Upload
vannhu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi
dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan karyawan;
merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitannya dengan
imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah
pengorbanan (Robbins, 2001).
Menurut Werther dan Davis (1996), kepuasan kerja merupakan sesuatu yang
baik dan tidak baik dilihat oleh karyawan mengenai pekerjaanya. Sedangkan
kepuasan kerja menurut McShane (2008) merupakan evaluasi dari seseorang terhadap
pekerjaan dan konteks kerjanya.
Kepuasan kerja adalah sikap positif atau negatif dari seorang individu
terhadap pekerjaan mereka (Greenberg & Baron, 2003). Juga didefinisikan sebagai
perasaan positif tentang satu tugas berdasarkan evaluasi dari satu karakteristik
pekerjaan (Robbins & Judge, 2007). Menurut Smith (1969), kepuasan kerja
didefinisikan sebagai perasaan seorang pekerja tentang pekerjaannya. Demikian pula,
George dan Jones (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah kumpulan
perasaan dan kepercayaan seseorang tentang pekerjaan mereka saat ini. Menurut
10
Kreitner dan Kinicki (2003), kepuasan kerja pada dasarnya adalah sejauh mana
seseorang menyukai pekerjaan-nya. Kepuasan kerja memerlukan interaksi dengan
rekan kerja dan supervisor, melekat pada kebijakan dan prosedur organisasi,
menerima kondisi kerja, dan memenuhi standar kinerja yang diperlukan untuk
beberapa nama (Robbins dan Judge, 2007). Berdasarkan itu, masyarakat menilai
kepuasan atau ketidakpuasan bukanlah pekerjaan mudah, dikutip dari jurnal “Job
Satisfaction Antecedents and Consequences: A New Conceptual Framework and
Research Agenda” (Ghazzawi, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, maka definisi kepuasan kerja ialah sikap atau
evaluasi seorang karyawan sejauh mana karyawan tersebut menyukai perkerjaannya.
2.1.1 Mengukur Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel paling sering dipelajari dalam
penelitian perilaku organisasi. Ribuan artikel dan puluhan buku telah ditulis pada
topik dari berbagai sudut pandang akademik dan profesional. Kepuasan kerja
didefinisikan sejauh mana orang menyukai atau tidak menyukai pekerjaan mereka
(Spector, 1997).1
Cara yang paling umum dalam mengukur kepuasan kerja adalah dengan
menggunakan skala penilaian dimana karyawan melaporkan mengenai pekerjaannya.
Pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat membayar, tanggung jawab kerja,
berbagai tugas, peluang promosi pekerjaan itu sendiri dan rekan kerja. Beberapa
1 Robbins, Stephen P, 2001, Organizational Behavior, 9th ed., Prentice Hall, Inc., New Jersey.
11
kuesioner bertanya “ya” atau “tidak” sedangkan yang lain meminta untuk menilai
kepuasan pada skala 1-5 (1 mewakili dimana "sama sekali tidak puas" dan 5
mewakili "sangat puas"). Demikian pula yang dikatakan George dan Jones (2005),
tingkat kepuasan kerja dapat berkisar antara sangat puas ke sangat tidak puas.
Menurut Greenberg dan Baron (2003), pendekatan yang paling umum untuk
mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan kuesioner yang didalamnya
menggunakan skala rating2, seperti berikut ini :
1. Job Descriptive Index (JDI)
Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya menggambarkan beberapa
aspek pekerjaan, diantaranya mengenai pekerjaan itu sendiri, gaji, peluang
promosi, supervision, dan hubungan kerja. Bentuk jawaban atas
pertanyaan digambarkan dengan 2 penilaian “iya” atau “tidak”, yang
tergolong dalam skala nominal.
2. Minnesota Satisfaction Questionnare (MSQ)
Sebuah kusioner pengukuran yang didalamnya orang-orang
mengindikasikan kepuasan dengan memperluas aspek-aspek mengenai
pekerjaanya. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan skala
likert, dimana nilai tertinggi merupakan tingkatan dari kepuasan kerja.
