46
BAB I PENDAHULUAN Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada oenyakit infeksi terjadi jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan reskon kaut yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut yang sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan berbagai pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi sistemik disebut Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi. 1

186025744-Sepsis-Ria

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 186025744-Sepsis-Ria

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang

masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan

kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada oenyakit infeksi terjadi jejas dan

reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas atau dapat meluas

serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.

Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada

dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel

tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan reskon kaut yang dini terhadap

agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut yang

sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan berbagai pelepasan berbagai

macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi

berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama.

Manifestasi klinis yang berupa inflamasi sistemik disebut Systemic

Inflammation Respons Syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang

menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.

Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur, pada dewasa, sepsis

umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised yang

disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas

sepsis di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9% namun, tingkat

mortalitas pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih tinggi

yaitu 50-70% dan apabila terdapat syok septik dan disfungsi organ multiple, angka

mortalitasnya bisa mencapai 80%.

1

Page 2: 186025744-Sepsis-Ria

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.

Definisi yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat,

septikemia dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College

of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine ( ACCP/SCCM)

mengembangkan definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat

dengan mempertimbangkan sepsis dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi

dan produk mikroba yang mungkin saja tidak berhubungan dengan terdapatnya

mikroba dalam aliran darah.5

Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS) adalah pasien yang

memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :1

1. Suhu > 38 oC atau < 36 oC

2. Denyut jantung > 90 kali/ menit

3. Respirasi > 20 kali/ menit atau Pa CO2 < 32 mmHg

4. Hitung leukosit > 12.000/ mm3 atau < 4.000/ mm3 atau > 10% sel imatur

(band)

Sepsis adalah SIRS ditambah dengan tempat infeksi yang diketahui

(ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut).

Biakan darah tidak harus positif.1

Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau

hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun

perubahan akut pada status mental. 1

Syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang ditandai dengan penurunan

TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah normal yang

bersangkutan selama setidaknya 1 jam walaupun telah dilakukan resusitasi

cairan yang adekuat atau membutuhkan vasopressor untuk menjaga TDS ≥ 90

mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg.1,3,5

2

Page 3: 186025744-Sepsis-Ria

2.2 Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan

presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat

menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.

Mikroorganisme penyebab tersering sepsis berat:

Mikroorganisme Pada infeksi hematogen (%, n = 436)

Pada infeksi lokal (%, n = 430)

Total (%, n = 866)

Gram-negatif 35 44 40 Gram-positif 40 24 31 Jamur 7 5 6 Polimikroba 11 21 16 Patogen klasik <5 <5 < 5

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi

dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau

disingkat menjadi PIRO (Predisposition, Insult Infection, Response and Organ

Dysfunction) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan

karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.

3

Page 4: 186025744-Sepsis-Ria

2.3 Faktor Resiko

Alasan semakin meningkatnya insidensi sepsis disebabkan semakin

bertambahnya populasi berusia lanjut, semakin majunya teknik diagnostik,

meningkatnya jumlah prosedur-prosedur invasif dan transplantasi organ,

menigkatnya penggunaan obat imunosupresan dan kemoterapi, meningkatnya

penggunaan alat-alat yang dipasang di tubuh, dan meningkatnya jumlah

penyakit-penyakit kronis, seperti gagal ginjal kronik dan HIV.

Kebanyakan pasien sepsis dan syok sepsis memiliki keadaan mendasar

yang berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan imun local maupun

sistemik. Sepsis terlihat paling sering pada pasien berusia lanjut dan pasien

yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) yang memudahkan terjadinya

infeksi, seperti diabetes atau penyakit imunokompromis.

Penyakit yang paling sering mencetuskan sepsis adalah: keganasan,

diabetes mellitus, penyakit hati kronik, gagal ginjal kronis, dan penggunaan

obat-obat imunosupresif. Lebih lanjut, sepsis juga merupakan komplikasi yang

sering terjadi setelah terjadinya pembedahan, trauma, dan luka bakar luas.

Pasien dengan kateter atau perangkat medis terpasang juga memiliki risiko

tinggi untuk megalami sepsis.

4

Page 5: 186025744-Sepsis-Ria

2.4 Patogenesis

Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat.

Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung

terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini

menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan

peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan

biasa.

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator

inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan

antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon

γ yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang

menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor

antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi

atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon

ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan

terjadi proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka

respon proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini

meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan

jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan

sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah

alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama

lain sehingga menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang

merusak.

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika

bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan

endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat

mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-

polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan

bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan

makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.

Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit yang

mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit dapat berperan sebagai

5

Page 6: 186025744-Sepsis-Ria

superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan

sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC

(Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik

yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang

bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit

Th2) dengan perantara T-cell Reseptor.

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan

mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai

immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony

Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6,

IL-10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-

1β yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel

endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-

E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang

menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.

Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan

dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan

kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk

kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi

pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan

endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah

menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi

kerusakan organ multipel.

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8,

IL-6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi

reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif)

sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil

metabolisme asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS

penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi

peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh

darah. Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan

seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah

6

Page 7: 186025744-Sepsis-Ria

kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi

disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.

Hubungan Inflamasi dengan Koagulasi

Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang

merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu

gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue

factor, dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan

TNFα dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat

mengahambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated

protein C (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai

zimogen yang inaktif tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia

berubah menjadi enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor

protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor

Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat

kerja plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan

plasminogen menjadi plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen

menjadi fibrin. Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang

bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular

diseminata (DIC) yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang

mengancam jiwa.

2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-

tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif

seperti lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus

untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-

infeksius. Tempat infeksi paling sering adalah paru, traktus digestivus, traktus

urinarius, kulit, jaringan lunak dan syaraf pusat. Sumber infeksi merupakan

determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala sepsis. Gejala

sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita

diabetes, kanker, gagagl organ utama dan pasien dengan granulositopenia.

7

Page 8: 186025744-Sepsis-Ria

Yang paling sering diikuti dengan gejala MODS sampai dengan terjadinya syok

sepsis.

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :

1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa

2. Koagulasi intravaskular

3. Gagal ginjal akut

4. Perdarahan usus

5. Gagal hati

6. Disfungsi sistem saraf pusat

7. Gagal jantung

8. Kematian

2.6 Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat

medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai dan tindak

lanjut status hemodinamik.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak

toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai

terjadinya sepsis (tersangka sepsis).

Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan

tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau

lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri,

CRP (+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).

Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-

tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan

produksi urin, dan penurunan tekanan darah).

Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan

syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5

cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).

Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal,

mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan

tekanan nadi yang melebar.

8

Page 9: 186025744-Sepsis-Ria

Kriteria Diagnostik untuk Sepsis :3

Kriteria Diagnostik Gejala

Variabel Umum Demam > 38.3oC, Hipotermia, Frekuensi denyut jantung > 90x/menit, Takipneu, Penurunan fungsi kesadaran, Edema bermakna atau balans cairan positif

(> 20ml/kg dalam 24 jam), Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl

attau 7.7 mmol/L) tanpa riwayat diabetes.

Variabel Inflamasi Leukositosis ( >12.000/µL)Leukopenia ( < 4000/ µL) Hitung Leukosit normal dengan jenis

imatur >10% C-reaktif protein plasma >2 SD diatas nilai

normal Procalcitonin plasma >2 SD diatas nilai

normal

Variabel Hemodinamik Hipotensi arterial Tekanan darah sistol <90 mmHg,Tekanan arteri rata-rata <70 mmHg atauPenurunan tekanan darah sistol >40 mmHg pada dewasa

Variabel Disfungsi Organ Hiposemia arteri (PaO2/FIO2 <300) Oligouria akut (produksi urin < 0,5 cc/kg/jam

selama lebih dari 6 jam walaupun resusitasi cairan sudah adekuat)

Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L

Koagulasi abnormal (INR >1,5 atau aPTT > 60 detik)

Ileus Trombositopenia (<100.000/µL) Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total >

4mg/dL or 70 µmol/L)

Variabel Perfusi Jaringan Hiperlaktatemia Penurunan waktu pengisian kapiler

2.7 Pemeriksaan Penunjang

9

Page 10: 186025744-Sepsis-Ria

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

2.7.1.1 Pemeriksaan Kuman

a. Kultur Darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil

biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu

dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari

jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat

dilakukan baik pada kasus sepsis dan sepsis berat.

b. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai

saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman.

Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah

bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.

Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan

untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan

fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan

antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur

bakteri.

Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai, seperti

inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena merupakan

pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia. Automated blood culture

system yaitu kultur darah dengan medium cair dari sistem deteksi cepat dan

automated seperti Bactec™ dan BacT Alert™ dapat digunakan apabila tersedia

anggaran yang memadai. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak

ditemukan kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda sepsis

banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis banyak dilaporkan di

kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas yang berbeda-beda.

2.6.1.2 Procalcitonin (PCT)

10

Page 11: 186025744-Sepsis-Ria

PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat

13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel

parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi

dalam darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari

pertama bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian

kadarnya menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT

bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP, mempunyai

sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta sensitivitas

dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat membedakan

infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7 ng/mL

sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran kadarnya

dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.

