168485506-antipsikotik-tipikal

Embed Size (px)

Citation preview

  • REFERAT

    OBAT ANTI-PSIKOTIK TIPIKAL

    Pembimbing :

    dr. Hartanto, Sp.KJ

    Disusun oleh :

    Puspita Komalasari C

    030.08.196

    KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI

    RSJ MAGELANG

    PERIODE 22 JULI 17 AGUSTUS 2013

    STASE I (15 Juli 20 Juli 2013 DI FK TRISAKTI)

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

  • i

    LEMBAR PENGESAHAN

    Nama Mahasiswa : Puspita Komalasari C

    NIM : 030.08.196

    Bagian : Kepaniteraan Klinik Bagian Psikiatri

    Judul Referat : Obat Anti-Psikotik Tipikal

    Pembimbing : dr. Hartanto, Sp.KJ

    Jakarta, Juli 2013

    Dokter Pembimbing

    Dr. Hartanto, Sp.KJ

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya

    penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Obat Anti-Psikotik Tipikal ini tepat

    pada waktunya.

    Penulis mengucapkan banyak terima kasih secara khusus kepada dr. Hartanto, Sp.KJ

    yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis sehingga referat ini

    dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman teman dan

    seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.

    Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepaniteraan

    klinik bagian Psikiatri di RSJ Magelang stase I periode 15 Juli 20 Juli 2013 di Fakultas

    Kedokteran Universitas Trisakti.

    Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna sehingga

    penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan kasus ini.

    Akhir kata penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca

    dan penulis sendiri.

    Terima kasih,

    Jakarta, Juli 2013

    Penulis

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Obat antipsikotik atau disebut juga Neuropleptik. telah digunakan dalam dunia

    medis sudah lebih dari 60 tahun. Adalah Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean

    Delay, sekelompok ilmuwan Perancis yang pertama kali menemukan obat antipsikotik

    pada awal 1950. Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali ditemukan dan saat

    itu menjadi pilihan utama dalam pengobatan schizophrenia dan gangguan psikotik.

    Obat-Obatan.

    Obat neuroleptik selain mengantagonis reseptor dopamin di susunan saraf

    pusat juga memiliki efek-efek lain, seperti :

    1. Memblokade reseptor muskarinik, menyebabkan : mulut kering, pengelihatan

    kabur, konstipasi dan retensi urin.

    2. Memblokade -adrenoreseptor, menyebabkan : hipotensi postural, hipotermia.

    3. Memblokade reseptor histamin dan serotonin

    4. Memblokade reseptor D2 pada mesolimbik sistem, menyebabkan : sedasi dan efek

    antipsikotik.

    5. Memblokade reseptor D2 pada tuberoinfudibular, menyebabkan : peningkatan

    prolaktin, peningkatan berat badan, ketidakteraturan menstruasi, galaktorea,

    ginekomastia dan impotensi.

    6. Memblokade reseptor D2 pada nigostriatal, menyebabkan : parkinsonisme,

    akathisia, dystonia, tardive dyskinesia, dyskinesia.

    Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.

    Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada

    reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem

    ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist).

    Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis.

    Berdasarkan penelitian menggunakan amfetamin dan methamphetamine yang

    mengeksaserbasi delusi dan halusinasi pada pasien skizofrenia didapatkan bahwa

    dopamine merupakan peranan penting dalam etiologi halusinasi dan delusi tersebut.

  • 2

    Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine sehingga

    menahan terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade

    reseptor D2 dopamine dapat memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal.

    Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain berafinitas

    terhadap Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5 HT2 Reseptor

    (Serotonin-dopamine antagonist). Secara signifikan tidak memberikan efek samping

    gejala ekstrapiramidal bila diberikan dalam dosis klinis yang efektif.

    Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala posititf

    seperti halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien

    psikotik dengan gejala negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan.

    Sehingga pemberian obat psikotik atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal

    memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal prefrontal

    sehingga dengan peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki fungsi kognitif

    dan gejala negatif yang ada.

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    OBAT ANTI PSIKOSIS TIPIKAL

    Obat antipsikotik sekarang ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan

    Tipikal dan Atipikal. Hal ini didasarkan atas besarnya efek ekstrapiramidal yang di

    sebabkan. Disebut golongan atipikal karena golongan ini sedikit menyebabkan

    gangguan ekstrapiramidal, sedangkan disebut golongan tipikal karena efek

    ekstrapiramidal yang dihasilkan cukup besar. Kebanyakan antipsikosis golongan

    tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor D2 khususnya di

    mesolimbik dopamine pathways, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan efek

    ekstrapiramidal yang kuat.

