Upload
arnika-andiawan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cacing
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA RANGKING DI KELAS DENGAN KEJADIAN
KECACINGAN PADA ANAK DI SEKOLAH
DASAR xxx, KABUPATEN SEMARANG
JAWA TENGAH
Proposal Penelitian
Diajukan untuk memenuhi tugas dan
melengkapi syarat dalam menempuh
Program Pendidikan Sarjana
Fakultas Kedokteran
Di susun oleh :
Antonius Wahyu Hendrawan
G2A009031
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2012
1
HALAMAN PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI Soil Transmitted Helminths dengan
PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH DASAR 03 PRINGAPUS,
KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH
Yang disusun oleh :
Antonius Wahyu Hendrawan
NIM : G2A 009 031
Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Proposal Karya Tulis Ilmiah Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 20 Februari 2008 dan
telah diperbaiki dengan saran-saran yang diberikan.
TIM PENGUJI PROPOSAL
Pembimbing, Penguji,
dr. Hadi Wartomo, SU, Sp. ParK dr. Akhmad Ismail NIP. 130701413 NIP.132163894
2
DAFTAR ISI
Halaman judul …………………………………………………………………….i
Halaman pengesahan …………………………………………………………….ii
Daftar isi …………………………………………………………………………iii
Daftar lampiran………………………………………………………………… . .v
Bab 1 Pendahuluan ……………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..3
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..3
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………….4
Bab 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….…5
2.1. Soil Transmitted Helminth(STH)...………………………………...….5
2.2 Ascaris lumbricoides.. …………………………………………......….7
2.3.Trichuris trichiura ……………………………………..…………….10
2.4.Cacing Tambang …………………………………………………….12
2.5.Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM)…………………………………15
2.6.Materi Pelajaran………..…………………………………………….18
2.7.Sarana dan Prasarana..………………………………………………..18
2.8.Suasana Lingkungan…………………………………………………19
2.9.Motivasi……….. …………………………………………………….20
3
2.10.Kerangka Konsep...…………………………………………………20
2.11.Kerangka Teori……………………………………………………..21
2.12.Hipotesis…………………………………………………………….21
Bab 3 Metode penelitian ………………………………………………………22
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
…………………………………………...22
3.1.1.Lingkup Materi …..…...…………………………………………22
3.1.2.Lingkup Keilmuan………………………………………………22
3.1.3.Lingkup Tempat…....……………………………………………22
3.1.4.Lingkup Waktu …………………………………………………22
3.2. Jenis penelitian ………………………………………………………22
3.3. Populasi dan
sampel………………………………………………….23
3.2.1.Populasi …….…………………………………………………...23
3.2.2.Sampel……………………………………………………….….23
3.4. Bahan,Alat dan Cara Kerja.………………………………………….25
3.5. Pengumpulan Data ..…………………………………………………28
3.6. Cara Pengolahan Data .……………………………………………...29
3.7. Analisis Data ………………………………………….…………….29
3.8. Alur Penelitian.………………………………………………….…..30
3.9.Definisi Operasional …………………………………………………30
4
Daftar Pustaka …………………………………………………………………...32
Lampiran
Daftar lampiran
Kuesioner Penelitian ……………………………………………………………35
5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1. Salah satu masalah kesehatan yang masih banyak di Indonasia yaitu penyakit
cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Prevalensi cacingan di Indonesia
pada umumnya masih sangat tinggi yaitu sekitar 60 %. Kelompok umur
terbanyak adalah pada usia 5-14 tahun. Angka prevalensi 60 % itu, 21 % di
antaranya menyerang anak usia SD dan rata-rata kandungan cacing per orang
enam ekor. Data tersebut diperoleh melalui survei dan penelitian yang
dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2006. Hasil penelitian sebelumnya
(2002-2003) oleh subdit diare, pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi antara 2,2 % hingga 96,3 %. Penderita tersebar di seluruh daerah,
baik di pedesaan maupun perkotaan. Karena itu, cacingan masih menjadi
masalah kesehatan mendasar di negeri ini. (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman pengendalian cacingan. Jakarta: Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan RI, 2006.)
Cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helmiths
(STH) adalah cacing yang salah satu siklus hidupnya di tanah yang sesuai untuk
berkembang menjadi bentuk infektif. Diantara cacing tersebut yang terpenting
adalah cacing gelang ( Ascaris lumbricoides), cacing cambuk ( Trichuris
6
trichiura), dan cacing tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus).
Hospes definitife dari cacing tersebut adalah manusia. Menurut golongan
umur askariasis dan trichuriasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak,
sedangkan infeksi cacing tambang pada dewasa muda dan dewasa karena
berdasarkan lingkungan bermain dan pekerjaan.
Gejala-gejala yang ditimbulkan dari Cacingan bisa ringan sampai berat.
Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, vomitus, diare, nyeri perut,
konstipasi, hilang nafsu makan. Sadangkan gejala yang lebih berat antara lain
obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, colitis dengan tinja
berlendir dan darah.
Oleh karena itu, akibat dari kecacingan pada manusia dapat menimbulkan
kehilangan zat gizi berupa karbohidrat dan protein serta kehilangan darah.
sehingga dapat menurunkan produktifitas kerja, juga dapat menghambat
perkembangan fisik dan kecerdasan atau penurunan konentrasi pada anak-anak
yang sedang dalam masa pertumbuhan. Daya tahan tubuh akan menurun bagi
yang terinfeksi dan mengakibatkan penyakit-penyakit lain.
Kecacingan pada anak usia sekolah sekiranya akan menghambat dalam
mengikuti pelajaran dikarenakan anak akan merasa cepat lelah, penurunan daya
konsentrasi, malas belajar dan pusing. Astuti 1990,Jakarta mengungkapkan
adanya kaitan antara status gizi dengan index prestasi (IP), sebanyak 58% murid
7
dengan index prestasi tergolong kurang sampai buruk, yang terdiri dari 48%
dengan gizi kurang dan 10% gizi baik.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah tahun 2004 – 2006 diperoleh bahwa hasil survei kecacingan tertinggi
berada di Kabupaten Semarang, Puskesmas Pringapus, Sekolah Dasar 03 yaitu
sebesar 25%. Sedangkan hasil survei kecacingan di beberapa kabupaten lainnya
relatif rendah, yaitu Kabupaten Jepara 5,38% , Kabupaten Temanggung 5,33% ,
Kabupaten Blora 4,19% dan Kabupaten Sukoharjo 4,05%.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut :
o Apakah ada Hubungan Antara rangking di kelas dengan kejadian
kecacingan pada anak
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan prestasi belajar anak dengan prevalensi
Soil Transmitted Helminth.
