17
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath, Stanley dan Williams (1994), klasifikasi bakteri V. harveyi adalah sebagai berikut: Kingdom: Prokaryota Divisi : Bacteria Ordo : Eubacteriales Family : Vibrionaceae Genus : Vibrio Spesies : V. harveyi Gambar 1. V. harveyi (Muchlis, 2013). Berdasarkan pedoman Identifikasi Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Buchsan dan Gibbons, 1974), Lightner (1996) mengatakan bahwa V. harveyi termasuk bakteri gram negatif yang memiliki afinitas rendah terhadap kristal violet, warna ini akan hilang dengan pemberian alkohol, menyebabkan dinding selnya akan terwarnai pewarna kedua yaitu karbo fuchsin. Dinding sel

2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi

Menurut Holt, Krieg, Sneath, Stanley dan Williams (1994), klasifikasi

bakteri V. harveyi adalah sebagai berikut:

Kingdom: Prokaryota

Divisi : Bacteria

Ordo : Eubacteriales

Family : Vibrionaceae

Genus : Vibrio

Spesies : V. harveyi

Gambar 1. V. harveyi (Muchlis, 2013).

Berdasarkan pedoman Identifikasi Bergey’s Manual of Determinative

Bacteriology (Buchsan dan Gibbons, 1974), Lightner (1996) mengatakan bahwa

V. harveyi termasuk bakteri gram negatif yang memiliki afinitas rendah terhadap

kristal violet, warna ini akan hilang dengan pemberian alkohol, menyebabkan

dinding selnya akan terwarnai pewarna kedua yaitu karbo fuchsin. Dinding sel

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

9

bakteri gram negatif lebih tipis dan banyak mengandung lemak dan akan mudah

larut apabila terkena alkohol. Hilangnya (lunturnya) lemak akan membawa serta

warna pertama yang mengenainya, yang akan nampak warna merah dari

pewarna karbo fuchsin. Berdasarkan uji motilitas, setelah masa inkubasi 24 jam,

bakteri tumbuh menyebar. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri bersifat motil

(Prajitno, 2008).

Penyakit bakterial terutama karena vibriosis dalam budidaya udang

panaeid melibatkan beberapa spesies vibrio. V. harveyi dianggap sebagai agen

penyebab penting dari vibriosis sistemik, yang terjadi dalam setiap bidang hayati.

Virulensi bakteri ini disebabkan oleh produksi dan ekspresi beberapa faktor

virulen seperti hemolisin (Ramesh, Natarajan, Sridhar dan Umamaheswari,

2014). Hal ini sesuai dengan pernyataan Prajitno (2008), serangan penyakit

bakterial yang paling serius dan sering menyebabkan kematian masal pada larva

udang windu adalah serangan bakteri berpendar yang diidentifikasi sebagai V.

harveyi. Bakteri V. harveyi pada umumnya menyerang larva udang pada stadia

zoea, mysis dan awal post larva, sehingga merupakan kendala dalam

penyediaan benih udang yang sehat dalam jumlah besar.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran Bakteri V. harveyi

V. harveyi ditemukan di habitat-habitat akuatik, sebagian pada air laut,

lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan hewan laut (Prajitno 2005). Gram

negatif, berbentuk batang, bakteri motil dan halofilik diidentifikasi sebagai V.

harveyi (Mirbakhsh, Akhavan, Afsharnasab, Khanafari dan Razavi, 2014),

merupakan mikroflora alami laut dan perairan pantai yang berhubungan dengan

mortalitas udang larva di pembenihan udang penaeid (Chrisolite, Thiyagarajan,

Alavandi, Abhilash, Kalaimani, Vijayan dan Santiago, 2008). V. harveyi

merupakan organisme penyebab utama vibriosis berpendar, yang menyebabkan

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

10

potensi kehancuran untuk rentang beragam invertebrata laut di wilayah geografis

yang luas. Mikroorganisme ini, bagaimanapun, adalah sangat sulit untuk

mengidentifikasi karena mereka bersifat fenotip beragam (Chari dan Dubey,

2006).

