Upload
daryanto-aiz
View
306
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan diatur dalam
Permendiknas No. 40 Tahun 2007. Kebijakan ini berlaku baik bagi guru di sekolah
umum maupun di madrasah. Kebijakan ini terutama sekali diperuntukkan bagi guru
muda yang berprestasi yang tidak mengikuti jalur portofolio sebagaimana diatur dalam
Permendiknas No. 18 Tahun 2007.
Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, guru madrasah dapat mengikuti
program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Namun demikian, perlu diketahui
bahwa guru madrasah memiliki kekhasan tersendiri yang tidak dijumpai di sekolah
umum. Guru madrasah memikul beban ganda dalam muatan kurikulumnya, mengingat
bahwa madrasah adalah sekolah umum dengan ciri khas Islam, maka komposisi materi
pelajarannya lebih kompleks daripada di sekolah umum. Selain itu, madrasah dikelola
oleh Departemen Agama dimana lebih dari 80% adalah berstatus swasta yang sebagian
besar di antaranya berada dalam naungan pesantren. Keterlibatan peran serta
masyarakat, dalam hal ini adalah pihak yayasan dan ormas Islam, semakin menambah
ciri khas madrasah tersebut menjadi lebih kompleks, karena mereka ikut terlibat dalam
proses pengambilan keputusan pelaksanaan pendidikannya, bahkan dalam
kurikulumnya. Lebih dari itu, adalah sulit mencari peserta program sertifikasi guru
madrasah yang muda dan berprestasi untuk ikut serta dalam program sertifikasi guru
melalui jalur pendidikan, kalaupun ada, umumnya mereka kurang memenuhi kualifikasi
dan persyaratan, dimana hal ini berbeda dengan guru di sekolah umum yang lebih siap
mengikuti program ini. Untuk itu perlu dilakukan upaya inovasi dan pengembangan
bagi kebijakan sertifikasi bagi guru madrasah tersebut.
Tulisan ini berupaya untuk meneliti tentang perkembangan kebijakan
Pemerintah terhadap madrasah, problematika yang dihadapi oleh guru madrasah, dan
mencermati kesiapan mereka dalam melaksanakan kebijakan program sertifikasi guru
dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
1
mengetahui sejauh mana kebijakan Pemerintah tentang sertifikasi guru dapat terlaksana
bagi guru madrasah tanpa menimbulkan kesenjangan dengan program sertifikasi guru di
sekolah umum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan kebijakan Pemerintah terhadap madrasah? Apa yang
berubah dalam kebijakan tersebut? Bagaimana kondisi madrasah dalam konstelasi
pendidikan nasional saat ini?
2. Apa problematika yang dihadapi oleh guru madrasah dalam upaya peningkatan
profesionalisme guru melalui kebijakan sertifikasi guru?
3. Sejauh mana kesiapan guru madrasah dalam menghadapi kebijakan sertifikasi guru
dalam jabatan melalui jalur pendidikan?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pentinnya peran madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional.
2. Mencermati realitas guru madrasah dalam melaksanakan kebijakan Permerintah
terkait dengan upaya peningkatan profesionalisme dan sertifikasi guru.
3. Memberi masukan kepada pihak pengelola madrasah, terutama para gurunya, agar
berupaya secara optimal dalam melaksanakan kebijakan sertifikasi guru dalam
jabatan melalui jalur pendidikan.
4. Memberi rekomendasi kepada pihak Pemerintah, khususnya Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, agar hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan bagi pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan
kebijakan sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan.
D. Lingkup
Tulisan ini dibatasi pada lingkup pembahasan seputar masalah sertifikasi guru
madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan, bukan jalur portofolio. Adapun
pemilihan guru madrasah di sini berarti selain dari guru sekolah umum, meskipun guru
di sekolah umum tersebut mengajar Pendidikan Agama Islam. Agar pembahasannya
2
menjadi spesifik, maka dalam uraian tentang guru madrasah dalam penelitian ini akan
difokuskan pada madrasah secara umum mulai dari jenjang MI, MTs, dan MA, dan data
terkini dikemukakan dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2008.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis kebijakan (policy analysis)
yang menerapkan pendekatan kualitatif. Sumber data digali dan dikumpulkan dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan secara bebas dengan
pihak yang terkait dengan sertifikasi guru madrasah, yakni pihak MAPENDA, Kantor
Wilayah Departemen Agama di DIY, beberapa guru madrasah, dan pihak Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu LPTK yang melaksanakan sertifikasi
guru di lingkungan madrasah. Jumlah responden tidak dibatasi berdasarkan teknik
sampling, namun dipilih berdasarkan teknik snowballing. Sedang observasi dilakukan
dengan cara mengunjungi beberapa madrasah di DIY. Adapun dokumen yang
dikumpulkan berasal dari instansi terkait, yakni Depag dan Diknas, berupa kebijakan
sertifikasi guru, seperti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, bahan sosialisasi panitia
sertifikasi guru dari Diknas, data statistik madrasah dari EMIS (Education Management
Information System) dari Depag, serta sumber tertulis lain baik dari buku, jurnal, surat
kabar, maupun internet.
Penelitian ini dibatasi pada lingkup madrasah yakni sekolah umum yang berciri
khas Islam. Lama waktu penelitian ini dilaksanakan sekitar tiga bulan yang dimulai
sejak diajukannya abstrak tulisan ini kepada panitia simposium pada akhir April 2008
dan dinyatakan masuk nominasi pada Mei 2008.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
memadukan beberapa pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan deskriptif (positif),1
yakni dengan menerangkan suatu gejala yang terjadi melalui pencarian fakta lalu
dilakukan interpretasi secara tepat.2 Yang dimaksud dengan gejala di sini adalah
kondisi riil dari karakteristik madrasah beserta problematika yang dihadapinya, sedang
1 Ace Suryani & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), h.46. 2 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h.63.
3
faktanya adalah kebijakan Pemerintah terkait dengan sertifikasi guru dalam jabatan
melalui jalur pendidikan. Antara gejala dengan fakta memiliki hubungan interaktif.
Kedua, pendekatan preskriptif (normatif), yakni dengan menawarkan suatu
norma atau kaidah yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah. Dalam
penelitian kualitatif, pendekatan ini tergolong pendekatan rasionalistik, karena realitas
kebijakan sertifikasi guru madrasah tidak hanya dapat diamati dalam perspektif
empirik-sensual, dan perspektif teoretik dan etik,3 melainkan juga melalui pendekatan
realisme metafisik yakni dengan mempertimbangkan arti penting dari dimensi
keagamaan yang menjadi ciri khas madrasah, karena objek kajiannya tidak hanya
menekankan pada aspek material atau realitas sosial dari fenomena guru madrasah
semata, melainkan juga aspek spiritual atau metafisik yang berhubungan dengan
dimensi pendidikan agama (Islam).
F. Kajian Teoretik
Kebijakan (policy) merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut.4 Jadi, kebijakan selalu mengandung keputusan,5 dimana
keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil mengenai cita idiil; sedang
kriteria yang dipakai mungkin rasionalitas, prioritas, atau kaidah konstitusi.6 Di
samping suatu kebijakan diwujudkan dalam bentuk keputusan, kebijakan juga
menekankan kepada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan.7
3 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.85. 4Supandi & Achmad Sanusi, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK), 1988), h.11. Sebagian penulis membedakan kata kebijakan dengan kebijaksanaan. Dikatakan bahwa kebijakan sepadan dengan wisdom, sementara kebijaksanaan adalah policy. Dalam kebijakan terdapat pertimbangan perkecualian, sedang kebijaksanaan merupakan keputusan yang disepakati secara umum tanpa perkecualian. Sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Bahkan ada yang menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Lihat Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.15-17. Dalam hal ini penulis tidak memaknai kata kebijakan secara terisolasi atau sendiri melainkan dirangkai dengan kata pendidikan sehingga menjadi ‘kebijakan pendidikan’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 115, kebijakan pendidikan diartikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya. Batasan inilah yang diikuti.
5 Supandi & Achmad Sanusi, op. cit., h.15. 6Noeng Muhadjir, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.59. 7Supandi, op. cit., h.14.
4
Yang dilakukan itu bukanlah kebijakannya, melainkan programnya. “... Policy is not
implemented; it is the statute or program that are implemented.”8
Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam kebijakan adalah Undang Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, Undang Undang
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan Peraturan Pemerintah
Departemen Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 Tentang
Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan Permendiknas Nomor 40 Tentang Sertifikasi Guru
dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, dan lain-lain. Semua produk kebijakan di atas
diberlakukan oleh Pemerintah dalam rangka mewujudkan upaya peningkatan mutu
pendidikan dan profesionalisme guru, serta peningkatan kesejahteraan guru. Sedang
program yang dilaksanakan adalah program sertifikasi guru (madrasah).
Bila dicermati secara seksama, kebijakan tentang sertifikasi guru ini berjenjang
atau memiliki tingkat kebijakan (policy level), yaitu : Pertama, tingkat nasional
(national policy level), misalnya Ketetapan MPR atau GBHN. Tingkat kebijakan ini
bicara secara umum soal pembangunan nasional melalui bidang pendidikan yang
dirancang dalam jangka pendek maupun panjang. Bidang pendidikan dan agama dalam
GBHN masuk dalam sektor sosial budaya.
Kedua, tingkat umum (general policy level), misalnya Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP), dan Keputusan Presiden (Kepres). Kebijakan pada tingkat
ini menjabarkan arah pembangunan nasional, dan karenanya lebih khusus atau spesifik
dari kebijakan level atasnya. Produk kebijakanya pun sudah dibuat berdasarkan
pembidangan masing-masing pembangunan. Untuk UU, misalnya adalah UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003, dan untuk PP misalnya adalah PP Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen. Penjabaran atas kebijakan pada tingkat ini diberikan dalam tingkat
khusus.
Ketiga, tingkat khusus (special policy level), misalnya Surat Keputusan (SK)
Menteri. Kadang kala SK Menteri ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan
keputusan bersama dengan Menteri lain. Misalnya saja, yang terkait dengan madrasah
8Soetjipto, Analisis Kebijaksanaan Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, P2LPTK, 1987), h.2.
