53
16 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Grand Theory of Marketing Menurut Philip Kotler, pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk atau value dengan pihak lainnya. Definisi ini berdasarkan pada beberapa konsep- konsep inti, seperti: kebutuhan, keinginan, dan permintaan produk-produk ( barang, servis, dan ide), value, biaya dan kepuasan, pertukaran dan transaksi, hubungan dan networks, pasar, dan para pemasar, serta prospek (Kotler, 2004 dalam Wicaksono, 2010). Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan usahanya untuk berkembang dan berkembang dan mendapatkan keuntungan sebagai ukuran keberhasilan usahanya baik dalam bentuk laba maupun kepuasan. Berhasil tidaknya dalam pencapaian tujuan bisnis tergantung dari keahlian pengusaha di bidang pemasaran. Selain itu tergantung dari fungsi-fungsi apakah suatu usaha itu dapat berjalan dengan lancar.

3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

16  

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Grand Theory of Marketing

Menurut Philip Kotler, pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial

dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka

butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk

atau value dengan pihak lainnya. Definisi ini berdasarkan pada beberapa konsep-

konsep inti, seperti: kebutuhan, keinginan, dan permintaan produk-produk ( barang,

servis, dan ide), value, biaya dan kepuasan, pertukaran dan transaksi, hubungan dan

networks, pasar, dan para pemasar, serta prospek (Kotler, 2004 dalam Wicaksono,

2010).

Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang

dilakukan oleh para pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan usahanya untuk

berkembang dan berkembang dan mendapatkan keuntungan sebagai ukuran

keberhasilan usahanya baik dalam bentuk laba maupun kepuasan.

Berhasil tidaknya dalam pencapaian tujuan bisnis tergantung dari keahlian

pengusaha di bidang pemasaran. Selain itu tergantung dari fungsi-fungsi apakah suatu

usaha itu dapat berjalan dengan lancar.

Page 2: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

17  

Menurut William J. Stanton (Wicaksono, 2010) , pemasaran adalah suatu

sistem yang keseluruhan dari kegiatan usaha yang dirancang untuk merencanakan,

menetapkan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang

dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang sudah ada maupun pembeli

yang potensial (Stanton, 2011 dalam Wicaksono, 2010).

Jadi pemasaran mengandung arti bahwa kegiatan manusia yang diarahkan

pada usaha kegiatan pemasaran dan berpusat pada kebutuhan dan keinginan manusia

itu sendiri. Kegiatan-kegiatan pemasaran dalam perumahan adalah berbagai kegiatan

yang langsung berkaitan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh developer untuk

mempengaruhi dan memenuhi permintaan terhadap perumahan yang dibutukan

masyarakat. Kegiatan dimana developer melakukan jasa pelayanannya melalui jalur

pemasaran, mempromosikannya dan menetapkan harga. 

Pendapat lain mengenai pengertian pemasaran dikemukakan oleh Winer

adalah sebagai berikut, pemasaran adalah meliputi kapanpun seseorang atau

organisasi membuat pilihan diantara berbagai alternatif yang mempunyai pengaruh

dalam keputusan tersebut. (Winer, 2004 dalam Wicaksono, 2010)

2.2 Landasan Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir

dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori

Page 3: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

18  

yang memuat pokok – pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:31 dalam Tarigan, 2011).

Kerangka teori bermanfaat sebagai dasar dalam menjelaskan berbagai

fenomena – fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti. Kerlinger

menyebutkan, teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang

mengemukan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di

antara variabel , untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat ,

2004:6 dalam Tarigan, 2011).

Pada bagian ini, peneliti akan membahas variabel – variabel yang ada didalam

penelitian ini, antara lain : experiential marketing, perceived quality, brand trust, dan

brand loyalty.

2.2.1 Experiential Marketing

Sebelum peneliti membahas definisi mengenai experiential marketing,

peneliti akan terlebihi dahulu membahas definisi dari experience.

Experiential sendiri berasal dari kata experience yang berarti sebuah

pengalaman. Definisi experience menurut Schmitt (Lonita dan Lia, 2008):

pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya

stimulus tertentu (misalnya yang diberikan oleh pihak pemasar sebelum dan sesudah

pembelian barang atau jasa).

Page 4: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

19  

Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

adalah suatu kejadian yang terjadi dan mengikat pada setiap individu secara personal.

Menurut Wong, 2005 (Andreani, 2007) pengalaman merupakan sebuah alat

yang membedakan produk atau jasa. Tidak dapat disangkal bahwa dengan semakin

berkembangnya teknologi produk dan jasa maka penciptaan product differentiation

sangatlah sulit, bahkan kadang kala tidak mungkin dilakukan. Dengan kematangan

sebuah produk maka kompetisi menjadi sangat ketat karena para kompetitor

menawarkan core product dengan fungsi dan fitur yang sama. Oleh karena itu hanya

ada sedikit perbedaan yang bisa diciptakan.

Setelah dibahas mengenai pengertian kata experience, maka selanjutnya

peneliti akan membahas mengenai experiential marketing.

Adaptasi dari Marketing Aesthetics (1999). Experiential Marketing adalah

pendekatan baru dalam bidang disiplin ilmu pemasaran yang mengacu pada peristiwa

individual yang terjadi, baik bersifat rasional maupun emosional, dikarenakan adanya

stimulasi tertentu atau rangsangan dari luar yang membentuk suatu persepsi dan

mempunyai dampak terhadap perilaku individu tersebut dimasa yang akan datang.

Scmitt (Utami, 2009) menyatakan bahwa dalam pendekatan experiential

marketing ini, pemasar menawarkan produk atau jasanya dengan merangsang unsur -

unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen.

Experiential marketing adalah bagaimana menjembatani partisipasi konsumen dan

koneksi atau environmental relationship (Li, 2008 dalam Utami 2009).

Page 5: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

20  

2.2.1.1 Strategic Experiential Modules

Strategic experience modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel, think, act,

dan relate. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p63), kelima bentuk pengalaman tersebut

merupakan lima dimensi yang menjadi dasar pengukuran dari experiential marketing.

a) Sense

adalah aspek- aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang

dapat ditangkap oleh kelima indera manusia,meliputi pandangan, suara, bau, rasa,

dan sentuhan. Semua pendekatan psikologi sense, beliefs, motivation, learning

dan attitudes yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen (Kotler,

1994 dalam Li, 2008).

Sense ini, bagi konsumen, berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari

produk yang lain,untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk

membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia

dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah

pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya

menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal

yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat.

(Schmitt, 1999 dalam Lin, 2006, p26), tujuan secara keseluruhan dari sense

adalah menyediakan kesenangan estetika melalui rangsangan terhadap kelima

indra manusia (pendengaran, penciuman, peraba/sentuhan dan pengecapan).

Page 6: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

21  

b) Feel

Menurut Schmitt (Lin, 2006, p26) pemasaran feel merupakan strategi pendekatan

perasaan (afeksi) dan implementasi terhadap perusahaan dan merek melalui

experiences providers, dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati),

perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events (peristiwa-peristiwa yang

terjadi), agent (orang yang melakukan peristiwa, perusahaan dan situasi), dan

object (suatu hal yang telah dilihat).

Perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan.

Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan

dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan

produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan Feel

campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan.

Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan,

pelanggan akan menyukai dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa

tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan

meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah

strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi

pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan

bertahan lama (Schmitt,1999).

c) Think

Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan

problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara

Page 7: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

22  

kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran

biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual,

dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan Menurut Schmitt

cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah (1) menciptakan

sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun

konseptual, (2) berusaha untuk memikat pelanggan dan (3) memberikan sedikit

provokasi.

Menurut Schmitt (1999) dan Li (2008), tujuan pemasaran think adalah untuk

mendorong pelanggan terlibat dalam pemikiran seksama dan kreatif, diamana

hasil yang didapat tanpa penilaian kembali perusahaan dan produk. Dalam

proses berpikir secara kreatif terdapat dua jenis pemikiran yaitu :

1. Convergent Thinking (Pemikiran Terpusat)

Adalah proses mempersempit fokus seseorang pada beberapa ide atau

gagasan dari semua ide yang telah dikumpulkan menjadi sebuah solusi.

Misalnya setelah mengetahui motor Yamaha, konsumen lebih memperhatikan

kualitas Motor.

