Upload
fika-tri-nanda
View
230
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lll
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu ditinjau
kembali patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk.
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat
ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu
difikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier
umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti
serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang imaging yang non-invasif
seperti ultrasonografi; CT Scan abdomen dan pemeriksaan yang invasif seperti
percutaneous transhepatic cholangiography (PTC), endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan letak, kausa dan luas
dari lesi obstruksinya. Dengan kemajuan yang pesat di bidang endoskopi
gastrointestinal maka ERCP dan PTC telah berkembang dari satu modalitas dengan
tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus bedah.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah.
Pernumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning
dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang
memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk
kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan
prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses
fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi
metabolit ini.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini
terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L) atau sekitar
2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin
direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/d.
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi
terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih
sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh.
Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang
terjadi akibat ekresi bilirububin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada
ikterus yang mencolok kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian
bilirubin yang beredar menjadi biliverdin.
2
Gambar 1. Sklera ikterik
2. Anatomi
Hepar terdiri dari dua lobus besar, yaitu lobus kanan dan kiri, yang mengisi
kavitas abdominis bagian kanan atas dan tengah, tepat di bawah diafragma. Sel-sel
hepar memiliki banyak fungsi, salah satunya fungsi pencernaan yaitu menghasilkan
empedu. Empedu memasuki duktus koledokus minor yang disebut kanalikuli
empedu pada sel-sel hepar, yang kemudian akan bergabung menjadi saluran yang
lebih besar dan akhirnya bersatu membentuk duktus hepatikus, yang akan membawa
empedu keluar dari hepar. Duktus hepatikus akan bersatu dengan duktus sistikus
biliaris untuk membentuk duktus koledokus komunis, yang akan membawa empedu
kedalam duodenum.
Empedu sebagian besar tersusun atas air dan memiliki fungsi ekskretorik,
yaitu membawa bilirubin dan kelebihan kolesterol ke dalam usus untuk dikeluarkan
bersama feses. Fungsi pencernaan empedu dilakukan oleh garam empedu, yang
akan mengemulsikan lemak di dalam intestinum tenue. Emulsifikasi berarti
pemecahan lemak yang berukuran besar menjadi molekul yang berukuran kecil.
Proses ini bersifat mekanik, bukan kimiawi. Produksi empedu dirangsang oleh
hormon sekretin yang diproduksi oleh duodenum ketika makanan memasuki
intestinum tenue.
3
Gambar 1. Anatomi hepar
a. Kandung Empedu
Vesika biliaris atau kandung empedu adalah suatu kantong dengan panjang
sekitar 7,5 – 10 cm, yang terletak pada permukaan bawah lobus kanan hepar.
Empedu di dalam duktus hepatikus, hepar akan mengalir melalui duktus sistikus ke
dalam vesika biliaris, yang akan menampung empedu sampai ia dibutuhkan
kedalam usus halus. Kandung empedu juga akan meningkatkan konsentrasi empedu
dengan mengabsorbsi air. Ketika makanan yang mengandung lemak memasuki
duodenum mukosa duodenum akan mensekresikan hormon kolesistokinin. Hormon
ini akan merangsang kontraksi otot polos pada dinding vesika biliaris, yang akan
mendorong empedu memasuki duktus sistikus, lalu kedalam duktus koledokus
komunis dan berlanjut kedalam duodenum.
4
Gambar 2. Anatomi Kandung Empedu
3. Fisiologi
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
a. Produksi
Bilirubin adalah produk akhir metabolisme protoporfirin besi atau heme,
yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim
sitokrom, katalase dan heme bebas), mioglobin otot serta eritropoesis yang tidak
efektif di sumsum tulang. Sekitar 80-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan
eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit
adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml darah dan menghasilkan
250-350 mg bilirubin. Pemecahan heme menghasilkan biliverdin yang akan
diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam
lemak dan tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskresi dalam empedu
atau urin.
b. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks
larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Setiap molekul albumin
mampu mengikat satu molekul bilirubin. Artinya pada kadar bilirubin serum
normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin,
dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Ambilan
5
oleh sel hati memerlukan dua protein hati yaitu yang diberi simbol sebagai
protein Y dan Z.
c. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin indirek dikonjugasi oleh enzim glukoronil
transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam
lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urin.dalam air.
Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk
(terkonjugasi atau bilirubin II).
d. Ekskresi
Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transport bilirubin
terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif.
Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah proses
fotooksidasi atau fotoisomerisasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin II menjadi
serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini
menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami
siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urin
Gambar 3. Fisiologi Metabolisme Bilirubin15
6
4. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih
relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4mg
per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang oleh sel sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya 20-
30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab
utama peningkatan pembentukan bilirubin.
7
b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida bilirubin
konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin
yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks
dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam
empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air
sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh
konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin
glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor
a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang
memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas
pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan
konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat
disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).
8
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang
sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel
hati. Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah.
Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan
urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine
feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal
(cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh.
Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan
memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa
obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I,
Sindroma Crigler Najjar II.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
9
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan
dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat
yang meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus
pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan
Rotor, ikterus pasca bedah.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat
total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
Obstruksi sal empedu didalam hepar : Sirosis hepatis, abses hati,
hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
a. Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor Ampula
Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale
SISTEM RE SUMSUMPenghancuran sel darah merah penghancuran sel eritroidSenescent yang matang
HemoglobinHATITurn over hemDan hasil hem
HEMBiliverdin
Bilirubin
Bilirubin Glukoronid
UrobilinogenEkskresi fekal
10
5. Diagnosis
A. Anamnesis
Harus meliputi riwayat kelahiran dan perinatal, riwayat penyakit
dahulu, riwayat keluarga, obat-obatan, diet, dan aktivitas sosial. Usia
penderita dan perjalanan penyakit memberikan arahan penting mengenai
penyebab ikterus. Beberapa keadaan kholestasis muncul pada awal
kehidupan, misalnya atresia bilier dan penyakit metabolik bawaan.
Umumnya penderita mengeluh mata dan badan menjadi kuning,
kencing berwarna pekat seperti air teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai
atau tanpa kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik di perut kanan
atas. Kadang-kadang feses berwarna keputih-putihan seperti dempul.
Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam,
mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara
pada anak kecil muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji
laboratorium. Bila terjadi, ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi
setelah gejala-gejala sistemik. Selain itu juga bisa didapatkan ada riwayat
ikterus pada keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika anak atau
keluarga telah berwisata ke daerah endemik.
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau
kolelitiasis, penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab
yang jelas. Keluhan nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang.
Penderita tampak gelisah dan kemudian ada ikterus disertai pruritus.
Riwayat ikterus biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut kembung,
gangguan nafsu makan disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine
pekat seperti air teh.
B. Pemeriksaan fisik
Ikterus dapat dilihat pada sklera atau kulit. Klinikus harus mencatat
apakah penderita tampak sehat atau sakit, atau apakah penderita tampak
iritabel atau lemah. Hal ini akan memberi indikasi apakah terdapat
ensefalopati, infeksi atau penyakit metabolik. Dismorfisme sangat berharga
11
untuk mencari penyebab kolestasis. Popok bisa diperiksa untuk melihat
adanya tinja dempul dan urine gelap.
Pada penderita hepatitis, minggu pertama fase ikterik kuning akan
terus meningkat kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari.
Penderita juga mengeluh sakit di perut bagia n kanan atas, mual, kadang-
kadang muntah dan nafsu makan tetap menurun, urine akan berwarna
seperti teh pekat, kadang-kadang tinjanya berwarna pucat.
Pada obstruksi saluran empedu didapatkan penderita tampak gelisah,
nyeri tekan perut kanan atas, kadang-kadang disertai defans muscular dan
“Murphy Sign” positif, hepatomegali dengan atau tanpa terabanya kandung
empedu. Karena adanya bendungan, maka menyebabkan pengeluaran
bilirubin ke saluran pencernaan berkurang, sehingga tinja akan berwarna
putih seperti dempul karena tidak mengandung sterkobilin. Akibat
penimbunan bilirubin direk, kulit dan sklera akan berwarna kuning
kehijauan.
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan
melalui penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil
pemeriksaan fungsi hepar serta beberapa prosedur diagnostik khusus.
Sebagai contoh, ikterus yang disertai demam, dan terdapat fase prodromal
seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis.
Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu
penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia
menandakan adanya suatu anemia hemolitik.
12
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan
juga keadaan infeksi.
b. Tes fungsi hati
1. Ekskresi empedu
Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan
ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl
Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada keadaan
hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.
Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler. Nilai
normalnya 0,3-1,0 mg/dl.
