Upload
farid-raharja-p
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
OBAT ANTI-PSIKOTIK TIPIKAL
Pembimbing :
dr. Hartanto, Sp.KJ
Disusun oleh :
Puspita Komalasari C
030.08.196
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI
RSJ MAGELANG
PERIODE 22 JULI 17 AGUSTUS 2013
STASE I (15 Juli 20 Juli 2013 DI FK TRISAKTI)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Puspita Komalasari C
NIM : 030.08.196
Bagian : Kepaniteraan Klinik Bagian Psikiatri
Judul Referat : Obat Anti-Psikotik Tipikal
Pembimbing : dr. Hartanto, Sp.KJ
Jakarta, Juli 2013
Dokter Pembimbing
Dr. Hartanto, Sp.KJ
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Obat Anti-Psikotik Tipikal ini tepat
pada waktunya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih secara khusus kepada dr. Hartanto, Sp.KJ
yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis sehingga referat ini
dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman teman dan
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepaniteraan
klinik bagian Psikiatri di RSJ Magelang stase I periode 15 Juli 20 Juli 2013 di Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca
dan penulis sendiri.
Terima kasih,
Jakarta, Juli 2013
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Obat antipsikotik atau disebut juga Neuropleptik. telah digunakan dalam dunia
medis sudah lebih dari 60 tahun. Adalah Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean
Delay, sekelompok ilmuwan Perancis yang pertama kali menemukan obat antipsikotik
pada awal 1950. Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali ditemukan dan saat
itu menjadi pilihan utama dalam pengobatan schizophrenia dan gangguan psikotik.
Obat-Obatan.
Obat neuroleptik selain mengantagonis reseptor dopamin di susunan saraf
pusat juga memiliki efek-efek lain, seperti :
1. Memblokade reseptor muskarinik, menyebabkan : mulut kering, pengelihatan
kabur, konstipasi dan retensi urin.
2. Memblokade -adrenoreseptor, menyebabkan : hipotensi postural, hipotermia.
3. Memblokade reseptor histamin dan serotonin
4. Memblokade reseptor D2 pada mesolimbik sistem, menyebabkan : sedasi dan efek
antipsikotik.
5. Memblokade reseptor D2 pada tuberoinfudibular, menyebabkan : peningkatan
prolaktin, peningkatan berat badan, ketidakteraturan menstruasi, galaktorea,
ginekomastia dan impotensi.
6. Memblokade reseptor D2 pada nigostriatal, menyebabkan : parkinsonisme,
akathisia, dystonia, tardive dyskinesia, dyskinesia.
Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.
Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist).
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis.
Berdasarkan penelitian menggunakan amfetamin dan methamphetamine yang
mengeksaserbasi delusi dan halusinasi pada pasien skizofrenia didapatkan bahwa
dopamine merupakan peranan penting dalam etiologi halusinasi dan delusi tersebut.
2
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine sehingga
menahan terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade
reseptor D2 dopamine dapat memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal.
Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain berafinitas
terhadap Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5 HT2 Reseptor
(Serotonin-dopamine antagonist). Secara signifikan tidak memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal bila diberikan dalam dosis klinis yang efektif.
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala posititf
seperti halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien
psikotik dengan gejala negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan.
Sehingga pemberian obat psikotik atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal
memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal prefrontal
sehingga dengan peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki fungsi kognitif
dan gejala negatif yang ada.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
OBAT ANTI PSIKOSIS TIPIKAL
Obat antipsikotik sekarang ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan
Tipikal dan Atipikal. Hal ini didasarkan atas besarnya efek ekstrapiramidal yang di
sebabkan. Disebut golongan atipikal karena golongan ini sedikit menyebabkan
gangguan ekstrapiramidal, sedangkan disebut golongan tipikal karena efek
ekstrapiramidal yang dihasilkan cukup besar. Kebanyakan antipsikosis golongan
tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor D2 khususnya di
mesolimbik dopamine pathways, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan efek
ekstrapiramidal yang kuat.
Penggunaan antipsikotik tipikal memberikan efek eleminasi gejala-gejala positif
dan gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia maupun
pasien psikotik dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari
hinga beberapa minggu pemberian.
Metabolisme antispikotik tipikal umumnya berlangsung di sitokrom P450, yang
berlangsung di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih larut dan
mudah diekskresikan melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya metabolit aktif
pada antipsikotik tipikal maka sulit untuk menemukan korelasi yang bermakna
terhadap kadar metabolit dalam plasma dengan respon klinis. Puncak komsentrasi
didalam plasma umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat oral) atau sekitar 30-60
menit (secara parenteral).
