16426836 Bank Indonesia Kajian Stabilitas Keuangan No15 Maret 2009

Embed Size (px)

Citation preview

Penerbit: Bank Indonesia Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Indonesia

Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaantugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan.

KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk : Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.

Informasi dan Order : KSK ini terbit pada bulan Maret 2009 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2008, kecuali dinyatakan lain. Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada : Bank Indonesia Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075 Fax : (+62-21) 351 8629 Email : [email protected]

Kajian Stabilitas Keuangan I - 2007 ( No. 12, Maret 2009 )

ii

Daftar Isi

Kata Pengantar Gambaran Umum Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil Kondisi Makroekonomi Kondisi Sektor Riil Boks 1.1. Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008 Boks 1.2. Risiko Kredit Sektor Korporasi:

vi 3 9 9 12 15 17 18 21 21 22 22 22 25 31 33 36 36 39 46

Boks 2.3. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 48 Boks 2.4. Structured Products dan Offshore Products : Dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan Boks 2.5. Dampak Utang Luar Negeri terhadap Stabilitas Sistem Keuangan Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko Perkembangan Sistem Pembayaran Pengembangan Biro Informasi Kredit Jaring Pengaman Sistem Keuangan Boks 3.1. Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU tentang Perubahan Undang Undang Bank Indonesia Boks 3.2. Best Practices Analisis Dampak Sistemik terhadap Sistem Keuangan Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah Prospek Sistem Keuangan Indonesia Artikel Artikel 1 Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia Artikel 2 Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

50 52

Credit Default Swaps (CDS)Boks 1.3. Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasi pada 3 Sektor Bab 2 Sektor Keuangan Struktur Sistem Keuangan Indonesia Indeks Stabilitas Keuangan Perbankan Pendanaan dan Risiko Likuiditas Perkembangan dan Risiko Kredit Risiko Pasar Profitabilitas dan Permodalan Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal Perusahaan Pembiayaan Pasar Modal Boks 2.1. Kronologis Gejolak Sektor Keuangan 2008 dan Respon Kebijakan Boks 2.2. Pengambilalihan Bank Century, Penutupan Bank Indover dan Stabilitas Sistem Keuangan

55 55 59 63

65 66 69 69 70 72

75

85

47

iii

Daftar Tabel dan Grafik

Tabel1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2 Indikator Ekonomi Dunia Laba/Rugi Perbankan Perkembangan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan Pertumbuhan Indeks Bursa Regional Pertumbuhan Indeks Sektoral Perkembangan Data SID 2006-2008 Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem Keuangan 4.1 4.2 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi Persepsi Risiko Indonesia 64 37 37 39 41 41 60 10 34

Grafik1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 1.10 1.11 69 70 1.12 1.13 Business Confidence Indicators Indeks Harga Beberapa Komoditas Pertumbuhan PDB Negara Industri Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market Indeks Harga Saham Global Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non Financial Go Public Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non Financial Go Public Probability of Default (PD) Perusahaan Non Financial Go Public Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga Komposisi Aset Lembaga Keuangan Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index) 46 46 48 49 52 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 2.13 2.14 2.15 2.16 Perkembangan DPK Perkembangan DPK Valas Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah Ekses Likuiditas Bank Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari) Pertumbuhan Kredit (yoy) Perkembangan Kredit 2007-2008 Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd) Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd) Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya Perkembangan Kredit Properti Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal Pangsa Kredit Penggunaan 22 23 23 23 23 24 25 25 26 26 26 27 27 27 27 13 14 21 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN 14 13 13 11 11 11 12 9 10 10

Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura 12

Tabel Boks : 1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor 2.1.1 Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008 2.1.2 Respon Kebijakan 2.3.1 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Rupiah Januari s.d Desember 2008 2.3.2 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas DN Januari s.d Desember 2008 2.5.1 Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009 18 2.1 2.2

iv

2.17 2.18 2.19 2.20 2.21 2.22 2.23 2.24 2.25 2.26 2.27 2.28 2.29 2.30 2.31 2.32 2.33 2.34 2.35 2.36 2.37 2.38 2.39 2.40 2.41 2.42 2.43 2.44 2.45 2.46 2.47 2.48 2.49 2.50 2.51 2.52 2.53

Perkembangan Kredit MKM Non Performing Loans Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun) Rasio NPL Gross Kelompok Bank Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi Rasio NPL Gross Kredit Properti (%) Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%) Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%) Rasio NPL Gross Kredit MKM (%) Suku Bunga Rp & Nilai Tukar Profil Maturitas Rupiah Profil Maturitas Valas Posisi Devisa Netto Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan Perkembangan SUN (Rp T) Profitabilitas Bank-mtm 2008 Pendapatan Bunga Bank Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank Modal, ATMR, dan CAR Integrated Stress Test terhadap CAR 15 Bank Besar Interbank Stress Test Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08) NPL Pembiayaan Perkembangan Nominal NPL Arus Kas PP Swasta Nasional Arus Kas PP Patungan Exposure Perbankan Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary Bank Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing

28 28 28 29 29 29 29 30 30 30 31 32 32 32 32 33 33 34 34 34 35 36 36 37 37 37 38 38 38 38 39 39 40 40 40

2.54 2.55 2.56 2.57 2.58 2.59 2.60 2.61 2.62 2.63 2.64 2.65 2.66 2.67 2.68 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 4.1

Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik dan Asing Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional (Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005) 41 Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan Asing Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank P/E Ratio Saham Bank Perkembangan Harga Beberapa Seri FR Yield SUN 1 s.d. 30 tahun SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi Nilai Aktiva Bersih Reksadana Reksadana : Redemption-Subscription-NAB Reksadana : NAB-Unit Penyertaan Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana Perkembangan Transaksi BI-RTGS Perkembangan Transaksi SKN-BI Perkembangan Transaksi APMK Perkembangan Transaksi E-Money Peran Biro Informasi Kredit Kebijakan Strategis BIK Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan 42 42 42 42 43 43 43 43 44 44 44 44 55 56 56 56 59 60 71 41 40

Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank 35

Grafik Boks : 1.1.1 1.1.2 1.2.1 1.2.2 Komposisi Hutang Rumah Tangga (dalam % terhadap Total Hutang) Tujuan Pinjaman Rumah Tangga Perkembangan Harga CDS Indonesia Perkembangan Spread CDS Indonesia 16 16 17 17

Perkembangan Kenaikan NPL PP subsidiary Bank 39

v

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami menyambut baik penerbitan Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.12 Maret 2009 ini. Edisi ini kami pandang sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun 2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis global. Salah satu indikator peningkatan tekanan tersebut adalah Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Di pasar modal, peningkatan tekanan terlihat pada merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sementara di pasar SUN terjadi penurunan harga yang signifikan. Di perbankan, tekanan tersebut tercermin pada peningkatan risiko likuiditas terutama pada bulan Agustus-September 2008. Tekanan likuiditas itu muncul tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan kredit yang lebih banyak dibiayai dengan secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan dana masyarakat. Pada saat yang sama, perbankan juga menghadapi peningkatan risiko nilai tukar karena menurunnya nilai mata uang Rupiah. Setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia, menjelang akhir 2008 tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan mulai berkurang meskipun belum sepenuhnya pulih. Salah satu bentuk permasalahan yang belum dapat diatasi secara sempurna adalah segmentasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Meskipun tekanan terhadap sektor keuangan meningkat, namun kinerja perbankan sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan, relatif masih cukup baik. Pada akhir Desember 2008, rasio permodalan (CAR) perbankan tercatat masih tinggi (16,2%) dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana tercermin pada rasio NPL yang relatif rendah, yaitu 3,8% (gross) dan 1,5% (netto). Namun demikian, ke depan perlu terus diwaspadai berbagai sumber instabilitas, termasuk potensi peningkatan risiko kredit dan kemungkinan berulangnya tekanan likuiditas. Masalah lainnya yang juga dapat menimbulkan tekanan adalah semakin lambatnya penyaluran kredit (credit crunch) oleh perbankan yang pada gilirannya dapat mengganggu kinerja sektor riil, baik pada level korporasi maupun pada level households. Terganggunya kinerja sektor riil berpotensi meningkatkan risiko kredit di perbankan.

vi

Semakin banyaknya tantangan di sektor keuangan perlu diantisipasi dengan selalu berupaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas surveillance guna mendukung deteksi dini. Dengan mengetahui lebih awal potensi risiko, langkah-langkah mitigasi risiko dapat direncanakan secara cermat sehingga kerugian dapat diminimalisir. Untuk itulah kami memandang penting penerbitan KSK ini karena dapat digunakan sebagai media yang efektif untuk mengkomunikasikan kepada para stakeholders hasil-hasil surveillance yang telah dilakukan. Semoga KSK berhasil mengemban misinya itu dengan baik dan informasi yang disediakannya bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Maret 2009 DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA

Muliaman D. Hadad

vii

viii

Gambaran Umum

Gambaran Umum

1

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

2

Gambaran Umum

Gambaran UmumStabilitas sistem keuangan pada semester II 2008 masih tetap terjaga. Selama periode tersebut, terimbas oleh krisis global, tekanan terhadap sektor keuangan domestik menjadi semakin besar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot tajam, sementara harga Surat Utang Negara (SUN) mengalami penurunan yang signifikan. Perbankan juga sempat mengalami tekanan likuiditas tidak saja karena pengaruh krisis likuiditas global, namun juga karena tingginya pertumbuhan kredit yang berlangsung s.d. Oktober 2008 yang sebagian besar dibiayai dengan secondary reserves. Selain itu, menurunnya nilai tukar Rupiah sejak awal Oktober 2008 juga meningkatkan risiko di sektor keuangan. Gejolak di sektor keuangan ini telah mengakibatkan Indeks Stabilitas Keuangan selama semester laporan meningkat tajam, bahkan melampaui batas maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Pemerintah menerbitkan beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU), sementara Bank Indonesia mengeluarkan beberapa ketentuan baru, termasuk merubah Giro Wajib Minimum (GWM). Dampak positifnya adalah kondisi likuiditas industri perbankan semakin membaik dan nilai tukar Rupiah semakin berkurang volatilitasnya meskipun belum kembali pada level seperti sebelum Oktober 2008. Namun, menjelang akhir 2008 dan awal 2009 terdapat tanda-tanda bahwa pertumbuhan kredit perbankan menjadi semakin melambat. Apabila hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian mengingat perbankan selama ini merupakan sumber pembiayaan yang paling utama. Ke depan, prospek stabilitas sistem keuangan diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan yang dihadapi semakin berat karena akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi.

