Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANTROPOLOGIINDONESIA
ISSN 1963-167X E-ISSN 1693-6086
Vol. 39 No. 12018
Departemen AntropologiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolikUniversitas Indonesia
Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
A Critical Review of Hardin’s Tragedy of the Commons (1968): A Case Study on the Segara Anakan Community, Cilacap, Central Java
Transformasi Wereng Batang Cokelat dari ‘Hama Tidak Penting’ Menjadi ‘Hama Elite’ Pada Ekosistem Padi Sawah di Pulau Jawa: Sebuah Pembahasan Etnografi Multispesies
You shall not enter the list: Inscriptional Practices and the Politics of Deservingness in IndonesiaInscriptional Practices and the Politics of Deservingness in Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 39 No. 1 2018
Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Dave Lumenta
Redaksi Pelaksana
Dian Sulistyawati, Ezra M. Choesin, Imam Ardhianto, Irwan M. Hidayana
Penyelaras Akhir
Muhammad R. Damm
Manajer Tata Laksana
Sinta Uli
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Pembantu Teknis
Febrian, M. Arief Wicaksono
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin (Universitas Indonesia, Indonesia)
Yasmine Zaky Shahab (Universitas Indonesia, Indonesia)
Timo Kaartinen (University of Helsinki, Finland)
Ratna Saptari (Leiden University, Netherlands)
Kari Telle (Chr. Michelsen Institute)
Meutia Farida Swasono ((Universitas Indonesia, Indonesia)
Martin Slama (Austria)
Heddy Shri Ahimsa-Putra (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
Greg Acciaioli (University of Western, Australia)
Engseng Ho (Duke University, United States of America)
Birgit Brauchler (University of Frankfurt, Germany)
Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia, Indonesia)
ISSN 1963-167X E-ISSN 1693-6086 ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
DAFTAR ISI
A Critical Review of Hardin’s Tragedy of the Commons (1968):
A Case Study on the Segara Anakan Community, Cilacap, Central Java
Prihandoko Sanjatmiko...................................................................................1
Transformasi Wereng Batang Cokelat dari ‘Hama Tidak Penting’
Menjadi ‘Hama Elite’ pada Ekosistem Padi Sawah di Pulau Jawa:
Sebuah Pembahasan Etnografi Multispesies
Rhino Ariefiansyah........................................................................................15
Bahasa Indonesia dalam Konteks: Lingua Franca di Pasar Barter oleh
Orang Puor dan Lamalera di Lembata, Nusa Tenggara Timur
Dea Rifia Bella..............................................................................................39
Intersubjektivitas dan Gaya Kamera dalam Film Etnografi
Aryo Danusiri…………………………………………………...…….........59
You shall not enter the list:
Inscriptional Practices and The Politics of Deservingness in Indonesia
Hestu Prahara……………………………………………………………...75
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018
tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Periode I Tahun 2018 menyatakan bahwa Jurnal ANTROPOLOGI
INDONESIA dengan E-ISSN 1963-6086 ditetapkan sebagai Jurnal Ilmiah Terakreditasi Peringkat 2.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
15
Transformasi Wereng Batang Cokelat dari ‘Hama Tidak Penting’ Menjadi ‘Hama Elite’
pada Ekosistem Padi Sawah di Pulau Jawa: Sebuah Pembahasan Etnografi Multispesies
Rhino Ariefiansyah
Department of Anthropology, Universitas Indonesia
Abstract
This paper aims to situate the transformation Brown Plant-Hopper (BPH) in broader issues of
wetland rice socio-agroecosystem management in Java. By considering multispecies ethnography,
this paper argues that the transformations of BPH from "unimportant insects" into "elite dangerous
pests" is a consequence of the complexity of the interplay between biological processes and social
processes in the context of managing biotic and abiotic elements in rice farming ecosystem. In this
context, wetland rice ecosystems (sawah) is a unique social and biological space where multi-species
actors interact with one another, directly or indirectly. Thus, the transformation of BPH insects is the
result of aggregate of events on a different time and spatial scale. It is a continuation of everyday
acts, and it is long term consequences, as well as of global and local processes. The data used for this
paper obtained through interviews, field observations, and literature studies. During the data
collection process, the author interacts with farmers, scientists, government officials, and activists.
Keywords: multispecies ethnography, brown plant hopper, rice agriculture, anthropology of ecology
Pendahuluan
Tulisan ini hendak memberikan analisis
terhadap proses transformasi sosial hama
wereng batang cokelat (WBC) dari ‘serangga
yang tidak penting’ menjadi ‘hama elite’ yang
mengancam penghidupan petani, mengganggu
produktivitas beras nasional, dan memengaruhi
ketegangan politik di antara aktor-aktor
manusia yang berkepentingan. Dengan
menggunakan pendekatan etnografi multi-
spesies, tulisan ini hendak membawa
pembahasan tentang fenomena mewabahnya
serangga WBC ke dalam diskusi mengenai
relasi manusia dengan spesies nonmanusia.
Relasi interspesies antara manusia, tanaman
padi, dan serangga hama dideskripsikan
mengikuti logika antropolog Ana Tsing. Relasi
tersebut terjadi melalui serangkaian peristiwa
dalam bingkai waktu dan kemungkinan-
kemungkinan sebagai proses mempertahankan
kelangsungan hidup bersama (collaborative
survival) antara beberapa spesies yang saling
berinteraksi dalam satu himpunan kehidupan
(Tsing, 2015). Dalam konteks pengelolaan padi
sawah, proses tersebut tidak selamanya
menghasilkan situasi yang sesuai dengan
keinginan dan maksud dari aktor-aktor yang
terlibat. Ketika petani menyemprotkan cairan
racun kimia untuk membunuh populasi
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
16
serangga WBC, ia membayangkan dirinya
sedang berupaya menyelamatkan tanamannya
agar tetap tumbuh dan menghasilkan panen
yang baik. Sang petani tidak membayangkan
bahwa tindakannya justru bisa memicu
kemunculan kembali (resurgency) serangga
hama di masa yang akan datang (Ratna,
Trisyono, & Untung, 2009). Sementara itu, para
aktor yang meloloskan izin usaha penjualan
pestisida atau merekomendasikan
penggunaannya bisa saja berpikiran bahwa
keputusan mereka bertujuan untuk mencegah
kegagalan panen dan menyelamatkan stok
pangan nasional. Mereka tidak
mempertimbangkan secara seksama
konsekuensi di masa datang yang justru
berlawanan dengan tujuan diterapkannya
kebijakan tersebut.
Dalam studi-studi antropologi
lingkungan, ekologi manusia, pemanfaatan
teknologi, dan perubahan iklim, konsekuensi-
konsekuensi yang tidak dimaksudkan
(unintended consequences) sudah banyak
diangkat untuk menjelaskan dampak-dampak
dari proses pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam (lihat misalnya Gagné,
Rasmussen, & Orlove, 2014; Knight, 1996;
Ribot & Peluso, 2009; Taylor, 2017).
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak
dimaksudkan, baik sebagai akibat dari relasi
sosial antarmanusia maupun antara manusia
dengan unsur-unsur ekosistem lain, penting
untuk dijelaskan agar dapat keluar dari
penjelasan normatif yang melihat kebudayaan
sebagai sistem ide yang linear, alih-alih
kompleksitas yang membuka serangkaian
kemungkinan. Antropolog Robert Textor,
misalnya, melihat bahwa perubahan sosial
budaya yang cepat—terutama didorong oleh
pemanfaatan teknologi—dapat mengarah pada
kerusakan yang tidak diinginkan dan tidak
dapat diantisipasi (Textor et al., 1985).
Pemikiran tersebut menuntunnya pada sebuah
usulan untuk mengembangkan kajian
‘antropologi antisipatif’ (anticipatory
anthropology) yang pada masanya dianggap
kontroversial karena memperhitungkan elemen
masa depan dalam etnografi. Di sisi lain, studi-
studi tersebut memperlihatkan keterbatasan
kapasitas manusia dalam memprakirakan,
memprediksi, dan mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Di
tengah klaim-klaim modernitas yang
menjanjikan kepastian akan kemajuan,
kemudahan, dan kendali atas masa depan, studi-
studi tersebut memperlihatkan bahwa manusia
bukan satu-satunya aktor yang dapat
menentukan arah dari sebuah transformasi.
Narasi tentang proses transformasi
serangga WBC dalam tulisan ini berusaha
untuk keluar dari pandangan etnografis tentang
nilai baik–buruk yang disematkan pada
perilaku tertentu. Terinspirasi oleh antropolog
Eduardo Kohn (2007), tulisan ini berupaya
membangun deskripsi antropologis mengenai
kehidupan (anthropology of life) yang
menekankan pada keterjalinan relasi antara
manusia dengan bentuk-bentuk kehidupan lain
di sebuah ruang hidup bersama. Argumen di
dalam tulisan ini didasarkan pada pemahaman
bahwa proses transformasi serangga WBC
menjadi ‘serangga hama berbahaya’
merupakan konsekuensi dari kompleksitas
kelindan antara proses biologis dan proses
sosial yang berlangsung dalam konteks
pengelolaan unsur-unsur biotik dan abiotik
dalam kegiatan pertanian, khususnya padi.
Proses tersebut terjadi dalam pengelolaan
ekosistem padi sawah sebagai ruang sosial dan
ruang biologis yang unik dibandingkan dengan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
17
kegiatan agrikultur lainnya. Oleh karena itu,
penting untuk memberikan narasi sejarah
mengenai praktik pertanian padi sawah dalam
rangka menggambarkan konteks dan rangkaian
preseden yang memungkinkan terjadinya
proses transformasi serangga WBC.