    Penggunaan antipsikotik tipikal memberikan efek eleminasi gejala-gejala positif

    dan gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia maupun

    pasien psikotik dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari

    hinga beberapa minggu pemberian.

    Metabolisme antispikotik tipikal umumnya berlangsung di sitokrom P450, yang

    berlangsung di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih larut dan

    mudah diekskresikan melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya metabolit aktif

    pada antipsikotik tipikal maka sulit untuk menemukan korelasi yang bermakna

    terhadap kadar metabolit dalam plasma dengan respon klinis. Puncak komsentrasi

    didalam plasma umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat oral) atau sekitar 30-60

    menit (secara parenteral).

    Antipsikotik yang memiliki potensial rendah lebih memberikan efek sedatif,

    antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural. Sedangkan antipsikotik

    potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala ekstrapiramidal.

    Antipsikotik tipikal memiliki banyak pengaruh terhadap variabel fisiologis terkait

    dengan mekanisme antagonis pada beberapa sistem neurotransmitter. Pengaruh

    antipsikotik pada golongan tipikal ini terjadi melalui antagonisme di reseptor

    dopaminergik D-2 yang terdapat di traktus dopaminergik di otak yang meliputi

    mesokortikal, mesolimbik, tuberoinfundibular dan traktus nigrostriatal. Walaupun

    efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya

  • 4

    sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama

    timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku.

    Antipsikotik tipikal menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur mesolimbik

    sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG I tidak hanya

    memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga memblok reseptor D2 di tempat lain

    seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. Apabila APG I

    memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal dapat memperberat gejala negatif dan

    kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. blokade reseptor D2 di

    nigrostriatal secara kronik dengan menggunakan APG I menyebabkan gangguan

    pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade reseptor D2 di

    tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat

    menyebabkan disfungsi seksual dan peningkatan berat badan

    Antipsikotik tipikal mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala

    positif seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah

    penghentian pemberian Antipsikotik Tipikal.

    Kerugian pemberian Antipsikotik Tipikal :

    1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia

    2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif

    3. Peningkatan kadar prolaktin

    4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan

    Keuntungan pemberian Antipsikotik Tipikal adalah jarang menyebabkan

    terjadinya Sindrom Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat menurunkan gejala

    negatif.

    Antipsikotik Tipikal dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia.

    Pembagian berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan

    pembagian berdasarkan rumus kimia adalah phenotiazine dan non-phenotiazine.

    Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg.

    Antipsikotik Tipikal potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine,

    trifluoperazine dan thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek

    samping tinggi seperti distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap

    tekanan darah rendah.

  • 5

    Potensi sedang bila dosis Antipsikotik Tipikal yang digunakan antara 10- 50 mg.

    Antipsikotik Tipikal potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan

    molindone. Digunakan untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping

    Antipsikotik Tipikal potensi tinggi dan potensi rendah.

    Potensi rendah bila dosis Antipsikotik Tipikal yang digunakan lebih dari 50 mg.

    Antipsikotik Tipikal potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine,

    dan mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan

    gejala antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine, pandangan kabur

    dan konstipasi.

    Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas berdasarkan rumus kimianya yakni

    golongan phenotiazine, golongan butyrophenone, dan golongan diphenyl buthyl

    piperidine.

    Golongan phenotiazine terbagi menjadi tiga rantai yakni

    o Rantai aliphatic contohnya Chlorpromazine dan levomepromazine

    o Rantai piperazine contohnya Perphenazine, Trifluoperazine, dan

    Fluphenazine

    o Rantai piperidin contohnya Thioridazine.

    Golongan butyrophenone yakni Haloperidol

    Golongan diphenyl buthyl piperidine yakni Pimozide.

    Beberapa contoh obat anti psikotik tipikal amtara lain :

    CLORPROMAZINE (Largactil, Promactil, Cepezet)

    Clorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin.

