Upload
hania-asmarani-rahmanita
View
355
Download
47
Embed Size (px)
Citation preview
PERANAN BIOLOGI FORENSIK DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA
Kombes Pol Drs. Siswanto
Kepala Laboratorium Forensik BARESKRIM POLRI Cabang Semarang
Pendahuluan
Perkembangan teknologi serta arus globalisasi di satu sisi dan minimnya
tingkat kesejahteraan masyarakat memicu meningkatnya tingkat kejahatan dengan
modus dan operandi yang baru. Disisi lain, asas presumption of innocence,
menempatkan seseorang yang patut diduga melakukan sebuah tindak kejahatan
harus teteap dilindungi hak-haknya. Kedua hal tersebut menuntut pengembangan
teknik dan metode pendekatan penyidikan yang baru.
Crime Science Investigation (CSI) adalah suatu metode pendekatan
penyidikan dengan mengedepankan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna
mengungkap suatu kasus yang terjadi. Dengan menggunakan metode CSI,
pengakuan tersangka ditempatkan pada urutan terakhir dari alat bukti yang akan
diajukan ke pengadilan, sebab metode CSI menitikberatkan analisis yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna mengungkap suatu tindak
kejahatan. Membuat barang bukti (benda mati) atau Tempat Kejadian Perkara
(TKP) ‘berbicara’ tentang suatu tindak kejahatan yang terjadi merupakan pokok
bahasan dari bidang Forensik.
Forensik berasal dari bahasa Latin yaitu ‘forum’ yang berarti tempat untuk
melakukan transaksi. Pada perkembangan selanjutnya, forensik diperlukan pada
pengungkapan suatu kasus tindak pidana dengan cara menyusun kembali
(rekontruksi) suatu tindak pidana itu dapat terjadi, sudah barang tentu berdasarkan
bukti-bukti yang ada. Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan
alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam
sesuatu sesuatu dianggap ilmiah jika didasarkan pada fakta atau pengalaman
(empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui
indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk
akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201036
mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat
luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu).
Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik,
toksikologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik,
antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi
molekuler forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal dengan ”DNA-
forensic”.
Sejarah Forensik
Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura
Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan
dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan
anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik.
Sementara itu, Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan
yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai
parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode dari
Bertillon sangat ampuh hingga dikenal sebagai bapak identifikasi.
Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan
mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sekarang
ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi. Leone Lattes
(1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di Universitas Turin,
Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering “a dried
bloodstain”, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB,
dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai
sekarang.
Pada perkembangan selanjutnya, pengertian forensik adalah suatu
kesatuan dari beberapa ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membuat terang
suatu kasus tindak pidana, sehingga penyidikan yang dilakukan oleh polisi
berdasarkan kepada Crime Science Investigation. Pada dekade terakhir muncul
banyak sekali sub disiplin ilmu yang mendukung forensik diantaranya komputer
forensik, psikologi forensik, kedokteran forensik, kimia forensik dan biologi
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 37
forensik. Di bidang Biologi muncul kajian Ilmu entomologi forensik, toksikologi
forensik, botani forensik, mikrobiologi forensik, molekuler forensik, dan masih
banyak lagi.
Sejarah Laboratorium Forensik POLRI
Perjalanan panjang Laboratorium Forensik POLRI dimulai pada tanggal
15 Januari 1954 dengan dikeluarkan surat Kepala Kepolisian Negara Nomor :
1/VIII/1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi Laboratorium, di bawah Dinas
Reserse Kriminil. Akan tetapi pada tahun 1960, dengan peraturan Menteri Muda
Kepolisian Nomor : 1/PRT/MMK/1960 tanggal 20 Januari 1960, Seksi
Laboratorium dipisahkan dari Dinas Reserse Kriminil Markas Besar Polisi Negara
dan ditempatkan langsung di bawah Komando dan Pengawasan Menteri Muda
Kepolisian dengan nama Laboratorium Departemen Kepolisian.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963, dengan Instruksi
Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4/Instruksi/1963 tanggal 25
Januari 1963, dilakukan penggabungan Laboratorium Departemen Kepolisian
dengan Direktorat identifikasi menjadi Lembaga Laboratorium dan Identifikasi
Departemen Kepolisian. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1964, dilakukan
pemisahan kembali Direktorat Identifikasi dengan Laboratorium Kriminal dengan
Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol :
11/SK/MK/1964 tanggal 14 Pebruari 1964.
