Upload
nurfazlina
View
26
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
(3) Bab II Tinjauan Pustaka Baru
Citation preview
4
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1 Infeksi STH
2.1.1 Ascaris lumbricoides
Manusia merupakan satu-satu hospes Ascaris Lumbricoides. Cacing ini merupakan
parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia, lebih banyak ditemukan di
daerah yang beriklim panas dan lembab. Survey yang dilakukan di beberapa tempat
di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi Ascaris Lumbricoides masih cukup
tinggi, sekitar 60-90%.6
Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada
cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya
(posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut
cincin atau gelang kopulasi. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing
betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur perharinya. Cacing dewasa
bentuknya silindris, dengan ujung bagian depan meruncing. Merupakan cacing
nematode terbesar yang menginfeksi manusia. Cacing ini berwarna putih kemerah-
merahan. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada bagian depan dan mempunyai gigi-
gigi kecil pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup dan dipanjangkan untuk
memasukkan makanan.6
Telur yang dibuahi berbentuk oval melebar dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron.
Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi
oleh suatu membran (lapisan) vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur
cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup
sampai satu tahun. Disekitar lapisan ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi
oleh lapisan albuminoid (protein dalam darah) yang permukaannya tidak teratur. Di
dalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu.
Sedangkan telur yang tidak dibuahi berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong
dan mempunyai ukuran 88 - 94 x 40 – 44 mikron, mempunyai dinding yang tipis,
berwarna coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak
teratur.6
5
Gambar 1.Morfologi Telur dan Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides7, 8
Siklus hidup parasit Ascaris lumbricoides dimulai dari cacing dewasa yang bertelur
dalam usus halus dan telurnya keluar melalui tinja lewat anus (1), sehingga tahap ini
disebut juga dengan fase diagnosis, dimana telurnya mudah ditemukan. Kemudian
telur yang keluar bersama tinja akan berkembang di tanah tempat tinja tadi
dikeluarkan (2) dan mengalami pematangan (3). Selanjutnya setelah telur matang
disebut fase infektif, yaitu tahap dimana telur mudah tertelan (4). Telur yang tertelan
akan menetas di usus halus (5). Setelah menetas, larva akan berpindah ke dinding
usus halus dan dibawa oleh pembuluh getah bening serta aliran darah ke paru-paru
(6). Di dalam paru-paru, larva masuk ke dalam kantung udara (alveoli), naik ke
saluran pernafasan dan akhirnya tertelan (7). Di usus halus larva berubah menjadi
cacing dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa
membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan.6
Gejala-gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang
berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta
kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal. Migrasi
larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya. Misalkan, larva
Ascaris yang meninggal saat migrasi melalui hepar dapat menimbulkan eosinophilc
granuloma. Di paru-paru migrasi antigen larva Ascaris menimbulkan infiltrat
eosinofil yang terlihat saat dilakukan pemeriksaan radiograf dari toraks. Beberapa
gejala pada kulit seperti pruritus, eritema ditemukan saat terjadi migrasi dari larva
cacing tambang A. duodenale dan N. americanus. Masuknya larva A. duodenale
6
secara oral dapat mengakibatkan terjadinya sindroma Wakana dengan gejala-gejala
nausea, muntah-muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas dan suara serak.9
Umumnya manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal terjadi
bila intensitasnya sedang dan tinggi. Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam
jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa
sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari
vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi
sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari
saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses
hepar.10
Infeksi STH seringkali tidak menimbulkan keluhan dan gejala yang spesifik, dengan
demikian para dokter harus melakukan pemeriksaan feses. Cara Kato-Katz fecal-
thick smear dan McMaster digunakan untuk mengukur intensitas dari infeksi dengan
memperkirakan jumlah telur per gram tinja.11 Ultrasonografi dan endoskopi
bermanfaat untuk diagnosis dari komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan
saluran hepatobiliar serta pankreas.9 Infeksi oleh cacing dewasa biasanya didiagnosis
berdasarkan adanya telur di dalam contoh tinja. Kadang di dalam tinja atau
muntahan penderita ditemukan cacing dewasa dan di dalam dahak ditemukan larva.
