Upload
ramli-s
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk
menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Gejala yang dapat
ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang, atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup
parah biasanya terjadi memburuk pada malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak.
“Croup” berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti “tangisan keras”. Penyakit ini pertama
kali dikenal pada tahun 1928.
Croup sindrom ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya terpapar antara usia 6
bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari penerimaan rumah sakit dalam suatu
populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang
tertua sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita
penyakit ini adalah 50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi di musim gugur.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi sampai ke bronkus
digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang
saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi
yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat.
Croup sindrom terbanyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas.
Virus yang paling sering menyebabkan sindroma croup ini biasanya adalah Para-influenza tipe 1
virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4, influenza A dan virus B, adenovirus, Respiratory
Syncytial Virus (RSV) dan campak virus. Selain dapat disebabkan oleh virus, croup sindrom ini
dapat pula disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini antara
lain Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae ,
Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis Moraxella.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat
bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup sindrom harus
dirawat d Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah
kortikosteroid telah digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di Rumah
Sakit menurun drastis, dan intubasi endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu dari 170 anak)
memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 4% (satu dari 4500 anak) harus dilakukan intubasi.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang
mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk
yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan
napas1.
1.2 KLASIFIKASI
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu1:
A. Viral Croup
Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi saluran
pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Beberapa penulis menyebutkan kelompok ini
sebagai Laringotrakeobronkitis
B. Spasmodic Croup
Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal, anak tiba-
tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada malam hari sebelum
menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali normal.
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat keparahan batuk
atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori1:
1. Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul, Stridor
yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan
teradapat retraksi dada ringan.
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang
lebih mudah didengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada
yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, akan tetapi, lebih, dan kadang-kadang disertai
dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang
sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran dan letargi
1.3 EPIDEMIOLOGI
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15
tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini cukup kecil.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan
rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur pada negara-
negara sub-tropis sedangkan pada negara tropis seperti indonesia angka kejadian cukup tinggi
pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup
merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama1.
1.4 ETIOLOGI
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human
Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2, 3, dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus,
Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditmukan
Mycoplasma pneumonia.1
1.5 PATOGENESIS
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada
dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami
iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati
saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan
retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak
teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan
ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.1
1.6 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12
– 72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi
batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai sperti demam,
malaise. Bila keadaan berat daapt terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi,
dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada
24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu.
Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong1.
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup
(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini1:
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada
1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit
meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi,
bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia,
drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya Croup adalah Skor
Westley.
Kriteria Nilai
Retraksi Tidak ada 0
Ringan 1
Sedang 2
Berat 3
Masuknya udara Normal 0
Berkurang 1
Sangat berkurang 2
Srtidor inspirasi Tidak ada 0
Gelisah 1
Istirahat dengan stetoskop 2
Istirahat tanpa stetoskop 4
Sianosis Tidak ada 0
Gelisah 4
Istirahat 5
Derajat Kesadaran Sadar 0
Gelisah, cemas 2
Penurunan kesadaran 5
Skor 0-1 adalah ringan, skor 2-7 sedang dan skor 8 atau lebih adalah berat.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu
dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan
telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
1.8.1 Pemeriksaan Radiologis dan CT-Scan
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher. Konvektivitas
lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan
konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita suara
yang benar. Penyempitan dari lumen subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara
trakea, yang menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.
Gambaran Sindrom Croup foto anterior-posterior
Gambaran Sindrom Croup foto lateral
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan gambaran udara
steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis. Akan
tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus saja.
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis
bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat dijumpai
sebagai berikut:
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.
Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi pada
pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah 6 bulan
atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran
radiologis dicurigai adanya massa2.
1.9 TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian
besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat di
RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar
stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas,
hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak
ada respons terhadap terapi 1,5.
1.9.1 Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas pada
sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap panas, karena kulit akan melepuh
akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi,
mengencerkan lender pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan
menenangkan bagi anak.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom croup,
kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat keadaan pada dengan
bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat
ini beberapa pusat kesehatan tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi (coldwater fog)
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk mengobati croup
menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan memberikan terapi oksigen
lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi
oksigen lembab dan yang tidak diberikan.
1.9.2 Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang
membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom
croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi
hampir tidak diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup
sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada
anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap
dingin.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel bronkus dan trakea,
memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian
dengan metode double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit
dan bertahan selama dua jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis 0,5 ml larutan
racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan
tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi
dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai
sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan
jantung seperti Tetralogy Fallot.
