37
PENATALAKSANAAN PARIPURNA TRAUMA MAXILLOFACIAL Penanganan trauma pada wajah dapat menjadi sulit. Tujuan terapi dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, mengembalikan bentuk asli wajah agar sedekat mungkin seperti semula dan tetap memperhatikan fungsi estetika. Kedua, fungsi dari tulang-tulang wajah dan jaringan lunaknya (soft tissue) harus dipulihkan. Tujuan akhirnya adalah meminimalisasi periode disabilitas. PENDAHULUAN Mekanisme Trauma Penyebab tersering dari trauma maxillofacial adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya antara lain perkelahian, kecelakaan sepeda motor atau sepeda, kecelakaan industri, dan kecelakaan olahraga. Pola dari perlukaan jaringan lunak (soft tissue) biasanya terletak pada daerah T, yang meliputi dahi, area periorbita, hidung, bibir dan dagu. Lim et. al. menemukan dari pengamatannya, bahwa lebih dari 50% korban kecelakaan kendaraan bermotor mengalami trauma pada kepala dan tulang leher bersamaan dengan trauma pada wajah. Faktor-faktor yang berperan adalah penggunaan alkohol dan obat-obatan serta masalah emosional. Trauma Lain Yang Berhubungan Sebagaimana halnya dengan semua pasien trauma, korban dengan trauma wajah harus diperiksa menyeluruh untuk menyingkirkan adanya luka-luka lainnya. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan pemeriksaan penunjang lainnya sangat penting. Hal ini termasuk pemeriksaan jalan napas, mencari adanya sumber-sumber perdarahan, dan mendiagnosa adanya trauma pada otak dan servikal. Jalan Nafas (Airway) Ancaman terjadinya asfiksia semakin besar dengan trauma yang luas pada mandibula atau midfasial. Rongga mulut dan saluran hidung harus dibersihkan dari benda asing, gigi yang patah, atau bekuan darah yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Fraktur mandibula yang tidak stabil dapat mendorong lidah ke posterior dan menghalangi jalan napas. Pasien seperti ini biasanya akan lebih senang untuk duduk. Hal ini dapat dilakukan jika dengan duduk tidak akan 1

198378180 Trauma Maxillofacial

Embed Size (px)

Citation preview

  • PENATALAKSANAAN PARIPURNA TRAUMA MAXILLOFACIAL

    Penanganan trauma pada wajah dapat menjadi sulit. Tujuan terapi dapat dibagi menjadi tiga.

    Pertama, mengembalikan bentuk asli wajah agar sedekat mungkin seperti semula dan tetap

    memperhatikan fungsi estetika. Kedua, fungsi dari tulang-tulang wajah dan jaringan lunaknya

    (soft tissue) harus dipulihkan. Tujuan akhirnya adalah meminimalisasi periode disabilitas.

    PENDAHULUAN

    Mekanisme Trauma

    Penyebab tersering dari trauma maxillofacial adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab

    lainnya antara lain perkelahian, kecelakaan sepeda motor atau sepeda, kecelakaan industri, dan

    kecelakaan olahraga.

    Pola dari perlukaan jaringan lunak (soft tissue) biasanya terletak pada daerah T, yang

    meliputi dahi, area periorbita, hidung, bibir dan dagu. Lim et. al. menemukan dari

    pengamatannya, bahwa lebih dari 50% korban kecelakaan kendaraan bermotor mengalami

    trauma pada kepala dan tulang leher bersamaan dengan trauma pada wajah. Faktor-faktor yang

    berperan adalah penggunaan alkohol dan obat-obatan serta masalah emosional.

    Trauma Lain Yang Berhubungan

    Sebagaimana halnya dengan semua pasien trauma, korban dengan trauma wajah harus diperiksa

    menyeluruh untuk menyingkirkan adanya luka-luka lainnya. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh

    dan pemeriksaan penunjang lainnya sangat penting. Hal ini termasuk pemeriksaan jalan napas,

    mencari adanya sumber-sumber perdarahan, dan mendiagnosa adanya trauma pada otak dan

    servikal.

    Jalan Nafas (Airway)

    Ancaman terjadinya asfiksia semakin besar dengan trauma yang luas pada mandibula atau

    midfasial. Rongga mulut dan saluran hidung harus dibersihkan dari benda asing, gigi yang patah,

    atau bekuan darah yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Fraktur mandibula yang tidak

    stabil dapat mendorong lidah ke posterior dan menghalangi jalan napas. Pasien seperti ini

    biasanya akan lebih senang untuk duduk. Hal ini dapat dilakukan jika dengan duduk tidak akan

    1

  • menyebabkan trauma lainnya bertambah parah. Traksi rahang dan lidah ke anterior dan

    penempatan oropharyngeal airway merupakan alternatif lain jika pasien tidak dapat duduk atau

    dalam posisi telungkup. Pasien dengan perdarahan masif atau fraktur tulang hidung, maksila dan

    mandibula dengan akibat edema soft tissue sangat riskan mangalami asfiksia. Intubasi

    endotracheal atau pembebasan jalan nafas darurat lainnya seperti krikotiroidotomi diindikasikan,

    khususnya pada pasien dengan trauma kepala dan reflek-reflek yang menurun.

    Untuk fiksasi pada fraktur maksila dan mandibula, intubasi yang biasanya digunakan

    adalah nasotracheal. Namun, intubasi orotracheal masih dapat digunakan bahkan pada kasus-

    kasus dimana maxillomandibular fixation (MMF) diperlukan jika tube dapat diletakkan pada

    celah antara gigi atau dibelakang molar terakhir. Teknik lainnya, dengan meletakkan tube di

    sepanjang dasar mulut dengan insisi di daerah submental. Trakeostomi diindikasikan untuk

    pasien dengan fraktur panfasial atau jika pemasangan endotracheal tube (ETT) akan

    mengganggu jalannya operasi perbaikan, atau dengan trauma kepala atau dada yang tidak dapat

    melindungi jalan napas mereka.

    Perdarahan

    Patah tulang displaced dan robekan pada wajah dapat menyebabkan kehilangan darah yang

    banyak. Perdarahan yang mengancam jiwa ditemukan pada 5% fraktur maxilla tipe Le Fort.

    Tujuh puluh persen dari perdarahan ini bersumber dari a. maxillari interna dan cabang-

    cabangnya. Jika sumber perdarahan terletak superfisial, penekanan lokal, tampon atau ligasi

    dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan. Reduksi temporer fraktur dapat

    memperlambat perdarahan dari garis fraktur. Untuk perdarahan dari anterior hidung, tampon

    hidung dapat digunakan untuk menghentikan sementara perdarahannya. Jika perdarahan

    berhenti, tampon dapat dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari. Perdarahan posterior biasanya

    bersumber dari a. maxillari interna. Daerah ini sulit untuk dijangkau dan dikendalikan. Untuk

    penanganannya digunakan kateter Foley yang dipasang pada tiap-tiap lubang hidung, dan

    balonnya dikembangkan sekitar 30-50 ml ditambah dengan pemasangan tampon disebelah

    anterior dari balon. Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan ini ialah nekrosis palatum atau

    columella.

    Metode lainnya yang juga digunakan untuk mengendalikan perdarahan adalah

    menggunakan dressing kompresi eksrternal atau Barton bandages yang mengelilingi kepala.

    Tehnik ini sekarang sudah ditinggalkan dan jarang dilakukan. Untuk pasien yang perdarahannya

    2

  • tidak dapat berhenti dengan tehnik-konservatif, embolisasi dengan tehnik radiografi merupakan

    langkah selanjutnya. Namun tindakan ini memiliki komplikasi seperti palsi N. fasialis, nekrosis

    lidah, dan stroke.

    Trauma Otak

    Ketika pasien dengan patah tulang wajah bersamaan dengan adanya trauma kepala, fokus

    penatalaksanaan ditujukan untuk meminimalkan terjadinya iskemia sekunder karena edema otak,

    lesi massa, dan hipothermi. Pasien dengan trauma kepala digolongkan berdasarkan Glasgow

    Coma Scale (GCS). Sistem penggolongan ini penting dalam meramalkan prognosis, dan pasien

    dengan GCS 3 memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bertahan hidup. Prognosis juga

    diperburuk dengan meningkatnya usia, penurunan tekanan darah arterial, hipertensi intrakranial,

    dan posisi tubuh yang abnormal. Harus diingat bahwa, walaupun pasien berada dalam keadaan

    koma, terapi pembedahan terhadap trauma fasial tidak merupakan suatu kontraindikasi. Pasien

    dapat dimonitor tekanan intrakranialnya selama operasi.

    Trauma Servikal

    Pasien dengan trauma multipel, khususnya dengan trauma pada kepala dan wajah, harus

    dianggap mengalami trauma medulla spinalis sampai terbukti sebaliknya. Diperkirakan sekitar

    10% pasien dengan trauma wajah juga menderita trauma servikal. Sebaliknya 18 % pasien

    dengan trauma servikal juga dengan trauma pada wajah. Fraktur mandibula dihubungkan secara

    spesifik dengan trauma vertebra servikalis bagian atas (C1-2). Penelitian menunjukkan bahwa

    trauma servikal ini sering diabaikan. Oleh karenanya, sangat penting untuk melakukan

    penatalaksanaan pada pasien multitrauma seperti ini dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi.

    Timing Intervensi Pembedahan

    Pada penatalaksanaan pasien dengan multitrauma, trauma yang mengancam nyawa mendapatkan

    prioritas utama untuk mengoptimalkan survival. Setelah pasien distabilkan dan pasien dapat

    mentoleransi pembedahan, trauma pada wajah dan fraktur yang ada harus diterapi secepatnya.

    Hal ini akan mengoptimalkan estetika hasil, fungsi, dan membuat fiksasi terhadap fraktur

    menjadi lebih mudah. Pasien lainnya mungkin tidak dapat dilakukan operasi karena luka yang

    lebih dalam dan memerlukan terapi definitif. Robekan yang ada pada wajah pasien seperti ini

    harus ditutup, dan fraktur yang ada secara kasar direduksi, dan bahkan bila perlu dipasang

    maxillomandibular fixation (MMF). Kebanyakan dari ahli bedah akan memilih untuk menunggu

    3

  • sampai edema menghilang, sebelum melakukan operasi pada tulang-tulang wajah. Pada kasus

    apa saja, tidak direkomendasikan menunggu lebih lama dari dua minggu postrauma sebelum

    dilakukan fiksasi tulang untuk menghindari terjadinya malunion, kontraksi jaringan, dan jaringan

    parut.

    Evaluasi Diagnostik Pasien Dengan Trauma Wajah

    Diagnosis trauma wajah didasarkan atas pemeriksaan fisik menyeluruh dan penunjang

    radiologis. Walaupun ada berbagai proyeksi foto wajah dan kepala, semua informasi yang

    dibutuhkan dapat diperoleh dari CT-scan irisan coronal, axial dan sagital. Satu-satunya gambaran

    radiologis yang dibenarkan adalah foto panorex mandibula dan tampak gigi.

