Upload
vuphuc
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Wilayah
2.1.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan
yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara
keseluruhan rnenuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Pengertian
pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang
belum ada. Paling tidak menurut Todaro (1999) pembangunan hams memenuhi
tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman
praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan
(sus~enance), jatidiri (sey~esleem) serta kebebasan weedom). Artinya
pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun
internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada
perekonomian, keadaan fisik dan nonfisik (Jayadinata, 1999).
Menurut Todaro ( 1999) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai
suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas
struktur sosial, sikapsikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping
tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan
itu harus mencerrninkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian
sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar
dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di
dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih
baik secara material maupun spiritual.
Sejalan dengan pendefinisian diatas menurut Kadariah (1978) secara
umum tujuan-tujuan dan prinsipprinsip kebijaksanaan pembangunan negara,
antara lain adalah :a) mencapai kenaikan yang cepat daripada pendapatan per
kapita; b) menyediakan kesempatan kerja yang cukup; c) mengadakan redistribusi
pendapatan supaya lebih merata; d) mengurangi perbedaan dalam tingkat
perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antara daerah yang satu
dengan yang lain; e) merubah struktur perekonomian supaya tidak berat sebelah.
Untuk mencapai tujuan tersebut secara operasional perlu dirancang kebijakan
pembangunan yang terintergrasi antara sektor kota maupun sektor perdesaan.
Menurut Anwar dan Setia Hadi (1996), penentuan peranan sektor-sektor
pembangunan diharapkan mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan
sehingga dapat meminimalisasikan inkompabilitas antar sektor dalam
pemanfaatan ruang; mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun
ke belakang dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang
lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumberdaya.
Te jadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut
Anwar (200 1 b), mengarah kan pembangunan wilayah kepada terjadi nya
pemerataan (eqully) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (qflicrency), dan
keberlanjutan (sustamahrlrty) dalam pembanbwnan ekonomi. Konsep
pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam proses
perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ltentukan
oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial,
ekonomi, serta realitas politik.
{ ~ k a l a spaslal yang paralel dan berhubungan dengan hlrarkhl admlntstras! dan
Reglonal
Lokal
i* Temporal
memerlukan terjadinya proses yang berkembang secara evolutlf
yang dapat mempengaruhi kebertanjutan (sustainability)
Aspek-aspek diatas perlu dipetimbangkan agar tindakan
mengarah kepada peningkatan kesejahteraan
masvarakat menveluruh
Ekonoml Sosial L~ngkungan
Sumber : Anwar (2002)
Gambar I. Kerangka Berfikir 3 - Dimensi Tentang Keberlanjutan
Agar perencanaan dan pengelolaan pembangunan mencapai tujuan untuk
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, maka perlu mencurahkan
perhatian kepada semua aspek-aspek tentang kesejahteraan manusia, menurut
lintas waktu dan skala spasial yang diarahkan kepada sistem cara perencanaan dan
pengelolaan pembangunan melalui kelembagaan.
Hal ini dapat dilukiskan oleh matri ks sederhana (Gambar 1 ) untuk
mengevaluasi keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan yang luas tersebut,
menurut segugus nilai-nilai untuk wilayah geografi tertentu (seperti
kelembagaanlorganisasi, wilayah dll) dan rentang waktu jangka pendek,
menengah, dan panjang. Artinya bahwa proses perencanaan dan pengelolaan
pembangunan dan hasil-hasilnya tidak dapat dicapai hanya dengan
memperhatikan salah satu atau beberapa bagan saja dari matriks tersebut,
melainkan harus memenuhi semua aspek-aspek tersebut pada seinua tingkatan
spasial, dan keseluruhan waktu. Sehingga sasaran . terhadap perubahan
kelembagaan yang memerlukan waktu lama adalah ditujukan kepada perbaikan
tingkat kesejahteraan masyarakat dan untuk menjamin stabilitasnya memerlukan
perhatian kepada aspek pemerataannya (Anwar, 200 1 b).
Berdasarkan paradigma pembangunan wilayah, ini dapat mengacu
kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The
Second Fundamental of Welfare Economics). Dalil ini menyatakan bahwa
sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi melalui
transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan
kepada mekanisme pasar. Sedangkan penterjemahan dari paradigma ini kepada
pembangunan spasial adalah untuk mencari keseimbangan kemajuan
pembangunan yang lebih merata secara regional (regional balance) dengan
memanfaatkan potensi dan jenis keunggulan yang terdapat pada masing-masing
wilayah dan mengurangi sampai menghapuskan terjadinya urban bias.
Pembangunan wilayah seperti yang didefinisikan diatas, yaitu untuk
mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek pertumbuhan,
pemerataan dan berkelanjutan memerlukan pengertian perencanaan pembangunan
wilayah berdimensi ruang yang berkait dengan aspek sosial ekonomi wilayah
dimana penekanannya lebih kepada mewujudkan perturnbuhan ekonomi (Anwar
dan Setia Hadi, 1996).
Menurut Anwar (200 1 b) bahwa pertimbangan pembangunan wilayah
membutuhkan pendekatan multidimensi terutama yang menyangkut : 1) peranan
teknologi dalarn produktivitas, 2) pembangunan surnberdaya manusia (terutama
menyangkut pendidikan dan kesehatan), 3) pembangunan fisik infrastruktur
dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, dan 4) pembangunan
administrasi dan finansial (termasuk mendorong partisipasi luas kepada
masyarakat dan memperhitungkan aspek politik-institusional).
Dimensi pembangunan kota dan wilayah tidak hanya bersifat fisik,
melainkan juga meliputi pembangunan ekonomi dan sosial. Kemiskinan
merupakan kendala yang penting dalam pembangunan ekonomi dan keadaan ini
merupakan gejala umum yang terdapat pada wilayah hampir dimana-mana.
Masalah ini termasuk persoalan pokok yang hams dipecahkan dalam
pembangunan wi lay ah. Oleh karena itu, apabila kita tidak mampu mengatasinya,
maka konsekuensi yang timbul adalah bahwa tingkat pendapatan nasional
kebanyakan akan habis dikonsumsi dan karenanya hanya sedikit sisanya untuk
dapat ditabung seh~ngga t~dak ada dana finansial yang dapat membiayai investasi
untuk pembangunan ekonomi (Anwar, 2001 b). Semakin meningkatnya jumlah
pengangguran apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi juga merupakan salah satu
persoalan pokok dalam pembangunan wilayah selain masalah kemiskinan dan
pengangbwran ini bisa mendorong semakin bertambahnya kemiskinan yang
terjadi serta dampak negati f lainnya.
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Jadi pembangunan ekonomi hams
dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan clan saling
mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan
ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga
diketahui runtutan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan
kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap
pembangunan ke tahap pem bangunan beri kutnya.
Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok
yaitu i) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (baslc needs), i i) meningkatkan rasa harga diri (selfesteem) masyarakat
sebagai manusia, dan iii) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih
VPeedom from servrtude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia
(Arsyad, 1999).
2.1.2. Definisi, Karakteristik Industri Kecii, dan Peranan Industri
Bedasarkan krlteria yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
maka perusahaan industri pengolahan di Indonesia di bagi ke dalam empat
kategori, yaitu
a Industri kerajinan rumah tangga : usaha industri yang mempunyai tenaga
kerja 1 - 4 orang.
b lndustri kecil : usaha industri yang mempunyai tenaga kerja 5 -19 orang.
c Industri sedang : usaha industri yang mempunyai tenaga kerja 20 - 99
orang.
d Industri besar : usaha industri yang mempunyai tenaga kerja L 100 orang
Pengkategorian tersebut lebih didasarkan pada banyaknya tenaga kerja
yang terlibat didalam proses produksi tanpa memperhatikan penggunaan mesin
produksi serta tidak memperhatikan model kapital yang digunakan. Sedangkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.589/MPP/KEP/10/1999, pengertian industri kecil adalah suatu kegiatan usaha
industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp.200.000.000,00 tidak
termasuk tanah clan bangunan tempat usaha (http://www.Dprin.go.id/idkm).
Disamping kategori yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan
untuk membedakan industri kecil dengan jenis industri lainnya, maka untuk
memberikan suatu perbedaan yang jelas diantara jenis industri, Tambunan (2000)
menjelaskan bahwa industri kecil dapat dibedakan dengan industri lainnya
berdasarkan karateristik yang dimiliki oleh masing-masing jenis industri tersebut.
Walaupun memproduksi barang-barang yang sama dengan yang diproduksi oleh
industri menengah dan besar, namun ada perbedaan baik secara alamiah maupun
rekayasa, misalnya dalam ha1 warna, selerafpola konsumsi, rasa, packmng, harga
atau pelayanan.
Industri kecil mempunyai kedudukan yang lemah karena sebagian besar
usahanya bersifat perorangan tidak berakta notaris, dan secara ekonomis
mempunyai posisi tawar yang lemah dalam pasar karena sifat usahanya yang tidak
terorganisir. Para pengusaha industri kecil kurang menyadari pentingnya
organisasi ekonomi seperti koperasi atau asosiasi sebagai sarana untuk
menggalang kekuatan usaha bersarna, tetapi lebih suka bekerja sendiri-sendiri
bahkan kadang-kadang menjurus pada kompetisi yang merugikan, bahkan saling
mematikan atau cut throat competition.
Menurut Thoha (2000), ada enam faktor yang menjelaskan eksistensi
industri kecil, yaitu : pertama, dampak transportasi dimana biaya transportasi
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap biaya tataniaga untuk jenis barang
tertentu atau pada tingkat retail ; kedua adalah pengaruh ukuran; ketiga adalah
pengaruh penyesuaian dimana perusahaan kecil lebih mudah melakukan
penyesuaian pada output dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan
perusahaan besar karena mereka lebih padat karya atau menggunakan peralatan
yang lebih sederhana; keempat adalah efektifitas, sebagai contoh pakaian yang
diproduksi secara massal dengan harga yang lebih murah, nilainya akan lebih
rendah bagi sebagan konsumen dibandingkan dengan pakaian yang dijahit secara
khusus oleh penjahit kecil; kelima adalah pengaruh pengendalian dimana biaya
pengendalian untuk industri kecil lebih rendah dibanding industri besar terutama
industri yang berhubungan dengan seni atau kerajinan dan membutuhkan
perlakuan yang khusus; keenam adalah berkaitan dengan perubahan dalam
teknologi dan globalisasi.
Industri kecil mempunyai peran yang penting dan strategs dalam sistem
perekonomian Indonesia, khususnya dalam penyediaan usaha dan kesempatan
kerja ; meningkatkan pendapatan masyarakat dan peningkatan ekspor
perindustrian serta menguatkan struktur industri dan mengurang terjadinya
kemiskinan. Industri kecil di Indonesia yang menghasilkan barang-barang
kerajinan dan barang-barang konsumsi berjaian dengan baik dan dapat memenuhi
pasar ekspor dan domestik sehingga dapat mengantisipasi era globalisasi dan era
perdagangan bebas (Wiyatiningsih, 2000). Berdasarkan prioritasnya dapat
diklasifikasikan dalam kategori, yaitu sebagai beri kut :
a) Industri kecil tradisional yang menghasilkan barang kerajinan.
b) Industri kecil yang menghasilkan barang-barang konsumsi.
c) Industri kecil moderen yang menghasilkan komponen-komponenlperalatan
tehnik untuk keperluan produksi dari sektor industri, seperti industri sub-
kontrak/penyangga/tehnik dalam memenuhi kebutuhan dari mesin dan
peralatan.
