Upload
dangtuong
View
233
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan
Tujuan pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 tahun 2004
tentang Perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan
pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan
konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,
meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, meningkatkan
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta menjamin
kelestarian sumberdaya ikan, dan tata ruang.
Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan diarahkan untuk mencapai
tujuan pengelolaan perikanan tersebut di atas.
Kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan
harapan karena tidak dikelola secara baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan di
perairan banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab yang menggunakan
alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bagan dengan
mata jaring berukuran sangat kecil, banyak aktivitas perikanan tidak dilaporkan
secara benar dan akurat sehingga kebijaksanaan yang diambil selalu ada
penyimpangan dan banyak aturan-aturan yang telah dibuat tidak aplikatif di
lapangan, sebagai contoh masih adanya sebagian dari masyarakat nelayan
menggunakan trawl.
3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan
Ditinjau dari sub sistem angkutan (transpor), menurut Kramadibrata (1985)
bahwa pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran
angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah
perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat
berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, sedemikian rupa hingga
bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna
mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas
penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan
27
dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan menuju tujuan selanjutnya dapat
dilakukan.
Menurut Ayodhyoa (1975) pelabuhan perikanan adalah:
(1) Pelabuhan khusus merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan, baik
dilihat dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya.
(2) Gabungan area perairan dan daratan dengan dilengkapi berbagai fasilitas yang
dapat digunakan oleh kapal perikanan.
(3) Wilayah perairan terbuka dan terlindung dari angin topan, badai sehingga
menjadikannya tempat yang aman dan menyenangkan bagi kapal yang
mencari tempat perlindungan, pengisian bahan bakar, pengisian keperluan
melaut, perbaikan atau aktivitas bongkar.
(4) Pusat berbagai aktivitas industri perikanan, kegiatannya mulai dari kapal
berangkat ke laut dan kembali ke pangkalan.
Selanjutnya menurut Lubis (2002), pelabuhan perikanan adalah suatu
wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai
pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas
sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Pelabuhan perikanan adalah
merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi,
pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) yang diacu Lubis (2002),
bahwa aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah:
(1) Produksi: bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan
perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil
tangkapannya.
(2) Pengolahan: bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang
dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.
(3) Pemasaran: bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan
tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.
Pengembangan ekonomi perikanan tersebut juga ditunjang oleh industri
perikanan baik hulu maupun hilir dan pengembangan sumberdaya manusia
khususnya masyarakat nelayan.
28
Menurut Murdiyanto (2004), Jepang sebagai negara terkemuka dalam
bidang perikanan mendefinisikan pelabuhan perikanan atau ’Fishing Port’ sebagai
berikut: ..........is a composition of water area, land area and facilities to be used
as a natural or artificial fishing base, which is designated by the Minister of
Agriculture and Forestry………
Definisi pelabuhan perikanan menurut UU No.31 tahun 2004 tentang
Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan
Menurut Al Barry (1994), yang dimaksud dengan ”pola” adalah model;
contoh; pedoman (rancangan); dasar kerja. Sedangkan pengertian”pola”menurut
Wojowasito (1972) adalah contoh; suri; model. Berdasarkan pengertian ”pola” di
atas, maka yang dimaksud ”pola” dalam penelitian ini adalah suatu contoh atau
pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan
berdasarkan konsep triptyque portuaire. Ukuran-ukuran yang akan ditentukan
yang merupakan pola pengembangan pelabuhan perikanan terdiri dari ukuran-
ukuran pada komponen wilayah produksi (foreland), komponen pelabuhan
perikanan dan komponen wilayah distribusi (hinterland). Pengembangan adalah
merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada
suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Pengembangan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk mencapai kemajuan
pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sesuai dengan pola
pengembangannya guna mengoptimalkan fungsinya.
Pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah acuan awal yang sangat
diperlukan didalam mengembangkan pelabuhan perikanan. Selama ini didalam
perencanaan pelabuhan perikanan di Indonesia banyak dilakukan belum
sempurna, yakni dalam penyusunan pola pengembangan tidak mengkaitkan
sinergitas antara wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan dan wilayah
29
distribusi (hinterland), sehingga mengakibatkan banyak pelabuhan perikanan
yang tidak berkembang dan berfungsi secara optimal. Hal tersebut diindikasikan
bahwa pada tahun 1997 produksi perikanan laut yang didaratkan dipelabuhan
perikanan hanya sebesar 793.710 ton atau sekitar 22% dari total produksi
perikanan laut sebesar 3.612.961 ton. Sebanyak 357 buah atau sekitar 60% dari
total pelabuhan perikanan sebanyak 595 buah belum berfungsi secara optimal
(Lubis, 2002).
3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan
Undang-undang yang baru tentang perikanan yaitu UU No 31 tahun 2004
tentang Perikanan pada pasal 41, menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
(2) Menteri menetapkan:
1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional.
2) Klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan
bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan.
3) Persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam
perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan
pelabuhan perikanan.
4) Wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan.
5) Pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.
Penjabaran UU No 31/2004 tentang Perikanan, maka telah diterbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23
Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan antara lain mengatur bahwa:
(1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan
mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya
dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana
umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana
wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan.
(2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional.
(3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang
30
dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta.
(4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun
pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan
secara nasional dan peraturan pelaksanaannya.
(5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,
investigation, detail design, construction, operation dan maintenance
(SIDCOM).
(6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan
pelabuhan perikanan.
(7) Klasifikasi pelabuhan perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23
Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan membagi ke dalam 4 kelas Pelabuhan
Perikanan, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI).
Tabel 6 memuat secara rinci kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan
menurut Menteri Kelautan dan dan Perikanan
(8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan
perikanan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat.
(9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.
Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam
penyelenggaraan pelabuhan perikanan.
(10) Dalam menata dan menertibkan penyelenggaraan pelabuhan perikanan,
kepala pelabuhan perikanan dapat menerbitkan ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pelabuhan perikanan.
(11) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:
1) Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di
suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan
kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan
maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok antara lain: (a)
pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin dalam hal secara
31
teknis diperlukan, (b) tambat seperti dermaga dan jetty, (c) perairan
seperti kolam, dan alur pelayaran, (d) penghubung seperti jalan,
drainase, gorong-gorong, jembatan, (e) lahan pelabuhan perikanan.
Tabel 6 Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan
Kelas Pelabuhan Perikanan Samudera
Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhan Perikanan Pantai
Pangkalan Pendaratan Ikan
Daerah penangkapan ikan
Laut teritorial, ZEEI, laut lepas
Laut territorial, ZEEI
Perairan pedalaman, Perairan kepulauan, laut teritorial
Perairan pedalaman dan perairan kepulauan
Fasilitas tambat labuh ukuran kapal (GT) ≥60 ≥30 ≥10 ≥3
Panjang dermaga (m) ≥300 ≥150 ≥100 ≥50Kedalaman kolam (m) ≥3 ≥3 ≥2 2
Kapasitas tampung kolam sekaligus
≥100 unit kapal atau ≥6000 GT
≥75 unit kapal atau ≥2250 GT
≥30 unit kapal atau ≥ 300 GT
≥20 unit kapal atau ≥ 60 GT
Pemasaran Sebagian untuk ekspor
- - -
Keberadaan industri perikanan ada ada - -
Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.
2) Fasilitas fungsional, yakni fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan
nilai guna dari fasitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di
pelabuhan, (a) pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan
ikan, (b) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet,
SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, (c) suplai air
bersih, es dan listrik, (d) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan
seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring,
(e) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan
laboratorium pembinaan mutu, (f) perkantoran seperti kantor
administrasi pelabuhan, (g) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan
32
es dan (h) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah
(IPAL).
3) Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung
meningkatkan peranan pelabuhan, yakni fasilitas (a) pembinaan
nelayan seperti balai pertemuan nelayan, (b) pengelolaan pelabuhan
seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, (c) sosial
dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, (d) kios IPTEK, (e)
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,
K3, bea dan cukai, keiimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan
masyarakat, dan karantina ikan.
Selanjutnya Lubis et al. (2005) mengatakan bahwa selain fasilitas yang vital
juga terdapat fasilitas penting dan fasilitas pelengkap. Fasilitas vital atau fasilitas
yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan ada 9 jenis yakni dermaga
pendaratan ikan dan muat, kolam pelabuhan, sistem rambu-rambu navigasi yang
mengatur keluar masuknya kapal, tempat pelelangan ikan, dimana dilakukan
transaksi lelang, pabrik es, tangki dan instalasi air, penyediaan bahan bakar,
bengkel reparasi dan kantor administrasi.
Jenis fasilitas lainnya yakni fasilitas penting, adalah fasilitas yang jelas
diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun
realisasinya dapat ditunda. Fasilitas penting tersebut adalah generator listrik,
kantor kepala pelabuhan, tempat parkir, pos penghubung radio (SSB), ruang
pengepakan.
Fasilitas pelengkap adalah jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan
perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada
pengembangan pelabuhan tahap ketiga. Fasilitas pelengkap ini meliputi dermaga
muat terpisah, slipway, ruang pertemuan, kamar kecil, pos penjagaan, balai
pertemuan nelayan, rumah dinas, mushola, mobil dinas dan motor dinas.
Selanjutnya Lubis et al. (2005) menyatakan bahwa, setelah dilakukan
penelitian terhadap fasilitas pelabuhan perikanan di Laut Jawa, ternyata bahwa
jumlah pelabuhan yang termasuk kategori baik sangat sedikit, yakni 5 unit
pelabuhan perikanan. Sebagian besar pelabuhan perikanan termasuk kategori
33
cukup (73%), tetapi mayoritas PPI termasuk buruk (59%). Tabel 7 menunjukkan
evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun
2005.
Tabel 7 Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 0 dari 204 (0%)
2 Kategori cukup 22 dari 30 (73%) 83 dari 204 (41%)
3 Kategori buruk 3 dari 30 (10%) 121 dari 204 (59%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Selanjutnya dikatakan bahwa, dari 30 unit pelabuhan perikanan, 14 unit atau
46% diantaranya berkategori buruk, sedangkan 184 unit PPI atau 90% dari 204
unit PPI berkategori buruk. Adanya 90% dari PPI di Pulau Jawa yang masih
termasuk kategori buruk, merupakan suatu jumlah yang besar sekali, dan hal ini
berarti adanya kesulitan yang begitu besar bagi para nelayan dalam melakukan
kegiatan-kegiatannya. Tabel 8 memperlihatkan evaluasi kondisi fasilitas penting
di pelabuhan perikanan/PPI.
Tabel 8 Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 2 dari 204 (1%)
2 Kategori cukup 11 dari 30 (37%) 18 dari 204 (9%)
3 Kategori buruk 14 dari 30 (46%) 184 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al, 2005.
Demikian juga keberadaan fasilitas pelengkap, yakni sebanyak 12 unit atau
40% dari 30 unit pelabuhan perikanan memiliki fasilitas pelengkap berkategori
buruk dan ada 183 unit atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 9. Kondisi ini sangat memperlemah kinerja pelabuhan
perikanan/PPI sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal.
34
Tabel 9 Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 2 dari 30 (7%) 0 dari 204 (0%)
2 Kategori cukup 16 dari 30 (53%) 19 dari 204 (9%)
3 Kategori buruk 12 dari 30 (40%) 183 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Menurut pasal 42 UU No. 31/2004 tentang Perikanan bahwa:
(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan
perikanan.