Antipsikotik yang memiliki potensial rendah lebih memberikan efek sedatif,
antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural. Sedangkan antipsikotik
potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala ekstrapiramidal.
Antipsikotik tipikal memiliki banyak pengaruh terhadap variabel fisiologis terkait
dengan mekanisme antagonis pada beberapa sistem neurotransmitter. Pengaruh
antipsikotik pada golongan tipikal ini terjadi melalui antagonisme di reseptor
dopaminergik D-2 yang terdapat di traktus dopaminergik di otak yang meliputi
mesokortikal, mesolimbik, tuberoinfundibular dan traktus nigrostriatal. Walaupun
efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya
4
sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama
timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku.
Antipsikotik tipikal menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG I tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga memblok reseptor D2 di tempat lain
seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. Apabila APG I
memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal dapat memperberat gejala negatif dan
kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. blokade reseptor D2 di
nigrostriatal secara kronik dengan menggunakan APG I menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade reseptor D2 di
tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat
menyebabkan disfungsi seksual dan peningkatan berat badan
Antipsikotik tipikal mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala
positif seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah
penghentian pemberian Antipsikotik Tipikal.
Kerugian pemberian Antipsikotik Tipikal :
1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan
Keuntungan pemberian Antipsikotik Tipikal adalah jarang menyebabkan
terjadinya Sindrom Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat menurunkan gejala
negatif.
Antipsikotik Tipikal dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia.
Pembagian berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan
pembagian berdasarkan rumus kimia adalah phenotiazine dan non-phenotiazine.
Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg.
Antipsikotik Tipikal potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine,
trifluoperazine dan thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek
samping tinggi seperti distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap
tekanan darah rendah.
5
Potensi sedang bila dosis Antipsikotik Tipikal yang digunakan antara 10- 50 mg.
Antipsikotik Tipikal potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan
molindone. Digunakan untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping
Antipsikotik Tipikal potensi tinggi dan potensi rendah.
Potensi rendah bila dosis Antipsikotik Tipikal yang digunakan lebih dari 50 mg.
Antipsikotik Tipikal potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine,
dan mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan
gejala antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine, pandangan kabur
dan konstipasi.
Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas berdasarkan rumus kimianya yakni
golongan phenotiazine, golongan butyrophenone, dan golongan diphenyl buthyl
piperidine.
Golongan phenotiazine terbagi menjadi tiga rantai yakni
o Rantai aliphatic contohnya Chlorpromazine dan levomepromazine
o Rantai piperazine contohnya Perphenazine, Trifluoperazine, dan
Fluphenazine
o Rantai piperidin contohnya Thioridazine.
Golongan butyrophenone yakni Haloperidol
Golongan diphenyl buthyl piperidine yakni Pimozide.
Beberapa contoh obat anti psikotik tipikal amtara lain :
CLORPROMAZINE (Largactil, Promactil, Cepezet)
Clorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin.
Derivat fenotiazin lain di dapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin. Chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine selanjutnya terbukti
merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan antipsikotik
klasik atau tipikal yang disintesis pada awal tahun 1950-an dan memasuki pemakaian
klinis yang luas. Chlorpromazine awalnya digunakan sebagai tambahan anestesi,
tetapi dua ahli anestsiologi di Perancis, Henry Laborit dan Huguenard, mengamati
adanya psikis yang tidak biasa dari senyawa. Dua dokter psikiatrik Perancis, Jean
Delay dan Pierre Deniker, mencoba obat pada pasien skizofrenik dan melaporkan
keberhasilanya di tahun 1952. Dibandingkan dengan reserpine, chlorpromazine lebih
efektif dan memiliki onset yang cepat.
6
Efek farmakologis klorpromazin meliputi susunan saraf pusat, sistem otonom,
dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai
reseptor, diantaranya dopamin reseptor, -adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan
reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin selain
memiliki afinitas pada reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap
reseptor -adrenergik.
CPZ menimbulkan efek sedatif yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek
sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum
minum obat. CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik
maupun rangsang oleh obat. CPZ yang merupakan golongan fenotiazin
mempengaruhi ganlia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek
ekstrapiramidal). CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan
oleh rangsangan pada chemoreceptor trigger zone.
