19
MODEL PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA OTENTIK Oleh: Sitti Maesuri Patahuddin, S.Pd., M.Pd., Ph.D. (Dosen Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Surabaya) Abstrak. Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 menjadi momentum yang sangat penting dalam pembentukan guru-guru profesional di Indonesia. Pelaksanaan sertifikasi guru melalui kebijakan portofolio dan diklat bagi yang tidak lulus portofolio menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah langkah tersebut secara efektif dapat membawa para guru menjadi profesional dan bagaimana dampak yang sebenarnya terhadap pembelajaran siswa di kelas. Makalah ini dimaksudkan untuk menyajikan satu alternatif program pengembangan profesi guru yang bersifat otentik, dilaksanakan pada konteks sekolah dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan karakteristik guru, situasi lapangan, perbaikan kualitas pembelajaran, dan peningkatan hasil belajar siswa. Model pengembangan profesi guru secara otentik dapat diterapkan untuk memfasilitasi guru dalam mengembangkan keprofesionalannya. Melalui penerapan ini, faktor-faktor individual dan kontekstual yang mendukung atau menghambat pengembangan profesi guru-guru dapat sekaligus diselidiki. Penggunaan pendekatan ethnography dalam model ini memungkinkan peneliti memahami kompleksitas dari pengajaran dengan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan. Selain itu, ethnography berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi di situasi riil di lapangan. Urgensi penelitian yang menerapkan model pengembangan profesi guru secara otentik, dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: kesesuaian dengan kebijakan pemerintah yang memacu terbentuknya guru yang profesional; aspek pengembangan institusional (institusi pendidikan yang turut bertanggung jawab mempersiapkan guru profesional di masa depan perlu memahami perkembangan pembelajaran di situasi riil guru); aspek peningkatan hasil belajar siswa, dan implikasi teoretis dari penerapan model otentik ini pada konteks sekolah. Kata kunci: guru profesional, otentik, ethnography 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Amanah UU No. 20 Tahun 2003, bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu” berimplikasi pada pentingnya guru melaksanakan pengajaran yang berkualitas. Namun kenyataan menunjukkan, terdapat banyak guru yang belum memenuhi standar minimal layak mengajar (Sinar Harapan, 2006). Klaim rendahnya kualitas pengajaran matematika biasanya ditunjukkan oleh rendahnya hasil Ujian Nasional (UNAS) matematika. Di sisi lain, pengajaran adalah tugas yang sangat kompleks karena guru dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi pengajarannya, karakter dan kemampuan siswanya, dan lain-lain (Borko, 2004; Borko & Putnam, 1996; Soedijarto, 2008; Sousa, 2008). Tugas ini semakin kompleks ketika para guru dituntut mengajar dengan cara yang berbeda dari apa yang telah mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti perkembangan teknologi, atau ketika guru dihadapkan pada tuntutan UNAS, perubahan kurikulum, rendahnya motivasi belajar dan kemampuan prasyarat siswa (Patahuddin, 2008). Salah satu cara membantu guru mengemban tugas pengajaran yang kompleks tersebut adalah menyiapkan program pengembangan profesi guru (teacher professional development). Program tersebut seharusnya menjadi alat pembaharuan pengetahuan guru dan perbaikan praktek pengajaran guru di kelas (Goos, Stillman, & Vale, 2007; William, Barry, Ryoko, & Lawrence, 2007). Di Indonesia, Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 bertujuan meningkatkan kualitas guru dan penghasilan guru yang profesional. Guru dianggap memenuhi standar profesional bilamana latar belakang akademiknya minimal S1/D-4 dan mempunyai sertifikat pendidik (Jalal, 2007; Kedaulatan Rakyat, 2006). Sertifikat pendidik dapat diperoleh guru setelah menunjukkan kompetensinya melalui portofolio yang berisi dokumen tentang: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar ditunjukkan oleh berapa lama mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ditunjukkan oleh RPP atau Rencana Pelaksanaan Pengajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah misalnya konferensi, seminar, loka karya, penataran, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan

165-Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik-rev Etty Jurnal

  • Upload
    goedana

  • View
    36

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal mengenai model pengembangan profesi guru secara otentik di Indonesia

Citation preview

  • MODEL PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA OTENTIK Oleh:

    Sitti Maesuri Patahuddin, S.Pd., M.Pd., Ph.D. (Dosen Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Surabaya)

    Abstrak. Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 menjadi momentum yang sangat penting dalam pembentukan guru-guru profesional di Indonesia. Pelaksanaan sertifikasi guru melalui kebijakan portofolio dan diklat bagi yang tidak lulus portofolio menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah langkah tersebut secara efektif dapat membawa para guru menjadi profesional dan bagaimana dampak yang sebenarnya terhadap pembelajaran siswa di kelas. Makalah ini dimaksudkan untuk menyajikan satu alternatif program pengembangan profesi guru yang bersifat otentik, dilaksanakan pada konteks sekolah dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan karakteristik guru, situasi lapangan, perbaikan kualitas pembelajaran, dan peningkatan hasil belajar siswa.

    Model pengembangan profesi guru secara otentik dapat diterapkan untuk memfasilitasi guru dalam mengembangkan keprofesionalannya. Melalui penerapan ini, faktor-faktor individual dan kontekstual yang mendukung atau menghambat pengembangan profesi guru-guru dapat sekaligus diselidiki. Penggunaan pendekatan ethnography dalam model ini memungkinkan peneliti memahami kompleksitas dari pengajaran dengan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan. Selain itu, ethnography berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi di situasi riil di lapangan.

    Urgensi penelitian yang menerapkan model pengembangan profesi guru secara otentik, dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: kesesuaian dengan kebijakan pemerintah yang memacu terbentuknya guru yang profesional; aspek pengembangan institusional (institusi pendidikan yang turut bertanggung jawab mempersiapkan guru profesional di masa depan perlu memahami perkembangan pembelajaran di situasi riil guru); aspek peningkatan hasil belajar siswa, dan implikasi teoretis dari penerapan model otentik ini pada konteks sekolah.

    Kata kunci: guru profesional, otentik, ethnography

    1. Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang Amanah UU No. 20 Tahun 2003, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu berimplikasi pada pentingnya guru melaksanakan pengajaran yang berkualitas. Namun kenyataan menunjukkan, terdapat banyak guru yang belum memenuhi standar minimal layak mengajar (Sinar Harapan, 2006). Klaim rendahnya kualitas pengajaran matematika biasanya ditunjukkan oleh rendahnya hasil Ujian Nasional (UNAS) matematika.

    Di sisi lain, pengajaran adalah tugas yang sangat kompleks karena guru dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi pengajarannya, karakter dan kemampuan siswanya, dan lain-lain (Borko, 2004; Borko & Putnam, 1996; Soedijarto, 2008; Sousa, 2008). Tugas ini semakin kompleks ketika para guru dituntut mengajar dengan cara yang berbeda dari apa yang telah mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti perkembangan teknologi, atau ketika guru dihadapkan pada tuntutan UNAS, perubahan kurikulum, rendahnya motivasi belajar dan kemampuan prasyarat siswa (Patahuddin, 2008).

    Salah satu cara membantu guru mengemban tugas pengajaran yang kompleks tersebut adalah menyiapkan program pengembangan profesi guru (teacher professional development). Program tersebut seharusnya menjadi alat pembaharuan pengetahuan guru dan perbaikan praktek pengajaran guru di kelas (Goos, Stillman, & Vale, 2007; William, Barry, Ryoko, & Lawrence, 2007). Di Indonesia, Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 bertujuan meningkatkan kualitas guru dan penghasilan guru yang profesional.

    Guru dianggap memenuhi standar profesional bilamana latar belakang akademiknya minimal S1/D-4 dan mempunyai sertifikat pendidik (Jalal, 2007; Kedaulatan Rakyat, 2006). Sertifikat pendidik dapat diperoleh guru setelah menunjukkan kompetensinya melalui portofolio yang berisi dokumen tentang: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar ditunjukkan oleh berapa lama mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ditunjukkan oleh RPP atau Rencana Pelaksanaan Pengajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah misalnya konferensi, seminar, loka karya, penataran, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan

  • dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan (Jalal, 2007). Pelaksanaan kebijakan sertifikasi melalui portofolio tersebut menghadapi banyak tantangan.

    Menurut pengamatan penulis, salah satu dampak kebijakan sertifikasi adalah, menjamurnya seminar, penataran, pelatihan-pelatihan, atau pun workshop. Penulis juga telah beberapa kali menjumpai program pelatihan guru yang dilaksanakan di hotel-hotel yang sudah tentu membutuhkan biaya yang relatif mahal. Ini adalah fenomena yang relatif baru yang agak berbeda dari program pelatihan sebelum tahun 2000. Namun demikian, informasi tentang dampak pelatihan terhadap perbaikan pembelajaran siswa di kelas sangat terbatas. Bahkan pelatihan yang dilaksanakan di luar sekolah, bagi sebagian guru, menimbulkan masalah baru. Misalnya, banyak kegiatan pembelajaran di kelas kosong karena guru harus mengikuti pelatihan. Guru pun harus mengejar ketertinggalan materi yang ditargetkan oleh kurikulum akibat guru meninggalkan kelas. Masalah lain yang penulis temukan adalah keluhan sebagian guru akan sulitnya menerapkan konsep yang mereka peroleh dari penataran karena merasakan ketidaksesuaian dengan konteks sekolah mereka. Sejauh ini tidak diketahui dengan pasti ada-tidaknya peningkatan kemampuan dan pengetahuan guru setelah mereka mengikuti pelatihan, seminar atau penataran.

    Pengembangan profesi guru dapat dilakukan

    1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang dapat disampaikan yakni : 1.2.1 Pengembangan konsep profesi guru yang bagaimanakah yang dapat dihasilkan pada konteks sekolah

    masing-masing guru dengan tetap memperhatikan kebutuhan guru, situasi lapangan, perbaikan kualitas pembelajaran, dan peningkatan hasil belajar siswa?

    1.2.2 Manfaat dan tantangan apakah yang dihadapi dalam pelaksanaan konsep pengembangan profesi guru?

    1.3 Tujuan Tujuan penelitian dan pengembangan ini yakni: 1.3.1 Menghasilkan konsep pengembangan profesi guru pada konteks sekolah masing-masing guru dengan tetap

    memperhatikan kebutuhan guru, situasi lapangan, perbaikan kualitas pembelajaran, dan peningkatan hasil belajar siswa.

    1.3.2 Memperoleh informasi tentang manfaat dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan konsep pengembangan profesi guru sesuai dengan cara yang telah dihasilkan.

    2 Kajian Literatur Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa model pengembangan profesi guru secara otentik merupakan perpaduan tiga konsep utama, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif (Five Characteristics of Effective Professional Development), zone pembelajaran guru, dan pendekatan ethnography. Sebelum menguraikan model otentik tersebut terlebih dahulu dijelaskan masing-masing konsep tersebut di atas.

    2.1 Program Pengembangan Profesi Guru: 5 Karakteristik Berikut ini adalah lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif yang telah diidentifikasi dari berbagai literatur yang berbeda antara lain oleh Borko (2004), Little (1993), Putnam & Borko (1997), Wilson dan Berne (1999) dan Wiske, Sick, dan Wirsig (2001).