2. Divergent Thinking (Pemikiran Memancar)

Adalah jenis pemikiran yang membiarkan pikiran seseorang yang bergerak

kemana – mana secara simultan. Jenis pemikiran ini membutuhkan kampanye

pemasaran think yang asosiatif, yaitu dengan perumpamaan secara visual.

Misalnya iklan Yamaha dapat memberikan gambaran mengenai Motor

Yamaha.

Page 8: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

23  

d) Act

Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) strategi pemasaran Act berfungsi menciptakan

pengalaman yang sangat berharga bagi pelanggannya, berkaitan dengan secara

fisik, pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman dengan

orang lain.

Act adalah Tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan

tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang

memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan

untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru

merubah hidup mereka lebih baik.

e) Relate

Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) tujuan dari pemasaran relate adalah

menghubungkan diri pribadi seseorang kepada konteks sosial budaya didalam

suatu merek kemudian akan menciptakan suatu identitas sosial kepada dirinya

sendiri. Relate menjelaskan suatu hubungan dengan orang lain. Kelompok sosial

lainnya (pekerjaan, etnik atau gaya hidup). Perhimpunan masyarakat atau

kebudayaan. Pengalaman relate dimulai dengan mengidentifikasi kelompok

acuan (individu atau kelompok yang mempengaruhi secara bermakna perilaku

individu), dimana pelanggan merasakan komunikasi dengan pelanggan lainnya,

sampai membentuk suatu komunitas merek sebagai pusat dari organisasi sosial

dan menetapkan suatu pemasaran sendiri.

Page 9: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

24  

Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau

budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan

untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate

campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan

dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi

kesenangan yang sama.

2.2.1.2 Cara Penyampaian Experiential Marketing (Experience Providers)

Agen-agen yang bisa menghantarkan 5 bentuk experience diatas adalah sebagai

berikut :

1. Komunikasi, meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun

eksternal, dan public relation.

2. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan

lain-lain.

3. Tampilan produk, baik desain, kemasan, maupu penampakan.

4. Co-branding, meliputi even-even pemasaran, sponsorship, aliansi dan rekanan

kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.

5. Lingkungan spatial, termasuk desain kantor, baik interior maupun eksterior, outlet

penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.

6. Web sites

Page 10: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

25  

7. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service, operator call

centre, dan lainnya.

2.2.2 Brand

Menurut Kotler (Simamora, 2003, p3), merek (brand) adalah nama, tanda,

simbol, desain, atau kombinasi hal-hal tersebut, yang ditujukan untuk

mengidentifikasi dan mendiferensiasi (membedakan) barang atau layanan suatu

penjual dari barang dan layanan penjual lain.

2.2.2.1 Karateristik Brand

Setelah diputuskan untuk memberikan merek pada produk, selanjutnya perlu

diputuskan merek apa yang digunakan. Brand apapun yang digunakan semestinya

mengandung sifat berikut ini seperti yang dikemukan oleh Bilson Simamora

(2001;154) :

1) Mencerminkan manfaat dan kualitas

2) Singkat dan sederhana

3) Mudah diucapkan, didengar, dibaca, dan diingat.

4) Memiliki kesan berbeda dari merek – merek yang sudah ada.

5) Mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan tidak mengandung konotasi

negatif dalam bahasa asing.

6) Dapat didaftarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagai hak paten.

Page 11: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

26  

Setiap perusahaan dalam menentukan brand bagi produknya harus mempunyai dan

memenuhi karakteristik – karakteristik diatas. Apabila brand sudah mempunyai dan

memenuhi karakteristik tersebut, maka brand tersebut dapat diterima oleh konsumen.

2.2.2.2 Cara Membangun Merek

• Memiliki positioning yang tepat

Merek dapat dipositioningkan dengan berbagai cara , misalnya dengan

menempatkan posisinya secara spesifik di benak pelanggan. Membangun

positioning adalah menempatkan semua aspek dari brand value ( termasuk

manfaat fungsional) secara konsisten sehingga selalu jadi nomor satu di benak

pelanggan.

• Memiliki brand value yang tepat

Semakin tepat merek di positioningkan di benak pelanggan , merek tersebut akan

semakin kompetitif. Untuk mengelola hal tersebut kita perlu mengetahui brand

value. Brand value membentuk brand personality. Brand personality lebih cepat

berubah dibandingkan brand positioning, karena brand personality

mencerminkan gejolak perubahan selera konsumen.

• Memiliki konsep yang tepat

Tahap akhir untuk mengkomunikasikan brand value dan positioning yang tepat

kepada konsumen harus didukung oleh konsep yang tepat.

Pengembangan konsep merupakan proses kreatif , karena berbeda dari

positioning, konsep dapat terus menerus berubah sesuai dengan daur hidup

Page 12: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

27  

produk yang bersangkutan. Konsep yang baik adalah dapat mengkomunikasikan

semua elemen – elemen brand value dan positioning yang tepat, sehingga

perceived quality dapat terus – menerus ditingkatkan.

2.2.3 Konsep Persepsi

Solomon (1999) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana sensi yang

diterima oleh seseorang yang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan di

interprestasikan. Maka, dapat di simpulkan bahwa persepsi adalah interpretasi proses

dimana konsumen memahami lingkungan mereka sendiri. Banyak orang percaya

bahwa persepsi adalah pasif atau sebaliknya yang kita lihat dan mendengar apa yang

diluar sana sangat objektif.

Schifmann dan kanukk (2000) menyebutkan bahwa persepsi adalah cara orang

memandang didunia ini. Dari definisi umum yang dapat dilihat bahwa persepsi

seseorang berbeda dari yang lainnya. Cara memandang dunia sudah pasti dipengaruhi

oleh sesuatu dari dalam maupun luar orang itu.

Namun, pada kenyataannya orang benar-benar aktif mempersepsikan stimuli

dan objek di sekitar lingkungan mereka. Customer melihat apa yang mereka harapkan

untuk melihat dan apa yang mereka harapkan untuk melihat tergantung pada

kepercayaan umum dan stereotip. Dan karena setiap kelompok (segmen) dan individu

memiliki kepercayaan umum dan stereotype yang berbeda-beda sehingga

menimbulkan persepsi terhadap suatu lingkungan pemasaran juga menjadi beragam.

Page 13: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

28  

Oleh karena itu, marketer harus menyadari perbedaan tersebut agar dapat

menyesuaikan stimuli pemasaran (yakni iklan, kemasan, harga dll) dengan persepsi

mereka sehingga sesuai dengan segmen yang ditargetkan.

2.2.4 Konsep Kualitas

Kualitas digambarkan oleh Feigenbaum (dikutip oleh Reeves dan Bednar,

1994 dalam Broto, 2002) sebagai “faktor yang paling penting mendorong

pertumbuhan ekonomis perusahaan – perusahaan dimanapun di dunia in dalam

konteks pasar global”.

Menurut Zhang, (Broto, 2002) mengatakan bahwa kualitas mengatakan bahwa

kualitas merupakan variabel bersaing yang paling dasar yang harus diprioritaskan

oleh para manajer, disamping variabel – variabel bersaing lainnya seperti biaya dan

fleksibilitas. Mengingat arti penting kualitas maka tidak mengherankan jika banyak

kajian ditujukan untuk mendefinisikan arti kualitas (Forker et al., 1996 dalam Broto,

2002).

2.2.5 Perceived Quality

Persepsi kualitas (perceived quality) menurut Aaker (Broto, 2002) dapat

didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau

keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan

oleh pelanggan.

Page 14: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

29  

Menurut Aaker (Broto, 2002) menegaskan satu hal yang harus selalu diingat,

yaitu bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi para pelanggan, oleh sebab itu

persepsi kualitas tidak dapat ditetapkan secara objektif. Selain itu, persepsi pelanggan

akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki

kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda – beda terhadap suatu produk

atau jasa (Aaker, 1997; Darmadi Durianto et al., 2001 dalam Broto, 2002). Maka

dapat dikatakan bahwa membahas persepsi kualitas berarti akan membahas

keterlibatan dan kepentingan pelanggan (Darmandi Durianto et al., 2001 dalam

Broto, 2002).