Pada dosis berlebihan semua derivate fenotiazin dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada Parkinson. Dikenal 6 gejala sindrom
neurologik yang karateristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu
obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme, dan sindrom neuroleptic
malignan. Dua sindrom lainya terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, berupa tremor perioral dan dyskinesia tardii. CPZ dapat menimbulkan
relaksasi otot rangka yang berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini
diduga bersifat sentral sebab sambungan saraf otot dan medula spinalis tidak
dipengaruhi CPZ.
CPZ memiliki efek samping terhadap sistem reproduksi, terhadap wanita dapat
terjadi amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria penurunan
libido dan ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan dopamin
yang menyebabkan hiperprolaktinemiam serta adanya kemungkinan peningkatan
perubahan androgen menjadi estrogen di perifer.
Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering
terjadi dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah
jantung menurun dan frekuensi jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena efek
otonon dari obat psikosis.
7
Klorpromazin memiliki bioavaibilitas berkisar antara 25%-35%, besifat larut
dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92%-99%) serta memiliki
volume distribusi besar. Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa
minggu setelah pemberian obat terakhir.
Farmakodinamik: CPZ berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari
kata large action.
Farmakokinetik: pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila diberikan per
oral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di
paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian fenotiazin mengalami
hidroksilasi dan konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi sulfoksid yang kemduian
dieksresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih
ditemukan eksresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan.
Indikasi (obat ini dapat di pakai) pada:
- Skizofrenia dengan gejala agitasi, ansietas, tegang, bingung, insomnia, waham,
halusinasi;
- Psikosis manik-depresif;
- Gangguan kepribadian
- Psikosis involusional
- Psikosis pada anak
- Dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan atau
gangguan non psikosis dengan gejala agitasi tegang, gelisah, cemas dan insomnia.
Dosis:
- Dosis permulaan 25-100 mg/hari
- Dosis ditingkatkan sampai 300 mg/hari
- Bila gejala belum hilang dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 600-900
mg/hari.
Cara pemberian :
- diberikan per-oral dengan dosis terbagi.
- untuk efek cepat dapat diberikan per injeksi (im) dengan penderita dalam posisi
berbaring (untuk mencegah timbulnya orthostatic hipotension yang sering terjadi).
8
Efek samping :
- Lesu dan ngantuk.
- Hipotensi ortostatik.
- Mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi dan amenore pada wanita
Kontra indikasi :
- Klorpromazine tidak boleh diberikan pada keadaan-keadaan :
- Koma.
- Keracunan alkohol, barbiturat dan narkotika.
- Hipersensitif (allergik).
TRIFLUOPERAZINE (Stelazine, Stelosi)
Indikasi :
- Skizofrenia.
- Psikosis paranoid (gangguan waham menetap).
- Psikosis manik-depresif.
- gangguan tingkah laku pada Retardasi Mental.
Dosis :
- dosis awal 2 3 x 2,5 mg.
- dosis pemeliharaan 3 x 5 10 mg.
Efek samping :
- Ngantuk, pusing lemas.
- Gangguan ekstra piramidalis.
- Occulogyric crisis.
- Hiperefleksi.
- Kejang-kejang grandmal.
Kontra indikasi :
- Depresi SSP.
- Koma.
- Gangguan liver.
- Dyscrasia darah.
- Hipersensitif.
9
FLUPHENAZINE
Untuk kasus-kasus akut diberikan Flupenazine HCl (anatensol) dalam bentuk
tablet dan injeksi.
Dosis :
- 2,5 10 mg / hari dengan dosis terbagi.
- Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sp 20 mg / hari.
Untuk kasus-kasus kronis diberikan Flupenazine decanoat (flupenazine
dilarutkan dalam minyak), sebagai long acting anti psychotic (berefek panjang) ---
Modecate injeksi(25 mg / amp).
Dosis :
- awal : 12,5 mg / 2 minggu.
- bila efek samping ringan/tidak ada, ditingkatkan 25 mg / 3 6 minggu.
Efek samping :
- Tersering gangguan estra piramidalis.
- Tardive diskinesia persistent.
- Ngantuk.
- Mimpi2 aneh.
Kontra indikasi :
- hipersensitif.
- Depresi SSP berat.
PERPHENAZINE (Trifalon)
Indikasi :
- Gejala positif Skizofrenia.
- Dalam dosis rendah digunakan untuk nausea, vomitus dan cegukan.
Dosis :
- 3 x 4 - 8 mg / hari.
Efek samping :
- Sering timbul gangguan ekstra piramidalis.
- Gangguan endokrin, seperti : laktasi meningkat, gnekomasti, menstruasi terganggu,
sukar eyakulasi.
10
Kontra indikasi :
- hipersensitif.
- Koma.
- Depresi berat.