Tulisan ini berargumen bahwa
transformasi serangga WBC dari ‘serangga
tidak penting’ menjadi ‘serangga elite’ yang
berbahaya merupakan agregat dari proses
eksploitasi dan expropriasi sumber daya alam
untuk menunjang model pertanian yang
berorientasi pada peningkatan produksi dan
penyediaan pangan. Proses tersebut mendorong
terbentuknya relasi dalam jejaring bio-sosial
yang kompleks antara aktor-aktor manusia,
serangga, dan tanaman padi yang diwarnai
dengan motif-motif eksploitasi, ketimpangan,
dan—dalam beberapa kasus—dicirikan oleh
relasi yang abusif. Proses tersebut terjadi dalam
rentang waktu yang panjang, sehingga
memungkinkan terjadinya evolusi bersama (co-
evolution) di antara spesies-spesies yang
terlibat. Etnografi multi-spesies saya anggap
dapat membantu memberikan bingkai untuk
menjelaskan kompleksitas persoalan ini.
Menurut Kirskey & Helmreich (2010),
etnografi multi-spesies berusaha menempatkan
spesies nonmanusia pada posisi penting dalam
sebuah deskripsi etnografi. Makhluk dan
organisme nonmanusia seperti jamur, bakteri,
pohon, mikroba, yang selama ini ditempatkan
sebagai aktor pendukung dalam sebuah
deskripsi etnografi, kemudian ditempatkan
dalam posisi sentral dan setara dengan aktor
manusia (Kirksey & Helmreich, 2010: 545).
Namun demikian, kajian yang berfokus pada
relasi antar-spesies bukanlah kajian baru yang
muncul begitu saja dalam tradisi antropologi.
Sejak lama para antropolog sudah mengkaji
beragam topik klasik mengenai kegiatan
berburu dan penciptaan simbol-simbol sakral
yang merujuk pada perilaku dan wujud
binatang. Kirskey dan Helmrich
mengilustrasikan bagaimana Louis Henry
Morgan membuat sebuah kajian komparatif
mengenai pengetahuan dan keterampilan
rancang bangun antara manusia dan berang-
berang pada akhir abad ke-19 (2010: 549) atau
tulisan Gregory Bateson tentang eksperimen
komunikasi antara manusia dan lumba-lumba
yang ditulis pada tahun 1960-an (Bateson,
1987). Studi-studi terdahulu mengenai totem
juga membahas peran binatang dalam
kaitannya dengan ritus dan sistem kepercayaan
beragam suku bangsa, seperti yang dilakukan
oleh antropolog strukturalis Levi-Straus dan
Radcliffe-Brown (lihat Fortes, 1966). Selain
itu, walaupun tidak eksplisit diutarakan
penulisnya, kita tidak mungkin mengabaikan
begitu saja upaya awal deskripsi etnografi
multi-spesies yang pernah dilakukan James J.
Fox di Kepulauan Roti, Sawu, dan Timor, yang
berfokus pada peranan pohon lontar (Borassus
atau Palmyra palm) untuk menjelaskan relasi
sosial, politik, ekonomi, dan perubahan lanskap
ekologi di ujung Kepulauan Tatar Sunda itu
(lihat Fox, 1978). Terlepas dari perdebatan
teoretisnya, kajian-kajian etnografi tersebut
memperlihatkan bahwa dalam sejarah
perkembangan antropologi, peranan spesies
nonmanusia sudah diperhitungkan untuk
menjelaskan berkembangnya kebudayaan dan
peradaban manusia.
Dalam konteks mutakhir, kajian
antropologi multi-spesies tidak dapat
dipisahkan dari ketertarikan antropolog untuk
menggeluti isu-isu lingkungan dalam skala
global, seperti isu perubahan iklim dan Science,
Techology & Society (STS). STS sendiri telah
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
18
menarik antropologi ke dalam diskursus
interdisipliner mengenai anthropocene.
Anthropocene adalah era geologis (geological
epoch) yang ditandai oleh peran manusia dalam
memengaruhi lingkungan pada skala planet.
Paul J. Crutzen, ahli kimia atmosfer dari
Belanda, mendeskripsikan anthropocene
sebagai human-dominated geological epoch
(Crutzen, 2002), di mana jejak-jejak manusia
mendominasi kekuatan alam dan memengaruhi
berjalannya fungsi bumi secara global.
Setidaknya ada tiga aspek yang menandai peran
manusia dalam memengaruhi sistem kerja
bumi, yaitu (1) perubahan komposisi unsur
kimia di lapisan atmosfer akibat beragam
kegiatan yang menghasilkan emisi gas rumah
kaca, (2) degradasi lapisan biosfer akibat
kegiatan pembukaan lahan untuk pertanian dan
perkebunan yang berdampak pada degradasi
lahan dan hilangnya keragaman hayati, dan (3)
terganggunya siklus unsur-unsur kimia yang
penting bagi keberlangsungan bumi, seperti air,
nitrogen dan fosfat yang terutama dimanfaatkan
untuk sektor pertanian (Bonneuil, Fressoz, &
Fernbach, 2016). Dalam konteks inilah, kajian
etnografi multi-spesies abad ke-21
berkembang, yaitu sebagai upaya untuk
memahami peran manusia sebagai bagian dari
satu ekosistem bumi. Oleh karena itu, menurut
Kirksey & Helmreich (2010), etnografi multi-
spesies mengeksplorasi batas-batas antara apa
yang selama ini dikonstruksikan sebagai natur
(nature) dan kultur (culture) dengan
mengedepankan perhatian dan kepedulian
ekologis (Kirksey & Helmreich, 2010: 548).
Perlu diperhatikan bahwa secara
metodologis juga berkembang ide-ide kritis
untuk mendorong batas-batas konseptual
terkait cara antropolog berhubungan dengan
subjek kajiannya. Salah satunya adalah kritik
terhadap relasi asimetrik antara antropolog
dengan orang, benda-benda, dan binatang yang
menjadi subjek kajian mereka. Munculnya
konsep ‘interlocutor’ untuk menggantikan
istilah ‘informan’ dianggap sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi kesenjangan hierarkis
yang menempatkan manusia pada posisi lebih
tinggi. Pemikiran tersebut begitu radikal,
sehingga tidak hanya memproblematisasi
subjektivitas etnosentrisme antropolog
terhadap orang-orang yang menjadi subjek
kajian mereka, tetapi juga memproblematisasi
pandangan subjektif antroposentris dan
antropomorfis terhadap makhluk hidup
nonmanusia dan benda-benda yang menjadi
bagian dari kajian etnografi. Ide mengenai
‘parlemen benda-benda’ (parliament of things)
dari Bruno Latour (2004) secara spesifik
menegaskan hal ini.
Upaya untuk menciptakan relasi
simetris antara manusia dan spesies lain juga
berkembang pada ranah ilmu sosial lain, seperti
sejarah. Dalam bingkai paradigma post-human,
kajian sejarah tentang relasi manusia dengan
spesies nonmanusia berangkat dan berkembang
dari upaya untuk menempatkan agen-agen
nonmanusia dalam kapasitasnya sebagai aktor
yang mengizinkan (allowing) atau menghambat
(blocking) hasrat dan keinginan manusia
(Pearson, 2015). Pemikiran tersebut kemudian
dikembangkan untuk mengeksplorasi akar
sejarah dan masa depan dunia yang lebih luas
(more-than-human world) dengan
mengeksplorasi ketegangan dan relasi di antara
agen-agen manusia dan nonmanusia dalam
berbagai bentuk interaksi. Hal ini bukan berarti
bahwa kajian-kajian tersebut mengabaikan
peran dan kapasitas manusia sama sekali.
Mengutip Kohn (2003), kajian antropologi
yang melampaui manusia sebagian besar adalah
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
19
upaya untuk mengapresiasi kenyataan bahwa
manusia juga merupakan produk dari proses-
proses di luar konteks manusia tanpa terjebak
dalam penjelasan determinasi lingkungan yang
simplistis.
Mempertimbangkan peranan agensi
nonmanusia dalam deskripsi ilmu sosial
diperlukan untuk menggambarkan
kompleksitas realitas sosial dalam sebuah
fenomena historis yang terbentuk dari
hibridisasi berbagai elemen, termasuk peranan
serangga WBC yang menjadi perhatian dalam
tulisan ini. Dengan demikian, berkembangnya
perspektif multi-spesies dalam antropologi
tidak bertujuan untuk mengeliminasi peran
manusia sama sekali, melainkan sebuah upaya
untuk mereduksi dominasi narasi
antroposentris dan antropomorfis dalam
menjelaskan kompleksitas jaring-jaring
kehidupan. Menyitir antropolog Philippe
Descola (2013), upaya untuk menyerahkan
sedikit ego dari dominasi penjelasan
antroposentris amat penting bagi ilmu
antropologi agar dapat berkontribusi dalam
mengurai kompleksitas relasi ekologis di luar
cara pandang dualistik yang melihat dunia
secara dikotomis antara keteraturan universal
material (nature) dan kekhasan sistem-sistem
nilai (culture) dalam relasi yang deterministik
dan antroposentris.
Catatan tentang Metode Pengumpulan Data
Artikel ini ditulis berdasarkan data yang
dihimpun dari berbagai wawancara dan
pengamatan terlibat saat terjadi peristiwa
ledakan populasi serangga WBC pada tahun
2010–2011 dan tahun 2016–2017 di beberapa
wilayah pertanian padi sawah di Indramayu
(Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), dan
Lamongan (Jawa Timur). Selain itu, studi
pustaka juga dilakukan dengan menelusuri
studi-studi terdahulu tentang peristiwa ledakan
populasi serangga WBC yang setidaknya sudah
tercatat sejak tahun 1931. Secara metodologi,
tidak ada hal baru yang saya tawarkan dalam
artikel ini, karena pada prinsipnya saya
mengikuti tradisi berpikir eklektik yang sudah
lama dipraktikkan oleh para antropolog (Blasco
& Wardle, 2007: 175). Selama periode 2010–
2017 saya juga terlibat dalam berbagai diskusi
formal dan informal dengan beberapa orang
petani, akademisi, dan aktivis lingkungan
dengan latar belakang berbeda yang menekuni
berbagai aspek bio-ekologis serangga WBC.
