1
Balada Budak Modern di Sekitar Kita RADAR SURABAYA MINGGU, 23 FEBRUARI 2014 HALAMAN 7 Pelajaran Menulis Cerpen dari Maggie Tiojakin Ludruk Membuku Oleh: DJOKO PITONO Oleh: ARIS SETIAWAN*) Halaman HORIZON menampung segala pemikiran dengan tema apa saja. Yang berminat menyampaikan gagasannya secara mendalam, silakan kirim naskah ke [email protected]. Panjang naskah maksimal 5.000 karakter. Cantumkan alamat lengkap dan nomor rekening Anda. layouter: triongko imam BAGI penikmat cerpen, Maggie Tiojakin sudah tidak asing. Kumpulan cerpennya Balada Ching- ching dan Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa banyak menerima pujian. Balada Ching-ching menjadi sepuluh besar Kathulistiwa Literary Award 2010. Maggie juga menerjemahkan cerpen luar negeri dalam buku Fiksi Lotus vol.1 dan Kisah- kisah Tengah Malam cerpen Edgar Allan Poe. Beliau juga menjadi admin situs www.fiksi lotus . com yang berisi cerpen terjemahannya. Bagaimana kalau Maggie menjadi guru menulis cerpen? Tidak serta merta kebagusan guru me nular pada muridnya. Buku Little Stories ini me nyajikan tulisan lima anak didik Maggie dari kursus menulis cerpen Lotus Creative Project pada 2011. Lima anak didik Maggie (Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody, dan Rieke Saraswati) merupakan nama baru dalam dunia cerpen. Dua puluh cerpen dibagi empat tema: (1) makanan, (2) kalimat pertama atau prompter sudah ditentukan, (3) demonstrasi, dan (4) bebas. Empat tema itu merupakan metode kursus yang ditentukan Maggie. Dengan harapan setiap cerita menyuguhkan kenikmatan pada pembaca dengan caranya sendiri, seperti yang ditulis pada sampul belakang buku. Bagian pertama adalah menulis cerpen dengan tema makanan. Lima cerpen pada bagian tersebut harus berbasis makanan. Seperti disinggung Maggie dalam pengantar, makanan di sini sebagai fokus utama, latar, karakter, atau hanya pemanis. Sayang dari lima cerpen hanya ”Brongkos Mertua” karya Adeste Adipriyanti yang menjadikan makanan sebagai fokus cerita. Lainnya hanya sebagai angin lalu, yang seandainya makanan itu diubah menjadi makanan lain tetap tak masalah. Misal dalam cerpen ”Gohu Buat Ina” karya Vera Mensana dengan tema makanan berupa gohu (sejenis rujak asal Manado) yang kalau gohu itu diubah menjadi rujak uleg pun tidak akan merusak keseluruhan cerita. Tetapi yang patut diacungi jempol adalah bagaimana usaha untuk membuat cerita benar- benar hidup, yang dalam bahasa AS Laksana showing not telling. Deskripsi gohu dalam ”Gohu Buat Ina” membuat liur menetes. Meski sampai akhir jakun hanya naik turun karena pingin makan gohu, bukan karena indahnya cerita. Itu pun terjadi pada cerpen ”Semangkuk Bakso Tahu” milik Rinrin Indrianie. Betapa kecewanya saat cerpen itu diakhiri adegan kematian. Akhir cerpen tidak mesti akhir hidup si tokoh cerpen. Akhir cerpen berupa kematian itu sama halnya melakukan pengereman secara mendadak bagi imajinasi pembaca. Bagian kedua yang mengharuskan membuat cerpen dari pilihan kalimat pembuka: aku lemparkan buku itu ke sungai yang mengalir deras atau Ezra menghunus pisau dapur ke arahku. Ketika ditelisik lebih dalam dua kalimat itu menyiratkan kesuraman. Kalimat pertama dengan predikat ”lemparkan” secara tak langsung menandakan amarah di tokoh aku. Sedang kalimat kedua diksi ”pisau” dan ”menghunus” dekat dengan adegan pembunuhan. Dan itu diamini oleh kelimanya. Dalam lima cerpen pada bagian kedua tersebut bertema muram, sadis, dan tidak jauh dari kekecewaan dan pembunuhan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada bagian kedua tersebut imaginasi lima cerpen