2 Greenberg, Jerald dan Baron, A. Robert, 2003, Behavior in Organizations, 8th ed., Prentice Hall, Inc., New Jersey.
12
3. Pay Satisfaction Questionare (PSQ)
Sebuah kuesioner yang di rancang untuk menilai tingkat kepuasan
karyawan dengan berbagai aspek mengenai gaji, level gaji, kenaikan gaji,
dan benefit yang diperoleh.
Robbins (2001) menambahkan bahwa ada 2 cara pendekatan untuk mengukur
yakni single global rating dan summation score yang terdiri dari sejumlah aspek
pekerjaan. Yang single global rating hanya bertanya pada setiap individu untuk me-
response sebuah pertanyaan, seperti “Semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah
anda dengan pekerjaan anda?”. Reponden kemudian menjawab dengan melingkari
bulatan antara 1 -5 (dari sangat puas sampai tidak puas). Pendekatan lainnya dengan
sebuah summation of score dari berbagai aspek pekerjaannya, ini merupakan hal yang
sulit diukur. Diidentifikasikan dengan elemen-elemen kunci yang ada dalam sebuah
pekerjaan dan menanyakan bagaimana perasaan mereka mengenai setiap aspek
pekerjaan itu. Faktor yang umum yakni sifat dari pekerjaannya, pengawasan, gaji,
peluang promosi dan hubungan kerja.
Berdasarkan penjelasan yang telah diperoleh, skala pengukuran yang sesuai
untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan SLC ialah dengan menggunakan
Minnesota Satisfaction Questionnaire, dimana pengukuran setiap aspeknya
menggunakan skala dari nilai terendah sampai tertinggi (skala likert) dengan tingkat
kepuasan dari (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) kurang setujus, (4) cukup
setuju, (5) setuju, dan (6) sangat setuju. Dengan cara pengukuran ini akan didapat
tingkat kepuasan seseorang terhadap aspek-aspek yang akan diuji.
13
2.1.2 Teori Kepuasan Kerja
Menurut Greenberg dan Baron (2003) ada 2 teori pendekatan mengenai
kepuasan kerja, yakni :
1. Two-factor Theory
Sebuah teori kepuasan kerja yang menggambarkan kepuasan dan ketidakpuasan
berasal dari kelompok variabel yang berbeda yakni hygiene factors dan
motivators. Hygiene factors adalah ketidakpuasan kerja yang disebabkan oleh
sebuah kumpulan perbedaan dari faktor-faktor (kualitas pengawasan, lingkungan
kerja, pembayaran gaji, keamanan, kualitas lembaga, hubungan kerja dan
kebijakan perusahaan). Karena faktor-faktor ini bersifat mencegah reaksi negatif
maka disebut sebagai hygiene (maintenance) factors. Kepuasan kerja yang
didatangkan dari sekumpulan faktor-faktor yang berhubungan pekerjaannya atau
hasil secara langsung dari pekerjaannya (peluang promosi, pengakuan, tanggung
jawab, prestasi) disebut sebagai motivators, karena merupakan level tertinggi dari
kepuasan kerja.
2. Value Theory
Sebuah teori kepuasan kerja yang bergantung pada kesesuaian antara hasil
pekerjaan yang diperolehnya (penghargaan) dengan persepsi mengenai
ketersediannya beberapa hasil. Semakin banyak hasil yang diperoleh maka ia akan
lebih puas, jika memperoleh hasil yang sedikit maka ia akan lebih sedikit puas.
14
Teori ini berfokus pada banyak hasil yang diperoleh. Kunci kepuasannya adalah
kesesuaian hasil yang diterima dengan persepsi mereka.
