Upload
truongbao
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian terdahulu
Beberapa penelitian tentang perlakuan pendahuluan dengan menggunakan
teknologi fixed bed reactor telah dilakukan. Lucero et al. (2003) telah berhasil
menggunakan teknologi up flow fixed bed reactor yang dilakukan untuk mengolah
limbah persawahan dengan Waktu Tinggal Hidrolik(WTH) selama 32-42 menit,
laju ar influen = 1 – 5 Liter/menit dan menghasilkan efisiensi penyisihan COD
sebesar 90-91%. Westermandan Bicudo (2006) menggunakan biofilter dengan
media plastik (poly styrene) untuk mengolah limbah pada pabrik minuman keras
dan menghasilkan penyisihan nitrat sebesar 62% dan BOD sebesar 34%.
Farizogluet al. (2003) mengadakan penelitian untuk mengetahui kinerja biofilter
aerobik menggunakan media batu kerikil sebagai biofilter untuk mengolah limbah
pabrik tahu dan menghasilkan penyisihan COD sebesar 73% dan MLSS = 75%.
Watten dan Sibrell (2006) menentukan parameter kualitas (kelembaban,
persen konten , pH dan konduktivitas) pada limbah landfill serta mengevaluasi
efektifitas terhadap penghilangan nitrat pada air permukaan menggunakan
biofilter dengan bahan pengisi batu, potongan rumputdan kompos dari landfill dan
dari pencampuran tersebut dapat meningkatkan penghilangan nitrat sebesar
70%.Widayat (2010) mengkaji karakteristik reaktor biofilter dengan media plastik
tipe sarang tawon terhadap penyisihan konsentrasi senyawa organik, amonia,
deterjen, dan TSS dalam air baku perusahaan air minum danan menghasilkan
WTH semakin pendek, laju pembebanan semakin besar dan efisiensi penyisihan
organik, amonia, deterjen, dan TSS semakin kecil.Kondisi operasi terpilih pada
waktu tinggal hidrolik adalah 2 jam dan suplai udara 20 L/menit dengan efisiensi
penyisihan organik, amonia, deterjen, dan TSS adalah 68%, 65%, 64%, dan
74%.Li (2010) melakukan pengolahan limbah landfill dengan up flow fixed bed
reactor terbaik pada WTH = 8 hari, menggunakan konsentrasi COD influen
sebesar 6000 mg/L dan penyisihan COD sebesar 76%.
2.2 Teori yang Mendasari
2.2.1 Karakteristik Air Baku dan Air Permukaan
Menurut Watten dan Sibrell (2006) karakteristik air baku permukaan secara
umum digolongkan menjadi :
1. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan tinggi
Air permukaan ini telah melalui permukaan tanah yang rentan terhadap erosi
atau ditutupi dengan vegetasi yang rendah kerapatannya. Air ini umumnya
telah stagnant di waduk atau di danau yang sedikit mengandung gulma atau
tanaman air.
2. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan rendah sampai sedang
Air ini adalah seperti pada golongan yang pertama hanya telah mengalami
pengendapan yang cukup lama di suatu badan air
3. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan temporer
Air permukaan ini biasanya dari daerah pegunungan, dimana pada saat tidak
turun hujan airnya jernih tetapi pada saat hujan terjadi kekeruhan sesaat. Air
ini mengalir melalui permukaan yang tertutup oleh vegetasi yang cukup lebat
dan curam sehingga pada waktu tidak hujan menghasilkan air yang jernih,
tetapi pada waktu hujan menjadi keruh karena terjadi lonjakan tingkat
sedimen akibat erosi. Setelah hujan selesai sekitar 2-3 jam air kembali ke
aliran dasar (base flow) dan jernih kembali.
4. Air permukaan dengan kandungan warna sedang sampai tinggi
Air yang demikian umumnya telah melalui daerah dengan tingkat humus
tinggi dan akibat terlarutnya zat tanin dari sisa-sisa humus tingkat warnanya
menjadi tinggi, selain itu akibat proses alami pH air menjadi asam. Air ini
umumnya terdapat di daerah rawa dan gambut.
5. Air permukaan dengan kesadahan tinggi
Kesadahan paling banyak dijumpai di air laut, dan pada air permukaan tawar
umumnya diakibatkan oleh Ca dan Mg dalam kadar yang tinggi yaitu lebih
besar dari 200 mg/L CaCO3, sehingga air yang mengalir pada daerah batuan
kapur akan mempunyai tingkat kesadahan yang tinggi.
6. Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah
Air seperti ini dapat dijumpai pada danau-danau yang masih belum tercemar
atau air yang masih baru saja keluar dari mata air.
7. Air permukaan dengan polutan rendah sampai tinggi
Air seperti ini sering dijumpai di kota-kota besar. Aktivitas manusia melalui
kegiatan domestik maupun industri mengakibatkan pencemaran, sehingga
kadar polutan seperti organik, amonia, detergen, logam-logam dan pencemar
lainnya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.
2.2.2 Senyawa Organik dalam Air
Metcalf dan Eddy (2003) mengatakan bahwa bahan organik terdiri dari
karbon, hidrogen dan oksigen. Zat organik di alam dapat dijumpai pada air
permukaan maupun bawah tanah. Senyawa organik dalam air berasal dari:
1 Alam : minyak/lemak hewan, tumbuh-tumbuhan, dan gula
2 Sintesa : berbagai macam persenyawaan yang dihasilkan oleh industri
3 Fermentasi : alkohol, aseton, gliserol, asam-asam dan sejenisnya yang berasal
dari kegiatan mikroorganisme tehadap bahan organik.
Zat organik dalam air dapat diketahui dengan menentukan angka
permanganatnya, walaupun KMnO4 sebagai oksidator tidak dapat mengoksidasi
semua zat organik yang ada, namun cara ini sangat praktis dan cepat
pengerjaannya. Penentuan bilangan permanganat ditujukan untuk menentukan
kandungan zat organik dalam air alam, seperti air sungai, sumur dan danau
(Horran 1990). Menurut Winkler (1981) di dalam pengolahan zat organik akan
menghasilkan efek rasa dan bau, akibat dari pembusukan secara biologi. Warna
dalam air merupakan hasil kontak air dengan reruntuhan organik, seperti
tumbuhan, kayu, dan pembusukan dalam beberapa tingkatan variasi dekomposisi.
Asam humat dan humus yang berasal dari pembusukan lignin dianggap sebagai
penyebab utama timbulnya warna. Warna dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
yaitu warna semu (apparent color) disebabkan adanya partikel tersuspensi dan
warna nyata (true color) disebabkan oleh ekstraksi dari asam organik tumbuhan
yang berbentuk koloid.