1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS 1.1. Krisis Keuangan GlobalKrisis keuangan global merupakan sumber instabilitas yang terutama. Hal ini karena perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan perekonomian global. Selain

itu, sumber dana dari luar negeri selama ini merupakan salah satu sumber dana yang penting, baik bagi perusahaan perbankan maupun perusahaan nonperbankan. Oleh karena itu, krisis keuangan yang dialami sejumlah negara sejak beberapa waktu terakhir ini

3

Gambaran Umum

berpotensi menular ke Indonesia. Tidak saja sektor keuangan domestik menjadi semakin rentan oleh gejolak keuangan, perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi semakin sulit mendapatkan dana asing untuk membiayai kegiatan usahanya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di sektor riil yang selama ini tergantung pada sumber pembiayaan dari luar negeri dapat terganggu kinerjanya dan dapat menurunkan debt repayment capacity dari perusahaan-perusahaan tersebut. Di perbankan, hal-hal ini dapat mendorong terjadinya peningkatan kredit bermasalah (NPL), serta perlambatan pertumbuhan kredit dan pembiayaan lainnya dalam valas yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan perekonomian.

menunjukkan bahwa kinerja korporasi pada umumnya mengalami penurunan terutama dari segi profitabilitas dan ketersediaan likuiditas. Selain itu, leverage juga cenderung meningkat sejalan dengan penurunan modal karena berkurangnya profitabilitas. Selanjutnya, meskipun hasil survei tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi sektor rumah tangga (household) masih relatif aman, namun ancaman pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada beberapa perusahaan sangat berpotensi mengganggu kinerja household ke depan. Sementara itu, kondisi infrastruktur, dalam enam bulan terakhir juga tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Secara keseluruhan, kondisi sektor riil dan infratsruktur yang masih belum mendukung ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap

1.2. Kondisi MakroekonomiStabilitas makroekonomi merupakan prasyarat utama untuk tercapainya stabilitas sistem keuangan. Berbagai pihak memperkirakan bahwa kondisi makroekonomi domestik tahun 2009 tidak lebih baik dibandingkan dengan tahun 2008, terutama karena pengaruh perlambatan ekonomi global. Memburuknya kondisi makroekonomi berpotensi menekan stabilitas keuangan karena dapat mendorong peningkatan NPL. Disamping itu, perbankan kemungkinan menjadi semakin selektif menyalurkan kredit. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif untuk mencegah

stabilitas sistem keuangan, terutama dalam bentuk peningkatan NPL dan melambatnya penyaluran kredit perbankan.

1.4. Inovasi Keuangan, Structured Products dan

Offshore ProductsDalam KSK edisi sebelumnya (No.11 September 2008) telah dikemukakan pentingnya perbankan memperhatikan aspek manajemen risiko dan perlindungan nasabah dalam melakukan inovasi terhadap produkproduk keuangan yang ditawarkan kepada nasabah, termasuk structured products. Dalam kenyataannya sejak beberapa waktu terakhir sejalan dengan pelemahan nilai tukar mata uang domestik, beberapa negara mengalami kesulitan karena kerugian yang disebabkan oleh structured

meningkatnya risiko perbankan karena memburuknya kondisi makroekonomi, termasuk dengan memperketat monitoring dan mempercepat pelaksanaan restrukturisasi kredit terhadap debitur-debitur yang terkena imbas krisis global.

products sehingga menimbulkan dispute antara bankdengan nasabahnya. Meskipun di Indonesia, potensi kerugian yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan

1.3. Kondisi Sektor Riil dan InfrastrukturPotensi instabilitas juga dapat berasal dari kondisi sektor riil dan infrastruktur domestik yang masih belum menggembirakan. Terimbas krisis global, hasil pemantauan

negara-negara lainnya, hal ini perlu mendapat perhatian karena dapat meningkatkan risiko kredit dan risiko nilai tukar di perbankan. Di samping itu, risiko reputasi dan risiko hukum dari bank-bank yang terkait dengan

4

Gambaran Umum

structured products juga berpotensi meningkat, khususnyajika dispute dengan nasabah tidak berhasil diselesaikan dengan baik. Selain itu, perbankan juga perlu pula meningkatkan kehati-hatian terkait dengan kegiatan keagenan offshore

tahun 2009 juga akan terlaksana dengan aman dan terkendali. Keberhasilan melaksanakan Pemilu dengan damai dan demokratis akan mendorong meningkatnya investasi di dalam negeri, baik yang berasal dari investor lokal maupun investor international.

products. Hal tersebut antara lain karena penanaman yangberlebihan dalam produk tersebut dapat mendorong terjadinya pelarian dana investor domestik ke luar negeri, membuat bank lebih terekspose risiko reputasi dan risiko hukum, serta meningkatkan potensi terjadinya dispute dengan nasabah, terutama apabila transparansi dan perlindungan konsumen masih belum diprioritaskan.

2. MITIGASI RISIKO 2.1. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good GovernanceCara yang terbaik untuk menekan potensi instabilitas di sektor keuangan adalah memperkuat manajemen risiko dan good governance di lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Manajemen risiko yang lebih baik

1.5. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)Secara umum, tekanan likuiditas yang sempat dialami pada semester kedua 2008 dewasa ini telah teratasi dan industri perbankan sudah semakin likuid. Namun demikian, masih ada persoalan yang tersisa yaitu masih terdapatnya segmentasi PUAB dimana bank-bank besar cenderung hanya bertransaksi dengan bank-bank besar pula, sementara bank-bank kecil dan menengah relatif masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana antar bank. Ke depan, segmentasi PUAB ini perlu segera diatasi karena dapat menimbulkan tekanan pada stabilitas perbankan, khususnya dari sisi likuiditas.

akan sangat membantu dalam pengambilan langkahlangkah yang diperlukan untuk memitigasi risiko untuk menghindarkan potensi kerugian. Sementara itu, penerapan good governance akan membuat lembagalembaga keuangan semakin memperhatikan prinsipprinsip transparansi, akuntabilitas dan fairness yang memungkinkan berjalannya mekanisme disiplin pasar dan perlindungan nasabah yang memadai. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan manajemen risiko dan good governance di perbankan sudah mengalami kemajuan. Namun, untuk

mengantisipasi dampak semakin memburuknya ekonomi global, diperlukan upaya yang lebih keras lagi untuk terus

1.6. Perkembangan Politik dan Keamanan Dalam NegeriPelaksanaan Pemilu 2009 dapat berdampak terhadap kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang apabila tidak terkendali dapat mengganggu stabilitas keuangan. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa rakyat selama ini sudah semakin terbiasa dengan pesta demokrasi seperti halnya Pemilihan Gubernur dan Bupati yang berlangsung terus menerus silih berganti sepanjang tahun di berbagai tempat di dalam negeri, dapat diperkirakan bahwa Pemilu

memperkuat manajemen risiko dan implementasi good

governance di perbankan.

2.2. Memperkuat SurveillanceMitigasi risiko di sektor keuangan juga dapat dilakukan dengan memperkuat surveillance. Untuk itu, telah dikembangkan berbagai tools dan methodologies seperti stress tests, analisis probability of default, financial

stability index serta survey households untuk mendukung surveillance pada tingkat macroprudential. Dari waktu

5

Gambaran Umum

ke waktu masing-masing pendekatan ini terus direview dan dikembangkan agar dapat menjadi alat deteksi dini (early warning) yang andal. Sementara itu, pada level

persetujuan. Kondisi terakhir, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang JPSK dan sudah mulai dibahas dengan DPR.

microprudential , fungsi pengawasan bank terusdiperkuat, antara lain dengan membenahi sumber daya manusia pengawasan bank, serta terus memperbaiki berbagai pendekatan yang digunakan dalam rangka penerapan Risk-Based Supervision. Disamping itu, sejumlah ketentuan baru di bidang perbankan yang ditujukan antara lain untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, juga telah dikeluarkan.

3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGANProspek stabilitas sistem keuangan ke depan diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan yang dihadapi akan semakin berat terutama karena belum pulihnya kondisi perekonomian baik domestik maupun global. Sebagaimana yang akan diuraikan lebih rinci pada Bab 4, hal-hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut. Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini

2.3. Memperkuat Protokol Manajemen KrisisUntuk memitigasi risiko dalam konteks yang lebih luas di sektor keuangan telah disusun protokol manajemen krisis yang merupakan bagian penting dalam kerangka Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Terkait dengan hal tersebut, untuk memitigasi risiko karena bergejolaknya sektor keuangan pada bulan Oktober 2008, Pemerintah telah menerbitkan 3 PERPPU, yaitu masing-masing tentang (i) Peningkatan penjaminan oleh LPS dari semula maksimal Rp100 juta menjadi Rp2 milyar perorang pernasabah; (ii) Perubahan Undang-undang tentang Bank Indonesia yang memungkinkan penggunaan kredit lancar sebagai agunan dalam mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dari Bank Indonesia; dan (iii) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan ketiga PERPPU tersebut terbukti membantu meredam tekanan likuiditas perbankan, sehingga perbankan tetap tenang meskipun pada saat tekanan likuiditas terjadi terdapat 1 bank yang diserahkan ke LPS untuk disehatkan. Dalam perkembangan selanjutnya, PERPPU tentang perubahan cakupan penjaminan oleh LPS dan perubahan Undang-undang Bank Indonesia sudah mendapatkan persetujuan dari DPR, sementara PERPPU tentang JPSK tidak mendapat

terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat perbankan di luar negeri. Kedua, dewasa ini perbankan dan otoritas pengawasan bank lebih siap menghadapi krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Ketiga, infrastruktur sektor keuangan sudah semakin lengkap, antara lain ditandai dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang cukup dipercaya dan menimbulkan ketentraman bagi nasabah penyimpan dana di perbankan. Faktor penting berikutnya yang mendukung prospek positif stabilitas keuangan ke depan adalah Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang saat ini rancangan Undangundangnya sudah dipersiapkan dan telah mulai dibahas di DPR. Ditengah-tengah optimisme tersebut di atas, kehatihatian perlu terus lebih ditingkatkan karena krisis global dewasa ini dinilai sebagai yang terberat paska Depresi Besar ( Great Depression ) tahun 1929. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global secara kolektif akan sulit dihindarkan dampaknya terhadap ekonomi domestik. Oleh karena itu sangat penting untuk membentengi sektor keuangan domestik dengan membuat jaring pengaman yang memadai serta mengedepankan kehati-hatian dalam menjalankan aktivitas usaha.

6

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

7

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

8

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1

Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Selama semester II 2008 stabilitas makroekonomi Indonesia masih tetap terjaga meskipun mendapat tekanan dari krisis keuangan global. Penurunan kepercayaan pasar menyebabkan krisis keuangan merambat ke sektor riil sehingga mendorong terjadinya perlambatan ekonomi pada banyak negara termasuk Indonesia. Sementara itu, penurunan daya beli yang diiringi dengan penurunan harga menyebabkan profitabilitas sektor korporasi menurun. Akibatnya, pelaku usaha melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan pembatasan kegiatan ekspansi yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga. Jika terus berlanjut, hal ini berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan domestik.