Kesempatan untuk mendokumentasikan
beragam peristiwa dan mengamati aktivitas
petani di sawah, para ahli serangga di
laboratorium entomologi, petugas pengamat
hama di lahan percobaan, dan ilmuwan dari
beragam disiplin dalam forum-forum ilmiah
serta forum politik, saya manfaatkan sebagai
bahan untuk menyusun artikel ini. Dengan
demikian, pemahaman saya tentang serangga
WBC tidak hanya melingkupi aspek-aspek on-
farm tapi juga aspek-aspek off-farm. Dari
proses tersebut, saya menyadari bahwa
serangga WBC hidup tidak hanya dalam wujud
faktual pada ekosistem padi sawah, tetapi juga
hidup dalam bentuk virtual melalui
penggambaran imaji dan bentuk-bentuk
representasi lainnya. Wereng dalam wujud
virtualnya sewaktu-waktu dapat ditampilkan
pada arena sosial ketika dibicarakan dalam
forum-forum akademik di kampus, di ruang-
ruang rapat, pada kolom-kolom surat kabar dan
artikel ilmiah, bahkan di arena diskusi politik.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan
berbagai cara, mulai dari catatan lapangan
hingga dokumentasi visual dalam bentuk foto
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
20
dan rekaman audio-video. Saya cukup
beruntung karena selama kurang lebih dua
tahun dapat bergabung dengan satu tim
penelitian antropologi yang terdiri atas
antropolog senior dari Indonesia dan Australia
yang sudah menggeluti topik pertanian sejak
tahun 1970-an. Sebagai bagian dari tim
tersebut, saya juga menghasilkan sebuah karya
video dokumenter ‘Wereng di Sawah Petani’
yang berisi narasi tentang peristiwa ledakan
hama WBC dari perspektif petani, peneliti, dan
pemerintah (Ariefiansyah, 2011). Mengingat
keragaman sumber data yang saya kumpulkan
untuk tulisan ini, maka cakupan dan lokus riset
dalam penelitian ini tidak hanya bersifat jamak
(multi-sited), tetapi juga lintas-skala
(interscale) (Roncoli, 2006; Stephen &
Downing, 2001). Dari proses pengumpulan
data itu pula saya memperoleh pemahaman
bahwa proses transformasi WBC bukan hanya
agregat dari peristiwa-peristiwa lintas ruang,
tetapi juga lintas skala dalam dimensi ruang dan
waktu. Ia merupakan kelindan dari proses-
proses global dan lokal dalam skala waktu yang
berbeda-beda. Proses tersebut melibatkan
peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari yang bisa
saja berpengaruh dalam jangka waktu panjang,
dan tentu saja, keputusan-keputusan di masa
lalu untuk tujuan-tujuan besar yang bisa jadi
berakibat pada konsekuensi-konsekuensi tidak
diinginkan yang sudah, sedang, dan mungkin
akan terjadi di masa mendatang.
Ekosistem Padi Sawah sebagai Situs
Etnografi Multi-Spesies
Menelusuri bentang alam kawasan pesisir utara
Jawa bagian barat, dari Karawang hingga
Indramayu, kita akan disuguhi hamparan sawah
yang membentang sejauh mata memandang.
Dari waktu ke waktu hamparan itu berubah
warna: kadang hijau, kuning keemasan, atau
cokelat. Di beberapa tempat, saat musim hujan
air menggenang menenggelamkan tanaman
padi. Di lain waktu, tanah terbelah retak akibat
kekurangan air. Orang Indramayu
menyebutnya tela—pada kondisi itu tanaman
buah dan sayuran, seperti semangka, cabe,
timun, dan kacang-kacangan, menggantikan
tanaman padi. Sebagian lainnya dibiarkan
dalam kondisi bera. Dalam beragam ekspresi
estetik, ekosistem padi sawah didominasi oleh
representasi generik yang statis dengan nuansa
hijau atau kuning keemasan. Pada
kenyataannya, ekosistem padi sawah tidaklah
stabil. Ia berubah-ubah mengikuti siklus musim
tanam yang kadang terinterupsi oleh kondisi
ekstrem, seperti kekeringan ataupun banjir.
Walaupun upaya pengembangan infrastruktur
memungkinkan ketersediaan air sepanjang
tahun, kegiatan pertanian sawah di Pulau Jawa
amat bergantung pada siklus hujan yang
dipengaruhi gelombang udara Austral-Asia
yang dikenal dengan muson barat dan muson
timur (Naylor, Battisti, Vimont, Falcon, &
Burke, 2007). Selain itu, dinamika iklim global
yang ditandai oleh fenomena El Nino dan La
Nina juga turut memengaruhi ekosistem
pertanian sawah. Kondisi El Nino yang
berakibat pada kekeringan sering kali
menyebabkan berkurangnya produksi beras
secara nasional karena berkurangnya lahan
yang dapat ditanami padi (Amien,
Rejekiningrum, Pramudia, & Susanti, 1996;
Fox, 1992: 213). Dalam kondisi seperti itu,
lahan-lahan yang tidak terjangkau oleh kanal-
kanal irigasi hampir tidak mungkin ditanami
padi yang relatif membutuhkan ketersediaan air
lebih banyak dari jenis tanaman lain.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
21
Sejak diperkenalkannya ‘benih-benih
ajaib’ hasil persilangan plasma nutfah oleh para
ilmuwan, siklus musim tanam padi berlangsung
lebih cepat. Benih-benih baru itu didesain untuk
berumur pendek, berproduksi tinggi, responsif
terhadap asupan kimia, dan tahan terhadap
beragam hama penyakit. Para ilmuwan
memahami bahwa pertanian dengan hasil
rendah (low yielding agriculture) bersifat lebih
stabil, namun tidak dapat memenuhi kebutuhan
pangan yang berbanding lurus dengan
pertumbuhan populasi manusia di perkotaan
dan pedesaan (Plucknett, Smith, Williams, &
Anishetty, 1987: 175). Di jalan-jalan pedesaan
di Indramayu, ketika tanaman padi menguning
kecokelatan, orang-orang sibuk. Kendaraan
pick-up hilir-mudik membawa karung-karung
hasil panen ke tempat pengeringan. Kendaraan-
kendaraan itu pula yang dipakai untuk
mengangkut buruh tani dari dan menuju area
persawahan yang siap panen. Demikian juga
pada saat musim tanam tiba; buruh tanam
dimobilisasi dari satu tempat ke tempat lain.
Walaupun banyak petani mengakui bahwa
kegiatan cocok tanam padi sawah tidak
menguntungkan secara finansial, ia tetaplah
denyut nadi kehidupan bagi jutaan orang.
Kajian sosial terdahulu mengenai praktik
pertanian padi di Jawa tidak hanya melihat
praktik ini sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Padi juga memiliki arti
penting sebagai komoditas sosial terkait dengan
ritus-ritus dan kepercayaan lokal yang
menganggap padi sebagai benda yang memiliki
nilai sakral (Kroef, 1952). ‘Sudah jadi
kebiasaan, mau untung atau rugi tetap tanam
padi,’ demikian penuturan seorang petani di
pesisir utara Indramayu. Sebagai pengukur
curah hujan, ia paham bahwa menanam padi
dalam kondisi El Nino hanya akan
mengakibatkan kegagalan panen, namun ia tak
kuasa untuk keluar dari kebiasaan itu. Baginya
kegagalan adalah risiko yang harus ditanggung
sebagai petani (Winarto, Stigter, &
Ariefiansyah, 2015).
Dalam catatan sejarah pertanian di
Pulau Jawa, model pengelolaan lahan basah
untuk pertanian padi yang dikenal dengan
sawah telah berkontribusi terhadap pemenuhan
kebutuhan pangan utama bagi sebagian besar
penduduknya. Reid (1988) dan Lombard
(1996) menulis bahwa sistem irigasi untuk
pertanian padi menetap sudah dipraktikkan di
Jawa bagian timur setidaknya sejak abad ke-8.
Namun demikian, pengolahan lahan basah
untuk pertanian padi dipercaya sudah dilakukan
sebelum adanya pengaruh India, yaitu sejak
zaman neolitik dengan memanfaatkan siklus
pasang surut di Kali Brantas (Van Setten van
der Meer, 1979). Dari penelusuran dokumen
perdagangan, kota pelabuhan seperti Jepara dan
Surabaya sudah mengekspor beras ke daerah
lain di Nusantara setidaknya sejak abad ke-15
(Reid, 1988). Dalam sejarahnya, pengelolaan
ekosistem padi sawah sarat dengan berbagai
bentuk intervensi serta rekayasa sosial dan
rekayasa ekologis. Antropolog Geertz (1963:
30–31) menganalogikan pengelolaan lahan
sawah dengan pembuatan akuarium
(fabricating an akuarium) yang berpusat pada
pengaturan kontrol dan distribusi air. Henley
(2008) mengungkapkan bahwa pertanian padi
sawah bergantung pada tiga hal, yaitu (1)
pengelolaan pengairan untuk mengatasi
problem banjir, (2) upaya untuk menjaga
kesuburan tanah akibat pola tanam berulang
setiap tahun, dan (3) mengatasi persoalan hama
dan penyakit akibat kerentanan tanaman padi.
