8
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 277 Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstrak: Asam salisilat merupakan bahan keratolitik tertua. Selain memiliki efek keratolitik, bahan ini juga memiliki efek keratoplastik, anti-pruritus, anti-inflamasi, analgetik, bakteriostatik, fungistatik, dan tabir surya. Asam salisilat telah teruji dalam terapi berbagai penyakit kulit dengan manifestasi hiperkeratosis. Selain itu, asam salisilat merupakan terapi tambahan pada dermatomikosis superfisialis, moluskum kontagiosum, akne, dan kerusakan kulit akibat sinar matahari. Meskipun secara umum penggunaan asam salisilat topikal aman, bahan ini dapat diabsorbsi melalui kulit dan menimbulkan toksisitas. Hal tersebut jarang terjadi, namun berpotensi menimbulkan komplikasi serius. Makalah ini membahas sifat kimia, mekanisme kerja, penggunaan klinis, efek samping, toksisitas akibat absorbsi perkutan, dan kontraindikasi asam salisilat dalam bidang dermatologi. J Indon Med Assoc. 2012;62:277-84. Kata kunci: asam salisilat, dermatologi, indikasi, efek samping Korespondensi: Sri Katon Sulistyaningrum, Email: [email protected]

1311-1419-1-PB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1311-1419-1-PB

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 277

Penggunaan Asam Salisilatdalam Dermatologi

Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Asam salisilat merupakan bahan keratolitik tertua. Selain memiliki efek keratolitik,

bahan ini juga memiliki efek keratoplastik, anti-pruritus, anti-inflamasi, analgetik,

bakteriostatik, fungistatik, dan tabir surya. Asam salisilat telah teruji dalam terapi berbagai

penyakit kulit dengan manifestasi hiperkeratosis. Selain itu, asam salisilat merupakan terapi

tambahan pada dermatomikosis superfisialis, moluskum kontagiosum, akne, dan kerusakan

kulit akibat sinar matahari. Meskipun secara umum penggunaan asam salisilat topikal aman,

bahan ini dapat diabsorbsi melalui kulit dan menimbulkan toksisitas. Hal tersebut jarang

terjadi, namun berpotensi menimbulkan komplikasi serius. Makalah ini membahas sifat kimia,

mekanisme kerja, penggunaan klinis, efek samping, toksisitas akibat absorbsi perkutan, dan

kontraindikasi asam salisilat dalam bidang dermatologi. J Indon Med Assoc. 2012;62:277-84.

Kata kunci: asam salisilat, dermatologi, indikasi, efek samping

Korespondensi: Sri Katon Sulistyaningrum,

Email: [email protected]

Page 2: 1311-1419-1-PB

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012278

The Use of Salicylic Acid in Dermatology

Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi

Department of Dermatovenereology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/

Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Salicylic acid is the oldest known keratolytics. Besides its keratolytic properties, salicylic

acid also has keratoplastic, anti-pruritic, anti-inflammatory, analgetic, bacteriostatic, fungistatic,

and photo-protective effects. It is a well-established treatment for many dermatologic conditions,

manifest as hyperkeratosis, and can be used as an additional therapy for superficial dematomycosis,

moluscum contagiosum, acne, and photo-damaged skin. In general, topical salicylic acid is safe,

but it is readily absorbed from the skin. Toxicity from percutaneous absorption is rare but serious

complications have been reported. This paper reviewed its chemistry, mechanism of action,

clinical usage, side effect, percutaneous toxicity and contraindication in dermatotherapy. J Indon

Med Assoc. 2012;62:277-84.

Keywords: salicylic acid, dermatology, clinical use, side effects

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

Pendahuluan

Asam salisilat telah digunakan sebagai bahan terapi

topikal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu.1 Dalam bidang

dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal dengan khasiat

utama sebagai bahan keratolitik.2 Hingga saat ini asam salisilat

masih digunakan dalam terapi veruka, kalus, psoriasis, der-

matitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.3 Penggu-

naannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam

terapi penuaan kulit, melasma, hiperpigmentasi pasca-

inflamasi, dan akne.4,5

Di Amerika Serikat, berbagai sediaan mengandung

preparat asam salisilat dalam konsentrasi 1-40%.6 Penggu-

naan asam salisilat topikal relatif aman. Efek samping lokal

yang sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat adalah

dermatitis kontak.7,8 Beberapa kepustakaan melaporkan

adanya toksisitas sistemik akibat absorpsi perkutan. Toksi-

sitas asam salisilat, meskipun jarang, dapat menimbulkan

komplikasi yang serius.3

Farmakologi Asam Salisilat Topikal

Sifat Kimia

Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic

acid atau orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia

C7H

6O

3. Asam salisilat memiliki pKa 2,97.9 Asam salisilat

dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen,

spearmint, dan sweet birch.9,10 Saat ini asam salisilat telah

dapat diproduksi secara sintetik.9,11 Bentuk makroskopik

asam salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis,

tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Bubuk asam

salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam

lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya

terbatas pada lapisan epidermis.9

Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal

Efek Keratolitik dan Desmolitik

Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi

topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan

keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874.12 Berbagai

penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan

penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu

menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular,

dan melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit.3,13,14

Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan meng-

hilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan

dengan cornified envelope di sekitar keratinosit.15 Meka-

nisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang

menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit.

Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja

asam salisilat topikal.1,16 Efek desmolitik asam salisilat

meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi.1 Asam

salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih besar (20-60%),

menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap

digunakan pada terapi veruka dan kalus.1,17

Pengelupasan secara mekanik dapat meningkatkan

efektivitas kerja asam salisilat topikal. Pasien dapat diedukasi

Page 3: 1311-1419-1-PB

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 279

untuk mengusap kulit dengan spon halus atau handuk basah

saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula

dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini akan

menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit

diberikan asam salisilat topikal selama beberapa hari.18

Efek Keratoplastik

Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabi-

lisasi stratum korneum yang menyebabkan efek kerato-

plastik.19 Mekanisme belum diketahui secara pasti, namun

hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeo-

patik, yaitu asam salisilat menyebabkan rangsangan kera-

tolitik lemah yang menyebabkan peningkatan keratinisasi.18

Efek Anti-Pruritus

Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan.10 Efek

ini dapat diamati pada konsentrasi 1-2%.19 Mekanisme kerja

asam salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara

pasti.

Efek Anti-Inflamasi

Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki

khasiat anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam

asetil salisilat) telah digunakan secara luas sebagai analgesik,

anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat

menghambat biosistesis prostaglandin11 dan memiliki efek

anti-inflamasi pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,5-

5%.20

Efek Analgetik

Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analge-

sia. Metil salisilat topikal (sebagai contoh: minyak gandapura)

memiliki sifat sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap

dikombinasikan dengan mentol sebagai sediaan topikal yang

digunakan dalam pengobatan nyeri pada otot dan persen-

dian.11

Efek Bakteriostatik dan Disinfektan

Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampak terutama

terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp.,

Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa.1 Solusio

asam salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada

luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan

dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena

tidak mengotori pakaian atau mewarnai kulit.19

Efek Fungistatik

Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam

salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp.

dan Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah

2-3g/l (<1%).3,6 Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan

kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu

penyembuhan infeksi jamur superfisial, bukan efek fungis-

tatik langsung.21

Efek Tabir Surya

Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai

tabir surya.22,23 Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut

melalui transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ul-

traviolet (UV). 9 Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek

absorpsi sinar ultraviolet B (UVB) terutama pada gelombang

300-310 nm. Pada psoriasis, penggunaan asam salisilat topikal

yang tidak dibersihkan sebelum fototerapi dapat mempe-

ngaruhi hasil terapi.3 Sebagai tabir surya kimiawi, asam

salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA (para

amino benzoic acid). Daya proteksi asam salisilat sebagai

tabir surya lebih rendah 40% bila dibandingkan golongan

PABA.22

Penggunaan Klinis Asam Salisilat Topikal

Psoriasis

Asam salisilat merupakan bahan tradisional yang

digunakan pada terapi psoriasis. Zat tersebut kerap dikom-

binasikan dengan ter maupun sulfur dalam vehikulum vaselin.