Salah satu peranan penting industri kecil adalah keterkaitan yang sangat
kuat terhadap industri hulu (buckwurd Imhge) karena sebagian besar bahan
bakunya berasal dari dalam negeri sehingga secara tidak langsung telah berperan
besar dalam pengembangan industri hulu dan sekaligus menghemat devisa
(Thoha, 1997). Disamping itu industri kecil mempunyai peranan yang strategis
dalam menunjang perekonomian nasional yaitu dalam usaha pemerataan dan
penyebaran industri sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan, berperan
dalam menunjang pertumbuhan agroindustri yang mengolah hasil pertanian
menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi (Simatupang,
1994).
2.1.3. Teori Basis Ekonomi : Location Quotient (LQ)
Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis dan
bukan basis digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas &lam suatu wilayah.
Adapun kegiatan ekonomi suatu wilayah dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor
basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk
pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayahldaerah. Sedangkan sektor non
basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di
daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.
Asumsi &lam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran
secara geografi dan produktivitas tenaga keja seragam serta masing-masing
industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran
dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan
sumberdata yang tersedia (Blakely, 1994; Rondinelli, 1995). Jika penelitian
dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan
kesempatan keja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran
adalah jumlah tenaga keja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan
pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat
sedangkan jika hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga
menunjukkan efisiensi relatif wilayah , serta terfokus pada substitusi impor yang
potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan
suatu gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang
tersebar (Shukla, 2000).
Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis
akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada
gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan
permintaan hasil industri non basis (Kadariah, 1978). Hal ini berarti kegiatan
industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (prime mover role), dimana
setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multrplier
effect) terhadap perekonomian wilayah.
Untuk melihat perkembangan suatu wilayah dapat diketahui dari efek
pengganda yang terbagi atas efek pengganda pendapatan dan efek pengganda
tenaga kerja, dimana penetapan jenis efek pengganda itu sendiri sangat tergantung
dari indikator yang akan digunakan. Umurnnya indikator yang digunakan adalah
pendapatan dan tenaga kerja. Menurut Blakely (1994) Pengganda pendapatan itu
sendiri merupakan aproksimasi terbaik untuk mengetahui potensi perubahan
kesejahteraan dari suatu aktivitas ekonomi baru. Asumsi dasarnya bahwa suatu
perubahan di sektor produksi akan menghasilkan peningkatan pendapatan
masyarakat. Sedangkan pengganda tenaga kerja bertujuan penciptaan sejumlah
pekerjaan baru yang diciptakan oleh aktivitas ekonomi baru dalam masyarakat.
2.2. Kelayakan Usaha Pengembangan Komoditas dalam Kaitannya dengan Pem bangunan Wilayah
2.2.1. Kelayakan Finansial
Menurut Gittinger (1982) aspek finansial terutama rnenyangkut per-
bandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earnings) dari industri
pengolahan gula kelapa, serta waktu didapatkannya hasil (returns). Untuk
mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya suatu
aktivitas industri pengolahan gula kelapa maka dikembangkan berbagai kriteria
yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu
tingkat harga mum tetap yang diperoleh industri pengolahan gula kelapa yang
menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur
industri tersebut.
Cara penilaian industri jangka panjang yang paling banyak diterima
dengan menggunakan Discounted Cash Flow AnuEysis (DCF) atau Analisis Aliran
Kas yang Didiskonto (Gittinger, 1982). Analisis DCF mempunyai keunggulan
yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu, yang merupakan ciri-ciri yang
membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah
direncanakan untuk menilai harga suatu industri pengolahan gula kelapa dengan
memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai
(cash flow). Dimana biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan
pendapatanlpenerimaan sebagai positive cash flow. Suatu asumsi kunci yang
dipakai adalah bahwa uang yang ada sekarang lebih berharga dari jurnlah uang
yang sama di masa yang akan datang. Nilai uang untuk waktu mendatang yang
dihitung dengan bunga adalah nilai uang yang telah direncanakan, Qmana proses
perhi tungannya disebut compounding (pemajemukan). Sedangkan faktor untuk
mengkonversi nilai masa depan ke nilai sekarang disebut discount rate dan
prosesnya disebut discounting. Sehinga discount rate terjadi dimana nilai
sekarang dari biaya dan manfaat akan sama dengan IRR. Oleh karena itu dalam
menilai suatu industri pengolahan gula kelapa yang menggunakan discounted cash
flow analysis didasarkan atas tiga hteria kinerja keuangan berikut (Darusman,
1981 ; Gittinger, 1982 ;), yaitu :
Net Present Value ( N P V )
NPV merupakan merupakan nilai sekarang dari suatu industri gula kelapa
yang dikurangi dengan biaya sekarang dari suatu industri gula kelapa pada tahun
tertentu. Seleksi formal terhadap NPV untuk mengukur nilai suatu industri
pengolahan gula kelapa bila NPV industri pengolahan gula kelapa bernilai positif
bila didiskonto pada Social Opportunity Cost of Capital. Dimana bila nilai NPV
> no1 (positif) maka industri tersebut diprioritaskan pelaksanaannya (tanda "GO'I).
Apabila besarnya NPV sama dengan no1 berarti industri tersebut mengembalikan
persis sebesar social opportunity cost of capital. Sedangkan apabila besarnya NPV
< no1 (negatif) maka sebaiknya industri ditolak dan sekaligus mengindikasikan
ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan bagi sumber-sumber yang
diperlukan industri.
Internal Rate of Return (IRR)
Cara lain untuk penggunaan aliran kas yang terdiskonto untuk menilai
suatu industri gula kelapa adalah dengan menentukan discount rate dimana NPV
aliran kas sama dengan Nol, dan bencjt cost rutro sama dengan satu 1)r.scourtt
rate ini disebut IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat industri
pengolahan gula kelapa akan mengembalikan semua investasi selama umur
industri gula kelapa. Suatu industri pengolahan gula kelapa akan diterima bila
IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of'capital atau lebih besar dari suku
bunga yang didiskonto yang telah ditetapkan, dan sebaliknya industri pengolahan
gula kelapa itu akan ditolak . Biasanya untuk menghitung besarnya IRR dilakukan
dengan trial and error dengan nilai suku bunga (i) tertentu yang dianggap
mendekati nilai IRR yang benar dan selanjutnya menghitung NPV dari arus
pendapatan dan biaya. Jika nilai IRR lebih kecil dengan nilai suku bunga (i) yang
berlaku sebagai social discout rate, maka NPV industri pengolahan gula kelapa
besarnya < no1 (negatif) artinya industri pengolahan gula kelapa sebaiknya tidak
dilaksanakan. Sedangkan, jika nilai IRR > dari social discount rate maka industri
pengolahan gula kelapa dapat dilaksanakan.
Net Benefit Cost Ratio (NBC ratio)
BC rasio dipakai secara eksklusif untuk mengukur manfaat sosial dalam
analisis ekonomi dan jarang dipakai untuk analisis investasi private. BCR sendiri
merupakan cara evaluasi industri pengolahan gula kelapa dengan
membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu industri
pengolahan gula kelapa dengan nilai sekarang seluruh biaya industri pengolahan
gula kelapa. Diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil diskonto pendapatan
dengan jumlah hasil diskonto biaya. Kriteria yang digunakan adalah Jika BCR > 1
berarti NPV > 0 dan memberikan tanda "GO" untuk suatu industri pengolahan
gula kelapa. Sedangkan apabila BCR < 1 berarti NPV < 0 dan memberikan tanda
"NO GO" untuk suatu industri pengolahan gula kelapa.
2.2.2. Kelayakan Ekonomi
Analisis ekonomi ditujukan untuk mengestimasi nilai ekonomi industri
pengolahan gula kelapa terhadap perekonomian masyarakat. Dalam analisis
ekonomi dilakukan penyesuaian harga finansial agar dapat menggambarkan nilai
sosial secara menyeluruh baik untuk input maupun output industri gula kelapa.
Harga pasar barang atau jasa diubah agar lebih mendekati opportunity cost (nilai
barang atau jasa dalam alternatif pemanfaatan yang terbaik) sosial yang
merupakan harga bayangan (shadow prrce/accounting prrce) . Atau lebih tepat
lagi dikatakan bahwa harga bayangan adalah setiap harga barang atau jasa yang
bukan merupakan harga pasar (belum diketahui), untuk menggambarkan distribusi
pendapatan dan tabungan masyarakat (Chandra, 1980 ; Gittinger, 1982 ; Kadariah,
1988).
Dalam analisis ekonomi harga pasar tidak selalu menggambarkan nilai
kelangkaan industri gula kelapa, sehingga pendapatan nasional berubah nilainya
menjadi opportunity cost. Ada beberapa cam untuk menyatakan nilai ekonomi
tersebut kedalam nilai tukar domestik 1) menggunakan harga bayangan nilai tukar
luar negeri (shadow price of foreign exchange), yang akan meningkatkan nilai
produk yang diperdagangkan karena muncul premium terhadap nilai tukar luar
negeri yang disebabkan oleh kebijakan perdagangan, dan 2) lnenggunakan nilai
tukar resmi dan menerapkan faktor konversi terhadap opportunity cost atau nilai
pemanfaatan barang yang tidak diperdagangkan yang dinyatakan ke dalam nilai
tukar domestik2. Faktor konversi tersebut akan mengurangi nilai barang yang
tidak diperdagangkan relatif terhadap barang yang diperdagangkan yang
* Dalam con~/)e/itir~e nlurket yang menganut sistem.floathig rate rezime seperti Indonesia, maka murket prices (input dan output) juga merupakan ecoriomic values. Namun menurut Robert J Brent ( 1998) terdapat sejumlah alasan mengapa market prices di negara berkembang sering tidak rnenggambarkan social retimr antara lain market prices meningkat lebih cepat di negara berkembang, tingkat inflasi cukup tinggi sehingga nilai mata uang overvaluation, upah ditetapkan
memungkinkan adanya premium nilai tukar. Oleh karena analisis finansial
maupun analisis ekonomi menggunakan pendekatan yang berbeda, tentunya akan
membutuhkan perhitungan yang berbeda pula. Tabel 1. berikut merinci unsur-
unsur yang membedakan kedua alat analisis tersebut.
Tabel 1. Unsur - Unsur Perbedaan Dalam Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi
PERBEDAAN ANALISIS
No. UNSUR FINANSIAL EKONOMI
HARGA Harga yang dipakai adalah harga yang berlaku setempat (market price) atau harga yang diterima pengusaha
SUBSIDI Besamya subsidi menambah manfaat industri gula kelapa
PAJAK Besamya pajak diperhitungkan dalam biaya industri gula kelapa
UPAH TENAGA Upah yang digunakan adalah KERJA upah yang berlaku setempat
BUNGA MODAL Bunga modal dibedakan atas : Bunga yang dibayarkan kreditor dianggap biaya Untuk bunga modal tidak
- dianggap biava
Harga yang dipakai adalah harga bayangan (shadow price) , yang merupakan opporlunity cost
Subisidi merupakan biaya. Harga pasar harus disesuaikan untuk menghilangkan pengaruh subisidi. Jika subsidi menurunkan harga barang-barang input, maka besamya subsidi harus ditarnbahkan pada harga pasar barang-barang input
Pajak tidak diperhitungkan dalam biaya industri gula kelapa, karena merupakan transfer payment
Upah yang digunakan adalah upah bayangan (shadow wages), yang merupakan opportunity cost.
