34
1 REFERAT PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN NAPZA Disusun oleh: Fajri Nugraha 110103000013 Latansan Dina 110103000070 Meliansari 110103000054 Nurhalimah Aruan 109103000025 Nida Khofia 110103000087 Pembimbing: dr. Erie Dharma Irawan SpKJ MARS PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

4. REFERAT KEL.1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Page 1: 4. REFERAT KEL.1

1

REFERAT

PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN NAPZA

Disusun oleh:

Fajri Nugraha 110103000013

Latansan Dina 110103000070

Meliansari 110103000054

Nurhalimah Aruan 109103000025

Nida Khofia 110103000087

Pembimbing:

dr. Erie Dharma Irawan SpKJ MARS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT

2015

Page 2: 4. REFERAT KEL.1

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia yang

telah diberikan-Nya sehingga pada akhirnya makalah referat “Penatalaksanaan

Kegawatdaruratan NAPZA” ini dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas di kepanitraan klinik di Rumah Sakit

Ketergatungan Obat.

Dalam kesempatan ini, terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Erie Dharma Irawan

SpKJ MARS, selaku pembimbing di Kepaniteraan Klinik RSKO Jakarta yang telah

memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang

sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

Demikianlah, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya

bagi para sejawat.

Jakarta, November 2015

Penulis

Page 3: 4. REFERAT KEL.1

3

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ 2

DAFTAR ISI ............................................................................................... 3

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5

1. Defenisi NAPZA.......................................................................... 5

2. Penggolongan NAPZA ............................................................... 5

3. .Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA ........................... 6

4. Peran NAPZA sebagai Gangguan otak ....................................... 6

5. Gejala klinis.................................................................................

6. Menetapkan diagnosis.................................................................

7. Penatalaksaan kegawatdaruratan NAPZA...................................

7

8

9

BAB III. KESIMPULAN...........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

21

22

Page 4: 4. REFERAT KEL.1

4

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya

(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA

(Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks,

yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan

kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang

dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.1

Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi

sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari

tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari

data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun.

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir

40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka.

Beberapa substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal,

seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan

perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang

masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood,

sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA

menjadi sangat berhubungan.3

Penggunaan NAPZA pada suatu waktu ketika penggunanya menggunakan

dosis secara berlebihan atau sensitif terhadap penggunaan, maka sangat mungkin

masuk dalam kegawat daruratan NAPZA. Peran penting dalam dunia kedokteran

sering tidak disadari oleh dokter-dokter itu sendiri, bahkan para pengambil keputusan,

kecuali mereka yang berminat dibidang kedokteran jiwa, khususnya penyalahgunaan

NAPZA. Dan minimnya pengetahuan mengenai masalah NAPZA, penggunaannya,

masalah psikiatri yang ditimbulkan, serta penanganan dalam keadaan gawat darurat,

mendorong penulis untuk menyusun referat mengenai kegwatdaruratan pada pasien

penyalahgunaan NAPZA.

Page 5: 4. REFERAT KEL.1

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi NAPZA

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obatyang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang

dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena

terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap

NAPZA jika mereka yang menggunakannya memasukan kedalam tubuh manusia

akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat. Istilah NAPZA

umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada

upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. Pengaruh tersebut

dapat berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau

timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi

pemakainya.1

2. Penggolongan NAPZA

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat

digolongkan menjadi tiga golongan :3

1. Golongan Depresan (Downer)

Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis

ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya

tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,

heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer

(anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan(Upper)

Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan

kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan

bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu,

esktasi), Kafein, Kokain

3. Golongan Halusinogen

Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat

merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang

berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak

Page 6: 4. REFERAT KEL.1

6

digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD,

Mescalin.3

3. Penyalahgunaan dan Ketergantungan

Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik

yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan

dengan tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik 4

3.1 Penyalahgunaan NAPZA

adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau

teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,

psikis dan gangguan fungsi sosial.

