Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi
Menurut Holt, Krieg, Sneath, Stanley dan Williams (1994), klasifikasi
bakteri V. harveyi adalah sebagai berikut:
Kingdom: Prokaryota
Divisi : Bacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Spesies : V. harveyi
Gambar 1. V. harveyi (Muchlis, 2013).
Berdasarkan pedoman Identifikasi Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology (Buchsan dan Gibbons, 1974), Lightner (1996) mengatakan bahwa
V. harveyi termasuk bakteri gram negatif yang memiliki afinitas rendah terhadap
kristal violet, warna ini akan hilang dengan pemberian alkohol, menyebabkan
dinding selnya akan terwarnai pewarna kedua yaitu karbo fuchsin. Dinding sel
9
bakteri gram negatif lebih tipis dan banyak mengandung lemak dan akan mudah
larut apabila terkena alkohol. Hilangnya (lunturnya) lemak akan membawa serta
warna pertama yang mengenainya, yang akan nampak warna merah dari
pewarna karbo fuchsin. Berdasarkan uji motilitas, setelah masa inkubasi 24 jam,
bakteri tumbuh menyebar. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri bersifat motil
(Prajitno, 2008).
Penyakit bakterial terutama karena vibriosis dalam budidaya udang
panaeid melibatkan beberapa spesies vibrio. V. harveyi dianggap sebagai agen
penyebab penting dari vibriosis sistemik, yang terjadi dalam setiap bidang hayati.
Virulensi bakteri ini disebabkan oleh produksi dan ekspresi beberapa faktor
virulen seperti hemolisin (Ramesh, Natarajan, Sridhar dan Umamaheswari,
2014). Hal ini sesuai dengan pernyataan Prajitno (2008), serangan penyakit
bakterial yang paling serius dan sering menyebabkan kematian masal pada larva
udang windu adalah serangan bakteri berpendar yang diidentifikasi sebagai V.
harveyi. Bakteri V. harveyi pada umumnya menyerang larva udang pada stadia
zoea, mysis dan awal post larva, sehingga merupakan kendala dalam
penyediaan benih udang yang sehat dalam jumlah besar.
2.1.2 Habitat dan Penyebaran Bakteri V. harveyi
V. harveyi ditemukan di habitat-habitat akuatik, sebagian pada air laut,
lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan hewan laut (Prajitno 2005). Gram
negatif, berbentuk batang, bakteri motil dan halofilik diidentifikasi sebagai V.
harveyi (Mirbakhsh, Akhavan, Afsharnasab, Khanafari dan Razavi, 2014),
merupakan mikroflora alami laut dan perairan pantai yang berhubungan dengan
mortalitas udang larva di pembenihan udang penaeid (Chrisolite, Thiyagarajan,
Alavandi, Abhilash, Kalaimani, Vijayan dan Santiago, 2008). V. harveyi
merupakan organisme penyebab utama vibriosis berpendar, yang menyebabkan
10
potensi kehancuran untuk rentang beragam invertebrata laut di wilayah geografis
yang luas. Mikroorganisme ini, bagaimanapun, adalah sangat sulit untuk
mengidentifikasi karena mereka bersifat fenotip beragam (Chari dan Dubey,
2006).
Di habitat alami V. harveyi terdapat populasi campuran dari spesies
bakteri lain. Kemampuan untuk mengenali dan menanggapi beberapa sinyal
autoinducer dari asal yang berbeda dapat memungkinkan V. harveyi untuk
memantau kepadatan sel populasinya sendiri dan juga kepadatan populasi
bakteri lain di lingkungan terdekat. Kemampuan ini bisa memungkinkan V.
harveyi untuk mengukur ketika dirinya merupakan mayoritas atau minoritas dari
seluruh total populasi (Miller dan Bassler, 2001).
2.1.3 Infeksi V. harveyi dan Gejalanya
V. harveyi merupakan bakteri patogen pada ikan dan udang laut yang
paling sering menimbulkan masalah serius dalam budidaya. Keberadaan V.
harveyi dalam jumlah >104 sel/mL dapat menyebabkan kematian massal dalam
waktu yang relatif singkat. Bakteri ini merupakan penyebab penyakit kunang-
kunang atau penyakit berpendar, karena krustasea yang terinfeksi akan terlihat
terang dalam keadaan gelap (malam hari). Bakteri ini merupakan penyebab
utama terhadap tingginya tingkat kematian pada larva krustasea (Muchlis, 2013).
