32
MUNASABAH AL-QUR’AN Agus Jaya A. Pendahuluan Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dikarenakan beliau gelisah oleh kenyataan bahwa dalam pertempuran di Yammah, yaitu ‘perang kemurtadan’ (riddah) banyak penghafal al-Qur’an yang mati terbunuh. Karena mereka adalah orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Qur’an dalam hati mereka, Umar khawatir jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Qur’an yang akan hilang dan tak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu karena ia merupkan mantan juru tulis Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat penulisan al-Qur’an dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Nabi lainnya. (Richard Bell 1998 : 35) Mengenai tertib surat terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Salaf, ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat. (Ibrahim Al Abyari 1993 : 54) Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi atau persesuaian kandungan Al-Qur’an kurang mendapat perhatian mendalam dari para Ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Oleh karena itu makalah ini berupaya mengetengahkan mengenai munasabah yang mencakup: pengertian munasabah, sejarah perkembangan munasabah, eksistensi munasabah , macam- macam munasabah serta urgensi munasabah. B. Pengertian Munasabah Menurut bahasa munasabah berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B. 1

45969536 Munasabah Al Qur An

Embed Size (px)

Citation preview

  • MUNASABAH AL-QURANAgus Jaya

    A. Pendahuluan

    Pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar dikarenakan beliau gelisah

    oleh kenyataan bahwa dalam pertempuran di Yammah, yaitu perang kemurtadan

    (riddah) banyak penghafal al-Quran yang mati terbunuh. Karena mereka adalah

    orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Quran dalam hati mereka, Umar khawatir

    jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Quran yang akan hilang dan

    tak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu

    karena ia merupkan mantan juru tulis Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat

    penulisan al-Quran dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Nabi lainnya. (Richard Bell

    1998 : 35)

    Mengenai tertib surat terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Salaf,

    ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga

    yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat. (Ibrahim Al Abyari

    1993 : 54)

    Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah

    korelasi atau persesuaian kandungan Al-Quran kurang mendapat perhatian

    mendalam dari para Ulama yang menekuni Ulumul Quran. Oleh karena itu makalah

    ini berupaya mengetengahkan mengenai munasabah yang mencakup: pengertian

    munasabah, sejarah perkembangan munasabah, eksistensi munasabah , macam-

    macam munasabah serta urgensi munasabah.

    B. Pengertian Munasabah

    Menurut bahasa munasabah berarti al-musykalah dan al-muqarabah yang

    berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah

    dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.

    1

  • Secara etimologis, munasabah menurut Manna Al-Qaththan berarti

    keterkaiatan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat

    dengan ayat atau antara surat dengan surat. (Manna Al-Qaththan 1973 : 94).

    Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu

    al-Quran sesuai dengan pengertian menurut bahasa di atas adalah segi-segi hubungan

    atau persesuaian al-Quran antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuk.

    Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang

    merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang

    lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara

    kata/kalimat dengan kata/kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surah dengan

    akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang lain dan begitulah seterusnya

    hingga benar-benar tergambar bahwa al-Quran itu merupakan satu kesatuan yang

    utuh dan menyeluruh.(Amin Suma, 2004: 144)

    Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, diantara ciri gubahan suatu

    bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah manakala rangkaian susunan

    kata demi kata, kalimat demi kalimat, alenia demi alenia dan seterusnya memiliki

    keterkaitan atau hubungan sedemikian rupa sehingga menggambarkan satu kesatuan

    yang tidak pernah terputus.(Az-Zarkasyi,1988: 66) al-Quran sangat memenuhi

    persyaratan yang ditetapkan para pujangga itu, mengingat keseluruhan al-Quran

    yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf,

    itu seperti yang ditegaskan al-Qurthubi (w. 671) laksana satu surat yang tidak dapat

    dipisah-pisahkan.(Amin Suma, ibid., 145) Satu hal yang patut ditegaskan ialah bahwa

    kesatuan al-Quran terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan melainkan bisa

    dibuktikan melalui hubungan antar bagian dengan bagiannya.

    Jadi munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hikmah korelasi

    urutan ayat al-Quran, atau usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia

    hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Melalui ilmu ini

    diharapkan rahasia Ilahi dapat terungkap dengan jelas yang mampu menjawab

    sanggahan yang selalu meragukan keberadaan al-Quran sebagai wahyu Allah.

    2

  • B. Sejarah Perkembangan Munasabah

    Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (w.324 H)

    sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Menurut al-Suyuthi

    (w. 911 H) sebagaimana dikutip oleh Ramli Adbdul Wahid dalam bukunya yang

    berjudul Ulumul Quran, orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah

    Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi. Apabila al-Quran dibacakan kepadanya, ia bertanya

    mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini

    ditempatkan di samping surat sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Bagdad

    karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah. (Ramli Abdul Wahid 2002 :91).

    Ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan munasabah secara

    khusus. Diantara kitab al-Burhn fi Munasabati Tartib Suwar al-Quran susunan

    Ahmad Ibn Ibrahim al-Andalusi (w. 807 H). Menurut pengarang tafsir an-Nur,

    penulis yang membahas menasabah dengan sangat baik ialah Burhanuddin al-BiqaI

    dalam kitab Nazhm ad-Durar di Tanasubi ayatii was Suwar.

    As-Suyuthi membahas tema munasabah dalam kitab al-Itqan dengan topik

    khusus yang berjudul F Munasabatil Ayat sebelum membahas ayat-ayat

    musyatabihat. Az-Zarkasyi membahas soal munasabah dalam Burhan dengan topik

    yang berjudul Marifatul Munasabah bainal Ayati sesudah membahas asbab an-

    nuzul. Subhi Shalih memasukkan pembahasan munasabah dalam bagian ilmu asbab

    an nuzul, meskipun tidak dalam satu pasal tersendiri. Sebaliknya, Said Ramadlan al

    Buthi tidak membicarakan munasabah dalam buku Min Rawaiil Quran.