3.2 Ketergantungan NAPZA

adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga

tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila

pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat

(withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh

NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan

kegiatannya sehari-hari secara “normal”

4. Peran NAPZA Sebagai Gangguan Otak

Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan

otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi

otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak

merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke

dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya

perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut

tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh.

Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara: dihirup melalui

hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikan

dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena, ditempelkan pada

kulit (terutama lengan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada

juga yang melakukannya dengan mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian

NAPZA sesuai dengan cara penggunaannya , langsung masuk ke pembuluh darah dan

sebagian lagi yang dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh-

Page 7: 4. REFERAT KEL.1

7

pembuluh darah di sekitar dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan

menuju reseptornya masing-masing yang terdapat pada otak.

Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki ukuran

dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak, dengan

jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam (lock into)

reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik

yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar

neurotransmitter. Beberapa jenis NAPZA lain berikatan melalui neuron dengan

bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada

jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan yang tidak alami dari neurotransmitter.

5. Gejala Klinis

5.1 Perubahan Fisik

Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum

dapat digolongkan sebagai berikut :

Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo

(cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga

Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi

lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.

Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap

terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas

mandi, kejang, kesadaran menurun.

Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap

kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas

suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum

suntik)

5.2 Perubahan Sikap dan Perilaku

Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering

membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.

Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk

dikelas atau tempat kerja.

Sering berpegian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi

tahu lebih dulu

Page 8: 4. REFERAT KEL.1

8

Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar

bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.

Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak

jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik

sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau

berurusan dengan polisi.

Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap

bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.

6. Menetapkan Diagnosis

Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis

penyakit atau “ disease entity” yang dalam ICD – 10 (international classification of

disease and health related problems – tenth revision 1992) yang dikeluarkan oleh

WHO digolongkan dalam “ Mental and behavioral disorders due to psychoactive

substance use “.

Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantungan dikenal dengan istilah

sindrom ketergantungan ( PPDGJ-III , 1993 ). Sehingga diagnosis ketergantungan

NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari gejala-gejala di bawah

selama masa setahun sebelumnya:

1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi ) untuk

menggunakan NAPZA.

2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal,

usaha penghentian atau tingkat penggunaannya.

3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA

atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA atau golongan

NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari

terjadinya gejala putus obat.

4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan guna

memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih

rendah.

5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena

penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk

mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya

Page 9: 4. REFERAT KEL.1

9

6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya

akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA seperti gangguan

fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat

penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif. Segala upaya mesti

dilakukan untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA sungguh – sungguh

menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.5

7. Penatalaksanaan kegawatdaruratan NAPZA

7.1 Definisi Kegawatdaruratan NAPZA

Kegawatdaruratan merupakan suatu keadaaan dimana seseorang mengalami

ancaman kehidupan dan apabila tidak dilakukan pertolongan/ tindakan dengan cepat

dan tepat dapat menyebabkan cacat atau meninggal.

Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan

seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis)

sehingga dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan

segera.

Pada dasarnya didalam melakukan penanganan kasus kegawatdaruratan NAPZA

tidak jauh beda dengan kasus-kasus kegawatdaruratan yang lain, dimana dalam

melakukan penanganan adalah dengan tahapan triage atau pemilihan berdasarkan

prinsip ABC. Pedoman secara umum pasien harus dibedakan sesuai dengan kondisi

klinis, apakah dalam kondisi emergensi, non emergensi, akut atau kronis. Secara rinci

kondisi klinis pasien NAPZA dibagi menjadi; kondisi intoksikasi akut/overdosis,

kondisi putus zat dan kondisi komorbiditas fisik/psikiatri.7

7.2 Prinsip-Prinsip Penatalaksanaan Kegawatdaruratan NAPZA

Mengingat kasus intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka upaya

penatalaksanaan kasus intoksikasi ditujukan pada hal sebagai berikut :

1. Tindakan terfokus masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui prosedur

ABC (Airway, breathing, circulation) dan menjaga tanda vital

2. Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akan

ada interaksi dengan zat yang digunakan pasien. Apabila zat yang digunakan

pasien sudah diketahui, obat dapat diberikan dengan dosis yang adekuat.