    Derivat fenotiazin lain di dapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti

    fenotiazin. Chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine selanjutnya terbukti

    merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan antipsikotik

    klasik atau tipikal yang disintesis pada awal tahun 1950-an dan memasuki pemakaian

    klinis yang luas. Chlorpromazine awalnya digunakan sebagai tambahan anestesi,

    tetapi dua ahli anestsiologi di Perancis, Henry Laborit dan Huguenard, mengamati

    adanya psikis yang tidak biasa dari senyawa. Dua dokter psikiatrik Perancis, Jean

    Delay dan Pierre Deniker, mencoba obat pada pasien skizofrenik dan melaporkan

    keberhasilanya di tahun 1952. Dibandingkan dengan reserpine, chlorpromazine lebih

    efektif dan memiliki onset yang cepat.

  • 6

    Efek farmakologis klorpromazin meliputi susunan saraf pusat, sistem otonom,

    dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai

    reseptor, diantaranya dopamin reseptor, -adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan

    reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin selain

    memiliki afinitas pada reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap

    reseptor -adrenergik.

    CPZ menimbulkan efek sedatif yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap

    rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek

    sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum

    minum obat. CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik

    maupun rangsang oleh obat. CPZ yang merupakan golongan fenotiazin

    mempengaruhi ganlia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek

    ekstrapiramidal). CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan

    oleh rangsangan pada chemoreceptor trigger zone.

    Pada dosis berlebihan semua derivate fenotiazin dapat menyebabkan gejala

    ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada Parkinson. Dikenal 6 gejala sindrom

    neurologik yang karateristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu

    obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme, dan sindrom neuroleptic

    malignan. Dua sindrom lainya terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai

    bertahun-tahun, berupa tremor perioral dan dyskinesia tardii. CPZ dapat menimbulkan

    relaksasi otot rangka yang berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini

    diduga bersifat sentral sebab sambungan saraf otot dan medula spinalis tidak

    dipengaruhi CPZ.

    CPZ memiliki efek samping terhadap sistem reproduksi, terhadap wanita dapat

    terjadi amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria penurunan

    libido dan ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan dopamin

    yang menyebabkan hiperprolaktinemiam serta adanya kemungkinan peningkatan

    perubahan androgen menjadi estrogen di perifer.

    Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering

    terjadi dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah

    jantung menurun dan frekuensi jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena efek

    otonon dari obat psikosis.

  • 7

    Klorpromazin memiliki bioavaibilitas berkisar antara 25%-35%, besifat larut

    dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92%-99%) serta memiliki

    volume distribusi besar. Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa

    minggu setelah pemberian obat terakhir.

    Farmakodinamik: CPZ berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari

    kata large action.

    Farmakokinetik: pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila diberikan per

    oral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di

    paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian fenotiazin mengalami

    hidroksilasi dan konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi sulfoksid yang kemduian

    dieksresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih

    ditemukan eksresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan.

    Indikasi (obat ini dapat di pakai) pada:

    - Skizofrenia dengan gejala agitasi, ansietas, tegang, bingung, insomnia, waham,

    halusinasi;

    - Psikosis manik-depresif;

    - Gangguan kepribadian

    - Psikosis involusional

    - Psikosis pada anak

    - Dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan atau

    gangguan non psikosis dengan gejala agitasi tegang, gelisah, cemas dan insomnia.

    Dosis:

    - Dosis permulaan 25-100 mg/hari

    - Dosis ditingkatkan sampai 300 mg/hari

    - Bila gejala belum hilang dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 600-900

    mg/hari.

    Cara pemberian :

    - diberikan per-oral dengan dosis terbagi.

    - untuk efek cepat dapat diberikan per injeksi (im) dengan penderita dalam posisi

    berbaring (untuk mencegah timbulnya orthostatic hipotension yang sering terjadi).

  • 8

    Efek samping :

    - Lesu dan ngantuk.

    - Hipotensi ortostatik.

    - Mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi dan amenore pada wanita

    Kontra indikasi :

    - Klorpromazine tidak boleh diberikan pada keadaan-keadaan :

    - Koma.

    - Keracunan alkohol, barbiturat dan narkotika.

    - Hipersensitif (allergik).

    TRIFLUOPERAZINE (Stelazine, Stelosi)

    Indikasi :

    - Skizofrenia.

    - Psikosis paranoid (gangguan waham menetap).

    - Psikosis manik-depresif.

    - gangguan tingkah laku pada Retardasi Mental.

    Dosis :

    - dosis awal 2 3 x 2,5 mg.

    - dosis pemeliharaan 3 x 5 10 mg.

    Efek samping :

    - Ngantuk, pusing lemas.