5
adalah SK Bersama Tiga Menteri, yaitu: Menteri Agama No. 6 Tahun 1075, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 037/U/1975, dan Menteri Dalam Negeri No. 36 Tahun
1975 Tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. Dan SK Bersama Dua
Menteri, yaitu: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0299/U/1984 dan Menteri
Agama No. 45 Tahun 1984 Tentang Peraturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum
dan Madrasah. Ketiga level kebijakan di atas masih memerlukan penjabaran uraian
dalam bentuk teknis pelaksanaan yang diatur oleh kebijakan teknis.
Keempat, tingkat teknis (technical policy level), misalnya Keputusan Direktorat
Jenderal atau pimpinan lembaga non-departemen ke bawah. Dari kebijakan tingkat
inilah maka keputusan Pemerintah dilaksanakan oleh masyarakat, dalah hal ini kalah
masalah pendidikan berarti dilaksanakan oleh satuan pendidikan atau pihak sekolah dan
madrasah. Ibarat aliran air, kebijakan tingkat nasional mengalir arusnya sampai ke
tingkat bawah dan satuan terkecil. Begitu pula sebaliknya, level grass root
melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kebijakan adalah kebijakan yang
dihasilkan oleh perumus kebijakan pada tingkat umum (general public policy) berupa
UU dan PP yang terkait dengan pendidikan atau pendidik, dan tingkat khusus (special
public policy) berupa SK atau Peraturan Menteri yang terkait dengan sertifikasi guru.
Adapun tingkat teknis dipandang telah sesuai atau tidak menyimpang dari kebijakan di
atasnya, dan pelaksanaan kebijakannya dapat diamati di lapangan.
Bahwa dalam melaksanakan kebijakan sering terdapat hambatan, problem, atau
bahkan resistensi dan penolakan, atau pro dan kontra, baik yang disampaikan secara
langsung melalui aksi demonstrasi dan protes, maupun yang disampaikan secara tak
langsung melalui tulisan di media massa, semua itu meniscayakan pihak pembuat
kebijakan (policy makers) untuk meninjau ulang kebijakannya. Biasanya, bila desakan
arus bawah menguat dan tidak ada respons dari pihak pembuat kebijakan maka hal ini
dapat memunculkan sikap masyarakat yang kurang percaya pada Pemerintah.
Sebaliknya, bilamana respons masyarakat terhadap suatu kebijakan mendapat perhatian
serius oleh Pemerintah dan dilakukan tindak lanjut berupa evaluasi kebijakan atau
merumuskan kebijakan baru yang kondusif, maka hal ini bukan saja dapat
6
meningkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) kepada Pemerintah tetapi juga
masyarakat dapat melaksanakan produk kebijakan tersebut secara lebih kondusif.
Itu sebabnya dalam proses penyusunan kebijakan perlu diperhatikan langkah-
langkah atau tahapan suatu kebijakan yang disebut dengan siklus kebijakan. Secara
teoretik, siklus kebijakan dimaksud meliputi lima tahap, yaitu: pertama, tahap
penyusunan kebijakan (policy formulation); kedua, tahap penerapan kebijakan (policy
implementation); ketiga tahap hasil kebijakan (policy output); keempat, tahap penilaian
kebijakan (policy evaluation); dan kelima, tahap perbaikan kebijakan (policy
improvement). Dengan memperhatikan siklus kebijakan tersebut maka dapat dikatakan
bahwa kebijakan itu bukanlah sebuah harga mati, kaku, dan permanen, melainkan dapat
berubah atau diubah, tergantung pada adanya perubahan situasi dan kondisi sosial,
budaya, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama, yang melingkupi
munculnya sebuah kebijakan. Sebabnya tak lain adalah bahwa kebijakan itu sendiri
tidak muncul di ruang hampa (vacuum).
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis produk kebijakan (policy output)
yang terkait dengan sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan,
dan diniatkan untuk memberi masukan-masukan yang dapat dijadikan sebagai acuan
oleh Pemerintah, khususnya Depag dan Diknas, dalam upaya mengevaluasi
kebijakannya (policy evaluation) serta dapat ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan
kebijakan (policy improvement).
Kebijakan tentang guru madrasah tak lepas dari kebijakan Pemerintah
menyangkut pendidikan Islam. Oleh karena itu, Depag merupakan kepanjangan tangan
dari pihak Pemerintah yang paling berwenang dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan pendidikan Islam. Bicara tentang pendidikan Islam umumnya dapat diartikan
dalam empat dimensi, yakni: pertama dimensi kegiatan yang berarti sebagai upaya
internalisasi nilai-nilai Islam; kedua, dimensi kelembagaan, yakni tempat dimana
dilaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan pada programnya atas
pandangan serta nilai-nilai Islam; ketiga, dimensi pemikiran, yakni paradigma teoretik
yang disampaikan oleh tokoh Muslim berdasarkan nilai-nilai Islam; dan keempat,
dimensi kebijakan yang berarti keputusan Pemerintah yang terkait dengan atau yang
7
dibuat berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Karena penelitian ini memfokuskan
pembahasannya pada kebijakan tentang guru madrasah, maka makna pendidikan Islam
di sini berada dalam dimensi kedua, yakni kelembagaan madrasah dan dimensi keempat
yakni kebijakan tentang sertifikasi guru.
Adalah penting untuk mengetahui peran dan kondisi madrasah dalam kontelasi
pendidikan nasional, serta mengetahui perkembangan perubahan kebijakan Pemerintah
terkait dengan guru dan madrasah, sebab kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah
tentang sertifikasi guru saat ini tidaklah berada dalam ruang hampa, melainkan ada
faktor internal dan eksternal yang melingkupinya, termasuk faktor kelembagaan
madrasah dan historisitasnya. Uraian dalam bab di bawah ini diarahkan untuk
menjelaskan hal tersebut.
8
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Historis Kebijakan Tentang Madrasah
Eksistensi madrasah di Indonesia telah ada sejak awal abad ke-20, atau paling
cepat pada akhir abad ke-19,9 berbarengan dengan munculnya Ormas Islam, semisal
Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.10 Mengapa madrasah muncul pada masa kolonial
Belanda sekitar awal abad ke-20, bukan sebelumnya? Ada dua analisis: pertama,
karena beberapa kali usulan Volksraad (Dewan Rakyat) agar pelajaran agama Islam
dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh Belanda.11
Belanda bahkan memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2
yang menyatakan bahwa “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran
itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran
agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah”. Sampai dengan akhir pemerintahan
Belanda di Indonesia, pengajaran agama di sekolah umum atau open baar orderwijs
tidak pernah menjadi kenyataan.12 Hal ini menumbuhkan inisiatif untuk mendirikan
model sekolah di luar kebijakan Belanda yang memberi muatan pelajaran agama Islam
lebih, namun berbeda dengan komposisi materi PAI di pesantren dan sejenisnya yang
telah ada sebelumnya. Lembaga tersebut adalah madrasah.
9Penulis mendapatkan fotokopi Akte Tanah yang telah menyebutkan kata “Madrasah Alkhairiyah”,
sebuah LPI yang sekarang terletak di Jalan Ampel Madrasah No.1 Surabaya Utara, sekitar 100 meter arah belakang Masjid Ampel. Di tempat ini sekarang tetap menyelenggarakan kegiatan pendidikan namun dalam bentuk Sekolah Dasar I Alkairiyah, bukan madrasah.
10 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), h. 71-72. Lihat juga Timur Djaelani, Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982), h.36-37. juga Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), h.108; Selanjutnya lihat pula Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.159-192; dan I Djumhur & Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1976), h.162-169. Juga Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h.112.
11 Timur Djaelani, op. cit., h.19. Juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.9. 12 Ibid., h.19-20.
9
Kedua, madrasah muncul karena tuntutan pembaharuan pendidikan Islam
secara internal, baik dari segi metode maupun isi (materi pelajaran).13 Saat itu
diperlukan hadirnya LPI selain pesantren yang mampu memberikan pengetahuan
umum secara klasikal, agar tidak tertinggal dengan kemajuan yang telah dicapai oleh
sekolah bentukan Belanda. Di sini madrasah berfungsi sebagai counter institution bagi
sekolah model Belanda. Timbulnya pembaharuan ini dipercepat pula dengan hadirnya
para alumnus Timur Tengah (Makkah dan Kairo) di penghujung abad ke-19 dan awal
abad ke-20, yang sekembalinya ke tanah air merintis berdirinya pesantren dan
madrasah.14
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), perkembangan madrasah tidak
mengalami hambatan, bahkan pendidikan agama di sekolah umum diizinkan,
walaupun guru agama yang mengajarkan pendidikan agama (Islam) tidak digaji oleh
pemerintah Jepang.15
Setelah proklamasi kemerdekaan R.I., madrasah berjalan sesuai dengan
kemampuan para pengasuh dan masyarakat pendukungnya masing-masing. BP KNPI
menganjurkan agar pendidikan di madrasah berjalan terus dan dipercepat,16 serta
diberikan subsidi.17 Di samping itu, ijazah dari madrasah swasta (MIS) dihargai18 dan
13 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen,
(Jakarta: LP3ES, 1994), h.27-28; juga Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut Kurikulum Pendidikan Islam” dalam Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991), 322. Lihat juga Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h.153.
14 Haidar Putra Daulay, op. cit., h.322-323; juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), h. 63-73. Disebutkan bahwa di antara madrasah perintis adalah: Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad (1909), Madras School oleh Syekh M. Thaib Umar (1910), Madrasah Diniyah oleh Zainuddin Labai al-Junus (1915), Sumatera Thawalib oleh Syekh Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (1921), dan Sumatera Thawalib Parabek oleh Syekh Ibrahim Musa (1921). Sedang di Jawa, madrasah umumnya didirikan oleh lembaga atau Ormas Islam, seperti: Jammi’yat Khair di Jakarta (1905), Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1913), PUI (1917), NU (1926), PERTI (1928) dan lain-lain, lihat juga A. Malik Fadjar, op. cit., h.70-72. Kebanyakan para pendiri madrasah saat itu, juga pesantren dan sejenisnya, adalah berasal dari alumni Timur Tengah (Makkah atau Kairo).