8
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth pada
anak Sekolah Dasar xxx
2) Mengetahui prestasi rangking siswa-siswi di kelas Sekolah
dasar xxx dengan prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth
3) Mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted
Helminth dengan tingkat prestasi belajar anak Sekolah Dasar 03
Pringapus kelas lima dan kelas enam,
1.4. Manfaat
1. Memberikan informasi kepada masyarakat di daerah
tersebut mengenai prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth pada
anak Sekolah Dasar xxx
2. Memberikan bahan pertimbangan pada petugas di
daerah tersebut untuk meningkatkan penyuluhan bagi anak dengan
resiko tinggi infeksi Soil Transmitted Helminth
3. Memberikan bahan masukan kepada petugas untuk
rencana pencegahan dan pemberantasan infeksi Soil Transmitted
Helminth di daerah Pringapus Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
4. Memberikan bahan masukan mengenai pentingnya
kebersihan anak dalam masyarakat khususnya anak usia sekolah
9
5. Sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Soil Transmitted Helminth (STH)
Manusia merupakan hospes definitif beberapa nematoda usus (cacing
perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Soil
Transmitted Helminth (STH) adalah cacing golongan Nematoda yang
memerlukan tanah untuk berkembang kebentuk infektifnya. Cacing yang
terpenting diantaranya adalah cacing gelang ( Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk
(Tricuris trichiura). Cacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti di
Indonesia. Pada umumnya telur cacing tersebut dapat bertahan pada tanah yang
lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh
manusia sebagai hospes definitifya.(1)
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi tanah
oleh STH antara lain adalah :
1. Tanah
Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan daya
tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh merupakan
tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides dan
10
Trichuris trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan bercampur humus sangat
sesuai untuk pertumbuhan larva cacing tambang disamping teduh.(4,6)
2. Iklim/Suhu
Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan telur
dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia.(6) Suhu optimum untuk
pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar 25ºC,(7) sedangkan telur
Trichuris trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. larva
Ancylostoma duodenale akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 23-25 °C,
sedangkan untuk Necator americanus berkisar antara 28-32 °C.(4)
3. Kelembaban
Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva dari
STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan bagi
pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan telur
Ascaris lumbricoides sedang telur Trichuris trichiura menjadi stadium larva
maupun bentuk infektif pada kelembaban 87%.(6) Sedangkan kelembaban
94,3% sangat baik untuk perkembangan telur cacing tambang yang akan
berhenti pada kelembaban 86,6%.(8)
4. Sinar Matahari
Panas yang langsung akan mematikan telur dan larva STH.(6)
11
5. Angin ; Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga
dapat mematikan telur dan larva. Selain itu angin juga dapat menyebarkan
telur STH dalam debu sehingga mempermudah penularan infeksi STH.(6)
Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis,
terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua
umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak.
Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan
diri dan lingkungan.(3)
2.2 Ascaris lumbricoides
1. Habitat dan distribusi geografik
Habitat cacing dewasa adalah usus halus manusia. Cacing ini mempunyai
penyebaran geografis yang luas ( kosmopolit ), terutama di daerah beriklim tropis
dengan panas, kelembaban, dan curah hujan tinggi.(2)
2. Morfologi
Bentuk seperti gelang atau silinder. Ukuran cacing betina 20 – 35 cm x 3 – 6
mm, cacing jantan 15 – 31 cm x 2 – 4 mm dengan ujung ekor melengkung.
Cacing berwarna agak kemerahan, bagian kepala dan ekor lancip .(9) Seekor cacing
betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur
yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.(4)
12
Telur stadium tidak dibuahi corticated berbentuk lonjong, berukuran 90 x 40
m dengan dinding dalam hialin tipis, dinding luar albuminoid kasar, berwarna
kuning tengguli berisi granula-granula kasar. Decorticated tanpa dinding luar.
Sedangkan telur yang dibuahi corticated berbentuk oval, berukuran 60 x 45 m
dengan dinding dalam hialin tebal, dinding luar albuminoid kasar, warna kuning
tengguli, berisi satu sel (tinja baru), morula, atau larva infektif (tinja lama).
Decorticated tanpa dinding luar.(10)
3. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup dalam usus halus, kopulasi juga terjadi di usus halus.
Cacing betina menghasilkan telur baik yang dibuahi dan yang tidak dibuahi dan
akan keluar bersama tinja. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu sekitar 3 minggu. Bentuk
infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu
dialirkan ke jantung, kemudian ikut aliran darah ke paru. Di paru, larva
menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga
alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea,
larva menuju ke faring menimbulkan rangsangan pada faring berupa batuk,
sehingga larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus dan
menjadi dewasa di usus halus.(4)
3. Patologi
13
Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Dalam
perjalanannya ke paru dapat memberikan gejala berupa pneumonitis ( Ascaris
pneumonitis ). Pada anak memberi gejala menyerupai asma, demam, sesak napas,
eosinofilia, keadaan ini disebut sindroma Loeffler. Pada orang yang sensitif timbul
gejala alergi, gatal-gatal dan urtikaria. Pada stadium dewasa biasanya tanpa gejala.
Oleh karena habitatnya di usus halus, maka dapat menimbulkan gejala intestinal yang
ringan seperti nusea, vomitus, nyeri perut, konstipasi, dan diare.(9) Pada infeksi berat
dapat menyebabkan malnutrisi, rasa tidak enak pada perut dan kolik terutama pada
anak-anak. Cacing juga dapat menggumpal dan menyumbat usus sehingga terjadi
obstruksi usus. Pada keadaan tertentu cacing dewasa dapat mengembara ke saluran
empedu, apendiks, dan bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat.
5. Diagnosis
Diagnosis spesifik dilakukan dengan menemukan telur dan atau cacing dalam
tinja.
