9
ARTIKEL KONDISI LINGKUNGAN PEMUKIMAN YANG TIDAK SEHAT BERISIKO TERHADAP KEJADIAN LEPTOSPIROSIS (STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG) Tri Ramadhani,* Bambang Yunianto* THE RISK OF INHEAL THY SETTLEMEN ENVIRONMENT WITH LEPTOSPIROSIS CASE ( CASE STUDY IN SEMARANG CITY) Abstract Leptospirosis is an acute febrile illness infecting human and animal (zoonotic) and caused by the bacteria leptospira. Semarang city is one endemic leptospirosis with incidence rate in 2009 of 13,27/100.000 and case fatality rate 3,5%. The research objective was to find out the impact of settlement environment conditional with leptospirosis cases. The study was observational with cross sectional design. Population are the people who visit the health center in Semarang city and sample is a part patient in health center with clinical sympthoms leptosirosis from May up to November 2009. Leptospirosis case maintained with laboratory test uses leptotek lateral flow. Data collection with interview and observation, analyzing by univariat, bivariat (chi square) and multivariate with regresi logistic metode. Out of 105 responden, 67 (63,8%) leptospirosis positive and 38 (36,2%) negative. Poor housing had a 3,4-fold increase for leptospirosis (OR=3.4; 95% CI=1.050-10.779). Sanitary conditional to indoor and outdoor is not significant with leptospirosis (p=0,051). Rat eksistensi in house had a 6.4-ford increase for leptospirosis (OR=6.4; 95% €1=2.081-19.983) and there is dominant factor that affect leptospirosis. Poor environmental of settlement increases risk for leptospirosis Key words, environmental, settlement, leptospirosis Pendahuluan L eptospirosis merupakan salah satu penyakit bersumber binatang (zoonosis) yang memerlukan upaya penanggulangan yang serius. Data dari International Leptospirosis Society (ILS) menyebutkan bahwa Indonesia dinyatakan sebagai negara insiden leptospirosis tingkat 3 di dunia untuk mortalitas. 1 Di Jakarta selama tahun 1998-1999, ditemukan 51 orang penderita leptospirosis. Tahun 2002 ditemukan lebih dari 100 orang penderita leptospirosis dan 7 penderita diantaranya meninggal dunia. Tahun 2004 di daerah yang sama pasca banjir terindikasi 44 kasus leptospirosis dan 4 penderita diantaranya meninggal dunia, dan tahun 2005 ditemukan 7 kasus leptospirosis. 2 Secara umum di Indonesia angka kematian leptospirosis mencapai 2,5% - 16,45% atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai 56% pada penderita berusia 50 tahun ke atas. 3 Loka litbang P2B2 Banjarnegara S46 Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010

747-1109-1-PB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ZXZXZXZXZXX

Citation preview

  • ARTIKEL

    KONDISI LINGKUNGAN PEMUKIMANYANG TIDAK SEHAT BERISIKO

    TERHADAP KEJADIAN LEPTOSPIROSIS(STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG)

    Tri Ramadhani,* Bambang Yunianto*

    THE RISK OF INHEAL THY SETTLEMEN ENVIRONMENTWITH LEPTOSPIROSIS CASE

    ( CASE STUDY IN SEMARANG CITY)

    AbstractLeptospirosis is an acute febrile illness infecting human and animal (zoonotic) and caused by thebacteria leptospira. Semarang city is one endemic leptospirosis with incidence rate in 2009 of13,27/100.000 and case fatality rate 3,5%. The research objective was to find out the impact ofsettlement environment conditional with leptospirosis cases. The study was observational with crosssectional design. Population are the people who visit the health center in Semarang city and sample is apart patient in health center with clinical sympthoms leptosirosis from May up to November 2009.Leptospirosis case maintained with laboratory test uses leptotek lateral flow. Data collection withinterview and observation, analyzing by univariat, bivariat (chi square) and multivariate with regresilogistic metode. Out of 105 responden, 67 (63,8%) leptospirosis positive and 38 (36,2%) negative. Poorhousing had a 3,4-fold increase for leptospirosis (OR=3.4; 95% CI=1.050-10.779). Sanitaryconditional to indoor and outdoor is not significant with leptospirosis (p=0,051). Rat eksistensi in househad a 6.4-ford increase for leptospirosis (OR=6.4; 95% 1=2.081-19.983) and there is dominant factorthat affect leptospirosis. Poor environmental of settlement increases risk for leptospirosis