2.6.1.3 Pemeriksaaan Kemokin, Sitokin dan Molekul Adhesi

Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis adalah dengan

menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,

Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan

petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes

sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda

infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada

beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik

dapat dihentikan. IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai

aspek sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel

endotel dan fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini

menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada

sebagian besar kasus sepsis, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu

beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke

kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh

yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda

infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8

dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk

11

Page 12: 186025744-Sepsis-Ria

menyingkirkan kemungkinan sepsis sehingga secara keseluruhan menurunkan

biaya dan risiko pemberian antibiotik.

2.6.1.4 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini

pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan

mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar

Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium

guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae.

Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan

prognosis pasien sepsis. Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang

sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis

yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan

diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi

baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.21

Walaupun diagnostik molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah

target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas

99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih

dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang besar untuk menentukan apakah

teknik PCR dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat bakteremia pada

neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik molekular menggunakan

18S rRNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi jamur invasif di dalam darah

neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur. Dibandingkan dengan kultur, PCR

mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 98% dalam menentukan infeksi

jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat terbatas di Indonesia, dan

hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah Sakit Rujukan Propinsi.

2.6.1.5 AGDA, Elektrolit dan Glukosa

Pada pemeriksaan AGD pada kasus sepsis, nilai serum laktat dapat menjadi

indikator hipoperfusi jaringan. Peningkatan serum laktat menunjukkan adanya

12

Page 13: 186025744-Sepsis-Ria

hipoperfusi jaringan yang signifikan akibat perubahan metabolisme tubuh dari

aerob menjadi anaerob.

2.6.1.6 Tes Fungsi Hati dan Ginjal

Fungsi hati dinilai dengan mengukur kadar bilirubin, alkali fosfatase, SGOT

dan juga SGPT dalam darah. Fungsi ginjal dinilai dengan mengukur kadar kretinin

dan BUN dalam serum. Kedua-dua pemeriksaan in bertujuan untuk deteksi dini

kemungkinan kegagalan organ akibat dari sepsis yang dapat menyebabkan

komplikasi yang serius seperti MDOS.

2.6.1.7 Status Koagulasi

Tes PT dan PTT dilakukan pada kasus sepsis untuk mengukur ada tidaknya

DIC. DIC adalah salah satu komplikasi yang terjadi akibat dari sepsis yang

menggangu sistem koagulasi tubuh.

2.6.2 Pencitraan

a Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,

misalnya:

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS

(Respiratory Distress Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

ditemukan pada sebagian besar kasus, meninggal akibat sepsis yang

telah terbukti dengan kultur.

b Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis untuk melihat

hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.

c USG kepala pada kasus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis,

kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis.

Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi.

13

Page 14: 186025744-Sepsis-Ria

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien sepsis berat di ICU pada saat ini menggunakan

Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of

Severe Sepsis and Septic Shock: 2012 sebagai berikut. 6

A. Resusitasi Awal

1. Protokol resusitasi kuantitatif pasien dengan sepsis yang menginduksi

hipoperfusi jaringan (didefinisikan dalam dokumen ini sebagai hipotensi

yang bertahan setelah pemberian cairan awal atau konsentrasi laktat

darah ≥ 4 mmol / L). Protokol ini harus dimulai sesegera mungkin saat

didapati hipoperfusi dan tidak boleh ditunda untuk dimasukkan ke ICU.

Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan resusitasi awal pada sepsis yang

menginduksi hipoperfusi harus mencakup semua hal berikut sebagai

bagian dari protokol pengobatan (kelas 1C):

CVP 8-12 mm Hg

MAP ≥ 65 mm Hg

Urin output ≥ 0,5 mL/kg/jam).

Saturasi oksigenas vena cava superior (Scvo2) atau saturasi oksigen

vena campuran (Svo2) masing-masing 70% atau 65%.

2. Pada pasien dengan kadar laktat tinggi untuk menargetkan resusitasi

untuk menormalkan laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan (kelas

2C).

B. Skrining untuk Sepsis dan Peningkatan Kinerja

1. skrining rutin pada pasien dengan penyakitinfeksi serius yang

berpotensi terinfeksi sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi awal

sepsis dan memungkinkan pelaksanaan terapi sepsis dini (kelas 1C).

2. Upaya peningkatan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk

meningkatkan outcome pasien (UG).