1.9.3 Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme anti radang.
Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang
diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo.
1.9.4 Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular sebanyak satu
kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan.
Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
Mengurangi rata-rata lama rawat inap
Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon dengan dosis 1-2
mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24 RCT) tentang pemakaian
kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24
jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.
1.9.5 Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya adalah E2 bila
dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml) diberikan melalui nebulizer dan
dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30
menit, sedangkan kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah
dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan epinefrin dapat digunakan
secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada
deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali pada anak
yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (1
mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi Candida albicans.
1.9.6 Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak
responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi alternative selain trakeostomi
untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya
hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat
peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding
dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu
yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi1,5.
1.9.7 Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk mengatasi
sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas dan viskositas
yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan
meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium
dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa nyaman dan
kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi
oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin.
1.9.8 Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan
laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien
diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan
sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan
pada pasien sindrom croup.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup, sebagai berikut1:CROUP
Diagnosis banding Aspirasi benda asing Epiglotitis
Obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa Sianosis Penurunan kesadaran
TIDAK YA
O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi adrenalin (5ml) 1:1000
Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang yang berpengalaman
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak
Croup derajat ringan Batuk menggonggong Tanpa retraksi dada Tanpa sianosis
Croup derajat sedang Stridor saat istirahat Terdapat retraksi
dinding dada minimal Mampu berinteraksi
Croup derajat berat Stridor menetap saat
istirahat Trakeal tug dan
retraksi dinding dada terlihat jelas
Apatis dan gelisah Pulsus paradoksus
Edukasi orang tua Pertimbangkan
kortikosteroid dosis tunggal (oral)
Periksa kemampuan orang tua dan kemampuan dalam menyediakan transport
DIPULANGKAN
Kortikosteroid deksametason 0,15-0,30 mg/kg atau Prednison 1-2 mg/kg (oral) atau nebulisasi Budesonide 2 mg jika kortikosteroid oral tidak berpengaruh
OBSERVASI > 4 JAM
Minimal handling O2 4 lpm dan nebulisasi
adrenalin dan kortikosteroid sistemik (dosis sama dengan croup derajat sedang)
Intubasi
RAWAT RS
Membaik Dipulangkan bila tidak
ada stridor saat istirahat Edukasi orang tua pasien
Tidakmembaik Evaluasiulang Rawat Hubungikonsulen Evaluasi diagnosis
Rawat/observasi di IGD Ulangi pemberian
kortikosteroid oral/12 jam Edukasi ortu pasien Sediakan penjelasan
tertulis untuk dokter umum yang akan follow up
Nebulisasi adrenalin (dosis sama) dan kortikosteroid sistemik (dosis sama)
Persiapkan pelayanan untuk tindakan darurat
Pertimbangkan intubasi Evaluasi diagnosis
Perbaikan
Sebagian
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung
dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat2.
Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik2.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : R
Umur : 4 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
MR : 797599
2.2 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 4 tahun 7 bulan masuk ke bangsal anak RS. Dr.M.Djamil
Padang tanggal 1 September 2012 dengan :
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 15 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 2 hari yang lalu, tingi, terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat,
tidak disertai kejang
Sesak nafas sejak ±15 jam yang lalu, berbunyi mengorok, tidak berbunyi menciut, tidak
dipengaruhi cuaca, makanan, dn aktivitas
Nyeri menelan sejak ±15 jam yang lalu
Anak lebih suka duduk atau setengah duduk sejak ±15 jam yang lalu
Suara serak sejak ±10 jam yang lalu
Batuk menggongggong tidk ada, pilek tidak ada
Kebiruan tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada
Riwayat kontak dengan unggas mati tidak ada
Buang air kecil jumlah dan warna biasa
Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Anak dirujuk dari RSUD M. Zein Painan dengan keterangan suspek difteri dan telah
diberi terapi oksigen 2 liter/menit nasal, IVFD Kaen IB 10 tetes/menit makro, ceftriaxon
500 mg, dexamethason 6,5 mg intravena; anak telah dilakukan pemeriksaan rontgrn
thoraks AP di RSUD M. Zein
Riwayat Penyakit Dahulu
Anak tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan
Anak tunggal, lahir sectio caesaria atas indikasi ibu hipertensi dan panggul sempit, cukup
bulan, berat badan lahir 3000 gram, panjang badan lupa, langsung menangis
Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal
Higien dan sanitasi lingkungan cukup baik
Ibu tamat SMA, bekerja sebagai ibu rumah tangga, ayah tamat SMP, wiraswasta dengan
penghasilan 2.000.000 rupiah perbulan
Riwayat Imunisasi
BCG : tidak ada
DPT : tidak ada
Polio : umur 2 bulan, 3 bulan
Hepatitis B : tidak ada
Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Tumbuh Kembang
Perumbuhan Gigi Pertama : 6 bulan
Psikomotor :
tengkurap : 3 bulan
duduk : 6 bulan
berdiri : 10 bulan
berjalan : 13 bulan
bicara : 15 bulan
perkembangan mental:
isap jempol (-), gigit kuku (-), mengompol (-), aktif sekali (-), apati (-), ketakutan (-), pergaulan
jelek (-)
kesan : pertmbuhan dan perkembangan baik
Riwayat Makanan
ASI : tidak ada
Susu formula : 0 – 2 tahun
Bubur Susu : 4 – 8 bulan
Nasi tim : 8 – 10 bulan
Nasi lunak : 10 – 12 bulan
Nasi biasa : 1 tahun – sekarang ( 2 – 3 x/hari, ikan 3-4 x/minggu, telur 3-4 x/ minggu,
sayur tiap hari)
Kesan : makanan kualitas kurang, kuantitas cukup
Riwayat Perumahan dan Lingkungan
Rumah permanen
Sumber air minum dari air sumur
Jamban di dalam rumah
Pekarangan cukup luas
Sampah dibakar
Kesan higiene dan sanitasi lingkungan cukup baik
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sakit berat Kesadaran : sadar
Tekanan darah : 110/80 mmHg Frekuensi nafas : 54 x/menit
Nadi : 130x/menit Suhu : 37,9˚C
Berat badan : 13 kg Tinggi badan : 98 cm
Sianosis : Tidak ada Edema : Tidak ada
Anemis : Tidak ada Ikterik : Tidak ada
Status Gizi :
BB/U : 83,87%
TB/U : 98,49%
BB/TB : 86,87%
Kesan : Gizi kurang
Pemeriksaan Sistemik :
Kulit : Teraba hangat
Kepala : Bentuk bulat simetris,
Rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor Ø 2mm/2mm,
Refleks cahaya +/+ normal
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : napas cuping hidung ada
Tenggorok : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, detritus tidak ada, faring tidak hiperemis,
pseudomembran tidak ada
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah
Leher : tidak ditemukan kelainan
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB
Dada :
Paru :
Inspeksi : simetris, retraksi (+) di epigastrium, interkostal, dan suprasternal
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi : Bronkial, stridor inspirasi dan ekspirasi (+), rhonki basah halus nyaring
di kedua lapangan paru, wheezing tidak ada
Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial linea midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : Irama jantung teratur, bising tidak ada.
Perut :
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alat Kelamin : Tidak ditemukan kelainan
Anus : colok dubur tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, refilling kapiler baik,
Refleks fisiologis +/+, Refleks Patologis-/-
2.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah:
Hb : 12,2 gr/dl
Leukosit : 7.400 /mm3
Hitung jenis : 0/0/0/49/36/1
Urin :
Reduksi (-)
Sedimen : leukosit (-), eritrosit (-)
Albumin (-)
Bilirubin (-)
Urobilinogen (-)
2.5 DIAGNOSIS KERJA
Suspek Croup Disease
Bronkopneumoni
Gizi Kurang
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Epiglotitis
Aspirasi Benda Asing
2.8 RENCANA PEMERIKSAAN
AGD
GDR
Rontgen Leher AP/Lateral
Kultur darah
Konsultasi bagian THT
2.9 TERAPI
Oksigen 2 liter/menit nasal
IVFD KaEn IB 85 cc/kgBB/hari = 14 tetes/i makro
Sementara puasa
Ceftriaxon 1x1 gram intravena
Paracetamol 130 mg (T ≥ 38,50C)
2.10 FOLLOW UP
1 September 2012
Tabel skor Westley
Kriteria Nilai Pasien
Retraksi :
Tidak ada
Ringan
Sedang
berat
0
1
2
3 3
Masuknya udara:
Nomal
Berkurang
Sangat berkurang
0
1
2
1
Stridor inspirasi:
tidak ada
gelisah
istirahat dengan stetoskop
istirahat tanpa stetoskop
0
1
2
4 4
Sianosis:
Tidak ada
Gelisah
Istirahat
Derajat kesadaran:
Sadar
Gelisah, cemas
Penurunan kesadaran
0
4
5
4
Total 14
Kesimpulan skor Croup 14 >8 = Croup berat
Terapi : nebulisasi adrenalin 1 : 1000 5 ml
Hasil AGD :
pH : 7,21
pCO2 : 45 mmHg
pO2 : 72 mmHg
HCO3- : 17,6 mmol/L
BE : -97
SO2 : 88%
Kesan :
asidosis respiratorik akut
asidosis metabolik
hipoksemia
Terapi :
Beri oksigen 3 liter/menit nasal
Elektrolit :
Na : 133 mmol/L (hiponatremi)
K : 4,4 mmol/L (normal)
GDR : 170 mg/dl (normal)
Kesan rontgen Thoraks AP sementara :
- Tampak gambaran udara yang menyempit pada subglotis (steeple sign)
- Pulmo : tampak infiltrat perihiler dan parakardial di kedua lapangan paru
- Cor : dalam batas normal
- Sinus dan diafragma baik
Kesan : sesuai dengan laringitis, bronkpneumonia
Hasil konsultasi bagian THT :
Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas dan kegawatdaruratan di bidang THT-
KL.