    Terdapat beberapa istilah yang dikemukakan para mufassir mengenai

    munasabah. Ar-Razi menggunakan istilah taalluq sebagai sinonimnya. Sayyid

    Quthub menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti kata munasabah. Sedangkan

    Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu al-ittishal dan at-talil. Al-Alusi

    menggunakan istilah yang hampir sama dengan istilah yang digunakan Sayyid Quthb,

    yakni tartib. (Ahmad Izzan 2005:189)

    3

  • C. Eksistensi Munasabah

    Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah tauqifi

    (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). (Al-Qattan Terj.Mudzakir, 1992:

    141) Mengenai tertib surat-surat Al-Quran mayoritas ulama berpendapat bahwa

    tertib surat-surat Al-Quran sebagaimana yang dijumpai pada mushhaf yang sekarang

    adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW. yang setiap tahun

    melakukan muaradhah (memperdengarkan bacaannya) kepada Jibril AS. Termasuk

    yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada muaradhah terakhir, Zaid

    Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tertib surat

    yang sama kepada kita jumpai sekarang.

    Adapun sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Quran masuk dalam

    masalah ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama mushaf pada

    catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-

    Quran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam al-Quran. Ketiga adanya

    perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat al-Quran ini menunjukkan tidak

    adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Selain itu ada pula yang

    berpendapat bahwa sebagiannya tauqifi dan lainnya ijtihadi. Pendapat ini juga

    mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat al-

    Quran diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW. dan lainnya

    diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al-Baqarah tidak

    dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya sama dengan surat

    sebelumnya, surat Al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut

    sampai wafatnya. Karena itu, saya-kata usman-meletakkannya setelah surat Al-Anfal.

    Meski ketiga pendapat diatas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang

    dikemukankan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan

    pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat

    tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Quran berbeda

    dengan tertib mushaf yang sekarang dan adanya cacatan mushaf sahabat yang

    berbeda bukanlah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar

    4

  • mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan

    mushaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat al-Quran. Karena itu,

    kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan

    pendapat yang mengatakan sebagian surat tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi tidak

    kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat Al-Baraah

    sehingga Usman menempatkannya setelah surat Al-Anfal adalah riwayat yang lemah,

    baik dari segi sanad maupun matan. Sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai

    majhul oleh Al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah

    karena Nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunnya surat Al-Baraah. Tentunya

    dalam rentang waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat

    menjelaskan letak sebuah surat, sedangkan Nabi setiap tahun membacakan Al-Quran

    kepada Jibril. Sementara itu riwayat tentang muaradhah Nabi akan bacaanya kepada

    Jibril setiap tahun adalah riwayat yang shahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih

    kuat dari kedua pendapat lainnya. (Ramli Abdul Wahid 2002 : 92)

    Izzudin bin Abdus Salam (577-660 H) yang mewakili sebagian ahli ilmu-ilmu

    al-Quran masa klasik, Manna al-Qathan dan Shugbi as-Sholih yang mewakili ahli

    ilmu-ilmu al-Quran kontemporer yang tidak menyetujui pemaksaan ilmu

    munassabah untuk seluruh ayat-ayat al-Quran. Dengan argumentasi karena selain

    ayat-ayat al-Quran diturunkan dalam rangka menjawab pertanyaan dan kasus yang

    berbeda-beda, disamping pewahyuan al-Quran itu sendiri yang memakan waktu

    lama. Lalu bagaimana merangkai ayat al-Quran SWT dengan banyak hal yang

    dibicarakan dan juga memerlukan waktu yang tidak sedikit.(Al-Qathan, 1973: 98)

    Akan tetapi menurut sebagian ulama tetap berkeyakinan bahwa hubungan al-

    Quran antara bagian demi bagian dan ayat demi ayat serta surat demi surat pasti

    dapat ditelusuri. Karena az-Zarkasyi juga mengatakan bahwa munasabah tergolong

    ke dalam yang bersifat rasional dan akan terjangkau oleh akal manakala diserahi

    tugas itu. Berbagai hubungan antara pembuka-pembuka surat dan penutup-

    penutupnya, demikian pula dengan perujukan kepada makna apa pun yang

    menghubungkan antara keduanya; apakah itu berdasar pendekatan am dan khas, aqli

    5

  • maupun hissi dan bahkan hayali serta hubungan-hubungan yang lain-lainnya. Bisa

    juga dilakukan dengan pendekatan hubungan saling keterkaitan yang bersifat

    penalaran, sebagaimana hubungan sebab-musabbab, illat dan malul, an-nazhirain

    dan lain-lain.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)

    Terlepas dari kontropersi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini

    termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir. Buku-buku Ulumul

    Quran, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia janrang memuat bahasan ini.

    Sebab, ilmu munasabah-sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu

    yang rumit.

    D. Macam-macam Munasabah

    a. Macam-macam Sifat Munasabah

    Ditinjau dari segi sifatnya munasabah atau keadaan persesuaian dan

    persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:

    1. Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas,

    yaitu persesuaian antara bagian al-Quran yang satu dengan yang lain tampak

    jelas dan kuat, kerena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali

    sehingga tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan

    kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi

    itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung,

    penjelasan, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua

    ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti

    persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra:

    Artinya:

    Maha Suci Allah, yang memperjuangkan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. (al-Isra: 1)

    6

  • Ayat tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad SAW. selanjutnya, ayat 2

    surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:

    Artinya:

    Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel. (al-Isra : 2)

    Ayat yang pertama berbicara tentang perjalanan isra Nabi Muhammad Saw;

    sedangkan ayat kedua berbicara tentang penurunan Taurat kepada Musa. Segi

    penghubungnya, kata az-Zarkasyi, pada ayat pertama, Allah menampilkan hal yang

    ghaib (perjalanan isra), kemudian diikuti informasi serupa (sama-sama ghaib)

    berkenaan dengan hal yang terjadi di masa lampau guna memperkuat kebenaran

    mukjizat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang selain Nabi Muhammad Saw

    yakni mukjizat nabi Musa As. Jadi, Allah mengibaratkan nabi Muhammad Saw

    sebagaimana nabi Musa juga pernah di-israkan Allah dari Mesir ke Palestina (al-

    Baqarah 49-50, al-Anfal 54, Yunus 90, al-Isra 103, as-Syuara 65-67), beserta bala

    tentaranya dalam suasana yang sangat mencekam dan menakutkan.(Az-Zarkasyi,

    1988: 69)

    2. Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian

    antara bagian Al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian

    untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri-

    sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang

    satu bertentangan dengan yang lain.

    Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat

    190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:

    Artinya:Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakan-lah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)haji.

    7

  • Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit / tanggal-tanggal untuk tanda-tanda

    waktu dan untuk jadwal ibadah haji.

    Sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:

    Artinya:Dan perangilah di jalam Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.

    Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang

    menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada

    hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal

    sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah al-Baqarah

    menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika

    ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun

    pada musim haji. ( Abdul Djalil 1998 : 157).

    b. Macam-macam Materi Munasabah

    Ditinjau ari segi materunya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:

    1. Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah

    yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:

    a. Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu

    dengan materi surah yang lain.

    Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama

    Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandunagn Al-Quran,

    yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam

    surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al-

    Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.

    b. Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab

    semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surah

    sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.

    8

  • Contohnya, seperti awalan dari surah Al-Anam yang berbunyi:

    Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.

    Awalan surah Al-Anam tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah

    yang berbunyi:

    Artinya: Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa ayng ada

    didalmnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

    c. Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah.

    Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah ini dimulai dengan

    menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang

    diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua

    orang laki-laki sedang berkelahi.

    Allah mengisahkan doa Musa:

    Artinya:Musa berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa. (al-Qasas 28:17)

    Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul bahwa ia akan keluar

    dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah serta melarangnya menjadi

    penolong bagi orang-orang yang kafir:

    Artinya:Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ketempat kembali (yaitu kota Mekah). Katakanlah: Tuhanku mengetahui arang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Quran diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu,

    9

  • oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir. (al-Qasas 28 : 85-86). (Al-Qattan Terj. Mudzakir 1992: 144)

    2. Munasabah Antara Ayat dengan Ayat Dalam Satu Surat

    Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:

    a. Diathafkannya ayat yang satu kapada ayat yang lain, seperti munasabah

    antara ayat 103 surah Ali-Imran:

    Artinya:Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.

    Dengan ayat 102 surah Ali-Imran:

    Artinya:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

    Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat

    tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadziiraini). Ayat 102 surah Ali-

    Imran menyeruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang

    teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.

    b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah

    antara ayat 11 surah ali-Imran:

    Artinya: (Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Firaun dan orang-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat Kami.

    10

  • Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:

    Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.

    Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua

    (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10 surah Ali-

    Imran), sehingga ayat 11 surah Ali-Imran itu dianggap sebagai bagian

    kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.

    c. Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5

    surah Al-Anfal:

    Artinya: Sebagaimana Tuhanmu menyeruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.

    dengan ayat 4 surah Al-Anfal:

    Artinya: Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.

    Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 surah Al-

    Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4

    surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum

    mukminin.

    11

  • d. Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti

    dikumpulkan ayat 95 surah Al-Araf:

    Artinya: Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasakan pernderitaan dan kesenangan.

    Dengan ayat 94 surah Al-Araf:

    Artinya : Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu) melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tuduk dengan merendahkan diri.

    Ayat 94 surah Al-Araf tersebut menerangkan ditimpakannya

    kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah Al-Araf

    menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.

    e. Dipindahkannya satu pembicaraan ayat 55 surah Shaad:

    Artinya:Beginilah (keadaan mereka). Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka, benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk.

    Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang

    benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat

    54 surah Shaad yang membicarakan rezeki dari para ahli surga:

    Artinya : Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dari Kami yang tiada habis-habisnya.

    12

  • 3. Munasabah antara nama surat dengan kandungannya

    Nama-nama surat yang ada di dalam al-Quran memiliki kaitan dengan

    pembahasan yang ada pada isi surat. Surat al-Fatihah disebut juga umm al-kitab

    karena memuat berbagai tujuan al-Quran.

    4. Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat

    Munasabah di sini bisa bertujuan:

    a. Tamkin (peneguhan). Misalnya:

    Artinya: Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari perperangan. Dan Allah adalah Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab 33 : 25)

    Sekiranya ayat ini terhenti pada, Dan Allah menghindarkan orang-orang

    Mukmin dari perperangan, niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah

    sejalan dengan pendapat orang-orang kfir yang mengira bahwa mereka mundur

    dari perang karena angin yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan

    suatu yang kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya

    dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat ini ditiup dengan mengingatkan

    kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim. (Rosihan Anwar

    2000 : 92)

    b. Tashdir (pengembalian). Misalnya:

    Artinya:Dan mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu. (QS. Al-Anam 6 : 31)

    Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya sejenis dengan kata

    dalam ayat tersebut.

    13

  • c. Tausyih (hikmah). Misalnya:

    Artinya: Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan. (QS. Yasin 36 : 37)

    Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab, dengan hilangnya

    siang akan timbul kegelapan. Ini berarti bahwa kandungan awal ayat telah

    menunjukkan adanya hikmah dibalik kejadian tersebut.

    d. Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya:

    Artinya:Sesungguhnya, kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati mendengar dan tidak pula orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (QS. Al-Naml 27 : 80)

    Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-dua (panggilan).

    Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi

    sambungan lagi sebagai penjelas tambahan.

    E. Urgensi Munasabah

    Pengertian tentang munasabah al-Quran terutama bagi seorang mufasir

    urgen. Di antaranya adalah sebagai berikut.