    Berkelanjutan (K-1) Dalam menjelaskan perlunya program pengembangan guru yang berkelanjutan, Little (1993) mengatakan bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya dilaksanakan dalam waktu yang cukup panjang untuk meyakinkan adanya perolehan pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri. Sejalan dengan itu, Abdal-Haqq (1996) menjelaskan bahwa program ini harus berkelanjutan sedemikian sehingga dapat memberikan kesempatan pada guru untuk berlatih, mendapat umpan balik, dan berefleksi. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa temuan bahwa sering terjadi guru memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengalami perubahan (Borko, Mayfield, Marion, Flexer, & Cumbo, 1997; Patahuddin, 2008).

    Kolaboratif (K-2) Pentingnya kolaborasi dalam suatu program pengembangan profesi guru telah dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain Abdal-Haqq (1995), Little (1988), dan Wilson dan Berne (1999). Menurut Abdal-Haqq secara implisit berpendapat bahwa fasilitator program harus mendorong terjadinya kolaborasi antar guru. Hal ini dapat diciptakan dengan cara memberi mereka kesempatan untuk mendiskusikan mengenai materi ajar, siswa dan pengajaran mereka (Wilson & Berne, 1999). Sedangkan Little menegaskan pentingnya kolaborasi guna membangun pemahaman bersama, pengembangan pemikiran, dan bersama-sama menguji kejelasan atau ketepatan ide-ide tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek kolaborasi ini seharusnya terjadi baik antara fasilitator dengan guru maupun antar guru-guru yang terlibat dalam program

  • tersebut. Oleh karena itu, dalam program pengembangan profesi guru di sekolah, disarankan agar peneliti, dosen atau pendamping guru merekrut sekurang-kurangnya dua guru dari satu sekolah untuk memungkinkan terjadinya kerjasama antar guru.

    Berorientasi pada pembelajaran siswa (K3) Aspek ini telah ditekankan oleh Abdal Haqq (1996), bahwa program pengembangan profesi guru harus menfokuskan pada pengembangan pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa. Kualitas guru ditingkatkan dengan tujuan agar kualitas pembelajaran siswa di kelas semakin meningkat. Ini berarti keberhasilan program pengembangan profesi guru, salah satu dapat dilihat dari keberhasilan pembelajaran di kelas.

    Mempertimbangan individu dan konteks guru (K4) Karakteristik keempat dari program pengembangan guru yang efektif adalah mempertimbangkan individu guru serta konteks kelas maupun sekolahnya. Putnam dan Borko (1997) dan Abdal Haqq (1996) mengatakan bahwa guru harus diperlakukan sebagai pebelajar aktif yang mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru juga harus diperlakukan sebagai profesional (Abdal-Haqq, 1996; Putnam & Borko, 1997). Lebih jauh, Putnam dan Borko (1997) menekankan pentingnya memperlakukan guru sebagaimana guru diharapkan memperlakukan siswa. Putnam dan Borko (1997) dan Abdal Haqq (1996) setuju bahwa program pengembangan profesi guru harus mempertimbangan konteks kelas dan sekolah guru tersebut.

    Memperkuat pemahaman matematika dan aspek pengajarannya (K5). Karakteristik terakhir yang diidentifikasi dari berbagai literatur yang berbeda adalah bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya membangun pedagogical content knowledge (PCK). PCK didefinisikan oleh Shulman sebagai perpaduan dari isi materi matematika dan pengajaran, yaitu pemahaman tentang bagaimana topik-topik tertentu atau masalah-masalah tertentu di susun, dipresentasikan, diajarkan, dan disesuaikan dengan ketertarikan dan kemampuan siswa yang beragam (Goos, Stillman et al., 2007, p.8). Sehubungan dengan ini, Abdal Haqq (1996) dan Little (1993) menyatakan bahwa program tersebut harus berakar pada pengetahuan dasar tentang pengajaran dan harus berfokus pada masalah-masalah penting yang ada dalam kurikulum dan pengajaran.

    2.2 Zone Pembelajaran Guru Teori the three zones of influence in teacher professional learning dikembangkan oleh Goos (Goos, 2005a,

    2005b; Goos, Stillman et al., 2007). Model teoretis ini mengadopsi Valsiners zone theory (Valsiner, 1997), suatu perluasan dari Vygotskys Zone of Proximal Development (ZPD). Dalam studi Valsiner terhadap perkembangan anak, dia menambahkan dua zone yaitu the Zone of Free Movement (ZFM) dan the Zone of Promoted Action (ZPA).

    Goos mengusulkan model teoretis ini untuk pengembangan dan pembelajaran guru. Ia menjelaskan elemen-elemen dari ketiga zone di atas seperti berikut ini.

    ZPD menyatakan pengetahuan dan kepercayaan guru. Zone ini meliputi pengetahuan guru pada disiplin ilmu matematika dan strategi pengajarannya (pedagogical content of knowledge) serta kepercayaan guru pada disiplin ilmu matematika tersebut (misalnya keyakinan guru tentang matematika apa yang penting diajarkan dan bagaimana cara terbaik mengajarkannya). Menurut Goos, ZPD ini menyatakan potensi pengembangan profesi guru.

    ZFM menyatakan konteks profesi guru, yang memberi batasan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan oleh guru. Unsur dari zone ini dapat berupa kurikulum, persyaratan penilaian, ketersediaan sumber pembelajaran, struktur organisasi sekolah, budaya, persepsi guru terhadap latar belakang siswa, kemampuan siswa, dan motivasi siswa.

    ZPA menyatakan sumber bantuan yang tersedia bagi guru dalam pengembangan pengajaran tertentu, misalnya yang disediakan oleh program pendidikan guru, guru pamong atau konsultan, kolega yang profesional atau mentor di sekolah, atau kegiatan yang lebih formal berupa workshop atau pelatihan-pelatihan guru.

    Goos (2006) menyatakan bahwa hubungan dari ketiga zone tersebut bermanfaat untuk menganalisis sejauh mana guru dapat mengadopsi praktek-praktek pengajaran yang baru. Dia mengatakan bahwa pengembangan guru ditentukan oleh hubungan antara semua unsur dari ketiga zone tersebut. Sebagai contoh, sebuah studi yang dirancang untuk membantu guru melaksanakan silabus matematika yang baru di Queensland, Australia. Dalam studi tersebut Goos, Dole, dan Makar (2007b) menganalisis faktor-faktor individu dan konteks guru yang mendukung dan menghambat terjadinya proses pembelajaran guru. Tim peneliti bekerja dengan pasangan-pasangan guru di empat sekolah yang berbeda untuk mengembangkan pembelajaran investigasi sebagaimana diharapkan oleh silabus. Dengan demikian tim peneliti menyiapkan ZPA untuk mendukung pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan pesan silabus mereka. Pada umumnya para guru mempunyai pengetahuan dan kepercayaan yang bersesuaian dengan pendekatan pengajaran yang ditawarkan tersebut. Mereka juga mempunyai pemahaman yang memadai tentang materi matematika yang akan diajarkannya. Namun demikian konteks profesi tempat mereka mengajar tidak mendukung pelaksanaan pengajaran ini.

  • Dalam satu sekolah, guru dihadapkan pada masalah rendahnya prestasi dan motivasi belajar siswa, terbatasnya sumber-sumber belajar dan fasilitas belajar, dan persepsi guru tentang rendahnya peran orang tua dalam membantu anaknya belajar. Tetapi interaksi positif antara elemen konteks guru (ZFM) dan pengetahuan serta kepercayaan guru (ZPD) membawa guru tersebut memformulasi tujuan pembelajarannya, yaitu melibatkan siswa-siswanya dalam pembelajaran matematika secara bermakna. Hal ini tampaknya dapat terwujud karena: (a) kepala sekolah memberi dukungan, yaitu mengatur kembali jadwal sehingga memungkinkan pasangan guru di sekolah tersebut membuat perencanaan secara bersama dan melakukan tim teaching di kelas, (b) dukungan yang diberikan oleh tim peneliti sejalan dengan pemahaman guru, dan (c) guru mempunyai kemauan untuk mencoba pendekatan-pendekatan baru. Dengan demikian, tidak ada satu pun dari unsur ZPD, ZPA, dan ZPM yang berdiri sendiri mempengaruhi jalannya proses ini, melainkan saling berhubungan antara satu sama lainnya.

    Contoh lainnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Patahuddin (2008) untuk mengetahui faktor-faktor yang telah membawa seorang guru SD di Australia, Any (nama samaran) mengoptimalkan internet untuk pengembangan profesinya dan untuk pengajaran matematikanya.

    Ann adalah seorang guru yang telah mengajar lebih dari 20 tahun. Saat penelitian ini dilakukan, dia mengajar di SD kelas IV. Ruang kelas Any sempit dan fasilitasnya agak terbatas dibandingkan dengan kebanyakan sekolah lain di Queensland, Australia. Meskipun terdapat enam komputer di kelas Any, hanya dua komputer yang terkoneksi dengan internet. Komputer-komputer yang ada sudah cukup tua bahkan ada satu komputer yang sangat tua dan tidak bisa lagi menyimpan file, tetapi masih tetap dimanfaatkan untuk pembelajaran siswa. Pihak sekolah pun tidak menyiapkan teknisi komputer sehingga Any kadang-kadang mengalami kesulitan bila terjadi masalah pada sistem komputer tersebut.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam situasi yang terbatas, Any berhasil memanfaatkan internet secara optimal untuk pembelajaran murid-muridnya. Dia mengatakan bahwa internet sebagai pendukung dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator seperti tergambar pada interview:

    I often find that I can engage them into some appropriate math learning related to what I am teaching, using the internet. whereas normally, being the facilitator without the internet is quite hard because you are there and you've got a whole class in front of you, and you can't often have a focus or enough focus to keep the children discusing. Whereas, I find the internet very good for sustaining kids discussions and focus.

    Dia juga percaya bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kemampuan atau pemahaman yang berbeda-beda dan internet dapat dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan siswa yang berbeda-beda, seperti yang dinyatakan berikut.

    you can offer extensions through the internet. If you have children that are extra gifted who want to go into something a little further than the rest of the class... On the other side, I have used it a lot for those students who can't necessarily engage in the math that I am teaching .. so often there are internet activities or resources that will engage them.

    Ann meyakini bahwa keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi termasuk Internet adalah penting bagi kehidupan siswa seperti dikatakan oleh Any understanding and using ICT is an essential skill in todays society so students need the opportunity to develop these skills as soon as is applicable.

    Tampaknya, pemahaman Any bahwa pengajaran matematika haruslah merupakan proses yang berpusat pada siswa dan teknologi dapat memperkaya pembelajaran atau pun pengajaran matematika (sebagai unsur dari ZPD) membawa Any memanfaatkan internet yang telah tersedia secara optimal, meskipun hanya terdapat dua komputer yang terkoneksi dengan internet (unsur dari ZFM). Sedangkan internet itu sendiri yang kaya dengan sumber-sumber belajar menjadi tempat bagi Any untuk berkolaborasi dengan guru lain atau sebagai tempat atau sumber belajar Any (unsur ZPA).

    2.3 Ethnography Ethnography secara literal berarti menulis tentang orang (Burns, 2000) atau membuat gambaran tentang kehidupan sekelompok orang (Wolcott, 1988, p. 188). Dalam arti lain, ethnography pada dasarnya merupakan upaya memahami kehidupan sekelompok orang dan selanjutnya mendeskripsikan aktivitas sosio-kultural dan pola kehidupannya (Burns, 2000; Freebody, 2003).