- Gangguan liver.
- Gangguan darah.
THIORIDAZINE
Indikasi :
- Gejala positif Skizofrenia.
- Depresi dengan agitasi, ansietas dan afek hipotim.
Dosis :
- Awal (initial) : 3 x 50 100 mg / hari.
- Pemeliharaan (maintenance) : 200 800 mg / hari.
Efek samping :
- sedasi, mulut kering, gangguan akomodasi, vertigo, hipotensi ortostatik.
- Jarang timbul ganguan ekstra piramidalis.
Kontra indikasi :
- Koma.
- Depresi SSP berat.
- Diskrasia darh.
- Hipersensitif.
HALOPERIDOL
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena halt tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul
pada 80% pasien yang diobati haloperidol.
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresi dan
skizofenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif keran
butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over rate nya.
11
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ,
sedangkan efek haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan
menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan
ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan
hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek
antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan
kabur (blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor -adrenergik , tetapi
hambatanya tidak sekuat hambatan CPZ.
Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat CPZ.
Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan
galaktorea dan respon endokrin lainya.
Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D2, lebih lemah
antagonis reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol dalam
waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah pemberian
intramuskular. Waktu paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui
urine dan tinja dan berakhir dalam 1 minggu setelah pemberian. Secara
farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan
masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun
dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresikan melalui
empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan
selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.
Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3
kali per hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum
terkontrol, beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20
mg. Pada pasien dengan efek samping mininal dan belum tercapai respon terapi, dosis
obat dapat ditingkatkan sampai dosis 30-40 mg per hari. Setelah pemberian awal perlu
dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi atau efek samping lainnya yang mungkin
timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis atau penggantian dengan
antipsikotik lain. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat
12
dimulai dengan 0,5-1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari.
Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara lambat
ke dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena
waktu paruhnya panjang.
Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan koma,
depresi SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia lanjut
dengan Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap
Haloperidol.
Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme antidepresan trisiklik,
dapat mengganggu efek antiparkinson dan levodopa, tekanan intra okuler bola mata
dapat terjadi apabila diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme
Haloperidol meningkat bila diberikan bersama dengan carbamazepine.
Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti
parkinson like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas,
opistotonus, dan kadang-kadanga krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah
tardive dyskinesia pada pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian
haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain yang ringan seperti sedasi dan autonomik.
Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat terjadi peningkatan berat badan dan
penurunan fungsi kognitif.
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi
terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai
dengan hati-hati, dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania. Perubahan
hematologi ringan dapat terjadi, seperti leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi
keadaan ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan
kepada wanita hamil, karena belum dapat terbukti bahwa obat ini tidak menimbulkan
efek teratogenik.
PIMOZIDE (Orap)
Indikasi :
- Gangguan skizofrenia kronik untuk memperbaiki sosialisasi.
Dosis : 2 8 mg / hari.
13
Efek samping :
- Jarang timbul gangguan ekstra piramidalis pada dosis terapeutik.
-
Kontra indikasi :
- Koma.
- Hipersensitif.
- Depresi endogen.
- Penyakit parkinson.
DIBENZOKSAZEPIN
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru, namun sebagian besar
memiliki efek farmakologiknya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif,
antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan
psikosis lainnya. Obat ini memiliki efek ekstrapiramidal dan diskinesia tardif, serta
dapat menurunkan ambang bangkita pasien, sehingga harus digunakan hati-hati pada
pasien dengan riwayat kejang.
Loksapin diarbsorbsi baik peroral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu
1 jam (IM) dan 2 jam (oral). Waktu paruh loksapin ialah 3,4. Metabolit utamanya
memiliki waktu paruh lebih lama (9jam).
EFEK MERUGIKAN OBAT ANTIPSIKOTIK
Sebagian besar dari efek yang tidak diinginkan dari antipsikotik adalah disebabkan oleh efek
farmakologis obat antipsikotik tersebut. Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh alergi
dan reaksi idiosinkrasi.
A. Efek terhadap perilaku
Sebagian besar obat antipsikosis tipikal dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan. Kebanyakan pasien menghentikan penggunaan karena efek
merugikan dimana dapat dikurangin dengan pemberian dosis yang tidak terlalu besar.
Pseudodepresi karena disebabkan oleh drug induced akinesia biasanya berespon
dengan pemberian obat antiparkinson. Sebab lain yaitu karena dosis yang terlalu besar
melebihi dari yang dibutuhkan pada pasien remisi dimana pengurangan dosis akan
14
diikuti pengurangan gejala. Toxic-confusional states dapat terjadi dengan
pemberian dosis besar dari obat tersebut.