Saat ini tidak ada tatalaksana khusus di bidang THT-KL.
1 September 2012, pukul 20.00 WIB
Follow up setelah nebulisasi
S/
- Anak masih sesak nafas, berkurang dari sebelumnya
- Kebiruan tidak ada
- Demam masih ada, tidak tinggi
- Kejang tidak ada
- Suara masih serak
- Nyeri menelan masih ada
- Mual dan muntah tidak ada
- Buang air kecil biasa
O/
KU : sakit berat, sadar, nadi : 130 x/menit, nafas : 46 x/menit, T: 37,9
Nafas cuping hidung (+)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi epigastrium dan intercostal (+)
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : stridor (+)
Rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan :
perbaikan minimal
Terapi :
dexamethason 0,6 mg/kgBB IV = 7,8 mg IV
1 September 2012, pukul 22.00 WIB
S/ sesak nafas bertambah dibanding sebelumnya
Kebiruan tidak ada
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Nyeri menelan masih ada
Muntah tidak ada
BAK biasa
O/ KU : sakit berat
Nadi : 120 x/ menit
Nafas : 48 x/menit
Suhu : 37 C
Nafas cuping hidung (+)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi (+) di epigastrium dan intercostal
Cor : irama teratur, bising (-)
Pulmo : bronkial, rhonki +/+, stridor (+), wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bissing usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan :
Perburukan
Terapi :
Nebulisasi adrenalin 1:1000 5 ml
2 September 2012, 06.00 WIB
S/ sesak nafas masih ada, berkurang dari sebelumnya
Kebiruan tidak ada
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
BAK biasa
O/ KU : sakit berat, sadar
Nadi : 108 x/menit
Nafas : 40 x/menit
Suhu : 37,2 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi (+) di epigastrium
Cor : irama teratur, bising (-)
Pulmo : bronkial, stridor ada (berkurang), rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan :
Perbaikan
Balance Cairan / 12 jam
p.o -
p.e 500 cc
IWL 195
Urin 300 cc
Balance +5 cc
Diuresis 1,9 cc kgBB/jam
Skor Westley
Retraksi ringan : 2
Air Entry : 0
Stridor inspirasi terdengar dengan stetoskop : 2
Sianosis : tidak ada : 0
Derajat kesadaran : sadar : 0
Total : 4
Kesan : croup sedang (perbaikan dari sebelumnya)
Terapi:
Oksigen 3 liter/menit
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T ≥ 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
2 September 2012, pukul 08.00 WIB
S/ demam tidak ada
Sesak nafas masih ada
Kebiruan tidak ada
Muntah tidak ada
BAK ada, jumlah dan warna biasa
O/ KU : sakit berat, sadar
Nadi : 100 x/menit
Nafas : 40 x/menit
Suhu : 37,0 C
Nafas cuping hidung tidak ada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi (+) di epigastrium
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : bronkial, stridor tidak ada, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan:
Perbaikan
Observasi takipneu
Terapi :
Oksigen 3 liter/menit nasal
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T ≥ 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
3 September 2012
S/ demam tidak ada
Sesak nafas masih ada, berkurang
Kebiruan tidak ada
Muntah tidak ada
BAK ada, jumlah dan warna biasa
O/ KU : sakit berat, sadar
Nadi : 102 x/menit
Nafas : 36 x/menit
Suhu : 37,2 C
Nafas cuping hidung tidak ada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi (+) di epigastrium
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : bronkial, stridor tidak ada, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan:
Perbaikan
Terapi :
Oksigen 3 liter/menit nasal
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T ≥ 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien lak-laki, berusia 4 tahun 7 bulan di bangsal anak RSUP DR. M
Djamil Padang, dengan diagnosis saat masuk Suspek Croup disease. Pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas sejka 15 jam uang lalu. Pasien telah mengalami demam sejak 2 hari
yang lalu, tingi, terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Sesak
nafas sejak ±15 jam yang lalu, berbunyi mengorok, tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi
cuaca, makanan, dan aktivitas. Pasien juga mengalami nyeri menelan sejak ±15 jam yang lalu.