15 Timur Djaelani, op. cit., h.37-38. 16 Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945. Lihat Muljanto Sumardi, Bibliografi
Pendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan Kemasyarakatan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976), h.108. juga A. Malik Fadjar, op. cit., 73; dan Timur Djaelani, op. cit., h.38.
17 Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945 dan Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.108, 113; juga Timur Djaelani, op. cit., h. 39. bantuan kepada madrasah ini terus berlanjut sampai setelah munculnya UUPP No.4 Tahun 1950, yakni melalui
10
diakui sama dengan ijazah dari madrasah negeri (MIN), serta tamatannya memiliki
civil effect yang sama dengan madrasah negeri.19
Pembaharuan madrasah telah dimulai sejak Orde Lama (1945-1965). Tahun
1958/1959, misalnya, Departemen Agama melakukan upaya pembaharuan sistem
pendidikan di madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB)
dengan spesifikasi: lama belajar 8 tahun (berarti 8 kelas) untuk murid usia 6 sampai 14
tahun, bertujuan untuk menunjang kemajuan ekonomi, industri dan transmigrasi,
materi meliputi pengetahuan agama, umum dan keterampilan, dan berbasis pada
pembangunan masyarakat pedesaan (rural development).20 Guna memenuhi tenaga
guru di MWB-MWB tadi, didirikanlah Pusat Pelatihan Guru MWB di Pacet, Cianjur,
Jawa Barat. Pusat Pelatihan ini bersifat nasional. Peserta pelatihan adalah para tamatan
PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di seluruh Indonesia. Kurikulum pelatihan
mencakup pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan koperasi. Ada pula
pendidikan olah raga dan agama.21 Sayangnya, MWB ini tidak berjalan sebagaimana
diharapkan, hanya bertahan beberapa tahun saja. Karena faktor keterbatasan sarana,
peralatan, guru, respons masyarakat yang kurang dan pihak penyelenggara madrasah
yang tidak profesional,22 maka program ini tidak berlanjut.
Pada masa awal Orde Baru, antara tahun 1967 sampai 1970, dilakukan
penegerian di lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)
Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian bantuan kepada madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs), yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H. Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan mengenai bentuk bantuan (hadiah, sokongan atau tunjangan), syarat-syarat memperoleh bantuan, cara penetapan pemberian bantuan, pengawasan dan kewajiban perguruan agama Islam, pengubahan dan penghentian pemberian bantuan dan pelaksanaan pemberian bantuan. Lihat juga: Deliar Noer, “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No.58. New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.
18Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 tentang penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) 1951-1963. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117.
19 Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengakuan persamaan MIS dengan MIN dan persamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 tentang civil effect tamatan madrasah. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117-118. Juga Timur Djaelani, op. cit., h.41.
20 Timur Djaelani, op. cit., h.40; juga I. Djumhur, op. cit., h.226-230; juga A. Malik Fadjar, op. cit., 27-28. Juga Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), h.58. MWB ini merupakan penjabaran atas UUPP No.4 Tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang berbunyi: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Lihat juga Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997), h.151.
21 Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, op. cit., h.151-152. 22 Haidar Putra Daulay, op. cit., h.341.
11
serta merubah nama dan struktur Madrasah Negeri.23 Selanjutnya, tahun 1975, melalui
SKB 3 Menteri, madrasah ditingkatkan mutu pendidikannya.24
Berangkat dari SKB 3 Menteri tersebut PAI perguruan agama menjadi sejajar
dengan sekolah umum. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum,
lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum mulai dari
jenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, status dan kedudukan madrasah juga
sama dengan sekolah.25 Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini adalah bahwa
seluruh madrasah harus melakukan perubahan kurikulum dimana 70 % merupakan
ilmu pengetahuan umum dan 30 % ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula
diharapkan LPI dapat meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu berkompetisi
dengan sekolah umum.26 Bedanya, madrasah berada di bawah payung Departemen
23 Penegerian MTs dan MA mengikuti Peraturan Menteri Agama No.29 tahun 1967 dan Keputusan
Menteri Agama No.213 tahun 1970 tanggal 14 September 1970 tentang penghentian penegerian sekolah-sekolah dan madrasah swasta. Sedang perubahan nama dan struktur madrasah mengikuti Keputusan Menteri Agama No.52 tahun 1971 tentang perubahan nama-nama & struktur dan kurikulum Madrasah Negeri dan Sekolah Dinas. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.118-119. Lihat juga Husni Rahim, op. cit., h.55. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa penegrian madrasah ini telah dilakukan sejan 1950-an oleh Departemen Agama. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), h.103.
24 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Perlu diketahui bahwa latar belakang munculnya SKB 3 Menteri ini adalah karena sikap pemerintah waktu itu yang bermaksud mengintegrasikan pengelolaan madrasah dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana dapat dilihat dalam kebijakan Kepres No.34/1972 yang kemudian dipertegas dengan Inpres No.15/1974 tentang tanggungjawab fungsional dan latihan. Namun, Kepres tersebut mendapat reaksi keras dari kaum Muslimin yang menyelenggarakan pendidikan madrasah. Maka dibentuklah Musyawarah Kerja Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) bersama Menteri Agama, waktu itu adalah Dr. Mukti Ali, yang berusaha mengambil jalan tengah agar madrasah berada di bawah pengelolaan Departemen Agama. Dari situ lalu dicapai kompromi dengan hadirnya SKB 3 Menteri 1975 dimaksud dengan isi tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Lebih lanjut lihat Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), h.122-123.
25 A. Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, op. cit., h.5-6 dan 38. Lihat juga SKB dua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah Bab V pasal 11 ayat 1-5. Disebutkan bahwa: 1) peserta didik sekolah umum dapat pindah ke madrasah atau sebaliknya sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikannya dengan penyesuaian yang diperlukan. 2) Lulusan sekolah umum dapat melanjutkan pendidikannya ke madrasah, kejuruan agama atau keguruan agama sesuai dengan jenjang pendidikannya. 3) STTB/ijazah sekolah umum dan madrasah dari jenjang pendidikan yang sama mempunyai kedudukan setaraf. 4) Lulusan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas dapat melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri sesuai dengan program yang diikuti dan persyaratan yang berlaku. Dan 5) Lulusan madrasah tingkat menengah atas dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum sesuai dengan program yang diikuti dan persyaratan yang berlaku. Lihat juga: M. Arifin, Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama (Semarang: Toha Putra, [1981]), h.97. Lihat juga Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.123.
26 M. Irsyad Djuwaeni, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), h.53-54.
12
Agama, sementara sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional, di samping
adanya perbedaan proporsi materi pelajaran agama Islam di dua lembaga tersebut.
Posisi madrasah ini dipertegas kembali dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 Bab
IV pasal 11 ayat 6 tentang pendidikan keagamaan, yang kemudian dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri, bahwa MI, MTs, dan MA masing-
masing termasuk SD, SLTP, dan SMU yang berciri khas agama Islam dan
diselenggarakan oleh Departemen Agama.27 Tanggungjawab atas pengelolaan
madrasah dilimpahkan kepada Menteri Agama.28 Siswa berhak memperoleh pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya,29 apabila dalam satu kelas di suatu
sekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang siswa yang memeluk agama
tertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan di kelas
tersebut,30 sementara bagi siswa yang tidak memeluk agama yang sedang diajarkan
pada saat berlangsungnya pelajaran agama di kelas itu diberi kebebasan.31 Kurikulum
dan bahan kajian yang diberikan di madrasah minimal sama dengan di sekolah, di
samping bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut.32 Kurikulum di
27 PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (SD dan SLTP) Bab III pasal 4 ayat 3,
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Bab I pasal 1 ayat 2, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 tentang Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP) Bab III pasal 1 ayat 5, dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 tentang Pendidikan Menengah Umum (SMU) Bab I pasal 1 ayat 6.
28 PP No.28 Tahun 1900 Bab VI pasal 10 ayat 1 dan 2; dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VI pasal 11 ayat 2 dan 3.
29 PP No.28 Tahun 1990 Bab VIII pasal 16 ayat 2 dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VIII pasal 17 ayat 2.
30 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Bab V pasal 9 ayat 2. Bandingkan dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri pasal 4 yang menyebutkan bahwa: 1) Pendidikan Agama diberikan menurut agama murid masing-masing, 2) Pendidikan Agama baru diberikan kepada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya sepuluh orang, yang menganut suatu macam agama. Lihat juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.11, 14.
31 Ibid., pasal 5. Bandingkan juga dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri pasal 4 ayat 3, bahwa murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu tertentu, dan murid-murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkan tetapi tidak mendapat izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnya selama jam pelajaran agama itu.
32 Ibid., Bab IX pasal 25 dan 26. Isi kurikulum SD wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran: pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, membaca dan menulis, Matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, sejarah nasional, dan menggambar. Sedang isi
13
madrasah belakangan dimodernisir melalui upaya Departemen Agama untuk menyusun
buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam,33 atau buku pelajaran
keislaman yang bernuansa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, meskipun dalam
realisasinya masih dihadang oleh kendala teknis-operasional berupa SDM dan fasilitas.
Belum lagi kendala klasik yang berkaitan dengan ketidakadilan alokasi dana untuk
madrasah dari Departemen Agama bila dibandingkan dengan alokasi dana untuk
sekolah umum dari Departemen Pendidikan Nasional.34
Walaupun saat ini kondisi madrasah telah mengalami perubahan bila
dibandingkan dengan masa awal kemunculannya hingga akhir Orde Baru, namun
perbedaan mencolok masih dijumpai oleh madrasah bila dibandingkan kondisinya
dengan sekolah umum. Bagaimana peran dan kondisi madrasah saat ini? Berikut ini
adalah uraian tentang gambaran umum madrasah dimaksud.