Gejala klinis yang terjadi pasca infeksi V. harveyi seperti warna tubuh
yang memudar, moulting, pleopod yang memerah, tubuh yang memerah,
malanosis pada karapas, nekrosis pada ekor dan telson, hepatopankreas yang
berwarna kecoklatan disertai karapas yang melunak terdeteksi pada udang windu
pasca infeksi (Pratama et al., 2014). Sedangkan menurut Kurniawan dan
Susianingsih (2014), kerusakan organ pertama kali pada sistem pencernaan,
terutama bagian usus, lalu pada bagian hepatopankreas dan menyebar ke
11
bagian sel otot. Semakin lama udang terpapar dengan bakteri, maka kejadian
radang semakin banyak. Tidak hanya di organ dalam, namun radang juga terjadi
pada lapisan eksoskeleton (karapas).
Menurut Noermala (2012), ko-infeksi V. harveyi dan IMNV menunjukkan
gejala klinis seperti timbulnya nekrosis pada ruas permukaan tubuh, kehilangan
transparansi pada permukaan tubuhnya, usus udang tidak terisi penuh, dan
ketika udang mengalami kematian seluruh tubuh udang akan berwarna putih
susu yang diawali dari pangkal ekor dan akhirnya udang akan bewarna
kemerahan. Selain itu juga terdapat abnormalitas warna organ limfoid dan
abnormalitas bentuk usus. Kurniawan dan Susianingsih (2014) menyatakan
perbedaan tingkat virulensi V. harveyi ditentukan oleh faktor genetik setiap strain.
Pada beberapa kasus, aktivitas fage berperan besar meningkatkan patogenitas
strain bakteri.
2.1.4 Media Biakan Bakteri V. harveyi
V. harveyi yang akan diuji ditanam pada media TCBSA (Thiosulfate
Citrate Bile Salt Sucrose Agar) selama 24 jam (Kadriah dan Nurhidayah, 2014).
Untuk menumbuhkan koloni yang diduga sebagai Vibrio digunakan media selektif
Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) Agar. Pertumbuhan koloni pada
media TCBS Agar yang diduga sebagai Vibrio yaitu koloni yang berwarna kuning
dan hijau kebiruan (Mewengkang, 2010).
Menurut Kadriah, Susianingsih dan Kurniawan (2013), media TCBSA
dibuat dengan cara menimbang sebanyak 89 g TCBSA dan dilarutkan ke dalam
1.000 mL aquades steril. Larutan ini kemudian dimasak hingga mendidih dan
disterilkan menggunakan autoklaf. Setelah steril dan suhunya telah sesuai
dengan suhu ruang kemudian dituang ke plate (petri dish) steril masing-masing
sebanyak 20 mL/plate. Inokulasi bakteri pada media TCBSA dilakukan dengan
12
cara mengambil sebanyak 100 mikron (0,1 mL) biakan bakteri dalam NB dan
disebarkan secara merata ke media TCBSA tersebut.
2.2 Tanaman Ketapang (T. catappa) 2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Ketapang (T. catappa)
Menurut Jagessar dan Alleyne (2011), adapun klasifikasi tanaman
ketapang ialah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliphyta
Class : Magnoliopsida
Order : Myrtales
Family : Combretaceae
Genus : Terminalia
Species : T. catappa
13
Gambar 2. Tanaman Ketapang (T. catappa): (a) Pohon Tanaman Ketapang, (b)
Daun dan Buah Ketapang (Sari, 2015).
T. catappa adalah pohon tropis yang besar dalam keluarga pohon
Leadwood, Combretaceae. Tumbuh sampai 35 meter (115 kaki), dengan tegak,
mahkota dan cabangnya simetris horisontal. Memiliki kulit pohon bergabus,
buahnya bercahaya yang disebarkan oleh air. Biji dalam buah dimakan ketika
sudah masak, rasanya hampir seperti almond. Daun yang besar, panjang 15—25
cm dan lebar 10—14 cm, bulat telur, mengkilap hijau gelap dan kasar. Ketika
musim kemarau daun berguguran; sebelum jatuh, mereka berubah warna
a
b
Daun Ketapang
Biji Ketapang
14
menjadi merah muda kemerahan atau kuning kecoklatan, karena pigmen seperti
violaxanthin, lutein, dan zeaxanthin. Bunganya monoesius, jantan yang terpisah
dengan bunga betina pada pohon yang sama. Keduanya memiliki diameter 1 cm,
putih sampai kehijauan, tidak mencolok tanpa kelopak. Mereka diproduksi di
ketiak atau terminal cabang (Jagessar dan Alleyne, 2011). Menurut Suwarso,
Gani dan Kusyanto (2008), di Indonesia pohon ketapang dikenal dengan
beberapa nama: ketapang (Indonesia & Jawa), geutapang (Aceh), hatapang
(Batak), katapieng (Sumatra Barat), katapang (Bali), Salrise (Sulawesi) dan kalis
(Irian Jaya).