1. KONDISI MAKROEKONOMIPerkembangan ekonomi internasional selama semester II 2008 diwarnai oleh meluasnya krisis keuangan global hingga merambat ke sektor riil. Kelangkaan likuiditas dan peningkatan volatilitas di pasar uang memicu penurunan kepercayaan sektor korporasi (produsen) maupun sektor rumah tangga (konsumen) terhadap kondisi perekonomian. Hal ini tergambar pada penurunan Business Confidence Indicator yang dikeluarkan oleh IMF. Kondisi ini menyebabkan produsen dan konsumen melakukan langkah antisipasi dengan menahan diri untuk melakukan investasi dan konsumsi. Hal tersebut berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama di negara-negara maju. Selama tahun 2008 perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh sekitar

3,4%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2007 yang sebesar 5,2%. Perlambatan ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2009 yaitu menjadi hanya sekitar 0,5%. Pada tahun 2010, keadaan diperkirakan akan sedikit membaik dengan pertumbuhan sebesar 3,0%.Grafik 1.1 Business Confidence IndicatorsManufacturing PMls 65 60 55 50 45 40 35 1985 1990 1995 2000 2005 Okt 2008 Emerging Economies United States (values greater than 50 indicate expansion) Euro Area

Sumber: World Economic Outlook-IMF November, 2008

9

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Tabel 1.1 Indikator Ekonomi Dunia(%) Kategori World Output: Advanced Economies United States Euro area Emerging & Developing Countries Consumer Price: Advanced Economies Emerging & Developing Countries1) LIBOR2) US Dollar Deposit Euro Deposit Yen Deposit Oil Price (USD) - rata-rata3) 2007 5,2 2,7 2,0 2,6 8,3 2,1 6,4 5,3 4,3 0,9 10,7 2008 3,4 1,0 1,1 1,0 6,3 3,5 9,2 3,0 4,6 1,0 36,4 Proyeksi 2009 0,5 (2,0) (1,6) (2,0) 3,3 0,3 5,8 1,3 2,2 1,0 (48,5) 2010 3,0 1,1 1,6 0,2 5,0 0,8 5,0 2,9 2,7 0,4 20,0600 500 400 300 200 100 0 2000

Grafik 1.2 Indeks Harga Beberapa Komoditas1990 = 100Minyak Timah Minyak Sawit Beras Aluminium Tembaga Emas Kopi Karet

600 500 400 300 200 100 0

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Sumber: Bank Indonesia

Eropa yang selama ini menjadi pasar ekspor utama negaranegara emerging market, yang disertai dengan penurunan harga komoditas di pasar global menyebabkan turunnya

Sumber: World Economic Outlook - IMF Januari 2009

Penurunan kegiatan ekonomi di negara-negara maju berdampak pada penurunan permintaan terhadap komoditas yang menyebabkan turunnya harga komoditas di pasar global. Semula, pada semester I 2008, pelemahan nilai tukar dollar AS dan gejolak yang terjadi di pasar uang mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar komoditi yang memicu terjadinya lonjakan harga komoditas. Harga minyak mentah dunia sempat mencapai level tertinggi mendekati USD150 per barrel yang diikuti pula dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Namun, memasuki semester II 2008, seiring dengan menurunnya jumlah permintaan akibat penurunan kegiatan ekonomi dan berkurangnya transaksi yang bersifat spekulatif di pasar komoditas, harga minyak mentah dan harga komoditas utama dunia lainnya menurun tajam. Dibandingkan akhir semester I 2008, harga minyak dunia mengalami penurunan lebih dari 50% hingga menjadi USD44,6 per barrel pada akhir semester II 2008. Penurunan tersebut juga diikuti oleh penurunan harga-harga komoditas utama dunia lainnya. Penurunan permintaan terhadap barang dan jasa, khususnya dari negara-negara maju seperti AS dan Uni

kinerja ekspor negara-negara emerging market termasuk Indonesia. Karena pendapatan negara-negara emerging

market umumnya tergantung pada hasil ekspor, makapenurunan kinerja ekspor tersebut menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Akan tetapi penting dicatat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan pada triwulan IV 2008, namun secara keseluruhan selama tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh cukup kuat, yaitu sebesar 6,1%, atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi beberapa negaraGrafik 1.3 Pertumbuhan PDB Negara Industri% 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 (1,00) (2,00) (3,00)Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4

Amerika Serikat Jerman Canada

Jepang Inggris

2000Sumber: Bloomberg

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

10

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Grafik 1.4 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market% 12,00 9,00 6,00 3,00 (3,00) (6,00) (9,00) Indonesia Thailand China 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Singapura Korea Selatan India 2007 2008

tukar rupiah melemah sekitar 20,5% hingga mencapai Rp11.120 per dollar AS pada akhir semester II 2008. Pelemahan ini masih terlihat meskipun volatitasnya sudah semakin berkurang.Grafik 1.5 Indeks Harga Saham Global35000 30000 25000 20000 15000 10000Singapore NYA New York Dow Jones Indonesia Nikkei

35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2007 2008

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4

Sumber: Bloomberg

ASEAN lainnya seperti Singapura, Korea Selatan dan Thailand. Kondisi tersebut ditopang oleh masih cukup tingginya pertumbuhan konsumsi swasta, khususnya dari sektor-sektor non tradable seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sehingga mengimbangi penurunan di sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Sementara itu, di sisi keuangan, peningkatan intensitas krisis keuangan global memicu para investor menarik investasi portfolionya dari negara-negara

5000 0 2006Sumber: Bloomberg

Grafik 1.6 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD14.000 Rata-rata bulanan 12.000 10.000 8.000 6.0009.039 9.210

14.000 Rata-rata semesteran9.258 9.352

12.000 10.000 8.000 6.000 4.000

emerging market, baik untuk memenuhi kebutuhanlikuiditas (flight to liquidity) maupun mencari tempat penanaman yang dianggap lebih aman (flight to quality). Kondisi ini juga dialami Indonesia. Dibandingkan akhir semester I 2008, indeks harga saham gabungan di Bursa

4.0009.075 9.077 9.172 9.095 8.842 8.981 9.067 9.358 9.105 9.102 9.267 9.356 9.406 9.180 9.178 9.203 9.281 9.288 9.159 9.151 9.354 9.990 11.803 11.3141 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

2.000 0

2.000 0

2007Sumber: Bloomberg

2008

Efek Indonesia turun tajam sekitar 42,3% dari 2.349,11 menjadi 1.355,41 pada akhir semester II 2008. Aksi pelepasan investasi asing tersebut antara lain menyebabkan neraca modal dan finansial Indonesia pada triwulan IV 2008 mengalami defisit. Selama tahun 2008 neraca pembayaran Indonesia diperkirakan defisit sebesar USD2.302 juta. Gejolak keuangan yang meningkat khususnya sejak awal semester II 2008 juga berdampak kepada terdepresiasinya nilai tukar rupiah dengan volatilitas yang juga meningkat. Dibandingkan akhir semester I 2008, nilai Pada sisi lain, penurunan permintaan dan penurunan harga komoditas di pasar internasional menyebabkan tekanan inflasi yang terjadi cukup kuat pada pertengahan tahun 2008 mulai mereda. Momentum penurunan inflasi ini mendorong bank sentral di beberapa negara melakukan pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga guna mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pada bulan Desember 2008 Fed Fund Rate mencapai titik terendahnya 0,25%, sementara suku bunga European Central Bank turun menjadi 2,50%. BI rate juga mengalami

11

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

penurunan menjadi 9,25% pada Desember 2008 yang berlanjut hingga menjadi 7,75% pada Maret 2009. Meskipun BI rate mengalami penurunan tetapi iklim investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik, karena secara riil tingkat bunga di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya.Grafik 1.7 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnamy.o.y %

diharapkan dapat mengimbangi tekanan dari sektor eksternal. Stimulus dari sisi moneter adalah penurunan suku bunga, sementara stimulus dari sisi fiskal antara lain adalah pelaksanaan program peningkatan daya beli masyarakat oleh pemerintah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, penurunan harga bahan bakar minyak dan tarif angkutan, kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang diperkirakan melebihi 11%, dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Tidak kalah pentingnya adalah kegiatan Pemilu maupun Pilkada yang

10

diperkirakan juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi swasta yang sangat diperlukan untuk

5

mengimbangi tekanan dari sektor eksternal.

0Filipina Malaysia Singapura Indonesia Okt Jan Apr Thailand Vietnam Jul Okt

2. KONDISI SEKTOR RIILPerlambatan ekspor karena imbas krisis keuangan global berdampak pula kepada kinerja sektor rill dalam negeri, baik korporasi maupun rumah tangga. Hal ini antara lain tercermin pada penurunan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan non financial go public yang menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan ekspansi maupun pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini pada gilirannya dapat berdampak pada penurunan daya beli rumah tangga.

(5)

Jan

Apr

Jul

2007Sumber: CEIC

2008

Grafik 1.8 Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura%

4,0 2,0 0,0 (2,0) (4,0) (6,0) (8,0)Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Indonesia AS Singapura

Penurunan harga, berkurangnya permintaan ekspor dan melemahnya daya beli masyarakat karena krisis global2004 2005 2006 2007 2008

2003Sumber: Bloomberg dan CEIC

menyebabkan sektor korporasi khususnya perusahaan non

financial go public mengalami penurunan margin. Hal iniKe depan, tekanan krisis ekonomi global terhadap ekonomi dan keuangan domestik diperkirakan masih berlanjut. Penurunan permintaan barang ekspor akibat perlambatan kegiatan ekonomi global kemungkinan akan semakin menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, beberapa stimulus dari dalam negeri baik dari sisi moneter maupun dari sisi fiskal diperkirakan cukup mampu mendorong pertumbuhan konsumsi swasta dan terlihat dari menurunnya pertumbuhan profitabilitas usaha (ROA dan ROE) perusahaan-perusahaan tersebut pada triwulan III 2008 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara dari sisi pembiayaan, sektor korporasi terlihat mulai mengalami keterbatasan modal. Untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya, perusahaan mulai banyak mengandalkan dana dari pihak ketiga, baik

12

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

perbankan maupun melalui penerbitan obligasi dan surat berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari meningkatnya

Grafik 1.11 Probability of Default (PD) Perusahaan Non Financial Go PublicJumlah 250 215 200

debt to equity ratio (DER) dan rasio total liabilities terhadap total assets (TL/TA) pada triwulan III 2008 dibandingkandengan triwulan III 2007.

150

Grafik 1.9 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non Financial Go Public700 600 500 400 300 200 100 0 -100 -200Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 ROA (kiri) ROE (kanan)

100 50 5 350 300 250 200 150 100 50 0 -50 -100 -150 00,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10

4

3

2

0

1

1

0

19

Probability of Default - September 2008

Jumlah 180 160 140 120 100 80 60 40 20 00,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10 21 14 6 9 0 4 1 1 23 171

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Sumber: Bursa Efek Indonesia

Grafik 1.10 Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non Financial Go Public1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3

Probability of Default - September 2009

Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit, perusahaan-perusahaan di sektor riil khususnyaDER Debt/TA

konglomerasi besar Indonesia juga berpotensi mendapat tekanan risiko nilai tukar. Berdasarkan data per September 2008, konglomerasi besar Indonesia tampaknya perlu memperhatikan potensi risiko karena fluktuasi nilai tukar. Namun demikian, hasil stress test terhadap 46 konglomerasi besar yang rutin dipantau menunjukkan bahwa secara umum permodalan masih dapat dipertahankan dan baru akan tertekan sampai 100%

2003Sumber: Bursa Efek Indonesia

2004

2005

2006

2007

2008

Sejalan dengan menurunnya kinerja perusahaan

apabila nilai tukar rupiah melebihi Rp16.100 per USD. Penurunan profitabilitas akibat penurunan daya beli yang diiringi dengan penurunan harga, mendorong pelaku usaha khususnya di sektor yang berorientasi ekspor untuk melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan pembatasan kegiatan ekspansi. Hal ini berpotensi menambah jumlah pengangguran nasional. Berdasarkan data terakhir pada tahun 2008, meskipun cenderung

non financial go public tersebut, hasil estimasi probability of default (PD) juga menunjukkan adanya kenaikan. Jumlahperusahaan dengan PD lebih besar dari 0,5 meningkat dari 21 perusahaan pada September 2008 menjadi 29 perusahaan pada September 2009. Bagi perbankan, hal ini merupakan salah satu indikasi dini tentang peningkatan risiko kredit ke depan.