    Ethnography pada awalnya digunakan dalam penelitian sosiologi dan secara khusus dalam anthropology (LeCompte & Preissle, 1993). Saat ini, ethnography telah diterima secara luas oleh para peneliti di bidang pendidikan (Freebody, 2003; Gordon, Holland, & Lahelma, 2001; Hammersley, 1990), termasuk pendidikan matematika (Ernest, 1997; Millroy, 1992).

  • Ethnography mencoba menangkap kompleksitas dari sesuatu dengan menggunakan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan (2000). Ethnography bermaksud melaporan situasi ini secara masuk akal. Lebih jauh, menurut Allan (1991), Tedlock (2000) dan Wolcott (1988), ethnography berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi di situasi riil. Oleh karena itu, ethnography perlu menyelidiki dari dalam konteks dan ini berarti peneliti perlu terlibat dalam kegiatan sehari-hari pada setting yang telah dipilih.

    Ethnography biasanya tidak mengikuti proses linier yang telah ditentukan sebelumnya (Burns, 2000; Wolcott, 1988). Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan ethnography hanya dapat direncanakan secara umum sebelumnya. Fleksibilitas ethnography bermanfaat karena memungkinkan peneliti menangkap esensi dari fenomena sosial, yang biasanya bersifat dinamis (Freebody, 2003). Namun demikian, ethnography tetap menghendaki cara sistematis dalam mengumpulkan data dan menguji ide-ide (1991), sangat dimungkinkan untuk merumuskan hipotesis yang bersifat umum dan hipotesis ini dapat diperhalus sejalan dengan proses penelitian (Burns, 2000). Ethnography dapat dilaksanakan pada satu tempat atau pada beberapa tempat yang berbeda. Peneliti perlu menyelidiki tempat penelitian tersebut dan memunculkan sejumlah pertanyaan untuk penyelidikan lebih lanjut (Freebody, 2003).

    Dalam ethnography, peneliti langsung terlibat dalam setting penelitian (Fetterman, 1989, 1998; Freebody, 2003). Dengan demikian, ada dua tuntutan yang harus dijalani oleh peneliti yaitu sebagai pengamat/pengumpul data dan sebagai partisipan dalam setting tersebut (2003). Oleh karena itu, metode penelitian ini memerlukan keterampilan khusus dari peneliti ethnography (ethnographer) selaku instrumen kunci dalam penelitian ini.

    Ethnographer memerlukan keterampilan mendekati para partisipan/informan, kemampuan mengobservasi dan/atau menginterviu, dan kemampuan dalam merekam data. Pada tahap awal, peneliti perlu membangun hubungan yang baik dengan para partisipan dan khususnya dengan gatekeepers (orang yang mempunyai peran yang bisa mendukung dan menghambat akses penelitian di tempat yang diteliti), peneliti perlu bersifat terbuka dan sensitif pada ide-ide yang baru, situasi yang baru, atau terhadap saran-saran orang lain (Wolcott, 1988). Keterampilan penting lainnya adalah kemampuan ethnographer memposisikan dirinya sebagai orang luar tapi juga terlibat di dalam konteks yang diteliti (1991). Hal ini diperlukan demi memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap situasi setempat tanpa memanipulasi kondisi alamiah dari tempat penelitian.

    Dalam Ethnography, pengamat harus berwawasan luas (Allan, 1991). Pengamat yang demikian adalah orang yang mampu merekam semua informasi/data yang relevan untuk dianalisis sesegera mungkin dan kemudian digunakan dalam merumuskan pertanyaan untuk eksplorasi berikutnya. Dengan demikian pengamat tersebut adalah orang yang secara berkelanjutan menginvestigasi, menganalisis data, bertanya dan menyelidiki data-data yang kontradiktif, membuat rangkuman-rangkuman, dan terus membangun hipotesis yang lebih cocok saat penelitian berlangsung.

    Penelitian ethnography salah satu metode yang dapat membantu mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas dari tugas pengajaran guru dan menginvestigasi bagaimana cara yang tepat untuk mendukung pengembangan profesi guru. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa memahami pengajaran, pembelajaran, dan keprofesionalan guru, bukanlah sebuah tugas yang mudah (Borko, 2004). Permasalahan pengembangan profesi guru memerlukan metode yang memungkinkan penyelidikan secara mendalam. Metode yang tepat untuk tujuan ini adalah metode penelitian kualitatif (e.g., Allan, 1991; Gay & Airasian, 2000; Silverman, 2000). Salah satu di antaranya adalah ethnography.

    Seperti dikemukakan oleh Hammersley dan Atkinson (2007),

    In terms of data collection, ethnography usually involves the researcher participating, overtly or covertly, in peoples daily lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, and/or asking questions through informal and formal interviews, collecting documents and artefacts in fact, gathering whatever data are available to throw light on the issues that are the emerging focus of inquiry. Generally speaking ethnographers draw on a range of sources of data, though they may sometimes rely primarily on one (hal.3). Oleh karena itu, dalam penelitian ethnography dapat digunakan berbagai macam metode pengumpulan

    data, yaitu: kuesioner, interviu, participant-observation (pengamatan partisipatif), catatan lapangan (fieldnotes), dan sumber-sumber tertulis misalnya dokumen kurikulum, contoh Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP) guru, contoh pekerjaan siswa, catatan harian guru, dan lain-lain.

    Penggunaan berbagai macam metode pengumpulan data memberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan triangulasi pada data-data yang saling bertolakbelakang, atau guna mengecek kekonsistenannya

  • (Allan, 1991; Burns, 2000; Ernest, 1997; Patton, 2002; Wolcott, 1988). Namun demikian, pada umumnya participant observation and/or relatively informal conversations biasanya menjadi sumber data utama dalam penelitian ethnography (Hammersley & Atkinson, 2007, hal. 3). Burns juga menyarankan bahwa survei dapat digunakan, sebagai contoh, untuk menginvestigasi pengalaman-pengalaman terdahulu dari partisipan.

    Seperti dikemukakan oleh Allan (1991: 180), ethnography especially does not have the tidy, relatively linear progression of discrete stages common in experimental or questionnaire survey design. Jadi, rencana yang rinci tidak dapat ditentukan sebelum melaksanakan penelitian ini. Namun demikian, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ethnography tetap memerlukan cara yang sistematik dalam mengumpulkan data dan menguji ide-ide (Allan, 1991).

    Meskipun dalam studi ethnography, rencana penelitian tidak dapat disajikan secara rinci, karena sangat bergantung keadaan lapangan, tetapi rencana umum dapat dirumuskan untuk membantu peneliti dalam antisipasi tindakan. Sebagai contoh, dapat diantisipasi membantu guru memecahkan masalah kesulitan belajar siswa, mengembangkan alat penilaian untuk topik tertentu baik yang mengakomodasi ujian nasional maupun penilaian yang lebih bersifat otentik, cara merancang tugas-tugas belajar untuk melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran yang lebih bermakna, atau merancang tugas-tugas memecahkan masalah non-routine untuk latihan siswa berfikir logis, kritis, dan kreatif.

    3. Metodologi 3.1 Pengembangan Model Model yang dikembangkan yakni Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik, dilakukan dengan memadukan tiga konsep, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif (Five Characteristics of Effective Professional Development), zone pembelajaran guru, dan pendekatan ethnography. Karena model ini sangat mempertimbangkan konteks sekolah, maka model ini dapat diterapkan di sekolah-sekolah baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah, baik di sekolah perkotaan maupun di luar perkotaan.

    Sehubungan dengan konsep pertama, kelima karakteristik yang dimaksud adalah: berkelanjutan (K-1), bersifat kolaboratif (K-2), berorientasi pada kebutuhan belajar siswa (K-3) mempertimbangkan/memperhitungkan individu guru dan konteksnya (K-4), dan berfokus pada upaya pendalaman materi matematika dan strategi pengajarannya (K-5) (Patahuddin & Dole, 2006).

    Pada konsep yang kedua, teori zone pembelajaran guru yang dimaksud adalah the three zones of influence in teacher professional learning yang dikembangkan oleh Goos (Goos, 2005a, 2005b; Goos, Stillman et al., 2007). Pada hakekatnya, teori ini menyatakan bahwa proses pembelajaran atau pengembangan guru ditentukan oleh berbagai macam faktor yang saling berkaitan, antara lain pengetahuan tentang keguruan, pengetahuan tentang isi matematika yang diajarkan, keyakinan tentang apa yang perlu diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, persepsi guru terhadap kemampuan dan motivasi siswa, kurikulum atau pemahaman guru terhadap kurikulum, tuntutan ujian nasional, fasilitas, sistem atau kebijakan sekolah, budaya masyarakat, latar belakang akademik guru, pengalaman mengajar, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam tiga zone, yaitu the Zone of Proximal Development (ZPD), the Zone of Free Movement (ZFM) dan the Zone of Promoted Action (ZPA). Pemahaman faktor-faktor yang ada dalam ketiga zone tersebut dapat membantu dalam upaya memfasilitasi guru dalam proses belajarnya.

    Konsep yang ketiga adalah ethnography. Ethnography yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah suatu metode penelitian kualitatif atau pendekatan untuk menginvestigasi secara mendalam proses pembelajaran guru dari dalam konteks tempat pelaksanaan program pengembangan profesi guru. Dengan demikian, program pengembangan profesi guru ini dilaksanakan di sekolah dan peneliti atau dosen atau pendamping guru yang bermaksud membawa inovasi pembelajaran berperan bukan hanya sebagai fasilitator tetapi sebagai pengamat partisipatif (participant observer).

    3.2 Kerangka Teori: Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik Patahuddin (2008) menemukan model baru yang menggabungkan tiga konsep yang telah dibahas

    sebelumnya, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif (Five Characteristics of Effective Professional Development)-[Ks-1], zone pembelajaran guru [Ks-2], dan pendekatan ethnography [Ks-3] seperti dipresentasikan pada Gambar 1 di bawah ini. Proses pelaksanaannya akan diuraikan pada bagian metodologi. Hubungan ketiga konsep di atas dijelaskan sebagai berikut.

  • 3.2.1 Hubungan [Ks-1] dan [Ks-3]

    Program pengembangan profesi guru dengan lima karakteristik (sisi segilima pada gambar di atas) sangat bersesuaian dengan sifat penelitian ethnography. Program yang ongoing dapat dicapai karena ethnography mensyaratkan waktu pelaksanaan penelitian yang cukup lama. Sifat kolaboratif juga merupakan salah satu prinsip dasar ethnography, yaitu bahwa ethnographer harus membangun hubungan yang baik dengan partisipan (guru dan siswa). Pendekatan student-oriented dapat diterapkan karena peneliti menjadi pengamat partisipatif. Ini berarti peneliti mempunyai kesempatan untuk memahami karakteristik dan kebutuhan belajar siswa untuk selanjutnya mendiskusikan dengan pihak guru tentang cara melibatkan mereka dalam pembelajaran secara lebih baik. Demikian juga dengan karakteristik considering the individual teacher dan school context sangat bersesuaian dengan sifat ethnography. Pemahaman terhadap individu guru dan konteks sekolah dapat tercapai sebab ethnographer harus menjadi insider, yakni orang yang berada dalam sistem tersebut (tidak menjadi orang asing). Sedangkan karakteristik terakhir (enhancing PCK), yaitu membangun pemahaman guru dalam hal pembelajaran dan pengajaran matematika. Hal ini dapat dicapai karena ethnography mensyaratkan pengamatan dan analisis data secara berkelanjutan.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, penelitian ethnography memungkinkan peneliti mengakses pembelajaran guru dari dalam, dan secara simultan menerapkan kelima karakteristik program pengembangan profesi guru yang efektif.