Menurut Aaker (Broto, 2002) selanjutnya menguraikan bahwa persepsi

kualitas berbeda dengan kepuasan. Seorang bisa dipuaskan karena dia memiliki

harapan yang rendah terhadap tingkat kinerjanya. Persepsi kualitas yang tinggi tidak

identik dengan harapan – harapan yang rendah. Persepsi kualitas juga berbeda dengan

sikap: suatu sikap positif bisa ditimbulkan karena suatu produk dengan kualitas

sangat rendah sangat murah. Sebaliknya seseorang mungkin mempunyai sikap negatif

terhadap produk berkualitas tinggi yang dirasakan terlalu mahal.

Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan

yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989 dalam Baldauf et al.

2003).

Page 15: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

30  

Persepsi kualitas (perceived quality) merupakan penilaian konsumen terhadap

keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, persepsi

kualitas didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen (bukan manajer atau pakar)

terhadap kualitas produk (Tjiptono, 2005).

Dalam buku “Aura Merek” yang ditulis Bilson Simamora, bila berbicara

mengenai kualitas, maak terdapat kualitas objektif dan kualitas menurut konsumen

(perceived quality). Yang terpenting adalah persepsi di mata konsumen. Kotler

(2000) mengatakan bahwa, “Quality is the totality of feature and characteristic of a

product or services that bear on its ability to satify stated or implied needs”. Artinya,

kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik yang membuat produk mampu

memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan. Agar

dapat menjawab pertanyaan apakah suatu merek sudah memenuhi kebutuhan

konsumen maka jawabannya tergantung pada penilaian subjektif konsumen.

Menurut Morgan, Cleland dan Bruno (1996, dalam Simamora (2002) )

memberikan tiga prinsip kualitas sebagai persepsi. Pertama, kualitas bersumber pada

aspek produk dan non-produk, atau seluruh kebutuhan non-harga (nonprice needs)

yang dicari konsumen untuk memuaskan kebutuhannya. Kedua ahli ini berpendapat

bahwa yang dipertimbangkan oleh konsumen dari sebuah produk mencakup tiga

aspek utama, yaitu harga, produk, dan non-produk. Pada aspek produk yang

diperhatikan adalah standar yang diharapkan dari suatu produk. Pada sebuah televisi

misalnya, aspek produk adalah ukuran layar, gambar, suara, kelengkapan fungsi, dan

Page 16: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

31  

desain. Sementara itu, aspek non-produk terdiri dari garansi, reputasi, dan layanan

perbaikan.

Kedua, kualitas ada bila masuk dalam persepsi konsumen. Bila konsumen

mempersepsikan kualitas sebuah produk bernilai rendah, maka kualitas produk

tersebut rendah, apapun realitasnya. Persepsi lebih penting daripada realitas karena

konsumen membuat keputusan berdasarkan persepsi bukan realitas.

Ketiga, kualitas sebagai persepsi diukur secara relatif terhadap pesaing, Bila

produk A menawarkan produk yang baik, akan tetapi produk pesaing lebih baik lagi,

maka produk A tidak berkualitas.

Besterfield, et al (1999, dalam Simamora (2002)) melihat kualitas dari

perbandingan antara performa dan harapan. Bila performa dapat memenuhi atau

melampaui harapan, maka produk itu berkualitas. Sebaliknya, produk yang

performanya di bawah harapan maka produk tersebut tidak berkualitas. Perlu diingat

bahwa performa dan harapan ditentukan oleh konsumen sesuai persepsi mereka.

Menurut Darmadi Durianto et al., (Broto, 2002) perceived quality adalah

sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu

produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan.

Perusahaan yang aktif dalam iklan atau promosi merek produknya, akan dapat

meningkatkan asosiasi merek dalam pikiran konsumen dan dengan semakin kuat dan

positifnya asosiasi – asosiasi merek tersebut akan membentuk kesan kualitas merek

Page 17: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

32  

pada produk tersebut. Setelah kesan kualitas terbentuk maka konsumen akan

mencoba membeli merek tersebut dan apabila setelah pembelian tersebut konsumen

menjadi puas yang mana kemudian akan menjadi percaya pada produk tersebut.

selanjutnya konsumen akan melakukan pembelian ulang dan akhirnya dapat menjadi

konsumen yang loyal , dimana dengan melakukan pembelian ulang secara

berkelanjutan maka konsumen dianggap telah loyal pada merek tersebut.

Persepsi kualitas mencerminkan perasaan pelanggan yang tidak nampak dan

secara menyeluruh mengenai suatu merek. Akan tetapi, biasanya persepsi kualitas

didasarkan pada dimensi – dimensi yang termasuk dalam karakteristik produk

tersebut dimana merek dikaitkan dengan hal – hal seperti keandalan dan kinerja.

Untuk memahami persepsi kualitas maka diperlukan identifikasi dan pengukuran

terhadap dimensi yang mendasarinya (Aaker, 1997; Darmadi Durianto et al., 2001)

Perceived Quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu

merek, dalam banyak konteks perceived quality sebuah merek dapat menjadi alasan

penting pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan oleh pelanggan

yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelanggan dalam memutuskan merek yang

akan dibeli.

Seorang pelanggan mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk

disaring yang mengarahkannya kepada penentuan kualitas suatu merek secara

obyektif. Mungkin pula pelanggan tidak termotivasi untuk memproses informasi,

Page 18: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

33  

tidak mempunyai kesanggupan dan dalam konteks ini perceived quality menjadi

sangat berperan dalam keputusan pelanggan. (Engel dikutip oleh Darmadi Durianto et

al., 2001 dalam Broto 2002). Karena perceived quality terkait erat dengan keputusan-

keputusan pembelian maka perceived quality dapat mengefektifkan semua elemen

program pemasaran khususnya program promosi. (Darmadi Durianto et al., 2001

dalam Broto, 2002). Apabila perceived quality dari suatu merek tinggi, maka

kemungkinan besar program periklanan dan promosi yang akan dijalankan akan

efektif.

Sedemikian pentingnya peran perceived quality bagi suatu merek sehingga

upaya membangun perceived quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius

agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar di setiap kategori pasar.

Membangun perceived quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas nyata dari

produknya karena akan sia-sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek

produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Bahkan

dalam jangka panjang upaya tersebut akan menjadi bumerang. Hal ini karena

pelanggan pada tahap awal memutuskan untuk membeli produk karena perceived

qualitynya pada gilirannya akan sampai kepada tahap evaluasi yang menghantarnya

kepada rasa puas atau tidak puas. Pelanggan yang tidak puas akan merasa

dikecewakan sehingga perceived quality yang dimiliki pada awalnya berganti dengan

kesan benci karena merasa dibodohi. Kejadian tersebut menyebabkan kemungkinan

perpindahan merek yang sangat besar di kemudian hari. Hal ini dapat pula terjadi

Page 19: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

34  

untuk pelanggan lama yang dalam pembelian yang kesekian kalinya mengalami

kejadian serupa seperti pembeli pemula di atas. Intinya adalah jika pengalaman

penggunaan dari para pelanggan tidak sesuai dengan kualitas yang diposisikan maka

citra perceived quality tidak dapat dipertahankan.

Persepsi pelanggan merupakan penilaian, yang tentunya tidak selalu sama

antara pelanggan satu dengan lainnya. Persepsi kualitas yang positif dapat dibangun

melalui upaya mengidentifikasi dimensi kualitas yang dianggap penting oleh

konsumen, dan membangun persepsi kualitas pada dimensi penting pada merek

tersebut (Aaker dalam Astuti dan Cahyadi, 2007). Persepsi kualitas yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas suatu merek produk.

Persepsi kualitas ini akan membentuk persepsi kualitas secara keseluruhan terhadap

suatu produk dibenak konsumen. Persepsi kualitas keseluruhan dari suatu produk

dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara

langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap

merek (Durianto, dkk 2004). Karena persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen

maka dapat diramalkan jika persepsi kualitas pelanggan negatif, produk tidak akan

disukai dan tidak akan bertahan lama dipasar. Sebaliknya, jika persepsi kualitas positf

maka produk akan disukai.

Sedemikian pentingnya peran perceived quality bagi suatu merek sehingga

upaya membangun perceived quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius

agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar di setiap kategori produk.

Page 20: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

35  

Membangun perceived quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas yang nyata

dari produknya karena akan sia – sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek

produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Berikut

adalah hal yang perlu diperhatikan dalam membangun perceived quality (David,

Aaker, Managing Brand Equity) :

1. Komitmen terhadap kualitas

Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara

kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas bukan hanya basa

basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi.