Penjelasan Henley dan Geertz menekankan
bahwa ekosistem padi sawah pada dasarnya
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
22
adalah sebuah ‘ekosistem buatan’ manusia. Ia
adalah hasil dari sebuah rekayasa ekologis yang
diciptakan untuk mengelola dan memenuhi
kebutuhan sumber kalori utama manusia di
wilayah ini: beras. Sebagai komoditas penting,
rantai produksi dan distribusi beras juga tidak
luput dari kepengaturan sosial. Beragam proyek
sejak era pra-kolonial dirancang dan diterapkan
untuk mengatur produksi dan distribusi
komoditas ini melalui beragam eksperimen
yang sering kali bersinggungan dengan
kepentingan yang lebih besar, yaitu penguasaan
sumber daya alam, terutama lahan. Oleh karena
itu, Lombard menyebutnya sebagai ‘Politik
Agraris’ (Li, 2007: 34; Lombard, 1996: 21).
Kesempatan untuk melakukan
penelitian lapangan di wilayah pertanian padi
sawah memberi saya pemahaman mikroskopik
tentang ekosistem tersebut. Sepetak sawah
adalah arena sosial tempat berlangsungnya
interaksi antara makhluk hidup dengan unsur-
unsur biotik dan abiotik yang mendukungnya.
Setidaknya ia dihuni, baik secara permanen
maupun temporal, oleh tanaman padi, beragam
jenis serangga, mikroba, jamur, dan beragam
organisme lain, baik yang hidup atas kehendak
dan intensi manusia ataupun yang hidup dan
berkembang di luar kehendak manusia. Sebagai
ekosistem yang terhubung dengan ekosistem
lain, sawah juga menjadi tempat berkembang
biaknya organisme-organisme baru yang
mungkin tidak ada sebelumnya. Keberadaan
keong emas [Pomacea canaliculata (Lamarck)]
adalah salah satu contoh kasus invasi spesies
baru yang berkembang di ekosistem sawah di
Jawa dan di tempat-tempat lain di Indonesia.
Spesies keong emas berasal dari benua Amerika
Selatan. Mereka pertama kali didatangkan
sebagai hiasan dan pakan ikan dalam akuarium.
Ia tidak hanya dianggap eksotis karena
tampilannya yang menarik, tetapi juga
berpotensi menjadi sumber protein bagi
masyarakat pedesaan di negara-negara dunia
ketiga (Ranamukhaarachchi &
Wickramasinghe, 2006; Teo, 2003). Sejak
akhir tahun ‘90-an, keong emas berangsur-
angsur menginvasi ekosistem sawah dan
menjadi hama pengganggu tanaman padi.
Pengendalian hama keong emas sudah menjadi
perhatian ilmuwan dunia karena menyebabkan
kerugian finansial dan ekosistem yang cukup
besar.
Meskipun petani adalah aktor yang
dianggap paling memahami kondisi ekosistem
sawah, kenyataannya, tidak semua petani betul-
betul memahami keragaman organisme yang
ada di hamparan sawah mereka. Beberapa
orang petani yang saya temui di daerah berbeda
tidak mengenal sama sekali apa yang dalam
pertanian ekologis dikenal sebagai ‘musuh
alami’ atau organisme ‘sahabat petani’
(Shepard, Barrion, & Litsinger, 1987). Seorang
petani lain juga mengakui bahwa ia baru
mengetahui keberadaan makhluk lain selain
tanaman padi dan hama setelah mengikuti
kegiatan Sekolah Lapangan Pertanian Terpadu
(SLPHT). ‘Sebelum ikut SLPHT saya hanya
tahu bahwa di sawah itu hanya ada tanaman
padi dan hama, makanya setiap saat harus
menggendong tank,’ ujarnya. Pemahaman
petani tentang kondisi agro-ekosistem sawah,
menurut Winarto (2004), terbatas pada hal-hal
yang dapat diamati oleh pancaindera,
sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati
pancaindera sulit menjadi bagian dari skema
pengetahuan mereka. Kendati demikian,
‘terbatasnya’ pengetahuan petani tentang
kondisi agro-ekosistem sawah bisa jadi tidak
sepenuhnya disebabkan oleh kapasitas petani
dalam mengamati elemen-elemen agro-
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
23
ekosistem. Faktanya, kosakata bahasa
Indramayu masih mengenal beberapa jenis
serangga sahabat petani, antara lain
kinjeng/capung (Crocothemis servilia), kepik
(Micraspis sp.), copet/tomket (Peaderus
fuscipes), bibis/kepik air besar, lamuk ijo
(Cyrtorhinus lividipennis), gonggo (Lycosa
pseudoannulata, Argiope catenulata), samber
mata/kepik air kecil, cotom binang/kumbang,
dan walang ketik/belalang antena panjang. Hal
ini menunjukkan bahwa serangga ‘sahabat
petani’ pernah menjadi bagian dari skema
pengetahuan lokal.
Di sisi lain, pengenalan pengetahuan
modern pertanian yang berorientasi pada proses
mekanisasi dan penggunaan input-input
pertanian begitu gencar menjanjikan
kemudahan dan hasil yang baik. Di area
persawahan kita dapat melihat reklame
beragam jenis racun ‘ampuh’ yang menjanjikan
hasil yang baik. Promosi penggunaan pestisida
tidak hanya melibatkan para distributor dan
formulator, tetapi juga petugas penyuluh
pertanian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
petugas penyuluh sering terlibat dalam kegiatan
promosi produk-produk pertanian tanpa
menyertakan penjelasan terkait konsekuensi
buruk yang mungkin diakibatkan oleh
penggunaannya. Kekeliruan semantik dalam
penggunaan istilah ‘obat’ alih-alih ‘racun’
untuk merujuk pada beragam jenis insektisida
(Winarto, 2004) adalah salah satu hal yang
berlaku umum, bahkan hingga saat ini, tanpa
ada upaya yang cukup kuat untuk
meluruskannya. Penelitian sekelompok ahli
lintas disiplin menunjukkan bahwa penggunaan
pestisida dengan cara-cara yang tidak aman
bukan hanya berpengaruh buruk terhadap
keseimbangan ekosistem sawah, tetapi juga
mengganggu kesehatan tubuh para petani
(Murphy et al., 2008). Kasus-kasus keracunan
pestisida yang dialami petani masih terus
dilaporkan hingga saat ini.
Dalam skala waktu dan dimensi yang
beragam, apa yang terjadi dalam ekosistem
sawah juga ditentukan oleh aktor-aktor lain
yang mungkin tidak berinteraksi langsung
dengan ekosistem sawah. Pada praktiknya,
upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan
dalam pengelolaan padi sawah tidak melulu
menyangkut aspek agronomis (on-farm), tetapi
juga pengorganisasian sosial, mobilisasi buruh,
dan penentuan keputusan-keputusan politik,
terutama yang mengarah pada bentuk-bentuk
intensifikasi, mekanisasi, dan mobilisasi tenaga
kerja. Sering kali masalah gangguan hama
justru diatasi dengan upaya-upaya intensifikasi
dan peningkatan produksi untuk menutupi
kehilangan akibat serangan hama dan penyakit
pada musim sebelumnya (Henley, 2008: 276).
Oleh karenanya, berbagai riset dan
rekomendasi teknis diajukan oleh para ilmuwan
untuk menunjang program intensifikasi, seperti
peningkatan indeks penanaman dari satu kali
menjadi tiga kali, bahkan empat kali, dalam
satu tahun (Supriatna, 2012). Beragam upaya
dan rekomendasi tersebut digalakkan dengan
berbagai cara, bahkan dengan melibatkan
personel militer untuk memobilisasi petani agar
mengikutinya (Afrida, 2015). Hal ini tidak
dapat dipisahkan dari keberlanjutan historis, di
mana ‘politik beras’ atau ‘politik agraris’
menjadi salah satu kebijakan penting yang
diterapkan di Indonesia pada awal Orde Baru.
Tujuannya tidak hanya untuk menggenjot
produksi padi, tetapi juga untuk mewujudkan
ide-ide tentang masyarakat petani yang lebih
modern. Kendati demikian, sekalipun Orde
Baru sering kali dinarasikan sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab atas situasi ini, pada
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
24
kenyataannya paradigma pembangunan
pertanian era Reformasi masih juga bergantung
pada asupan kimia. Meningkatnya nilai impor
pestisida kimia sejak tahun 2003
mengilustrasikan kecenderungan ini.
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa
sebagai sebuah situs etnografi multi-spesies,
interaksi di dalam ekosistem padi sawah tidak
selalu mempertemukan aktor-aktor yang
terlibat, baik aktor manusia maupun
nonmanusia, secara langsung. Namun
demikian, keputusan-keputusan yang diambil
di tempat yang jauh dari ekosistem persawahan
bisa jadi justru menjadi faktor yang
memengaruhi dan amat menentukan dinamika
hubungan antar-spesies yang terjadi dalam
ekosistem sawah yang berpusat pada aktor
utama, yaitu tanaman padi. Dalam sejarah
pembangunan pertanian Indonesia, beras
menjadi satu indikator pencapaian
‘swasembada pangan’ yang terus-menerus
dicanangkan sebagai pencapaian politik utama
oleh para pemimpin negara (Tjondronegoro,
2014). Untuk mencapai hal itu, Indonesia
pernah bergantung pada adopsi paradigma
pembangunan pertanian revolusi hijau yang
mulai dicanangkan sejak akhir tahun 1960-an.