    3.2.2 Hubungan [Ks-2] dan [Ks-3]

    Teori zone pembelajaran guru dapat diterapkan dalam lingkup ethnography. Demikian juga sebaliknya, pemahaman zone tersebut membantu mengimplementasikan ethnography. Sebagai contoh, karena ethnography mensyaratkan peneliti membangun kepercayaan guru dan membangun hubungan baik dengan gate keeper, maka jika ini terwujud, peneliti mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memahami elemen-elemen dari ZPD, ZFM, dan ZPA guru, demikian juga hubungan antara unsur-unsur ketiga zone tersebut.

    3.2.3 Hubungan [Ks-1] dan [Ks-2]

    Hubungan antara kelima karakteristik dari program pengembangan profesi guru dan zone pembelajaran guru juga sangat kuat. Seperti dibahas sebelumnya, program ini bersifat terbuka sehingga peneliti tidak mungkin membuat perencanaan secara rinci. Oleh karena itu, pelaksanaan program pengembangan profesi guru memerlukan analisis, proses refleksi, perencanaan kembali, dan pembuatan keputusan secara terus menerus. Dalam hal ini, pemahaman terhadap elemen-elemen zone di atas berguna dalam menganalisis mengapa suatu strategi (dalam proses memfasilitasi guru) berjalan dengan baik atau tidak. Ini membantu peneliti dalam membuat keputusan tentang strategi selanjutnya. Patahuddin (2009) dalam penelitiannya telah membantu guru dalam memanfaatkan internet sebagai alat belajar dan mengajar matematika dan ia menemukan bahwa implementasi kelima karakteristik program pengembangan profesi guru menyebabkan kejadian-kejadian kritis yang membantunya memahami elemen ZPD dan ZFM dari guru serta hubungan-hubungan elemen dari zone tersebut.

    Gambar 1 Model Pengembangan Profesi Guru

  • 4. Penerapan Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik

    Bagian ini menyajikan contoh proses penelitian model pengembangan profesi guru secara otentik. Model ini diterapkan kepada seorang guru bernama Adam (nama samaran). Adam telah mengajar selama dua tahun di sekolah dasar (primary school) di Queensland, Australia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu Adam mengoptimalkan teknologi internet yang telah tersedia di kelasnya sebagai alat pembelajaran dan pengajaran matematika.

    Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara antara lain: kuesioner, interviu, participant-observation (pengamatan partisipatif), catatan lapangan (fieldnotes) atau diari penelitian, dan sumber-sumber tertulis misalnya dokumen kurikulum. Pelaksanaan penelitian ini mengacu pada ketiga konsep yang telah dipaparkan, yaitu lima karakteristik program pengembangan profesi guru yang efektif, zone pembelajaran, dan pendekatan ethnography.

    Keikutsertaan Adam dalam penelitian ini bersifat voluntary atau tanpa paksaan karena Adam berkeinginan belajar lebih banyak tentang penggunaan internet untuk pembelajaran matematika. Setelah melalui diskusi, Adam tampaknya memahami tujuan dari penelitian ini. Dia memahami bahwa peneliti datang ke kelasnya bukan untuk mengubah program pengajarannya tetapi akan menyesuaikan atau akan menawarkan sesuatu yang dianggap dapat berjalan, dan dapat mendukung pengajarannya, serta kehadiran peneliti adalah untuk membantu perbaikan pembelajaran siswa.

    Tahap persiapan penelitian ini adalah mengidentifikasi kerangka teori dalam bekerja dengan Adam, menginvestigasi seorang guru berpengalaman Any (bukan nama sebenarnya), seorang guru yang cakap menggunakan internet untuk pembelajaran dan pengajarannya. Peneliti juga mengikuti tutorial teknologi informasi, termasuk cara membuat website dan blog, mengeksplorasi berbagai website pembelajaran matematika, baik yang ditemukan sendiri, maupun yang direkomendasikan oleh Any, dan secara intensif menggunakan internet untuk merasakan potensi internet baik sebagai sumber informasi, alat kolaborasi dan komunikasi. Tahap ini sangat bermanfaat dalam membangun rasa percaya diri peneliti untuk bekerja dengan Adam, sekaligus bermanfaat dalam mengantisipasi berbagai strategi untuk mendorong Adam memanfaatkan internet sebagai alat belajar mengajarnya.

    Dalam ethnography, peneliti disyaratkan menjadi bagian dari konteks, menjadi orang dalam atau bukan seperti orang asing, being an insider instead of an outsider (Wolcott, 1988). Kesuksesan ethnography sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan guru terhadap peneliti (Hammersley & Atkinson, 1995). Oleh karena itu, dalam tiga bulan pertama, peneliti lebih banyak berperan seperti seorang asisten guru, membantu Adam dalam bentuk apa saja yang diperlukan saat itu, misalnya, bekerja dengan sekelompok siswa, bekerja dengan individu siswa yang memerlukan bantuan khusus, membantu membagikan alat peraga pada siswa, membagikan lembar kerja, memeriksa pekerjaan siswa, mengetik bahan-bahan pengajaran yang diperlukan oleh Adam, dan lain-lain meskipun bukan untuk keperluan pengajaran matematika.

    Setelah bekerja agak lama dengan Adam, beberapa kejadian penting menunjukkan bahwa peneliti telah mendapatkan kepercayaan dari Adam. Sebagai contoh, ketika peneliti menemani murid-murid Adam bermain di halaman sekolah, Adam mendatangi peneliti, menceriterakan program pengajarannya, mengundang peneliti untuk melihat dia melakukan asesmen dan wawancara pada siswanya untuk keperluan program remidi sekolah. Adam juga mempersilahkan peneliti menggunakan komputer yang ada di kelasnya, termasuk komputer yang secara rutin digunakan oleh Adam.

    Sejalan dengan peran peneliti sebagai pengamat partisipatif, peneliti secara terus menerus melakukan refleksi terhadap apa yang telah peneliti amati, dan mencoba menjawab bagaimana cara membantu Adam menggunakan internet sebagai alat belajar. Peneliti selalu berefleksi tentang hal apa yang telah peneliti pelajari dari Any, dari berbagai literatur, dan berupaya mencari cara mengarahkan Adam menggunakan internet tanpa bersifat paksaan.

    Setelah bekerja dengan Adam selama kurang lebih setahun, banyak strategi yang digunakan untuk menfasilitasi Adam menggunakan internet sebagai alat pengembangan profesinya atau alat pembelajaran matematika. Strategi yang dimaksud antara lain penggunakan email sebagai alat komunikasi, pengorganisasian website-website pembelajaran matematika ke dalam beberapa blog, ide membuat website kelas atau blog sebagai satu program kolaborasi, perencanaan dan perancangan investigasi matematika, menunjukkan website matematika dan bekerja dengan siswa di kelas menggunakan website yang telah diidentifikasi dan disetujui oleh

  • guru, pembuatan tabel yang memuat website sesuai dengan program pengajaran guru, dan memperkenalkan website yang memuat komunitas pembelajaran guru yang berpotensi mendukung pengembangan profesi guru.

    Dari sejumlah strategi yang digunakan untuk mendukung Adam, peneliti mengkategorikannya ke dalam lima fase. Dalam makalah ini hanya akan disajikan satu fase, yaitu fase pertama. Pada fase tersebut, pembaca dapat mencermati strategi-strategi yang telah digunakan peneliti mendorong Adam memanfaatkan internet sebagai alat belajar mengajar serta respon Adam terhadap strategi yang peneliti gunakan. Pada bagian akhir, kejadian-kejadian di kelas Adam akan dianalisis menggunakan kerangka teori model pengembangan profesi guru secara otentik.

    Namun demikian, sebelumnya akan diuraikan terlebih daulu konteks di mana Adam mengajar serta latar belakang tentang Adam.

    4.1 Konteks Adam Adam termasuk guru pemula, karena baru dua tahun mengajar di sekolah SD. Adam adalah sarjana

    pendidikan dan dia juga telah mengikuti beberapa program penataran guru, namun demikian tidak terkait dengan penggunaan internet untuk pembelajaran matematika.

    Dibandingkan dengan rata-rata sekolah negeri yang ada di Queensland, sekolah Adam termasuk sekolah kaya. Meskipun sekolah Adam disubsidi secara penuh oleh pemerintah dan sekolah tersebut gratis bagi semua siswa, komunitas orang tua banyak menyumbang pada sekolah tersebut, baik berupa bantuan finansial untuk mendukung operasional sekolah dan kegiatan sekolah, maupun dukungan secara akademik, misalnya banyaknya orangtua yang bersedia menjadi tenaga sukarela, membantu guru dalam proses pembelajaran siswa di dalam atau di luar kelas.

    Adam mengajar di Kelas II. Ruang kelas Adam lumayan luas dan memiliki fasilitas yang lengkap. Meja dan kursi untuk 25 anak disusun menjadi 5 kelompok dengan model L sedemikian sehingga terdapat bagian dari ruangan kelas tersebut yang kosong yang memungkinkan seluruh murid Adam duduk melingkar di atas lantai yang berkarpet.

    Di kelas tersebut, terdapat empat komputer yang terkoneksi dengan internet. seperti terlihat pada Gambar 2. Di sana juga terdapat sebuah printer dan data proyektor. Kelas itu juga dapat mengakses video jika mereka membutuhkannya. Di dalam kelas tersebut, terdapat banyak alat peraga. Hasil-hasil pekerjaan siswa dipajang di kelas. Murid-murid Adam juga dapat mengakses laboratorium komputer yang juga terkoneksi dengan internet. Meskipun sekolah tersebut mempunyai perpustakaan yang cukup besar dengan koleksi buku-buku yang banyak termasuk buku-buku terbitan baru, di kelas Adam juga terdapat lemari pajangan buku, sehingga murid-murid dapat dengan mudah mengambil buku ketika ada kegiatan silent reading atau kegiatan bebas di kelas. Di sekolah tersebut juga ada teknisi TIK, yang dapat dihubungi kapan saja diperlukan.

    Gambar 2 Kelas Adam yang dilengkapi dengan empat komputer

    Murid-murid Adam adalah heterogen, karena mereka berasal dari beberapa negara yang berbeda. Pada saat pelaksanaan penelitian ini, ada beberapa siswa yang belum lancar berbahasa Inggris sehingga pada jam-jam tertentu mereka meninggalkan kelas untuk mengikuti pelajaran khusus bahasa Inggris.

    Peran selaku pengamat partisipatif selama beberapa bulan di kelas Adam, membantu peneliti menjadi lebih memahami tingkat keahlian Adam dalam menggunakan internet. Ketika pertama bertemu Adam, dia diperkenalkan kepada peneliti sebagai seorang pakar TIK. Peneliti pun menemukan bahwa Adam telah terbiasa

  • menggunakan beberapa program komputer, termasuk Microsoft Word, PowerPoint, Excel, dan Kid Pix. Dia bahkan mengetahui cara membuat website dengan program FrontPage.

    Adam mempunyai akses internet yang cukup stabil dan cepat baik di rumah maupun di sekolah. Dia sudah terbiasa dengan internet, bahkan kegiatan sehari-harinya misalnya komunikasi, akses bank, dan berbelanja banyak yang menggunakan internet. Dia menjelaskan bahwa dirinya mulai mengenal internet saat di sekolah menengah sekitar tahun 1994, tetapi baru menggunakannya untuk belajar saat di Universitas. Dia pernah menggunakan internet sebagai bagian dari pengajaran sains dan bahasa.

