82
UNIVERSITAS INDONESIA Makalah Distribusi Barang dan Perizinan Usaha TUGAS KELOMPOK PENGANTAR HUKUM BISNIS Muhammad Alfian Rosyadi - 1206317991 Nyoman Nikki Wirawan – 1206317814 Rahajeng Gharini Estowo – 1206317852 Rizky Mafriza– 1206317991

12. Makalah Distribusi Dan Perizinan FINAL

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah hukum bisnis

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah

Distribusi Barang dan Perizinan Usaha

TUGAS KELOMPOK PENGANTAR HUKUM BISNIS

Muhammad Alfian Rosyadi - 1206317991

Nyoman Nikki Wirawan – 1206317814

Rahajeng Gharini Estowo – 1206317852

Rizky Mafriza– 1206317991

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

SALEMBA

MEI 2014

STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Kami yang bertandtangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir

adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri, tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan

tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/ belum pernah disajikan/ digunakan sebagai bahan untuk makalah/ tugas

pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan dengan

jelas menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau

dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Mata Ajaran : Pengantar Hukum Bisnis

Judul Tugas : Distribusi Barang dan Perizinan Usaha

Tanggal : 14 Mei 2014

Dosen : Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H.

Nama NPM Tanda tangan

Muhammad Alfian Rosyadi 1206317991

Nyoman Nikki Wirawan 1206317814

Rahajeng Gharini Estowo 1206317853

Rizky Mafriza 1206317991

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan dengan baik makalah atau tugas ini.

Ada pun tujuan dari penulisan makalah atau tugas ini adalah sebagai materi pembahasan mata

kuliah Pengantar Hukum BisnismengenaiDistribusi Barang dan Perizinan Usaha.

Dengan melaksanakan makalah atau tugas ini, mahasiswa mendapat serangkaian

pemahaman yang berkenaan dengan pembayaran, penyerahan barang, pengangkutan dan

pengiriman serta perizinan di bidang kegiatan usaha.

Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu, semoga Tuhan YME berkenan membalas segala kebaikan semua pihak, amin, dan

semoga makalah atau tugas ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, 14 Mei 2014

Tim penulis

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DISTRIBUSI BARANG DAN PERIZINAN USAHA 1

I. PEMBAYARAN DANPENYERAHAN BARANG 1

II. PENGANGKUTAN DAN PENGIRIMAN 15

III. PERIZINAN USAHA 32

DAFTAR PUSTAKA 56

iv

DISTRIBUSI BARANG DAN PERIZINAN USAHA

I. PEMBAYARAN DAN PENYERAHAN BARANG

a. Penyerahan Barang

Dalam konteks umum:

Secara hukum, penyerahan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum

yang memindahkan hak milik. Syarat agar suatu penyerahan dikatakan sah

berdasarkan pasal 584 KUH Perdata harus memenuhi 2 syarat, yaitu:

1. Penyerahan harus didasarkan atas sesuatu peristiwa perdata (rechtstilel) untuk

memindahkan hak milik. Dengan kata lain penyerahan harus mempunyai sebab

atau causa yang sah. Pada umumnya sebab dari penyerahan ialah perjanjian jual-

beli. Tetapi sebab atau peristiwa itu bisa juga perjanjian hibah, perjanjian tukar

menukar, suatu hibah wasiat atau suatu perbuatan melawan hukum (pasal

1365)

2. Penyerahan harus dilakukan oleh orang yg berhak berbuat bebas terhadap

benda.

Dalam konteks jual-beli:

KUHPerd mengatur mengenai penyerahan barang pada beberapa pasal di

dalam Bab Jual-Beli. Dalam pasal 1475 KUH Perdata Penyerahan mendefinisikan

penyerahan sebagai pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan hak

milik si pembeli. Penyerahan juga merupakan kewajiban utama penjual kepada

pembeli (Pasal 1474).

Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan. Jadi penyerahan merupakan komponen dalam proses jual-beli meskipun

sebagaimana dinyatakan dalam pasal berikutnya yaitu pasal 1458, bahwa meskipun

belum ada peenyerahan barang, jual-beli itu sendiri sudah dianggap terjadi apabila

penjual dan pembeli telah mencapai kesepakatan tentang barang tersebut dan

harganya.

1

Ketentuan terkait penyerahan:

Hak milik

bahwa hak milik barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang

itu belum diserahkan menurut pasal 612, 613 dan 616, meskipun juga tidak

menutup kemungkinan barang tersebut telah menjadi tanggungan pembeli sejak

saat pembelian, jika barang yang dijual tersebut merupakan barang yang sudah

ditentukan (pasal 1460).

Biaya penyerahan

Biaya penyerahan yang timbul akan ditanggung oleh penjual sedangkan biaya

pengambilan akan ditanggung oleh pembeli, terkecuali kalau diperjanjikan

sebaliknya. (Passal 1476)

Tempat penyerahan

Penyerahan harus dilakukan di tempat barang yang dijual itu berada pada waktu

penjualan, jika

tentang hal itu tidak diadakan persetujuan lain. (Pasal 1477)

Pembayaran

Penjual tidak wajib menyerahkan barang yang bersangkutan, jika pembeli belum

membayar

harganya sedangkan penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran

kepadanya. (Pasal 1478)

Penyerahan yang tidak dapat dilaksanakan

penyerahan tidak dapat dilaksanakan karena kelalaian penjual, maka pembeli

dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266

dan 1267 (mengenai batalnya perjanjian). (Pasal 1480)

Kondisi barang saat penyerahan

Barang yang bersangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti pada waktu

penjualan.

Sejak saat penyerahan, segala hasil menjadi kepunyaan pembeli. (Pasal 1481)

Penjual wajib menyerahkan barang yang dijual dalam keadaan utuh, sebagaimana

dinyatakan dalam persetujuan. (Pasal 1483)

Penjual juga berkewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu

yang menjadi perlengkapannya dan dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap,

beserta surat bukti milik jika ada. (Pasal 1482)

2

KUHPerd mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak

bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan,

atau claim. Adapun untuk penyerahan barang bergerak diatur oleh pasal 612,

sebagai berikut:

Pasal 612

Penyerahan barang-barang bergerak, kecuali yang tidak bertubuh dilakukan

dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik, atau dengan

penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu berada.

Penyerahan tidak diharuskan, bila barang-barang yang harus diserahkan,

dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.

Sehingga menurut pasal tersebut penyerahan benda bergerak dilakukan dengan

penyerahan nyata, artinya penyerahan dari tangan ke tangan. Bilamana benda

dalam jumlah yang besar berada dalam suatu gudang, maka penyerahan hak milik

atas benda itu dapat dilakukan dgn penyerahan kunci (kunci) dari gudang tsb.

Penyerahan demikian dinamakan penyerahan simbolik (traditio symbolica). Ini

bukan pengecualian dari ketentuan umum, sebab penyerahan simbolik memberi

juga kekuasaan yang nyata atas benda.

Untuk barang tidak bergerak, seperti tanah atau kapal/ perahu terdaftar,

penyerahan harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang

berwenang.

Sedangkan untuk barang tidak berwujud seperti piutang harus dengan akta otentik

di bawah tangan atau dengan surat utang sebagaimana dinyatakan dalam pasal

613 KUHPerd sebagai berikut:

Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak

bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan

yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain.

Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu

diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.

Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya;

3

penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya

bersama endosemen surat itu.

b. Pembayaran

Pembayaran merupakan salah satu alasan hapusnya suatu perikatan

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1381 KUHPerd. Dalam jual-beli, membayar

merupakan kewajiban utama bagi pembeli (Pasal 1513). Lebih lanjut pasal 1517

menyatakan bahwa jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual

dapat menuntut pembatalan jual beli itu menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan

1267.

Ketentuan terkait pembayaran dalam jual-beli:

Tempat dan waktu pembayaran

Adapun untuk waktu dan tempat pembayaran yang diatur dalam KUHPerd yaitu

pembayaran di tempat dan pada waktu penyerahan atau pada waktu dan tempat

yang sudah ditetapkan dalam persetujuan jual-beli.

Yang melakukan pembayaran

Agar suatu pembayaran untuk melunasi suatu utang berlaku sah, orang yang

melakukannya haruslah pemilik mutlak barang yang dibayarkan dan pula

berkuasa untuk memindahtangankan barang itu. Meskipun demikian, pembayaran

sejumlah uang atau suatu barang lain yang dapat dihabiskan, tak dapat diminta

kembali dan seseorang yang dengan itikad baik telah menghabiskan barang yang

telah dibayarkan itu, sekalipun pembayaran itu dilakukan oleh orang yang bukan

pemiliknya atau orang yang tak cakap memindahtangankan barang itu. (Pasal

1384)

Uang muka

Dalam jual-beli dapat juga dilakukan pembayaran berupa uang muka (uang

panjar), dan apabila salah satu pihak pembeli maupun penjual membatalkan

pembelian tersebut maka salah satu pihak tidak dapat menyuruh memiliki atau

mengembalikan uang panjarnya (Pasal 1464 KUHPerd).

Yang digunakan sebagai pembayaran

Tiada seorang kreditur pun dapat dipaksa menerima sebagai pembayaran suatu

barang lain dan barang yang terutang; meskipun barang yang ditawarkan itu sama

harganya dengan barang

4

yang terutang, bahkan lebih tinggi. (Pasal 1389)

Angsuran

Seorang debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima pembayaran utang

dengan angsuran, meskipun utang itu dapat dibagi-bagi. (Pasal 1390)

Yang menerima pembayaran

Pembayaran yang dilakukan kepada kreditur yang tidak cakap untuk

menerimanya adalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa kreditur

sungguh-sungguh mendapat manfaat dan pembayaran itu.

Sistem Pembayaran

Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan

sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain. Media yang digunakan untuk

pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat

pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks dan

melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan

menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank

Indonesia yang dituangkan dalam Undang Undang Bank Indonesia.

Dalam menjalankan mandat tersebut, Bank Indonesia mengacu pada empat

prinsip kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan

perlindungan konsumen.

o Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas,

risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh

setiap penyelenggaraan sistem pembayaran.

o Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelanggaran sistem pembayaran harus

dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan

lebih murah karena meningkatnya skala ekonomi.

o Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa Bank

Indonesia tidak menginginkan adanya praktek monopoli pada

penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk

masuk.

o Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk

memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.