6. Pengobatan
Beberapa obat yang aman diberikan dan efektif yaitu piperazin. Obat
lainnya seperti levamisol, pyrantel pamoat, dan mebendazole juga cukup baik.(11)
7. Epidemiologi
Prevalensi Ascariasis pada anak-anak sangat tinggi, 60 % - 90 %. Di
Indonesia penyebabnya terutama kondisi tanah ( liat ), lembab dan suhu yang
berkisar 250-300C sangat cocok untuk perkembangan telur Ascaris untuk menjadi
infektif. Di samping itu, kurangnya pemanfaatan jamban untuk buang air besar
14
menimbulkan pencemaran tanah di sekitar rumah, serta adanya pemanfaatan tinja
segar sebagai pupuk di daerah tertentu.(4)
2.3. Trichuris trichiura
1. Habitat dan distribusi geografik
Habitat cacing ini pada sekum mamusia dan menyebar ke apendiks dan
ilium distal, bahkan bisa mencapai seluruh kolon dan rectum. Distribusi cacing ini
mayoritas di daerah tropis hingga subtropis, daerah hujan lebat dan tanah
terkontaminasi tinja.
2. Morfologi
Bentuk seperti cambuk, disebut demikian karena 3/5 bagian cranial
berbentuk seperti benang sehingga dilukiskan sebagai cambuk dan 2/5 bagian
kaudal gemuk sebagai gagang cambuk.
Cacing jantan berukuran 30 – 45 mm,dengan bagian kaudal atau ekor yang
sangat melengkung dan mempunyai sebuah spikulum seperti lanset. Cacing betina
agak lebih besar, dengan ukuran 35 – 50 mm.
Telur menyerupai tempayan dengan ukuran 50 – 54 m x 20 – 30 m.
Bagian luar berwarna kuning dengan 2 ujung atau kutub bening. Telur berisi sel
telur dalam tinja yang segar, atau berisi larva pada tinja 3 – 6 minggu ( telur
matang ). Cacing betina dapat menghasilkan telur 1.000-5.000 butir per hari, dan
telur ini dapat bertahan lama di alam.
3. Siklus hidup.
15
Cacing dewasa jantan dan betina hidup dalam sekum, setelah kopulasi
cacing betina menghasilkan telur yang kemudian keluar bersama tinja. Telur
tersebut akan matang ( berisi larva ) dalam waktu 3-6 minggu pada lingkungan
yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab. Infeksi terjadi jika telur matang
tertelan. Telur akan menetas menjadi larva di usus halus. Sesudah menjadi dewasa
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum.
Jadi cacing tidak mempunyai siklus paru.(4)
4. Patologi
Sejumlah kurang dari 100 cacing yang menginfeksi orang tidak
menimbulkan gejala yang nyata. Tetapi pada infeksi berat dapat menyebabkan
kondisi bernacam – macam, kadang dapat menimbulkan kematian. Bagian
anterior atau kepala cacing masuk ke dalam mukosa usus, menyebabkan trauma
pada sel epitel mukosa usus sehingga menimbulkan perdarahan kronis, disamping
itu cacing ini juga menghisap darah sehingga menyebabkan anemia.(12) Pada
infeksi berat terjadi colitis dengan tinja berlendir dan darah. Iritasi terus menerus
dari usus dan kelemahan otot levator ani bisa menyebabkan prolapsus rekti.(14)
Komplikasi dapat terjadi oleh infeksi amuboid yang menyebabkan sindroma
disentri. Gejala lain yang timbul adalah hilang nafsu makan, vomitus, diare,
konstipasi, insomnia.(12)
5. Diagnosis
Diagnosis spesifik dilakukan dengan menemukan telur cacing dalam tinja.
6. Pengobatan
16
Obat yang paling efektif adalah Mebendazole.(12)
7. Epidemiologi
Angka infeksi Trichuris tertinggi terdapat pada anak-anak karena sering
bermain tanah, sehingga mereka mengkontaminasi tanah tempatnya bermain dan
kemudian dapat terjadi reinfeksi pada mereka melalui telur dari tanah ke mulut. (14)
Trichuriasis sering terjadi bersamaan dengan Ascariasis. Derajat infeksi di daerah
tropis dapat mencapai 80 %, tetapi frekuensi rata-rata tertinggi terjadi di daerah
hujan lebat, subtropik, atau pada tanah yang terkontaminasi tinja.(7)
2.4. Cacing Tambang
1. Habitat dan distribusi geografik
Spesies cacing tambang yang sering ditemukan pada manusia ada dua
macam, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing tambang
dewasa hidup pada mukosa usus halus manusia dengan gigi kaitnya.