kurang bervariasi. Kurangnya imajinasi juga dapat dirasakan pada bagian ketiga, yang bertema demonstrasi. Secara eksplisit tema itu memang terkesan berat. Terlebih bagi mereka yang tidak pernah terlibat demon- strasi jalanan. Jadilah cerpen yang ditulis hanya sekadar mencantumkan suasana demonstrasi yang tidak hidup atau bahkan demonstrasi hanya berubah menjadi elemen kecil, yang kalau itu diganti dengan penggusuran PKL pun masih bisa. Apalagi Rinrin Indrianie dalam ”Menunggu Ayah” mengakhiri dengan kematian. Bagian yang menjanjikan adalah tugas menulis cerpen bertema bebas. Lima cerpen mengangkat tema yang berbeda, yaitu pasien rumah sakit jiwa, dunia anak-anak, perselingkuhan, percintaan, dan kesepian di masa tua. Dalam bagian tersebut lima penulis benar-benar merasa lepas dari koridor yang diberikan Maggie. Hal itu terlihat dari kualitas yang meningkat dari tiga bagian sebelumnya. Meski teknik yang disajikan masih cenderung sama. Satu hal lain yang perlu digarisbawahi kebanyakan penulis baru selalu memakai twist ending dalam cerpen. Berusaha memberikan kejutan di akhir cerita. Dan kebernasan cerpen pada bagian itu menjadi milik ”12 Juli” karya Adeste Adipriyanti. Meskipun cerpen-cerpen dalam buku itu tidak menawarkan kebaruan dalam teknik bercerita, tetapi cara Maggie memberi pelatihan patut ditiru. Bagi para penulis pemula yang ingin menasbih- kan diri untuk menulis cerpen dapat memakai bagian-bagian dalam buku tersebut untuk menan- tang kecakapan menulis. Sebelum menulis dengan tema bebas, dapat menulis dengan tema makanan, demonstrasi atau dengan kalimat pembuka pasti. Atau kalau sulit dapat diganti dengan minuman, profesi, atau dengan tajuk sudah ditentukan. Tidak ada kata malas untuk belajar menulis. (*/c3/no) Negeri kita sangat kaya raya, tetapi banyak rakyat hidup bagai para kacung. Prabowo Subianto SEORANG wanita (M), istri purna- wirawan Brigjen Polisi MS di Bogor, dilaporkan kepada polisi setempat de- ngan tuduhan menyekap dan menga- niaya 17 pekerja rumah tangganya. Kasus ini sekarang sedang diselidiki secara intensif oleh Polres Bogor. Masyarakat sekitar dan banyak orang lain yang mendengar kabar ter- sebut terheran-heran. Mereka berta- nya-tanya, antara lain, bagaimana se- orang purnawirawan jenderal bisa memiliki PRT sebanyak itu. “Saya tidak tahu mereka kerjanya apa saja. Karena rumahnya juga hanya sebe- sar itu kenapa harus pakai pembantu lebih dari 10 orang,” kata Sumi, salah satu warga di perumahan tersebut, Jumat (21/2). Menurut Sumi yang dikutip Merde- ka.com, meskipun rumah tersebut ter- bilang besar, seperti juga yang dimili- kinya di kompleks tersebut, tetap tidak wajar jika harus sampai 15 pembantu rumah tangga. Kisah-kisah seperti itu sebenarnya amat banyak di sekitar kita. Begitu banyak saudara-saudara kita yang bernasib malang. Orang- orang miskin di negeri ini memang masih amat banyak. Data yang ber- edar belum lama ini menyebut angka lebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, tak terhitung yang bernasib lebih malang karena menjadi budak dalam arti sebenarnya. Mungkin di- sebut budak modern. Tetapi apa beda- nya dengan budak-budak di masa lalu? Mereka sama-sama tidak dihargai har- katnya sebagai manusia. Mereka mungkin diberi makan, tapi dibentak- bentak, dibodoh-bodohkan, dan diren- dahkan. Gajinya pun sering amat kecil. Awal mulanya pun sering akibat bujuk rayu gombal para makelar. Sebagian mereka pun sering dikorbankan ke luar negeri, selain ada yang tergiur makelar di luar negeri pula. Seperti yang dialami Shandra Woworuntu di Amerika Serikat belum lama ini. Seperti dilaporkan Eva Mazrieva dari VOA di Washington, dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu berbi- cara pada VOA tentang kisah kelam yang dialaminya ketika menjadi kor- ban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001. “Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2). Shandra mengatakan ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis ke- uangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998. Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp 30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dengan membawa dokumen-doku- men resmi tentang calon tempat ker- janya, sebuah hotel di Chicago, Shan- dra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat. Tetapi keadaan ternyata tidak se- mulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di ban- dar udara John F. Kennedy di New York buru-buru mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chi- cago karena sudah malam sehingga harus menginap. “Di situlah saya dipindah tangan- kan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi jus- tru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak di- inginkan. Tidak seperti yang dibayang- kan dalam perjanjian. Saya dipindah- pindah beberapa kali,” ujarnya. Shandra mencatatnya dengan leng- kap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat ber- wenang di Amerika untuk menggu- lung komplotan itu. “Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) te- tapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun ke- reta api bawah tanah) dan di taman- taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.” Biro Investigasi Federal pun berge- rak cepat. Berbekal keterangan Shan- dra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagang- an manusia di New York. Tiga kepala sindikat - termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut Shan- dra- ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama- sama Shandra menjadi korban per- dagangan manusia. Pada 27 Januari 2014, Shandra ber- sama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya ma- syarakat penggiat isu ini, berbicara di sidang dengar pendapat Senat Ame- rika. Kisah Shandra Woworuntu ter- sebut jelas hanya satu dari para kor- ban jaringan mafia perbudakaan mo- dern. Negeri besar AS pun tampak kuwalahan menghadapi para kriminal tersebut. Belum termasuk para pelaku perbudakan modern yang bertameng diplomatik. Seperti pernah dilaporkan di Washington DC pada Juni 2010. Dalam laporan media 14 Juni 2010, Menlu AS waktu itu, Hillary Clinton, mengungkapkan laporan tahunan ke- 10 tentang perbudakan modern di 174 negara. Pengungkapan tersebut, iro- nisnya, disampaikan setelah ada la- poran tentang seorang diplomat Tanzania di Washington yang terung- kap menyekap seorang PRT asal negaranya. Rumah sang diplomat ber- nama Alan Mzengi tersebut tak jauh dari Gedung Kongres, tempat Hillary berbicara. Sang diplomat yang terhormat tersebut, seperti disebut dalam keputusan pengadilan pada Januari 2008, merampas paspor sang PRT dari Tanzania tersebut dan juga menyita kontrak kerjanya. Selama empat ta- hun, sang PRT tidak digaji meskipun setiap minggu bekerja 112 jam. Amerika pun geger begitu kasus tersebut terungkap. Kongres membi- carakan kasus tersebut berhari-hari. Seorang anggota Kongres, Tom Lan- tos, yang pernah diperbudak di masa mudanya, menyerukan agar diplomat Tanzania tersebut diusir dari AS. Te- tapi angka PRT di Washington yang diperbudak warga asing ternyata cu- kup tinggi. Hampir 50 orang antara tahun 2000 hingga tahun 2008. Tetapi rasanya tak perlu harus melihat kasus-kasus