B. Efek neurologis
Reaksi ekstrapiramidal terjadi pada penggunaan antipsikosis tipikal yaitu
sindrom parkinson, akathisia, dan reaksi distonia akut. Sindrom parkinson dapat
ditangani bila diperlukan, yaitu dengan obat antiparkinson konvensional dengan
blokade reseptor muskarinik seperti amantidin(agonis dopamin seperti levodopa
merupakan kontraindikasi). Akathisia dan distonia juga berespon dengan
antimuskarinik. antihistamin H1 generasi pertama seperti difenhidramin lebih sering
digunakan.
C. Sistem saraf otonom
Sebagian besar pasien dapat mentoleransi efek antimuskarinik dari obat
antipsikotik. Namun jika terjadi efek samping yang tidak nyaman atau terjadi retensi
urin atau gejala lainnya yang lebih berat dapat diganti dengan preparat tanpa efek anti
muskarinik. Hipotensi ortostatik, gangguan ejakulasi akibat terapi klopromazin atau
mesoridazin harus diganti ke obat dengan efek blokade adrenoreseptor minimal.
D. Efek metabolisme dan endokrin
Berat badan bertambah sering terjadi pada pengobatan dengan anti psikosis
khususnya klozapin dan olanzapin dan membutuhkan monitor asupan makanan
terutama karbohidrat. Beberapa pasien juga memperlihatkan kadar glukosa darah
yang meningkat.hiperprolaktinemia pada wanita yang dapat mengakibatkan sindrom
amenore-galaktorea dan infertilitas. Pada pria kehilangan libido, impotensia dan
infertilitas dapat terjadi.
E. Efek alergi dan toksisitas
Agranulositosis, jaundice akibat kolestasis, erupsi kulit jarang terjadi. Klozapin
dapat menyebabkan agranulositosis dalam jumlah kecil kira-kira 1-2%. Karena resiko
agranulositosis tersebut, pasien dengan terapi klozapin harus dilakukan hitung jenis
darah tiap minggu selama 6 bulan pertama dan setiap 3 minggu setelah 6 bulan.
F. Efek kardiotoksisitas
15
Thioridazin dengan dosis harian 300mg dapat menyebabkan abnormalitas
gelombang T yang reversibel. Overdosis thioridazin dapat menyebabkan ventrikular
aritmia, blok konduksi listrik jantung, dan kematian langsung. Antipsikosis atipikal
ziprasidon merupakan obat dengan kemungkinan terbesar menyebabkan pemanjangan
QT interval oleh karena itu jangan dikombinasikan dengan obat lain seperti
thioridazin, pimozid, dan quinidin yang mempunyai efek serupa.
G. Efek dismorfogenesis pada kehamilan
Meskipun obat antipsikosis terbilang aman pada kehamilan, namun masih
terdapat resiko minimal untuk efek teratogenik.
H. Efek sindrom neuroleptik maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas,
dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari
penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah
observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi
terhadap obat anti psikosis( Resiko lebih besar pada long action). Kondisi seperti
dehidrasi, kelelahan, dan malnutrisi membuat resiko SNM menjadi lebih tinggi.
Diagnosis sindrom neuroleptik maligna :
o Suhu badan >38C (hiperpireksia)
o Sindrom ekstrapiramidal berat (rigiditas, resting tremor)
o Gejala disfungsi otonom ( inkontinensia urin)
o Perubahan status mental
o Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
o Sesak nafas, takipnea
o Agitasi psikomotrik
o Perbubahan tingkat kesadaran, Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor
hingga koma (level kesadaran yang fluktuatif)
16
o Gejala timbul dan berkembang dengan cepat.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan
dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor
D-2 pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan
terjadinya peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur
ekstrapiramidal. Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan
titik temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek
antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari
retikulum sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat
berkontribusi dalam terjadinya hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan
penelitian SNM lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol
dan chlorpromazine. Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak
diklasifikasikan secara akurat sebagai golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan
sindrom ini. Contoh obat antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom
neuroleptik maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan
quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga
memiliki resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian
SNM yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan
terdapat insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di
India terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko
kejadian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus
terjadi pada minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20%
dan umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel
otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.
17
18
SUSUNAN PIRAMIDAL DAN EKSTRAPIRAMIDAL
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke LMN atau melalui
interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN. Neuron-neuron tersebut berada pada girus
presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada
dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui
aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik
saraf kranial dan motoneuron dikornu anterior medulaspinalis.