Revolusi hijau ala Indonesia, merujuk pada
Maurer, adalah penerapan paket-paket rekayasa
ekologi sosial yang terdiri dari penyediaan
varietas padi unggul, subsidi pupuk kimia, dan
pemberian kredit bunga rendah kepada petani
(Maurer, 1985; Van Der Eng, 1994). Apa yang
terjadi setelah itu menunjukkan bahwa praktik
pertanian padi sawah amat tergantung pada
asupan-asupan input kimia yang berpengaruh
terhadap relasi antar-spesies pada ekosistem
padi sawah, termasuk berkembangnya beragam
jenis ‘hama elite baru’ seperti wereng batang
cokelat (WBC). Sogawa (2015), seorang ahli
biologi Jepang, mengungkapkan bahwa
Indonesia adalah satu contoh utama (prime
example) negara yang mengadopsi pengelolaan
hama dengan mengandalkan pestisida kimia
yang turut memicu terjadinya ledakan hama
WBC. Di sisi lain, situasi ini juga berpengaruh
terhadap modalitas semiotik petani yang
Grafik nilai impor pestisida Indonesia sejak tahun 1961, diunduh dari website FAO
(FAOSTAT) http://www.fao.org/faostat/en/#data/RT/visualize
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
25
memahami pestisida sebagai ‘obat’ alih-alih
‘racun’ (Winarto, 2004). Dengan pemahaman
itu, petani mengaplikasikan racun sebagai
upaya pengobatan tanaman yang sakit dan
bukan untuk membunuh serangga. Wujud dari
pengetahuan itu adalah praktik-praktik
penerapan dosis dan ‘mengoplos obat’ yang
lumrah dilakukan oleh petani. Banyak petani
mengakui bahwa kegiatan menyemprot
dilakukan bukan lagi untuk mengendalikan
hama, tetapi memberikan perasaan ‘tenang’
secara psikologis karena sudah melakukan
upaya ‘pencegahan’.
Wereng Batang Cokelat sebagai Entitas
Bio-Sosial
Wereng batang cokelat [Nilaparvata lugens
(Stål)] atau WBC adalah serangga berukuran
kecil. Seekor wereng dewasa macropterus
dengan ciri morfologi sayap yang tumbuh
sempurna, panjang badannya bisa mencapai
sekitar 6–7 mm, sementara wereng dewasa
brachiptera dengan sayap yang tidak tumbuh
sempurna, ukurannya sedikit lebih kecil. Dua
jenis serangga WBC itu berwarna kecokelatan,
berbeda dengan sepupu spesiesnya yang kurang
dikenal, yaitu wereng punggung putih palsu
(Sogatella furcifera) dan spesies serangga lain,
yaitu wereng hijau (Nephotettix virescens) yang
dikenal oleh petani sebagai vektor pembawa
virus tungro. Perbedaan morfologi serangga
WBC (machropterus dan brachiptera) yang
ditandai dengan perbedaan pertumbuhan sayap
berakibat pada perbedaan kemampuan
serangga WBC untuk menetap dan bermigrasi.
Penting untuk disadari bahwa WBC bersayap
awalnya berkembang di antara kerumunan
lokal populasi wereng yang tidak bersayap.
Berkembangnya individu-individu bersayap
adalah semacam ‘sinyal’ morfologis untuk
bermigrasi dan berkembang biak ke sawah lain
yang menyediakan cadangan makanan lebih
banyak, sementara serangga WBC tidak
bersayap diam menetap di lokasi tertentu.
Nimfa serangga WBC berukuran lebih kecil.
Makhluk berwarna putih kekuningan itu
panjangnya hanya sekitar 1 mm. Walaupun
ukurannya lebih kecil, petani menganggap
nimfa WBC lebih berbahaya karena kerusakan
yang ditimbulkannya lebih parah daripada
WBC dewasa. Secara umum, daur hidup WBC
relatif singkat, dari fase telur hingga fase
dewasa hanya 21 hari.
Serangga WBC dikenal sebagai hama
tanaman padi yang paling ditakuti oleh banyak
pihak. Tidak hanya di Indonesia, serangga ini
dianggap sebagai ancaman bagi pertanian padi
di Asia (Sogawa, 2015; Yulianto, Prasetyo,
Winarko, & Daryono, 2012). Jika dibandingkan
dengan serangga lain yang berkembang biak
pada ekosistem padi sawah, serangga WBC
tidaklah berbahaya sebagai individu seperti
halnya hama penggerek batang. Berdasarkan
keterangan petani, hama penggerek batang
(sundep) bekerja dengan cara menusuk dan
masuk ke dalam jaringan batang padi,
kemudian menggerogoti tanaman dari dalam
hingga menyebabkan bulir padi menjadi bapuk
(kosong). Tidak seperti WBC, cukup seekor
ulat penggerek batang untuk membuat satu
batang padi mati. Larva-larva muda penggerek
batang yang baru menetas bergelantungan pada
‘benang-benang’ melompat dari daun padi ke
bawah tanaman dan menusuk masuk ke batang
padi. ‘Bentuknya ngerompyok seperti tentara
mau terjun,’ demikian penjelasan alm. H.
Madamin.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
26
Meledaknya populasi serangga WBC
pada lahan persawahan dapat berakibat fatal
bagi pertumbuhan tanaman padi. Ia tidak hanya
merusak tanaman dengan cara menghisap
cairan tanaman sehingga tanaman itu
kering/terbakar lalu mati (hopperburn), tetapi
juga dengan kapasitasnya sebagai vektor
pembawa dua jenis virus penyakit tanaman
padi, yaitu virus kerdil rumput dan virus kerdil
hampa. Tanaman padi yang terinfeksi virus
kerdil rumput dan kerdil hampa memang tidak
sepenuhnya mati, namun secara signifikan
terganggu pertumbuhannya dan bisa
mengalami kegagalan produksi. Petani di
Indramayu menyebut tanaman yang terkena
penyakit kerdil itu sebagai ‘klowor’. ‘Tanaman
yang terinfeksi virus kerdil rumput hanya akan
memakai semua energi dan asupan nutrisi yang
diserapnya untuk memperbanyak anakan,
tetapi tidak menghasilkan malai dan bulir padi
sama sekali,’ demikian penjelasan Ir.
Mustaghfirin dalam video ‘Wereng di Sawah
Petani’ (Ariefiansyah, 2011). Adapun virus
kerdil hampa menyebabkan bulir-bulir padi
tidak terisi dengan sempurna atau bahkan
hampa/kosong. ‘Dalam kondisi seperti itu,
tidak ada yang bisa dilakukan petani selain
melakukan eradikasi (mencabut tanaman) dan
mengganti dengan tanaman yang baru,’
demikian seorang petani di Lamongan
menjelaskan. Penyebaran virus juga
dipengaruhi oleh cara perlakuan terhadap sisa-
sisa tanaman terinfeksi. Saya mengamati
beberapa orang petani memotong tanaman sakit
Gambar 1. Banner reklame menampilkan sosok serangga Wereng Batang Cokelat
yang sudah diperbesar dipampang di area persawahan di Lombok Tengah.
(Foto dokumentasi Rhino Ariefiansyah, Desember 2017.)
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
27
untuk pakan ternak. Hal ini justru membantu
persebaran virus ke tempat lain.
Ledakan populasi serangga WBC
terjadi karena kombinasi dari setidaknya tiga
faktor, yaitu kondisi iklim mikro yang lembap,
penggunaan pestisida yang keliru, dan patahnya
ketahanan varietas. Walaupun dalam wacana
awam iklim sering dianggap sebagai faktor
utama pemicu ledakan populasi WBC, tetapi
dua faktor lain juga krusial. Penggunaan
insektisida dan upaya penciptaan benih-benih
unggul tahan wereng (Varietas Unggul Tahan
Wereng/VUTW) adalah dua faktor yang
berpengaruh dalam transformasi WBC. Dalam
prosesnya, faktor-faktor ini melibatkan
interaksi di antara aktor-aktor penting:
manusia, serangga, dan tanaman padi. Secara
sederhana, pengaruh penggunaan pestisida
terhadap transformasi WBC terkait dengan
perilaku menyemprot pestisida dengan bahan
aktif yang sama secara berulang-ulang. Prof.
Andi Trisyono dalam film ‘Wereng di Sawah
Petani’ (Ariefiansyah, 2011) menjelaskan:
“Jika kita menyemprotkan pestisida
tertentu pada populasi serangga WBC,
maka akan ada satu individu dari 1 juta
ekor yang bertahan… jika kita
menyemprotkan pestisida yang sama
tersebut secara berulang-ulang, maka
individu yang resisten akan bertambah
banyak dan individu yang mati akan
bertambah sedikit, sehingga jenis
pestisida tersebut tidak lagi efektif dalam
mengendalikan hama WBC. Kedua,
beberapa jenis pestisida juga ditengarai
turut mendorong tingkat keperidian
(kesuburan) serangga WBC, artinya jika
pestisida tersebut disemprotkan pada
populasi serangga WBC tertentu akan
menghasilkan jumlah anak (keturunan)
yang lebih banyak”
Berdasarkan pengamatan di lapangan,
petani sebetulnya memahami hubungan antara
perilaku penyemprotan pestisida dengan
resistensi hama WBC. Seorang petani di Klaten
mengatakan, ‘Sekarang ini obat (pestisida)
sudah tidak ada lagi yang mempan; disemprot
berkali-kali tetap saja wereng tidak mati,
malah tambah banyak.’ Dalam kesempatan
lain, petani-petani di Indramayu juga
mengeluhkan hal yang sama. Seorang petani
yang saya temui mengisahkan upaya coba-coba
yang ia lakukan untuk mencegah
berkembangnya populasi serangga WBC di
lahan sawahnya. Dalam keadaan panik,
beragam jenis pestisida ia semprotkan dan
setiap informasi mengenai keberadaan
‘pestisida yang ampuh’ ia tindak lanjuti, bahkan
hingga harus berburu pestisida ‘ampuh’
tersebut ke wilayah kecamatan lain yang
jaraknya puluhan kilometer. Namun, setelah
jutaan rupiah dikeluarkan untuk membeli
pestisida dan membayar upah buruh
penyemprot, upaya tersebut tidak
mendatangkan hasil—tanaman padinya masih
juga terserang virus yang dibawa oleh serangga
WBC. Sebagai upaya terakhir, sang petani
menyiramkan dua liter solar ke sawahnya
dengan harapan bibit padi yang ia tanam untuk
ketiga kalinya (setelah gagal pada dua
percobaan tanam sebelumnya) dapat terhindar
dari serangan WBC serta virus kerdil hampa
dan kerdil rumput.
