Upload
ihsan-rasyid-yuldi
View
222
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Depresi dan Kanker
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi menurut WHO adalah gangguan mental yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu,
perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan
penurunan konsentrasi. Sedangkan Kaplan (2010) mendefinisikan depresi
sebagai suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, rasa putus asa dan tidak
berdaya serta bunuh diri.
2.1.2 Etiologi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab depresi dapat
dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial (Kaplan,
2010). Ketiga faktor tersebut juga dapat saling memengaruhi satu dengan
yang lainnya.
a. Faktor Biologi
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Suatu penelitian ilmiah melaporkan hubungan antara turunnya
regulasi reseptor B-adrenergik dengan respon antidepresan. Laporan
penelitian tersebut mengindikasikan peran sistem noradrenergik dalam
depresi. Data lainnya menunjukkan bahwa serotonin terlibat di dalam
patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan
depresi dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki
konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam cairan
serebrospinal.
Beberapa disregulasi neuroendokrin dilaporkan pada pasien
dengan gangguan depresi. Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud
6
7
adalah aksis adrenal, aksis tiroid, dan hormon pertumbuhan. Penelitian
tentang hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa sekitar 50% pasien yang
mengalami depresi mengalami hipersekresi hormon kortisol.
Gangguan hormon tiroid juga sering ditemukan pada sekitar 5-10%
orang dengan depresi. Beberapa studi menunjukkan adanya perbedaan
statistik antara pasien depresi dan pasien lain dalam regulasi pelepasan
hormon pertumbuhan. Pasien depresi mengalami penurunan respon
terhadap stimulasi hormon pertumbuhan.
b. Faktor Genetik
Suatu penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik juga terlibat
pada kejadian depresi. Angka keselarasan depresi berat sekitar 10-
25% pada kembar dizigot dan 50% pada kembar monozigot. Pengaruh
genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya
disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menghadapi stres.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh
ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori
menjelaskan bahwa stres yang menyertai episode pertama depresi
akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmiter dan sistem
pemberian sinyal intraneuron. Perubahan tersebut bahkan dapat
mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak sinaps yang
berlebihan. Akibatnya, seseorang memiliki risiko tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya.
Freud menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan
melankoli. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu
mekanisme pertahanan untuk menghadapi penderitaan akibat
kehilangan suatu objek yang berharga. Pasien depresi mengarahkan
kemarahan kepada dirinya sendiri akibat kehilangan objek yang
dicintainya.
8
Faktor ketidakberdayaan yang ditunjukkan dalam hewan
percobaan, dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan
kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya. Binatang tersebut
akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari
kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya.
Pada penderita depresi, dapat ditemukan hal yang sama dari keadaan
ketidakberdayaan tersebut.
Pada teori kognitif, Beck menunjukkan perhatian gangguan
kognitif pada depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama
pada depresi yang disebut sebagai trias kognitif, yaitu pandangan
negatif terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri,
individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak
berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.
2.1.3 Gejala dan Tanda
a. Gejala utama depresi:
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah.
b. Gejala lainnya:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang.
9
2.1.4 Diagnosis
Maslim (2013) dalam bukunya PPDGJ III membagi kriteria diagnosis
depresi sebagai berikut:
a. Episode Depresif Ringan
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti tersebut di atas
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh
episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya
b. Episode Depresif Sedang
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya
(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu
(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga
c. Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi
berat masih dapat dibenarkan.
(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf
yang sangat terbatas.
10
d. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria pedoman diagnostik
depresi berat tanpa gejala psikotik tersebut di atas, disertai waham,
halusinasi atau stupor depresi.
Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas
hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang
berat dapat menuju pada stupor.
e. Episode Depresif Lainnya
f. Episode Depresif YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
2.1.5 Penatalaksanaan
Terapi pasien depresi harus memenuhi tiga hal. Pertama, terapi yang
diberikan harus aman dan tidak membahayakan pasien. Kedua, evaluasi
diagnostik lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, rencana terapi
ditujukan tidak hanya untuk meredakan gejala pada saat itu tetapi juga harus
mempertimbangkan kesejahteraan pasien di masa mendatang (Kaplan,
2010).
a. Rawat Inap
Seorang dokter harus dapat menentukan apakah pasien depresi
harus dirawat di rumah sakit atau sebaiknya dicoba terapi rawat jalan.