5

Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran

uang, kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan terjaganya jumlah uang

tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa

disebut clean money policy.

Secara garis besar Sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu

Sistem pembayaran tunai dan Sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan

mendasar dari kedua jenis sistem pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang

digunakan. Pada sistem pembayaran tunai instrumen yang digunakan berupa uang

kartal, yaitu uang dalam bentuk fisik uang kertas dan uang logam, sedangkan pada

sistem pembayaran non-tunai instrumen yang digunakan berupa Alat pembayaran

menggunakan kartu (APMK), Cek, Bilyet Giro, Nota Debet, maupun uang elektronik.

Pembayaran dengan Surat Berharga

Dalam undang-undang dan beberapa referensi mengenai surat berharga tidak

ditemukan definisi yang jelas mengenai surat berharga, namun dalam beberapa

referensi mengenai surat berharga para ahli hukum menjelaskan bahwasanya surat

berharga adalah salah satu jenis dari surat perniagaan yang dikenal atau beredar di

masyarakat, di samping jenis lainnya yang dikenal sebagai surat yang berharga.

Perbedaan di antara kedua jenis surat perniagaan di atas, semata-mata memperhatikan

sulit tidaknya pengalihan atau levering-nya.

Apabila surat perniagaan tersebut mudah pengalihannya, yang mana cukup

dilakukan dengan penyerahan fisik dari surat perniagaan atau dengan endorsement

maka surat tersebut tergolong ke dalam surat berharga, sedangkan apabila sulit

pengalihannya harus secara cessie, maka surat tersebut tergolong ke dalam surat yang

berharga. Berdasarkan beberapa referensi yang ada, surat berharga dapat didefinisikan

sebagai surat yang: (a) memiliki nilai, (b) negotiable dan (c) mudah dialihkan, yang

oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi

berupa pembayaran sejumlah uang.

Surat berharga yang ditujukan sebagai alat pembayaran diantaranya adalah

cek, bilyet giro dan wesel bayar.

Dalam Bab 6 dan 7 KUHD, fungsi surat berharga secara umum dibedakan dalam:

6

1. Surat sanggup membayar atau janji untuk membayar. Dalam surat ini

penandatangan berjanji atau menyanggupi membayar sejumlah uang kepada

pemegang atau orang yang menggantikannya. Termasuk bentuk ini adalah surat

sanggup;

2. Surat perintah membayar. Dalam surat ini penerbit memerintahkan kepada

tertarik untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya.

Termasuk dalam bentuk surat ini adalah surat wesel dan cek;

3. Surat pembebasan hutang. Dalam surat ini penerbit memberi perintah kepada

pihak ketiga untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang yang

menunjukkan dan menyerahkan surat ini. Termasuk dalam bentuk ini adalah

kwitansi atas unjuk.

Khusus untuk surat berharga yang berfungsi sebagai surat sanggup membayar

atau janji untuk membayar, kemudian dikelompokkan berdasarkan jangka waktu

hutangnya, yaitu:

1. Surat hutang jangka pendek (£ 1 tahun). Contoh: certificate of deposit, SBI,

promissory notes, dan commercial paper;

2. Surat hutang jangka menengah (1-5 tahun). Contoh: medium term notes dan

floating rate notes;

3. Surat hutang jangka panjang (> 5 tahun). Contoh: obligasi atau bonds, mortgage

backed securities (MBS), dan asset backed securities (ABS).

Macam-macam media pembayaran :

a. Cek

Cek adalah surat perintah dari nasabah, dalam hal ini pemilik dana pada rekening

giro (current account), kepada tertarik, dalam hal ini bank, untuk membayar tanpa

syarat sejumlah dana kepada pemegang pada saat diunjukkan, yang berfungsi

sebagai alat pembayaran tunai.

Dasar Hukum :

1. Pasal 178-229d KUHD;

2. SEBI No.8/7/UPPB tertanggal 16 Mei 1975 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong

(“SEBI No.8/7/1975”);

7

3. SEBI No.9/72/UPPB tertanggal 10 Januari 1977 tentang Penulisan Nilai

Nominal Cek/Bilyet Giro dalam Angka dan Huruf (“SEBI No.9/72/1975”);

4. SEBI No.9/16/UPPB tertanggal 31 Mei 1976 tentang Larangan Menerbitkan

Cek/Bilyet Giro dalam Valuta Asing (“SEBI No.9/16/1976”);

5. SEBI No.5/85/UPPB/PbB tertanggal 11 September 1972 tentang

Pembuatan/Penerbitan Cek/Bilyet Giro dan Alat-alat Lalu Lintas Pembayaran

Giral Lainnya (“SEBI No.5/85/1972”);

Syarat Formal

Setiap cek, berdasarkan Pasal 178 KUHD, harus berisikan:

1. Nama dan nomor cek;

2. Nama bank tertarik;

3. Perintah bayar tanpa syarat;

4. Nama penerima dana atau atas pembawa;

5. Jumlah dana dalam angka dan huruf;

6. Tempat pembayaran harus dilakukan;

7. Tempat dan tanggal penarikan cek;

8. Tanda tangan penarik.

Berdasarkan Pasal 182 KUHD dan dikaitkan dengan mekanisme

pengalihannya cek dapat dibagi menjadi:

1. Cek atas unjuk atau cek kepada orang yang ditulis namanya dengan tambahan

klausula “atau penggantinya”, harus dibayar kepada yang namanya tertera

dalam cek dan pengalihannya secara endosemen;

2. Cek atas nama adalah cek kepada orang yang disebut namanya dengan

tambahan klausula “tidak kepada pengganti”, maka pengalihannya secara

cessie;

3. Cek atas bawa adalah cek kepada pembawa atau kepada orang yang disebut

namanya dengan tambahan klausula “atau kepada pembawa” atau cek tanpa

penyebutan nama penerimanya, maka pengalihannya cukup dengan

penyerahan fisik cek saja.

Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan cek adalah:

1. Penarik (drawee) adalah giran yang menerbitkan cek atau pihak yang memiliki

kewajiban pembayaran;

8

2. Pemegang (namer, holder), dalam hal ini adalah kreditur atau pemilik piutang;

3. Tertarik (betrokkene, drawee, payee), adalah pihak lain (biasanya bank) yang

memperoleh perintah dari Penarik untuk membayar kepada Pemegang atau

Pembawa atau Pengganti dari Pemegang;

4. Pembawa (toonder, bearer), adalah siapapun yang memegang cek dengan

klausula kepada pembawa;

5. Pengganti (order), adalah adalah siapapun yang namanya tercantum dalam cek

dengan klausula kepada pengganti;

6. Endosant (Indorser) adalah pemegang cek dengan klausula kepada pengganti

yang mengalihkan hak tagih kepada pihak lain yang namanya tercantum

sebagai pengganti.

Tenggang waktu pengunjukan cek

Untuk cek yang diterbitkan dan dibayarkan di Indonesia, harus diunjukkan dalam

tenggang waktu 70 hari, sejak tanggal penerbitannya (Pasal 206 KUHD) ditambah

6 bulan tenggang waktu sebelum kadaluwarsa (Pasal 229 KUHD).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam cek

1. Dalam cek tidak berlaku tanggal efektif, sehingga pembayaran wajib

dilakukan pada saat diunjukkan;

2. Apabila tempat pembayaran tidak ditulis dalam cek, maka nama tempat di

samping nama bank pembayar dianggap sebagai tempat pembayaran (Pasal

179 KUHD);

3. Bila ada beberapa tempat yang ditulis, maka nama tempat yang ditulis

terdahululah yang dianggap sebagai tempat pembayaran (Pasal 179 KUHD);

4. Jika petunjuk-petunjuk dalam butir 1, 2 dan 3 di atas tidak ada, maka

pembayaran dianggap di kantor pusat bank pembayar (Pasal 179 KUHD);

5. Jika tempat dimana cek itu diterbitkan tidak tertulis, maka tempat yang tertulis

di samping nama penerbit dianggap sebagai tempat diterbitkannya warkat cek

(Pasal 179 KUHD);

6. Tiap-tiap cek harus ditarik di bank yang mengelola dana untuk keperluan

penerbit atau giran (Pasal 180 KUHD);

9

7. Cek tidak boleh diaksep, karena berfungsi sebagai alat pembayaran tunai,

sehingga apabila cek diaksep maka akseptasi tersebut dianggap tidak ada

(Pasal 181 KUHD);

8. Cek dapat diterbitkan untuk keperluan penerbit sendiri.

b. Bilyet Giro

Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah pemilik dana pada rekening giro,

kepada bank atau tertarik untuk memindahkan sejumlah dana kedalam rekening

yang tertera dalam bilyet giro, dana mana tidak dapat dicairkan secara tunai.

Dasar Hukum

1. SEBI No.8/7/1975;

2. SEBI No.9/72/1975;

3. SEBI No.9/16/1976;

4. SEBI No.5/85/1972;

Syarat Formal, setiap Bilyet Giro harus berisikan:

1. Nama dan nomor Bilyet Giro;

2. Nama bank tertarik;

3. Perintah bayar tanpa syarat;

4. Nama dan nomor rekening pemegang /penerima;

5. Nama dan alamat bank penerima;

6. Jumlah dana dalam angka dan huruf;

7. Tempat dan tanggal penarikan;

8. Tanda tangan dan nama jelas penarik;

Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan Bilyet Giro

adalah sama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan

cek.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bilyet Giro:

1. Apabila terdapat perbedaan penulisan dalam jumlah uang dalam angka dan

huruf, maka yang berlaku yang tertulis dalam huruf;

2. Apabila terdapat penulisan jumlah uang yang berulang-ulang, maka yang

berlaku adalah jumlah yang terkecil;

10

3. Setiap perubahan perintah atau coretan, wajib ditandatangani oleh penarik di

tempat kosong yang terdekat dengan perubahan tersebut.

4. Bilyet Giro hanya dikenal dalam hukum Indonesia. Di negara lain, Bilyet Giro

sebagai media pemindahbukuan dana pada rekening giro, tidak dikenal

mengingat baik untuk keperluan pembayaran tunai atau media

pemindahbukuan hanya digunakan satu instrument yaitu cek.