13

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

bergerak turun tetapi tingkat pengangguran Indonesia sebesar 8,4% masih menjadi yang tertinggi di bandingkan beberapa negara ASEAN lainnya.Grafik 1.12 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN%2006 2007 2008*)

tangga. Apabila kondisi ini terus berlanjut, dapat menurunkan kemampuan membayar (repayment capacity) rumah tangga. Sementara itu, dilihat dari komposisi asetnya, rumah tangga Indonesia tampaknya masih memiliki eksposur yang kecil terhadap aset keuangan. Aset rumah tangga Indonesia didominasi oleh non financial asset berupa rumah, bangunan dan tanah dengan porsi 76,81% dari total aset. Seiring kecilnya eksposur aset rumah tangga pada sistem keuangan, diperkirakan dampak langsung volatilitas pasar keuangan terhadap kondisi aset rumah tangga relatif kecil. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian

10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 Indonesia Thailand Malaysia SingapuraSumber: CEIC Keterangan: *) : Data untuk Indonesia (Agustus 2008), Thailand (November 2008), Malaysia dan Singapura (September 2008).

mengingat kenaikan nilai aset tersebut diperkirakan lebih dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga properti yang terjadi secara persisten sejak tahun 2004. Dalam kondisi

Hasil survey Neraca Rumah Tangga (Household) menunjukkan bahwa pada tahun 2008 secara keseluruhan rumah tangga Indonesia masih mempunyai kemampuan membayar hutang yang cukup baik. Hal ini tergambar dari masih kecilnya rasio hutang terhadap total pendapatan maupun terhadap disposable income, yaitu hanya berada pada kisaran 6,31% s.d. 28,62%. Namun, mengingat 56% dari total pendapatan rumah tangga bersumber dari gaji dan tunjangan, maka pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan berpotensi menurunkan pendapatan rumahGrafik 1.13 Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga

ekonomi yang melambat seperti sekarang ini, besar kemungkinan permintaan terhadap properti akan menurun sehingga harga properti juga berpotensi turun. Jika harga properti turun tentunya nilai aset rumah tangga juga akan turun. Penurunan nilai aset dan penurunan pendapatan rumah tangga akan semakin menekan kemampuan membayar rumah tangga. Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan masih akan tetap tinggi sejalan dengan masih terbatasnya pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Perekonomian diperkirakan juga akan masih dipengaruhi imbas krisis keuangan global. Sebagai antisipasi terhadap tekanan ekspor yang cukup besar, diperlukan langkahlangkah untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektorPenerimaan Pensiun 3% Lainnya 10% Gaji dan Tunjangan 56%

usaha yang non tradable. Dalam jangka pendek, beberapa stimulus yang telah dikeluarkan baik dari sisi moneter maupun fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi dan ketahanan sektor riil. Jika berhasil diwujudkan maka stabilitas sistem keuangan ke depan diperkirakan akan tetap terpelihara dengan baik.

Pendapatan usaha netto 31%

Sumber: Survey Neraca Rumah Tangga 2008

14

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Boks 1.1 Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008

Neraca rumah tangga (household) merupakan indikator penting untuk menganalisis potensi risiko kredit dari sektor rumah tangga. Pada bulan Juni 2008, Bank Indonesia bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) melakukan survei guna menyusun neraca rumah tangga Indonesia. Survei dilakukan pada 10 propinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo) dengan total responden 3.553 rumah tangga.

(0,39%). Relatif tingginya networth rumah tangga didukung kemampuan menabung. Hal itu tercermin pada rasio total pengeluaran terhadap total pendapatan rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi terhadap disposable income yang di bawah 100%, yaitu masing-masing sebesar 91,29% dan 90,59%. Namun demikian, kemampuan menabung rumah tangga yang tidak memiliki hutang cenderung lebih besar, terlihat pada rasio total pengeluaran terhadap total pendapatan rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi terhadap disposable income yang lebih rendah, yaitu masing-masing sebesar 83,64% dan 83,39%. Sementara itu, kemampuan menabung kelompok rumah tangga yang berhutang cenderung kurang memadai sehingga berhutang untuk membiayai kebutuhan dan pembelian asetnya. Hal ini tercermin dari rasio total pengeluaran terhadap total pendapatannya dan rasio pengeluaran konsumsi terhadap disposable income yang di atas 100%, yaitu masing-masing sebesar 102,61%, dan 103,12%.

Gambaran Umum Neraca Rumah Tangga Indonesia

Aset Rumah TanggaSeperti lazimnya di negara sedang berkembang, aset rumah tangga Indonesia didominasi aset non keuangan (non financial asset) berupa properti seperti rumah, bangunan dan tanah dengan pangsa sebesar 76,81% dari total aset, diikuti oleh aset non keuangan lainnya (15,57%), dan asset keuangan (7,62%). Dibandingkan hasil survei 2007, komposisi aset non keuangan lainnya (emas, ternak dan lainnya) sedikit meningkat. Hal ini dipicu kenaikan harga emas pada pertengahan 2008 yang mendorong rumah tangga mengalihkan sebagian aset keuangannya ke dalam bentuk emas. Sementara itu, aset keuangan rumah tangga didominasi oleh penanaman pada bank (73%), diikuti oleh penanaman pada lembaga keuangan non bank (13%).

Hutang Rumah TanggaSebagian besar (sekitar 65%) responden menyatakan bahwa mereka memiliki uang tunai yang disisihkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak terduga. Namun, apabila kebutuhan tak terduga tersebut sudah melebihi dana cadangan maka rumah tangga mengatasinya dengan berhutang. Berdasarkan nominalnya, hutang rumah tangga Indonesia didominasi oleh hutang bank (78%), diikuti oleh hutang kepada lembaga keuangan non bank (12%) dan sumber lain diluar lembaga keuangan (10%). Tujuan pinjaman atau berhutang adalah 24% untuk modal usaha, 16% untuk membeli alat transportasi, 14% untuk membangun atau renovasi rumah, dan 13% untuk konsumsi makanan. Sementara rata-rata jangka waktu pengembalian hutang adalah sekitar 20 bulan.

Sumber Dana Rumah TanggaSumber dana utama rumah tangga adalah dari penghasilan sendiri (networth), mencapai 96,13% dari total aset. Pembiayaan dari hutang bank hanya 3,01% dari total aset, diikuti oleh pembiayaan dari lembaga keuangan non bank (0,47%) dan sumber dana lainnya

15

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Grafik Boks 1.1.1 Komposisi Hutang Rumah Tangga (dalam % terhadap Total Hutang)

hutang rumah tangga terhadap total pendapatan maupun disposable income kurang dari 100%, yaitu sebesar 10,38% dan 11,22%. Debt servicing ratio (cicilan pokok pinjaman dan biaya bunga terhadap

Hutang LKBB 12%

Hutang Lainnya 10%

disposable income) rumah tangga juga kurang dari100% yaitu hanya sebesar 6,31%. Kecil angka rasiorasio ini mengindikasikan bahwa rumah tangga mampuHutang bank 78%

mengelola pengeluarannya sedemikian rupa sehingga pendapatan yang dihasilkan dapat digunakan untuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo. Selanjutnya, meskipun rasio hutang terhadap

disposable income maupun debt servicing ratio darikelompok rumah tangga yang berhutang kepada bankGrafik Boks 1.1.2 Tujuan Pinjaman Rumah Tangga

dan LKBB adalah yang tertinggi (72,11% dan 33,08%), namun kedua rasio tersebut juga masih di bawah 100%. Dengan demikian, kelompok rumah tangga tersebut diperkirakan masih memiliki kemampuan membayar yang baik apabila terdapat kewajiban yang jatuh tempo.Konsumsi makanan 13%

Elektronik 2% Membeli Alat transportasi 16% Membeli Tanah/Rumah tidak ditempati 2% Membeli Rumah ditempati sendiri 2%

Lainnya 16%

Modal usaha 24%

Solvency RatioRasio ini menggambarkan kemampuan aset rumah tangga untuk meng-cover hutangnya apabila terjadi default . Hasil survei menunjukkan bahwa kemampuan aset rumah tangga Indonesia cukup baik tercermin dari household gearing ratio (rasio total hutang terhadap total aset) maupun rasio total hutang terhadap networth yang sangat rendah, yaitu masingmasing hanya 3,87% dan 4,03%. Nilai household

Membangun/Reno vasi Rumah 14%

Kesehatan 3%

Pendidikan 8%

Potensi RisikoPotensi risiko terhadap sistem keuangan terutama ditransmisikan melalui volatilitas harga properti mengingat mayoritas aset rumah tangga berupa

gearing ratio yang kecil ini juga merupakan salah satuindikasi bahwa rumah tangga masih mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mendapatkan tambahan pembiayaan dari bank. Dari pengelompokkan rumah tangga berdasarkan sumber hutangnya, diketahui bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank dan LKBB mempunyai household gearing ratio tertinggi dibandingkan lainnya. Namun, nilai rasio tersebut juga masih di bawah 100%. Hal tersebut mencerminkan bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang cenderung juga masih mempunyai kemampuan membayar yang baik.

housing asset (aset properti seperti rumah, bangunan,dan tanah). Sementara itu, risiko rumah tangga yang berhutang terhadap sektor keuangan relatif rendah mengingat kemampuan membayar kewajibannya yang jatuh tempo cukup baik. Berikut dikemukakan hasil analisis menggunakan beberapa rasio keuangan:

Liquidity Mismatch RatioRasio ini menggambarkan kemampuan pendapatan rumah tangga untuk membayar kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa rasio

16

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Boks 1.2 Risiko Kredit Sektor Korporasi: Credit Default Swaps (CDS)Sektor riil mencakup 2 komponen yaitu rumah tangga (household) dan korporasi. Perkembangan terakhir sektor rumah tangga telah diungkapkan pada Boks 1.1. Pada Boks 1.2 ini dikemukakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan risiko kredit sektor korporasi, yaitu dengan menganalisis perkembangan Credit Default Persepsi tersebut cenderung kurang

menggambarkan kondisi yang sebenarnya mengingat harga dan spread CDS yang tinggi tersebut juga dipicu oleh tipisnya pasar. Namun demikian, untuk tujuan surveillance ketahanan sistem keuangan, data tentang harga dan spread CDS ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat deteksi dini (early warning).Grafik Boks 1.2.1 Perkembangan Harga CDS Indonesia1200 1000 800 600 400 200 03 Jul 2 Ags 1 Sep 1 Okt 31 Okt 30 Nov 30 Des 29 Jan