B. Gambaran Umum Kondisi Madrasah
1. Data Kelembagaan Madrasah
Pendataan secara terpadu terhadap lembaga pendidikan yang bernaung
dibawah Departemen Agama, yakni madrasah, sudah dimulai sejak tahun 1998.
Saat ini, pendataan tersebut ditangani oleh Bagian Data dan Informasi Pendidikan
Setditjen Kelembagaan Agama Islam. Jumlah lembaga yang berhasil didata dari
tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan yang cukup pesat. Perkembangan
jumlah madrasah yang berhasil didata sepanjang tahun 2001 hingga 2004 disajikan
pada beberapa grafik berikut:
kurikulum SLTP wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran sebagaimana yang diberikan di tingkat SD di atas ditambah dengan pelajaran Bahasa Inggris (SK Menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) No. 054/U/1993 tentang SLTP Bab IX pasal 19 dan 20), sementara isi kurikulum SMU wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran sebagaimana diberikan di tingkat SLTP di atas, ditambah beberapa mata pelajaran: ekonomi, geografi, sosiologi, kimia, fisika, biologi, dan bahasa asing. Baik di SLTP mapun SMU dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas SLTP yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional
33 Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.125. 34 Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.126-127. Hasil studi ADB bekerjasama dengan
Comparative Education Center Universitas Hong Kong menunjukkan perbedaan alokasi dana yang mencolok. Rentang pengeluaran rata-rata murid SDN per tahun Rp. 190.000,oo-Rp. 304.000,oo; sedang MIN Rp. 139.000,oo-Rp.225.000,oo, dan MIS Rp. 87.000,oo-Rp.163.000,oo per murid per tahun. Untuk SLTPN per tahun adalah Rp. 418.000,oo-Rp. 572.000,oo, berbeda jauh dengan murid MTs yaitu Rp.185.000,oo-Rp.380.000,oo per murid per tahun.
14
Grafik 1. Pertumbuhan jumlah madrasah dari tahun 2001 sampai 2004
Sumber: www.depag.go.id
Grafik di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah madrasah sepanjang
tahun 2001 sampai 2004 terjadi penambahan sebanyak 3% setiap tahunnya. Hal ini
disebabkan oleh adanya pertumbuhan madrasah-madrasah baru bagi madrasah
swasta, dan adanya penegrian madrasah dengan pertimbangan madrasah negeri
menjadi madrasah model percontohan dan induk pembinaan bagi madrasah
swasta di lingkungannya, di samping itu terdapat beberapa madrasah yang baru
terdata karena lokasi yang sulit terjangkau. Gejala ini menunjukkan adanya
pertumbuhan madrasah di masa mendatang bahwa pendidikan madrasah mampu
menampung peningkatan jumlah peserta didik seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk.
Pertumbuhan lembaga pendidikan madrasah, sebagian besar bersumber dari
swadaya masyarakat yang didirikan dengan niat agar dapat memberikan pendidikan
yang lebih baik kepada anaknya untuk pendidikan umum dan agama. Hal ini
tampak jelas dari status madrasah 91,5% berstatus swasta sedangkan yang berstatus
negeri atau dikelola oleh pemerintah hanya berjumlah 8,5%. Perbandingan untuk
seluruh tingkat disajikan secara lengkap pada grafik berikut:
15
Grafik 2. Perbandingan status madrasah pada tahun 2004.
Sumber: www.depag.go.id
Dengan sistem pengelolaan yang dilakukan langsung oleh masyarakat
ditambah dengan kondisi masyarakat dimana sebagian besar dari mereka berasal
dari golongan kurang mampu, menyebabkan perkembangan madrasah tidak secepat
sekolah umum.
2. Peserta Didik (Siswa)
Saat ini total siswa pada madrasah adalah 6.022.965 jiwa mulai dari tingkat
MI hingga MA. Pada tingkat MI siswa berjumlah 3.152.665 atau 12.1% dari jumlah
penduduk usia sekolah 7 – 12 tahun, pada tingkat MTs siswa berjumlah 2.129.564
atau 15.9 dari jumlah penduduk usia sekolah 13 – 15 tahun, pada tingkat MA siswa
berjumlah 744.736 atau 5,7 % dari jumlah penduduk usia sekolah 16 – 18 tahun.
Perkembangan jumlah siswa dari tahun 2001 hingga 2004 pada grafik berikut ini :
Grafik 3. Perkembangan jumlah siswa sejak tahun 2001 hingga 2004.
16
Pertumbuhan tersebut secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan adanya indikasi keinginan
masyarakat yang lebih tinggi untuk menyekolahkan anaknya dimadrasah
dibandingkan sekolah umum.
Dari rasio rombongan belajar (rasio jumlah siswa per rombongan
belajar), terlihat bahwa rasio pada tingkat MTs lebih tinggi daripada MI dan MA.
Rasio rombel pada tingkat MTs 33,9; pada tingkat MA 32,1 dan pada tingkat MI
21,3. Daya serap madrasah terhadap siswa baru yang mendaftar termasuk tinggi.
Pada tingkat MI tahun 04/05 daya serap mencapai 97,0% dari jumlah pendaftar
yang ada. Hal ini berarti terdapat 3,0% dari pendaftar yang tidak dapat diserap oleh
MI. Sementara pada tingkat MA, daya serap pada tahun 04/05 91,3% yang berarti
terdapat 8,7% dari para siswa calon pendaftar tidak dapat diserap.
Beragamnya kualitas input siswa baru pada madrasah dapat dilihat pada
tabel 2.9 sampai 2.11 (Jumlah Pendaftar dan Siswa Baru Berdasarkan Asal
Sekolah). Pada tingkat MI, sebagian besar (47,8%) siswa baru langsung dari orang
tua yang berarti bahwa mereka tidak melalui pendidikan pra sekolah. Siswa baru
yang melalui pendidikan TK Islam sebanyak 40,0% dan sisanya sebanyak 12,3%
melalui pendidikan TK Umum.
Pada tingkat MTs, sebagian besar siswa baru berasal dari SD Negeri
(mencapai 70,6%) disusul dari MI Swasta sebanyak 21,5%; MI Negeri sebanyak
5,6% dan SD swasta sebanyak 2,2%. Pada tingkat MA, siswa baru sebagian besar
berasal dari MTs Swasta (mencapai 47,6%) disusul SMP Negeri sebanyak 23,1%;
MTs Negeri sebanyak 21,0% dan SMP Swasta sebanyak 8,3%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat MTs dan MA juga banyak diminati oleh para
lulusan dari sekolah umum.
Lulusan MI, sebagian besar melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
mencapai 88.7% yang tersebar pada MTs, SMP dan Pondok Pesantren. Lulusan
yang melanjutkan MTs sebanyak 49.3%; SMP sebanyak 29.5% dan Pondok
Pesantren sebanyak 9.9%. Sedangkan yang yang lainnya sebanyak 10.4% tidak
diketahui.
17
Lulusan MTs yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebanyak
63.9% yang tersebar pada MA, SMA dan Pondok Pesantren. Sebanyak 8.2%
melakukan pendidikan informal melalui kursus-kursus dan bekerja, sedangkan yang
lainnya sebanyak 27.9 tidak diketahui. Lulusan yang melanjutkan MA sebanyak
39.5%; SMA sebanyak 37.8% dan Pondok Pesantren sebanyak 11.4%. Lulusan
MA yang melanjutkan Perguruan Tinggi yang terdaftar pada PTAI sebanyak 21.6%
dan PTU sebanyak 14.0%.
Dari penjelasan sebelumnya diperoleh informasi bahwa siswa baru pada
tingkat MI sebagian besar adalah siswa yang yang belum melalui pendidikan pra
sekolah. Hal ini menjadi salah satu kendala yang menyebabkan tingkat pengulang
pada MI masih tinggi. Jika dibandingkan dengan MTs dan MA, maka dapat
dikatakan bahwa tingkat pengulang pada MI mencapai 2.6 % untuk MTS 0.2% dan
untuk MA 0.2 %, dari data diatas pengulang untuk MI mencapai 10 kali lebih
tinggi dibandingkan MTs dan MA.
Secara umum bahwa tingkat putus sekolah pada tingkat MTs dan MA
lebih tinggi dibandingkan MI. Selain itu juga terlihat bahwa tingkat putus sekolah
pada MTs dan MA ada sedikit kenaikan sedangkan pada MI terus menurun. Salah
satu penyebab tingginya tingkat putus sekolah pada MTs dan MA adalah
kemampuan sosial ekonomi orangtua. Orangtua siswa pada madrasah sebagian
besar (mencapai 84%) berasal dari golongan kurang mampu (pendapatan dibawah
UMR).
3. Guru Madrasah
Guru yang mengajar pada madrasah dari tingkat MI hingga MA berjumlah
524.679 yang terdiri dari Guru PNS sebanyak 71.422 (13.61%) dan guru Non-PNS
sebanyak 453.257 (86.39%). Banyaknya jumlah guru Non-PNS karena banyaknya
lembaga madrasah yang berstatus swasta yang langsung dikelola oleh masyarakat.
18
Grafik 4. Jumlah Guru berdasarkan Status Kepegawaian Tahun 2004
1. Madrasah Ibtidaiyah
Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah Jumlah
Siswa PNS Non-PNS Total PNS Non-
PNS
Total
Negeri 302,811
10,720 8,057 18,777
28.2 37.6
16.1
Swasta 2,829,125
23,193
154,589
177,782
122.0
18.3
15.9
2. Madrasah Tsanawiyah
Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah Jumlah
Siswa PNS Non-PNS Total PNS Non-
PNS
Total
Negeri 508,521
17,532 14,067 31,599
29.0 36.1
16.1
Swasta 1,558,226
8,857
155,639
164,496
175.9
10.0
9.5
3. Madrasah Aliyah
Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah
Jumlah Siswa PNS Non-
PNS Total PNS Non-PNS Total
Negeri 291,608
11,068
6,759
17,827
26.3
43.1 16.4
Swasta 406,696
2,369
54,386
56,755
171.7 7.5 7.2
Tabel 1. Jumlah Guru Berdasarkan Status Kepegawaian
dan Rasio terhadap Siswa pada Madrasah Tahun 2004
Sumber: www.depag.go.id
Dari dua grafik di atas dapat diketahui bahwa kondisi guru madrasah
umumnya berstatus non-PNS, terutama sekali pada madrasah swasta, dengan rasio
siswa-guru yang belum ideal.