Jumlah eosinofil di dalam darah bisa meningkat. Tanda-tanda adanya perpindahan
parasit bisa terlihat pada foto rontgen dada.
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk perorangan
dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat, 10
mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg.
Pengobatan masal dlakukan oleh pemerintah pada anak sekolah dasar dengan
pemberian albendazol 400 mg 2 kali setahun.6
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergik yang
berat dan pneumonitis dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya pneumonia.12
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis baik.
Tanpa pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun.12
2.1.2 Trichuris trichiura
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Trichuris trichiura (cacing cambuk) disebut
7
trikuriasis, dimana manusia merupakan hospes dari cacing ini. Cacing dewasa hidup di
colon ascenden dan caecum manusia.13, 14 Cacing ini hidup secara kosmopolit.13,15
Lebih banyak ditemukan di daerah panas dan lembab seperti Asia Tenggara. Telur
Cacing ini berkembang biak menjadi bentuk infektif pada tanah liat, tempat lembab, dan
teduh dengan suhu optimum 300 C. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kontaminasi
tanah dengan tinja yang mengandung telur sehingga pemakaian tinja sebagai pupuk di
beberapa negara merupakan sumber infeksi.
Prevalensi Trichuris trichiura di Indonesia tinggi, antara lain di beberapa desa di
Sumatra (83%), Kalimantan (83%), Sulawesi (83%), Nusa Tenggara Barat (84%), dan
Jawa Barat (91%). Di daerah kumuh di Jakarta infeksi Trichuris sudah ditemukan pada
70% bayi berumur kurang dari satu tahun.6
Cacing ini berbentuk seperti cemeti, salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya
panjang dan tipis. Cacing jantan panjangnya 4 cm dengan bagian posterior melingkar
dan terdapat 1 spikulum, sedangkan cacing betinanya panjangnya 5 cm dengan bagian
posteriornya membulat tumpul dan vulva terletak dekat dengan batas antara posterior
dan anteror tubuh.13,14 Cacing betina menghasilkan telur 5000 butir sehari.6
Gambar 2. Morfologi Telur dan Cacing Dewasa Trichuris trichiura.7, 8
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja seperti halnya A.
Lumbricoides telurnya tidak pernah menetas diluar hospes. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu pada lingkungan yang sesuai. Siklus hidup cacing ini
secara lansung (tidak mempunyai siklus baru), dimana jika tertelan oleh manusia telur
8
matang akan menetas dan keluarlah larva lalu masuk ke dalam usus halus. Setelah
dewasa cacing turun dan masuk ke usus bagian distal (colon) terutama caecum. Masa
pertumbuhan mulai dari telur sampai cacing dewasa betina bertelur kira-kira 30-90
hari.1
Investasi cacing yang ringan tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas. Pada infestasi
yang berat (>10.000 telur/gram tinja) timbul keluhan, karena iritasi pada mukosa seperti
nyeri perut, sukar buang air besar, mencret, kembung, sering flatus, rasa mual, muntah,
ileus, dan turunnya berat badan. Bahkan pada keadaan yang berat sering menimbulkan
malnutrisi, terutama pada anak muda, dan kadang-kadang terjadi perforasi usus dan
prolaps rekti.12
Diagnosis Trichuris trichiura ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
penderita.12 Untuk perawatan umum, higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi
kalori, sedangkan anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat besi. Untuk
pengobatan spesifik, bila keadaan ringan dan tidak menimbulkan gejala, penyakit ini
tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberikan obat diltiasiamin iodida,
stilbazium yodida, heksiresorsinol 0,2 % ,dan mebendazole . Diltiasiamin iodida
diberikan dengan dosis 10-15 mg/ kg berat badan/hari, selama 3-5 hari. Stilbazium
yodida diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan/hari, 2 kali sehari selama 3 hari
dan bila diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama. Efek samping obat
stilbazium yodida adalah rasa mual, nyeri pada perut dan warna tinja menjadi merah.