Besarnya bunga modal biasanya tidak dipisahkanJ dikurangkan dari hasil kotor, atau tidak diperhitungkan dalam biaya.
2.2.3. Kelayakan Pemasaran
Tingkat etisiensi sistem tataniaga dapat diukur antara lain dengan
pendekatan indikator marjin tataniaga, harga yang diterima penderes dan
keterpaduan pasar secara vertikal (Nancy, 1988). Indikator marjin tataniaga
didasarkan pada konsep efisiensi operasional yang menekankan pada kemampuan
atas pertimbangan kelembagaan bukan kekuatan pasar, serta distribusi pendapatan yang lebih tidak merata, dan capital marker yang terfragmentasi di negara berkembang.
meminimumkan biaya-biaya yang digunakan untuk mengerakkan komoditi dari
produsen ke konsumen atau meminimumkan biaya untuk melakukan fungsi-
fungsi tataniaga. Sementara marjin tataniaga (marjin distribusi) merupakan
perbedaan antara harga yang diterima penderes dengan harga barang bentuk akhir
yang dibayar konsumen akhir atau kumpulan balas jasa yang diterima oleh pelaku
tataniaga.
Fluktuasi harga komoditi yang diterima oleh produsen akan ditentukan
oleh perkembangan harga di tingkat konsumen, maka untuk mengukur efisiensi
tataniaga menurut Azzaino (1981), digunakan elastisitas transmisi harga , yaitu
semakin besar nilai elastisitas transmisi harga maka semakin efisien sistem
tataniaga tersebut. Secara matematis persamaan elastisitas transmisi harga (E,)
adalah sebagai berikut :
Parameter tersebut dapat diduga dengan menggunakan model regresi linier
sederhana sebagai berikut :
dimana :
pf = Harga di tingkat produsen (Rplkg)
p, = Harga di tingkat konsumen (Rplkg)
ho = Konstanta; bl = Koefisien regresi; e,= galat.
Jika El sama dengan satu berarti laju perubahan harga di tingkat produsen sama
dengan laju perubahan harga di tingkat konsumen. Jika El lebih kecil dari satu
berarti laju perubahan harga di tingkat produsen lebih kecil dari laju perubahan
harga di tingkat konsumen. Hal ini menunjukan adanya kekuatan monopsoni atau
oligopsoni pada lembaga tataniaga, sehingga biasanya kenaikan harga yang terjadi
hanya dinikrnati oleh lembaga tataniaga. Jika El lebih besar dari satu berarti laju
perubahan harga di tingkat produsen lebih besar dari laju perubahan harga di
tingkat konsumen.
Sedangkan indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi
suatu kelembagaan tataniaga yaitu dengan keterpaduan pasar secara vertikal
(vertikal market intergration). Indikator ini menunjukkan sejauh mana harga di
tingkat penderes di pasar lokal dipengaruhi harga pada tingkat konsumen . secara
dinamis dengan menggunakan Lag operator indikator tersebut dapat diukur
dengan menggunakan rumus berikut :
Pji - Pji - I = do + d~(Pfi - I - Prt - I ) + d2(Prr - Prr - I ) + d3(lJrt - 11 + et ( 2.1.2)
dimana :
Pj = Log harga produk di tingkat penderes pada saat t
P, = Log harga produk di tingkat konsumen pada saat t
dl = Koefisiesn regresi
,, = Kesalahan acak
setelah diperoleh koefisien regresi dari persamaan tersebut, persamaan tadi
disusun kembali untuk memperjelas interpretasi dari koefisien regresi yang
diperoleh menjadi persamaan berikut:
Pfr = do + ( I + d1)Pft - I + dz(Prt - Prt - I ) + d3(Prt - I ) (2.1.3 )
Sehingga jelas terlihat bahwa koefisien ( I ~ d d dan (d3-dJ masing-masing
merefleksikan kontribusi dari pergerakan harga di pasar lokal dan harga di pasar
sentral terhadap pembentukan harga tingkat penderes di pasar lokal. Selanjutnya
informasi ini dapat digunakan untuk menghitung index of Market Integration yang
menggambarkan perbandingan dari koefisien pasar di tingkat penderes dengan
koefisien pasar sentral melalui persamaan berikut :
Jika IMC < 1 menunjukkan adanya intergrasi pasar yang tingg dalam arti bahwa
harga di pasar sentral memiliki pengaruh dominan terhdap pembentukan harga di
pasar lokal. Dalam kondisi ekstrim bila nilai dl = -1 sehingga diperoleh nilai IMC
= 0, maka faktor-fakor lokal sarna sekali tidak memililu pengaruh terhadap
pembentukan harga pada tingkat penderes di pasar lokal. Sebaliknya jika
diperoleh nilai IMC > 1 maka kondisi lokal memiliki pengaruh yang dominan
terhadap pembentukan harga di pasaran lokal.
2.2.4. Kaitan Pengem bangan Usaha dengan Pem bangunan Wilayah
Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang
membedakan keadaan antar suatu wilayah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan
kondisi dan potensi wilayah tersebut dilihat dari segi biogeofisik, sosial, ekonomi,
dan budaya, serta kelembagaan, dan sekaligus mengindikasikan adanya
keterbatasan yang dihadapi oleh setiap wilayah dalam upaya memacu
pembangunannya. Perbedaan ini menuntut adanya strategi pengelolaan
sumberdaya dalam pembangunan di setiap wilayah yang bersifat spesifik.
Oleh karena itu, pengembangan usaha hams berbasis pada potensi
sumberdaya domestik, terutama sektor - sektor primer, seperti pertanian serta
sektor-sektor sekunder dan tersier sebagai pendukung . Artinya masing-masing
wilayah memiliki berbagai fungsi sesuai potensi yang dimiliki. Sehingga
pengembangan usaha tersebut yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif tersebut dapat tumbuh dan berkembang mendukung aktivitas dan
perkembangan ekonomi wilayah. Namun sebagai suatu sistem yang dinamis,
tentunya pengembangan usaha memiliki perilaku tersendiri dan dapat berinteraksi
antara satu dengan lainnya, sehingga perlu di identifikasi berbagai keunggulan
yang dimiliki. Keunggulan tersebut meliputi produksi, produktifitas maupun
luasan produksi, pemasaran, penduduk, tenaga ke ja, dan akses terhadap fasilitas
infrastruktur. Artinya bahwa pengembangan usaha dengan memanfaatkan
seoptimal mungkin potensi sumberdaya lokal. Sehingga diharapkan secara
kumulatif, pengembangan usaha tersebut akan menciptakan berbagai peluang
serta spuliul mulliplier yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan
wilayah seperti peningkatan produk lokal dan perrnintaan lokal, penyerapan
tenaga kerja, tumbuhnya industri hulu dadatau industri hilir lainnya serta
aktivitas sektor jasa bai k formal maupun informal.
2.3. Industri Kecil dan Kelembagaan Tradisionai
2.3.1. Opsi Kelembagaan
Dengan penekanan terhadap suatu sistem perekonomian, maka Pakpahan
1989; Hayami dan Ruttan 1987) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan
suatu sistem organisasi, dan kontrol terhadap transaksi sumberdaya. Aspek
kelembagaan menjadi sangat penting dalam menunjang keberhasilan
pembangunan, pentingnya aspek kelembagaan telah diungkapkan oleh Hayami
dan Ruttan (1987) yaitu keterkaitan antara resource endowments, cultural
endowments, technology dan institutions atau dalam istilah Johnson (1 9 85)
disebut sebagai four prime movers. Sehingga apabila satu atau lebih dari keempat
faktor itu tidak tersedia atau tidak sesuai maka tujuan pencapaian kineja akan
tidak tercapai.
Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang
mendasari keputusan untuk berproduksi, investasi dan kegiatan ekonomi, yang
didalamnya terdapat kaidah-kaidahlaturan-aturan baik formal maupun informal
yang mengatur perilaku dan tindakan individu dalam mencapai tujuan yang ingin
dicapai (Schmid, 1987;Mubyarto, 1989; Pakpahan, 199 1 ).
Menurut Anwar (2000) menyatakan bahwa sering terjadi kesalahpahaman
bahwa kelembagaan identik dengan sistem organisasi. Dalam khasanah ekonomi
kelembagaan organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambilan keputusan
yang didalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main dan organisasi,
yang berperan penting dalam mengatur penggunaanlalokasi sumberdaya secara
efisien, merata, dan berkelanjutan (sustarnable).
Guna mencapai tingkat pemerataan dan efeisiensi sehingga tidak terjadi
kemubaziran pemanfaatan sumberdaya secara optimal, adalah perlunya
pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap peke rja dapat bekerja
secara profesional dengan produktivitas yang tingg. Pengembangan broad base
diverszjkation yang mengarah kepada spesialisasi ekonomi, diharapkan memacu
peningkatan efisiensi, distribusi tataniaga, dengan produktivitas yang semakin
tinggi.
Suatu aktivitas ekonomi dikatakan efisien, apabila sejumlah input tertentu
menghasilkan maksimum output, atau sejurnlah output tertentu dicapai dengan
input minimal. Sementara suatu proses produksi dikatakan efisien apabila dengan
biaya tertentu dicapai keuntungan maksimal. Mengingat sumber inefisiensi tidak
hanya disebabkan oleh biaya produksi semata tetapi juga oleh biaya transaksi
yang tinggi, sehingga menyebabkan biaya untuk mencapai tingkat keuntungan
tertentu menjadi sulit. Oleh karena itu komponen biaya transaksi sebagai
komponen yang tidak kalah pentingnya dari komponen biaya produksi perlu
dipertimbangkan dalam ekonomi pertukaran (exchange economy). Menurut
Dahlman (1979) ; Gray (1991) biaya transaksi meliputi 1) biaya informasi, 2)
biaya pengawasan, dan 3) biaya pengambilan keputusan .
Pada keadaan dimana terdapat keragaman kualitas, dan sinyal harga tidak
memberikan informasi yang sempurna maka aturan tentang standarisasi, grading,
informasi pasar, atau komunikasi dalarn kelembagaan tataniaga akan sangat
menentukan biaya transaksi terutama biaya informasi. Lemahnya penguasaan
teknologi, sumber keuangan serta terbatasnya informasi yang dikuasai oleh
penderes maupun pengusaha industri kecil pengolahan hasil pertanian,
mengakibatkan te rjadinya struktur informasi yang asimetrik antara penderes dan
lembaga tataniaga lainnya. Infonnasi asimetrik yang di~naksud disini bahwa
informasi itu tersedia ,namun distribusinya kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi ekonomi tidak merata. Dengan demikian pendekatan
kelembagaan yang ditempuh hams dapat mengurangi kendala informasi tersebut,
sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi dapat memperoleh nilai
tambah yang lebih besar.