19
4. Fasilitas Ruang Belajar
Ruang kelas yang dalam kondisi baik (layak untuk digunakan) hanya 55,6%
atau berjumlah sekitar 126.095 dari tingkat MI hingga MA. Jumlah ini sangat tidak
sesuai bila dibandingkan dengan jumlah rombongan belajar yang harus dilayani
berjumlah 233.776. Dari angka tersebut jelaslah bahwa hanya 53,9% rombongan
belajar yang dapat dilayani dengan ruang kelas yang memadai. Sedangkan sisanya
sebanyak 46,1% rombongan belajar menggunakan ruang kelas yang kurang
memadai.
Grafik 5. Kondisi Ruang Kelas.
Dari data yang dikumpulkan terlihat bahwa jumlah madrasah yang
menyelenggarakan pendidikan secara kombinasi (pagi dan siang) mencapai 5.9%.
Yang berarti terdapat sebanyak 2.376 madrasah terpaksa menggunakan waktu pagi
sampai sore hari untuk menyelenggarakan pendidikan karena kekurangan ruang
kelas. Madrasah yang menyelenggarakan pendidikan pada siang hari sebanyak
14.1% dan sebanyak 80,0% madrasah menyelenggarakan pendidikan dipagi hari.
Untuk mengatasi kondisi yang demikian, maka perlu peran pemerintah dalam
memberikan bantuan kepada madrasah untuk mendirikan ruang kelas baru atau
memperbaiki ruang kelas yang rusak.
Keterbatasan lain nampak bada dukungan dana dari Pemerintah kepada
madrasah swasta yang relatif kecil. Namun demikian madrasah masih tetap
membutuhkan kemitraan dengan Pemerintah, terutama sekali untuk memperoleh
pengakuan dan status madrasah, serta bantuan keuangan dan bahan pelajaran.
20
Semua keterbatasan di atas merupakan problema yang dihadapi oleh madrasah
hingga saat ini.
C. Problematika Guru Madrasah
Lebih dari 80% madrasah berstatus swasta. Kurikulum dan sistem akreditasi
madrasah berada dalam payung Departemen Agama. Hanya sedikit madrasah yang
menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk dana, buku teks, dan guru. Walaupun
begitu, dukungan Pemerintah kini kian meningkat seiring dengan komitmen Pemerintah
untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Yang perlu diapresiasi adalah
madrasah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa mendapat bantuan
berarti dari Pemerintah. Di sini perlu dibuat rencana kebijakan yang jelas untuk
memperluas bantuan kepada madrasah swasta secara sistematis dan jangka panjang
melalui rumusan kriteria bantuan yang cermat. Sebab, pendidikan dasar merupakan hak
konstitusional tiap anak mengingat pelaksanaan program wajib belajar tidak bisa
mengesampingkan peran madrasah swasta.
Dari kondisi madrasah sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dianalisis
beberapa problema yang dihadapi oleh madrasah (termasuk gurunya). Fasli Jalal
mengemukakan isu-isu yang menjadi problema utama madrasah dalam beberapa hal:
Pertama, kebanyakan peserta didik madrasah berasal dari kelompok masyarakat dengan
income rendah sementara kebanyakan madrasah berada di daerah pedesaan, akibatnya,
tanpa bantuan dari pihak Pemerintah maka madrasah swasta akan semakin terpuruk.
Kedua, rendahnya kualitas guru madrasah. Masih sering dijumpai guru
madrasah yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, terutama sekali guru
madrasah untuk bidang studi Sains, Matematika dan bahasa Inggris yang masih jauh
dari memuaskan. Belum lagi masalah banyaknya guru madrasah yang berstatus sebagai
Guru Tidak Tetap atau GTT yang sering menimbulkan problema kurangnya
ketersediaan guru dan SDM. Rata-rata sekitar 65% guru madrasah memiliki kualitas
akademik Diploma 3 atau di atasnya, sementara sekitar 40% guru madrasah masih
mengajar bidang studi yang bukan termasuk keahliannya. Selain itu, sekitar 46% guru
madrasah swasta berstatus Tidaj Tetap (GTT). Rasio Guru Tetap madrasah adalah 1 :
81 siswa, atau hanya 10% saja guru yang berstatus tetap (GT) dimana kebanyakan dari
21
mereka itu adalah lulusan dari IAIN, UIN atau PTAI yang tidak memiliki latar belakang
yang kuat dalam mengajar Sains, Matematika atau bahasa Inggris. Selain itu, lebih dari
60 % guru madrasah mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan keahliannya.
1. Madrasah Ibtidaiyah
Status Kepegawaian Guru Status Madrasah
NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total
Negeri 9,500
1,220
8,057 - -
18,777
Swasta 22,227
966
62,202
62,351
30,036
177,782
2. Madrasah Tsanawiyah
Status Kepegawaian Guru Status Madrasah
NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total
Negeri 15,541
1,991
14,067 - -
31,599
Swasta 8,128
729
32,379
55,378
67,882
164,496
3. Madrasah Aliyah
Status Kepegawaian Guru Status Madrasah
NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total
Negeri 9,466
1,602
6,759 - -
17,827
Swasta 1,911
458
8,973
19,466
25,947
56,755
Tabel 2. Jumlah Guru Berdasarkan Status Kepegawaian pada Madrasah Tahun 2004
Tabel di atas menunjukkan mahwa jumlah Guru Tidak Tetap (GTT) madrasah
untuk semua jenjangnya masih tergolong besar, sementara jumlah guru berstatus PNS
jauh dari rasio yang memadai bila dibandingkan dengan jumlah siswa.
Ketiga, di banyak provinsi menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan peserta
didik baru di bawah angka 150 orang. Jumlah peserta didik yang kecil menunjukkan
kondisi yang tidak ekonomis, apalagi bila diingat bahwa biaya pendidikan madrasah
masih mengandalkan pemasukan dari masyarakat setempat yang umumnya miskin.
Keempat, sebagian besar madrasah menghadapi masalah kurangnya fasilitas
perpustakaan dan laboratorium. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah meningkatkan
fasilitas madrasah dalam bentuk Madrasah Model. Sekitar 25 MI, 70 MTs, dan 15 MA
telah dikembangkan menjadi Madrasah Model. Madrasah Model dilengkapi dengan
22
fasilitas laboratorium dan perpustakaan yang memadai, dimana pendanaannya diperoleh
dari bantuan proyek ADB. Meskipun begitu, keberhasilan madrasah tersebut masih
belum teruji sepenuhnya.
Kelima, bahan ajar tidak memadai. Peserta didik madrasah umumnya yang
terakhir menerima sisa buku ajar gratis dari Diknas melalui sistem pengiriman yang
didanai oleh Diknas. Berdasarkan sampel survey yang dilakukan pada tahun 1997-1998
dapat diketahui bahwa sekitar 30% siswa MTs yang menerima buku ajar dari kurikulum
baru setelah pertengahan semester berjalan, dan sekitar 30% siswa membeli buku
ajarnya sendiri, sisanya 40% siswa hanya mengandalkan pada catatan pelajaran di
kelas. Keadaan ini berubah sejak adanya proyek penerapan buku ajar yang baru. Secara
bertahap kemampuan siswa memiliki buku ajar mulai membaik. Meskipun begitu,
buku-buku referensi ang sebagiannya merupakan buku ajar dan bahan bacaan masih
kurang memadai dalam koleksi buku di perpustakaan.
Dalam hal MTs swasta yang umumnya menerima pendaftaran peserta didik dari
kalangan ekonomi rendah, keadaannya semakin memprihatinkan. Beberapa kelas MTs
swasta yang dikunjungi menunjukkan bahwa kurang dari 5 siswa dalam kelas yang
memiliki buku ajar. Kebijakan Pemerintah menekankan pada pencapaian kesetaraan
akses dan peningkatan kualitas pendidikan madrasah untuk menyetarakannya dengan
SMP. Hal ini tentu saja memerlukan masukan yang tepat bagi MTs dan ketersediaan
buku teks bagi mereka, baik negeri maupun swasta, yang setaraf dengan siswa di SMP.
Keenam, kebijakan yang tidak mendukung peningkatan mutu guru madrasah
serta ketersediaan sarana prasarana. Umumnya lulusan pendidikan itu tergantung pada
faktor masukan peserta didik yang meliputi tingkat kecerdasan siswa, latar belakang
sosial-ekonomi orang tua, lingkungan keluarga, kualitas dan pengalaman guru,
ketersediaan buku teks, rekan sejawat, manajemen sekolah, dan lain-lain. Walaupun
pengaruh dari masukan tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian, namun masukan
yang setaraf tentu akan dicapai secara bertahap dalam menuju ke keluaran (lulusan)
yang setaraf pula. Saat ini, kualitas dan kuantitas input di madrasah masih di bawah
sekolah umum. Misalnya saja, dalam hal sekolah umum yang dikelola oleh Diknas,
ketersediaan satu orang guru SMP adalah untuk rasio 19 siswa, sementara bila
23
dibandingkan dengan MTs Negeri maka satu orang guru rasionya adalah 30 siswa.
Lebih parah lagi halnya dengan MTs Swasta, dimana satu orang guru rasionya adalah
81 siswa, padahal di lingkungan SMP Swasta satu orang guru rasionya adalah 22 siswa.
Terlebih lagi, dalam hal ketersediaan guru di lingkungan Depag masih jauh kualitasnya
karena hanya 30% dari kepala madrasah adalah lulusan SLTA. Dengan demikian,
upaya up grading guru madrasah merupakan tantangan serius dan merupakan syarat
mendasar bagi perbaikan mutu pendidikan dan penentu bagi berhasilnya penerapan
kurikulum baru. Kesenjangan yang sama terjadi antara SMP dengan MTs dalam hal
ketersediaan fasilitas fisik yang memadai bagi laboratorium, perpustakaan, buku teks,
dan seterusnya.