Page 10: 4. REFERAT KEL.1

10

3. Lakukan anamnesis secara auto atau allo anamnesis untuk memperoleh riwayat

penggunaan zat sebelumnya. Bila pasien tidak sadar perhatikan alat-alat atau

barang yang ada pada pasien. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat

yang digunakan, termasuk obat yang sering dipakai, baik kepada pasien (jika

memungkinkan), anggota keluarga, teman, atau petugas kesehatan yang biasa

mendampingi (jika ada) tentang obat yang biasa digunakan. Tanyakan juga riwayat

alergi atau riwayat syok anafilaktik. Kemudian lakukan pemeriksaan fisik untuk

menemukan tanda/kelainan akibat intosikasi, yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan

darah, nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat, dan lain-lain. Pemeriksaan

penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada keadaan yang

memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik harus dilakukan berulang.

4. Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besaran masalah

penggunaan zat pasien berdasarkan kategori dibawah ini:

a) Pasein dengan penggunaan zat dalam jumlah banyak dan tanda-tanda vital

yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan

disertai dengan gejala-gejala halusinasi, wahan dan kebingungan akan tetapi

kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala intoksikasi mereda.

b) Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putus zat

yang harus diperhatikan, seperti gejala-gejala kebingungan atau psikotik hal

itu merupakan bagian dari gejala putus zat.

c) Pasien dengam tamda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlikatkan gejala

putus zat yang jelas tetapi secara klinis menunjukan adanya gejala

kebingungan seperti kondisi delirium atau demensia. Dalam perjalanannya

mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini akan

menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau demensia sudahditerapi

dengan adekuat.

d) Bilamana yanda-tanda vital pasien stabil dan dan secara klinis tidak ada gejala-

gejala kebingungan atau putus zat secara bermakna, tetapi menunjukan adanya

halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien menderita

psikosis. 7,8

7.3 Tindakan pada kegawatdaruratan

1. Dekontaminasi

Page 11: 4. REFERAT KEL.1

11

Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap kulit, sehingga

sering dekontaminasi permukaan sangat diperlukan. Sedang dekontaminasi saluran

cerna ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorpsi. Biasanya dapat

diberikan arang aktif, pencahar, obat perangsang muntah dan kumbah lambung.

2. Pemberian Antidotum

Mengingat tidak semua intoksikasi ada penawarnya, sehingga prinsip utama adalah

mengatasi sesuai dengan besarnya masalah.

7.4 Jenis-Jenis Kegawatdaruratan NAPZA

Berikut ini adalah jenis-jenis kegawatdaruratan NAPZA :

Yang dimaksud dengan intok overdosis beratsikasi (Over Dosis) adalah kondisi fisik

dan prilaku abnormal akibat penggunaan zat yang dosisnya melebihi batas toleransi

tubuh

7.4.1 Intoksokasi Opioida

Kriteria diagnosis DSM –IV – TR intoksifikasi opioid adalah sebagai berikut:

A. Pengunaan opioid baru-baru ini

B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptive yang secara klinis signifikan

(cth euphoria inisial yang diikuti apati, disforia, agitasi, atau retardasi

psikomotor, daya nilai terganggu, atau fungsi social atau okupasional yang

terganggu yang timbul selama atau segera setelah penggunaan opioid

C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia pada overdosis berat) atau

satu (atau lebih) tanda berikut, timbul selama, atau segera setelah penggunaan

opioid

1. Mengantuk atau koma

2. Bicara cadel

3. Hendaya atensi atau memori

D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan

oleh gangguan mental lain

Kematian akibat overdosis opioid biasanya disebabkan henti nafas akibat efek

depresan napas zat tersebut. Gejala overdosis meliputi kurang nya respon yang nyata,

koma, napas lambat, hipotermi, hipotensi dan bradikardi. Ketika pasien dibawa

Page 12: 4. REFERAT KEL.1

12

dengan trias klinis berupa koma, pupil pinpoint, dan depresi nafas, klinisi seyogyanya

mempertimbangkan overdosis sebagai diagnosis primer. Mereka juga dapat

menginspeksi tubuh pasien untuk mencari jejak jarum di lengan, tungkai, pergelangan

kaki, selangkangan dan bahkan vena dorsalis penis.