    - Gangguan ekstra piramidalis.

    - Occulogyric crisis.

    - Hiperefleksi.

    - Kejang-kejang grandmal.

    Kontra indikasi :

    - Depresi SSP.

    - Koma.

    - Gangguan liver.

    - Dyscrasia darah.

    - Hipersensitif.

  • 9

    FLUPHENAZINE

    Untuk kasus-kasus akut diberikan Flupenazine HCl (anatensol) dalam bentuk

    tablet dan injeksi.

    Dosis :

    - 2,5 10 mg / hari dengan dosis terbagi.

    - Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sp 20 mg / hari.

    Untuk kasus-kasus kronis diberikan Flupenazine decanoat (flupenazine

    dilarutkan dalam minyak), sebagai long acting anti psychotic (berefek panjang) ---

    Modecate injeksi(25 mg / amp).

    Dosis :

    - awal : 12,5 mg / 2 minggu.

    - bila efek samping ringan/tidak ada, ditingkatkan 25 mg / 3 6 minggu.

    Efek samping :

    - Tersering gangguan estra piramidalis.

    - Tardive diskinesia persistent.

    - Ngantuk.

    - Mimpi2 aneh.

    Kontra indikasi :

    - hipersensitif.

    - Depresi SSP berat.

    PERPHENAZINE (Trifalon)

    Indikasi :

    - Gejala positif Skizofrenia.

    - Dalam dosis rendah digunakan untuk nausea, vomitus dan cegukan.

    Dosis :

    - 3 x 4 - 8 mg / hari.

    Efek samping :

    - Sering timbul gangguan ekstra piramidalis.

    - Gangguan endokrin, seperti : laktasi meningkat, gnekomasti, menstruasi terganggu,

    sukar eyakulasi.

  • 10

    Kontra indikasi :

    - hipersensitif.

    - Koma.

    - Depresi berat.

    - Gangguan liver.

    - Gangguan darah.

    THIORIDAZINE

    Indikasi :

    - Gejala positif Skizofrenia.

    - Depresi dengan agitasi, ansietas dan afek hipotim.

    Dosis :

    - Awal (initial) : 3 x 50 100 mg / hari.

    - Pemeliharaan (maintenance) : 200 800 mg / hari.

    Efek samping :

    - sedasi, mulut kering, gangguan akomodasi, vertigo, hipotensi ortostatik.

    - Jarang timbul ganguan ekstra piramidalis.

    Kontra indikasi :

    - Koma.

    - Depresi SSP berat.

    - Diskrasia darh.

    - Hipersensitif.

    HALOPERIDOL

    Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang

    karena halt tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul

    pada 80% pasien yang diobati haloperidol.

    Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol memperlihatkan

    antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresi dan

    skizofenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif keran

    butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over rate nya.

  • 11

    Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang

    mengalami ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ,

    sedangkan efek haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan

    menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan

    ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan

    hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.

    Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek

    antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan

    kabur (blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor -adrenergik , tetapi

    hambatanya tidak sekuat hambatan CPZ.

    Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat CPZ.

    Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan

    galaktorea dan respon endokrin lainya.

    Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D2, lebih lemah

    antagonis reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol dalam

    waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah pemberian

    intramuskular. Waktu paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui

    urine dan tinja dan berakhir dalam 1 minggu setelah pemberian. Secara

    farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam

    plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan

    masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun

    dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresikan melalui

    empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan

    selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.

    Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3

    kali per hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum

    terkontrol, beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20

    mg. Pada pasien dengan efek samping mininal dan belum tercapai respon terapi, dosis

    obat dapat ditingkatkan sampai dosis 30-40 mg per hari. Setelah pemberian awal perlu

    dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi atau efek samping lainnya yang mungkin

    timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis atau penggantian dengan

    antipsikotik lain. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat

  • 12

    dimulai dengan 0,5-1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari.

    Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara lambat

    ke dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena

    waktu paruhnya panjang.

    Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan koma,

    depresi SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia lanjut

    dengan Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap

    Haloperidol.

    Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme antidepresan trisiklik,

    dapat mengganggu efek antiparkinson dan levodopa, tekanan intra okuler bola mata

    dapat terjadi apabila diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme

    Haloperidol meningkat bila diberikan bersama dengan carbamazepine.

    Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti

    parkinson like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas,

    opistotonus, dan kadang-kadanga krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah

    tardive dyskinesia pada pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian

    haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain yang ringan seperti sedasi dan autonomik.

    Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat terjadi peningkatan berat badan dan

    penurunan fungsi kognitif.

    Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi

    terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai

    dengan hati-hati, dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania. Perubahan

    hematologi ringan dapat terjadi, seperti leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi

    keadaan ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan

    kepada wanita hamil, karena belum dapat terbukti bahwa obat ini tidak menimbulkan

    efek teratogenik.

    PIMOZIDE (Orap)

    Indikasi :

    - Gangguan skizofrenia kronik untuk memperbaiki sosialisasi.

    Dosis : 2 8 mg / hari.

  • 13

    Efek samping :

    - Jarang timbul gangguan ekstra piramidalis pada dosis terapeutik.

    -

    Kontra indikasi :

    - Koma.

    - Hipersensitif.

    - Depresi endogen.

    - Penyakit parkinson.

    DIBENZOKSAZEPIN

    Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru, namun sebagian besar

    memiliki efek farmakologiknya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif,

    antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan

    psikosis lainnya. Obat ini memiliki efek ekstrapiramidal dan diskinesia tardif, serta

    dapat menurunkan ambang bangkita pasien, sehingga harus digunakan hati-hati pada

    pasien dengan riwayat kejang.

    Loksapin diarbsorbsi baik peroral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu

    1 jam (IM) dan 2 jam (oral). Waktu paruh loksapin ialah 3,4. Metabolit utamanya

    memiliki waktu paruh lebih lama (9jam).

    EFEK MERUGIKAN OBAT ANTIPSIKOTIK

    Sebagian besar dari efek yang tidak diinginkan dari antipsikotik adalah disebabkan oleh efek

    farmakologis obat antipsikotik tersebut. Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh alergi

    dan reaksi idiosinkrasi.

    A. Efek terhadap perilaku

    Sebagian besar obat antipsikosis tipikal dapat menyebabkan efek samping

    yang tidak diinginkan. Kebanyakan pasien menghentikan penggunaan karena efek

    merugikan dimana dapat dikurangin dengan pemberian dosis yang tidak terlalu besar.

    Pseudodepresi karena disebabkan oleh drug induced akinesia biasanya berespon

    dengan pemberian obat antiparkinson. Sebab lain yaitu karena dosis yang terlalu besar

    melebihi dari yang dibutuhkan pada pasien remisi dimana pengurangan dosis akan

  • 14

    diikuti pengurangan gejala. Toxic-confusional states dapat terjadi dengan

    pemberian dosis besar dari obat tersebut.

    B. Efek neurologis

    Reaksi ekstrapiramidal terjadi pada penggunaan antipsikosis tipikal yaitu

    sindrom parkinson, akathisia, dan reaksi distonia akut. Sindrom parkinson dapat

    ditangani bila diperlukan, yaitu dengan obat antiparkinson konvensional dengan

    blokade reseptor muskarinik seperti amantidin(agonis dopamin seperti levodopa

    merupakan kontraindikasi). Akathisia dan distonia juga berespon dengan

    antimuskarinik. antihistamin H1 generasi pertama seperti difenhidramin lebih sering

    digunakan.

    C. Sistem saraf otonom

    Sebagian besar pasien dapat mentoleransi efek antimuskarinik dari obat

    antipsikotik. Namun jika terjadi efek samping yang tidak nyaman atau terjadi retensi

    urin atau gejala lainnya yang lebih berat dapat diganti dengan preparat tanpa efek anti

    muskarinik. Hipotensi ortostatik, gangguan ejakulasi akibat terapi klopromazin atau

    mesoridazin harus diganti ke obat dengan efek blokade adrenoreseptor minimal.

    D. Efek metabolisme dan endokrin

    Berat badan bertambah sering terjadi pada pengobatan dengan anti psikosis

    khususnya klozapin dan olanzapin dan membutuhkan monitor asupan makanan

    terutama karbohidrat. Beberapa pasien juga memperlihatkan kadar glukosa darah

    yang meningkat.hiperprolaktinemia pada wanita yang dapat mengakibatkan sindrom

    amenore-galaktorea dan infertilitas. Pada pria kehilangan libido, impotensia dan

    infertilitas dapat terjadi.