    Pada awal Cawu 1 dalam periode penelitian ini, peneliti mengamati Adam mengelompokkan siswa dalam pembelajaran matematika, disebut sebagai rotasi matematika. Peneliti menyaksikan beberapa siswa sering membuat keributan atau kekacauan. Suatu hari, pada saat pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga, seorang anak menghamburkan dan melempar alat peraga yang ada di meja kelompoknya. Adam tampak berusaha untuk mengendalikan kelas, berupaya menerapkan teori pembelajaran kooperatif yang telah dipelajarinya. Dia memberikan peran pada setiap kelompok, misalnya sebagai ketua, sebagai pemonitor agar kelompoknya tidak bising, sebagai pemonitor atas terlaksananya tugas, dan lain-lain. Namun demikian tampak sebagian siswa tetap ribut dan Adam sering memberi peringatan. Hingga akhirnya pada suatu hari ia mengumumkan bahwa tidak ada lagi kegiatan rotasi. Sejak itu, Adam mengubah pembelajaran matematika dari yang bersifat kelompok menjadi pembelajaran klasikal.

    Melalui pengamatan tersebut, juga ditemukan beberapa pola dari pengajaran Adam. Dia biasanya memberikan tes kepada siswanya sebelum mengajarkan suatu topik baru. Dia menjelaskan bahwa tujuan pemberian tes adalah untuk membantunya mengidentifikasi apa yang perlu diajarkan kepada muridnya. Dalam mengajar, Adam sering mengikuti pola yang sama, yaitu menjelaskan konsep matematika, kemudian meminta siswa berlatih atau mengerjakan soal-soal yang ada di buku teks. Kemudian murid-murid tersebut membawa pekerjaannya ke Adam untuk diperiksa. Kadang-kadang siswa berbaris dalam antrian menunggu giliran pekerjaan mereka diperiksa. Meskipun kesan peneliti terhadap pengajaran Adam yang cenderung berpusat ke guru, Adam menilai pengajarannya yang tidak bersifat ceramah saja atau not chalk and talk. Dia menjelaskan bahwa dia selalu berusaha supaya matematika itu menarik bagi siswanya.

    4.2 Penggunaan Internet oleh Adam Dalam upaya memahami penggunaan internet oleh Adam, peneliti memintanya menyelesaikan kuesioner

    yang berkaitan dengan penggunaan internet sebagai sumber informasi, alat komunikasi dan kolaborasi, serta bagaimana menggunakan internet untuk pengajaran matematika.

    Dalam hubungan dengan internet sebagai sumber informasi, Adam mengindikasikan bahwa yang dia lakukan melalui internet adalah mengakses koran, dan ide-ide rencana pelajaran. Adam tidak menggunakan internet untuk menemukan informasi dari laporan penelitian, jurnal, atau buku-buku. Adam mengatakan bahwa dia menggunakan internet untuk menemukan bahan-bahan pengajaran matematika, misalnya rancangan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan rubric asesmen. Ketika Adam ditanya apakah internet digunakan untuk keperluan pengembangan profesinya, Adam meresponi limited and very time consuming, artinya terbatas dan banyak buang waktu secara sia-sia.

    Pada kuesioner itu juga diberi daftar penggunaan internet sebagai alat komunikasi, antara lain komunikasi email dengan pakar atau dengan guru lain, mailing lists, diskusi online, chat rooms, dan bulletin boards. Dari semua pilihan, yang dicentang oleh Adam adalah mailing list, yaitu Education Queensland Curriculum. Adam menjelaskan bahwa manfaat internet untuk pengembangan profesi guru terbatas. Dia katakan a good book is better. internet is very time consuming.

    Dalam hal kolaborasi, Adam memberikan informasi yang terbatas. Adam mengatakan bahwa dia pernah menggunakan EPALS (http://www.epals.com/) in 2005. Dari website ini, ditemukan informasi bahwa EPALS connects learners around the world for sharing and exchanges that foster literacy, language and critical thinking skills in a fun and safe environment. Adam mengutarakan bahwa dia mengikuti EPALS untuk menyelidiki perbedaan gaya hidup dan lingkungan. Ketika diminta menilai kemanfaatan internet sebagai alat kolaborasi, bagi Adam, hal itu tidak terlalu bermanfaat.

    Pengamatan peneliti terhadap penggunaan internet oleh Adam, peneliti menemukan bahwa dalam tiga bulan pertama berada di kelas Adam, peneliti tidak melihat siswa Adam memanfaatkan internet di kelas. Kadang-kadang peneliti melihat siswa tertentu yaitu dua orang yang ditugasi menggunakan komputer, yaitu mengetik tulisan anak yang ada di buku tulisnya. Kenyataan ini sangat berbeda dengan apa yang telah diamati peneliti di kelas Any. Any menunjukkan bagaimana dia menggunakan internet untuk memperkaya pembelajarannya dan

  • pengajarannya di kelas. Dengan hanya dua komputer yang terkoneksi dengan internet, siswa Any menggunakan komputer tersebut sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran sehari-hari.

    Melalui percakapan dengan Adam, peneliti mengetahui bahwa Adam tidak tahu banyak tentang website pembelajaran matematika. Tampak bahwa Adam secara konsisten mengatakan bahwa kegunaan internet untuk belajar masih terbatas, dan buang-buang waktu, tapi di sisi lain, dia juga mengakui kelebihannya yaitu "quick and easy", artinya cepat dan mudah. Kata-kata dan fenomena pada pengajarannya memunculkan pertanyaan bagaimana caranya membantu Adam untuk mengoptimalkan internet sebagai alat pembelajaran.

    4.3 Mempromosikan Penggunaan Internet pada Adam Fokus pertama adalah mendukung pengajaran matematika Adam menggunakan internet. Pada Minggu ke-

    2 Cawu 2, terdapat pengajaran berikut yang terekam dalam diary penelitian: Adam mengajar tentang waktu. Semua siswa duduk di atas karpet sedangkan Adam duduk di kursi. Dia membawa sebuah model jam yang memuat jarum penunjuk yang dapat diputar baik jarum pendek maupun jarum panjangnya. Adam bertanya: Jam berapa ini? Siswa menjawab, jam 11, jam 12, dan seterusnya. Dia beberapa kali mengajukan pertanyaan yang sama. Saya mendengar beberapa siswa mengatakan, itu mudah!. Menurut pengamatan saya, Adam ingin meyakinkan bahwa siswa bisa melihat bahwa jam 11 misalnya, artinya jarum pendek menunjuk angka 11 dan jarum panjang menunjuk angka 12. Jam berikutnya terjadi setelah sekali perputaran jarum panjang kembali ke angka 12. [26/04/06]

    Dalam refleksi peneliti terhadap pengajaran Adam, peneliti menyadari bahwa pengajaran tersebut tidak menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berfikir dengan cara yang berbeda-beda. Khususnya bagi siswa yang sudah tahu, maka pengajaran tersebut tidak memberikan tantangan sama sekali. Adam tidak merespon siswa yang mengatakan itu mudah, mudah!

    Kejadian di atas mengingatkan peneliti pada temuan peneliti pada kasus Any. Any mengatakan bahwa internet dapat melayani kebutuhan yang berbeda-beda bagi siswa. Oleh karena itu, peneliti mencari website yang relevan dengan materi waktu. Satu website yang peneliti temukan berjudul Stop the clock. Gambar pada layar komputer menunjukkan 5 gambar jam dan 5 kotak untuk jam digital seperti pada Gambar 3. Perintah pada website tersebut adalah pasangkan jam analog dengan gambar jam dan jika selesai, klik STOP THE CLOCK untuk mengecek jawabannya dan untuk mengetahui berapa lama pengguna mengerjakan soal tersebut.

    Saya menemukan tiga tingkat kesulitan dalam latihan ini. Pada Level 1, waktu yang diberikan pada gambar adalah satu jam-an atau setengah jam-an. Pada Level 2, waktu yang diberikan dalam setengah jam-an atau seperempat jam-an. Sedangkan pada Level 3, waktunya berupa interval lima menitan, seperti pada Gambar 3.Saya juga menemukan beberapa permainan sepertiSet the Clock di mana pengguna internet harus mengklik tanda panah untuk menunjukkan jam yang diminta seperti tertulis pada layar. Permainan lainnya adalah a matching game di mana pengguna diminta untuk memasangkan waktu yang dinyatakan dalam gambar jam dan waktu digital, dan permainan lain yang membutuhkan konsentrasi juga mengenai memasangkan jam yang sama dengan representasi yang berbeda.

    Pada proses pencarian website tentang waktu ini, peneliti juga menemukan sebuah website yang berkaitan dengan pengukuran, yang berjudul Estimation of length. Hal ini mengingatkan peneliti dengan pembelajaran matematika seminggu sebelumnya seperti yang tercatat dalam diary penelitian berikut:

    Adam meminta saya bekerja dengan sekelompok siswa. Saya membantu siswa mengukur panjang balkoni Kelas 2 dengan menggunakan kayu-kayu yang berukuran 1 meter. Sedangkan Adam sendiri mengajar sains dalam kelas. Dia mengirim empat atau lima siswa setiap sekitar 15 menit. Saat itu, tampaknya siswa menyenangi kegiatan tersebut dan kami mendiskusikan mengapa ukuran dari balkoni pada setiap anak berbeda. Kami juga mendiskusikan benda-benda di sekitar kami yang panjangnya sekitar 1 meter, kurang dari atau lebih dari 1 meter. Dalam diskusi ini, saya menemukan beberapa siswa yang berfikir kritis. Mereka memberi alasan mengapa dengan balkoni yang sama, hasil pengukuran dari beberapa anak berbeda, antara lain karena cara teman-temannya mengukur yang berbeda, misalnya letak kayu tersebut miring. [20/04/06]

    Peneliti berfikir bahwa website Estimation of length akan sangat bagus bagi pengajaran Adam atau bagi siswanya untuk membantu siswa memahami pentingnya pengukuran dalam kehidupan sehari-hari. Website tersebut memuat penjelasan, demonstrasi, dan menvisualisasikan proses pengukuran yang tepat, serta menunjukkan letak pentingnya pengukuran dalam kehidupan sehari-hari.

    Sebagai tambahan, website ini mengenalkan istilah-istilah pengukuran misalnya jarak, lebih panjang, lebih pendek, dan lain-lain. Saya berfikir bahwa website ini akan membantu para murid untuk pemahaman pengukuran, estimasi, dan untuk pemantapan pengetahuan siswa, sehingga saya menyimpulkan bahwa ini adalah sumber pembelajaran yang berharga bagi Adam. Website-website yang telah saya temukan, saya susun dan saya

  • taruh ke dalam blog khusus (http://onlineresources4fika.blogspot.com/2006_04_01_archive.html) untuk memudahkan Adam maupun saya mendapatkan kembali website ini. Apa yang terjadi atas usaha ini? Diberikan dalam catatan diary penelitian berikut.