    1. Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Quran, baik antara

    kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang

    lain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-

    Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

    Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah

    ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat

    14

  • yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul

    berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)

    2. Mempermudah pemahaman al-Quran. Misalnya ayat enam dari surat Al-

    Fatihah yang artinya, Tujukilah kami kepada jalan yang lurus disambung

    dengan ayat tujuh yang artinya, Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi

    nikmat atas mereka. Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan

    yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari

    Allah SWT.

    3. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Quran kacau. Tuduhan misalnya muncul

    karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah

    yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-Alaq

    sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan

    letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.

    Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah

    mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa

    manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali

    dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengan

    demikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat

    berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyata

    susunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran tidak kacau melainkan mengandung

    makna yang dalam. (Ramli Abdul Wahid, 2002 :95)

    4. Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-

    an bahasa al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,

    serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih

    menyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Quran itu benar-benar wahyu dari

    Allah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalal

    dalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi (Abdul Djalal, 2000:

    164) mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Quran terletak pada

    15

  • susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling bersetara

    adalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

    Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Quran diantaranya adalah

    Abu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalah

    ilmu yang baik (ilmun hasanun), ilmu mulia (ilmun syarifun), ilmu yang agung

    (ilmun adzimun). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah

    mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukup

    signifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Sehingga az-Zarkasyi

    berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan

    seorang mufassir. (Az-Zarkasyi, 1988: 62)

    Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorang

    menafsirkan al-Quran menggunakan metode tafsir al-maudhui (tematik) atau al-

    muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan (munasabah)

    antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis. (Az-Zarkasyi, 1988: 63)

    Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul yang digolongkan kedalam ilmu simai

    dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan

    ke dalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai

    ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upaya

    memperkaya dan memperkuat penafsiran al-Quran, yaitu dengan cara mencari

    hubungan antara ayat-ayat al-Quran dari berbagai aspeknya.(Amin Suma, 2004: 148)

    SIMPULAN

    Munasabah ialah cabang dari ilmu Ulumul Quran yang membahas

    persesuaian atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah maupun

    surah dengan ayat didalam al-Quran.

    Terlepas dari kontropersi tentang keberadaan munasabah yang kurang

    mendapat perhatian dari para muffasir, penulis sangat tertarik karena mempelajari

    munasabah dapat mempermudah memahami dan memaknai hal-hal yang tersirat

    didalam al-Quran sehingga bagian-bagian dari al-Quran nampak saling

    16

  • berhubungan menjadi satu rangkaian yang utuh selain itu juga dapat mempertebal

    keyakinan dan keimanan kita akan Kebesaran Illahi.

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Quran Karim

    Al-Abyari, Ibrahim 1993. Sejarah al-Quran. Bina Utama, Semarang.

    Al-Qathathan, Manna 1973. Mabahits fi Ulum al-Quran. Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi, Beirut.

    Anwar, Rosihan 2000. Ulumul Quran. Pustaka Setia, Bandung.

    Az-Zarkasyi 1988. Al-Burhan fi Ulum al-Quran. Darul Mathabah, Beirut.

    Bell, Richard 1998. Pengantar Quran. INIS, Jakarta.

    Djajal, Abdul 1998. Ulumul Quran. Dunia Ilmu, Surabaya.

    Izzan, Ahmad 2005. Ulumul Quran Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Quran. Tafakur, Bandung.

    Halimuddin 1993. Pembahasan Ilmu al-Quran. Rineka Cipta, Jakarta.

    Mudzakir, AZ. 1992. Studi Ilmu-ilmu Quran. Lintera Antar Nusa, Jakarta.

    Suma, Muhammad Amin 2004. Studi Ilmu-ilmu al-Quran. Pustaka Firdaus, Jakarta.

    Wahid, Ramli Abdul 1992. Ulumul Quran Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

    17

  • Rijalul Hadits dan Karakteristik Periwayatannya

    Pengertian Rijalul Hadits

    18

  • Rijal al-Hadits berasal dari bahasa Arab rijal dan al-Hadits. Rijal jamak dari

    rajul yang berarti seorang pria. Namun, dalam konteks ilmu hadits lafadz rajul atau

    dalam bentuk jamak rijal bermakna seorang tokoh. Kemudian istilah rijal ini

    digunakan dalam kajian hadits secra khusus, bahkan terdapat ilmu tersendiri yang

    membahasa rijal al-hadits. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan Ilmu Rijal al-

    Hadits adalh ilmu yang membicarakan perihal tokoh atau orang yang membawa

    hadits semenjak dari Nabi hingga periwayatan terakhir.

    Menurut Hasbi Ash Shikddieqy, rijalul al-Hadits ialah ilmu yang membahas

    para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabiin, maupun dari perangkat sesudahnya

    Tentang ilmu rijal al-hadits, beberapa ulama memberikan makna sekaligus

    cakupan yang dibahas di dalamnya. Diantaranya Ajjaj al-Khatib yang

    mengemukakan bahwa ilmu rijal al-hadits merupkan ilmu yang sangat penting.

    Dengan suatu alasan bahwa cakupan ilmu hadits meliputi sanad dan matan.

    1. Kedudukan Rijal dalam Hadits Nabi

    Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian diatas, kedudukan rijal al-

    hadits sebagai unsur dari sanad amat menentukan. Tanpa adanya rijal al-hadits maka

    tidak terdapat sanad di dalamnya; demikian pula tidak adanya sanad dalam suatu

    periwayatan menjadikannya tertolak, atau setidak-tidaknya diragukan secara pasti

    sebagai seuatu periwayatan yang datang dari Rasulullah Saw.

    Ilmu Rijal al-hadits sering pula disebut dengan ilm lm miza al-rijal yang juga

    dinyatakan sebagai tonggak ilmu al-Sunnah yang dapat menentukann atau memilih

    sutau hadits shahih dan hadits-hadits dlaif, hadits yang diterima (maqbul) dari hadis

    19

  • yang bertolak (mardud). Oleh karenanya membicarakan tentang nilai kecacatan dan

    keadilan seorang rawi (al-jarh wa al tadl) hukumnya wajib bagi tipa mukmin,

    setidak-tidaknya fardlu Kifayah.