    Diagnosis trauma wajah lebih sulit pada anak-anak dan orang tua. Walaupun hanya

    terlihat luka kecil seperti abrasi atau memar, bisa saja terjadi fraktur tulang. Pengobatan terhadap

    robekan wajah tidak boleh ditunda dan bahkan dapat dilakukan di unit gawat darurat. Laserasi

    dan luka-luka lain yang ada harus banyak diirigasi, dibersihkan,dan ditutup lapis demi lapis

    untuk memperoleh hasil yang baik.

    Tanda dan gejala dari trauma facial termasuk nyeri, krepitus, paralise dari saraf motorik

    spesifik, hipo atau hiperestesia, gangguan tajam penglihatan, diplopia, maloklusi gigi, deformitas

    wajah atau asimetri, robekan, memar, perdarahan, edema, ekimosis, dan kesulitan bernafas.

    Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi terhadap adanya asimetri wajah dan deformitas.

    Dilanjutkan dengan palpasi terhadap penonjolan tulang yaitu: os frontalis, rima orbita superior,

    lateral, inferior dan medial, os nasal, arkus zygomaticus, eminentia malaris, maxillaris, tepi

    mandibula, proc. alveolaris pada maxilla dan mandibula.

    Pemeriksaan dan palpasi pada daerah periorbita harus dilakukan untuk memeriksa adanya

    nyeri tekan, defek kontur, dan krepitus. Mungkin dapat ditemukan adanya dystopia (kedua bola

    mata tidak dalam kedudukan yang sejajar), enophtalmus, proptosis, atau diplopia, yang

    kesemuanya mengindikasikan adanya fraktur orbita, zygomaticum, atau maxillaris. Diperlukan

    konsultasi ke bagian mata pada pasien dengan trauma di daerah tersebut.

    Pemeriksaan hidung meliputi pemeriksaan intranasal untuk mencari adanya robekan atau

    hematoma. Pemeriksaan eksternal meliputi pemeriksaan terhadap dorsum nasi, untuk mencari

    adanya deformitas, deviasi, kolaps os nasi atau instabilitas, dan robekan.

    4

  • Pada pasien yang sadar, otot-otot wajah (N VII) dan fungsi lidah (N XII) dapat dengan

    mudah diperiksa. Pada pasien yang tidak sadar, evaluasi awal nervus kranialis menjadi tidak

    mungkin. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan serial selang beberapa hari untuk memeriksa

    fungsi saraf kranialis, saat pasien telah sadar dan kooperatif.

    Pada pemeriksaan fungsi mengunyah, arkus dentis maksila dan mandibula diperiksa

    untuk mencari adanya ketidakteraturan tulang, robekan, gigi yang goyah, hematom,

    pembengkakan, krepitus, dan nyeri tekan atau goyang. Penutupan antar gigi geligi dan hubungan

    antar mahkota gigi juga diperiksa, dan mungkin merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.

    Trismus juga didapatkan pada fraktur maxillaris, mandibula, dan zygomaticum.

    Pemeriksaan gigi yang hati-hati dilakukan untuk mencari adanya gigi yang berlubang, patah atau

    lepas. Pada fraktur condyler dan subcondyler, menempatkan satu jari pada lubang telinga dan jari

    lainnya pada caput condyler, memungkinkan pemeriksa untuk merasakan pergerakan rahang atau

    krepitus. Sebagai tambahan, dapat pula ditemukan adanya darah atau cairan yang keluar dari

    lubang telinga, yang dapat menunjukkan adanya laserasi, fraktur fossa kranialis media dengan

    akibat kebocoran liquor, atau dislokasi condyler. Perdarahan dari hidung dapat menunjukkan

    adanya trauma os nasi, fraktur Le Fort, fraktur orbital dan nasoethmoidale, atau fraktur fossa

    cranii anterior. Pemeriksaan mobilitas maksila juga dilakukan untuk menentukan ada tidaknya

    fraktur Le Fort. Akhirnya, adanya rhinorea karena kebocoran cerebrospinal fluid (CSF), dapat

    dilihat pada keadaan fraktur basis anterior dan media, atau fraktur cribriform plate.

    Pada pemeriksaan neurosensoris, mungkin ditemukan adanya hipoestesia atau anesthesia

    pada distribusi salah satu cabang dari saraf trigeminal (N V). Hal ini menunjukkan adanya

    fraktur yang terletak disepanjang tulang yang dilalui oleh saraf tersebut atau trauma yang

    diakibatkan oleh laserasi jaringan lunak. Saraf ini bisa saja robek atau hanya mengalami kontusi,

    yang dapat diduga dari adanya neuropraxia. Saraf yang mengalami neuropraxia umumnya dapat

    pulih kembali. Cabang-cabang saraf ini berjalan melalui foramina, yang merupakan bagian

    lemah dari tulang, sehingga ketika terjadi fraktur, dapat merusak saraf tersebut.

    Imaging

    Dengan ketersediaan kualitas dan resolusi gambar yang ada saat ini. CT scan telah menggantikan

    peran foto polos biasa dalam membantu menegakkan diagnosis trauma maxillofacial. CT scan

    kraniofasial meliputi irisan aksial, koronal dan sagital dengan tulang dan jaringan sebagai

    5

  • jendelanya (soft tissue dan bone window). Pemeriksaan ini harus terlebih dahulu dilakukan

    sebelum tindakan pembedahan. Jendela tulang (bone window) memungkinkan untuk secara

    akurat melihat adanya fraktur. Proyeksi khusus semisal apek orbital, memungkinkan pembesaran

    gambaran di daerah ini.

    TRAUMA JARINGAN LUNAK

    Etiopatogenesis

    Penyebab terbanyak perlukaan jaringan lunak pada wajah adalah kecelakaan kendaraan

    bermotor. Perlukaan ini meliputi: laserasi, abrasi, memar dan avulsi. Pendekatan terapi dan

    komplikasi yang mungkin terjadi, sering tergantung dari jenis perlukaan. Oleh karenanya, mutlak

    diperlukan deskripsi luka yang akurat. Secara kasar, 25 % dari laserasi wajah, juga diikuti oleh

    adanya fraktur. Pengetahuan tentang anatomi wajah akan membantu evaluasi trauma soft tissue

    yang potensial melibatkan saluran air liur, Nn kranialis V dan VII, otot-otot dan pembuluh darah

    besar.

    Anatomi

    Penatalaksanaan trauma jaringan lunak memerlukan pengetahuan yang menyeluruh mengenai

    anatomi wajah. Dari luar ke dalam berturut-turut: kulit, jaringan subkutan, superficial

    musculoaponeurotic system (SMAS), jaringan areolar halus, dan mukosa. Memahami hal ini

    akan membantu mengidentifikasi struktur yang terlibat dan memastikan luka-luka yang ada telah

    ditutup dengan baik.

    Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stylomastoideus, memasuki

    kelenjar parotis, berjalan pada sisi lateral wajah, ke dalam menuju otot-otot mimik wajah, dan

    menginervasinya pada permukaan sebelah dalam. Perkecualian pada inervasi sisi dalam ini

    adalah pada m. buccinators, levator labii superioris, orbicularis oris, dan depressor angularis oris.

    Kelenjar parotis terletak pada sisi lateral dari wajah dari arkus zygomatikus di superior,

    sampai angulus mandibula di inferior, dan telinga di posteriornya dan pertengahan pipi sebagai

    batas anteriornya. Saluran kelenjar parotis berjalan sepanjang garis melintang, mulai dari tragus

    sampai ke pertengahan bibir atas dan bermuara ke rongga mulut, dan melalui duktus Stensen,

    berlawanan dengan molar kedua maksila. Duktus ini sering berjalan bersamaan dengan cabang

    6

  • buccal dari N. fasialis dan sering terjadi keduanya terluka bersamaan pada saat terjadinya laserasi

    pada sisi lateral dari wajah.

    Suplai darah berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna- facial, maxillaris interna,

    dan temporalis superfisialis. Pada daerah basis cranii, cabang-cabang dari V. Jugularis Interna

    dan sirkulasi intrakranial memiliki komunikasi tanpa katup.

    Pembuluh limfe bermuara ke posterior dan lateral. Jaringan yang terlepas dapat

    menghambat drainase limfa, yang sering mengakibatkan lymphedema. Kelainan kontur wajah

    dapat terjadi sebagai akibat deformitas oleh karena adanya bulging jaringan lunak.

    Gambar 1. Anatomi maxillofacial

    7

  • Gambar 2. Vaskularisasi

    Diagnosis

    Sebelum pemeriksaan trauma fasial, terapi awal dari pasien dengan trauma wajah difokuskan

    pada manajemen kondisi yang mengancam jiwa. Setelah dilakukan pemeriksaan awal ini,

    pemeriksaan terhadap trauma wajah dapat dilakukan. Pemeriksaan harus dilakukan menyeluruh

    dan teliti serta sistematis untuk menghindari adanya trauma yang terlewatkan. Pemeriksaan dapat

    dimulai dari vertek dan berlanjut ke kaudal dari puncak kulit kepala sampai dasar leher.

    Tujuan dilaksanakannya pemeriksaan luka pada jaringan lunak adalah untuk

    mengidentifikasi kerusakan yang terjadi dan keberadaan benda-benda asing. Ujung struktur yang

    terpotong, jika diisolasi dapat dibuat untuk bisa diperbaiki di kemudian hari. Benda-benda asing

    dapat menyebabkan risiko terjadinya infeksi bertambah karena jumlah inokulum yang diperlukan

    menjadi berkurang dari 105 menjadi 102 per gram jaringan.

    Perdarahan yang terjadi dikontrol terlebih dahulu dengan penekanan (kompresi), namun

    pada akhirnya harus diligasi secara hati-hati. Tehnik hemostasis dengan menggunakan kauter,

    harus berhati-hati, karena berisiko merusak saraf, lemak atau otot di sekelilingnya. Jika

    perdarahan berlangsung lama, maka penyelidikan lebih lanjut dengan arteriografi diperlukan.

    8

  • Hemostasis yang buruk dapat berakibat terjadinya hematoma. Seperti hematoma di derah

    lain dari tubuh. Hematoma yang terjadi di daerah wajah merupakan daerah yang tanpa

    vaskularisasi, sulit dicapai oleh antibiotik dan sel darah putih. Biasanya hematoma akan hilang

    sendiri, namun memerlukan waktu yang agak lama. Waktu ini dapat dipersingkat dengan

    meletakkan pemanas dengan kehangatan dan kelembaban yang cukup, dimulai dari hari ke-3

    setelah trauma. Terkadang hematoma terlokalisir dan dianggap sesuai untuk evakuasi. Proses ini

    dilakukan dengan anestesi umum, dengan ujung suction dimasukkan ke daerah hematom melalui

    insisi. Pasien harus diingatkan tentang risiko terjadinya hiperpigmentasi ketika hematom terpapar

    sinar matahari.

    Anestesi umum atau lokal khususnya diperlukan sewaktu proses pemeriksaan pada pasien

    pediatri. Dokumentasi imaging yang cukup baik dalam hal kualitas dan kuantitas, juga

    diperlukan dalam pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan bagi pasien, untuk mengetahui

    luasnya luka dan efektivitas pengobatan yang dilakukan.