Di habitat alami V. harveyi terdapat populasi campuran dari spesies

bakteri lain. Kemampuan untuk mengenali dan menanggapi beberapa sinyal

autoinducer dari asal yang berbeda dapat memungkinkan V. harveyi untuk

memantau kepadatan sel populasinya sendiri dan juga kepadatan populasi

bakteri lain di lingkungan terdekat. Kemampuan ini bisa memungkinkan V.

harveyi untuk mengukur ketika dirinya merupakan mayoritas atau minoritas dari

seluruh total populasi (Miller dan Bassler, 2001).

2.1.3 Infeksi V. harveyi dan Gejalanya

V. harveyi merupakan bakteri patogen pada ikan dan udang laut yang

paling sering menimbulkan masalah serius dalam budidaya. Keberadaan V.

harveyi dalam jumlah >104 sel/mL dapat menyebabkan kematian massal dalam

waktu yang relatif singkat. Bakteri ini merupakan penyebab penyakit kunang-

kunang atau penyakit berpendar, karena krustasea yang terinfeksi akan terlihat

terang dalam keadaan gelap (malam hari). Bakteri ini merupakan penyebab

utama terhadap tingginya tingkat kematian pada larva krustasea (Muchlis, 2013).

Gejala klinis yang terjadi pasca infeksi V. harveyi seperti warna tubuh

yang memudar, moulting, pleopod yang memerah, tubuh yang memerah,

malanosis pada karapas, nekrosis pada ekor dan telson, hepatopankreas yang

berwarna kecoklatan disertai karapas yang melunak terdeteksi pada udang windu

pasca infeksi (Pratama et al., 2014). Sedangkan menurut Kurniawan dan

Susianingsih (2014), kerusakan organ pertama kali pada sistem pencernaan,

terutama bagian usus, lalu pada bagian hepatopankreas dan menyebar ke

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

11

bagian sel otot. Semakin lama udang terpapar dengan bakteri, maka kejadian

radang semakin banyak. Tidak hanya di organ dalam, namun radang juga terjadi

pada lapisan eksoskeleton (karapas).

Menurut Noermala (2012), ko-infeksi V. harveyi dan IMNV menunjukkan

gejala klinis seperti timbulnya nekrosis pada ruas permukaan tubuh, kehilangan

transparansi pada permukaan tubuhnya, usus udang tidak terisi penuh, dan

ketika udang mengalami kematian seluruh tubuh udang akan berwarna putih

susu yang diawali dari pangkal ekor dan akhirnya udang akan bewarna

kemerahan. Selain itu juga terdapat abnormalitas warna organ limfoid dan

abnormalitas bentuk usus. Kurniawan dan Susianingsih (2014) menyatakan

perbedaan tingkat virulensi V. harveyi ditentukan oleh faktor genetik setiap strain.

Pada beberapa kasus, aktivitas fage berperan besar meningkatkan patogenitas

strain bakteri.

2.1.4 Media Biakan Bakteri V. harveyi

V. harveyi yang akan diuji ditanam pada media TCBSA (Thiosulfate

Citrate Bile Salt Sucrose Agar) selama 24 jam (Kadriah dan Nurhidayah, 2014).

Untuk menumbuhkan koloni yang diduga sebagai Vibrio digunakan media selektif

Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) Agar. Pertumbuhan koloni pada

media TCBS Agar yang diduga sebagai Vibrio yaitu koloni yang berwarna kuning

dan hijau kebiruan (Mewengkang, 2010).

Menurut Kadriah, Susianingsih dan Kurniawan (2013), media TCBSA

dibuat dengan cara menimbang sebanyak 89 g TCBSA dan dilarutkan ke dalam

1.000 mL aquades steril. Larutan ini kemudian dimasak hingga mendidih dan

disterilkan menggunakan autoklaf. Setelah steril dan suhunya telah sesuai

dengan suhu ruang kemudian dituang ke plate (petri dish) steril masing-masing

sebanyak 20 mL/plate. Inokulasi bakteri pada media TCBSA dilakukan dengan

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

12

cara mengambil sebanyak 100 mikron (0,1 mL) biakan bakteri dalam NB dan

disebarkan secara merata ke media TCBSA tersebut.

2.2 Tanaman Ketapang (T. catappa) 2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Ketapang (T. catappa)

Menurut Jagessar dan Alleyne (2011), adapun klasifikasi tanaman

ketapang ialah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliphyta

Class : Magnoliopsida

Order : Myrtales

Family : Combretaceae

Genus : Terminalia

Species : T. catappa

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

13

Gambar 2. Tanaman Ketapang (T. catappa): (a) Pohon Tanaman Ketapang, (b)

Daun dan Buah Ketapang (Sari, 2015).

T. catappa adalah pohon tropis yang besar dalam keluarga pohon

Leadwood, Combretaceae. Tumbuh sampai 35 meter (115 kaki), dengan tegak,

mahkota dan cabangnya simetris horisontal. Memiliki kulit pohon bergabus,

buahnya bercahaya yang disebarkan oleh air. Biji dalam buah dimakan ketika

sudah masak, rasanya hampir seperti almond. Daun yang besar, panjang 15—25

cm dan lebar 10—14 cm, bulat telur, mengkilap hijau gelap dan kasar. Ketika

musim kemarau daun berguguran; sebelum jatuh, mereka berubah warna

a

b

Daun Ketapang

Biji Ketapang

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

14

menjadi merah muda kemerahan atau kuning kecoklatan, karena pigmen seperti

violaxanthin, lutein, dan zeaxanthin. Bunganya monoesius, jantan yang terpisah

dengan bunga betina pada pohon yang sama. Keduanya memiliki diameter 1 cm,

putih sampai kehijauan, tidak mencolok tanpa kelopak. Mereka diproduksi di

ketiak atau terminal cabang (Jagessar dan Alleyne, 2011). Menurut Suwarso,

Gani dan Kusyanto (2008), di Indonesia pohon ketapang dikenal dengan

beberapa nama: ketapang (Indonesia & Jawa), geutapang (Aceh), hatapang

(Batak), katapieng (Sumatra Barat), katapang (Bali), Salrise (Sulawesi) dan kalis

(Irian Jaya).

2.2.2 Habitat dan Penyebaran Tanaman Ketapang (T. catappa)

T. catappa L. termasuk dalam famili Combretaceae. Termasuk pohon

yang secara luas ditanam di India dan Burma (Nair dan Chanda, 2008).

Sedangkan menurut Riskitavani dan Purwani (2013), ketapang (T. catappa)

termasuk salah satu tanaman yang dapat tumbuh di tanah yang kurang nutrisi

dan tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia sehingga mudah untuk

dibudidayakan. Selama ini masyarakat hanya mengenal tanaman ketapang

sebagai tanaman peneduh kota dan belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai

ekonomisnya masih rendah.

Menurut Suwarso et al. (2008), T. catappa Linn. (ketapang) merupakan

pohon pantai dengan daerah penyebarannya cukup luas. Berasal dari daerah

tropis di India, kemudian menyebar ke Asia Tenggara, Australia Utara dan

Polynesia di Samudra Pasifik. Pohon ini merontokkan daunnya dua kali dalam

satu tahun, yaitu pada bulan Januari—Februari—Maret dan pada bulan Juli—

Agustus—September. Selain tumbuh secara liar di pantai, pohon ini sering

ditanam sebagai pohon peneduh di dataran rendah. Oleh karena itu, pohon

ketapang juga ditanam sebagai pohon hias di kota-kota. Pohon ketapang ini juga

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

15

merupakan salah satu jenis pohon peneduh, baik di kampus UI Salemba maupun

di sepanjang jalan lingkar Kampus UI Depok.

2.2.3 Kandungan Tanaman Ketapang (T. catappa)

Menurut Akharaiyi, Ilori dan Adesida (2011), T. catappa (almond tropis)

adalah pohon yang gugur saat kemarau. Daunnya mengandung agen untuk

kemoprevensi kanker dan potensi anti kanker. Sedangkan menurut Jagessar dan

Alleyne (2011), daunnya mengandung beberapa flavonoid seperti kaempferol

atau quercetin (Gambar 3), beberapa tanin (punicalin, punicalagin atau tercatin),

saponines dan pitosterol. Daun dan juga kulit kayu digunakan dalam obat-obatan

tradisional yang berbeda untuk berbagai tujuan. Di Taiwan, daun-daun yang jatuh

digunakan sebagai ramuan untuk mengobati penyakit hati. Di Suriname, teh yang

terbuat dari daun diresepkan untuk disentri dan diare. Daunnya diduga

mengandung agen untuk pencegahan kanker, meskipun mereka belum

menunjukkan sifat anti kanker dan antioksidan serta karakteristik anticlastogenic.

Daun yang disimpan didalam akuarium dikatakan dapat menurunkan pH dan

logam berat pada air. Ketapang juga dipercaya membantu mencegah

pembentukan jamur pada telur ikan.

Gambar 3. Quercetin (Jagessar dan Alleyne, 2011).

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

16

Kulit batang T. catappa kaya tanin, buahnya mengandung asam askorbat

dan bijinya mengandung minyak. Buahnya terasa pahit, pedas, sebagai

astringent dan afrodisiak. Daunnya maturant dan emollient; perasan daun

digunakan dalam pembuatan salep untuk kudis, lepra dan penyakit kulit lainnya.

Buahnya berguna untuk bronkitis dan bowel. Kulit akarnya diberikan untuk

disentri dan diare. Buahnya digunakan sebagai antidiabetes, akarnya

menunjukkan aktivitas antimikroba (Nair dan Chanda, 2008).

2.2.4 Manfaat

Kandungan biji ketapang berpotensi untuk dijadikan bahan pengganti

kedelai dalam pembuatan tahu karena mengandung protein yang cukup tinggi.

Berdasarkan analisis proksimat pada biji ketapang mengandung 4,13% air,

23,78% protein, 4,27% abu, 4,94% serat, 51,80% lemak, 16,02% karbohidrat dan

548,78 Kkal Kalori. Dan ditemukan beberapa mineral yang baik seperti Kalium

(9280±0,14 mg/100g) yang tinggi, diikuti dalam urutan dengan kalsium

(827,20±2,18 mg/100g), magnesium (798,6±0,32 mg/100g) dan sodium

(27,89±0,42 mg/100g) (Matos, Nzikou, Kimbonguila, Ndangui, Pambou-Tobi,

Abena, Silou, Scher dan Desobry, 2009).

Biji ketapang dapat diperoleh secara gratis karena dianggap sampah dan

tidak bernilai. Biji ini dapat diperoleh dimana saja karena pohon ketapang ini

merupakan salah satu pohon yang banyak dijumpai di kota Solo sebagai

tanaman peneduh area parkir ataupun peneduh jalan. Selain sebagai peneduh

jalan pohon ketapang ini memang tidak dimanfaatkan lagi. Daun dan buahnya

yang gugur hanya sebagai sampah yang akan dibuang. Berdasarkan beberapa

informasi buah ketapang ini memang sudah dimanfaatkan kulitnya sebagai briket,

sedangkan bijinya telah dimanfaatkan sebagai beberapa produk industri seperti

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

17

tepung, selai, kecap dan sumber minyak nabati tetapi belum maksimal terutama

di Indonesia (Rohayati, 2015).

Menurut Suwarso et al. (2008), bagian dari tanaman ini hampir

seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Air rebusan akarnya

dapat digunakan untuk mengobati beser (sering kencing) dan radang selaput

lendir usus. Kulit kayu dan daunnya dapat digunakan untuk menyamak kulit,

sebagai bahan pencelup kain dan untuk membuat tinta serta dapat digunakan

sebagai obat sariawan, karena kandungan taninnya tinggi. Di Papua Nugini air

perasan daun bunga ketapang yang dicampur dengan air minum, digunakan

sebagai sterilisasi pada wanita. Inti biji buah ketapang dapat dimakan mentah,

rasanya gurih seperti buah kenari. Inti biji buah ketapang ini digunakan sebagai

obat penggiat fungsi kelenjar susu (mempercepat produksi air susu) dan

memperlancar buang air besar.

2.2.5 Bahan Aktif

Ketapang diketahui mengandung senyawa obat seperti flavonoid,

alkaloid, tannin, triterpenoid/steroid, resin, saponin. Selain itu, kehadiran

flavonoid, terpenoid, steroid, kuinon, tannin dan saponin pada ekstrak daun

ketapang (T. catappa) dapat diindikasikan untuk menjadi herbisida nabati

(bioherbisida) (Riskitavani dan Purwani 2013). Sedangkan menurut Ahmed,

Swamy, Dhanapal dan Chandrashekara (2005), ekstrak air daun T. catappa

memperlihatkan adanya kegiatan anti hiperglikemik pada tikus yang diinduksi

diabetes. Ekstrak ini menunjukkan perbaikan dalam parameter seperti berat

badan dan profil lipid serta regenerasi sel pankreas yang bermanfaat dalam

pengobatan diabetes.

Menurut Nurrani, Kinho dan Tabba (2014), senyawa flavonoid dan tannin

(Gambar 4) yang terdapat pada kulit ketapang, kulit kayu manumpang, batang

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

18

tanduk rusa dan akar cakar kucing juga berpotensi dapat menurunkan gula

darah. Sedangkan menurut Aminah, Prayitno dan Sarjito (2014), ikan mas pada

perlakuan B, C dan D mengalami perubahan tingkah laku yang semakin

membaik, terutama respon pakan kembali meningkat pada hari ke 5 dan proses

penyembuhan luka terlihat mulai hari ke 7 pasca perendaman. Proses

penyebuhan terlihat seperti bekas luka mulai mengecil, kemudian bekas luka

tersebut mengering. Hal ini diduga karena adanya bahan aktif yang terkandung

dalam ekstrak daun ketapang. Tanin memiliki daya antibakteri dengan cara

mempresipitasikan protein. Secara umum efek antibakteri tanin antara lain reaksi

dengan membran sel, inaktivasi enzim dan inaktivasi fungsi materi genetik

bakteri. Menurut Babayi, Kolo, Okogun dan Ijah (2004), skrining fitokimia dari

ekstrak kasar E. camaldulensis dan T. catappa menunjukkan sumber daya yang

kedua tanaman memiliki saponin dan tanin. T. catappa memiliki glikosida

saponin, steroid, glikosida digitalis (jantung) dan fenol.

Gambar 4. Bahan Aktif pada Ketapang (T. catappa) (Nurrani et al., 2014).

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

19

2.3 Sterilisasi

Sterilisasi adalah proses untuk menginaktivasi total mikroba hidup.

Sterilisasi dapat menggunakan desinfektan, bahan-bahan kimia, ultraviolet,

pengeringan dengan sinar matahari, autoklaf, panci bertekanan atau oven.

Peralatan seperti gelas kaca, tutup stoples, selang aerasi dan peralatan-

peralatan lain dicuci dengan sabun lalu dibilas hingga bersih dengan air tawar

lalu dikeringkan. Terkadang dijemur dibawah sinar matahari sampai seluruh air

menguap. Peralatan seperti selang aerasi setelah benar-benar kering dikukus

dalam uap air mendidih selama ±15 menit lalu dibiarkan mendingin dan kering

baru bisa digunakan lagi. Peralatan seperti tabung erlenmeyer dicuci seperti

peralatan lain lalu dikeringkan sampai benar-benar kering. Setelah itu mulut

tabung erlenmeyer disumbat dengan kapas dan kain kassa steril dan terakhir

ditutup dengan alumunium foil lalu disterilisasi dalam oven, autoklaf atau diatas

api kecil (Bangun, Hutabarat dan Ain, 2015).

Sterilisasi merupakan bagian yang sangat penting atau merupakan

keharusan, baik pada alat maupun media (Rachmawati dan Triyana, 2008).

Seluruh alat yang digunakan dicuci dengan air dan cairan pembersih lalu

dikeringkan. Setelah dicuci, khusus cawan petri dibungkus dengan kertas putih

lalu dimasukkan kedalam oven sampai suhu mencapai 150°C, sedangkan untuk

bahan dan alat lainnya disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama 1—2

jam yang diatur tekanannya sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm) dan suhu sebesar

120°C (Rahma, 2015).

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

20

2.4 Ekstraksi

Menurut Mukhriani (2014), ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan

dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi

dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam

pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut

dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan

melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh

karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas

dan ukuran molekul yang sama. Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang

berasal dari tumbuhan adalah sebagai berikut:

1. Pengelompokkan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan

penggilingan bagian tumbuhan.

2. Pemilihan pelarut.

3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.

4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.

5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petroleum eter, kloroform, dan sebagainya.

Maserasi merupakan metode ekstrasi dengan cara perendaman tanpa

melibatkan panas sedangkan soxhletasi merupakan metode ekstraksi dengan

pelarut yang mengalir dan menggunakan panas (Astuti, 2012). Maserasi

merupakan cara penyarian yang relatif lebih sederhana bila di bandingkan

metode lainnya. Hal ini dikarenakan cara pengerjaanya sederhana dan

peralatannya yang mudah diusahakan (Indraswari, 2008). Metode maserasi

dipilih untuk preoses ekstraksi dengan tujuan menghindari adanya perubahan

senyawa kimia yang mungkin terjadi karena adanya pemanasan dapat

menyebabkan kerusakan senyawa kimia. Maserasi sendiri merupakan salah satu

cara penyarian dingin yang mudah dilakukan dengan alat dan pengerjaannya

yang sederhana (Agustin, 2015).

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

21

2.5 Antimikroba

Efektifitas antimikroba dalam mengawetkan bahan makanan terjadi baik

dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung

memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme. Pengaruh komponen

antimikroba terhadap sel mikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang

berlanjut pada proses kematian. Kerusakan yang ditimbulkan komponen

antimikroba dapat bersifat bakterisidal yang bersifat tetap, atau bakteriostatik

yang bersifat dapat pulih kembali (Parhusip, Yasni dan Elisabeth, 2003).

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Nuraini 2007). Sedangkan

menurut Jauhari (2010), penyakit infeksi oleh mikroba patogen merupakan salah

satu masalah kesehatan utama di beberapa negara berkembang termasuk

Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan antimikroba yang

bisa menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Antimikroba tersebut salah

satunya dapat diperoleh dari metabolit sekunder tanaman obat atau dari

metabolit sekunder mikroba endofit yang tumbuh dalam jaringan tersebut. Suatu

zat antimikroba ketika akan diuji aktivitas antimikrobanya, maka bakteri uji yang

di gunakan harus dalam keadaan fase aktif pembelahan sel dengan laju yang

konstan.

2.6 Antibakteri

Senyawa aktif sangat banyak memiliki manfaat bagi manusia khususnya

dibidang kesehatan, zat antibakteri dimanfaatkan sebagai obat dalam

penyembuhan beberapa penyakit yang disebabkan karena bakteri. Antibakteri

menghambat sintesis dinding sel bakteri atau mengubah struktur (susunan)

dinding sel, kemudian mengganggu fungsi sel membran, dan mempengaruhi

sintesis protein atau metabolisme asam nukleat. Kandungan senyawa antibakteri

Page 15: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

22

dapat ditemukan hampir disetiap organisme baik yang berasal dari darat maupun

dari perairan laut dan tumbuhan baik itu tumbuhan yang ada di darat maupun

tumbuhan yang berada di laut (Nurfadilah, 2013).