Ketujuh, lemahnya sistem evaluasi di madrasah. Upaya untuk membenahi
kualitas proses belajar mengajar di madrasah juga diperlukan. Selain itu, faktual bahwa
sistem evaluasi yang ada di madrasah saat ini belum dapat membedakan antara berbagai
tingkat belajar siswa, dengan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang siknifikan antara
persentase siswa yang lulus sekolah dengan perbedaan mutu input mereka.
Kedelapan, lemahnya supervisi pendidikan. Di lingkungan madrasah terdapat
654 pengawas bagi lebih dari 8000 MTs yang tersebar di lebih dari 299 provinsi dan
kabupaten. Ironisnya, sekitar 36% dari pengawas tersebut memiliki kualifikasi di bawah
S-1. Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dan tidak memiliki keahlian tentang
supervisi. Anggaran untuk perjalanan mereka tergolong rendah, sehingga praktis tidak
ada sistem pengawasan pendidikan. Agung Nugroho dalam tesisnya yang meneliti
tentang pelaksanaan supervisi PAI di MAN 1 Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah
pengawas untuk lingkungan madrasah di DIY hanya seorang dan melakukan visitasi
kelas setahun sekali. Tindak lanjut dari hasil supervisi umumnya juga tidak jelas.
Melihat kondisi dan problematika yang dihadapi oleh guru madrasah
sebagaimana dijelaskan di atas, muncul suatu pertanyaan besar terkait dengan kebijakan
Pemerintah tentang sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan.
Siapkah mereka?
D. Kesiapan Guru Madrasah Menghadapi Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan
1. Kebijakan Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan
24
Kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme
guru tidak lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan
nasional. Dalam konteks global, kualitas SDM Indonesia tergolong amat rendah bila
dibandingkah dengan negera-negara lain, bahkan bila dibandingkan dengan negara
tetangga dalam lingkup ASEAN. Data Human Development Index yang dikeluarkan
oleh UNDP tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 112
dari 175 negara. Bagaimana dengan kondisi guru secara nasional? Dari rekapitulasi
data statistik Diknas menunjukkan bahwa 50,51 % guru SD berijazah di bawah D-2,
sisanya 49,49 % berijazah D-2 ke atas. Sedang guru SLTP berijazah D-3 (Diploma
3) 33,67 %, guru SLTP berijazah D-3, dan sisanya 66,33 % berijazah D-3 ke atas
(Balitbang Diknas 2002). Guru yang layak mengajar hanya 50,7 % untuk jenjang
SD, 64,1 % untuk SLTP, dan 67,1 % untuk SMU (Kompas, 3 Pebruari 2006: 7). Faktor ekonomi juga ikut berpengaruh. Sejak krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1997, kemampuan daya beli masyarat menurut, harga barang
melambung tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh kebanyakan
masyarakat. Sementara itu, kebijakan Pemerintah terkait dengan peningkatan
anggaran pendidikan belum mampu mengatasi problema ini. Baru pada tahun 2003
Pemerintah membuat komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional
melalui UU Sissiknas No. 20 Tahun 2003. UU ini memuat banyak hal terkait
dengan pendidik, dalam hal ini guru dan dosen, serta hal-hal yang mengatur tentang
pembenahan mutu pendidikan nasional. UU ini diteruskan dengan hadirnya
kebijakan yang mengatur tentang guru dan dosen terutama dalam rangka
meningkatkan profesionalismenya melalui progran sertifikasi.
Siapa sebenarnya guru tersebut? Apa yang dimaksud dengan sertifikasi?
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1
disebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Sedang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I
tentang Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik
25
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedang
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.
Dengan demikian, sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang
diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam BAB II tentang Kedudukan, Fungsi, Dan Tujuan pasal 2 ayat 1
disebutkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini
pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Sedang jalur pendidikan sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas No
20 Tahun 2003 adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan
potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dalam Buku 6 yang merupakan Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi
Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008 disebutkan bahwa secara
umum tujuan sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan adalah untuk
meningkatkan kompetensi peserta agar mencapai standar kompetensi yang
ditentukan. Secara khusus program ini bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan
kompetensi guru dalam bidang ilmunya. 2. Memantapkan kemampuan mengajar
guru. 3. Mengembangkan kompetensi guru secara holistik sehingga mampu
bertindak secara profesional. 4. Meningkatkan kemampuan guru dalam kegiatan
penelitian dan kegiatan ilmiah lain, serta memanfaaatkan teknologi komunikasi
informasi untuk kepentingan pembelajaran dan perluasan wawasan.
Adapun sistem pembelajarannya dalam program sertifikasi guru dalam
jabatan melalui jalur pendidikan ini adalah menekankan pada pengembangan
kemampuan yang mempersyaratkan pemahaman konsep-konsep yang mantap dan
kemudian diterapkan dalam praktik. Dengan kata lain, pembelajaran tidak cukup
menekankan pada segi apa dan mengapa, tetapi pada segi bagaimana penerapannya.
26
Dengan demikian, proses pembelajaran dalam program ini perlu memperhatikan
hal-hal berikut. 1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)
semester. 2. Pengembangan bahan ajar dilakukan berdasarkan standar isi kurikulum
dengan mempertimbangkan kondisi setempat. 3. Dalam proses pembelajaran, dosen
mampu berperan sebagai model guru SD atau SMP, sehingga peserta didik
mendapat gambaran nyata tentang perilaku guru yang harus ditampilkan ketika
mengajar. 4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang dapat melibatkan
peserta didik dalam pemerolehan konsep dan makna materi kajian melalui
pengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan. 5.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara bervariasi, sehingga memungkinkan
terbentuknya dampak instruksional dan dampak pengiring, seperti keterbukaan,
kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai. 6. Kegiatan
pembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang dapat menumbuhkan
kreativitas peserta didik untuk memilih alternatif media dan sumber belajar yang
sesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang paling
canggih saat berada di sekolah.
Persyaratan peserta dan prosedur rekrutmennya diatur sebagai berikut:
1. Sertifikasi melalui jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yang
berprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksi
administratif dilakukan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan
seleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai
berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)
dari program studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
27
4. Guru bukan PNS, yaitu guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang meliputi guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelas
diutamakan yang memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1
kependidikan lainnya, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yang
memiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru SMP (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling)
diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40
tahun pada saat mendaftar.
9. Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi di
tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.
10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugas
mengajar.
11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan proses
pembelajaran di sekolah tidak terganggu.
Agar lebih jelasnya, prosedur yang harus dilalui leh guru madrasah dalam
mengikuti program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan ini adalah sebagaimana
terlihat dalam bagan berikut ini.
6/10/20086/10/2008 66
GURU DLM JABATAN (S1/D-IV)
UJI KOMPETENSI
GURUBERSERTIFIKAT
PENDIDIK
PKA
PROSEDUR SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN
MELALUI JALUR PENDIDIKAN
TL
PELAKSANAAN PENDIDIKAN
TL
PAI/ DEPAG
LULUSPROGRAM PENDIDIKAN
L
MAPENDA KAB/KOTA
SELEKSIADM
SELEKSI AKADEMIK
REMEDIAL
3 X TLMAKS 2 KALI
PEMBINAAN
PEMBINAAN
Bagan 1. Prosedur Sertifikasi Guru Madrasah Jalur Pendidikan
28
Penjelasan alur sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan di
atas dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Guru madrasah yang memenuhi syarat untuk mengikuti sertifikasi guru dalam
jabatan melalui jalur pendidikan mendaftar ke Departemen Agama
Kabupaten/Kota dengan melengkapi berkas sesuai pedoman penyelenggaraan.
b. Pihak Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan seleksi administratif
kepada calon peserta sesuai dengan rambu-rambu yang telah ada.
c. Pihak Departemen Agama Kabupaten/Kota mengusulkan 1 (satu) orang guru
MTs per bidang studi dan 2 orang guru MI yang telah diseleksi ke Ditjen Diktis
untuk diproses lebih lanjut.
d. Rekap calon peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan beserta dokumen
kelengkapannya di kirimkan ke Ditjen Diktis.
e. Ditjen Diktis memfasilitasi seleksi akademik yang dilakukan LPTK
penyelenggara sertifikasi melalui jalur pendidikan untuk menetapkan calon
peserta program. Ditjen Diktis menetapkan alokasi peserta pada masing-masing
LPTK yang ditunjuk.
f. Peserta yang lolos seleksi akademik mengikuti Pemetaan Kemampuan Awal
untuk menentukan jumlah SKS yang wajib diambil selama mengikuti sertifikasi
guru melalui jalur pendidikan.
g. Pelaksanaan pendidikan di LPTK selama 2 semester. Peserta wajib lulus semua
matakuliah sebagai syarat untuk dapat mengikuti uji kompetensi dalam rangka
memperoleh sertifikat pendidik.
h. Peserta yang lulus semua mata kuliah diikutkan uji kompetensi. Bagi peserta
yang belum lulus ujian mata kuliah diberi kesempatan mengikuti pemantapan
dan ujian ulang sampai 2 kali. i. Peserta yang tidak lulus satu atau lebih mata
kuliah diberi kesempatan mengikuti ujian ulang. Kesempatan mengikuti ujian
ulang maksimal dua kali. Bila ada peserta yang telah menempuh ujian ulang
yang kedua dan belum lulus maka peserta dikembalikan ke dinas pendidikan
kabupaten/kota untuk mendapatkan pembinaan.
j. Peserta uji kompetensi yang tidak lulus diberi kesempatan untuk mengikuti
remidi di LPTK. Kesempatan remidi diberikan dua kali. Bila peserta gagal uji
29
kompetensi yang ke-3, maka peserta diserahkan kembali ke Departemen Agama
kota/kabupaten untuk mendapatkan pembinaan.