    Kontaminasi tergantung dari waktu yang terlewat setelah terjadinya trauma. Semakin

    lama jarak waktu antara terjadinya perlukaan dan saat pembersihan luka, maka akan semakin

    besar pula risiko kontaminasi. Semakin lama waktunya, maka diperlukan tindakan pembersihan

    yang lebih agresif seperti misalnya, debridemen, irigasi tekanan tinggi, dan scrubbing

    (menyikat).

    Permukaan kulit yang terkontaminasi, harus dibersihkan dari benda-benda asing.

    Dermabrasi superfisial yang terjadi berisiko untuk meluas sampai ke lapisan lebih dalam dan

    menyebabkan jaringan parut hipertrofi yang menonjol. Sisi luka yang koyak dan mati harus di

    eksisi tajam. Biasanya dengan melakukan 1-2mm eksisi pada tepi luka, sudah mencukupi untuk

    mengubah luka traumatik menjadi luka eksisi bedah yang akan menghasilkan penyembuhan dan

    tampilan kosmetik yang lebih baik. Eksisi yang sangat konservatif direkomendasikan pada

    daerah-daerah kritis seperti: palpebra, alis, cuping hidung dan vermillion border. Pertimbangan

    pemberian imunisasi tetanus pada semua trauma facial juga diperlukan, oleh karena potensi

    kontaminasi pada luka. Dengan adanya kontaminasi yang jelas dan tanpa riwayat imunisasi

    sebelumnya, maka direkomendasikan untuk diberikan injeksi 250 IU tetanus Ig, bersamaan

    dengan 0,5 ml vaksin tetanus. Imunisasi diselesaikan dengan dua booster tambahan pada interval

    bulanan.

    9

  • JENIS - JENIS TRAUMA JARINGAN LUNAK WAJAH DAN

    PENATALAKSANAANNYA

    Laserasi

    Hal yang paling penting untuk diingat dalam memperbaiki luka robekan pada wajah adalah

    eksisi tepi marginal luka dan penutupan berlapis. Luka dengan tepi tidak teratur, hancur dan

    mengandung jaringan mati diubah menjadi lurus dengan insisi yang akan meningkatkan

    kosmetik pada waktu penutupan dan juga mengurangi risiko terjadinya infeksi. Tahapan dasar

    dalam penutupan luka meliputi perbaikan struktur-struktur yang lebih dalam terlebih dahulu

    yaitu; tulang, kelenjar, duktus dan saraf. Diikuti dengan aproksimasi terhadap otot, lemak,

    dermis dan epidermis. Penggunaan jahitan dengan benang halus yang dapat diserap hendaknya

    cukup kuat untuk mempertahankan penyatuan kulit setelah jahitan kulit dilepaskan pada hari ke-

    3 dan ke-5. Pengangkatan jahitan lebih dini, yaitu pada hari ke-5 dan ke-7 post operasi,

    mencegah terbentuknya bekas jahitan dan jaringan parut. Dokter harus selalu menginformasikan

    kepada pasien atau anggota keluarganya bahwa, mungkin akan diperlukan rekonstruksi ulang

    dikemudian hari.

    Luka Gigitan

    Luka gigitan binatang atau manusia sering dijumpai. Point penting yang harus diingat adalah (a)

    kemungkinan terjadinya kontaminasi yang tinggi oleh karena flora oral yang banyak, dan (b)

    penggunaan antibiotika sistemik merupakan terapi standar. Irigasi yang banyak dan eksisi tajam

    dari tepi luka yang terkontaminasi, selanjutnya diikuti dengan pemberian profilaktik antibiotika

    dengan Penicillin untuk mencegah potensi infeksi dari Pasteurella multocida dari gigitan kucing,

    dan antibiotika spektrum luas untuk gigitan manusia (gram +, gram -, bakteri aerob dan anaerob).

    Wajah adalah salah satunya daerah yang dipertimbangkan untuk penutupan luka secara primer,

    namun debridemen dan irigasi harus menyeluruh.

    Trauma Nervus Fasialis Dan Otot

    Inspeksi yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik, mungkin menunjukkan adanya robekan

    dari nervus facialis. Pada daerah di sebelah distal dari garis yang ditarik secara vertikal dari

    kantus lateral, memiliki percabangan-percabangan dan komunikasi saraf yang luas, sehingga

    mengurangi terjadinya defisit fungsional saraf ketika terjadinya luka pada daerah ini. Walaupun

    10

  • demikian, jika ditemukan luka, maka hendaknya ujung saraf yang terpotong harus diisolasi dan

    disambungkan dengan tehnik microsurgery dalam waktu 72 jam.

    Penyambungan otot akan memungkinkan regenerasi saraf pada taraf tertentu melalui

    neurotisasi. Selain itu, keseimbangan dan aktivitas pergerakan otot-otot wajah akan lebih baik

    dipulihkan dengan penyatuan otot-otot.

    Trauma Nervus Trigeminus

    Saraf sensoris pada wajah memiliki percabangan yang luas, yang menimbulkan pertanyaan

    apakah mutlak diperlukan suatu perbaikan. Perkecualian dibuat jika laserasi saraf terjadi

    berdekatan dengan foramen-foramen tengkorak (supraorbital, infraorbital, dan mental).

    Umumnya, seseorang melakukan perbaikan saraf sensoris, dengan maksud untuk mencegah

    terbentuknya neuroma yang menyakitkan.

    Trauma Kelenjar Parotis

    Bukti adanya trauma pada duktus parotideus bisa dikonfirmasi dengan melakukan irigasi

    retrograde pada duktus Stensen, walaupun untuk melihat ekstravasasi cairan yang menuju ke

    luka. Perbaikan pada duktus diikuti dengan perbaikan pada tulang. Duktus parotideus berjalan

    sepanjang garis tengah ketiga dari tragus ke titik tengah bibir bagian atas. Saraf fasial cabang

    buccalis terletak sangat dekat dengan duktus parotideus pada daerah tersebut.

    Perbaikan pada duktus parotideus meliputi dilatasi pada orifisium intraoral dengan

    lakrimal dilator, yaitu insersi tube kecil silikon ke ujung duktus yang berfungsi sebagai stent dan

    menjahit ujung duktus diatas tube silikon dengan benang 8.0 yang tidak diabsorbsi. Tehnik

    microsurgery dapat digunakan. Ligasi duktus parotideus tidak direkomendasikan untuk dua

    alasan. Pertama, adanya pertimbangan dapat terjadinya pembengkakan kelenjar dengan atropi

    sekunder dan yang kedua, munculnya infeksi kronis yang memerlukan dilakukannya

    parotidectomy. Sebaliknya, kerusakan terhadap kelenjar atau pembuluh darah submandibular

    dapat diatasi dengan ligasi pembuluh. Eksisi kelenjar merupakan pilihan lain untuk trauma

    kelenjar submandibular.

    Trauma Kelopak Mata

    11

  • Sebelum kelopak mata diperbaiki, inspeksi dan pemeriksaan bola mata yang teliti adalah hal

    yang terpenting. Hal ini harus didahulukan daripada perbaikan jaringan lunak. Konjungtiva,

    tarsal, septal, levator, dan orbicularis oris dapat diperbaiki dengan menggunakan benang yang

    dapat diabsorbsi. Terjadinya ptosis akibat gangguan pada levator jika tidak dilakukan perbaikan.

    Dalam penutupan lapisan eksternal, menjarit dengan mengikat bola mata untuk menghindari

    iritasi kornea dan konjungtiva.

    Kecacatan kelopak mata dapat ditutupi dengan mobilisasi kelopak dan lateral

    canthotomy. Hal tersebut melepas sisa kelopak bawah untuk mobilisasi medial. Penutupan kulit

    dilakukan dengan penjaritan yang hati-hati. Ketepatan alignment of gray line, batas kelopak

    internal, dan silia merupakan hal yang krusial untuk estetika dan reparasi fungsional. Dalam

    menutup kecacatan kelopak mata, potensial untuk terjadinya ektropion sehingga harus

    diwaspadai. Ektropion dapat terjadi bila kelopak mata berkontraksi terhadap jaringan parut dan

    sklera bisa terlihat. Teknik untuk mencegah komplikasi tersebut adalah berhati-hati dan haruslah

    sangat cermat serta teliti dalam menutup semua lapisan anatomi setelah lingkaran orbita inferior

    terpapar yang dapat dilakukan dengan tehnik Frost sutura (gambar 3) pada margin kelopak mata

    selama 24 sampai 48 jam untuk mempertahankan panjang kelopak yang tepat. Adanya perawatan

    dan campur tangan dari ahli bedah plastik dapat membantu memberikan hasil akhir yang

    optimal.

    Gambar 3. Frost suture

    Trauma Sistem Lakrimal

    12

  • Trauma pada daerah kantus medial dapat menyebabkan kerusakan pada kanalikuli lakrimale atau

    kantungnya. Hal ini dapat dinilai dengan kanulasi punktum pada pemeriksaan lakrimale. Adanya

    laserasi dibuktikan dengan pemeriksaan visualisasi pada luka. Jika terdapat trauma, punktum

    dikanulasi dengan tube Crawford yang terpasang melalui hidung dan dibiarkan selama 4 minggu.

    Jika kanulasi tidak mungkin dilakukan, tetap dilakukan perbaikan pada laserasi. Perlu

    dilakukannya dacryocystorhinostomy jika terjadi epifora.

    Laserasi Nasal

    Karena letaknya menonjol, hidung biasanya disertai dengan trauma jaringan lunak yang lainnya

    pada wajah. Untuk mempertahankan kontur nasal diperlukan penanganan terpisah terhadap

    kecacatan pada kulit, kartilage, dan mukosa membrane dan debridemen sebaiknya dilakukan

    minimal. Mukosa nasal direparasi dengan chromic suture. Sedangkan kartilage direparasi dengan

    monofilament suture. Untuk kulit juga direparasi dengan monofilament suture dengan eversi

    yang baik dari tepi kulit. Avulsi jaringan lunak dapat direkonstruksi dengan flap lokal atau

    regional untuk memperbaiki mukosa, tulang rangka, dan kulit eksternal. Penggunaan cartilage

    graft terkadang diperlukan. Adanya hematom septum sebaiknya dievakuasi untuk mencegah

    perforasi septum yang potensial.

    Laserasi Bibir

    Reparasi jaringan lunak wajah yang didiskusikan pada hal ini mempunyai pokok-pokok yang

    harus diperhatikan yaitu penutupan lapisan dan penjajaran tepi yang tetap. Tidak dimanapun

    pada wajah, perhatian terhadap rinciannya lebih penting daripada margin vermilion bibir. Kulit,

    orbikularis oris, dan mukosa seharusnya dijajarkan dan direparasi dengan tepat, khususnya pada

    pars orbikularis oris (anyaman tebal otot orbikularis) disebelah bawah dari vermilion bibir.