Tanggal dan batas waktu yang berlaku dalam Bilyet Giro:

1. Tanggal penerbitan;

2. Tanggal efektif (bukan merupakan syarat formal Bilyet Giro) adalah tanggal

mulai berlakunya tenggang waktu penarikan. Apabila tidak ditulis dalam

Bilyet Giro maka tanggal penebitan sama dengan tanggal efektif;

3. Tenggang waktu penarikan selama-lamanya 70 hari sejak tanggal penerbitan;

4. Tenggang waktu penawaran selama-lamanya 6 bulan setelah batas waktu

penarikan;

5. Masa daluwarsa adalah masa setelah tenggang waktu penawaran.

c. Letter of Credit (L/C)

Letter of credit atau sering disingkat menjadi L/C, LC, atau LOC, adalah

sebuah cara pembayaran internasional yang memungkinkan eksportir menerima

pembayaran tanpa menunggu berita dari luar negeri setelah barang dan berkas

dokumen dikirimkan keluar negeri (kepada pemesan).

Pelaku L/C

1. Applicant atau pemohon kredit adalah importir (pembeli) yang mengajukan

aplikasi L/C.

2. Beneficiary adalah eksportir (penjual) yang menerima L/C.

3. Issuing bank atau opening adalah bank pembuka L/C.

4. Advising bank adalah bank yang meneruskan L/C, yaitu bank koresponden

(agen) yang meneruskan L/C kepada beneficiary. Bank tidak bertanggung

jawab atas isi L/C dan hanya bertindak sebagai perantara.

5. Confirming bank adalah bank yang melakukan konfirmasi atas permintaan

issuing bank dan menjamin sepenuhnya pembayaran.

11

6. Paying bank adalah bank yang secara khusus ditunjuk dalam L/C untuk

melakukan pembayaran dan beneficiary berkewajiban

7. Carrier adalah pengangkut barang yang dikirim (Perusahaan

Pelayaran/Penerbangan) untuk dibeberapa negara dengan perbatasan darat bisa

juga perusahaan angkutan darat seperti truk, kereta Dll).

Tata cara pembayaran dengan L/C

1. Importir meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C

untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai

opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor

seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak

valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama

importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank.

Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar

negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini disebut

sebagai advising bank atau notifiying bank. Advising bank memberitahukan

kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut. Eksportir yang menerima

L/C disebut beneficiary.

2. Eksportir menyerahkan barang ke Carrier, sebagai gantinya Eksportir akan

mendapatkan bill of lading.

3. Eksportir menyerahkan bill of lading kepada bank untuk mendapatkan

pembayaran. Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah

mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading

tersebut kemudian diberikan kepada Importir.

4. Importir menyerahkan bill of lading kepada Carrier untuk ditukarkan dengan

barang yang dikirimkan oleh eksportir.

Jenis-jenis L/C

1. Revocable Letter Of Credit

Adalah L/C yang dapat diubah atau dibatalkan sewaktu-waktu tanpa

pemberitahuan lebih dahulu kepada beneficiary. Dari ketentuan tersebut

menunjukan bahwa suatu L/C yang dapat ditarik kembali atau dibatalkan tidak

menciptakan suatu ikatan hukum antara pihak bank dan beneficiary.

12

Sebenarnya bentuk revocable ini kurang tepat apabila disebut L/C karena tidak

mengandung jaminan bahwa wesel-weselnya akan dibayar ketika diajukan,

mengingat pembatalan mungkin telah terjadi tanpa pemberitahuan kepada

beneficiary. Oleh karena itu bentuk L/C yang demikian kurang disukai oleh

penjual dan jarang dipergunakan.

2. Irevocable Letter Of Credit

Adalah suatu L/C yang tidak dapat diubah atau dibatalkan tanpa

persetujuan semua pihak baik pembeli, penjual, maupun pihak bank yang

bersangkutan. Selama jangka waktu berlakunya yang ditentukan dalam L/C,

issuing bank tetap menjamin untuk membayar, mengaksep, atau menegosiasi

wesel-wesel yang ditarik atas L/C tersebut asalkan syarat-syarat dan kondisi yang

ditetapkan didalamnya terpenuhi.

3. Confirmed Irrevocable Letter Of Credit

Sebagaimana diketahui sifat khusus suatu L/C adalah credit standing bank

itu ditambahkan pada kredit standing pembeli dalam L/C yang bersangkutan.

Namun demikian dapat terjadi kredit standing daripada issuing bank tidak

memuaskan bagi pihak penjual, hal ini timbul apabila misalnya issuing bank

hanya suatu bank lokal tanpa mempunyai reputasi internasional sehingga pihak

penjual memandang perlu untuk meminta jaminan kepada advising bank. Dalam

hal ini penjual akan mengajukan permohonan agar dibuka suatu confirmed L/C.

4. Transferable Letter Of Credit

Adalah suatu kredit yang memberikan hak kepada beneficiary untuk

meminta kepada bank yang diamanatkan untuk melakukan pembayaran atau

akseptasi atau kepada setiap bank yang berhak melakukan negosiasi, untuk

menyerahkan hak atas kredit itu seluruhnya atau sebagian kepada satu pihak

ketiga atau lebih.

5. Back To Back Letter Of Credit

Back to back letter of credit ini dipakai dalam keadaan seperti halnya pada

transferable L/C yakni, suatu transaksi dagang yang dilakukan dengan melalui

pedagang perantara atau dalam keadaan dimana hubungan langsung antara

13

pembeli dan supplier tidak dimungkinkan oleh peraturan-peraturan negara yang

bersangkutan. Walaupun ada persamaan demikian tetapi tidak berarti bahwa

ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap transferable L/C seluruhnya berlaku

juga bagi back to back L/C.

6. Red Clause Letter Of Credit

Adalah suatu klausula yang memuat makna anti cipatory yaitu

menyangkut sesuatu hal yang sifatnya didahulukan. Adapun yang didahulukan

disini adalah pembayaran atas L/C oleh bank yang dilakukan sebelum dokumen-

dokumen yang disyaratkan diserahkan. Atas dasar inilah maka red clause L/C

termasuk dalam golongan yang disebut anti cipatory credit.

7. Green Ink Clause Letter Of Credit

Green ink clause letter of credit hampir serupa dengan red clause L/C,

yakni juga memberikan uang muka kepada beneficiary sebelum pengapalan

barang-barang dilakukan.

8. Revolving Letter Of Credit

Dalam suatu kegiatan perdagangan luar negeri antara penjual dan pembeli

sering terjadi serentetan transaksi secara kontinyu dan teratur baik waktu maupun

jumlah. Adapun cara pembayarannya dapat dilakukan dengan pembukaan L/C

seperti yang telah diutarakan di atas untuk masing-masing transaksi.

9. Stand By Letter Of Credit

Suatu jaminan khusus yang biasanya dipakai sebagai “stand by” oleh pihak

beneficiary atau bank atas nama nasabahnya. Dalam hal ini apabila pihak

applicant gagal untuk melaksanakan suatu kontrak atau gagal untuk membayar

pinjaman atau memenuhi pinjaman lain bank yang bersangkutan akan membayar

kepada beneficary atas penyerahan selembar sight draft dan surat pernyataan dari

beneficiary, yang menyatakan bahwa applicant atau kontraktor tidak dapat

melaksanakan kontrak yang disetujui, membayar pinjaman atau memenuhi

kewajiban lain itu.

14

II. PENGANGKUTAN DAN PENGIRIMAN

a. Pengangkutan

Menurut Soekardono, Pengangkutan adalah perpindahan tempat mengenai

benda- benda atau orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk

mencapai manfaat serta efisiensi

Menurut Abdulkadir Muhammad, Pengangkutan adalah Proses kegiatan

memuat barang/penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa

barang/penumpang dari tempat pemuatan ketempat tujuan, dan menurunkan

barang/penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan

Selain sebagai alat fisik yang membawa barang-barang dari produsen ke

konsumen, pengangkutan juga sebagai alat penentu harga barang-barang tersebut.

Ditinjau dari beberapa segi, pengangkutan banyak mempunya manfaat, antara lain:

a. Dari kepentingan pengirim barang, pengirim memperoleh manfaat untuk konsumsi

pribadi maupun keuntungan komersial.

b. Dari segi pengangkut barang, pengangkut mendapat keuntungan material sejumlah

uang atau keuntuangan immaterial, berupa peningkatan kepercayaan masyarkat

atau jasa angkutan yang di usahakan oleh penganangkut

c. Dari kepentingan peneriam barang, penerima barang mendapat manfaat untuk

kepentiangan konsumsi pribadi maupun keuntungan komersial.

Transportasi akan menjamin kelancaran lalu lintas barang dalam perdagangan

nasional maupun internasional dan menjamin hak kepemilikan atas barang dengan

pengeluaran dokumen pengapalan yang sangat vital seperti: bill of lading, airways

bill, dan lain-lain.

a. Aspek-aspek dalam pengangkutan

1. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan.

2. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan

pengangkutan

3. Obyek pengangkutan, yaitu muatan yang diangkut baik barang atau

penumpang.

4. Perbuatan yaitu kegiatan mengangkut barang/penumpang sejak pemuatan

sampai dengan penurunan di tempat tujuan

5. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang

15

6. Tujuan pengangkutan yaitu sampai ditempat tujuan dengan selamat, biaya

pengangkutan lunas.

b. Hukum mengenai Pengangkutan

Keseluruhan peraturan-peraturan baik yang telah dikodifikasi atau yang

belum dikodifikasi yang mengatur semua hal-hal yang berkaitan dengan

pengangkutan

Kedudukan pengangkutan dan pengiriman timbul setelah adanya jual beli

yaitu pasal 1457 KUHper yaitu jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan

pihak yang lain untuk membayar harga yang telah ditetapkan.

Sifat Perjanjian Pengangkutan :

a. Bertimbal balik (pasal 1601 KUHPer)

b. Pelayanan berkala

c. Bersifat borongan (1601, 1617 KUHPer) / Pemberi Kuasa (1792 KUHPer)

d. Bersifat Konsensuil (1338 KUHPer)

c. Perjanjian Pengangkutan

Menurut Purwosutjipto, Perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan

pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu

dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya

pengangkutan

Menurut Subekti, Suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk

dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat kelain tempat,

sedangkan pihak lainnnya menyanggupi akan membayar ongkosnya

d. Pihak-pihak dalam pengangkutan :

1. Pengangkut,

KUHD Buku II Bab Kelima tentang Pengangkutan barang disebutkan,

“Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan chartermenurut

waktu, atau charter menurut perjalanan baik dengan satu persetujuan lain

mengikutkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, yang

seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.