2. Protein
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di retikulum
endoplasma hepatosit. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan
tekanan koloid osmotik intravaskuler dan sebagai pembawa berbagai
komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya
kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat
disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Nilai
normalnya 3,2-5,5 g/dl.
3. Enzim serum
Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxaloasetic
Transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Lactic Dehydrogenase
(LDH) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan
jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila ada
kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan
kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35 unit/ml dan SGPT
5-35 unit/ml.
Alkaline Phosphatase
13
Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus halus, dan
disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya meningkat pada obstruksi
biliaris, penyakit tulang, dan metastasis hati. Nilai normalnya 30-120 IU/L
atau 2-4 unit/dl
Gamma-glutamyltransferase (GGT)
GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran empedu dan
hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak,
mammae, dan usus dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. GGT
merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya
penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi
hepatobilier. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan di
antara keduanya.
c. Pencitraan
Ultrasonografi (USG)
USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu
diperhatikan adalah :
- Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung
empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2 – 3 x 6 cm, dengan
ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan dilatasi duktus koledokus dan
saluran empedu intrahepatal disertai pembesaran kandung empedu
menunjukan ikterus obstrusi ekstrahepatal bagian distal. Sedangkan bila
hanya ditemukan pelebaran saluran empedu intrahepatal saja tanpa
disertai pembesaran kandung empedu menunjukkan ikterus obstruksi
ekstrahepatal bagian proksimal artinya kelainan tersebut di bagian
proksimal duktus sistikus.
- Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas
tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada
perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu.
- Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti
menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal.
14
Computed Tomography (CT) Scan
CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intrahepatik yang
disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus koledokus akibat kolelitiasis.
CT scan menyediakan evaluasi yang baik dari seluruh saluran empedu karena
dapat menentukan anatomi lebih baik daripada ultrasonografi. CT scan
mungkin modalitas pencitraan awal dalam beberapa kasus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan tanpa
paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen kontras
yang cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih terperinci.
Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini adalah
investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran empedu
umum dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker pankreas. Kondisi
lain yang mungkin berguna ERCP termasuk primary sclerosing cholangitis
dan adanya kista koledukus.
d. Biopsy hati
Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk menegakkan diagnosis
pasti. Biopsy dapat dilakukan perkutan, dengan atau tanpa arahan ultrasonografi
atau melalui pembedahan. Selain untuk pemeriksaan histopatologi untuk melihat
gambaran spesifik, specimen biopsy hati dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara kuantitatif kandungan besi dan tembaga.
Tabel tes diagnostik
Tes fungsiIkteruspre-hepatik
Ikterus hepatikIkteruspost-hepatik
Bilirubin totalNormal / Meningkat
Meningkat
Konjugasi bilirubin
Meningkat
Normal Meningkat
Bilirubin tak terkonjugasiNormal / Meningkat
Normal
15
UrobilinogenNormal / Meningkat
Menurun / Negatif
Warna Urine Normal Gelap
Warna feses Normal Pucat
Alkaline fosfatase
Normal
Meningkat
Alanin transferase dan Aspartat
Meningkat
Bilirubin terkonjugasi dalam Urin
Didapatkan Tidak didapatkan
7. Pengobatan
Penatalaksanaan terhadap anak dengan ikterus pada gangguan sistem
hepatobilier tergantung dari penyebabnya.
a. Ikterus Intrahepatik yang disebabkan oleh hepatitis
Tidak ada pengobatan antivirus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat
dicegah dengna pemberian immunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi
atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A biasanya dirawat jalan, tetapi
13% penderita memerlukan rawat inap dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi
dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal,
koagulopati, dan ensefalopati.
b. Ikterus Obstruktif yang disebabkan oleh kista koledukus dan kolelitiasis
Penatalaksanaan non-bedah
- Terapi suportif dan diet
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala
gastrointestinal ringan Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang
akut biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak.
- Farmakoterapi
16
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi
desaturasi getah empedu. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke
dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung
empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk
kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan
dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu.
Penatalaksanaan bedah
Sampai saat ini pembedahan masih merupakan baku emas dalam penanganan
kolelitiasis. Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi bertujuan
untuk menghilangkan penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila
penyebabnya adalah batu di kandung empedu dilakukan kolesistektomi yaitu
mengangkat kandung empedu beserta seluruh batu. Bila ditemukan dilatasi duktus
koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus koledokus. Semua batu
dibuang sebersih mungkin. Usaha selanjutnya ialah mencegah batu rekuren
dengan menghilangkan sumber pembentuk batu antara lain dengan cara diet
rendah kolesterol, menghindari penggunaan obat-obatan yang meningkatkan
kolesterol, mencegah infeksi saluran empedu. Bila letak batu sudah pasti hanya
dalam duktus koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi / papilotomi untuk
mengeluarkan batunya.
c. Terapi nutrisi
Pada pasien ikterus bisa terjadi malnutrisi yaitu malnutrisi protein, malabsorpsi
lemak, anoreksia dan defisiensi vitamin larut lemak. Terapi yang diberikan adalah
diet TKTP dengan penambahan 50% kalori dari biasanya. Sebagian besar anak
membutuhkan NGT atau nutrisi parenteral.
8. Komplikasi
17
1. Pruritus
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada
kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi
seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan
ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat
keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum
diketahui secara pasti. Deposit garam empedu di kulit diketahui memiliki efek
pruritogenik secara langsung. Namun sudah dibuktikan bahwa teori ini tidak
benar. Sebagai tambahan, hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan
pruritus.19
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena
konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati
sehingga terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik (misalnya
histamine).
2. Hiperlipidemia dan Xantoma
Hiperlipidemia dan xantoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
kolestasis intrahepatik. Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan
menyebabkan meningkatnya kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi
hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dl). Hal ini
menyebabkan akan terdepositnya kolesterol di kulit, membrane mukosa, dan arteri.
Risiko atherosclerosis pada anak dengan kolestasis kronis tidak diketahui.
3. Sirosis dan Gagal Hati
Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang mengalami
keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
9. Prognosis
Prognosis ikterus karena gangguan system hepatobilier tergantung penyakit
dasarnya.
Pada kolelitiasis prognosisnya adalah baik. Jeda waktu antara deteksi batu pada
pasien asimtomatik dan pengembangan gejala ini diperkirakan terjadi lebih dari 10
tahun.
18
Pada kista koledukus prognosis setelah eksisi biasanya sangat baik. Pasien perlu
tindak lanjut seumur hidup karena peningkatan resiko kolangiokarsinoma, bahkan
setelah eksisi komplit kista.
Hepatitis A prognosisnya sangat baik. Pada kebanyakan pasien, infeksi HAV
adalah self-limited, dan bisa sembuh sempurna. Bahkan, banyak kasus tidak
menunjukkan gejala. Kecuali dalam pengaturan hepatitis fulminan, gejala sisa
jarang terjadi. Hepatitis fulminan akibat HAV jarang dan memiliki tingkat
mortalitaskira-kira 0,4%. Infeksi HAV yang kambuh terjadi pada sekitar 10% dari
pasien kira-kira1-4 bulan setelah episode awal dan akhirnya dapat sembuh
sepenuhnya.
Hepatitis B akut 90% memiliki kemungkinan yang baik dan bisa sembuh
sempurna. Meskipun tingkat mortalitas untuk kebanyakan kasus hepatitis B rendah,
pasien yang dirawat di rumah sakit dengan hepatitis B akut memiliki tingkat
mortalitas 1%.
Pada Hepatitis C lebih dari 80% dari individu yang terinfeksi akut akan mengalami
hepatitis kronis. Kebanyakan pasien yang terinfeksi kronis dengan virus hepatitis C
tetap asimtomatik dan tidak memiliki penyakit hepar yang signifikan.
Hepatitis kronis yang aktif, yang dapat dilihat pada hepatitis B virus (HBV) atau
virus hepatitis C (HCV), tidak terjadi pada infeksi HAV. Kondisi carrier kronis
tidak terlihat dengan infeksi HAV.
PENYAKIT PADA FASE PRE HEPATIK
19
Definisi
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan
oleh protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam,
anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan
suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan
pembesaran limpa.
Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada
manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,
Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia
dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui
transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada
janinnya.
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai
malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau
malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P.
falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies
terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat
menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam
jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ
tubuh.
Patogenesis Malaria menyebabkan ikterik
20
Ikterik disebabkan oleh karena hemolisis dan gangguan hepar, Patogenesis
malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh
darah daripada koagulasi intravaskuler. Oeleh karena skizogoni menyebabkan
kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding
dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung
parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan
fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya
antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi
sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan
21
sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.
Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag
Pada malaria beratm mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit
ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit
mengalami perubahan struktur danmbiomolekular sel untuk mempertahankan
kehidupan parasit.
Manifestasi Klinis
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl
phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa
penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang
dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam
periodic, anemia dan splenomegaly.
Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies
parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae),
beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi
hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk
atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium
aseksual)
2. Keluhan-keluhan prodromal
22
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam,
berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan
otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin
di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale,
sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas(12).
3. Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym)
secara berurutan:
Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering
seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan.
Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur
Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka
selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-
muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase
dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
Periode berkeringat
23
Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh,
penderita merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan
merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa
Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan
lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi
setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan
hiperemis
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum.
pada infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi
umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan
sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih
komplikasi sebagai berikut:(4,12)
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit
>10.000/µl.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12
ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan
kreatinin >3mg%.
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau
perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
24
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada
hipertermis.
9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena
obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler jaringan otak.
Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti
infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik
atau tes diagnostic cepat.
1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:
25
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (≥37,5oC)
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati
Pada penderita tersangaka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis
sebagai berikut:
Temperature rectal ≥40oC.
Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada
anak-anak.
26
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali
permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1 tahun.
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada
penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi (13).
Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
Ada/tidaknya parasit malaria.
Spesies dan stadium Plasmodium
Kepadatan parasit
- Semi kuantitatif:
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
27
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
- Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal atau
sediaan darah tipis.
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik.
c. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang
bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah
beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan
tes >1:20 dinyatakan positif
Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuindosis artesunat= 4
mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin=
0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan
berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan
golongan umur. Dosis makasimal penderita dewasa yan dapat diberikan untuk
artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.
Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur
Hari Jenis obat
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
28
I
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primakuin - - ¾ 1 ½ 2 2-3
II
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
III
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria
falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit
stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang
berada di dalam darah
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini pertama
tidak efektif.
Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin= 4 mg/kgBB/hr
(dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin=
4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan
penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparumHari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th ≥ 15 thKina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
29
I
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
Primakuin - ¾ 1½ 2 2-2
II-VII
Kina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
* : dosis diberikan per kgBB** : 2x50 mg doksisiklin*** : 2x100 mg doksisiklin
Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale
Lini pertama: Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan malaria vivax
dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan
seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati,
juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit. Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB
(1x/hr selama 3 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan
penderita obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovaleHari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
I
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
II
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
30
III
IV-XIV Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian obat,
ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari keempat) dan tidak
ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh(3). Pengobatan tidak efektif
apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:(3)
Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul
kembali setelah hari ke-14.
Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke-15
sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua: Kina+Primakuin
Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB (selama
14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan
golongan umur sebagai berikut:
Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin
Hari Jenis obat
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
1-7 Kina * * 3x½ 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
31
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan.
Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB
dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat
juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur
Hari Jenis obat
Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
1
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
2
Klorokuin ¼ ½ - 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
3
Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
14-14 Primakuin - - ½ 1 1½ 2
Pengobatan malaria malariae
Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB.
Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae.
Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur penderita
Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae
Hari Jenis obat
Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
32
Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga
bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada
orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama,
seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. Untuk kelompok atau individu
yang akan bepergian atau tugas dalam jangka waktu yang lama, sebaiknya
menggunakan personal protection seperti pemakaian kelambu, kawat kassa, dan lain-
lain
Oleh karena P. falciparum merupakan spesies yang virulensinya cukup tinggi
maka kemoprofilaksisnya terutama ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan
dengan laporan tingginya tingkat resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, maka
doksisiklin menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgBB
selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P. vivax dapat diberikan
klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut diminum 1 minggu
sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.(3).
Tabel 8. Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin
Golongan umur (thn) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)
<1 ¼
1-4 ½
5-9 1
10-14 1½
>14 2
Definisi
33
Anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada
eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya
kembali.
Patofisiologi
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum tulang
masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut
dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat, sumsum
tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini
mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai
kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika
sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme.
Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti
akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk
disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai
menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan
dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami
konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di
urin.
Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami
lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan
hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial
untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun
hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas
34
dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi
menjadi methemoglobin, sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin
juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun
beberapa hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel
epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat
epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin
sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler
kronis.
Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan
memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di
sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan
sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah,
mengakibatkan polikromasia.
Manifestasi Klinis
Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl. Gejala hemolitik:
diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dlm darah,
tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali, kholelitiasis
(batu empedu), ulkus.
Diagnosis banding
Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini:
1. anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan
gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan
hemolitik tidak.
2. anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik
jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat.
35
3. yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan gejala
mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat. Kasus
ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan
adanya perdarahan ini.
4. Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan
morfologi eritrosit, dan retikulositnya normal.
5. mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria
dengan pemeriksaan elektroforesis.
Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, namun secara
umum ada 3:
1. Terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan
pengawasan ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi
beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau juga
bisa hiperimun globulin untuk menekan aktivitas makrofag.
2. Terapi suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis
terutama di limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam
folat 0,15 – 0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. Terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum
tulang bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia.
PENYAKIT PADA FASE HEPATIK
36
HEPATITIS A
Definisi
Hepatitis A merupakan penyakit infeksi sistemik yang dominan menyerang hati
akibat masuknya virus hepatitis A (HAV) melalui transmisi fekal-oral dari makanan
atau minuman yang telah terkontaminasi. Dulu hepatitis A disebut juga hepatitis
infeksiosa, hepatitis epidemika, epidemic jaundice, dan catarrhal jaundice Hepatitis A
adalah adalah bentuk hepatitis yang akut, berarti tidak menyebabkan infeksi kronis.
Sekali kita pernah terkena hepatitis A, kita tidak dapat terinfeksi lagi. Namun, kita
masih dapat tertular dengan virus hepatitis lain. (Hadi, 2002).
Etiologi
Penyebab utama dari HVA adalah virus RNA yang tergolong dalam picorna
yang berukuran 27-28 mm dan ditemukan oleh Peinstone pada tahun 1973 dalam tinja
penderita. (Hadi, 2002). HAV merupakan anggota famili pikornaviradae. HAV
merupakan partikel membulat berukuran 27 hingga 32-nm dan mempunyai simetri
kubik, tidak mempunyai selubung serta tahan terhadap panas dan asam. Partikel ini
mempunyai genom RNA beruntai tunggal dan linear dengan ukuran 7,8 kb, sehingga
cukup jelas virus ini menjadi genus pikorna virus yang baru, Heparnavirus. Hepatitis A
mempunyai pravelansi yang tinggi. Siklus hidup dari HAV sendiri mula-mula
diidentifikasi dari tinja dan sediaan hati. Penambahan antiserum hepatitis A spesifik dari
penderita yang hampir sembuh (konvalesen) pada tinja penderita diawal masa inkubasi
penyakitnya, sebelum timbul ikterus, memungkinkan pemekatan dan terlihatnya partikel
virus melalui pembentukan agregat antigenantibodi. Asai serologic yang lebih peka,
seperti asai mikrotiter imunoradiometri fase-padat dan pelekatan imun, telah
37
memungkinkan deteksi HAV didalam tinja, homogenate hati, dan empedu, serta
pengukuran antibody spesifik di dalam serum.(Putri, 2008) Sifat-sifat dari virus A
sendiri ini dapat dirusak dengan di otoklaf (121oC selama 20 menit), dengan
dididihkan dalam air selama 5 menit, dengan penyinaran ultra ungu (1 menit pada 1,1
watt), dengan panas kering (180oC selama 1 jam), selama 3 hari pada 37oC atau dengan
khlorin (10-15 ppm selama 30 menit). Resistensi relative hepatitis virus A terhadap
cara-cara disinfeksi menunjukkan perlunya diambil tindakan-tindakan pencegahan
istimewa dalam menangani penderita hepatitis beserta produk-produk tubuhnya. (Putri,
2008)
Hepatitis juga mempunyai beberapa penyebab lain, termasuk:
1.Racun dan zat kimia seperti alkohol berlebihan
2.Penyakit yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh
3.menyerang jaringan sehat dalam tubuh, yang disebut sebagai penyakit autoimun
Gambar 2. Struktur viru hepatitis A (Parna, 2006)
Penyebaran penyakit Hepatitis oleh kotoran atau tinja penderita biasanya melalui
makanan (fecel-oral), bukan melalui aktivitas sexual atau melalui darah, selain itu
38
akibat buruknya tingkat kebersihan. Penyakit hepatitis kadang-kadang dapat timbul
sebagai komplikasi leptospirosis, sifilis, tuberculosis, toksoplasmosis, dan amebiasis,
yang kesemuanya peka terhadap pengobatan khusus. Penyebab noninfeksiosa meliputi
penyumbatan empudu, sirosis empedu primer, keracunan obat, dan reaksi
hipersensitivitas obat.