    Vermilion sebaiknya diberi tanda dengan methylene blue sebelum pemberian anastesi lokal,

    yang dapat mengubah petunjuk. Walaupun posisi vermilion yang tepat sangatlah penting, satu

    hal yang perlu diingat bahwa perkiraan otot orbikularis membentuk penjajaran vermilion. Seperti

    pernyataan sebelumnya, debridemen pada daerah bibir sebaiknya diminimalkan, khususnya pada

    area Cupid bow (simpul). Bisa terjadi kelainan bentuk yang tidak dapat dikoreksi.

    Trauma Alis

    13

  • Seperti pada robekan bibir, trauma pada alis harus diterapi dengan debridemen yang minimal.

    Ketebalan alis bervariasi menurut panjangnya. Adanya reseksi yang dilakukan akan

    menyebabkan timbulnya deformitas alis yang berupa terpotongnya sebagian alis. Deformitas

    demikian hanya dapat diperbaiki dengan transplantasi alis. Penyambungan luka yang dilakukan

    harus memperhatikan adanya trauma pada N. Supraorbital.

    Trauma Daun Telinga

    Seperti trauma yang terjadi pada hidung, penonjolan aurikula akan menyebabkan sering terjadi

    trauma. Sering terjadi pula terbentuk hematoma. Hematoma yang terjadi harus dievakuasi dan

    dicegah supaya tidak terjadi lagi. Bisa juga dilakukan pemasangan drain selama 24 jam untuk

    mengurangi pembentukan hematoma. Hematoma yang tidak dievakuasi dapat menyebabkan

    deformitas berupa fibrosis dan cauliflower ear. Apabila terjadi avulsi jaringan, maka jaringan

    ini dibungkus dengan gaas steril yang telah dibasahi saline steril, kemudian ditempatkan dalam

    kantong plastik, sebelum ditaruh dalam wadah berisi es. Jika luka yang terjadi sampai ke liang

    telinga, laserasi yang terjadi diperbaiki dan kanalis diberikan penyangga (stent) untuk mencegah

    stenosis.

    Avulsi Jaringan

    Trauma avulsi atau kehilangan jaringan yang menyebabkan penutupan primer tidak dapat

    dilakukan, dapat terjadi. Luka besar ini dapat diperbaiki dengan undermining local, flap lokal

    atau skin graft. Daerah dengan vaskularisasi yang jelek dapat ditutup dengan penutupan primer

    tertunda.

    TRAUMA PADA TULANG WAJAH

    Fraktur Sinus Frontalis

    Epidemiologi

    Fraktur sinus frontalis relatif jarang sebagai kelanjutan trauma fasial, sekitar 5-15% dari fraktur

    fasial. Pada umumnya, 60% cedera pada sinus frontalis meliputi trauma pada lapisan anterior

    dan posterior. Fraktur pada lapisan anterior terjadi pada 33% kasus, dan sisanya terjadi pada

    lapisan posterior.

    14

  • Anatomi

    Sepasang sinus frontalis tidak berisi udara hingga berusia 2 tahun. Sinus frontalis secara

    radiografi baru dapat terlihat berisi udara setelah usia 8 tahun Pneumatisasi tidak terjadi hingga

    berusia 15 tahun, dengan maksimal ekspansi tidak tercapai sampai usia 19 tahun. Struktur sinus

    frontalis dibatasi pada bagian anterior dengan lapisan anterior dan bagian posterior dengan

    lapisan posterior, bagian superior oleh dasar fossa cranii anterior, bagian inferior oleh atap orbita,

    dan pada bagian medial oleh septum intersinus.

    Jika terdapat cedera sangat penting dilakukan identifikasi terhadap frontonasal duct

    (FND). Sebab struktur tersebut merupakan bagian yang paling anterior dan superior dari

    komplek ethmoidale anterior, yang berperan utama dalam pengaliran sinus frontalis menuju

    meatus media. Batas-batasnya adalah processus uncinatus pada bagian anterior, anterior

    ethmoidale air cells pada bagian posterior, bagian medial dari middle turbinate pada medial, dan

    lamina papyracea atau suprainfudibular plate pada bagian lateral.

    Arteri yang mensuplai sinus frontalis berasal dari arteri supraorbital, supratrochlear, dan

    ethmoidale anterior. Sedangkan sistem vena terbagi menjadi vena superfisial dan profunda.

    Aliran vena superfisial melewati vena angular, sedangkan vena profunda menuju sistem vena

    subdural melalui foramina Breschet. Aliran limfe mengikuti meningeal dan limfe rongga hidung.

    Kompleksitas dari sistem-sistem tersebut berisiko untuk terjadinya meningitis atau abses otak

    setelah terjadinya fraktur sinus frontalis walau tidak adanya fraktur dinding posterior.

    Diagnosis

    Setiap laserasi, hematoma, atau ekimosis dari daerah dahi dan regio glabella, harus diwaspadai

    untuk kemungkinan terjadinya fraktur. Dapat terjadi ekimosis subkonjungtival dan adanya

    kebocoran liquor dari hidung. Jika dicurigai adanya kebocoran liquor, uji halo atau analisa

    laboratorium dari cairan yang diambil dari hidung untuk deteksi beta-2 transferin, dapat

    digunakan untuk mengenali liquor. Sebagai tambahan, seluruh daerah harus dipalpasi untuk

    mencari adanya ketidakteraturan tulang (mis, deppresi, krepitus), dengan perhatian ditujukan

    pada rima orbitalis superior. Dapat terjadi anesthesia pada disribusi dari nervus supraorbital.

    Pembengkakan yang terjadi dapat mengaburkan adanya depresi pada beberapa hari pertama

    setelah trauma. Dalam mendiagnosis fraktur sinus frontalis tidak cukup dengan pemeriksaan fisik

    yang baik namun diperlukan pemeriksaan tambahan imaging.

    Analisis Radiografi

    15

  • Untuk penilaian pada trauma sinus frontalis, pemeriksaan imaging yang utama adalah CT-scan

    irisan axial dan coronal. Evaluasi lengkapt meliputi penentuan terlibatnya dinding anterior dan

    posterior, ada tidaknya fraktur displaced, dan trauma pada intrakranial atau FND. Tidak

    berfungsinya duktus ditunjukkan dengan adanya air-fluid level pada sinus frontalis.

    Patognomonis FND pada CT meliputi adanya fraktur komplek ethmoidale anterior dan fraktur

    dasar sinus frontalis. Pada fraktur yang kecil tidak selalu dapat diidentifikasi dengan radiografi,

    terutama nondisplaced.

    Penatalaksanaan

    Pilihan terapi yang ada meliputi bedah dan non bedah. Adanya fraktur pada tabula anterior,

    posterior, dan FND mengindikasikan perlunya intervensi bedah yang harus dilakukan paling

    tidak dalam minggu-minggu pertama. Terapi dini menurunkan insiden komplikasi jangka

    panjang.

    Adapun indikasi dilakukannya intervensi bedah yaitu depresi pada tabula anterior,

    keterlibatan FND pada pemeriksaan radiografi, teridentifikasi obstruksi FND dengan

    ditemukannya persisten air-fluid level atau terbentuknya mucocele, fraktur displaced pada tabula

    posterior yang yang kemungkinan mencederai duramater, dan adanya kebocoran CSF tanpa

    resolusi setelah hari ke 4 hingga ke 7. Pada fraktur yang nondisplaced dan simpel linear

    seringkali tidak memerlukan pembedahan.

    Fraktur Dinding Anterior

    Intervensi pembedahan untuk fraktur dinding anterior ditentukan oleh derajat displacement

    tulang dan kominutif begitu pula dengan lokasi fraktur (mis. fraktur rima supraorbital). Fraktur

    dinding anterior yang nondisplaced diterapi secara konservatif, dengan pemberian antibiotika

    selama 7 hari dan dilakukan follow up dengan CT-scan lanjutan setelah 12 bulan. Perhatian

    ditujukan kepada ada tidaknya infeksi lanjut dan pembentukan mucocele, yang memerlukan

    follow up jangka panjang.

    Biasanya, gangguan fungsi estetika yang disebabkan oleh adanya depresi tabula anterior,

    memerlukan perbaikan dengan pembedahan untuk mengembalikan kontur dari dahi. Eksposure

    yang baik dari lapangan operasi sangat diperlukan untuk menjamin kontur tulang yang baik.

    Tujuannya adalah untuk mengembalikan kontur yang tepat agar tidak mengganggu fungsi

    kosmetis dari os frontal dan derah fronto-orbital. Bone graft mungkin diperlukan jika terjadi

    fraktur kominutif atau kontaminasi pada tulang yang patah.

    16

  • Fraktur Dinding Posterior

    Fraktur dinding posterior yang terisolasi jarang terjadi. Fraktur dinding posterior biasanya

    disertai juga dengan fraktur dinding anterior. Jika fraktur dinding posterior adalah nondisplaced,

    adanya kerusakan FND dan/atau kebocoran liquor mengarahkan dilakukannya intervensi

    pembedahan. Fraktur nondisplaced tanpa kebocoran liquor diterapi secara konservatif dengan

    pengawasan ketat. Rhinorrhea liquor, jika ada, dapat diterapi awal dengan elevasi kepala 30

    derajat, dan pasien diharuskan tirah baring total. Jika kebocoran terjadi melebihi 4 hari, drainase

    spinal dapat dipertimbangkan untuk mempercepat resolusi.

    Pembedahan diperlukan pada fraktur dinding posterior dengan displaced yang bermakna,

    fraktur kominutif, atau fraktur yang nondisplaced dengan kebocoran liquor yang persisten.

    Tatalaksana terdiri dari kranialisasi dari sinus frontal. Prosedur ini melibatkan pengangkatan dari

    keseluruhan dinding posterior diikuti dengan perbaikan robekan dura oleh ahli bedah saraf.

    Fraktur Duktus Frontonasal

    Pentingnya mengidentifikasi fraktur FND pada trauma sinus frontal tidak boleh terlalu

    ditekankan sebagai indikasi absolut pembedahan. Lebih jauh, oleh karena trauma FND

    menyertai sekitar 55% dari keseluruhan fraktur sinus frontal, maka diperlukan kemampuan untuk

    mengenali FND trauma baik secara radiologis maupun intraoperatif.

    Komplikasi

    Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya fraktur sinus frontalis yaitu deformitas kontur

    sehingga tidak estetika, infeksi, terbentuknya mucocele, trauma intrakranial, kebocoran CSF, dan

    cedera pada mata.

    Fraktur Orbita

    Anatomi

    Orbita (lekuk mata) terbentuk dari maxilla, zygomaticum, ethmoidale, os frontal, os lacrimale,

    ala major dan minor osiss sphenoidalis, dan os palatinum. Rongga orbita seperti cone, namun

    batas-batasnya jelas baik dinding medial, lateral, superior, dan inferior (gambar 4). Dinding

    superior cukup tipis namun jarang terjadi fraktur pada regio tersebut sebab adanya proteksi dari

    os frontal dan sinus dan rima orbita yang tebal. Anak-anak predisposisi terjadi fraktur atap

    karena craniumnya lebih besar dan sinus frontal tidak terdapat udara. Dinding lateral dibentuk

    oleh os frontal, zygomatikum, dan ala major osiss sphenoidalis, sehingga dinding lateral menjadi

    17

  • kuat dan jarang terjadi fraktur. Yang umum terjadi adalah fraktur zygomatikum, dimana zygoma

    berartikulasi dengan ala major osiss sphenoidalis.

