82
1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BALANGAN Oleh : Dra. Rabiatul Adawiah M.Si FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2011

2%20STANDAR%20PELAYANAN%20PENDIDIKAN.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    LAPORAN PENELITIAN

    STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN

    DI KABUPATEN BALANGAN

    Oleh :

    Dra. Rabiatul Adawiah M.Si

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

    2011

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Secara filosofis tanggung jawab pendidikan melekat pada keluarga,

    masyarakat dan pemerintah. Dalam kontek rumah tangga negara pendidikan

    merupakan hak setiap warga negara, maka di dalamnya mengandung makna

    bahwa negara berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada

    warganya. Karena itu pengolahan sistem Pelayanan Minimal (SPM) Bid.

    Pendidikanharus didesain dan dilaksanakan secara bermutu, efektif dan

    efisien. Pelayanan pendidikan harus beroreantasi pada upaya peningkatan

    akses pelayanan seluas-luasnya bagi warga masyarakat.

    Apa yang tersurat tersirat dalam pasal 31 UUD 1945 diperjelas dalam

    Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang sistem Pendidikan Nasional

    Menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

    kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

    dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

    berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

    dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berkhlak mulia, sehat, berilmu,

    cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

    bertanggung jawab

    Filosofis dalam Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

    dijiwai oleh cita-cita luhur sebagaimana rumusan yang termaktub dalam

  • 3

    amanat konstitusi tersebut. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

    Bid. Pendidikan ini sebagai acuan/pedoman bagi para pemangku

    kepentingan di bidang pendidikan dalam rangka pembangunan manusia yang

    berilmu pengetahuan, mampu membangun dan menguasai teknologi, serta

    berdaya saing tinggi, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada

    Tuhan Yang Maha Esa. Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan

    rencana implementasi bidang pendidikan di Kabupaten Balangan.

    B. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, masalahnya dapat dirumuskan

    sebagai berikut : Bagaimanakah standar pelayanan pendidikan dasar di

    Kabupaten Balangan

    C. Tujuan Kegiatan

    Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan kegiatan ini adalah

    untuk mengetahui standar pelayanan minimum pendidikan dasar di kabupaten

    Balangan.

    D. Manfaat Kegiatan

    Manfaat dari kajian ini adalah dapat digunakan sebagai

    acuan/pedoman bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan

    dalam rangka pembangunan manusia yang berilmu pengetahuan, mampu

    membangun dan menguasai teknologi, serta berdaya saing tinggi, yang

  • 4

    berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan rencana implementasi

    bidang pendidikan di Kabupaten Balangan

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Pelayanan Publik

    1. Pengertian

    Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik

    (public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan

    umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut

    dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan

    mendasar.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian

    pelayanan bahwa pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan

    (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service

    dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai a system that provides something

    that the public needs, organized by the government or a private company.

    Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang

    menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

    Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public),

    terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa

    Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian

    umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering

    (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility

    (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service

  • 6

    (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan

    dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas

    negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan

    negara) dan public sector (sektor negara). Dalam hal ini, pelayanan publik

    merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum.

    Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak

    sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish

    (2005 : 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang

    mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang

    benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

    Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meng

    PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan

    publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara

    pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan

    maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service

    sebagai a service such as transport or health care that a government or an

    official organization provides for people in general in a particular society.

    Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang

    harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini

    juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan

    layanan jasa dan atau barang publik.

  • 7

    Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu

    penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service

    provider (Barata, 2003 : 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu

    layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk

    penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima

    layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen

    (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.

    Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang

    melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan, yaitu:

    (a) Pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses

    penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,

    pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang,

    penjualan dan pengadministrasiannya.

    (b) Pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi

    yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.

    Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta.

    Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:

    a. Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan

    kepercayaannya;

    b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup

    organisasi.

    Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang

    membedakannya dari pelayanan swasta adalah:

  • 8

    a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata.

    Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban,

    kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.

    b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk

    sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional, atau bahkan nasional.

    Contohnya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan

    bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk

    membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.

    c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi

    pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip

    utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi

    nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan

    petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.

    d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan

    peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi

    masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada

    pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta

    masyarakat dalam kegiatan pelayanan.

    e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung,

    yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.

    Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh

    hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan

    keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.

  • 9

    f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan

    masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

    B. Ruang Lingkup Pelayanan Publik

    Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible),

    barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak

    nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini

    memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah

    diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk

    dinilai. Walaupun demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan.

    Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa

    pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya

    pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya.

    Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua)

    jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari

    Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.