Dalam Bab IV tentang Guru Bagian Kesatu tentang Kualifikasi,
Kompetensi, dan Sertifikasi Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9
menyebutkan bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10 menyebutkan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Pasal 11 menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi
pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi
pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Pasal 16 menyebutkan bahwa Pemerintah memberikan tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki
sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Terkait dengan sertifikasi guru madrasah ini, dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam
Jabatan Pasal 1 ayat 1-3 disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Sertifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang
telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV).
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
30
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan
Nasional.
Penjelasan tentang materi sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur
pendidikan tersebut, Buku 7 Tentang Rambu-Rambu Penyusunan Kurikulum
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008 menyebutkan bahwa
tujuan program secara umum program ini adalah untuk meningkatkan kompetensi
guru sebagai pendidik profesional. Secara khusus program ini bertujuan sebagai
berikut. 1. Meningkatkan penguasaan bidang ilmunya. 2. Memantapkan
kemampuan mengajar guru. 3. Mengembangkan kompetensi guru secara holistik
sehingga mampu bertindak secara profesional. 4. Meningkatkan kemampuan guru
dalam kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya, serta memanfaaatkan
teknologi komunikasi informasi untuk kepentingan pembelajaran dan perluasan
wawasan.
Sedang sasaran program sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui
jalur pendidikan adalah guru MI dan MTs yang lulus seleksi administrasi di dinas
pendidikan kota/kabupaten dan seleksi akademik yang dilakukan LPTK bersama
Ditjen Diktis. Guru-guru tersebut adalah: 1. guru MI (guru kelas) 2. guru MTs
untuk bidang studi Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,
Kesenian, Olah raga, PKn, Bimbingan dan Konseling.
Kompetensi lulusan program sertifikasi melalui pendidikan dilaksanakan
untuk menghasilkan guru yang kompeten dengan usaha-usaha berikut ini. 1.
Meningkatkan empat kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran, yaitu
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan
kompetensi sosial. Keempat kompetensi tersebut secara holistik dan integratif
tercermin dalam kinerja guru. 2. Menerapkan empat kompetensi tersebut dalam
situasi nyata untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang mendidik.
31
2. Kesiapan Guru Madrasah
Bila diperhatikan bahwa kebijakan tentang sertifikasi guru madrasah dalam
jabatan melalui jalur pendidikan ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak
mengikuti sertifikasi jalur portofolio, dan dipersyaratkan bahwa mereka adalah guru
muda yang berkualifikasi sarjana S-1 dan sudah mengajar minimal lima tahun serta
memiliki prestasi, maka hal ini sulit dipenuhi oleh guru madrasah. Kembali kepada
kondisi dan problema yang dihadapi oleh guru madrasah sebagaimana diuraikan
sebelumnya yang menunjukkan rendahnya kualitas akademik mereka bila
dibandingkan dengan guru di sekolah umum yang lebih siap mengikuti program
sertifikasi guru jalur pendidikan.
Ditengah pengaruh globalisasi, lembaga pendidikan Islam khususnya
madrasah masih harus menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya, bagaimana
madrasah dapat setara, dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum.
Menurut Malik, Kepala Balitbang Agama DKI Jakarta, kini sudah saatnya,
madrasah bisa memainkan peran penting dalam kehidupan global, tanpa kehilangan
ciri khas serta jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurutnya, sebagai
lembaga pendidikan tertua di Indonesia, perkembangan lembaga pendidikan Islam
khususnya madrasah, masih sering diperlakukan diskriminatif. Padahal, sebagai
negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikan
sebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag melalui balai penelitiannya terus
berupaya menyetarakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum, memberikan
peluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi umum. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas
menyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunya
dengan memberikan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatan
profesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini bisa menjadi salah satu tolak ukur dari
profesionalisme seorang guru, terutama guru agama, untuk selalu meningkatkan
kemampuannya.
Kualifikasi pendidikan guru madrasah sampai saat ini masih relatif rendah.
Hal ini terlihat pada grafik dibawah ini. Persebaran tingkat pendidikan guru
madrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI,
32
kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MA
sebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih.
Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004
Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi standar (D2 atau lebih)
berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkat
MTs yang sudah memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yang
belum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhi
standar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%.
1. Madrasah Ibtidaiyah Kualifikasi Pendidikan
Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total
Negeri 3,479
520
9,880
802
4,096
18,777
Swasta 92,473
8,445
49,030
4,885
22,949
177,782
2. Madrasah Tsanawiyah Kualifikasi Pendidikan
Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total
Negeri 1,959
446
1,819
6,114
21,261
31,599
Swasta 40,867
5,034
18,290
20,770
79,535
164,496
3. Madrasah Aliyah Kualifikasi Pendidikan
Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total
Negeri 500 34
146 1,338
15,809
17,827
Swasta 8,081
809
2,725
5,821
39,319
56,755
Tabel 3. Jumlah Guru Berdasarkan Kualifikasi Pendidikan
pada Madrasah Tahun 2004
33
Secara lebih spesifik, kondisi kualifikasi akademik guru madrasah tersebut
tidak jauh beda dengan yang dihadapi oleh guru madrasah di wilayah DIY. Data
EMIS Departemen Agama Provinsi DIY Tahun 2008 menunjukkan bahwa lebih
dari 60% guru MI berpendidikan akhir di bawah S-1. Kondisi lebih baik dijumpai di
MTs dan MA, dimana sekitar 75% guru MTs berpendidikan S-1 ke atas, dan sekitar
85% guru MA berpendidikan S-1 ke atas. Namun demikian, perlu diperhatikan di
sini bahwa tidak semua dari mereka yang berpendidikan S-1 tersebut memiliki
pengalaman mengajar lebih dari lima tahun. Kalau pun sebagian di antara mereka
telah mengajar lebih dari lima tahun, belum tentu semuanya memiliki prestasi
akademik yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau penghargaan lain, padahal hal
ini sebagai prasyarat bagi keikutsertaan mereka dalam program sertifikasi guru
melalui jalur pendidikan. Beberapa tabel berikut ini ditampilkan untuk memberi
gambaran terhadap kesiapan guru madrasah di DIY dalam mengikuti program
sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.
Keberadaan Guru MI
Status Pendidikan Akhir
Kabupaten
PNS Non PNS
<= SL TA
D1 D2 D3 S1 S2 S3
Sleman 128 125 43 3 97 12 93 2 0 Kota 21 11 3 0 8 2 19 0 0 Gunung Kidul 410 473 133 6 18 196 5 0 Bantul 160 141 48 1 123 18 103 4 0 Jumlah 719 750 227 10 246 18 411 11 0
Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008
Tabel 4. Status dan Pendidikan Akhir Guru Madrasah Ibtidaiyah di DIY Tahun 2008
34
Keberadaan Guru MTs
Status Pendidikan Akhir
Kabupaten
PNS Non PNS
<= SL TA
D1 D2 D3 S1 S2 S3
Sleman 327 220 47 4 7 67 382 19 0 Kota 62 144 17 0 2 17 159 7 0 Gunung Kidul
251 337 41 10 48 74 410 10 0 Bantul 325 332 74 38 44 92 463 45 34 Jumlah 965 1033 179 52 101 250 1414 81 34
Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008
Tabel 5. Status dan Pendidikan Akhir Guru Madrasah Tsanawiyah di DIY Tahun 2008
Keberadaan Guru MA
Status Pendidikan Akhir
Kabupaten
PNS Non PNS
<= SL TA
D1 D2 D3 S1 S2 S3
Sleman 190 264 34 0 2 15 374 29 0 Kota 121 157 9 0 0 18 231 19 0 Gunung Kidul 44 87 7 0 8 10 95 9 0 Bantul 12 92 11 8 2 22 59 0 0 Jumlah 367 600 61 8 12 65 759 57 0
Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008
Tabel 6. Status dan Pendidikan Akhir Guru MA di DIY Tahun 2008
Pengalaman pelaksanaan program sertifikasi guru jalur portofolio tahun lalu
menunjukkan bahwa sekitar 60 persen dari 21 ribu guru madrasah yang mengikuti
sertifikasi guru tahun 2007 dinyatakan tidak lulus. Direktur Pendidikan Madrasah
Departemen Agama, Drs H Firdaus Basyuni MPd, menginformasikan bahwa sebanyak
21 ribu guru yang menyampaikan portofolio untuk sertifikasi tahun 2007 namun yang
lulus 30 persen hingga 40 persen. Menurutnya, sebagian besar peserta tidak lulus karena
portofolio yang disampaikan kurang lengkap dan tidak memenuhi persyaratan
sertifikasi seperti yang ditentukan.
35
Walaupun program sertifikasi guru melalui jalur portofolio telah dilaksanakan
namun umumnya kompetensi guru masih memprihatinkan, bahkan guru yang telah
memiliki sertifikat profesi pun belum menunjukkan sikap dan kinerja yang profesional.
Masih dijumpai adanya persepsi guru yang ikut serta program sertifikasi tersebut
semata-mata untuk mengejar tunjangan profesi, dan bukan peningkatan
profesionalisme. Hal ini perlu diperhatikan secara serius agar pelaksanaan program
sertifikasi selanjutnya, baik yang melalui jalur portofolio maupun pendidikan, dapat
dikaji ulang terutama dalam hal pembinaan, monitoring dan evaluasinya. Salah seorang
guru peserta program sertifikasi, Sundari,35 mengaku bahwa program sertifikasi guru
melalui jalur pendidikan lebih prospektif dari pada jalur portofolio. Alasannya, dalam
jalur pendidikan, dana bantuan yang diberikan kepada guru tersebut relatif lebih besar
dari pada jalur portofolio yang justru menyita waktu dan biaya dari guru itu sendiri.