Heksiresorsinol 0,2 % dapat diberikan 500 ml dalam bentuk enema, dalam waktu 1 jam.
Mebendazole diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari dalam 3 hari, atau dosis
tunggal 600 mg.12
Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti.12 Dengan pengobatan
yang adekuat, prognosis baik.12
2.1.3 Cacing Tambang
Penyakit cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator americanus, Ancylostoma
duodenale, dan jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma
cranium, Ancylostoma malayanum.12
Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia, penyakit ini
lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus daripada Ancylostoma
9
duodenale. Kedua cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus,
dan terlindung dari sinar matahari langsung. Cacing tersebut terutama ditemukan di
daerah yang mempunyai tanah lembab dan teduh seperti dalam tambang-tambang atau
perkebunan. Penyakit ini merupakan penyakit yang endemik di Indonesia dan banyak
ditemukan pada orang dengan keadaan sosio-ekonomi yang rendah. Pada umumnya
prevalensi cacing tambang berkisar 30-50% di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi
ditemukan di daerah perkebunan seperti perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat
(93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%).6
Gambar 3. Morfologi Telur dan Cacing Dewasa Cacing Tambang (Hookworm).7, 8
Siklus hidup pada manusia yaitu telur cacing ditemukan pada feses orang yang
terinfeksi oleh cacing tersebut. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, telur itu
menetas dalam 1-2 hari, tetapi pada tanah yang kurang baik kadang-kadang telur
tersebut baru menetas setelah 3 minggu. Larva yang hidup tersebut dapat memasuki
tubuh manusia dengan menembus kulit dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit
kemudian memasuki saluran getah bening dan pembuluh darah. Larva itu biasanya
telah mencapai paru pada hari ketiga sejak menembus kulit tubuh. Dalam paru larva
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam alveolus, bronkus, atau trakea dan
bersama air ludah tertelan ke dalam usus.6,12
Rasa gatal pada kaki, pruritus kulit (ground itch, umumnya terjadi pada kaki),
dermatitis, dan kadang-kadang radang makulopapula sampai vesikel merupakan
gejala pertama yang dihubungkan dengan invasi larva cacing tambang ini. Selama
larva berada dalam paru dapat menyebabkan gejala batuk darah yang disebabkan oleh
10
pecahnya kapiler-kapiler dalam alveoli paru, dan berat ringannya keadaan ini
bergantung pada banyaknya jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam
kulit. Rasa tak enak pada perut, kambung, sering mengeluarkan gas (flatus), mencret-
mencret, merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang
2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-
20 minggu setelah infestasi cacing walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa
untuk menimbulkan gejala anemia tersebut tentunya bergantung juga pada keadaan
gizi pasien. Seekor cacing dewasa diperkirakan akan menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,03 ml/hari. Oleh karena itu, gejala utama penyakit ini adalah anemia.
Anemia ini umumnya berupa anemia defisiensi besi, tetapi kadang-kadang juga
memperlihatkan tanda anemia megaloblastik. Anemia akan semakin jelas pada orang
yang dietnya kurang protein. Gejala lain yang bisa ditemukan adalah gejala umum
seperti lemah atau lesu, pusing, dan nafsu makan berkurang.12
Kriteria diagnosis untuk cacing tambang, selain gejala klinis yang timbul, adalah
ditemukannya telur atau cacing dewasa Ancylostoma duodenale atau Necator
americanus pada feses segar. Selain dalam feses, larva juga dapat ditemukan dalam
sputum.6
Pengobatan cacing tambang dengan pirantel pamoat 10 mg/kgBB memberikan hasil
cukup baik, bilamana digunakan beberapa hari berturut-turut. Komplikasi dari infeksi
cacing tambang yaitu kerusakan pada kulit akan menyebabkan dermatitis yang berat
terlebih bila pasien sensitif. Anemia berat yang terjadi sering menyebabkan gangguan
pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung.12 Dengan pengobatan yang
adekuat, meskipun telah terjadi komplikasi, prognosis tetap baik.12
2.1.4 Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi STH
Pencegahan infeksi cacing STH dapat dilakukan dengan upaya memutuskan daur hidup
cacing tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah6 :
a. Defekasi di jamban.
b. Menyediakan air bersih yang cukup untuk buang air besar, mandi, cuci tangan,
dan sebagainya.