Berdasarkan kedua teori tersebut maka dapat disimpulkan pendekatan dan
pengukuran terhadap kepuasan karyawan dilihat dari sisi faktor kepuasan yang
berhubungan dengan hasil pekerjaan yang dicapai (peluang promosi dan prestasi) dan
faktor yang yang datang dari luar yang mempengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan
(pengawasan, kebijakan perusahaan, lingkungan kerja dan upah).
2.1.3 Akibat dari Ketidakpuasan Kerja
Kepuasan kerja sangat berdampak sekali pada organisasi, menurut Greenberg
dan Baron (2003) akibat atau efek dari ketidak puasan kerja difokuskan pada 2
variabel yakni employee withdrawal (absenteeism dan turnover) dan job performance
(kinerja kerja). Hal senada pun diungkapkan oleh Robbins (2001) bahwa para peneliti
telah melakukan penelitian dan menemukan dampak dari kepuasan bekerja yakni pada
produktivitas karyawan (productivity), ketidakhadiran (absenteeism), dan pergantian
karyawan (turnover). Menurutnya kepuasan karyawan cenderung dipusatkan pada
kinerja karyawan atau produktivitas karyawan.2
Ketidakhadiran (absenteeism) merupakan suatu reaksi akibat ketidakpuasan
karyawan dalam jangka waktu yang pendek. Penelitian menunjukan semakin sedikit
orang yang puas akan pekerjaannya maka semakin besar mereka untuk tidak hadir
(absent) bekerja. Robbins (2001) mengutip McShane(1984) pada artikel, “Job
Satisfaction and Absenteeism: A Meta-Analytic Re-Examination”, menemukan sebuah
15
hubungan kosisten yang negatif antara kepuasan dan ketidakhadiran, tetapi hubungan
bersifat moderat. Karyawan yang merasa tidak suka akan pekerjaannya lebih
cenderung untuk tidak masuk bekerja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
pembayaran gaji yang tidak sesuai, pujian, pengakuan dan penghargaan sebagai
imbalan yang tidak pernah ada. Robbins (2001) menyakini dengan pasti bahwa
hubungan antara kepuasan dan ketidakhadiran (Absenteeism) berkorelasi secara
negatif.
Turnover merupakan salah satu juga bentuk reaksi ketidakpuasan yang bersifat
permanen, yaitu keluar dari pekerjaanya. Menurut Robbins (2001) kepuasan selalu
berhubungan terbalik dengan turnover (pergantian) dan memiliki tingkat korelasi
yang lebih kuat dibandingkan dengan ketidakhadiran. Beberapa faktor yang membuat
orang mengambil sebuah keputusan untuk meninggalkan pekerjaan, diantaranya
kondisi pasar tenaga kerja, harapan mengenai peluang alternatif pekerjaan, dan lama
masa jabatan dengan organisasi. Greenberg dan Baron (2003) menambahkan faktor
lainnya meliputi hubungan individu, pekerjaannya dan keadaan ekonomi. Bukti-bukti
menunjukan bahwa hubungan kepuasan dan turnover adalah kinerja di tingkatan
karyawan. Secara khusus, tingkatan dari kepuasan kurang penting dalam
memperediksikan turnover untuk keunggulan kinerja, karena pada umumnya
organisasi membuat upaya yang cukup untuk mempertahankan mereka. Mereka
mendapatkan bayaran, pujian, pengakuan, peluang promosi, dan sebagainya.
Beberapa upaya dilakukan oleh organisasi untuk mempertahankan mereka. Mungkin
akan ada tekanan halus yang mendorong mereka untuk keluar (Robbins, 2001).
16
Banyak orang mempecayai bahwa pekerja yang senang adalah pekerja yang
produktif. Robbins (2001) mengatakan bahwa pekerja yang senang belum tentu ia
pekerja yang produktif. Greenberg dan Baron (2003) mengatakan bahwa banyak
penelitian menemukan hubungan antara kepuasan kerja dan performance sangat
rendah, dikarenakan oleh sedikit sekali ruang untuk melakukan perubahan kinerja
karena dibatasi oleh pekerjaan yang diterima, dan sebenarnya tidak ada hubungan
secara langsung antara kepuasan kerja dan kinerja. Sebenarnya berhubungan dengan
dengan faktor ketiga yaitu penghargaan yang diterima.