14

Page 15: 186025744-Sepsis-Ria

C. Diagnosis

1. Kultur yang sesuai sebelum terapi antimikroba dimulai jika kultur

tersebut tidak menyebabkan penundaan yang signifikan (> 45 menit)

pada pemakaian awal antimikroba (kelas 1C). Untuk mengoptimalkan

identifikasi organisme penyebab, kami sarankan mendapatkan

setidaknya dua set kultur darah (baik aerobik dan anaerobik) sebelum

terapi antimikroba, dengan setidaknya satu diambil secara perkutan dan

satu diambil melalui setiap perangkat akses vaskular, kecuali perangkat

yang baru dimasukkan (< 48 jam). Kultur darah ini dapat diambil pada

saat yang sama jika mereka diperoleh dari lokasi yang berbeda.

Kultur dari tempat lain (sebaiknya kuantitatif jika perlu), seperti

urine, cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan, atau cairan tubuh

lain yang mungkin menjadi sumber infeksi, juga harus diperoleh

sebelum terapi antimikroba jika hal itu tidak menyebabkan penundaan

yang signifikan dalam pemasukan antibiotik (kelas 1C).

2. Penggunaan assay 1,3 β-d-glucan (kelas 2B), mannan dan tes antibodi

anti-mannan (kelas 2C) ketika kandidiasis invasif adalah dalam

diagnosis diferensial infeksi.

3. Studi pencitraan dilakukan segera dalam upaya untuk mengkonfirmasi

potensi sumber infeksi.

Potensi sumber infeksi harus berasal dari sampel seperti yang

diidentifikasi dan dengan mempertimbangkan risiko pasien untuk

prosedur transportasi dan invasif (misalnya, koordinasi hati-hati dan

monitoring agresif jika keputusan dibuat untuk transportasi untuk

aspirasi jarum CT-dipandu). Studi seperti penggunaan USG, dapat

menghindari transportasi pasien (UG).

D. Terapi Antimikrobial

1. Pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam pertama

dari awitan syok septik (kelas 1B) dan sepsis berat tanpa syok septik

(kelas 1C) harus menjadi tujuan terapi.

15

Page 16: 186025744-Sepsis-Ria

2a. Terapi awal infeksi empiris mencakup satu atau lebih obat yang memiliki

aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin (bakteri dan atau jamur

atau virus) dan yang menembus dalam konsentrasi yang memadai ke

dalam jaringan dianggap menjadi sumber sepsis (kelas 1B) .

2b. Regimen antimikroba harus dinilai ulang setiap hari untuk potensi de-

eskalasi untuk mencegah perkembangan resistensi sehingga dapat

mengurangi toksisitas, dan untuk mengurangi biaya (kelas 1B).

3. Penggunaan procalcitonin tingkat rendah atau biomarker yang sama

untuk membantu dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada

pasien yang muncul septik, tetapi tidak memiliki bukti infeksi

berikutnya (kelas 2C).

4a. Terapi empirik harus berusaha untuk memberikan aktivitas antimikroba

terhadap kemungkinan besar patogen berdasarkan penyakit setiap

pasien dan pola lokal infeksi. Kami menyarankan kombinasi terapi

empirik untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat (kelas 2B) dan

untuk pasien yang sulit diobati, resisten bakteri patogen seperti

Acinetobacter dan Pseudomonas spp. (kelas 2B). Untuk pasien yang

dipilih dengan infeksi berat terkait dengan kegagalan pernapasan dan

syok septik, terapi kombinasi dengan spektrum panjang beta-laktam dan

baik aminoglikosida atau fluorokuinolon yang disarankan untuk P.

aeruginosa bakteremia (kelas 2B). Demikian pula, kombinasi beta-

laktam yang lebih kompleks dan makrolida yang disarankan untuk

pasien dengan syok septik dari bacteremic pneumoniae infeksi

Streptococcus (kelas 2B).

4b. Terapi kombinasi, bila digunakan secara empiris pada pasien dengan

sepsis berat, tidak boleh diberikan selama lebih dari 3 sampai 5 hari.

De-eskalasi untuk terapi tunggal-agent yang paling tepat harus

dilakukan secepat profil yg rentan dikenal (kelas 2B). Pengecualian

akan mencakup monoterapi aminoglikosida, yang harus dihindari pada

umumnya, khususnya untuk sepsis P. aeruginosa, dan bentuk-bentuk

tertentu dari endokarditis, di mana pemakaian terapi kombinasi

antibiotik yang berkepanjangan dijamin.

16

Page 17: 186025744-Sepsis-Ria

5. Durasi terapi biasanya menjadi 7 sampai 10 hari jika secara klinis

diindikasikan; pemakaian lebih lama mungkin tepat pada pasien yang

memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi undrainable , bakteremia

dengan S. aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau defisiensi

imun, termasuk neutropenia (kelas 2C).

6. Terapi antivirus akan dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis

berat atau syok septik yang disebabkan oleh virus (kelas 2C).