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur
diagnosis, risiko bunuh diri atau membunuh, dan kemampuan pasien
yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan dan tempat
tinggal.
b. Terapi Psikososial
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi
interpersonal, dan terapi perilaku telah dipelajari untuk ditentukan
efektivitasnya dalan terapi gangguan depresif berat. Walaupun
efektivitas ketiga terapi ini dalam mengobati gangguan depresif berat
11
belum diteliti dengan baik, psikoterapi berorientasi psikoanalitik telah
lama digunakan untuk gangguan depresif. Hal yang membedakan
ketiga metode berorientasi psikoanalitis adalah peran aktif dan
langsung terapis, tujuan yang langsung dikenali, dan titik akhir terapi
jangka pendek.
- Terapi Kognitif
Terapi kognitif dikembangkan oleh Aaron Beck. Tujuan
terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan
menguji kognisi negatif; mengembangkan cara berpikir alternatif,
fleksibel, dan positif; serta melatih respons perilaku dan kognitif
yang baru.
- Terapi Interpersonal
Terapi interpersonal yang dikembangkan oleh Gerald
Klerman memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal
pasien. Ada dua asumsi yang ditetapkan dalam terapi ini. Pertama,
masalah interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada
hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah
interpersonal saat ini cenferung terlibat di dalam mencetuskan
gejala depresif saat ini.
- Terapi Perilaku
Pola perilaku maladaptif mengakibatkan seseorang menerima
sedikit feedback positif dan mungkin sekaligus penolakan dari
masyarakat. Dengan memusatkan perhatian pada perilaku
maladaptif di dalam terapi, pasien belajar berfungsi di dalam dunia
sehingga mereka memperoleh dorongan positif.
- Terapi Berorientasi Psikoanalitik
Tujuan terapi psikoanalitik bukan hanya untuk meredakan
gejala, tetapi memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadian seseorang, memperbaiki kepercayaan
interpersonal, dan mekanisme koping.
12
c. Farmakoterapi
SSRI adalah obat antidepresan yang paling luas digunakan di
Amerika Serikat. Obat ini adalah agen pilihan pada orang yang
memiliki penyakit medis karena efektif, mudah digunakan, efek
sampingnya relatif lebih sedikit bahkan pada penggunaan dosis tinggi.
Golongan SSRI diantaranya fluoxetine, sertraline, paroxetine,
escitalopram, dan citalopram telah banyak digunakan oleh psikiater.
Semua agen ini lebih aman daripada obat trisiklik dan tetrasiklik serta
MAOI, selain itu masing-masing obat ini juga terlihat sama efektif
terhadap depresi pada percobaan klinis. Obat trisiklik dan tetrasiklik
dapat menimbulkan sedasi dan dapat bersifat adiktif, contohnya
Alprazolam. MAOI membutuhkan restriksi diet. Obat-obat ini jarang
digunakan karena efek sampingnya yang merugikan.
2.2 Kanker Payudara
2.2.1 Definisi
Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian
dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak
normal, cepat dan tidak terkendali. Beberapa tipe sel kanker membentuk
gumpalan atau massa yang disebut tumor, dan jenis tumor diberi nama
sesuai dengan asal jaringan tumor tersebut berasal. Kanker payudara adalah
tumor ganas yang berasal dari jaringan payudara yang dibentuk oleh
glandula yang memproduksi air susu (lobulus) dan dialirkan ke puting
(nipple) melalui duktus. Struktur lain di sekitarnya yang terlibat adalah
jaringan lemak, connective tissue, pembuluh darah, dan saluran beserta
kelenjar limfatik (Suyatno, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
Kanker Payudara adalah kanker yang paling banyak diderita oleh
wanita. Jumlah kasus baru diperkirakan sebesar 1.050.346 kasus per tahun.
Dari jumlah itu, 580.000 kasus terjadi di negara maju, sisanya di negara
berkembang. International Agency for Research on Cancer memperkirakan
13
pada tahun 2020 akan ada 1,15 juta kasus baru kanker payudara dengan
41.000 kematian. Sebanyak 70% kasus baru dan 55% kematian diprediksi
terjadi di negara berkembang (Rasjidi, 2010).