Asam salisilat sering dikombinasikan dengan sediaan antralin

untuk mencegah oksidasi.10 Efek desmolitik asam salisilat

terbukti meningkatkan penetrasi kortikosteroid topikal.24

Pengobatan bertahap dilakukan menggunakan mometason

furoat 0,1% dan asam salisilat 5% selama 7 hari, dilanjutkan

dengan mometason furoat 0,1% saja selama 14 hari. Pende-

katan pertama lebih efektif mengeliminasi lesi psoriasi

dibandingkan dengan aplikasi mometason furoat 0,1% saja.25

Penggunaan kombinasi asam salisilat dan betametason

dipropionat sama efektif dengan salap kalsipotriol dalam

mengobati psoriasis kuku selama 3 bulan terapi.26

Dermatitis Seboroik dan Psoriasis pada Skalp

Gatal dan skuama pada kepala dapat ditemukan sebagai

manifestasi klinis pada pasien dermatitis seboroik dan pso-

riasis. Berbagai sampo terapeutik mengandung asam salisilat

2-3%, serta kombinasi sulfur dan ter. Sampo tersebut cukup

efektif dalam mengatasi psoriasis pada skalp dan dermatitis

seboroik yang bermanifestasi sebagai seborrhea capitis

sicca dan cradle cap.27

Iktiosis

Iktiosis merupakan penyakit gangguan keratinisasi

akibat kelainan genetik yang bermanifestasi kulit kering

dengan skuama yang berlebihan. Tata laksana iktiosis kerap

kali kurang memuaskan. Terapi bertujuan mengurangi

manifestasi klinis penyakit ini melalui efek hidrasi, lubrikasi,

dan keratolitik.28 Preparat asam salisilat 3-6% dalam vehikulum

salap bermanfaat untuk mengeliminasi skuama tebal pada

iktiosis vulgaris, x-linked ichthyosis, iktiosis lamelar, dan

hiperkeratosis epidermolitik. Oklusi meningkatkan efektivitas

terapi. 9 Kerusakan sawar yang terjadi pada iktiosis menye-

babkan klinisi harus berhati-hati dalam memberikan asam

salisilat pada area yang luas, terutama pada anak. Pemberian

asam salisilat sebaiknya diprioritaskan pada area yang tebal

Page 4: 1311-1419-1-PB

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012280

untuk mencegah kejadian absorpsi dan toksisitas sistemik.29

Hiperkeratosis Lokalisata dan Kalus

Asam salisilat 50% dalam sediaan plester maupun

salap (10-50%) dengan oklusi dapat digunakan untuk terapi

kalus .3,9Asam salisilat 6% dalam sediaan gel (1x/hari selama

2 minggu) terbukti cukup efektif mengatasi hiperkeratosis

lokalisata pada tumit, jari tangan, dan siku.1

Veruka

Asam salisilat merupakan bahan terapi veruka yang

terbukti efektif dan relatif aman.9,17, 29 Asam salisilat topikal

merupakan terapi lini pertama pada veruka.30 Efektivitas asam

salisilat dalam terapi veruka berkaitan erat dengan efek

desmolitiknya. Selain itu, asam salisilat menyebabkan iritasi

ringan pada kulit, sehingga mampu menginduksi respons

imun yang membantu mengeliminasi virus.18,30 Sediaan asam

salisilat topikal untuk terapi veruka bervariasi antara 10-60%.

Terdapat pula sediaan kombinasi dengan asam laktat maupun

podofilin. Masa terapi bervariasi sekitar 6-12 minggu.30

Bruggink melakukan uji klinis efektivitas bedah beku

N2 dibandingkan dengan preparat asam salisilat topikal 40%

dalam gel dan mendapatkan hasil terapi yang sama efektif

antar keduanya.31 Uji klinis terapi veruka vulgaris antara

kombinasi asam salisilat/ asam laktat (setiap hari selama 3

minggu) dengan bedah beku (1x/minggu, selama 3 minggu),

memberikan hasil yang tidak berbeda secara bermakna dalam

efektifitas pengobatan. Uji kinis lainnya memperlihatkan

kombinasi terapi bedah beku ditambah terapi topikal asam

salisilat dan asam laktat lebih baik daripada bedah beku

saja.30

Moluskum Kontagiosum

Leslie32 meneliti penggunaan asam salisilat gel 12% (2x/

minggu) sebagai terapi moluskum kontagiosum pada anak

dan mendapatkan bahwa sediaan ini cukup efektif diban-

dingkan plasebo (alkohol 70%). Ohkuma33 meneliti peng-

gunaan povidon iodine 10% dilanjutkan dengan plester asam

salisilat 50% (1x/hari) untuk terapi moluskum kontagiosum.

Kesembuhan total lesi dicapai dalam rata-rata 26 hari.