2. Budaya kualitas

Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma

perilakunya, dan nilai – nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan

kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan.

3. Informasi masukan dari pelanggan

Pada akhirnya dalam membangun perceived quality pelangganlah yang

mendefinisikan kualitas. Sering kali para pimpinan keliru dalam

memperkirakan apa yang dianggap penting oleh pelangganya. Perusahaan

perlu secara berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya

sehingga diperoleh informasi yang akurat, relevan, dan up to date.

4. Sasaran / standar yang jelas

Page 21: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

36  

Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas

yang terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga harus

memiliki standart yang jelas, dapat dipahami dan diprioritaskan. Terlalu

banyak sasaran tanpa prioritas sama saja dengan tidak mepunyai sasaran fokus

yang pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu

sendiri.

5. Kembangkan karyawan yang berinisiatif

Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan berinisiatif serta dilibatkan dalam

mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang kreatif dan

inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas

layanan.

2.2.5.1 Hasil – hasil yang diperoleh dari Perceived Quality

Secara umum persepsi kualitas dapat menghasilkan nilai – nilai berikut :

Gambar 2.1 Hasil dari Persepsi Kualitas

Sumber : Rangkuti, 2002 (Damanik, 2010)

Page 22: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

37  

1. Alasan untuk Membeli

Keterbatasan informasi, uang, dan waktu membuat keputusan pembelian

seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas suatu merek yang ada di

benak konsumen, sehingga sering kali alasan keputusan pembelian hanya

didasarkan kepada persepsi kualitas (perceived quality) dari merek yang akan

dibelinya.

2. Diferensiasi atau Posisi

Salah satu karakteristik yang penting dari merek produk adalah posisinya dalam

dimensi persepsi kualitas.

3. Harga Optimum

Salah satu keuntungan dari persepsi kualitas adalah memberikan ruang pilihan

dalam menentukan harga premium. Harga premium dapat meningkatkan laba

secara langsung dapat meningkatkan profitabilitas.

4. Minat Saluran Distribusi

Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menyalurkan merek dengan

persepsi kualitas tinggi. Hal ini memberikan keuntungan bagi perluasan distribusi

dari merek tersebut dan dapat pula meningkatkan citra distributor yang

menyalurkan merek yang mempunyai kesan kualitas tinggi.

5. Perluasan Merek

Merek dengan persepsi kualitas tinggi dapat digunakan untuk memperkenalkan

kategori produk baru dan mempunyai kemungkinan sukses yang lebih besar

Page 23: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

38  

dibandingkan dengan merek yang lemah. Dalam hal ini persepsi kualitas

merupakan jaminan yang signifikan atas perluasan – perluasan merek tersebut.

2.2.5.2 Dimensi Perceived Quality

Berdasarkan perspektif kualitas, David Garvin dalam Durianto, Sugiarto,

Sitinjak (2001 : 98) dalam Broto, 2002) mengembangkan dimensi kualitas ke dalam

tujuh dimensi, yaitu sebagai berikut :

1) Performance (Kinerja)

Merupakan karakteristik pokok dari produk inti dan merupakan aspek fungsional

dari suatu produk. Misalnya karakteristik operasional mobil adalah kecepatan,

akselerasi, sistem kemudi, serta kenyamanan. Karena faktor kepentingan

pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap yang

berbeda dalam menilai atribut – atribut ini. Kecepatan akan diberi nilai tinggi oleh

sebagian pelanggan, namun dapat dianggap tidak relevan atau dinilai rendah oleh

sebagian pelanggan lain yang lebih mementingkan atribut kenyamanan.

2) Serviceability (Kemudahan Pelayanan)

Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut.

Misalnya mobil merek tertentu menyediakan pelayanan kerusakan atau service

mobil 24jam di seluruh kota.

Page 24: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

39  

3) Durability (Daya tahan)

Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. misalnya mobil merek

tertentu yang memposisikan dirinya sebagai mobil tahan lama. Walau telah

berumur 12 tahun tetapi masih berfungsi dengan baik.

4) Reliability (Kehandalan)

Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke

pembelian berikutnya. Dimensi keandalan juga berkaitan dengan probabilitas

suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu

tertentu dibawah kondisi tertentu. Dengan demikian keandalan merupakan

karakteristik yang mencerminkan kemungkinan tingkat keberhasilan dalam

penggunaan suatu produk.

5) Features (Fitur)

Bagian – bagian tambahan dari produk (fitur), seperti remote control sebuah

video, tape recorder, system WAP untuk telepon genggam. Penambahan ini

biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk

terlihat hampir sama. Bagian – bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa

perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamis sesuai

perkembangan.

6) Conformance with Specifications (Kesesuaian dengan Spesifikasi)

Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat

produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. Dimensi ini

juga bisa diartikan sebagai kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah

Page 25: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

40  

ditetapkan sesuai dengan keinginan konsumen. Kesesuaian atau konformasi juga

merefleksikan derajat dimana karakteristik desain produk dan karakteristik

operasi memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sering didefinisikan sebagai

kesesuaian terhadap kebutuhan (conformance to requirements).

Misalnya sebuah mobil pada kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah

ditentukan seperti jenis dan kekuatan mesin, pintu, material untuk mobil, ban,

system pengapian dan lainnya.

7) Fit and Fitness

Mengarah pada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi

sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang

baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas

lain yang penting.

2.2.6 Brand Trust

Kepercayaan adalah variabel kunci dalam pengembangan keinginan untuk

menjaga sebuah hubungan jangka panjang , contohnya terhadap sebuah merek

(Morgan and Hunt, 1994 dalam Delgado, Elena et al, 2001).

Kepercayaan terbangun karena adanya harapan bahwa pihak lain akan

bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika seseorang telah

mempercayai pihak lain maka mereka yakin bahwa harapan akan terpenuhi dan tak

akan ada lagi kekecewaan (Sanner, 1997 dalam Ferrinadewi, 2004).

Page 26: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

41  

Menurut Lau and Lee (dalam Paramitha, 2010), mengartikan bahwa trust

sebagai kesediaan (willingness) seseorang untuk menggantungkan dirinya pada pihak

lain dengan resiko tertentu.

Menurut Amir (dalam Lianda, 2009), kepercayaan adalah keyakinan kita

bahwa di satu produk ada atribut tertentu. Keyakinan ini muncul, dari persepsi yang

berulang, dan adanya pembelajaran dan pengalaman.

Menurut Ananto (Irawan, 2011, p1) mendefinisikan suatu kepercayaan adalah

sebagai suatu rasa percaya kepada mitra dimana seseorang berhubungan sementara

menurut Indarjo (Irawan, 2011, p1) mendefinisikan kepercayaan sebagai suatu

kerelaan untuk bergantung kepada partner dalam suatu hubungan transakasi dimana

dalam diri partner itu sendiri diletakan keyakinan.

Menurut Luarn dan Lin (dalam Suhardi, 2006) kepercayaan adalah sejumlah

keyakinan spesifik terhadap integritas (kejujuran pihak yang dipercaya dan

kemampuan menepati janji), benevolence (perhatian dan motivasi yang dipercaya

untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang mempercayai mereka), competency

(kemampuan pihak yang dipercaya untuk melaksanakan kebutuhan yang

mempercayai) dan predictability (konsistensi perilaku pihak yang dipercaya).

Ellena Delgado Ballester (2003) menjelaskan bahwa brand trust adalah

perasaan aman yang dimiliki pelanggan akibat dari interaksinya dengan sebuah

merek, yang berdasarkan persepsi bahwa merek tersebut dapat diandalkan dan

bertanggung jawab atas kepentingan dan keselamatan dari pelanggan. Brand Trust

Page 27: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

42  

juga dapat diartikan sebagai adanya sebuah harapan yang tinggi bahwa suatu merek

tertentu akan membawa hasil yang positif bagi para pelanggan. Brand trust dimulai

dari pengalaman yang lalu dan interaksi karena perkembangannya dipengaruhi oleh

proses pengalaman individual dari waktu ke waktu. Ini merangkum pengetahuan dan

pengalaman para pelanggan dengan merek tersebut. Sebagai sebuah atribut

pengalaman, brand trust dipengaruhi oleh evaluasi pelanggan dari kontak langsung

(percobaan pemakaian) atau kontak tidak langsung (periklanan, word of mouth)

dengan merek tertentu. Dari semua kontak tersebut, sumber brand trust yang paling

relevan dan penting adalah pengalaman menggunakan barang tersebut.