Proses ko-evolusi yang terjadi di antara
serangga WBC dan beragam varietas padi juga
menjadi salah satu faktor yang memengaruhi
transformasi WBC. Secara sederhana proses
tersebut dapat digambarkan sebagai
berkembangnya kemampuan adaptasi populasi
serangga WBC terhadap varietas-varietas padi
yang sebelumnya memiliki kemampuan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
28
genetika yang tahan terhadap WBC. Sejak
diperkenalkannya VUTW pada akhir tahun
1960-an, secara gradual populasi serangga
WBC juga mengembangkan kemampuan untuk
mematahkan ketahanan varietas-varietas
tersebut (lihat Sogawa, 2015; Fox,1991 2012).
Sebuah kisah klasik tentang benih IR36
mungkin dapat mengilustrasikan patahnya
ketahanan varietas padi terhadap WBC
(Plucknett et al., 1987). IR36 adalah benih yang
diciptakan dari proses persilangan 13 varietas
padi dan beberapa ‘varietas liar’ dari lima
negara. Oleh karena sifat-sifatnya yang
berumur pendek, tingkat produksi tinggi,
mudah diolah, relatif tahan terhadap kondisi
kekeringan ringan dan salinitas tinggi, serta
tahan terhadap beberapa hama penyakit
(termasuk WBC), varietas ini dengan cepat
menjadi favorit para petani di Filipina, India,
Vietnam, dan Kamboja—tidak berlebihan ia
dijuluki sebagai varietas ‘Super Star’ oleh para
ilmuwan. IR36 pertama kali diperkenalkan di
Indonesia pada tahun 1977 sebagai bagian dari
paket rekomendasi revolusi hijau dan seketika
juga menjadi varietas favorit petani. Pada tahun
1980–1981 varietas ini ditanam di area seluas
5,3 juta hektar dari total lahan persawahan saat
itu yang mencapai 9,3 juta hektar (Plucknett et
al., 1987: 182). Setelah satu dekade, IR36 pun
menjumpai masa redupnya. Ketenaran yang
telah membuatnya ditanam dalam hamparan
luas secara terus-menerus akhirnya membuat
sang ‘Super Star’ tumbang. Laporan-laporan
menunjukkan varietas itu mulai terinfeksi virus
kerdil rumput, tungro, dan virus lain yang saat
itu belum dikenal (Plucknett et al., 1987: 184).
Kisah patahnya ketahanan varietas terhadap
WBC juga terjadi pada beberapa varietas
unggul lain, sebelum dan sesudah masa jaya
IR36, seperti varietas IR5, IR8, C4 (1967–
1974); IR26 dan IR30 (1975–1976); IR24,
IR28, IR32, IR34 (1976–1977); Cisadane dan
Krueng Aceh (1980-an–1985); IR64 (1986–
2010); Ciherang dan Inpari 1 (1990–2010)
(Fox, 1991). Kisah-kisah patahnya ketahanan
varietas unggul ini disadari langsung oleh
petani yang merasa bahwa pada saat terjadi
ledakan populasi WBC tahun 2011, tidak ada
lagi varietas padi yang tahan terhadap serangan
hama tersebut. ‘Varietas apa pun yang masuk
di sini mungkin akan terkena wereng, yang
dikatakan tahan wereng kalau masuk desa ini
dalam posisi seperti ini, mungkin nggak bisa
(tahan),’ demikian dituturkan oleh seorang
petani di Klaten.
Kerugian akibat ledakan populasi
serangga WBC amat dirasakan oleh petani,
terutama petani penyewa lahan. Seorang petani
di Klaten bercerita bahwa ia sudah mengalami
kerugian finansial yang amat besar akibat
serangan WBC. Dalam musim tanam 2010–
2011, ia sudah tiga kali menanam bibit padi,
namun tidak menghasilkan panen sama sekali.
Hal ini juga dialami oleh petani di Indramayu
ketika terjadi ledakan populasi tahun 2016–
2017. Seorang petani bercerita bahwa ia harus
mengulang proses persemaian hingga tiga kali
tanpa menghasilkan panen sama sekali. Petani
lain yang masih beruntung mungkin masih bisa
memetik panen. Akan tapi dalam kondisi
serangan yang amat parah, hasil yang diperoleh
jauh dari rata-rata panen di musim yang normal.
Situasi ini tentunya menyebabkan kerugian
finansial yang signifikan dan dalam beberapa
kasus berujung pada jeratan hutang (lihat
Kinasih, 2012).
Dari penelusuran beberapa studi
sebelumnya, peristiwa ledakan populasi
serangga WBC pada ekosistem padi sawah di
Indonesia sudah teramati setidaknya hampir 90
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
29
tahun yang lalu. Dyck & Thomas (1979)
menyebutkan bahwa keberadaan serangga
WBC sudah terdeteksi sejak awal tahun 1930-
an. Ledakan populasi WBC juga pernah terjadi
tahun 1950-an yang menyerang 150 hektar
lahan pertanian sawah di Jawa. Namun
demikian, dampak serius dari ledakan populasi
serangga WBC baru dirasakan pada tahun
1968–1969, dan semakin parah pada saat
ledakan populasi tahun 1974–1975 hingga
1975–1976. Pada musim tanam 1975–1976
sudah tercatat adanya infeksi virus kerdil
rumput yang dibawa oleh serangga WBC
(Dyck & Thomas, 1979: 7). James Fox
mencatat bahwa ledakan populasi serangga
WBC pernah terjadi beberapa kali semenjak
tahun 1967. Fox mencatat, ledakan populasi
WBC pernah terjadi pada tahun 1974–1975 dan
diikuti dengan peristiwa ledakan lainnya,
hingga mencapai puncaknya pada tahun 1985–
1986 (Fox, 2016: 43, lihat juga Fox, 1991).
Periode tahun 1987–2004 adalah periode di
mana peristiwa ledakan populasi WBC relatif
sedikit. Fox mengaitkan hal ini dengan masa di
mana generasi Indonesia mengonsumsi beras
sehat karena rendahnya penggunaan pestisida
kimia (Fox dalam pidato Simposium Jurnal
Antropologi Indonesia tahun 2016; lihat juga
Fox & Winarto, 2006). Ilustrasi berikut
memperlihatkan lini masa peristiwa ledakan
hama WBC yang diolah dari berbagai sumber
rujukan seperti disebutkan di atas.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
30
Gambar 2. Lini masa sejarah ledakan populasi WBC (diolah dari berbagai sumber).
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
31
Wereng Batang Cokelat sebagai Hama
Elite pada Ekosistem Padi Sawah di Jawa
“Jadi, wereng (batang) cokelat ini adalah
hama elite di Indonesia. Karena
berpengaruh terhadap banyak pihak.
Jadi, begitu ada wereng batang cokelat,
orang Jakarta pada turun ke daerah,
melihat ada serangan wereng apa nggak?
Jadi, memang wereng cokelat ini daya
rusaknya sangat tinggi. Tapi sebetulnya
wereng cokelat ini adalah hama baru di
Indonesia. Baru muncul pada periode
pertengahan tahun ‘70-an setelah
diperkenalkan adanya penggunaan
pestisida. Begitu diperkenalkan pestisida,
wereng cokelat malah menjadi-jadi.
Kenapa kok bisa begitu? Karena musuh
alami wereng cokelat habis atau sangat
berkurang oleh karena adanya aplikasi
pestisida.” (Wawancara dengan PPOPT
di Lamongan, 2011)
Begitulah gambaran singkat tentang sejarah
munculnya hama WBC hingga menjadi ‘hama
elite’ pada ekosistem padi sawah di Indonesia.
Gambaran tersebut disampaikan oleh seorang
Petugas Pengamat Organisme Pengganggu
Tanaman (PPOPT) di Lamongan, dalam
sebuah kesempatan wawancara pada tahun
2011. Selaras dengan pendapat di atas,
seorang aktivis lingkungan juga pernah
mengungkapkan bahwa status hama WBC
sebelum maraknya penggunaan pestisida
adalah hama yang ‘tidak penting’ karena tidak
terlalu berbahaya terhadap pertumbuhan
tanaman padi.
Status ‘hama elite’ yang disandang
oleh serangga WBC tidak sepenuhnya
merujuk pada karakteristik biologisnya.
Seperti diungkap oleh petugas pengamat
hama pada petikan wawancara di atas, status
elite yang disandang oleh serangga WBC
dimungkinkan karena kehadiran serangga ini
menyebabkan orang Jakarta panik dan
memaksa mereka ‘turun’ ke daerah untuk
memastikan adanya ‘serangan’. Identitas
tersebut muncul bukan semata-mata mengacu
pada karakter biologis serangga, tapi dalam
relasinya dengan aktor-aktor lain. Dalam
sejarahnya, kepanikan ‘orang Jakarta’ ini juga
pernah terjadi dalam skala yang lebih
mencekam. Pada tahun 1986, dua tahun
setelah Presiden Soeharto dianugerahi
penghargaan oleh FAO karena keberhasilan
Indonesia meraih status swasembada beras, ia
harus menerima kenyataan pahit bahwa
ratusan ribu hektar tanaman padi mengalami
gagal panen karena serangan hama WBC
(Sogawa 205: 37). Sebagai respons terhadap
peristiwa tersebut, Presiden kemudian
mengeluarkan sebuah kebijakan berupa
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986.