    E. Efek alergi dan toksisitas

    Agranulositosis, jaundice akibat kolestasis, erupsi kulit jarang terjadi. Klozapin

    dapat menyebabkan agranulositosis dalam jumlah kecil kira-kira 1-2%. Karena resiko

    agranulositosis tersebut, pasien dengan terapi klozapin harus dilakukan hitung jenis

    darah tiap minggu selama 6 bulan pertama dan setiap 3 minggu setelah 6 bulan.

    F. Efek kardiotoksisitas

  • 15

    Thioridazin dengan dosis harian 300mg dapat menyebabkan abnormalitas

    gelombang T yang reversibel. Overdosis thioridazin dapat menyebabkan ventrikular

    aritmia, blok konduksi listrik jantung, dan kematian langsung. Antipsikosis atipikal

    ziprasidon merupakan obat dengan kemungkinan terbesar menyebabkan pemanjangan

    QT interval oleh karena itu jangan dikombinasikan dengan obat lain seperti

    thioridazin, pimozid, dan quinidin yang mempunyai efek serupa.

    G. Efek dismorfogenesis pada kehamilan

    Meskipun obat antipsikosis terbilang aman pada kehamilan, namun masih

    terdapat resiko minimal untuk efek teratogenik.

    H. Efek sindrom neuroleptik maligna

    Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas,

    dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari

    penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah

    observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.

    Merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi

    terhadap obat anti psikosis( Resiko lebih besar pada long action). Kondisi seperti

    dehidrasi, kelelahan, dan malnutrisi membuat resiko SNM menjadi lebih tinggi.

    Diagnosis sindrom neuroleptik maligna :

    o Suhu badan >38C (hiperpireksia)

    o Sindrom ekstrapiramidal berat (rigiditas, resting tremor)

    o Gejala disfungsi otonom ( inkontinensia urin)

    o Perubahan status mental

    o Tekanan darah yang labil/berubah-ubah

    o Sesak nafas, takipnea

    o Agitasi psikomotrik

    o Perbubahan tingkat kesadaran, Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor

    hingga koma (level kesadaran yang fluktuatif)

  • 16

    o Gejala timbul dan berkembang dengan cepat.

    Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan

    dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor

    D-2 pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan

    terjadinya peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur

    ekstrapiramidal. Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan

    titik temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek

    antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari

    retikulum sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat

    berkontribusi dalam terjadinya hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.

    Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik

    maligna baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan

    penelitian SNM lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol

    dan chlorpromazine. Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak

    diklasifikasikan secara akurat sebagai golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan

    sindrom ini. Contoh obat antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom

    neuroleptik maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan

    quetiapine.

    Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan

    antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,

    penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,

    kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga

    memiliki resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.

    Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian

    SNM yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan

    terdapat insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di

    India terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko

    kejadian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus

    terjadi pada minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20%

    dan umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel

    otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.

  • 17

  • 18

    SUSUNAN PIRAMIDAL DAN EKSTRAPIRAMIDAL

    Susunan Piramidal

    Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke LMN atau melalui

    interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN. Neuron-neuron tersebut berada pada girus

    presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada

    dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui

    aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik

    saraf kranial dan motoneuron dikornu anterior medulaspinalis.

    Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai

    berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan

    ganglia basalis mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula

    interna.

    Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka

    untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung dimotor neuron saraf kranial

    motorik atau inter neuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar

    berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.

    Diperbatasan antara medula oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut

    kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang

    berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi

    melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal

    sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis.

    Susunan Ekstrapiramidal

    Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian

    sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah

    terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis

    yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.

    Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya

    penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki

    potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping

  • 19

    pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan

    farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol

    respon neuron-neuron terhadap rangsangan.

    Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang

    ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik

    golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping

    gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan

    dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet,

    spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal

    (piramidal).

    Patofisiologi gejala ekstrapiramidal

    Susunan Ekstrapiramidal

    Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,

    nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut

    dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen

    tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu.

    Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena

    korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka

    lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama

    (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).

    Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu:

    1. hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus,

    2. hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan

    3. hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.

    Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus

    striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan

    feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-

  • 20

    komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya

    mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.

    Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus

    palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari

    globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3,

    yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.

    Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi

    ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminrgik di ganglia basalis. Pada pasien

    skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem

    dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di

    jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminrgi yakni antagonis reseptor

    D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di

    korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur

    striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai

    sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)

    merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya

    menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

    Gejala ekstrapiramidal

    Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,

    tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.