16

Menurut Purwosutjipto, Orang Yang mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat

ketempat tujuan tertentu dengan selamat.

Menurut Sri Rejeki Hartono, Mereka yang mempunyai wewenang

mengadakan perjanjian pengangkutan dan memikul beban resiko tentang

keselamatan barang-barang yang diangkut.

Menurut Achmad Ichsan Pengangkut adalah yang bertugas dan

berkewajiban mengangkut dan yang bertanggung jawab terhadap semua

kerugian yang diderita dalam pengangkutan

2. Pengirim, Pihak yang membuat perjanjian pengangkutan dengan pihak

pengangkut untuk menyelenggarakan pengangkutan dengan selamat, sesuai

dengan perjanjian, dan sebagai kontra prestasinya pengirim membayar biaya

pengangkutan.

3. Penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan terhadap diterimanya

barang kiriman. Sipenerima disini mungkin si pengirim yang telah mengadakan

perjanjian pengangkutan dengan pengangkut, mungkin juga pihak ketiga yang

tidak ikut di dalam perjanjian. Kedudukan Penerima :

a. sekaligus pengirim, yaitu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan

dengan pengangkut atau dapat juga

b. Orang lain yang ditunjuk oleh pengirim untuk menerima barang-barang

yang dikirimnya

Beberapa pendapat mengenai penerima :

1. Penerima sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana dalam pasal

1317BW

2. Penerima sebagai cessionaris diam-diam

3. Penerima sebagai pemegang kuasa atau penyelenggara urusan pengirim

Dasar Hukum Penerima sebagai pihak ke 3

Pasal 1317 (1) BW :

“Lagi pula diperbolehkan untuk minta ditetapkan janji khusus, yang dibuat

guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh

seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada orang

lain mengandung suatu janji seperti itu”

17

“Orang Yang membuat janji khusus itu tidak boleh mencabut janji nya, kalau

pihak ketiga sudah menyatakan akan memanfaatkan janji khusus itu”

Kapan Penerima mulai mendapatkan haknya ?

• Pasal 1317 (2) BW :

• Sejak penerima menyatakan kehendaknya untuk menerima barang-barang

kiriman itu.

• Sejak saat ini pengirim tidak berwenang lagi mengubah tujuan pengiriman

barang itu

Kewajiban Penerima:

Sejak penerima mendapatkan haknya untuk menerima barang angkutan, secara

otomatis menjadi pihak yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan,

akibatnya berlaku ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengangkutan yaitu

kewajiban untuk membayar uang angkutan kecuali ditentukan lain.

Asas perjanjian pengangkutan :

1. Konsensuil : perbuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis,

sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.

2. Koordinasi : di dalam perjanjian pengangkutan mensyaratkan kedudukan para

pihak sejajar.

3. Campuran :

a. Pemberian kuasa,

b. penitipan,

c. pelayanan berkala melekat pula dalam perjanjian pengangkutan.

4. Pengangkut tidak mempunyai hak retensi.

Dasar Hukum Pemberi Kuasa

Pasal 370 KUHD : “Nahkoda boleh menyimpang dari jurusan yang harus ia ikuti,

untuk menyelamatkan jiwa-jiwa manusia”

Pasal 371 KUHD : “Nahkoda diwajibkan menjaga kepentingan-kepentingan dari

yang berhak atas muatan selama perjalanan, mengambil semua tindakan-tindakan

yang perlu untuk itu, dan bilamana perlu bertindak dimuka pengadilan untuk itu”.

Dokumen Pengangkut :

Surat muatan/Vracht Brief (Pasal 90 KUHD)

18

Surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan

pengangkut atau nahkoda, dan memuat selain apa yang telah diperjanjikan antara

pihak-pihak baik tentang selesainya pengangkutan, penggantian kerugian bilamana

terjadi kelambatan maupun lain-lain :

1. Nama dan berat atau ukuran barang yang diangkut, beserta merk-merk dan

jumlahnya

2. Nama orang kepada siapa barang dikirim

3. Nama dan tempat kediaman pengangkut

4. Jumlah biaya angkutan

5. Tanggal pengangkutan

6. Tanda tangan pengirim/ekspeditur.

Hak Retensi dan perjanjian penitipan

Hak Retensi Pasal 493 KUHD :

Kecuali yang ditentukan dalam ayat kedua dari pasal ini, pengangkut tidak

wenang menahan barang padanya untuk jaminan bagi apa yang terhutang

kepadanya dari sebab pengangkutan dan sebagai urunan dalam averij umum, suatu

janji yang bertentangkan dengan ini adalah batal.

Penitipan Pasal 468 KUHD:

Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut menjaga keselamatan

barang yang diangkut sejak saat penerimaannya sampai saat penyerahan.

Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut:

1. Tanggung Jawab berdasarkan kesalahan/fault liability; Setiap pengangkut yang

melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus

bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat dari

kesalahannya itu, pihak yang dirugikan harus membuktikan kesalahan

pengangkut.

2. Tanggung jawab berdasarkan praduga/presumption of liability, Pengangkut

dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam

pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat

membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban

memberi ganti rugi

19

3. Tanggung Jawab Mutlak/Absolute Liability, Pengangkut harus bertanggung

jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari

pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada

tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak mungkin membebaskan diri

dari tanggung jawab kecuali disebabkan/turut disebabkan pihak

penumpang/barang itu sendiri atau overmach

4. Tanggung JawabTerbatas/Limitation of Liability, Pengangkut bertanggung

jawab terbatas sejumlah limit tertentu

Tanggung Jawab pengangkut :

Pasal 91 KUHD

Pengangkut dan nahkoda harus menanggung semua kerusakan yang terjadi

atau benda-benda perniagaan atau benda-benda yang diangkut, kecuali kerusakan

yang disebabkan karena cacat pada benda sendiri, atau karena kesalahan/kelalaian si

pengirim/ekspeditur, karena keadaan memaksa.

Pasal 468 KUHD

Pengangkut wajib mengganti rugi yang disebabkan :

Tidak diserahkannya barang baik seluruhnya atau sebagian atau karena kerusakan

barang, kecuali hal tersebut akibat peristiwa yang sepantasnya tidak dapat

dicegah/dihindari, akibat dari sifat, keadaan/cacat barang, kesalahan pengirim

Dasar Tanggung Jawab Pengangkut:

UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Pasal 234 (1))

Pengemudi,pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau

pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.

Ketentuan di atas tidak berlaku jika:

1) Adanya keadaan memaksa

2) Perilaku korban sendiri

3) Gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan

4) Besarnya ganti kerugian adalah ditentukan berdasarkan keputusan pengadilan.

UU No 1/2009 tentang penerbangan

20

Pasal 141 (1):

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia,

cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam

pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

Pasal 143 :

Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya

bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian

tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannnya.

Pasal 144 :

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena

bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan

udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 145 :

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo

karena kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan

angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 146 :

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan

pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo kecuali apabila pengangkut dapat

membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis

operasional.

Pasal 165 :

Jumlah ganti kerugian yang diberikan adalah ganti kerugian yang diberikan oleh

badan usaha angkutan udara niaga diluar ganti kerugian yang diberikan oleh

lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 179 :

Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan

kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141,143,144,145,146.

21

UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran :

Pasal 40 (1)

Perusahaan angkutan diperairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan

keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

Pasal 41 (1)

Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai

akibat pengoperasian kapal,berupa :

a. kematian, atau lukanya penumpang yang diangkut;

b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; \

c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut;

d. kerugian pihak ketiga.

Pasal 41 (2)

Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf

b,c dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di

perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

Pasal 41 (3) :

Perusahaan angkutan diperairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar

penumpang umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ekspeditur :

a. Seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi

pengirim.

b. Orang, yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui

daratan dan perairan.

e. Hukum Transportasi

a. Hukum Transportasi Perdagangan Laut

Hukum laut adalah hukum yang mengenai laut, baik bersifat publik,

maupun bersifat ke perdataan. Hukun laut bersifat publik kalau menyangkut

masalah umum, sebaliknya hukum laut bersifat perdata apabila menyangkut

22

perseorangan. Khusus mengenai pengangkutan laut tidak jumpai definisinya

dalam KUHD, namun dalam PP No. 17 tahun 1988 pasal 1 angka 1 dijumpai

mengenai pengangkutan laut yaitu setiap kegiatan pelayaran yang menggunakan

kapal laut untuk mengangkut penumpang, barang dan atau hewan untuk satu

perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuah lain antara beberapa

pelabuhan.

Berkaitan dengan pengaturan pengangkutan laut, pada awalnya hanya

diatur dalam KUHD buku II Bab V karena KUHD ini merupakan warisan dari

Hindia Belanda, namun kemudian disempurnakan pada tanggal 17 September

1992 dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

Jenis- jenis Pengangkutan Laut

Ada empat macam pengangkutan laut, baik menurut PP 17 Tahun 1988

tentang Penyelenggaraan Pengangkutan Laut maupun menurut UU No. 21 Tahun

1992 tentang Pelayaran.

a. Pelayaran Dalam Negeri

Menurut PP No. 17 Tahun 1988, pelayaran dalam negeri merupakan

kegitan angkutan laut antarpelabuhan di Indonesia yang dilakukan secara tetap

dan teratur dan/atau dengan pelayaran yang tidak tetap dan tidak teratur

dengan menggunakan jenis kapal. Selanjutnya, pasal 73 UU No. 21 Tahun

1992 menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayaran laut dalam negeri ini

dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan kapal

berbendera asing yang dioperasikan oleh badan hukum Indonesia.

b. Pelayaran Rakyat

Menurut PP No. 17 Tahun 1988, pelayaran rakyat merupakan kegiatan

angkutan laut khusus untuk barang atau hewan antarpelabuhan di Indonesia

dengan menggunakan kapal layar motor sesuai dengan persyaratan

diantaranya:

Dilakukan oleh perusahaan dalam salah satu badan usaha, termasuk

koprasi.

Memiliki unit usaha perahu layar atau kapal motor dengan ukuran sampai

dengan 850 m3 isi kotor atau kapal motor dengan ukuran sampai 100m3.