pasien lebih suka duduk atau setengah duduk sejak ±15 jam yang lalu. Suara serak sejak ±10 jam
yang lalu. Batuk menggongggong tidk ada, pilek tidak ada. Pasiein dirujuk dari RSUD M. Zein
Painan dengan keterangan suspek difteri dan telah diberi terapi oksigen 2 liter/menit nasal, IVFD
Kaen IB 10 tetes/menit makro, ceftriaxon 500 mg, dexamethason 6,5 mg intravenadan telah
dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks AP di RSUD M. Zein
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit berat dengan tekanan darah
110/80 mmHg, nafas sesak 54x/menit, nadi 130x/menit, suhu 37,9˚C. Pada pasien ditemukan
adanya nafas cuping hidung, retraksi dinding dada di epigastrium, interkosta dan suprasternal.
Ditemukan pula stridor inspirasi dan ekspirasi serta rhonki basah halus nyaring di kedua
lapangan paru.
Dari keseluruhan anamnesis, pemeriksaan fisik dan labor rutin maka pasien didiagnosis
sebagai suspek Croup Disease, kemudian direncanakan pemeriksaan foto rontgen leher. Dari
hasil rontgen tersebut didapatkan gambaran steeple sign yang memperkuat diagnosis. Pasien juga
didiagnosis bronkopneumoni dengan adanya rhonki basah halus nyaring di kedua lapangan paru
dan gizi kurang sehubungan dengan BB/TB pasien yang kurang dari 90%.
Pada pasien diberikan tatalaksana awal dengan pemberian oksigen 2 liter/menit nasal,
IVFD KaEn IB 85 cc/kgBB/hari, ceftriaxon 1 x 1 gram IV dan PCT 130 mg. Dari penialaian
skor Westley didapatkan skor 14 yang membuat pasien dikategorikan Croup berat. Dengan
keadaan pasien yang sesak dilakukan nebulisasi adrenalin 1:1000 5 ml. post nebulisasi perbaikan
hanya minimal, kemudian diberikan dexamethason 0,6 mg/kgBB. Karena kemudian masih
terjadi perburukan kembali dilakukan nebulisasi adrenalin. Pada rawatan hari ke-2 keadaan terus
membaik, terapi masih dilanjutkan, dan pasien telah dicoba untuk mulai minum.
Pasien didiagnosis DBD karena adanya demam tinggi mendadak yang terus menerus
selama 3 hari kemudian turun dan demam kembali hingga saat ini. Ditemukan adanya
manifestasi perdarahan berupa ptekie pada tangan, hepar teraba membesar 1/3-1/4, nadi lemah
dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
≤ 80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
trombositopenia dengan jumlah trombosit 29.000/mm3 dan hemokonsentrasi. Dikatakan Derajat
III karena ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi
menurun (≤ 20 mmHg) disertai kulit dingin.
Pasien diberikan cairan RL 20 cc/kg BB/jam sehingga cairan harus masuk 113 tetes. Pada
pasien dipasang 2 IV line. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium setengah jam setelah syok
ditemukan akral teraba hangat, nadi teraba kuat, tekanan nadi 30 mmHg. Hal ini menunjukkan
syok teratasi.
Terapi yang diberikan selanjutnya adalah IVFD RL 52 tetes/menit, ML 1400 kkal/hari,
paracetamol jika suhu ≥ 38,50C, dan banyak minum. Pada pemantauan 24 jam pertama rawatan
ditemukan TD 90/60 mmHg, nadi 120x/menit, nafas 34x/menit, Hb 10,2 g/dl, Ht 30%, trombosit
33.000/mm3 (penurunan Ht dan peningkatan trombosit dari sebelumnya). Hal ini menunjukkan
hemodinamik pasien stabil sehingga cairan yang diberikan terakhir adalah RL 5 ml/kgBB/jam.
Pada follow up terakhir cairan yang diberikan diturunkan menjadi 3 ml/kgBB/jam.