11
c. Pengobatan massal dengan obat antelmintik, terutama untuk orang yang
berisiko. Selain memutuskan daur hidup, penyuluhan kepada masyarakat
tentang sanitasi lingkungan yang baik dan cara mencegah infeksi cacing STH
dapat dilakukan.
Berdasarkan kenyataan di lapangan, pencegahan tersebut sangat sulit dilakukan oleh
masyarakat yang mempunyai keadaan sosio-ekonomi rendah di negara sedang
berkembang. Keadaan yang terjadi pada masyarakat tersebut antara lain:
1. Di pedesaan, anak-anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir
kali, ladang, dan perkebunan.
2. Rumah yang berhimpitan di daerah kumuh kota besar dan mempunyai sanitasi
lingkungan buruk.
3. Mengolah pertanian, perkebunan, dan pertambangan dengan tangan dan kaki
tidak terlindungi, misalnya tidak memakai sarung tangan dan alas kaki.
2.2 Stunting
2.2.1 Defenisi Stunting
Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui
defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi
internasional.16 Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah,
atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain
seusianya.
2.2.1 Epidemiologi Stunting
Anak yang pendek dapat disebabkan oleh asupan gizi yang buruk atau menderita
penyakit infeksi berulang. Di Indonesia, lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di
Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator
adanya kurang gizi kronis. Sayangnya, penurunan jumlah anak yang mengalami stunted
ini tidak terlalu signifikan setiap tahunnya. “Sebagai gambaran saja, untuk anak gizi
kurang, tahun 2007 ada 18,4% dan tahun 2010, 17,9%, sedangkan yang stunting tahun
2007, 36,8%, dan tahun 2010 ini turun sedikit menjadi 35,6%,” terangnya.17
2.2.2 Etiologi dan Faktor risiko Stunting
12
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya
asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya
kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan
gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan
pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted.18
2.2.3 Kriteria Stunting
Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara pengukuran. Pengukuran
tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di atas 2 tahun. Antropometri
merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran
dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang
digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein dan energi. Antropometri
dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan berat badan.19
Standarisasi yang digunakan untuk pengukuran ditentukan berdasarkan rekomendasi
NCHS dan WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan
median, dan standar deviasi atau Z-score untuk usia dan jenis kelamin yang sama pada
anak- anak. Z-score adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai
individu dan nilai tengah (median) populasi referent untuk usia/tinggi yang sama, dibagi
dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-
score antara lain untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan
indeks dan perbedaan usia, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara
statistik dari pengukuran antropometri.
Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur (stunted) adalah penting dalam
mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan banyak masalah gizi
buruk. Dalam menentukan klasisfikasi gizi kurang dengan stunted sesuai dengan “Cut off
point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan tinggi badan
menurut menurut Umur (TB/U). Berdasarkan Standar baku WHO-NCHS, Indikator
pertumbuhan Stunted yaitu dibawah -2 SD, sedangkan severe stunted berada dibawah -3
SD.20
2.4 Kerangka Teori
13
2.5 Kerangka Konsep
Infeksi STHInfeksi STH
Variabel BebasVariabel Bebas
Genetik
Intake Nutrisi
Genetik
Intake Nutrisi
StuntingStunting
Variabel TerikatVariabel Terikat
Variabel PerancuVariabel Perancu
14
2.6 Hipotesis Penelitian
1. Anak Sekolah Dasar yang terinfeksi STH di daerah endemik STH berisiko menderita
stunting.
2. Infeksi STH mempengaruhi terjadinya stunting disamping faktor gizi dan nutrisi.