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai
berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan
ganglia basalis mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula
interna.
Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka
untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung dimotor neuron saraf kranial
motorik atau inter neuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar
berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.
Diperbatasan antara medula oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut
kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang
berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi
melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal
sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis.
Susunan Ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah
terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis
yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya
penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki
potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping
19
pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan
farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol
respon neuron-neuron terhadap rangsangan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan
dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet,
spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).
Patofisiologi gejala ekstrapiramidal
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,
nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut
dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen
tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu.
Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena
korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka
lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu:
1. hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus,
2. hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan
3. hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.
Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus
striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan
feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-
20
komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya
mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus
palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari
globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3,
yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminrgik di ganglia basalis. Pada pasien
skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem
dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di
jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminrgi yakni antagonis reseptor
D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di
korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur
striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)
merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya
menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
Gejala ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,
tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.
Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa
menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang
abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot
ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disartria bicara, krisis okulogirik dan sikap
badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan
menggangu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia
laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh
21
antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti
haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim
pada pria muda. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan
retrocolis), otot rahang (trismus, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada
seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal
yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian.
Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di
daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut: Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang
tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi
neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal).
Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia
a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi
neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya
tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau
dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang
digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat
antikolinergik).
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya
gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh
22
gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi
neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada
perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat non-neuroleptik atau kondisi neurologis atau
medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa
berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda
neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya
perubahan medikasi.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau
rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness)
yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.
Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi
cemas atau irritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan anxietas
atau agitasi dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien
dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat,
riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor,
dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya
terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai
23
rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan
otot.
Tardive Dyskinesia
Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot
abnormal, involunter, menghentak, balistik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari
obat antipsikotik . hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Prevalensi sangat bervariasi,
tetapi tardive dyskinesia diperkirakan telah terjadi pada 20-40% pasien kronis yang
diobati sebelum pengenalan antipsycotics atipikal. Deteksi dini dari kelainan ini sangat
penting, karena apabila sudah lama berlangsung kelainan ini dapat menjadi irreversible.
Banyak pihak setuju bahwa langkah pertama untuk mengurangi gejala ini adalah dengan
mencoba untuk menghentikan atau mengurangi dosis antipsikotik saat ini atau beralih
ke salah satu agen atipikal yang lebih baru. Langkah kedua adalah untuk menghilangkan
semua obat dengan menggunakan antikolinergik sentral, terutama obat antiparkinsonism dan
antidepresan trisiklik. Kedua langkah ini cukup sering untuk membawa perbaikan. Namun
Jika kedua cara tersebut tidak efektif, penambahan diazepam dalam dosis 30-
40 mg /hari dapat menghasilkan perbaikan yang nyata dengan meningkatkan
aktivitas GABAergic.
24
BAB III
KESIMPULAN
Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.
Obat antipsikotik merupakan terapi simtomatik terhadap gangguan psikiatrik psikiatrik yang
berguna untuk menghilangkan gejala positif dan negatif. Gejala positif seperti halusinasi,
waham, proses pikir kacau, gejala katatonik, kecurigaan, dan permusuhan. Lalu gejala negatif
antara lain seperti afek tumpul, penarikan emosional, kemiskinan rapot, penarikan diri dari
hubungan sosial serta pasif atau apatis.
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Antipsikotik
tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor
antagonist). Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik
dipercaya sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama
timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku. Obat antipsikotik tidak
selalu efektif mengendalikan gejala psikotik bahkan malah menyebabkan efek samping
terhadap pasien. Efek samping yang ditimbulkan dan perlu diwaspadai yaitu gejala
ekstrapiramidal. Namun sekarang terdapat obat antipsikotik atipikal dengan gejala
ekstrapiramidal minimal dan berhasil mengatasi gejala psikotik.
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Buchanan R.W., Carpenter W.T., Schizophrenia: Introduction and Overview, In:
Kaplan & Sadocks; Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed.,
Philadelphia.:2000:1096-1109.
2. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik : Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Cetakan pertama, 1993,
p:105.
3. Dr. Rusdi Maslim., SpKj.:Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi ke-tiga,
Desember 2001:p:14.
4. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
6. Meltzer Y. Herbert. Antipsychotic and anticholinergic drugs. Michael G. Gelder, Juan
J. Lpez-Ibor, Jr. and Nancy Andreasen in : New Oxford Textbook of Psychiatry.
2000. Chapter 6.2.5. Oxford University Press.