Dermatomikosis Superfisialis

Salap Whitfield yang mengandung asam salisilat 6%

dan asam benzoat 12% telah lama digunakan sebagai

preparat terapi tinea. Konsentrasi asam salisilat dan asam

benzoat dapat diturunkan menjadi 3% dan 6% untuk

mengurangi kejadian iritasi, namun kini penggunaannya

sudah digantikan oleh preparat yang lebih efektif.3,9

Akne Vulgaris

Asam salisilat memiliki efek komedolitik ringan. Zat ini

telah digunakan sejak tahun 1950 dalam berbagai preparat

terapi akne yang meliputi krim, pembersih wajah, astringen,

medicated pads, dan sabun.1,9 Di Amerika Serikat, konsentrasi

maksimal yang diperbolehkan dalam obat bebas adalah 2%

dan digunakan paling banyak pada pembersih wajah.34

Penggunaan asam salisilat topikal 30% sebagai bahan peel-

ing dalam terapi akne vulgaris semakin berkembang di

Asia.5,35,36 Zat yang bersifat lipofilik ini mampu berpenetrasi

ke dalam unit pilosebaseus dan memberikan efek komedolitik,

meskipun tidak sekuat retinoid. Asam salisilat topikal di-

anggap cukup aman dan efektif dalam terapi akne. Zat ini

kerap digunakan sebagai terapi topikal alternatif pada pasien

yang tidak dapat menggunakan retinoid maupun benzoil

peroksida, atau sebagai terapi tambahan terhadap modalitas

terapi lain yang lebih efektif.37

Photoaging

Asam salisilat 14% merupakan salah satu bahan aktif

dalam solusio Jessner yang digunakan sebagai bahan peel-

ing untuk mengatasi melasma, akne, hiperpigmentasi, dan

kerusakan kulit akibat sinar UV.38 Mekanisme asam salisilat

sebagai agen peeling kimiawi berkaitan dengan trauma pada

epidermis yang selanjutnya akan mengaktivasi sel basal epi-

dermis dan fibroblas. Hal tersebut menyebabkan efek

regenerasi pada kulit yang rusak akibat sinar UV. Pada

konsentrasi yang lebih rendah, asam salisilat digunakan

sebagai bahan eksfoliatif untuk meningkatkan deskuamasi

dan memperbaiki tampilan kulit menua. 9

Efek Samping Asam Salisilat Topikal

Absorpsi Sistemik

Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih

aman dan memiliki efek samping minimal bila dibandingkan

dengan rute pemberian sistemik, namun terapi topikal memiliki

potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi

obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai.39

Penggunaan asam salisilat pada area yang luas dapat men-

capai sirkulasi sistemik dalam jumlah yang signifikan.40 Asam

salisilat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya yang

cenderung lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum

minyak/salap dengan atau tanpa oklusi.11 Bioavailibilitas

absopsi asam salisilat melalui kulit bervariasi antara 11,8%-

30,7%.41 Asam salisilat yang diberikan secara topikal tidak

melalui metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami

penurunan signifikan jumlah zat aktif sebelum bekerja. Hal

inilah yang menyebabkan asam salisilat relatif aman bila

diberikan secara oral, namun dapat memberikan mani-festasi

gejala kelainan saraf pusat akibat toksisitas pada pemberian

secara topikal dalam dosis yang sama.41 Batas maksimal

pemberian asam salisilat adalah 2g/24 jam.18

Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik dan

Toksisitas

Absorpsi Perkutan

Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung

dengan absorpsi perkutan. Terdapat beberapa faktor yang

Page 5: 1311-1419-1-PB

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

281

mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi obat,

vehikulum, penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi,

frekuensi dan durasi aplikasi, serta keadaan kulit. Semakin

tinggi konsentrasi obat maka akan semakin tinggi ke-

mungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan vehikulum

minyak/ salap akan lebih mudah diserap dibandingkan krim.41

Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi

aplikasi dan semakin lama durasi pengunaan asam salisilat

topikal, serta oklusi akan meningkatkan absorpsi sistemik.

Keadaan kulit, terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap

absorpsi asam salisilat perkutan. Asam salisilat telah terde-

teksi dalam urin dalam 24 jam setelah aplikasi topikal pada

penderita eritroderma. Penggunaan asam salisilat 3% dengan

frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit kecuali wajah dan

leher menyebabkan toksisitas sistemik pada hari ke-5.3

Usia

Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko

kejadian toksisitas lebih besar dibandingkan dewasa. Bayi

dan anak memiliki perbandingan volume dan luas permukaan

tubuh yang besar.41 Selain itu fungsi detoksifikasi dan

ekskresi belum berkembang secara sempurna.29 Pada usia

lanjut, volume cairan ekstravaskular juga lebih rendah.41

Fungsi Hati dan Ginjal

Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum

endoplasmik dan mitokondria sel hati, serta di eksresi melalui

ginjal sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan asam

gentisat. 11 Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar

asam salisilat dalam plasma meningkat sedangkan kegagalan

fungsi ginjal akan menyebabkan ekskresi asam salisilat dan

metabolitnya menurun, sehingga meningkatkan akumula-

sinya dalam plasma.

Toksisitas Sistemik

Kejadian toksisitas sistemik akibat absorpsi asam

salisilat melalui kulit jarang dijumpai, namun berpotensi

menimbulkan gangguan serius, bahkan kematian. Lin dan

Nakatsui3 melakukan telaah pada publikasi berbahasa Inggris

dan mendapatkan 32 kasus toksisitas sistemik akibat

penggunaan asam salisilat topikal. Sebagian besar pasien

yang mengalami toksisitas sistemik asam salisilat adalah

pasien psoriasis (14) dan iktiosis (10). Gejala umumnya timbul

pada awal inisiasi terapi (2-3 hari setelah terapi dimulai).

Kematian terjadi pada 2 kasus.