    Tabel 1

    Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa

    Barang Jasa

    Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud

    Satu jenis barang dapat berlaku untuk

    banyak orang (homogen)

    Satu bentuk pelayanan kepada

    seseorang belum tentu sesuai/sama

    dengan bentuk jasa pelayanan kepada

    orang lain (heterogen)

    Proses produksi dan distribusinya

    terpisah dengan proses konsums

    Proses produksi dan distribusi

    pelayanan berlangsung bersamaan pada

    saat dikonsumsi

    Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan

  • 10

    Nilai utamanya dihasilkan di

    perusahaan

    Nilai utamanya dihasilkan dalam proses

    interaksi antara penjual dan pembeli.

    Pembeli pada umumnya tidak terlibat

    dalam proses produksi

    Pembeli terlibat dalam proses produksi

    Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan

    Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan

    Sumber: Gronroos (1990)

    Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa

    yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok

    berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyediaan

    pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika

    pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang

    bersangkutan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan

    penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi

    kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption

    adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat

    dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada

    pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.

    Tabel 2

    Pengelompokkan Barang dan Jasa

    Berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Comsumption

    Exclusion

    Consumption

    Konsumsi

    Individual

    Konsumsi

    Kolektif

    Mudah mencegah orang

    lain untuk ikut menikmati Barang privat

    Barang semi

    publik

    Sulit mencegah orang

    lain untuk ikut menikmati

    Barang semi

    privat Barang publik

    Sumber : Savas, (1987)

  • 11

    a. Barang privat

    Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat

    diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan

    biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta

    transaksi pembelian. Contoh: makanan, pakaian.

    b. Barang semi privat

    Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah

    siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau

    biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat

    ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah

    orang lain untuk tidak ikut mendengarkan.

    c. Barang semi publik

    Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si

    pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat

    dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut.

    Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari

    pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dengan ciri barang

    publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik.

    Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang

    d. Barang publik

    Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak

    mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat

  • 12

    (pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa

    untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman.

    Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang

    privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan

    barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus

    untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.

    Selanjutnya Nurcholis (2005 : 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan

    publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:

    a. Pendidikan.

    b. Kesehatan.

    c. Keagamaan.

    d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.

    e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.

    f. Sosial.

    g. Perumahan.

    h. Pemakaman/krematorium.

    i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.

    j. Air minum.

    k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.

    Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman

    Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik

    secara garis besar adalah sebagai berikut:

    1. Pelayanan administratif

  • 13

    2. Pelayanan barang

    3. Pelayanan jasa

    Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh

    pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan

    publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003 :

    16) sebagai berikut:

    1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output

    maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

    2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam

    hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat

    ditentukan dengan jelas.

    3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal bottom line artinya seburuk apapun

    kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.

    4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam

    memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah

    menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah

    sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari

    kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

    Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa

    yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan

    penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga

    menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect,

    dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu

  • 14

    diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana

    yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan

    oleh pemerintah.

    C. Paradigma Pelayanan

    Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi

    birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi

    pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas

    pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah.

    Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar

    kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak

    pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya

    memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

    Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi

    karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja

    pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996 : 13)

    menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu:

    1. Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang

    lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam

    kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfungsional

    tidak menghasilkan hasil yang signifikan.

    2. Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan

    yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam

  • 15

    kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya

    tidak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.

    3. Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan

    pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam

    kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali

    menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.

    4. Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila

    mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara

    sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.

    5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber

    daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan

    terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.

    Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu

    prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip

    streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah

    diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh.

    Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang

    profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus

    menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar

    tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih

    banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah

    semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan.

  • 16

    Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada

    pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika

    Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki

    kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori

    oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret

    Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan

    terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan

    negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN. Banyak negara

    yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand,

    dan menyebar ke seluruh dunia.

    Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi

    entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara

    pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan

    pelayanan publik haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5

    Strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu:

    1. Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan

    2. Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja

    3. Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu.

    4. Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat

    5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha

    Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan

    adalah pergeseran dari birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang

    melayani. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak

  • 17

    serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal

    ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan

    dengan mini pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather

    than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan

    partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.

    Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co-

    production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-

    an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang

    menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat

    dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co production

    mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun

    proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint

    responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik. Sehingga di sini kita tidak

    lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan

    pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai

    bagian dari pemberi layanan.

    Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat

    dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor

    publik, yaitu consumer producer, regular producer dan co-production. Menurut

    Parks consumer producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang

    pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain,

    regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan

    merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan

  • 18

    membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production

    memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada proses produksi untuk barang

    dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi

    output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang

    dan jasa.

    Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002 : 15)

    menjelaskan bahwa partisipasi publik terutama dalam proses pengambilan

    keputusan adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya

    tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga.

    Sedangkan menurut Marschall (2004 : 231), tujuan dari partisipasi publik adalah

    pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan

    keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.