Sementara itu, pasal 77 UU No. 21 Tahun 1992 mengatakan bahwa

pelayaran rakyat sebagai usaha rakyat yang bersifat tradisional merupakan

23

bagian dari usaha angkutan peraiaran, mempunyai peranan yang penting dan

karakteristik sendiri.

c. Pelayaran Perintis

Menurut pasal 84 UU No. 21 Tahun 1992 pelayaran perintis ini berupa

angkutan perairan yang menghubungkan daerah-daerah terpencil dan belum

berkembangdengan pemerintah sebagai penyelenggara. Mengenai pelayaran

perintis ini, PP No. 17 Tahun 1988 menyatakan bahwa perlayaran perintis

merupakan kegiatan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur.

d. Pelayaran Luar Negeri

Sesuai PP No. 17 Tahun 1988 pasal 9 ayat (5), pelayaran luar negeri

merupakan pelayaran samudra sebagai kegiatan angkutan laut ke atau dari

negeri yang dilakukan secara tetap dan teratur atau dengan pelayaran tidak

tetap dan tidak menggunakan semua jenis kapal. Pelayaran luar negeri ini,

menurut UU No. 21 Tahun 1992, dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang

menurut UU No. 1 Tahun 1985 berbentuk perseroan terbatas dan/atau

perusahaan asing.

Pihak-pihak dalam Pengangkutan Laut

Pengangkutan

Mengenai pengangkutan tidak dijumpai definisinya dalam kitab undang-

undang hukum dagang (KUHD). Namun, menurut HMN. Poerwosutjipto,

pengangkuta adalah orang yang mengikat diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan teretentu

dengan selamat.

Pengiriman Barang

Pengirim belum tentu pemilik barang, sering kali dalam praktik pengirim

adalah ekspiditur atau perantara lain dalam bidang pengangkutan. Ekspeditur

adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang-barang.

Karena merupakan perantara, ada dua jenis perjanjian yang perlu dibuat oleh

ekspeditur, yaitu sebagai berikut:

a. Perjanjian yang dibuat oleh ekspeditur dengan pengirim disebut dengan

perjanjian ekspedisi yaitu perjanjian timbal balik antara ekpeditur dengan

pengirim, dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencari pengangkut 24

yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikat diri untuk

membayar profesi kepada ekpeditur.

b. Perjanjian antara ekpeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut

perjanjian pengangkutan.

Selain ekspeditur dan pengangkutan laut, dikenal pula pihak-pihak yang terkait

lainya, yaitu sebagai berikut:

a. Pengatur Muatan

Pengatur muatan atau juru padat adalah orang yang tugasnya

menetapkan tempat di mana suatu barang harus disimpan dalam ruang kapal.

Pengatur muatan ini merupakan perusahaan tersendiri dan mempunyai anak

buah sendiri. Dengan demikian pengatur muatan terlepas dari perusahaan

pengangkut/pemilik kapal’ namun dalam melaksanakan tugasnya di kapal

pengangkut, pengatur muatan harus tunduk pada aturan yang ada di kapal,

sesuai pasal 321 KUHD.

b. Per-Veem-An/Ekspedisi Muatan Laut

Per-Veem-An dan ekspeitur muatan laut adalah dua jenis perusahaan

yang biasa terkait dalam proses pengangkutan barang dan lazim ada dalam

praktik pengangkutan laut di Indonesia. Kedua jenis perusahaan ini diatur

bersamaan dalam PP No. 2 Tahun 1969 tentang penyelenggaraan dan

pengusahaan angkutan laut. Menurut pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969 yang

dimaksud dengan Per-Veem-An adalah usaha yang ditujukan kepada

penumpang dan penumpukan barang-barang yang dilkukan dengan

mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan

disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan,

yang meliputi antara lain kegiatan ekspeisi muatan, pengepakan, pengepakan

kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuhan, penendaan dan lain-lain

pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan

pelayaran.

c. Penerima

Kedudukan penerima dalam pengangkutan barang adalah sebagai

pihak yang menerima barang-barang. Kedudukan ini timbul karena

25

sebagimana yang telah kemukakan bahwa kewajiban pengangkut adalah

menyerahkan barang yang di angkut kepada penerima.

Dalam hal ini, mengenai penerima ada dua kemungkinan yaitu sebagai berikut:

a. Penerima adalah juga pengirim barang

b. Penerima dalah orang lain yang di tunjuk

Sarana Penunjang Pengangkutan Laut Kapal

Pada pengangkutan melalui laut, kapal merupakan faktor yang mutlak harus

ada karena berfungsi sebgai alat pengangkut. Menurut pasal 1 sub 2 UU No. 21

tahun 1992 tentang pelayaran, yang dimaksud dengan kapal adalah kendaraan air

dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga

angin, atau kuda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di

bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak

berpindah-pindah.

a. Pelabuhan

Menurut sub 1 pasal 4 UU No. 21 Tahun 1992 pelabuahan adalah

tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas

tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan ekonomi yang

dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun

penumpang dan/atau pelayaran dan kegiatan penunjuang serta sebagai tempat

perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Sementara itu mengenai jenis-

jenis pelabuhan di bedakan menjadi dua jenis, yaitu pelabuhan umum dan

khusus. Pelabuhan umum diguanakan untuk kepentingan masyarakat umum,

sedangkan pelabuahan umum digunakan untuk kepentingan-kepentiangan

sendiri guana menunjang kegiatan tertentu.

b. Prasaran Pelayaran

Dalam rangka menunjang kelancaran arus barang serta kelancaran dalam

pelaksanaan bongkar muat dari dan/atau ke kapal pelabuhan diperlukan

adanya sarana pelabuhan seperti:

Peraiaran pelabuhan, tempat-tempat kapal berlabuh agar dapat melakukan

pekerjaan dengan aman.

26

Jembatan pendarat dan dermaga yang cukup kuat.

Pelampung-pelampung untuk kapal-kapal terlambat.

Gudang dan lapangan tempat barang-barang yang akan dimuat ke dalam

kapal dan dibongkar dari dalam kapal.

Pandu-pandu (pilot) untuk memandu kapal dan menjaga keselamatanya

sewaktu memasuki atau meninggalkan pelabuahan.

Kapal-kapal tarik (tugboat) untuk menari kapal-kapal sewaktu memasuki

atau meninggalkan pelabuhan.

Peralatan bongkar muat di pelabuhan.

Pekerja/buruh yang cukup tersedia.

Alat-alat telekomunikasi digunakan untuk hubungan intern, lokal, dan

hubungan internasional yang cukup tersedia dan dapat diguanakan dengan

baik.

Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut

Dalam hal pengangkutan laut yang berkedudukan sebagai pengangkut adalah

pemilik kapal, sedangkan nahkoda dan anak buah kapal berkedudukan sebagai

buruh (pekerja) atau orang yang dipekerjakan oleh pemilik kapal, sesuai dengan

ketentuan pasa 321 KUHD, nahkoda dan anak buah kapal hanya bertanggung

jawab kepada pemilik kapal selaku majikannya. Pasal 321 KUHD berbunya

sebagai berikut:

a. Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh

mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal itu dari dalam

pekerjaanya dalam lingkungan kewenegang.

b. Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpakan pada pihak ketiga

karena perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam dinas tetap atau

sementara pada kapal karena jabatanya atau karena melaksanakan kegiatannya

di kapal melakukan untuk kapal atau muatan.

b. Hukum Transportasi Darat

1. Masalah Pengangkutan

Transportasi memegang peranan yang sangat penting dalam bisnis

nasional maupun internasional. Transportasi akan menjamin kelancaran lalu

lintas barang dalam perdagangan nasional maupun internasional dan menjamin

27

hak kepemilikan atas barang dengan pengeluaran dokumen pengapalan yang

sangat vital seperti bill of lading, airways bill dan lain-lain.

Pasal 506 ayat 1 KUHD mendefinisikan bill of lading atau konsemen

sebagai suatu surat yang bertanggal dalam mana si pengangkut menerangkan

bahwa ia telah menerima barang-barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu

tujuan tertentu dan menyerahkanya kepada seseorang tertentu, begitupula

menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang-barang itu akan diserahkan.

Dari ketentuan pasal tersebut fungsi dari B/L yaitu:

a. sebagai surat bukti perjanjian pengangkutan.

b. sebagai surat bukti penerimaan barang.

c. sebagai bukti pemilikan barang (document of title).

Bill of lading dapat diterbitkan sebagai atas nama (op naam), atas

pengganti (aan order) maupun atas tunjuk (aan toonder) sebagaimana diatur

dalam pasal 506 ayat 2 KUHD. Fungsinya untuk menunjukan bagaimana bill

of lading tersebut harus diperalihkan. Lebih lanjut pasal 508 KUHD bill of

lading atas pengganti diperalihkan dengan penyerahan suratnya. Pasal ini tidak

mengatur bagaimana cara peralihan bill of lading atas nama dan atas tunjuk.

Dalam pasal 613 KUH Perdata, dimana peralihan bill of lading atas nama

dapat dilakukan dengan akte van cessie, dan bill of lading atas tunjuk dengan

peralihan dari tangan ketangan yang disertai dengan penyerahan suratnya.

Tiga kewajiban utama perusahaan perkapalan:

a. Mengusahakan kapalnya layak kerja.

b. Mempunyai awak, peralatan dan supply yang layak.

c. Mengusahakan kapal tersebut cocok dan aman untuk membawa dan

memelihara kargo. Di samping itu carrier juga wajib untuk secara layak

dan berhati-hati memuat, memelihara dan membongkar kargo.

c. Hukum Transportasi Barang Melalui Udara

Aturan internasional yang mengatur mengenai pengangkutan melalui udara

adalah:

1. Warsaw convetion (original) 1929

Dalam Warsaw convention, dokumen angkutannya disebut Air Consignment

Note (ACN) yang bukan merupakan document of title . ACN ditandatangani

carrier setelah barang diterima. ACN tediri dari tiga bagian yaitu:

28

a. first part, untuk carrier.

b. Seccond part, untuk consignee (penerima barang)

c. Third part, untuk consignor (pengirim)

2. Warsaw convention yang diamandemen tahun 1955

Dalam Warsaw convention yang diamandemen, dokumen angkutannya

disebut Air Way Bill (AWB). Air way bill ini cukup memuat point

keberangkatan dan destinasi. Kontrak angkutan udara dapat dilakukan

meelalui Warsaw convention yang pertama atau yang telah diamandemen.