2.2 Kinerja Kerja
Dalam jurnal penelitian ”Diversity Management, Job Satisfaction, and
Performance: Evidence from U.S. Federal Agencies” (Pitts, 2009) pengertian kinerja
yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan dalam mencapai tujuan
yang diharapkan. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000) dalam bukunya
”Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan”, kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang dimilikinya.
Definisi kinerja karyawan menurut Bernandin dan Russell (1998) yang dikutip
oleh Faustino Cardoso Gomes dalam bukunya yang berjudul ”Human Resource
Management” adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau
kegiatan selama periode waktu tertentu.
17
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja kerja adalah
hasil kerja yang dicapai olah karyawan dalam menjalankan setiap tugas-tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan.
2.2.1 Mengukur Kinerja Kerja
Kinerja kerja merupakan salah satu variabel juga yang paling sering dipelajari
dalam penelitian perilaku organisasi. Pengukuran dari hasil kinerja pekerjaan sangat
membantu sekali bagi perusahaan karena sebagai salah satu bentuk evaluasi dan
umpan balik perusahaan. Menurut Bernandin dan Russell (1998), pengukuran kinerja
karyawan dapat dilihat melalui jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode
yang ditentukan (quantity of work), kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-
syarat kesesuaian dan kesiapannya (quality of work), luasnya pengetahuan mengenai
pekerjaan dan keterampilanya (job knowledge), keaslian gagasan–gagasan yang
dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul (creativeness), kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama
anggota organisasi (cooperation), kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal
kehadiran dan penyelesaian kerja (dependability), semangat untuk melaksanakan
tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya (initiative), menyangkut
kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan dan integritas pribadi (personal
qualities).
Menurut Black and Porter (1991), kinerja diukur dengan menanyakan pada
responden untuk meminta mereka mengevaluasi kinerja mereka yang terakhir dalam
menjalankan tugasnya dengan melihat pada 5 dimensi yakni : keseluruhan kinerja,
18
ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan, kemampuan untuk bertahan dalam
waktu yang lama, kualitas kinerja dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, dan
pencapaian tujuan kerja.
Menurut Cuong dan Swierczek (2008), kinerja kerja diukur dengan 4 item
diantaranya : hasil yang telah dicapai dengan kualitas tinggi, kecepatan kinerja,
jumlah pekerjaan yang dilakukan dengan keandalan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diperoleh, skala pengukuran yang sesuai
untuk mengukur kinerja kerja karyawan SLC ialah dengan melihat keseluruhan
kinerja kerja pada tugas yang sedang dilakukan, melihat kesesuaian jumlah pekerjaan
yang diterima, kualitas kinerja dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, pengetahuan
dan pemahaman akan pekerjaannya, penyelesaian tugas yang tepat waktu, dan
pencapaian tujuan kerja.
2.3 Faktor Pengaruh Kepuasan Kerja dan Kinerja
Banyak beberapa literatur dan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya untuk mencari apa saja yang menjadi pengaruh pada kepuasan kerja dan
kinerja. Untuk studi penelitian ini variabel pengukuran yang sesuai dengan SLC
meliputi lingkungan kerja, kepemimpinan, kompensasi, dan pelatihan karyawan.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai beberapa variabel penentu kepuasan kerja dan
kinerja dari berbagai sumber literatur yang telah diperoleh dan dipelajari oleh penulis.
19
2.3.1 Lingkungan Kerja
Menurut Robbins (2001), sebuah lingkungan dalam organisasi terdiri dari
lembaga-lembaga atau kekuatan dari luar organisasi dan berpotensi mempengaruhi
kinerja organisasi. Sedangkan pengertian lingkungan kerja menurut Alex S.
Nitisemito (2000) adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Menurut Sedarmayati
(2001), lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi,
lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan
kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok.
Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan
kerja terbagi menjadi 2 yakni :
1. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di
sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung
maupun tidak langsung (Sedarmayanti, 2001). Lingkungan kerja fisik dapat
dibagi dalam dua kategori, yakni :
1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (seperti
fasilitas, sarana kerja berupa kursi, meja dan sebagainya)
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut
lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :
temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran
mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
20
2. Lingkungan Kerja Non Fisik
Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan
dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan
sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan (Sedarmayanti, 2001).
Dalam suatu organisasi atau perusahaan, karyawan akan terlibat dalam
hubungan kerja antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan atasan,
dan kedua-duanya sama-sama memberikan pengaruh terhadap kinerja
karyawan.
Dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan kerja merupakan segala sesuatu
yang berbentuk fisik maupun non fisik dari lingkungan tempat kita bekerja, dimana
lingkungan kerja fisik meliputi lingkungan kerja yang langsung berhubungan dengan
karyawan seperti fasilitas dan sarana kerja, dan kategori kedua, lingkungan kerja
umum yang mempengaruhi kondisi manusia seperti suhu, kelembaban, pencahayaan,
kebisingan dan sirkulasi udara. Untuk lingkungan kerja non fisik meliputi hubungan
kerja karyawan dengan rekan kerja, atasan maupun bawahan.
2.3.2 Kepemimpinan
Berdasarkan jurnal “The Relationship between Leadership Styles and Foreign
English Teachers Job Satisfaction in Adult English Cram Schools: Evidences in
Taiwan” (Fang, 2009) gaya kepemimpinan mempengaruhi kinerja karyawan dan
memiliki hubungan signifikan terhadap kepuasan kerja. Gaya kepemimpinan dapat
mempengaruhi kinerja pekerjaan dan kepuasan kerja (Robbins, 2001). Kepemimpinan
menurut Robbins (2001) adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke
21
arah pencapaian tujuan. Gaya kepemimpinan yang digunakan di sini adalah
transformasional, transaksi, dan laissez-faire. Ketiga gaya kepemimpian tersebut
dikenal sebagai teori kepemimpinan baru dan digunakan oleh sebagian besar
akademisi yang mempelajari pemimpin organisasi (Bogler, 2001, 2002; Heller, 1993;
McKee, 1991; Timothy dan Ronald, 2004). Gaya kepemimpinan transformasional
melibatkan proses menarik komitmen dari karyawan dalam konteks nilai-nilai
bersama dan berbagi visi. Kepemimpinan transformasional sangat relevan dalam
konteks pengelolaan perubahan dengan melibatkan hubungan yang saling percaya
antara para pemimpin dan pengikutnya. Di sisi transaksi, pemimpin menetapkan
tujuan yang jelas, memahami kebutuhan karyawan, selektif, dan memotivasi untuk
mendapatkan penghargaan. Gaya kepemimpinan laissez-faire, dimana pemimpin
yakin dengan kemampuan karyawan-karyawannya, dengan memberikan sedikit
kendali atas karyawan-karyawannya dan membiarkan mereka menjalankan tugas
tanpa pengawasan langsung. Pada akhir penelitian Fang (2009) menyimpulkan bahwa
gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang signifikan terhadap
kepuasan kerja.
Dapat disimpulkan bahwa variabel kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang, baik individu maupun masyarakat. Selain itu juga disimpulkan
pemimpin yang baik ialah pemimpin yang memiliki kepercayaan dari pengikut-
pengikutnya, memahami kebutuhan karyawan, memiliki sikap yang selektif dalam
menentukan keputusan, dan mampu memotivasi karyawannya untuk maju.