    Dari uraian diatas tampaknya yang menjadi titik persoalan dalam ilmu ini

    berpokus pada sejarah kehidupan para tokoh hadits dalam rangkaian sanad, yang

    meliputi masa kelahiran dan wafatnya; negeri asal dan negeri tempat pengembara

    (rihlah) dalam menuntut ilmu (khususnya hadits); kepadas siapa memereka

    memperoleh hadits tersebut serta beberapa hal yang dikaitkan dalam periwayatan

    hadits lainnya.

    Secara umum ilmu rijal al-hadits ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu 'ilm

    tarikh al-ruwah sebagai bagian pertama, yaitu ilmu yang mencoba mengenalkan para

    rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits

    tersebut. Adapun bagian kedua, yaitu 'ilm al-jarh wa al ta'dil, merupakan ilmu yang

    membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya.

    Memperhatikan definisi diatas, maka ilmu tarikh al-ruwat mencakup

    penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran mereka, wafatnya guru-

    gurunya, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya

    ke negeri yang berbeda-beda masa berlangsungnya, sebelum ataupun sesudah

    mengalami kekacauan pikiran serta penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan

    erat dengan persoalan-persoalan hadits.

    Adapun ilmu al-jarh wa al-ta'dil di dalamnya mencakup pembahasan tentang

    penilaian beberapa kritikus rijak al-hadits penilaian positif (ta'dil) maupun penilaian

    20

  • negatif (tajrih) melalui lafadz-lafadz tertentu dengan beberapa kandungan atau

    tingkatan penilaian di dalamnya. Adapun ilmu ini menjadi pokus utama telaah rijal

    al-hadits. Sebab, upaya mengetahui kualitas para rawi hadits dalam suatu mata rantai

    periwayatan (isnad) melalui kritik (naqd) ulama mutlak dilakukan untuk mengetahui

    kredibilitas seorang rawi. Dengan ilmu ini pulalah seorang rawi dinyatakan 'adil atau

    tidaknya dan dengannya pula seorang rawi dinyatakan dhabith atau tidaknya.

    2. Syarat Rijal Hadits

    Yang dimaksud syarat rijal hadits adalah syarat bagi rijal hadits yang diterima

    periwayatannya atau disebut dengan riwayat yang shahih. Dengan demikian, syarat

    rijal hadits tidak dapat dipisahkan dari persyaratan riwayat atau hadits yang shahih.

    Ada lima komponen persyaratan suatu hadits dianggap shahih menurut jumhur

    ulama, antara lain: Pertama, bersambung sanadnya; Kedua, diriwayatkan oleh orang

    yang 'adil; ketiga, diriwayatkan oleh rawi yang dhabith; keempat, terhindar dari

    syududz; dan kelima, terhindar dari 'illat.

    Untuk mengetaui sekaligus menetapkan seorang rawi dinyatakan 'adil dapat

    dilakukan melalui; 1) popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadits; 2)

    Penialaian dari para kritikus periwayat hadits; 3) penerapan kaedah al-jarh wa al-

    ta'dil. Sementara untuk menetapkan seorang rawi itu dhabith dilakukan melalui; 1)

    kesaksian ulama; 2) kesusuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh

    periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya; 3) kesalahan sesekali masih

    21

  • dapat dinyatakan dhabith tetapi bila sering kali maka tidak dapat disebut lagi sebagai

    seorang rawi yang dhabith.

    Dari persyaratan yang dikehendaki di atas, tampaknya ilmu rijal al-hadits

    yang meliputi ilmu tarikh al-ruwat dan ilmu al-jarh wa al- ta'dil memiliki

    kompetensi yang tinggi untuk menentukan suatu sanad hadits itu berkriteria shahih.

    Lebih khusus lagi peran kritikus hadits sebagai penilai para rijal al-hadits sangat

    emnentukan tingkat kualitas seorang rawi tersebut disamping memperhatikan unsur-

    unsur kaedah periwayat 'adil dan dhabith juga memperhatikan pila kritikus hadits.

    B. Kritik Rijal

    Istilah kritik mengambil makna dari Arab al-naqd yang secara bahasa

    memiliki pengertian sama dengan al-tanqad yaitu meneliti seksama, menempatkan

    secara khusus uang asli dan menyingkirkan uang palsu darinya. Sedangkan naqadtu

    fulanan berarti meneliti seseorang atau mengujinya pada perkara tertentu.

    Memperhatiakn pengertian di atas, nampaknya makna naqd telah memiliki

    kejelasan terutama penggunaan pada umumnya, yaitu mencakup setiap pengungkapan

    sesuatu dan memeriksanya atau menentukan yang baik dan yang rusak dan

    seterusnya. Para ulama telah memberikan suatu definisi bagi ilmu naqd al-hadits

    sebagai penilaian terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mencatat (tajrih) atau

    memujinya (ta'dil) melalui lafadz-lafadz tertentu yang mengandung kaedah atau

    ketentuan-ketentuan yang dapat dipahami dan dimengerti oleh ahlinya dalam rangka

    memberikan pertimbangan untuk men-shahih-kan, meng-hasan-kan ataupun men-

    dla'if-kan suatu hadits.

    22

  • Upaya menilai hadits kemudian disebut dengan istilah kritik hadits yang

    mencakup kritik sanad (naqd al-sanad) dan kritik matam (naqd al-matan). Kritik

    sanad sering diistilahkan dengan kritik rijal (naqd al-rijal) atau dalam ilmu sejarah

    disebut dengan kritik ekstern (naqd al-khariji), sementara kritik matan sering disebut

    pula dengan kritik materi (naqd al-nashi) atau kritik intern ((naqd al-dakhili).