Di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker dengan insiden
tertinggi. Sebagian besar keganasan kanker payudara terdiagnosis pada
stadium lanjut. Jumlah kanker payudara di Indonesia didapatkan kurang
lebih 23.140 kasus baru setiap tahun. Muchlis Ramli dkk pada penelitiannya
di RSCM mendapatkan stadium IIIA dan IIIB sebanyak 43,4%, stadium IV
sebanyak 14,3%. Hasil tersebut berbeda dengan di negara maju dimana
kanker payudara ditemukan lebih banyak pada stadium dini. Ini mungkin
karena kurangnya informasi, letak geografis, pendidikan, banyaknya iklan
yang menerangkan tentang pengobatan alternatif, kurangnya alat diagnostik
seperti mamografi, USG dan kurangnya keterampilan tenaga medis dalam
mendiagnosis keganasan payudara (Suyatno, 2014).
2.2.3 Faktor Risiko
Gaol (2014) menjelaskan beberapa faktor risiko kanker payudara yaitu:
1. Usia menarche.
Tiap jeda satu tahun dalam usia menarche berkorelasi dengan
penurunan risiko kanker payudara sebanyak 5-10%. Usia menarche dini
terkait dengan paparan hormon endogen yang lebih lama. Selain itu, pada
individu tersebut, kadar estrogen relatif lebih tinggi sepanjang usia
produktif.
2. Paritas.
Perempuan yang pernah melahirkan memiliki risiko lebih rendah
dibanding yang tidak. Awalnya risiko meningkat setelah kehamilan
pertama, lalu berkurang selama 10 tahun, dan efek protektifnya akan
terus berjalan. Peningkatan risiko yang sifatnya sementara itu diduga
terjadi karena peningkatan kadar hormon dan proliferasi sel epitel
payudara secara cepat, sementara efek protektif jangka panjang terkait
diferensiasi sel-sel epitel, yang cenderung kurang sensitif terhadap
14
karsinogen. Persalinan berikutnya semakin menurunkan risiko kanker
payudara.
3. Usia pada kehamilan aterm pertama.
Pasien yang kehamilan aterm pertamanya berusia lebih dari 35
tahun memiliki risiko 40-60% lebih tinggi.
4. Menyusui.
Menyusui dalam rentang waktu yang lama mengurangi risiko
kanker payudara. Risiko relatifnya berkurang 4,3% untuk setiap 12 bulan
menyusui.
5. Usia menopause.
Insiden kanker payudara berkurang pada masa menopause, dan
perempuan dengan usia menopause lebih tua terkait dengan risiko kanker
yang lebih tinggi.
6. Hormon eksogen.
Secara umum, terdapat hubungan positif, meskipun lemah, antara
penggunaan kontrasepsi oral dan risiko terjadinya karsinoma payudara.
Sementara, penggunaan hormon-hormon untuk perempuan pasca
menopause juga banyak diteliti. Ditemukan bahwa perempuan yang
menggunakan hormon pasca menopause memiliki peningkatan risiko
kanker payudara, dengan hubungan dosis-respons berdasarkan durasi
penggunaan. Efek dari hormon tersebut tampaknya lebih kuat pada
perempuan kurus dibanding perempuan obes. Kombinasi estrogen-
progestin memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding estrogen saja.
7. Berat badan atau indeks massa tubuh.
Berat badan yang berlebih diduga menjadi faktor risiko. Hipotesis
saat ini adalah peningkatan produksi estrogen endogen hasil konversi dari
androgen oleh enzim aromatase pada lemak-lemak adiposa.