Menurut Anwar (1998) adanya informasi yang asimetrik akan mendorong
individu atau kelompok menentukan pilihan apakah transaksi dilakukan dalam
sistem kelembagaan market atau dalam sistem kelembagaan non-murket, yang
tentu saja akan ditentukan oleh nilai dari biaya transaksi.
Dua dimensi tentang biaya transaksi yang dikemukakan oleh Williamson
(1985) , meliputi frictronlessness dan explrcalron. f~rrctronlessness merupakan
biaya yang berhubungan dengan friksi secara fisik dari barang atau komoditas
yang ditransaksikan. Sedangkan explrcutron menyangkut biaya yang berhubungan
dengan enforcemen[ dari properly rrghls dalam suatu kontrak. North (1 99 1 )
bependapat bahwa biaya transaksi berhubungan dengan pengukuran atribut-atribut
dari sesuatu yang dipertukarkan, mempertahankan hak-hak penguasaan serta
enforcemen1 dari suatu persetujuan yang telah disepakati.
Secara lebih rinci biaya transaksi sebagaimana diungkapkan oleh Bardan
(1989), Gray (1994) dan Hobbs (1997) meliputi biaya informasi, biaya negosiasi,
biaya koordinasi, dan biaya monitoringhiaya enfi~rcement. Biaya informasi
bersifat ex-ante pada suatu pertukaran termasuk didalainnya biaya untuk
memperoleh harga , kualitas produk, serta biaya menentukan initra dalam
pertukaran yang sering menjadi persoalan buruknya pilihan (adverse selection).
Biaya negosiasi meliputi biaya untuk melakukan transaksi secara fisik termasuk
biaya komisi, biaya negosiasi syarat-syarat kontrak pertukaran dan biaya membuat
kontrak formal. Biaya monitoring timbul secara ex-post dari suatu pertukaran
meliputi biaya pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak seperti standar
kualitas produk dan cara pembayaran, akibatnya muncul persoalan bahaya moral
(moral hazard). Sehingga dapat disimpulkan bahwa biaya agency secara implisit
merupakan bagian atau komponen dari biaya transaksi itu sendiri.
Konsep biaya transaksi didasarkan atas asumsi bahwa manusia bersifat
rasional terbatas (bounded rationality) dalam menentukan pilihannya
(Williamson, 1994), perilaku ini timbul sebagai akibat dari kompleksitas
lingkungan dan masalah yang dihadapi sehingga menimbulkan ketidakpastian
yang tinggi. Dimana ketidakpastian itu sendiri timbul karena ketidaksempurnaan
infonnasi yang diterima serta keterbatasan kemampuan individu untuk mengolah
informasi yang diterima, sebagai akibatnya individu cenderung bersikap
opportunistic. Menurut Anwar (1997), awalnya memang perilaku individu itu
bersifat rasional, tetapi untuk melakukannya individu tersebut menghadapi
keterbatasan terutama kemampuannya memproses informasi. Untuk mengatasi
diperlukan peran kelembagaan yang berfungsi sebagai unsur pendukung informasi
untuk menyediakan pengetahuan dalarn menjalin hubungan interpersonal sehi ngga
mampu mengimbangi kekurangan individu tersebut.
Dengan tingkat keragaman lingkungan yang sangat tinggi, maka suatu
kelembagaan menurut Anwar (1999) akan bersifat spesifik tipologi perekonomian
wilayah , yang paling tidak harus mempertimbangkan tiga ha1 1) karateristik fisik
yang menjadi lingkup kelembagaan, 2) karateristik peserta dan 3) aturan-aturan
kelembagaan.
Kunci pemahaman terhadap ekonomi biaya transaksi menurut Hobbs
(1997) ceteris paribus, koordinasi vertikal antara tiap tahapan produksi,
pengolahan dan rantai distribusi yang berjalan dalam keadaan biaya transaksi
yang paling efisien. Menurut Anwar (2000) sistem koordinasi organisasinya lebih
efisien untuk menentukan pilihan mengenai bentuk organisasi ekonomi, yaitu
sistem pasar atau organisasi ekonomi lainnya, didasarkan atas besar kecilnya
biaya transaksi.
Terdapat beberapa pilihan strategi dalarn kemitraan usaha menuju integrasi
vertikal. sehingga dalam konteks kelembagaan pengukuhan atas keputusan yang
diambil akan menimbulkan ongkos dalam artian uang dan bukan uang. Ongkos
tersebut dapat muncul dalam tiga bentuk transaksi yaitu transaksi melalui pasar,
transaksi melalui komando/administratif, dan transaksi melalui hlbah karena
adanya suatu transaksi. Sehingga jenis transaksi yang dipilih akan sangat
tergantung dari besarnya ongkos produksi yang dkeluarkan untuk menghasilkan
suatu keputusan. Strategi yang dimaksud adalah :
Sistem pasar (spot/cash market), dimana dua aktor yang melakukan
pertukaran (exchunge) secara eksklusif dicapai melalui landasan yang
menyandarkan pada mekanisme pengendalian (control) secara eksternal
(peranan harga).
Sistem kontrak (contract system), mekanisme untuk koordinasi sebagian telah
menjadi internal kepada hubungan-hubungan pertukaran (exchange
relationship). Pihak-pihak aktor yang terlibat dalarn kontrak harus saling
menyetujui di antara mereka tentang spesifikasi hubungan kontrak yang
di buat, tetapi hubungan-hubungan pertukaran masih dikendalikan sebagian
oleh kekuatan eksternal yang menentukan hubungan dalam arti bahwa
spesifikasi telah disetujui sehingga pemaksaan akhir (ultimate enforcement)
dari kinerja sistem diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu pihak eksternal yang
mewakili sistem legal (aksi hukum).
Aliansi strategis (strategic alliance), didefinisikan sebagai suatu hubungan
pertukaran dimana pengusaha-pengusaha terlibat menghadapi resiko dan
keuntungan yang muncul dari tujuan-tujuan bersama. Hubungan pertukaran
yang strategic alliance adalah dimana organisasi tersebut harus menunjukkan
tiga karakteristik, yaitu dapat didentifikasi adanya tujuan bersama,
pengendalian (control) bersarna dalam proses pengambilan keputusan, dan
secara bersama mau menanggung resikoharapan keuntungan bersama.
Mekanisme koordinasi didasarkan atas adanya kesepakatan bersama dari
berbagai pihak-pihak yang terlibat dalam aliansilpersekutuan tersebut dan
secara sibmi fi kan strategic alliance dipandang sebagai "wilayah netral" yang
berada diantara pengendalian internal dan eksternal terhadap koordinasi.
Koperasi formal (formal cooperation), berbeda dengan aliansi strategis karena
adanya organisasi secara formal pada koperasi. Koperasi disini untuk
pertama kalinya dalam kontinum adanya struktur organisasi formal yang
memungkinkan untuk melakukan pengendalian ke dalam (organisasi). Pada
koperasi ada saham modal yang ditanamkan (mvest) yang memungkinkan
adanya hak-hak untuk turut dalam menentukan keputusan dan tanggung jawab
yang lebih jelas dibanding dengan persekutuan pada strategrc allrance. Kunci
dalam memahami koordinasi pada koperasi adalah terletak pada pengendalian
internal pada organisasi koperasi itu dimana pengendalian itu terdesentralisasi
kepada pihak-pihak pemilik dan para pemilik koperasi itu mempertahankan
identitasnya secara terpisah, dimana apabila mereka tidak menginginkan satu
persyaratan pertukaran, mereka dapat keluar untuk menghindarinya.
Integrasi vertikal (vertrcal integratron), tidak hams dimiliki oleh kepemilikan
tunggal dari organisasi ini, tetapi pengendaliannya dilakukan secara terpusat
(centralrzed control). Mekanismenya adalah sistem koordinasi (vertrcul
rntegratron) yang terpusat dimana dalam organisasinya mempunyai bentuk
hirarki yang mempunyai batas-batas kewenangan tertentu, yang mempunyal
sistem pengaturan dalam suatu sistem organisasi yang tunggal. Dengan
demikian organisasi integrasi vertikal harus memenuhi persyaratan adanya
pengambilan keputusan yang terpusat (centrulced decrsron mukrng).
Implementasi setiap strategi beserta sistem pengendaliannya terhadap pilihan
sistem pasar atau organisasi ekonomi lainnya perlu disesuaikan dengan
kekuatan modal yang dimiliki dan kondisi internal organisasi.
Sistem pengendalian yang semestinya diterapkan pada masing-masing
strategi agar setiap pilihan dapat berjalan secara optimal adalah melalui : i)
Eksternal via harga dan pembakuan kualitas, ii) Eksternal via spesifikasi dan
ikatan legal, iii) Saling kontrol, iv) Internal via struktur terdesentralisasi, dan v)
Internal via struktur tersentralis.
I Pilihan-pilihan Stmtegi Ke Arah Koordinasi Vertikal I
Sistem Koperasi Integrasi I / Konhk I S%:iis / Formal I Vertibl /
Karak Teristik
koor Dinasi
dari bnisible
hand
Sistem Pengendalian
Ekstemal via Harga Dan
Pembakuan Kualitas
Karakteristik Koordinasi
Ynng Dikelola
Kepentingan Sendiri
Hub.Jangka Pendek
Ada KeterBatasan
& Perilaku
Oportunistik
Keterbatasan Distribusi Informasi
Lebih Fleksibel
Independen
Gambar 2. Spektrum Kontinurn dari Kemungkinan Bentuk-Bentuk Organisasi Ekonomi Mulai dari Sistem Pasar Sarnpai Kepada Organisasi Berhirarki Secara Terintegrasi Secara Vertikal.
Eksternal via
S~sif ikas i Dan
Ikatan
Catatan : Garis diagonal mencerminkan percampuran (mixed) dari peranan harga sebagai rnvrsrble hand dan karakteristik organisasi yang dikelola secara koordinasi yang terdapat dalam kelima alternatif strategis untuk koordinasi integrasi vertikal. Areal diatas diagonal menunjukkan tentang taraf relatif dari karaktenstik invisible hand dan area di bawah diagonal menunjukkan taraf relatif dari karakteristik koordinasi integrasi vertikal yang dikelola.
f f
f
t
f f
f f
f f
t f
f t
f
.** ****
f f
Kcpentingan Bersama
Hub. Jangka Panjang
PcmBagian Keuntungan
PemBagian Informasi Terbuka
Lebih Stabil
Interdependen
Saling Mengon trol satu
sama lain
Internal Via
Struktur Terdesen Tralisasi
Internal via
Struktur Terse11 tralisasi
Menurut Anwar dan Siregar (1993) terjadinya sistem kontrak antara penderes
dengan pedagang atau tengkulak baik secara formal atau kebanyakan informal
merupakan alternatif instrumen untuk mengurangi biaya transaksi , mencegah
terjadinya kerusakan moral (moral hazard) dan kemungkinan kesalahan dalam
menseleksi resiko (adversely selection of risk ). Ikatan kontrak seperti
memberikan kredit tanpa bunga, penderes maupun industri kecil pengolahan hasil
pertanian dimaksudkan untuk menjamin kepastian volume pasokan bahan baku
(menghindari resiko) sehlngga peluang terjadinya masalah under capacity dan
perilaku oppurtunistic dapat ditekan. Disisi lain tindakan pemberian pinjaman
pendahuluan berupa uang tunai atau natura menjadi motivasi penting bagi agen
tataniaga untuk memperoleh kepastian tenaga kerja clan jumlah volume produk
pertanian yang akan dipasarkan. Sementara bimbingan teknis agar bahan baku
atau produk yang diperoleh perusahaan dapat memenuhi standar mutu tertentu,
yang berimplikasi terhadap tingkat harga yang diterima perusahaan, yang
kesemuanya secara sekaligus bertujuan untuk menekan biaya-biaya transaksi.