    Dinding inferior relatif lemah dan rentan terjadi fraktur. Sama halnya dengan dinding

    medial yang lemah dibentuk dari os lacrimale dan lamina papyracea dari ethmoidale yang tipis.

    Pada regio tersebut, sakus lacrimale dapat menglami trauma. Begitu juga, tendon kantus medial

    dapat mengalami avulsi atau disrupsi.

    Gambar 4. Anatomi os orbita

    Biomekanika Trauma

    Mekanisme terjadinya fraktur pada dasar dan dinding medial, melalui transmisi kekuatan

    langsung pada rima orbita dan transmisi kekuatan dari bola mata dan isi orbita yang lainnya

    (gambar 5).

    18

  • Gambar 5. Blowout fraktur

    Evaluasi Klinis

    Gejala klinis fraktur blowout yang paling umum adalah diplopia dan enopthalmos. Selain itu,

    dapat ditemukan terjadinya epistaksis, emfisema orbita yang dapat menyebabkan oklusi arteri

    retina, neuropati trauma optikal, kebutaan retrobulbar, dan hipo- atau anatesia pada distribusi

    persarafan infraorbita. Darah dapat berakumulasi pada sinus maxillaris dan menyebabkan

    epistaksis.

    Emery, dkk mengobservasi diplopia pada fraktur blowout, bahwa terjadi perbaikan dalam

    15 hari pada 55% pasien dan persisten pada 27%. Diplopia terjadi akibat adanya restriksi

    pergerakan okuli. Bermanifestasi pada penglihatan sentral, yang sangat bermasalah atau pada

    pandangan perifer. Penyebab mekanis diplopia adalah restriksi pergerakan akibat

    terperangkapnya isi intraorbita (otot rektus, ligament Lockwood, lemak periorbita, atau kapsula

    Tenon) oleh fraktur, yang dapat dibuktikan dengan tes forced duction, yaitu gagalnya bola mata

    untuk bergerak pada arah yang ditentukan. Namun tes tersebut tidak selalu akurat pada keadaan

    akut. Penyebab nonmekanis diplopia akibat cedera pada otot ekstraokuli, cedera saraf pada otot

    ekstraokuli, edema, dan hematoma.

    Enopthalmus diukur dari perbedaan antara permukaan kornea dan rima orbita lateral.

    Pada pemeriksaan didapatkan pseudoptosis dan sulkus superior diatas kelopak mata bagian atas.

    Enopthalmus dapat dinilai secara objektif menggunakan Herthel exophthalmometer, yang

    bermakna jika terdapat perbedaan 3 mm antara kedua mata.

    19

  • Sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada mata seperti tajam penglihatan (visual acuity),

    reaktivasi pupil, pergerakan mata, lapang pandang, tekanan intraokuli (TIO), dan fundoskopi.

    Tes forced duction dengan anastesi topikal dapat dilakukan sebelum pemeriksaan seperti diatas

    dilakukan. Jika adanya pergerakan mata yang abnormal dapat disimpulkan adanya cedera pada

    otot okuli atau pada saraf 3, 4, atau 6.

    Evaluasi radiografi sangatlah penting dengan CT-scan irisan axial dan coronal. CT-scan

    adalah gold standar untuk diagnosis fraktur blowout dan pemeriksaan radiografi lainnya kadang

    tidak dibutuhkan. Pada CT-scan dapat dilihat karakteristik fraktur dan visualisasi adanya cedera

    pada soft tissue seperti otot ekstraokuli. Pada irisan sagittal dapat dilihat adanya hubungan antara

    fraktur dan axis dari bola mata, dimana pada fraktur blowout hubungan tersebut berpengaruh

    pada pasien yang predisposisi terjadi enopthalmos. Volume orbita dapat diperkirakan dengan

    CT-scan. Jika terdapat defek >1 cm2 pada dasar orbita direkomendasikan untuk dilakukan

    pembedahan.

    Tatalaksana

    Indikasi dilakukan pembedahan pada fraktur orbita jika terdapat enopthalmos > 2mm, diplopia

    yang persisten (>2 minggu), terbukti adanya penjeratan soft tissue pada CT-scan atau tes forced

    duction, ditemukan defek pada dasar orbita yang besar (>1 cm2), dan hipoglobus yang bermakna.

    Insisi yang digunakan saat ini melalui insisi transkonjungtiva, subsiliari, dan subtarsal.

    Dasar orbita dapat dicapai dengan pendekatan Caldwell-Luc, yaitu insisi pada gingivobuccal atas

    dan menilai dasar orbita dengan antrotomy maxillaris. Selain itu bisa menggunakan endoskopi.

    Insisi transkonjungtiva tidak meninggalkan jaringan parut tetapi bisa terjadi pemendekan kelopak

    mata bagian bawah dan enteropion.

    Metode primer untuk memfiksasi fraktur dasar orbita adalah rekonstruksi dasar pada

    tulang atau menggunakan material alloplastik. Material graft autogenous antara lain split

    cranium membranous bone, iliac bone, split rib, kartilage, dan fasia lata, yang memiliki risiko

    infeksi rendah namun dapat diserap. Sedangkan implan alloplastik seperti titanium mesh,

    polymer yang dapat dan atau tidak terabsorbsi, Teflon, Supramyd, Silastic, Gelfilm, dan lain-

    lainnya, yang memberi keuntungan tidak menyebabkan morbiditas pada donor dibandingkan

    dengan graft autogenous.

    Komplikasi

    20

  • Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi, tidak tumbuhnya vaskularitas, persisten diplopia,

    persisten enopthalmos, retraksi pada kelopak mata bawah, dan superior orbital fissure syndrome

    (SOFS).

    Infeksi terjadi karena pemasangan implan yang memiliki pseudokapsul, seperti silikon

    atau Teflon, yang juga mencegah tumbuhnya vaskularisasi. Selain itu, high-density porous

    polyethylene (MedPor2) dan coralline hidroxyapatite juga menyebabkan terhambatnya

    vaskularisasi.

    Persistensi diplopia setelah terapi pembedahan akibat adanya tidak komplitnya pelepasan

    jaringan lunak yang terperangkap, adanya adesi antara jaringan lunak dengan graft rekontruksi.

    Tes forced duction dapat dilakukan pada akhir pembedahan untuk menyingkirkan adanya residu

    atau terjeratnya yang baru. Jika tes telah dilakukan, postoperative diplopia diakibatkan karena

    adanya edema atau neuropraxia dan dapat diterapi dengan konservatif. Neuropraxia dapat

    menghilang dalam beberapa bulan.

    Persistensi enopthalmos postoperative dipengaruhi oleh kontraktur jaringan parut,

    hilangnya ligamen penyokong, atropi lemak, dan pemilihan waktu untuk perbaikan. Pemilihan

    waktu sangatlah berperan penting karena perbaikan yang terlamabat menyebabkan lebih banyak

    terbentuknya fibrosis pada otot ekstraokuli sehingga membatasi kemampuan mata untuk

    berdimensi anteroposterior.

    Terjadinya retraksi pada kelopak mata bawah akibat adanya jaringan parut pada kelopak

    terhadap rima orbita. Untuk pencegahannya dapat dilakukan Frost suture pada regio siliari dari

    kelopak mata bawah yang diikat hingga dahi selama 24 sampai 48 jam.

    Perluasan fraktur hingga fissura superior orbita dan adanya cedera pada saraf pusat III,

    IV, V1, dan VI dapat menyebabkan komplikasi superior orbital fissure syndrome (SOFS). SOFS

    memberikan gejala seperti opthalmoplegi, proptosis, ptosis kelopak mata atas, penurunan sensasi

    pada distribusi persarafan VI, dan pupil dilatasi. Pada mata yang sakit biasanya tidak ada respon

    terhadap cahaya dan mata kontralateral terdapat reflek konsensuil. Pada SOFS dilakukan terapi

    konservatif.

    Fraktur Nasal

    21

  • Secara terstruktur hidung dapat dibagi menjadi 3 ruangan yaitu atas, tengah, dan bawah. Pada

    bagian atas terdiri dari os nasal, ujung atas septum, os ethmoidale, dan vomer. Bagian tengah

    terbentuk dari kartilage lateral atas, septum, dan processus frontal maxillaries. Sedangkan bagian

    bawah terdiri dari batas septum bawah dan kartilage lateral bawah. Klasifikasi fraktur nasal oleh

    Stranc dan Robertson yaitu akibat tubrukan frontal dan lateral. Cedera pada tubrukan frontal

    lebih menyebabkan kerusakan septum yang harus dilakukan perbaikan dan melibatkan komplek

    nasoorbitoethmoid (NOE).

    Diagnosis fraktur nasal berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang sepeti X-

    ray kadang tidak diperlukan. Adanya CT-scan untuk menilai cedera lainnya dapat dipakai

    pelengkap pemeriksaan. Sebelum melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan vasokontriksi

    mukosa dengan obat topikal. Septal hematoma harus dilakukan drainase untuk mencegah

    resorpsi kartilage dan deformitas saddle nose.

    Kebanyakan ahli bedah melakukan reduksi tertutup pada fraktur nasal, reduksi terbuka

    dilakukan pada laserasi yang luas. Reduksi dilakukan pada 2 jam pertama sebelum terjadinya

    pembengkakan atau secara defintif dalam 2 minggu trauma setelah edema berkurang. Reduksi

    dilakukan dengan sedasi melalui intravena dan lokal anastesi atau dengan anastesi umum, seperti

    cocaine pledget (40%). Fragmen yang terdepresi dilakukan elevasi dan reposisi septum

    menggunakan elevator berujung tumpul atau scalpel handle.

    Jika postoperasi fragmen tidak stabil, hidung dibungkus dengan impregnasi-antibiotik

    untuk beberapa hari. Pemasangan splint eksternal juga dilakukan selama 1 minggu untuk

    mencegah hidung terkena trauma yang lainnya. Jika terdapat banyak manipulai pada septum

    dapat digunakan splint intranasal. Dikemudian hari pasien mungkin akan memerlukan

    dilakukannya operasi rhinoplasty. Dalam suatu penelitian didapatkan sekitar 107 pasien dengan

    reduksi nasal tertutup, 70% terjadi deviasi dan 50% mengalami pernafasan yang abnormal.

    Fraktur Nasoorbitoethmoidale

    Anatomi

    Komplek nasoorbitoethmoid (NOE) memiliki batas anatomi yang jelas. Bagian anterior dibatasi

    processus nasalis, proc. frontalis maxilla, dan spina os frontalis. Bagian inferior dibatasi oleh

    labirin ethmoidale batas bawah, dan bagian lateral dibatasi oleh lamina papyraceae dan fossa

    lacrimale. Pembuluh darah terjadi robekan pada fraktur NOE, meninggalkan foramina

    22

  • ethmoidale anterior dan posterior pada lamina papyraceae batas atas. Lamina papyraceae adalah

    tulang yang sangat tipis yang terletak dibelakang fossa lacrimale. Fraktur pada NOE terjadi

    akibat pukulan pada pangkal hidung. Jika terdapat fraktur os nasal pada pangkal hidung biasanya

    komplek NOE juga mengalami fraktur.