7. Agen antimikroba tidak dapat digunakan pada pasien dengan keadaan

inflamasi parah yang ditetapkan sebagai penyebab non infeksius (UG).

E. Kontrol Sumber

1. Diagnosis anatomi infeksi yang spesifik memerlukan pertimbangan

untuk kontrol sumber yang muncul (misalnya, necrotizing infeksi

jaringan lunak, peritonitis, cholangitis, infark usus) dicari dan

didiagnosis atau dikecualikan secepat mungkin, dan intervensi dilakukan

untuk kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat,

jika mungkin (kelas 1C).

2. Ketika nekrosis peripankreatic terinfeksi diidentifikasi sebagai sumber

potensial infeksi, intervensi definitif ditunda sampai batas yang memadai

dari jaringan layak dan nonviable telah terjadi (kelas 2B).

3. Ketika kontrol sumber pada pasien septis parah diperlukan, intervensi

yang efektif terkait dengan insult fisiologis paling harus digunakan

(misalnya, perkutan lebih baik daripada drainase bedah pada abses)

(UG).

4. Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis

berat atau syok septik, mereka harus dihilangkan segera setelah akses

vaskular lainnya telah ditetapkan (UG).

17

Page 18: 186025744-Sepsis-Ria

F. Pencegahan Infeksi

1a. Dekontaminasi oral selektif (SOD) dan dekontaminasi pencernaan

selektif (SDD) harus diperkenalkan dan diteliti sebagai metode untuk

mengurangi kejadian ventilator-associated pneumonia (VAP), ini

langkah pengendalian infeksi yang kemudian dapat dilembagakan

dalam pengaturan kesehatan dan daerah di mana metodologi ini

ditemukan efektif (kelas 2B).

1b. Chlorhexidine glukonat oral (CHG) digunakan sebagai bentuk

dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien

ICU dengan sepsis berat (kelas 2B).

G. Terapi Cairan pada Sepsis Berat

1. Kristaloid digunakan sebagai pilihan cairan awal dalam resusitasi pada

sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).

2. Menentang penggunaan pati hidroksietil (HES) untuk resusitasi cairan

sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).

3. Penggunaan albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis berat dan syok

septik ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid (kelas 2C).

4. Fluid challenge sebagai terapi cairan awal pada pasien dengan sepsis-

induced hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia mencapai

minimal 30 mL/kg kristaloid (sebagian dari ini mungkin setara

albumin). Pemasukan yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar dari

cairan mungkin diperlukan pada beberapa pasien (lihat rekomendasi

Resusitasi Awal) (kelas 1C).

5. Teknik fluid challenges diterapkan dimana pemberian cairan

dilanjutkan asalkan ada perbaikan hemodinamik baik berdasarkan

dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi stroke volume) atau

statis (misalnya, tekanan, denyut jantung arteri) variabel ( UG).

18

Page 19: 186025744-Sepsis-Ria

H. Vasopressors

1. Target awal terapi vasopressor dengan MAP 65 mm Hg (kelas 1C).

2. Norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama (kelas 1B).

3. Epinefrin (ditambahkan dan berpotensi menggantikan norepinefrin) saat

agen tambahan diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang

memadai (kelas 2B).

4. Vasopresin (hingga 0,03 U/min) dapat ditambahkan ke norepinefrin

dengan maksud meningkatkan MAP untuk target atau penurunan dosis

norepinefrin (UG).

5. Dosis rendah vasopresin tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal

tunggal untuk pengobatan sepsis-diinduksi hipotensi, dan vasopresin

dosis lebih tinggi dari 0,03-0,04 U/min harus disediakan untuk terapi

penyelamatan (kegagalan untuk mencapai MAP memadai dengan agen

vasopressor lainnya) ( UG).

6. Dopamin sebagai agen vasopressor alternatif untuk norepinefrin hanya

pada pasien yang sangat dipilih (misalnya, pasien dengan risiko rendah

tachyarrhythmias dan bradikardi absolut atau relatif) (kelas 2C).

7. Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam

keadaan berikut:

a Norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius,

b Curah jantung dikenal sebagai tekanan tinggi dan darah masih

rendah, atau

c Sebagai terapi penyelamatan saat dikombinasikan inotrope/

vasopressor obat dan dosis rendah vasopressin telah gagal untuk

mencapai target MAP (kelas 1C).

8. Dopamin dosis rendah tidak digunakan untuk perlindungan ginjal (kelas

1A).

9. Semua pasien yang memerlukan vasopressors memiliki kateter arteri

ditempatkan secepat praktis jika sumber daya memadai (UG).