    Di tengah-tengah pembelajaran matematika berlangsung, Adam berjalan mengelilingi kelas. Ketika Adam mendekat kekomputer di mana saya duduk. Saya menghampiri Adam dan mengatakan bahwa saya telah menemukan beberapa website untuk siswanya. Dia kemudian bertanya apakah saya menginginkan supaya siswa bersama saya belajar menggunakan website yang telah saya dapatkan? Saya meresponinya bahwa saya memerlukan bantuannya dulu untuk mengecek kesesuaian website ini bagi siswanya. Dia kemudian mengklik website pengukuran yang telah saya cantumkan pada sebuah blog. Dia melihatnya kemudian dia beralih ke website lain karena dengan alas an website tersebut terlalu berciri Amerika [menggunakan satuan kaki]. Dia kemudian mengklik level 2 dari STOP THE CLOCK karena website tersebut cocok untuk Kelas 2, demikian alas an Adam. Dia menemukan bahwa halaman itu memuat jam yang seperempatan dan ini bukan menjadi bagian program pengajarannya. Dia mengatakan bahwa hal tersebut agak sulit bagi siswa. Dia kemudian membuka Level 1 dan dia memutuskan bahwa Level 1 yang cocok untuk siswanya. Dia kemudian meminta saya bekerja dengan 4 siswa menggunakan 2 komputer. Keempat siswa kemudian bekerja secara berpasangan. Saya mengarahkan siswa mengerjakan Level 1. Para siswa mengerjakannya dan hanya dalam beberapa menit pada umumnya siswa sudah dapat memasangkan jam digital dengan jam pada gambar. Beberapa dari mereka pun berkata, ini mudah dan bertambah mudah. Seorang siswa bertanya, bisakah kami ke level berikutnya. Siswa lain yang mendengarnya juga setuju dengan ide itu. Saya kemudian membolehkan mereka mengklik Level 2. Dengan beberapa diskusi di antara mereka, mereka semua pada akhirnya dapat menyelesaikan soal pada Level 2 tersebut. Beberapa menit kemudian, ada siswa lagi yang mengatakan, ini tambah mudah. Mereka kemudian bersepakat masuk ke Level 3. Tampak mereka mulai kesulitan. Saya kemudian meminta seorang siswa mengambil model jam, dan mendemonstrasikan seperti apa 5 menit-an. Seorang siswa pun beberapa kali menggunakan model jam untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Jadi hanya dengan sedikit bantuan, para siswa ini dapat menyelesaikan latihan tersebut dalam berbagai level. Akhirnya para siswa ini meminta ijin untuk membuka website permainan yang masih berkaitan dengan waktu seperti pada Gambar 4. Beberapa siswa lain datang mendekat dan bertanya kapan kesempatan bagi mereka untuk mengerjakan hal tersebut. Mereka tampak mau tahu juga dan komentar yang saya dengar dari mereka Cooooooool. Artinya bagus atau menarik sekali. Satu dari siswa tersebut bahkan mencoba memegang mouse komputer yang mengindikasikan keinginan yang kuat untuk turut mengerjakan hal yang sama yang dilakukan temannya. Sejalan dengan aktivitas ini, Adam sendiri tetap melanjutkan membimbing siswanya mengerjakan soal-soal penjumlahan bilangan. [27/04/06]

    Selama kegiatan dengan internet ini, para siswa sangat antusias. Mereka terlibat diskusi dan bekerja bersama dengan pasangannya. Mereka tampak tertantang dengan meningkatnya tingkat kesulitan sejalan dengan meningkatnya Level website tersebut. Saya menemukan bahwa siswa ternyata mampu menyelesaikan masalah yang tingkat kesulitannya lebih kompleks dari pada apa yang diduga oleh Adam.

    Pada saat istirahat, Adam mendatangi saya untuk mengecek pelaksanaan kerja kelompok siswa menggunakan internet. Saya menceriterakan dan mengatakan bahwa semua siswa berhasil menyelesaikan semua soal yang ada pada Level 1 hingga 3. Saya membiarkan mereka karena mereka selalu mengatakan mudah setelah beberapa kali mengerjakan setiap level. Saya menyampaikan ke Adam bahwa mereka tampak antusias sekali.

    Adapun reaksi Adam seperti yang tercatat dalam diary penelitian saya:

    Adam lalu mengecek kembali website yang telah saya tunjukkan sebelumnya. Dia memperhatikan website-website tersebut dan berkomentar It looks interesting. Artinya menarik tampaknya. Adam kemudian menanyakan URL dari website tersebut karena dia ingin membuat link website ini ke website kelasnya. Gambar 5 menunjukkan link yang dibuat oleh Adam. Adam juga memutuskan untuk membuat link dengan blog yang telah saya buat dan menamainya Grade 2 web games. Dia mengerjakan semua ini hanya sekitar 2 menit. Dengan mengklik link tersebut, pengguna internet dapat mengakses blog yang saya buat yang memuat website pembelajaran matematika yang dapat berguna baik bagi siswa maupun bagi guru. Adam selanjutnya memperlihatkan saya program mengajar tahunannya. Saya berterima kasih dan saya mengatakan bahwa program ini dapat membantu saya mencari website pembelajaran matematika yang bersesuaian dengan topik yang telah ada. [27/04/06]

    Hal yang dilakukan Adam menunjukkan betapa mudahnya Adam membuat link website jika Adam menghendaki, dan ini dapat bermanfaat bagi siswa, baik ketika siswa di kelas maupun ketika siswa di rumah. Kejadian ini memberikan harapan baru bagi saya bahwa Adam dapat membuat lebih banyak link yang bermanfaat bagi siswa maupun dirinya dan hal ini tidak memerlukan waktu yang lama bagi Adam untuk melakukannya.

  • Saya bahkan berfikir bahwa suatu hari Adam bisa memberi workshop pada guru-guru lainnya untuk berbagi ide dan pengalaman mengajarnya menggunakan internet seperti yang dilakukan oleh guru yang telah saya teliti sebelum penelitian dengan Adam. Saya ungkapkan pemikiran ini ke Adam seminggu setelah itu dan dia merespon positif pada ide tersebut. Akhir dari percakapan hari itu adalah, bahwa Adam sebenarnya lebih memilih memperkenalkan website dengan menggunakan data proyektor. Dia beralasan bahwa hal tersebut memungkinkan semua siswa melihat website tersebut. Saya mendukung ide Adam dan mengatakan bahwa setelah dia memperkenalkan website itu dengan data proyektor, murid mereka dapat bekerja kelompok bersama saya. Dia setuju juga dan dia mengatakan ide tersebut adalah baik.

    Seusai kunjungan ke sekolah pada hari tersebut, saya langsung menganalisis kejadian di kelas, berefleksi tentang apa yang saya pahami tentang pengajaran Adam. Saya merefleksi tentang arah dari pekerjaan saya dengan Adam. Tampaknya bahwa saya membuat sejenis transisi yang alamiah dari seorang asisten Adam mejadi orang yang mempromosikan penggunaan internet untuk pembelajaran matematika. Saya merasa ini sebuah kesuksesan. Saya berfikir ini adalah strategi yang efektif karena saya memodelkan ke Adam cara mengintegrasikan internet dalam pembelajaran matematika. Adam tidak harus mengubah kelasnya, dan dia dapat melihat saya melakukannya, dia dapat melihat bagaimana siswa merespon kegiatan belajar dengan internet. Adam bisa melihat bagaimana siswa menyenangi pembelajaran itu. Tampaknya bahwa dengan kerja saya membantu siswa belajar matematika dengan menggunakan internet dapat memancing perhatian Adam dan membuat Adam tertarik dengan sumber-sumber belajar online. Ini mungkin yang dimaksudkan ke saya bahwa dia akan sangat senang bekerja sama dengan saya demi kepentingan pembelajaran siswanya.

    Saya berharap Adam akan membuat keputusan sendiri untuk mencoba memanfaatkan internet untuk pembelajaran siswanya. Harapan selanjutnya bahwa dengan adanya keinginan ini, maka Adam akan punya lebih banyak waktu mengeksplorasi website pembelajaran matematika. Dengan demikian harapan bahwa Adam akan menjadikan internet sebagai alat belajar dan alat pengembangan profesinya akan terwujud dan inilah yang menjadi tujuan utama penelitian ini.

    Seminggu setelah bekerja dengan murid Adam menggunakan website jam, Adam meminta lagi pada saya untuk bekerja dengan sekelompok siswa, siswa yang mereka pandang unggul di kelas tersebut. Saya tidak punya rencana untuk hal ini. Saya tidak mengantisipasi hal ini, sebagai terekam dalam diary penelitian saya.

    Adam memberi saya 4 siswa untuk belajar bersama. Saya kemudian meminta siswa untuk berkumpul di depan kelas. Di depan kelas Adam cukup luas dan banyak tempat duduk dan meja yang telah di atur berkelompok-kelompok. Saya meminta siswa tersebut membuat masalah matematika sendiri untuk kemudian dijawab sendiri. Ide dadakan ini saya lakukan sambil memikirkan apa yang akan saya kerjakan bersama siswa ini. Saya mengalami kesulitan dalam mengatur siswa ini karena mereka tidak mau berhenti bicara satu sama lainnya. Saya kemudian mengatakan padanya bahwa kita akan belajar menggunakan komputer. Mereka tampak bahagia dan menyatakan sikap setujunya. Kami kemudian bersama-sama masuk ke ruang kelas menuju dua komputer yang saling berdampingan dan dengan cepat saya mencari website yang telah saya identifikasi dari Education Queensland website. Website ini berkenaan dengan algoritma penjumlahan bilangan dengan dua angka.

    Setelah siswa menyelesaikan 9 soal yg ada pada website tersebut, saya membuka website lain di mana siswa dapat bekerja dengan alat peraga virtual Base Block Addition, bagian dari website the National Library Virtual manipulatives (NLVM). Website ini memuat instruksi Base blocks consist of individual units, longs (containing 10 units), flats (containing 10 longs), and blocks (containing 10 flats) and can be used to show place value for numbers and to increase understanding of addition and subtraction algorithms. (lihat Gambar 6). Pada saat itu, saya menemukan sedikit kesulitan mengarahkan siswa, karena saat saya mencoba menjelaskan, mereka kurang memperhatikan dan siswa langsung bereksperimen sendiri. Mereka tampak penasaran. Setelah beberapa menit bekerja dengan website ini, satu pasang siswa meminta untuk melihat website lainnya. Saya kemudian minta mereka membuka website lain yang lebih menantang Number Builder di mana mereka akan diminta berfikir kritis untuk menyelesaikan teka-teki matematika. Saya telah menempatkan ketiga website tersebut pada blog saya (http://onlineresources4fika.blogspot.com/2006_05_01_archive.html.) seperti terlihat pada Gambar 6. Setelah pelajaran selesai, Adam bertanya tentang pelaksanaan pembelajaran siswa bersama saya. Saya kemudian menunjukkan website yang diakses oleh siswa dan dia mengomentari website Virtual Manipulative dan mengatakan Interesting! I love this website. Saya pun menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan blog saya yang lain yang berisis website matematika (bisa dilihat di: http://www.mathyear2.blogspot.com/,) dimana saya menempatkan website pilihan termasuk website favorit dari Any. [03/05/06]

  • Ini adalah kesempatan kedua saya bekerja dengan kelompok siswa menggunakan internet. Kesempatan pertama sebagai akibat saya mengkomunikasikan temuan website saya untuk siswanya. Saya pun menyetujui usulan dia mengirim beberapa siswa bekerja dengan saya. Namun untuk hari ini berbeda. Ketika saya barus saja tiba di kelas saya diminta membantu empat siswa dan saya tidak mengantisipasi ini. Sebagai pengamat partisipatif, saya senang melakukan hal ini, tetapi sebagai peneliti, saya tidak berharap arah pekerjaan saya seperti demikian. Saya ingin mendukung Adam untuk memanfaatkan internet sebagai alat belajar maupun alat pengajarannya, bukan saya yang secara khsus bertugas bekerja dengan siswa menggunakan internet.