    Diagnosis

    Pasien datang dengan keadaan hidung atas datar dan bengkak di regio kantus medial. Telekantus

    tertutupi oleh pembengkakan. Pada palpasi didapatkan krepitasi dan hilangnya penyangga

    hidung atas. Dilakukan pemeriksaan pada tendon cantus medial dengan menggenggam kelopak

    mata bawah dan secara hati-hati menarik lateral. Curiga gangguan bila tendon cantus medial

    tidak dapat ditarik.

    Klasifikasi

    Markowitz, dkk mengklasifikasi fraktur NOE menjadi tiga tipe. Fraktur tipe I meliputi satu

    segmen fraktur. Tipe II yaitu segmen sentral kominutif dan tipe III adanya avulsi tendon cantus

    medial. Klasifikasi ini digunakan ahli bedah untuk stratifikasi terapi.

    Gambar 6. Fraktur NOE

    Tatalaksana

    Pendekatan open sky atau insisi transversal melewati pangkal hidung tidak lagi

    direkomendasikan. Fraktur tipe I mengharuskan stabilisasi segmen tulang untuk melokalisir

    23

  • ulang tendon cantus medial dan difiksasi dengan fiksasi miniplate. Pada tipe II dan III

    mengharuskan transnasal canthopexy. Tipe II memerlukan fiksasi dengan interfragmen wire atau

    miniplate dan menyambung plate ke os frontalis, rima orbita, dan maxilla tipe Le Fort I. Pada

    tipe III, tendon cantus dirobek untuk reduksi karena fragmen fraktur kecil, kemudian tendon

    cantus direkatkan kembali dengan transnasal wire dan jarak reduksi tulang intercantal sebaiknya

    5 hingga 7 mm lebih sedikit dari jarak soft tissue pada masing-masing sisi.

    Sistem lacrimale mungkin juga mengalami cedera atau laserasi pada fraktur NOE,

    sehingga perlu diperbaiki. Orbita internal dapat direkontruksi dengan menempatkan bone graft

    dibelakang rima orbita.

    Komplikasi

    Fraktur NOE dapat merusak sistem lacrimale akibat adanya obstruksi langsung atau avulsi

    pompa otot tendon-orbicularis okuli pada 20 % pasien. Pada obstruksi yang persisten atau

    dakriosistitis dapat dilakukan dacryocystorhinostomy atau conjunctivodacryocystorhinostomy.

    Postraumatik telecantus tampak peningkatan jarak intercantal, pangkal hidung yang datar,

    dan disfungsi system lakrimal. Secara klinis terlihat palpebra terbuka sempit atau terbatas dan

    terdapai epifora.

    Fraktur Zygomatikum

    Anatomi

    Os zygomaticum memberikan penonjolan pada pipi, yang berartikulasi dengan maxillaris, ala

    major ossis sphenoidalis, os frontalis, dan os temporalis. Os zygomaticum memiliki permukaan

    lateral atau malar dan orbita medial. Pada os zygomaticum melekat otot-otot masseter,

    temporalis, zygomaticus, dan superior quadrates labii. Otot masseter melekat pada batas inferior

    dari arkus zygomaticum dan paling predominan terjadi deformitas pada fraktur zygomaticum.

    Pada batas superior melekat fasia temporalis.

    Ungley dan Suggit, 1944 menciptakan istilah tripod untuk menyebut fraktur pada os

    zygomaticum. Namun berdasarkan anatomi yang benar, zygomaticum disebut sebagai pentapod

    sebab memiliki lima artikulasio.

    Diagnosis

    Pasien dengan fraktur zygomaticomaxillary complex (ZMC) sering mengeluh mati rasa pada

    daerah persarafan infraorbita dan sering terlihat edema periorbita. Palpasi pada rima infraorbita

    24

  • atau jahitan frontozygomaticum dapat dilakukan jika bengkak telah berkurang. Daerah malar

    juga terlihat tertekan atau mengalami depresi dibadingkan bagian yang kontralateral. Tampak

    sekunder trismus yang mengenai os zygomaticum pada processus coronoideus.

    Kunci dari pemeriksaan fraktur ZMC adalah dilakukannya pemeriksaan okuli dengan

    hati-hati. Dapat terjadi enopthalmos jika volume orbita meningkat, yang dapat dibuktikan dengan

    membandingkan kornea tampak basal. Pemeriksaan dapat menyebabkan diplopia. Hipoglobus

    atau pergeseran bola mata inferior dapat terjadi. Pemeriksaan penunjang dengan X-ray masih

    kontroversi.

    Gambar 7. Fraktur ZMC

    Tatalaksana

    Pada fraktur nondisplaced biasanya dengan nonoperatif sedangkan pada fraktur displaced

    dilakukan pembedahan. Pasien dengan fraktur nondisplaced perlu diobservasi ketat, diet lunak,

    dan melindungi regio malar selama 6 minggu, terutama saat tidur. Pada fraktur malar displaced

    diperlukan pendekatan multiple dalam melakukan fiksasi.

    Komplikasi

    Menurut Barclay, sekitar 10% pasien mengalami diplopia dan persisten pada setengah dari

    pasien (5%). Permanen diplopia sering disebabkan karena terjeratnya otot rectus inferior jika

    dasar orbita terkena. Selain itu, juga disebabkan karena cedera pada otot atau saraf ekstraokuli

    25

  • dan adanya otot yang mengalami jaringan parut pada fragmen tulang. Jika persisten selama 4-6

    minggu, diindikasikan untuk dilakukannya rebalancing otot ekstraokuli.

    Komplikasi yang lainnya meliputi terjadinya enopthalmos pada 33% pasien dengan

    fraktur os zygomaticum, mati rasa pada daerah pipi dan bibir bagian atas (24%), bradikardi,

    mual, dan sinkop.

    FRAKTUR MAXILLARIS

    Pendahuluan

    Maxillaris telah dianggap sebagai clinical keystone of the face oleh karena maksila

    menghubungkan basis kranii pada mandibulae inferior. Metode awal fiksasi, terdiri dari eksternal

    fiksasi, internal wiring, dan tehnik suspensi. Pada tahun 1970, Ferraro dan Berggren

    memperkenalkan rigid internal fiksasi dengan bone graft untuk memperbaiki fraktur fasial

    komplek yang menjadi standar pelayanan. Prinsip perbaikan adalah reparasi fase awal tunggal,

    reduksi anatomi yang akurat, rigid fiksasi, eksposur luas pada fraktur, bone graft autogenous

    dengan segera. Menurut Manson, Hoopes, dan Su maxillaris terbentuk dari 3 pilar vertikal, yaitu

    nasomaxillaris, zygomaticomaxillaris, dan pterigomaxillaris.

    Pilar tersebut menahan stress vertikal saat terjadinya trauma. Kekuatan perpendicular

    dapat menyebabkan maxillaris menjadi tidak nyambung. Manson dkk, menjelaskan bahwa pilar

    horizontal terdiri atas frontal bar, rima infraorbital, arkus zygomaticum, dan corpus mandibulae.

    Lebarnya midfasial dan proyeknya ditentukan oleh pilar horizontal dan komplek NOE, arkus

    maxillarisdan palatum. Tidak seperti mandibula, pilar dari midfasial relatif tipis dan rapuh.

    Epidemiologi

    Sekitar 40 % fraktur pada wajah meliputi midfasial, yang merupakan 1/3 dari kasus, tidak

    termasuk fraktur nasal. Fraktur pada wajah menunjukkan bahwa fraktur Le Fort II umumnya

    lebih banyak daripada Le Fort I, namun Le Fort I lebih umum dari Le Fort III. Menurut Steidler

    dkk, adapun trauma-trauma yang menyertai adalah kepala (51%), dada (12%), dan trauma

    abdomen (5%). Poon dkk, melaporkan 55% angka insiden trauma okuli atau orbita disertai

    dengan trauma midfasial. Trauma spine sevikal ditemukan sekitar 12-18 %.

    26

  • Biomekanis

    Nahum mengungkapkan mengenai kerentanan tulang-tulang wajah terhadap kekuatan tubrukan

    yaitu wanita mempunyai toleransi yang lebih rendah daripada pria, pembungkus jaringan lunak

    membantu meredam beberapa energi tubrukan, os nasal lebih fragil diikuti dengan arkus

    zygomaticum, maxillaris lebih sensitif untuk melokalisasi trauma horizontal, mandibula kurang

    peka terhadap gaya lateral daripada fontal. Fraktur-fraktur berkekuatan tinggi ditemukan pada os

    frontalis, maxillaris, dan mandibulae anterior. Sedangkan fraktur-fraktur berkekuatan rendah

    ditemukan pada os nasal, zygomaticum, sinus frontal, dan regio nasoethmoid. Yang menarik

    untuk diketahui bahwa tabrakan berkekuatan 30 mil per jam akan melebihi toleransi tubrukan

    pada sebagian besar tulang-tulang wajah.

    Evaluasi Klinis

    Pada fraktur Le Fort I, kita dapat melihat adanya edema pada midfasial dan pasien biasanya

    mengeluh nyeri dan nyeri tekan pada area tersebut. Tipe fraktur ini terjadi pada maxillaris dan

    palatum menjadi terapung. Fraktur Le Fort II terjadi sepanjang orbita dan regio nasoetmoidale

    yang memisahkan midfasial. Pada fraktur Le Fort III memisahkan wajah dari cranium yang

    diperluas hingga dinding lateral orbita. Kebanyakan fraktur midfasial komplek, terdiri dari

    kombinasi lebih dari satu tipe fraktur dibandingkan satu kategori khusus. Pada fraktur Le Fort II

    dan Le Fort III secara klinis dapat dilihat adanya ekimosis periorbital dan subkonjuntival, edema

    dan memperlebar wajah serta terjadi maloklusi. Gejala klinis tersebut sering disebut sebagai

    panda facies. Sebaiknya dilakukan palpasi pada maxillaris dengan posisi tangan yang satunya

    pada maxillaris anterior dan yang satunya lagi pada pangkal hidung. Pada fraktur Le Fort I,

    terjadi pergerakan dari maxillaris bawah dan palatum tetapi pangkal hidung tidak. Sedangkan

    pada fraktur Le Fort II terjadi pergerakan pangkal hidung dan fraktur akan terasa pada rima

    infraorbital. Begitu juga pada fraktur Le Fort III terjadi pergerakan pangkal hidung dan lateral

    rima orbita.

    27

  • Gambar 8. Le Fort I, II, III

    Penatalaksanaan

    Setelah jalan nafas (airway) aman dan trauma yang potensial mengancam nyawa teratasi, tujuan

    terapi selanjutnya adalah untuk menentukan oklusi pretrauma, mempertahankan fungsi

    mengunyah, tinggi dan lebar wajah serta mampunya untuk berkomunikasi. Rima orbita inferior

    dapat dicapai melalui insisi transkonjungtival, subsiliari, atau subtarsal. Pemilihan insisi tersebut

    tergantung pada pilihan ahli bedah yang sebaiknya dengan tidak melukai saraf infraorbital.