Toksisitas akut asam salisilat melalui absorpsi topikal

belum pernah diteliti pada manusia. Toksisitas perkutan asam

salisilat pada kelinci, sangat rendah, dengan LD 50 >500mg/

kg berat badan. Dosis letal LD 50 adalah dosis zat yang

menyebabkan kematian pada 50% populasi. Pada penelitian

toksisitas subkronik asam salisilat topikal, dosis metil salisilat

>5g/kg BB diduga bersifat nefrotoksik, namun data pen-

dukung yang tersedia sangat terbatas.41 Gejala toksisitas

dapat diamati pada kadar plasma 200-400 µg/ml. Manifestasi

klinis toksisitas sistemik pada berbagai sistem organ adalah

sebagai berikut:

1. Salisilism

Salisilism merupakan suatu sindrom toksisitas asam

salisilat yang bersifat kronik. Gejala yang timbul meliputi

nyeri kepala, pusing, tinitus, gangguan pendengaran,

gangguan penglihatan, gangguan perilaku (bingung, lesu,

rasa kantuk), halusinasi, hiperventilasi, berkeringat, haus,

dan gangguan saluran pencernaan; yaitu: mual, muntah,

sampai dengan diare.11 Risiko kejadian salisilism meningkat

pada penggunaan jangka panjang meliputi area yang luas,

anak, serta pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.42

2. Efek Neurologik

Pada toksisitas asam salisilat dapat terjadi gangguan

neurologis berupa: pusing, rasa kantuk, vertigo, tinitus,

gangguan pendengaran pada nada tinggi, delirium, dan

psikosis. Pada keadaan toksisitas berat, pasien dapat pingsan

bahkan koma. Tinitus dan gangguan pendengaran diduga

terjadi akibat peningkatan tekanan pada labirin dan gangguan

terhadap sel rambut koklea. Hal itu merupakan akibat sekunder

terhadap vasokonstriksi pembuluh darah auditorik.11

3. Efek Respiratorik

Asam salisilat mampu menstimulasi pusat pernapasan

baik secara langsung maupun tidak langsung. Gejala dan

tanda toksisitas respiratorik meliputi hiperventilasi, alkalo-

sis respiratorik, dan asidosis metabolik. Efek ini mulai dapat

diamati pada kadar plasma 350 µg/ml. Keadaan hiperven-

tilasi pernafasan dapat diamati secara jelas pada kadar plasma

500 µg/ml. Bila keadaan ini terus berlanjut dapat terjadi depresi

pernafasan yang berakhir pada kegagalan sistem perna-

fasan.11

4. Efek Metabolik

Asam salisilat mampu menginduksi sekresi steroid oleh

kelenjar adrenal. Efek inilah yang dimanfaatkan sebagai efek

anti-inflamasi.11 Pada dosis tinggi asam salisilat dapat

mempengaruhi penggunaan glukosa yang berpotensi

menyebabkan status hipoglikemik pada pasien.3

5. Efek Teratogenik

Pada kejadian absorpsi sistemik dalam dosis terapeutik

sistemik, asam salisilat tidak terbukti memiliki efek teratogenik.

Ibu yang mengkonsumsi salisilat dan turunannya dalam

jangka waktu panjang selama masa kehamilan ternyata

melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Peng-

gunaan asam salisilat dalam jangka panjang pada trimester

ke-3 dapat meningkatkan mortalitas perinatal akibat penu-

tupan prematur duktus arteriosus, anemia, perdarahan an-

tepartum dan postpartum, dan komplikasi pada proses

Page 6: 1311-1419-1-PB

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012282

persalinan. 11

6. Interaksi Obat

Saat mengalami absorpsi sistemik, 80-90% asam salisilat

pada plasma berikatan dengan protein (terutama albumin).

Asam salisilat berkompetisi dengan berbagai obat yang

terikat pada albumin, yaitu tiroksin, triodotironin, penisilin,

fenitoin, kaptopril, probenesid, dan berbagai obat anti-

inflamasi nonsteroid. Penggunaan asam salisilat secara

bersamaan dengan antikoagulan lain (sebagai contoh: war-

farin dan heparin), obat hipoglikemia, dan metotreksat perlu

berhati-hati. Asam salisilat dapat meningkatkan toksisitas

obat-obat tersebut.11

Klinisi perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik

secara rasional, misalnya: fototerapi atau terapi sistemik

alternatif pada pasien dengan kelainan kulit yang luas.

Pengetahuan ini mampu menjadi panduan dalam memak-

simalkan efektivitas dan tolerabilitas asam salisilat sebagai

bahan dermatoterapi topikal.40

Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping yang

paling sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat

topikal, terutama pada penggunaan konsentrasi tinggi.11

Tiong dan Kelly43 melaporkan dua kasus luka bakar derajat 2

pada penggunaan plester asam salisilat 40% untuk mengobati

veruka pada lengan. Penggunaan asam salisilat konsentrasi

tinggi oleh pasien di rumah hendaknya dibekali dengan

edukasi tentang penggunaannya dengan tepat.