    Key words, environmental, settlement, leptospirosis

    Pendahuluan

    L eptospirosis merupakan salah satupenyakit bersumber binatang (zoonosis)yang memerlukan upaya penanggulanganyang serius. Data dari International LeptospirosisSociety (ILS) menyebutkan bahwa Indonesiadinyatakan sebagai negara insiden leptospirosistingkat 3 di dunia untuk mortalitas.1 Di Jakartaselama tahun 1998-1999, ditemukan 51 orangpenderita leptospirosis. Tahun 2002 ditemukan

    lebih dari 100 orang penderita leptospirosis dan 7penderita diantaranya meninggal dunia. Tahun2004 di daerah yang sama pasca banjir terindikasi44 kasus leptospirosis dan 4 penderita diantaranyameninggal dunia, dan tahun 2005 ditemukan 7kasus leptospirosis.2 Secara umum di Indonesiaangka kematian leptospirosis mencapai 2,5% -16,45% atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapatmencapai 56% pada penderita berusia 50 tahun keatas.3

    Loka litbang P2B2 Banjarnegara

    S46 Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010

  • Enam tahun terakhir ini kota Semarangdilaporkan adanya kejadian kasus leptospirosispada setiap tahunnya. Hasil pendataan dari RumahSakit yang ada di Kota Semarang pada tahun 2002dilaporkan 3 penderita dan 1 orang meninggal(Case Fatality Rate (CFR)= 33,33%), tahun 2003dilaporkan terdapat 12 penderita dan 2 orangmeninggal (CFR=16,67%), tahun 2004 terdapat37 penderita dan 13 orang meninggal(CFR=35,14%), tahun 2005 terdapat 19 penderitadan 3 orang meninggal (CFR=15,79%), tahun2006 terdapat 26 penderita dan 7 orang meninggal(CFR=26,92%) dan tahun 2007 ditemukan 9penderita dengan 1 orang meninggal(CFR=11,11%).4

    Leptospirosis umumnya menyerang parapetani, pekerja perkebunan, pekerja tambang/selokan pekerja rumah potong hewan dan militer.Hal ini juga menjadi ancaman bagi masyarakatyang mempunyai hobi melakukan aktivitas didanau atau sungai seperti berenang.5

    Faktor lingkungan sangat penting dalammendukung penularan leptospirosis, manusiaterinfeksi bakteri leptospira karena kontak denganair atau tanah yang terkontaminasi oleh urin ataucairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksibakteri leptospira. Leptospira masuk lewat kulityang luka atau membran mukosa.6'7 Di negarasubtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan,iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospiraadalah udara yang hangat, tanah yang basah danpH alkalis. Keadaan yang demikian dapatdijumpai di negara tropik sepanjang tahun. Dinegara beriklim tropik, kejadian leptospirosislebih banyak 1000 kali dibandingkan dengannegara subtropik dengan risiko penyakit lebihberat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuikondisi lingkungan pemukiman yang berpengaruhterhadap kejadian leptospirosis.

    MetodePenelitian ini merupakan penelitian

    observasional dengan rancangan cross sectional.Lokasi penelitian dilakukan di wilayah KotaSemarang yang dikenal sebagai salah satu daerahendemis leptospirosis di Jawa Tengah. Surveidilakukan dari bulan Mei sampai November 2009.Populasi adalah semua penduduk yang datang kePuskesmas yang ada di wilayah Kota Semarang.Sampel adalah penduduk yang datang ke,Puskesmas dengan menunjukkan gejala klinis

    Leptospirosis (utamanya: demam (suhu badan >37C) atau demam disertai sakit kepala, nyeri otot,konjungtivitis dan ruam).