Brand Trust mewakili pengakuan bahwa nilai merek dapat diciptakan dan

dikembangkan dengan cara mengatur beberapa aspek yang melebihi kepuasan

konsumen terhadap kinerja.

Menurut Delgado dan Walzuch dalam Ferrinadewi (2008:150-151),

komponen kepercayaan merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif

atau didasarkan pada beberapa persepsi, yaitu:

a. Persepsi konsumen terhadap manfaat yang dapat diberikan produk / merek.

b. Persepsi konsumen akan reputasi merek, persepsi konsumen akan kesamaan

kepentingan dirinya dengan penjual, dan persepsi mereka pada sejauh mana

konsumen dapat mengendalikan penjual dan persepsi.

Sedangkan menurut Lau dan Lee (Apriansyah, 2010) Kepercayaan terhadap

merek, terdiri dari tiga faktor, yaitu:

1. Brand Characteristic, berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap suatu

Page 28: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

43  

merek. Kepercayaan di sini menyangkut tentang kinerja merek dapat diramalkan,

mempunyai reputasi dan kompetensi merek, dengan indikator sebagai

berikut :

• Merek dengan reputasi tinggi, yaitu merek dengan kualitas yang baik dan

mampu bersaing dengan merek lain.

• Pengetahuan publik tentang merek, yaitu suatu tingkat pengetahuan

masyarakat terhadap suatu merek.

• Berita positif tentang merek produk, yaitu suatu kabar berita yang baik

tentang produk yang beredar di masyarakat.

• Pengetahuan konsumen tentang merek, yaitu tingkat pengetahuan konsumen

mengenai merek yang telah digunakan.

• Kinerja merek dapat diantisipasi, yaitu tingkat keefektifitasan suatu

perusahaan terhadap merek, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan

dengan baik.

• Merek yang konsisten dengan kualitasnya, yaitu tingkat konsistensi suatu

merek dengan menjaga kualitas yang sesuai dengan keinginan masyarakat.

• Harapan konsumen terhadap merek, yaitu suatu keinginan konsumen terhadap

apa yang dilakukan perusahaan pada produk yang dipasarkannya.

• Berbeda dengan merek yang lain, yaitu perbandingan dengan merek ataupun

produk merek lain dengan bidang yang sama yang memliki kekuatan merek

yang berbeda.

Page 29: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

44  

• Efektivitas produk dibandingkan dengan merek lain, yaitu perbandingan

tingkat kinerja yang ditawarkan suatu perusahaan terhadap produk yang

dipasarkannya

• Merek yang paling dapat memenuhi kebutuhan, yaitu suatu produk yang

memiliki kualitas yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Company Characteristic, yang ada dibalik merek akan berpengaruh terhadap

loyalitas merek. karakteristik perusahaan merupakan dasar awal pemahaman

konsumen terhadap suatu produk. Karakteristik ini meliputi reputasi suatu

perusahaan serta integritas perusahaan di balik merek tersebut. dengan indikator

sebagai berikut :

- Kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu suatu tingkat kepercayaan konsumen

ataupun pelanggan terhadap perusahaan.

- Perusahaan tidak akan menipu pelanggan, merupakan suatu komitmen yang

dipegang teguh oleh suatu perusahaan agar menciptakan loyalitas konsumen.

- Perhatian perusahaan terhadap pelanggan, merupakan salah satu wujud

strategi pemasaran agar masyarakat merasakan kenyamanan dalam

menggunakan produk suatu perusahaan.

- Keyakinan pelanggan terhadap produk perusahaan, merupakan wujud dari

hasil suatu komitmen perusahaan untuk melayani konsumennya dengan baik.

Page 30: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

45  

3. Consumer – Brand Characteristik, merupakan totalitas pemikiran dan perasaan

individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering kali dalam konteks

pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang. Konsumen sering kali

berinteraksi dengan merek seolah olah merek tersebut adalah manusia sehingga

kesamaan antara konsep diri konsumen dengan merek dapat membangun

kepercayaan terhadap merek, dengan indicator sebagai berikut :

• Ada kesamaan merek dengan emosi pelanggan, yaitu antara perusahaan

dengan konsumen memilki keinginan dan tujuan yang sama.

• Merupakan merek favorit, yaitu persepsi konsumen akan suatu merek yang

diinginkan tentunya dengan kualitas yang baik.

• Merek yang sesuai dengan kepribadian pelanggan, merupakan suatu persepsi

konsumen akan merek suatu produk yang digunakan.

2.2.6.1 Tingkatan Kepercayaan Merek

Tingkatan – tingkatan kepercayaan merek Menurut Rizal Edy salim dalam Jurnal

manajemen Indonesia, (Vol.1, No. 2, 2002) didimensikan menjadi 5 (lima) yaitu :

1. Hedonik adalah merek yang memberikan kesenangan atau kebanggaan tersendiri

bagi saya, dimana merek ini membuat saya bahagia.

2. Utilatarian adalah merek ini yang memenuhi kebutuhan saya dimana merek ini

membuat saya bergairah kembali dalam melakukan apapun.

Page 31: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

46  

3. Ketersediaan adalah merek ini tersedia dimana saja membuat konsumen ingin

terus menggunakanya, merek ini tersedia dimana saja membuat konsumen mudah

untuk mendapatkan atau memperolehnya.

4. Keunikan merek adalah merek ini berbeda dari merek lain yang sejenis membuat

konsumen tidak akan mungkin berpindah merek, merek ini memiliki ciri khas

tersendiri membuat setiap konsumen ingin terus mengkonsumsinya.

5. Kualitas merek adalah merek ini bermutu terbaik membuat konsumen ingin terus

mengkonsumsinya, merek ini mutunya terjamin membuat konsumen akan terus

menggunakannya.

2.2.6.2 Pengukuran Brand Trust

Menurut Delgado (2004) kepercayaan merek adalah harapan akan kehandalan

dan intense baik merek karena itu kepercayaan merek merefleksikan 2 hal yakni :

brand reliability dan brand intentions.

1) Brand Reliability atau kehandalan merek yang bersumber pada keyakinan

konsumen bahwa produk tersebut mampu memenuhi nilai yang dijanjikan

atau dengan kata lain persepsi bahwa merek tersebut mampu memenuhi

kebutuhan dan memberikan kepuasan. Brand reliability merupakan hal yang

esensial bagi terciptanya kepercayaan terhadap merek karena kemampuan

merek memenuhi nilai yang dijanjikannya akan membuat konsumen menaruh

rasa yakin akan mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hal ini kebutuhan

untuk keluar dari perasaaan terancamnya.

Page 32: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

47  

2) Brand Intention didasarkan pada keyakinan konsumen bahwa merek tersebut

mampu mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah dalam

konsumsi produk muncul secara tidak terduga. Kedua komponen kepercayaan

merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif atau didasarkan

pada persepsi masing – masing konsumen terhadap manfaat yang dapat

diberikan produk/ merek.

Menurut European Journal of Marketing (Delgado – Ballesterand Munuera –

Aleman, 1999 dalam Wijoyo dan Prasetio, 2005) ukuran yang sering dipakai untuk

mengukur kepercayaan adalah tipe skala multi – item yang menjelaskan dimensi –

dimensi dari konsep perilaku spesifik (“memegang janji”) dan atribut (“jujur” ,

“tertarik kepada…”). Lebih khususnya skala kepercayaan terhadap merek yang

terkait dengan kemampuannya untuk dipercaya dan intensinya terhadap konsumen.

Enam item yang ada diskala tersebut adalah :

1) Menawarkan sebuah produk dengan tingkat kualitas yang konstan.

2) Membantu untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul ketika pemakai

produk menggunakan produk tersebut.

3) Menawarkan produk – produk baru yang mungkin dibutuhkan oleh pemakai

produk.

4) Peduli dengan kepuasan pemakai produk.

5) Memandang pemakai produk sebagai seseorang yang berharga.

6) Menawarkan rekomendasi dan saran untuk memaksimalkan penggunaan

produk tersebut.

Page 33: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

48  

Kesimpulannya peneliti menggunakan pengukuran menurut Delgado (2004)

untuk mengukur subvariabel pada brand trust yaitu dengan brand reliability dan

brand intention untuk mengukur kepercayaan terhadap merek dan keyakinan

konsumen bahwa merek tersebut mengutamakan kepentingan konsumen ketika

masalah dalam konsumsi produk.