Asam salisilat memiliki potensi sebagai bahan sensi-

tizer lemah. 3,9,43,44 Kepustakaan yang melaporkan sensitisasi

akibat kontak terhadap asam salisilat topikal sangat terbatas.45

Lin dan Nakatsui,3 melaporkan enam kasus pasien yang

mendapatkan terapi asam salisilat topikal dan memiliki hasil

uji tempel yang positif terhadap asam salisilat. Hidson46

melaporkan satu kasus kejadian dermatitis kontak alergik

terhadap metil salisilat yang diperberat dengan pemberian

aspirin secara oral.

Pasien yang diduga mengalami dermatitis kontak alergik

terhadap asam salisilat topikal dapat memberikan hasil uji

tempel yang negatif terhadap asam salisilat. Pasien dapat

mengalami dermatitis kontak alergik terhadap kom-ponen lain

yang terkandung dalam sediaan asam salisilat topikal

tersebut.9

Kontraindikasi

Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Zat ini

digunakan sebagai obat bebas di Amerika Serikat dalam

konsentrasi 1-40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat

diberikan dengan kewaspadaan dan edukasi penggunaan

yang tepat. Pasien dengan riwayat sensitivitas atau alergi

kontak terhadap asam salisilat topikal sebaiknya tidak

diberikan preparat ini.6

Tidak terdapat penelitian penggunaan asam salisilat

topikal pada ibu hamil maupun ibu menyusui. Asam salisilat

diekskresi pada ASI dan berpotensi menimbulkan abnor-

malitas trombosit dan perdarahan pada bayi. Penggunaan

aspirin pada ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan. Asam

salisilat masuk dalam kategori C oleh FDA.47 Terdapat laporan

kasus kejadian sindrom Reye pada penggunaan aspirin per-

oral pasien dengan varisela sehingga salisilat dan turunannya

tidak direkomendasikan pada pasien yang menderita varisela,

enam minggu pasca- varisela, dan pasien yang baru mendapat

vaksinasi varisela.47

Produk dan Peresepan Dalam Racikan

Asam salisilat telah menjadi bahan aktif utama dalam

berbagai produk terapi topikal. Sediaan asam salisilat dapat

berupa salap, krim, solusio, gel, plester, maupun sampo.10,27

Saat ini dikenal pula berbagai vehikulum baru yaitu liposom

yang mampu membawa asam salisilat dalam konsentrasi tinggi

ke sel target dengan efek iritatif yang minimal.48

Sediaan asam salisilat bervariasi dengan konsentrasi

0,5%-60%.17 Selain itu asam salisilat juga kerap menjadi bahan

kombinasi dengan zat aktif lain untuk meningkatkan penetrasi

dan aktivitas zat aktif tersebut (efek sinergistik).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam sifat