8. Gaya hidup dan pola makan.
Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan adalah alkohol,
rokok, aktivitas fisik, dan konsumsi fitoestrogen
15
2.2.4 Klasifikasi
Tabel 1. Grading Kanker Payudara menurut American Joint Committee on Cancer, edisi ke-7
Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tis (DCIS) Karsinoma in situ duktal
Tis (LCIS) Karsinoma in situ lobular
Tis (Paget) Penyakit Paget yang tidak terkait karsinoma invasif dan/atau karsinoma in situ
T1 Tumor ≤ 20 mm
T1mi Tumor ≤ 1 mm
T1a 1 mm < tumor ≤ 5 mm
T1b 5 mm < tumor ≤ 10 mm
T1c 10 mm < tumor ≤ 20 mm
T2 20 mm < tumor ≤ 50 mm
T3 Tumor > 50 mm
T4 Tumor ukuran berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada
T4a Ekstensi ke dinding dada, tidak termasuk otot pektoralis
T4b Ulserasi dan/atau nodul satelit ipsilateral dan/atau edema (termasuk peau d’orange), yang tidak memenuhi kriteria karsinoma inflamasi
T4c Baik T4a dan T4b
T4d Karsinoma inflamasi
Nodus limfe regional (N)
Nx Kelenjar limfe regional tidak dapat ditentukan
N0 Tidak terdapat metastasis kelenjar limfe regional
N1 Teraba pembesaran kelenjar limfe aksila kadar I, II ipsilateral yang dapat digerakkan
N2 Metastasis kelenjar limfe regional kadar I, II ipsilateral yang terfiksasi
N2a Metastasis kelenjar limfe regional kadar I, II ipsilateral yang terfiksasi satu sama lain
N2b Metastasis pada kelenjar mamaria interna ipsilateral yang dapat dideteksi tanpa adanya metastasis kelenjar limfe aksila kadar I, II
16
secara klinis
N3a Metastasis kelenjar limfe infraklavikula ipsilateral
N3b Metastasis kelenjar limfe mamaria interna dan aksila ipsilateral
N3c Metastasis kelenjar limfe supraklavikula
Metastasis (M)
M0 Tidak terdapat bukti metastasis jauh
M1 Metastasis jauh yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiografi dan/atau secra histologis terbukti > 0,2 mm
(Gaol, 2014)
Tabel 2. Penentuan Stadium Kanker Payudara menurut American Joint Committee on Cancer, edisi ke-7
Stadium T N MAngka
harapan hidup dalam 5 tahun
Stadium 0 Tis N0 M0 100%
Stadium IA
Stadium IB
T1
T0
T1
N0
N1mi
N1mi
M0
M0
M0
100%
Stadium IIA
Stadium IIB
T0
T1
T2
T2
T3
N1
N1
N0
N1
N0
M0
M0
M0
M0
M0
92%
81%
Stadium IIIA
Stadium IIIB
T0
T1
T2
T3
T3
T4
T4
T4
N2
N2
N2
N1
N2
N0
N1
N2
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
67%
54%
Stadium IIIC T apapun N3 M0
Stadium IV T apapun N apapun M1 20%
(Gaol, 2014)
17
2.2.5 Penatalaksanaan
Suyatno (2014) menjelaskan penatalaksanaan kanker payudara sesuai
dengan stadium klinis, yaitu:
1. Kanker payudara stadium 0 (Tis/T0, N0M0)
Terapi definitif pada T0 bergantung pada pemeriksaan histopatologi.
Lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan radiologik.
2. Kanker payudara stadium dini / operabel (stadium I dan II, tumor ≤ 3 cm)
• Mastektomi
• Breast Conserving Therapy (harus memenuhi persyaratan tertentu)
• Kemoterapi adjuvant
• Radioterapi
3. Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut)
A. Operabel (IIIA)
• Mastektomi simpel + radiasi dengan kemoterapi adjuvant
dengan/tanpa hormonal, dengan/tanpa terapi target
• Mastektomi radikal modifikasi + radiasi dengan kemoterapi
adjuvant, dengan/tanpa hormonal, dengan/ tanpa terapi target
• Kemoradiasi preoperasi dilanjutkan dengan atau tanpa BCT
atau mastektomi simple, dengan/tanpa hormonal,
dengan/tanpa terapi target
B. Inoperabel (IIIB)
• Radiasi preoperasi dengan/tanpa operasi + kemoterapi +
hormonal terapi
• Kemoterapi preoperasi/neoadjuvan dengan/tanpa operasi +
kemoterapi + radiasi + terapi hormonal + dengan/tanpa terapi
target
• Kemoradiasi preoperasi dengan/tanpa operasi dengan/ tanpa
radiasi adjuvan dengan/ kemoterapi + dengan/ tanpa terapi
target
18
Radiasi eksterna pasca mastektomi diberikan dengan dosis awal 50 Gy.
Kemudian diberi booster; pada tumor bed 10-20 Gy dan kelenjar 10 Gy.