perbudakan di luar negeri. Di sekitar kita ternyata tidak kurang jumlahnya. ([email protected]) ILUSTRASI: FAJAR/RADAR SURABAYA LUDRUK, kesenian khas Jawa Timur itu banyak terbekukan lewat teks berupa buku. Kisah-kisah lakon ludruk selama ini terlihat tak paripur- na dalam kisaran dongeng dan mitos. Namun, telisik tentang ludruk justru belum mampu menjadi daya tarik tersendiri sebagai fondasi pembentuk identitas wajah kebudayaan, kesenian tradisi, di Jawa Timur masa kini. Kita patut berbangga kala Eko Edi Susan- to, pemilik Ludruk Karya Budaya Mojokerto, mempelopori dengan melukiskan kisah ludruknya lewat buku pada 2013 lalu. Buku yang berjudul Ludruk karya Budaya Mbeber Urip itu berisi telisik perjalan- an Ludruk Karya Budaya dari generasi ke generasi. Menuliskan sejarah ludruk dari kacamata “orang dalam” memang sangat jarang terjadi. Hasilnya pun dapat ditebak, kajian yang dilakukan Edi lebih komprehen- sif, realistis, gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ludruk karya Budaya menjadi cendela dan tolok ukur objektif dalam melihat tantangan dan problematika dunia ludruk di Jawa Timur mutakhir. Sebelum Edi, nukilan tentang ludruk berpendar dan berserakan dalam banyak kajian. Henri Suprianto (1992) menuliskan tentang lakon-lakon ludruk yang cukup terkenal, seperti Sakerah dan Sarip Tambak Yoso. Sunaryo (1997) mendudukkan pertun- jukan ludruk dalam analisis wacana. Maryeni (2002) dalam disertasinya di Universitas Gajah Mada Jogjakarta mengambil bahasa ludruk sebagai subjek penelitian. Disebutkan bahwa gaya bahasa ludruk mencerminkan kelas sosial masyarakat akar rumput yang sederhana namun tegas dan blak-blakan. Kasiyanto Kasemin (1999) memandang ludruk sebagai teater sosial di mana adegan dan tragedi hidup sehari-hari dapat direka ulang secara bebas di atas panggung pertunjukan ludruk. Dengan demiki- an, Kasemin memandang bahwa pang gung ludruk adalah representasi kehi dupan sosial masyarakat Jawa Timur. Tak hanya berhenti dalam takaran kontekstual, persoalan musik dalam pertunjukan ludruk pun menjadi hal yang seolah tiada tuntas diperdebat- kan. Sutowo (1994), Luckman Siswo Bintoro (1999), Edi Susetyo (2002), dan Joko Santoso (2007) mengkaji garap kidungan jula-juli ludrukan versi Kartolo untuk melengkapi gelar kesarjanaan mereka dari berbagai sudut pandang. Kartolo dianggap sebagai maestro yang mampu memberi pengaruh dan warna baru ludruk di Jawa Timur. Kidungannya (vokal) eksotis, kisaran nadanya unik dan tipikal, tema dan topik- nya merak- yat. Kartolo menyulap dirinya menjadi subjek kajian di banyak skripsi dan tesis. Kartolo mendekonstruksi gaya ludruk di Jawa Timur, dagelan tak semata hanya berisi humor dan canda, namun juga berbalut cerita yang penuh dengan muatan pesan kehidu- pan. Kartolo kemudian juga menyam- paikannya lewat lantunan vokal kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala kaset (analog) rekamannya laris manis di pasaran. Awal mula menuliskan ludruk justru diawali oleh kaum non- pribumi. Mereka tertarik melihat ludruk, baik sebagai misionaris, penjajah maupun murni peneliti. James L. Peacock (1967) mendeskrip- sikan pertunjukan dan respons masyarakat Surabaya terhadap pertunjukan ludruk. Kita bisa melihat potret kehidupan masyarakat Sura- baya dari tulisan Peacock yang seolah tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi sajian pertunjukan unggulan, ditung- gu-tunggu, penuh sesak oleh penon- ton, di samping panggung bertaburan hiburan laksana pasar malam. Matthew Isaac Cohen lewat bukunya Komedie Steamboel 1891-1903 (2006), ludruk pada dasarnya adalah