Komplikasi akibat hepatitis A hampir tidak ada, kecuali pada para lansia atau
seseorang yang memang sudah mengidap penyakit kronis hati atau sirosis. Hati harus
berfungsi dengan baik agar dapat menguraikan sebagian besar obat-obatan. Obat yang
tidak menyebabkan gangguan apa pun pada waktu hati kita sehat dapat membuat kita
sakit parah adalah bila kita mengalami hepatitis. Ini juga berlaku untuk alkohol, aspirin,
jamu-jamuan, dan narkoba. Karena tugas hati adalah untuk menguraikan zat-zat yang
terdapat dalam darah, dan beban dapat menjadi terlalu berat. (WHO, 2002)
Tanda dan Gejala
Gejala klinis pada umumnya ringan, terutama pada anak-anak bahkan sering
tanpa gejala. Gejala hepatitis A (dan hepatitis akut pada umumnya) dapat termasuk:
Kulit dan putih mata menjadi kuning (ikterus)
Kelelahan
Sakit perut kanan-atas
Hilang nafsu makan
Berat badan menurun
Demam
Mual
Mencret atau diare
Muntah
Air seni seperti teh dan/atau kotoran berwarna dempul
Sakit sendi
39
Infeksi HAV juga dapat meningkatkan tingkat enzim yang dibuat oleh hati
menjadi di atas normal dalam darah Sistem kekebalan tubuh membutuhkan sampai
delapan minggu untuk mengeluarkan HAV dari tubuh. Bila timbul gejala, umumnya
dialami dua sampai empat minggu setelah terinfeksi. Gejala hepatitis A umumnya hanya
satu minggu, akan tetapi dapat lebih dari satu bulan. Kurang lebih 15 persen orang
dengan hepatitis A mengalami gejala dari enam sampai Sembilan bulan. Kurang lebih
satu dari 100 orang terinfeksi HAV dapat mengalami infeksi cepat dan parah (yang
disebut ‘fulminant’), yang sangat jarang dapat menyebabkan kegagalan hati dan
kematian.
Patofisiologi
Hepatitis akut A dapat dibagi menjadi empat fase klinis:
Inkubasi
40
Masa inkubasi atau periode preklinik berlangsung 10-50 hari, dengan rata-rata
kurang lebih 28 hari di mana pasien tetap asimtomatik meskipun terjadi replikasi aktif
virus.
Fase prodromal
Fase prodromal atau pre-ikterik berlangsung selama 3-10 hari yang
ditandai dengan munculnya gejala seperti menurunnya nafsu makan, kelelahan,
panas, mual sampai muntah, anoreksia, nyeri perut sebelah kanan sakit perut,
mual dan muntah, demam, diare, urin berwarna coklat gelap seperti air teh dan
tinja yang pucat.
Fase ikterik
Fase ini terjadi di mana penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubin
total melebihi 20 - 40 mg/l. Pasien seringkali baru mencari pertolongan medis
pada fase ini. Fase ikterik biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal
didahului urin yang berwarna coklat, sklera kuning, kemudian seluruh badan
menjadi kuning. Teradi puncak fase ikterik dalam 1-2 minggu, hepatomegali
ringan yang disertai dengan nyeri tekan. Demam biasanya membaik setelah
beberapa hari pertama penyakit kuning.
Viremia berakhir tak lama setelah mengembangkan hepatitis, meskipun
tinja tetap menular selama 1 - 2 minggu. Tingkat kematian rendah (0,2% dari
kasus ikterik) dan penyakit akhirnya sembuh sendiri. Kadang-kadang, nekrosis
hati meluas terjadi selama 6 hingga 8 minggu pada masa sakit. Dalam hal ini,
demam tinggi, ditandai nyeri perut, muntah, penyakit kuning dan pengembangan
ensefalopati hati terkait dengan koma dan kejang, ini adalah tanda-tanda
hepatitis fulminan, menyebabkan kematian pada tahun 70 - 90% dari pasien.
41
Dalam kasus-kasus kematian sangat tinggi berhubungan dengan bertambahnya
usia, dan kelangsungan hidup ini jarang terjadi lebih dari 50 tahun.
Masa penyembuhan
Masa penyembuhan pada umumnya berjalan lambat, tetapi pemulihan
pasien lancar dan lengkap. Kejadian rekurensi pada hepatitis terjadi dalam 3 -
20% dari pasien, sekitar 4-15 minggu setelah gejala awal telah sembuh. Ikterus
berangsur berkurang dan hilang dalam 2-6 minggu, demikian pula anoreksia,
lemas badan dan hepatomegali. Penyembuhan sempurna sebagian besar terjadi
dalam 3-4 bulan.
Gambaran mikroskopis
Gambar 3. Gambaran mikroskopis hepatitis A ( WHO, 2000)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa digunakan adalah pemeriksaan
serologis.
42
Gambar 4. Marker antibody hepatitis ( Parna, 2006)
Pertanda Penjelasan
HAV(Ag) Antigen Hepatitis A jarang
terdeteksi dalam darah
Igm Anti
HAV
Antibodi igM terhadap hepatitis A
1. Petunjuk Hepatitis A yang sedang
berlangsung
2. Antibodi total (igM+igG) terhadap
HAV Ag
3. Petunjuk infeksi baru atau telah
lama lalu
igG Anti
HAV
Menunjukan penderita pernah
kena infeksi dari HVA, dan sudah
sembuh dari penyakit tersebut
serta memiliki kekebalan terhadap
infeksi baru.
Tabel 1. Pertanda Serologis Hepatitis A (Hadi, 2002)
43
ASR (SGOT) / ALT (SGPT) Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-
2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT
merupakan enzim – enzim intra seluler yangterutama berada
dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak,
meningkat pada kerusakan sel hati
Darah Lengkap (DL) SDM menurun sehubungan dengan penurunan
hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
Leukopenia Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
Diferensia Darah LengkapLeukositosis, monositosis, limfosit, atipikal
dan sel plasma.
Alkali phosphatase Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
Feses Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
Albumin Serum Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar
protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun
pada berbagai gangguan hati.
Gula Darah Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi
hati).
Anti HAV IgM Positif pada tipe A
HbsAG Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
Masa Protrombin Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat
kerusakan sel hati atau berkurang.Meningkat absorbsi vitamin K yang
penting untuk sintesis protombin.
44
Bilirubin serum Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml,
prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis
seluler)
Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein) Kadar darah meningkat.BPS
dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi.
Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan
retensi BSP.
Biopsi Hati Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
Skan Hati Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin
hati.
Urinalisa Peningkatan kadar bilirubin.Gangguan eksresi bilirubin
mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin
terkonyugasi larut dalam air, ia dsekresi dalam urin menimbulkan
bilirubinuria.
Penegakan diagnosis
Diagnosis hepatitis A ditegakkan dengan tes darah. Tes darah ini mencari dua
jenis antibodi terhadap virus, yang disebut sebagai IgM dan IgG (Ig adalah singkatan
untuk imunoglobulin). Pertama, dicari antibodi IgM, yang dibuat oleh hepatitis virus.
sistem kekebalan tubuh lima sampai sepuluh hari sebelum gejala muncul, dan biasanya
hilang dalam enam bulan. Tes juga mencari antibodi IgG, yang menggantikan antibodi
IgM dan untuk seterusnya melindungi terhadap infeksi HAV.
Bila tes darah menunjukkan negatif untuk antibodi IgM dan IgG, kita
kemungkinan tidak pernah terinfeksi HAV, dan sebaiknya mempertimbangkan untuk
divaksinasi terhadap HAV.
45
Bila tes menunjukkan positif untuk antibodi IgM dan negative untuk IgG, kita
kemungkinan tertular HAV dalam enam bulan terakhir ini, dan sistem kekebalan sedang
mengeluarkan virus atau infeksi menjadi semakin parah. Bila tes menunjukkan negatif
untuk antibodi IgM dan positif untuk antibodi IgG, kita mungkin terinfeksi HAV pada
suatu waktu sebelumnya, atau kita sudah divaksinasikan terhadap HAV. Kita sekarang
kebal terhadap HAV.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk virus hepatitis A (HAV) ada. Pengobatan
diberikan secara suportif bukan langsung kuratif. Medikasi yang mungkin dapat
diberikan meliputi analgesik, antiemetik, vaksin, dan imunoglobulin.Pencegahan baik
sebelum atau setelah terpapar HAV menjadi lebih penting.