(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib
memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh
syahbandar.
(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan
mempunyai kewenangan lain yakni: memeriksa ulang kelengkapan dokumen
kapal perikanan dan memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di
kapal perikanan. Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, landasan hukum yang mendasari pengelolaan pelabuhan
perikanan adalah:
(1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).
(2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan.
(3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang
Usaha Perikanan Tangkap.
Peraturan mengenai pelabuhan perikanan sangat tertinggal dibandingkan
dengan peraturan pelabuhan umum, sehingga didalam pelaksanaan pembangunan
dan operasionalnya sejak tahun 1972 (mulai adanya istilah dan pembangunan
pelabuhan perikanan) mengalami banyak hambatan karena setiap kali
35
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan selalu didahului melalui
proses perijinan dari Menteri Perhubungan. Akibatnya perkembangan
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan terganggu. Namun dengan
adanya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri No.16
tahun 2006, maka kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan aturan lainnya
mengenai pelabuhan perikanan semakin jelas dan petugas di lapangan tidak ragu-
ragu lagi untuk mengupayakan agar fungsi pelabuhan perikanan dapat berjalan
secara optimal.
3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan
Menurut Lubis (2002), terdapat dua jenis pengelompokan fungsi pelabuhan
perikanan yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.
Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan adalah:
(1) Fungsi maritime, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat
kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui
penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga.
(2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat
awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan
melakukan transaksi pelelangan ikan.
(3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan
mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.
Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitas khususnya adalah:
(1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan
lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan
pembongkaran hasil tangkapan di laut.
(2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina
peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari
kerugian dari pasca tangkap.
(3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat
untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapat
harga yang layak baik bagi nelayan maupun bagi pedagang.
36
(4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan, dimana pelabuhan
perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di
sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat nelayan.
Menurut Murdiyanto (2004), pelabuhan perikanan merupakan basis utama
kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya
aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai
terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu
sistem usaha yang berdaya guna tinggi.
Aktivitas unit penangkapan ikan di laut keberangkatannya dari pelabuhan
harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-lain
secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu
dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai
melakukan pekerjaan di laut, kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk
membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Selain memberikan pelayanan
terhadap kapal, yaitu melayani segala kebutuhan keberangkatan, kedatangan,
berlabuh, perbaikan dan docking, pelabuhan juga melayani aktivitas pemasaran
dan distribusi ikan dan pedagang atau pihak lainnya untuk berusaha dalam bidang
perikanan. Selain itu pelabuhan juga mengumpulkan data statistik perikanan.
Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan yang
membedakan dengan pelabuhan lain adalah terutama yang dicirikan dari
karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable).
Hal ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakukan penanganan,
pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan (fish processing) yang
tepat. Untuk komoditas hasil perikanan ini perlu bongkar muatan ikan dilakukan
berkali-kali dalam sehari. Ciri khusus lain adalah ukuran kapal yang relatif kecil
dan berjumlah banyak. Hal ini menyebabkan perlunya bangunan pelabuhan yang
dapat memberikan perlindungan dengan derajat yang lebih tinggi untuk kapal-
kapal ukuran besar. Selain itu sifat usaha perikanan tangkap yang tergantung dari
kondisi alam yang tidak menentu, ada musim ikan, ada musim paceklik
menyebabkan perhitungan arus lalu lintas kedatangan dan keberangkatan kapal
(traffic flow) menjadi tidak teratur sehingga diperlukan alokasi waktu lama dan
area yang cukup lapang untuk kapal bertambat pada musim paceklik.
37
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006,
pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai
dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Fungsi
pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat berupa
pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan,
pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil
perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil
perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan,
pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi
karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah
pesisir dan wisata bahari dan pengendalian lingkungan.
Dalam penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No.31/2004 tentang Perikanan,
dinyatakan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi antara lain sebagai tempat
tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan
distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat
pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta
pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan
operasional kapal perikanan.
3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain
Terdapat beberapa pengalaman pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan di negara Jepang, Philipina, Jerman dan Perancis yang dapat dijadikan
contoh keberhasilannya, sehingga perlu meneladani pelabuhan-pelabuhan yang
sudah ada di negara lain.
(1) Pelabuhan perikanan di Jepang
Negara Jepang membagi pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe. Tabel 10
menunjukkan tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995.
Dengan jumlah 2.944 unit pelabuhan perikanan tahun 2001 dan panjang
pantai negara Jepang 34000 km berarti setiap pelabuhan perikanan memiliki jarak
38
12 km. Selain itu ada 7000 desa nelayan, 5000 desa nelayan diantaranya berada
dekat dengan pelabuhan perikanan. Bandingkan dengan negara Indonesia yang
memiliki 17.508 buah pulau dan panjang pantai 81000 km, wilayah lautannya
meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total territorial Indonesia hanya memiliki
pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit, dengan demikian setiap pelabuhan
perikanan berjarak 103 km.
Tabel 10 Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995
Tipe Jumlah Karakteristik Tipe 1 2.218 Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk perikanan
lokal Tipe 2
512
Pelabuhan-pelabuhan yang kisaran kebutuhannya lebih luas dari tipe 1 dan dibawah tipe 3
Tipe 3
113
Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh seluruh kapal Jepang
Tipe 4
101
Pelabuhan-pelabuhan di dalam isolasi (tertutup) oleh pulau-pulau atau tempat terpencil yang dibutuhkan untuk pengembangan daerah penangkapan dan tempat berlindung kapal-kapal penangkapan.
Jumlah 2.944 Sumber: National Fishing Port Association, 1995.