Instruksi tersebut secara spesifik
menyebutkan bahwa strategi pengendalian
hama WBC tidak lagi mengandalkan
penggunaan pestisida kimia, tetapi beralih
pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Inpres No. 3/1986 menandai sebuah
momentum penting yang mengangkat status
sosial serangga WBC sebagai hama elite yang
membedakannya dengan spesies serangga
lain. Serangga WBC bisa jadi adalah satu-
satunya spesies serangga hama pada
ekosistem tanaman padi yang
pengendaliannya diatur oleh instruksi kepala
negara. Bersamaan dengan aturan mengenai
pengendalian hama wereng melalui strategi
PHT tersebut, Inpres No. 3/1986 juga
mengatur pelarangan peredaran 57 jenis
pestisida dalam spektrum zat aktif
organophospate yang ditengarai sebagai agen
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
32
pemicu resurgensi serangga WBC (Fox,
1991). Adopsi strategi PHT juga menjadi
momentum bagi cikal-bakal berdirinya Ikatan
Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia
(IPPHTI). IPPHTI beranggotakan alumni
Sekolah Lapang PHT (SLPHT) yang juga
dikenal dengan ‘petani ilmuwan’. Mereka
adalah orang-orang yang kemudian
bertransformasi menjadi penggerak dan
pengembang berbagai teknologi pertanian
akar rumput yang mendorong nilai-nilai
kemandirian dan praktik kegiatan pertanian
ekologis. Beberapa di antaranya kemudian
mengembangkan kegiatan pemuliaan
tanaman oleh petani (Winarto, 2011). Yus
adalah salah seorang alumni SLPHT dari
Bangodua yang konsisten mempraktikkan
pertanian ekologis di lahannya. Sejak
mengikuti sekolah lapang pada tahun 2004, ia
terus mengandalkan prinsip-prinsip PHT.
Salah satu contoh keberhasilan Yus adalah
ketika peristiwa ledakan populasi WBC
terjadi tahun 2016, tidak seperti petani lain
yang gagal total, ia masih bisa memanen padi
dari sawahnya yang terlindung oleh
keberadaan serangga musuh alami WBC.
‘Sebenarnya wereng mau juga masuk ke
sawah saya, tetapi karena ada musuh
alaminya, banyak mereka pergi lagi ke sawah
sebelah,’ demikian ia menuturkan. Beberapa
orang petani alumni SLPHT secara sengaja
juga menghentikan penggunaan pestisida
sejak beberapa tahun lalu. Salah satu
alasannya adalah memberikan kesempatan
berkembangnya serangga dan organisme lain
yang mampu mengendalikan ‘Sang Wereng’.
Sebagai entitas sosial, serangga WBC
juga mengalami proses pemaknaan baik
secara individual ataupun kolektif oleh orang-
orang yang mendefinisikannya sebagai
musuh, hama pengganggu, atau bahkan
inspirasi dan sumber mata pencaharian.
Nyatanya, di tengah situasi bencana akibat
ledakan populasi hama, misalnya, ada saja
pihak-pihak yang justru diuntungkan oleh
situasi tersebut. Mereka terutama adalah
orang-orang yang terlibat dalam rantai
peredaran dan penjualan racun kimia
(Baskoro, 2012). Di sisi lain, kasus ini juga
memperlihatkan peran WBC dalam
menciptakan ketegangan dan polemik di
antara ilmuwan, aktivis, dan birokrat seperti
yang terjadi pada tahun 2017. Saat itu terjadi
‘perang data’ di antara pihak-pihak yang
berseberangan. Di satu sisi, pemerintah
merasa bahwa serangan WBC masih dalam
taraf yang tidak membahayakan dan sama
sekali tidak mengancam ketersediaan stok
beras nasional (Abdul Halim, 2017). Di sisi
lain, petani dan ilmuwan mendapati fakta
yang berbeda di lapangan. Hamparan sawah
puso terbentang di beberapa daerah di
Indramayu dan Subang, membuat mereka
menyadari skala kerusakan yang terjadi jauh
lebih besar daripada versi resmi pemerintah.
Pada peluncuran buku Krisis Pangan dan
Sesat Pikir, ilmuwan-aktivis dari Institut
Pertanian Bogor (IPB) membeberkan data
mencengangkan tentang luasan area
persawahan yang rusak akibat ledakan
populasi serangga WBC sepanjang tahun
2016–2017 yang mencapai lebih dari 400.000
hektar (dua kali lipat dari area terdampak
tahun 1986). Data ini amat bertentangan
dengan versi pemerintah yang hanya
menyebutkan serangan seluas 9.000 hektar.
Polemik mengenai data serangan WBC
tersebut terus berlanjut hingga menimbulkan
ketegangan politik di gedung parlemen.
Terlepas dari argumen masing-masing pihak,
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
33
kasus tersebut memperlihatkan peran
serangga WBC dalam relasi sosial pada skala
yang berbeda. Ia tidak hanya menimbulkan
kegentingan di sawah-sawah, tetapi juga
memicu ketegangan dan perdebatan politik
dalam skala yang lebih besar.
Belajar dari Wereng Batang Cokelat:
Memahami Relasi Inter-Spesies dalam
Skala Ruang dan Waktu yang Bervariasi
Proses transformasi serangga WBC dari hama
tidak penting menjadi hama elite
menunjukkan bahwa fenomena ledakan
populasi hama tersebut adalah hasil dari
kelindan interaksi antaraktor (manusia dan
nonmanusia) yang terlibat dalam pengelolaan
ekosistem padi sawah. Proses tersebut terjadi
sebagai rangkaian peristiwa lintas ruang dan
waktu dalam skala yang bervariasi. Aktor-
aktor yang terlibat bisa jadi tidak pernah
berinteraksi satu sama lain secara langsung,
namun tindakan, pemikiran, dan keputusan
yang mereka ambil turut berperan dalam
proses transformasi tersebut. Di sisi lain,
sebagai bagian dari proses itu, serangga WBC
juga memiliki kapasitas untuk menentukan
arah dinamika sosial yang terjadi di antara
aktor-aktor lainnya. Penjelasan etnografi
multi-spesies mencoba mengurai
kompleksitas relasi tersebut dengan melihat
interaksi antar-aktor yang terjadi dalam
dimensi ruang dan waktu yang bervariasi.
Secara antropologis, kajian ini
memperlihatkan bahwa upaya untuk
memahami kompleksitas relasi manusia
dengan alam tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan dari perspektif kebudayaan yang
antroposentris—perlu juga pemahaman dari
aspek biologis dan lingkungan. Oleh karena
itu, dialog antar-epistemik, termasuk upaya
kolaborasi lintas disiplin ilmu, amat
diperlukan untuk memberikan penjelasan dan
mencari solusi dalam pemecahan persoalan
ini. Dialog tersebut diharapkan dapat
memberi peluang munculnya aspirasi-aspirasi
nonmanusia yang dapat memberikan
penjelasan holistik tentang dinamika relasi
manusia dan alam yang selama ini didominasi
oleh representasi subjektif antroposentris
yang sering kali mengabaikan peran dan
kapasitas aktor-aktor nonmanusia. Dengan
penjelasan itu, kita mungkin mendapatkan
pemahaman bahwa ‘Sang Wereng’ bisa jadi
bukanlah aktor antagonis sesungguhnya
dalam sekelumit kisah kehidupan antarspesies
ini.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
34
Referensi
Abdul Halim, H.
2017 "Menteri Pertanian Anggap Hama Wereng Cokelat Bukan Ancaman." Pikiran
Rakyat, p. Ekonomi. Retrieved from http://www.pikiran-
rakyat.com/ekonomi/2017/06/16/menteri-pertanian-anggap-hama-wereng-cokelat-
bukan-ancaman-403355
Afrida, N.
2015 "Army to Join Efforts to Accelerate Food Sufficiency." Jakarta Post, p. National.
Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/09/army-join-efforts-
accelerate-food-sufficiency.html
Amien, I., Rejekiningrum, P., Pramudia, A., & Susanti, E.
1996 "Effects of Interanual Climate Variability and Climate Change on Rice Yield in
Java," Indonesia: 29–39.
Ariefiansyah, R.
2011 Wereng di Sawah Petani. Depok: Centre for Anthropological Studies, Universitas
Indonesia. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=vzlBdH_-X_M
Bateson, G.
1987 "Problems in Cetacean and Other Mammalian Communication," in Steps to an
Ecology of Mind, pp. 205–224. Northvale, New Jersey; London: Jason Aronson Inc.
Blasco, P. G., & Wardle, H.
2007 How to Read Ethnography. Taylor & Francis.
Bonneuil, C., Fressoz, J. B., & Fernbach, D.
2016 The Shock of the Anthropocene: The Earth, History and Us. Verso.
Crutzen, P. J.
2002 "Geology of Mankind." Nature. https://doi.org/10.1038/415023a
Cunningham, Alfred B., Lenox, John E., & Ross, Rockford J.
2009 Biofilms: The Hypertextbook. Retrieved March 5, 2019, from
https://www.cs.montana.edu/webworks/projects/stevesbook/contents/chapters/chapt
er002/section004/blue/page003.html
Descola, P.
2013 The Ecology of Others. Chicago: Prickly Paradigm Press.
Dyck, V.A; Thomas, B.
1979 "The Brown Planthopper Problem." Brown Planthopper: Threat to Rice Production
in Asia, pp. 3–17.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
35
Fortes, M.
1966 "Totem and Taboo Author." Proceedings of the Royal Anthropological Institute of
Great Britain and Ireland, 1966 (1966), pp. 5–22.
Fox, J. J.
1991 "Managing the Ecology of Rice Production in Indonesia," in J. Hardjono (Ed.),
Indonesia: Resources, Ecology, and Environment, pp. 61–84. Singapore: Oxford
University Press.
Fox, J. J.
1992 "Ecological Policies for Sustaining High Production in Rice: Observation on Rice
Intensification in Indonesia," in H. Brookfield & Y. Byron (Eds.), South-East
Asia’s Environmental Future: The Search of Sustainability, pp. 211–224. Kuala
Lumpur: United Nations University Press.
Fox, J. J., & Winarto, Y. T.