    Heller dalam Rich (1995 : 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi,

    yaitu partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada

    organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih

    tujuan dan metode mereka sendiri, dan partisipasi mandat pemerintah

    (government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di

    mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan

    (kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga.

    Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983 : 14-15) membedakan partisipasi

    ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi

    langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi

    dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi

  • 19

    parlemen. Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan

    penyelenggaraan pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara

    partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam

    penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasehat, aktivitas dengan

    pendapat, keterlibatan di kelompok-kelompok kepentingan dan partisipasi dalam

    lembaga pemerintah. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan

    yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati

    pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang

    berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara

    langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum.

    Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai

    penyedia pelayanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau

    penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan

    publik (co-produser).

    Gambar 1

    Partisipasi dalam Pelayanan Publik

    Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5).

    Service

    Participation

    Co-producer

    Citizenry

    Government

  • 20

    Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil

    jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga

    masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum,

    sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan

    oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996 : 86) menjelaskan bahwa

    coproduction as the process through which inputs used to produce a good or

    service are contributed by individuals who are not in the same organization,

    yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input yang digunakan untuk

    menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari

    organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan yang

    seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah termasuk kegiatan ko-produksi

    dalam pelayanan umum.

    Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983 : 41) telah meneliti

    bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai

    jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat

    antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.

    pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan

    pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik

    berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui

    sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-

    teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus

    dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah

  • 21

    keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam

    proses pemberian pelayanan publik.

    Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam

    pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan

    memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai

    tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam

    hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan

    pelayanan publik.

    D. Kualitas Pelayanan

    Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan

    layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu

    menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama

    ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya

    tinggi. Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia

    layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik.

    Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis

    yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang

    memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya

    kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan

    pelanggan.

    Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut

    Pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:

  • 22

    1. Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu

    fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap

    karakteristik produknya.

    2. User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian

    pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan.

    3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.

    Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai

    beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan,

    persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi

    eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan.

    Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi

    pada gambar berikut ini:

    Gambar 2

    Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan

  • 23

    Sumber : Delivering Quality Service, Zeithaml, et. Al., (1990), hal. 131

    Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi

    manajemen (Management Perception of Customer Expectation).

    Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan

    pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang

    terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab

    lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan

    petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari

    merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi

    harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya

    jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor

    munculnya kesenjangan ini.

  • 24

    2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of

    Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality

    Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang

    dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi

    manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demikian

    pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak

    adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.

    3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality

    Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).

    Kesenjangan ini terjadi karena munculn konflik peran dalam diri pegawai

    dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan

    untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknologi yang

    tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan

    penghargaan, serta kurang kerjasama internal.

    4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External

    Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan

    (Service Delivery).

    Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam

    organisasi.

    5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)

    dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).

    Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari

    tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda

  • 25

    dengan kesenjangan sebelumnya, kesenjangan kelima ini menitikberatkan

    pada sisi pelanggan.

    C. Standar Pelayanan Publik

    1. Prinsip-prinsip Dasar

    Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas,

    diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur

    pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan

    fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang.

    Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive

    order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua

    instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting

    customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai

    berikut :

    ldentify customer who are, or should be, served by the agency, survey the

    customers to determine the kind and quality of service they want and their

    level of satisfaction with existing service, post service standards and measure

    result against the best business, provide the customers with choice in both

    sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means

    to adress customer complaints.

    Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi

    pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk

  • 26

    menentukan jenis dari kualitas pelayanan yang mereka inginkan dari untuk

    menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan,

    termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik,

    menyediakan berbagai pilihan sumber-sumber pelayanan kepada pelanggan dan

    sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk

    menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.

    Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme,

    yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari

    visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip

    tersebut adalah :

    a. Menentukan standar pelayanan;

    b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;

    c. Berkonsultasi dan terlibat;

    d. Mendorong akses dan pilihan;

    e. Memperlakukan semua secara adil;

    f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;

    g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;

    h. Inovatif dan memperbaiki; dan

    i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.

    Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam

    kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.

    upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:

  • 27

    1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan

    Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,

    2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun

    1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

    3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan peningkatan Mutu

    Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

    4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang

    Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi

    Mendagri No. 20/1996;

    5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat

    Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran

    Mendagri No. 503/125/PUOD/1999; yang kesemuanya itu bermuara pada

    peningkatan kualitas pelayanan.

    6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum

    7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan

    Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002

    8. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum

    Penyelenggaraan Pelayanan publik.

    Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud

    masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya

    masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan

    yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan

    publik.

  • 28

    Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah

    suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan

    sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan

    untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yang dimaksud dengan

    pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak

    mengandung kesalahan. Serta mengikuti proses dan prosedur yang telah

    ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan

    oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun

    dipenuhi kebutuhannya.

    Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN,

    2003) antara lain adalah:

    1. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan

    dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus

    pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara

    pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan,

    menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring

    dan evaluasi kinerja pelayanan.