Selanjutnya dikatakan bahwa, jumlah kapal perikanan tahun 1993 di
pelabuhan perikanan terbanyak pada pelabuhan perikanan tipe I yakni sebesar
150.581 unit, pada tipe II sebanyak 91.140 unit, tipe III sebanyak 22.878 unit dan
tipe IV sebanyak 14.331 unit. Jumlah pendaratan ikan pada tahun 1993 terbanyak
pada tipe III yakni sebesar 2.384.000. ton, pada tipe II sebanyak 1.382.000 ton,
pada tipe I sebanyak 1.343.000 ton.
Jepang adalah negara kepulauan yang sering dilanda gempa dan sering
terjadi tsunami. Sebagai contoh tsunami yang terjadi pada tahun 1986 telah
menimbulkan naiknya gelombang air laut setinggi 24,4 m dan telah menewaskan
sebanyak 27.122 orang. Untuk mengatasi masalah tsunami tersebut, maka selain
memperbaiki struktur pantai, pembangunan rumah, gedung tahan gempa, maka
pelabuhan perikanan yang dibangun di sepanjang pantai dirancang sekokoh
mungkin sehingga berfungsi untuk mempertahankan pantai dari serangan
gelombang tsunami. Akibatnya dana pembangunan pelabuhan perikanan menjadi
lebih besar (National Fishing Port Association, 1995).
39
Pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang administrator yang diangkat
oleh walikota. Peraturan pelabuhan perikanan di Jepang mengatur bagaimana
Pemerintah merencanakan, membangun, mengelola dan memelihara pelabuhan
perikanan. Jika pelabuhan perikanan secara legal diakui, maka pertama
rancangannya harus disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan setelah mendengar pendapat dari lembaga umum lokal.
Pemerintah Pusat menetapkan rencana induk pelabuhan perikanan 5 sampai 6
tahun ke depan. Administrasi pelabuhan perikanan di Jepang semuanya dikelola
oleh Dinas Perikanan di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dana
pembangunan breakwater, dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jalan dan
fasilitas transportasi dibiayai 50% dari Pemerintah Pusat dan 50% dari Pemerintah
Daerah. Pembangunan fasilitas yang bersifat komersial seperti unit pembekuan
ikan, pabrik es diserahkan kepada pihak swasta atau koperasi perikanan. Biaya
pemeliharaan dan manajemen ditanggung oleh Pemerintah Daerah.
(2) Pelabuhan perikanan di Perancis
Menurut Lubis (2002), di Perancis sebelum tahun 1965, pelabuhan
mempunyai dua pembagian wewenang yaitu kementerian perhubungan adalah
penanggung jawab infrastruktur dan kamar dagang dan industri adalah
penanggung jawab suprastruktur. Namun sejak tahun 1983, pengelolaan
sepenuhnya dipegang oleh kamar dagang dan industri dan pemerintah pusat tetap
sebagai pemiliknya. Sejak tahun 1992, di beberapa daerah, pengelolaaannya
diserahkan oleh perusahaan swasta yang mempunyai kontrak mengelola
pelabuhan perikanan selama 15 tahun. Perancis pada umumnya mengelompokkan
pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan perikanan besar dan kecil, masing-
masing mempunyai karakteristik. Tabel 11 menunjukkan karakteristik pelabuhan
perikanan di Perancis.
Tabel 11 Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis
Jenis Pelabuhan Tipe pelabuhan Ukuran kapal
Distribusi
Pelabuhan besar Industri & semi industri >50 GT Nasional & ekspor Pelabuhan kecil Tradisional atau pantai <50 GT Lokal & nasional
Sumber : Lubis, 2002.
40
Menurut Le Ry JM (2005), bahwa di Cornouaille terdapat 7 pelabuhan
perikanan pada 100 km garis pantai, yakni Douarnenez, Audierne, Saint Guenole,
Guilvinec, Lesconil, Loctudy dan Concarneau. Pada tahun 2004 telah didaratkan
sebanyak 59.000 ton ikan pada 7 pelabuhan perikanan tersebut. Ada sebanyak
500 buah kapal perikanan memanfaatkan pelabuhan perikanan tersebut, mulai dari
handliner berukuran panjang 6 m sampai kepada kapal high sea trawlers
memiliki panjang 30 m dan tuna seiner memiliki panjang lebih dari 75 m. Fasilitas
pokok telah dibangun oleh negara Perancis. Pengelolaan pelabuhan dilakukan
oleh Regional Administration. Kontrak telah dibuat antara Regional
Administration dengan chambers of commerce and industry (CCI) untuk
memelihara pelabuhan perikanan, membangun baru pelabuhan perikanan. CCI
mewakili perusahaan swasta lokal. Pelelangan ikan dilaksanakan satu sampai dua
kali sehari. Beberapa kegiatan di pelabuhan perikanan antara lain penanganan ikan
di kapal oleh koperasi dan perusahaan swasta, penyaluran BBM oleh koperasi,
penyediaan es oleh CCI atau perusahaan swasta, pembangunan kapal oleh
perusahaan swasta, perbaikan kapal oleh perusahaan swasta, slipway atau boat lift
oleh CCI, kredit oleh professional bank Marine Credit, pembongkaran ikan oleh
CCI, penjualan ikan oleh perusahaan swasta, cold storage oleh perusahaan swasta,
pengalengan ikan oleh perusahaan swasta dan transportasi refrigerasi oleh
perusahaan swasta.
(3) Pelabuhan perikanan di Jerman
Menurut Lubis (2002), di Jerman, pengklasifikasian pelabuhan perikanan
lebih ditekankan pada jenis ikan dan atau skala perikanan yang beroperasi, yaitu:
1) Pelabuhan perikanan skala besar/perikanan laut dalam (port of large-scale
deep sea fisheries); pelabuhan ini mempunyai karakteristik sama dengan
pelabuhan besar di Perancis. Seperti contoh: Bremerhaven, Cuxhaven,
Hamburg dan Kiel.