2.2.2 Habitat dan Penyebaran Tanaman Ketapang (T. catappa)
T. catappa L. termasuk dalam famili Combretaceae. Termasuk pohon
yang secara luas ditanam di India dan Burma (Nair dan Chanda, 2008).
Sedangkan menurut Riskitavani dan Purwani (2013), ketapang (T. catappa)
termasuk salah satu tanaman yang dapat tumbuh di tanah yang kurang nutrisi
dan tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia sehingga mudah untuk
dibudidayakan. Selama ini masyarakat hanya mengenal tanaman ketapang
sebagai tanaman peneduh kota dan belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai
ekonomisnya masih rendah.
Menurut Suwarso et al. (2008), T. catappa Linn. (ketapang) merupakan
pohon pantai dengan daerah penyebarannya cukup luas. Berasal dari daerah
tropis di India, kemudian menyebar ke Asia Tenggara, Australia Utara dan
Polynesia di Samudra Pasifik. Pohon ini merontokkan daunnya dua kali dalam
satu tahun, yaitu pada bulan Januari—Februari—Maret dan pada bulan Juli—
Agustus—September. Selain tumbuh secara liar di pantai, pohon ini sering
ditanam sebagai pohon peneduh di dataran rendah. Oleh karena itu, pohon
ketapang juga ditanam sebagai pohon hias di kota-kota. Pohon ketapang ini juga
15
merupakan salah satu jenis pohon peneduh, baik di kampus UI Salemba maupun
di sepanjang jalan lingkar Kampus UI Depok.
2.2.3 Kandungan Tanaman Ketapang (T. catappa)
Menurut Akharaiyi, Ilori dan Adesida (2011), T. catappa (almond tropis)
adalah pohon yang gugur saat kemarau. Daunnya mengandung agen untuk
kemoprevensi kanker dan potensi anti kanker. Sedangkan menurut Jagessar dan
Alleyne (2011), daunnya mengandung beberapa flavonoid seperti kaempferol
atau quercetin (Gambar 3), beberapa tanin (punicalin, punicalagin atau tercatin),
saponines dan pitosterol. Daun dan juga kulit kayu digunakan dalam obat-obatan
tradisional yang berbeda untuk berbagai tujuan. Di Taiwan, daun-daun yang jatuh
digunakan sebagai ramuan untuk mengobati penyakit hati. Di Suriname, teh yang
terbuat dari daun diresepkan untuk disentri dan diare. Daunnya diduga
mengandung agen untuk pencegahan kanker, meskipun mereka belum
menunjukkan sifat anti kanker dan antioksidan serta karakteristik anticlastogenic.
Daun yang disimpan didalam akuarium dikatakan dapat menurunkan pH dan
logam berat pada air. Ketapang juga dipercaya membantu mencegah
pembentukan jamur pada telur ikan.
Gambar 3. Quercetin (Jagessar dan Alleyne, 2011).
16
Kulit batang T. catappa kaya tanin, buahnya mengandung asam askorbat
dan bijinya mengandung minyak. Buahnya terasa pahit, pedas, sebagai
astringent dan afrodisiak. Daunnya maturant dan emollient; perasan daun
digunakan dalam pembuatan salep untuk kudis, lepra dan penyakit kulit lainnya.
Buahnya berguna untuk bronkitis dan bowel. Kulit akarnya diberikan untuk
disentri dan diare. Buahnya digunakan sebagai antidiabetes, akarnya
menunjukkan aktivitas antimikroba (Nair dan Chanda, 2008).
2.2.4 Manfaat
Kandungan biji ketapang berpotensi untuk dijadikan bahan pengganti
kedelai dalam pembuatan tahu karena mengandung protein yang cukup tinggi.