22
2.3.3 Kompensasi
Berdasarkan hasil penelitian jurnal “Intrinsic job rewards at country-level and
individual-level codetermine job satisfaction” (Huang dan Evert, 2002) penghargaan
juga menentukan kepuasan kerja. Penghargaan nyata yang diterima mereka datang
dalam bentuk gaji, insentif, dan tunjangan. Gaji dan tunjangan harus kompetitif,
artinya harus “dekat” dengan apa yang diberikan oleh perusahaan yang lain dan apa
yang diyakini oleh karyawan sesuai dengan kapabilitas, pengalaman, dan kinerjanya
(Mathis dan Jackson, 2006).
Berdasarkan jurnal “A Study of The Relationships Between Compensation
Package, Work Motivation and Job Satisfaction” (Igalens dan Roussel, 1999)
kompensasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja karyawan. Kompensasi
(Werther dan Davis, 1996) adalah sesuatu yang diberikan kepada karyawan sebagai
balas jasa atas kontribusi atau kerja karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.
Apabila program kompensasi diatur dengan baik, maka akan membantu perusahaan
dalam mencapai tujuan dan mendapatkan, menjaga serta menghasilkan tenaga kerja
yang produktif. Tanpa kompensasi yang memadai, maka para pekerja akan
meninggalkan perusahaan dan perusahaan akan mendapat kesulitan untuk mencari
penggantinya (Dessler, 2003). Kompensasi karyawan merujuk pada semua bentuk
upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka, dan
mempunyai dua komponen. Ada pembayaran langsung dalam bentuk upah, gaji,
insentif, komisi, dan bonus. Ada pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan
keuangan seperti asuransi dan uang liburan. Senada juga dengan yang dikatakan
23
Werther dan Davis (1996) kompensasi langsung terdiri dari manajemen kompensasi
(didasarkan atas gaji dan upah) dan pembayaran untuk pelaksanaan (insentif dan bagi
hasil).
Berdasarkan literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa variabel
kompensasi merupakan bentuk balas jasa dari perusahaan ke karyawannya dalam
bentuk pembayaran langsung (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) dan pembayaran
tidak langsung (asuransi, dan cuti kerja) yang diterima oleh karyawan. Sedangkan
penghargaan adalah sesuatu yang diperoleh karyawan sebagai salah satu bentuk balas
jasa dalam pencapaian kinerja kerja.
2.3.4 Pelatihan Karyawan
Menurut Stephen Choo dan Christine Bowley (2007) dalam hasil penelitian
jurnal “Using Training and Development to Affect Job Satisfaction within
Franchising” dikatakan bahwa pelatihan dan pengembangan diri karyawan memiliki
dampak pada kepuasan kerja. Menurut Rosemary Harrison (2005) pelatihan (training)
dan pengembangan karir (career development) dalam bidang sumber daya manusia
adalah bidang kegiatan organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja
individu atau kelompok dalam organisasi. Pelatihan meliputi semua hal dimulai dari
mengajarkan materi dasar hingga materi tingkat lanjut dalam kepemimpinan eksekutif
(Robbins, 2001). Metode pelatihan (training methods) menurut Robbins
diklasifikasikan sebagai formal maupun informal dan on-the-job atau off-the-job
training. Formal training sudah memiliki suatu bentuk strukturnya. Sedangkan
informal training, tidak terstruktur, tidak direncanakan, dan mudah mengadaptasi
24
pada situasi tertentu dan individu-individu yang akan belajar. On-the-job training
meliputi perputaran pekerjaan, magang, tugas pembelajaran dan program
pembelajaran formal. Organisasi menganggap on-the-job training sering mengganggu
tempat kerja maka organisasi berinvestasi pada off-the-job training, seperti kelas
perkuliahan dengan menggunakan persentasi video, seminar umum, program belajar
sendiri, kursus melalui internet (online learning), dan kelompok-kelompok aktivitas
yang menggunakan studi kasus sebagai pembelajarannya.
Ketika pekerjaan berkembang dan berubah, diperlukan adanya pelatihan ulang
yang dilakukan terus-menerus untuk menyesuaikan perubahan teknologi, mendorong
semua karyawan untuk berkembang termasuk para supervisor, dan manajer, dan
mempersiapkan organisasi agar dapat menghadapi tantangan masa depan.
