi
campuran. Perubahan mikroskopik pada pembuluh darah meliputi: hyperemia, edema
dan hemoragik pada berbagai organ. Perubahan mikroskopik pada usus yang
disebabkan Newcastle Disease galur virulen meliputi nekrosis hemoragika yang
diperkirakan meluas dari kumpulan limfoid usus. Lesi mikroskopik pada saluran
pernafasan berhubungan dengan derajat keparahan gangguan pernafasan. Pada trakea
lesi mikroskopik dapat berupa kongesti, edema, dan infiltarsi limfosit dan makrofag.
Perubahan histopatologik pada organ-organ lain dapat juga ditemukan pada berbagai
kasus Newcastle Disease. Pada hati dapat ditemukan adanya nekrosis yang bersifat
13
multifokal, pada otak kerap kali ditemukan perivaskular cuffing sel limfosit dan
nekrosis (Tabbu, 2000).
Pemeriksaan bakteriologi dilakukan karena adanya diagnosa banding
penyakit bacterial yaitu Infectious Coriza yang disebabkan Haemopgilis
paragalinarum. Selain itu, pada peternakan ayam buras tersebut di atas, jenis pakan
yang diberikan berupa dedak sedangkan air minum berasal dari air PAM yang
memungkinkan ditemukan berbagai macam mikroorganisme patogen pada makanan
dan minuman yang diberikan, akan mempengaruhi ketahanan tubuh hospes.
Sehingga kemungkinan besar berbagai macam agen penyakit bisa masuk ke dalam
tubuh ayam-ayam tersebut. Sejumlah flora normal dalam tubuh ataupun
mikroorganisme yang secara alami ada di lingkungan dapat berpotensi menjadi
patogen dan menyebabkan penyakit ketika menyerang individu yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh atau ketika berada pada jaringan atau organ yang tidak
semestinya (Schaechter et al., 2002).
Dari pemeriksaan di laboratorium bakteriologi, tidak ditemukan adanya
bakteri pada biakan organ trakea. Dengan tidak diketemukannya spesies bakteri
yang ada pada organ ayam tersebut, maka diagnosa banding Haemophilus
paragalinarum dapat disingkirkan.
Pemeriksaan dilakukan di laboratorium parasitologi karena ditemukannya
beberapa jenis cacing di sepanjang usus halus. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa
jenis cacing yang menginfeksi ayam buras tersebut ada dua jenis yaitu: Ascaridia
galli, Raillietina sp,. Soulsby (1968) menyatakan bahwa ayam umur lebih dari 3
bulan lebih tahan terhadap infeksi kemungkinan dikarenakan adanya peningkatan sel
goblet pada mukosa usus. Dalam bukunya, Saif (2003) melaporkan bahwa Raillietina
sp dapat menyebabkan granuloma pada tempat predileksinya dalam waktu 6 bulan
setelah diinfeksi dengan sistiserkus sebanyak 200 ekor. Pada pemeriksaan ulas darah
juga ditemukan adanya protozoa Plasmodium galinaceum dalam jumlah sedikit atau
jarang. Plasmodium ditularkan oleh nyamuk, yaitu Culex sp., Aedes sp., Anopheles.
Siklus hidupnya melibatkan 2 macam hospes, yaitu hospes perantara (vertebrata,
unggas) dan hospes serangga (nyamuk). Perkembangan aseksual dan bentuk seksual
muda terjadi didalam eritrosit unggas, sedangkan fertilisasi dan perkembangannya
bentuk seksual dewasa terjadi dalam tubuh nyamuk. Gejala klinis yang ditimbulkan
14
berupa kelemahan, gangguan pernafasan, kehilangan nafsu makan, dan
demam(Tabbu, 2002). Dengan berbagai analisa tersebut, maka dapat dipastikan
bahwa adanya infeksi cacing dan protozoa darah pada tubuh ayam tersebut bukanlah
penyebab kematian
Berdsarkan uraian dari riwayat kasus, gejala klinis, gambaran perubahan
makroskopik dan histopatologi, hasil patologi klinik serta pemeriksaan laboratorium
mengindikasikan kuat bahwa penyebab utama yang berisiko kematian pada kasus
protokol 146/N/08 yaitu Newcastle Disease.
15
Newcastle Disease
Penyakit Newcastle Disease disebabkan oleh Paramyxovirus-1 (PMV) dari
Famili Paramyxoviridae (Dharma dan Putra, 1997). Yang merupakan virus RNA
yang mempunyai genom single stranded (ss) dengan polaritas negatif (Tabbu, 2000).
Penyakit ini pertama kali diamati di Jawa pada tahun 1926, pada musim gugur tahun
itu virus menyebar ke inggris dan pertama kali diamati di Newcastle, karena itu
diberi nama demikian (Fanner dkk, 1993). Newcastle Disease dikenal dengan
berbagai nama yaitu Pseudofowl Pest, Pseudovogel Pest, Atypishe Glefulpest,
Pseudopoultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranikhet Disease, Tetelo
Disease (penyakit tetelo), Korean Fowl Plague dan Avian Pneumoencephalitisn
(Tabbu, 2000). Aziatische Vogelpest, Sampar Ayam (Ressang, 1984).