    1. sejarah tumbuhnya kritik rijal hadits

    secara garis besar perjalanan kritik hadits timbuh melalui tahapan-tahapan

    yang paling sedehana hingga mencapai tahapan sempurna sebagai bagian dari ilmu

    pemahaman hadits (fiqh al-hadits) antara lain :

    1. Tahap pelacakan akan kepastian suatun khabar (hadits), hal mana proses kritis

    ini terjadi pada masa Rasulullah dalam bentuk mempertanyakan suatu khabar

    yang mereka peroleh kepada Rasulullah atau kepada mereka yang secara

    langsung mendengar berita tersebut dari Rasulullah .

    2. Tahap kehati-hatian para sahabat dalam menerima serta menyampaikan suatu

    hadits. Upaya ini dilakukan untuk mengkritisi hadits yang mereka terima dari

    seorang sahabat dan untuk dapat diakui sebagai berita yang datang dari

    Rasulullah, harusnya disertai saksi lainnya.disamping mereka sangat berhati-hati

    dalam menyapaikan suatu riwayat; meminimalisasi periwayatan; menyampaikan

    kepada muidnya secara proporsional dengan menjaga netralitas pemikiran juga

    mengoreksi makna matan dan mempertanyakan keberadaan daya hafal rijal (sejak

    ini pula dapat dinyatakan sebagai embrio munculnya kritik rijal al-hadits).

    23

  • 3. Tahap koreksi makna hadits, hal mana sikap kritis ini sejak masa sahabat.

    Khususnya 'Aisyah yang dianggap paling banyak melakukan kritik model ini pada

    masanya, sebagaiman catatan yang dihimpun Badr al-Din al-Zakasi dalam

    kitabnya al-Ijabah li iradah ma istadrakathu 'Aisyah 'ala al-Shahabah

    4. Tahap kritik rawi dari sisi dhabith serta pemeliharaan rawi terhadap

    kompleksitas matan, dalam hal ini mencakup kritik terhadap rawi kaitannya

    dengan keadilan dan ke-dhabit-annya, sehingga diperoleh kejelasan seorang rawi

    itu dhabith, 'Adil, wahm, dhai'f dan sebagainya.

    5. Tahap penelitian sifat keadilan seorang rawi, hal ini mencul bersama

    timbulnya intrik politik di saat terbunuhnya 'Utsman. Akibat intrik politik yang

    memasuki areal pengajaran agama inilah menjadikan netralitas seorang rawi

    hadits diragukan, disebabkan dengan semakin menonjolnya sektarianisme pada

    masa itu. Pada tahap ini kritik rijal mulai menyusun kaedah jeadilan seorang rawi.

    6. tahap pelacakan jalur sanad, upaya kritik melalui pelacakan jalur sanad ini

    timbul sebagai akibat meraknya kebohongan, di samping rasa keingintahuan

    dalam melacakjalur periwayatan setelah sekian lama tersebar luas ke berbagai

    wilayah serta dari masa sahabat hingga generasi abad ke-3 H. menjadikan jalur

    sanad hadits sebagai sesuatu yang harus dalam suatu hidits, tanpanya suatu hadits

    tertolak secara tegas. Pada tahap ini kritik rijal memperoleh obyek yang semakin

    jelas dengan disyaratkannya sanad hadits bagi setiap hadits.

    7. Tahap pembentukan ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil. Ilmu ini merupakan kaedah

    khusus bagi ulama dalam melakukan kritik terhadap para rawi. Ilmu ini mencapai

    24

  • kesempurnaan-nya pada pertengahan abad II H. yaitu dengan munculnya

    kelompok pemula dari kalangan kritikus hadits masa Atba' al-Tabi'in seperti

    Imam Malik bin Anas, Syu'bah bin al-Hajjaj, Sufyan al-Tsauri dan lainnya. Pada

    tahap ini kritik rijal semakin jelas sebagai ilmu tersendiri dalam wacana ilmu

    hadits dengan adanya metode serta kaedah yang dibakukan dalam rangka

    mengkritisi seorang rawi.

    8. Tahap berikutnya adalah pembahasan tentang kecacatan sutau hadits (ilmu

    'ilal al-hadits), di mana ilmu ini saat itu merupakan salah satu cabang ilmu kritik

    hadits sebagai sisi lain dari ilmu al-jarh wa al-ta'dil. Ilmu ini ('ilal al-hadits) dalam

    penerapannya bisa pada sanad juga pada matan hadits. Seperti pada sanad hadits,

    kecacatan rawi akan memunculkan hadits-hadits munkar, maqlub dan sebagainya,

    sementara pada matan memunculkan hadits mudhtharib, mudraj dan sebaginya.

    9. Tahap terbaru dari kritik makna hadits, yaitu menolak adanya pertentangan dua

    matan hadits serta memberikan jalan keluar dengan membuang kemusykilan di

    dalamnya. Tahap ini mencakup beberapa pembahasan ilmu di antaranya 'ilmu

    Mukhtalif al-Hadits, 'ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh, 'ilmu Asbab al-Wurud al-

    Hadits dan sebagainya.

    10 Tahap kritik kebahasaan hadits yang di dalamnya memuat penafsiran terhadap

    kejanggalan (gharib) pada matan hadits, di sampaing itu meluruskan beberapa

    pergeseran huruf ataupun harakat pada teks yang menyebabkan kejanggalan pada

    makna atau al-Tashhif.

    25

  • 11. Sebagai tahap terakhir kritik hadits adalah penjelasan ataupun perincian terhadap

    pemahaman suatu hadits secara keseluruhan khususnya yang terkait dengan

    subtansi suatu hadits yang dikenal dengan fiqh al-hadits.

    Adapun perawi yang tidak dikenal (al-Majhul) menurut ahli hadits minimal

    untuk menghilangkan jahalah (tidak dikenal seorang perawi) adalah adanya dua

    orang yang meriwayatkan dari perawi yang bersangkutan, atau lebih. Dengan hal ini

    maka hilanglah sebutan jahalah terhadap dirinya dan tetaplah sifat adilnya.