    Saya mencoba menganalisis kejadian ini dan saya menemukan dua kemungkinan alasan mengapa Adam meminta saya bekerja dengan siswa. Pertama, beberapa hari sebelum itu, kami memperbincangkan tentang siswa, yang sebagian sering mengatakan easy atau very easy pada tugas penjumlahan bilangan. Adam kemudian mengutarakan keinginannya mencari cara mengatasi hal ini, cara melayani siswa yang berkemampuan di atas rata-rata. Saat itu saya katakan bahwa satu cara yang ada dalam pikiran saya adalah memanfaatkan nternet yang telah tersedia di kelas mereka.Saya pun mengatakan bahwa saya bisa membantu mencarikan website matematika bagi mereka, dan Adam mengucapkan terima kasih atas usulan saya tersebut. Bisa terjadi bahwa Adam menginterpretasi lain maksud saya atau saya yang tidak menjelaskan secara jelas saat itu, saat di mana Adam dalam situasi sibuk di kelasnya.

    Kemungkinan kedua adalah, Adam menganggap bahwa bekerja dengan siswa merupakan bagian dari penelitian saya. Saya sebenarnya senang saja memodelkan bagaimana menggunakan internet dengan siswa tetapi Adam mungkin saja melihat bahwa saya pada dasarnya ingin membantu Adam. Dia sering berterima kasih pada saya, dan beberapa kali memperkenalkan saya kepada guru lain, atau orang tua murid bahwa Sitti is very helpful.

    Saya juga berefleksi dengan kejadian bekerja dengan siswa yang kemampuan di atas rata-rata kelas. Saya menemukan bahwa siswa sudah sangat terbiasa dengan internet. Mereka mungkin melihat komputer hanya seperti boneka. Jadi bukan hal yang menakutkan, bukan hal yang sulit dipakai. Episode-episode ini membuat saya berfikir lebih mendalam, bagaimana saya harus melakukan pekerjaan untuk membawa Adam melihat potensi internet sebagai alat belajar dan membawa mereka untuk memanfaatkan teknologi mahal yang telah tersedia di kelas tersebut.

    4.4 Analisis Hubungan dengan Kerangka Teoritis Seperti disajikan dalam bagian pendahaulun bahwa lima karakteristik program pengembangan guru yang

    efektif adalah: berkelanjutan (K-1), bersifat kolaboratif (K-2), berorientasi pada kebutuhan belajar siswa (K-3) mempertimbangkan/memperhitungkan individu guru dan konteksnya (K-4), dan berfokus pada upaya pendalaman materi matematika dan strategi pengajarannya (K-5).

    Terkait dengan K1, dengan pelaksanaan penelitian ini selama kurang lebih setahun, dan penggunaan email sebagai alat komunikasi, serta penyediaan website bagi Adam yang bisa diakses kapan dan dimana saja, diharapkan dapat menimbulkan efek keberlanjutan pembelajaran Adam.

    Sifat program ini juga mengedepankan sifat kolaboratif antara peneliti dan guru. Pada fase 1, bukti-bukti adanya kolaborasi antara peneliti dan Adam tampak misalnya ketika peneliti membantu Adam menyediakan website dan kesediaan Adam untuk mengecek dan mendiskusikan website tersebut.

    Karakteristik yang ketiga adalah bahwa program pengembangan profesi guru harus berorientasi pada siswa. Peneliti mempromosikan website pembelajaran matematika yang dapat memberi kesempatan siswa mempelajari matematika dalam beberapa tingkat kesulitan yang berbeda. Dengan kata lain, upaya peneliti mencari website pembelajaran tersebut didasarkan pada kebutuhan belajar siswa. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa internet dapat digunakan untuk memperkaya pembelajaran siswa, tetapi banyak program training TIK bagi guru gagal menjelaskan bagaimana guru mengintegrasikannya dalam pembelajaran di kelas mereka. Studi ini menunjukkan efek dari mempromosikan internet langsung dalam kelas mereka.

    Karakteristik yang ke empat adalah mempertimbangkan konteks sekolah dan individu guru. Karena internet telah tersedia di kelas Adam dan Adam belum memanfaatkannya, maka peneliti berusaha agar teknologi yang mahal tersebut dapat dimanfaatkan. Hal ini sudah tentu berbeda ketika guru-guru dikenalkan website pembelajaran dalam sebuah pelatihan, sedangkan guru tersebut tidak memiliki fasilitas tersebut di sekolah mereka.

    Karakteristik yang kelima juga diterapkan dalam penelitian ini. Semua strategi yang diterapkan dalam mempromosikan penggunaan internet juga ditujukan untuk membantu guru dalam meningkatkan pemahaman matematika dan cara pengajaran matematika tersebut. Memperkenalkan banyak website sebagai sumber pembelajaran, termasuk website yang memuat petunjuk pengajaran matematika termasuk bagian dari program

  • ini. Website yang disiapkan untuk Adam juga diharapkan akan membantu membangun pemahaman suatu konsep matematika, yaitu antara lain representasi konsep dalam berbagai bentuknya.

    Dengan demikian, pelaksanaan penelitian ini untuk mempromosikan internet sebagai alat pembelajaran dan pengajaran guru, telah mengacu kepada karakteristik-karakteristik dari program pengembangan guru yang efektif.

    Selanjutnya, berkaitan dengan kerangka teori yang ditawarkan, yaitu memperhatikan zone pembelajaran guru, penelitian ini secara cermat memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi pembelajaran guru. Dari strategi yang dipaparkan di sini, maka faktor ZFM, yaitu adanya fasilitas internet yang tersedia, maka peneliti berupaya menggunakan fasilitas tersebut. Dengan adanya keinginan guru untuk menyajikan website dengan menggunakan data proyektor (unsur ZPD, yang lebih cenderung mengajar dengan cara klasikal), maka peneliti menyiapkan website yang relevan dengan program pengajarannya. ZPA adalah upaya peneliti untuk membantu guru dan sifatnya disesuaikan dengan keadaan kelas serta keadaan Adam itu sendiri.

    Sedangkan hubungannya dengan ethnography, maka dari sajian sebelumnya, nampak bagaimana peneliti berusaha menjadi insider, membangun kepercayaan guru, mencermati situasi yang ada dan selalu melakukan refleksi dalam upaya memahami kejadian demi kejadian dan uapaya membuat keputusan tentang apa yang perlu dilakukan pada tahap-tahap selanjutnya.

    5. Simpulan dan Saran Studi dengan Adam menunjukkan upaya seorang peneliti yang bermaksud membawa suatu perubahan

    atau menawarkan suatu inovasi, dalam hal ini memanfaatkan teknologi internet yang telah tersedia di dalam kelas Adam. Adam tidak diminta untuk mengikuti pelatihan khusus di luar kelas, sebagaimana yang umum terjadi pada penataran-penataran. Ini berarti Adam masih tetap bisa bersama dengan siswanya. Peneliti pun dalam menawarkan ide, didasarkan pada kebutuhan lapangan saat itu atau situasi dan kondisi nyata yang dihadapi guru. Dengan pelaksaan di dalam kelas, maka peneliti mempunyai kesempatan mengamati kebutuhan belajar siswa atau permasalahan belajar yang dihadapi oleh siswa. Peran peneliti yang sifatnya lebih banyak membantu atau menempatkan diri sebagai bagian dari kelas itu (partisipant observer), memberi manfaat bagi peneliti, yaitu kesempatan mencermati permasalahan dari dalam system yang sedang diselidiki. Fase 1 hanyalah sebagian kecil dari fase yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini, dan melalui fase ini dapat dilihat efek langsung dari strategi yang digunakan peneliti untuk membawa Ada tertarik atau terpancing menggunakan Internet.

    Pentingnya penelitian menggunakan model otentik ini dapat ditinjau sekurang-kurangnya dari empat aspek, yaitu: kebijakan pemerintah yang menuntut terciptanya guru profesional, peningkatan hasil belajar siswa, pengembangan institusi tempat tim peneliti bertugas, dan implikasi teoretik untuk pengembangan profesi guru dalam konteks Indonesia.

    5.1 Aspek Kebijakan. Pengembangan profesi guru yang lebih otentik mendukung terciptanya guru yang profesional. Ciri berkelanjutan dan kolaboratif dari program ini akan memberi kesempatan yang luas bagi guru untuk memahami materi matematika dan aspek pengajarannya secara lebih mendalam. Guru mempunyai kesempatan menerapkan konsep pengajaran yang telah dipelajarinya, mendapatkan umpan balik, dan melakukan refleksi atas pengajarannya. Dengan demikian, program ini akan memberi kesempatan perolehan pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri pada guru lain (sebagai contoh, Abdal-Haqq, 1996; Franke, Carpenter, Levi, & Fennema, 2001; Newell, Wilsman, Langenfeld, & McIntosh, 2002; Wiske, Sick, & Wirsig, 2001). Program ini dapat sekaligus membantu guru dalam membangun portofolio mereka karena guru dapat difasilitasi merancang pembelajaran, belajar meneliti di kelasnya, dan membuat karya tulis ilmiah untuk dipresentasikan di forum ilmiah atau dipublikasikan di media ilmiah.

    Jika penelitian ini dapat mengungkapkan faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan profesi guru, maka hasil penelitian ini dapat memberi informasi pada pembuatan kebijakan tentang hal-hal yang diperlukan dalam pengembangan profesi guru. 5.2 Aspek pengembangan institusi. Aspek penting yang kedua adalah untuk pengembangan institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab mempersiapkan guru profesional. Dengan pendekatan ethnography yang mensyaratkan penelitian ini dilakukan di sekolah dan dalam situasi apa adanya, akan memberi kesempatan yang luas pada peneliti untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang persekolahan, karakteristik terkini dari siswa, dinamika pembelajaran di kelas, tantangan pembelajaran yang ada di lapangan, dan lain-lain. Hal ini akan membantu memberikan gambaran yang lebih valid tentang apa yang perlu dibekali pada mahasiswa agar mampu menjadi guru yang profesional.

    5.3 Aspek hasil belajar siswa. Program pengembangan profesi guru secara otentik diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan hasil belajar siswa dengan alasan sebagai berikut. Pertama, dengan ethnography

  • yang mensyaratkan penelitian ini dilaksanakan di sekolah dalam waktu yang relatif lama dan tanpa menganggu jadwal pelajaran siswa, maka guru dapat tetap mengajar di sekolah. Kedua, dengan sifat kolaboratif antara guru dan peneliti (guru bukan pihak yang dinilai dan dosen/peneliti bukan penilai), kedua pihak akan menfokuskan pada bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran siswa. Kehadiran peneliti untuk membantu menganalisis kesulitan siswa, merancang tugas pembelajaran untuk melibatkan siswa berfikir matematika, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Ketiga, Bila penelitian yang menerapkan model otentik ini dapat dilaksanakan intuk menganalisis tipe soal yang biasanya muncul dalam UNAS, untuk selanjutnya merancang pembelajaran yang bermakna untuk memahami soal tersebut. Dengan demikian penelitian ini diharapkan memberi fondasi pemahaman yang akan membantu siswa menghadapi ujian nasional.