    Fraktur nasoetmoidale dapat terlihat melalui insisi koronal atau laserasi trauma kulit. Insisi

    lateral canthotomy atau insisi blepharoplasty luas bagian atas lateral dapat digunakan untuk

    28

  • menilai fraktur pada garis sutura zygomaticofrontalis. Trauma tersebut juga dapat ditemukan

    melalui insisi koronal yang juga dapat dilakukan untuk trauma yang lainnya. Dahulu,

    penatalaksanaan fraktur midfasial terdiri dari MMF dan suspensi kraniofasial. Namun saat ini,

    penatalaksanaan utama meliputi rigid fiksasi. Fiksasi dengan plate harus mencegah enam

    pergerakan yang berbeda, yang terdiri dari tiga gerakan translasional dan tiga gerakan rotasional

    sepanjang sumbu x, y, dan z. unttuk mencegah terjadinya rotasi, plate harus memfiksasi fraktur

    pada tiga titik yang tidak berada pada satu garis. Kompresi tulang tidak dibutuhkan untuk

    penyembuhan dan celah yang kecil (< 5 mm) masih dapat diterima. Paling tidak dua screw

    sebaiknya diletakkan pada tiap sisi fraktur dan tulang akan mulai menyembuh dengan tulang

    langsung berunion. Fraktur pilar kominutif sebaiknya dilakukan bone graft. Menurut Manson,

    midfasial sebaiknya distabilkan dengan MMF pada mandibula sebelum dilakukannya fiksasi

    plate terhadap midfasial, yang akan menjamin terjadinya oklusi pretauma dan mencegah

    terjadinya retrusi midfasial.

    Hendrickson menjabarkan enam tipe fraktur palatal: tipe I yaitu anterior dan

    posterolateral alveolar; tipe II yaitu sagital; tipe III yaitu parasagital; tipe IV yaitu para alveolar;

    tipe V yaitu komplek, tipe VI yaitu tranversal. Thornton dan Hollier merasa bahwa fraktur

    dengan orientasi anterior-posterior dan tanpa kominutif sebaiknya dilkukan fiksasi internal.

    Sebaliknya, pada fraktur komplek atau kominutif sebaiknya dilakukan splint palatum. Perawatan

    yang dilakukan tidak untuk devaskularisasi buccal, gingival, atau mukosa palatum selama

    dilakukannya proses pembedahan. Kadang-kadang, insisi ginggivobuccal harus berorientasi

    secara vertikal pada garis dengan laserasi traumatik. Pada kubah palatum, insisi yang dilakukan

    sebaiknya secara longitudinal langsung dan terlokalisasi sentral untuk mencegah terjadinya

    trauma pada arteri palatum yang lebih besar, yang berjalan di sebelah anteroposterior diatas

    mukoperiosteum palatum. Untuk fraktur alveolar, reduksi tertutup dan immobilisasi selama 4

    hingga 6 minggu sudah mencukupi. Dengan reduksi yang adekuat, arkus gigi, kubah palatum,

    dan empat dinding penopang anterior vertikal dapat direduksi dan distabilkan. Splint intraoral

    juga berguna untuk menambahkan stabilisasi palatum setelah direduksi dan difiksasi.

    Fraktur midfasial komplek biasanya disebabkan oleh mekanisme berkecepatan tinggi

    seperti luka tembak atau tabrakan kendaraan bermotor. Fraktur-fraktur yang terjadi biasanya

    kominutif dan tidak stabil. GCS yang rendah bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukannya

    29

  • intervensi penmbedahan kecuali jika prognosis sangatlah buruk. Tekanan intrakranial harus

    dimonitor dan sebaiknya terjaga pada tekanan < 25 mmHg.

    Untuk penatalaksanaan fraktur midfasial komplek yang adekuat, diagnostik imaging

    sebaiknya digunakan untuk menghasilkan konfigurasi fraktur tiga dimensi. Marciani dan Gonty

    menguraikan garis besar prinsip penatalaksanaan yang baik yaitu meliputi perbaikan definitif

    awal, perbaikan anatomi trauma NOE, pemaparan luas fraktur, dan fiksasi stabil pada semua

    bidang. Pollock dan Gruss merekomendasikan urutan langkah-langkah untuk penatalaksanaan

    fraktur midfasial komplek. Stabilisasi pertama pada mandibula dan beberapa fraktur dengan rigid

    fiksasi. Penempatan maksila haruslah teroklusi dengan tepat dalam berhubungan dengan

    mandibula dan penstabilisasian dengan arch bars-palang. Fraktur zygomatikum dan beberapa

    fragmen yang mungkin mengganggu reduksi fragmen maxillaris haruslah direduksi dan

    dilakukan pemasangan plate. Dinding penopang maxillaris direduksi dan dilakukan rigid fiksasi

    dengan miniplate. Komplek NOE dilakukan rekontruksi dan tendon cantus medial diikat kembali

    jika ada indikasi. Fraktur nasal direduksi dan beberapa pemisah nasofrontalis juga direduksi. Os

    frontalis dan fraktur sinus juga diterapi. Laserasi fasial dan avulsi jaringan lunak haruslah

    diperbaiki.

    Setelah dilakukan fiksasi, MMF dilepaskan kecuali kalau stabilisasi tulang sangatlah sulit

    untuk mendapatkannya karena fraktur kominutif atau komplek. Pelepasan MMF mempermudah

    penanganan jalan nafas (airway) dan menyingkirkan kebutuhan untuk trakeostomi.

    Fraktur Pada Anak

    Pada anak yang berumur < 5 tahun, fraktur fasial relatif jarang terjadi (< 1 % dari trauma fasial).

    Saat anak-anak mulai masuk sekolah, insiden meningkat terus hingga usia dewasa muda. Fraktur

    fasial ini terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Parker dan Lehman

    mengemukakan adanya perbedaan distribusi anatomi fraktur fasial pada anak dibandingkan

    orang dewasa. Pada bayi yang baru lahir mempunyai volume tulang wajah yang lebih kecil bila

    dihubungkan dengan kranium. Sutura kranial tidaklah menyatu dan tulangnya masih lunak.

    Anak-anak berumur 6 dan 12 tahun memiliki mixed yang temporer dan pertumbuhan gigi yang

    permanen. Oleh karena itu, fraktur midfasial jarang terjadi.

    Penilaian terhadap fraktur midfasial pada anak seringkali memerlukan sedasi dan

    terkadang bahkan menggunakan anastesi umum. Penggunaan foto polos pada anak-anak kurang

    30

  • berguna dibandingkan pada orang dewasa dan untuk mengevaluasi biasanya dibutuhkan CT-

    scan. Anak-anak cenderung muntah dan teraspirasi dari distensi lambung sehingga jalan nafas

    (airway) haruslah dinilai dan diamankan secara awal dan cepat. Fraktur dengan displace

    minimal, penatalaksanaannya tanpa dilakukan operasi. Pada fraktur kominutif atau displace

    sebaiknya dilakukan penatalaksanaan yang terbaik dan tepat guna sebab penyembuhan tulang

    pada anak lebih cepat daripada pada orang dewasa. MMF atau fiksasi dengan bahan logam

    ditempatkan tidak berdekatan dengan tunas gigi untuk mencegah kerusakan pertumbuhan gigi.

    MMF dikerjakan dengan splint acrylic dan piriformis aperture atau circumandibular wire.

    Setelah plate dan screw terfiksasi, beberapa penulis merekomendasikan pengambilan kembali

    bahan logam setelah fraktur menyembuh. Beberapa klinisi, lebih memilih untuk menggunakan

    splint atau sistem non rigid untuk perbaikan fraktur.

    Komplikasi

    Pasien dengan fraktur midfasial seringkali mengeluh mati rasa dan parastesi pada distribusi saraf

    infraorbital. Hal tersebut merupakan masalah persarafan yang umum terjadi pada trauma fasial,

    yang khususnya pasti terjadi pada trauma fasial dengan fraktur zygomaticum. Permasalahan pada

    okuli juga umum terjadi dari 17 % hingga 55 %, yang meliputi diplopia, enopthalmos, kebutaan,

    pandangan kabur, telecanthus, dan epifora. Menurut literatur, insiden kebutaan adalah 1 %.

    Rinorhea CSF juga relatif umum terjadi pada fraktur fasial yang berat. Menurut

    penelitian dari Morgan, angka insidennya adalah 35 %. Dalam penelitiannya tersebut, rinorhea

    akan menghilang pada hari ke lima pada 66 % pasien dan tetap ada > 10 hari pada 13 % pasien.

    Pembedahan pada dura merupakan indikasi jika penyaliran berakhir > 2 minggu atau tetap ada

    dengan penempatan drain lumbar.

    Infeksi relatif jarang terjadi pada fraktur fasial. Meningitis pernah ditemukan pada 1 dari

    240 pasien menurut penelitian yang dilakukan oleh Steidler. Sedangkan sinusitis juga pernah

    ditemukan pada 1,7 % pasien. Pada pembedahan, fiksasi dengan bahan logam bisa menjadi

    terinfeksi, menonjol, terpapar, dan berpindah dari posisi yang diharapkan. Sebuah penelitian

    retrospektif terhadap 1,112 fraktur menunjukkan bahwa 12 % insiden komplikasi memerlukan

    pengambilan kembali bahan logam. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian antibiotik

    preoperasi, penempatan bahan logam yang adekuat dan tepat, dan pencakupan jaringan lunak

    yang baik. Adapun komplikasi yang lain yaitu terjadinya maloklusi pada fraktur mandibular.

    31

  • Dibutuhkan perhatian yang teliti dan berhati-hati terhadap hubungan oklusi sebelum memfiksasi

    dapat meminimalkan permasalahan maloklusi.

    FRAKTUR MANDIBULAR

    Epidemiologi

    Fraktur mandibula merupakan trauma yang umum terjadi dikarenakan penonjolan tulang

    mandibula dan rentannya terhadap trauma eksternal. Lebih dari setengah fraktur mandibula

    disebabkan karena penyerangan. Tabrakan kendaraan bermotor juga penyebab trauma mandibula

    dalam jumlah yang bermakna. Fraktur mandibula terjadi pada corpus, angulus, condylus, ramus,

    symphisis, processus alveolaris, dan processus coronoideus.

    Anatomi

    Mandibula adalah tulang yang berbentuk-U panjang dengan beberapa bagian menopang gigi dan

    ada yang tidak menopang gigi. Pada bagian yang menopang gigi memiliki karakteristik batas

    anterior yang tebal dan padat menyokong processus alveolaris. Mandibula terbagi menjadi

    symphysis (mentalis), corpus, angulus, vertikal ramus, processus coronoideus, dan prosesus

    condylaris. Tempat-tempat perlekatan untuk otot-otot mengunyah yaitu angulus mandibularis,

    ramus, pocessus coronoideus dan processus condylaris yang berartikulasi dengan cranium pada

    temporomandibular joint (TMJ). Sendi ini menekan discus fibrosa yang terletak antara condilus

    mandibula dan fossa temporalis.