2) Pelabuhan untuk perikanan hering (port of lugger hering fisheries); di
pelabuhan ini terdapat banyak perusahaan-perusahaan penangkapan khusus
untuk ikan hering. Seperti contoh: Bremen-Vegesack, Emden, Gluckstad dan
Laer.
41
3) Pelabuhan perikanan pantai (port of inshore fisheries); pelabuhan ini adalah
tempat mendaratnya kapal-kapal kecil yang beroperasi di perairan pantai.
Hasil tangkapan umumnya dijual pada koperasi dan perusahaan-perusahaan
industri perikanan. Contoh: Dorum, Biisum, Maasholan, dan Nieustad.
(4) Pelabuhan perikanan General Santos-Philipina
Menurut Mahyuddin (2004) bahwa Pelabuhan Perikanan General Santos-
Philipina Selatan adalah salah satu pelabuhan perikanan yang ada di Philipina.
Perencanaan pelabuhan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat Philipina.
Perencanaan pelabuhan dilakukan dengan pendekatan keterpaduan, yakni
perencanaan yang mensinergikan antara pemanfaatan potensi perikanan di
wilayah foreland dan pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan dikaitkan
dengan penyerapan hasil produksi ikan dari pelabuhan perikanan ke daerah
hinterland. Pembangunan pelabuhan perikanan dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
pengoperasionalannya dilakukan oleh administrator pelabuhan yang diangkat oleh
pemerintah. Pasokan listrik dari Pemerintah sangat murah guna merangsang
pengusaha untuk meningkatkan investasinya di pelabuhan perikanan, seperti
pabrik es, cold storage, industri pengalengan ikan.
Pelabuhan tidak memungut biaya tambat labuh guna mengurangi biaya
operasional setiap kapal penangkap. Berjarak 3 km dari pelabuhan, terdapat
lapangan pesawat terbang yang sehari-harinya dapat digunakan untuk mengekspor
ikan ke luar negaranya. Jalan yang menghubungkan pelabuhan ke daerah
hinterland sangat bagus dan cukup lebar. Di sepanjang pantai kiri-kanan
pelabuhan telah banyak tumbuh pabrik-pabrik yang mendukung kegiatan
perikanan, seperti pabrik es, cold storage, pengalengan ikan. Kegiatan-kegiatan
yang ada di pelabuhan perikanan adalah aktivitas bongkar muat ikan/barang,
aktivitas pelelangan ikan, tambat labuh kapal, aktivitas pengisian perbekalan kapal
melaut, aktivitas distribusi ikan, penyortiran ikan kualitas ekspor, aktivitas
perbaikan kapal dan alat tangkap dan administrasi pelabuhan.
3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis
Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya diharuskan untuk
mengoptimalkan fungsinya, sehingga masing-masing pelabuhan harus memiliki
42
kesiapan misalnya fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang semakin
membaik. Semakin besar peranannya, maka semakin lengkap pula fasilitas,
sumberdaya manusia dan layanan yang diberikan. Untuk melihat tingkat
persaingan antar pelabuhan perikanan, maka menurut Rustiadi et al. (2005), dapat
menggunakan metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram).
Metode skalogram adalah metode untuk menentukan hirarki wilayah termasuk
hierarki pelabuhan perikanan. Rumus dan cara untuk menentukan indeks hierarki
skalogram dapat dilihat pada metodologi.
Menurut Budiharsono (2001), bahwa inti dari model ekonomi basis
(economic base model) adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan
oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa,
termasuk tenaga kerja. Sektor (industri) yang bersifat seperti ini disebut sektor
basis. Selain sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang
dibutuhkan untuk melayani pekerja pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu
sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan
perseorangan, disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai
hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Sektor basis berhubungan
langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu
melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan dari luar meningkat, maka sektor
basis akan berkembang. Hal ini pada gilirannya nanti akan mengembangkan
sektor non basis. Salah satu metode apakah suatu sektor merupakan sektor basis
atau non basis adalah menggunakan metode pengukuran tidak langsung melalui
metode location quotient (LQ). Alasan penggunaan metode ini karena tidak
memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak seperti metode pengukuran
langsung dengan survei lapangan.
3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah
Pelabuhan perikanan adalah bagian penting dari wilayah pesisir. Pelabuhan
perikanan adalah pusat aktivitas perikanan dan titik temu antara aktivitas ekonomi
masyarakat berbasis daratan dan lautan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang
strategis di dalam kawasan strategis di wilayah pesisir.
Menurut Rustiadi (2001), bahwa wilayah pesisir adalah kawasan strategis.
Kawasan strategis adalah suatu kawasan ekonomi yang secara potensial memiliki
43
efek ganda (multiplier effect) yang signifikan secara lintas sektoral, lintas spasial
(wilayah) dan lintas pelaku. Dengan demikian, perkembangan wilayah strategis
memiliki efek sentrifugal karena dapat menggerakkan secara efektif
perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, perkembangan wilayah di
sekitarnya serta kemampuan menggerakan ekonomi masyarakat secara luas,
dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. Peranan
strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan
berikut:
(1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-
sumberdaya domestik yang terbarui (domestic renewable resources).
(2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward
linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang
bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat
menimbulkan efek ganda terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di
daerah yang bersangkutan.
(3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-
sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan
pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah dan PDRB
wilayah.
(4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra
and inter-regional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan
distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan
ketidakpastian (uncertainty).
(5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya
koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan.
Menurut Hagget et al. (1977), yang diacu Rustiadi (2001), bahwa konsep
wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah
perencanaan.