2006 "Farmers’ Use of Pesticides in an Intensive Rice-Growing Village in Indramayu on
Java," in Y. T. Winarto (Ed.), Krisis Pangan dan Sesat Pikir: Mengapa Masih
Berlanjut? pp. 63–95. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Gagné, K., Rasmussen, M. B., & Orlove, B.
2014 "Glaciers and Society: Attributions, Perceptions, and Valuations." Wiley
Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 5(6): 793–808.
https://doi.org/10.1002/wcc.315
Geertz, C.
1963 Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia.
Association for Asian Studies. Monographs and Papers.
Kirksey, S. E., & Helmreich, S.
2010 "The Emergence of Multispecies Ethnography." Cultural Anthropology, 25(4):
545–576. https://doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01069.x
Knight, J.
1996 "When Timber Grows Wild: The Desocialization of Japanese Mountain Forests," in
P. Descola & G. Pálsson (Eds.), Nature and Society: Anthropological Perspectives,
pp. 221–239. Taylor and Francis.
Kohn, E.
2007 "How Dogs Dream." American Ethnologist, 34(1): 3–24.
https://doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.3.American
Kohn, E.
2013 How Forests Think (1st ed.). University of California Press. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/10.1525/j.ctt7zw36z
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
36
Kroef, J. M. Van Der
1952 Rice Legends of Indonesia Published by : American Folklore Society. The Journal
of American Folklore, 65(255): 49–55.
Latour, B.
2004 Politics of Nature: How to Bring Sciences into Democracy. London: Harvard
University Press.
Li, T. M.
2007 The Will To Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics.
Durham & London: Duke University Press.
Lombard, D.
1996 Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris. (W. P. Arifin, R. S. Hidayat, & N. H. Yusuf, Eds.)
(Revisi Bah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, École
française d’Extrême-Orient.
Maurer, J.-L.
1985 "La mutation de l’agriculture indonésienne." Études Rurales, 100(99): 87–113.
Murphy, H. H., Sanusi, A., Dilts, R., Yuliatingsih, S., Djajadisastra, M., & Hirschhorn, N.
2008 "Health Effects of Pesticide Use Among Indonesian Women Farmers." Journal of
Agromedicine, 6(3): 37–41. https://doi.org/10.1300/J096v06n03 06
Naylor, R. L., Battisti, D. S., Vimont, D. J., Falcon, W. P., & Burke, M. B.
2007 "Assessing Risks of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice
Agriculture." Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States
of America, 104(19): 7752–7. https://doi.org/10.1073/pnas.0701825104
Pearson, C.
2015 "Beyond Resistance: Rethinking Nonhuman Agency for a More-Than-Human
World." European Review of History, 22(5): 709–725.
https://doi.org/10.1080/13507486.2015.1070122
Plucknett, D. L., Smith, N. J. H., Williams, J. T., & Anishetty, N. M.
1987 "A Case Study in Rice Germplasm: IR36," in Gene Banks and the World’s Food,
pp. 171–185. Princeton University Press. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/j.ctt7ztt0n.14
Ranamukhaarachchi, S. L., & Wickramasinghe, S.
2006 "Golden Apple Snails in the World: Introduction, Impact, and Control Measures."
Global Advances in Ecology and Management of Golden Apple Snails, (January):
133–152.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
37
Ratna, Y., Trisyono, Y. A., & Untung, K.
2009 "Resurjensi Serangga Hama dan Serangga Sasaran Setelah Aplikasi Insektisida."
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 15(2): 55–64.
Reid, A.
1988 Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Land below
the Winds. Chiang Mai: Silkworm Books.
Ribot, J. C., & Peluso, N. L.
2009 "A Theory of Access." Rural Sociology, 68(2): 153–181.
https://doi.org/10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x
Roncoli, C.
2006 "Ethnographic and Participatory Approaches To Research On Farmers’ Responses
to Climate Predictions." Climate Research-CLIMATE RES.33: 81–99. Doi:
10.3354/cr033081.
Shepard, B., Barrion, A., & Litsinger, J.
1987 "Friends of the Rice Farmer: Helpful Insects, Spiders, and Pathogens." IRRI, 136.
Sogawa, K.
2015 "Planthopper Outbreaks in Different Paddy Ecosystems in Asia: Man-Made Hopper
Plagues that Threatened the Green Revolution in Rice," in K. L. Heong (Ed.), Rice
Planthoppers: Ecology, Management, Socio Economics and Policy, pp. 33–63.
Hangzhou: Zhejiang University Press. https://doi.org/10.1007/978-94-017-9535-7
Stephen, L., & Downing, T. E.
2001 Getting the scale right: A comparison of analytical methods for vulnerability
assessment and household-level targeting. Disasters, 25(2): 113–135.
https://doi.org/10.1111/1467-7717.00165
Supriatna, A.
2012 "Meningkatkan Indeks Pertanaman Padi Sawah Menuju IP Padi 400." Agrin, 16(1):
1–18.
Taylor, M.
2017 "Climate-Smart Agriculture: What Is It Good For?" Journal of Peasant Studies,
0(0): 1–19. https://doi.org/10.1080/03066150.2017.1312355
Teo, S. S.
2003 "Damage Potential of the Golden Apple Snail Pomacea canaliculata (Lamarck) in
Irrigated Rice and Its Control by Cultural Approaches." International Journal of
Pest Management. https://doi.org/10.1080/09670870210158097
Textor, R. B., Angkanarak, C., Bayardo, B., Daley, H. M., Dietrich, J. D., Eilers, M. L., … Turner,
M. I.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
38
1985 "Anticipatory Anthropology and the Telemicroelectronic Revolution: A
Preliminary Report from Silicon Valley." Anthropology & Education Quarterly,
16(1): 3–30. https://doi.org/10.1525/aeq.1985.16.1.05x0848p
Tjondronegoro, S. M. P.
2014 "An Agricultural Development Legacy Unrealised by Five Presidents, 1966 –
2014," 39(2), 379–395.
Tsing, A. L.
2015 The Mushroom at the End of the World: On the Possibility of Life in Capitalist
Ruins. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Van Der Eng, Pierre.
1994 Development of Seed-Fertilizer Technology in Indonesian Rice Agriculture.
Agricultural History. 68(1), 20–53.
Van Setten van der Meer, N. C.
1979 Sawah Cultivation in Ancient Java: Aspects of Development During the lndo-
Javanese Period, 5th to 15th Century (Oriental M). Canberra, ACT: Faculty of Asian
Studies, ANU in association with Australian National University Press.
Winarto, Y. T.
2004 Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest Management in Java. Yale
University Southeast Asian Studies.
Winarto, Y. T. (Ed.).
2011 Bisa Dèwèk: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu. Depok:
Gramata Publishing.
Winarto, Y. T., Stigter, C. J., & Ariefiansyah, R.
2015 Interpreting the Present, Anticipating the Future: Continuous Learning in the
Ongoing Climate Change. In Environmental Education in Indonesia. Depok:
Organized by Australian Research Council at Depok, Indonesia.
Yulianto, S., Prasetyo, J., Winarko, E., & Daryono, B. S.
2012 Endemic Outbreaks of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal.) in Indonesia
Using Exploratory Spatial Data Analysis. International Journal of Computer
Science Issues (IJCSI). 9(5), 162–171.
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu- daya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil pene- litian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba- gian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keter- libatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban- gunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha- dap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.
Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku- ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon.
Sistematika penulisan harus dibuat dengan men- cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan ( jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba- gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Geertz, C.
1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274.
Koentjaraningrat.
1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.
1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
Guidelines for contributors
This journal is integrating Peer-Review method during the selection process. Editorial staffs accept articles that are theoretical or cover the output of ethno- graphical research. It is not necessary for those papers to be inline with editorial points of view. The criteria for the published paper cover four fields: (1) the output of ethnography or qualitative research and its topic is related to ethnic/social group in Indonesia, (2) the output of applied science, collaborative research and also output of writer’s involvement and experiences with societies/ communities, such as: intervention programs that relate to cultural, political, environmental and developmental relation, (3) discussion or discourse on theoretical/ methodological of anthropological knowledge or other social sciences that related to theoretical discourses in anthropology, (4) review on textual book of anthropology or other social sciences. Reviewed book(s) should be published at least within three years by Indo- nesian publishers or five years time by non-Indonesian publishers.
Received articles would be edited by the Editorial Board. Article could be sent through e-mail: journal. [email protected] in MS Word format, double space, letter sized paper and normal margin. The maximum length of the article is 5000 words. Please include the following: maximal of 250 words of abstracts in English and bahasa indonesia, minimum of three keywords and maximum of six keywords, contact address and phone numbers.
Your paper should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoritical discussion and literature study), and conclusion. Tables and figures should be numbered according to their sequence in the text. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Gilmore, D.
1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please
give the title of book/journal and the page numbers. In the
case of journal please give the Volume and issue number.
e.g.
Geertz, C.
1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran- ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Marvin, G.
1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
A Critical Review of Hardin’s Tragedy of the Commons (1968): A Case Study on the Segara Anakan Community, Cilacap, Central JavaPrihandoko Sanjatmiko
Transformasi Wereng Batang Cokelat dari ‘Hama Tidak Penting’ Menjadi ‘Hama Elite’ pada Ekosistem Padi Sawah di Pulau Jawa: Sebuah Pembahasan Etnografi MultispesiesRhino Ariefiansyah
Bahasa Indonesia dalam Konteks: Lingua Franca di PasaBahasa Indonesia dalam Konteks: Lingua Franca di Pasar Barter oleh Orang Puor dan Lamalera di Lembata, Nusa Tenggara TimurDea Rifia Bella
Intersubjektivitas dan Gaya Kamera dalam Film EtnografiAryo Danusiri
You shall not enter the list: Inscriptional Practices and The Politics of Deservingness in IndonesiaHestu PraharaHestu Prahara