    Pada sampel dilakukan pengambilan darahvena mediana cubiti dengan menggunakan syringeleedle sebanyak 2-3 ml. Ukuran needle 21 G danvolume syringe 3 cc. Pengambilan dilakukan olehtenaga medis Puskesmas setempat (dokter, bidanatau perawat) didampingi oleh tim peneliti. Darahdiambil serumnya, dengan cara darah dalamsyringe needle dimasukkan dalam tabung reaksi,kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3000rpm selama 15 menit kemudian diuji secara rapiddengan dengan leptotek lateral flow. Selain itupada sampel juga dilakukan wawancara denganmenggunakan kuisioner terstruktur dan observasidengan check list. Data kondisi lingkunganpemukiman meliputi rumah sehat, sanitasi rumahtempat tinggal dan keberadaan tikus di dalam dansekitar rumah. Komponen rumah sehat meliputidinding rumah dan dapur, lantai, ventilasi, kondisipintu, langit-langit, jendela dan kondisinya.Komponen sanitasi rumah tempat tinggal meliputijenis dan keberadaan tempat sampah, frekuensimembuang sampah, penataan perabot rumah,saluran air limbah dan penampungannya.Komponen keberadaan tikus meliputi adanyasemak belukar/vegetasi, dijumpai tikus sertafrekuensi melihat tikus.Tiap-tiap unsur darikomponen diberi skor 0-1. Kriteria rumah sehatadalah jumlah skor > 6 dan rumah tidak sehat 4 dan sanitasi rumah yang buruk < 4.Sedangkan kriteria keberadaan adanya tikusadalah jumlah skor > 2. Analisis data dilakukansecara univariat, bivariat (Chi Square) sertamultivariat dengan metode logistik regresi. Etikpenelitian didapatkan dari komisi etik BadanLitbangkes Kementerian Kesehatan RI.

    HasilKota Semarang terletak antara garis 6 50' -

    10 10' Lintang Selatan dan garis 109 35' - 110

    50' Bujur Timur. Sebelah barat berbatasan denganKabupaten Kendal, sebelah Timur berbatasandengan Kabupaten Demak, sebelah Selatanberbatasan dengan Kabupaten Semarang dansebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa, dengangaris pantai sepanjang 13,6 Km. Kota Semarangterletak pada ketinggian antara 0,75 m sampaidengan 348 m diatas garis pantai.8 Luas wilayahKota Semarang adalah 373,70 km2, terbagi dalam

    Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010 S47

  • 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatanyang memiliki wilayah paling luas adalahkecamatan Mijen (57,55 km2). Sedangkankecamatan dengan luas terkecil adalah KecamatanSemarang Selatan (5,93 km2). KecamatanGunungpati (54,11 km2) adalah Kecamatan yangsebagian besar wilayahnya berupa persawahandan perkebunan. Kecamatan Semarang Tengah(6,14 km2) adalah kecamatan yang sebagian besarwilayahnya berupa pusat perekonomian dan bisnisKota Semarang, seperti bangunan toko, mall,pasar dan perkantoran.8 Suhu udara rata-rata diKota Semarang pada tahun 2008 berkisar antara25-37C, dengan kelembaban udara beradadiantara 62-82%. Letak Kota Semarang hampirberada di tengah bentangan panjang KepulauanIndonesia dari arah Barat ke Timur. Akibat posisiletak geografi tersebut, Kota Semarang beriklimtropis dengan dua musim, yaitu musim hujan danmusim kemarau silih berganti sepanjang tahun.8

    Kejadian LeptospirosLs di Kota Semarangdalam 5 tahun terakhir cenderung mengalamikenaikan, khususnya 3 tahun terakhir (2007-2009), dan persebarannya cenderung tidak merata,akan tetapi Kecamatan Gayamsari dan Tembalangmengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kasus

    leptospirosis cenderung hanya berada di duaKecamatan tersebut. Hal ini kemungkinan karenakegiatan surveillens di kedua Kecamatan tersebutsangat baik, sehingga kasus leptospirosis secaradini dapat terdeteksi.