Penyebarannya adalah di daerah tropis dan subtropis.(7) Di Indonesia infeksi
cacing tambang lebih banyak disebabkan oleh Necator americanus.(15)
2. Morfologi
Cacing tambang berbentuk silinder, berwarna merah muda. Cacing betina
kedua ujung badannya agak lancip, pada cacing jantan ujung kepala lancip, ujung
ekornya melebar. Cacing Ancylostoma duodenale, betinanya berukuran 10 – 13
mm x 0,6 mm, cacing jantan berukuran 8 – 11 mm x 0,4 – 0,5 mm. bentuk
badannya menyerupai huruf C. Sedangkan untuk Necator americanus betina
17
berukuran 9 – 11 mm x 0,4 mm, cacing jantan berukuran 7 – 9 mm x 0,3 mm,
bentuk badannya menyerupai huruf S. kedua cacing ini mempunyai rongga mulut
yang besar.(9)
Larva rhabditiform berukuran 250-300 m x 20 m, esophagus 1/3
panjang badan. Sedangkan larva filariform berukuran 600 m x 25 m,
esophagus memanjang sampai ¼ panjang badan, berekor lancip dan aktif
bergerak.(9)
Telur cacing tambang keluar bersama tinja, berbentuk lonjong berukuran
60 m x 40 m, dengan ciri khas dinding tipis dan terdapat ruang jernih antara
embrio dan dinding telur.(14)
3. Siklus Hidup
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di dalam usus halus, setelah
kopulasi, cacing betina menghasilkan telur yang keluar bersama tinja. dalam
waktu 1-2 hari, telur menetas menjadi larva rhabditiform, setelah 5-8 hari menjadi
larva filariform. Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit manusia
mengikuti peredaran darah menuju jantung kanan dan kemudian ke paru. Larva
menembus alveoli, bermigrasi melalui bronkus ke trakea dan faring, kemudian
tertelan sampai ke usus halus dan menetap di usus halus.(9)
4. Patologi
Pada stadium larva, bila banyak larva filariform menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch.(4) Pada stadium dewasa, gejala
infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus yang berada di
18
dalam mulut cacing, kehilangan darah yang dihisap cacing dan terjadinya
perdarahan dari tempat perlekatan. Pada infeksi akut dengan banyak cacing
menyebabkan nausea, muntah, sakit perut, diare, dan bahkan dapat menimbulkan
kematian. Pada infeksi kronik, gajala utamanya adalah anemia defisiensi besi
( hipokrom mikrositik ).(14)
Dari dua spesies cacing tambang pada manusia, Necator americanus yang
lebih jinak.(16) Diduga bahwa satu Necator americanus menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,03 – 0,05 ml darah/hari dan Ancylostoma duodenale 0,15 ml
darah/hari.(13)
5. Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi cacing tambang tergantung dari ditemukannya
telur dalam tinja segar. Dalam tinja lama mungkin ditemukan larva.(4)
6. Pengobatan
Pyrantel pamoat memberikan hasil yang cukup baik jika digunakan 2 – 3
hari berturut-turut.(4)
7. Epidemiologi
Penyebaran penyakit cacing tambang ini dipercepat dengan adanya
migrasi penduduk yang besar antara daerah tropis dan subtropis. Infeksi cacing
tambang diperkirakan diderita oleh 700 juta orang di seluruh dunia.
Faktor-faktor yang menguntungkan penyebaran parasit adalah tanah
berpasir, gembur dan banyak mengandung humus, kebiasaan buang air besar di
19
tanah terbuka atau pekarangan, kondisi geografis daerah tropis yang panas,
lembab dan mempunyai curah hujan tinggi, sangat menguntungkan bagi
perkembangan telur cacing.(7)
2.4 Penentuan Peringkat Kelas Rapor Ktsp
Pelaporan Hasil Penilaian Kelas rapor,
masing-masing sekolah boleh menetapkan sendiri model rapor yang dikehendaki
asalkan menggambarkan pencapaian kompetensi peserta didik pada setiap mata
pelajaran yang diperoleh dari ketuntasan kompetensi dasarnya. Nilai pada rapor
merupakan gambaran kemampuan peserta didik, karena itu kedudukan atau bobot
nilai harian tidak lebih kecil dari nilai sumatif (nilai akhir program). Kompetensi yang
diuji pada penilaian sumatif berasal dari SK, KD dan Indikator semester
bersangkutan. Penyusun Laporan Sebagai Akuntabilitas Publik. Laporan kemajuan
hasil belajar peserta didik dibuat sebagai pertanggungjawaban lembaga sekolah
kepada orangtuawali, peserta didik, komite sekolah, masyarakat, dan
instansi terkait lainnya. Laporan tersebut merupakan sarana komunikasi dan kerja
sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat yang bermanfaat baik bagi kemajuan
belajar peserta didik maupun pengembangan sekolah. Pelaporan hasil belajar
hendaknya tanpa rekayasa. Merinci hasil belajar peserta didik berdasarkan kriteria
yang telah ditentukan dan dikaitkan dengan penilaian yang bermanfaat bagi
pengembangan peserta didik Memberikan informasi yang jelas, komprehensif, dan
akurat.Menjamin orangtua mendapatkan informasi secepatnya bilamana anaknya
bermasalah dalam belajarBentuk LaporanLaporan kemajuan belajar peserta didik
dapat disajikan
dalam data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif disajikan dalam angka
(skor), misalnya seorang peserta didik mendapat nilai 6 pada mata pelajaran
matematika. Namun, makna nilai tunggal seperti itu kurang dipahami peserta didik
20
maupun orangtua karena terlalu umum. Hal ini membuat orangtua sulit
menindaklanjuti apakah anaknya perlu dibantu dalam bidang aritmatika, aljabar,
geometri, statistika, atau hal lain.Laporan harus disajikan dalam bentuk yang lebih
komunikatif dan komprehensif agar profil atau tingkat kemajuan belajar peserta didik
mudah terbaca dan dipahami). Dengan demikian orangtuawali lebih mudah
mengidentifikasi kompetensi yang belum dimiliki peserta didik, sehingga dapat
menentukan jenis bantuan yang diperlukan bagi
anaknya. Dipihak anak, ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan ...
2.3. Sarana dan Prasarana
Faktor yang menyangkut sarana dan prasarana misalnya gedung,
perlengkapan belajar, alat-alat praktek, dan fasilitas lainnya. Dapat juga berupa
perangkat lunak seperti kurikulum, program, pedoman mengajar, tenaga pengajar,
metode mengajar dan lainnya.(17) Perlu diperhatikan sikap guru terhadap siswa.
Sikap yang baik, ramah dan mengenal siswa akan mendorong siswa untuk
menyukai gurunya. Metode mengajar guru juga berpengaruh terhadap prestasi
belajar, karena akan berpengaruh terhadap metode belajar siswa. Metode yang
tepat untuk mata pelajran tertentu dapat lebih efektif jika disertai dengan media
pendidikan yang baik pula. (18)
2.4. Suasana Lingkungan
Suasana lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan belajar.
Suasana lingkungan menyangkut beberapa hal seperti : lingkungan alam yaitu
cuaca, suhu udara, waktu, kondisi tempat, penerangan dan lainnya. Untuk dapat
belajar dibutuhkan kondisi lingkungan fisik yang lain antara lain tempat belajar
21
tersendiri, tempat belajr tidak ramai, dan tempat belajar yang cukup
penerangannya. Lokasi sekolah yang dekat dengan pusat keramaian seperti
terminal, pasar, bioskop, dan pusat pertokoan dapat mempengaruhi sikap dan
reaksi siswa dalam aktifitas belajarnya. Lingkungan sosial yang paling
berpengaruh terhadap belajar anak adalah lingkungan keluarga, kususnya orang
tua.
Keluarga sebagai wahana menumbuhakn potensi anak merupakan pusat
pendidikan yang pertama dan utama. Suasana rumah yang selalu ada
percekcokan, keadaan keluarga yang senantiasa terganggu ,tidak adanya
hubungan yang baik antara orang tua dan anak dapat menyebabkan gangguan
belajar pada anak. Selain itu anak juga membutuhkan contoh dan bimbingan
dalam belajar dari orang tuanya. Misalnya orang tua yang senang membaca, turut
mendampingi pada saat anak belajar, sangat memacu anak untuk rajin. (19)
2.5. Motivasi
Motivasi yang berhubungan dengan motif dan tujuan sangat berpengaruh
terhadap kegiatan dan hasilnya. Motivasi penting bagi proses belajar karena
mempengaruhi tindakan serta memilih tujuan belajar yang dirasakan paling
berguna bagi kehidupan individu.
3. Pengaruh Infeksi Ascaris lumbricoides terhadap Absorbsi Zat Gizi
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides pada umumnya tidak menimbulkan
kelainan, kecuali pada infeksi berat. Sejumlah cacing akan menghambat mukosa usus
22
halus, akan menghambat absorbsi zat-zat gizi ke dalam jaringan tubuh. Akibat infeksi
cacing tersebut bentuk mukosa berubah dan kelainan patologik akan hilang setelah
diberikan antelmitik. Secara mekanik cacing tersebut juga dapat merusak usus.
1. Gangguan Absorbsi Protein
Cacing Ascaris lumbricoides di dalam usus menyebabkan hiperperistaltik,
sehingga dapat menimbulkan diare. Akibat diare akan terjadi keseimbangan protein
yang negative dan asam-asam amino dilepaskan dari otot dan jaringan tepi. Proses ini
dapat berlangsung selama beberapa hari, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sekitar 7% protein yang terdapat dalam diet akan hilang dengan terjadinnya
infeksi Ascaris lumbricoides dari sedang sampai berat.
2. Gangguan Absorbsi Karbohidrat
Apabila cacing Ascaris lumbricoides dikeringkan dan ditimbang, 24% dari pada
angka tersebut adalah glikogen yang terdapat dalam tubuh cacing, ini menunjukkan
adanya kelainan metabolisme laktosa di dalam tubuh. Juga ditemukan lebih banyak
hidrigen (H) dalam pernapasan dan kenaikan glukosa plasma yang kurang pada anak-
anak terinfeksi Ascaris lumbricoides. Pada anak-anak penderita askariosis, enzim
laktosa kurang terabsorbsi dan menghasilkan gas Hidrogen dalam pernapasan. Pada
anak-anak terinfeksi Ascaris lumbricoides juga ditemukan steatore ringan, sekitar
10,8% dari berat cacing terdiri dari lemak.
3. Gangguan Absorbsi Vitamin
Absorbsi vitamin A diteliti pada 29 anak penderita askariosis dibandingkan
dengan anak sehat, ditemukan mal-absorbsi vitamin A pada 70% penderita askariosis.
Kasus askariosis di masyarakat yang disertai dengan vitamin A yang sedikit di dalam
makanannya, memberikan peluang terjadinya defisiensi vitamin A yang secara klinik
23
seperti hemeralopia dan seroftalmi. Jumlah vitamin A dan karotin pada penderita
askariosis dengan dan tanpa hemeralopia, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
anak yang tidak cacingan.
C. Pengaruh Infeksi Cacing Tambang terhadap Anemia, Defisiensi Zat Besi dan
Kekurangan Protein
Penyakit yang disebabkan cacig tambang (Ankilostomiosis dan Nekatoriosis)
pada hakekatnya merupakan penyakit infeksi menahun (kronik), dan biasanya orang
yang terinfeksi cacing ini sering tidak menunjukkan gejala akut. Pada anak-anak
dengan infeksi berat, dapat mengakibatkan kemunduran fisik dan mental. Tinja
penderita mengandung sejumlah darah atau kadang-kadang darah yang tidak bisa
dilihat mata biasa (occult blood) dengan mudah dapat ditemukan. Apabila
diperhatikan dari segi hematology, biokimia, gejala dan terapinya, maka anemia yang
disebabkan oleh cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
tergolong anemia defisiensi besi. Di daerah tropik kadang-kadang anemia yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang dapat bersifat dimorfik, karena selain ada
defisiensi besi juga terjadi defisiensi zat-zat lainnya (Brown, 1994).
1. Metabolisme Zat Besi
Pola metabolisme pada anemia yang disebabkan infeksi cacing tambang adalah
sama dengan pola metabolisme pada anemia yang di sebabkan oleh terjadinya
perdarahan usus secara menahun dan anemia hipokrom menahun pada perdarahan.
Perbedaan patogenitas antara A. duodenale dan N. americanus dapat terjadi adanya
kehilangan jumlah darah yang berbeda. Kebiasan cacing yang berpindah-pindah
24
tempat dalam usus menye-babkan lebih banyak tempat di usus yang mengeluarkan
darah. Seekor cacing N. americanus dapat menyebabkan kekurangan darah 0,1 cc
perhari, sedangkan A. duodenale sampai 0,34 cc perhari (Gercia and Bruckner, 1998).
2. Perdarahan dapat Menghilangkan Zat Besi dan Protein
Dalam 10 ml darah mengandung lebih dari 750 mg protein dan 5 mg besi, aka
tetapi kadar protein di dalam plasma hanya akan berkurang pada kasus-kasus yang
berat. Jumlah darah yang hilang karena infeksi cacing tambang tergantung dari berat
atau ringannya infeksi. Makin berat infeksi semakin rendah kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah (Gandahusada, dkk.2005). Teori mengenai sebab terjadinya anemia yang
di sebabkan infeksi cacing tambang terjadi sebagai perdarahan usus yang terjadi pada
waktu cacing tambang mengisap darah di dalam usus, dari dahulu para ahli
menganggap sebagai penyebab terjadinya anemia, kemudian diajukan teori-teori lain
seperti teori toksin oleh Loos dan Ashford, teori malnutrisi, teori hemolisis dan teori
perdarahan. Pada kasus anemia yang disebabkan infeksi cacing tambang, kadang-
kadang ditemukan eritropoiesis yang berkurang. Kadar vitamin B-12 di dalam serum
lebih rendah pada kasus anemia yang disebabkan cacing tambang, yaitu 130-160 %
pada kasus infeksi berat dan 179 % pada infeksi ringan, sedangkan pada kasus
anemia defisiensi besi lainnya rata-rata 232 ug%.
D. Pengaruh Infeksi Trichuris trichiura Terhadap Gizi dan Anemia
Untuk mengambil makanan cacing Trichuris trichiura memasukkan tubuh
bagian interiornya ke dalam mukosa usus hospes. Cacing ini dapat hidup beberapa
tahun di dalam usus manusia (Faust et al, 1990). Kerusakan mekanik pada bagian
kolon disebabkan oleh kepala cacing yang masuk ke dalam epitel, tidak dijumpai
25
peradangan kolon yang difus, apabila terjadi disentri, mukosa menjadi sembab dan
rapuh.
Dalam masyarakat, infeksi cacing T. trichiura dengan gejala ringan tidak
banyak menimbulkan perhatian. Pada infeksi berat dengan diare yang terus menerus
dengan darah di dalam tinja. Adanya kasus diare yang sedang berlangsung selama
berbulan-bulan menyebabkan pertumbuhan anak tidak memuaskan, berat badan
berkurang dan tidak sesuai dengan umur (Margono, 2001).
Pada kasus infeksi berat, dapat menimbulkan intoksikasi sistemik dan di ikuti
anemia yang dapat menyertai infeksi dengan kadar Hb 3 mg per 100 ml darah.
Rupanya cacing ini juga mengisap darah hospes, perdarahan dapat terjadi pada
tempat melekatnya, kira-kira 0,005 ml darah setiap hari terbuang akibat di isap oleh
se ekor cacing ini (Brown, 1993). Berbagai gangguan tersebut di atas, ternyata dapat
mengakibatkan pula gangguan kognitif secara tidak langsung. Dilaporkan oleh
Hadidjaya (1996) bahwa gangguan kognitif bisa terjadi secara langsung, ia
menemukan terdapat hubungan kausal antara infeksi cacing Ascaris lumbricoides
dengan fungsi kognitif. Penelitian Nokes, dkk. (1998) melakukan tes kognitif
terhadap anak-anak usia sekolah (9-12 tahun) yang terinfeksi cacing Trichuris
trichiura dari sedang sampai berat. Hasil tes menunjukkan penurunan kandungan
cacing cenderung secara bermakna dapat meningkatkan daya ingat dan pendengaran.
Jadi ada hubungan kausal antara anak usia sekolah yang terinfeksi cacing dengan
kemampuan kognitifnya.
Mohammad (2004) menggunakan TONI-tes (tes non verbal intelligence) untuk
melihat gangguan fungsi kognitif anak-anak yang terinfeksi cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura dari sedang sampai berat pada anak-anak
Sekolah Dasar di daerah pedesaan Trengganu (Malaysia), ternyata intensitas penyakit
26
cacingan tersebut mempunyai pengaruh bermakna terhadap kemampuan anak dalam
memecahkan masalah.
Di Indonesia prevalensi infeksi A. lumbricoides 71 %, T. trichiura 80 % dan
Cacing tambang 40 % pada anak-anak Sekolah Dasar. Adanya gangguan kognitif
secara langsung maupun tidak langsung pada penderita infeksi cacing yang ditularkan
melalui tanah, menunjukkan bahwa mutu sumber daya manusia di Indonesia paling
sedikit 65 % terganggu. Upaya pemberantasan penyakit cacingan secara
berkesinambungan, dapat menurunkan bahkan mungkin menghilangkan sama sekali
infeksi cacing di masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan mutu sumber daya
manusia masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan
(http://fmipa.unp.ac.id/artikel-129-gangguan-fungsi-kognitif-akibat-infeksi-cacing--yang-ditularkan-melalui-tanah.html)
2.10. Kerangka Teori
27
TELUR STH di
Tanah
Manusia Terinfeksi STH
Malnutrisi(defisiensi
karbohidrat dan protein)
Anemia
Rangking
Anak Sekolah
Perilaku Sosial-ekonomiUmur Pekerjaan Pendidikan
Suhu/IklimKelembabanTanah Sinar Matahari Angin
Cara BelajarSarana & prasarana Suasana lingkunganMotivasi
3.3. Kerangka Konsep
2.12. HIPOTESA
Ada hubungan antara infeksi ”Soil Transmitted Helminths”
dengan prestasi rangking siswa-siswi di kelas SDN xxx.
28
Infeksi STH pada
Anak SekolahPrestasi rangking siswa di kelas
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
3.1.1. Lingkup Materi
a. Cacing usus dalam penelitian ini adalah cacing usus yang
siklus hidupnya melalui tanah, meliputi Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale ,dan Necator americanus .
b. Hasil prestasi belajar anak-anak Sekolah Dasar xxx
3.1.2. Lingkup Keilmuan
Melibatkan disiplin ilmu Parasitologi
3.1.3. Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar xxx, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah dan pemeriksaan dilakukan di laboratorium
Parasitologi FK UNDIP Semarang.
3.1.4. Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2013
3.2. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan
pendekatan cross sectional.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
29
Populasi penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar xxx, Kabupaten
Semarang , Jawa Tengah.
Alasan peneliti mengambil tempat tersebut adalah berdasarkan
data yang diperoleh dari Dikes Jateng tahun 2004-2006 bahwa
prevalensi kecacingan yang tertinggi sebesar 25% berada di
Sekolah Dasar xxx ,Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
3.3.4. Sampel
Sampel penelitian diambil dari murid Sekolah Dasar xxx, kelas
lima dan kelas enam, dengan mengambil semua sampel.
a. Kriteria Inklusi
semua anak kelas empat dan kelas lima Sekolah Dasar xxx.
b. Kriteria Eksklusi
- Anak tidak masuk saat pengambilan sampel
- Orang tua dari anak tidak mengijinkan
c. Besar sample
Dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal
untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi.
n =
Diketahui bahwa proporsi kecacingan sebelumnya sebesar 25%
(P0 = 0,25), dan proporsi sekarang sebesar 10% (Pa = 0,10) dengan
30
perbedaan yang diharapkan sebesar 0,15. Tingkat kemaknaan (α)
satu arah 0,05 dan power 80%.
Zα = 1,645 ; Zβ = 0,842 ; Po = 0,25 ; Pα = 0,10
n =
n = 42
sehingga diperoleh bahwa sampel minimal yang dibutuhkan yaitu
sebesar 42 sampel.
3.4. Bahan, Alat, dan Cara Kerja
3.4.1 Bahan
a. Bahan Pemeriksaan
Untuk mendapat data guna menjawab permasalahan ini digunakan
kuesioner. Data diukur dengan menggunakan skala nominal diberi skor
untuk masing-masing jawaban. Selain data berupa hasil jawaban
koesioner,nilai KKM,dan juga sample tinja sebagai data primer lainnya.
b. Bahan pengujian
Pemeriksaan tinja untuk mencari telur cacing menggunakan metode Kato-
Katz. Bahan yang diperlukan sebagai berikut :
1) Reagen untuk membuat larutan Malachite green 3%
Kristal Malachite green
Aquadest
31
2) Larutan Pemulas cellophant
1 bagian larutan Malachit green
100 bagian gliserin
100 bagian aquadest ( atau 6% fenol)
3.4.2 Alat Penguji
a. Pot untuk feses
Pot diberi label nama atau kode penulisan, kode dibut dengan metode
kato-katz.
b. spatula kayu
c. saringan 60-105 mesh
d. template dengan diameter lubang 6,0 mm; tebal 1,0 mm setara 30 mg tinja
e. gelas objek / object glass
f. selofan hidrofilik (tebal 40 um; ukuran 7 x 2,5 cm)
g. pinset
h. kertas toilet
i. kertas minyak
j. mikroskop
k. counter atau alat penghitung
3.4.3. Cara Kerja
Cara kerja sebagai berikut :
l. Sejumlah tinja diletakkan di atas secarik kertas minyak. Kemudian
saringan diletakkan di atas tinja dan ditekan ke bawah dengan
32
menggunakan spatula kayu. Tinja akan tersaring melewati saringan dan
terletak di atas saringan.
2. Spatula kayu digunakan untuk mengambil tinja di atas saringan
tersebut untuk dipindahkan ke lubang template.
3. Lubang template diletakkan di tengah-tengah gelas objek dan tinja
yang telah disaring dimasukkan dengan menggunakan spatula kayu
sehingga memenuhi lubang template. Tinja yang berlebihan di sekeliling
lubang diratakan dengan spatula kayu hingga rata memenuhi lubang
template (template, spatula dan saringan dapat digunakan lagi bila dicuci
dengan seksama dan bersih) sehingga diperoleh tinja dengan berat kira-
kira 30 mg.
4. Template diangkat secara hati-hati sehingga tinja yang tertinggal di
gelas objek tetap berbentuk silinder.
5. Tinja ditutup dengan pita selofan yang telah direndam dengan larutan
glycerin malachite green selama 24 jam. Selofan yang basah digunakan
untuk tinja yang keras dan selofan agak kering untuk tinja yang lembek.
Bila ada cairan yang berlebihan di atas selofan, dibersihkan dengan kertas
toilet. Di daerah yang panas gliserin yang berlebihan hanya menghambat,
tetapi tidak mencegah kekeringan.
6. Dengan menggunakan salah satu ujung dari sebuah gelas objek, tinja
diratakan setipis mungkin sehingga tersebar secara merata di antara
sediaan dan selofan.
33
7. Sediaan tersebut diangkat dengan hati-hati dari salah satu sisi, agar
selofan tidak tergeser atau terlepas. Penguapan air dan gliserin akan
membuat tinja menjadi jernih.
8. Sediaan didiamkan 30 menit dalam temperatur kamar.
9. Diperiksa dengan mikroskop seluruh permukaan pita selofan dengan
pembesaran lemah. Jumlah telur cacing yang ditemukan dihitung.
10. Bila ditemukan jumlah telur pada sediaan Kato adalah N dari tinja
seberat 30 mg, maka jumlah telur per gram tinja adalah N x [1000/30].
3.5. Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari 2 macam, yaitu data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pemeriksaan
secara langsung oleh peneliti yaitu pemeriksaan laboratorium ,hasil
kuosioner dan nilai KKM.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang digunakan sebagai pendukung untuk
melengkapi karya ilmiah ini. Data sekunder dapat diperoleh dari
instansi yang terkait dengan penelitian ini, seperti :
Kantor Statistik Kotamadya
Puskesmas Pringapus
Kantor Kecamatan dan kelurahan
34
Perpustakaan
3.6. Cara Pengolahan Data
Pengolahan data yang meliputi pengeditan, penabulasian, dan
pengelompokan dilakukan secara manual menggunakan program SPSS 15
dan MS Word for Windows.
3.7. Analisa Data
Untuk mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth
dengan prestasi belajar anak Sekolah Dasar xxx, maka dilakukan analisa
yang terdiri dari :
1. Analisa Deskriptif
Dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi dan table
silang.
2. Analisa Analitik
Analisa dengan menggunakan uji Chi Square (uji χ2) untuk
menjelaskan hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth
dangan prestasi belajar anak. Analisa dilanjutkan dengan regresi
logistik untuk menguji kontribusi faktor perancu.
3.8. Alur Penelitian
35
3.9. Definisi Operasional
Jenis Variabel Nama Variable Definisi Operasional Skala
Tergantung Prestasi Belajar Berdasarkan nilai KKM yang
ditentukan oleh Sekolah
Baik : semua mata pelajaran
mencapai KKM
Kurang : tidak semua mata
pelajaran mencapai KKM
Nominal
Bebas Infeksi STH Dinilai pada saat
pemeriksaan tinja
Nominal
36
PengambilanSampel
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi
Sampel Tinja Kuesioner Penelitian
Nilai KKM
PemeriksaanKato-Katz
Analisis Data
menggunakan metode Kato-
Katz.
Positif (terinfeksi) : bila
ditemukan telur cacing STH
dalam tinja pada saat
pemeriksaan.