    2. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan

    publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara

    pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini

    disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan

    memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat,

    mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan

  • 29

    lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,

    kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.

    3. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu

    unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang

    terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat

    terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan,

    waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan

    memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan

    pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat

    mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan

    dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga

    dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu

    unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat

    suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang

    sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

    Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci

    dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan

    pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan

    ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN

    (2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:

    a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan

    secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan

    dilaksanakan oleh pelanggan.

  • 30

    b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan

    menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia

    pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam

    pencatatan data dan tepat waktu.

    c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan

    sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya

    apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.

    d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan

    menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.

    e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan

    petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak

    hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau

    internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga

    harus diperhatikan.

    f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak

    antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan

    jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak

    penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika

    layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak

    langsung.

    g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi

    yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi

    mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.

  • 31

    h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan

    pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang

    berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka

    mengerti.

    i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan

    penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan

    tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan

    kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.

    j. Kejelasan dan Kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan

    dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut.

    Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap

    pelayanan yang diberikan.

    k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada

    pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan

    keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, financial dan

    kepercayaan pada diri sendiri.

    l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan

    berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa

    yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai

    dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan

    pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.

    m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa

    fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang

  • 32

    digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas

    penunjang lainnya.

    n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal

    yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap

    memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.

    o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara

    wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan

    untuk membayar.

    Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah

    mengikuti prinsip-prinsip antara lain:

    1. Diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain

    2. Ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah

    kabupaten/kota

    3. Menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar

    dari pemerintah daerah

    4. Bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan

    perkembangan kapasitas daerah

    5. Berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat

    mengukur pencapaian SPM.

    Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada

    pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian

    informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.

  • 33

    F.Standar Pelayanan Publik di Daerah

    Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan

    otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan

    pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena

    itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan

    kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tabun 2004

    tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan

    pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,

    moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa

    pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan

    pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan

    pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi

    dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

    Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari

    penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan

    pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas,

    besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan

    pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak

    penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan

    tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah

    kabupaten/kota.

    Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan

    daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

  • 34

    urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan

    pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan

    suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang

    ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan

    kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan

    semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat

    diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota.

    Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari

    penyelenggaran suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan

    pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan

    tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan

    suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan

    urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan

    terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang

    diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria eksternalitas,

    akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat

    pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.

    Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,

    yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi

    terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai

    urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal

    ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar

    yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan

  • 35

    pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi

    merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi

    kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang

    berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat

    wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten

    dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar

    Pelayanan Minimal (SPM).

    Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih

    untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian

    urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan

    tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

    potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan

    pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

    kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang

    tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan

    perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan,

    pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.

    Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa

    terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-

    bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah

    kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut

    melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah

  • 36

    kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan

    pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara

    pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar

    pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu

    sistem pemerintahan.

    Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan

    bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan

    dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan

    secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang

    Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah

    diterapkan, maka SPM akin dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga

    terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal

    didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan

    wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam

    pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip yakni:

    1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk

    urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai

    dengan kondisi daerah masing-masing.

    2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh

    daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.

    3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu

    yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan

    urusan wajibnya.

  • 37

    4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan

    perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara

    merata.

    5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk

    pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata

    kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.

    6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah,

    pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan

    Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.

    Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara

    Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja

    pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus

    memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan),

    output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat

    manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh

    pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan).

    Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep

    anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome,

    benefit dan impact.

    SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam

    penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat

    tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah

    daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai

  • 38

    konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat

    dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan

    untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan

    menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan

    kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

    Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:

    1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang

    disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.

    2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang

    sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran

    yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.

    3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang

    lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).

    4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan

    membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih

    berimbang.

    5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara

    lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam

    menilai kinerja pemerintah daerah.

    6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah

    daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan

    antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan

    pemerintah daerah.

  • 39

    7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan

    pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan

    masyarakat.

    Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan

    perundang-undangan, yakni:

    1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

    2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

    Pusat dan Pemerintahan Daerah;

    3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan

    Provinsi Sebagai Daerah Otonom;

    4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;

    5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan

    Daerah;

    6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas

    Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

    7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan

    Daerah; dan

    8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan

    Standar pelayanan Minimal.

    Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM

    oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang

    dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan

    tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri,

  • 40

    Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,

    Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara,

    dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan

    Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing

    Departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan.

    Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan

    peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah

    dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.

    100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar

    Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen

    telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut

    digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti

    penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus

    indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus

    dilakukan.

    Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di

    Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari

    segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di

    setiap Kecamatan sebagai Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan masih

    belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan

    dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari

    kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di

    bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat

  • 41

    (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan masing-masing departemen

    dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan

    di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU

    ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru

    Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap

    melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni

    dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan

    Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen

    terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di

    Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena

    pemerintah daerah menginterprestasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi

    masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan

    SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan

    ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi

    yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

    1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada,

    bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.

    2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.

    3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang

    dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-

    14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia

    7-16 tahun.

  • 42

    4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan

    mengelola data secara sistematis.

    5. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan

    perencanaan strategis.

    6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya

    yang terjadi di daerah/desa; dan

    7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak

    menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan

    evaluasi, hasil evaluasi bisa untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda

    maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal

    yang rendah.

    Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan

    penyelenggaraan SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk

    mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain adalah:

    1. Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor

    kesehatan.

    2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi

    populasi.

    3. Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas

    pelayanan publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap

    tahun sekali.

    4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim

    yang terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta

  • 43

    auditor independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga

    harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota

    di wilayahnya.

    G. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi

    Daerah

    Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah

    (sektor publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari

    besarnya dana yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal

    itu ternyata tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang

    maksimal. Bahkan sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi

    pemerintah dapat dinilai sangat buruk. Padahal masyarakat telah bersedia

    mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber dayanya untuk negara dengan

    membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retribusi dan sebagainya. Sudah

    sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan (satisfaction) yang maksimal

    atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa yang diperoleh masyarakat

    adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah. Salah satu keluhan

    masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu pelayanan dan

    tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang

    berkembang selama ini, seperti kalau bisa dilakukan besok kenapa harus

    sekarang? kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah? menunjukkan

    bahwa budaya pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi

    pada kepuasan masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja

  • 44

    mengakibatkan pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan

    menjadi sangat buruk.

    Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang

    menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat

    langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati

    masyarakat secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud

    mengambil keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan

    tugas instansi pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada

    publik atas apa yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola

    pemerintahan yang baik (good governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama,

    yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Namun demikian tampaknya

    pemerintah belum sepenuhnya mampu menerapkan ketiga pilar utama tersebut

    dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian, seandainya negara sebagai penyedia

    layanan harus bersaing dengan swasta dengan produk pelayanan yang sama, dapat

    diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti negara akan bangkrut karena

    biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan berkurang drastis akibat

    ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan yang

    diberikan.

    Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang

    melanda negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat

    multidimensional. Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan

    negara dalam aspek keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang

    dibutuhkan masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara

  • 45

    tajam tanpa diimbangi dengan peningkatan keuangan daerah untuk

    membiayainya. Akibatnya pelayanan publik menjadi terbengkalai seperti

    rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran irigasi, pendidikan serta

    kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

    Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh

    terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah

    (PAD) maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum

    (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan

    kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk

    melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik

    yang meningkat dalam kondisi keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring

    dengan argumen Osborne dan Gabler yang menganjurkan pemerintahuntuk lebih

    berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung

    (rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi

    keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam

    menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan masyarakat

    dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan penerapan

    otonomi daerah.

    Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan

    pasca krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU

    No. 22 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

    pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU

    No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

  • 46

    Daerah. Penerapan demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah

    membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,

    yakni berkurangnya secara signifikan patronasi dan kooptasi pusat terhadap

    daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, daerah memiliki diskresi yang

    sangat tinggi, bahkan oleh berbagai pihak sering dikatakan kebablasan dalam

    berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi dalam aspek kewenangan atau

    urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan dan personil, serta

    diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah.

    Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah

    dituntut untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan

    akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari good

    governance sebagai proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat

    menemukan bentuknya dalam menangani persoalan-persoalan publik yang tidak

    mungkin lagi ditangani oleh Pemda. Melalui mekanisme good governance

    kemudian terjadi proses co-guiding, co-steering dan co-managing dari ketiga

    stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan masyarakat. Ketiga aktor akan

    terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan Pengawasan dalam manajemen

    pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan terbentuk sense of

    belongingness dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di

    lingkungannya.

    Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada

    masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya

    sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk

  • 47

    meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk

    tujuan itu maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik

    (public service) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

    Oleh karenanya diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk

    mengidentifikasi pelayanan-pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan

    masyarakat dearah yang bersangkutan.

    Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama,

    masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

    pokok (basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan

    lingkungan, pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan

    pelayanan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency)

    yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus

    terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan

    daerah menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pelayanan yang

    memungkinkan daerah mengembangkan sektor unggulan. Dan betapapun luasnya

    otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang

    sesuai kebutuhan masyarakat.

    Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir

    pelayanan Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public

    regulation). Public good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk

    memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi,

    pasar, terminal dsb. Sedangkan public regulation akan terwujud dalam bentuk

    mewajibkan penduduk untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP), Akta

  • 48

    Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan membuka usaha) dan bentuk-

    bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan

    ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap pemda seharusnya

    memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan

    diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana memberikannya, siapa

    yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan agenda pelayanan

    tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak

    terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada

    penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan

    peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa power tends of

    corrupt and absolute power will corrupt absolutely.

    Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak

    fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan

    desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan,

    dimana banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya

    pada era desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini

    masih berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam

    penyalahgunaan dana-dana public yang seharusnya digunakan untuk

    meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di

    daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang menggembirakan, dimana terdapat

    kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah dalam mengoptimalkan dana

    APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik secara optimal bagi

    masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut menunjukkan bahwa

  • 49

    terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi

    tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah political will

    dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi peningkatan

    kesejahteraan masyarakatnya.

    Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan

    kepada daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi

    masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian

    keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari

    indikator sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan

    masyarakatnya) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai

    bentuk pelayanan yang diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)

    masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka

    kemiskinan, dan sebagainya secara berkesinambungan. Dalam kerangka inilah

    diperlukan political will dari Kepala Daerah untuk mengoptimalkan alokasi

    belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkait dengan upaya

    pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara berkesinambungan yang

    disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah (khususnya

    kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public yang

    berkualitas.

  • 50

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

    Alasan digunakannya metode ini adalah karena metode ini orientasinya pada

    meneliti status kelompok manusia, suatu objek set kondisi, suatu sistem

    pemiikiran atau suatu peristiwa yang terjadi sekarang ini. Di samping itu metode

    deskriptif ini mencoba untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara

  • 51

    sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

    antara fenomena atau gejala.

    A. Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Balangan Provinsi

    Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan memiliki delapan kecamatan, yaitu

    kec Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Tebing Tinggi, Paringin, Paringin

    Selatan, Juai dan Halong. Dari delapan kecamatan tersebut kemudian diambil

    sampel wilayah sebanyak empat kecamatan yaitu kecamatan Paringin,

    Lampihong, Juai dan Halong. Ke empat kecamatan yang dipilih telah

    mewakili daerah dataran tinggi, daerah tengah dan daerah dataran rendah.

    B. Sumber dan Jenis Data

    1. Sumber Data

    a. Key informan, yaitu informan awal atau informan kunci yang dipilih

    seara purposif (purposive sampling). Pemilihan informan ini

    didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data

    dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten

    dengan masalah penelitian. Dari informan kunci kemudian peneliti

    meneruskan pengumpulan data keinforman berikutnya dan seterusnya

    sampai peneliti merasa bahwa informan sudah cukup yakni jika sudah

    menunjukkkan kejenuhan informasi. Sebagaimana dikatakan Muhadjir

    (1990) bahwa bila dengan menambah informanhanya memperoleh

    informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai

  • 52

    informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh. Cara seperti ini

    disebut dengan teknik Snowball Sampling yaitu informasi dipilih

    secara bergulir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi atau

    disebut juga dengan theoritical sampling.

    b. Tempat dan peristiwa, sebagai sumber data tambahan yang dilakukan

    melalui observasi langsung terhadap tempat dan peristiwa yang

    berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan sekolah dasar di Kabupaten

    Balangan.

    c. Dokumen yang relevan, yaitu berbagai dokumen yang berkaitan

    dengan data-data yang berkaitan dengan guru, pengawas dan sekolah

    dasar di kabupaten Balangan.

    2. Jenis Data

    Jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung

    dari para informan penelitian. Keterangan berupa kata-kata atau cerita

    laangsung dari informan dijadikan sebagai data primer (utama), sedangkan

    tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan data sekunder (pelengkap).

    C. Instrumen Penelitian

    Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen

    utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi

    baik melalui observasi maupun wawancara.

  • 53

    Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat

    bantu berupa catatan lapangan, kamera foto dan pedoman wawancara. Dalam

    penelitian ini, proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi

    tiga kegiatan :

    1. Proses memasuki lokasi penelitian (gettting in)

    Dalam tahap ini, peneliti memasuki lokasi penelitian dengan membawa

    izin formal dari instansi terkait, sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar

    akan mengadakan penelitian. Kemudian peneliti terlebih dahulu menemui

    staf Dinas Pendidikan. Setelah itu baru menemui responden ke masing-

    masing sekolah yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini peneliti

    berusaha menjalin hubungan baik khususnya dengan para para guru untuk

    mendapatkan data yang benar-benar valid.

    2. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along)

    Pada tahap ini, peneliti menjalin hubungan dengan responden penelitian.

    Melalui teknik snowball peneliti mencari informasi yang berkaitan dengan

    pelaksanaan pengawasan akademik di sekolah dasar.