Zat organik dapat disisihkan secara biologi, dengan beberapa variabel yang
berpengaruh antara lain jumlah oksigen terlarut (DO), waktu kontak, senyawa
pengganggu (inhibitor), jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton 1994).
Adanya oksigen menyebabkan proses oksidasi aerob dapat berlangsung, bahan–
bahan organik akan dirubah menjadi produk – produk akhir yang relatif stabil dan
sisanya akan disintesis menjadi mikroba baru. Secara umum mekanisme
penguraian organik dapat dilihat pada persamaan di bawah ini:
Standar maksimum kandungan zat organik khususnya kloroform dalam air
minum menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air
minum sebesar 200μg/liter. Bila telah melampaui batas maksimum yang telah
ditentukan tersebut maka dapat menyebabkan bau yang tidak sedap pada air
minum dan dapat menyebabkan sakit perut. Adanya zat organik dalam air dapat
diketahui dengan perubahan fisik dari air terutama dengan timbulnya warna, rasa,
bau dan kekeruhan.
2.2.3 Senyawa Amonia
Barnes (1980) mengatakan amonia (NH3) merupakan senyawa nitrogen
yang menjadi NH4+ atau disebut dengan amonium. Nitrogen amonia
keberadaannya di dalam air adalah sebagai amonium (NH4+), yaitu berdasarkan
reaksi kesetimbangan:
NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH
-
Amonia dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi secara
mikrobiologis zat organik yang berasal dari air alam atau air buangan industri dan
domestik. Adanya amonia tergantung pada beberapa faktor yaitu, sumber amonia,
tanaman air yang menyerap amonia sebagai nutrien, konsentrasi oksigen dan
suhu. Konsentrasi amonia dapat berubah-ubah sepanjang tahun, pada musim
panas konsentrasi senyawa ini lebih rendah, hal ini disebabkan amonia diserap
CO2 + H2O + Energi
Mikroba
Sel-sel baru
Bahan organik + O2
oleh tumbuhan, selain itu dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu air yang tinggi yang
dapat mempengaruhi proses nitrifikasi, sedangkan pada suhu yang rendah yaitu
musim dingin pertumbuhan bakteri berkurang dan proses nitrifikasi berjalan
lambat sehingga menyebabkan konsentrasi amonia pada sungai tinggi (Jennings
1991).
Menurut Dewi (1998) amonia banyak ditemukan pada air permukaan dan
air tanah dari mulai kadar rendah hingga mencapai 30 mg/L lebih (air limbah).
Kadar amonia yang tinggi pada air sungai menimbulkan gangguan kehidupan
perairan. Keberadaan amonia pada air minum menimbulkan rasa kurang enak
serta mengganggu kesehatan, sehingga pada air minum kadarnya harus nol dan
pada air sungai harus dibawah 1 mg/L. Barnes (1980) juga mengatakan bahwa
amonia dapat menyebabkan kondisi toksik bagi kehidupan perairan. Kadar
amonia bebas dalam air meningkat sejalan dengan meningkatnya pH dan suhu.
Kehidupan di perairan terpengaruh oleh kehadiran amonia, dimana pada
konsentrasi 1 mg/L dapat menyebabkan hewan air mati lemas karena oksigen
terlarut berkurang. Senyawa amonia dalam air dapat dihilangkan secara
mikrobiologi melalui proses nitrifikasi hingga menjadi nitrit dan nitrat dengan
penambahan oksigen melalui proses aerasi.
Senyawa amonia dapat mengurangi keefektifan klor yang biasanya
digunakan sebagai tahap akhir dalam pengolahan air untuk mereduksi
mikroorganisma dan bahan organik yang tersisa. Asam hipoklorid dapat bereaksi
dengan amonia membentuk kloramin dengan daya disinfektan rendah (Benefiled
dan Randall 1980).
2.2.4 Proses Nitrifikasi
Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang sangat penting dalam
kehidupan, karena nitrogen merupakan salah satu nutrien utama yang berperan
dalam pertumbuhan organisme hidup. Senyawa ini merupakan komponen dasar
protein yang keberadaannya di perairan digunakan oleh hewan dan tumbuh-
tumbuhan untuk memproduksi sel. Nitrogen di atmosfir sebagian besar dalam
bentuk gas nitrogen, jumlahnya ± 78% dan sangat terbatas dalam lingkungan air.
Pada umumnya gas nitrogen ini tidak dapat dipergunakan secara langsung
oleh makhluk hidup, hanya beberapa organisme khusus yang dapat mengubahnya
ke dalam bentuk organik nitrogen dan proses yang terjadi dinamakan fiksasi.
Peran senyawa nitrogen dalam proses pertumbuhan diketahui dari bentuk serta
perubahannya yang terjadi di alam dalam suatu siklus yang disebut siklus
nitrogen. Gambar 1 menunjukkan siklus nitrogen yang terjadi di lingkungan
perairan (Manahan 1994).
Gambar 1 Siklus Nitrogen (Manahan 1994)
Senyawa nitrit merupakan bahan peralihan dalam siklus biologi. Senyawa
ini dihasilkan dari proses oksidasi biokimia amonium, tetapi sifatnya tidak stabil
karena pada kondisi aerobik terbentuk nitrit, dan dengan cepat nitrit dioksidasi
menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter. Nitrat dalam kondisi anaerobik direduksi
menjadi ntrit yang selanjutnya hasil reduksi tersebut dilepas sebagai gas nitrogen.
Nitrit yang ditemui pada air minum dapat juga berasal dari bahan inhibitor korosi
yang dipakai industri untuk mengalirkan air dari sistem distribusi PAM. Pada air
permukaan, konsentrasi nitrit sangat rendah, tetapi konsentrasi yang tinggi
ditemukan pada air limbah dan rawa atau tempat dimana kondisi anaerobik sering
dijumpai. Di Indonesia konsentrasi nitrat di dalam air minum tidak boleh melebihi
10 mg/L (Alerts dan Santika 1984). Proses nitrifikasi didefinisikan sebagai
konversi nitrogen amonium (N-NH4) menjadi nitrit (N-NO2) yang kemudian
menjadi nitrat (N-NO3) yang dilakukan oleh bakteri autotropik dan heterotropik
(Grady dan Lim 1980).
Proses nitrifikasi ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu:
1 Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion amonium (NH4+) menjadi ion
nitrit (NO2-) oleh bakteri nitrosomonas dengan reaksi berikut:
NH4++ 1½ O2→ NO2
- + 2H
++ H2O + 2,75 KJ
Nitrosomonas
2 Tahap nitrasi merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO3-)
oleh bakteri nitrobacter dengan reaksi berikut:
NO2-+ ½O2→ NO3
-+ 75 KJ
Nitrobacter
Secara keseluruhan proses nitrifikasi adalah sebagai berikut:
NH4++ 2 O2→ NO3- + 2H
++ H2O
Menurut Arifin (1994) kedua reaksi diatas adalah reaksi eksotermik (reaksi
yang menghasilkan energi). Jika kedua jenis bakteri tersebut ada, baik di tanah
maupun di perairan maka konsentrasi nitrit akan berkurang karena nitrit dioksidasi
oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat. kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri
autotropik yaitu bakteri yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-
bahan anorganik dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses
nitrifikasi untuk membentuk sel sintesa yang baru. Sedangkan bakteri heterotropik
merupakan bakteri yang membutuhkan bahan-bahan organik untuk membangun
protoplasma. Walaupun bakteri nitrifikasi autotropik keberadaannya lebih banyak
di alam, proses nitrifikasi dapat juga dilakukan oleh bakteri jenis heterotropik
(Arthobacter) dan jamur (Aspergillus).
Horran (1990) berpendapat bahwa senyawa N-NH4+ yang ada di perairan
akan dioksidasi menjadi nitrat tetapi mengingat kebutuhan O2 yang cukup besar
maka akan terjadi penurunan oksigen di dalam perairan tersebut sehingga
mengakibatkan kondisi septik. Pada proses pengolahan senyawa N-NH4+ secara
biologis kebutuhan O2 cukup besar sehingga kebutuhan O2 yang tinggi dapat
dipenuhi dengan cara memperbesar transfer O2 ke dalam instalasi pengolahan.
Pada reaktor biofilter seperti yang digunakan dalam penelitian ini transfer O2 yang
besar dapat diperoleh dengan cara menginjeksikan udara ke dalam reaktor.
Adanya injeksi udara menggunakan blower diharapkan akan terjadi kontak antara
gelembung udara dan air yang diolah, dengan luas kontak yang sebesar-besarnya.
Miwa (1991) menyatakan ada beberapa faktor pengontrol proses nitrifikasi
dalam pengolahan air , yaitu:
1 Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved Oksigen)
Proses nitrifikasi merupakan proses aerob dan berjalan baik jika oksigen
terlarut > 1 mg/L.
2 Suhu
Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh temperatur antara
8 – 30°C, sedangkan temperatur optimalnya sekitar 30°C.
3 pH
pH optimal bakteri nitrosomonas dan nitrobacter antara 7.5 – 8.5 dan
aktivitasnya akan mengalami penurunan pada pH di bawah 6 atau diatas 9.
2.2.5 Pengaruh Senyawa Nitrogen
Manahan (1994) mengatakan bahwa senyawa nitrogen dalam jumlah yang
berlebih dengan berbagai bentuk dalam siklusnya dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, diantaranya:
1 Proses eutrofikasi yaitu dengan kehadiran senyawa nitrat dengan konsentrasi
tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang dalam jumlah yang tidak
terkendali sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan akibatnya kondisi
perairan menjadi septik.
2 Proses nitrifikasi mengakibatkan konsentrasi oksigen terlarut berkurang
sehingga mengakibatkan kerusakan kehidupan air.
3 Senyawa nitrit dapat membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi dengan
hemoglobin dalam darah sehingga pengikatan oksigen oleh hemoglobin
terganggu (metahaemoglobin).
4 Nitrat direduksi menjadi nitrit di dalam usus manusia, sehingga dapat
menyebabkan penyakit eyanosis (metahemoglobin) terutama terjadi pada bayi
atau yang lebih dikenal dengan penyakit blue-baby.
5 Konsentrasi senyawa amonia> 1 mg/L akan menyebabkan korosi pada pipa,
terutama yang terbuat dari tembaga.
2.2.6 Padatan Tersuspensi dan Kekeruhan
Air mengandung bermacam-macam senyawa polutan baik yang tersuspensi,
berupa koloid maupun yang terlarut.Senyawa-senyawa polutan yang ada dalam air
tersebut, secara umum dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yakni senyawa
atau zat yang terlarut (dissolved substances), padatan tersuspensi (suspended
solids, SS), dan partikel koloid (colloidal particles).Zat terlarut adalah semua
senyawa yang larut dalam air, dengan ukuran kurang dari beberapa
nanometer.Senyawa-senyawa ini umumnya berupa ion positif atau ion
negatif.Selain itu juga termasuk gas-gas yang terlarut misalnya oksigen,
karbondioksida, hidrogen sulfida dan lain-lain.Zat padat tersuspensi merupakan
senyawa bentuk padat yang berada dalam kondisi tersuspensi dalam air.Padatan
tersebut kemungkinan berasal mineral-mineral misalnya pasir yang sangat halus,
silt, lempung atau berasal dari zat organik misalnya asam humus, asam vulvat
yang merupakan hasil penguraian jasat tumbuh-tumbuhan atau binatang yang
telah mati.Di samping itu, padatan tersuspensi ini juga dapat berasal dari
mikroorganisme misalnya plankton, bakteria, alga, virus dan lain-lainnya.Semua
elemen-elemen tersebut umumnya menyebabkan kekeruhan atau warna dalam
air.Kekeruhan dalam air juga dapat disebabkan oleh keberadaan partikel koloid
dalam air. Partikel koloid hampir sama dengan padatan tersuspensi hanya
mempunyai ukuran yang lebih kecil yakni kurang dari 1 μm (mikron), dengan
kecepatan pengendapan yang sangat rendah sekali. Proses koagulasi-flokulasi
adalah merupakan proses dasar pengolahan air untuk menghilangkan padatan
tersuspensi dan partikel-partikel koloidal. Poses ini biasanya dilakukan pada tahap
akhir dari proses pemisahan zat cair dan zat padat (Degremont 1991).
Dispersi koloid dalam air merupakan partikel-partikel bebas yang tertahan
dalam air dalam bentuk suspensi.Hal ini disebabkan karena ukuran partikel yang
sangat halus (1-200 nm), hidrasi oleh air dan adanya muatan listrik
permukaan.Suatu koloid dikatakan stabil apabila tidak dapat menggumpal secara
alami.Faktor yang paling mempengaruhi stabilitas koloid dalam air adalah ukuran
partikelnya.Partikel dengan ukuran yang lebih besar, ratio luas permukaan partikel
terhadap berat partikel kecil sehingga pengendapan secara gravitasi menjadi
dominan.Beberapa contoh waktu pengendapan untuk berbagai jenis partikel dapat
dilihatseperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Waktu pengendapan untuk berbagai macam partikel
Diameter partikel Tipe
partikel
Waktu pengendapan
dalam 1 meter air
Luas spesifik
m2/m
3 mm µm Å
10 104 10
8 Kerikil 1 detik 6.10
2
1 103 10
7 Pasir 10 detik 6.10
3
10-1
102 10
6 Pasir halus 2 menit 6.10
4
10-2
10 105 Lempung 2 jam 6.10
5
10-3
1 106 Bakteri 8 hari 6.10
6
10-4
10-1
105 Koloid 2 tahun 6.10
7
10-5
10-2
104 Koloid 20 tahun 6.10
8
10-6
10-3
103 Koloid 200 tahun 6.10
9
Sumber : Dumont (2009)
2.2.7 Efisiensi Proses Penyisihan
Perhitungan penyisihan senyawa polutan didasarkan atas perbandingan
pengurangan konsentrasi zat pada titik masuk dan keluar terhadap konsentrasi zat
di titik masuk. Tingkat efisiensi yang didapat merupakan gabungan antara hasil
asimilasi oleh mikroorganisme heterotrof dan proses biologis oleh
mikroorganisme. Perhitungan tingkat efisiensi ini dilakukan dengan menggunakan
rumus perhitungan sebagai berikut:
Eff-C = Cin - Cout
X 100 % Cin
dimana ;
Eff-C = Persentase penyisihan konsentrasi zat (%)
Cin = Konsentrasi zat dalam titik masuk (mg/L)
Cout = Konsentrasi zat dalam titik keluar (mg/L)
2.2.8 Pengertian Mikroorganisme
Menurut Lay dan Hastowo (1992), mikroorganisme atau mikroba adalah
substansi bersel satu yang membentuk koloni atau kelompok dimana satu sama
lain dalam koloni tersebut saling berinteraksi. Dalam pertumbuhannya
mikroorganisme memerlukan sumber energi, karbon dan nutrisi. Berdasarkan
kebutuhan nutrisinya bakteri dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Heterotrop yaitu bakteri yang mengambil karbon dari karbon organik saja.
2. Autotrop yaitu bakteri yang menggunakan CO2 dan HCO3- sebagai sumber
karbon tunggal.
3. Fakultatif autotrop yaitu bakteri yang menggunakan senyawa organik maupun
CO2 sebagai sumber karbon.
Lay dan Hastowo (1992) juga menyatakan bahwa bakteri memerlukan
energi untuk melakukan aktivitasnya. Berdasarkan sumber energi bakteri dapat
dibedakan menjadi:
1. Phototrop yaitu bakteri yang menggunakan cahaya sebagai sumber energi.
2. Chenamotrop yaitu bakteri yang menggunakan reaksi kimia (reaksi reduksi
oksidasi bahan organik).
Setiap jenis mikroorganisme dapat hidup baik pada rentang temperatur
tertentu. Temperatur yang paling baik utuk aktivitas mikroorganisme disebut
temperatur optimal. Berdasarkan hal itu bakteri dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu:
1. Bakteri Psikrofil (oligotermik) yaitu bakteri yang hidup pada temperatur
antara 0oC – 30
oC dengan temperatur optimum 10
oC – 20
oC.
2. Bakteri Mesofil (mesotermik) yaitu bakteri yang hidup pada temperatur
antara 5oC – 60
oC dengan temperatur optimum 25
oC – 40
oC.
3. Bakteri Termofil (politermik) yaitu bakteri yang hidup pada suhu antara 40oC
-80oC dengan temperatur optimum 55
oC – 65
oC.
Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa jenis-jenis mikroorganisme
yang sering dijumpai pada proses pengolahan biologis adalah bakteri, jamur,
protozoa, alga, crustacea dan virus. Sel bakteri adalah sel yang paling berperan
dan banyak dipakai secara luas di dalam proses pengolahan air baku sehingga
struktur sel mikroorganisme lainnya dapat dianggap sama dengan bakteri.
Menurut Miwa (1991), beberapa jenis dari mikroorganisme seperti bakteri,
jamur, lumut, protozoa dan invertebrata adalah habitat dalam biofilm tertentu,
walaupun demikian bakteri, jamur dan lumut biasanya merupakan mayoritas.
Bakteri dan jamur mengambil zat-zat gizi dan zat-zat lainnya, sedangkan protozoa
dan invertebrata diharapkan hidup dari mereka. Kematian biomassa dari
mikroorganisme akan diuraikan oleh bakteri dan di dalam biofilm tersebut ada
sejenis rantai makanan.
2.2.9 Pengolahan Biologis
Miwa (1991) mengatakan bahwa di dalam proses pengolahan air yang
mengandung polutan senyawa organik, teknologi yang digunakan sebagian besar
menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan
organik tersebut. Proses pengolahan air limbah dengan aktifitas mikroorganisma
biasa disebut dengan proses biologis. Proses pengolahan secara biologis dapat
dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara)
atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya
digunakan untuk pengolahan air dengan beban BOD yang tidak terlalu besar,
sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air dengan
beban BOD yang sangat tinggi. pengolahan air yang mengandung polutan zat
organik dapat dilakukan secara biologis. Pada prinsipnya proses biologis akan
mengubah bahan-bahan pencemar yang berbentuk koloid atau terlarut yang ada
didalam air baku menjadi bentuk lain dalam bentuk gas, maupun jaringan sel yang
dapat dipisahkan dengan proses fisis seperti pengendapan. Begitupun juga dengan
Pelezar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologis didefinisikan
sebagai proses pemurnian sendiri di dalam air dengan penyesuaian kondisi yang
sesuai untuk meningkatkan efisiensi. Dalam beberapa penelitian kualitas air
sungai menyatakan apabila zat pencemar dibuang pada hulu mengalir ke hilir
melalui sungai, dengan berjalannya waktu sejumlah konsentrasi polutan akan
berkurang, hilang atau tereduksi pada derajat konsentrasi tertentu, gejala ini
dikenal dengan pemurnian sendiri oleh sungai (self cleaning service). Aktivitas ini
berjalan alami, mikroorganisme sebagai peran utama pada proses penyisihan ini
tumbuh, menempel pada permukaan kerikil dan tumbuhan air di sungai.