2.2.7 Brand Loyalty

Menurut Rangkuti (2004, pp60 -61), pengertian loyalitas merek ialah ukuran

dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari

brand equity yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Apabila loyalitas merek

meningkat, maka kerentanan kelompok pelanggan dari serangan pesaing dapat

dikurangi karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan

masa depan.

Definisi lainnya yaitu menurut Tjiptono (Apriansyah, 2010), yang

mengemukan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk

membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara

konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama

berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi

menyebabkan perilaku beralih merek.

Menurut Durianto, et al (2004, p126) mendefinisikan “loyalitas merek

merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek”. Ukuran ini

menggambarkan tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek

Page 34: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

49  

produk lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan baik

menyangkut harga ataupun atribut lain.

Yoo et al dan Arjun dan Morris (dalam Utami, 2009) mendefinisikan loyalitas

merek dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah

merek, komitmen pada merek tersebut, dan berniat menerusakan pembelian dimasa

yang akan datang. Terjadinya loyalitas merek pada kosumen disebabkan oleh adanya

pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tersebut yang terakumulasi

secara terus menerus disamping adanya persepsi tentang kualitas produk.

Douglas (dalam Utami, 2009) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan

konsep yang fundamental dalam strategik marketing, Customer’s Brand Loyalty

dapat menciptakan keuntungan dalam marketing yaitu word of mouth referral dan

perlawanan dalam kompetisi yang semakin besar.

Loyalitas merek (brand loyalty) merupakan suatu konsep yang sangat penting

dalam strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat

diperlukan agar perusahaan dapat bertahan hidup. Loyalitas dapat diartikan sebagai

suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa

yang menjadi preferensinya secara konsisten pada masa yang akan datang dengan

cara membeli ulang merek yang sama meskipun ada pengaruh situasional dan usaha

pemasaran yang dapat menimbulkan peralihan perilaku.

Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan dengan

merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari

pelanggan. Minor dan Mowen (dalam Kurniawan, 2011) mengemukakan bahwa

Page 35: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

50  

loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan

dengan proporsi pembelian. Berdasarkan dari pandangan tersebut maka loyalitas

merek didefinisikan sebagai: keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Loyalitas merek sering dianggap sebagai komitmen internal untuk membeli

dan membeli ulang suatu merek tertentu. Loyalitas merek dapat didefinisikan sebagai

keinginan melakukan dan perilaku pembelian ulang.

Loyalitas merek dari kelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari

ekuitas merek. Apabila para pelanggan tidak tertarik pada merek dan membeli karena

karakteristik produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit mempedulikan

merek, maka berarti kemungkinan ekuitas mereknya kecil. Sebaliknya, apabila para

pelanggan melanjutkan untuk membeli merek tersebut kendati dihadapkan pada para

kompetitor yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dari segi harga

dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang amat besar dalam merek tersebut dan

barangkali juga dalam simbol dan slogannya.

2.2.7.1 Jenis – Jenis Loyalitas

Menurut Jill Griffin (2003:22) terdapat empat jenis loyalitas yang muncul bila

keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi-silang dengan pola pembelian ulang, yang

rendah dan tinggi.

Page 36: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

51  

Adapun jenis-jenis loyalitas konsumen yaitu :

1. Tanpa Loyalitas

Untuk berbagai alasan tertentu, ada beberapa konsumen yang tidak

mengembangkan loyalitas atau kesetiaan kepada suatu produk maupun jasa

tertentu. Tingkat keterikatan yang rendah dengan tingkat pembelian ulang yang

rendah menunjukkan absennya suatu kesetiaan. Pada dasarnya, suatu usaha harus

menghindari kelompok no loyality ini untuk dijadikan target pasar, karena mereka

tidak akan menjadi konsumen yang setia.

2. Loyalitas yang lemah (Inertia Loyality)

Inertia loyality merupakan sebuah jenis loyalitas konsumen yang dimana adanya

keterikatan yang rendah dengan pembelian ulang yang tinggi. Konsumen yang

memiliki sikap ini biasanya membeli berdasarkan kebiasaan. Dasar yang

digunakan untuk pembelian produk atau jasa disebabkan oleh faktor kemudahan

situsional. Kesetiaan semacam ini biasanya banyak terjadi terhadap produk atau

Jasa yang sering dipakai. Contoh dari kesetiaan ini terlihat dari kegiatan pembelian

bensin yang dilakukan konsumen di dekat daerah rumahnya dan sebagainya.

Pembeli dengan loyalitas yang lemah rentan beralih ke produk pesaing yang dapat

menunjukkan manfaat yang jelas. Meskipun demikian, perusahaan masih memiliki

kemungkinan untuk mengubah jenis loyalitas ini ke dalam bentuk loyalitas yang

lebih tinggi melalui pendekatan yang aktif ke pelanggan dan peningkatan nilai

Page 37: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

52  

perbedaan positif yang diterima konsumen atas produk maupun jasa yang

ditawarkan kepadnya dibandingkan dengan yang ditawarkan para pesaing lain. Hal

ini dapat dilakukan melalui peningkatan keramahan dalam pelayanan dan fasilitas

yang diberikan kepada konsumen.

3. Loyalitas Tersembunyi (Laten Loyality)

Jenis loyalitas tersembunyi merupakan sebuah kesetiaan atau keterikatan yang

relatif tinggi yang disertai dengan tingkat pembelian ulang yang rendah.

Konsumen yang mempunyai sikap laten loyality pembelian ulang juga didasarkan

pada pengaruh faktor situasional daripada sikapnya. Sebagai contoh, seorang

suami menyukai masakan eropa, tetapi mempunyai istri yang kurang menyukai

masakan Eropa. Maka suami tersebut hanya sesekali saja mengunjungi restoran

Eropa dan lebih sering pergi ke restoran yang dimana masakan yang ditawarkan

dapat dinikmati bersama.

4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)

Loyalitas ini merupakan yang terjadi bilamana suatu tingkat keterikatan tinggi

yang berjalan selaras dengan aktivitas pembelian kembali. Setiap perusahaan

tentunya sangat mengharapkan kesetiaan jenis ini dari setiap

usaha preference yang tinggi. Contoh jenis loyalty premium adalah rasa bangga

yang muncul ketika konsumen menemukan dan menggunakan produk atau jasa

Page 38: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

53  

tersebut dan dengan senang hati membagi pengetahuan dan merekomendasikannya

kepada teman, keluarga maupun orang lain.

2.2.7.2 Tingkatan Loyalitas

Menurut, Aaker (dalam Simamora 2002) membagi loyalitas merek ke dalam

lima tingkatan, sebagai berikut:

1. Switcher adalah golongan yang tidak peduli pada merek, mereka suka berpindah

merek. Motivasi mereka berpindah merek adalah harga yang rendah karena

golongan ini memang sensitif terhadap harga (price sensitive switcher), adapula

yang selalu mencari variasi yang disebut Blackwell et al dan Kotler sebagai

variety-prone switcher dan karena para konsumen tersebut tidak mendapatkan

kepuasan (unsatisfied switcher).

2. Habitual buyer adalah golongan yang setia terhadap suatu merek dimana dasar

kesetiaannya bukan kepuasan atau keakraban dan kebanggaan. Golongan ini

memang puas, setidaknya tidak merasa dikecewakan oleh merek tersebut. Dan

dalam membeli produk didasarkan pada faktor kebiasaan, bila menemukan merek

yang lebih bagus, maka mereka akan berpindah. Blackwell et al menyebut

perilaku tersebut sebagai inertia.

3. Satisfied buyer adalah golongan konsumen yang merasa puas dengan suatu

merek. Mereka setia, tetapi dasar kesetiaannya bukan pada kebanggaan atau

Page 39: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

54  

keakraban pada suatu merek tetapi lebih didasarkan pada perhitungan untung rugi

atau biaya peralihan (switching cost) bila melakukan pergantian ke merek lain.

4. Liking the brand adalah golongan konsumen yang belum mengekspresikan

kebanggannya pada kepada orang lain, kecintaan pada produk baru terbatas pada

komitmen terhadap diri sendiri, dan mereka merasa akrab dengan merek.