Pada tahun 1970, Laboratorium Kriminal yang berada langsung dibawah
Kepala Kepolisian Negara dikembalikan di bawah Komando Utama Pusat Reserse
dengan nama Laboratorium Kriminil Koserse dengan Surat Keputusan Menteri
Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: Skep/A
/385/VIII/1970. Pada tahun 1992 terjadi perubahan nama dari Laboratorium
Kriminal menjadi Laboratorium Forensik berdasarkan Surat Keputusan Pangab
No. Kep/11/X/1992, tanggal 5 Oktober 1992.
Dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 terjadi
perubahan nama dari Korserse menjadi Bareskrim maka sampai sekarang
Puslabfor berkedudukan di bawah Bareskrim Polri atau menjadi Puslabfor
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201038
Bareskrim Polri, dan sampai saat ini Puslabfor telah mempunyai 6 Labforcab yang
tersebar di seluruh Indonesia.
1. Laboratorium Forensik Cabang Surabaya (didirikan tahun 1957)
2. Laboratorium Forensik Cabang Medan (didirikan tahun 1972)
3. Laboratorium Forensik Cabang Semarang (didirikan tahun 1982)
4. Laboratorium Forensik Cabang Makasar (didirikan tahun 1985)
5. Laboratorium Forensik Cabang Denpasar (didirikan tahun 1999)
6. Laboratorium Forensik Cabang Palembang (didirikan tahun 1999)
Sesuai dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 pada tiap-tiap
laboratorium cabang memiliki empat unit dengan didukung oleh beberapa disiplin
ilmu pengetahuan, unit tersebut adalah :
1. Unit Balistik dan Metalurgi Forensik.
2. Unit Dokumen dan Uang Palsu Forensik.
3. Unit Kimia dan Biologi Forensik.
4. Unit Fisika, Instrumen dan Komputer Forensik.
Sementara itu berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk memeperkuat
pemeriksaan di Laboratorium Forensik POLRI antara lain adalah ilmu Biologi,
Kimia, Fisika, Metalurgi, Komputer, Teknik Kimia, Teknik Arsitektur, Teknik
Sipil, Teknik Elektro, Farmasi, Analis Kesehatan, Kesehatan Masyarakat.
Peranan Ilmu Biologi dalam bidang Forensik
Seperti telah diketahui pada Pasal 184 ayat 1 Kitab Hukum Acara Pidana
(KUHP) menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Hal inilah yang menuntuk pemeriksa pada Laboratorium Forensik bekerja,
membuat suatu barang bukti, Tempat Kejadian Perkara (TKP), dan petunjuk-
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 39
petunjuk yang lain dalam suatu kasus tindak pidana untuk ‘berbicara’. Setelah
dilakukan pemeriksaan secara in situ (di TKP) maupun ex situ (di laboratorium)
maka hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara
Pemeriksaan (surat) atau bila dianggap perlu maka pemeriksa di Laboratorium
Forensik dapat dipanggil di pengadilan sebagai saksi ahli (keterangan ahli).
Mengingat pentingnya hal diatas, maka seorang pemeriksa di
Laboratorium Forensik POLRI haruslah memiliki kekuatan ilmu dasar yang kuat,
berpandangan holistik terhadap suatu kasus, ketekukan, sifat pantang menyerah,
inisiasi yang sempurna dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya ke dalam suatu
kasus yang ditanganinya. Hal ini dikarenakan tanggungjawab yang diemban oleh
seorang pemeriksa forensik akan dipertanggungjawabkan baik di depan
pengadilan dan akan menentukan nasib seseorang (tersangka), apakah dia terlibat
tindak pidana ataukah tidak. Kesalahan dalam menentukan metode pemeriksaan
yang akan dipakai akan berakibat pada kesalahan kesimpulan yang akan diambil,
sebab forensik bekerja pada tataran barang bukti yang dipaksa ‘bicara’ dan tidak
mengandalkan pengakuan dari tersangka.
Hal ini juga terjadi pada sarjana-sarjana Biologi yang bekerja di
Laboratorium Forensik POLRI. Penguasaan terhadap ilmu yang dimilikinya
merupakan sesuatu yang wajib dan harus ‘mengakar’ dalam tubuhnya. Baik itu
ilmu mengenaik biokimia, entomologi, histologi, fisiologi, anatomi, mikrobiologi,
toksikologi, ekologi bahkan biologi molekuler. Bila tidak memiliki kemampuan di
bidang tersebut seorang biolog yang terjun dalam suatu lingkungan forensik akan
sulit sekali menentukan langkah apa yang harus diambil untuk menguak suatu
kasus tindak pidana. Ilmu dasar yang dimiliki di lingkungan forensik bak sebilah
pisau, ketajamannya sangat diperlukan, akan tetapi apalah arti sebilah pisau yang
tajam bila sang pemegang pisau tidak dapat menggunakannya. Banyak contoh
kasus yang dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu Biologi, baik itu kasus
pembunuhan, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, toksikologi lingkungan
(pencemaran), atau bahkan keracunan.