Penyakit Newcastle Disease merupakan penyakit yang sering menyerang
ayam, baik layer ataupun broiler, baik ras maupun buras dan sering dianggap sebagai
penyakit yang menduduki jajaran atas dalam menimbulkan kematian pada ayam
(Marhiyanto, 2000). Biasanya wabah sering terjadi pada saat peralihan musim dari
musim panas ke musim hujan atau sebaliknya yaitu pada saat ayam mengalami
stress. Tingat morbiditas penyakit sangat tinggi yaitu sekitar 90-100% dengan tingkat
mortalitas penderita hampir 100%. Hampir semua jenis unggas (ayam, itik, angsa
termasuk bangsa burung seperti kakaktua, merpati, nuri, beo ) peka terhadap penyakit
ini (Dharma dan Putra, 1997)
Newcastle Disease merupakan suatu penyakit pernafasan dan sistemik yang
bersifat akut dan mudah sekali menular. Pada pengamatan dilapangan menunjukan
bahwa setiap kasus Newcastle Disease selalu ditemukan adanya gangguan
pernafasan dan walaupun dalam bentuk campuran dengan gejala gangguan
pencernaan ataupun syaraf (Tabbu, 2000).
Penularan Newcastle Disease dapat terjadi secara langsung dari ayam sakit
ke ayam peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau
pekerja yang tercemar virus tersebut. Dapat juga terjadi melalui berbagai cara yaitu
lalu lintas ayam terinfeksi, burung peliharaan, burung liar, burung dara, unggas
peliharaan lainnya, hewan lainnya; lalu lintas manusia (pekerja, pengunjung,
pemilik) dan berbagai perlengkapan kandang/peternakan; lalu lintas sarana produksi
16
peternakan dan produk asal unggas (telur, daging , kotoran ayam); pakan dan
minuman tercemar; dan udara tercemar virus Newcastle Disease. Oleh karena itu
pengamatan biologis yang ketat akan sangat besar pengaruhnya dalam mencegah
penularan virus Newcastle Disease dari peternakan satu ke peternakan lainnya,
demikian juga dari satu daerah ke daerah lainnya ( Tabbu, 2000)
Patogenisitas virus ini pada mulanya bereplikasi pada epitel mukosa dari
saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan; segera setelah infeksi, virus
menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum yang menyebaban viremia
sekunder. Mengakibatkan infeksi pada organ sasaran sekunder: paru-paru, usus, dan
sistem saraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak nafas akibat penyumbatan pada
paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak ( Fanner, 1995).
Pendiagnosaan Newcastle Disease adalah dengan melakukan isolasi dan
identifikasi agen penyebab. Isolasi dapat dilakukan secara in vitro pada biakn sel dan
in vivo pada telur ayam beremberio. Selanjutnya antigen dalam cairan alantois telur
ayam beremberio atau biakan sel dapat dideteksi dengan uji hemaglutinasi (HA).
Dengan uji HA dapat diindikasikan adanya agen virus yang mampu mengaglutinasi
sel darah, kemudian untuk memastikan bahwa virus tersebut adalah virus Newcastle
Disease dilakukan uji hambatan hemaglutinasi (HI) menggunakan antiserum ND.
(Santhia, 2003).
17
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1Kesimpulan
Diagnosa sementara yang didasarkan pada data epidemiologi dan gejala
klinik yang muncul pada kasus ini adalah penyakit Newcastle Disease (ND). Setelah
dilakukan pemeriksaan pada beberapa laboratorium untuk meneguhkan diagnosa
tersebut, dapat diketahui dengan pasti bahwa penyebab kematian pada ayam tersebut
adalah virus Newcastle Disease (ND).
Ditemukannya beberapa jenis cacing (Ascaridia galli, Raillietina sp, ) dan
protozoa darah Plasmodium galinaceum sebagai infeksi sekunder saja.
4.2 Saran
1. Ayam yang sakit dieliminasi (dipotong paksa).
2. Ayam yang mati dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.
3. Kandang dan perlengkapannya disucihamakan dengan desifektan.
4. Melakukan tindak karantina ketat terhadap unggas yang diimpor dari negara-
negara endemik.
5. Melakukan program vaksinasi yang teratur dan sesuai prosedur.
18
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, D.M.N dan A.A.G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media Adhi Karsa. Denpasar.
Dharmawan, N.S., 2002, Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Penerbit Universitas Udayana, Denpasar
Fenner, F.J., Gibbs, E>P.J., Murphy, F.A., Root, R., Studert, M.J., White, D.O. (1995). Virologi Veteriner, Edisi Kedua, Terjemahan Pura, D.K.H. IKIP. Semarang.
Rasyaf, M, 1992, Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging, Kanisius, Yogyakarta
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bali Castle Disease Investigation Unit. Denpasar.
Saif, Y.M., 2003, Disease of Poultry, 11th Edition, Iowa State University Press, USA
Santhia, Kt., 2003, Strategi Diagnosa dan Penanggulangan Newcastle Disease, disampaikan pada Seminar Regional Perunggasan 6 Oktober 2003 Universitas Udayana, Denpasar
Schaecter, M., N.C. Englebeig, B.I. Eisenstein, and G. Medoff, 2002, Mechanism of Microbial Disease, 3rd Edition, Lippincott Williams and Wilkins Ltd., USA
Soulsby, E.J.L., 1968, Helmiths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals, 6th Edition, Bailliere Tindall and Cassel Ltd., London
Tabbu, C.R., 2004, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Tabbu, C.R., 2006, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
19
20