3. Non-convention carriage

Dokumen Angkutan Udara

Jika suatu kredit mensyaratkan suatu dokumen angkutan udara, kecuali apabila

ditentukan lain di dalam kredit, bank akan menerima suatu dokumen yang

secara nyata menunjukan nama pengangkut (carrier) dan ditandatangani.

Demikian pula dengan dokumen yang disahkan oleh pengangkut (carrier) atau

agen yang ditunjuk untuk atau atas nama pengangkut (carrier).

Tandatangan atau pengesahan pengangkut (carrier), harus ddiberi tanda

sebagai pengangkut (carrier). Agen yang menandatangani atau mengesahkan

untuk pengangkut (carrier), harus pula menyebutkan nama dan jabatan dari pihak

tersebut, seperti pengangkut (carrier), atas nama siapa agen tersebut bertindak.

Selain itu dokumen pengangkutan udara tersebut menunjukan bahwa barang-

barang sudah diterima untuk diangkut.

Dalam pengangkutan udara juga dikenal istialah “transhipment” yang berarti

pembongkaran dan pemuatan kembali dari satu kapal ke kapal terbang yang lain

selama dalam proses angkutan dari pelabuhan udara pemberangkatan ke

pelabuhan udara tujuan sebagaimana ditentukan dalam kredit.

Walaupun kredit melarang transhipment, bank akan menerima dokumen angkutan

udara yang menunjukan bahwa transhipment akan atau mungkin terjadi, selama

keseluruhan pengangkutan dicakup dalam satu dokumen angkutan udara yang

sama.

Yang Dapat Diterima Bank

Dalam pasal 27 UCP 500 diatur mengenai ciri-ciri dokumen angkutan udara, dan

pada pasal 28 UCP 500 juga diatur mengenai angkutan darat, kereta api atau jalan

air dan dokumen lainnya yang dapat diterima oleh bank. Dokumen lainnya ini

29

yang dapat iterima oleh bank ini menyangkut dokumen angkutan pos dan kurir

terdapat di dalam pasal 29 UCP 500 dan dokumen angkutan lainnya yang

diterbitkan oleh freight forwarder terdapat pada pasal 30 UCP 500. selain itu UCP

500 juga mengatur mengenai klausula “on deck”, “shipper’s load and count”, pada

pasal 31, yang terdapat dalam dokumen pengangkutan modal transport.

Selanjutnya dalam pasal 32 UCP 500 diatur dokumen angkutan yang tidak cacat,

dan dalam pasal 33 UCP 500 mengenai uang tambang yang dibayar dimuka atau

dokumen yang dapat dibayarkan.

Dokumen Angkutan Jalan, Kereta Api Atau Air

Jika suatu kredit mensyaratkan suatu dokumen angkutan jalan, kereta api atau

jalan air, kecuali apabila ditentukan lain di dalam kredit, bank akan menerima

suatu dokumen dari jenis yang disyaratkan yang secara nyata menunjukan nama

pengangkut (carrier) yang ditandatangani atau disahkan oleh si pengangkut

(carrier) atau agen yang ditunjuk untuk atau atas nama pengangkut (carrier) dan

atau mencantumkan suatu cap penerimaan atau petunjuk penerimaan lainnya oleh

pengangkut (carrier) atau agen yang ditunjuk untuk atau atas nama pengangkut .

Tanda tangan, pengesahan, cap penerimaan atau petunjuk lainnya dari pengangkut

(carrier), harus diberi tanda sebagai pengangkut (carrier). Seorang agen yang

menandatangani atau mengesahkan untuk kepentingan pengangkut (carrier), harus

pula menyebutkan nama dan jabatan pihak tersebut, missal pengangkut atas nama

siapa wakil tersebut bertindak.

Dalam dokumen pengangkutan darat, kereta api atau jalan air, “transhipment”

berarti pembongkaran dan pemuatan kembali dari satu alat angkut ke alat angkut

yang lain, dalam cara jenis angkutan yang berbeda, selamaperjalanan

pengangkutan dari tempat pengapalan ke tempat tujuan yang ditentukan dalam

kredit.

Seperti halnya jenis angkutan lain, walaupun kredit melarang transhipment, bank

akan menerima angkutan jalan, kereta api atau jalan air yang menunjukan bahwa

transhipment akan atau mungkin terjadi, asal saja keseluruhan angkutan dicakup

dalam satu dokumen angkutan yang sama dan dalam jenis angkutan yang sama .

Courir Dan Post Receipts

Jika kredit mensyaratkan suatu tanda terima pos (post receipts) atau certificate of

posting, kecuali apabila ditentukan lain di dalam kredit bank akan menerima,

30

suatu tanda terima pos atau sertificate of posting yang secara nyata telah dibubuhi

cap atau disahkan dan diberi tanggal di tempat dari mana kredit menyebutkan

barang tersebut dikapalkan atau dikirimkan dan tanggal tersebut akan dianggap

sebagai tanggal pengapalan atau pengiriman, dan dalam semua hal memenuhi

ketentuan kredit.

Jika suatu kredit mensyaratkan suatu dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan

kurir atau jasa pengangkutan cepat yang membuktikan penerimaan barang untuk

pengiriman, kecuali ditentukan lain dalam kredit, bank akan menerima suatu

dokumen, yang secara nyata menunjukan nama perusahaan kurir atau jasa, dan

diberi cap, ditandatangani atau disahkan oleh perusahaan kurir atau jasa yang

ditentukan (kecuali jika kredit secara khusus mensyaratkan suatu dokumen yang

diterbitkan oleh perusahaan jasa atau servis yang ditentukan, bank akan menerima

dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan kurir atau jasa manapun) .

Selain itu dokumen ini menunjukan suatu tanggal pengambilan atau tanggal

penerimaan atau kata yang memiliki arti serupa, dan tanggal demikian akan

dianggap sebagai tanggal pengapalan atau pengiriman, dan dalam semua hal lain

memenuhi ketentuan kredit.

Freight Forwarder

Bank hanya akan menerima dokumen yang diterbitkan oleh freight forwarder jika

dokumen tersebut nyata-nyata menunjukan nama freight forwarder sebagai suatu

pengangkut (carrier) atau pengelola pengangkutan multimodal. Dokumen ini

ditandatangani atau disahkan oleh freight forwarder sebagai pengangkut (carrier)

atau pengelola angkutan multimodal.

Bank juga akan menerima dokumen menunjukan nama pengangkut (carrier) atau

pengelola angkutan multimodal dan ditanda tangani dan disahkan oleh freight

forwarder tersebut sebagai agen yang ditunjuk untuk atau atas nama pengangkut

(carrier) atau pengelola angkutan multimodal .

Klausa “on deck”, “shipper’s load and count”

Bank akan menerima suatu dokumen angkutan yang tidak menunjukan, dalam hal

angkutan laut atau lebih dari satu alat angkut (modal transport) termasuk

angkutan melalui laut, bahwa barang-barang tersebut dimuat atau akan dimuat

diatas geladak. Meskipun demikian, bank akan menerima dokumen angkutan

yang berisikan catatan bahwa barang-barang tersebut boleh diangkut di atas

31

geladak, asal saja dokumen tersebut tidak secara khusus menyebutkan bahwa

barang-barang tersebut dimuat atau akan dimuat di atas geladak .

Demikian juga dokumen yang memiliki klausula seperti “shipper’s load and

count” atau “said by shipper to contain” atau kata-kata yang memiliki akibat

serupa, serta dokumen yang menunjukan bahwa pengirim barang merupakan

pihak lain yang bukan beneficiary kredit tersebut.

Dokumen Angkutan Yang Tidak Cacat

Clean transport document (dokumen angkutan yang tidak cacat) adalah dokumen

yang tidak mencantumkan klausula atau catatan yang menyatakan secara jelas

kondisi barang atau kemasan yang cacat.

Bank akan menolak dokumen angkutan yang memuat klausula atau catatan

dimaksud kecuali kredit secara jelass menyatakan klausula atau catatan yang

dimaksud dapat diterima. Demikian pula bank akan menganggap suatu

persyaratan dalam suatu kredi yang mengharuskan dokumen angkutan

mencantumkan klausula “clean on board” telah terpenuhi apabila dokumen

angkutan tersebut memenuhi persyaratan mengenai clean transport document

yang diatur dalam pasal 32 UCP500 ini. Selain itu juga harus memenuhi

peraturan sebagaimana diatur dalam pasal 23 (mengenai marine/ocean bill of

lading), pasal 24 (non negotiable sea way bill), pasal 25 (charter party bill of

lading), pasal 26 (multimodal transport), pasal 27 (dokumen angkutan udara),

pasal 28 (dokumen angkutan jalan, kereta api atau jalan air), serta pasal 30

(dokumen yang diterbitkan freight forwarder).

III. PERIZINAN USAHA

a. Pengertian Perizinan Usaha

Sebuah kegiatan usaha dimulai terlebih dahulu perusahaan yang bersangkutan harus

mengurus izin usaha. Maksud memiliki izin usaha tersebut untuk mewujudkan

pembinaan, pengarahan, dan pengawasan dalam kegiatan usaha juga akan tercapai

tertib usaha, kelancaran usaha, dan pemerataan kesempatan usaha.