Swaps (CDS).CDS dikenal luas sebagai salah satu instrument

credit derivative . Secara konseptual, CDS dapatdipandang sebagai asuransi atau perlindungan atas default-nya kredit atau bonds (Duffie dan Singleton, 2003; Lando, 2004). Secara teknis, risiko kredit tercermin pada spread CDS. Namun demikian, harga (price) CDS juga tetap perlu diperhatikan karena juga dapat menggambarkan perkembangan tekanan pasar. Akhir-akhir ini, sejalan dengan semakin memburuknya pasar keuangan global, perkembangan harga dan spread CDS semakin menjadi pusat perhatian. Bahkan, CDS tidak saja sebagai cerminan risiko kredit korporasi, namun telah berkembang menjadi salah satu indikator sovereign risk. Gejolak pasar keuangan yang sempat terjadi pada semester II 2008 telah menyebabkan harga dan spread CDS Indonesia menjadi melonjak tinggi. Puncaknya adalah sekitar tanggal 28 Oktober 2008 pada saat Bursa Efek Indonesia terpaksa ditutup sementara karena IHSG merosot tajam, mencapai 1111,4 yaitu terendah sejak Desember 2005. Namun, setelah Pemerintah dan Bank Indonesia mengambil sejumlah kebijakan penting, harga dan spread CDS sudah mulai menurun, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum Oktober 2008. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, harga dan spread CDS Indonesia juga masih menjadi yang tertinggi. Hal ini mengindikasikan kentalnya persepsi pasar bahwa risiko kredit korporasi Indonesia masih tergolong tinggi.370 320 270 220 170 120 70 20 -30 -803 Jul

Indonesia Philipin

Korea Thailand

2008Sumber : Bloomberg

2009

Grafik Boks 1.2.2 Perkembangan Spread CDS IndonesiaIndonesia Philipin Korea Thailand

2 Ags

1 Sep

1 Okt

31 Okt

30 Nov

30 Des

29 Jan

2008Sumber : Bloomberg

2009

Daftar Pustaka: Lando, D. (2004), Credit Risk Modeling, Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Duffie, D. dan Singleton, K.J. (2003), Credit Risk:

Pricing, Measurement, and Management, PrincetonUniversity Press, Princeton, New Jersey.

17

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Boks 1.3

Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasi pada 3 Sektorprobabilitas migrasi ke rating yang memiliki jarak cukup jauh (rating default). Melanjutkan penelitian Hadad et al. (2007), dilakukan penelitian baru untuk mempelajari migrasi kolektibilitas kredit pada 3 sektor (properti, transportasi dan tekstil) selama tahun 2008 dengan menggunakan data triwulanan SID yang mencakup 448.183 debitur. Adapun pendekatan yang digunakan adalah metode

Transition matrices (matriks transisi) merupakansalah satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi risiko kredit pada korporasi, yaitu dengan menghitung probabilitas terjadinya migrasi rating atau perubahan kualitas kredit terakhir suatu perusahaan. Matriks transisi merupakan salah satu input penting dalam berbagai aplikasi manajemen risiko. Bahkan, perhitungan kecukupan modal ( capital

requirements) sesuai rekomendasi New Basel Accord(BIS, 2001) antara lain harus memperhatikan migrasi rating. Penelitian sebelumnya (Credit Risk Modelling:

Continuous Time dengan pertimbangan lebih ungguldibandingkan metode Cohort. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari ketiga sektor tersebut, debitur-debitur pada sektor properti cenderung lebih baik dibandingkan 2 sektor lainnya. Hal ini tercermin pada: Peluang migrasi debitur dengan kolektibilitas 1 dan 2 (Performing Loans atau PL) ke kolektibilitas 3, 4 dan 5 (Non Performing Loans atau NPL) pada sektor properti lebih kecil dibandingkan 2 sektor lainnya. Peluang migrasi debitur NPL ke PL pada sektor properti lebih besar dibandingkan 2 sektor lainnya. Peluang migrasi debitur kolektibilitas 3 ke kolektibilitas 5 pada sektor properti lebih kecil dibandingkan 2 sektor lainnya.

Rating Transition Matrices oleh Hadad et al., 2007dalam KSK No.9 September 2007) menggunakan rating yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) sejak Februari 2001 s.d. Juni 2006. Penelitian tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu metode

Continuous Time dan metode Cohort , sertamengasumsikan bahwa proses rating kredit mengikuti

Markov chain . Kesimpulannya adalah metode Continuous Time memberikan hasil yang lebih efisiendibandingkan metode Cohort. Selain itu, metode

Continuous Time juga memungkinkan adanya

Tabel Boks 1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 SektorProperti Kolek1 2 3 4 5

189,7% 64,4% 37,7% 23,4% 0,0%

29,3% 28,0% 19,6% 10,8% 0,0%

30,3% 1,7% 5,8% 1,5% 0,0%

40,3% 1,5% 3,8% 4,7% 0,0%

50,4% 4,4% 33,1% 59,5% 100,0%

Transportasi Kolek1 2 3 4 5

189,5% 53,5% 7,5% 2,9% 0,0%

28,0% 28,7% 3,5% 1,1% 0,0%

30,5% 1,7% 3,3% 0,3% 0,0%

40,4% 2,0% 1,7% 3,0% 0,0%

51,7% 14,0% 84,1% 92,6% 100,0%

Tekstil Kolek1 2 3 4 5

194,0% 77,9% 27,0% 0,0% 0,0%

23,8% 4,6% 2,3% 0,0% 0,0%

30,6% 1,0% 0,7% 0,0% 0,0%

40,3% 1,1% 1,5% 0,6% 0,0%

51,4% 15,3% 68,6% 99,4% 100,0%

18

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2 Sektor Keuangan

19

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

20

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2

Sektor Keuangan

Selama semester II 2008, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh ditengah semakin beratnya tekanan yang berasal dari krisis keuangan global. Secara umum, ketahanan sistem keuangan dapat tetap terjaga. Perbankan sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan masih tetap menunjukkan kinerja yang positif. Namun, krisis global telah sempat menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Utang Negara (SUN).

2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIADibandingkan dengan kondisi pada semester sebelumnya, pada semester II 2008 struktur sistem keuangan Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan pangsa sekitar 74% dari total asset sektor keuangan. Sementara itu, pangsa industri keuangan lainnya, yaitu asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian relatif masih tetap rendah. Pada industri perbankan, 15 bank besar menguasai sebagian besar (70%) total aset industri. Selama semester II 2008, total asset bank umum bertumbuh Rp269,7 triliun (13,2%) menjadi Rp2.310,6 triliun. Pertumbuhan ini merupakan salah satu pertanda bahwa krisis global yang

1.355,41 (Desember 2008) atau turun 42,3%. Sementara, harga SUN juga sempat turun yaitu sekitar 2,3% selama periode 30 Juni s.d. 25 September 2008, meskipun kembali rebound sebesar 8,6% selama periode 25 September 2008 s.d. 31 Desember 2008. Akan tetapi, sejak akhir Desember 2008 s.d. pertengahan Maret 2009, harga SUN kembali mengalami tekanan dan turun sekitar 5,62%.

Grafik 2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan

3,2% 8,0% 1,1%

0,3% 5,8% 2,7%

Bank Umum BPR Perusahaan Asuransi Dana Pensiun

79,0%

Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Sekuritas Pegadaian

tengah terjadi tidak berdampak signifikan terhadap industri perbankan. Namun, krisis global telah memicu merosotnya IHSG dari 2.349,11 (Juni 2008) menjadi

21

Bab 2 Sektor Keuangan

2.2. INDEKS STABILITAS KEUANGANPerkembangan stabilitas keuangan dari waktu ke waktu tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan atau

Grafik 2.2 Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 2003Proyeksi FSI FSI 2,10 2,13 1,95 1,77

Financial Stability Index (FSI).1 Terpengaruh oleh krisiskeuangan global, sektor keuangan dalam negeri bergejolak sehingga stabilitas keuangan selama semester II 2008 mengalami tekanan (lihat Boks 2.1). Akibatnya, FSI meningkat tajam dari 1,60 pada akhir Juni 2008 menjadi 2,10 pada akhir Desember 2008, dengan posisi tertinggi pada bulan November 2008 sebesar 2,43. Bersamaan dengan itu, sejak Oktober 2008, nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan. Dengan demikian, angka FSI dalam dua bulan terakhir 2008 telah melampaui batas indikatif maksimum 2. Tingginya angka FSI tersebut lebih banyak karena merosotnya IHSG dan harga SUN sebagai imbas krisis global. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa tekanan krisis keuangan global mulai sedikit menurun yang ditandai dengan mulai membaiknya IHSG dan harga SUN. Respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia juga berhasil meredam gejolak keuangan yang sempat terjadi. Sejalan dengan itu, FSI semakin menurun, mencapai 2,06 per Januari 2009. Penurunan FSI tersebut mencerminkan bahwa stabilitas keuangan secara umum masih relatif terjaga. Bahkan, ke depan pada akhir Juni 2009, FSI diperkirakan akan mencapai sekitar 1,77 2,13, dengan skenario moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah dibandingkan posisi akhir Desember 2008. Oleh karena itu, prospek stabilitas keuangan diperkirakan masih tetap positif dan stabilitas sistem keuangan ke depan akan relatif tetap terpelihara.

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2.3. PERBANKAN 2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas

Perkembangan Dana Pihak KetigaDana Pihak Ketiga (DPK), sebagai sumber dana utama perbankan, pada awal semester II 2008 tumbuh negatif, dan baru tumbuh positif sejak pertengahan semester. Kenaikan signifikan DPK sejak bulan September 2008 menyebabkan selama periode laporan, DPK tumbuh positif sekitar 12,87% mencapai Rp1.753,3 triliun. Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen, baik giro, tabungan, maupun deposito. Peningkatan DPK sejak pertengahan semester II 2008 tampaknya terkait dengan tingginya suku bunga pada waktu itu sebelum akhirnya diturunkan di penghujung tahun 2008. Tingginya suku bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi naiknya minat masyarakat untuk kembali menanamkan dananya di perbankan. Terlebih di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya stabil, investasi pada lembaga non perbankan dinilai oleh sebagian pemilik dana sebagai berisiko tinggi dan imbal hasil yang diperoleh cenderung tidak pasti dibandingkan dengan menyimpan dana di perbankan. Faktor penting lain yang turut mendorong kenaikan DPK adalah kebijakan Pemerintah melalui PERPPU pada

1 Uraian detail tentang metodologi dan pendekatan yang digunakan untuk menghitung Indeks Stabilitas Keuangan dapat dilihat pada KSK No.8 Maret 2007 dan No.9 September 2007.

pertengahan Oktober 2008 untuk meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar

22

Bab 2 Sektor Keuangan

Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per nasabah per bank. Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk

Grafik 2.5 Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar RupiahUSD miliar Rupiah 12.500 11.700 dalam USD (skala kiri)

mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan dana masyarakat di perbankan.