19

Page 20: 186025744-Sepsis-Ria

I. Inotropik Terapi

1. Uji coba infus dobutamin sampai dengan 20 mg/kg/menit diberikan atau

ditambahkan ke vasopressor (jika digunakan) pada keadaan :

a Disfungsi miokard, seperti yang disarankan pada peningkatan cardiac

filling pressure dan cardiac output yang rendah, atau

b Berlangsung tanda-tanda hipoperfusi, meskipun mencapai volume

intravaskuler yang memadai dan MAP yang memadai (kelas 1C).

2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan cardiac indeks ke

tingkat supranormal yang telah ditentukan (kelas 1B).

J. Kortikosteroid

1. Tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan pasien

syok septik dewasa jika cairan resusitasi memadai dan terapi vasopressor

mampu mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat Resusitasi Awal).

Jika ini tidak dapat dicapai, kami sarankan hidrokortison intravena saja

dengan dosis 200 mg per hari (kelas 2C).

2. Tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi subset

dari orang dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison

(kelas 2B).

3. Klinisi membatasi terapi steroid pada pasien saat vasopressors tidak lagi

dibutuhkan (2D grade).

4. Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa adanya

shock (kelas 1D)

5. Ketika dosis rendah hidrokortison diberikan, gunakan infus kontinu

daripada suntikan bolus yang berulang (kelas 2D).

20

Page 21: 186025744-Sepsis-Ria

K. Transfusi Darah

1. Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan tidak adanya keadaan

khusus, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau

penyakit arteri koroner, kami merekomendasikan bahwa transfusi sel

darah merah dilakukan ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga

<7,0 g / dL untuk menargetkan konsentrasi hemoglobin sebesar 7,0 to 9.0

g / dL pada orang dewasa (kelas 1B).

2. Tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan tertentu anemia

yang berhubungan dengan sepsis berat (kelas 1B).

3. Fresh frozen plasma tidak dapat digunakan untuk mengoreksi kelainan

pembekuan darah yang ditemukan dari hasi laboratorium tanpa adanya

perdarahan atau prosedur invasif yang direncanakan (kelas 2D).

4. Tidak menggunakan antithrombin untuk pengobatan sepsis berat dan syok

septik (1B grade).

5. Pada pasien dengan sepsis berat, trombosit diberikan secara profilaksis

bila jumlahnya ≤ 10.000/mm3 (10×109/L) tanpa adanya perdarahan yang

jelas, juga ketika jumlahnya ≤ 20.000/mm3 (20×109/L) jika pasien

memiliki risiko pendarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang tinggi

(≥ 50.000/mm3 50×109/L) yang disarankan untuk perdarahan aktif,

operasi, atau prosedur invasif (grade 2D).

L. Imunoglobulin

1. Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan

sepsis berat atau syok septik (grade 2B).

M. Selenium

1. Tidak menggunakan selenium intravena untuk mengobati sepsis berat

(grade 2C).

21

Page 22: 186025744-Sepsis-Ria

N. Riwayat Rekomendasi Mengenai Penggunaan Recombinant Activated

Protein C

Rekombinan human activated protein C (rhAPC) telah disetujui

untuk digunakan pada pasien dewasa di sejumlah negara pada 2001, diikuti

percobaan PROWESS (Recombinant Human Activated Protein C

Worldwide Evaluation in Severe Sepsis), yang terdaftar 1.690 pasien sepsis

berat dan menunjukkan penurunan yang signifikan angka kematian (24,7%)

dengan rhAPC dibandingkan dengan plasebo (30,8%, p = 0,005) (228).

O. Ventilasi Mekanik Sepsis-induced Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS)

1. Dokter menargetkan volume tidal sebesar 6 mL/kg berat badan yang

diperkirakan pada pasien dengan sepsis-induced Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS) (kelas 1A vs 12 mL/kg).

2. Tekanan darah tinggi diukur pada pasien dengan ARDS dan tujuan batas

atas untuk tekanan dataran tinggi di paru-paru secara pasif meningkat

menjadi ≤ 30 cm H2O (1B grade).

3. Positive end-expiratory pressure (PEEP) diterapkan untuk menghindari

collapse alveolar pada akhir ekspirasi (atelectotrauma) (1B grade).

4. Strategi didasarkan pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang lebih

rendah dari PEEP untuk pasien dengan sepsis-induced sedang sampai

ARDS berat (kelas 2C).

5. Manuver pengerahan pada pasien sepsis dengan hipoksemia refraktori berat

akibat ARDS (kelas 2C).

6. Posisi pronasi pada pasien sepsis-induced ARDS dengan rasio Pao 2/Fio 2

≤ 100 mm Hg dengan fasilitas yang berpengalaman (2B grade).

7. Pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dipertahankan dengan kepala

ditinggikan antara 30 dan 45 derajat untuk menghindari resiko aspirasi dan

untuk mencegah berkembangnya ventilator-associated pneumonia (VAP)

(1B grade).

22

Page 23: 186025744-Sepsis-Ria

8. Noninvasive mask ventilation (NIV) dapat digunakan pada pasien minoritas

sepsis-induced ARDS dimana manfaatnya telah diperhitungkan dengan

cermat dan diperkirakan lebih besar daripada risiko (2B grade).

9. Protokol penyapihan di tempat dan bahwa pasien ventilasi mekanik dengan

sepsis berat menjalani uji pernapasan spontan teratur untuk mengevaluasi

kemampuan menghentikan ventilasi mekanik ketika mereka memenuhi

kriteria berikut:

Tidak dapat dibangunkan

Hemodinamik stabil (tanpa agen vasopressor)

Tidak ada kondisi baru yang berpotensi serius

Ventilasi rendah dan kebutuhan end-expiratory pressure

Kebutuhan FiO2 yang rendah dapat dengan aman melalui face mask

atau nasal kanul. Jika uji pernapasan spontan berhasil, ekstubasi harus

dipertimbangkan (1A grade).

10. Tidak menggunakan kateter arteri pulmonal untuk pasien dengan sepsis-

induced ARDS (kelas 1A).

11. Strategi cairan konservatif untuk pasien dengan sepsis-induced ARDS yang

tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (1C grade).

12. Tanpa adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme, kami menganjurkan

penggunaan β2-agonis untuk pengobatan pasien dengan sepsis-induced

ARDS (1B grade).

P. Sedasi, Analgesia, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis

1. Sedasi yang berkelanjutan atau intermiten diminimalkan pada pasien sepsis

dengan ventilasi mekanik, target spesifik titik akhir titrasi tertentu (1B

grade).

2. Neuromuscular Blocking Agents (NMBAs) dihindari jika mungkin pada

pasien septik tanpa ARDS akibat risiko penghentian blokade neuromuskuler

yang berkepanjangan. Jika NMBAs harus dipertahankan, baik bolus

intermiten sebagai infus diperlukan atau kontinue dengan train-of-four

monitoring kedalaman blokade harus digunakan (1C grade).

23

Page 24: 186025744-Sepsis-Ria

3. NMBA (≤ 48 jam) untuk pasien awal, sepsis-induced ARDS dan Pao2/Fio2

<150 mm Hg (grace 2C).

Q. Kontrol Glukosa

1. Pendekatan mengikuti protokol untuk manajemen glukosa darah pada

pasien ICU dengan sepsis berat, dimulai dosis insulin ketika dua kadar

glukosa darah berturut-turut > 180 mg / dL. Pendekatan ini harus

menargetkan batas atas glukosa darah ≤ 180 mg / dL daripada batas atas

glukosa darah ≤ 110 mg / dL (kelas 1A).

2. Nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2 jam sampai nilai glukosa

dan tingkat infus insulin yang stabil, setiap 4 jam sesudahnya (1C grade).

3. Kadar glukosa yang diperoleh dengan point-ofcare testing pembuluh darah

kapiler yang ditafsirkan dengan hati-hati, karena pengukuran tersebut tidak

dapat secara akurat memperkirakan darah arteri atau nilai glukosa plasma.

R. Terapi Pengganti Ginjal

1. Terapi pengganti ginjal terus menerus dan hemodialisis intermiten yang

setara pada pasien sepsis berat dan gagal ginjal akut karena mereka

mencapai tingkat ketahanan hidup jangka pendek (2B grade).

2. Penggunaan terapi terus menerus untuk memfasilitasi pengelolaan

keseimbangan cairan pada pasien sepsis dengan hemodinamik tidak stabil

(kelas 2D)

S. Terapi Bikarbonat

1. Tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki

hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan

hypoperfusion- induced lactic acidemia dengan pH ≥ 7.15 (2B grade).

T. Profilaksis Deep Vein Thrombosis

1. Pasien dengan sepsis berat mendapat farmakoprofilaksis harian melalui

venous thromboembolism (VTE) (1B grade). Kami menganjurkan

subcutaneous low-molecular weight heparin (LMWH) (kelas 1B

24

Page 25: 186025744-Sepsis-Ria

dibandingkan unfractionated heparin (UFH) dua kali sehari dan kelas 2C vs

UFH diberikan tiga kali sehari). Jika creatinine clearance <30 mL / menit,

kami merekomendasikan penggunaan dalteparin (kelas 1A) atau bentuk lain

dari LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal yang rendah (kelas

2C) atau UFH (kelas 1A).

2. Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis

dan perangkat kompresi intermiten pneumatik bila memungkinkan (2C

grade).

3. Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk penggunaan heparin

(misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan aktif,

perdarahan intraserebral) tidak menerima farmakoprofilaksis (1B grade).

Sebaliknya kami sarankan mereka menerima pengobatan profilaksis

mekanik, seperti compression stockings atau perangkat kompresi intermiten

(kelas 2C), kecuali kontraindikasi. Ketika risiko berkurang, kami sarankan

mulai menggunakan farmakoprofilaksis (kelas 2C).

U. Profilaksis Stress Ulcer

1. Profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor

diberikan kepada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang memiliki

resiko perdarahan (1B grade).

2. Ketika profilaksis stress ulcer digunakan, kami menyarankan penggunaan

proton pump inhibitor daripada antagonis reseptor H2 (kelas 2C).

3. Pasien tanpa risiko seharusnya tidak menerima profilaksis (kelas 2B).

V. Nutrisi

1. Pemberian melalui oral atau enteral (jika perlu), ditoleransi, lebih baik

puasa lengkap atau hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama setelah

didiagnosis sepsis berat / syok septik (kelas 2C).

2. Hindari makanan kalori penuh dalam minggu pertama, melainkan

menyarankan makanan dosis rendah (misalnya, sampai dengan 500 kkal per

hari), hanya sebagai toleransi (2B grade).

25

Page 26: 186025744-Sepsis-Ria

3. Untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral daripada total

parenteral nutrition (TPN) atau nutrisi parenteral dalam hubungannya

dengan makanan enteral dalam 7 hari pertama setelah diagnosis sepsis

berat/ syok septik (2B grade).

4. Menggunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang spesifik pada

pasien dengan sepsis berat (grade 2C).

W. Menetapkan Goals of Care

1. Goals of Care dan prognosis akan dibahas dengan pasien dan keluarga (1B

grade).

2. Goals of Care dimasukkan ke dalam pengobatan dan perencanaan

perawatan akhir kehidupan, memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan

paliatif yang sesuai (1B grade).

3. Tujuan perawatan ditangani sedini mungkin, selambat-lambatnya dalam

waktu 72 jam setelah masuk ICU (kelas 2C).

2.9 Komplikasi

MODS (disfungsi organ multipel)

Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan

perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan

gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup

besar dalam pathogenesis ini.

KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)

Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata

disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah

dijelaskan pada patogenesis sepsis diatas.

ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrome)

Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran

darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan

edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam

26

Page 27: 186025744-Sepsis-Ria

mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli.

Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya

akan menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome.

Gastrointestinal

Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang

intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran

pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia

nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat

menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan

menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi.

Gagal ginjal akut

Pada hipoksia / iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.

vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi

yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal.

Syok septik

Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah

dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena

adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara

efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia

relatif.

Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1,

IFN-γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi

influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan

kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived

Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi

dan vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.

27

Page 28: 186025744-Sepsis-Ria

Rencana Terapi Sepsis.4

28

Page 29: 186025744-Sepsis-Ria

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sepsis adalah infeksi yang disertai dengan SIRS ditandai oleh 2 atau 3 dari

manifestasi klinis yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung >

90kali/menit, laju napas > 20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit

berupa lekositosis (>12,000 sel/mm3) atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan

netrofil batang (imatur) lebih dari 10% pada apusan darah tepi.

2. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan setidaknya disfungsi salah

satu organ atau terdapat hipoperfusi jaringan atau hipotensi.

3. Penyebab sepsis paling tersering adalah infeksi saluran napas dan infeksi

saluran kemih, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan

lunak.

4. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada sepsis berat adalah

hipotensi, peningkatan laktat plasma, produksi urin <0.5ml/kg/jam

selama lebih 12 jam

29

Page 30: 186025744-Sepsis-Ria

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.

Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.

2. Hamonongan R, Nasution A. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam.

Emergency in Internal Medicine. Buku I EIMED Dasar. Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI. Jakarta. 2012. Hal 336-349

3. Derek C. Angus, M.D., M.P.H., and Tom van der Poll, M.D., Ph.D. Severe

Sepsis and Septic Shock. n engl j med 369;9 nejm.org august 29, 2013.

Downloaded from nejm.org on November 16, 2013

4. James A. Russell, M.D. Management of Sepsis. n engl j med

355;16www.nejm.org october 19, 2006. Downloaded from nejm.org on

November 16, 2013.

5. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine

Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and

guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med.

1999;20:864-74

6. Dellinger Phillip, et all. 2012. Surviving Sepsis Campaign: International

Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012.

CCM Journal 41:580-637

30