    Reaksi Distonia

    Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa

    menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang

    abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot

    ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disartria bicara, krisis okulogirik dan sikap

    badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan

    menggangu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia

    laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah

    pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh

  • 21

    antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti

    haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim

    pada pria muda. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan

    retrocolis), otot rahang (trismus, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada

    seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal

    yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian.

    Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di

    daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.

    Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah

    sebagai berikut: Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang

    tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi

    neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala

    ekstrapiramidal).

    Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia

    a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi

    neuroleptik:

    1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya

    tortikolis)

    2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

    3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)

    4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,

    makroglosia)

    5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

    6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

    7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.

    B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau

    dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang

    digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat

    antikolinergik).

    C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya

    gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh

  • 22

    gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi

    neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada

    perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).

    D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat non-neuroleptik atau kondisi neurologis atau

    medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa

    berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda

    neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya

    perubahan medikasi.

    Akatisia

    Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau

    rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness)

    yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.

    Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi

    cemas atau irritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan anxietas

    atau agitasi dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien

    dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai

    gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala

    psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala

    psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau

    manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.

    Sindrom Parkinson

    Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat,

    riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor,

    dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan

    ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat

    menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya

    terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan

    kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala

    skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai

  • 23

    rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan

    otot.

    Tardive Dyskinesia

    Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot

    abnormal, involunter, menghentak, balistik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari

    obat antipsikotik . hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif

    reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Prevalensi sangat bervariasi,

    tetapi tardive dyskinesia diperkirakan telah terjadi pada 20-40% pasien kronis yang

    diobati sebelum pengenalan antipsycotics atipikal. Deteksi dini dari kelainan ini sangat

    penting, karena apabila sudah lama berlangsung kelainan ini dapat menjadi irreversible.

    Banyak pihak setuju bahwa langkah pertama untuk mengurangi gejala ini adalah dengan

    mencoba untuk menghentikan atau mengurangi dosis antipsikotik saat ini atau beralih

    ke salah satu agen atipikal yang lebih baru. Langkah kedua adalah untuk menghilangkan

    semua obat dengan menggunakan antikolinergik sentral, terutama obat antiparkinsonism dan

    antidepresan trisiklik. Kedua langkah ini cukup sering untuk membawa perbaikan. Namun

    Jika kedua cara tersebut tidak efektif, penambahan diazepam dalam dosis 30-

    40 mg /hari dapat menghasilkan perbaikan yang nyata dengan meningkatkan

    aktivitas GABAergic.

  • 24

    BAB III

    KESIMPULAN

    Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.

    Obat antipsikotik merupakan terapi simtomatik terhadap gangguan psikiatrik psikiatrik yang

    berguna untuk menghilangkan gejala positif dan negatif. Gejala positif seperti halusinasi,

    waham, proses pikir kacau, gejala katatonik, kecurigaan, dan permusuhan. Lalu gejala negatif

    antara lain seperti afek tumpul, penarikan emosional, kemiskinan rapot, penarikan diri dari

    hubungan sosial serta pasif atau apatis.

    Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Antipsikotik

    tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik

    neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor

    antagonist). Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik

    dipercaya sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama

    timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku. Obat antipsikotik tidak

    selalu efektif mengendalikan gejala psikotik bahkan malah menyebabkan efek samping

    terhadap pasien. Efek samping yang ditimbulkan dan perlu diwaspadai yaitu gejala

    ekstrapiramidal. Namun sekarang terdapat obat antipsikotik atipikal dengan gejala

    ekstrapiramidal minimal dan berhasil mengatasi gejala psikotik.

  • 25

    BAB IV

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Buchanan R.W., Carpenter W.T., Schizophrenia: Introduction and Overview, In:

    Kaplan & Sadocks; Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed.,

    Philadelphia.:2000:1096-1109.

    2. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik : Pedoman

    Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Cetakan pertama, 1993,

    p:105.

    3. Dr. Rusdi Maslim., SpKj.:Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi ke-tiga,

    Desember 2001:p:14.

    4. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

    5. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia

    6. Meltzer Y. Herbert. Antipsychotic and anticholinergic drugs. Michael G. Gelder, Juan

    J. Lpez-Ibor, Jr. and Nancy Andreasen in : New Oxford Textbook of Psychiatry.

    2000. Chapter 6.2.5. Oxford University Press.