5. Commited buyer adalah konsumen yang merasa bangga dengan merek tersebut

dan mengekspresikan kebanggaannya dengan mempromosikan merek tersebut

pada orang lain.

Dalam satu golongan loyalitas masih terbuka kemungkinan pada perbedaan

derajat kesetiaan. Kita dapat mengatakan bahwa kesetiaan berada pada suatu

kontinum. Titik paling rendah adalah tidak loyal sama sekali sedangkan titik paling

tinggi adalah loyalitas penuh. Bahkan Kunde menyebutkan bahwa loyalitas puncak

adalah titik dimana merek telah menjadi agama (brand religion), merek menjadi

sesuatu yang wajib, dipuja dan disembah (Simamora, 2002). Menurut Giddens (2002)

konsumen yang loyal terhadap suatu merek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Memiliki komitmen pada merek tersebut

2. Berani membayar lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan merek

yang lain.

3. Akan merekomendasikan merek tersebut pada orang lain.

Page 40: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

55  

4. Dalam melakukan pembelian kembali produk tersebut tidak melakukan

pertimbangan.

5. Selalu mengikuti informasi yang berkaitan merek tersebut

6. Mereka dapat menjadi semacam juru bicara dari merek tersebut dan mereka selalu

mengembangkan hubungan dengan merek tersebut.

2.2.7.3 Pengukuran Brand Loyalty

Loyalitas merek menurut Mowen dan Minor (dalam Lamidi, 2007) adalah

suatu kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek,

mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan

pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini didasarkan pada dua pendekatan yaitu

behavioral dan attitudinal. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan

keperilakuan (behavioral), maka hal ini mengacu pada perilaku konsumen yang hanya

membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaaan

di dalamnya. Sebaliknya jika yang dipakai adalah pendekatan attitudinal maka

loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek.

Pengukuran Brand Loyalty (Aaker, 1991 : 43) sebagai berikut :

Page 41: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

56  

1. Behavior Measure (pengukuran perilaku)

Suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual behavior

(perilaku kebiasaan) adalah dengan memperhitungkan pola pembelian yang aktual.

Beberapa ukuran yang dapat digunakan : (Durianto, et al, 2004, p132-134)

a) Repurchase Rates (Tingkat Pembelian Ulang). Yaitu tingkat persentase

pelanggan yang membeli merek yang sama pada kesempatan membeli jenis

produk tersebut.

b) Percent of Purchase (Persentase pembelian). Yaitu tingkat persentase

pelanggan untuk setiap merek yang dibeli dari beberapa pembelian terakhir.

c) Number of brands purchase (Jumlah merek yang dibeli). Yaitu tingkat

persentase pelanggan dari suatu produk untuk hanya membeli satu merek , dua

merek , tiga merek, dan seterusnya.

Loyalitas pelanggan sangat bervariasi diantara beberapa kelas produk,

tergantung pada jumlah merek yang bersaing dan karakteristik produk tersebut.

2. Measuring switching cost (pengukuran biaya peralihan)

Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindentifikasi loyalitas pelanggan

terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat

mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sangat mahal, pelanggan

Page 42: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

57  

akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan kelompok pelanggan

dari waktu ke waktu akan rendah.

3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan)

Pengukuran terhadap kepuasaan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek

merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan

terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan bagi

pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor – faktor

penarik yang sangat kuat. Dengan demikian sangat perlu bagi perusahaan untuk

mengeksplor informasi dari pelanggan yang memindahkan pembeliannya ke merek

lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun

alasan yang terkait dengan ketergesaann mereka memindahkan pilihannya.

4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek)

Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan – perasaan hormat atau

bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan

pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang

sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekedar suka

pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui

persepsi dan kepercayaan mereka yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari

rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemauan membayar harga yang lebih

mahal untuk memperoleh merek tersebut.

Page 43: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

58  

5. Measuring Commitment (pengukuran komitmen)

Salah satu indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komitmen pelanggan yang

berkaitan dengan produk tersebut. kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan

mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain, baik

dalam taraf sekedar menceritakan alasan pembelian mereka pada suatu merek atau

bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya kepada orang lain untuk

menkonsumsi merek tersebut. indikator lain adalah sejauh mana tingkat

kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas dan

kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam

kaitannya dengan penggunaan.

2.2.8 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti akan mendefinisikan keterkaitan antar

variabel – variabel tersebut , yaitu sebagai berikut :

a) Hubungan antara experiential marketing dengan brand trust

Experiential marketing merupakan konsep pemasaran yang bertujuan untuk

membangun hubungan dimana konsumen merespon produk yang ditawarkan

berdasarkan emosi dan tingkat pemikiran mereka. Hubungan emosional yang

terbangun akibat pengalaman positif tersebut akan menimbulkan suatu kesukaan

terhadap merek dan kepuasan dalam menggunakan merek dimana kedua hal tersebut

Page 44: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

59  

merupakan salah satu faktor utama yang mendukung terciptanya kepercayaan

terhadap suatu merek oleh pelanggan.

Jika seorang konsumen memiliki pengalaman positif terhadap merek, hal

tersebut memungkinkan terciptanya kepercayaan konsumen pada merek. Semakin

baik kinerja suatu merek dalam menciptakan pengalaman kepada konsumen maka

semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pada merek (Telaah Manajemen Vol 2 No.2/

November/ 2007: p130).

Kepercayaan dibangun melalui pengalaman, semakin positif pengalaman yang

dimiliki oleh konsumen bersama dengan suatu merek, maka seorang konsumen akan

semakin mungkin untuk mempercayai merek tersebut (Delgado-Ballester dan

Aleman, 2005, p193).

Kepercayaan merek terbentuk dari pengalaman konsumen (Costabile, 2002

dalam Ferrinadewi 2005). Pengalaman merupakan hasil dari psikologis konsumen

dan tercipta apabila ada keterlibatan konsumen selama proses pra pembelian maupun

pada saat pembelian baik dalam bentuk dorongan motivasi maupun bentuk dorongan

motivasi maupun dalam bentuk multidimensional (Broderick & Foxall, 1999 dalam

Ferrinadewi, 2005). Pengalaman akan menjadi sumber terciptanya rasa percaya bagi

konsumen dan pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam

konsumsi, penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung

dengan merek. Semakin tinggi tingkat keterlibatan konsumen maka semakin tinggi

juga tingkat pengalaman konsumen selama proses pra pembelian, hal ini akan

Page 45: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

60  

berdampak pada peningkatan kepercayaan merek. Tingkat keterlibatan konsumen

tergantung pada tipe keterlibatan konsumen yang bersangkutan.

Teori penghubung menurut (Costabile, 2002 dalam Ferrinadewi, 2005) :

“Pengalaman akan menjadi sumber bagi konsumen bagi terciptanya rasa percaya dan

pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi,

penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung dengan merek.

Pengalaman yang dialami konsumen merupakan suatu bentuk keterlibatan konsumen

terhadap produk yang akan dikonsumsi. Konsumen perlu mengalami sendiri dalam

proses pertukaran sehingga dapat terbentuk rasa percaya terhadap merek dalam benak

konsumen.”

Ketika konsumen puas dengan suatu merek setelah menggunakan merek

tersebut, situasi ini berarti merek telah memenuhi janjinya. Ketika merek memenuhi

janjinya, kemungkinan konsumen untuk mempercayai merek tersebut menjadi lebih

kuat. Kepercayaan ini mengacu juga pada pengalaman terhadap merek. Jika seorang

konsumen mempunyai pengalaman positif terhadap merek, Hal tersebut

memungkinkan terciptanya kepercayaan konsumen pada merek. Semakin baik kinerja

suatu merek maka pengalaman semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pada merek.

b) Hubungan antara perceived quality dengan brand trust

Pelanggan yang tidak puas akan merasa dikecewakan sehingga perceived

quality yang dimiliki pada awalnya berganti dengan kesan benci karena merasa

Page 46: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

61  

dibodohi. Tetapi pelanggan yang puas akan merasa tidak dikecewakan dan perceived

quality yang ia pikirkan terhadap produk tersebut akan semakin baik dan percaya

terhadap merek tersebut.