Perencanaan karir menyebutkan arah dan aktivitas untuk karyawan individu ketika
mereka berkembang di dalam organisasi tersebut. Menilai bagaimana karyawan
melaksanakan pekerjaannya merupakan fokus dari manajemen kinerja (Mathis dan
Jackson, 2006).
Berdasarkan jurnal literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pelatihan
dan pengembangan karir merupakan kegiatan pengembangan kemampuan guna
meningkatkan kinerja karyawan dalam berorganisasi berupa formal training yakni
bentuk pelatihan yang sudah terjadwalkan materi dan waktu pelatihannya oleh
organisasi. Informal training yakni pelatihan yang didapat selama kerja dengan tidak
terstruktur dari segi waktu pelatihan dan materinya, on-the-job training yakni
pelatihan kerja seperti magang dan terakhir off-the-job training yakni pelatihan berupa
25
kelas perkuliahan, kursus, online learning dan seminar. Karyawan mendapatkan hak
dan kesempatan yang sama dan merata untuk mengembangkan kemampuannya
melalui program pelatihan (training) yang diberikan organisasi, baik yang
diselenggarakan di dalam maupun di luar lingkungan kerja.
2.4 Teori Umum Tentang Organisasi
2.4.1 Organisasi
Menurut McShane (2008), organisasi adalah kumpulan dari orang-orang yang
memiliki ketergantungan tujuan yang sama. Organisasi tidak berupa bangunan atau
pemerintahan. Selain itu, organisasi terdiri dari orang-orang yang berinteraksi satu
sama lain untuk memperoleh suatu tujuan yang umum.” Sebuah bisnis hanyalah
sebuah nama yang telah terdaftar pada sebuah kertas” begitu yang dikatakan
Graheme Maher, yang memimpin Vodafone di Republik Ceko.
Menurut Robbins (2001), organisasi adalah sebuah unit sosial yang
dikoordinasikan secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi pada
sebuah dasar yang relatif berkelanjutan untuk mencapai tujuan atau serangkaian
tujuan.
Berdasarkan berbagai sumber literatur yang diperoleh maka dapat disimpulkan
bahwa organisasi dapat diartikan sebagai sebuah unit sosial yang terdiri dari dua
orang atau lebih yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dan dilakukan
secara bersama-sama.
26
2.4.2 Organizational Behavior
Menurut McShane (2008), Organizational Behavior (OB) adalah ilmu dari apa
yang orang pikirkan, rasakan, dan kerjakan dalam dan sekitar organisasi. Menurut
Robbins (2001), Organizational Behavior adalah sebuah bidang pembelajaran yang
menginvestigasi dampak dari individu, grup, dan struktur pada perilaku dalam
organisasi, dengan tujuan untuk menerapkan pengetahuan seperti meningkatkan
efektivitas dari sebuah organisasi
Berdasarkan sumber Wikipedia Web, Perilaku Organisasi (Organizational
Behavior) adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya
perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik
kinerja individual, kelompok, maupun organisasi). Perilaku organisasi juga dikenal
sebagai ilmu tentang organisasi. Pembelajaran ini adalah sebuah bidang telaah
akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metode-
metode dari segi ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan psikologi.
Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang sumber daya
manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi.
2.4.3 Karyawan
Berdasarkan sumber Wikipedia Web, seorang karyawan adalah seorang
individu yang menyediakan tenaga kerja untuk bekerja pada sebuah perusahaan atau
orang lain. Secara khusus, seorang karyawan adalah orang yang disewa oleh
perusahaan tertentu untuk melakukan suatu pekerjaan. Seorang karyawan
mengkontribusikan tenaga dan keahliannya untuk sebuah pekerjaan.
27
Kebanyakan individu untuk mencapai status karyawan di sebuah perusahaan
harus melalui proses seleksi seperti tahap wawancara. Jika individu ditentukan
memuaskan atau cocok maka perusahaan akan menawarkan pekerjaan di perusahaan
yang ditetapkan dan memulai menggaji dan memposisikan. Individu ini kemudian
memiliki semua hak dan hak-hak karyawan, yang mungkin termasuk medis dan hak
cuti. Hubungan antara perusahaan dan karyawan biasanya ditangani melalui
departemen SDM yang menangani permasalahan yang ada dan berhubungan dengan
karyawan.
2.5 Model Analisis Regresi
Menurut Kuncoro (2006) regresi adalah suatu proses memperkirakan secara
sistematis tentang apa yang paling mungkin terjadi di masa yang akan datang
berdasarkan informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahannya dapat
diperkecil. Regresi dapat juga diartikan sebagai usaha memprediksikan perubahan.
Peramalan tidak memberikan jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Jadi, regresi mengemukakan tentang keingintahuan apa yang
terjadi di masa depan untuk memberikan sumbangan menentukan keputusan terbaik.
Kegunaan regresi dalam penelitian salah satunya adalah untuk meramalkan
(memprediksikan) variabel terikat (Y) apabila variabel bebas (X) diketahui. Regresi
sederhana dapat dianalisa karena didasari oleh hubungan fungsional atau hubungan
sebab akibat (kausal) variabel bebas (X) terhadap variabel terikat. Dalam penelitian
ini,contohnya : untuk variabel bebas diantaranya lingkungan kerja (X1);
kepemimpinan (X2); kompensasi (X3); dan pelatihan karyawan (X4), untuk variabel
28
terikat dalam penelitian ini ada 2 diantaranya kepuasan kerja (Y1) dan kinerja kerja
(Y2). Tapi terkadang orang juga mengatakan untuk simbol Y2 sebagai Z.
Persamaan regresi dirumuskan : Ŷ = a + bX
Keterangan :
Ŷ = (dibaca Y topi) subjek variabel terikat yang diproyeksikan
X = Variabel bebas yang mempunyai nilai tertentu untuk diprediksikan
a = Nilai konstanta harga Y jika X = 0
b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukan nilai
pengingkatan (+) atau penurunan (-) variabel Y
Asumsi-asumsi model regresi terpusat pada (1) data yang dianalisis jenis data
interval dan ratio; (2) data yang dipilih secara (random); (3) data yang dihubungkan
berdistribusi normal; (4) data yang dihubungkan berpola linier; (5) dan data yang
dihubungkan mempunyai pasangan yang sama sesuai dengan subjek yang sama.
2.5.1 Transformasi Data Ordinal Menjadi Interval
Mentransformasi data ordinal menjadi data interval bertujuan untuk memenuhi
sebagian dari syarat analisis parametrik yang mana harus berskala interval. Teknik
transformasi yang paling sederhana (Kuncoro, 2006) dengan menggunakan MSI
(Method of Successive Interval). Langkah-langkah transformasi data ordinal ke data
interval sebagai berikut :
29
a. Pertama perhatikan setiap butir jawaban responden dari angket yang disebarkan;
b. Pada setiap butir ditentukan beberapa orang yang mendapat skor 1, 2, 3, 4, 5 dan
6 yang disebut sebagai frekuensi;
c. Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya disebut
proporsi;
d. Tentukan nilai proporsi kumulatif dangan jalan menjumlahkan nilai proporsi
secara berurutan perkolom skor;
e. Gunakan Tabel Distribusi Normal, hitung Z untuk setiap proporsi kumulatif
yang diperoleh;
f. Tentukan nilai tinggi densitas untuk setiap Z yang diperoleh (dengan
menggunakan tabel Densitas);
g. Tentukan nilai skala dengan menggunakan rumus :
NS =
h. Tentukan nilai transformasi dengan rumus : Y = NS +[1+|NSmin|]
(Density at Lower Limit) - (Density at Upper Limit)
(Area Below Upper Limit) – (Area Below Lower Limit)