    5.4 Aspek teoretis. Aspek terakhir adalah implikasi teoretis. Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya peningkatan kualitas para guru dengan menyiapkan banyak bentuk pelatihan. Demikian juga masyarakat dari berbagai institusi tampaknya menggalakkan berbagai seminar dan workshop bagi guru-guru. Namun demikian, penelitian yang mengungkapkan apa dan bagaimana para guru belajar dari kegiatan tersebut masih sulit ditemukan. Demikian juga terbatasnya penelitian yang menyelidiki tentang dampak berbagai pelatihan terhadap perubahan pengajaran guru di kelas dan dampak terhadap hasil belajar siswa. Oleh karena itu, pendekatan ethnography diharapkan akan mengungkapkan hal-hal tersebut. Penelitian dengan model otentik ini diharapkan akan menemukan faktor-faktor personal dan kontekstual yang mendukung dan menghambat guru dalam pengembangan profesinya. Dengan demikian implikasi teoretis pun dapat dikembangkan.

    Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang dalam posisi akan membawa pembaharuan di kelas, akan bermaksud memperbaiki pengajaran di kelas maka mereka tidak cukup hanya mendiseminasikan melalui seminar atau mensimulasikannya, tetapi mereka perlu terlibat langsung di kelas. Ketika mengalami langsung di kelas, maka diperlukan suatu pendekatan yang powerful dan di sinilah kerangka teori yang ditawarkan ini dapat bermanfaat.

    Dengan kata lain, jika kita bermaksud memberi dukungan pada guru, maka tentunya kita harus mengenali situasi ril guru, memahami pengetahuan guru tentang matematika dan keyakinan guru tentang pengajaran matematika itu sendiri. Karena tanpa itu, tidak sedikit bukti dan pengakuan para trainer bahwa guru sulit berubah. Kita memerlukan informasi yang lebih valid tentang faktor apa yang mendukung dan menghambat terjadinya perubahan itu. Tanpa hal demikian, maka bisa terjadi banyak uang, energi dan waktu yang sia-sia tanpa ada hasil yang jelas. Dan pemahaman yang mendalam tentang situasi ril sehubungan dengan tugas mengajar guru dapat dipahami secara lebih baik melalui penerapam model pengembangan profesi guru secara otentik.

    Dari sajian di atas, dapat dilihat bahwa proses yang terjadi tidak linier atau relatif kompleks. Namun demikian, pelaksanaan yang demikian diharapkan mempunyai dampak positif yang cukup signifikan. Andaikan pun kita tidak berhasil dapat membawa perubahan, maka setidaknya kita mendapatkan wawasan mengapa perubahan itu sulit terlaksana, dan hal ini akan membawa kita pada langkah yang lebih maju dalam mengatasi permasalahan pengajaran di kelas.

    Cuplikan dari contoh kasus dalam studi ini memberi perpektif lain dalam menginvestigasi pengembangan profesi guru. Ini dicirikan dengan jelas oleh sifatnya yang natural, tidak linier dan interaktif. Meskipun sifat kasus yang diberikan bersifat individual, tetapi hal ini dapat ditransformasi ke kelompok guru yang lebih besar. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut yang menerapkan model ini baik pada berbagai tipe guru, berbagai konteks sekolah yang berbeda diperlukan. Dengan upaya ini, maka pembaharuan yang dicita-citakan dapat terjadi di kelas, atau jika tercapai, faktor-faktor penyebabnya dapat diselidiki secara lebih cermat.

    Daftar Pustaka

    Abdal-Haqq, I. (1996). Making time for teacher professional development: ERIC Publications.

    Allan, G. (1991). Qualitative research. In G. Allan & C. Skinner (Eds.), Handbook for Research Students in the Social Sciences (pp. 177-189). London: Falmer Press.

    Borko, H. (2004). Professional development and teacher learning: mapping the terrain. Educational Researcher, 33(8), 3 - 11.

  • Borko, H., Mayfield, V., Marion, S., Flexer, R., & Cumbo, K. (1997). Teachers' developing ideas and practices about mathematics performance assessment: successes, stumbling blocks, and implications for professional development. Teaching and Teacher Education, 13(3), 259-278.

    Borko, H., & Putnam, R. T. (1996). Learning to teach. In D. C. Berliner (Ed.), Handbook of Educational Psychology (pp. 673-708). New York: Prentice Hal International.

    Burns, R. B. (2000). Introduction to research methods (4 ed.). Frenchs Forest, N.S.W: Pearson Education.

    Ernest, P. (1997). The Epistemological basis of qualitative research in mathematics education: A postmodern perspective. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph, 9, 22-39.

    Fetterman, D. M. (1989). Ethnography. Step by step (Vol. 17). Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications.

    Fetterman, D. M. (1998). Ethnography: step by step (2nd ed. Vol. 17). Newbury Park; London; New Delhi: Sage Publications.

    Franke, M. L., Carpenter, T., P., Levi, L., & Fennema, E. (2001). Capturing teachers' generative change: A follow-up study of professional development in mathematics. American Educational Research Journal, 38(3), 653.

    Freebody, P. (2003). Qualitative research in education: Interaction and practice. London: Sage Publications.

    Gay, L. R., & Airasian, P. (2000). Educational research: Competencies for analysis and application (6 ed.). Upper Saddle River, New Jersey: Merrill.

    Goos, M. (2005a). A sociocultural analysis of learning to teach. In H. Chick (Ed.), The 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 3, pp. 49-56). Melbourne, Australia.

    Goos, M. (2005b). A sociocultural analysis of the development of pre-service and beginning teachers pedagogical identities as users of technology. Journal of Mathematics Teacher Education, 8(1), 35-59.

    Goos, M. (2006, December 3-8). Understanding technology integration in secondary mathematics: Theorising the role of the teacher. Paper presented at the 17th ICMI Study, "Digital technologies and mathematics teaching and learning: Rethinking the terrain", Hanoi University of Technology.

    Goos, M., Dole, S., & Makar, K. (2007a). Designing professional development to support teachers' learning in complex environment. Mathematics Teacher Education and DEvelopment, 8(Special issue), 23-47.

    Goos, M., Dole, S., & Makar, K. (2007b). Supporting an investigative approach to teaching secondary school mathematics: a professional development project. In J. Watson & K. Beswick (Eds.), The 30th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia (Vol. 1, pp. 325-334). Melbourne: MERGA Inc.

    Goos, M., Stillman, G., & Vale, C. (2007). Teaching secondary school mathematics. Research and practice for the 21st century. Sydney: Allen & Unwin.

    Gordon, T., Holland, J., & Lahelma, E. (2001). Ethnographic research in educational settings. In P. Atkinson, A. Coffey, S. Delamont, J. Lofland & L. Lofland (Eds.), Handbook of ethnography (pp. 188-203). London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

    Hammersley, M. (1990). Classroom ethnography: empirical and methodological essays. Philadelphia: Open University Press.

    Hammersley, M., & Atkinson, P. (2007). Ethnography: principles in practice (3rd ed.). Milton Park, Abingdon, Oxon; New York: Routledge.

    Jalal, F. (2007). Sertifikasi guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu [Teacher's certification to achieve quality education]. Retrieved January 22, 2008, from

  • http://sertifikasiguru.org/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=69&cntnt01returnid=63

    Kedaulatan Rakyat. (2006). Certification is not the objective; it is only a means to produce qualified teachers. Retrieved November 2, 2007, from http://www.sampoernafoundation.org/content/view/472/308/lang,en/

    Kompas. (2007a). Certification program should fulfil the sense of justice. Retrieved November 1, 2007, from http://www.sampoernafoundation.org/content/view/858/308/lang,en/

    Kompas. (2007b). Indikasi kecurangan mulai ditemukan. Retrieved November 1, 2007, from http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/19/humaniora/3856141.htm

    Kompas. (2007c). Sertifikasi guru, rambu diklat mendesak dikeluarkan. Retrieved November 1, 2007, from http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/05/humaniora/3893188.htm

    Kompas. (2007d). Teachers certification seems not well-unprepared. Only 50% expected to pass Retrieved October 15, 2007, from http://www.sampoernafoundation.org/content/view/815/308/lang,en/

    Kompas. (2007e). Terkait sertifikasi, guru kian resah. Retrieved November 1, 2007, from http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/02/humaniora/3887527.htm

    LeCompte, M. D., & Preissle, J. (1993). Ethnography and qualitative design in educational research. San Diego: Academic Press.

    Little, J. W. (1993). Teachers' professional development in a climate of educational reform. Educational Evaluation and Policy Analysis, 15(2), 129-151.

    Millroy, W. L. (1992). An ethnographic study of the mathematical ideas of a group of carpenters. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph, 5, 1-210.

    Newell, G., Wilsman, M., Langenfeld, M., & McIntosh, A. (2002). Online professional development: Sustained learning with friends. Teaching Children Mathematics, 8(9), 505.

    Patahuddin, S. M. (2008). Exploiting the internet for teacher professional development and mathematics teaching and learning: An ethnographic intervention. Unpublished Dissertation, The University of Queensland, Brisbane.

    Patahuddin, S. M., & Dole, S. (2006). Using the internet for mathematics teaching, learning and professional development in the primary school. In Dhindsa & Harkirat (Eds.), The Eleventh International Conference of the Sultan Hassanal Bolkiah Institute of Education (Vol. 1, pp. 230-240). Universiti Brunei Darussalam: Educational Technology Centre UBD.

    Patton, M. Q. (2002). Qualitative research and evaluation methods (3rd ed.). Thousand Oaks, California: Sage Publications,.

    Putnam, R., & Borko, H. (1997). Teacher learning: Implication of new views of cognition. In B. J. Biddle, I. Goodson & T. L. Good (Eds.), International handbook of teachers and teaching (Vol. 3). Boston, Mass.: Kluwer Academic Publishers.

    Silverman, D. (2000). Doing qualitative research: A practical handbook. London: SAGE Publication.

    Sinar Harapan. (2006). 65 % of teachers fail to meet the standard. Retrieved November 1, 2007, from http://www.sampoernafoundation.org/content/view/566/308/lang,en/

    Soedijarto. (2008). Landasan dan arah pendidikan nasional kita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Sousa, D. A. (2008). How the brain learns mathematics. Thousand Oaks, California: Corwin Press.

    Tedlock, B. (2000). Ethnography and ethnography representation. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd ed., pp. 455-486). Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.

  • Valsiner, J. (1997). Culture and the development of children's action : a theory of human development (2nd ed.). New York: John Wiley & Sons.

    William, R. P., Barry, J. F., Ryoko, Y., & Lawrence, P. G. (2007). What Makes Professional Development Effective? Strategies That Foster Curriculum Implementation. American Educational Research Journal, 44(4), 921.

    Wilson, S. M., & Berne, J. (1999). Teacher learning and the acquisition of professional knowledge: An examination of research on contemporary professional development. Review of Research in Education, 24, 173-209.

    Wiske, M. S., Sick, M., & Wirsig, S. (2001). New technologies to support teaching for understanding. International Journal of Educational Research, 35(5), 483-501.

    Wolcott, H. F. (1988). Ethnographic research in education. In R. M. Jaeger (Ed.), Complementary methods for research in education (pp. 187-249). Washington, DC: American Educational Research Association.

    Wolcott, H. F. (2001). Writing up qualitative research (2nd ed.). Thousand Oaks, California: Sage Publications.