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201040
1. Kasus Pembunuhan Romo Wasi, Purworejo
Banyak contoh kasus di lingkungan Laboratorium Forensik POLRI yang
terpecahkan dengan menggunakan analisis dari ilmu biologi. Salah satu kasus
yang ditengani dengan mengedepankan aspek biologi adalah kasus pembunuhan
seorang pemuka agama di Purworejo, Romo Wasi, pada tahun 2004. Korban
ditemukan pada pukul 06.00 WIB di depan garasi mobil sebuah rumah
peristirahatan (ret ret) umat nasrani oleh seorang tukang kebun dan dilaporkan
olehnya ke Polres Purworejo. Korban meninggal dunia akibat luka di kepala
akibat benda tumpul yang menyebabkan darah keluar dari mulut, mata dan hidung
korban.
Titik cerah pengungkapan kasus tindak pidana ini diperoleh setelah
ditemukannya satu helai daun dari famili Gramineae di tubuh korban (menempel
pada lengan kiri korban), padahal di tempat ditemukannya korban tidak ada
tumbuhan anggota dari famili Gramineae. Hal ini menggugah penyidik akan locus
delicti (tempat terjadinya tindak pidana) dari kasus ini tidak berada ditempat
tersebut. Pemeriksaan TKP dikembangkan ke tampat lain dengan petunjuk
tumbuhan dari famili Gramineae tersebut. Dari pengembangan TKP ditemukan
ada empat tempat yang tumbuh tumbuhan dari famili Gramineae, dari empat
tempat tersebut ada satu tempat yang juga ditemukan noda yang diduga darah,
menempel pada salah satu daun dari tumbuhan anggota Gramineae.
Pengenalan, identifikasi dan penetapan fisiologi noda yang diduga darah
yang telah mengering dengan metode ‘Leone Lattes’ mentukan apakah darah
tersebut adalah darah korban. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa noda
yang melekat pada daun tumbuhan famili Gramineae tersebut adalah darah
korban. Pengembangan TKP tidak berhenti sampai disini, di dekat lokasi
ditemukan daun tersebut diidentifikasi bahwa tempat itu adalah kamar dari
tukang kebun rumah peristirahatan umat nasrani tersebut. Maka pemeriksaan
dengan metode ‘Leone Lattes’ juga dilakukan di kran air di dalam kamar, baju
yang digunakan, jari-jari tangan dan kaki, dan alas kaki tukang kebun tersebut.
Hasilnya, ditemukan bahwa darah korban tertransfer ke kran air,
ruitsletting celana, sela-sela kuku tangan dan kaki, serta palu milik tukang kebun
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 41
yang berada di dalam kamar. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya noda darah
kering diantara tegel antara daun yang terdapat noda darah (dibelakang rumah
ret ret) hingga tempat ditemukannya korban, sehingga dimungkinkan korban
diseret dari samping kamar tukang kebun hingga di depan garasi mobil, hal ini
dilakukan untuk mengecoh penyidik agar seolah-olah telah terjadi perampokan
di rumah ret ret tersebut. Sehingga dengan keyakinan dan dalam waktu kurang
dari 12 jam maka penyidik menetapkan tukang kebun tersebut sebagai pelaku
pembunuhan terhadap Romo Wasi, padahal tukang kebun itu sendiri yang
melaporkan tindak pidana tersebut ke Mapolres Purworejo.
2. Kasus Keracunan di Kecamatan Grabag Magelang
Kasus lain adalah kasus toksikologi, keracunan massal di Kecamatan
Grabag Kabupaten Purworejo pada pertengahan tahun 2007. Kejadian ini
mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dalam waktu 3 hari, karena dipandang
meresahkan masyarakat maka diturunkanlah tim Laboratorium Forensik POLRI
bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Pemeriksaan di TKP yang
dilakukan oleh Laboratorium Forensik meliputi vegetasi di (satu-satunya)
sumber air di daerah tersebut, sample air, sampel udara, makanan, muntahan,
dan autopsi korban yang meninggal dunia. Pemeriksaan vegetasi dengan
menggunakan instrument AAS menyimpulkan bahwa tidak ditemukan
akumulasi logam berat pada daerah tersebut. Sampel air diperiksa kualitas dan
kuantitasnya, meliputi BOD, COD, logam terlarut, conductivity dan beberapa
parameter lainnya.