Penatalaksanaan kegawatdaruratan intoksikasi opioida adalah memastikan

jalan napas yang adekuat. Sekret trakofaringeal harus diaspirasi, alat bantú nafas

dapat diberikan. Pasien sebaiknya diberikan ventilasi mekanik sampai nalokson,

antagonis opioid spesifik dapat diberikan. Nalokson diberikan secara IV laju rendah,

awal nya sekitar 0,8 mg per 70 mg per 70 kg berat badan. Tanda perbaikan

(peningkatan laju napas dan dilatasi pupil) seharus nya terjadi dengan cepat. Pada

pasien ketergatungan opioid, terlalu banyak nalokson dapat menimbulkan gejala putus

zat dan pembalikan overdosis. Jika tidak ada respon terhadap dosis inisial, pemberian

nalokson dapat diulang setelah interval beberapa menit. Dimasa lalu, dianggap bila

tidak ada respon yang teramati setelah 4 sampai 5 mg, depresi sistem saraf pusat

mungkin bukan hanya disebabkan opioid. Durasi kerja nalokson pendek dibandingkan

banyak opioid lain, seperti metadon dan levometadil asetat, dan pemberian berulang

mungkindiperlukan untuk mencegah rekurensi toksisitas opioid

1. Awasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu, pernafasan dan kesadaran)

oksigen, infus

2. Antidotum Nalokson: 0,4-0,8 mg IV atau 0,01 mg/kgBB, IV/IM. Bila respon

(-) dalam 5 menit dapat diulang sampai timbul perbaikan kesadaran,

hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil atau telah mencapai dosis

maksimal nalokson 10 mg. Bila tetap tidak ada respon rujuk ke ICU. Respon

(+) berikan drip Nalokson dalam cairan infus sebanyak 0,4 mg/jam selama 12

jam. Tetap lakukan observasi Tanda vital minimal 24 jam.

3. Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi, kalau perlu pasang sonde

lambung (NGT)

4. Melalui oral: lakukan kuras lambung berikan Activated Charchoal (misal :

Norit), dosis 50 mg dilarutkan dalam 200 ml cairan, dapat diulang tiap 4 jam,

maks 100 gram.

5. Pertimbangkan pemasangan pipa trakea (intubasi) bila: pernafasan tidak

adekuat, koma.

6. Bila Kejang dapatdiberikan diazepam 5-10 mg (iv/im)

Page 13: 4. REFERAT KEL.1

13

Terapi putus zat opioida

1. Terapi simptomatik sesuai gejala klinis analgetika (Tramadol, Asam

Mefenamik, Parasetamol), spasmolitik (Papaverin, Spasmium), dekongestan,

sedatif-hipnotik, antidiare (New Diatab) .

2. Pemberian subtitusi: Codein, Metadon, Bufrenorfin yang diberikan secara

tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin dapat dilanjutkan terapi jangka

panjang (Rumatan)

3. Pemberian subtitusi non opioida ; Clonidine dengan dosis 17mcg/Kg.BB

dibagi dalam 3-4 dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering off 10%/hari

untuk mencegah rebound hypertension.

4. Selama pemberian clonidine lakukan pengawasan tekanan darah, bila tekanan

systole kurang dari 100mmHg atau tekanan diastole kurang 70 mmHg

pemberian clonidine HARUS DIHENTIKAN .

5. Pemberian Sedatif-Hipnotika, Neuroleptika (yang memberi efek sedative,

misal Clozapine 25 mg) dapat dikombinasikan dengan obat-obat lain.