Pengolahan air limbah secara bilogis secara garis besar dapat dibagi menjadi
tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), proses
biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan
sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi
menggunakan aktifitas mikro-organisme untuk menguraikan senyawa polutan
yang ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara
tersuspesi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan
sistem ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard
activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration,
oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainya. Proses biologis dengan
biakan melekat berbeda dengan biakan tersuspensi dimana proses pengolahan air
dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Proses ini disebut juga
dengan proses film mikrobiologis atau proses biofilm. Beberapa contoh teknologi
pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling filter, biofilter
tercelup, reaktor kontak biologis putar (rotating biological contactor, RBC),
contact aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya (Bitton 1994). Secara
garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara biologis dapat dilihat
pada Gambar2.
Gambar 2 Proses pengolahan air secara biologis (Bitton 1994)
2.2.10 Teknologi Fixed Bed Reactor
Dalam proses pengolahan air yang mengandung polutan senyawa organik,
teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas mikroorganisme
untuk menguraikan senyawa organik polutan tersebut (Miwa 1991). Fixed bed
reactor adalah reaktor berbentuk pipa besar yang didalamnya berisi katalisator
padat. Bisanya digunakan untuk reaksi fasa gas atau cair dengan katalisator
padat.Katalisator disini digunakan sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme.Cara pemurnian limbah dengan bantuan bahan pengendali
biologis yang sangat efektif dan tidak membahayakan perairan maupun
mencemari perairan.
Fixed bedreactor biasanya terdiri dari katalis partikel padat (stationary
solid catalyst particle) yang bereaksi dengan aliran fluida. Aliran fluida bisa
berupa gas atau liquid (atau campuran keduanya) (Elma2010).Keuntungan
penggunaan fixed bed reactor, antara lain relatif stabil terhadap perubahan
kualitas influen dan keberadaan senyawatoksik, konsentrasi biomassa yang tinggi
dan waktu retensi solid yang panjang dapat dicapai (Malone and Timothy 2006),
mudah dalam proses aklimatisasi dan mampu mengatasi influen limbah yang
bervariasi tanpa kesalahan proses (Umana 2008).
Salah satu penjelasan mengenai peningkatan aktivitas biodegradasi yaitu
dimulai dengan peningkatan jumlah dari konsentrasi biomassa dalam
pertumbuhan sistem.Aktivitas yang tinggi ini juga dilengkapi untuk meningkatkan
konsentrasi dari nutrien yang melekat di dalam biofilm.(Madigan1997).
Sehubungan dengan bentuknya yang berlumpur, biofilm tersebut menjerab zat
partikulat dari pengolahan air, jadi konsentrasi nutrien dalam biofilm biasanya
lebih tinggi dibandingkan air yang bebas dari kandungan organik. Tingginya
konsentrasi nutrien dapat menyebabkan tinggi pula laju pertumbuhan
mikroorganisme dan mempertinggi aktivitas degradasi.Penjelasan mengenai
peningkatan aktivitas biodegradasi lainnya dapat dilihat dari perbedaan fisik
antara lekatan dan suspensi mikroorganisme.Perbedaan ini dapat menunjukkan
kecepatan laju pertumbuhan, aktivitas metabolik yang meningkat, dan hambatan
besar atau keracunan (Cohen 2000).
Menurut Bitton (1994), mekanisme proses metabolisme di dalam sistem
biofilm dalam suasana aerobik secara sederhana dapat dilihat pada Gambar3.
Gambar3 Mekanisme metabolisme di dalam reactor (Bitton 1994)
Gambar ini menunjukkan suatu sistem metabolisme yang terdiri dari
medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada pada medium, lapisan air
yang diolah dan lapisan udara yang terletak di luar. Senyawa polutan yang ada di
dalam air seperti amonium, nitrat, phospor, dan senyawa organik lainnya akan
terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan
medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di
dalam air, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang
ada di dalam lapisan biofilm dan energy yang dihasilkan akan diubah menjadi
biomassa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa.
Cara misalnya pada sistem RBC yakni melalui kontak dengan udara luar, pada
sistem trickling filter dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem fixed
bedreactor tercelup dengan mengunakan blower udara dan dibantu dengan pompa
sirkulasi.
Di dalam proses biologis ini apabila ini apabila lapisan biofilm cukup
tenang, maka pada bagian luar lapisan biofilm akan berada dalam kondisi aerobik
sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada
dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S,dan jika
konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H2S yang terbentuk tersebut
akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh baktri sulfat yang ada di dalam biofilm.
Pada zona aerobik, nitrogen-amonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat
kemudian pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses
denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Dalam proses biologis terjadi kondisi aerobik
dan anaerobik pada saar bersamaan , oleh karena itu dengan sistem biofilm ini
proses penyisihan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah (Bitton 1994).
Menurut Metcalf dan Eddy (2003) proses metabolisme pada
mikroorganisme adalah sebagai berikut:
Oksidasi
COHNS + O2 + bakteri CO2 + NH3 + produk +energy akhir (Materi organik)
Sintesa
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2(Materi organik)
Respirasi
C5H7NO2 + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2H2O + energi
Pelezar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologi efektif
dalam menyisihkan bahan-bahan organik. Beberapa factor yang mempengaruhi
efisiensi proses pengolahan antara lain:
1. Suhu (temperatur) air
Suhu optimal antara 20oC-30
oC dan efisiensi pengolahan akan berkurang pada
temperature yang lebih rendah atau lebih tinggi.
2. Nilai pH
Nilai pH optimal antara 7-7,5
3. Oksigen terlarut
Oksidasi dan penguraian dari zat-zat organik, nitrifikasi amonia dengan
mikroorganisme membutuhkan oksigen, sehingga apabila menginginkan
efisiensi lebih tinggi perlu ditambahkan aerasi atau suplai udara.
4. Penghambat
Kehadiran dari beberapa pencemar seperti logam berat, minyak, zat organik
berbahaya, tanah dan pasir halus yang tersuspensi menutup lapisan biofilm
dapat menghambat aktivitas biologis.Sehingga efisiensi pengolahan berkurang.
5. Frekuensi kontak
Frekuensi kontak dapat diartikan sebagai kapasitas pengolahan per unit luas
permukaan biofilm. Frekuensi kontak antara air yang akan diolah dengan
biofilm semakin tinggi maka efisiensi penyisihan akan meningkat.
Dalam proses pengolahan air yang mengandung polutan senyawa organik,
teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas mikroorganisme
untuk menguraikan senyawa organik polutan tersebut (Miwa 1991). Fixed bed
reactordidefinisikan sebagai suatu tube silindrikal yang dapat diisi dengan
partikel-partikel katalis. Selama operasi, gas atau liquid atau keduanya akan
melewati tube dan partikel-partikel katalis, sehingga akan terjadi reaksi, baik reksi
kimia maupun raksi biologis (Yariv 2001). Katalisator disini digunakan sebagai
media pertumbuhan mikroorganisme. Cara penanganan limbah dengan bantuan
bahan pengendali biologis sangat efektif dan tidak membahayakan perairan
maupun mencemari perairan.
Fixed bed reactorbiasanya terdiri dari katalis partikel padat (stationary solid
catalyst particle) yang bereaksi dengan aliran fluida. Aliran fluida bisa berupa gas
atau liquid (atau campuran keduanya) (Elma 2010). Keuntungan penggunaan fixed
bed reactor, antara lain relatif stabil terhadap perubahan kualitas influen dan
keberadaan senyawa toksik, konsentrasi biomassa yang tinggi dan waktu retensi
solid yang panjang dapat dicapai, mudah dalam proses aklimatisasi dan mampu
mengatasi influen limbah yang bervariasi tanpa kesalahan proses (Umana et al.
2008).
Biofilm heterogen biasa tumbuh di dalam media yang digunakan bioreaktor.
Biofilm tersebut dapat menyebabkan korosif bila berada di air permukaan, namun
pada bioreaktor-bioereaktor tertentu biofim ini menjadi sesuatu yang
menguntungkan seperti pada bioreaktor trickling filters, submerged, aerated fixed
bed reactors, dan rotating disc reactors (Wiesmann et al.2007).
Fixed bed reactorberoperasi secara aerobik dimana pada area bawah reaktor
terdapat aerator, fixed bed reactorini memproduksi aliran dua fase pada sistem
tiga fase dengan aliran naik ke atas (up flow) (Westerman 2006). Biomassa yang
terdapat dalam bioreaktor ini dapat melekat pada permukaan media dan juga
tersuspensi didalam air seperti flok. Hal yang tidak mudah untuk menghindari
hambatan pada daerah biofilm yang memiliki ketebalan yang besar dan dengan
laju alir yang rendah. Sehingga fixed bed reactorharus dibersihkan sewaktu-waktu
dengan meningkatkan laju alir air (Schulz dan Menningmann 1999).
Dalam rangka meningkatkan efisiensi penyisihan bahan organik dan kotoran
yang berada dalam air (influent) dibutuhkan laju bioreaksi yang rendah dalam
reaktor yang memiliki biofilm di dalamnya sehingga dibutuhkan juga laju substrat
yang rendah.Tujuan lainnya yaitu untuk mengontrol kesatabilan biofilm karena
adanya aliran air ke dalam biofilm tersebut (Martinov et al.2010). Menurut
Blackwell (2010), energi yang digunakan pada bioreaktor dengan sistem aerasi
(sehingga terbentuk gas dalam CO2) dalam pengolahan limbah cair memiliki
empat fungsi utama, yaitu untuk menghilangkan karbon (senyawa organik),
proses nitrifikasi, menghillangkan phosphor, pencuci hama, menghilangkan
kotoran berupa mikroorganisme.
Grady dan Lim (1980) menyatakan ada beberapa keuntungan dari jenis
reaktor biofilter ini antara lain:
1. Pengoperasiannya mudah
Di dalam proses pengolahan air sistem biofilm, dengan dilakukan ataupun
tanpa dilakukan sirkulasi lumpur tidak menimbulkan masalah bulking seperti
yang terjadi pada proses dengan biakan tersuspensi misalnya pada sistem
lumpur aktif, oleh karena itu pengelolaannya lebih mudah.
2. Lumpur yang dihasilkan sedikit
Lumpur yang dihasilkan proses biofilm relatif lebih kecil dibandingkan
dengan proses lumpur aktif, dimana 30–60% dari organik yang dihilangkan
diubah menjadi lumpur aktif (biomasa) sedangkan pada proses biofilm hanya
sekitar 10-30%. Hal ini disebabkan karena pada proses biofilm rantai
makanan lebih panjang dan melibatkan aktifitas mikroorganisme dengan orde
yang lebih tinggi dibandingkan pada proses lumpur aktif.
3. Tepat untuk mengolah air dengan konsentrasi polutan rendah maupun tinggi.
Proses pengolahan air dengan sistem biofilm ini mikroorganisme melekat
pada permukaan media penyangga, sehingga pengontrolan proses pengolahan
terhadap aktivitas mikroorganisma lebih mudah. Proses biofilm cocok
digunakan untuk mengolah air limbah dengan konsentrasi rendah sampai
konsentrasi tinggi.
4. Tahan terhadap fluktuasi jumlah air baku maupun konsentrasi polutan
Mikroorganisma dalam proses biofiltrasi melekat pada permukaan unggun
media, akibatnya konsentrasi biomassa mikroorganisme persatuan luas atau
volume media relatif besar sehingga tahan terhadap fluktuasi beban organik
maupun fluktuasi beban hidrolik.
5. Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan kecil
Jika suhu air baku turun aktifitas mikroorganisme berkurang, tetapi oleh
karena didalam proses biofilm substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai
ke bagian dalam lapisan biofilm dan lapisan biofilm cukup tebal maka
pengaruh penurunan suhu (suhu rendah) tidak begitu besar.
2.2.11 Biofilm
Biofilm adalah kumpulan selmikroorganisme, khususnya bakteri, yang
melekat di suatu permukaan dan diselimuti oleh pelekat karbohidrat yang
dikeluarkan oleh bakteri.Biofilm terbentuk karena mikroorganisme cenderung
menciptakan lingkungan mikro dan relung (niche) mereka sendiri.Biofilm
memerangkap nutrisi untuk pertumbuhan populasi mikroorganisme dan
membantu mencegah lepasnya sel-sel dari permukaan pada sistem yang
mengalir.Permukaan sendiri adalah habitat yang penting bagi mikroorganisme
karena nutrisi dapat terjerap pada permukaan sehingga kandungan nutrisinya
dapat lebih tinggi daripada di dalam larutan.Konsekuensinya, jumlah dan aktivitas
mikrobaa pada permukaan biasanya lebih tinggi daripada di air.Bukti-bukti
menunjukkan bahwa pembentukan biofilm lebih disukai oleh mikroorganisme,
dan hampir semua permukaan yang terkena kontak dengan mikroba dapat
mendukung pembentukan biofilm. Selain bakteri, mikroorganisme lainnya seperti
alga dan khamir (fungi bersel satu) juga dapat membentuk biofilm (Madigan et al.