Keluhan senada disampaikan oleh Bapak Dayat,36 Kepala MIM Kranggan, yang
menyatakan bahwa jalur prortofolio benar-benar melelahkan sementara bagi yang sudah
menerima sertifikat pendidik, sampai saat ini pun belum menerima tunjangan. Agaknya
para guru saat ini banyak yang mendapatkan informasi tentang program sertifikasi guru
melalui jalur portofolio, sedang jalur pendidikan kurang diketahui. Ketika
diwawancarai, Pak Nanang,37 guru MAN Prambanan, misalnya, mengaku baru
mengetahui kabar tentang program sertifikasi jalur pendidikan ini dari Kompas yang
dibacanya dua hari yang lalu (akhir Juni 2008).
Dengan mencermati seluruh kondisi dan kekhasan madrasah, problematika yang
dihadapinya, serta data tentang kesiapannya, sebagaimana diuraikan di atas, maka
program sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan yang akan
dilaksanakan mulai tahun 2008 ini hendaknya dapat diselenggarakan secara cermat,
fleksibel dan tidak menimbulkan kesenjangan yang semakin lebar dengan guru di
sekolah umum.
35 Wawancara dengan Ibu Sundari, guru SDN di Kebonanom, Klaten, pada tanggal 23 Juni 2008. 36 Wawancara dengan Bapak Dayat, Kepala MIM Kranggan, Manisrenggo, Klaten, pada tanggal 21
Juni 2008. 37 Wawancara dengan Bapak Nanang, guru MAN Prambanan pada tanggal 21 Juni 2008.
36
BAB III
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Madrasah memiliki potensi dan karakteristik tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Sejak masa perjuangan colonial Belanda, pasca kemerdekaan, hingga kini, madrasah
menyediakan dasar-dasar pendidikan moral dan agama kepada masyarakat pada saat
Pemerintah tidak sanggup melaksanakannya. Saat ini, madrasah menyerap peserta didik
dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah yang mayoritas berada di daerah
pedesaan, khusunya kaum perempuan. Jadi, dapat dikatakan bahwa madrasah berpihak
pada rakyat miskin, berbasis masyarakat, dan pro perempuan. Ketika harga barang
melambung tinggi, biaya pendidikan meningkat, dan daya beli masyarakat menurun
seperti yang terjadi sekarang, maka madrasah yang berkarakter populis tersebut
membuka jalan keluar bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk
menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif.
2. Madrasah bisa dikatakan sebagai jalan tengah di antara pendidikan model sekolah
umum dengan pesantren, sebab madrasah memiliki keunikan dalam memadukan
pendidikan umum dengan moral-keagamaan, bahkan sering kali madrasah dikaitkan
dengan wahana pelatihan keterampilan dan kewirausahaan. Namun demikian, keunikan
madrasah ini sekaligus sebagai bentuk doble burden atau beban ganda karena kekhasan
komposisi kurikulumnya yang 30% agama dan 70% umum, ditambah lagi dengan
kurikulum lokal yang diberlakukan oleh pihak penyelenggara madrasah, baik yayasan,
ormas Islam, maupun pesantren.
3. Pemerintah perlu membenahi kebijakan yang terkait dengan alokasi sumber dana,
sistem pengangkatan guru, penyediaan buku teks, sarana pembelajaran, administrasi
dan manajemen madrasah, termasuk pembenahan fasilitas perpustakaan, laboratorium,
sarana-prasarana, bahkan masalah bangunan fisik kelas, maupun perkantoran.
Kebijakan pembenahan madrasah ini hendaknya didasarkan pada prinsip persamaan
perlakuan atas akses dan kualitas pendidikan.
37
4. Dalam rangka untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru, khususnya
guru madrasah, Diknas dan Depag perlu melakukan road map berdasarkan masing-
masing daerah, agar kebutuhan guru dapat dihitung berdasarkan kondisi geografis dan
demografis secara komprehensif. Hal ini penting dilakukan agar dapat diketahui berapa
banyak guru yang akan pensiun, sekaligus dapat memetakan kebutuhan daerah tertentu
yang masih kekurangan guru atau kebanyakan guru. Di lingkungan Depag, kebutuhan
akan guru agama masih kurang, sedang rekruitmen yang dilakukan berdasarkan
formasinya nampak sangat terbatas.
5. Mengingat bahwa tujuan sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran, meningkatkan profesionalisme
guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, dan mempercepat terwujudnya tujuan
pendidikan nasional, maka hendaknya kebijakan sertifikasi guru madrasah dalam
jabatan melalui jalur pendidikan ini hendaknya diutamakan bagi guru muda Madrasah
Ibtidaiyah (MI) yang belum memperoleh kesempatan uji kompetensi melalui portofolio
dengan mempertimbangkan segala aspek keterbatasan kondisi dan problematikan yang
dihadapi guru madrasah.
6. Kebijakan Pemerintah terkait dengan sertifikasi guru madrasah hendaknya didahului
oleh sosialisasi yang memadai, pembinaan internal guru madrasah, dan peningkatan
kualitas akademiknya, terutama bagi guru MI. Bila dicermati, pelaksanaan sertifikasi
guru madrasah jalur portofolio pada tahun 2007 yang menunjukkan sekitar 60% guru
madrasah tidak lulus, maka kesiapan guru madrasah dalam kebijakan sertifikasi guru
jalur pendidikan perlu mempertimbangkan kekhasan, kondisi, dan problematika yang
dihadapi oleh guru madrasah, mengingat bila kriteria guru muda madrasah yang
berprestasi dan mendapat penghargaan dilaksanakan secara kaku, maka jumlah mereka
akan sangat terbatas dan kuotanya menjadi sulit dipenuhi. Agar tidak membawa
dampak kesenjangan yang lebar dengan sertifikasi guru di sekolah umum, maka
pemberlakuan secara ketat kriteria dan persyaratan sertifikasi guru madrasah melalui
jalur pendidikan ini dipandang perlu dilaksanakan secara bertahap.
7. Proses dan materi pembelajaran program sertifikasi guru madrasah melalui jalur
pendidikan yang dilaksanakan selama dua semester ini hendaknya dapat dikemas
38
sedemikian rupa sehingga tidak dikesankan oleh pesertanya sebagai bentuk lain dari
penataran atau pelatihan yang membosankan, dan hasilnya sering kali tidak jelas, atau
tidak ada tindak lanjut. Untuk itu program pengawasan, monitoring dan evaluasi dari
Depag maupun Diknas, khususnya LPTK, perlu dilaksanakan secara intensif mulai dari
kegiatan sebelum, sedang, maupun setelah proses pendidikan dilaksanakan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:
Gemawindu Pancaperkasa, 2000.
Ace Suryani & H.A.R. Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999.
Deliar Noer. “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No.58. New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.
Djumhur, I. & Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1976.
Ensiklopedi Islam 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
Fadjar, A. Malik. “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa, 1997.
Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999
Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.). IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2002.
Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut Kurikulum Pendidikan Islam” dalam Hasil penelitian (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991.
Husni Rahim. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Karel A. Steenbrink. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1994.
M. Arifin. Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama. Semarang: Toha Putra, [1981].
M. Irsyad Djuwaeni. Pembaruan Kembali Pendidikan Islam. Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998.
Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992.
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h.63.
40
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Muljanto Sumardi, Bibliografi Pendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan Kemasyarakatan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.85.
Noeng Muhadjir, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992.
Soetjipto, Analisis Kebijaksanaan Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, P2LPTK, 1987), h.2.
Supandi & Achmad Sanusi, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK), 1988.
Timur Djaelani. Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982.
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Produk Kebijakan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3
Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945.
Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 tentang Pendidikan Menengah Umum (SMU)
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD)
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 tentang Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP)
Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H. Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan mengenai bentuk bantuan (hadiah, sokongan atau tunjangan), syarat-syarat
41
memperoleh bantuan, cara penetapan pemberian bantuan, pengawasan dan kewajiban perguruan agama Islam, pengubahan dan penghentian pemberian bantuan dan pelaksanaan pemberian bantuan.
Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 tentang penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) 1951-1963.
Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengakuan persamaan MIS dengan MIN dan persamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 tentang civil effect tamatan madrasah. Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997.
Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946.
Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian bantuan kepada madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs),
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan
PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (SD dan SLTP)
SKB dua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
Internet www.eramuslim.comwww.depag.go.idwww.depdiknas.go.idwww.sertifikasiguru.org
42
Lampiran ........
Perpustakaan MAN Yogyakarta I terletak di sebelah barat Masjid Al Hakim. Di dalamnya terdapat koleksi berbagai buku pelajaran, buku bacaan yang mengandung ilmu pengetahuan, dan ensiklopedi dunia. Ruang baca yang nyaman, ber-AC, dan dengan petugas yang ramahdakwah Islam sekaligus internalisasi nilai-nilai kejujuran, amanah dan tanggungjawab.
Masjid Al Hakim yang terletak di sebelah utara gedung MAN Yogyakarta I merupakan fasilitas yang memiliki multi fungsi. Disamping untuk kegiatan shalat, Masjid yang memiliki dua lantai itu biasa digunakan untuk kegiatan keagamaan yang diadakan Rohis MAN Yogyakarta I.
Penyerahan hewan kurban pada peringatan Idul Adha 1427 H sebagai wujud siar Islam dan kepedulian sosial MANSA. .
Syawalan dengan saling memaafkan antar siswa dengan guru dan karyawan.
43
Sebagai bagian dari kegiatan belajar sering dilakukan kegiatan diskusi untuk mengekplorasi pemikiran dan ide-ide siswa terhadap suatu permasalahan yang dihadapi.
Gedung MAN Prambanan, Kebon Dalem, Kecamatan Prambanan, Klaten. Lokasinya berada di antara pemukiman penduduk dan lahan pertanian
Sebagai bagian dari kegiatan belajar sering dilakukan kegiatan diskusi untuk mengekplorasi pemikiran dan ide-ide siswa terhadap suatu permasalahan yang dihadapi.
Siswa-siswi MAIN I Yogyakarta sedang tekun mendengarkan pelajaran Aqidah Akhlak oleh Dra. Hj. Hindayati
44
Gedung Utama MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta
Ruang Perpustakaan MA Ali Maksum Yogyakarta
Ruang Laboratorium Komputer MA Ali Maksum Yogyakarta
Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Kranggang Kecamatan Manisrenggo Klaten
45
46