7.4.2 Intoksikasi Sedatif Hipnotik (Benzodiazepin)

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR intoksikasi sedative, hipnotik atau ansiolitik

adalah sebagai berikut:

A. Penggunaan sedatif hipnotik atau ansiolitik baru-baru ini

B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptip yang secara klinis signifikan (cth

perilaku seksual tidak pada tempat nya atau agresif, labilitas mood, daya nilai

terganggu, fungsi social atau okupasional terganggu,) yang timbul selama atau

segera setelah penggunaan sedative hipnoti, atau ansiolitik

C. Satu atau lebih tanda berikut timbul selama, atau segera, setelah penggunaan

sedative hipnotik atau ansiolitik

1. Bicara cadel

2. Inkoordinasi

3. Cara berjalan tidak stabil

4. Nistagmus

5. Hendaya atensi atau memori

6. Stupor atau koma

Page 14: 4. REFERAT KEL.1

14

D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan

oleh gangguan mental lain.

Intoksikasi sedatif hipnotik jarang memerlukan pertolongan gawat darurat atau

intervensi farmakologi.Intoksikasi benzodiazepin yang fatal sering terjadi pada anak-

anak atau individu dengan gangguan pernapasan atau bersama obat depresi susunan

syaraf pusat lainnya seperti opioida.Gejala intoksikasi benzodiazepin yang progresif

adalah hiporefleksia, nistagmus dan kurang siap siaga, ataksia, berdiri tidak stabil.

Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia, letih, lemah, konfusi,

somnolent, koma, pupilmiosis, hipotermi, depresi sampai dengan henti

pernapasan.bila diketahui segera dan mendapat terapi kardiorespirasi maka dampak

intoksikasi jarang bersifat fatal. Namun pada perawatan yang tidak memadai maka

fungsi respirasi dapat memburuk karena asapirasi isi lambung yang merupakan faktor

resiko yang sangat serius.

Penatalaksanaan pada kasus ini adalah mencakup lavase lambung arang

teraktivasi, pemantauan secara cermat tanda vital dan aktifitas system saraf pusat.

Pasien overdosis yang dating mencari pertolongan medis saat terjaga sebaik nya

dijaga jangan sampai jatuh ke keadaan tidak sadar. Muntah sebaik nya di induksi, dan

arang teraktivasi sebaiknya diberikan untuk menunda absorbs lambung. Bila pasien

dalam keadaan koma, klinis sebiknya memasang jalur cairan intravena, memantau

tanda vital pasien, menyisipkan tabung endotrakeal untuk menjaga jalan napas tetap

paten, dan member ventilasimekanis bila perlu. Rawat inap bagi pasien koma di unit

perawatan intensif biasanya diperlukan selama tahap awal pemulihan dari overdosis

tersebut.

a) Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan:

1. Mengurangi efek obat dalam tubuh

2. Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut

3. Mencegah komplikasi jangka panjang

b) Langkah I: mengurangi efek sedatif-Hipnotik

pemberian Flumazenil 0,2 mg secara IV, kemudian setelah 30 detik diikuti

dengan 0,3 mg dosis tunggal. Obat tersebut lalu dapat diberikan lagi sebanyak

0,5 mg setelah 60 detik sampai total kumulatif 3 mg. Pada pasien yang

ketergantungan akan menimbulkan gejala putus zat

Page 15: 4. REFERAT KEL.1

15

Untuk tingkat serum sedatif-hipnotik yang sangat tinggi dan gejala-gejala

sangat berat, pikirkan untuk atau haemoperfusion dengan charcoal resin/norit.

Cara ini juga berguna bila ada intoksikasi berat dari barbiturat yang lebih

short acting.

Tindakan suportif termasuk; pertahankan jalan napas, pernapasan buatan bila

diperlukan, perbaiki gangguan asam basa

Alkalinisasi urin sampai Ph 8 untuk memperbaiki pengeluaran obat dan

diuresis berikan furosemide 20-40 mg atau manitol 12,5-25 mg untuk

mempertahankan pengeluaran urin.

c) Langkah II: mengurangi absorbsi obat lebih lanjut

Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian. Kalau tidak, pikirkan

Activated Charcoal. Selama perawatan harus diawasi supaya tidak terjadi

aspirasi, kalau perlu pasang sonde lambung (NGT)

d) Langkah III: mencegah komlikasi jangka panjang

Observasi tanda-tanda vital dan depresi pernapasan, aspirasi dan edema paru.