2006)
Biofilm terbentuk karena prakarsa koloni bakteri dan sianobakteri yang
melekat pada batuan tersebut.Sampai saat ini, fosil tersebut adalah fosil organisme
hidup tertua yang diketahui sehingga biofilm diperkirakan sudah ada pada awal
mula kehidupan di bumi.Komposisi biofilm terdiri dari sel-sel mikroorganisme,
produk ekstraseluler, detritus, polisakarida sebagai bahan pelekat, dan air yang
adalah bahan penyusun utama biofilm dengan kandungan hingga 97% (Rodser et
al. 2004).Polisakarida (polimer dari monosakarida atau gula sederhana) yang
diproduksi oleh mikroba untuk membentuk biofilm termasuk eksopolisakarida
(EPS) yaitu polisakarida yang dikeluarkan dari dalam sel. EPS yang disintesis
oleh sel mikrobaa berbeda-beda komposisi dan sifat kimiawi dan
fisikanya.Beberapa adalah makromolekul yang bersifat netral, namun mayoritas
bermuatan karena keberadaan asam uronat (Asam D-glukuronat), Asam D-
galakturonat, dan Asam D- manuroniat. Ada biofilm yang bersifat kaku karena
EPS-nya terdiri dari ikatan ß-1,4 atau ß-1,3 glikosida (ikatan monosakarida
monomer penyusun polisakarida) seperti EPS xanthan gum yang dihasilkan oleh
Xanthomonas campestris tetapi ada juga yang bersifat fleksibel karena memiliki
ikatan α-1,2 atau α-1,6 glikosida yang banyak ditemukan pada dekstran. Beberapa
contoh EPS selain xanthan gum adalah asam kolanat yang diproduksi oleh
Escherichia coli, alginat oleh P. aeruginosa, dan galaktoglukan oleh Vibrio
cholerae. Bahan-bahan penyusun biofilm yang lain contohnya adalah protein,
lipid, dan lektin (Prescott et al. 2002).
Struktur dari suatu biofilm adalah unik tergantung dari lingkungan
tempatnya berada, contohnya adalah kandungan nutrisi dan keadaan fisik.Selain
itu, di alam, sangat jarang terdapat biofilm yang hanya terdiri dari satu spesies,
biasanya biofilm tersusun dari beberapa spesies dalam lapisan-lapisan yang
berbeda (Romeo 2008).Mikroorganisme fotosintetik ada di permukaan paling
atas, mikroorganisme kemoorganotrof anaerob fakultatif di bagian tengah,
sedangkan di bagian dasar adalah mikroorganisme anaerob pereduksi sulfat. Pada
bagian atas, cahaya matahari lebih mudah didapat sehingga dapat digunakan
untuk fotosintesis, sedangkan bagian tengah dapat dihuni oleh mikroba
kemoorganotrof fakultatif anaerob karena dapat mentolerir kandungan udara yang
sedikit serta banyak dapat mengakses bahan organik sebagai sumber energinya
(Zhang et al. 1998).
Pada bagian dasar, tidak terdapat kandungan udara sehingga mikroba
anaerob pereduksi sulfat dapat tumbuh dan energi dengan cara mereduksi sulfat.
Pemodelan habitat mikroba-mikroba tersebut dapat diamati menggunakan Kolom
Winogradsky. Struktur biofilm yang lebih kompleks dapat berbentuk empat
dimensi (x,y,z, dan waktu) dengan agregat sel, pori-pori, dan saluran penghubung.
Tergantung dari kondisi lingkungannya, biofilm dapat menjadi sangat besar dan
tebal sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang contohnya pada lingkungan air
laut dapat terbentuk stromatolit.Struktur dan ukuran biofilm sangat bergantung
pada konsentrasi substrat (Rigent et al. 1999).
Gambar 4 Pembentukan biofilm (Rigent et al. 1999)
Komunikasi antar sel penting bagi perkembangan dan pemeliharaan
biofilm.Pelekatan suatu sel pada suatu permukaan adalah hasil dari sinyal untuk
mengekspresikan gen-gen pembentuk biofilm.Gen-gen ini mengkodekan protein-
protein untuk mensitensis sinyal komunikasi antarsel dan memulai pembentukan
polisakarida. Pada bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, molekul
sinyal yang utama adalah komponen yang disebut homoserin lakton yang
berfungsi sebgai agen kemostatik untuk mengumpulkan sel-sel P. aeruginosa
yang berdekatan (melalui mekanisme quorum sensing) dan membentuk biofilm.
Ada 5 tahap pembentukan biofilm yaitu:
1. Pelekatan awal: mikroba melekat pada permukaan suatu benda dan dapat
diperantarai oleh fili (rambut halus sel) contohnya pada P.aeruginosa.
2. Pelekatan permanen: mikroba melekat dengan bantuan eksopolisakarida
(EPS).
3. Maturasi I: proses pematangan biofilm tahap awal.
4. Maturasi II: proses pematangan biofilm tahap akhir, mikroba siap untuk
menyebar.
5. Dispersi: Sebagian bakteri akan menyebar dan berkolonisasi di tempat lain
(Stoodley et al. 1999).
Alasan bakteri membentuk biofilm adalah karena daya tahan hidup/sintasan
(survival) meningkat dan pertumbuhan menjadi lebih baik (Wimpenny dan
Colasanti 1997). Setidaknya ada empat alasan yang mendasari hal tersebut:
1. Pertahanan
Biofilm berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bagi bakteri dengan cara
meningkatkan resistensi terhadap gaya fisik yang dapat menyapu bersih sel-
sel yang tidak menempel, fagositosis oleh sel-sel sistem imun (kekebalan)
tubuh, dan penetrasi dari senyawa beracun seperti antibiotik. Bakteri di dalam
biofilm lebih resisten 10-1.000 kali dibandingkan bila tidak di dalam biofilm.
2. Pelekatan pada relung
Dengan menggunakan biofilm, bakteri dapat melekat pada permukaan yang
kaya akan nutrisi seperti jaringan sel hewan, atau permukaan substrat pada
sistem yang mengalir contohnya permukaan batu di dalam aliran air.
3. Kolonisasi
Pembentukan biofilm membantu sel-sel bakteri untuk hidup berdekatan dan
membentuk koloni.Contohnya adalah Pseudomonas aeruginosa yang
berkoloni dengan biofilm sehingga memfasilitasi komunikasi antar sel dengan
molekul sinyal, dan meningkatkan peluang pertukaran materi genetik. Di
alam, biofilm adalah cara hidup alami bagi beberapa bakteri tertentu dengan
alasan terbatasnya nutrisi, tidak seperti medium buatan yang kaya akan nutrisi
bagi bakteri.