Menurut Costabile (1998, dalam Ferrinadewi dan Djati, 2004) mendefinisikan

kepercayaan (trust) sebagai persepsi terhadap kehandalan dari sudut pandang

pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau

interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya

kepuasan. Ini menunjukkan bahwa dengan adanya persepsi kualitas pelanggan

terhadap suatu merek yang didasarkan pada pengalaman maka akan membentuk suatu

kepercayaan akan merek tersebut. Semakin baik persepsi kualitas pelanggan terhadap

merek tersebut, maka kepercayaan akan merek tersebut pun semakin kuat.

c) Hubungan antara brand trust dengan brand loyalty

Pengaruh kepercayaan merek terhadap loyalitas merek dikemukakan oleh

Hess,1995 ; Selnes,1998, Chou et al,2002 dan (Morgan dan Hunt,1994) dalam Erna

Ferrinadewi (2008:148) menyatakan bahwa kepercayaan merek akan mempengaruhi

kepuasan konsumen dan loyalitas merek.

Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa pelanggan setia pada merek

karena mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap merek tersebut.

Hal ini dipertegas oleh Lau dan Lee yang memproposisikan bahwa kepercayaan

terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. Pengalaman positif dan kinerja

Page 47: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

62  

akan suatu merek yang baik akan mendorong pelanggan untuk mulai mempercayai

suatu merek lalu berkembang menjadi setia atau loyal terhadap suatu merek.

Spekman mempercayai bahwa trust merupakan pondasi untuk membangun

hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Trust berperan penting dalam

meningkatkan loyalitas merek, karena ketika kepercayaan pelanggan antar satu sama

lain, ini seperti pelanggan membangun intense perilaku positif terhadap yang lainnya

(Fournier, 1998).

Menurut Ernwati dalam penelitiannya, (dalam Badawi, 2007) ada pengaruh

brand trust terhadap loyalitas. Temuan yang sama juga Lau and Lee, (dalam Badawi,

2007) mengatakan dalam penelitiannya bahwa loyalitas merek dapat dikonsepsikan

sebagai hasil yang dirasakan pada perilaku pembelian pada merek atau perilaku

pembelian ulang pada suatu merek, dimana perilaku pembelian ulang tersebut dapat

dikatakan pelanggan telah loyal pada merek tersebut.

d) Hubungan antara experiential marketing dengan brand loyalty

Menurut Amir Hamzah (dalam Utami, 2009) adanya pengaruh positif antara

experiential marketing dan brand loyalty dengan melalui aspek – aspek experiential

marketing diantaranya sense, feel, think, act, dan relate. Fransisca Andreani (2007)

mengatakan bahwa Experiential Marketing sangat efektif bagi pemasar untuk

membangun brand loyalty.

Page 48: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

63  

Schmitt (1999), Fransisca Andreani (2007), Amir Hamzah (2007), Munson

(2001), Pullen (2001), Palupi (2001) Petkus(2004), Hannam (2004); Stenhouse

(2003), mengatakan bahwa experiential marketing sangat efektif bagi pemasar untuk

membangun brand loyalty melalui aspek aspek sense, feel, think, act dan relate.

Sekarang semua berdasarkan dan berkaitan erat dengan pemasaran, pemasaran

harus berdasar pada pengalaman konsumen dan mengembangkan hubungan dengan

merek perusahaan. Banyak target konsumen yang berangkat dari penelusuran lalu ke

tahap yaitu konsumen mengingat kembali mengenai pengalaman yang diberikan oleh

suatu merek tertentu, dimana mendatangkan pertumbuhan yang semakin baik pada

perilaku pembelian konsumen. (http://EzineArticles.com/?expert=Tricia_Ryan).

Pengalaman-pengalaman positif yang dialami konsumen terhadap suatu merek

itulah yang nantinya akan menimbulkan efek emosional dan kepuasan di benak

konsumen. Dampak-dampak tersebutlah yang pada akhirnya akan membentuk suatu

kepercayaan konsumen terhadap suatu merek, sehingga akan berujung pada

peningkatan loyalitas merek (Inong, 2009 dalam Rini, 2010).

Jika Kepercayaan akan merek itu kuat maka dapat menimbulkan kepercayaan

yang positif bagi merek. Pada akhirnya menimbulkan komitmen untuk membangun

hubungan jangka panjang dengan merek tersebut.

Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka peneliti mengamati bahwa

experiential marketing berpengaruh terhadap komitmen pembelian ulang, di mana

komitmen pembelian ulang merupakan salah satu bagian dari brand loyalty, hal ini

berarti bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap brand loyalty.

Page 49: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

64  

e) Hubungan antara perceived quality dengan brand loyalty

Dengan adanya kesan kualitas yang terbentuk di dalam pikiran pelanggan,

maka konsumen akan mencoba membeli merek tersebut dan apabila setelah

pembelian tersebut konsumen menjadi puas dan percaya dengan kualitas merek

produk maka konsumen akan melakukan pembelian ulang, dimana dengan

melakukan pembelian ulang secara berkelanjutan itu menunjukkan bahwa konsumen

sudah mulai loyal dengan merek tersebut.

Persepsi kualitas dirasakan oleh konsumen berpengaruh terhadap kesediaan

untuk membeli sebuah produk. Ini berarti semakin tinggi, nilai yang dirasakan oleh

konsumen maka akan semakin tinggi pula kesediaan konsumen tersebut untuk

akhirnya membeli (Joe Chapman & Rush Wahlers, 1999, p54 dalam

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-luluswisto-5741-3-

babii.pdf)

Persepsi kualitas yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan

menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Hal itu karena konsumen akan lebih

menyukai produk yang memiliki persepsi kualitas yang baik. Aaker (dalam

Rachmansyah, 2010) mengatakan bahwa Perceived Quality (persepsi kualitas) akan

mempengaruhi keputusan pembelian dan Brand Loyalty secara langsung, terutama

ketika pembeli tidak termotivasi atau dapat untuk mengadakan suatu analisis yang

detail. Konsumen akan lebih memilih merek yang sudah mereka kenal karena

persepsi konsumen bahwa merek tersebut dapat diandalkan. Selain itu, konsumen

Page 50: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

65  

juga merasa yakin bahwa merek tersebut dapat menghindarkan mereka dari risiko

pemakaian (Durianto, dkk 2004 dalam Rachmansyah, 2010).Berikut adalah Gambar

yang menjelaskan hubungan antar variabel dalam penelitian ini :

Gambar 2.2 Kerangka Penelitian

Sumber : Peneliti (2011)

2.3 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji guna memenuhi tujuan-tujuan di dalam penelitian

ini terdiri dari tujuh buah hipotesis yang dijelaskan berikut ini.

• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing berkontribusi secara

signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 1:

Ho: Variabel experiential marketing tidak berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Experiential

Marketing

Perceived

quality

Brand Trust Brand

Loyalty

Page 51: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

66  

Ha: Variabel experiential marketing berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

• Pengujian mengenai apakah variabel perceived quality berkontribusi secara

signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 2:

Ho: Variabel perceived quality tidak berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Ha: Variabel perceived quality berkontribusi secara signifikan terhadap variabel

brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing dan perceived quality

berkontribusi secara signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La

Tulipe.

Hipotesis 3:

Ho: Variabel experiential marketing dan perceived quality tidak berkontribusi

secara signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Ha: Variabel experiential marketing dan perceived quality berkontribusi secara

signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.

Page 52: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

67  

• Pengujian mengenai apakah variabel Experiential marketing (X1) berkontribusi

secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 4:

Ho: Variabel Experiential marketing (X1) tidak berkontribusi secara signifikan

terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Ha: Variabel Experiential marketing (X1) berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

• Pengujian mengenai apakah variabel Perceived Quality (X2) berkontribusi secara

signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 5:

Ho: Variabel Perceived Quality (X2) tidak berkontribusi secara signifikan

terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Ha: Variabel Perceived Quality (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

• Pengujian mengenai apakah variabel Brand Trust (Y) berkontribusi secara

signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 6:

Ho: Variabel Brand Trust (Y) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap

variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

Page 53: 3- BAB II - BINA NUSANTARA | Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00417...19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman

68  

Ha: Variabel Brand Trust (Y) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel

Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.

• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing, perceived quality,

dan brand trust berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty

(Z) pada kosmetik La Tulipe.

Hipotesis 7:

Ho: Variabel experiential marketing, perceived quality, dan brand trust tidak

berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada

kosmetik La Tulipe.

Ha: Variabel experiential marketing, perceived quality, dan brand trust

berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada

kosmetik La Tulipe.