Sementara itu, makanan, muntahan dan analisis lambung korban yang
telah meninggal dilakukan untuk mengetahui makanan apa saja yang masuk ke
tubuh korban dalam waktu 3 jam terakhir. Data terakhir yang dikumpulkan
adalah dari autopsi, dengan membuat preparat histologi untuk organ otak,
lambung, hepar, paru-paru dan ginjal untuk korban yang telah meninggal. Dari
semua data tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kematian yang terjadi
diakibatkan oleh Pseudomonas sp. dan insektisida secara bersamaan. Hal ini
diperkuat dengan ditemukannya kelainan pada pemeriksaan histologi dari hepar,
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201042
otak dan paru-paru. Selain itu pemeriksaan sampel air juga ditemukan adanya
insektisida dalam jumlah diluar ambang batas dan di sampel makanan dan
muntahan (analisis lambung korban dengan metode biokimia-mikrobiologi) juga
ditemukan Pseudomonas sp.
3. Kasus Kasus Lingkungan
Untuk kasus ekologi, pemeriksaan limbah seringkali dilakukan
Laboratorium Forensik POLRI untuk beberapa perusahaan. Bersama instansi
terkait Laboratorium Forensik POLRI mengambil sampel di inlet, outlet,
upstream dan downstream. Penentuan titik sampel harus benar2 dimengerti sebab
sautu ketika upstream suatu perusahan merupakan downstream dari perusahaan
lainnya. Pengertian limbah domestik dari suatu perusahaan dan limbah dari proses
industri menentukan dimana kita akan menentukan inlet dari perusahaan tersebut.
Selain itu pemahaman tentang modul dari AMDAL juga sangat diperlukan di
dalam bidang pemeriksaan limbah industri. Pengambilan sampel ini dilanjutkan
dengan pemeriksaan di laboratorium meliputi beberapa parameter seperti yang
telah ditetapkan oleh UU Lingkungan Hidup maupun PERDA.
Masih banyak sekali kasus-kasus yang dipecahkan dengan
mengedepankan analisis dalam aspek Biologi. Saat ini sedang dikembangkan
penanda molekuler untuk barang bukti ganja. Hal ini dilakukan untuk
menghentikan peredaran gelap ganja yang semakin marak di Indonesia. Dengan
pengembangan penanda molekuler ganja maka akan didapatkan beberapa cluster
peredaran di Indonesia dan hal ini dapat dijadikan evaluasi terhadap jaringan yang
berkembang. Beberapa aspek yang saat ini menjadi trend di dunia forensik adalah
mikrobiologi forensik, entomologi forensik, botani forensik dan ekologi forensik.
Dari contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa ilmu Biologi sangat
diperlukan guna mendukung dalam proses pengungkapan suatu kasus tindak
pidana dengan menggunakan dasar Crime Science Investigation. Kemampuan
dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah merupakan syarat
mutlak untuk menjadi seorang perwira pemeriksa forensik, sebab seorang perwira
pemeriksa forensik nantinya dituntut untuk dapat menentukan arah pemeriksaan
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 43
yang akan dilakukan guna membuat terang suatu tindak pidana dalam waktu
secepat-cepatnya. Penentuan arah pemeriksaan tersebut meliputi dari metode yang
akan digunakan, analisis dan evaluasi terhadap hasil yang akan diperoleh dari
metode tersebut, hingga kepada penentuan tersangka, waktu, dan tempat kejadian
suatu tindak pidana itu terjadi. Setelah hal tersebut ditentukan oleh perwira
pemeriksa forensik maka penyidik di kewilayahan akan melanjutkan kepada
tingkatan pemberkasan selanjutnya diajukan ke pengadilan.
Dalam rangka meningkatkan mutu laboratorium, maka Laboratorium
Forensik POLRI terus melakukan pembenahan meliputi peningkatan sumber daya
manusia, peningkatan teknis pemeriksaan di laboratorium (meliputi pengadaan
instrument terbaru, pengembangan metode pemeriksaan dan refresh teknis dan
teknik pemeriksaan kepada anggota) dan melakukan kerjasama dengan instansi
terkait. Peningkatan sumber daya manusia meliputi rekruitment anggota melalui
jalur Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS) dan atau pengembangan keilmuan
pada anggota yang telah ada melalui kerjasama dengan Sekolah Pasca Sarjana di
beberapa Universitas di Indonesia maupun di luar negeri. Karena penguasaan
kemampuan ilmu dasar bagi perkembangan teknik dan teknis penyidikan
berdasarkan metode Crime Science Investigation sangat mutlak diperlukan di
lingkungan forensik pada umumnya dan Laboratorium Forensik POLRI (Labfor
POLRI) pada khususnya.
Seminar Nasional Biologi 2010
Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201044