    3. Mengumpulkan Data

    Dalam tahap ini, ada tiga macam teknik pengumpulan data yang

    peneliti gunakan, yaitu

    a. Wawancara, untuk mendapatkan informasi yang berkaitan efektifitas

    pengawasan sekolah dasar. Wawancara ini dilakukan dengan pihak

    Dinas Pendidikan setempat dan para guru SD yang menjadi objek

    penelitian.

  • 54

    b. Dokumentasi, dengan menghimpun data yang diambil dari berbagai

    dokumen yang berkaitan dengan kepengawasan pendidikan.

    D. Analisis Data

    Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara

    kualitatif. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    1. Berdasarkan data yang telah terkumpul, peneliti menetapkan

    masalah, periostiwa atau kejadian yang berulang-ulang terjadi

    untuk dijadikan unit analisis.

    2. Mengumpulkan data dan memilah-milah sejumlah unit menjadi

    suatu kategori tertentu berdasarkan karakteristik yang hampir sama

    3. Menguraikan kategori-kategori itu untuk memahami aspek yang

    terdapat di dalamnya sambul mencari cari hal baru. Dalam

    menguraikan setiap kategori tersebut, peneliti menjelaskan

    hubungan satu sama lainnya, sehingga tidak kehilangan

    konteksnya.

    4. Memberikan tafsiran yang menggambarkan perspektif peneliti

    untuk memberikan makna terhadap analisis unit kategori, dan

    hubungannya antara unit dan kategori.

    E. Keabsahan data

    Setiap penelitianmemerlukan adanya standar untuk melihat

    derajat keperayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di

  • 55

    dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan

    keabsahan data. Moleong (1999:173) mengemukakan bahwa ada empat

    kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat

    kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

    (dependability), dan kepastian (confirmability).

    Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan kegiatan sebagai berikut

    :

    1. Kredibilitas

    Untuk memeriksa kredibilitas dilakukan kegiatan sebagai berikut

    :

    a. Memperpanjang masa observasi

    Dengan cara ini, peneliti mempunyai waktu beberapa Minggu

    untuk betul-betul mengenal situasi lingkungan, untuk

    mengadakan hubungan baik dengan para informan. Dengan

    keadaan yang demikian, peneliti bisa mengeek data yang

    diperoleh dari informan sehingga data yang diperoleh sudah

    dirasa benar

    b. Melakukan Peer debriefing

    Hasil kajian didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai

    pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang

    diterapkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan, saran

    dan kritik berkaiatan dengan hasil penelitian.

    c. Melakukan Triangulasi

  • 56

    Hal ini dilakukan dengan maksud mengeek kebenaran data

    tertentu dan membandingkan dengan data yang diperoleh dari

    sumber lain, pada berbagai fae penelitian di lapangan, pada waktu

    yang berekainan, dan sering dengan menggunakan metode yang

    berlainan

    2. Keteralihan

    Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada

    kesamaan antara konteks pengirim dn penerima. Untuk melakukan

    keteralihan tersebut, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan

    data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Keteralihan hasil

    penelitian ini berkenaan dengfan pertanyaan, hingga manakah hasil

    penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-

    situasi lain.

    3. Ketergantungan dan Kepastian

    Untuk mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah,

    peneliti akan mendiskusikannya dengan semua tim setahap demi

    setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan.

    Setelah hasil penelitian dianggap benar, kemudian dibuat dalam satu

    laporan untuk diseminarkan. Dengan seminar diharapkan diperoleh

    banyak masukan untuk menambah kualitas dari hasil kajian

  • 57

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

    Kabupaten Balangan yang beribukota Paringin adalah salah satu dari

    13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan

    dengan beberapa kabupaten lain di Kalimantan Selatan, kabupaten ini

    tergolong masih muda usianya. Pada tanggal 27 Januari 2003 dilangsungkan

    sidang paripurna DPR-RI yang membahas pembentukan dan pemekaran

    kabupaten sehingga terbitlah UU No 2 Tahun 2003 tentang pembentukan

  • 58

    Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu yang disahkan oleh

    Presiden RI pada tanggal 25 Pebruari 2003.

    Luas Wilayah Kabupaten Balangan 1.873,3 Km2 secara geografis

    terletak pada 2 01' 37" sampai dengan 2 35' 58" Lintang Selatan dan 114

    50' 24" sampai dengan 115 50' 24" Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten ini

    1.878,3 km atau hanya 5% dari luas total Provinsi Kalimantan Selatan. Dari

    luas wilayah itu terbagi menjadi delapan kecamatan yaitu Kecamatan

    Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Paringin, Juai, Halong, Tebing Tinggi dan

    Paringin Selatan. Daerah yang paling luas adalah Kecamatan Halong

    mencapai 35,13 % atau 659,84 km2,

    selanjutnya Kecamatan Awayan 142,57

    km2, Kecamatan Juai 386,88 km

    2, Kecamatan Paringin 100,04 km2,

    Kecamatan Batumandi 147,96 km2, Kecamatan Lampihong luasnya hanya

    96,96 km2 , Kecamatan Paringin Selatan 86,80 km

    2 dan Kecamatan Tebing

    Tinggi 257,25 km2.