30

27

Grafik 2.3 Perkembangan DPKRp triliun 550Deposito (ka)

10.900 10.100

24 nilai tukar rupiah thd USD (skala kanan)

900 750 600Tabungan (ki)

21

9.300 8.500

500

18Des Apr Ags Des Apr Ags Des

2006

2007

2008

450Giro (ki)

450 300

Kecukupan LikuiditasLambatnya pertumbuhan DPK pada awal semester

400 150

II 2008 yang terjadi bersamaan dengan keringnya350 Des 2007 0 Feb Aprl Jun 2008 Ags Okt Des

likuiditas global menyebabkan kondisi likuiditas perbankan domestik ikut tertekan. Selain itu,

Berdasarkan jenis valuta, pertumbuhan DPK dalam valuta asing tercatat sebesar 18,94% atau sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK rupiah sebesar 18,85%. Namun, karena faktor depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD yang cukup besar selama periode laporan, maka apabila dihitung dalam denominasi valas, pertumbuhan DPK valas selama periode laporan justru turun sebesar USD1,36 miliar, terutama pada komponen deposito dan giro yang masing-masing turun sebesar USD0,98 miliar dan USD0,58 miliar.Grafik 2.4 Perkembangan DPK ValasUSD miliar 30 DPK va dlm USD (skala kiri) Rp triliun 320

pertumbuhan kredit yang cukup tinggi s.d. bulan Oktober 2008, ternyata sebagian besar dibiayai dengan pencairan

secondary reserves sehingga menekan likuiditasperbankan. Akibatnya, kecukupan likuiditas semakin berkurang dengan puncaknya pada bulan Agustus 2008, pada saat ekses likuiditas mencapai titik terendah. 2 Sampai dengan bulan tersebut, ekses likuiditas turun sekitar 30,18% (ytd) dengan penurunan terbesar pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI).Grafik 2.6 Ekses Likuiditas Bank250 200 290

285 SBI (ki) SUN (kn) 280

150290

27

10024 DPK va dlm Rp (skala kanan) 21 230 260

50 0 Des 2007

Fasbi/FTK (ki)

275

270 Feb Apr Jun 2008 Ags Okt Des

18 Des 2007 Feb Apr Jun 2008 Ags Okt Des

200

2 Ekses likuiditas terdiri dari SBI, penempatan lainnya pada Bank Indonesia selain Giro pada BI (Fasbi/FTK), dan Surat-surat Berharga.

23

Bab 2 Sektor Keuangan

Selain tercermin pada penurunan jumlah ekses likuiditas, berkurangnya kecukupan likuiditas bank juga ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap Non Core Deposits (NCD)3 yang terus menurun dan mencapai angka terendah pada bulan Agustus 2008, yaitu 84,9%. Rasio ini menunjukkan kemampuan bank untuk dapat memenuhi penarikan DPK sewaktu-waktu. Dengan angka rasio yang kurang dari 100%, maka ketahanan likuiditas perbankan pada waktu itu cenderung kurang memadai. Namun, seiring dengan kenaikan signifikan DPK sejak awal September 2008, tekanan likuiditas mulai berkurang. Kenaikan DPK tersebut, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, antara lain karena kebijakan Pemerintah meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan oleh LPS. Disamping itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi tekanan likuiditas, termasuk pelonggaran kewajiban GWM rupiah dan valas. Akibatnya, kondisi likuiditas industri perbankan semakin membaik sehingga mendorong meningkatnya ketahanan likuiditas. Perkembangan positif tersebut juga tercermin dari angka rasio alat likuid terhadap NCD yang terus membaik, sehingga pada akhir Desember 2008 berhasil mencapai 109,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas perbankan sudah semakin terkendali.

cenderung menurun, baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas).Grafik 2.7 Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari)Rp triliun 14 12 400 10 8 6 4 100 2 PUAB Rupiah 0Jan Mar Mei Jul

USD juta 500

300

200

PUAB valasSep Nov

0

2008

Untuk meminimalkan dampak segmentasi di PUAB, Bank Indonesia telah melakukan enhancement Operasi Pasar Terbuka (OPT) sejak Februari 2008. Setelah mengaktifkan fasilitas Fine Tune Operation (FTO), baik yang bersifat ekspansi (FTE) untuk memberi kelonggaran bagi bank yang kesulitan likuiditas, maupun yang bersifat kontraksi (FTK) sebagai fasilitas penempatan dana bagi bank dengan kelebihan likuiditas, Bank Indonesia kemudian melakukan penyempurnaan pada fitur FTO. Hal ini dilakukan dengan memperpanjang tenor FTE dari maksimum 14 hari menjadi maksimum 3 bulan agar bank dapat memperoleh akses lebih besar terhadap likuiditas dari bank sentral. Sementara itu, Bank Indonesia juga mengadakan transaksi repo dengan tenor lebih panjang

Pasar Uang Antar BankSejalan dengan meningkatnya tekanan likuiditas global, terdapat kecenderungan bank-bank domestik untuk menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi antar bank sehingga menimbulkan segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Bersamaan dengan itu, rata-rata per hari volume transaksi bank pada PUAB Dalam Negeri (DN)3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI, dan penempatan lainnya). Sedangkan NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% deposito jangka waktu s.d 3 bulan.

(2-14 hari) untuk membantu bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Langkah-langkah ini terbukti cukup berhasil mengatasi tekanan likuiditas pada industri perbankan. Selanjutnya, dalam rangka mengetahui ketahanan likuiditas perbankan, khususnya terhadap kemungkinan penarikan DPK secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar telah dilakukan suatu simulasi dengan mengasumsikan bahwa penurunan/penarikan DPK akan dibiayai dari ekses

24

Bab 2 Sektor Keuangan

likuiditas bank. Hasil simulasi berdasarkan data akhir Desember 2008 menunjukkan bahwa ekses likuiditas yang dimiliki bank masih mencukupi untuk mengcover penurunan DPK hingga 29,27%. Selain itu, juga telah dilakukan stress test risiko likuiditas untuk mengetahui ketahanan permodalan dalam menyerap biaya mendapatkan likuiditas dari PUAB apabila bank menghadapi kesulitan pendanaan. Hasil stress test menunjukkan bahwa secara umum permodalan bank masih cukup kuat menghadapi tekanan risiko likuiditas dimaksud.

dari krisis global. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi tampaknya juga bagian dari strategi bank untuk mempertahankan tingkat laba karena spread antara biaya bunga DPK dengan pendapatan bunga dari penanaman pada PUAB dan SBI cenderung semakin menipis. Pertumbuhan kredit yang tinggi tersebut dapat pula dipandang sebagai hasil dari berbagai kebijakan Bank Indonesia pada waktu-waktu sebelumnya dalam rangka mendorong fungsi intermediasi perbankan.Grafik 2.8 Pertumbuhan Kredit (yoy)% 50Kredit Valas dlm USD Total Kredit Total Kredit (NT Tetap) Kredit Rupiah Kredit Valas dlm Rp

2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit

45 40 35 30 25

Perkembangan KreditPertumbuhan kredit yang tinggi menjadi hal yang menonjol pada tahun 2008. Gejala pertumbuhan kredit yang pesat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2007. Waktu itu pertumbuhan kredit mencapai 25% atau lebih tinggi dari target sebesar 22%. Pada tahun 2008, sesuai Rencana Bisnis, perbankan menargetkan pertumbuhan kredit sekitar 24%. Namun, sebelum tahun 2008 berakhir, target kredit tersebut sudah terlampaui hingga mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008 dengan pertumbuhan 37% yoy. Sejalan dengan meningkatnya tekanan karena memburuknya perekonomian, sejak bulan November 2008 pertumbuhan kredit mulai melambat sehingga mencapai 29,5% pada akhir tahun. Mengingat selama periode laporan telah terjadi depresiasi nilai tukar rupiah yang signifikan, maka dengan menghilangkan faktor nilai tukar, pertumbuhan kredit tahun 2008 sebenarnya lebih rendah, yaitu sebesar 25,7%. Tingginya pertumbuhan kredit antara lain didorong oleh tingginya permintaan pengusaha domestik untuk modal kerja dan investasi sejalan dengan semakin sulitnya mendapat pendanaan dari luar negeri sebagai dampak

20 15 10 5 0 Des 2007 Feb Apr Jun 2008 Ags Okt Des

Data Des'08 menggunakan data LHBU

Grafik 2.9 Perkembangan Kredit 2007-20082008 2007

Kredit Valas (USD T)

Kredit Valas (Rp T)

Kredit Rupiah (Rp T)

Total Kredit (Rp T) (15) 0 25 65 105 145 185 225 265

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama periode laporan dana pihak ketiga (DPK) bertumbuh sekitar 12,87%. Pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit mendorong peningkatan loan to deposit ratio (LDR) dari 76,6% pada Juni 2008 menjadi 77,2% pada Desember 2008. Bahkan

25

Bab 2 Sektor Keuangan

angka LDR sempat mencapai titik tertinggi setelah krisis 1997/1998 yaitu sebesar 81,6% pada Agustus 2008. Dari segi kelompok bank, penyaluran kredit oleh bank Persero dan bank Swasta masih mendominasi. Selama periode laporan, kredit kelompok bank Persero meningkat signifikan, terutama untuk sektor Industri Pengolahan, Lain-Lain (Konsumsi) serta Perdagangan. Sementara itu, walaupun masih tumbuh tinggi, peningkatan kredit bank Swasta cenderung lebih rendah dibandingkan semester sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan kredit pada kelompok bank Swasta terutama untuk sektor Perdagangan dan Lain-Lain (Konsumsi), sedangkan sektor Industri Pengolahan masih naik cukup besar.