Bila sudah terjadi aspirasi maka dapat diberikan antibiotik. Bila pasien ada usaha

untuk bunuh diri maka klien tersebut harus ditempatkan ditempat khusus dengan

pengawasan ketat setelah keadaan darurat diatasi.

Terapi putus zat benzodiazepin

Penatalaksanaan dengan Benzodiazepine tapering off :

Berikan salah satu Benzodiazepine (Valium, Frisium, Ativan) dalam jumlah

cukup; lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari

Berikan hipnotika malam saja (Clozapine 25 mg, Hakcion 0,25 mg)

Berikan vitamin B complex.

Injeksi Valium intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila pasien

kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dgn selang waktu 30-60 menit.

7.4.3 Intoksikasi Anfetamin

Kriteria diagnosis DSM-IV untuk intoksifikasi amfetamin adalah sebagai berikut:

A. Baru-baru ini menggunakan amfetamin atau zat terkait contoh metilfenidat

Page 16: 4. REFERAT KEL.1

16

B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptive yang secara klinis signifikan (cth,

euphoria atau penumpulan afek, perubahan sosiabilitas, hipervigilans, sensitivitas

interpersonal, ansietas, ketegangan atau kemarahan, perilaku stereotipi, daya nilai

terganggu atau fungsi social atau okupasional terganggu) yang timbul selama atau

segera

C. Dua atau lebih hal berikut timbul selama atau segera setelah penggunaan

amfetamin atau zat terkait

1. Takikardi atau bradikardi

2. Dilatasi pupil

3. Tekanan darah meningkat atau menurun

4. Berkeringat atau menggil

5. Mual atau muntah

6. Bukti penurunan berat badan

7. Agitasi atau retardasi psikomotor

8. Kelemahan otot, defresi nafas, nyeri dada,atau aritmia jantung

9. Keningungan, kejang, diskinesia, distonia atau koma

D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum atau tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental lain

Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan dengan adanya dua

atau lebih gejala-gejala seperti takikardi atau bradikardi, dilatasi pupil, peningkatan atau

penurunan tekanan darah, banyak keringat atau kedinginan, mual atau muntah, penurunan

berat badan, agitasi atau retardasi psikomotot, kelelahan otot, depresi sistem pernapasan,

nyeri dada atau aritmiajantung, kebingungan, kejang-kejang, diskinesia, distonia atau

koma. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umum nya

akan hilang setelah 48 jam

Penatalaksanaan adalah dengan memberikannya terapi symtomatik dan pemberian

terapi suportife lain, misal: anti psikotik, anti hipertensi.

1. Simtomatik tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral; merangsang muntah

dengan activated charcoal atau kuras lambung adalah penting.

2. Antipsikotik dosis rendah (haloperidol 2-5 mg atau chlorprmazine 1 mg/kgBB setiap

4-6 jam

Page 17: 4. REFERAT KEL.1

17

3. Antihipertensi bila perlu, TD diatas 140/100 mmHg

4. Kontrol tempratur dengan selimut dingin atau chlorpromazine untuk mencegah

tempratur tubuh meningkat

5. Aritmia cordis, lakukan cardiac monitoring; contoh untuk palpitasi diberikan

propanolol 20-80 mg/hari (perhatikan kontraindikasinya)

6. Bila ada gejala anxietas berikan ansiolitik golongan benzodiazepin: diazepam 3x5 mg

atau chlordiazepoz de 3x25 mg

7. Asamkan urin dengan amonium chlorida 2,75 mEq/kg atau asorbic acid 8 mg/hari

sampai PH urin <5 akan mempercepat eksresi zat.

Terapi putus zat ampethamin

1. Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik Rawat inap diperlukan

bila gejala psikotik berat, gejala depresi berat atau kecenderungan bunuh diri &

komplikasi fisik lain.

2. Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-5mg, Risperidon 2 x 1,5-3 mg), Antiansietas

(Alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg, Diazepam 3 x 5-10 mg, Clobazam 2 x 10 mg) atau

Antidepresi golongan SSRI atau Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi klinis

3. Terapi suportif : istirahat, olah raga, dan diet sehat.

4. Risiko relaps sangat tinggi selama periode awal intervensi psikososial (terapi

suportif, CBT, relapse prevention).