    Bagi perawi yang Mastur (tidak dikenal Jal-ihkwalnya), menurut mayoritas

    ulama tidak bisa dinilai secara tegas diterima atau ditolak riwayatnya, tetapi harus

    ditangguhkan sampai keadaanya menjadi jelas. Bila seorang perawi adil

    meriwayatkan dari seorang perawi lain tanpa menyabutkan namanya, maka

    periwayatannya itu tidak merupakan pentadilan. Namun bila perawi adil

    menyertakan penilaian adil, misanya dengan mengatakan : Telah meriwayatkan

    kepadaku orang yang saya percayai atau orang Thiqat ataupun orang yang saya

    ridhai, makaterdapat dua pendapat di kalangan ulama:

    Pertama, penilaian tsiqat seperti itu belum cukup, tanpa menyebutkan nama.

    Karena bisa jadi, perawi yang bersangkutan tsiqat menurutnya, tetapi tidak tsiqat

    menurut yang lain seandainya ia menyebut nama perawi itu. Bisa jadi pula, ia

    termasuk orang yang sendiri dalam menilai tsiqat, sementara yang lain memberikan

    jarh terhadap perawi yang bersangkutan. Sehingga penyebutan nama secara jelas akan

    menghilangkan keraguan dan praduga semacam itu.

    26

  • Kedua, pentadilannya diterima secara mutlak, sama halnya ketika ia

    menyebutkan nama perawi secara tegas dan menilai tsiqat perawi yang dikritiknya,

    dan ketika menilainya tsiqat dan menyembunyikan namanya.

    Menurut penulis yang benar adalah yang pertama dan dipegang oleh mayoritas

    ulama hadits.

    Begitu pula mengenai periwayatan perawi yang bidah, terdapat beberapa

    pendapat sebagai berikut:

    1. Bila ia menghalahkan dusta untuk membela bidahnya, maka haditsnya

    tidak bisa diterima dan tidak boleh diambil riwayat darinya

    2. Bila ia tidak menghalalkan kedustaan dalam membela ailrannya, maka ada

    yang mengatakan riwayatnya bisa diterima, baik ia mendakwahkan

    bidahnya (mempropagandakannya) ataupun tidak. Ada yang mengatakan,

    bila ia tidak mendakwakannya bidahnya, maka riwayatnya bisa diterima.

    Tetapi bia ia mempropagandakan bidahnya, maka riwayatnya tidak bisa

    diterima. Adapun yang terakhir ini merupakan pendapat mayoritas ahli

    hadits.

    Sedangkan bila seorang perawi yang terkena jarh karena kefasikannya telah

    bertaubat dan perilakunya telah kembali baik, serta sifat adilnya diketahui setelah

    taubatnya itu, maka setelah itu khabar-khabarnya bisa diterima. Ini bersifat umum

    untuk setiap bentuk kemaksiatan kecuali sengaja berdusta atas suatu hadits Nabi

    SAW. yang terakhir ini tetap tidak bisa diterima. Yakni khabar dari orang yang

    27

  • mendustkan hadits-hadits Rasul SAW. tidak bisa diterima, meskipun ia telah

    bertaubat dan perilakunya kembali baik setelah itu.

    Barang siapa yang menekuni bidang ini harus memenui kreteria alim,

    bertakwa, wiraI, jujur, tidak terkena jarh, tidak fanatik terhadap sebagian perawi dan

    mengerti betul sebab-sebab jarh dan adl. Sedangkan yang tidak memenuhi syarat-

    syarat itu, maka kritiknya terhadap perawi tidak bisa diterima.

    2. Kritikus Rijal al-Hadits

    Pertumbuhan ilmu kritik hadits di atas telah memunculkan beberpa tokoh

    yang mengkhususkan diri di bidang kritik hadits ini, hal ini terjadi kira-kira di

    mulai sejak pertengahan abad ke 2 H. dan terus berkembang hingga saat ini.

    Dapatlah dikelompokkan para tokoh kritikus hadits ini kepada kelompk zaman

    dan wilayah, anatara lain:

    1. Pada tingkatan sahabat, orang yang dianggap banyak membicarakan rijal al

    hadits ini berdasarkan tahun wafatnya adalah 'Umar bin al-khathab (23), 'Ubadah

    bin al-Shamit (34), 'Ali bin Abi Thalib (40), 'Abd Allah bin Salam (43), 'Aisyah

    ummu al-Mu'minin (58), 'Abd Allah bin 'Abbas (68), 'Abd Allah bin 'Umar (73)

    dan Anas bin Malik (93).

    2. Pada tingkat Tabi'in, kritikus hadits yang ada pada masa ini adalah al-Hasan al-

    Bishri (110), Thawus (106), Ayyub al-Sukhtiyani (131), 'Abd Allah bin 'Aun

    (151), Sulaiaman al-Taimi (143) dan lainnya.

    3. Pada tingkatan Atba' al-Tabi'in, kritikus hadits yang masyhur masa ini cukup

    banyak hingga menjadi 26 Thabaqat antara lain:

    28

  • a. Thabaqat pertama: Di Hijaz terdapat Malik bin Anas (179) dan Sufyan bin

    'Uyainah (198); sementara si Iraq terdapat Sufyan al-Tsauri (161), Syu'bah bin

    al-Hajjaj (161), Hammad bin Zaid (179), Hammad bin salamah (176);

    sedangkan di Syam kita kenal al-Auza'I (157) dan di Mesir terdapat al-Laits

    bin Sa'id (175) serta banyak lagi lainnya. Sehingga menurut al-Dzahabi

    diperkirakan mencapai 31 kritikus .

    b. Thabaqat kedua: Di Iraq ada Yahya al-Qathan (198), Waki' bin al-Jarrah

    (197), 'abd al-rahman bin Mahdi (198); sementara di Khurasan terdapat 'Abd

    Allah bin Mubarak (181); di Syam terdapat Abu Ishaq al-Farazi (186) dan

    Abu Mashar 'Abd al-A'la (218); di Mekah terdapat al-Syafi'I (204); dan

    banyak lagi lainnya yang diperkirakan oleh al-Dzahabi mencapai 58 tokoh

    kritikus.