Komunikasi; sektor Konstruksi; sektor Jasa Dunia Usaha; dan sektor Industri Pengolahan.Grafik 2.11 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd)2008 2007

Konsumsi

29%

37%

Investasi

Modal Kerja

32%

0

10

20

30

40 %

Grafik 2.12 Pertumbuhan Kredit Sektor EkonomiListrik Pertambangan25,9% 11,1% 39,6% 19,1% 42,8% 70,2% 37,9% 29,1% 20,7% 2008 2007 133,8%

Grafik 2.10 Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd)32% 46%

Jasa Sosial Jasa Dunia Usaha Pertanian Konstruksi Pengangkutan Industri Pengolahan Lain-lain50%

Industri Asing Campuran BPD Swasta BUMN 0 10 20 3027%

Perdagangan 0 20

36%

40

60

80

100

120

140 %

32%

2008 2007

Meskipun tidak sebesar pertumbuhan kredit lainnya,50 %

40

Kredit Konsumsi tetap meningkat sebesar Rp39 triliun selama semester II 2008. Kenaikan kredit konsumsi terutama berasal dari peningkatan kredit Lainnya (mencakup kredit kendaraan bermotor, kredit tanpa agunan, dan lain-lain) sebesar Rp25,6 triliun dan diikuti kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp10,1 triliun. Dengan demikian, selama tahun 2008, pertumbuhan kredit Lainnya dan KPR menjadi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Kartu Kredit. Sementara itu, dari 3 jenis kredit yang termasuk dalam kelompok Kredit Properti (KPR, Kredit Real Estate dan Kredit Konstruksi), KPR menyumbang 54,6% dari total kenaikan kredit Properti selama semester laporan yang mencapai Rp18,5 triliun. Dengan total kredit mencapai Rp198,9 triliun, pangsa

Suatu hal yang menggembirakan dari penyaluran kredit selama semester II 2008 adalah cukup tingginya penyaluran kredit untuk sektor produktif. Hal ini tercermin pada Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang mendominasi penyaluran kredit dengan menyumbang masing-masing sebesar 49% dan 27% dari total kenaikan kredit. Dengan demikian, secara keseluruhan pertumbuhan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi selama tahun 2008 bertumbuh cukup tinggi masingmasing 32% dan 37%. Sementara itu, secara sektoral, pertumbuhan kredit yang cukup tinggi terdapat pada sektor Listrik, Air dan Gas; sektor Pengangkutan dan

26

Bab 2 Sektor Keuangan

kredit Properti mengalami sedikit penurunan dari 15,7% pada akhir Juni 2008 menjadi 15,2% pada akhir Desember 2008.Grafik 2.13 Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya60 40

Grafik 2.15 Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal% Rp 14.000

12.000 20 (20) 10.000

Lainnya

29% 2008 2007 26%

8.000 (40)yoy Rp (%) yoy Va USD (%) kurs

Kartu Kredit

(60) 2000

6.000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Konsumsi lebih merata, tercermin pada pangsa untuk29%

KPR

pulau Jawa berkisar antara 50%-60%. Sementara itu,0 5 10 15 20 25 30 %

kredit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi lebih kepada kredit investasi.

Grafik 2.14 Perkembangan Kredit Properti Grafik 2.16 Pangsa Kredit PenggunaanKPR Maluku + PapuaPertumbuhan 2007 (%) Pertumbuhan 2008 (% ytd) Delta Kredit 2008 (Rp M)

Bali + NusTra Sulawesi Kalimantan Sumatra

Real Estate

Delta Kredit 2007 (Rp M)

KK KI KMK

Konstruksi

Jawa Timur JaTeng + DIY 0 9 18 27 36 45 DKI Jakarta JaBar + Banten

Kredit rupiah masih mendominasi penyaluran kredit perbankan pada semester laporan, dengan pangsa mencapai 80% dari total kenaikan kredit. Sementara itu, kenaikan kredit valas sebesar Rp32,4 triliun lebih dipengaruhi oleh faktor depresiasi nilai tukar rupiah. Dengan menggunakan denominasi USD, kredit valas sebenarnya turun sebesar USD0,8 miliar menjadi USD23,1 miliar. Penurunan kredit valas terjadi sejalan dengan meningkatnya risiko akibat berfluktuasinya nilai tukar dan kondisi perekonomian dunia yang masih belum menggembirakan. Dari sisi lokasi proyek, penyaluran kredit masih terpusat di pulau Jawa, terutama untuk kredit modal kerja (pangsa 72,9%). Perkembangan Kredit investasi dan Kredit

0

5

10

15

20

25

30

35 %

Pada semester II 2008, kredit MKM (Mikro, Kecil dan Menengah) mengalami peningkatan sebesar Rp58,6 triliun atau tumbuh 26,1% yoy, atau di bawah angka pertumbuhan total kredit perbankan. Akibatnya, pangsanya terhadap total kredit mengalami sedikit penurunan dari 50,1% pada akhir Juni 2008 menjadi 48,5% pada akhir Desember 2008. Secara umum, kredit MKM masih didominasi oleh Kredit Konsumsi dengan peningkatan mencapai 61,5% dari total peningkatan kredit MKM. Kredit produktif pada kredit MKM lebih cenderung dalam bentuk Kredit Modal Kerja untuk kebutuhan operasional sehari-hari yang peningkatannya

27

Bab 2 Sektor Keuangan

selama selama semester laporan mencapai Rp19 triliun (32,4% dari total peningkatan kredit). Sementara itu, sumbangan kredit Investasi relatif kecil yaitu sekitar 6,1% dari total kenaikan kredit MKM. Secara sektoral, sektor yang mengalami kenaikan kredit terbesar adalah sektor Lain-Lain dan Perdagangan.

yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal NPL mengindikasikan bahwa perbankan sudah mulai mengantisipasi kemungkinan kenaikan risiko kredit ke depan.Grafik 2.18 Non Performing Loans(%) (Triliun) NPL Gross (kr) 75 70 65 60 NPL Nominal (kn) 55 50 45 NPL Net (kr) 40 35 30 Jun 2007 Jun 2008 Jun Des 10 9

Grafik 2.17 Perkembangan Kredit MKM% 1400 1200 1000 800 48 600 400 200 2006 2007 2008 Des 46Total Kredit Rp T (kiri) MKM Rp T (kiri) % MKM/Kredit

8

54

7 6

52

5 4 3 2 1 2006

50

44

Grafik 2.19 Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun)75 1600 Nominal NPL (kiri) 1400 Kredit (kanan) 1200 1000 800 600 400 200 2007 2008 Des

Risiko KreditSelama semester II 2008, kenaikan nominal NPL cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan perlambatan perekonomian. Meskipun selama periode laporan nominal NPL hanya naik Rp2,3 triliun menjadi Rp50,9 triliun, namun mengingat rendahnya peningkatan nominal NPL tersebut adalah karena penghapusbukuan kredit yang cukup signifikan pada satu bank besar, maka kenaikan nominal NPL perlu diwaspadai apalagi kondisi ekonomi tengah kurang menggembirakan. Dari sisi rasio NPL, dibandingkan dengan posisi akhir semester I 2008, rasio NPL gross menurun menjadi 3,76%. Rendahnya rasio NPL dipengaruhi oleh tingginya peningkatan kredit yang jauh melebihi peningkatan nominal NPL. Sementara itu, kenaikan nominal NPL juga diiringi dengan kenaikan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) dalam jumlah yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp4,4 triliun menjadi Rp47,5 triliun selama semester laporan. Hal ini menyebabkan rasio NPL net menurun sebesar 0,2% menjadi 1,47%. Peningkatan PPAP

70 65 60 55 50 45 40 35

30 2006

Dari segi kelompok bank, selama semester laporan, kenaikan nominal NPL terjadi pada kelompok bank Swasta, kantor cabang bank Asing dan bank Campuran, sedangkan nominal NPL bank Persero justru turun Rp3,1 triliun karena penghapusbukuan kredit. Naiknya nominal NPL pada kelompok bank Swasta dan Campuran disertai pula dengan peningkatan rasio NPL gross yang terjadi sejak pertengahan semester II 2008, sementara kenaikan rasio NPL kelompok kantor cabang bank Asing baru terjadi pada akhir semester. Kenaikan kredit bermasalah pada kelompok bank Swasta dan Campuran terutama pada kredit untuk sektor Industri Pengolahan serta sektor Jasa Dunia Usaha, sementara untuk kelompok kantor cabang bank Asing

28

Bab 2 Sektor Keuangan

diikuti pula oleh kredit sektor Lain-Lain (konsumsi), terutama yang berasal dari kartu kredit.Grafik 2.20 Rasio NPL Gross Kelompok Bank7 6 5 4 3 2 1 0 BUMN Swasta BPD Campuran AsingDes-07 Jun-08 Des-08

pada Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi mengalami penurunan. Meskipun jumlah nominalnya mengalami peningkatan, secara rasio, NPL gross Kredit Modal Kerja sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya sehingga menjadi 3,4%. Selanjutnya, walaupun secara rasio, NPL tertinggi masih terdapat pada Kredit Investasi, telah terjadi penurunan kredit non-lancar yang cukup signifikan karena adanya hapus buku sehingga rasio NPL gross Kredit Investasi turun dari 4,6% pada akhir Juni 2008 menjadi 3,8% pada akhir Desember 2008. Sementara itu, sejalan dengan penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi, rasio NPL grossnya juga mengalami penurunan dari 2,9% menjadi 2,5%.

Peningkatan nominal NPL sektor Jasa Dunia Usaha dan Industri Pengolahan membuat kedua sektor ekonomi tersebut mendominasi kenaikan nominal NPL sektoral industri perbankan, masing-masing sebesar Rp1 triliun dan

Grafik 2.22 Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan7

Rp0,7 triliun. Kedua sektor tercatat memiliki rasio NPL gross masing-masing sebesar 2,12% dan 5,41%. Dengan demikian, Industri Pengolahan tampaknya masih menjadi sektor dengan tingkat risiko kredit yang cukup tinggi, meskipun sedikit membaik pada akhir periode laporan sejalan dengan hapus buku yang dilakukan oleh salah satu bank besar.Grafik 2.21 Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi

6 5 4 3 2 1 0 Modal Kerja Investasi Konsumsi

Des-07 Jun-08 Des-08

Grafik 2.23 Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi% 12

Lain-lain Jasa Dunia Usaha Pengangkutan Perdagangan Konstruksi Ind. Pengolahan Pertambangan Pertanian

Des-07 Jun-08 Des-08

10 8 6 4 2 0

Des-07 Jun-08 Des-08

0,0

1,5

3,0

4,5

6,0

7,5

KPR

Kartu Kredit

Lainnya

Dari segi jenis penggunaan kredit, peningkatan nominal NPL selama semester II 2008 hanya terjadi pada Kredit Modal Kerja, yaitu sebesar Rp1,7 triliun, sementara

Penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi terutama karena penurunan nominal kredit KPR yang menyebabkan rasio NPL gross KPR turun menjadi 2,26%. Sementara itu,

29

Bab 2 Sektor Keuangan

rasio NPL gross Kartu Kredit masih cukup tinggi, yaitu 10,8% pada akhir Desember 2008, meskipun sedikit menurun dibandingkan posisi akhir Juni 2008 sebesar 11,6%. Sebagian besar (78,2%) nominal NPL Kartu Kredit terdapat pada kelompok Kantor Cabang Bank Asing. Sementara itu, walaupun nominal NPL KPR sudah mengalami penurunan, secara total, nominal NPL Kredit Properti masih mengalami peningkatan sebesar Rp0,3 triliun. Hal tersebut karena nominal NPL Kredit Real Estate mengalami peningkatan dengan rasio NPL menjadi sebesar 4,51%.Grafik 2.24 Rasio NPL Gross Kredit Properti (%)6 5 4 3 2 1 Konstruksi Real Estate KPRDes-07 Jun-08 Des-08

penghapusbukuan kredit. Ke depan, perlu semakin diwaspadai turunnya ekspor dan pelemahan nilai tukar rupiah karena berpotensi mempengaruhi kemampuan debitur membayar kewajibannya, terutama kewajiban dalam valas.