Perizinan usaha di indonesia di berlakukan dengan adanya inpres No. 5 tahun 1984

tentang penyederhanaan dan pengendalian perizinan di bidang usaha, kemudian pada

tanggal 19 desember 1984 juga di terbitkan SK Menteri Perdagangan no

32

1458/KP/XII/1984 dan inpres No. 4 tahun 1985 yang juga mengatur tentang perizinan

di bidang usaha.

b. Jenis-Jenis Perizinan Usaha

a. Izin Prinsip, yaitu perizinan yang diberikan kepada perusahaan industri oleh

pemerintah daerah yang berkaitan dengan operasi produksi dari perusahaan.

b. Izin Hak Guna dan Hak Pakai, yaitu izin yang dikeluarkan sebagai bukti bahwa

perusahaan tersebut memiliki hak untuk menggunakan dan memakai lahan tempat

perusahaan berdiri untuk kegiatan usaha dan produksi.

c. Izin Mendirikan Bangunan, yaitu izin yang diberikan kepada perusahaan untuk

mendirikan bangunan atau merenovasi dan merubah bentuk bangunan di lahan yang

dimiliki.

d. Surat Izin Tempat Usaha (SITU), surat izin yang diberikan kepada perusahaan yang

berkaitan dengan faktor lingkungan terutama ditimbulkan oleh perusahaan tersebut

terhadap lingkungan disekitarnya.

e. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), yaitu surat izin yang diberikan kepada

perusahaan yang berkaitan dengan faktor lingkungan terutama berkaitan dengan

gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh perusahaan tersebut terhadap lingkungan

disekitarnya.

f. Nomor Register Perusahaan (NRP) atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP),

Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan,

maka perusahaan diwajibkan mendaftarkan ke kantor pendaftaran perusahaan, yaitu di

Kantor Departemen Perdagangan setempat. NRP (Nomor Register Perusahaan)

disebut juga TDP. NRP/TDP wajib dipasang di tempat yang mudah dilihat oleh

umum. Nomor NRP/TDP wajib dicantumkan pada papan nama perusahaan dan

dokumen-dokumen yang dipergunakan dalam kegiatan usaha.

g. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Analisis mengenai dampak

lingkungan adalah suatu hasil studi yang dilakukan dengan pendekatan ilmiah,

dipandang dari beberapa sudut pandang ilmu pengetahuan, yang merupakan dampak

penting usaha atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan terhadap lingkungan

hidup dalam satu-kesatuan hamparan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih

dari satu instansi yang bertanggung jawab.

33

c. Ketentuan Permohonan Surat Izin Usaha

i. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)

Persyaratan Pengurusan SITU

Salinan akta pendirian badan usaha yang sudah dilegalisasi oleh pengadilan

negeri.

Salinan para pengurus atau pendiri badan usaha.

Salinan IMB bangunan yang ditempati untuk berusaha.

Surat keterangan sewa/kontrak rumah atau bangunan jika bangunan bukan milik

sendiri atau sewa dari pihak lain.

Salinan bukti kepemilikan tanah dan bangunan yang akan digunakan sebagai

tempat usaha (sertifikat, letter C, atau surat keterangan dari desa).

Mengurus Surat-Surat Perizinan

Denah atau peta tempat usaha yang disahkan atau diketahui pejabat kelurahan

atau kecamatan.

ii. Prosedur Perizinan SITU

Mengajukan permohonan izin tempat usaha kepada camat atau bupati dengan

melampirkan semua persyaratan administratif yang diperlukan.

Apabila di kecamatan atau kabupaten terdapat Kantor Pelayanan Perizinan Satu

Atap, surat permohonan bisa ditujukan kepada camat atau bupati melalui Kepala

Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap.

Selanjutnya petugas dari pemerintah akan memeriksa tempat usaha kita untuk

mencocokkan semua data dengan kondisi yang ada di lapangan. Jika ada

ketidakcocokan atau kurang sesuai, petugas akan memberikan pengarahan.

Apabila semua persyaratan sudah sesuai, selanjutnya pemohon membayar

retribusi kepada pemerintah yang dalam waktu sekitar 14 (empat belas) hari

kerja, SITU akan diterbitkan.

iii. Kewajiban Pemilik SITU

Merealisasikan kegiatan maksimum 1 (satu) bulan terhitung dari tanggal

dikeluarkannya izin.

Menyediakan alat pemadam api/kebakaran/tanda bahaya di tempat usahanya.

Menjaga kebersihan dan kesehatan Lingkungan serta mencegah terjadinya

pencemaran/kerusakan Lingkungan kegiatan usahanya dan segera

34

menanggulangi apabila terjadi pencemaran/kerusakan lingkungan yang

disebabkan oleh kegiatan usahanya.

Menjaga ketertiban dan kelancaran lalu lintas umum dalam melakukan kegiatan

usahanya dan tidak diperbolehkan menggunakan trotoar/tepi jalan umum untuk

melakukan kegiatan usahanya.

Menyediakan obat-obatan (P3K).

Bersedia diperiksa petugas yang berwenang.

Melaksanakan perintah dan petunjuk dari instansi berwenang dengan penuh

tanggung jawab.

Tidak dapat menggunakan SITU sebagai jaminan bagi lokasi yang akan

digunakan oleh pemerintah.

Mengajukan surat izin baru maksimum 15 (lima betas) hari sebelum SITU habis

masa berlakunya atau hilang.

Melaporkan kepada bupati maksimum 60 (enam puluh) hari terhitung mulai

tanggal usahanya ditutup.

Melaporkan kepada bupati jika usahanya tidak sesuai dengan izin atau tidak

melakukan usahanya sama sekali.

SITU akan dicabut apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak

mengadakan kegiatan usaha.

d. Surat Izin Usaha Perdagangan

i. Jenis SIUP

SIUP Kecil yang diterbitkan untuk perusahaan dengan modal disetor dan

kekayaan bersih Rp. 200 juta di luar tanah dan bangunan.

SIUP Menengah yang diterbitkan untuk perusahaan dengan modal disetor dan

kekayaan bersih Rp. 200 juta sampai dengan Rp. 500 juta di luar tanah dan

bangunan.

SIUP Besar yang diterbitkan untuk perusahaan dengan modal disetor dan

kekayaan bersih di atas Rp. 500 juta di luar tanah dan bangunan.

ii. Persyaratan Administrasi

Berkas-berkas yang harus dilengkapi untuk mengurus pembuatan SIUP

tergantung pada jenis atau bentuk usaha yang dijalankan.

a. Perseroan Terbatas (PT)

Fotokopi akte okumes pendirian perusahaan;

35

Fotokopi SK Pengesahan badan okum dari Menteri Kehakiman dan HAM;

Fotokopi KTP pemilik/Direktur Utama/penanggungjawab perusahaan;

Fotokopi NPWP perusahaan.

Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemda setempat bagi

kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan Undang-

Undang Gangguan(HO);

Neraca perusahaan.

b. Koperasi

Fotokopi akte pendirian koperasi yang telah disahkan instansi yang

berwenang.;

Fotokopi KTP pimpinan/penanggungjawab koperasi;

Fotokopi NPWP perusahaan.

Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemda setempat bagi

kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan Undang-

Undang Gangguan (HO);

Neraca perusahaan.

c. Perusahaan Persekutuan

Fotokopi akte otaries pendirian perusahaan/akte otaries yang telah

didaftarkan pada Pengadilan Negeri;

Fotokopi KTP pemilik/penanggungjawab perusahaan;

Fotokopi NPWP perusahaan;

Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemda setempat bagi

kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan Undang-

Undang Gangguan (HO);

Neraca perusahaan.

d. Perusahaan Perorangan

Fotokopi KTP pemilik/penanggungjawab perusahaan;

Fotokopi NPWP perusahaan;

Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemda setempat bagi

kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan Undang-

Undang Gangguan (HO);

Neraca perusahaan.

e. Cabang/Perwakilan Perusahaan

36

Fotokopi SIUP Perusahaan Pusat yang dilegalisasi oleh pejabat yang

berwenang menerbitkan SIUP tersebut;

Fotokopi akte notaris atau bukti lainnya tentang pembukaan kantor cabang

perusahaan;

Fotokopi KTP penanggungjawab kantor cabang perusahaan di tempat

kedudukan kantor cabang bersangkutan;

Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (kantor pusat);.

Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemda setempat bagi

kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan Undang-

Undang Gangguan (HO).

f. Perusahaan yang dibebaskan dari kewajiban memperoleh SIUP

Cabang/perwakilan perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan usaha

perdagangan

mempergunakan SIUP perusahaan pusat;

Perusahaan kecil perorangan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

o tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan; dan

o diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau dengan

mempekerjakan anggota keluarganya/kerabat terdekat;

Pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang pinggir jalan atau pedagang

kaki lima.

iii. Prosedur Pembuatan SIUP

Pemilik perusahaan atau melalui kuasa yang sudah dikuasakan dapat mengurus

langsung ke kantor dinas perdagangan setempat atau kepala kantor pelayanan

perizinan selaku pejabat penerbit SIUP di wilayah kerjanya.

Kemudian mengambil formulir pendaftaran atau surat permohonan yang sudah

disediakan oleh kantor dinas perdagangan yang dilengkapi dengan syarat-syarat

yang sudah ditentukan. Surat permohonan tersebut harus di tandatangani diatas

meterai cukup pemilik/direktur utama/penanggung jawab perusahaan.

Pihak ketiga yang mengurus untuk mendapatkan SIUP, wajib melampirkan

surat kuasa yang bermeterai cukup dan ditandatangani oleh pemilik/direktur

utama/penanggungjawab perusahaan.

Membayar sesuai dengan peraturan daerah masing-masing.

e. Izin Prinsip

37

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Pemerintaha Daerah, Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota, IP dibutuhkan dalam rangka mendirikan perusahaan baru atau dalam

rangka memulai usaha baik sebagai penanaman modal asing (PMA) atau penanaman

modal dalam negeri (PMDN) atau dalam rangka perpindahan lokasi proyek PMA atau

PMDN.

Tergantung kepada natur dan besarnya nilai investasi, IP ini dapat diajukan kepada

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Bidang Penanaman Modal seperti Badan

Kordinasi Penanaman Modal atau juga Badan Perizinan Terpadu yang ada di tingkat

Kabupaten/Kota atau Provinsi.

Bila pemegang saham perusahaan Anda adalah warga negara asing dan sebagian

lagi orang warga Negara Indonesia, maka pengurusan IP dilakukan oleh Badan

Kordinasi Penanaman Modal.