    c. Thabaqat ketiga: Di Iraq terdapat Yahya bin Masir (23), Ahmad bin Hanbal

    (241), 'Ali bin al-Madini (234) dan Muhammad bin 'Abd Allah bin Numair

    (234), Abu Bakr bin al-Syaibah (235), Ishaq bin Rahawiyah (238), 'Abd Allah

    bin 'Umar al-Qawariri (235) serta Abu Haitsumah (234).

    d. Thabaqat keempat: Di Khurasan terdapat Abu Hatim (277), Abu Zurah (264),

    Bukhari (256), Muslim (261), al-Darimi (255).

    e. Thabaqat kelima; Al-Turmudzi (279), Abu Bakr bin al-Bazzar (292) dan di

    Basrah ada 'Abd al-Rahman bin Yusuf (283),

    f. Thabaqat keenam: Di Khurasan dan sekitarnya ada al-Nasa'i (304), Ibn

    Huzaimah (311), al-'Uqaili (322), Abu Ja'far al-Thabari (310).

    29

  • g. Thabaqat ketujuh: Abu Ja'far al-Thahawi (321), 'Abd al-Rahman bin Abi

    Hatim (327) dan Ibn 'Uqdah (332)

    h. Thabaqat kedelapan: Ibn Hibban (Abu Hatin al-Busti) (332), Abu 'Addi

    (365), Thabrani (360), al-Hasan al-Ramahurmuzi (360).

    i. Thabaqat kesembilan: Al-Husain al-Masarjusi al-Naisaburi (365), Abu

    Ahmad al-Hakim al-Kabir (378), Abu Bakr al-Isma'ili al-Jurjani (371), Abu

    al-Hasan al-Daruquthni (385), al-Hasan al-Askari (382), Abu Sulaiman al-

    Khithabi (388).

    j. Thabaqat kesepuluh: Abu 'Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (404), Ibn

    Manduh (395) dan 'Abd al-Rahman bin Fathis (402)

    k. Thabaqat kesebelas: 'Abd al-Ghani al-Azadi al-Mishri (murid al-Daruquthni)

    (409), Abu Bakr al-Barqani (425), Ahmad al-Kalabadzi (398) dan Abu

    Mas'ud al-Dimasyqi (401).

    l. Thabaqat keduabelas: Ibn al-Furadli al-Qurtubi (403), Abu al-Hasan al-Qabisi

    (403).

    m. Thabaqat ketiga belas:Masa ini disebut pula sebagai masa kritikus pasca

    tadwin kutub al-Hadits yang induk yaitu ummahat kutub al-Hadits, di antara

    tokoh pada masa ini adalah Ahmad al-Baihaqi (458), Ibn 'Abd al-Barr al-

    Andalusi (463), Ibn Hazm penyusun al-Ahkam fi Ushul al-Ahkan, Abu al-

    Walid al-Baji (474).

    n. Thabaqat keempat belas: Abu 'Ali al-Jayani al-Andalusi (298), Ibn Makula

    (475).

    30

  • o. Thabaqat kelima belas: Al-Humaidi al-Andalusi (488)

    p. Thabaqat keenam belas: al-Qadhi 'Iyadh al-Yahshabi al-Sabuti (544) dan Abu

    al-Qasim Ibn 'Asakir seorang muhaddits dari Syam (571)

    q. Thabaqat ketujuh belas: Ibn Basykuwal al-Andalusi (578), Abu al-Qasim al-

    Suhaili al-Andalusi (581), Abu al-Faraj bin al-Jauzi dari Iraq (597), Abu Bakr

    al-Hazimi al-Hamdani (584).

    r. Thabaqat keelapan belas: Abu Bakr bin 'Abd Allah bin al-Hasan al-Maliqi

    (611), Majd al-Din al-Mubarak bin al-Atsir (606).

    s. Thabaqat kesembilan belas: Ibn al-Qatthan al-Kattami al-Fasi (628), 'Izz al-

    Din 'Ali bin al-Atsir al-Jazari.

    t. Thabaqat keduapiluh: 'Abd al-Adhim al-Mundziri al-Syami al-Mishri (656),

    Ibn al-Shalah Taqi al-Din Abu 'Amr 'Utsman al-Syahrazi (643)

    u. Thabaqat keduapuluh satu: Yahya al-Nawawi (677), Ibn Daqiq al-'Aid Taqi

    al-Din (Abu al-Fath) (702)

    v. Thabaqat keduapuluh dua: Yusuf al- Mizi (742), al-Dzahabi Syams al-Din bin

    Muhammad bin Ahmad al-Turkimani (748), Ahmad bin Taimiyah (728)

    w. Thabaqat keduapuluh tiga: Ibn Katsir al-Dimasyiqi (774)

    x. Thabaqat keduapuluh empat: Zain al-Din al-'Iraqi al-Kurdi al-Mishri (806),

    Abu Zur'ah (826)

    y. Thabaqat keudapuluh lima: Ibn Hajar al-'Asqalani (852)

    z. Thabaqat keduapuluh enam: Symas al-Din al-Sakhawi salah seorang murud

    Ibn hajar (902), Jalal al-Din al-Suyuthi (911).

    31

  • 4. Masa Mutaakhkhirin hingga masa-masa berikutnya menunjukkan adanya ilmu al-

    jarh wa al-Ta'dil yang final. Hak ini disebabkan karena telah terhentinya

    perkembangan ilmu pada sekitar akhir abad ke 3 H. Sekaligus telah dibukukannya

    kritikan mereka terhadap rijal al-Hadits pada kitab-kitan rijal-al-Hadits berikut

    tarjih dan ta'dil yang terdapat rijal al-Hadits didalamnya.

    32