Konsep wilayah homogen yang lebih menekankan prinsip pewilayahan yang
menekankan homogenitas (kesamaan) di dalam kelompok dan memaksimumkan
perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional
antar wilayah-wilayahnya. Berbeda dengan konsep homogen, konsep wilayah
44
nodal adalah konsep yang menekankan adanya pemisahan bagian-bagian di dalam
wilayah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi
bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai sel hidup yang mempunyai plasma
dan inti. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan
kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah
maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral.
Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2000), proses
pengembangan pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh 8 faktor kewilayahan
pelabuhan perikanan yang masing-masing bersifat saling berpengaruh terhadap
pengembangan pelabuhan perikanan. Kedelapan faktor kewilayahan pelabuhan
perikanan adalah sebagai berikut:
(1) Kondisi wilayah perairan laut, meliputi kondisi sumberdaya ikan dan daerah
penangkapan ikan. Besarnya potensi sumberdaya ikan yang tersedia dan
lestari dan adanya daerah-daerah penangkapan ikan yang dapat dijangkau
armada perikanan suatu pelabuhan perikanan akan menentukan
pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya.
(2) Aktivitas perikanan wilayah, terutama yang terkait dengan berapa besar
permintaan pasar terhadap komoditi perikanan (lokal, regional dan atau
global) akan mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan dan
sebaliknya.
(3) Pertumbuhan ekonomi wilayah, seperti yang tergambar dalam PDRB dan
inflasi, dapat memacu pengembangan suatu pelabuhan perikanan baik berupa
kesiapan ekonomi pemerintah, maupun kesiapan ekonomi masyarakat dan
sebaliknya.
(4) Kondisi prasarana dan sarana umum wilayah, merupakan unsur pendukung
penting bagi pengembangan suatu pelabuhan perikanan. Kondisi prasarana
sarana umum yang tersedia (prasarana dan sarana transportasi, air, listrik dan
telekomunikasi) aktivitas-aktivitas didalam dan keluar pelabuhan perikanan
seperti distribusi pemasaran ikan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, aktivitas
yang tinggi dari suatu pelabuhan perikanan, akan memberikan tekanan
kepada perlunya dikembangkan prasarana dan sarana umum yang telah ada
disuatu wilayah.
45
(5) Kondisi penduduk suatu wilayah, terutama didalam bentuk pendapatan
perkapita, konsumsi ikan perkapita (yang juga dapat diartikan sebagai potensi
pasar), pertumbuhan penduduk suatu wilayah, dan kondisi aspek sosial
penduduk adalah jelas mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan.
Pendapatan perkapita yang tinggi, konsumsi ikan yang tinggi, pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan kondisi sosial penduduk yang positif akan
memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan suatu pelabuhan
perikanan disuatu wilayah. Sebaliknya walau tidak terjadi secara otomatis,
ketersediaan jumlah komoditi ikan yang tinggi akibat pengembangan suatu
pelabuhan perikanan misalnya, akan memberikan tekanan kepada
peningkatan pendapatan, sekurang-kurangnya pada sebagian penduduk suatu
wilayah seperti nelayan dimana suatu pelabuhan perikanan berada.
Demikian pula berdampak sosial positif bagi penduduk tersebut.
(6) Kondisi lahan lokasi pelabuhan perikanan yang meliputi lahan daratan dan
perairan suatu pelabuhan perikanan menentukan pula pengembangan
pelabuhan perikanan tersebut. Keterbatasan lahan daratan suatu pelabuhan
perikanan akan dapat membatasi pengembangannya.
(7) Aktivitas-aktivitas non perikanan wilayah yang terdapat disekitar pelabuhan
perikanan dapat mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.
Aktivitas-aktivitas di sekeliling pelabuhan perikanan yang sudah tertata rapi,
tidak akan mudah untuk diubah peruntukkannya bagi kepentingan pelabuhan
perikanan. Aktivitas-aktivitas pelabuhan perikanan yang mungkin dapat
menghasilkan limbah ke perairan laut misalnya mempengaruhi usaha tambak
masyarakat sekitar pelabuhan perikanan, dapat menimbulkan tekanan yang
negatif bagi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.
(8) Kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat, secara jelas akan mempengaruhi
pengembangan suatu pelabuhan perikanan karena pemerintah merupakan
pihak yang melakukan pengarahan bagi pengembangan perikanan; melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Terhadap kedelapan faktor tersebut diatas maka PPN Palabuhanratu sudah
memenuhi kebutuhan kedelapan faktor tersebut walaupun masih ada masalah-
masalah yang perlu ditindaklanjuti untuk diselesaikan.
46
3.9 Konsep Triptyque Portuaire
Menurut Vigarié (1979) yang diacu oleh Lubis (1989) bahwa ada tiga
komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan niaga
yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays
terrestre (hinterland) yang disebut triptyque portuaire. Dalam bukunya, Vigarié
(1979) menjelaskan pengertian dari triptyque sebagai berikut : "La notion de
triptyque; elle évoque l’image de trois volets qui sont ici : l’arrière-pays, l’avant-
pays océanique, et au milieu, l’étendue correspondant au périmètre portuaire".
Triptyque ini digunakan dalam suatu metode analisis pelabuhan niaga.
Selanjutnya dijelaskan lebih detil tentang pengertian l’arrière-pays dan l’avant-
pays adalah sebagai berikut :
"L’arrière-pays réel d’un port est la partie de l’espace terrèstre dans laquelle il
vend ses services et, par concéquent, recrute sa clientèle; de façon générale, l’on
peut concidérer que celle-ci se trouve en arrière du rivage où se trouvent les
installations portuaires concidérer; mais il peut y avoir à cette interprétation des
exceptions, par exemple dans le cas de trasshipment. D’autre part, cette notion
est souvent obscurcie par celle d’un hinterland théorique" .