Mekanisme pasar seperti dikutip dari Anwar (2001) merupakan suatu
pemahaman tentang berfungsinya lembaga ini sebagai saluran yang "sempurna"
(/)c>r/ec/ currrer cd' ~nfOrmu/ron) untuk menyalurkan informasi kepada semua
p~hak-pihak yang tertarik dan membutuhkan bagi keperluan pengambilan
keputusan, guna melakukan transaksi ekonomi.
Kelembagaan yang berhubungan dengan tataniaga produk olahan industri
hasil pertanian memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelembagaan usaha
pertanian. Dalam ha1 ini adakalanya kelembagaan tataniaga terlepas dari kegatan
usaha penderes dan penderes sendiri berada pada posisi yang bargaining power
yang lemah sekali. Tingkah laku pasar sering kali merugikan penderes, karena
lembaga yang membeli hasil produksi mereka menentukan harga secara sepihak.
Keadaan ini terjadi karena asimetrik informasi sehingga menimbulkan struktur
pasar yang tidak bersaing atau malah pasar tidak terwujud. Dilain pihak penderes
mempunyai kesempatan yang sangat terbatas untuk memasarkan sendiri produksi
hasilnya. Hal ini disebabkan karena pasar desa tersegmentasi , sehingga volume
produk yang dij ual sangat kecil, disarnping itu dalam menjalankan usahanya
mereka banyak tergantung dari para tengkulak. Secara skematis uraian tersebut
tersaji pada Gambar 2.
2.3.2. Kelembagaan Hubungan Principle -Agent dalam Contract Farming (CF) Horti kultura Informal di Perdesaan Jawa
Konsep principle - agent berusaha menggali berbagai permasalahan yang
timbul dalam suatu hubungan antara dan atau lebih individu atau kelompok, dan
membantu mendeskripsikan bagaimana keterikatan pihak yang berhubungan dapat
dilakukan secara wajar dengan minimisasi biaya (Mardjana, 1993). Sementara
Anwar (1997) mengungkapkan bahwa konsep principle - agent menyangkut
hubungan antara dua orang yang satu dinamai princple dan yang lainnya
dinamakan ugent. Bentuk-bentuk sistem kerjasama melalui ikata-ikatan (kontrak)
seperti ijon, uang-muka antara tengkulak (middlemen) dengan petani produsen
merupakan bentuk hubungan prrnclple - ugent yang banyak berlaku dimasyarakat.
Dalam hubungan kerja (kontrak) yang disepakati oleh kedua belah pihak
dalam ha1 ini principle dan ugent, tentunya menurut Mardjana (1993 ) yang akan
menjadi perhatian utama adalah menetapkan suatu struktur insentif yang mampu
mencapai efisiensi optimal dalam kondisi iinfonnasi yang asimetrik. Sehingga
j alinan kerjasama antara princple dan agent berada dalain ranah sistem kontrak,
dimana prrncple sepakat memberikan insentif kepada agent dan agent sepakat
melakukan tindakan atas nama dan kepentinganprincple.
Namun, dalarn hubungan prrncple - agent ini muncul pertanyaan yang
sangat mendasar pihak mana yang berperan sebagai princple dan pihak mana
yang berperan sebagai agent? Dalam sebuah tulisannya bertajuk Teori Agency,
Anwar (1997) mengungkapkan bahwa dalam sistem pertukaran yang inenganut
hubungan princple - agent berkaitan dengan informasi yang asimetrik, yaitu
keadaan dimana kebanyakan agent (petani) lebih mengetahui tentang berapa besar
kemampuannya untuk memproduksi produk dibandngkan dengan pihak pemilik
lahan (principle). Dalam ha1 ini maka pedagang perantara maupun lembaga
tataniaga formal akan memiliki lebih banyak informasi harga ketimbang petani.
Atau mungkin petani lebih banyak mengetahui kualitas produk yang mereka
hasilkan, namun dengan frekuensi transaksi yang tinggi, akhirnya para pedagang
akan inemiliki banyak infonnasi untuk inenduga keadaan kualitas sesungguhnya.
Dalam situasi dimana masing-masing pihak yang melakukan pertukaran
berusaha memaksimurnkan kepuasan dengan cara yang berbeda, tentunya akan
muncul sifat opportunrstrc (Williamson, 1985). Tidak adanya aturan yang jelas
seperti kontrak yang dinyatakan secara eksplisit yang bisa metnbatasi perilaku aji
murnpung tersebut, akan menimbulkan kerugian antara kedua pihak, sehingga
hubungan tersebut bersifat jangka pendek. Sehingga kelembagaan akan
merupakan peredam perilaku opportunistic tadi, sehlngga hubungannya menjadi
bersifat jangka panjang.
Bentuk kelembagaan yang bagaimana yang mampu menjamin terciptanya
hubungan kerjasama yang bersifat jangka panjang, akan sangat ditentukan oleh
besar kecilnya biaya transaksi yang ditimbulkan oleh keadaan informasi yang
asimetrik tadi. Untuk mengatasi ketimpangan informasi dan besarnya biaya
transaksi yang ditimbulkannya, maka upaya yang harus ditempuh adalah dengan
mempertemukan kepentingan dan tujuan kedua pihak akan menurunkan biaya
transaksi. Secara khusus upaya mengurangi kesenjangan informasi dan perilaku
opportunistic hams diikuti dengan berbagai struktur insentif yang efisien, sistem
pengawasan yang efektif, proses negosiasi, clan pengembangan aturan - aturan
dalam mencapai tujuan bersama (Mardjana, 1993 ; Audretsch, 1996).
Meskipun CF bersifat informal, namun kesepakatan tersebut bertujuan
untuk menghidari kemungkinan mengalami resiko kerugian pada tanaman
pertanian. Resiko kerugian yang dialami dapat bersumber dari natural hazard
seperti becana alam, serangan hama dan penyakit, dan cuaca buruk, resiko pasar
(market risk) akibat fluktuasi harga karena sifat alami produk pertanian yang
mudah rusak (perishable) dan moral hazard serta adverse selectron. Resiko
dalam proses pertukaran tersebut biasanya meningkatkan biaya transaksi, jika
terjadi pada ekonomi pasar yang kompetitif. Oleh karena itu, pertukaran resiko
informal yang didasarkan atas saling percaya (trust building), hubungan
interpersonal antara agen (petani dan tengkulak) terbukti lebih efisien jika
dilakukan melalui institusi diluar pasar (extra market institution) meliputi bentuk-
bentuk sistem kerjasama melalui ikatan-ikatan seperti ijon, uang-muka antara
tengkulak (mrddlemen) dengan petani produsen yang merupakan bentuk ikatan
yang banyak berlaku dimasyarakat.
Salah satu upaya untuk mengelola resiko yaitu melalui kesepakatan
kontrak sehingga kerugian dapat diminimalisasi, baik petani maupun pedagang
sama-sama menghadapi resiko rendahnya harga pasar selama masa panen raya.
Sebaliknya, pedagangltengkulak menghadapi resiko keterbatasan kontinuitas
pasokan produk kepada agen lain di pasar perkotaan (seperti super market). Oleh
karena itu, kesepakatan kontrak memungkinkan setiap individu untuk
mempertukarkan resiko yang lebih besar menjadi resiko yang lebih kecil melalui
suatu kesepakatan kontrak.
Dalam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak, fokus utamanya
adalah menetapkan suatu struktur insentif yang marnpu mencapai efisiensi optimal
dalam kondisi informasi yang asimetrik (usymetric information). Sehingga
jalinan kerjasama dalam sistem kontrak, dimana tengkulak antar desa sepakat
memberikan insentif kepada tengkulak desafpetani dan tengkulak desa Ipetani
sepakat melakukan tindakan atas nama dan kepentingan tengkulak, serta kedua
belah pihak saling menghormati setiap komitmen dalam setiap kondisi.
Namun, bentuk kelembagaan kontrak bagaimana yang mampu menjamin
terciptanya hubungan kerjasama yang bersifat jangka panjang, tidak saja akan
memberikan implikasi, distribusi (fernts of [rude) dari pendapatan antara
tengkulak antar desa dengan tengkulak desa dan tengkulak desa dengan petani
yang berbeda tetapi juga dapat berbeda menyangkut distribusi resiko-resiko yang
berkaitan dengan kemungkinan kerugian yang dapat menimpa kepentingan semua
pihak. Oleh karena itu unsur- unsur penentu struktur insentif yang dibuat
tengkulak antar desaltengkulak desa, akhirnya akan menentukan bagaimana shares
resiko yang hams ditanggung kedua belah pihak. Artinya struktur insentif yang
dapat diterima oleh pelaku tataniaga gula kelapa akan tergantung kepada sikap
mereka terhadap resiko-resiko yang muncul. Mereka dapat bersikap netral
terhadap resiko (risk neutral), bersikap tidak suka resiko (risk averse), atau malah
senang terhadap resiko (rrskprefered).
Kontrak Informal Melalui Ikatan Kredit
Kontrak informal dalam aktivitas agribisnis tradisional dilakukan oleh
tengkulawtengkulak antar desa yang telah memiliki skema dan koordinasi yang
lebih jelas dalam pengumpulan produk pertanian seperti buah-buahan dan sayur-
sayuran dalam volume dan jumlah yang lebih besar untuk diangkut ke kota besar,
melalui pola kredit dimuka dengan tengkulak desa (terkadang tanpa bunga),
sebagai jaminan agar mereka mengirimkan produknya kepada pedagang di kota.
Kredit tersebut mengikat pedagang yang lebih rendah oleh pedagang yang lebih
tinggi namun, pola semacam ini tidak berlaku untuk komoditas-komoditas yang
bersifat tahan lama seperti kedelai dan jagung. Biasanya tengkulak antar desa
memberikan kredit jangka pendek kepada tengkulak desa untuk pembayaran
komoditas yang bersifat tahan lama kepada petani.
Aspek khusus dalam pemasaran buah-buahan dan sayur-sayuran , bahwa
ikatan kredit dilakukan antara tengkulak dan petani dipertimbangkan sebagai
skema awal untuk menjamin pengiriman produk berikutnya. Lebih khusus,
tengkulak desa memberikan kredit dalam bentuk natura seperti pupuk dan obat-
obatan kimia kepada petani saat musim tanam dengan jaminan bahwa hasil panen
mereka akan dikirimtdijual kepada tengkulak. Meskipun tidak terdapat
kesepakatan tertulis dalam sistem pertukaran ini, secara umum klausul dalain
kontrak tersebut menyatakan bahwa sejurnlah uang (beberapa ratus rupiah) per Kg
akan dibebankan kepada petani jika produknya dijual kepada tengkulak lain.