Tabel 2 Jenis bakteri pembentuk biofilm pada air dan limbah cair
Bakteri gram positif Bakteri gram negatif Mikroorganisme lain
Corynebacterium spp. Acinetobacter spp. Candida spp.
Enterococcus spp. Escherichia coli Candida albicans
Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa Candida tropicalis
Streptococcus pneumoniae Serratia marcescens Mycobacterium chelonae
4. Pengolahan limbah
Pemanfaatan biofilm untuk mengolah limbah sudah diaplikasikan saat ini
contohnya untuk mengolah limbah cair.Pada biofilm di fasilitas pengolahan
limbah cair, terdapat berbagai macam mikroba yang dapat menguraikan
senyawa-senyawa baik organik maupun inorganik pada limbah.Misalnya saja
bakteri pengoksidasi sulfur (S) yang berperan untuk mendaur ulang sulfur,
lalu bakteri pengikat Uranium (U) yaitu Desulfovibrio desulfuricans.Alat
yang digunakan untuk mengolah limbah dengan biofilm berupa bioreaktor
yang memiliki biofilm contohnya sequencing batch biofilm reactor (SBBR).
2.2.12 Media pada Fixed Bed Reaktor
2.2.12.1 Batu Apung
Batu Apung Batu apung (pumice) adalah jenis batuan yang berwarna terang,
mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas, dan biasanya
disebut juga sebagai batuan gelas volkanik silikat. Batuan ini terbentuk dari
magma asam oleh aksi letusan gunung api yang mengeluarkan materialnya ke
udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi
sebagai batuan piroklastik. Batu apung mempunyai sifat vesicular yang tinggi,
mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih
gas alam yang terkandung di dalamnya, dan pada umumnya terdapat sebagai
bahan lepas atau fragmen-fragmen dalam breksi gunung api (Fauzi2010). Menurut
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara (2009) komposisi kimia
dari batu apung adalah sebagai berikut : CaO = 2.86%, MgO = 2.57%, Al2O3 =
17.59%, SiO2 = 60.56%, Fe2O3 = 4.08%.
Batu apung ini mempunyai sifat hydraulis. Pumice berwarna putih abu-abu,
kekuningan sampai merah, tekstur vesikuler dengan ukuran lubang yang
bervariasi baik berhubungan satu sama lain atau
tidak struktur skorious dengan lubang yang terorientasi. Kadang-
kadang lubang tersebut terisi oleh zeolit atau kalsit. Batuan ini tahan terhadap
pembekuan embun (frost), tidak begitu higroskopis (mengisap air).Mempunyai
sifat pengantar panas yang rendah dan kekuatan tekan antara 30-20
kg/cm2(Wesley 2001).
2.2.12.2 Media Biakan Kemasan Plastik Tipe Sarang Tawon
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada media
biakan (penyangga) adalah kecepatan aliran bentuk, jenis dan konfigurasi media.
Media biakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat antara lain :
1. Luas permukaan besar
2. Tidak bersifat racun (toksik) terhadap mikroorganisme
3. Sifat fisika dan kimia stabil
4. Celah difusi udara dapat dilewati oleh lapisan biofilm yang mati dan terlepas.
Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batu pecah (split), media
plastik (polivinil klorida), dan partikel karbon aktif dan lainnya. Media yang
sering digunakan pada proses biologis khususnya biofilter adalah media plastik
tipe sarang tawon. Kelebihan media plastik tipe sarang tawon ini antara lain :
1. Luas permukaan per satuan volume (luas spesifik) besar antara 85-226 m2/m
3
2. Volume rongga besar (±95%) sehingga resiko kebuntuan kecil
3. Ringan, mudah diaplikasikan dan dapat disusun sampai ketinggian 10 m.
Di dalam reaksi biofilter, mikroorganisme tumbuh melapisi keseluruhan
permukaan media dan pada saat beroperasi air mengalir melalui celah-celah media
kemudian kontak dengan lapisan mikroba (biofilm). Proses awal pertumbuhan
mikroba dan pembentukan lapisan film pada media membutuhkan waktu 14-60
hari, yang dikenal dengan proses pematangan (Watten 2006). Pada awalnya
tingkat efisiensi penyisihan sangat rendah yang kemudian akan mengalami
peningkatan setelah terbentuknya lapisan film biologis. Mekanisme perpindahan
masa yang terjadi pada permukaan media dinyatakan sebagai berikut :
1. Difusi substansi air (mengandung polutan) ke dalam masa mikroba yang
melapisi media
2. Reaksi peruraian bahan organik maupun anorganik oleh mikroba
3. Difusi hasil penguraian ke luar dari badan air yang mengandung polutan.
2.3 Kerangka Pemikiran
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, air baku mengalami
penurunan kualitas sehingga sumber air baku berupa air sungai di beberapa
tempat sudah tidak memenuhi kriteria mutu air baku. Penurunan kualitas air baku
menyebabkan pemakaian bahan kimia untuk proses koagulasi meningkat sehingga
biaya pengolahan semakin mahal. Zat pencemar yang berasal dari limbah
domestik maupun industri seperti organik, amonia, nitrit dan nitrat dapat direduksi
dengan proses biologis. Penerapan perlakuan pendahuluan air baku menggunakan
teknologi fixed bed reactordengan beberapa media yang diberikan berupa media
batu apung,plastik komersil dan plastik AMDK diharapkan dapat mereduksi zat
pencemar, sehingga kualitas air baku meningkat dan pemakaian bahan kimia
dapat ditekan sehingga biaya operasional lebih murah.
Indikator keberhasilan pada teknologi fixed bed reactoryang dilakukan ini
dapat ditentukan dengan cara melihat efisiensi reduksi polutan, kecepatan reduksi
polutan yang berkaitan dengan waktu tinggal hidrolik yang paling singkat namun
efisiensi penyisihan zat pencemarnya tinggi, serta kualitas hasil air olahan dilihat
dari beberapa parameter yang diamati. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di
atas kemudian dirumuskan dalam bentuk diagram alir seperti disajikan dalam
Gambar4.
Limbah pertanian,
peternakan,
perikanan, dll.
Limbah industri Limbah domestik
Pencemaran
Air sungai
Penerapan Fixed
bed reactor
-kualitas air
olahan meningkat
-biaya pengolahan
turun
Gambar5 Bagan kerangka pemikiran