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk Hepatitis A, sebab infeksinya sendiri
biasanya akan sembuh sendiri. Pemberian farmakoterapi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi. Farmakoterapi atau obat-obatan yang biasa
digunakan adalah antipiretik analgesik atau penghilang demam dan rasa sakit,
antiemetik atau anti muntah, vaksin, dan imunoglobulin.
Tidak ada terapi spesifik yang tersedia. Para antienteroviral diteliti obat
pleconaril (Disoxaril; ViroPharma) tidak memiliki aktivitas terhadap virus hepatitis A
(HAV). Rawat Inap diindikasikan untuk pasien dengan dehidrasi yang signifikan karena
muntah atau mereka dengan hepatitis fulminan. Tetapi pada keadaan lain yang berat
dimana terjadi komplikasi kekuarangan cairan akibat muntah yang berlebihan dan terus
menerus sehingga terjadi komplikasi kekuarangan cairan dan elektrolit disarankan untuk
dilakukan perawatan di rumah Sakit.
46
Pada penyakit hepatitis A organ tubuh yang paling terganggu adalah hati atau
lever. Fungsi hati adalah memetabolisme obat-obat yang sudah dipakai di dalam tubuh.
Karena hati sedang mengalami sakit radang, maka obat-obatan yang tidak perlu serta
alkohol dan sejenisnya harus dihindari selama sakit.
Beberapa peneliti percaya bahwa penggunaan kortikosteroid dapat
mempengaruhi pasien untuk mengembangkan kambuh hepatitis A.Meskipun sangat
jarang tetapi dapat terjadi komplikasi yang sering menyertai infeksi hepatitis A seperti
Gagal ginjal akut, nefritis interstisial, pankreatitis, aplasia sel darah merah,
agranulositosis, aplasia sumsum tulang, blok jantung sementara, sindrom Guillain-
Barré, arthritis akut, penyakit Still, sindrom lupuslike, Hepatitis autoimun dan sindrom
Sjögren.
Kekambuhan infeksi Hepatitis A terjadi pada sekitar 3-20% penderita. Setelah
melewati fase infeksi akut, terjadi fase remisi berlangsung 3-6 minggu. Kekambuhan
terjadi setelah periode singkat biasanya lebih 3 minggu dan gejalanya seperti hejala
awal meskipun gejalanya lebih ringan ringan.Terdapat laporan kasus seorang pasien
dilakukan transplantasi hari karena terjadi kekambuhan dan disertai penyakit lainnya
yang tidak membaik dengan pengobatan.
Hasil penelitian menyatakan, vaksin ini efektif pada lebih dari 90% orang. Efek
sampingan tidak ada kecuali rasa sakit pada bagian yang terkena suntikan. Hanya
sekitar 10% yang merasa kurang enak badan sehabis disuntik. Anak-anak antara usia 1 -
18 tahun diberi dua dosis vaksin initial dan booster antara usia 6 - 12 bulan. Orang
dewasa diberi satu initial dosis kemudian booster dalam waktu 6 - 12 bulan. Efek
47
proteksi baru terjadi paling tidak dua minggu setelah suntikan. Namun, belum diketahui
berapa lama suntikan ini dapat memberikan proteksi terhadap VHA.
Cara Pencegahan Menurut WHO, ada beberapa cara untuk mencegah penularan
hepatitis A,antara lain :
Hampir semua infeksi HAV menyebar dengan rute fekal-oral, maka pencegahan
dapat dilakukan dengan hygiene perorangan yang baik, standar kualitas tinggi untuk
persediaan air publik dan pembuangan limbah saniter,serta sanitasi lingkungan yang
baik.
Dalam rumah tangga, kebersihan pribadi yang baik, termasuk tangan sering dan
mencuci setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan, merupakan
tindakan penting untuk mengurangi risiko penularan dari individu yang terinfeksi
sebelum dan sesudah penyakit klinis merekamenjadi apparent.Dalam bukunya, Wilson
menambahkan pencegahan untuk hepatitis A, yaitudengan cara pemberian vaksin atau
imunisasi. Ada dua jenis vaksin, yaitu :
Imunisasi pasif (yaitu, antibodi) profilaksis untuk hepatitis A telah tersedia
selama bertahun-tahun. Serum imun globulin (ISG), dibuat dari plasma populasi
umum,memberi 80-90% perlindungan jika diberikan sebelum atau selama
periodeinkubasi penyakit. Dalam beberapa kasus, infeksi terjadi, namun tidak
munculgejala klinis dari hepatitis A.Saat ini, ISG harus diberikan pada orang yang
intensif kontak pasienhepatitis A dan orang yang diketahui telah makan makanan
mentah yang diolahatau ditangani oleh individu yang terinfeksi. Begitu muncul gejala
klinis, tuanrumah sudah memproduksi antibodi.Orang dari daerah endemisitas rendah
yangmelakukan perjalanan ke daerah-daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi
48
dapatmenerima ISG sebelum keberangkatan dan pada interval 3-4 bulan asalkan
potensial paparan berat terus berlanjut, tetapi imunisasi aktif adalah lebih baik.
Imunisasi aktif Untuk hepatitis A, vaksin dilemahkan hidup telah dievaluasi tetapi telah
menunjukkan imunogenisitas dan belum efektif bila diberikan secara oral.Penggunaan
vaksin ini lebih baik daripada pasif profilaksis bagi mereka yang berkepanjangan atau
berulang terpapar hepatitis A.E.Cara PengobatanTidak ada pengobatan khusus untuk
penyakit hepatitis A, terapi yangdilakukan hanya untuk mengatasi gejala yang
ditimbulkan. Contohnya, pemberian parasetamol untuk penurun panas.Terapi harus
mendukung dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi yang cukup.Tidak ada
bukti yang baik bahwa pembatasan lemak memiliki efek menguntungkan pada program
penyakit. Telur,susu dan mentega benar-benar dapat membantu memberikan asupan
kalori yang baik. Minuman mengandung alkohol tidak boleh dikonsumsi selama
hepatitis akutkarena efek hepatotoksik langsung dari alkohol (WHO, 2010).
Prognosis
Penderita HAV umumnya mempunyai prognosa baik dan akan mengalami
penyembuhan sempurna, hanya 0,1% yang berakhir fatal. Penyakit hepatitis tidak akan
menjadi kronis dan tidak pernah ditemukan pengidap (carier) virus menetap. Terjadinya
sirosis sebagai akibat infeksi HVA hamper tidak pernh terjadi. Bila ada, kemungkinan
sebeumnya sudah ada kelainan pada jaringan parenkhim hati. demikian ( Hadi, 2002)
Prognosis hepatitis A sangat baik, lebih dari 99% dari pasien dengan hepatitisA
infeksi sembuh sendiri. Hanya 0,1% pasien berkembang menjadi nekrosis hepatik akut
fatal (Wilson, 2001).
49
Komplikasi
HVA dapat menjadi berat (fulminan) atau melantur. Bila sampai melantur
(prolonges cholestasis) biasanya sampai 2-4 bulan dan akan mengalami penyembuhan
sempurna. Hepatitis fulminan karena HVA terdapat sekitar 0,1% dari banyak ditemukan
pada penderita pria
Definisi
Sindrom Crigler-Najjar adalah kondisi parah yang ditandai oleh tingginya
tingkat zat beracun yang disebut bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia). Bilirubin
diproduksi ketika sel-sel darah merah dipecah. Zat ini dihapus dari tubuh hanya setelah
mengalami reaksi kimia dalam hati, yang mengubah bentuk beracun dari bilirubin
(disebut bilirubin tak terkonjugasi) ke bentuk beracun yang disebut bilirubin
terkonjugasi. Orang dengan sindrom Crigler-Najjar memiliki penumpukan bilirubin tak
terkonjugasi dalam darah (hiperbilirubinemia tak terkonjugasi) .
Penyebab
Sindrom Crigler-Najjar diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Penyakit
genetik ditentukan oleh kombinasi gen untuk suatu sifat tertentu yang pada kromosom
yang diterima dari ayah dan ibu.
Kelainan genetik resesif terjadi ketika seorang individu mewarisi gen abnormal
yang sama untuk sifat yang sama dari setiap orangtua. Jika seseorang menerima satu
gen normal dan satu gen untuk penyakit ini, orang tersebut akan menjadi pembawa
penyakit, tetapi biasanya tidak akan menunjukkan gejala. Risiko untuk dua orang tua
pembawa untuk kedua lulus gen yang rusak dan, oleh karena itu, memiliki anak yang
terkena adalah 25% dengan setiap kehamilan. Risiko untuk memiliki anak yang
merupakan pembawa seperti orang tua adalah 50% dengan setiap
kehamilan. Kesempatan bagi anak untuk menerima gen yang normal dari kedua orang
50
tua dan secara genetik yang normal untuk itu sifat tertentu adalah 25%. Risikonya
adalah sama untuk pria dan wanita.