Pembayaran kredit oleh petani diambil dari hasil pengirimanlpenjualan kepada
tengkulak selama musim panen.
Dengan skema pembayaran yang sangat fleksibel, secara rata-rata petani
membayar kredit tersebut selama lebih kurang dua bulan. Keterikatan petani
dalam pengumpulan sayur-sayuran, yang tidak dilakukan pada jenis komoditas
lain, menggambarkan pentingnya koordinasi dan skema yang jelas dalam
pemasaran komoditas yang mudah rusak ketimbang hanya sekedar memenuhl
kebutuhan faktor produksi (pupuk dan obat-obatan kimia). Sementara petani
terikat kontrak dengan tengkulak desa, tengkulak desa sendiri terikat kontrak
dengan tengkulak antar desa.
Agar dapat memberikan kredit dalam bentuk natura, tengkulak desa
biasanya menerima kredit tunai dari tengkulak antar desa dengan bentuk kontrak
yang sama seperti yang diterapkan pada petani. Baik kontrak kredit antara
tengkulak antar desa dengan tengkulak desa,maupun kontrak kredit antara
tengkulak desa dengan petani tidak secara eksplisit membebankan bunga. Kredit
pertukaran jangka pendek biasanya dilakukan antara tengkulak antar desa dengan
tengkulak desa untuk membeli produk yang bersifat tahan lama seperti kedelai
(kurang dari 1 minggu), sehingga pembebanan tingkat suku bunga tidak
signifikan. Kondisi ini akan menjadi anomali, jika tingkat suku bunga tidak
dibebankan untuk kredit produksi yang bersifat jangka panjang (selama dua
bulan) dalam perekonomian yang dicirikan oleh kelangkaan modal serta tingkat
suku bunga yang tinggi.
Salah satu skema yang memungkinkan bagi tengkulak untuk
membebankan suku bunga adalah dengan membayar harga yang lebih rendah
bagi petani yang menerima kredit ketimbang petani yang tidak menerima kredit.
Dalarn kasus kredit sayur-sayuran, perbedaan harga jarang te j a b , hanya beberapa
hari saja selama satu musim, ketika penawaran lebih sedikit ketimbang
permintaan sehingga tengkulak antar desa perlu menawarkan harga lebih tinggi
untuk tambahan pembelian dari petani yang tidak terikat kontrak agar
persediaannya terpenuhi.
Skema yang paling signifikan biasanya menggunakan perbedaan harga
pupuk dan obat-obatan kimia antara petani dan pedagang. Tengkulak akan
membeli faktor-faktor produksi tersebut dalam jumlah yang lebih banyak untuk
melakukan kredit natura terhadap petani. Harga beli mereka lebih murah
ketimbang harga beli petani yang membeli dalam jumlah yang sedikit. Contoh,
tengkulak membeli pupuk dalam jurnlah yang lebih besar dari pedagang di kota
pada tingkat harga per kg yang lebih rendah dan sudah ternasuk biaya transportasi,
serta membebankan petani dengan harga sedikit lebih tinggi pada tingkat harga
sama yang hams dibayar petani, jika petani hanya membeli satu atau dua
kantong saja pada pedagang grosir di desa. Sebenarnya, secara operasional kredit
antara tengkulak desa dengan petani kurang begitu menguntungkan, paling tidak
tengkulak hanya menerima pinjaman yang bebas bunga dari tengkulak antar desa.
Jika mereka harus mengeluarkan dana sendiri untuk menjalankan kontrak melalui
ikatan kredit dengan petani, biaya kreditnya tidak sebanding dengan penerimaan
yang diperoleh dari tingkat bunga.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pembebanan suku bunga oleh
tengkulak antar desa terhadap kredit yang diberikan kepada tengkulak desa?
Pertimbangan ongkos kredit untuk tengkulak antar desa yang lebih rendah
ketimbang tengkulak desa karena tengkulak antar desa memiliki jaminan yang
lebih baik dan pinjaman lebih besar, sehingga biaya transaksi lebih rendah.
Selanjutnya, bentuk kredit semacam ini, lebih bersifat jangka pendek bagi
tengkulak antar desa ketimbang tengkulak desa.
Biasanya seorang tengkulak antar desa melakukan kontrak melalui ikatan
kredit dengan banyak tengkulak desa di beberapa wilayah dengan kondisi kondisi
lingkungan, musim tanam dan musim panen yang sangat bervariasi. Oleh karena
itu, tengkulak antar desa terjamin pengembalian kredit dari tengkulak desa di
wilayah yang berbeda secara berkelanjutan sebagai bagian dari pembayaran
kembali kredit dari hasil penjualan sayur -sayuran yang dikirim kepadanya
meskipun pada musim yang berbeda dalam satu tahun. Dari pembayaran kredit
yang diperoleh dari tengkulak desa lainnya di suatu wilayah saat musim panen,
tengkulak antar desa dapat membiayai kredit untuk tengkulak desa lainnya saat
musim tanam.
Dalam kondisi semacam ini, kredit jangka panjang, dapat ditransfer
kedalam perputaran kredit jangka pendek berdasarkan tingkat suku bunga
tabungan yang signifikan. Meskipun biaya kredit bagi pedagang antar desa dapat
ditekan, namun biaya kredit tersebut tetap memiliki pengaruh yang signiflcan.
Tampaknya bahwa para tengkulak dapat memikul biaya ini, dan keuntungan
diperoleh melalui koordinasi yang lebih baik antara produksi dan pemasaran
komoditas yang mudah rusak untuk pasar jarak jauh.
Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial
Kontrak melalui ikatan kredit informal bersifat komplek dan eklusif benar-
benar ditegakan secara mandiri, tanpa rnelibatkan aturan formal atau mediasi
organisasi formallsemi-formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta
asosiasi petani buah-buahanlsayur-sayuran. Sayangnya, terdapat sej umlah
informasi yang menyebabkan kontrak menjadi bias seperti tidak ada petani yang
dikenakan denda karena menjual hasil panen sayuran kepada selain tengkulak
yang telah memberikan kredit kepada mereka. Mengapa ha1 ini dapat terjadi,
karena petani merasa malu atau takut untuk melakukan tindakan tercela (morul
Izuzurd) tersebut karena reputasi mereka akan jelek dimata masyarakat. Tekanan
sosial baik rasa malu ataupun rasa takut merupakan implikasi keberadaan norma
sosial untuk menghukum petani yang berlaku curang terhadap petani lainnya.
Mekanisme penegakan melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila
petani dan tengkulak merupakan anggota masyarakat desa yang sama, dimana
anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara
geografi maupun karena hubungan kekerabatadpersahabatan.
Aksi spontan secara bersama-sama yang diorganisasikan dalam sebuah
desa bertujuan untuk menghindari masalah penunggang gelap p e e riders), tentu
saja mekanisme penegakan yang kuat tersebut hanya akan efektif diterapkan
dalam komunitas masyarakat yang kecil. Keberadaan norma semacam itu akan
menyebabkan bias yang luas dalam penetapan biaya kontrak, lmana tidak hanya
pembias yang mengalami kerugian dalam kontrak sedang berjalan. Dimasa
mendatang reputasi petani tersebut menjadi buruk dimana ia tidak memililu
peluang memperoleh kontrak kredit dengan anggota masyarakat yang lain.
Mekanisme penegakan kontrak melalui norma sosial tidak hanya berlaku
bagi petani tetapi juga bagi tengkulak. Meskipun tidak dirinci secara eksplisit, ha1
ini dapat diasumsikan bahwa petani menerima harga penjualan hasil panen secara
adil, yang dikonseptualisasikan sebagai perbedaan harga jual tengkulak dengan
standar marjin. Hal ini berarti bahwa pasar berada pada konlsi standar keadilan
bagi semua anggota masyarakat di dalam komunitas tersebut. (perspektif yang
berbeda dengan konsep tersebut dikenal dengan teori dilema pedagang (theory of
traders dilemmu ). Tengkulak akan dikenakan sanksi sosial, jika mereka
menyebabkan bias secara signifikan terhadap klausul kontrak yang implisit
tersebut yang mengharuskan membayar produk petani berdasarkan harga yang
adil. Hal ini dibuktikan dengan adanya seorang tengkulak yang beroperasi di
wilayah penelitian (walaupun hanya isteri keduanya berasal dari desa tersebut )
dihentikan suplainya oleh petani karena melakukan pembayaran harga yang tidak
adil. Secara de fucto penghentian tersebut diorganisasi oleh petani berdasarkan
norma sosial dan aliran informasi yang lengkap dalam sebuah desa. Kondisi ini
mengindikasikan pentingnya mengakui bahwa dalarn pasar yang bersaing akan
membuat sanksi tersebut menjadi lebih dapat dipercaya (reliable)
Petani sayur-mayur atau buah-buahan biasanya melakukan penjualan
produk secara kontinyu berdasarkan harga yang ditawarkan oleh tengkulak yang
menjalin ikatan kredit kontrak dengan petani. Namun ha1 ini tidak berarti
kekuatan monopoli berada ditangan tengkulak. Dalam pasar yang lebih
kompetitif, petani dapat dengan mudah beralih kepada tengkulak lain pada musim
berikutnya, jika harga yang ditawarkan tengkulak jauh lebih rendah secara relatif
terhadap harga pasar. Namun, tentu saja kekuatan monopsoni dapat menangkap
rente monopsoni (suatu kelebihan diatas rata-rata keuntungan) dari aktivitas
ekonomi, ketika tidak terdapat pesaing lain dalam pasar produk lokal. Berikut
merupakan diagram yang menggambarkan informasi unsur - unsur yang
berpengaruh terhadap posisi rebut tawar dalarn kontrak agribisnis dalam
kaitannya dengan peranan sejarah dan tradisi dalain norma sosial jauh sebelum
kontrak itu terjadi, khususnya yang berperan dalam terciptanya kontrak pertanian
dan agribisnis kearah perubahan kelembagaan dan akumulasi aset baik pada
tingkat petani maupun pedagang.
Sistem Organisasi Produksi Modern dalam Proyek KemFarm (KF) di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Dewasa ini, terdapat ribuan petani kontrak diseluruh Pulau Jawa yang
memproduksi ko~noditas dengan orientasi ekspor., dan telah memiliki sistem
hirarkhi produksi yang lengkap. Kriteria grading dan standart dibuat sedemikian
rupa dan didistribusikan secara top-down. Sebagai contoh CF KF memiliki
seorang direktur, yang mengacu kepada permintaan pasar Jepang, mengirimkan
kepada koordinator mereka sejumlah bibit yang dibawa kembali dari Jepang.
Gambar 3. Unsur - Unsur yang Mungkin Mempengaruhi Posisi Rebut Tawar dalam Kontrak Agribisnis
Disana terdapat seorang manager lapangan KF yang merupakan seorang
ahli produksi sayur-sayuran yang secara periodik mengunjungi 5 koordinatornya
(dan pengawas lapangan) untuk mengetahui kondisi produksi. Masing-masing
koordinator di setiap wilayah melakukan kontrak dengan petani melalui
pemberian bibitlbenih dan pupuk yang diperlukan. Dibawah seorang koordinator,
biasanya terdapat sejumlah pengawas lapangan yang tinggal di desa tempat petani
kontrak, sehingga mereka memiliki kemudahan akses ke lapangan. Telah menjadi
tanggung jawab mereka untuk mengunjungi lahan petani dengan memberikan
instruksi dan petunjuk teknis tentang pemakaian benih, pupuk, penanaman sayur-
sayuran, dan terkadang pemakaian tenaga ke rja upahan.
Secara m u m , manajemen KFImanajer lapangan KF memanfaatkan
koordinator sebagai penyangga (bufler zone), koordinator memanfaatkan
pengawasan sebagai penyangga untuk menghndari kemungkinan terjadinya
konflik dengan petani kontrak. Perintah produksi disampaikan melalui
manajemen KF/manajer lapangan KF kepada koordinator, koordinator kepada
pengawas lapangan, pengawas lapangan kepada petani kontrak, dan petani
kontrak kepada buruh upahan. Dalam sistem produksi yang dikelola secara
sistematik, semua pelaku memiliki kesarnaan nasiblmisi (common desrmny), yaitu
untuk memaksimumkan keuntungan bersama, oleh karena itu mereka akan
berupaya untuk memainkan peran yang tentunya dalam perspekhf direktur KF.
Perspektif Petani
Bagaimanapun juga petani, memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Bila
dilihat dari keseluruhan proses produksi (peran petani dibatasi hanya untuk
memproduksi bahan baku) dan produk akhir (sebagian besar komoditas
merupakan sayur-sayuran Jepang untuk konsumsi pelanggan Jepang) yang
tentunya kurang disenangi pasar lokal, tampaknya para petani sedikit kurang
mengetahui gambaran menyeluruh sistem pangan, disamping itu mereka juga
kurang waspada terhadap ideologi senasib. Seharusnya mereka tidak harus terlalu
loyal terhadap kepentingan manajemen KF. Motivasi utama petani kontrak harus
tetap berada dalam insentif ekonomi, yaitu menjual produknya dengan
kemungkinan harga tertinggi. Bukan hanya sekedar sebagai rekan yang senasib,
dan beranggapan KF sebagai satu-satunya kemungkinan pembeli produk mereka
dengan harga yang lebih tinggr, ketimbang perusahaan lain. Petani hams mencoba
kemungkinan menjual produknya (ubi jalar Jepang) kepada pembeli lain atau
menciptakan pasar lokal sehingga mereka dapat menjual sayur-sayuran jika C
mereka merasa tidak menyetujui grading yang ditetapkan oleh KF. Meksipun
upaya menemukan alternatif pembeli lain belun memuaskan.
Awalnya, basis produksi ubi jalar (sweet potatoes) dan terong (eggplants)
Jepang berada di Jawa Barat, tetapi petani kontrak disana dapat menjual
produknya kepada pembeli lain yang secara geografis lebih dekat dengan Jakarta.
Ketidakpatuhan petani ini menjadi salah satu pertimbangan mengapa KF
mengalihkan basis produksinya ke Jawa Timur.
Siapa Sesunggguhnya Petani Kontrak
Proyek KF memiliki berbagai macam petani kontrak tergantung
wilayahnya (semuanya laki-laki berasal dari kelas sosial ekonomi yang berbeda) :
petani besar yang menyewa banyak tenaga kerja upahan (sebagian besar wanita),
petani kecil dengan menyewa dua orang tenaga kerja upahan, petani tanpa lahan
yang menyewa lahan untuk pertanian, dan petani gurem yang secara kolektif
menanarn sayur-sayuran pada sejumlah petak lahan sebagai unit lahan produksi.
Tidak semua petani dapat menjalin hubungan kontrak dengan KF, karena terdapat
proses seleksi.
Seorang koordinator menggunakan pengawas lapangan untuk melakukan
sele ksi (screnning). Pengawas lapangan yang j uga merupakan warga desa yang
sama dengan petani, biasanya mengetahui siapa yang dapat dipercaya atau tidak.
Contoh, di sebuah desa di Kota Kediri seorang guru Sekolah Dasar yang tidak
tahu sama sekali tentang pertanian tetapi dapat menjadi salah satu orang yang
disewa oleh pengawas lapangan. Pengawas lapangan dengan subjektifitasnya
hanya akan merekomendasikan kepada koordinatornya petani dengan karakter
sesuai dengan kebutuhan, dan kemungkinan besar dapat chpercaya menjadi petani
kontrak.
Pada saat yang bersamaan, tidak terdapat paksaan kepada petani untuk
mengikuti skema sebagaimana yang sering diuji dalam skema CF. Petani kontrak
bergabung melalui skema tersebut atas kemauan sendiri dan dapat meninggalkan
skema kontrak apabila telah berakhlr jika mereka menghendahnya (tergantung
dari jenis sayur-sayuran, umumnya selama 6 sampai 8 bulan). Dengan strategi
memberikan harga sayur-sayuran yang relatif tinggi, secara ekonomi petani
terdorong untuk bertahan dalam skema dan cenderung tetap bekerja sebagai petani
kontrak dengan KF.
Masalah Lingkungan
Dengan penetapan grading dan standarisasi yang tinggr oleh pasar Jepang,
maka petani kontrak menggunakan berbagai jenis pestisida. Petani berupaya
meningkatkan kuali tas sayur-sayuran agar dapat dijual dengan harga tinggi,
sebagai contoh pemakaian 10 jenis pestisida untuk ubi jalar Jepang secara
permanen. Akan menurun kemampuan lahan secara drastis hanya dalam satu
sikius tanam komoditas hortikultura sehingga petani harus menerapkan sistem
pergiliran tanaman yang bertujuan memberakan lahan untuk penanaman periode
berikutnya.
Peranan Pemerintah
Ketidakpercayaan terhadap negara sangat impresif, artinya, tidak ada
pelaku dari tingkat manajemen sampai petani kontrak yang berkeinginan menjalin
kerjasama dengan pemerintah. Mereka tampaknya sangat trauma dengan
intervensi pemerintah tanpa visi jangka panjang, banyak menerima uang suap,
KKN dan term mengalami pembusukan. Ketiadaan good governance (budaya
dan kemampuan mengurus negara dengan benar) tampaknya menjadi kendala
serius bag pemerintah Indonesia (masyarakat tidak memiliki peluang untuk
bermesraan lagi dengan aparat pemerintah, yang mungkin memiliki sudut
pandang berbeda dengan skema CF). Dalam benak kita, seolah-olah pengelolaan
KF merupakan skema yang paling membumi di Indonesia bila dibandlngkan
dengan skema lainnya. (skema buah-buah/sayur-say uran segarlolahan). Padahal
di Indonesia banyak terdapat skema publik yang sistematis, seperti tanaman milik
negara yang mengusahakan komoditi teh, kopi, karet dan kelapa sawit .
Banyak perusahan agribisnis swasta yang mencoba mengikuti jejak KF
namun sejauh ini kurang berhasil mengkespor produk mereka. Untungnya,
manajemen KF memberikan peluang untuk mempelajari skerna ('/*' mereka miliki.
Sebagaimana diungkapkan direktur KF bahwa skema KF membawa keuntungan
besar secara ekonomi bagi masyarakat perdesaan, sementara dari sudut pandang
peneliti dapat mempelajari bagaimana perusahaan dapat memberikan sumbangan
terhadap pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu atas seizin UCMHS, penelitian yang sebenarnya dapat
dilaksanakan. Sejauh ini, terdapat dua kemungkinan lokasi penelitian, Cugenang
(Jawa Barat) dan Kediri (Jawa Timur). Awalnya, KF memiliki basis produksi dan
pengolahan di wilayah Jawa Barat karena pertimbangan pembangunan
infrastruktur dan kedekatan lokasi dengan kota Jakarta. Namun, KF
memindahkan basis kegiatannya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur karena biaya
transaksi yang lebih murah (juga karena masalah loyalitas kinerja petani di Jawa
Barat). Dengan membandingkan dua lokasi tersebut, Cugenang sebagai basis
utama produksi terong dan Kediri yang juga basis produksi ubi jalar. Sehingga
skema CF yang menetapkan standar internasional yang tinggi akan memberikan
darnpa terhadap masyarakat perdesaan dan pertanian.
Di Cugenang petani kontrak menanam terong untuk ekspor, sekarang
dengan kontrak KF mereka memproduksi beraneka ragam sayur-sayuran untuk
pasar lokal seperti hotel-hotel kelas satu, restoran, supermarket besar, dengan
standar kualitas yang tinggi. Selama dilapangan kita dibuat terperangah dengan
perspektif petani kontrakJpetani guredtenaga ke rja upahan terhadap sistem KF.
KF dianggap sebagai sebuah Lembaga Bantuan Pembangunan dan sekaligus
merupakan model pertanian yang ideal, dalam pertumbuhan dan transformasi
sektor pertanian yang sangat pesat di seluruh dunia. Namun, hubungan sosial
yang sesungguhnya terjadi didaladdisekitar skema CF terabaikan. Bagaimana
perubahan keseharian petani kontrak dalam masyarakat setelah terlibat dalam
skema kontrak CF. Bagaimana petanilpetani gurernltenaga upahan menyadari
keberadaan CF dan dampaknya? Hanya dengan menganalisis isu-isu tersebut
model CF berkelanjutan akan menjadi sistem pertanian yang ideal sebagaimana
diklaim oleh direktur CF dapat menjadi kenyataan. Berdasarkan konteks
tersebut,maka isu-isu yang menarik untuk menjadi kajian sebagai berikut:
a. Sistem Pengaturan dan Tipe - Tipe Kontrak :
Bagaimana sistem dan tipe kontrak antara KF dengan petani, antara petani dengan
tenaga upahan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
b. Hubungan Sosial Dalam Produksi
Bagaimana peranan skema CF yang menuntut untuk menanam komoditas luar
dengan standart dan grading yang tinggi terhadap perubahan 1) sistem operasi
dan produksi pertanian, 2) stratifikasi sosial dalam masyarakat perdesaan, 3)
hubungan daladantara keluarga? hubungan gender?
M A N A J E M E N K F
I f
M A N A J E R
r-l L A A N G A N
Gambar 4. Sistem Hirarkhi Organisasi Produksi KemFarm di Kediri, Jawa Timur.
c. Persepsi dan Evaluasi
Bagaimana melakukan evaluasi terhadap peserta skema CF dan evaluasi terhadap
pelaksanaannya? Apa keuntungan dan kerugian CF? Dengan cara bagaimana
sistem KF dapat ditingkatkan dari sudut pandang mereka?
d. Kebijakan/Program
Bagaimana pemahaman pemerintahlorganisasi non-pemerintah serta keterlibatan
mereka dalam skema CF? CF adalah sistem pertanian yang didalamnya terdapat
petani terpilih (selected farmers) (didunia ketiga petani tersebut berada di lokasi
tertentu sehingga dipilih menjadi produsen oleh perusahaan agribisnis),
memproduksi komoditas berkualitas (selected raw commodity) yang telah
memenuhi standar internasional baik dari segi bentuk, ukuran, rasa, penampilan
dan warna, untuk konsumen tertentu (selected consumers) yaitu konsumen di
negara industri seperti Jepang. Untuk dapat bergabung dengan sistem pangan
dunia dan sukses dipasar internasional, maka Indonesia harus mengadopsi CF dan
secara bersamaan mengedepankan standar mutu internasional baik dari segi
ukuran, bentuk, rasa, penampilan, dan warna yang sangat berbeda dengan standar
lokal. Dengan mempelajari CF kita berupaya menggali cara menggandengkan
standar internasional kedalam institusi pertanian dan hubungan sosial produksi
yang bernuansa lokal.