Berdasarkan analisis proksimat pada biji ketapang mengandung 4,13% air,
23,78% protein, 4,27% abu, 4,94% serat, 51,80% lemak, 16,02% karbohidrat dan
548,78 Kkal Kalori. Dan ditemukan beberapa mineral yang baik seperti Kalium
(9280±0,14 mg/100g) yang tinggi, diikuti dalam urutan dengan kalsium
(827,20±2,18 mg/100g), magnesium (798,6±0,32 mg/100g) dan sodium
(27,89±0,42 mg/100g) (Matos, Nzikou, Kimbonguila, Ndangui, Pambou-Tobi,
Abena, Silou, Scher dan Desobry, 2009).
Biji ketapang dapat diperoleh secara gratis karena dianggap sampah dan
tidak bernilai. Biji ini dapat diperoleh dimana saja karena pohon ketapang ini
merupakan salah satu pohon yang banyak dijumpai di kota Solo sebagai
tanaman peneduh area parkir ataupun peneduh jalan. Selain sebagai peneduh
jalan pohon ketapang ini memang tidak dimanfaatkan lagi. Daun dan buahnya
yang gugur hanya sebagai sampah yang akan dibuang. Berdasarkan beberapa
informasi buah ketapang ini memang sudah dimanfaatkan kulitnya sebagai briket,
sedangkan bijinya telah dimanfaatkan sebagai beberapa produk industri seperti
17
tepung, selai, kecap dan sumber minyak nabati tetapi belum maksimal terutama
di Indonesia (Rohayati, 2015).
Menurut Suwarso et al. (2008), bagian dari tanaman ini hampir
seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Air rebusan akarnya
dapat digunakan untuk mengobati beser (sering kencing) dan radang selaput
lendir usus. Kulit kayu dan daunnya dapat digunakan untuk menyamak kulit,
sebagai bahan pencelup kain dan untuk membuat tinta serta dapat digunakan
sebagai obat sariawan, karena kandungan taninnya tinggi. Di Papua Nugini air
perasan daun bunga ketapang yang dicampur dengan air minum, digunakan
sebagai sterilisasi pada wanita. Inti biji buah ketapang dapat dimakan mentah,
rasanya gurih seperti buah kenari. Inti biji buah ketapang ini digunakan sebagai
obat penggiat fungsi kelenjar susu (mempercepat produksi air susu) dan
memperlancar buang air besar.
2.2.5 Bahan Aktif
Ketapang diketahui mengandung senyawa obat seperti flavonoid,
alkaloid, tannin, triterpenoid/steroid, resin, saponin. Selain itu, kehadiran
flavonoid, terpenoid, steroid, kuinon, tannin dan saponin pada ekstrak daun
ketapang (T. catappa) dapat diindikasikan untuk menjadi herbisida nabati
(bioherbisida) (Riskitavani dan Purwani 2013). Sedangkan menurut Ahmed,
Swamy, Dhanapal dan Chandrashekara (2005), ekstrak air daun T. catappa
memperlihatkan adanya kegiatan anti hiperglikemik pada tikus yang diinduksi
diabetes. Ekstrak ini menunjukkan perbaikan dalam parameter seperti berat
badan dan profil lipid serta regenerasi sel pankreas yang bermanfaat dalam
pengobatan diabetes.
Menurut Nurrani, Kinho dan Tabba (2014), senyawa flavonoid dan tannin
(Gambar 4) yang terdapat pada kulit ketapang, kulit kayu manumpang, batang
18
tanduk rusa dan akar cakar kucing juga berpotensi dapat menurunkan gula
darah. Sedangkan menurut Aminah, Prayitno dan Sarjito (2014), ikan mas pada
perlakuan B, C dan D mengalami perubahan tingkah laku yang semakin
membaik, terutama respon pakan kembali meningkat pada hari ke 5 dan proses
penyembuhan luka terlihat mulai hari ke 7 pasca perendaman. Proses
penyebuhan terlihat seperti bekas luka mulai mengecil, kemudian bekas luka
tersebut mengering. Hal ini diduga karena adanya bahan aktif yang terkandung
dalam ekstrak daun ketapang. Tanin memiliki daya antibakteri dengan cara
mempresipitasikan protein. Secara umum efek antibakteri tanin antara lain reaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim dan inaktivasi fungsi materi genetik
bakteri. Menurut Babayi, Kolo, Okogun dan Ijah (2004), skrining fitokimia dari
ekstrak kasar E. camaldulensis dan T. catappa menunjukkan sumber daya yang
kedua tanaman memiliki saponin dan tanin. T. catappa memiliki glikosida
saponin, steroid, glikosida digitalis (jantung) dan fenol.