"La définition de l’avant-pays repose sur l’existence des routes maritimes. Ces
dernières sont des faisceaux de cheminements permanents que suivent les navires;
elles sont marquées par certains caractères : leur tracé sur le globe dépend des
secteurs côtiers séparés par l’Océan, et que l’on veut relier; elles ont une certaine
largeur : 20-30 milles généralement sauf lorsqu’elles se ressertent dans un détroit
ou dans un canal transisthmique. La notion d’avant-pays peut être approchée soit
en terme de relation maritimes exprimées par le nombre de lignes de navigation,
le nombre de départs ou le tonnage our une certaine direction, soit un termes
d’origine et de distination des marchandises traversant le port ".
Pengertian l’avant-pays dapat didekati melalui hubungan kemaritiman yang
dinyatakan pada jumlah jalur pelayaran, jumlah unit atau GT kapal yang
berangkat dari suatu pelabuhan untuk tujuan tertentu, baik ditinjau dari asal
maupun tujuan barang.
Pengertian l’arrière-pays dan l’avant-pays masing-masing ekivalen dengan
hinterland dan foreland. Hal ini diperjelas lagi oleh Charlier (1983) bahwa : "Les
47
termes arrière-pays et avant-pays ont pour équivalents respectifs hinterland et
foreland en anglais, hinterlandslage et meerslage en allemand, retroterra et
proiezone marittima en italien. La plupart des auteurs donnent des définitions très
voisines de l’arrière-pays, alors que le contenu conféré à l’avant-pays varie
davantage ".
Selanjutnya menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep
triptyque portuaire tersebut diterapkan untuk pelabuhan perikanan yang terdiri
dari sub sistem wilayah produksi/foreland, sub sistem wilayah distribusi/
hinterland dan sub sistem pelabuhan perikanan/fishing port sendiri. Hinterland
dan foreland adalah dua wilayah yang saling bergantung sama lain yang tidak
dapat dipisahkan. Pelabuhan perikanan adalah sebagai penghubung diantara
keduanya. Dalam merencanakan pelabuhan perikanan perlu dilakukan analisis
secara geografis terhadap tiga elemen tersebut di atas yaitu foreland, pelabuhan
perikanan dan hinterland-nya.
Analisis foreland berkaitan dengan daerah penangkapan ikan, potensi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara khusus foreland dapat dikatakan
sebagai fishing ground atau daerah penangkapan ikan dan jalur maritim yang
dilalui oleh kapal-kapal dalam rangka pendistribusian baik secara nasional
maupun ekspor.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa foreland selain disebut juga
daerah penangkapan, secara umum juga berarti :
(1) Tempat beroperasinya nelayan-nelayan penangkapan ikan di fishing ground.
(2) Jalur distribusi hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base atau
menuju pasar yang melalui laut.
(3) Wilayah perairan di jalur transportasi maritim nasional atau internasional.
(4) Beberapa wilayah perairan merupakan perairan yang ramai dan dapat
meningkatkan resiko terjadinya tabrakan antar kapal-kapal ikan.
(5) Jalur-jalur maritim yang dilalui oleh kapal penangkapan tersebut untuk
menuju fishing ground dan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan
perikanan.
Fishing ground sangat berkaitan dengan pelabuhan perikanan karena:
(1) Fishing ground ini sangat menentukan dalam memperoleh informasi
48
penyebaran ikan yang menjadi tujuan penangkapan, wilayah yang over
fishing, jalur-jalur yang ramai.
(2) Fishing ground dapat berkaitan dengan pembagian wilayah perairan dimana
terdapat wilayah perairan dengan jenis tertentu agar nantinya dapat diketahui
jenis alat tangkap apa saja yang harus dikembangkan di masing-masing
wilayah perairan tersebut.
(3) Fishing ground di daerah tropis mempunyai jenis dan ragam ikan yang lebih
banyak dari pada fishing ground di daerah sub tropis.
Hinterland pelabuhan perikanan secara khusus dapat dikatakan sebagai
daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan (Lubis, 2003). Parameter ini
penting dalam analisis perencanaan pelabuhan perikanan karena berkaitan dengan
pasar atau sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan-ikan yang didaratkan di
pelabuhan perikanan. Parameter ini berkaitan dengan jumlah dan daerah
konsumen.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa terdapat 3 jenis hinterland:
(1) Hinterland primer adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi dari
ikan-ikan hasil pendaratan langsung.
(2) Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan
daerah distribusi ikan hasil pengolahan, hasil pembekuan.
(3) Hinterland perpaduan atau overlap hinterland adalah suatu hinterland yang
didistribusikan oleh beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan
perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama
besar atau sama kecil.
Ketiga jenis hinterland tersebut dapat bersifat lokal, interinsuler dan ekspor.
Dengan mengetahui jenis hinterland, maka kita dapat merencanakan
bagaimana pola pendistribusian yang akan dilakukan serta sarana transportasi,
lembaga-lembaga dan organisasi yang diperlukan serta peraturan yang
menyertainya. Luasnya hinterland dari suatu pelabuhan dipengaruhi oleh sampai
sejauh mana proses penanganan, pengolahan dan jenis sarana transportasi yang
digunakan. Semakin baik penanganan ikan yang dilakukan akan semakin jauh
hinterland, berarti jenis pengolahan ikan juga akan mempengaruhi luas
49
hinterland. Demikian halnya jenis transportasi apabila ikan didistribusikan dengan
menggunakan pesawat terbang akan lebih dapat menjangkau hinterland yang
jauh.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa keterkaitan hinterland dan
pelabuhan perikanan ini perlu dianalisis agar :
(1) Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dapat
terserap habis sesegera mungkin tanpa menunggu terlalu lama.
(2) Dapat diketahui kemungkinan dalam memperluas hinterland.
(3) Dapat diketahui berapa produksi ikan yang harus dieksploitasi oleh para
nelayan untuk dapat didaratkan pelabuhan perikanan tersebut.
(4) Dapat diketahui jenis dan kapasitas fasilitas di pelabuhan perikanan untuk
menampung sejumlah ikan tersebut.
(5) Dapat diketahui hubungan antara hinterland yang satu dengan hinterland
yang lain dalam menerima produksi perikanan dari pelabuhan itu dan atau
dari pelabuhan perikanan lain.
(6) Dapat diketahui distribusi jenis olahan di hinterland sehubungan dengan
rencana pengembangan terhadap tipe olahan ikan yang dikembangkan di
pelabuhan.
3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan
Kegiatan pemasaran ikan yang merupakan komponen dari hinterland sangat
berpengaruh terhadap penyerapan produksi ikan di PPN Palabuhanratu.
Bagaimanapun banyaknya produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu,
jika tidak didukung oleh kegiatan pemasaran yang optimal, maka fungsi PPN
Palabuhanratu tidak akan optimal. Nelayan akan tertarik mendaratkan kapalnya di
suatu pelabuhan, apabila pemasaran ikan di pelabuhan tersebut lebih menarik
dibandingkan dengan tempat lain. Untuk melihat perbandingan kualitas
pemasaran di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan di kabupaten/
provinsi, maka menurut Lubis (2003) perlu dihitung indeks relatif nilai
produksinya (I).
50
3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)
Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode analisis dalam
mengambil keputusan yang baik dan fleksibel. Salah satu alat analisis yang dapat
menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah PHA.
PHA pada dasarnya didesain untuk mendapatkan persepsi orang yang
berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang
didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai set
alternatif.
Menurut Saaty (1988), dalam memecahkan persoalan dengan PHA terdapat
tiga prinsip:
(1) Menyusun hierarki
Menentukan tujuan, kriteria dan aktivitas yang terdapat dalam suatu hirarki
bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalah yang harus dipecahkan
dalam bagian ini adalah menentukan atau memilih tujuan dalam rangka
mengkomposisikan kompleksitas sistem. Perlu pendefinisian tujuan secara
rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani.
(2) Struktur hierarki
Struktur hirarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi
intereaksi komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang
saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke sub-sub tujuan, lalu
ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan aktor dan
kemudian alternatif strategi. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan
dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan
yang teridentifikasi.
(3) Penyusunan bobot
Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada
setiap tingkat hirarki keputusan, ditentukan melalui penilaian pendapat dengan
cara komparasi berpasangan. Komparasi tersebut adalah membandingkan
setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk
menstransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan
skala penilaian, sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka yang
51
menggambarkan variabel mana yang mempunyai prioritas tinggi.
3.12 Kajian Penelitian Terdahulu
Menurut Ibrahim (2001), bahwa strategi yang perlu dilakukan dalam
meningkatkan upaya peningkatan kinerja PPN Palabuhanratu adalah peningkatan
sarana dan prasarana. Dalam penelitian tersebut belum terungkap jenis sarana dan
prasarana yang akan dikembangkan, kuantitas setiap sarana dan prasarana yang
akan dikembangkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
Dalam penelitian Lubis (1998) tentang pola pengembangan pelabuhan
perikanan di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang efisien
dan efektif, menyimpulkan bahwa PP dan PPI yang berada di kedua wilayah
perairan tersebut hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal. Penyebabnya
adalah keterbatasan kondisi dan ketersediaan fasilitas, jarak antara fishing
ground/foreland dan lokasi PP/PPI yang tidak menguntungkan, rendahnya harga
ikan di PP/PPI, jauhnya jarak PP/PPI terhadap pemukiman nelayan dan problem
hasil distribusi hasil tangkapan ikan ke daerah hinterland. Berdasarkan analisis
triptyque portuaire terdapat dua pola dasar, yakni pola dasar I lebih diperuntukkan
bagi pengembangan PP/PPI untuk melayani ekspor hasil tangkapannya. Pola dasar
II lebih ditujukan untuk pengembangan PP/PPI untuk melayani pasar lokal atau
pemerintah kabupaten di masing-masing provinsi.
Pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh nelayan longline dengan perahu
congkreng dan kapal gillnet sering menimbulkan konflik. Menurut Herwening
(2003), bahwa modernisasi perikanan di Palabuhanratu menyebabkan persaingan
pemanfaatan wilayah penangkapan sehingga menimbulkan potensi konflik antar
armada yang meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah penangkapan antara
armada bagan apung dengan perahu congkreng dan antara armada longline
dengan perahu congkreng dan kapal motor gillnet. Dalam kaitan ini, maka
potensi konflik yang melibatkan armada penangkapan di PPN Palabuhanratu dan
merupakan suatu hambatan didalam pengembangan PPN Palabuhanratu.
PPN Palabuhanratu berkewajiban menjaga kualitas ikan sesuai dengan
standar mutu ikan. Menurut Nurani et al. (2004), bahwa kualitas produksi ikan
layur yang dihasilkan nelayan Palabuhanratu berada diluar batas proses produksi
untuk tujuan kualitas ekspor. Secara umum faktor penyebab ikan layur tidak
52
memenuhi kualitas ekspor yaitu pelaku utamanya belum menyadari akan
pentingnya ikan yang berkualitas, kesalahan proses penangkapan, sarana
penanganan tidak mencukupi dan proses transportasi dan alat transportasi belum
memadai. Dalam kaitan ini, karena kualitas beberapa ikan layur tidak memenuhi
standar ekspor, maka akan melemahkan kondisi di hinterland.