komedi yang berpentas keliling atau tobong. Tak ada pernak-pernik pakaian glamor yang dikenakan oleh para pemainnya. Semua berpenampilan sederhana, berbeda dengan wayang wong di Jawa Tengah. Pertunjukan ludruk kemudian menghapus sekat antara penonton dan pemain, tak ada jarak. Karena persoalan itulah Carl Hefner (1994) memandang ludruk sebagai teater rakyat yang tak dapat tergantikan. Lakon-lakon ludruk tidak menjadi beku, setiap saat dapat berubah menuruti apa yang sedang ramai diperbincangkan. Jangan heran kemudian jika melihat judul lakon ludruk tak jauh beda dengan sinetron yang ada di televisi, cinta segitiga, ratapan anak tiri dan tukang bubur naik haji adalah salah satunya. Ludruk menjadi kesenian komunal, milik semua lapisan. Ia tak terikat oleh hukum-hukum tradisi, pakem, sebagaimana kesenian kratonis. Begitu cair hingga pada masa terten- tu kesenian ini dimanfaatkan sebagai corong propaganda politik. Era Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50- 60an adalah puncaknya. Soedarsono (2002) menjelaskan terdapat 30 grup ludruk dihidupi oleh PKI dengan nama “Lembaga Ludruk” yang bermarkas di Surabaya. Sementara di Jawa Tengah terdapat Badan Ketho- prak Indonesia (BAKOKSI) yang juga difasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timur sendiri terdapat dua ludruk yang cukup terkenal kala itu, yakni Ludruk Marhaen dibawah PKI dan Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI. Ludruk menjadi katalisator yang menyampaikan visi-misi politik partai pada publik. Bahkan, saat era penjajahan Jepang, ludruk juga menjadi ajang perjuangan dalam menyampaikan kritik pada penjajah. Cak Gondo Durasim, seniman ludruk, melantunkan kidungan bakupan omahe dara, melok nipon awak tambah sara meng akibatkan dirinya harus ditangkap penjajah Jepang dan dipenjarakan. Pemain ludruk terbilang unik, karena semua diperankan oleh laki- laki. Dengan demikian, si pemain laki-laki juga harus berias layaknya wanita untuk memerankan sosok wanita. Suyanto lewat tulisannya Ludruk dan Tranvesty (1995) menje- laskan peran laki-laki feminin menambah daya kelucuan tersendiri saat pentas ludruk digelar. Selain itu, menghindari perilaku anarkistis penonton yang kurang sopan pada pemain (jika diperankan oleh wanita sesungguhnya). Barbara Hetley menulis Gender Ideology in Java (1983), beberapa peran wanita yang dibawakan oleh laki-laki berpengaruh dalam realitas kehidupan nyata. Akibatnya, banyak laki-laki yang begitu feminin, baik di atas panggung ludruk maupun tidak. Hal yang kemudian kita sebut sebagai waria atau bencong. Kini banyak ludruk di Jawa Timur yang memasukkan wanita sebagai pemain, menggusur peran “laki-laki feminin”. Sementara salah satu ludruk yang hingga kini masih mempertahankan laki-laki sebagai keseluruhan pemain adalah Ludruk karya Budaya di Mojokerto. Ludruk telah mewarnai kebudaya- an di Jawa Timur. Sayang, kesenian itu kini telah surut pamor, tak lagi digemari. Kalah oleh sajian hiburan yang setiap saat berlalu-lalang di layar televisi kita. Buku-buku yang bertebaran tentang ludruk tersebut kemudian menjadi penting sebagai “bank-data”. Diceritakan dan dibaca- kan kembali pada anak cucu kala ludruk telah benar-benar mati. Atau, justru tak sekedar dibaca, namun juga menjadi satir, betapa ludruk telah memberi arti penting dalam jejak peradaban kita. (*/c3/no) *) Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta JUDUL BUKU: Little Stories, Lotus Creatice Project PENULIS: Adeste Adipriyanti, dkk PENERBIT: Gramedia, 2014 ISBN: 9786020301907 Oleh: TEGUH AFFANDI, *) Penikmat Cerpen dan Penulis Cerpen.

Document7

  • Upload
    muji

  • View
    23

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

t

Citation preview

Page 1: Document7

Balada Budak Modern di Sekitar KitaRADAR SURABAYA � MINGGU, 23 FEBRUARI 2014 HALAMAN 7

Pelajaran Menulis Cerpendari Maggie Tiojakin

Ludruk Membuku

Oleh:DJOKO PITONO

Oleh: ARIS SETIAWAN*)

Halaman HORIZONmenampung segala pemikirandengan temaapa saja. Yang berminatmenyampaikan gagasannyasecara mendalam, silakankirim naskah [email protected] naskah maksimal5.000 karakter. Cantumkanalamat lengkap dan nomorrekening Anda.

layouter: triongko imam

BAGI penikmat cerpen, Maggie Tiojakin sudahtidak asing. Kumpulan cerpennya Balada Ching-ching dan Selama Kita Tersesat di Luar Angkasabanyak menerima pujian. Balada Ching-chingmenjadi sepuluh besar Kathulistiwa Literary Award2010. Maggie juga menerjemahkan cerpen luarnegeri dalam buku Fiksi Lotus vol.1 dan Kisah-kisah Tengah Malam cerpen Edgar Allan Poe.Beliau juga menjadi admin situs www.fiksi lotus .com yang berisi cerpen terjemahannya.

Bagaimana kalau Maggie menjadi guru menuliscerpen? Tidak serta merta kebagusan guru menular pada muridnya. Buku Little Stories ini menyajikan tulisan lima anak didik Maggie darikursus menulis cerpen Lotus Creative Project

pada 2011. Lima anakdidik Maggie (RinrinIndrianie, Vera Mensana,Adeste Adipriyanti, FayeYolody, dan RiekeSaraswati) merupakannama baru dalam duniacerpen.

Dua puluh cerpendibagi empat tema: (1)makanan, (2) kalimatpertama atau prompter

sudah ditentukan, (3) demonstrasi, dan (4)bebas. Empat tema itu merupakan metodekursus yang ditentukan Maggie. Dengan harapansetiap cerita menyuguhkan kenikmatan padapembaca dengan caranya sendiri, seperti yangditulis pada sampul belakang buku.

Bagian pertama adalah menulis cerpen dengantema makanan. Lima cerpen pada bagiantersebut harus berbasis makanan. Sepertidisinggung Maggie dalam pengantar, makanan disini sebagai fokus utama, latar, karakter, atauhanya pemanis. Sayang dari lima cerpen hanya”Brongkos Mertua” karya Adeste Adipriyanti yangmenjadikan makanan sebagai fokus cerita.Lainnya hanya sebagai angin lalu, yangseandainya makanan itu diubah menjadimakanan lain tetap tak masalah. Misal dalamcerpen ”Gohu Buat Ina” karya Vera Mensanadengan tema makanan berupa gohu (sejenisrujak asal Manado) yang kalau gohu itu diubahmenjadi rujak uleg pun tidak akan merusakkeseluruhan cerita.

Tetapi yang patut diacungi jempol adalahbagaimana usaha untuk membuat cerita benar-benar hidup, yang dalam bahasa AS Laksanashowing not telling. Deskripsi gohu dalam ”GohuBuat Ina” membuat liur menetes. Meski sampaiakhir jakun hanya naik turun karena pingin makangohu, bukan karena indahnya cerita. Itu punterjadi pada cerpen ”Semangkuk Bakso Tahu”milik Rinrin Indrianie. Betapa kecewanya saatcerpen itu diakhiri adegan kematian. Akhir cerpentidak mesti akhir hidup si tokoh cerpen. Akhircerpen berupa kematian itu sama halnyamelakukan pengereman secara mendadak bagiimajinasi pembaca.