Para peneliti telah menentukan bahwa sindrom Crigler-Najjar disebabkan oleh
mutasi pada gen UGT1 terletak pada lengan panjang (q) dari kromosom 2
(2q37). Kromosom, yang hadir dalam inti sel manusia, membawa informasi genetik
untuk setiap individu. Sel-sel tubuh manusia normal memiliki 46 kromosom. Pasang
kromosom manusia diberi nomor dari 1 sampai 22 dan kromosom seks yang ditunjuk X
dan Y. Pria memiliki satu X dan satu kromosom Y dan perempuan memiliki dua
kromosom X. Setiap kromosom telah lengan pendek yang ditunjuk "p" dan lengan
panjang ditunjuk "q". Kromosom yang lebih sub-dibagi menjadi banyak band yang
diberi nomor. Misalnya, "kromosom 2q37" mengacu untuk band 37 pada lengan
panjang kromosom 2. band The bernomor menentukan lokasi dari ribuan gen yang hadir
pada setiap kromosom.
Gen UGT1 berisi petunjuk untuk membuat (encoding) enzim hati yang dikenal
sebagai uridin disphosphate-glucuronosyltransferase (UDPGT). Enzim ini diperlukan
untuk konversi (konjugasi) dan ekskresi berikutnya bilirubin dari tubuh.
Gejala sindrom Crigler-Najjar terjadi karena tidak adanya lengkap atau parsial
enzim ini, yang menghasilkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi dalam
tubuh. Bilirubin adalah pigmen empedu oranye-kuning yang terutama produk
sampingan dari pemecahan alami (degenerasi) dari sel darah merah
(hemolisis). Bilirubin beredar dalam bagian cair dari darah (plasma) dalam
hubungannya dengan protein yang disebut albumin; ini disebut bilirubin tak
terkonjugasi, yang tidak larut dalam air (water-larut). Biasanya, bilirubin tak
terkonjugasi ini diambil oleh sel-sel hati dan, dengan bantuan enzim UDPGT, diubah
untuk membentuk larut dalam air bilirubin diglucuronide (terkonjugasi bilirubin), yang
kemudian diekskresikan dalam empedu. Empedu disimpan dalam kandung empedu dan,
ketika dipanggil, masuk ke dalam saluran empedu dan kemudian ke bagian atas dari
usus kecil (duodenum) dan membantu pencernaan. Sebagian bilirubin dieliminasi dari
tubuh dalam tinja. Ketika kadar bilirubin meningkat cukup tinggi, akhirnya dapat
melintasi penghalang darah-otak, infiltrasi jaringan otak dan menyebabkan gejala-gejala
neurologis kadang-kadang dikaitkan dengan sindrom Crigler-Najjar.
51
Orang tua dari anak-anak dengan Crigler-Najjar tipe sindrom Aku mungkin
menunjukkan beberapa cacat dalam metabolisme bilirubin; Namun, mereka tidak
menampilkan temuan fisik gangguan ini (karena mereka heterozigot untuk gen UDPGT
rusak)
Diagnosa
Diagnosis sindrom Crigler-Najjar dapat diduga dalam beberapa hari pertama
kehidupan pada bayi dengan penyakit kuning persisten. Diagnosis dapat dikonfirmasi
dengan evaluasi menyeluruh klinis, temuan karakteristik, riwayat pasien rinci, dan
pengujian khusus. Misalnya, pada bayi dengan gangguan ini, tes darah menunjukkan
tingkat abnormal tinggi bilirubin tak terkonjugasi dengan tidak adanya peningkatan
kadar degenerasi sel darah merah (hemolisis), seperti pada penyakit Rh
(izoimmunization).Selain itu, analisis empedu mengungkapkan tidak ada terdeteksi
glucuronides bilirubin dan analisis urin dapat menunjukkan kurangnya bilirubin.
Hal ini penting untuk membedakan Crigler-Najjar tipe sindrom I dan tipe
II. Administrasi fenobarbital, barbiturat, sementara bermanfaat bagi individu yang
terkena dengan sindrom Crigler-Najjar sype II dan sindrom Gilbert, tidak efektif bagi
mereka dengan Crigler-Najjar tipe sindrom I. Oleh karena itu, kegagalan untuk
merespon obat ini merupakan indikasi penting untuk diferensial tujuan diagnostik.
Standar Terapi
Pengobatan
Pengobatan sindrom Crigler-Najjar diarahkan menurunkan tingkat bilirubin tak
terkonjugasi di blodd tersebut. Pengobatan dini sangat penting dalam Crigler-Najjar tipe
sindrom saya untuk mencegah perkembangan kernikterus selama beberapa bulan
pertama kehidupan. Karena sindrom Crigler-Najjar adalah lebih ringan dan merespon
fenobarbital, pengobatan berbeda.
Andalan pengobatan untuk Crigler-Najjar tipe sindrom adalah
52
1. fototerapi agresif .Selama prosedur ini, lampu neon intens difokuskan pada kulit
telanjang, sementara mata terlindung. Hal ini membantu untuk mempercepat
ekskresi bilirubin di kulit dan membantu dalam dekomposisi nya. Sebagai
individu yang terkena umur dan meningkat massa tubuh dan kulit mengental,
fototerapi menjadi kurang efektif terhadap mencegah kernikterus. Infeksi,
episode demam, dan jenis-jenis penyakit harus segera diobati untuk mengurangi
risiko individu yang terkena kemudian berkembang kernikterus.
2. Plasmapherersis telah digunakan untuk kadar bilirubin cepat lebih rendah dalam
darah.Plasmapheresis adalah metode untuk menghilangkan zat-zat yang tidak
diinginkan (racun, zat metabolik dan bagian plasma) dari darah. Selama
plasmapheresis, darah akan dihapus dari individu yang terkena dan sel darah
dipisahkan dari plasma. Plasma tersebut kemudian diganti dengan plasma
manusia lain dan darah ditransfusikan ke dalam individu yang terkena.
3. Transplantasi hati adalah satu-satunya pengobatan definitif untuk individu
dengan Crigler-Najjar tipe sindrom transplantasi I. hati sebagai kelemahan
seperti biaya, ketersediaan terbatas donor dan potensi penolakan. Beberapa
dokter merekomendasikan transplantasi hati jika bayi atau anak-anak dengan
tingkat sangat tinggi bilirubin tak terkonjugasi tidak menanggapi terapi
(hiperbilirubinemia refraktori) atau jika ada perkembangan gejala-gejala
neurologis. Dokter lainnya percaya bahwa transplantasi hati harus dilakukan
pada usia dini sebagai terapi pencegahan, sebelum kerusakan otak dapat hasil
dari awal kernikterus onset.
4. Sindrom Crigler-Najjar tipe II merespon pengobatan dengan fenobarbital. Dalam
beberapa kasus, selama episode hiperbilirubinemia parah, individu dengan
sindrom Crigler-Najjar tipe II mungkin perlu fototerapi. Beberapa individu
dengan sindrom Crigler-Najjar tipe II mungkin tidak memerlukan pengobatan
apapun, tetapi harus dipantau secara rutin.
5. Konseling genetik mungkin bermanfaat bagi individu yang terkena dan keluarga
mereka.Pengobatan lain adalah simtomatik dan suportif.
53
PENYAKIT PADA FASE POST HEPATIK
Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian
besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Hati
terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas,
dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang
berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena
kava.15 Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan
kandung empedu.1 Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.
Patofisiologi menjadi ikterus
Obstruksi mengalirkan getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas yaitu, yaitu getah empedu yang tidak di bawa lagi ke dalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini akan membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning keadaan ini disertai gatal – gatal pada kulit.
Tipe- tipe batu
Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi
dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung
empedu, dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei.3,29 Batu Kolesterol terjadi
kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di
dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu tinggi, pengendapan
akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah pengosongan cairan
empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan
empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi
pengendapan.
54
Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas
kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan sedikit
mengandung kalsium sehingga bersifat radiopaque
Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu
pigmen, tidak banyak bervariasi Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di
saluran empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan
akibat penyakit infeksi.
Patogenesis
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam
empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang
disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian
disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa
oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat
menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-
sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi
empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi
sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
Definisi
Pankreatitis adalah suatu penyakit inflamasi pankreas yang identik menyebabkan
nyeri perut dan terkait dengan fungsinya sebagai kelenjar eksokrin, (meskipun pada
akhirnya fungsi sebagai kelenjar endokrin juga terganggu akibat kerusakan organ pankreas).