Gambar 4. Bahan Aktif pada Ketapang (T. catappa) (Nurrani et al., 2014).
19
2.3 Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses untuk menginaktivasi total mikroba hidup.
Sterilisasi dapat menggunakan desinfektan, bahan-bahan kimia, ultraviolet,
pengeringan dengan sinar matahari, autoklaf, panci bertekanan atau oven.
Peralatan seperti gelas kaca, tutup stoples, selang aerasi dan peralatan-
peralatan lain dicuci dengan sabun lalu dibilas hingga bersih dengan air tawar
lalu dikeringkan. Terkadang dijemur dibawah sinar matahari sampai seluruh air
menguap. Peralatan seperti selang aerasi setelah benar-benar kering dikukus
dalam uap air mendidih selama ±15 menit lalu dibiarkan mendingin dan kering
baru bisa digunakan lagi. Peralatan seperti tabung erlenmeyer dicuci seperti
peralatan lain lalu dikeringkan sampai benar-benar kering. Setelah itu mulut
tabung erlenmeyer disumbat dengan kapas dan kain kassa steril dan terakhir
ditutup dengan alumunium foil lalu disterilisasi dalam oven, autoklaf atau diatas
api kecil (Bangun, Hutabarat dan Ain, 2015).
Sterilisasi merupakan bagian yang sangat penting atau merupakan
keharusan, baik pada alat maupun media (Rachmawati dan Triyana, 2008).
Seluruh alat yang digunakan dicuci dengan air dan cairan pembersih lalu
dikeringkan. Setelah dicuci, khusus cawan petri dibungkus dengan kertas putih
lalu dimasukkan kedalam oven sampai suhu mencapai 150°C, sedangkan untuk
bahan dan alat lainnya disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama 1—2
jam yang diatur tekanannya sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm) dan suhu sebesar
120°C (Rahma, 2015).
20
2.4 Ekstraksi
Menurut Mukhriani (2014), ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan
dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan
melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh
karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas
dan ukuran molekul yang sama. Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang
berasal dari tumbuhan adalah sebagai berikut:
1. Pengelompokkan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan
penggilingan bagian tumbuhan.
2. Pemilihan pelarut.
3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.
4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.
5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petroleum eter, kloroform, dan sebagainya.
Maserasi merupakan metode ekstrasi dengan cara perendaman tanpa
melibatkan panas sedangkan soxhletasi merupakan metode ekstraksi dengan
pelarut yang mengalir dan menggunakan panas (Astuti, 2012). Maserasi
merupakan cara penyarian yang relatif lebih sederhana bila di bandingkan
metode lainnya. Hal ini dikarenakan cara pengerjaanya sederhana dan
peralatannya yang mudah diusahakan (Indraswari, 2008). Metode maserasi
dipilih untuk preoses ekstraksi dengan tujuan menghindari adanya perubahan
senyawa kimia yang mungkin terjadi karena adanya pemanasan dapat
menyebabkan kerusakan senyawa kimia. Maserasi sendiri merupakan salah satu
cara penyarian dingin yang mudah dilakukan dengan alat dan pengerjaannya
yang sederhana (Agustin, 2015).
21
2.5 Antimikroba
Efektifitas antimikroba dalam mengawetkan bahan makanan terjadi baik
dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung
memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme. Pengaruh komponen
antimikroba terhadap sel mikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang
berlanjut pada proses kematian. Kerusakan yang ditimbulkan komponen
antimikroba dapat bersifat bakterisidal yang bersifat tetap, atau bakteriostatik
yang bersifat dapat pulih kembali (Parhusip, Yasni dan Elisabeth, 2003).
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Nuraini 2007). Sedangkan
menurut Jauhari (2010), penyakit infeksi oleh mikroba patogen merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di beberapa negara berkembang termasuk
Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan antimikroba yang
bisa menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Antimikroba tersebut salah
satunya dapat diperoleh dari metabolit sekunder tanaman obat atau dari
metabolit sekunder mikroba endofit yang tumbuh dalam jaringan tersebut. Suatu
zat antimikroba ketika akan diuji aktivitas antimikrobanya, maka bakteri uji yang
di gunakan harus dalam keadaan fase aktif pembelahan sel dengan laju yang
konstan.
2.6 Antibakteri
Senyawa aktif sangat banyak memiliki manfaat bagi manusia khususnya
dibidang kesehatan, zat antibakteri dimanfaatkan sebagai obat dalam
penyembuhan beberapa penyakit yang disebabkan karena bakteri. Antibakteri
menghambat sintesis dinding sel bakteri atau mengubah struktur (susunan)
dinding sel, kemudian mengganggu fungsi sel membran, dan mempengaruhi
sintesis protein atau metabolisme asam nukleat. Kandungan senyawa antibakteri
22
dapat ditemukan hampir disetiap organisme baik yang berasal dari darat maupun
dari perairan laut dan tumbuhan baik itu tumbuhan yang ada di darat maupun
tumbuhan yang berada di laut (Nurfadilah, 2013).
Perbedaan sensitivitas bakteri terhadap antibakteri dipengaruhi oleh
struktur dinding sel bakteri. Bakteri gram positif cenderung lebih sensitif terhadap
antibakteri, karena struktur dinding sel bakteri gram positif lebih sederhana
dibandingkan struktur dinding sel bakteri gram negatif sehingga memudahkan
senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri gram positif. Pada
umumnya, diameter zona hambat cenderung meningkat sebanding dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak. Tetapi ada penurunan luas zona hambat pada
beberapa konsentrasi yang lebih besar, seperti pada bakteri gram negatif saat
konsentrasi 20,0 mg (Dewi, 2010).
2.7 Uji Aktivitas Antibakteri secara In Vitro
Menurut Silaban (2009), uji aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro
dengan metode difusi agar. Menurut Prayoga (2013), metode uji antibakteri
dibagi menjadi difusi, dilusi dan difusi dilusi. Metode difusi disk dan sumuran
merupakan metode difusi, yang menggunakan media padat. Banyak penelitian
yang menggunakan metode difusi disk, metode sumuran masih jarang digunakan
untuk penelitian.
Menurut Kusmiyati dan Agustini (2007), metode difusi merupakan salah
satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu
metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode silinder yaitu meletakkan
beberapa silinder yang terbuat dari gelas atau besi tahan karat di atas media
agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian
rupa hingga berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan diuji dan
diinkubasi. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada
23
tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder. Metode lubang yaitu membuat
lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak
lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diisi dengan
larutan yang akan diuji. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk
melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang. Metode cakram
kertas yaitu meletakkan cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas
media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Setelah diinkubasi,
pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan
disekeliling cakram.
Sedangkan menurut Aryadi (2014), daerah bening merupakan petunjuk
kepekaan bakteri terhadap antibiotik atau bahan antibakteri lainnya yang
digunakan sebagai bahan uji yang dinyatakan dengan lebar diameter zona
hambat. Diameter zona hambat dihitung dalam satuan millimeter (mm)
menggunakan jangka sorong. Kemudian diameter zona hambat tersebut
dikategorikan kekuatan daya antibakterinya berdasarkan penggolongan Davis
and Stout, yaitu sebagai berikut:
a. Diameter zona bening 20 mm atau lebih artinya daya hambat sangat kuat.
b. Diameter zona bening 10—20 mm artinya daya hambat kuat.
c. Diameter zona bening 5—10 mm artinya daya hambat sedang.
d. Diameter zona bening 2—5 mm artinya daya hambat lemah.
2.8 Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)
Menurut Sujatno, Salam, Bandriyana dan Dimyati (2015), teknik
karakterisasi konvensional yang berbasis pada panjang gelombang 650 nm
keatas, seperti mikroskop optik pada analisis metalografi tidak memiliki resolusi
yang cukup untuk mendapatkan informasi ilmiah yang diharapkan. Oleh karena
itu diperlukan metode identifikasi dan karakterisasi lain yang dapat memberikan
24
resolusi yang lebih tinggi sehingga dapat memberikan bantuan “penglihatan” bagi
para peneliti untuk dapat mengamati apa yang terjadi di dalam dan sekitar
interface antara bahan dengan lapisan oksida secara detil atau bahkan secara In-
Situ. Untuk keperluan tersebut, Scanning Electron Microscopy (SEM) dipahami
sebagai teknik yang sesuai yang diterima dan diakui oleh komunitas peneliti
material dunia, ini ditandai dengan diberikannya penghargaan Nobel terhadap
para penemunya, Ernst Ruska dan Max Knoll.
Menurut Gunawan dan Azhari (2010), Scanning Electron Microscopy
(SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai
pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM
bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur. Berkas sinar elektron dihasilkan dari
filamen yang dipanaskan, disebut electron gun. Sistem penyinaran dan lensa
pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang
menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat
memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan
cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas.