Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii • Proceedings
on Literature and Earth© Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, dkk.
Editor:
Dr. Wiyatmi, M.Hum., Dr. Else Liliani, M.Hum.,Dwi Budiyanto, M.Hum.
Diterbitkan oleh:Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI)Komisariat Universitas Negeri YogyakartaJl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)on Literature and Earth/Suminto A. SayutiYogyakarta: 2017
xvi + 2450 halaman, 17 x 25 cm
ISBN: 978-602-61439-0-7
Isi keseluruhan buku ini bukan tanggung jawabeditor, panitia penyelenggara HISKI dan penerbit.
• Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016
47
2277
2297
2312
2340
2360
2381
2394
2410
2423
REENCHANTMENT OF NATURE: THE WAY FANTASY MOVIEGIVING BACK TO NATURE, THEIR LIFE (AN ECOCRITICSTUDY TOWARDS FANTASY MOVIE)Rahmawati Azi
SASTRA HIJAU SEBAGAI MEDIA REPRESENTASIPERNYATAAN SIKAP DALAM SASTRA INDONESIA MODERNDr. Mukti Widayati, M. Hum.
EKSPLORASI EKOLOGI DALAM LIRIK KARYA MANG KOKOResti Nurfaidah
TEMA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PUISI INDONESIADI MEDIA MASSA YOGYAKARTA: 1980--2000Siti Ajar Ismiyati
REPRESENTASI KEARIFAN EKOLOGIS ORANG LAMPUNGDALAM LAGU TANAH LADODAN KONTRIBUSINYA SEBAGAIBAHAN PEMBELAJARAN BAHASA LAMPUNG DI SEKOLAHEka Sofia Agustina dan Farida Ariyani
TANTANGAN PENDIDIKAN CINTA LINGKUNGAN DI ETNIKJAWA DALAM SYAIR LAGU DOLANAN “E DHAYOHE TEKO”:ANTARA MAKNA PRAGMATIS TEKSTUAL DAN NILAIFILOSFISBenedictus Sudiyana
TOWARDS THE ENVIRONMENTAL AWARENESSSuryo Ediyono
REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP DALAM TRILOGIRONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARIHartono
PEMBELAJARAN MENULIS SASTRABERPRESPEKTIF EKOKRITIK: SEBUAH IKHTIAR MENUMBUHKAN KESADARAN KRITIS TERHADAP ALAMDwi Budiyanto
❧ “NOTULEN SEMINAR” 2434
PEMBELAJARAN MENULIS SASTRA BERPRESPEKTIF EKOKRITIK: SEBUAH IKHTIAR
MENUMBUHKAN KESADARAN KRITIS TERHADAP ALAM
Dwi Budiyanto Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta Email: [email protected]
ABSTRACT
This paper aims to explain the teaching and learning process of literary writing using ecocriticism in order to promote students' ecological awareness. The awareness would not only ease students to explore writing ideas, but also guide them to write beyond mechanical writing techniques. In ecocriticism, students are encouraged to have responsibility towards life and environment. Therefore, the writing subject should include in depth writing orientations as well as mechanical writing techniques.
Literary activities, either those with appreciative or expressive objectives, can also be designed in ecocritical perspective. Ecocriticism connects literary works with the real problemmatic ecological crisis, such as ecosystem damages, massive exploitation of natural resources, pollutions, illegal hunting, and so on.
The teaching and learning process of literary writing by ecocritical perspective involves the following principles, i.e. : (1) developing the ideas based on ecological point of view, (2) performing the production of text based on the process approach, (3) assigning students as the center of learning process by integrating individual and collective experiences, oral and written communicative competences, and also their capability in exploring literary works, (4) prioritizing comprehensive approach, and (5) aiming to build students' writing orientation. Keywords: literary writing, ecocriticism, ecological crisis, process approach
Pendahuluan
Krisis ekologi telah menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Krisis tersebut
telah menjadi isu serius yang menyita perhatian banyak pihak dari latar belakang yang
sangat beragam. Sekedar sebagai gambaran, Human Development Report (2007)
menyatakan bahwa 262 juta orang menjadi korban bencana iklim sebagai dampak dari
2423 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
pemanasan global pada tahun 2000-2004, 98% di antaranya adalah masyarakat di
dunia ketiga. Bencana tersebut terjadi sebagai dampak dari proses peningkatan suhu
antara 3–4oC yang menyebabkan 350 juta orang di dunia kehilangan tempat tinggal
akibat banjir. Selain itu, 334 juta orang berpotensi terkena dampak badai tropis akibat
peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix).
Selain kondisi di tingkat global, ternyata Indonesia juga memperlihatkan adanya
masalah-masalah ekologis yang tidak kalah serius. Banjir, tanah longsor, kebakaran
hutan, dan permasalahan ekologi lainnya merupakan ancaman serius bagi kehidupan
masyarakat Indonesia, bahkan juga telah menjadi ancaman bagi beberapa negara
tetangga, seperti dalam kasus kebakaran hutan. Hasil penelitian Yudhistira, Hidayat,
dan Hadiyarto (2011: 76-84) terhadap penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi
menunjukkan bahwa penambangan yang tidak terkelola dengan baik berpotensi
menimbulkan erosi, tanah longsor, berkurangnya debit air permukaan, dan sebagainya.
Satu aktivitas eksploitasi ternyata menimbulkan dampak yang sangat banyak dan
seluruhnya menjadi ancaman bagi kehidupan. Penambangan liar seperti terjadi di
kawasan Gunung Merapi hanyalah salah satu contoh bagaimana perilaku eksploitatif
eksesif telah merusak alam demi menjadikannya sebagai komoditas ekonomi dan alat
pemuas kepentingan manusia, sebagaimana dijelaskan Keraf (2014: 8).
Permasalahan ekologis ini jika dibiarkan akan menjadi ancaman yang
membahayakan kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk membangun
sinergitas antar semua pihak untuk menjaga alam dari segala perilaku eksploitasi
eksesif. Tanggung jawab ini semestinya tidak hanya menjadi perhatian departemen
lingkungan hidup dan para aktivis lingkungan hidup, tetapi harus menjadi kesadaran
kolektif semua pihak, termasuk dunia akademik, bahkan juga mereka yang bergerak di
bidang kesusastraan dan kesenian.
Munculnya kajian kritis multidisipliner antara sastra dan ekologi, yang lebih
dikenal sebagai “ekokritik sastra” patut disambut baik. Kajian ini, sebagaimana
dijelaskan Glotfelty (1996: xix), merupakan kajian tentang relasi antara sastra dan
lingkungan fisik. Dorongan agar sastra memiliki kontribusi positif dalam menangani
krisis ekologi terhubungkan dengan pandangan Garrard (2004: 4) bahwa sebagai
representasi sikap, pandangan, dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2424
sekitarnya, sastra sangat berpotensi mengungkapkan gagasan tentang lingkungan
beserta kearifannya. Terlebih karena karya sastra selalu berakar pada hidup dan
kehidupan serta manusia dan kemanusiaan.
Sebenarnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan manusia
sudah sejak lama diangkat dalam karya sastra Indonesia (Mahayana, 2005: 165).
Namun demikian, jumlahnya masih sangat terbatas. Di antara kelangkaan kritik
lingkungan dalam sastra, novel karya Martin Aleida Jamangilak Tak Pernah Menangis
(2002) yang bercerita gugatan terhadap pabrik rayon multinasional yang
mengeksploitasi Sungai Asahan adalah salah satu karya sastra Indonesia yang
menjadikan krisis ekologi sebagi persoalan yang diangkat dalam cerita (Dewi, 2015:
378). Penelitian yang dilakukan Wiyatmi (2014: 301-310) terhadapi novel Amba karya
Laksmi Pamunjtak (2012) mengenai kerusakan Pulau Buru akibat eksploitasi hutan dan
sumber daya alamnya menunjukkan bahwa beberapa karya sastra Indonesia mulai
menjadikan krisis ekologi sebagai inspirasi penceritaan. Cerpen-cerpen Indonesia juga
menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Muhajir (2014: 321-333) yang
meneliti cerpen-cerpen Indonesia memperlihatkan bahwa fenomena pengangkatan isu
ekologi dalam karya sastra Indonesia mulai menggejala, meskipun belum menjadi arus
utama.
Belum dijadikannya ekokritik sebagai arus utama dalam penciptaan karya sastra
berperspektif ekokritik terlihat dalam hasil penelitian Dewi (2015) terhadap cerpen-
cerpen di harian Kompas selama kurun 5 tahun. Dalam lima tahun harian Kompas hanya
memuat 25 cerpen berwawasan lingkungan. Itu artinya, hanya terdapat rata-rata lima
cerpen pertahun atau sepersepuluh jumlah cerpen yang terbit setiap pekannya dalam
setahun yang berwawasan lingkungan. Sementara itu, jumlah cerpen berawawasan
lingkungan yang dimuat di media lain selama kurun 2010-2015, antara lain Republika,
Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, dan Koran Tempo hanya ada 28 cerpen. Dari
perhitungan tersebut terlihat bahwa karya sastra berperspektif ekokritik belum
menjadi arus utama di negeri dengan krisis ekologi terbesar di dunia ini (Dewi, 2015:
387-388).
Dengan melihat realita tersebut maka selain perlunya peningkatan jumlah kajian
dan apresiasi terhadap karya sastra berwawasan lingkungan, perlu pula peningkatan
2425 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
ketersediaan karya sastra berperspektif ekokritik. Narasi ini sejalan dengan
rekomendasi Dewi (2015: 389) dalam hasil penelitiannya setelah menyimpulkan bahwa
ternyata sastra Indonesia kontemporer belum menjadikan ekokritik sebagai arus
utama. Ini artinya, perlu segera digagas dan dirintis (salah satunya) pembelajaran
menulis sastra berperspektif ekokritik. Pembelajaran menulis sastra akhirnya tidak
sekedar mengajarkan teknik-teknik kepenulisan tetapi juga menanamkan kesadaran
dan keberpihakan terhadap kelestarian ekologi. Hal ini tentu tidak berlebihan sebab,
seperti diungkapkan Herfanda (2008: 131), sesungguhnya sastra memiliki potensi yang
besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan.
Problem Pembelajaran Menulis Sastra
Khusus terkait dengan pembelajaran menulis sastra, pencapaian kompetensinya
perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini terjadi karena secara umum kompetensi
menulis sastra masih sangat kurang. Kondisi ini terjadi salah satunya karena
pembelajaran menulis kurang ditangani dengan sungguh-sungguh (Syamsi, 2012: 2).
Secara umum ada dua permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
menulis sastra. Pertama, permasalahan orientasi dan etos kepengarangan. Termasuk
dalam hal ini adalah efikasi diri (self efficacy) pengarang, yaitu keyakinan, penilaian, dan
harapan bahwa seseorang mampu menghasilkan karya dengan baik. Belum
terbentuknya orientasi dan lemahnya etos kepengarangan seseorang menjadi
permasalahan mendasar dalam pembelajaran menulis sastra. Hasil penelitian
Wulandari, dkk. (2012: 79) terhadap siswa sekolah menengah atas menunjukkan
bahwa faktor utama penyebab siswa kesulitan dalam menulis (karya sastra) adalah
kurangnya motivasi siswa. Padahal, menurut Richards dan Rinandya (2003:206) serta
Brown (2001: 267-269) bahwa salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam
pembelajaran bahasa adalah faktor afektif (affective factors). Yang dimaksud dengan
faktor afektif, antara lain self esteem, empati, kecemasan, sikap, dan motivasi. Jadi,
lemahnya motivasi dan perasaan tidak mampu seringkali menjadi penghambat utama
bagi siswa dan mahasiswa untuk meningkatkan kompetensi menulis (sastra) mereka.
Kedua, permasalahan yang terkait dengan kompetensi menulis sastra. Hal ini
terkait dengan penguasaan terhadap mekanik kepenulisan karya sastra. Hasil penelitian
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2426
yang dilakukan Sayuti, dkk (2008: 23) menunjukkan beberapa hambatan penulisan
karya fiksi yang dilakukan siswa SD, SMP, dan SMA se-DIY. Hambatan-hambatan yang
ditemukan, antara lain (1) hambatan dalam menggali ide dan pengembangannya, (2)
menyusun alur cerita yang proporsional, (3) membuat awalan cerita yang menarik, (4)
menentukan akhir cerita, (5) menggarap konflik dan klimaks cerita, (6) menciptakan
suspensi, (7) menciptakan karakter tokoh yang kuat, (8) menggambarkan karakter
tokoh yang tepat dan variatif, (9) memanfaatkan latar yang detail untuk menghidupkan
cerita, (10) membuat dialog yang hidup, (11) membuat dialog dan narasi secara
proporsional, (12) penulisan dialog secara tepat, (13) memilih diksi yang hidup dan
variatif, (14) memilih diksi yang mampu membangun emosi dan karakter tokoh, (15).
Pemisahan dialog dan narasi dalam paragraf, (16) penulisan dengan mematuhi mekanik
kebahasaan, dan (17) penulisan judul.
Dua persoalan yang sering ditemukan dalam diri peserta didik tersebut perlu
menjadi perhatian. Pembelajaran menulis sastra hendaknya tidak hanya berfokus pada
pengajaran mekanik kebahasaan, tetapi hendaknya juga berorientasi pada
pembentukan etos kepengarangan. Penelitian yang dilakukan Hidi, dkk. (2007: 204-
217) menjelaskan bahwa efikasi diri siswa dalam menulis dan perhatian mereka
terhadap topik penulisan yang spesifik merupakan faktor penting dalam prestasi
menulis (writing performance). Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa komposisi
tulisan yang baik terjadi ketika para siswa memiliki rasa percaya diri terhadap
kemampuan menulis (writing ability) mereka dan perhatian mereka terhadap topik
yang akan ditulis.
Dengan demikian, upaya merintis pembelajaran menulis sastra berperspektif
ekokritik sesungguhnya mengarahkan proses pembelajaran tidak hanya berfokus pada
pengajaran mekanik kepenulisan tetapi juga mengarahkan peserta didik untuk memiliki
perhatian pada topik ekologi dan permasalahannya. Langkah ini diharapkan mampu
memantik munculnya ide dan perhatian peserta didik untuk lebih fokus mencermati,
menghayati, dan menentukan sikap yang tepat akan problem-problem ekologi di
sekitarnya. Hasil penghayatan mendalam terhadap realita ekologis yang problematik
tersebut selanjutnya dihadirkan melalui karya sastra yang dihasilkannya.
2427 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
Pembelajaran Menulis Sastra Berperspektif Ekokritik
Pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik berusaha untuk tidak
sekedar meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menulis sastra, terutama
dalam hal mekanik kepenulisan saja, tetapi sekaligus berusaha untuk menanamkan
kesadaran terhadap realita ekologis yang problematik melalui proses penghayatan
mendalam. Realitas ekologis dihadirkan dalam proses pembelajaran sebagai pemantik
untuk menumbuhkan kesadaran kritis sekaligus kepekaan kepengarangan terhadap
realitas; sesuatu yang menjadi kemampuan dasar setiap pengarang sebab sebagian
besar ide penulisan senantiasa berpijak pada penghayatan mendalam pengarang
terhadap realitas.
Secara umum, pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik
dikembangkan dengan mempertimbangkan beberapa prinsip berikut ini. Pertama,
mendasarkan ide dan gagasan utamanya pada persoalan-persoalan berbasis ekologi.
Persoalan-persoalan ekologis menjadi inspirasi kreatif dan imajinatif untuk dihadirkan
pengarang dalam bentuk karya sastra. Permasalahan ekologi yang terhampar luas dan
makin mengkhawatirkan merupakan realitas yang sangat mudah untuk dijadikan
sebagai sumber perenungan, pengalaman kreatif dan imajinatif, sekaligus representasi
sikap kritis, di samping persoalan-persoalan kemanusiaan lain yang sudah sangat
banyak dijadikan sebagai pengalaman kreatif kepenulisan.
Pembelajaran menulis sastra dapat menjadikan masalah ekologi sebagai
alternatif sekaligus pilihan sadar untuk menanamkan daya kritis peserta didik akan
dampak pencemaran lingkungan dan eksploitasi eksesif di lingkungannya. Alam tidak
hanya sebagai sumber kreatif penulisan karena unsur keindahannya yang
mengagumkan, tetapi juga merupakan sumber pemantik untuk bersikap kritis. Sikap
kritis tersebut merupakan representasi dari perlawanan yang ditunjukkan melalui
karya sastra ketika alam dieksploitasi untuk kepentingan dominasi ekonomi dan
kepentingan lain berkedok pembangunan dan atau modernitas dengan mengabaikan
pelestariannya.
Langkah ini tidak hanya menjadi gerakan sosial-kultural untuk terlibat dalam
penanganan krisis ekologi melalui sastra, tetapi juga merupakan pilihan strategis untuk
menggairahkan kajian-kajian sastra berwawasan lingkungan. Jika selama ini kajian
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2428
sastra tentang lingkungan hidup, terutama di Indonesia, dianggap masih terbatas
karena berkaitan dengan terbatasnya jumlah karya sastra berperspektif ekologi (Dewi,
2015: 378) maka dengan cara menjadikan ekokritik sebagai perspektif alternatif dalam
pembelajaran menulis sastra diharapkan akan meningkatkan jumlah karya sastra
berwawasan ekologi.
Kedua, sebagai proses pembelajaran maka pembelajaran menulis sastra
berperspektif ekokritik semestinya lebih mendasarkan pada pendekatan proses dalam
menulis. Menulis sastra harus dipandang sebagai sebuah proses dan tidak hanya
mempertimbangkan produk. Proses menulis, termasuk menulis sastra, dijabarkan
dalam lima tahap, yaitu pramenulis (prewriting), menyusun draf (drafting), merevisi
(revising), mengedit (editing), dan publikasi (publishing) (Tompkins, 2010: 52). Sebagai
sebuah proses, sesungguhnya menulis tidaklah berlangsung linear, kadangkala ia
merupakan sebuah siklus. Penamaan masing-masing tahap lebih ditujukan untuk
mengidentifikasi aktivitas proses penulisan sehingga lebih memudahkan dalam proses
pembelajaran.
Pada tahap prapenulisan (prewriting), peserta didik diarahkan untuk (1)
memahami dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi di
lingkungannya. Peserta didik diarahkan untuk memahami dan bersikap kritis terhadap
masalah-masalah lingkungan yang mereka temukan. Misalnya, salah seorang
mahasiswa dalam matakuliah Menulis Sastra menemukan bahwa sungai di desanya,
yang dulu sering digunakan untuk bermain, berubah keruh dan berwarna putih setelah
berdiri pabrik susu di dekatnya. Sungai yang tercemar awalnya dianggap biasa dan
tidak terpikir sebagai ide menulis cerpen, sampai ketika kesadaran ekokritik menjadi
bahan diskusi di kelas Menulis Sastra, masalah lingkungan itu semakin menguat untuk
dielaborasi sebagai pengalaman kreatif dan imajinatif yang akan dihadirkan dalam
bentuk cerita pendek. Diskusi, membaca sejumlah referensi, observasi, penelusuran
internet, dan sebagainya dapat dilakukan untuk mematangkan ide penulisan.
(2) Mengidentifikasi genre teks sastra, terutama yang berperspektif ekokritik.
Peserta didik diajak untuk mengamati dan mengidentifikasi bagaimana para sastrawan
menyusun ide dan pengalaman kreatif serta imajinatifnya dalam karya sastra
berperspektif ekokritik. Dalam tahap ini peserta didik berkenalan dengan karya sastra
2429 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
berperspektif ekokritik sekaligus mengidentifikasi cara penulis mengolah elemen-
elemen pembangun karya sastra tersebut. Secara khusus, ketika peserta didik akan
menulis cerita pendek, misalnya, maka mereka akan diperkenalkan dengan teks cerita
pendek. Peserta didik secara langsung diarahkan untuk memahami fakta-fakta cerita
yang disajikan secara kreatif oleh para penulis dalam teks cerpen. Langkah ini ditempuh
karena seringkali peserta didik memiliki pengalaman baca sastra yang masing kurang
(Suryaman, dkk., 2012: 23). Padahal, kemampuan menulis salah satunya dipengaruhi
pula oleh kemampuan baca.
(3) Merefleksikan apa yang telah dipelajari tentang bagaimana para pengarang
mengekspresikan ide dan menghadirkan fakta-fakta cerita dalam karya sastra secara
kreatif. Langkah ini membantu siswa untuk mengorganisasikan pengalaman kreatif dan
imajinatif mereka ke dalam bentuk karya sastra. (4) Mengembangkan ide, baik secara
individu maupun kelompok. Kegiatan ini dapat ditempuh dengan curah pendapat
(brainstorming), membaca buku, melakukan riset melalui internet, membicarakan ide
dengan teman sekelas, dan sebagainya (Tompkins, 2010: 53). Setelah itu siswa
diarahkan untuk menyusun gambaran umum dari struktur cerita, semisal karya yang
akan dibuat adalah cerita pendek. Tompkins (2010) menjelaskan bahwa biasanya
gambaran umum dari struktur cerita disusun dengan menggunakan tiga bagian, yaitu
awal-tengah-akhir cerita. Langkah pengorganisasian ini dilakukan sekedar untuk
mempermudah siswa – terutama yang baru mulai belajar menulis sastra – untuk
mengorganisasikan ide penulisan cerita.
Tahap berikutnya setelah prapenulisan adalah menyusun draf (drafting). Fokus
utama pada tahap ini adalah menuangkan ide sesuai bahan dan organisasi cerita yang
akan ditulis. Siswa tidak dibebani dengan tata tulis serta hal-hal yang berkaitan dengan
mekanik kebahasaan lainnya. Setelah menyusun draf, tahap selanjutnya adalah merevisi
(revising). Pada tahap ini siswa memeriksa atau meninjau hasil tulisannya (Syamsi,
2012: 291). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pada tahap ini, antara lain
dengan membaca ulang dan memberi catatan, meminta teman sebaya untuk memeriksa
tulisan, atau dapat juga dibaca guru sebelum akhirnya nanti direvisi oleh siswa, baik
aspek isi maupun aspek kebahasaan dan tata tulis. Setelah kegiatan merevisi selesai
dilakukan, tahap berikutnya adalah mempublikasikan (publishing) hasil karya siswa.
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2430
Publikasi hasil tulisan dapat dilakukan dengan pembacaan di depan kelas, pengiriman
ke media massa, majalah dinding, atau menyusunnya menjadi antologi bersama.
Pengalaman selama mengampu matakuliah Menulis Sastra memperlihatkan
bahwa mahasiswa menjadi lebih bersemangat ketika proses pembelajaran dilaksanakan
dengan berbasis proyek (project based learning) melalui penerbitan antologi karya
mahasiswa yang dilanjutkan dengan peluncuran buku (launching) tersebut. Kemudahan
pengurusan ISBN dan cetak dengan jumlah terbatas serta biaya percetakan yang
terjangkau sangat memudahkan proses publikasi karya. Proses ini juga sangat terbantu
dengan kemunculan penerbit-penerbit indie, yang sebagiannya fokus dalam penerbitan
buku-buku sastra. Dengan cara demikian, pembelajaran menulis sastra tidak hanya
mengajarkan teknik-teknik kepenulisan tetapi sekaligus juga menanamkan gairah
berkarya sastra di kalangan penulis-penulis muda.
Ketiga, dalam pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik, peserta didik
ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran dengan mensinergikan
pengalaman personal dan kolektif, kemampuan komunikasi lisan dan tulisan, dan daya
eksplorasi sastra. Dalam konteks ini, peserta didik diterjunkan langsung untuk
mengenali dan memahami realitas ekologis di sekitarnya melalui rekayasa imajiner.
Guru berusaha mengembangkan setiap bakat dan kecenderungan siswa yang bervariasi
dan menghindari untuk menciptakan gaya serta kecenderungan yang seragam. Para
peserta didik yang memiliki kecenderungan menghasilkan karya sastra anak, misalnya,
harus diarahkan sesuai kecenderungan tersebut, tanpa harus dipaksa keluar dari
kecenderungan yang disukainya. Dengan langkah demikian, proses pembelajaran
menulis sastra berperspektif ekokritik akan menghasilkan karya-karya yang sangat
bervariasi.
Keempat, selain pendekatan proses, pembelajaran menulis sastra semestinya
juga mengutamakan pendekatan komprehensif. Kemampuan menulis selalu ditunjang
dengan kemahiran di dalam membaca. Membaca dan menulis merupakan dua hal yang
bersifat resiprokal, keduanya merupakan proses menciptakan makna. Spivey (1997)
menjelaskan bahwa kemampuan membaca menjadikan kemampuan seseorang dalam
menulis menjadi lebih baik, dan demikian pula sebaliknya (Tompkins, 2010: 65).
Pembiasaan membaca sastra juga akan meningkatkan kecerdasan naratif (narative
2431 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
intelligence) siswa, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan
memroduksi narasi. Oleh karena itu, proses pembelajaran menulis sastra berperspektif
ekokritik semestinya didukung oleh aktivitas membaca yang terprogram, baik membaca
karya sastra berwawasan lingkungan maupun membaca kajian-kajian terkait dengan
permasalahan ekologi.
Kelima, pembelajaran menulis sastra semestinya diarahkan untuk membentuk
orientasi kepenulisan peserta didik. Peningkatan kompetensi menulis sastra tidak
terbentuk secara instan. Kompetensi menulis (sastra) terbentuk karena proses yang
lama melalui latihan terprogram dan konsisten. Anderson dan Schunn (Mayer, 2008:
289) menyimpulkan bahwa derajat kompetensi tertinggi hanya dicapai melalui latihan
secara ekstensif (extensive practice). Dengan memerhatikan hasil penelitian tersebut
maka proses pembelajaran seharusnya tidak berhenti dengan berakhirnya
pembelajaran di kelas. Harus dirancang proses pembelajaran menulis sastra yang
berkelanjutan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan membangun
sinergitas antara proses pembelajaran di kelas dengan komunitas-komunitas sastra.
Pengalaman dalam mengampu matakuliah Menulis Sastra memperlihatkan bahwa
mahasiswa yang terus tumbuh dan berkarya adalah mereka yang melibatkan diri dalam
aktivitas sastra di luar proses perkuliahan.
Penutup
Sudah saatnya proses pembelajaran menulis sastra tidak sekedar mengajarkan
pengetahuan tentang menulis sastra atau juga sekedar mengajarkan teknik dan
keterampilan menulis sastra saja. Pembelajaran yang hanya menekankan pada
pengetahuan menulis dan atau keterampilan menulis hanya akan menghasilkan peserta
didik yang mampu menyelesaikan dan mengumpulkan tugas-tugas pembelajaran, tetapi
gagap untuk memertahankan konsistensi berkarya. Proses pembelajaran menulis sastra
semestinya mulai diarahkan untuk menumbuhkan orientasi kepenulisan sekaligus
keberpihakan terhadap hidup dan kehidupan. Ketika permasalahan ekologi mulai
menjadi ancaman bagi kehidupan, misalnya, maka pembelajaran menulis harus
diarahkan untuk membentuk kesadaran kritis berperspektif ekokritik. Tidak sekedar
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2432
untuk tujuan mempermudah peserta didik mengeksplorasi ide kepenulisan, tetapi lebih
dari itu ia merupakan langkah menanamkan kesadaran dan keberpihakan ekologis.
Untuk melengkapi gagasan dalam tulisan ini diperlukan penelitian-penelitian
yang lebih spesifik, tidak hanya yang terkait dengan kajian-kajian atas pembacaan karya
sastra berwawasan lingkungan, tetapi juga rintisan pembelajaran sastra berperspektif
ekologi, seperti penerapannya dalam pembelajaran menulis sastra. Dengan temuan-
temuan baru yang didukung secara ilmiah diharapkan akan mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran, terutama pembelajaran menulis sastra, lebih khusus lagi yang
berperspektif ekokritik. []
DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language
Pedagogy. New York: Longman. Candraningrum, Dewi (Ed.). 2003. Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan,
Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Dewi, Novita. 2015. “Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Kontemporer:
Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas”, dalam Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. Vol. 14, Nomor 2, Oktober 2015.
Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. New York; Routledge. Gladwell, Malcolm. 2009. Outlier. Gramedia: Jakarta. Glothfelty, C dan H. Froom (ed.) 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary
Ecology. London: University of Goergia Press. Herfanda, Ahmadun Y. 2008. “Sastra sebagai Agen Perubahan Bangsa” dalam Bahasa
dalam Berbagai Perspektif, Anwar Efendi, ed. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana.
Hidi, S., Ainley, M., Berndorff, D., & Favero, LD. 2007. The Role of Interest and Self-Efficacy in Science-Related Expository Writing dalam Suzanna Hidi dan Pietro Boscolo (ed.), Writing and Motivation. UK: Elsevier.
Keraf, A. Sony. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Bening Publishing: Jakarta.
Mayer, Richard E. 2008. Learning and Instruction. Pearson Prentice Hall: New Jersey. Muhajir. 2014. “Kearifan Lokal dan Pelestarian Alam dalam Cerpen Indonesia” dalam
Wiyatmi, Nurhadi, Kusmarwanti, Ahmad Wahyudin, dan Dwi Budiyanto (ed). Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Interlude, hal. 321-333.
2433 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra
Richards, Jack C. & Renandya, Willy A. 2003. Methodology in Language Teaching, An Anthology of Current Practice. New York: Cambridge University Press.
Sayuti, Suminto A, dkk. 2008. “Pengembangan Model Pembinaan Menulis Karya Sastra bagi Anak dan Remaja”, dalam Jurnal Fenolingua. Edisi khusus Mei 2008.
Suryaman, Maman., dkk. 2012. “Pengembangan Model Panduan Pendidik Pengajaran Sastra Berbasis Pendidikan Karakter” dalam Jurnal Pendidikan, volume 42, Nomor 1, Mei 2012. Halaman 18-28.
Syamsi, Kastam. 2012. “Model Perangkat Pembelajaran Menulis Berdasarkan Pendekatan Proses Genre bagi Siswa SMP,” dalam Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. Vol. 11, Nomor 2, Oktober 2012.
Tompkins, Gail E. 2010. Literacy for the 21st Century: A Balanced Approach (Fifth Edition). Boston: Pearson.
Yudhistira, Wahyu K Hidayat, Agus Hadiyarto. 2011. “Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi”, dalam Jurnal Ilmu Lingkungan, volume 9, nomor 9 (2), hal. 76-84. Diakses dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan pada 25 Maret 2016.
Wiyatmi. 2014. “Berziarah ke Pulau Buru Melalui Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak” dalam Wiyatmi, Nurhadi, Kusmarwanti, Ahmad Wahyudin, dan Dwi Budiyanto (ed). Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Interlude, hal. 301-310.
Wulandari, dkk. 2012. “Peningkatan Motivasi dan Kemampuan Menulis Puisi melalui Penerapan Metode Menulis Berantai pada Siswa Sekolah Menengah Atas” dalam Basastra: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya, volume 1, April 2012.
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2434