Perbedaan sensitivitas bakteri terhadap antibakteri dipengaruhi oleh

struktur dinding sel bakteri. Bakteri gram positif cenderung lebih sensitif terhadap

antibakteri, karena struktur dinding sel bakteri gram positif lebih sederhana

dibandingkan struktur dinding sel bakteri gram negatif sehingga memudahkan

senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri gram positif. Pada

umumnya, diameter zona hambat cenderung meningkat sebanding dengan

meningkatnya konsentrasi ekstrak. Tetapi ada penurunan luas zona hambat pada

beberapa konsentrasi yang lebih besar, seperti pada bakteri gram negatif saat

konsentrasi 20,0 mg (Dewi, 2010).

2.7 Uji Aktivitas Antibakteri secara In Vitro

Menurut Silaban (2009), uji aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro

dengan metode difusi agar. Menurut Prayoga (2013), metode uji antibakteri

dibagi menjadi difusi, dilusi dan difusi dilusi. Metode difusi disk dan sumuran

merupakan metode difusi, yang menggunakan media padat. Banyak penelitian

yang menggunakan metode difusi disk, metode sumuran masih jarang digunakan

untuk penelitian.

Menurut Kusmiyati dan Agustini (2007), metode difusi merupakan salah

satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu

metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode silinder yaitu meletakkan

beberapa silinder yang terbuat dari gelas atau besi tahan karat di atas media

agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian

rupa hingga berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan diuji dan

diinkubasi. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada

Page 16: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

23

tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder. Metode lubang yaitu membuat

lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak

lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diisi dengan

larutan yang akan diuji. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk

melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang. Metode cakram

kertas yaitu meletakkan cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas

media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Setelah diinkubasi,

pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan

disekeliling cakram.

Sedangkan menurut Aryadi (2014), daerah bening merupakan petunjuk

kepekaan bakteri terhadap antibiotik atau bahan antibakteri lainnya yang

digunakan sebagai bahan uji yang dinyatakan dengan lebar diameter zona

hambat. Diameter zona hambat dihitung dalam satuan millimeter (mm)

menggunakan jangka sorong. Kemudian diameter zona hambat tersebut

dikategorikan kekuatan daya antibakterinya berdasarkan penggolongan Davis

and Stout, yaitu sebagai berikut:

a. Diameter zona bening 20 mm atau lebih artinya daya hambat sangat kuat.

b. Diameter zona bening 10—20 mm artinya daya hambat kuat.

c. Diameter zona bening 5—10 mm artinya daya hambat sedang.

d. Diameter zona bening 2—5 mm artinya daya hambat lemah.

2.8 Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)

Menurut Sujatno, Salam, Bandriyana dan Dimyati (2015), teknik

karakterisasi konvensional yang berbasis pada panjang gelombang 650 nm

keatas, seperti mikroskop optik pada analisis metalografi tidak memiliki resolusi

yang cukup untuk mendapatkan informasi ilmiah yang diharapkan. Oleh karena

itu diperlukan metode identifikasi dan karakterisasi lain yang dapat memberikan

Page 17: 2. TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/7123/3/BAB II.pdf · 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri V. harveyi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Bakteri V. harveyi Menurut Holt, Krieg, Sneath,

24

resolusi yang lebih tinggi sehingga dapat memberikan bantuan “penglihatan” bagi

para peneliti untuk dapat mengamati apa yang terjadi di dalam dan sekitar

interface antara bahan dengan lapisan oksida secara detil atau bahkan secara In-

Situ. Untuk keperluan tersebut, Scanning Electron Microscopy (SEM) dipahami

sebagai teknik yang sesuai yang diterima dan diakui oleh komunitas peneliti

material dunia, ini ditandai dengan diberikannya penghargaan Nobel terhadap

para penemunya, Ernst Ruska dan Max Knoll.

Menurut Gunawan dan Azhari (2010), Scanning Electron Microscopy

(SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai

pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM

bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur. Berkas sinar elektron dihasilkan dari

filamen yang dipanaskan, disebut electron gun. Sistem penyinaran dan lensa

pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang

menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat

memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan

cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas.