5 Surya Negara Wayang Wong

Embed Size (px)

Citation preview

WAYANG WONG TEJAKULA SEBAGAI SUMBER CERITA DALAM KARYA ANGGADA MADAI Gede Oka Surya Negara

Salah satu dari berjenis-jenis cerita yang di ambil sebagai lakon dalam teater-teater daerah adalah cerita Ramayana. Cerita ini mengisahkan peperangan antara Rama, Raja Ayodya melawan Rahwana, Raja Alengka. Demikian terkenalnya cerita Ramayana ini di Indonesia, sehingga mendorong hati para pujangga dan seniman untuk mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya seni (Bandem, Murgiyanto, 1996 : 34). Bentuk karya seni pertunjukan tradisional Bali yang tetap eksis mengetengahkan epos Ramayana dalam penyajiannya adalah Wayang Wong. Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat dibeberapa daerah di Indonesia. Di Bali, Wayang Wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog Bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita Ramayana (Soedarsono , 2002 : 140). Di Bali ada dua jenis Wayang Wong yaitu Wayang Wong Parwa dan Wayang Wong Ramayana. Perbedaannya terletak terutama pada dua hal yaitu Wayang Wong Parwa mengambil lakon dari wiracarita Mahabharata, sedangkan Wayang Wong Ramayana mengambil lakon dari wiracarita Ramayana. Semua pelaku (pemegang peran) dalam Wayang Wong Parwa (kecuali panakawanpanakawan) tidak memakai tapel, sedangkan Wayang Wong Ramayana sebalik-nya semua memakai tapel. Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud Wayang Wong di Bali adalah Wayang Wong Ramayana tersebut dan Wayang Wong Parwa disebut Parwa saja (Bandem, 1983 : 147). Munculnya drama tari Wayang Wong di Bali diperkirakan pada abad XVI (1460-1550) pada jaman Kerajaan Gelgel (Klungkung), yaitu ketika kehidupan kesenian Bali mengalami puncak kejayaannya pada jaman pemerintahan Dalem Watu Renggong (dalam Budi Artha, 2004: 1).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Guru Gede Putu Tirta menyatakan bahwa sekitar abad XVII XVIII, datang keluarga Sangging, Pande, Sangsi, Jelantik, Arya Wang Bang Pinatih dan Pasek ke Desa Tejakula yang mengawali pembangunan Pura. Kemudian datang pula para seniman yang bernama I Dewa Batan dari Desa Bunutin (Bangli), membawa tari Parwa dan I Gusti Ngurah Made Jelantik dari Desa Blahbatuh (Gianyar) membawa Tari Gambuh. Kedua tokoh inilah yang menciptakan Wayang Wong di Desa Tejakula (wawancara, 2 Februari 2006). Informasi lainnya didapatkan dari Bendesa I Made Mudana, mengatakan bahwa sekitar abad ke - 17 Masehi, penduduk dari berbagai daerah di Bali datang ke Tejakula karena daerah ini subur, sehingga cocok bagi mereka untuk pertanian. Penduduk pendatang yang ingin menetap di Desa Tejakula, diharuskan mengikuti aturan/syarat-syarat yang telah berlaku, seperti diharuskan menanggalkan kasta, wangsa, atau kebangsawanannya (wawancara, 18 Januari 2007). Informasi yang didapatkan ini memang benar adanya, terbukti sampai saat sekarang masyarakat Desa Tejakula tidak memakai kasta/ kebangsawanannya dalam nama-namanya yang tertulis baik secara adat maupun administrasi. Menurut ketua Yayasan Wayang Wong Tejakukus, Bapak I Nyoman Sutaya, pantai Tejakula dahulunya adalah pelabuhan terbesar di Bali, sehingga memberi peluang masuknya para pendatang dari daerah Bangli, Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan Karangasem yang masing-masing membawa budaya daerah, sehingga mampu meningkatkan perekonomian dan kesenian di Desa Tejakula. Salah satu keseniannya adalah berupa Wayang Wong yang merupakan pengembangan dari Gambuh dan Parwa, yaitu kesenian sebelumnya yang tidak lagi berkembang di Tejakula sekitar abad ke -18 (wawancara 17 Januari 2007). Guru Sujana sebagai sesepuh Wayang Wong mengatakan bahwa Wayang Wong ini di masyarakat Tejakula menyebutnya dengan nama Wayang Wong Wali atau Wayang Wong Pura Pemaksan. Wayang Wong ini hanya dipentaskan dalam kaitannya dengan upacara di pura-pura saja dan para pendukungnya baik penari maupun penabuh adalah merupakan garis keturunan dari sejak awal berdirinya Wayang Wong. Sampai saat ini, pendukung Wayang Wong Pura Pemaksan diwariskan secara turun temurun. Selanjutnya

Guru Sujana menyatakan, ketika banyak permintaan untuk menampilkan Wayang Wong diluar kontek upacara, seperti ke Jepang dan Jakarta dengan seorang koreografer handal dan Empu tari dari Solo (Bapak Sardono Waluyo Kusumo), maka seorang seniman lukis putra daerah Tejakula (Almarhum Bapak Nyoman Tusan) menye-pakati untuk membentuk sekaa Wayang Wong diluar Wayang Wong Wali. Melalui pendekatan kepada seniman-seniman dan aparat desa, maka tahun 1980 terbentuklah sekaa Wayang Wong Guna Murti yang dikelola oleh Yayasan Tejakukus. Karena segala perlengkapan pentas Wayang Wong Wali adalah milik pura, seperti gelungan, tapel dan gambelan, maka untuk dapat mementaskan Wayang Wong Yayasan Tejakukus, dibuatlah duplikat tapel dan gelungan (hiasan kepala) yang dibuat sendiri oleh Guru Sujana. Penari Wayang Wong Yayasan Tejakukus didukung pula oleh penaripenari dari Wayang Wong Wali/Pura Pemaksan. Menurutnya pula, pernah Wayang Wong Pura Pemaksan ditampilkan diluar kontek upacara, ternyata masyarakat Tejakula terkena grubung (wabah), sehingga masyarakat sampai saat ini tidak berani lagi mementaskannya di luar kontek upacara (wawancara 19 Januari 2007). Perkembangan yang terjadi pada dramatari Wayang Wong Tejakula, yakni sebagai sebuah hasil inovasi dan kreativitas yang diberikan oleh para seniman dan masyarakat pendukungnya, di samping merupakan wujud perhatian terhadap perkembangan serta pelestarian pada bentuk-bentuk kesenian (seni tari) klasik yang ada di Desa Tejakula (Dibia, 1999 : 53). Terbentuknya Wayang Wong Tejakukus membawa dampak perubahan atau perkembangan baik dari bentuk pertunjukan dan fungsinya terhadap Wayang Wong Pura Pemaksan. Dari segi bentuk, Wayang Wong Wali tidak diikat oleh waktu/durasi, tempat pentas dibuat tidak permanen dan gerak tarinya lebih banyak improvisasi. Dari segi fungsinya, Wayang Wong Wali dipentaskan hanya untuk upacara, prosesnya sangat sakral dan di pentaskan hanya hari-hari tertentu. Sedangkan Wayang Wong Tejakukus, gerak dan dialog sangat terbatas (dipatok atau dipakem), tempat pentas sangat diperhatikan penataannya, fungsinya tidak lagi untuk upacara, tetapi untuk penonton umum dan dapat disajikan/dipentaskan setiap saat. Terkait dengan sejarah terbentuknya Wayang Wong yang dibawa oleh masyarakat pendatang yang lebih banyak melakukan

komunikasi dan pertemuan budaya di pantai, yang dahulu sebagai pelabuhan terbesar di Bali, maka timbul ketertarikan untuk menyajikan Wayang Wong di areal pantai Desa Tejakula. Melihat perkembangan atas perubahan bentuk dan fungsi Wayang Wong Yayasan Tejakukus, dipilihlah Wayang Wong ini untuk berolah seni, menuangkan ide-ide kreatif dan inovatif, tanpa harus menghilangkan tradisi baku daerah setempat dan tidak merubah gerak-gerak primer dari kesenian tersebut. Hal ini sesuai yang diungkapkan (Dibia, 2003: 18), bahwa melihat adalah sumber utama dari data panca indera yang menjadi api rangsangan bagi proses imajinatif. Siapa saja yang tengah melakukan kerja kreatif tidak terlalu banyak berpikir tentang pemberian label dibandingkan perhatiannya terhdap masalah bentuk dalam kaitannya dengan tempat-ruang, struktur dalam amupun wujud luar dari suatu obyek, dan merasakan kualitas-kualitas yang memperkuat pengalaman. Orang kreatif bisa berpaling kepada apa saja yang dijumpainya dengan suatu keterbukaan dan menjadi begitu larut dengan pengalaman tertentu. Seolah-olah si pengamat telah menjadi satu dengan yang diamati. Karya ini melibatkan masyarakat Desa Tejakula untuk berkreasi di ruang sosial, karena masyarakat memiliki mithologi yang sangat dekat dengan mereka tentang masuknya etnis Cina dan Arab yang tinggal dan berbaur di sini dan sekarang masih terbukti dengan adanya Pura Sekar. Masyarakat Desa Tejakula memiliki potensi artistik melalui salah satu icon-icon topeng Tejakula dengan Wayang Wongnya. Desa Tejakula masih menyimpan kenangan budaya yang kini hampir dilupakan oleh generasi muda, seperti entung-entungan api dan magibung. Di Desa Tejakula merupakan hamparan laut yang luas, sehingga hanya yang akan digarap di pantai mampu menyentuh sebagai desa nelayan. 1.1 Pembicaraan Rujukan Pada bulan Agustus tahun 2005, resmi menjadi mahasiswa Pascasarjana di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta) pada Program Studi Penciptaan Seni, Minat Tari Nusantara. STSI Surakarta dipilih sebagai tempat studi, oleh karena pernah bergabung dengan kampus ini mengikuti duta kesenian ke Bangkok, Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) dan mengikuti Workshop IDF (Indonesia Dance Festival) yang diadakan di STSI Surakarta. Ketika itu sebagai peserta workshop dibimbing oleh

Bapak Sardono Waluyo Kusumo (panggilan akrabnya Mas Don), Bapak Sal Murgiyanto, Miroto dan Mugi. Dengan pengalaman selama tinggal di Solo, baik dalam proses studi maupun ketika mengikuti kegiatan-kegiatan kesenian sebelumnya, tentunya sedikit banyak telah mengetahui seluk beluk tentang pertunjukan dan proses berkreativitas seniman-seniman Solo. Sehingga diputuskan STSI Surakarta sebagai tempat studi S-2, bersama istri yang juga ikut tugas belajar dengan mengambil program studi yang sama. Perkuliahan dimulai bulan September tahun 2005 sampai Mei 2006, banyak kesempatan menonton karya-karya Ujian Akhir kakak kelas, Ujian Terminal I dan Tata Ruang, baik langsung maupun melalui VCD. Dari pengalaman menonton ini, justru menimbulkan kebingungan terhadap model pertunjukan tersebut, seperti misalnya : tempat pementasannya tidak mesti ditata sebagai tempat pertunjukan pada umumnya, pelakunya bisa tampil walaupun bukan seorang penari, gerak tari tidak menjadi substansi, musik tidak harus bermelodi atau terkait dengan apa yang terjadi di ruang pentas, penataan kostum tidak mesti glamour, suasana pertunjukannya seperti realitas kehidupan masyarakat keseharian dan banyak lagi hal-hal yang kurang saya mengerti. Hal ini diungkapkan pada kelas Bimbingan Praktek. Setelah dosen pengajar Bapak Sardono Waluyo Kusumo menjelaskan panjang lebar tentang latar belakang, tujuan dan maksud karya tersebut, barulah peserta kelas dapat memahaminya. Ternyata karyakarya S-2 lebih banyak mengungkap budaya, tradisi, history dan fenomena dalam suatu masyarakat. Untuk karya akhir S-2, sudah diarahkan oleh Bapak Sardono Waluyo Kusumo untuk mengungkap dua sisi kehidupan masyarakat di tempat asal, yaitu Banjar Kaliungu Kelod, Kodya Denpasar. Di daerah itu ada dua komunitas yang dalam merefleksikan seninya sangat berbeda, yang satu dalam beraktivitas seni untuk Ngayah (mengabdi) untuk pura dan komunitas yang lain beraktivitas seni melalui minum tuak (salah satu minuman beralkohol di Bali). Untuk mengungkap fenomena ini ke dalam sebuah pertunjukan, ditemukan bentuk melalui suatu proses penjelajahan di masyarakat itu sendiri. Dengan judul Tabuh Tuak, karya ini dipentaskan pada Ujian Terminal I. Setelah pertunjukan selesai, Bapak Sardono Waluyo Kusumo memberikan evaluasi, dan mengatakan bahwa karya Tabuh Tuak, adalah sebuah pertunjukan, terlalu cepat mencapai bentuk,

hanya ingin memuaskan penonton tanpa ada sesuatu atau makna yang hendak dicapai. Selanjutnya Bapak Sardono Waluyo Kusumo mengharapkan untuk mengosong-kan diri di Surakarta. Mulai saat inilah berusaha membuka baju yang dipakainya dari Bali dan membuang segala pernik-pernik yang menempel pada tubuh sebelumnya. Dalam kekosongan dan kebingungan ini Bapak Sal Murgiyanto dalam kuliah Seminar Tari, sering mengompori/ memanas-manasi dengan beberapa pernyataannya. Salah satunya ketika beliau mengatakan bahwa menjadi seorang penata tari yang baik tidak hanya cukup memiliki tehnik saja tetapi juga harus memiliki kecerdasan, kreativitas dan kearifan. Bilamana menggarap atau menata sebuah karya tari, jangan menggarap reportoar yang telah ada, tetapi mampu menarik fenomena lingkungan. Dan konsepsi harus seimbang dengan bentuk, agar tidak sekedar menjadi ornamen budaya. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Bapak Sardono Waluyo Kusumo. Pernyataan tersebut, lengkaplah sudah memang demikian adanya ; kekosongan dan kebingungan itu. Dengan kekosongan yang diharapkan dari Bapak Sardono Waluyo Kusumo, yaitu penjelajahan lorong dan jalan tak berujung dalam kebingungan. Sedangkan dengan pernyataan Bapak Sal Murgianto, termotivasi untuk mencari dan mencari dalam penjelajahan, agar tidak terlena atau terkungkung di dalam sebuah lingkungan budaya yang telah diterima dengan cuma-cuma dari pendahulu. Begitu pula setiap kuliah yang diberikan oleh Ibu Sri Rochana Widyastutiningrum dan Bapak Wahyu Santosa Prabowo, beliau selalu memberikan dorongan moril dengan memberikan cara-cara yang harus ditempuh selama penjelajahan. Sampai semester III, telah dilakukan penjelajahan di Bali dan Solo, diantaranya di tempat penempa keris, pembuat gerabah, penambang batu padas, pembuat genteng dan lain-lain. Di tempattempat ini didapatkan pemahaman tentang kehidupan sosial masyarakat, media, proses dan kepedulian terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Kebingungan dan kekosongan semakin menjadi-jadi, karena pada semester ini, belum mendapatkan kepastian apa yang akan digarap untuk Ujian Akhir. Ketika Bapak Sardono Waluyo Kusumo datang untuk memberikan kuliah akhir di semester III, mulai memberanikan diri menyampaikan kepada beliau, bahwa selama penjelajahan selalu bersama Komang Sri Wahyuni (istri) yang juga ikut diprogram penciptaan seni, dan apa yang didapat selama

penjelajahan diketahui dan dipahami bersama-sama. Hasil penjelajahan diinformasikan kepada Bapak Sardono Waluyo Kusumo dan kemudian disarankan untuk menggarap bersama istri, dengan alasan kejujuran yang ada dan pemahaman berproses yang bersama pula. Selanjutnya beliau menawarkan menggarap Wayang Wong Tejakula Buleleng Bali. Dalam diskusi ini, Bapak Sardono Waluyo Kusumo bertanya banyak tentang sejarah Desa Tejakula. Kebetulan mengenai sejarah Desa Tejakula sudah diteliti pada semester II untuk Ujian Terminal I oleh Ni Komang Sri Wahyuni dan juga sudah sesuai dengan cara-cara mencari materi dalam penjelajahan yang pernah diberikan oleh Bapak Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar.,M.Si. Dari cerita yang dipaparkan, Bapak Sardono Waluyo Kusumo akhirnya mengarahkan untuk merekonstruksi sejarah Desa Tejakula dengan menghadirkan dua basic sebagai tradisi benang merah dalam karya yang akan digarap yaitu Prosesi dan Topeng. Setelah Ujian Tata Ruang Semester III, disempatkan untuk bertemu lagi dengan beliau. Pada pertemuan itu disampaikan keinginan untuk mengangkat dua budaya yang sudah hilang di Desa Tejakula, yaitu Entung- entungan api (saling melempar api yang terbuat dari serabut kelapa dibakar, antar sesama warga masyarakat) dan Magibung (makan bersama dalam satu klakat yang terdiri dari 46 orang). Dengan keinginan yang disampaikan, akhirnya Bapak Sardono Waluyo Kusumo menyarankan, agar tradisi Entungentungan api dan Magibung serta kemabukan dan kegilaan pada karya Tabuh Tuak di semester II ditempatkan atau dihadirkan dalam struktur pertunjukan Wayang Wong. Hal ini terkait bahwa keberhasilan seorang seniman profesional ditentukan antara lain oleh penguasannya terhadap beberapa komponen dasar kesenian, yaitu : teknik, kepekaan rasa, inteligensia (kemampuan memahami) dan kreativitas (Murgiyanto dalam Tommy F. Awuy (ed), 2005: 33). Selanjutnya diungkapkan pula, bahwa : ... Kepekaan rasa mencakup kepekaan (a) rasa gerak, (b) rasa estetik, (c) intuisi dan (d) rasa kemanusiaan. Intuisi adalah kemampuan untuk secara cepat memahami sesuatu peristiwa tanpa proses pemikiran sadar. Dan rasa kemanusiaan adalah kepekaan atau kemampuan untuk ikut merasakan atau bersimpati secara mendalam apa yang dialami/diderita oleh sesama manusia atau makhluk hidup (Murgiyanto, 2005: 34).

Dengan mendapatkan keputusan dari Bapak Sardono Waluyo Kusumo, apa yang digarap dalam Ujian Akhir nanti, mengingatkan pada mata kuliah Seminar Bapak Sal Murgiyanto, beliau pernah mengatakan dan memberi contoh pada sebuah cincin emas, kalau cincin itu boleh ditanggalkan, tetapi jangan dibuang, karena pasti berguna disuatu saat. Ternyata apa yang dikatakan beliau benar adanya. Baju dan pernik-pernik yang pernah saya tanggalkan, kini saya pakai lagi, didukung oleh pengetahuan tentang metode penggarapan, bentuk/ model karya, hasil penjelajahan dan konsep karya yang telah didapatkan di S-2 Surakarta, menjadi bekal yang bermanfaat untuk membuat karya seni Ujian Tugas Akhir dan masa depan menjadi seorang penata tari. Bapak Sardono Waluyo Kusumo pernah memberikan nuansa dan inovasi baru pada Wayang Wong Tejakula yang sampai saat ini masih digemari dan dipakai oleh pelaku seninya bila mana Wayang Wong ini mengadakan pertunjukan. Dengan adanya perkembangan pada struktur pertunjukan Wayang Wong ini, timbul inspirasi untuk melakukan evolusi pada bentuk pertunjukan, namun tidak melepas kaidah-kaidah dan muatan isi yang baku dalam wiracarita Ramayana. Wayang Wong adalah salah satu bentuk kesenian yang menjadi kebanggaan Desa Tejakula. Terbentuknya Wayang Wong ini memiliki kaitan erat dengan sejarah Desa Tejakula yang dibentuk oleh para pendatang dengan masyarakat setempat waktu itu. Dibentuknya Wayang Wong bukan saja di-maksudkan untuk mengekspresikan rasa seninya, tetapi juga sebagai wujud ungkapan rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi. Dengan adanya industri hiburan seperti televisi, yang memberikan gambaran tentang pola pikir, gaya hidup masyarakat yang cendrung lebih modern, maka hal ini mempengaruhi cara pandang masyarakat yang lebih menonjolkan kepentingan/unsurunsur individualisme, sehingga mengikis nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti ketika dibentuknya Wayang Wong Tejakula pada awalnya. Kesenian hendaknya jangan direndahkan dengan mengabdikannya kepada kejelasan yang wadag. Materi kesenian haruslah disublimasi atau distilisasi/ disimbolisasi menjadi sebuah

bentuk karya seni. Tanpa adanya tiga keharusan bentuk itu, maka ia hanyalah sebuah ekspresi pemuasan diri (Murgiyanto, 1993: 35). Pada kesempatan ini dicoba mencari sebuah solusi untuk mengembalikan nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat melalui penggarapan Wayang Wong dengan pengembangan komposisi tari atau koreografi yang tidak lagi semata mata sebagai hiburan belaka. KEKARYAAN Gagasan Hiliran adalah awal mula nama Desa Tejakula yang telah mengalami evolusi budaya saat ini (masa kini), akan direkontruksi melalui sebuah penciptaan seni yang akan digarap oleh Ni Komang Sri Wahyuni ke dalam 3 (tiga) babak/ struktur pertunjukan. Mengingat basic yang dimiliki sebagai penari Hanoman, pernah belajar Tari Sugriwa Desa Tejakula dan mengajar Tari Sugriwa Wayang Wong di ISI Denpasar, maka berbekal kemampuan ini dan pengetahuan yang diperoleh selama penjelajahan di Surakarta, diputuskan untuk menggarap Wayang Wong Tejakula yang akan menjadi babak IV pada karya Hiliran. Penyajian Wayang Wong ini menjadi satu areal/lokasi pementasan dengan karya Hiliran, karena Wayang Wong ini sangat terkait dengan sejarah timbulnya Desa Tejakula dan kehidupan sosial masyarakatnya. Untuk keutuhan dan kesatuan bentuk karya seni dari tiap-tiap babak, tetap dipertanggung jawabkan secara bersama. Kurang lebih setelah tahun 1970, masyarakat Desa Tejakula telah kehilangan dua buah tradisi yaitu Megibung (makan bersama dalam satu klakat antara empat sampai lima orang) dan Entung entungan api (saling melempar api yang terbuat dari serabut kelapa dibakar, antar sesama warga ). Magibung biasanya dilakukan ketika salah satu warga masyarakat memiliki hajatan/syukuran, dalam menjamu para tamunya dilakukan dengan sistem Magibung. Entung-entungan api dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi (bulan mati), sasih Kesanga (bulan ke 9 hitungan kalender Bali), yang jatuh setahun sekali untuk mengusir para Butha Kala. Megibung mengandung nilai kebersamaan dan kesetaraan tanpa memandang kasta/ kebangsawanan. Entung-entungan api mengandung nilai saling asah (sama derajat), saling asih (saling) dan saling asuh (saling menjaga).

Cara menjamu para tamu pada acara hajatan/syukuran atau bayar kaul pada jaman sekarang ini adalah dengan prasmanan, menyebabkan tersingkirnya tradisi Magibung di masyarakat Desa Tejakula, sehingga nilai-nilai kesetaraan itu semakin lama dikhawatirkan akan semakin terkikis. Ditinggalkannya tradisi Entung-entungan api oleh masyarakat, adalah untuk mengantisipasi bahaya kebakaran, dan juga dikarenakan adanya individu-individu yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, sehingga dalam pelaksanaannya sering menjadi ajang melampiaskan ketersinggungan pribadi. Hal ini akhirnya berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial masyarakat dalam kebersamaan, keikhlasan, ketulusan dan saling menjaga menjadi tercoreng. Untuk mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang telah hilang dari puluhan tahun yang lalu, maka tradisi ini dihadirkan kembali ke dalam pertunjukan Wayang Wong, karena tradisi ini sebagai salah satu cara untuk mewujudkan kembali nilainilai kemanusiaan yang sudah terkikis atau tercoreng dan sekaligus sebagai pelestarian budaya. Di samping dua tradisi tersebut di atas, juga ingin diungkap keadaan masyarakat umum dewasa ini yang sangat mudah dihasut, teman menjadi lawan, perang dengan keluarga dan sebagainya. Untuk mengungkap hal ini ke dalam sebuah karya seni, sangatlah tepat bilamana dipakai episode Kautus Anggada dengan judul Anggada Mada. Anggada disebut pula dengan nama Bali Putra adalah anak Kapiraja Subali. Arti kata Mada dalam buku Kamus Kawi-Bali, berarti Punyah (mabuk), Buduh (gila), Sombong, Mokak (congkak). Jadi Anggada Mada berarti mabuknya Anggada. Anggada menjadi mabuk ketika dihasut oleh Raja Rahwana. Mabuk karena amarah dan mabuk karena dendam terhadap Rama. Di samping itu, Anggada juga mabuk secara fisik karena disuguhi minuman beralkohol. Mabuk adalah personal kehidupan sehari-hari, tetapi dibingkai dengan sebuah nilai yang diaplikasikan ke dalam karya seni, sehingga kemabukan menjadi universal ketika bersentuhan dengan Ramayana dan membawa wiracarita Ramayana menjadi kontek kehidupan masa kini. Garapan Bentuk karya Anggada Mada dibagi menjadi lima bagian adegan yaitu :

Bagian I : a.Punakawan : Tuwalen dan Werdah . b. Palawaga/Kapi-kapi (pasukan kera) sebagai simbol alam beserta isinya. c.Rama, Laksmana dan Wibisana datang menemui pasukan kera. d. Anggada diutus ke Alengka sebagai duta. e.Anggada berangkat ke Alengka. Pada adegan ini, mengandung nilai-nilai kesetiaan yang diungkap oleh Rama, baik dalam keluarga, orang lain maupun masyarakat (saling Asih). Bagian II : a.Punakawan : Delem dan Sangut. b. Rahwana : sebuah simbol kekuasaan dan kerakusan c.Raksasa : simbol kehidupan dalam kesenangan dan kemewahan. d. Anggada datang mengamuk dan menggertak para raksasa. e.Rahwana meredakan kemarahan Anggada dan kemudian dijamu dengan minuman keras dan buah-buahan. f. Rahwana menghasut Anggada yang dalam keadaan mabuk. g. Anggada setelah mendengar ucapan Rahwana, dia balik menemui Rama. Bagian ini, Rahwana memutar balik nilai-nilai saling asah (kesetaraan), dengan merubah esensi persaudaraan dan kesetaraan yang ditunggangi oleh kepentingan individu. Bagian III : a.Dalam perjalanan Anggada diselimuti oleh kemabukan : mabuk kemarahan dan mabuk dendam. b. Datang seorang nelayan (siluman abdi dari Dewi Durga) menjerat Anggada dengan sebuah jaring ikan (pencar) : simbol bahwa Anggada telah terbungkus oleh kemabukan. c.Dewi Durga memberi anugerah kesaktian dan merubah wujud Anggada menjadi raksasa. d. Anggada yang sudah berubah menjadi raksasa dan mendapat sepasukan raksasa berangkat ke Gunung Suwela menemui Rama dan pasukannya. Disini Anggada semakin bertambah mabuk : mabuk gila, mabuk kesombongan dan mabuk kecongkakan.

Pada bagian ini Dewi Durga (saktinya Siwa) sebagai pelebur, memberi cobaan dan ujian kepada manusia. Bagian IV : a.Di Gunung Sewela, pasukan kera/Kapi-kapi sedang menunggu kedatangan Anggada dari Alengka sambil menyalakan api unggun. Datang Anggada dan pasukan raksasanya menyerang Kapi-kapi secara tiba tiba. Pasukan kera kalang kabut. b. Terjadi Entung entungan api (perang api) antara pasukan raksasa dan kera. c.Anggada ditangkap oleh Hanoman dan pasukan kera ikut memukulnya. d. Datang Rama, Laksmana dan Wibisana menasehati Anggada. e.Anggada insaf dan menyadari kesalahannya. f. Rama merubah wujud Anggada dari raksasa menjadi Anggada seperti sedia kala. Bagian V : a.Rakyat sangat senang Anggada sadar dan insaf. b. Untuk merayakan kebahagiaan ini rakyat membuat acara Magibung (Ending). Perang api (Entung-entungan api), yang dahulunya didasari oleh rasa ketulusan, keiklasan dan kebersamaan masyarakat dinodai oleh kemabukan-kemabukan seperti tokoh Anggada. Pada adegan ini Rama menerapkan dan menekankan kembali betapa pentingnya nilai saling asah, saling asih, dan saling asuh dalam masyarakat. Magibung yang mengandung nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan perlu dipupuk untuk menghindari pengkotak-kotakan dalam masyarakat karena adanya keinginan beberapa anggota masyarakat untuk mengangkat derajat/ kebangsawanannya. Nilai-nilai kehidupan masyarakat Desa Tejakula yang dituangkan/ diwujudkan kedalam penyajian Wayang Wong bukan saja disampaikan secara fisik melalui adegan-adegan, tetapi juga melalui dialog antar tokoh yang esensinya mengandung sebuah filsafat. Bentuk Karya

Bentuk karya Anggada Mada pada koreografinya disesuaikan mengikuti kondisi lingkungan di pantai. Penonton bebas berdiri, duduk atau berpindah-pindah menyesuaikan diri mengikuti alur koreografi yang dipergunakan oleh penari. Hal ini belum pernah dilakukan dalam seni sekuler. Pola-pola gerak yang dipergunakan masih memakai gerak primer/baku gaya Tejakula, karena penata sengaja tidak ingin memasukkan unsur-unsur gerak baru yang mengakibatkan kehancuran gerak-gerak tradisi baku. Gaya yang dimiliki dan dipertahankan secara turun temurun menjadi kekhasan/ciri khas, dibandingkan dengan Wayang Wong yang ada di Bali. Untuk membuat sebuah inovasi pada Wayang Wong Desa Tejakula, hanya dilakukan revitalisasi pada bentuk dan pakem/skenario Ramayana dengan menyelipkan/memasukkan budaya dan tradisi yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat Desa Tejakula yaitu Entung-entungan api dan Magibung ke dalam koreografinya. Pengembangannya pada lintasan penari adalah tempat pentasnya yang terdiri dari dua areal yaitu di pasir yang berbatu kerikil dan di laut. Penata tidak menempatkan diri sebagai pemeran/tokoh yang dominan dalam karya ini, karena tidak ingin merefleksikan ego-ego ke ruang sosial, sehingga nantinya mampu memunculkan sinergi kreativitas massa dari banyak individu. Media Untuk menunjang dan merealisasi nilai budaya dan tradisi yang dihadirkan dalam keutuhan sebuah koreografi, dipergunakan media ungkap seperti: a.Sambuk (Serabut kelapa yang dibakar). Serabut kelapa yang sedang menyala dipergunakan untuk perang antara Anggada dengan pasukan raksasanya melawan Palawaga/Kapi-kapi. Dipakainya serabut kelapa, karena media inilah yang dipakai dahulu oleh masyarakat ketika dilaksanakannya Entung-entungan api. Di samping itu, ketika waktu sandi kala (mahgrib) terjadinya entung-entungan api membuat area pentas dipenuhi oleh kilatan-kilatan api dan percikan api serabut kelapa, sehingga sangat mendukung suasana perang dan suasana pentas menjadi lebih hidup dan menarik Kulkul (kentongan dari bambu). Pada jaman dahulu, setiap rumah warga atau abian (kebun) selalu tergantung sebuah kulkul. Biasanya dibunyikan pada pagi hari

b.

dan sore hari silih berganti dari satu rumah ke rumah atau dari kebun ke kebun dengan tempo sedang layaknya sebuah jam yang menunjukkan waktu pagi masyarakat mulai bekerja atau sudah berada di kebun, dan sore hari masyarakat mulai istirahat kerja atau pulang kerumah masing-masing. Bila di masyarakat terjadi bencana atau bahaya, maka kentongan dibunyikan serempak dengan tempo cepat dan tidak teratur. Sekarang masyarakat di Desa Tejakula yang masih memiliki kentongan sekitar 4 sampai 5 orang. Untuk itu, dalam adegan entungentungan api, penata mempergunakan media ungkap kulkul dengan maksud merewin ingatan masyarakat pada jaman dulu, betapa pentingnya kulkul sebagai alat komunikasi tidak langsung. Kulkul sebagai salah satu iringan pada adegan perang api dapat membangun atau menghidupkan suasana perang dalam kegaduhan. c.Klakat (tempat makan/nampan yang terbuat dari bambu dijalin dengan ukuran 60 cm persegi). Di atasnya ditaruh daun pisang yang masih hijau sebagai alas nasi dan lauk-pauk. Klakat ini dipakai pada adegan Magibung. Adegan ini ditempatkan pada akhir koreografi dengan maksud agar masyarakat, para pelaku pertunjukan khususnya, dapat merasakan secara langsung bagaimana mereka melakukan hal semacam ini dan memberikan pengalaman baru bagi mereka yang belum pernah melakukannya. Melalui Magibung, penata merefleksikan kembali tradisi ini pada akhir pertunjukan setelah Anggada sudah insaf dan sadar akan kesalahannya. d. Batel: Alat musik ini terdiri dari: empat buah/tungguh Gender Wayang, satu buah Kajar, dua buah Kendang kecil/krumpungan (Lanang dan Wadon), satu buah Gong/Kempur, satu buah Ricik, satu buah Gentorak dan satu buah Klenang/ Klenong. Batel yang dipergunakan untuk mengiringi Wayang Wong ataupun Wayang Kulit Ramayana, di Bali lebih dikenal dengan nama Batel Ngramayana. Instrumen ini dipakai untuk mengiringi karya Anggada Mada, dimaksudkan untuk membangun nuansa tradisi yang sudah sangat melekat pada masyarakat Tejakula dan Bali pada umumnya. e. Tata Bahasa Penyampaian drama pada Wayang Wong ini dilakukan antar tokoh perwatakan oleh penari dan dibantu oleh seorang dalang untuk

memberi penekanan pada suasana pentas. Dialog yang dipergunakan dalam antawacana ini adalah Bahasa Kawi, Bahasa Bali Lumrah dan Bahasa Bali Halus. Di samping dialog berupa kata-kata, juga disampaikan melalui tembang/lagu. Ada tiga cara/pola ucapan yang dipakai dalam pertunjukannya yaitu: a.Ucapan Pemahbah (ucapan yang dipakai untuk memperkenalkan tokoh sebelum masuk ke ruang pentas). Ucapan Petangkilan dan Paruman (dialog yang dipakai dalam persidangan) c.Ucapan Pematbat (dialog yang dipakai dalam perdebatan/ pertengkaran). Dari ketiga pola tersebut, masing-masing memiliki warna suara yang berbeda sesuai dengan penokohan dan intonasi yang berbeda sesuai dengan suasana dramatik. Deskripsi Sajian Penyajian diawali dengan sebuah peed prosesi oleh seluruh penari, penabuh dan beberapa masyarakat dari kanan areal pentas menuju ke areal kiri pentas melewati sungai kecil. Sesampai di tempat pentas bagian kiri, semua peserta duduk dan melakukan suatu upacara untuk keselamatan masyarakat. Selesai melakukan upacara, penari berada dibelakang pentas, penabuh mengambil posisi dibelakang pojok kiri areal pentas. Penabuh mulai memainkan alat musiknya masing-masing yang diikuti dengan Pengalangkara oleh seorang dalang yang menyampaikan tentang isi pertunjukan yang disajikan. Kemudian adegan pertama dimulai dengan munculnya para wanara/kapi-kapi dan punakawan menari. Di sisi lain hadir adegan dua orang petani sedang memandikan sapi-sapinya di sungai. Kemudian datanglah Rama, Laksmana dan Wibisana yang selanjutnya mengutus Anggada untuk meminta Dewi Sita dari Rahwana. Anggada sebagai duta dengan cepat berangkat ke Alengka melintas ke arah kanan stage/areal pentas, melewati sungai kecil. Sebaliknya empat orang wanita (istri nelayan dan petani) sedang menjunjung kayu bakar dan sayur-sayuran datang dari ujung kanan stage menuju ke ujung kiri stage melintasi sungai. Rama, Laksmana, Wibisana dan pasukan Palawaga/Kapi-kapi ngerangki (out stage). Adegan ke dua di stage bagian kanan diawali dengan datangnya punakawan Delem dan Sangut menghadap Rahwana. Datang para b.

raksasa menghadap Rahwana. Raksasa ditugaskan untuk menjaga Dewi Sita. Prabu Rahwana ngerangki (out stage). Di sisi kanan stage beberapa nelayan sedang membakar ikan hasil tangkapannya. Tiba tiba Anggada datang mengobrak-abrik dan memukul para raksasa. Para raksasa kewalahan menghadapi Anggada. Rahwana datang menghampiri Anggada. Rahwana menghargai Anggada sebagai utusan Rama. Untuk menghormati utusan, Anggada dijamu oleh para dayang (abdi wanita) dengan minuman keras dan buah-buahan, ditemani oleh para nelayan yang ikut pesta minuman keras sambil magenjekan. Disaat Anggada mulai mabuk, Rahwana menghasut dengan mengatakan bahwa Anggada salah telah membela Rama yang sebenarnya adalah pembunuh Subali (ayah Anggada). Sedangkan Rahwana pun pernah berguru kepada Subali sampai dianugerahi ilmu Panca Sona. Dengan bahasa yang tenang bagai air laut yang dalam, Anggada mulai terhasut dan lupa diri. Berhasillah siasat Raja Alengka. Adegan ke tiga, Anggada terbungkus oleh mabuk kemarahan dan mabuk dendam terhadap Rama. Ia kemudian meninggalkan Alengka balik ke Gunung Suwela menemui Rama. Dalam perjalanan, Anggada disuguhi minuman wisky dan rokok oleh pendatang dari Amerika yang datang ke Desa Tejakula. Anggada semakin mabuk dan bingung karena Rama sangat sakti, kecil kemungkinan dapat membunuhnya. Dalam kebingungan, kemarahan dan dendam. Anggada mengamuk di tengah laut dan ia dijaring oleh seorang nelayan yang tiada lain adalah abdi Dewi Durga. Anggada kemudian diserahkan kepada Dewi Durga (berwujud Rangda). Dengan penyerahan diri dan memelas, Anggada minta kesaktian agar dapat membalas dendam. Dewi Durga mengabulkan permintaan Anggada dan diberikan sepasukan raksasa dengan merubah Anggada menjadi raksasa, agar tidak diketahui oleh pasukan kera. Lengkaplah sudah kemabukan Anggada, ditambah mabuk kesombongan dan mabuk kecongkakan, diiringi para raksasa berangkat menemui Rama. Adegan ke empat, pasukan kera berada di areal pentas bagian kiri, menunggu kedatangan Anggada dari Alengka sambil menyalakan api unggun. Tiba-tiba datang pasukan raksasa dari pihak Anggada menyerang Palawaga/ Kapi-kapi. Terjadilah perang api (Entung-entungan api) antara raksasa dengan Palawaga, yang mengikutsertakan beberapa penduduk Desa Tejakula. Bunyi kulkul bertalu-talu dipadu dengan sorak sorai dan suara riuh. Diantara

kekacauan dan kedasyatan perang api, Hanoman berhasil menangkap Anggada walaupun menyerupai raksasa. Pasukan raksasa yang dibawa oleh Anggada lari kocar-kacir. Anggada direbut hendak dibunuh oleh Palawaga/kapi-kapi, beruntung datang Rama, Laksmana dan Wibisana menengahinya. Anggada dinasehati dengan bijaksana oleh Rama. Anggada akhirnya insaf dan menyadari kesalahannya. Rama, Lasmana, Wibisana dan Palawaga bergembira dan menerima Anggada kembali bergabung. Rama kemudian merubah wajah raksasa Anggada menjadi Anggada sejati. Kembalinya Anggada ke pasukan Rama diwujudkan dengan menghadirkan kesenian Rengganis yang para penarinya mengitari Rama, Laksmana, Wibisana, dan Anggada. Seluruh Pasukan Rama kemudian kembali ke lintasan tempat dimana prosesi pada awal adegan dimulai, yaitu di areal atau stage bagian kanan areal bagian kanan, yang dikawal oleh pasukan Baris Cendek dan Jero Desa Negak. Adegan kelima, masyarakat sangat gembira, karena Anggada telah insaf. Untuk menyatakan kegembiraannya, diisi dengan adegan Magibung yang dilakukan oleh penabuh, nelayan, penduduk pendatang seperti Cina, Arab, Jepang, Amerika, dan beberapa anakanak Desa Tejakula. Dua pemuka desa memberikan petuah kepada masyarakat akan nilai kesetaraan kebersamaan dan tolerasni (Ending) Orisinalitas Karya Seni Sepengetahuan, pengembangan-pengembangan seperti yang dijelaskan pada 2.3 Bentuk Garapan, belum pernah dilakukan oleh seniman-seniman Tejakula dan di Bali pada umumnya. Begitu pula dengan menempatkan kesenian Rengganis dan Genjek. Rengganis adalah kelompok bernyanyi terdiri dari enam orang dengan memakai tembang Sekar Madya dilakukan dengan duduk sambil menari, menabuh menirukan suara kodok. Sedangkan Genjek adalah kelompok bernyanyi dengan tembang/lagu Sekar Alit yang dilakukan dengan duduk sambil menari, menabuh dengan meniru bunyi alat musik sambil minum tuak ke dalam pertunjukan Wayang Wong pada adegan yang tepat, menjadi sebuah inovasi pada bentuk garapan. Penari Wayang Wong adalah masyarakat, sehingga masyarakat adalah bagian dari Wayang Wong. Ketika pertunjukan Wayang Wong sedang berlangsung, diselipkan adegan tentang kehidupan masyarakat Desa Tejakula, seperti para nelayan membakar ikan hasil

tangkapannya, petani memandikan sapi, istri petani mencari kayu bakar dan istri nelayan mencari sayur. Menyelipkan adegan kehidupan sosial masyarakan di sela-sela pertunjukan merupakan sebuah model baru dalam seni pertunjukan di Bali. Menghadirkan kulkul/kentongan sebagai salah satu iringan Wayang Wong Anggada Mada memberikan nuansa/nafas baru pada seni pertunjukannya. Kulkul selama ini belum pernah dipergunakan mengiringi drama tari Wayang Wong di Bali, sehingga dianggap dapat menambah khasanah instrumen bambu pada iringan drama tari Wayang Wong. Di Bali pementasan lingkungan sudah sering dilakukan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (ngelawang), tetapi pemilihan tempat pentas (lingkungan) semata-mata hanya sebagai kebutuhan estetik maupun selera penata yang tertarik dengan alam. Berbeda dengan karya Anggada Mada. Pantai Desa Tejakula adalah salah satu bagian yang menjadi sejarah tempat terbentuknya Wayang Wong, sehingga sangatlah tepat bila Anggada Mada disajikan di areal pantai tersebut. Secara utuh bentuk koreografi gabungan karya Hiliran dan karya Anggada Mada tidak saja dapat dinikmati oleh seniman dan masyarakat awam, tetapi juga dapat dinikmati oleh pengkaji budaya, arkeolog, ahli filsafat dan agamawan. PROSES PENCIPTAAN KARYA Observasi Setelah menjalani berbagai penjelajahan dan observasi dari semester I sampai semester III, diantaranya : pembuat gerabah di Lukluk Badung-Bali, pembuat bade (sarana upacara kematian/ngaben) di Kapal Badung-Bali, penambang batu padas di Sempidi Badung-Bali, penempa keris di Wonasari-Solo, pembuat genteng di Karanganyar-Solo, pembuat anyaman kursi dari pelepah pisang di Gawok-Solo, daerah situs purbakala di Sangiran - Jawa Tengah, Candi Ceto di Jawa Tengah, Alas/Hutan Donoloyo di Wonogiri-Jawa Tengah, makam Kyai Ageng Balakan di Solo, makam Raja-raja di Pengging Boyolali-Jawa Tengah, Alas/Hutan Kayangan (hutan yang penuh dengan tebing-tebing berbatu) di Tirtomoyo Wonogiri-Jawa Tengah, kami banyak memahami tentang

kehidupan sosial masyarakat, media, proses dan kepedulian saya terhadap budaya, kemanusiaan dan lingkungan alam. Semester III berakhir bulan Januari 2007. Saat inilah kami mendapat penawaran dari dosen pengajar yaitu Bapak Prof. Sardono Waluyo Kusumo dan diputuskan untuk menggarap penciptaan seni dengan merekontruksi sejarah Desa Tejakula dan Wayang Wong. Walaupun kami sudah mendapatkan sedikit informasi tentang sejarah Desa Tejakula, namun hanya untuk persiapaan Ujian Akhir Semester II karya Ni Komang Sri Wahyuni. Waktu untuk menuju ke semester IV, dirasakan penata berjalan sangat cepat, hingga dengan tergesagesa harus pulang ke Bali. Sampai di Denpasar, keesokan harinya saya dan istri berangkat ke Desa Tejakula menempuh tiga jam perjalanan. Di Tejakula kami mengawali bertemu dengan Camat Tejakula, Kepala Desa, Kelian Desa Pekraman Desa Adat Tejakula, Pengurus Yayasan Wayang Wong, dan Sesepuh/Empu Wayang Wong menyampaikan maksud kami datang ke Desa Tejakula. Berbekal surat pengantar dari Pragram Pascasarjana ISI Surakarta tertanggal 4 januari 2007, kedatangan kami diterima dan maksud kedatangan kami disambut dengan baik. Hari demi hari kami mulai menyelami watak dan karakter orang-orang Tejakula. Lebih sering berkomunikasi baik di warung, tempat perjudian (sabungan ayam), aktivitas pura dan lain-lain. Setelah sedikit mengenal mereka, barulah dimulai memberanikan dirii bertamu ke rumah-rumah penduduk sambil menyinggung tentang tujuan berada di Tejakula. Yang paling sering kami kunjungi adalah para sesepuh desa, untuk mengorek informasi tentang sejarah dan tradisi, baik tentang tempat suci, masyarakat dengan potensinya dan evolusi budaya dari dulu hingga sekarang ini. Setelah mendapatkan informasi dari para sesepuh, kami melanjutkan melihat situs-situs pura, seperti Pura Segara, Pura Pangempingan, sumber mata air, Pura Sekar, Pura Ratu Gede, dan Merajan Desa. Dari situs ini kami mendapat nilai spiritual yang sangat lengket dengan kehidupan masyarakat. Untuk melihat potensi masyarakat, kami mendatangi para pembuat bokor (tempat sesaji dari perak), tempat pembuat senjata dan pembuat patung. Disini kami memperoleh rasa keiklasan masyarakat untuk mengabdi kepada Tuhan dengan membuat/ memperbaiki kelengkapan Pura tanpa imbalan, yang dilakukan oleh Krama Pande. Menyelami lebih dalam tentang aktivitas para nelayan, kami harus rela berada di pantai dari pagi

sampai siang, dari sore hingga malam. Ini kami lakukan berkali-kali. Duduk di pasir bercampur kerikil, desiran angin laut di malam hari, suara ombak, menemani dan nyamuk pun ikut menyapa, seperti membimbing untuk mengisi kekosongan dan kebingungan selama di Surakarta. Anak-anak nelayan yang masih polos dan lugu menikmati air laut dengan telanjang dada tanpa beban. Terbawa naluri untuk membantu ikut mendorong perahu ke laut sambil menanti ayahnya menunggu hasil tangkapan ikan. Ibu-ibu nelayan dengan baju lusuh dan kain (jarik) yang kusam tetap tersenyum mencari kayu bakar dan sayur-sayuran di dekat pantai. Petani tua telanjang dada dengan wajah sedikit keriput ikut bermain air sungai memandikan sapisapinya. Para seniman pun ikut membolak-balik kalender tahun 2007 mencari hari-hari adanya upacara untuk dapat mengabdikan diri lewat ekspresi seninya. Dengan observasi yang kami lakukan berdasarkan beberapa buku/tulisan /pedoman berupa Monografi Desa Tejakula, Ilikita Desa Adat Tejakula, Sejarah Singkat Desa Tejakula dan informasi yang telah didapat seperti sejarah, tradisi dan kehidupan sosial masyarakat melalui penjelajahan, kami mulai menyusun sebuah skenario kecil untuk mewujudkan hasil penjelajahan itu ke dalam sebuah penciptaan seni. Proses Penciptaan Karya Untuk mewujudkan skenario yang telah dirancang, pertamatama kami mengumpulkan sekaa/kumpulan Wayang Wong Yayasan Tejakukus, untuk menyampaikan ide/gagasan kami. Menentukan hari yang baik untuk latihan. Di hari berikutnya kami mengumpulkan kelompok nelayan dan beberapa petani. Hal serupa juga dilakukan seperti bertemu dengan sekaa Wayang Wong. Selanjutnya dihari yang lain, mengumpulkan anak-anak nelayan dan anak-anak diluar keluarga nelayan yang terbiasa di laut. Hal yang sama juga disampaikan seperti pada pertemuan-pertemuan dengan sekaa Wayang Wong, nelayan dan petani sebelumnya. Di setiap pertemuan-pertemuan dengan masyarakat selalu digunakan bahasa Bali halus. Terkadang beberapa kata diselipkan dengan bahasa Indonesia, karena kekurang tahuan tentang bahasa halus. Sehabis pertemuan, ada saja salah satu warga menghampiri agar jangan terlalu memakai bahasa Bali halus kepada mereka,

karena di masyarakat itu sudah terbiasa memakai bahasa Bali lumrah. Masyarakat Tejakula masih mentradisi hidup dalam kesetaraan, sehingga bahasa Bali lumrah/biasa dijadikan bahasa komunikasi keseharian. Saran untuk memakai bahasa Bali lumrah/biasa dirasakan sangat berat, oleh karena keberadaan sebagai seorang pendatang di Desa Tejakula dalam rangka meminta bantuan kepada masyarakat. Untuk itu dengan hati yang tulus, berkewajiban menghargai dan menghormati mereka dengan sikap dan bahasa yang baik sebatas kemampuan yang dimiliki. Di samping itu dapat belajar memahami keberadaan Desa Tejakula seperti halnya ketika tinggal di Solo. Setelah mendapatkan dewasa atau hari yang baik (hari Purnama, Jumat 2 Februari 2007) mulai melakukan latihan adegan demi adegan. Diawali dengan latihan oleh anak-anak nelayan yang berimprovisasi di laut dan tepi pantai tanpa memberikan koreografi yang dibakukan. Mereka sudah melakukan koreografi dengan jujur dan tulus sesuai kemauan hati mereka sebagai anak pantai. Anakanak hanya diberikan media berupa kail/pancing untuk mencari penyon (kepiting kecil) dan untang (pelampung renang yang terbuat dari kelapa yang tidak ada isinya). Ketika anak-anak nelayan dihadapkan pada suatu tujuan atau kepentingan pertunjukan, maka kejujuran dan ketulusan untuk beraktifitas mulai sedikit terganggu. Latihan dihari berikutnya adalah para nelayan dan petani, kelompok ini diberi kebebasan untuk berimprovisasi, seperti memperbaiki jala/jaring yang rusak, mengambil jaring di laut dengan perahu, petani memandikan sapinya, para istri nelayan dan petani mencari sayur dan kayu bakar. Semua kegiatan ini dilakukan dengan jujur dan ketulusan hati sebagai seorang nelayan dan petani. Rasa ini tidak dapat dimiliki oleh orang yang memiliki profesi yang berbeda. Di hari yang lain, penari Wayang Wong Yayasan Tejakukus diajak untuk latihan. Sutradara hanya berperan mengatur laku, skenario, dan sengaja tidak mengajari mereka tentang teknik gerak, oleh karena mereka sudah memiliki style dan gaya tersendiri. Apabila dipaksa menyelipkan gaya lain, dikhawatirkan gaya yang sudah mereka miliki menjadi campur baur. Dalam hal ini ingin diungkapkan style dan gaya gerak-gerak primer Wayang Wong Desa Tejakula. Latihan bagian selanjutnya adalah tokoh-tokoh etnis lain seperti Cina, Arab (Persia), Amerika, Jepang dan penduduk pendatang dari daerah lain. Di sini mereka hanya diberi dialog yang akan dikomunikasikan dalam drama dan sedikit gaya/bahasa tubuh yang

menggambarkan bangsa tiap-tiap negara. Dibantu oleh nelayan dengan empat perahu tradisi, membawa mereka (etnis lain) dari laut sebelah barat menuju ke arah pementasan. Setelah latihan adegan per adegan selesai, dicari kesepakatan hari untuk melakukan latihan gabungan (Jumat, 16 Februari 2007). Sebelum latihan dimulai diberikan pengarahan dan penegasan kembali, kapan saatnya masing-masing adegan masuk ke dalam koreografi. Setelah dirasa jelas oleh para pendukung, latihan dimulai dari awal hingga akhir. Tidak jarang dalam adegan yang sedang berlangsung, terpaksa harus dihentikan sejenak untuk memperbaiki adegan-adegan yang kurang sesuai dengan skenario, seperti lintasan penari di areal pentas, mendahului atau keterlambatan mereka masuk ke ruang koreografi dan hilangnya rasa kejujuran dan ketulusan mereka melakukan aktivitas keseharian karena dipengaruhi oleh suasana/nuansa pertunjukan. Bilamana ingin latihan gabungan/bersama dari seluruh adegan, maka sebelumnya harus latihan per adegan/sektoral terlebih dahulu. Ketika waktu luang diluar jadwal latihan, menyempatkan diri mencari informasi sebanyak-banyaknya kepada para sesepuh desa. Dengan informasi baru yang diperoleh, kemudian mengadakan penambahan pada tiap-tiap latihan dengan tidak merubah atau mengganggu koreografi yang sudah terwujud sebelumnya. Pada bulan Mei, dosen pengajar diundang datang ke Bali, agar karya ini cepat mendapatkan masukan dan perbaikan, serta saransaran. Pada hari Rabu, tanggal 6 Juni 2007, Bapak Prof. Sardono Waluyo Kusumo mengutus dan memberi kepercayaan kepada Bapak Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S Kar. M.Si. dan asistennya Bapak Bambang Suryono. S Kar. M.Sn. melihat latihan di pantai Desa Tejakula. Penampilan dilakukan pada pukul 16.30 Wita dengan sebaik-baiknya. Setelah penyajian koreografi selesai, diberikan saransaran dan perbaikan antara lain : jumlah pendukung yang perlu ditambah/diperbanyak, menyalakan api unggun di berbagai posisi pentas, adegan nelayan membuat jaring dan memanggang ikan perlu didorong agak ke dalam stage, potensi masyarakat harus diungkap lebih jelas, Megibung ditempatkan pada akhir adegan setelah penari out stage, tiap-tiap adegan dibuat lebih tajam, di areal pentas diisi penjor (seperti umbul-umbul dari bambu dengan hiasan janur), harus dipertegas mana karya Ni Komang Sri Wahyuni dan yang mana

karya I Gede Oka Surya Negara, begitu pula dalam penulisan deskripsi karya. Pertengahan bulan Juni, khabar menggembirakan dari Pascasarjana ISI Surakarta bahwa Bapak Prof. Sardono Waluyo Kusumo akan menguji karya Anggada Mada pada tanggal 30 Juni 2007. Pada kesempatan ini dihaturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Sardono Waluyo Kusumo atas kesediaan beliau meluangkan waktu yang sangat berharga, walaupun beliau teramat sangat sibuk mengemban tanggung jawab sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), pengajar, koreografer dan penari. Tak lupa pula diucapkan pula rasa terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si. dan Bapak Bambang Suryono, S.Kar., M.Sn., yang telah bersedia memberi saran-saran pada karya setelah melihat penyajian di Bali. Perbaikan-perbaikan terhadap karya ini sudah dilakukan sesuai dengan saran-saran yang telah diberikan. 3.3 Hambatan dan Solusi Awal mula melakukan observasi dan penjelajahan di Desa Tejakula, sangatlah mengagetkan sebagai orang Bali Selatan. Oleh karena ketika beberapa masyarakat menyapa dengan bahasa yang lugas : Kal kija ? (mau kemana ?). Sedangkan di Bali Selatan pada umumnya, sapaan pada orang yang lebih tua apalagi kepada orang lain yang belum di kenal akan menyapa dengan lebih halus : Jaga lunga kija ? (mau kemana ?). Banyak lagi hal-hal serupa yang dialami dalam berkomunikasi. Beberapa hari kemudian, disadari kalau kelugasan bahasa mereka sebagai salah satu ciri kebersamaan dan kesetaraan hidup bermasyarakat. Masayarakat pendukung Wayang Wong memiliki latar belakang sosial yang berbeda-beda, antara lain petani, guru, pemangku (pendeta), pematung, wiraswasta dan tukang bangunan. Dengan kesibukan pekerjaan mereka yang berbeda-beda, maka sangatlah sulit mengatur waktu dan hari agar dapat bertemu secara bersama-sama untuk latihan. Para nelayan adalah orang-orang yang sering menghadapi ganasnya gelombang laut, sehingga mempengaruhi temperamen individunya. Untuk melibatkan ke dalam karya ini, perlu ekstra hatihati baik sikap dan tingkah laku ketika berkomunikasi dengan mereka. Seringkali harus ikut bergabung dengan aktivitas mereka di laut, seperti menepikan perahu atau ikut mendorong perahu ke laut.

Terkadang harus menyuguhkan arak (minuman beralkohol) dan camilan kesukaan mereka, agar dapat lebih cepat beradaptasi ke dalam ruang komunikasi nelayan. Pendukung anak-anak adalah murid-murid yang berbeda sekolah, tempat tinggalnya pun di dusun yang berbeda-beda pula. Kegiatan tiap-tiap sekolah seperti les, pramuka, dan ekstra kurikuler, waktunya berbeda-beda, sehingga kendalanya adalah sulitnya berkumpul secara bersama-sama. Desa Tejakula berada diantara perbukitan di sebelah selatan dan laut disebelah utara. Di perbukitan maupun di pantai banyak berdiri tempat-tempat suci (Pura). Bilamana ada upacara, masyarakat berkewajiban untuk hadir melakukan persembahyangan. Di samping untuk pura, masyarakat tidak bisa terlepas dari ikatan adat yang mesti mereka jalankan, seperti harus hadir pada upacara adat seperti; perkawinan, kematian dan lain-lain. Kegiatan seperti ini tidak bisa di nomer duakan, sehingga waktu/peluang yang dimiliki oleh para pendukung sangat sedikit, namun waktu yang ada dimanfaatkan secara maksimal untuk mengadakan latihan dengan serius. Berjam-jam, berhari-hari, harus diusahakan untuk dapat bertemu dengan mereka, siang-malam bukan menjadi halangan, datang ke rumah mereka, ada atau tidak si empunya rumah, menelpon berapa pulsa yang telah dihabiskan, tetap tabah dan bersikeras untuk dapat mewujudkan karya Tugas Akhir. Sampai-sampai rambut kesayangan sebagai mahkota yang terurai sampai kepinggang harus dipotong paksa, karena tidak tahan kepala terasa panas menghadapi kendala-kendala yang dialami selama proses pengkaryaan. Ini adalah sebuah pengalaman baru tentang konsep penataan koreografi, oleh karena selama ini dalam berkoreografi hanya semata-mata sebagai ornamen budaya dan pelakunya hanya orang-orang yang tahu tehnik tari saja. Berkat kesabaran dalam menghadapi berbagai kendala, dan tanggung jawab dari seluruh pendukung beserta keluarganya, karya Anggada Mada dapat terwujud walaupun masih belum sempurna. Keberhasilan karya ini bukan saja tergantung pada masyarakat atau pelaku seninya, tetapi juga sangat tergantung pada keadaan cuaca di pantai. Kekhawatiran selalu ada, bagaimana jika ombak besar ?, bagaimana kalau angin kencang dan hujan ?. Untuk itu hanya bisa berharap dan berdoa memasrahkan diri dengan tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

kejadian alam berada dalam kuasaNya. Mudah-mudahan dihari penyajian/Ujian Karya Seni, semua dapat dihindarkan dari segala halangan dan rintangan, sehingga ujian dapat terlaksana dan berlangsung dengan lancar.

BAB IV PERGELARAN KARYA 4.1 Sinopsis Ketika Rama merasa sudah cukup kuat untuk menggempur Alengka, Rama mengutus Anggada untuk menghadap Prabu Dasamuka. Tugas Anggada sebagai duta Rama adalah untuk menjajagi kekuatan Alengka dan sekaligus memberi ultimatum kepada Rahwana. Dengan mandat dari Rama, Anggada mengajukan dua pilihan kepada Rahawana, apakah bersedia mengembalikan Dewi Sita kepada Rama, ataukah tetap bersikukuh mempertahankannya. Jika Rahwana tetap mempertahankan Dewi Sita, ini berarti akan terjadi perang yang dahsyat. Prabu Rahwana bukanlah menanggapi kedua alternatif itu, melainkan mengingatkan bahwa sesungguhnya Anggada adalah keponakannya, karena Dewi Tara (ibu Anggada) adalah adik Dewi Tari (istri Rahwana). Prabu Rahwana juga mengingatkan bahwa ayah Anggada, yaitu Rsi Subali adalah guru Rahwana. Dengan demikian, Rahwana adalah murid ayahnya. Lagi pula Subali tewas karena dibunuh oleh Rama yang bersekutu dengan Sugriwa. Hasutan Rahwana ini akhirnya dapat mempengaruhi pendirian Anggada, apalagi ketika itu Rahwana sengaja menghidangkan berbagai minuman keras/beralkohol yang memabukkan Anggada. Oleh karena itu Anggada kembali ke markas Rama di Suwela Giri dengan mabuk kemarahan dan mabuk dendam. Dalam perjalanan, Anggada kebingungan karena Rama sangat sakti, kecil kemungkinan ia dapat membunuhnya. Dalam keadaan mabuk pasarah dan memelas, ia minta kepada para Dewa untuk memberinya kesaktian. Datanglah Dewi Durga mengabulkan

permintaannya dengan memberi sepasukan raksasa dan merubah wujudnya menjadi seorang raksasa, agar tidak diketahui oleh Rama dan pasukannya. Di Suwela Giri (Gunung Suwela), tempat perkemahan pasukan Rama, Anggada dengan wujud raksasa langsung mengamuk dan berteriak-teriak mengancam Rama. Sebelum banyak korban berjatuhan, Hanoman segera datang meringkusnya. Rama kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya membunuh Subali semata-mata karena mengemban tugas dari para Dewa. Oleh para Dewa Subali dipersalahkan telah mengajarkan ilmu Aji Pancasona atau Aji Mundri kepada Rahwana yang diketahui selalu bertindak angkara murka. Putra Subali itu akhirnya insyaf bahwa ia sudah dihasut oleh Rahwana. Anggada yang berwujud raksasa akhirnya dikembalikan ke wujud aslinya seperti sedia kala. Permohonan maaf Anggada dikabulkan oleh Ramawijaya. 4.2 Deskripsi Lokasi Karya ini disajkan di pantai Dusun Kanginan, Desa Tejakula, Kabupaten Buleleng Bali. Tempat ini dipilih karena sangat terkait dengan sejarah, budaya dan tradisi desa setempat yang akan diaplikasikan ke dalam karya seni, yaitu Hiliran karya Ni Komang Sri Wahyuni dan Anggada Mada. Pertunjukan dimulai pukul 16.30 Wita, diawali dengan karya Hiliran dengan dusarai 1 (satu) jam 30 menit dan dilanjutkan dengan karya Anggada Mada yang juga berdurasi 1 (satu) jam 30 menit. Pemilihan kegelapan malam adalah untuk mendukung suasana perang api yang berterbangan dari areal kiri (B) ke kanan stage (A) dan sebaliknya. Areal pementasan dibagi menjadi dua, yaitu di laut (C) dan di tepi pantai. Areal tepi pantai dibagi menjadi dua, yaitu bagian kanan (A) dan kiri (B). Bagian kanan dan kiri dipisah oleh sungai kecil yang mengalir ke laut (D). Panjang areal pementasan kurang lebih 50 meter dan lebar kurang lebih 25 meter. Pantai ini bukan saja berpasir hitam, tetapi juga bercampur dengan batu-batu kerikil. Denah Lokasi Pementasan : 50 m E F 25 m

C

D A B

Keterangan ; A = Stage bagian kanan E = Jembatan bambu B = Stage bagian kiri F = Undagundag/tangga C = Laut D = Sungai 4.3 Penataan Pentas Pantai Desa Tejakula dengan laut lepasnya dipilih sebagai tempat penyajian Anggada Mada. Untuk mendukung suasana tempat pementasan dan penyajian Anggada Mada, penataan pentas dapat dipilih menjadi tiga bagian, yaitu : penataan yang sudah menjadi kebiasaan bagi para nelayan, penataan yang sengaja dibuat oleh penggarap dan penataan yang sudah tersedia di alam. Adapun penataan pentas yang sudah menjadi kebiasaan bagi para nelayan, antara lain : a.Menempatkan beberapa perahu disisi kanan dan kiri stage. b. Menggantung jaring-jaring ikan di belakang kiri stage. Penataan yang sengaja dibuat oleh penggarap, antara lain : a.Di kanan stage dibuat tempat pemanggangan ikan. b. Di belakang kiri stage ditempatkan seperangkat gamelan batel untuk iringan Anggada Mada. c.Dibeberapa titik areal pentas disusun tumpukan-tumpukan serabut kepala yang digunakan untuk api unggun. d. Di belakang kanan stage dipasang satu buah penjor, di depan kanan dan kiri stage/tepi pantai dipasang dua buah penjor. Di beberapa areal pentas dipasang dua puluh buah umbul-umbul. e.Dua buah perahu nelayan yang melakukan aktivitas memancing di laut sambil lalu lalang menonton Anggada Mada. f. Satu buah tedung (payung) ditempat gamelan batel. Penataan yang sudah tersedia di alam, antara lain :

a.Sebuah sungai yang memisahkan bagian kanan stage dengan bagian kiri stage b. Di bagian belakang, samping kanan dan kiri stage tumbuh pepohonan yang menghijau. c.Pasir hitam yang bercampur kerikil di areal tepi pantai Denah Penataan Pentas: E

F

Keterangan : = perahu = jaring-jaring ikan = tempat membakar ikan = tempat instrumen gamelan batel = tumpukan serabut kelapa untuk api unggun = Penjor = umbul-umbul = perahu nelayan di laut sedang memancing = tedung panjang -----= sungai = pohon-pohon yang menghijau = pasir hitam yang bercampur kerikil Untuk memperjelas dialog pemeran yang diucapkan, digunakan empat buah wirelless yang ditempatkan di area kanan dan kiri stage. Dua buah klip on dipakai oleh dua orang monolog bertopeng. Penggunaan lampu listrik tidak dipergunakan pada karya Anggada Mada, tetapi hanya memakai lampu petromak/ strongking pada saat adegan magibung, yang semata-mata hanya untuk penerangan adegan saja.

4.4 Durasi Karya Adegan 1 : diawali dengan sebuah prosesi oleh seluruh penari, penabuh, pemangku/pendeta dan beberapa masyarakat sampai dilakukan ritual di tempat pementasan. Durasi : 15 menit Property : Alat-alat upacara Adegan ke 2 : Punakawan dan pasukan kera menari, lalu menghadap Rama, Laksamana dan Wibisana. Selanjutnya Anggada berangkat ke Alengka setelah diutus oleh Rama. Durasi : 15 menit Adegan ke 3 : Di Alengka, Punakawan, Rahwana, Raksasa dan para dayang sedang menjamu Anggada hingga mabuk dan menghasutnya. Anggada mabuk dengan diselimuti dendam balik menemui Rama. Durasi : 20 menit Property : Labu tempat minuman keras, buahbuahan dan nampan. Adegan ke 4 : Anggada mabuk dalam perjalanan dirasuki kemarahan dan dendam, mengamuk di tengah laut. Sampai akhirnya Dewi Durga memberikan kesaktian dan pasukan raksasa. Durasi : 20 menit Property : pencar/jaring ikan, topeng raksasa. Adegan ke 5 : Di Gunung Suwela, pasukan kera kalang kabut yang tiba-tiba diserang oleh Anggada. Rama datang menyadarkan Anggada. Masyarakat bergembira atas insyafnya Anggada. Durasi : 20 menit Property : topeng Anggada, Klakat yang sudah dilengkapi dengan nasi, lauk dan pauk. 4.5 Susunan Acara Pada tanggal 30 Juni 2007, pendukung karya seni sudah berkumpul di tempat pementasan pukul 14.30 wita. Sebelum berhias terlebih dahulu disuguhi minum dan makanan ringan. Selanjutnya mulai mempersiapkan diri masing-masing sesuai peran dan tugasnya.

Para pendukung stage crew telah mempersiapkan segalanya, baik sound system dan property mulai pukul 12.00 wita. Undangan untuk pemuka masyarakat Desa Tejakula seperti, Kepala Camat Tejakula, Kepala Desa Tejakula, Mantan Kepala Desa Tejakula, Kepala Dusun se Desa Tejakula, Ketua Yayasan beserta seluruh pengurus Yayasan Tejakukus dan Sesepuh/Empu Wayang Wong Tejakula berada di tempat pementasan pukul 16.00 Wita sambil menikmati hidangan ala kadarnya. Rektor ISI Denpasar yang telah diundang tidak bisa hadir oleh karena sakit, tetapi diwakilkan oleh salah satu dosen karawitan ISI Denpasar. Setelah tiga orang penguji karya seni, yaitu Prof. Sardono Waluyo Kusumo, Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar.,M.Si., dan Dr. I Nyoman Catra, SST.,M.A., ada ditempat yang telah disediakan, tepatnya pukul 16.30 wita pertunjukan segera dimulai. Diawali oleh seorang pembawa acara menyampaikan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berkat rahmatnya, karya seni ini dapat disajikan sesuai dengan hari yang telah ditentukan. Selanjutnya menyampaikan rasa terima kasih kepada para penguji yang berkenan menguji karya Hiliran dan Anggada Mada. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pemuka masyarakat serta masyarakat Desa Tejakula yang bersedia hadir menyaksikan karya seni ini. Usai menyampaikan rasa terimakasih, dilanjutkan dengan penyajian karya seni Hiliran oleh Ni Komang Sri Wahyuni dengan durasi 1 jam 30 menit dan dilanjutkan penyajian karya seni Anggada Mada dengan durasi 1 jam 30 menit. Setelah penyajian dua karya seni selesai, para pendukung karya, tim produksi, seluruh undangan dan penguji dihidangkan makan malam. Sambil menyantap hidangan yang telah disediakan, penggarap memberikan sekedar uang transportasi selama latihan kepada seluruh pendukung karya seni. Setelah para penguji selesai menyantap hidangan makan malam, ujian pertanggung jawaban karya seni/komprehensip segera di mulai.

4.6 Pendukung Karya Ada dua kelompok yang berperan penting dalam penyusunan karya seni Anggada Mada yaitu kelompok Artistik dan kelompok/tim produksi. Kelompok Artistik : A. Penari: Werdah : I Ketut Mulia Tualen : I Ketut Pasek Palawaga/kapi-kapi : I Gede Darsana I Gede Sujana I Gede Dalang I Nyoman Tuman I Nyoman Cani I Gede Jelantik Hanoman : I Gede Suarsana Sugriwa : I Komang Mulia Wibisana : I Ketut Patih Laksamana : Ni Luh Sri Hartini Rama : I Gede Toya Delem : Jro Dalang Sadnyama Sangut : I Nyoman Surata Raksasa : I Gede`pasek Nengah Madra I Gede Gunawan I Ketut Pande Dayang-dayang : Ni Ketut Julianti Ni Luh Supartini Ni Kadek Ratna Dewi Ni Made Triastuti Rahwana : I Gede Suarsana Dewi Durga : I Gede Sujana Dalang/Sendon : I Gede Putu Tirta Nelayan dan Petani : I Made Sudana I Wayan Werka I Nyoman Suka I Gede Oka I Nyoman Sriteka I Wayan Mawa I Wayan Nadi

Pemuka Desa Cina Arab

Amerika Jepang Widyastuti Pendatang Daerah Bali

I Made Sudas I Made Sumerta I Ketut Sutama I Gede Sukarta I Made Budi I Nengah Ardi I Nyoman Sutarja Ni Nengah Merta Ni Made Manik Ni Ketut Sekar Ni Luh Sri : I Gede Oka Surya Negara I Gusti Ngurah Supartama : Ni Komang Sri Wahyuni Ida Bagus Anom : A. A. Gede Agung Rahma Putra I Gede Santara I Gede Darmasa I Gede Suparta : I Gede Partika I Gede Suastika : Ida Bagus Gede Surya Pradenta Ida Ayu Gede Sasrami : I Made Sukarda I Putu Agus Eka Saputra I Gede Ngurah Januarta I Nyoman Supada : I Gede Oka Sukayadnya : I Gede Suyasa I Komang Agus I Putu Arya I Gede Maya I Putu Ngurah Surya Atmaja I Gede Agus Kurniawan I Gede Wita I Gede Andreka I Nyoman Supatra Jaya I Nyoman Swastika

Desa Negak Baris Cendek

Peed/Prosesi

: Ni Made Arini Ni Ketut Hayati Ni Ketut Sariani I Made Sudibya I Made Sahraga Ni Wayan Tantri Ni Komang Ayu Ni Luh Darmini Ni Wayan Sarianing Ni Luh Kirani Ni Luh Ardani Ni Made Rupadi Ni Wayan Suwining Ni Ketut Kartini I Nyoman Adita I Putu Sujana I Nyoman Sugiana I Kadek Wisaka I Gede Sutarsa I Made Padma I Gede Adnyana I Nyoman Sugiarta I Nyoman Putri adi Dan seluruh penari, penabuh, dalang dan pemangku/pendeta Pemangku/pendeta : Jero Mangku Ngurah Kelompok/tim Produksi terdiri dari: Pimpinan : I Gede Putu Tirta Ngis Produksi Sekretaris : Drs. Rinto Widyarto, M.Si. Ni Luh Sri Hartini,S.Sn. Bendahara : I Nyoman Sariana,S.Pd. Sutradara : Ni Komang Sri Wahyuni I Gede Oka Surya Negara Stage Manager : Jero Dalang Sadnyana Artistik : Guru Made Sujana Tata Rias dan : Ni Luh Menek Busana

Dokumentasi Humas Publikasi Sound System Transportasi Koordinator Crew Among Tamu

: : : : : : :

I Made Sukarda,S.Sn I Gusti Ngurah Supartama,S.Sn Ni Kadek Ari Drs. I Dewa Made Darmawan,M.Si I Made Melium I Nyoman Agus Jaya Negara I Ketut Warjana, SE I Nyoman Agus Triantara, SH I Ketut Surapa, SST I Wayan Sudenes I Gede Oka Sukayadnya,S.Sn Ni Made Arini Ni Ketut Hayati Ni Ketut Sariani Ni Made Sudibya Ni Made Sahraga Anak Agung Bagus Sudama, S.Pd. I Gede Sudana Ni Wayan Tatri Ni Komang Ayu Ni Luh Darmini Ni Wayan Sarianing Ni Luh Kirani Ni Luh Ardani Ni Made Rupadi Ni Luh Suratni Ni Luh Arniti Ni Wayan Surining Ni Ketut Kartini I Nyoman Adita I Putu Sujana I Nyoman Sugiana I Kadek Wisaka I Gede Sutarsa

Perlengkapan Konsumsi Penguji Konsumsi Umum

: :

:

Keamanan (Pecalang Desa Tejakula)

:

I Wayan Tantra I Wayan Subatra I Gede Alit I Nyoman Sukarsa I Made Padma I Gede Adnyana I Nyoman Sugiarta I Nyoman Putradi

Pembantu Umum

:

DAFTAR ACUAN Bandem, I Made, dan Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1996. __________. Ensiklopedi Tari Bali. Akademi Seni Tari Indonesia, 1983. Denpasar :

Budi Artha, I Nyoman. Perkembangan Dramatari Wayang Wong Tejakula dalam Perubahan Budaya Bali. Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2004. Dibia, I Wayan. Bergerak Menurut Kata Hati. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003. ___________. Tari-tarian Bali Kreasi Baru : Bentuk pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam Mudra, No. 2 Th. II Februari, 1994. Murgiyanto, Sal. Cakrawala Pertunjukan Budaya dalam Tommy F. Awuy. Tiga jejak, Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2005. ___________. Ketika Cahaya Memudar, Sebuah Kritik Tari. Jakarta: Deviri Ganan, 1993. Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali. Kamus KawiBali. Denpasar : Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1988. Soedarsono. Wayang Wong: Dramatari Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 1999. ___________. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2002.

GLOSARIUM Asah Asih Asuh Abian Buduh Bade Batel Dewasa Dayang-dayang Entung-entungan api Genjek Sama sederajat. Menyayangi dan mencintai. Sama-sama menjaga dan menghargai. Tegalan atau kebun. Gila. Salah satu sarana upacara ngaben/kematian. Seperangkat gambelan/instrumen untuk mengiringi pertunjukan Wayang Wong. Hari yang baik untuk mengawali/memulai suatu pekerjaan. Abdi wanita dalam seni pertunjuukan. Saling melempar api yang terbuat darisarabut kelapa yang dibakar. Kelompok bernyanyi dengan Sekar Alit, yang dilakukan dalam posisi duduk sambil menari dan minum tuak. Pelakunya dalam bermain musik menirukan bunyi alat-alat/instrumen gambelan dengan suaranya. Wabah yang menimpa masyarakat. Kentongan yang dibuat dari bambu yang berukuran panjang 60 cm. Tempat makan menyerupai nampan yang terbuat dari jalinan bambu dengan ukuran 60 cm persegi. Sifat congkak. Makan bersama antara 4 sampai 5 orang dalam satu klakat. Penari yang keluar dari areal pementasan (out stage). Segala pekerjaan yang dilakkukan tanpa menerima imbalan, biasanya dilakukan untuk kepentingan keagamaan. Lagu/tembang atau ucapan yang

Grubug Kulkul Klakat Mokak Magibung Ngerangki Ngayah Pemahbah

Petangkilan Paruman Pematbat Peed Pengalangkara Punyah Penyon Penjor Rengganis

Sekaa Sambuk Untang

disampaikan kepada penonton sebelum penari masuk ke stage, yang bertujuan memperkenalkan tokoh. Menyambut kedatangan tokoh atau prabu. Mengadakan pertemuan antar kelompok untuk membahas suatu masalah atau kegiatan. Tembang atau ucapan yang dipakai untuk suasana bertengkar antar tokoh perwatakan. Iring-iringan/prosesi kelompok orang menuju suatu tempat untuk melakukan ritual upacara. Tembang atau ucapan oleh seorang dalang untuk menyampaikan inti cerita kepada penonton. Mabuk oleh minuman beralkohol. Kepiting yang masih kecil. Berbentuk umbul-umbul, tetapi semua hiasannya memakai janur. Kelompok bernyanyi dengan Sekar Madya, yang iringan musiknya dilakukan oleh penarinya sendiri dengan meniru suara kodok (genggong) melalui bibir penari dalam posisi duduk. Sebuah organisasi/kelompok yang anggotanya mendalami profesi yang sama. Serabut kelapa. Dua buah kelapa kering tanpa isi/kosong diikatkan menjadi satu. Dipakai untuk pelampung renang.