The Second International Symposium on The Classification of Pancreatitis,
(Marseille,1980) membuat klasifikasi sebagai berikut:
Pankreatitis akut
Pankreatitis kronik
55
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut adalah pankreatitis yang dikarakterisasi oleh nyeri berat di perut
bagian atas dan meningkatnya level enzim pankreas di dalam darah. Pankreatitis akut bisa
ringan ataupun berat tergantung manifestasi klinis, tes laboratorium, dan diagnosa.
Perjalanan penyakit dari ringan self limited sampai berat yang disertai renjatan gangguan
ginjal dan paru-paru yang bisa berakibat fatal.
Pankreatitis yang berat, enzim-enzim pankreas, bahan-bahan vasoaktif dan bahan-
bahan toksik lainnya keluar dari saluran- saluran pankreas dan masuk ke dalam ruang
pararenal anterior dan ruang-ruang lain seperti ruang-ruang pararenal posterior, lesser sac
dan rongga peritoneum. Bahan ini mengakibatkan iritasi kimiawi yang luas. Bahan-bahan
tersebut memasuki sirkulasi umum melalui saluran getah bening retroperitoneal dan jalur
vena dan mengakibatkan berbagai penyulit sistemik seperti gagal pernapasan, gagal
ginjal dan kolaps kardio-vaskuler
Etiologi
Penyebab pankreatitis akut ditunjukkan pada Tabel 3.1. Batu empedu menjadi
penyebab terbesar dari semua kasus pankreatitis yang ada, menyusul berikutnya
penggunaan alkohol. Namun pada beberapa pasien tidak diketahui penyebabnya
(idiophatic). Pankreatitis akut juga dapat terjadi setelah pasien menjalani endoscopic
retrograde cholangiography (ERCP)ataupun setelah mengkonsumsi obat-obatan tertentu
yang ditunjukkan pada Tabel 3.2.
56
Patofisiologi
Pankreatitis akut dimulai sebagai suatu proses autodigesti di dalam kelenjar
akibat aktivasi prematur zimogen (prekursor dari enzim digestif) dalam sel-sel
sekretor pankreas (asinar), sistem saluran atau ruang interstisial. Gangguan sel asini
pankreas dapat terjadi karena beberapa sebab:
1. Obstruksi duktus pankreatikus. Penyebab tersering obstruksi adalah batu empedu kecil
(microlithiasis) yang terjebak dalam duktus. Sebab lain adalah karena plug protein (stone
protein) dan spasme sfingter Oddi pada kasus pankreatitis akibat konsumsi alkohol,
2. Stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi enzim pankreas.
Hormon CCK terstimulasi akibat diet tinggi protein dan lemak (hipertrigliseridemia)
dapat juga karena alkohol,
3. Iskemia sesaat dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas. Keadaan ini dapat terjadi
pada prosedur operatif atau karena aterosklerosis pada arteri di pankreas
Gangguan di sel asini pankreas akan diikuti dengan pelepasan enzim pankreas, yang
selanjutnya akan merangsang sel-sel peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel endotel,
dsb) untuk mengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet activating factor
[PAF]) dan sitokin proinflammatory (TNF-_, IL-1 beta, IL-6, IL-8 dan intercellular
adhesive molecules (ICAM 1) dan vascular adhesive molecules (VCAM) sehingga
menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat, teraktivasinya sistem komplemen dan
ketidakseimbangan sistem trombo-fibrinolitik. Kondisi tersebut akhirnya memicu
terjadinya gangguan mikrosirkulasi, stasis mikrosirkulasi, iskemia dan nekrosis sel-sel
57
pankreas. Kejadian di atas tidak saja terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula terjadi di
jaringan/organ vital lainnya sehingga dapat menyebabkan komplikasi lokal maupun
sistemik
PANKREATITIS KRONIK
Pankreatitis kronik merupakan peradangan pankreas menahun yang biasanya
menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi pankreas. Pada kebanyakan pasien bersifat
irreversible. Terjadi kerusakan permanen sehingga menyebabkan gangguan fungsi eksokrin
dan endokrin.
Etiologi Di Amerika Serikat, penyebab paling sering dari pankreatitis kronis adalah
alkoholisme. Penyebab lainnya adalah faktor keturunan dan penyumbatan saluran
pankreas yang disebabkan oleh penyempitan saluran atau kanker pankreas. Pankreatitis
akut jarang menyebabkan penyempitan pada saluran pankreas yang akan mengarah pada
terjadinya pankreatitis kronis. Pada banyak kasus, penyebab pankreatitis kronis tidak
diketahui. Di negara-negara tropis (Indonesia, India, Nigeria), pankreatitis kronis
dengan sebab yang tidak diketahui yang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, bisa
menyebabkan diabetes dan penumpukan kalsium di pankreas. Keseluruhan penyebab
pankreatitis kronik ditunjukkan
58
Patofisiologi
Sebagian besar kasus pankreatitis kronis disebabkan oleh alkohol, tetapi
mekanisme pasti bagaimana alkohol menyebabkan pankreatitis kronis belu diketahui.
Sepertinya alkohol menginduksi pankreatitis bermula dari inflamasi yang berkembang
menjadi nekrosis selular dengan tahapan seperti yang ditunjukkan pada skema di bawah ini
Kerusakan jaringan pankreas menyebabkan berkurangnya sekresi enzim pankreas
dan hormon-hormon seperti insulin. Malabsorpsi lemak dan protein terjadi jika sekresi
enzim berkurang sampai 90%.
MANAJEMEN TERAPI PANKREATITIS
PANKREATITIS AKUT
Tujuan pengobatan adalah menghentikan proses peradangan dan antodigesti atau
menstabilkan sedikitnya keadaan klinis sehingga memberi kesempatan resolusi
penyakit. Pasien pankreatitis menerima terapi suportif yang teridiri dari kontrol nyeri
secara efektif, penggantian cairan, dan nutrisi pendukung. Oleh karena itu manajemen
pankreatitis akut, biasanya terdiri dari:
Manajemen Cairan
Nutrisi Pendukung
Untuk mengistirahatkan saluran cerna
Diberikan nutrisi secara enteral maupun parenteral
Manajemen nyeri
59
Selain itu dapat juga dilakukan intervensi radiologi dan ERCP atau terapi bedah.
Manajemen terapi yang diberikan tersebut dibagi dalam terapi farmakologi dan non
farmakologi.
A. Terapi Non Farmakologi
a. Nutrisi Pendukung
Pemberian nutrisi pendukung dilakukan untuk mengistirahatkan saluran cerna
sehingga mengurangi stimulasi terhadap pankreas juga karena terjadinya malnutrisi.
Malnutrisi diakibatkan metabolisme pada pasien dengan pankreatitisakut berat
menyerupai keadaan sepsis, yang ditandai dengan hiperdinamik, hipermetabolik, dan
hiperkatabolik.
Dalam beberapa tahun lalu pemberian nutrisi yang direkomendasikan adalah
nutrisi parenteral melalui vena sentral. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
pemberian nutrisi per-oral akan merangsang produksi enzim pankreas sehingga justru
akan memperberat penyakit. Namun seiring dengan penelitian klinis konsep telah
berubah, justru sebaiknya nutrisi diberikan secara enteral
Berdasarkan penelitian, pemberian nutrisi parenteral dapat mengakibatkan:
1. Atrofi jaringan limfoid usus (GALT/gut associated lymphoid tissue) yang
merupakan sumber utama imunitas mukosa,
2. Terganggunya fungsi limfosit Sel T dan sel B, menurunnya aktivitas kemotaksis
leukosit dan fungsi fagositosis sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri
(bacterial overgrowth),
3. Meningkatnya permeabilitas dinding usus yang dapat mempermudah terjadinya
translokasi bakteri, endotoksin, dan antigen masuk ke dalam sirkulasi.
Nutrisi yang diberikan secara oral, nasogatrik maupun melalui duodenum dapat
meningkatkan produksi enzim pankreas. Namun nutrisi enteral melalui nasojejunal
tube (NJT) tidak merangsang produksi enzim. Hal ini dibuktikan oleh Zhao et al,
pada pasien dengan pankreatitis akut berat, pemberian nutrisi enteral dikombinasi
dengan nutrisi parenteral vs dengan nutrisi parenteral saja. disimpulkan: kadar TNF-
IL-6, kadar CRP lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral, dan kadar enzim
pankreas tidak terpacu dengan pemberian nutrisi enteral.
Nutrisi enteral diberikan segera setelah dilakukan resusitasi cairan, dapat
diberikan 48 jam pertama bila kondisi sudah stabil, dan tidak ada kontraindikasi
60
seperti: adanya syok, perdarahan gastrointestinal masif, obstruksi intestinal, fistula
jejunum atau enteroparalisis berat. Ada tiga alternatif pemberian nutrisi enteral pada
pankreatitis akut berat:
(1) nasojejunal tube,
(2) gastrostomy/jejunostomy tube,
(3) jejunostomi secara bedah.
