3
 Cerita dari Siwa Plato (Pengantar Newsletter Antar Budaya Edisi Khusus Siwa Plato) Oleh: J. A. Sonjaya Lebih dari seribu tahun lalu, kawasan Prambanan sudah dipilih manusia untuk  beraktivitas. Buktinya adalah Candi Prambanan yang begitu monumental. Selain itu,  belasan candi yang berasal dari abad ke-8 sampai ke-10 Masehi tersebar di sekitarnya,  baik di dataran maupun di perbukitan. Dipilihnya kawasan Prambanan untuk lokasi  bangunan-bangunan suci tentunya bukan tanpa alasan. Dalam kitab Silpasastra disebutkan bahwa syarat pembangunan candi antara lain adalah adanya air dan tanahnya subur. Prambanan memiliki kedua syarat itu. Secara geomorfologis, kawasan Prambanan dibagi menjadi dua, yaitu daerah dataran di sebelah utara dan perbukitan di sebelah selatan. Daerah dataran terbentuk dari tanah aluvial yang sangat subur. Hal ini tidak lepas dari keberadaan Gunung Merapi di utara dan perbukitan Batur Agung di selatan. Keduanya menyumbangkan material yang dibutuhkan bagi kesuburan tanah. Daerah perbukitan di kawasan Prambanan merupakan  bagian dari lereng perbukitan Batur Agung. Setidaknya terdapat empat buah bukit di kawasan ini, yakni Ratu Boko, Pegat, Gunung Sari, dan Ijo. Kawasan perbukitan tersebut terjadi karena sesar (  fault ), mulai dari Bukit Ratu Boko, kemudian ke Gunung Sari, hingga ke Bukit Ijo. Sesar yang terjadi termasuk s esar turun yang normal, yang kemudian mengalami proses pelapukan dan erosi. Perbukitan struktural yang terjadi karena proses sesar ini memiliki ciri lithologi breksi tuf, breksi batu apung, tuf dasit, tuf andesit, batu lempung tufan, tuf gelas, batu pasir tufan, serpih, dan aglomerat dasitik. Di Bukit Ratu Boko, Gunung Sari, Pegat, dan Ijo ditemukan candi-candi dan  bangunan klasik lain yang secara historis tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan Prambanan, antara lain Candi Ratu Boko, Candi Barong, dan Candi Ijo. Karena keberadaan bangunan suci tersebut, maka para arkeolog Belanda menyebut bukit-bukit ini dengan istilah Siwa Plato ( Ciwa Plateau) atau Dataran Tinggi Siwa. Meskipun dalam  perkembangan berikutnya di kawasan ini ditemukan pula Candi Budha, seperti Candi

1179991442Siwa Plato

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1179991442Siwa Plato

Citation preview

  • Cerita dari Siwa Plato (Pengantar Newsletter Antar Budaya Edisi Khusus Siwa Plato)

    Oleh: J. A. Sonjaya

    Lebih dari seribu tahun lalu, kawasan Prambanan sudah dipilih manusia untuk

    beraktivitas. Buktinya adalah Candi Prambanan yang begitu monumental. Selain itu,

    belasan candi yang berasal dari abad ke-8 sampai ke-10 Masehi tersebar di sekitarnya,

    baik di dataran maupun di perbukitan. Dipilihnya kawasan Prambanan untuk lokasi

    bangunan-bangunan suci tentunya bukan tanpa alasan. Dalam kitab Silpasastra

    disebutkan bahwa syarat pembangunan candi antara lain adalah adanya air dan tanahnya

    subur. Prambanan memiliki kedua syarat itu.

    Secara geomorfologis, kawasan Prambanan dibagi menjadi dua, yaitu daerah

    dataran di sebelah utara dan perbukitan di sebelah selatan. Daerah dataran terbentuk dari

    tanah aluvial yang sangat subur. Hal ini tidak lepas dari keberadaan Gunung Merapi di

    utara dan perbukitan Batur Agung di selatan. Keduanya menyumbangkan material yang

    dibutuhkan bagi kesuburan tanah. Daerah perbukitan di kawasan Prambanan merupakan

    bagian dari lereng perbukitan Batur Agung. Setidaknya terdapat empat buah bukit di

    kawasan ini, yakni Ratu Boko, Pegat, Gunung Sari, dan Ijo. Kawasan perbukitan tersebut

    terjadi karena sesar (fault), mulai dari Bukit Ratu Boko, kemudian ke Gunung Sari,

    hingga ke Bukit Ijo. Sesar yang terjadi termasuk sesar turun yang normal, yang

    kemudian mengalami proses pelapukan dan erosi. Perbukitan struktural yang terjadi

    karena proses sesar ini memiliki ciri lithologi breksi tuf, breksi batu apung, tuf dasit, tuf

    andesit, batu lempung tufan, tuf gelas, batu pasir tufan, serpih, dan aglomerat dasitik.

    Di Bukit Ratu Boko, Gunung Sari, Pegat, dan Ijo ditemukan candi-candi dan

    bangunan klasik lain yang secara historis tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan

    Prambanan, antara lain Candi Ratu Boko, Candi Barong, dan Candi Ijo. Karena

    keberadaan bangunan suci tersebut, maka para arkeolog Belanda menyebut bukit-bukit

    ini dengan istilah Siwa Plato (Ciwa Plateau) atau Dataran Tinggi Siwa. Meskipun dalam

    perkembangan berikutnya di kawasan ini ditemukan pula Candi Budha, seperti Candi

  • Dawangsari, namun nama Siwa Plato masih sering digunakan, karena makna di balik

    istilah itu tidak sekedar merujuk pada candi-candi Hindu (Siwa), melainkan lebih pada

    dataran tinggi yang suci. Dalam konsep kepercayaan Hindu, tempat yang tinggi, seperti

    bukit, memang dianggap suci, sehingga bangunan-bangunan suci banyak didirikan di

    tempat yang tinggi.

    Seribu tahun berselang. Siwa Plato kini masih digunakan oleh manusia untuk

    beraktivitas, baik untuk pemukiman maupun untuk lahan mencari makan. Belum ada

    bukti yang menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal sekarang adalah anak keturunan

    dari penduduk seribu tahun lalu ketika candi-candi dibangun dan digunakan. Jaman telah

    berubah dan pemaknaan terhadap Siwa Plato pun berubah. Itulah yang terjadi. Siwa Plato

    tidak lagi dianggap sebagai tempat yang suci. Hal ini antara lain nampak dari ungkapan

    penduduk setempat yang menyebut kawasannya dengan istilah batu bertanah dan

    adoh ratu cerak watu. Kedua istilah itu mengandung konotasi negatif. Batu bertanah

    berarti lebih banyak batu daripada tanah. Ungkapan ini mencerminkan sebuah kawasan

    yang tandus sulit ditanami. Adoh ratu cerak watu berarti jauh dengan ratu dekat dengan

    batu. Ungkapan ini mencerminkan suatu kondisi masyarakat yang jauh dari pusat

    (kekuasaan dan kemajuan), tetapi dekat dengan batusesuatu yang mencerminkan

    keterbelakangan karena batu bersifat statis. Siwa Plato memang tersusun dari batuan

    setebal 1.000 meter, termasuk ke dalam formasi Semilir yang terbentuk pada kala

    Miosen.

    Meskipun Siwa Plato tidak lagi dipandang sebagai tempat suci, namun ia tetap

    berarti bagi penduduk yang mendiaminya sekarang. Tulisan-tulisan dalam bulletin ini

    menyajikan penggalan-penggalan cerita dari Siwa Plato dalam konteks kini, melalui Desa

    Sambirejo sebagai jendelanya. Desa berpenduduk 4.926 jiwa (sensus 2004) yang terletak

    di Bukit Ijo yang berketinggian 427 mdpl ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

    lokasinya memang startegis untuk mengamati lansekap fisik dan lansekap sosial budaya

    Siwa Plato. Sayangnya, proses pengamatan tersebut harus berhenti karena Siwa Plato

    yang merupakan daerah sesar aktif itu tergoncang hebat pada Sabtu pagi, tanggal 27 Mei

    2006. Meskipun melalui pengamatan singkat, cerita dari Siwa Plato diharapkan dapat

    memperkaya wawasan kajian antarbudaya dan antarbidang, karena tulisan-tulisan

  • tersebut dikonstruksi oleh mahasiswa dari beragam latar belakang, seperti sosiologi,

    antropologi, linguistik, serta kajian budaya dan media. (J.A. Sonjaya)