4. Kanker payudara stadium lanjut
Prinsip:
• Sifat terapi paliatif
• Terapi sistemik merupakan terapi primer (kemoterapi dan terapi
hormonal)
• Terapi lokoregional (radiasi & bedah) apabila diperlukan
2.3 Depresi dan Kanker Payudara
Penyakit kronis seperti kanker sering menimbulkan gangguan
psikiatrik. Gangguan psikiatrik tersebut di antaranya adalah depresi dan
ansietas. Prevalensi depresi pada pasien kanker cukup besar dan dapat
dipengaruhi oleh jenis kanker. Khamecian et al (2013) melakukan penelitian
tentang prevalensi depresi pada 249 pasien dengan jenis kanker berbeda.
Hasil penelitiannya menunjukkan prevalensi kejadian depresi pada penderita
kanker adalah 78,3%. Kanker gastrointestinal, kanker payudara, dan kanker
paru dilaporkan menempati 3 urutan teratas penyebab depresi pada pasien
kanker.
Kanker payudara yang insidennya tertinggi pada wanita telah banyak
diteliti hubungannya dengan kejadian depresi. Carvalho et al (2015) pada
penelitiannya mengenai prevalensi depresi berat pada 51 wanita penderita
kanker payudara di Brazil menemukan bahwa 3 orang menderita depresi
berat dan 21 orang menderita depresi sedang. Pada studi lainnya, prevalensi
depresi pada wanita penderita kanker payudara sebesar 1,5%-50% (Bower,
2008). Satu dari dua pasien kanker dilaporkan mengalami gangguan
psikiatrik, khususnya depresi (Akechi et al, 2004). Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kanker payudara merupakan salah satu penyebab
terjadinya depresi pada wanita.
19
Gejala depresi paling sering muncul pada 6 bulan pertama setelah
terdiagnosis kanker payudara (Bower, 2008). Gejala depresi seperti
perasaan sedih, hilangnya motivasi, dan penurunan berat badan sering
dianggap normal sebagai efek dari terapi kanker. Gejala depresi tersebut
dapat disebabkan oleh reaksi penolakan dari dalam diri pasien. Pasien belum
bisa menerima kondisi yang dialaminya saat terdiagnosis kanker.
Tingkat keparahan penyakit sesuai stadium klinis memberikan
tekanan psikologis pada pasien kanker payudara. Stadium klinis kanker
berhubungan dengan angka harapan hidup (5 year survival rate). Semakin
tinggi stadium kanker, semakin rendah angka harapan hidup pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Vodermaier et al (2011) menunjukkan
adanya bukti metastasis berhubungan dengan timbulnya gejala depresi pada
pasien kanker stadium lanjut. Tekanan psikologis tersebut dapat
menimbulkan gejala depresi seperti penurunan berat badan, fatigue, dan
yang paling parah adalah inisiasi untuk untuk bunuh diri.
Beberapa jenis pengobatan pada kanker juga dapat menimbulkan
gangguan fisik dan psikologi. Mastektomi akan menimbulkan pandangan
negatif pasien terhadap keutuhan tubuhnya sebagai wanita (Christie et al,
2010) dan juga menurunkan kepercayaan diri pasien (Frazzetto et al, 2012).
Kemoterapi, sebagai bentuk terapi kanker yang paling sering diberikan
memiliki beberapa efek samping, yaitu mual, muntah, kurang nafsu makan,
kerontokan rambut, fatigue, dan diare (Jacobsen, 1991). Fatigue dapat
mempengaruhi irama sirkadian dalam tubuh individu sehingga dapat
menimbulkan simtom-simtom, seperti gangguan tidur, sulit berkonsentrasi,
iritabilitas, sakit kepala, dan kehilangan selera makan (Roscoe et al, 2002).
Kemoterapi dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif seperti penurunan
daya ingat, gangguan bahasa, gangguan fungsi spasial dan motorik (Bower,
2008). Pasien yang telah menjalani kemoterapi selama satu tahun juga
dilaporkan memiliki area prefrontal, parahippocampus, cingulata, dan
precuneus yang volumenya lebih kecil dibandingkan dengan orang normal
(Inagaki et al, 2007).
20
2.4 Kerangka Teori
disregulasi
Gambar 1. Kerangka Teori
Keterangan: (bold): diteliti : tidak diteliti
Ketidakseimbangan- Neurotransmitter: Norepinefrin,
Serotonin, Dopamin- Neuroendokrin: Aksis Adrenal,
Aksis Tiroid
Kanker Payudara
Stadium Terapi tahap awal
Depresi Depresi
Efek samping terapi
Risiko kematian
Penyesuaian , reaksi penolakan