    Penyedia darah untuk mandibula berasal dari arteri alveolar inferior, yang merupakan

    cabang dari arteri maxillaris dan dari perlekatan otot yang melewati cabang-cabang arteri-arteri

    periosteal. Arteri masuk ke foramen mandibular dan keluar ke foramen mentalis, begitu juga

    dengan saraf alveolar inferior dan saraf mentalis. Saraf alveolar inferior menginervasi mandibula

    dan gigi-gigi pada mandibular.

    Kunci dalam penatalaksanaan trauma mandibular adalah menjaga hubungan untuk oklusi

    mandibular dan gigi pada maxillaris. Klasifikasi Angle menstratifikasi menjadi hubungan yang

    normal dan abnormal. Klasifikasi tersebut berdasarkan adanya hubungan cuspis buccal mesial

    dari molar pertama maxillaris terhadap sulcus buccal mesial dari molar pertama mandibular.

    Kelas I atau oklusi normal adalah pada satu tempat cuspis buccal mesial terletak di atas sulcus

    32

  • buccal mesial. Kelas II atau oklusi distal adalah cuspis mesial terletak sebelah anterior dari

    sulcus buccal mesial sehingga terlihat suatu retrusi atau mandibula seperti kurang maju.

    Sedangkan kelas III atau disebut maloklusi adalah adanya suatu protrusi dan cuspis buccal

    mesial terletak sebelah posrerior dari sulcus. Suatu oklusi lateral abnormal yang disebut sebagai

    crossbite atau laterognathism atau tidak adanya kontak dimanapun sebaiknya dikemukakan.

    Hubungan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan baik pre dan postoperasi sehingga

    oklusi dentis yang sebelumnya dapat ditentukan.

    Gambar 9. Anatomi mandibulae

    Gambar 10. Klasifikasi Angle kelas I, II, III

    Biomekanika

    33

  • Dalam perkembangan mandibular yang normal, tulang mandibula seharusnya memiliki jaringan

    lunak dan terbungkus otot yang adekuat. Jika tidak, dapat menyebabkan terjadi perubahan

    bentuk. Secara umum, gaya regang predominan di sepanjang alveolus dan superior border,

    sedangkan gaya tekan predominan pada inferior border. Gaya tersebut mempengaruhi

    pergesaran tempat dan stabilisasi pola fraktur yang berbeda.

    TMJ berfungsi selain sebagai engsel juga mentranslasikan. Awal mandibula terbuka,

    condylaris berotasi seperti engsel. Semakin lebar terbuka, condylar bergerak anterior dan inferior

    sepanjang fossa temporalis.

    Tipe penyembuhan tulang pada fraktur mandibular tergantung pada kontak tulang dan

    derajat pergerakan. Penyembuhan tulang primer terdiri dari pembentukan tulang langsung tanpa

    disertai diferensiasi dari jaringan lunak dan kartilage, sehingga tidak terbentuk kalus. Tipe

    penyembuhan ini hanya terjadi pada stabilitas absolute pada tempat yang fraktur sama halnya

    dengan fiksasi rigid plate dan screw. Penyembuhan yang kedua terjadi melalui beberapa staging

    yaitu adanya resopsi tulang, pembentukan kalus, dan difrensiasi sel osteogenik menjadi

    osteoblast dan chondroblast yang akan membentuk kartilage, yang pada akhirnya kartilage akan

    digantikan oleh tulang. Tipe penyembuhan tulang ini tidaklah lambat dan terjadi pada fraktur

    yang tidak stabil seperti pada MMF atau fiksasi dengan wire.

    Klasifikasi Fraktur

    Klasifikasi fraktur pada mandibula yaitu terbuka dan tertutup, displaced dan nondisplaced, linear

    atau kominutif, dan komplit atau inkomplit. Pada fraktur terbuka terdapat hubungan dengan

    lingkungan walau robekan terjadi pada mukosa atau kulit dan adanya hubungan dengan rongga

    gigi secara klinis dan radiografi. Fraktur yang terjadi mungkin displaced atau undisplaced

    tergantung pada tingkat kominutif dan orientasi fraktur berkenaan dengan otot pengunyah.

    Kontraksi otot dan perjalanan trauma bertanggung jawab terhadap pergeseran tempat. Sebagai

    contoh, otot pterygoid lateral bertanggung jawab terhadap pergeseran komponen superior fraktur

    subcondylaris anterior dan medial.

    Evaluasi Klinis

    34

  • Gambaran klinis dari trauma mandibular meliputi nyeri, nyeri tekan, trismus, maloklusi, edema,

    parestesi, anastesi, ekimosis, dan perdarahan. Penilaian fungsi dengan melihat pembukaan gigi

    dan penyimpangan lateral. Saat membuka mulut, adanya protrusi dan deviasi dagu

    mengindikasikan translasi yang terbatas dari condylaris ipsilateral yang mungkin dikarenakan

    adanya fraktur condylaris. TMJ akan terpalpasi pada area prearicularis melewati kanalis auditori

    eksternal. Pada pemeriksaan intraoral, dicari dan dibuktikan apakah terdapat fraktur, avulsi, atau

    gigi yang goyang. Maloklusi juga harus diperiksa, dibuktikan dan dibandingkan terhadap oklusi

    pretrauma. Maloklusi tidaklah selalu akibat dari trauma dan seringkali terjadi pada populasi

    umum. Oklusi pretrauma diperkirakan dengan membandingkan permukaan yang rata dari gigi

    pada maxillaris dan mandibula. Terkadang model dentis diperlukan untuk menentukan oklusi

    pretrauma.

    Penatalaksanaan

    Sasaran penatalaksanaan dari fraktur mandibula adalah untuk mencapai reduksi dan stabilisasi

    secara anatomi, menentukan oklusi pretrauma, mengembalikan tinggi wajah dan proyeksi, dan

    mencapai keseimbangan kontur dan simetris wajah. Penatalaksanaan tanpa operasi diindikasikan

    bila fraktur yang terjadi non atau minimal displaced, range of motion (ROM) dari mandibular

    masih normal, dan oklusi pretrauma dapat dipertahankan. Pasien dibatasi hanya makan diet cair

    atau lunak selama 30 hari. Membuka mulut harus dibatasi dan tetap menjaga higienis mulut yang

    baik.

    Fraktur Mandibular Pada Anak

    Fraktur mandibula terjadi sebanyak 50 % dari fraktur wajah pada anak-anak. Penyebab yang

    paling sering adalah karena tabrakan kendaraan bermotor. Mandibula pada anak-anak masih

    relatif lemah karena kurangnya kandungan tulang selama gigi yang tidak erupsi berkembang.

    Bagaimanapun juga, fraktur mandibula cenderung menjadi inkomplit dan minimal displaced

    karena mandibula sedikit mengandung tulang kortikal dan lebih elastis. Pada anak yang berusia

    kurang dari 10 tahun, fraktur condylaris rmerupakan dua pertiga dari fraktur mandibular.

    Berbedanya penatalaksanaan fraktur pada anak-anak karena adanya pergantian dan gigi yang

    tidak erupsi. Kebanyakan penatalaksanaan fraktur dengan reduksi tertutup, juga karena

    penyembuhan fraktur pada anak-anak lebih cepat dan risiko tergangunya pertumbuhan

    35

  • mandibula dengan adanya intervensi pembedahan. Stabilisasi dapat tercapai dengan MMF atau

    lingual splint. Diperlukan perawatan yang terlatih dalam mempergunakan MMF wire pada anak-

    anak karena giginya dapat terekstraksi pada pemasangan wire yang rapat dan ketat. Fraktur

    condylaris dan subcondylar secara khusus dapat diterapi tanpa operasi karena adanya risiko

    ankilosis dan retardasi pertumbuhan. Sebaliknya, pada fraktur kominutif atau displaced

    memerlukan pemasangan ORIF pada populasi anak-anak.

    Pasien yang Ompong

    Tatalaksana fraktur pada pasien yang ompong merupakan suatu tantangan karena tidak adanya

    gigi yang menopang MMF; mandibula yang ompong secara primer terbuat dari tulang kortikal

    dan memiliki potensial yang kecil untuk perbaikan; krista alveolar mengalami atropi dan

    fragmennya dengan mudah terjadi pergeseran oleh tarikan otot; pasien yang ompong biasanya

    orang lanjut usia dan terdapat komorbid yang lainnya. Stabilisasi fraktur dapat dicapai dengan

    menggunakan gigi palsu, Gunning splint, atau fiksasi eksternal seperti aplikasi Morris. Thornton

    dan Hollier menganjurkan penggunaan rigid fiksasi dengan plate dan screw karena dapat

    menyingkirkan kebutuhan pemakaian splint yang dapat mempercepat penyembuhan dan

    memperpendek waktu kecacatan dan tentunya mendapatkan fungsi yang lebih baik.

    Perawatan Post Operatif dan Komplikasi

    Pasien dengan MMF sebaiknya tidak dilakukan extubasi sampai mata terbuka. Sebelum

    melakukan extubasi sebaiknya dilakukan aspirasi lambung untuk mencegah terjadinya aspirasi.

    Pemberian antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan luka pada wajah yang terbuka. Pada

    pasien dengan MMF diinstruksikan untuk mendapatkan dan mempertahankan nutrisi yang baik

    dengan diet tinggi protein dan makanan cair, sebab jika nutrisinya buruk dapat menurunkan berat

    badan yang bermakna. MMF dipertahankan minimal 3 minggu postoperasi.

    Komplikasi yang paling sering pada fraktur mandibula adalah terjadinya maloklusi,

    infeksi, malunion, nonunion, perlukaan pada saraf, dan terpaparnya plate. Angka insiden

    nonunion sekitar 3,2 % dan terjadi paling sering pada corpus mandibula. Penyebabnya meliputi

    tidak adekuatnya penjajaran dan stabilisasi fraktur, interposisi jaringan, hilangnya tulang

    segmental, infeksi, dan tidak benarnya pemasangan plate. Selan itu, pasien dengan alkohol dan

    kecanduan obat berisiko tinggi terjadinya fraktur. Penatalaksanaan pada fraktur nonunion adalah

    36

  • menghilangkan gigi yang terinfeksi, debridemen fraktur, dan rigid internal fiksasi dengan atau

    tanpa bone graft.

    Pada 56 % pasien terdapat defisit saraf sensoris alveolar inferior dan persisten pada 19 %

    pasien. Maloklusi biasanya terjadi disebabkan karena buruknya penempatan plate fiksasi yang

    menghasilkan reduksi tulang dan pergerakan gigi yang tidak tepat.

    KESIMPULAN

    Tentunya penatalaksanaan pasien dengan trauma maxillofacial tidak hanya memerlukan

    pendekatan tim tetapi juga pengertian tentang anatomi dan mekanisme trauma yang terlibat.

    Perhatian primer yang pertama kali diperlukan adalah mengatasi trauma yang mengancam

    nyawa. Walaupun kebanyakan trauma maxillofacial tidak mengancam nyawa, namun trauma ini

    dapat menyebabkan kecacatan yang bermakna dan hilangnya fungsional.

    37