7.4.4 Intoksikasi Alkohol

Kriteria diagnosis DSM – IV – TR untuk intoksikasi alcohol adalah sebagai berikut:

A. Baru-baru ini menkonsumsi lcohol

B. Perubahan perilaku atau psikologis maladaptive yang secara klinis bermakna cth

perilaku agresif atau seksual yang tidak pada tempatnya, labilitas mood, daya nilai

terganggu, fungsi social atau okupasional terganggu yang timbul selama atau

segera setelah ingesti alcohol

C. Satu atau lebih tanda berikut, yang timbul selama atau segera setelah penggunaan

alcohol:

1. Pembicaraan meracau

2. Inkoordinasi

3. Gaya berjalan tidak stabil

4. Nistagmus

Page 18: 4. REFERAT KEL.1

18

5. Hendaya atensi atau memori

6. Stupor atau koma

D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental.

Keparahan gejala intoksikasi alcohol secara kasar berhubungan dengan

konsentrasi alcohol dalam darah, yang mencerminkan konsentrasi alcohol di otak.

Pada awitan intoksikasi, beberapa orang menjadi banyak omong dan suka berkumpul,

yang lain jadi menarik diri dan merajuk atau berkelahi. Sejumlah pasien menunjukkan

labilitas mood dengan episode intermiten tertawa dan menangis. Orang tersebut

mungkin menunjukkan toleransi jangka pendek terhadap alcohol dan tampak tidak

terlalu terintoksikasi setelah menghabiskan banyak jam minuman dibandingkan

setelah hanya beberapa jam.

Intoksikasi alcohol bukan suatu kondisi yang sepele dan pada kasus ekstrem,

dapat mengakibatkan koma, depresi nafas, dan kematian akibat henti nafas atau

karena aspirasi muntahan

Penanganan intoksikasi alcohol berat memerlukan dukungan ventilasi mekanis

di unit perawatan intensif, dengan jumlah penelitian aliran darah serebri (CBF) saat

intoksikasi alcohol menemukan sedikit peningkatan CBF setelah ingesti sejumlah

kecil alcohol tapi CBF menurun saat minum terus dilanjutkan.

1. Jika Kondisi Hipoglikemi dapat diberikan Dextrose 40%

2. Kondisi penurunan kesadaran sampai dengan koma, lakukan penanganan

kegawatdaruratan secara intensif

3. Injeksi Thiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke

Encephalopathy lalu 50 ml Dextrose 50% i.v (berurutan jangan sampai terbalik)

4. Berikan Naloxon 0.4-2 mg bila ada riwayat kemungkinan pemakaian opioida

5. Antisipasi perilaku agresifitas buat suasana tenang & berikan dosis rendah

sedative, misal: lorazepam 1-2 mg oral atau Haloperidol 5 mg oral, bila terlihat

agresifitas tinggi berikan Haloperdol 5 mg IM.

Terapi putus zat alkohol

Page 19: 4. REFERAT KEL.1

19

1. Perbaiki kondisi klinis secara umum, observasi tanda vital per 15 menit &

Pemeriksaan laboratorium umum & breathalyzer (level alkohol dalam darah).

2. Koreksi defisit elektrolit dan kebutuhan nutrisi pasien. Bila terdapat kondisi

Hipoglikemia injeksi 50 mg Dextrose 50%.

3. Injeksi Thiamine 100 mg i.v utk profilaksis Wernicke Encephalopathy.

Dilanjutkan 50 ml Dextrose 50% iv.

4. Benzodiazepine (diazepam, alprazolam, lorazepam) untuk mengurangi gejala

putus zat & mencegah kejang. Beri dosis rendah sedatif (Lorazepam) 1-2 mg atau

Haloperidol 5 mg oral, bila gaduh gelisah berikan parenteral (i.m)

7.4.5 Intoksikasi Kanabis

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR Penyalahgunaan Kanabis adalah sebagai berikut:

A. Penggunaan kanabis baru-baru ini

B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptive yang secara klinis signifikan

(cth koordinasi motorik terganggu, euphoria, ansietas,sensasi waktu melambat,

daya nilai terganggu, penarikan sosial) yang timbul selama atau segera setelah

penggunaan kanabis

C. Dua atau lebih tanda berikut timbul dalam waktu dua jam setelah penggunaan

kanabis

1. Injeksi konjungtiva

2. Peningkatan nafsu makan

3. Mulut kering

4. Takikardi

D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental lain.