Negatif (tidak terinfeksi) :
bila tidak ditemukan telur
cacing STH dalam
pemeriksaan tinja.
Perancu Cara belajar,
sarana dan
prasarana,
motivasi
Dinilai dengan menggunakan
kuesioner
Baik : bila nilainya >18
Buruk : bila nilainya <18
Nominal
37
Daftar Pustaka
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian cacingan.
Jakarta: Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006.
2. Soedarto. Helmintologi kedokteran, Jakarta : EGC, 1991: 86-91.
3. Tjitra E. Penelitian Soil Transmitted Helminth di Indonesia. Jakarta : Pusat
penelitian penyakit menular DepKes R.I. Cermin Dunia Kedokteran No.72,
1991:13-15.
4. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitologi kedokteran.Ed.3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2006: 8-26.
5 Elmi, Sembiring T, Dewiyani BS, Hamid ED, Pasaribu S, Chairudin PL. Status
gizi dan infeksi cacing usus pada anak sekolah dasar. Medan: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fak. Kedokteran USU, 2004.
6. Sutanto BV. Aspek Epidemiologi Infeksi “Soil Transmitted Helminth” di
Indonesia. Dalam : Kumpulan Makalah Seminar Sehari IDI Wilayah Jawa
Timur. Surabaya: Laboratorium FK UNAIR. 1988:5 – 11
7. Brown HW. Dasar Parasitologi Klinik. Edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia.
1979:165-222, 507-11.
8. Faust EC, Russel PF, Yung RC. Clinikal Parasitology. 8th ed. Philadelphia:
Lea & Febiger. 1976.
38
9. Lokollo DM, Oediarso. Diktat Parasitologi kedokteran helmintologi.
Semarang: FK Undip, 1976: 6-25.
10. Purnomo, W Gunawan, Magdalena L.J, Ayda R, Harijani AM. Atlas
Helmintologi Kedokteran. Ed. 2. Jakarta: PT Gramedia, 1992: 2-6.
11. Anonim. Ascaris lumbricoides. available from URL : HYPERLINK
http://www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/nematoda.doc
12. Anonim. Trichuris trichiura. available from URL : HYPERLINK
http://www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/nematoda.doc
13. Zaman V; alih bahasa, Chairil Anwar, Yandi Mursal. Atlas parasitologi
kedokteran. Jakarta: Hipokrates, 1997:192-204.
14. Gracia LS, Bruckner DA. Diagnostik parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC,
1996.138-154
15. Noer Sjaifoellah. Ilmu Penyakit Dalam jilid I.Ed. 3. Jakarta: Balai penerbit
FKUI, 1996: 513-515.
16. Yamaguchi T; alih bahasa, Leshmana P, Sutra, R Mukimian, Monika J. Atlas
berwarna parasitologi klinik. Jakarta: EGC, 1995: 97-100
17. Suwanto W : Psikologi Pendidikan. Cetakan 3. Jakarta : Rineka Cipta 1990 :
97 – 7, 107 - 15
18. Thantowi A. : Psikologi Pendidikan. Cetakan 1. Bandung : Angkasa, 1993 :
103-13
19. Sayogo S, Margono SS, Suyadi MA : Studi Anemia pada Anak Sekolah Dasar
Dalam majalah kedokteran Indonesia, 1995 : 592-4.
39
20. Noken C,Bundy.D.A.P : Does Helminth infection affect mental processing
and educational achievement. Reprinted from parrasitology today,1994:14 –
16 .
21. Mulyani S: Hubungan Kematangan social terhadap Prestasi Belajar siswa
(Laporan Penelitian). FK UNDIP Semarang,2000.
22. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan menteri
pendidikan nasional .Jakarta: Salinan Menteri Pendidikan Nasional,2007
40
LAMPIRAN
KUOSIONER PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH
DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SD 03 PRINGAPUS
KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH
Daftar pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui cara belajar,motivasi dan lingkungan belajar dirumah pada anak Sekolah Dasar 03 Pringapus dengan prestasi
belajar .
Identitas Responden :
1. Nama :
2. Umur :
3. Tanggal Lahir :
4. Kelas :
5. Anak ke :
6. Jumlah Saudara :
7. Alamat :
Identitas Orang Tua :
Ayah
1. Nama :
41
2. Umur :
3. Pendidikan Formal terakhir yang pernah ditempuh :
a. Tidak sekolah / tidak tamat SD
b. Tamat SD/MI
c. Tamat SMP/MTs
d. Tamat SMA/MA/SMEA/SMK
e. Perguruan Tinggi / Akademi
Ibu
1. Nama :
2. Umur :
3. Pendidikan Formal terakhir yang pernah ditempuh :
a. Tidak sekolah / tidak tamat SD
b. Tamat SD/MI
c. Tamat SMP/MTs
d. Tamat SMA/MA/SMEA/SMK
e. Perguruan Tinggi / Akademi
4. Apakah anak minum obat cacing 3 bulan terakhir : ( Ya / Tidak )
No Perbandingan Skor
42
1. Apakah anak punya buku wajib untuk sekolah
ya 3
tidak 1
2. Yang mendorong keinginan untuk belajar
diri sendiri 3
dipaksa orang tua 2
ikut teman 1
3. Lama anak belajar dalam satu hari
2 jam lebih 3
1 – 2 jam 2
kurang dari satu jam 1
4. Dalam belajar apakah ada yang menemani
ya 3
tidak 1
5. Tempat untuk belajar
Tempat sendiri 3
Kamar tidur 2
Bersama saudara diruang tamu/ ruang makan 1
6. Pada waktu balajar apa yang dirasakan anak
Nyaman 3
Biasa-biasa saja 2
Tidak nyaman 1
43
7. Teknik pada saat belajar
Membaca sendiri 3
Diskusi 2
Mendengar 1
8. Apakah anak sering belajar bersama
Ya 3
Tidak 1
9. Apakah anak ikut membantu pekerjaan orang tua
Ya 3
Tidak 1
10. Apakah anak mempunyai kebiasaan belajar teratur
Ya 3
Tidak 1
11. Apakah anak terbiasa mengulang pelajaran yang diajarkan
Ya 3
Tidak 1
12. Apakah anak belajar apa yang akan diajarkan besok
Ya 3
Tidak 1
44