kimia, asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah

larut dalam lemak. Kelarutan dalam air dapat ditingkatkan

dengan menambahkan amonium sitrat, kalium sitrat, dan

natrium fosfat. Pemberian asam salisilat dengan oxydum

zincicum akan membentuk senyawa salicylicum zincicum

yang tidak aktif. Asam salisilat tidak dapat dicampurkan ke

dalam vanishing cream, sebab cincin aromatiknya akan

menghancurkan komponen sabun yang diperlukan dalam

pembentukan emulsi.3 Pencampuran asam salisilat dengan

kalsipotrien tidak dianjurkan karena membuat senyawa yang

tidak stabil.1

Kombinasi asam salisilat dengan kortikosteroid topikal,

misalnya pada terapi psoriasis, sebaiknya memperhatikan

faktor kestabilan jenis kortikosteroid dalam asam. Jenis korti-

kosteroid yang stabil dalam kondisi asam adalah flusinolon.18

Kombinasi asam salisilat dengan sulfur memiliki efek

sinergistik yaitu meningkatkan aktivitas keduanya sebagai

bahan keratolitik dan antipruritus. Demikian pula penambahan

asam salisilat pada preparat antralin memiliki efek mengun-

tungkan, yaitu mencegah oksidasi antralin.3

Untuk bekerja dengan optimal, pembuatan produk yang

mengandung asam salisilat harus memerhatikan pKa, yaitu

pH optimal yang menyebabkan konsentrasi bentuk senyawa

terionisasi dan tidak terionisasi berada dalam keadaan

seimbang. Formulasi sediaan asam salisilat yang efektif ialah

yang memiliki pH mendekati 2,97, sehingga memiliki efek

deskuamasi yang optimal.3

Penutup

Asam salisilat sebagai bahan keratolitik tertua masih

digunakan secara luas pada dermatoterapi topikal dan peng-

Page 7: 1311-1419-1-PB

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

gunaannya semakin berkembang. Asam salisilat sebagai zat

aktif utama maupun tambahan tersedia dalam berbagai produk

dengan beragam vehikulum. Meskipun penggunaan asam

salisilat relatif aman, dapat terjadi absorpsi sistemik yang

berpotensi menimbulkan toksisitas sistemik. Penggunaan

asam salisilat harus tetap berhati-hati dan tidak boleh

diberikan pada area yang luas dalam jangka panjang. Populasi

bayi, anak, wanita hamil, usia lanjut, pasien dengan gangguan

fungsi hati dan/ ginjal, dan pasien diabetes melitus yang

mendapatkan asam salisilat topikal harus mendapatkan

edukasi dan pengawasan yang baik. Penggunaan pada area

yang luas dalam jangka waktu panjang sebaiknya dihindari.

Klinisi perlu memahami interaksi antara konsentrasi obat,

bioavailibilitas penetrasi yang bervariasi sesuai vehikulum

dan prosedur oklusi, serta prinsip manajemen berbagai

penyakit kulit secara holistik untuk meminimalkan risiko

toksisitas pada pemberian asam salisilat topikal.

Daftar Pustaka

1. Del Rosso J. Pharmacotherapy update: current therapies and

research for common dermatologic conditions. The many roles

of topical salicylic acid. Skin and Aging. 2005;13:38-42.

2. Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment

of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive

dermatologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders;

2007;41:745-60.

3. Lin AN, Nakatsui T. Salicylic acid revisited. Int J Dermatol.

1998;37:335-42.

4. Lee HS, Kim IH. Salicylic acid peels for the treatment of acne

vulgaris in Asian patients. Dermatol Surg. 2003;29:1196–9.

5. Grimes PE. The safety and efficacy of salicylic acid chemical

peels in darker racial-ethnic groups. Dermatol Surg. 1999; 25:18-

22.

6. Fung W, Orak D, Re TA, Haughey DB. Relative bioavailability of

salicylic acid following dermal application of a 30% salicylic acid

skin peel preparation. J Pharmaceutical Sciences. 2008;

97(3):1325-8.

7. Collier AP, Freeman SR, Dellavalle RP. Acne Vulgaris. In: Will-

iams H, editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore:

Blackwell Publishing; 2008. p. 83-104.

8. Gibbs S. Local treatments for cutaneous warts. In: Williams H,

editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore: Blackwell

Publishing; 2008. p. 347-53.

9. Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment

of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive der-

matologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007.

p. 745-60.

10. Parish LC, Witkowski JA. Tradisional therapeutic agents. Clin

Dermatol. 2000;18:5-9.

11. Burke A, Smyth E, FitzGerald GA. Analgesic-Antipyretic agents;

Pharmacotherapy of gout. In: Brunton LL, editor. Goodman &

Gilman’s The Pharmacological basis of therapeutics. 11th Ed.

New York: Pergamon Press; 2005. p. 671-715.

12. Jabarah A, Gilead LT, Zlotogorski Z. Salicylate intoxication from

topically applied salicylic acid. J Eur Acad Dermatol Venereal.

1997;8:41-2.

13. Davies M, Marks RL. Studies on the effect of salicylic acid on

normal skin. Br J Dermatol. 1976;95:187.

14. Roberts DL, Marshal R, Marks R. Detection of the action of

salicylic acid on the normal stratum corneum. Br J Dermatol.

1980;102:191-6.

15. Imayama S, Ueda S, Isoda M. Histologic changes in the skin of

hairless mice following peeling with salicylic acid. Arch Dermatol.

2000;136:1360-5.

16. Leveque JL, Saint-Leger D. Salicylic acid and derivatives. In:

Leyden JJ, Rawlings AV, editors. Skin moisturization. New York:

Marcel Dekker; 2002. p. 353-64.

17. Burkhart CN, Katz KA. Other topical medications. In: Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,

editors. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. 7th Ed.

New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2130-7.

18. Baden HP, Baden LA. Keratolytic agents. In: Wolff K, Gold-

smith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.

Fitz Patrick Dermatology in General. 5th Ed. New York: Mc Graw

Hill medical. 2003; p. 2352-5.

19. Djuanda A. Pengobatan topikal dalam dermatologi. Maj Kedok

Indon. 1994;(Suppl):S15-6.

20. Draelos ZD. Salicylic acid in the dermatologic armentarium.

Cosmet Derm. 1997;10(suppl 4):S7-8.

21. Bashir SJ, Dreher F, Chew AL, Zhai H, Levin C, Stern R, et al.

Cutaneous bioassay of salicylic acid as a keratolytic. Int J Phar-

maceutics. 2005;292:187-94.

22. Lim HW. Photoprotection and sun-protective agents. In: Wolff

K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,

editors. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. 7th Ed.