Grafik 2.25 Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%)

5 4 3 2 1 0 Rupiah ValasDes-07 Des-08 Jun-08

Pada periode laporan, nominal NPL Kredit MKM turun Rp1 triliun menjadi Rp18,8 triliun. Sejalan dengan itu, rasio NPL gross Kredit MKM juga turun menjadi 2,97%. Berdasarkan jenis penggunaan, nominal NPL dari semua jenis Kredit MKM turun, terutama pada Kredit Modal Kerja sebesar Rp0,5 triliun. Dari sisi sektoral, penurunan nominal NPL terjadi pada hampir semua sektor, kecuali sektor Industri Pengolahan, dengan penurunan terbesar pada sektor Perdagangan sebesar Rp1 triliun. Nominal NPL kredit MKM sektor Industri Pengolahan naik Rp0,6 triliun, sehingga rasio NPL gross-nya naik menjadi 7,5%. Hal iniGrafik 2.26 Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%)5 4 3Des-07 Juni-08 Nov-08

Kredit valas menjadi sumber utama peningkatan nominal NPL perbankan. Selama semester II 2008, nominal NPL kredit valas naik Rp1,9 triliun menjadi Rp10,5 triliun antara lain karena pelemahan nilai tukar rupiah. Apabila dinyatakan dalam USD, nominal NPL kredit valas hanya naik USD29,7 juta. Sejalan dengan itu, rasio NPL gross kredit valas juga meningkat menjadi 4,14%. Kenaikan nominal NPL kredit valas terbesar pada kelompok bank Persero sebesar Rp0,8 triliun, diikuti Kantor Cabang Bank Asing sebesar Rp0,7 triliun. Di lain pihak, rasio NPL gross kredit rupiah turun menjadi 2,98% sejalan dengan penurunan nominal NPL kredit rupiah sebesar Rp0,7 triliun. Penurunan nominal NPL kredit rupiah terutama karena menurunnya nominal NPL pada kelompok bank Persero dalam jumlah yang signifikan, yaitu sebesar Rp3,9 triliun yang disebabkab oleh

2 1 0 MKM Non MKM

30

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.27 Rasio NPL Gross Kredit MKM (%)Des-07 Des-08 Jun-08

masih tinggi pada saat itu juga berpotensi meningkatkan tekanan inflasi ke depan. Sebagai respon atas kondisi tersebut, Bank Indonesia menaikkan suku bunga kebijakannya (BI rate) sebagai upaya untuk meredam

4,0

3,0

tekanan inflasi. Sejak Juli sampai dengan Oktober, secara2,0

berturut-turut BI rate terus dinaikkan sebesar 25 bps, sehingga mencapai 9,5% pada Oktober.

1,0

Namun, pada perkembangan lebih lanjut,0,0 Mikro Kecil Menengah

memburuknya kondisi pasar keuangan dunia mulai mempengaruhi kondisi ekonomi domestik, terutama di

menunjukkan bahwa risiko kredit di sektor Industri Pengolahan tidak hanya berasal dari korporasi besar (Non MKM) tetapi juga dari usaha skala kecil dan menengah (MKM). Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, potensi peningkatan risiko kredit tercermin pula pada hasil analisis

pasar keuangan yang menyebabkan menurunnya kinerja pasar saham, dan harga SUN, serta pelemahan nilai tukar Rupiah yang signifikan. Selain itu, perlambatan ekonomi dunia menyebabkan pertumbuhan ekspor Indonesia turun signifikan, sehingga ekonomi domestik mulai tumbuh melambat. Memperhatikan kondisi tersebut, Bank Indonesia mempertahankan level BI rate pada 9,5% pada bulan November. Pada penghujung 2008, Bank Indonesia mulai menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25% untuk mendorong kegiatan ekonomi mengingat prospek pertumbuhan ekonomi domestik ke depan diperkirakan melambat cukup dalam. Penurunan BI rate pada akhir 2008 tidak langsung direspon dengan penurunan suku bunga perbankan. Suku bunga perbankan masih meningkat meskipun sudah cenderung melambat. Selama periode laporan, suku bunga deposito 1 bulan naik 356 bps menjadi 10,75%, sedangkan suku bunga kredit naik dalam level yang lebih rendah. Masih tingginya suku bunga perbankan, khususnya suku bunga deposito, terjadi karena perang suku bunga untuk menarik dana masyarakat sebesar-

Probability of Default (PD) yang mengindikasikan bahwake depan risiko kredit yang berasal dari sektor riil (korporasi) akan cenderung meningkat. Berdasarkan analisis Probability of Default ( PD ) dan model ekonometrik, diproyeksikan bahwa pada akhir tahun 2009 rasio NPL gross perbankan akan meningkat menjadi sekitar 4,9%-5,6%. Namun demikian, hasil stress test terhadap 15 bank besar dengan menggunakan skenario pesimis (rasio NPL gross akan meningkat menjadi 5,6% yaitu sebesar proyeksi tertinggi untuk tahun 2009) menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih mampu mengatasi kemungkinan kerugian yang akan terjadi sehingga tidak terdapat bank yang CAR-nya turun menjadi di bawah 8%.

2.3.3. Risiko PasarPerkembangan ekonomi domestik pada awal semester II 2008 ditandai dengan tingginya inflasi sebagai dampak dari kenaikan harga BBM dan tingginya harga komoditas pokok dunia. Pertumbuhan ekonomi yang

besarnya guna meningkatkan likuiditas perbankan. Sementara itu, suku bunga kredit Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi masing-masing naik 222 bps, 139 bps, dan 27 bps, sehingga spread suku bunga cenderung menyempit.

31

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.28 Suku Bunga Rp & Nilai Tukar% 20 KK (ki) 18 16 14 KI (ki) 12 10 8 Kurs (kn) 6 2006 7500 2007 2008 Des Deposito 1 bln (ki) 8500 9500 10500 KMK (ki) 11500 Rp 12500

pendapatan bunga bersih perbankan lebih tinggi dibandingkan semester I 2008 sebagai akibat dari penyaluran kredit yang masih tinggi, namun ke depan hal ini berpotensi mengurangi profitabilitas. Hasil stress test menunjukkan bahwa apabila suku bunga meningkat 1%, tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR menjadi di bawah 8%.

Grafik 2.30 Profil Maturitas ValasM USD 10 5

Grafik 2.29 Profil Maturitas RupiahRp triliun 500 400 300 200 100 0 (100) (200) (300) (400) (500) sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 blnDes07 Sep08 Mrt08 Des08 Jun08

0 (5)

(10) (15) sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan

Des07 Sep08

Mrt08 Des08

Jun08

6 - 12 bln

> 12 bln

Grafik 2.31 Posisi Devisa Netto% 9 8 7 6 5

Dengan profil maturitas perbankan, baik rupiah maupun valas, yang secara umum cenderung short dalam jangka pendek dan long dalam jangka panjang, kenaikan suku bunga perbankan berpotensi merugikan karena akan mengurangi keuntungan atau meningkatkan kerugian. Pada periode laporan, posisi short aset/kewajiban dalam rupiah untuk jangka waktu sangat pendek (s.d. 1 bulan) cenderung semakin meningkat seiring dengan gencarnya perbankan dalam menarik dana masyarakat untuk meningkatkan likuiditas. Sebaliknya, untuk aset/kewajiban dalam valas, posisi shortnya cenderung menurun sejalan dengan meningkatnya risiko akibat depresiasi rupiah yang cukup tajam. Meningkatnya posisi short jangka pendek ini berpotensi meningkatkan risiko pasar perbankan akibat kenaikan suku bunga, terlebih dengan spread yang semakin menyempit. Meskipun selama semester II 2008

4 3 2 1 0 Des07 BUSN Mrt08 Campuran BPD Jun08 Persero Sep08 Asing Des08 SELURUH

Gejolak pasar keuangan global juga menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan rupiah sempat mencapai Rp12.150 per USD pada November 2008, sehingga rata-rata nilai tukar rupiah selama semester II 2008 mencapai Rp10.138 per USD dibandingkan semester I 2008 sebesar Rp9.235 per dolar AS. Namun demikian, rasio PDN perbankan yang relatif rendah (6,2%) menyebabkan eksposur perbankan terhadap risiko nilai tukar relatif terbatas. Hasil stress test menunjukkan bahwa

32

Bab 2 Sektor Keuangan

apabila nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sampai dengan Rp5.000 per USD, rasio kecukupan modal (CAR) perbankan masih berada di atas 8%. Namun demikian, perlu diwaspadai pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap perbankan melalui penurunan kemampuan membayar debitur. Tekanan terhadap pasar saham dan pasar utang domestik selama semester II 2008 semakin tinggi akibat krisis pasar keuangan global yang semakin buruk. Salah satu dampaknya adalah harga surat utang negara yang sempat turun signifikan pada Oktober, meski pada akhir 2008 sudah mulai meningkat. Perkembangan ini sangat mempengaruhi neraca dan laba rugi perbankan, karena sebagian besar bank memiliki SUN sebagai salah satu portofolio dalam aktiva produktif. Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar, pada tanggal 9 Oktober 2008, Bank Indonesia, Pemerintah (Bapepam-LK), dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan keputusan bersama yang memungkinkan perbankan untuk menunda penerapan marking to market dalam penetapan nilai wajar untuk SUN. Selain itu, perbankan juga dimungkinkan untuk mengalihkan tujuan kepemilikan SUN dari kategori Trading dan Available for300 250 200 150 100 50 0126,8 130,6

Grafik 2.33 Perkembangan SUN (Rp T)AFS Trading HTM

28,2

Des 2007

Jun

Jul

Ags 2008

Sep

Okt

Nov

Des

pada laporan laba rugi yang menurun pada Desember 2008, setelah sempat meningkat tinggi pada Oktober 2008. Harga SUN yang turun tajam juga mendorong perbankan untuk mengalihkan tujuan kepemilikan SUN dari AFS menjadi HTM untuk mengurangi kerugian. Akibatnya, selama semester II 2008, pangsa kepemilikan SUN untuk AFS turun 10,8% menjadi 36,9%, sedangkan pangsa HTM naik 11,3% menjadi 56,9%. Pangsa kepemilikan SUN trading yang cukup rendah dan penundaan berlakunya

marking to market menjadikan perbankan tidak terlaluterekspos dengan risiko penurunan harga SUN. Hasil stress

test menunjukkan bahwa apabila harga SUN turun sampai20%, tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR menjadi di bawah batas minimum 8%.

Sale (AFS) menjadi kategori Hold to Maturity (HTM).Kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap neraca dan laba rugi perbankan. Hal ini tercermin pada

net unrealized loss di neraca dan nilai kerugian bersihGrafik 2.32 Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan% 60 50 40 30 20 10 0Des07 Jun08 Des08

2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan

ProfitabilitasDi tengah peningkatan tekanan terhadap perekonomian, industri perbankan masih mampu mempertahankan profitabilitasnya, meskipun menurun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Net Interest

Income (NII), sebagai salah satu indikator profitabilitas,menunjukkan peningkatan yaitu dari Rp53,2 triliun (Juni 2008) menjadi Rp59,9HTM AFS Trading

triliun (Desember 2008).

Peningkatan tersebut antara lain karena pertumbuhan

156,4

16,9

101,4

33

Bab 2 Sektor Keuangan

kredit yang ti