2.4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian
2.4.1. Kerangka Pemikiran
Dalam paradigma pembangunan wilayah yang menyeimbangkan antara
mengejar perturnbuhan ekonomi, dan pemerataan distribusi pendapatan diantara
anggota masyarakat serta keberlanjutan pembangunan ekonomi. Pembangunan
ekonomi hendaknya merupakan proses yang melibatkan segala lapisan
masyarakat melalui popular participation, serta perlunya penggalian kearifan
masyarakat untuk meningkatkan kinerja pembangunan. Maka perlu diupayakan
suatu strategi pembangunan yang menempatkan sektor ekonomi masyarakat kecil
dan menengah sebagai sasaran utarna pembangunan. Artinya, arah kebijaksanaan
ekonomi hams ditujukan kepada sektor-sektor ekonomi yang berpihak kepada
kepentingan masyarakat , yang terkait dengan potensi dan kapasitas mereka serta
sekaligus sesuai dengan potensi sumberdaya lokal yang tersedia. Sehingga
diharapkan pengembangan industri kecil akan membantu mengatasi permasalahan
yang terjadi terutama dampak yang diakibatkan krisis ekonomi, seperti
meningkatnya tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Keberadaan industri kecil di Indonesia khususnya diharapkan dapat
memberi suatu kontribusi positif dan signifikan terhadap upaya-upaya
penanggulangan masalah-masalah ekonomi dan sosial seperti ketimpangan alokasi
sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya fisik serta sumberdaya
sosial antara urban dan rural, tingkat kemislunan yang tinggi, jumlah
pengangguran yang besar, terutama dari golongan masyarakat berpendidikan
rendah, ketimpangan distribusi pendapatan, serta masalah urbanisasi (Tambunan,
1998). Pentingnya keberadaan industri kecil dalam memacu pertumbuhan suatu
wilayah diperlukan strategi pengembangan industri pengolahan ha i l pertanian
yang hams mengarah broad base dzverszjicatron sekaligus spesialisasi, sehingga
perlu ditentukan prioritas kegiatan yang ingin dikembangkan, berdasarkan
pertimbangan dan kriteria, berikut (Kasryno dan Syafaat ,2000):
a) Memanfaatkan potensi keunggulan komparatif, kompetitif, dan
kemampuannya dalam menghadapi gangguan eksternal serta berbasis
sumberdaya domestik.
b) Secara potensial dapat meningkatkan total nilai tambah sektor manufaktur,
PDRB dan PDB, serta ekspor non migas.
c) Strategis dalam membuka dan meningkatkan kesempatan kerja
d) Artikulatif, yaitu keterkaitan antar sektor dalam perekonomian yang
berdampak luas bag pengembanganlpertumbuhan output di sektor-sektor
lainnya.
Usaha industri di Kabupaten Banyumas didominasi oleh industri kecil yang
dituntut menjadi sektor basis yang diharapkan memberikan kontribusi penting
terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), potensi menciptakan lapangan
kerja, serta meningkatkan permintaan barang dan jasa yang dihasilkan oleh
industri bukan basis .
Dalam penelitian ini untuk mengetahui kegiatan basis atau bukan basis
dilakukan dengan pendekatan kuosien lokasi (LQ). Metode ini merupakan
perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih
has. Dengan kriteria dimana kuosien lokasi yang lebih besar dari 1 sebagai
petunjuk kegiatan sektor basis atau adanya potensi ekonomi suatu wilayah,
berdasar aktivitas ekonomi wilayah tersebut sedangkan untuk kuosien lokasi
kurang dari 1 merupakan kegiatan non basis. Jadi metode kuosien lokasi ini
banyak dipakai untuk menganalisis peranan suatu sektor pada suatu wilayah.
Menurut Isard (1972) variabel yang dapat digunakan dalarn analisis LQ meliputi
tenaga kerja, nilai tambah, jumlah penduduk, luas lahan, produksi dan pendapatan
regional (PDRB).
Mengingat pentingnya lokasi suatu industri pengolahan gula kelapa dalam
memacu perekonomian suatu daerah, maka penempatan suatu lokasi industri perlu
dipertimbangkan secara matang. Lokasi industri dipengaruhi oleh berbagai faktor
produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan faktor-faktor pasar, yang secara
spesifik meliputi faktor-faktor kualitas dan kuantitas tenaga kerja, lokasi
geografik, ketersediaan prasarana yang diperlukan serta kebljaksanaan pemerintah
pusat dan daerah (Glasson, 1974). Menurut Kartono (1987), bahwa lokasi industri
ditentukan oleh keuntungan biaya dan waktu dalam menjalankan usahanya.
Tempat yang optimal tersebut antara lain tempat dengan biaya transportasi dibagi
kombinasi output total yang paling rendah.
Dengan demikian keberadaan suatu lokasi industri dalam suatu daerah
akan memberikan dampak positif yang luas terhadap wilayah, terutama
peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja. Hal ini dapat dilihat
Produk domestik regonal bruto (PDRB) yang merupakan hasil dari seluruh
kegiatan ekonomi regional, yang dapat dicari dari perhitungan nilai tambah
domestik lokal. Sedangkan nilai tambah itu sendiri merupakan selisih antara
harga output terhadap harga input. Dalam konsep domestik PDRB merupakan
selurun nilai tambah yang ditimbulkan berbagai sektor usaha yang melakukan
kegiatan usaha di suatu wilayah dimasukan, tanpa memperhatikan pemilikan atas
faktor produksi. Dengan demikian secara agregatif PDRB menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa kepada
faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalarn proses produksi di daerah
itu. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh dari nilai produksi
bruto dikurangi total biaya antara. Sehingga jelaslah untuk meningkatkan PDRB
suatu wilayah maka perlu untuk menghasilkan kemampuan baias jasa terhadap
faktor-faktor produksi (nilai tambah). Demikian pula halnya dengan industri
pengolahan gula kelapa akan dapat memberikan sumbangan yang sebesar-
besarnya terhadap perekonomian wilayah maka perlu ditingkatkan nilai
tambahnya. Peningkatan nilai tarnbah ini dapat ditempuh melalui efisiensi
produksi maupun melalui pengolahan menjadi produk yang semakin hilir. Oleh
karena itu perlu penelaahan yang lebih dalam terhadap nilai tambah industri
pengolahan gula kelapa. Meskipun industri kecil tersebut merupakan sektor
unggulan yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap perolehan PAD
Kabupaten Banyurnas, namun arnat disayangkan bahwa pelaku ekonomi industri
kecil terutama sektor pengolahan gula kelapa masih berada dalarn kondisi yang
memprihatinkan. Di wilayah perdesaan seperti di Kecamatan Cilogok dimana
sistem transportasi dan komunikasi masih sederhana, informasi pasar langka dan
mahal untuk diperoleh, dan barang-barang input dan output hasil produksi
jumlahnya terbatas baik menurut keadaan spasial dan waktu, maka harga tidak
berfungsi sebagai koordinator informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara
efisien. Kondisi menyebabkan pelaku usaha pengolahan gula kelapa baik petani
deres, maupun pengusaha memilih sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi
pasar (extra market institution) yang berupa kelembagaan prmcple - ugenf
(Anwar, 1998), meskipun menerima bagian harga yang lebi h kecil.
Opsi kelembagaan ini sering dikaitkan dengan kuatnya ikatan antara petani
dengan pedagang yang terbentuk secara historis dengan menekankan pada unsur
kekerabatan dan ketetanggaan. Disamping itu karena ada ketidakpastian tentang
kualitas produk pertanian, maka transaksi pertukaran yang dijalankan oleh pelaku
usaha pengolahan gula kelapa baik petani deres, maupun pengusaha dilakukan
melalui sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar (extra market
institution) yang biasanya memerlukan dukungan ikatan-ikatan personal yang
disebut hubungan principle - agent dalam bentuk patron-client. Praktek ini lebih
disukai masyarakat karena dapat memperkecil biaya transaksi daripada melalui
sistem pertukaran ekonomi formal pada tingkat lokal (spot exchange) (Anwar,
1998). Persoalan dari hubungan principle - agent adalah karena adanya informasi
yang asimetrik, dimana satu pihak memiliki lebih banyak inforrnasi dari pihak
lain. Sehingga informasi yang asimetrik menimbulkan persoalan buruknya pilihan
(adverse selection) yang bersifat ex-ante dan persoalan bencana moral (moral
Izuzurd) yang bersifat ex-post. Artinya suatu bentuk hubungan principle - agent
berlangsung dengan suatu korbanan yang dikenal sebagai biaya agensi (agency
cost) atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap opsi kelembagaan
yang dipilih oleh petani. Disamping biaya transaksi menurut Hobbs (1997) opsi
kelembagaan juga berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi seperti tingkat
pendidikan, besarnya anggota keluarga, pendapatan dan aspek yang berkaitan
dengan karakteristik usaha.
2.4.2. Hipotesis
1. Sub sektor industri pengolahan gula kelapa diduga merupakan sektor basis
dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Banyumas. (LQ >I).
2. Diduga keberadaan sub sektor ini menciptakan kesempatan berusaha,
penyerapan tenaga kerja, pemerataan pendapatan sehngga akan berdampak
dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat .
3. Diduga bahwa sistem kelembagaan tataniaga gula kelapa nonformal memiliki
atribut biaya transaksi yang lebih sederhana dibandingkan kelembagaan
tataniaga formal.
P a r a d i g m a S t r a t e g i P e m b a n g u n a n W i l a y a h P e m b a n g u n a n
E ff ls te n 6 1 P e m e r a t a a n
P e n g e m b a n g a n I n d u s t r l K e c I I
P e r t u r n b u h a n B e r b a s l s S u m b e r d a y a L o k a l
P e n g u a t a n l n d u s t r l K e c l l
1 A k t i v i t a s E k o n o m i ( I n d u s t r l G u l a K e l a p a )
/ -- I
1 K owmi ra;t:; s i I ( K o r n p a r a t ~ f 8 K o m p e t l t l f ) 1 r
! K e l e m b a g a a n I n f o r m a l 'i
_T-- 7 S i s t e m K o n t r a k
I n to r m a I P e n d e r e s T e n g k u l a k
- . - --
K i n e r j a \ [ K e l e m b a g a a n A s p e k F ~ n a n s ~ a l A s p e k E k o n o r n l 1 ( A s p e k P e m a r a r ~
P e l u a n g O p s i K e l e m b a g a a n I A t r l b u t B i a y a T r a n s a k s l
K a r a t e r l s t l k P e n d e r e s L
G a m b a r 5 . K e r a n g k a Pikir P e n e l i t i a n K e l e m b a g a a n I n f o r m a l T a t a n i a g a G u l a K e l a p a d i K e c a m a t a n C i l o n g h o k . K a b u p a l e n B a n y u m a s . 2 0 0 2