New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2137-41.

23. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. Singapore:

Wiley Blackwell; 2010. p. 1-52.

24. Lebwohl M. The role of salicylic acid in the treatment of psoria-

sis. Int J Dermatol. 1999;38:16-24.

25. Tiplika GS, Salavastru CM. Mometasone furoate 0.1% and sali-

cylic acid 5% vs. mometasone furoate 0.1% as sequential local

therapy in psoriasis vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venerol.

2009;23:905-12.

26. Tosti A, Piraccini BM, Cameli N, Kokely F, Plozzer C, Cannata

GE, et al. Calcipotriol ointment in nail psoriasis: a controlled

double-blind comparison with betamethasone dipropionate and

salicylic acid. Br J Dermatol. 1998;139:655-9.

27. Brodell RT, Cooper KD. Therapeutic shampoos. In: Wolverton

SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed.

Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 719-29.

28. Rubeiz N, Kibbi AG. Management of ichtiosis in infants and

children. Clin Dermatol. 2003;21:325–8.

29. Gibbs S, Harvey S. Topical treatments for cutaneous warts.

[Cochrane review] In: The Cochrane Library, issue 1, 2009.

Wiley Intersience.

30. Micali G, Dall’Oglio F, Nasca MR, Tedeschi A. Management of

cutaneous warts: An evidence-based approach. J Clin Dermatol.

2004;5:311-7.

31. Bruggink SC, Gussekloo J, Berger MY, Zaaijer K, Assendelft WJJ,

de Wall MWM, et al. Cryotherapy with liquid nitrogen versus

topical salicylic acid application for cutaneous warts in primary

care:randomized controlled trial. Canad Med Associat J.

2010;182:1624-30.

32. Leslie KS, Dootson G, Sterling C. Topical salicylic acid gel as a

treatment for molluscum contagiosum in children. J Dermatol

Treatment. 2005;16:336-40.

33. Ohkuma M. Molluscum contagiosum treated with iodine solution

and salicylic acid plaster. Pharmacol and therapeutics.

1990;29:6:443-5.

34. Akhavan A, Bershad S. Topical acne drugs: review of clinical

properties, systemic exposure, and safety. Am J Clin Dermatol.

2003;4:473-92.

35. Garg KV, Sinha S, Sarkar R. Glycolic acid peels versus salicylic–

Mandelic acid peels in active acne vulgaris and post-acne scarring

and hyperpigmentation: a comparative study. Dermatol Surg.

2009;35:59-65

36. Dainichi T, Ueda S, Imayama S, Furue M. Excellent clinical

results with a new preparation for chemical peeling in acne: 30%

salicylic acid in polyethylene glycol vehicle. Dermatol Surg.

283

Page 8: 1311-1419-1-PB

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

2008;34:891–9.

37. Bole WP, Shalita AR. Effective over the counter acne treat-

ments. J S Cutan Dermatol. 2008;170-6.

38. Sharquie K, Al Tikreety MM, Al Mashhadani SA. Lactic acid

chemical peels as a new therapeutic modality in melasma in

comparison to Jessner’s solution chemical peels. Dermatol Surg.

2006;32:1429–36.

39. Bergstrom KG, Strober BE. Principles of topical therapy. In:

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell

DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatologic in general medicine. 7th

Ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2091-6.

40. Aronson PJ. Systemic adverse effects due to topical medications.

In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug

therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 803-12.

41. Belsito D, Bickers D, Bruze M, Calow P, Greim H, Hanifin JM, et

al. A toxicologic and dermatologic assessment of salicylates when

used as fragrance ingredients. J Food and Chemical Toxicol.

2007;45:(Suppl.)318-61.

42. Fox LP, Merk HF, Bickers. Dermatological pharmacology. In:

Brunton LL, editor. Goodman & Gilman’s The pharmacological

basis of therapeutics. New York: Pergamon Press; 2005. p. 1679-

706.

43. Tiong WHC, Kelly EJ. Salicylic acid burn induced by wart

remover:A report of two cases. Burns. 2009;35:139-40.

44. Goh CL, Ng SK. Contact allergy to salicylic acid. Contact Der-

matitis. 1986;14:114.

45. Rudzki E, Koslowska A. Sensitivity to salicylic acid. Contact

Dermatitis. 1976;178-82.

46. Hindson C. Contact eczema from methyl salicylate reproduced

by oral aspirin. Contact Dermatitis. 1977;3:348-9.

47. Physician desk reference. 56th Ed. New York: Medical Econo-

mics Company Inc; 2002.

48. Thau P, Tech P. Controlled delivery and enhancement of topical

activity of salicylic acid. In: Rosen MR, editor. Delivery systems

handbook for personal care and cosmetic product. New York:

William Andrew; 2005. p. 873-90.

284