    Pada tahun 2009 penemuan kasusleptospirosis banyak ditemukan di tingkatPuskesmas, hal ini berbeda dengan kondisi tahun2008, di mana kasus leptospirosis banyakditemukan di rumah sakit yang ada di KotaSemarang. Kasus leptospirosis di wilayah kotaSemarang cenderung menyebar dari tahun 2007 -2009 dan tidak ada hubungan epidemiologisantara kasus satu dengan lainnya. Hal inimengindikasikan lokasi tersebut merupakandaerah rawan leptospirosis. Kejadian leptospirosisdi Kota Semarang secara lengkap terlihat dalamlabel 1.

    Jumlah sampel yang berhasil diwawancaraidan bersedia ikut dalam penelitian ini sebanyak105 orang yang terdiri dari 67 responden positifleptospirosis dan 38 responden negativeleptosrosis berdasarkan hasil uji laboratoriumdengan menggunakan leptotek lateral flow.

    Tabel 1. Kasus Leptospirosis per Kecamatan di Kota Semarang Tahun 2004 - 2009

    No12345678910111213141516

    KecamatanSemarang UtaraSemarang BaratSemarang TengahPedurunganSemarang SelatanCandisariGajahmungkurGayamsariBanyumanikNgaliyanTuguMijenSemarang TimurTembalangGenukGunungpati

    Jumlah

    2004933325130001171040

    2005530124010000120019

    20065531413000000311

    27

    200701100010200010006

    200811157179911111764351517

    148

    20093645672

    4412004

    11141

    200Sumber : Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Berbagai Sumber

    S48 Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010

  • Kondisi lingkungan pemukiman yangmeliputi tiga unsur yaitu rumah sehat, sanitasirumah tempat tinggal serta keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah. Hasil analisa univariatkondisi rumah pada penderita leptospirosissebagian besar dinding rumah (71,4%) dandinding dapur (88,2%) bukan tembok, sedangkanlantai sebagian besar (66,7%) masih tanah. Jenisbahan pintu sebagian besar (77,8%) bukan darikayu melainkan dari triplek, sedangkan kondisijendela sebanyak 83,3% tidak dapat menutupdengan rapat. Kondisi sanitasi rumah tempattinggal sebagian besar penderita leptospirosismempunyai tempat sampah (78,6%) dengan

    kondisi terbuka (67,0%) dan frekuensipembuangan tidak rutin dilakukan setiap hari(64,0%). Penataan perabotan dalam rumahsebagian besar (71,8%) tidak tertata rapi atausemrawut. Keberadaan tikus di dalam dan sekitarrumah dapat terlihat dari adanya semak belukaratau vegetasi yang ada di sekitar rumah penderitaleptospirosis (64,1%). Penderita leptospirosissebagian besar (69,8%) pernah menjumpai tikusdi sekitar rumahnya dengan frekuensi lebih dari 1kali dalam seminggu (72,8%). Gambaran kondisilingkungan pemukiman di sekitar penderitaleptospirosis secara lengkap terlihat dalam tabel2-5.

    Tabel 2. Kondisi Perumahan (Rumah Sehat) dengan Kejadian Leptospirosis

    Hasil leptotek lateral flowPositif(n=67) Negatif (n=38)

    n % n %

    Total

    Dinding rumah- Bukan tembok- TembokDinding dapur- Bukan tembok- TembokLantai- Tanah- Bukan tanahVentilasi- Ada- Tidak adaKondisi pintu- Tidak menutup rapat- Menutup rapatLangit-langit- Tidak ada- AdaJendela- Ada- Tidak adaKondisi jendela- Tidak menutup rapat- Menutup rapat