Kriteria ini menyatakan bahwa diagnosis dapat ditambah dengan frase

“dengan gangguan persepsi” jika tidak terdapat uji realitas yang intak, diagnosis nya

adalah gangguan psikotik terinduksi kanabis

Intoksiakasi kanabis umum nya meningkatkan sensitivitas pengguna terhadap

stimuli eksternal.memunculkan detil baru,membuat warna terlihat lebih cerah, dan

kaya lebih dari sebelum nya, dan secara subyektif memperlambat apresiasi waktu.

Page 20: 4. REFERAT KEL.1

20

Pada dosis tinggi , pengguna mungkin mengalami depersonalisasi dan derealisasi.

Keterampilan motorik terganggu akibat penggunaankanabis dan hendaya

keterampilan motorik ini menetap bahkan setelah gejala euphoria subyektif

menghilang. Setelah 8-12 jam setelah pemakaian kanabis, hendaya keterampilan

motorik pada pengguna mengganggu penggunaan kendaraan bermotor. Lebih lanjut

efek ini menambahkan efek alcohol yang biasanya digunakan bersamaan dengan

kanabis.

Panatalaksanan pada intoksikasi kanabis adalah sebagai berikut

Jarang memerlukan terapi medis ataupun psikiatrik. Pengobatan diperlukan untuk

mengurangi risiko relaps pada pasien yang berupaya untuk berhenti.

Bila terdapat gejala psikotik dapat diberikan Antipsikotik (Haloperidol 1-2 mg,

oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit

Bila terdapat ansietas berat dapat diberikan Antiansietas (Alprazolam 0,5-1 mg

oral, lorazepam 1-2 mg oral, atau chlordiazepoxide 10-50 mg oral.

Terapi putus zat kanabis

1. Jarang memerlukan terapi medis ataupun psikiatrik. Pengobatan diperlukan untuk

mengurangi risiko relaps pada klien yang berupaya untuk berhenti.

2. Terapi : Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-5 mg, Risperidon 2 x 1,5-3 mg),

Antiansietas (Alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg, Diazepam 3 x 5-10 mg, Clobazam 2 x

10 mg) atau Antidepresi golongan SSRI atau Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi

klinis.

BAB III

Page 21: 4. REFERAT KEL.1

21

KESIMPULAN

Penyalahgunaan NAPZA, merupakan masalah yang sangat kompleks, yang

memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama

multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan

secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.

Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan

seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis) dan dapat

menimbulkan kematian apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera, sehingga

sangaatlah penting mengetahui gejala-gejala kegawatdaruratan yang muncul akibat

penyalahgunaan NAPZA.

Prinsip penatalaksaan kegawatdaruratan NAPZA pada umumnya sama dengan

penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan lainnya yang bukan dikarenakan

NAPZA, yaitu langkah awal tetap harus memperhatikan tanda vital kemudian pastikan

Airway Brithing Circulation baik, setelah itu tentukan jenis zat yang disalahgunakan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang kemudian diberikan terapi

antidotum dan gejala simptomatik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: 4. REFERAT KEL.1

22

1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Saock`s Synopsis of Psychiatry: Behavioral

Sciences/Clinical Psychiatry.10th ed. USA: Lippincot, Williams and Wilkins. 2007

2. Kemeannkes RI. Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba di Idonesia. 2014

3. Elvira, Sylvia dan Gitayani Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUI.

Jakarta. 2009

4. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American Psychiatriy Journal, 2010 October 20.

5. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III, PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.

6. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA.

7. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009 July 7.

8. KMK no.422/ Menkes/SK/III/2010. Pedoman penatalaksaan medik gangguan

pengguaan NAPZA