    Kabupaten Balangan memiliki kondisi topografi yang cukup

    variatif. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Balangan berada di

    ketinggian antara 25-100 m dpl (41,43%). Ketinggian yang paling kecil

    adalah ketinggian 0-7 meter, yaitu hanya 1,21%. Ketinggian 0-7 meter dpl

    hanya terdapat di Kecamatan Lampihong dan Kecamatan Batumadi

    sedangkan ketinggian di atas 500 meter dpl hanya terdapat di Kecamatan

    Awayan dan Halong. Kawasan bencana tanah longsor berada di bagian

    selatan timur Kabupaten Balangan yang berbatasan dengan Kalimantan

    Timur yaitu Kecamatan Halong, Tebing Tinggi dan Awayan. Potensi dapat

  • 59

    terjadi pada sekitar daerah kemiringan lereng 25-40% dan lebih dari 40%

    dengan ketinggian 500 mdpl.

    Wilayah kabupaten Balangan sebagian besar berada pada kemiringan

    0-2 meter. Jika dilihat dari jenis tanahnya, wilayah kabupaten Balangan

    didominasi jenis tanah podsolik merah kuning dengan bahan induk batuan

    endapan. Berdasarkan jenis tanah tersebut, wilayah kabupaten Balangan lebih

    cocok untuk budidaya tanaman pangan lahan kering, perkebunan dan

    kehutanan. Sumber daya air di Kabupaten Balangan berupa sungai dan

    embung (kolam-kolam retensi). Sungai-sungai utama yang mengalir di

    daerah Kabupaten Balangan adalah sungai Pitap, sungai Balangan,

    sungai Mantuyan, sungai Tabuan, sungai Galumbang, sungai Halong, sungai

    Uren, sungai Ninian, sungai Jauk, sungai Batumandi, sungai Lokbatu dan

    sungai Jual. Keadaan iklim di Kalimantan Selatan, menurut sistem Koppen

    dapat digolongkan kedalam iklim hutan tropika humid dengan rata-rata curah

    hujan tahunan berkisar antara 2000 mm hingga 3000 mm, curah hujan

    terendah jatuh sekitar bulan Juni, Juli, Agustus dan September,

    sedangkan curah hujan tertinggi jatuh sekitar bulan Desember, Januari,

    Februari dan Maret.

    Penggunaan lahan di Kabupaten Balangan belum mengalami

    perubahan yang begitu signifikan. Dengan dominasi hutan, perkebunan

    dan persawahan pada penggunaan lahan, kabupaten Balangan dapat

    dikatakan memiliki lahan terbuka (tidak terbangun) yang telatif besar,

    dibandingkan dengan lahan yang terbangun. Kabupaten Balangan

  • 60

    memiliki beberapa sektor unggulan daerah yaitu di sektor pertanian,

    sektor pertambangan dan sektor pariwisata (Profil Kabupaten Balangan,

    2010).

    Secara administratif, Kabupaten Balangan berbatasan dengan

    Kabupaten Tabalong di sebelah Utara, berbatasan dengan kabupaten Pasir

    propinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kotabaru di sebelah Timur,

    berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Tengah di sebelah Selatan dan

    berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Utara di sebelah Barat.

    B. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan di Kabupaten Balangan

    Dalam mengkaji Standar Minimal Pelayanan Pendidikan di

    Kabupaten Balangan ini, mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan

    Nasional RI No. 15 Tahun 2010. Hasil penelitian tentang standar pelayanan

    minimal di Kabupaten Balangan dapat dideskripsikan sebagai berikut :

    1. Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah

    Tuntutan SPM bidang pendidikan bahwa pemerintah kaabupaten/kota

    menyediakan satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan

    kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs. Hasil

    penelitian tentang hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.1

    Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah

    Tuntutan

    SPMP

    SD/MI

    Hasil

    Penelitian

    % Tuntutan

    SPMP

    SMP/MTs

    Hasil

    Penelitian

    %

    Mak 3 km < 1 km 76 < 3 km 60

  • 61

    1 3 km 8 Mak 6 km 3 6 20

    3 km 16 6 km 20

    Jumlah 100 Jumlah 100

    2. Jumlah peserta Didik dalam Setiap Rombel

    Sesuai dengan ketentuan bahwa Jumlah peserta didik dalam setiap

    rombel yaitu maksimal 32 orang untuk SD/MI dan 36 orang untuk SMP/MTs.

    Hasil penelitian mengenai jumlah peserta didik dalam setiap rombel ini dapat

    terlihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.2

    Jumlah Pe