    562

    1552

    265

    607

    1453

    2245

    5116

    1041

    71,463,3

    88,259,1

    66,763,7

    63,863,6

    77,860,9

    52,471,4

    60,776,2

    83,356,9

    236

    236

    137

    344

    434

    2018

    335

    231

    28,636,7

    11,840,9

    33,336,3

    36,236,4

    22,239,1

    47,628,6

    39,323,8

    16,743,1

    798

    1788

    3102

    9411

    1887

    4263

    8421

    1272

    100100

    100100100100

    100100

    100100

    100100

    100100

    100100

    Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010 S49

  • Tabel 3. Sanitasi Rumah Tempat Tinggal dengan Kejadian Leptospirosis

    Tempat sampahTidak adaAda

    Jenis tempat sampah- Terbuka- TertutupFrek membuang sampah- Tidak rutin setiap hari- Rutin setiap hariPerabot rumah- Tidak rapi/semrawut- Tersusun rapiSaluran air limbah

    AdaTidak ada

    Penampungan air limbah- Ada

    Tidak ada

    Tabel 4. Keberadaan Tikus di

    Semak belukar/vegetasi- Ada- Tidak adaDijumpai tikus- Ya- TidakFrekuensi melihat tikus- > 1 kali dalam seminggu- < 1 kali dalam seminggu

    Tabel 5. Kondisi Lingkungan

    Kondisi rumah- Tidak sehat- SehatSanitasi rumah tempat tinggal- Buruk- Baik

    Hasil leptotek lateral flowT/\

  • Hasil analisis bivariat menunjukkanresponden yang kondisi rumahnya tidak sehatmempunyai risiko sebesar 3 kali untuk menderitaleptospirosis dibandingkan responden dengankondisi rumah yang sehat, dan secara statistikhubungan ini terbukti bermakna (p=0,034;RP=3,365 CI: 1,050-10,779). Kondisi sanitasirumah tempat tinggal secara statistik tidakberhubungan dengan kejadian leptospirosisdengan nilai p-value 0,051 yang berarti >0,05.Adanya tikus di dalam dan sekitar rumahresponden mempunyai risiko 6 kali untukmenderita leptospirosis dibandingkan rumahresponden yang bebas dari tikus. Diketahui pulaada hubungan yang signifikan secara statistikantara keberadaan tikus di dalam dan sekitarrumah dengan kejadian leptospirosis(p=0,000;RP=6,448 CI:2,081 -19,983).

    Faktor determinan yang berhubungandengan kejadian leptospirosis di Kota Semarangtahun 2009 adalah keberadaan tikus di dalam dansekitar rumah, dimana model ini bermakna secarastatistik terhadap kejadian leptospirosis danmerupakan faktor dominan (label 6).

    Jumlah sampel air yang diuji bakteriologissebanyak 130 sampel, dan 5 sampel yang positifmengandung Leptospira (3,8%).

    PembahasanKejadian kasus leptospirosis di Kota

    Semarang tahun 2009 lebih banyak menyerang

    pada usia anak sekolah (0-19 tahun) Kondisitersebut berbeda dengan tahun 2008 dimana kasusleptospirosis banyak menyerang kelompok usia21-40 tahun (40%).9 Perbedaan tersebut ke-mungkinan karena perbedaan lokasi distribusi,dimana pada tahun 2008 kasus leptospirosisbanyak menyerang daerah banjir (rob) sedangkantahun 2009 pada daerah tinggi (kering). Pada saatbanjir orang dewasa lebih banyak melakukanaktivitas yang mengharuskan kontak dengan airdalam jangka waktu yang lama, sedangkan anak-anak (

  • yang padat penduduknya.Kondisi lingkungan rumah sangat erat

    kaitannya dengan keberadaan tikus yang sudahterbukti sebagai reservoir alami leptospirosis diKota Semarang. Kondisi rumah sehat adalahrumah dengan kondisi dinding rumah dan dapurdari tembok, lantai bukan tanah, ada ventilasi,kondisi pintu dapat menutup rapat, terdapat langit-langit serta jendela yang kondisinya dapatmenutup rapat. Uji statistik menunjukkan rumahyang tidak sehat berhubungan secara signifikandengan kejadian leptospirosis. Dinding rumahbiasanya digunakan tikus untuk lalu lintas masukke dalam rumah. Menurut Ristiyanto12 dindingrumah bukan tembok bukan sebagai faktor resikokejadian leptospirosis (RP=1,00) . Dinding yangdigunakan sebagai tempat berlindung dan lalulintas tikus (reservoir leptospirosis) biasanyakondisi kering, dan dinding rumah pada umumnyadicat/kapur, kemungkinan bukan media yang baikbagi kehidupan bakteri Leptospira dari airkencing tikus. Menurut Widarso dkk.13 mediaperkembangan bakteri leptospira yang sesuaiadalah lembab atau berair. Kondisi lantai rumahsebagian besar masih tanah merupakan tempatyang potensial untuk kehidupan bakteri leptospira.Bakteri leptospira ini mampu bertahan hidupbulanan di air dan tanah, dan mati olehdesinfektans seperti lisol. Maka upaya "lisolisasi"pada lantai yang bukan tanah/plester, seluruhpermukaan lantai, dinding, dan bagian rumahyang diperkirakan tercemar air kotor banjir yangmungkin sudah berkuman leptospira, dianggapcara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nyaleptospirosis. Dinding yang terbuat dari triplekatau bambu lebih mudah digunakan untuk lalulintas tikus. Biasanya dapur tempat yang palingdisukai oleh tikus untuk bersarang, dimanabanyak terdapat bahan makanan, sehinggakemungkinan barang-barang yang ada di dapurterkontaminasi air kencing tikus sangat besar.Untuk mencegahnya biasakan membasuh tangansehabis menangani hewan, ternak, ataumembersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempatkotor.

    Rumah responden sebagian besardilengkapi dengan langit-langit, yang merupakantempat yang aman bagi tikus untuk bersarang,karena jauh dari jangkauan manusia. Tidakadanya langit-langit akan memudahkan tikusuntuk masuk dan mencari pakan di dalam rumah.Hasil penelitian Mari Okatini10 yang menyebutkan

    bahwa kondisi plafon rumah yang tidakmemenuhi syarat tidak berhubungan dengantimbulnya kejadian leptospirosis.

    Kondisi sanitasi rumah yang baik meliputiadanya tempat sampah, kondisi tempat sampahyang tertutup, frekuensi pembuangan setiaphari,penataan perabotan rumah tangga tersusunrapi, adanya saluran dan penampungan air limbah.Kondisi sanitasi rumah tempat tinggal secarastatistik tidak berhubungan dengan kejadianleptospirosis. Kebersihan rumah pada umumnyaberhubungan dengan pengelolaan sampah rumahtangga atau bahan yang tidak digunakan ataupunterbuang, baik sampah padat (refuse). Sampahmudah busuk (garbage) dan sampah tidak mudahbusuk (rubbish). Hampir semua respondenmempunyai tempat sampah didalam rumah,meskipun sebagian besar dalam kondisi terbukaakan tetapi frekuensi membuang sampah ketempat pembuangan akhir rutin dilakukan setiaphari, sehingga tidak terjadi penimbunan sampah didalam rumah, yang dapat mengundang tikusmasuk. Hasil penelitian ini berbeda denganPriyanto5 yang mengatakan bahwa ada hubunganantara adanya sampah didalam rumah dengankejadian leptospirosis (p-value=0,000) danberesiko untuk terpapar sebesar 8,46 kalidibandingkan dengan rumah yang didalamnyatidak terdapat sampah. Rumah yang kurang bersihmerupakan faktor resiko terpapar leptospirosis(OR=3,61). Sisa makanan (sampah) merupakansumber pakan tikus (inang reservoir lepto-spirosis), sehingga keberadaan sampah di dalamdan luar rumah dapat meningkatkan kontak tikusdan penduduk.12Rumah dengan penataan perabotyang berserakan cenderung kebersihan rumahnyakurang yang berarti banyak ditemukan sampah-sampah disekitaraya. Barang-barang yang tidaktertata dengan rapi dapat menjadi tempatpersembunyian tikus.

    Saluran limbah yang terbuka dan airnyatergenang sangat potensial sebagai tempatbersarangnya tikus terutama tikus got yang sangatpotensial sebagai pembawa bakteri leptospira.Meskipun sebagian besar jenis saluran limbahterbuka akan tetapi tidak berhubungan dengankejadian leptopsirosis. Hal ini kemungkinanpenularan leptospirosis bukan melalui kontakdengan air kotor tetapi melalui gigitan tikus ataubakteri leptospira yang ada di tanah. Hal ini didukung oleh hasil uji laboratorium terhadap airyang ada disekitar penderita, hanya 5 sampel air

    S52 Sup!'f men Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010

  • (n=130) yang positif mengandung bakterileptospira. Menurut Priyanto dan Agus5 kondisiselokan yang buruk merupakan faktor resikokejadian leptospirosis (p=0,014 RP=5,71; 95%CI=1,42- 23,01) Adanya genangan air di sekitarrumah beresiko terkena leptospirosis 2,23 kalidibandingkan dengan rumah yang tidak adagenangan airnya. Meskipun saluran air limbahtidak berhubungan dengan kejadian leptospirosisakan tetapi kondisinya diupayakan tidak terjadigenangan, mengingat kondisi di Semarangtermasuk pemukiman yang padat dan rawanbanjir.

    Keberadaan tikus di dalam rumah dansekitaraya secara statistik signifikan dengankejadian leptopsirosis. Komponen tersebutmeliputi dijumpai tikus di sekitar rumah,frekuensi melihat tikus lebih dari satu kali dalamseminggu serta adanya semak belukar atauvegetasi di sekitar rumah. Menurut WHO,keberadaan tikus di sekitar rumah ditentukan oleh2 faktor utama yaitu, ketersediaan pakan dantempat berlindung/bersarang. Keberadaan tikusdi lingkungan tempat tinggal manusia berpotensiterjadinya penularan penyakit bersumber tikus kemanusia, termasuk leptospirosis . Hasil penelitianPriyanto dan Agus5 bahwa rumah yangdidalamnya terdapat tikus berisiko terkenaleptospirosis sebesar 5,87 kali dibandingkanresponden yang didalam rumahnya tidak dijumpaitikus. Penelitian oleh Sarkar menyebutkan melihattikus di dalam rumah mempunyai risiko 4,5 kalilebih besar untuk terkena leptospirosis. Daerahpenelitian termasuk pemukiman yang padatpenduduknya dan lahan sangat terbatas, sehinggakemungkinan penularan leptospirosis melaluitumbuhan atau semak belukar yang terkena urinetikus sangat kecil. Hal tersebut berbeda denganhasil penelitian Aplin et al,14 penularanleptospirosis dapat melalui tumbuhan yangterkena urin tikus infektif bakteri Leptospira yangtersentuh kulit manusia rumput ilalang.

    Pada umumnya vegetasi yang ada dilingkungan rumah kasus leptospirosis adalahtanaman bias atau bunga dalam pot, rerumputan,pisang, nanas atau semak belukar di belakangrumah yang tertata rapi sehingga tidak disukaitikus untuk bersarang maupun bersembunyi.Lingkungan yang kotor dan tertutup rerumputanatau semak belukar merupakan tempat yangdisukai tikus. Selain sebagai sumber pakan,

    vegetasi dapat digunakan sebagai tempat untukpersembunyian tikus.

    Hasil uji multivariate menunjukkankeberadaan tikus di dalam dan sekitar rumahmerupakan faktor dominan yang palingberpengaruh terhadap kejadian leptopsirosis diKota Semarang tahun 2009. Tikus rumah dantikus got terbukti secara laboratoriummengandung bakteri leptospira interogan padamanusia9. Hasil survei tikus yang dilakukan Lokalitbang P2B2 Banjarnegara menunjukkan trapsuccess mencapai 7,82%, yang secara teori masukkategori padat. Tingkat keberhasilan penangkapantikus dapat dipakai untuk memperkirakan secarakasar kepadatan tikus di satu wilayah. Tikusmempunyai peranan penting pada saat terjadipeningkatan leptospirosis di Kota Semarang.Tikus terutama Rattus tanezumi dan Rattusnorvegicus merupakan reservoir penting dalampenularan leptospirosis. Oleh karena itudiupayakan pengendalian tikus yang efektif danefisien sehingga tidak menjadi reservoirleptopsirosis.

    KesimpulanKondisi lingkungan pemukiman berupa

    rumah tidak sehat dan keberadaan tikus di dalamdan sekitar lingkungan secara statistikberhubungan dengan kejadian leptospirosis.Sementara kondisi sanitasi rumah tempat tinggaltidak berhubungan. Keberadaan tikus merupakanfactor dominan yang paling berpengaruh terhadapkejadian leptospirosis di Semarang.

    Ucapan Terima KasihUcapan terima kasih penulis sampaikan

    kepada Badan Litbangkes yang telah memberikandana, sehingga penelitian ini dapat terlaksanadengan lancar. Kepada Puslit Ekologi an statuskesehatan dan tim pelatih penulisan artikel ilmiahyang telah member kesempatan penulis mengikutipelatihan penulisan artikel ilmiah sehinggadidapatkan tulisan yang layak untukdipblikasikan.

    Daftar Pustaka1. Fahmi, Umar. 2005. Leptospirosis,

    mematikan dan sulit dideteksi.http://www.harian umum pelita,htm

    Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010 S53

  • 2. Zelvino, Evi. 2005. Tujuh RPang terjangkitLeptospirosis. http://www. Tempointeraktif.com, htm

    3. Simanjuntak. 2001. Leptospirosis, DemamBanjir yang Mematikan.http://www.leptospirosis, demam banjiryang mematikan, htm

    4. Dinas Kota Semarang. 2007. DataSurveilans Leptospirosis Kota Semarangtahun 2004-2007.

    5. Priyanto, Agus,2008, Faktor-faktor yangberpengaruh terhadap kejadian leptospirosis(studi kasus di Kabupaten Demak).

    6. Ashford D.A.et.al.,Asymtomatic Infectionand Risk Factors for Leptospirosis inNicaragua, American Journal TropicalMedicine and Hygiene , 2000, pp : 249-254.

    7. Anonymous, Leptospirosis, HarrisonsManual of Medicine International edition,Me Graw Hill, New York, 2002, 463-464

    8. Dinas Kesehatan Kota Semarang, ProfilKesehatan Kota Semarang Tahun 2008

    9. Bambang Y, 2008, EpidemiologiLeptospirosis di Kota Semarang (Tahap I)

    10. Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I. MadeDjaja, Hubungan faktor lingkungan dankarakteristik individu terhada kejadianleptospirosis di Jakarta 2003-2005

    11. Dharmojono,H., 2001. 15 Penyakit Menulardari Binatang ke Manusia, MileniumPublisher, Jakarta: 99-110

    12. Ristiyanto,dkk, Studi EpidemiologiLeptospirosis di Dataran rendah KabupatenDemak Jawa Tengah

    13. Widarso, H.S, dan Purba W., 2002,Kebijaksanaan Departemen Kesehatandalam Penanggulangan Leptospirosis diIndonesia, Kumpulan Makalah SimposiumLeptospirosis, Semarang, 3 Agustus 2002

    14. Aplin, K.P., P.R. Brown, J. Jacob, C.J.Krebs and G. R. Singleton. Field methodsfor rodent studies in Asia and the Indo-Pacific. Australian Centre for InternationalAgricultural Research. Canberra, Australia.2003

    S54 Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010