1. Pengurusan Izin

Bila Perusahaan belum terbentuk, dokumen atau data-data berikut dibutuhkan

untuk pengurusan IP:

Formulir IP, yang dilengkapi dan ditandatangani oleh seluruh calon

pemegang saham dari perusahaan PMA

Nama-Nama Calon Pemegang Saham

Kartu Tanda Penduruk (bagi WNI) atau Kartu Tanda Pengenal yang sah

(bagi Warga Negara Asing) seperti Paspor

NPWP (bagi warga WNI)

Production Flow Chart dilengkapi dengan penjelasan detail mulai dari

bahan baku sampai menjadi produk akhir (bagi industri) atau uraian

kegiatan dan penjelasan produk jasa yang dihasilkan (bagi

sektor jasa)

Rekomendasi dari instansi pemerintah terkait apababila dipersyaratkan

Nama perusahaan yang akan dibentuk

Bidang Usaha Perusahaan yang akan dibentuk

Lokasi Proyek (Proyeksi)

Data-Data Estimasi Produksi dan Pemasaran

38

Luas Tanah yang dibutuhkan

Jumlah Tenaga Kerja

Rencana Nilai Investasi

Rencana Permodalan

Surat Pernyataan bahwa data-data yang disajikan adalah benar

Bila badan resmi sudah terbentuk seperti Perusahaan (PT), berikut adalah data-data

yang dibutuhkan:

Formulir IP, yang dilengkapi dan ditandatangani oleh seluruh calon

pemegang saham dari perusahaan PMA

Nama Pimpinan Tertinggi Perusahaan

Nama Perusahaan

Copy Akta Pendirian

Copy Surat Keterangan Domisili Usaha

Copy NPWP

Copy Surat Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM

Copy SIUP

Copy TDP

Bidang Usaha

Lokasi Proyek (Proyeksi)

Data-Data Estimasi Produksi dan Pemasaran

Luas Tanah yang dibutuhkan

Jumlah Tenaga Kerja

Rencana Nilai Investasi

Rencana Permodalan

Surat Pernyataan bahwa data-data yang disajikan adalah benar

Durasi waktu untuk pengurusan izin: 6 hari (BKPM) atau 14 hari (Badan Perizinan

Terpadu di tingkat Kabupaten/Kota atau Provinsi)  (efektif hari kerja).

f. Hak Guna Usaha

1. Subjek HGU

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan

memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi

haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang

dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.

39

Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam

pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang

hak atas tanah, yaitu :

a.  Warga Negara Indonesia 

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk

melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara

Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan,

membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu

perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.[5]

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon).

Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan

menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan

kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa,

orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya

tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan

menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang

harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek

hukum, yaitu :

1) Telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)

2) Tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang

yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka

yang belum dewasa.

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang

tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah

badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang.

Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-

pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara

(kecuali hukuman denda). Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan

hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1) didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia

2) berkedudukan di indonesia.

40

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama

didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat

menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat

sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40

tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut

wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan

tanahnya menjadi tanah negara.

2. Objek HGU

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah

negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah

yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di

atas tanah tersebut.

Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah

negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru

dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan.

Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian

Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya

telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di

atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan

dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka

pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada

pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak

atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas

Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang

layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang

bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia

Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

41

Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara

Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus

memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang

mempengaruhi harga tanah. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-

faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya,

turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena

harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah

merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses

penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas

tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya

jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya

kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam

berbagai bentuknya juga sangat diperlukan.Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk

tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan

jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah

sebagai berikut :

ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang

berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti

kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan

lain sebaginya),

suasana yang kondusif

keterwakilan parapihak

kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses

musyawarah.[10]

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di

atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka

tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan

wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar

mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan

terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak

42

jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah

tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses

musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya

parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak

atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik

melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat

menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai

objek Hak Guna Usaha tersebut adalah[11]:

tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha,

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa

luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima

hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada

perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5

ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan

oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di

bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan

untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang

bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 40 tahun 1996.

3. Jangka Waktu HGU

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam

ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal

tersebut disebutkan bahwa:

1. Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

2. untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan

Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

43

3. atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka

waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang

dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat

diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun

hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu

tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun

berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha

dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8

menyatakan bahwa:

1. Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka

waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka

waktu paling lama dua puluh lima tahun

2. sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan

pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha

dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh

tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan

tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

2. syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak

3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan

perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha

hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat

diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha

yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.

44

4. Hapusnya HGU

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut :

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan

pemberian hak atau perpanjangannya,

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :

a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;

b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan

dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan

sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;

c)  tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai

dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh

instansi teknis;

d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas

tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya

kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;

f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai

penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;

g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada

negara setelah hak tersebut hapus;

h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir

jangka waktunya kepada kantor pertanahan.

2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya

berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin

oleh pemegang hak);

f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;

g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada

pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

45

g. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

1. Prosedur Peermohonan TDP

a. Bagi permohonan TDP badan usaha/perusahaan PT-PMA, PT Non PMA, dan

Yayasan maka badan usaha/perusahaan harus  terlebih dahulu mendapatkan

Pengesahan Akta Pendirian/Perubahan dari Menteri Kehakiman & HAM RI,

atau persetujuan dan atau setelah tanggal penerimaan laporan.

b. Bagi permohonan TDP badan usaha KOPERASI maka badan

usaha/perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan Pengesahan Akta

Pendirian/Perubahan dari Instansi Terkait.

c. Bagi permohonan badan usaha/perusahaan CV atau perusahan perorangan

maka badan usaha/perusahaan harus terlebih dahulu didaftarkan kepengadilan

negeri setempat sesuai dengan Domisili Perusahaan.

d. Perusahaan mengambil formulir, mengisi, menandangani permohonan dan

mengajukan permohonan TDP pada Kantor Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kota/Kabupaten cq. Kantor Pendaftaran Perusahaan, sesuai

domisili perusahaan.

e. Petugas dari Kantor Pendaftaran Perusahaan akan memeriksa dan meneliti,

jika memenuhi syarat WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN, maka sertifikat

TANDA DAFTAR PERUSAHAAN akan dikeluarkan.

2. Persyaratan

a. Copy Ijin Persetujuan Investasi dari BKPM untuk PMA/PMDN (asli

diperlihatkan)

b. Copy Akta Pendiran (asli diperlihatkan)

c. Copy Perubahan-perubahannya termasuk perubahan Modal, Kepemilikan

Saham dan Perubahan Pengurus (asli diperlihatkan)

d. ASLI SK. Menteri Hukum & HAM RI dan Laporan perubahan Akta

e. Copy Surat Keterangan Domisili Perusahaan (asli diperlihatkan)

f. Copy SIUP/SIUJPT/SIUPAL atau Izin Operasional Lainnya (asli

diperlihatkan)

g. Copy KTP Pengurus (Direksi & Komisaris) atau Pasport jika Pengurus adalah

WNA

46

h. Copy KTP Pemegang Saham atau Pasport jika WNA atau NPWP dan SK

Menteri Kehakiman apabila Pemegang Saham adalah PT, Koperasi atau

Yayasan

i. Copy Pasport jika pengurus dan pemegang saham Warga Negara Asing

j. Asli TDP untuk Perubahan atau Perpanjangan

3. Masa Berlaku

Tanda Daftar Perusahaan berlaku selaku 5 (lima) tahun sejak tanggal

dikeluarkan.

h. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

1. Dasar Hukum IMB

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

BAB IV. PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG. Bagian Pertama: Umum.

Pasal 7, ayat (1): "Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif

dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung."

Pasal 7, ayat (2): "Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan

gedung, dan izin mendirikan bangunan."

Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung.

Pasal 8, ayat (1): "Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif

yang meliputi:

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku."

Pasal 8, ayat (4): "Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung,

kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat

(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

BAB IV. TUGAS DAN WEWENANG. Bagian Kesatu: Tugas.

Pasal 7, ayat (1): "Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat."

47

Pasal 7, ayat (2): "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah

dan pemerintah daerah."

Pasal 7, ayat (3): "Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan."

BAB VI. PELAKSANAAN PENATAAN RUANG.

Bagian Ketiga: Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

Pasal 35: "Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan

zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi."

Pasal 37, ayat (1): "Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur

oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Pasal 37, ayat (2): "Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut

kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan."

Pasal 37, ayat (3): "Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh

dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum."

Pasal 37, ayat (4): "Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang

benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,

dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya."

Pasal 37, ayat (5): "Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak

kepada instansi pemberi izin."

Pasal 37, ayat (6): "Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya

perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak."

Pasal 37, ayat (7): "Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin

pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang."

Pasal 37, ayat (8): "Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata

cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur

dengan peraturan pemerintah."

BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT .

48

Pasal 60: "Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:

e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak

sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan

f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin

apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang

menimbulkan kerugian."

Pasal 61: "Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:

b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang

berwenang;

c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;"

Pasal 63: "Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:

e. pencabutan izin;

f. pembatalan izin;

g. pembongkaran bangunan;"

PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan UU No.28 Tahun 2002

2. Prosedur Pengurusan IMB

IMB, pengrusannya, serta dokumen yang diperlukan tergantung kepada daerah yang

mengurus pembuatan IMB tersebut.

i. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Fungsi AMDAL diantaranya :

Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah

Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari

rencana usaha dan/atau kegiatan

Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau

kegiatan

Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup

Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana

usaha dan atau kegiatan

Awal dari rekomendasi tentang izin usaha

Sebagai Scientific Document dan Legal Document

Izin Kelayakan Lingkungan

49

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

PP No. 17 tahun 1988tentang Penyelenggaraan Pengangkutan Laut

UU No. 21 Tahun 1992tentang Pelayaran

HMN. Poerwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Hukum Pelayaran

Laut dan Perairan Darat. Jakarta: Djambatan

HMN. Poerwosutjipto. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Pengetahuan Dasar Hukum

Dagang. Jakarta: Djambatan.

http://johanzbahtera.blogspot.com/2012/11/penyerahan_4.html

http://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/hukum-surat-berharga/

http://id.wikipedia.org/wiki/Letter_of_credit

http://baliijinusaha.com/izin-usaha/jenis-jenis-ijin-usaha

http://mnovriandi.blogspot.com/2011/12/izin-usaha.html

SK Menteri perdagangan Nomor 1458/KP/12/1984.

http://trijayantiku.blogspot.com/2013/02/perizinan-usaha-business-licensing.html

http://afitaconsultant.weebly.com/situ.html

http://siup-surat-izin-usaha-perdagangan.blogspot.com/

http://www.legal4ukm.com/surat-izin-usaha-perdagangan-siup/

http://www.putra-putri-indonesia.com/izin-prinsip.html

http://bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/2013/11/17/hak-guna-usaha-dalam-aturan-

perundang-undangan/

http://fadla.wordpress.com/2008/07/02/tdp-tanda-daftar-perusahaan/

http://rienrara.blogspot.com/2012/11/hukum-pengangkutan-di-indonesia.html

http://putratok.wordpress.com/category/hukum-pengangkutan/

50

http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan.html

http://arizaekky.blogspot.com/2013/09/sumber-hukum-dan-asas-hukum-pengangkutan.html

http://rohanskasim.blogspot.com/2013/01/hukum-pengangkutan.html

51