Pemberian secara NJT lebih terpilih karena lebih aman, non-invasif dan lebih
mudah dikerjakan dengan bantuan endoskopi/fluoroskopi.
Intervensi radiologi dan ERCP
Mengangkat batu empedu dengan ERCP atau pembedahan biasanya dapat
mengatasi Pankreatitis akut dan mencegah kambuh kembali. Meskipun demikian pada
saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeserdari tindakan pembedahan awal ke
perawatan intensif agresif. Seiring dengan berkembangnya radiologi dan endoskopi
intervensi, tindakan bedah dapat diminimalisasi.
Tindakan ERCP, drainase endoskopis dan perkutaneus baik dengan panduan
USG maupun CT scan dapat diindikasikan pada komplikasi pankreatitis berat seperti:
timbunan cairan peripankreatik, pseudocyst dan abses lambat. Pseudocyst yang
didefinisikan sebagai adanya timbunan cairan yang menetap lebih dari 4 minggu, terjadi
akibat rupturnya duktus pankreatikus dapat didrainase secara endoskopis dengan
keberhasilan sekitar 83%.
Batu empedu yang bermigrasi dan terjebak di ampula merupakan penyebab
tersering pankreatitis akut (acute biliary pancreatitis). Batu empedu ditemukan pada
tinja sebesar 85-95% pada pasien yang menderita pankreatitis akut. ERCP merupakan
prosedur endoskopik untuk mengevaluasi sistem bilier dan sistem duktus pankreatikus.
Beberapa studi membuktikan bahwa ERCP yang dilakukan pada 24–72 jam dari onset
klinis pada pasien pankreatitis akut berat yang terbukti dengan obstruksi bilier,
kolangitis dan peningkatan bilirubin dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Pasien yang menjalani ERCP seringkali dikombinasi dengan tindakan
sfingterotomi endoskopis tanpa memandang ada/tidaknya batu di duktus biliaris. Pada
pasien dengan kolangitis memerlukan tindakan sfingterotomi endoskopis atau drainase
duktus dengan stent perlu dilakukan untuk menghilangkan obstruksi bilier.
61
Terapi Bedah
Tindakan bedah diindikasikan pada pankreatitis akut berat:
1. Pankreatitis nekrotik akut terinfeksi,
2. Pankreatitis nekrotik steril dengan pankreatitis akut fulminan (ditandai dengan
menurunnya kondisi pasien akibat gagal organ multipel yang muncul dalam
beberapa hari sejak onset gejala),
3. Pankreatitis akut dengan perdarahan usus.
Tujuan tindakanbedah adalah untuk membersihkan jaringan nekrotik sebersih
mungkin dengan menyisakan jaringan pankreas yang masih viabel.
Tindakan debridement (necrotomy) merupakan gold standard pada pankreatitis
nekrosis akut terinfeksi dan nekrosis peripankreatik. Pankreatitis nekrotik akut steril
tidak perlu tindakan bedah, cukup konservatif kecuali terjadi pankreatitis akut fulminan.
Berdasarkan penelitian, dari 172 pasien dengan nekrosis steril mortalitas terjadi
sebanyak 13,1% pada kelompok yang menjalani pembedahan dibandingkan yang
konservatif hanya 6,2%. Tindakan bedah dilakukan pada minggu ke 3-4 setelah onset
gejala karena intervensi pada minggu awal meningkatkan risiko mortalitas >65% karena
komplikasi pulmonal/kardial
MANAJEMEN PANKREATITIS KRONIK
A. Terapi Non farmakologi
Selama suatu serangan, yang sangat penting adalah menghindari alkohol.
Menghindari semua makanan dan hanya menerima cairan melalui infus, dapat
mengistirahatkan pankreas dan usus juga bisa mengurangi rasa nyeri.
Untuk mengurangi serangan, dianjurkan makan 4-5 kali/hari, yang
mengandung sedikit lemak dan protein, dan banyak karbohidrat. Alkohol harus tetap
dihindari.
Bila sakit berlanjut, kemungkinan telah terjadi komplikasi, seperti masa
peradangan di kepala pankreas atau suatu pseudokista. Masa peradangan
memerlukan terapi pembedahan. Pseudokista yang menyebabkan nyeri sejalan
62
dengan perkembangannya, mungkin harus menjalani dekompresi (pengurangan
penekanan).
Pada pecandu alkohol yang mengalami penyembuhan, pengangkatan sebagian
pankreas dilakukan hanya yang akan terjadi setelah pembedahan.
B. Terapi farmakologi
Tetapi pereda nyeri golongan narkotik, masih sering diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri. Bila penderita terus menerus merasakan nyeri dan tidak ada
komplikasi, biasanya dokter menyuntikan penghambat nyeri ke saraf pankreas
sehingga rangsangannya tidak sampai ke otak. Bila cara ini gagal, mungkin
diperlukan pembedahan. Jika saluran pankreasnya melebar, pembuatan jalan pintas
dari pankreas ke usus halus, akan mengurangi rasa nyeri pada sekitar 70-80%
penderita. Jika salurannya tidak melebar, sebagian dari pankreas mungkin harus
diangkat. Bila kepala pankreas terkena, bagian ini diangkat bersamaan dengan usus
dua belas jari.
Pembedahan ini dapat mengurangi nyeri pada 60-80% penderita. Dengan
meminum tablet atau kapsul yang mengandung ekstrak enzim pankreas pada saat
makan, dapat membuat tinja menjadi kurang berlemak dan memperbaiki penyerapan
makanan, tapi masalah ini jarang dapat teratasi. Bila perlu, larutan antasid atau
penghambat H2 dapat diminum bersamaan dengan enzim pankreas. Dengan
pengobatan tersebut, berat badan penderita biasanya akan meningkat, buang air
besarnya menjadi lebih jarang, tidak lagi terdapat tetesan minyak pada tinjanya dan
secara umum akan merasa lebih baik. Jika pengobatan diatas tidak efektif, penderita
dapat mencoba mengurangi asupan lemak. Mungkin juga dibutuhkan tambahan vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K).
63
BAB III
KESIMPULAN
1. Ikterus adalah suatu manifestasi klinis penting untuk mendiagnosis penyakit-
penyakit prehepatik, hepatik dan post hepatik yang bisa berakibat fatal. Untuk
itu diagnosa dan penatalaksaan sangat membantu dalam menentukan prognosis.
2. Penegakkan diagnosa,terdiri dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yaitu laboratorium sederhana dan lengkap serta pemeriksaan canggih
lainnya. Dari anamnesa ditanyakan riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan
feses, riwayat transfusi dan riwayat obat-obatan. Pada pemeriksaan fisik, pada
perabaan hati, kandung empedu, limpa bisa ditemukan tanda-tanda pembesaran.
Pada pemeriksaan fisik juga dicari bekas-bekas garukan di kulit karena pruritus.
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pada semua anak yang ikterus. Tes
laboratoriumnya seperti tes serum bilirubin direk dan indirek, protein serum, dan
enzim serum. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan
produksi bilirubin dan menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit.
3. Pemeriksaan faal hati seperti SGPT, SGOT, albumin, dan gama-
glutamiltransferase dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan
oleh gangguan pada sel-sel hati atau adanya hambatan pada saluran empedu.
Pemeriksaan feses yang menunjukan adanya perubahan warna menjadi dempul.
Pada pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan ultrasonografi (USG), CT-
scan, ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatography), PTC
(percutaneus transhepatic cholangiography), dan biopsy hati.
4. Penatalaksanaan ikterik tergantung kepada penyakit dasarnya, bisa berupa terapi
farmakologi, operatif, maupun suportif. Penanganan yang cermat dan tepat akan
memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu kita dituntut untuk lebih
cermat dalam memahami patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana ikterus
sehingga dapat melakukan penanganan yang benar.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of
Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-
Hill, 1989. 1091-1099
2. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C P)
diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller.
3. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425
4. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series,
2006.
5. Kasper DL et al, (2005). Harrison’s Manual of Medicine 16th edition . New
York : McGraw Hill Medical Publishing Division
6. Lindseth GA. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Hal. 481-
485.
7. Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier.
8. Scanlon VC. 2007. Buku Ajar Anatomi & Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hal.350-353.
9. Suchy FJ. 2007.Cystic Disease of the Biliary Tract and Liver in Nelson Textbook
of Pediatrics 18th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
10. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425
11. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical
Series, 2006.
12. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine
Vol.1.16th ed. USA, Mc GrawHill, 2005
65