Bagian kedua yang mengharuskan membuatcerpen dari pilihan kalimat pembuka: akulemparkan buku itu ke sungai yang mengalirderas atau Ezra menghunus pisau dapur kearahku. Ketika ditelisik lebih dalam dua kalimat itumenyiratkan kesuraman. Kalimat pertamadengan predikat ”lemparkan” secara tak langsungmenandakan amarah di tokoh aku. Sedangkalimat kedua diksi ”pisau” dan ”menghunus”dekat dengan adegan pembunuhan. Dan itudiamini oleh kelimanya. Dalam lima cerpen padabagian kedua tersebut bertema muram, sadis,dan tidak jauh dari kekecewaan danpembunuhan. Jadi, dapat disimpulkan bahwapada bagian kedua tersebut imaginasi limacerpen kurang bervariasi.

Kurangnya imajinasi juga dapat dirasakan padabagian ketiga, yang bertema demonstrasi. Secaraeksplisit tema itu memang terkesan berat. Terlebihbagi mereka yang tidak pernah terlibat demon-strasi jalanan. Jadilah cerpen yang ditulis hanyasekadar mencantumkan suasana demonstrasiyang tidak hidup atau bahkan demonstrasi hanyaberubah menjadi elemen kecil, yang kalau itudiganti dengan penggusuran PKL pun masih bisa.Apalagi Rinrin Indrianie dalam ”Menunggu Ayah”mengakhiri dengan kematian.

Bagian yang menjanjikan adalah tugas menuliscerpen bertema bebas. Lima cerpen mengangkattema yang berbeda, yaitu pasien rumah sakitjiwa, dunia anak-anak, perselingkuhan,percintaan, dan kesepian di masa tua. Dalambagian tersebut lima penulis benar-benar merasalepas dari koridor yang diberikan Maggie. Hal ituterlihat dari kualitas yang meningkat dari tigabagian sebelumnya. Meski teknik yang disajikanmasih cenderung sama. Satu hal lain yang perludigarisbawahi kebanyakan penulis baru selalumemakai twist ending dalam cerpen. Berusahamemberikan kejutan di akhir cerita. Dankebernasan cerpen pada bagian itu menjadi milik”12 Juli” karya Adeste Adipriyanti.

Meskipun cerpen-cerpen dalam buku itu tidakmenawarkan kebaruan dalam teknik bercerita,tetapi cara Maggie memberi pelatihan patut ditiru.Bagi para penulis pemula yang ingin menasbih-kan diri untuk menulis cerpen dapat memakaibagian-bagian dalam buku tersebut untuk menan-tang kecakapan menulis. Sebelum menulisdengan tema bebas, dapat menulis dengan temamakanan, demonstrasi atau dengan kalimatpembuka pasti. Atau kalau sulit dapat digantidengan minuman, profesi, atau dengan tajuksudah ditentukan. Tidak ada kata malas untukbelajar menulis. (*/c3/no)

Negeri kita sangat kaya raya, tetapibanyak rakyat hidup bagai parakacung.

Prabowo Subianto

SEORANG wanita (M), istri purna-wirawan Brigjen Polisi MS di Bogor,dilaporkan kepada polisi setempat de-ngan tuduhan menyekap dan menga-niaya 17 pekerja rumah tangganya.Kasus ini sekarang sedang diselidikisecara intensif oleh Polres Bogor.

Masyarakat sekitar dan banyakorang lain yang mendengar kabar ter-sebut terheran-heran. Mereka berta-nya-tanya, antara lain, bagaimana se-orang purnawirawan jenderal bisamemiliki PRT sebanyak itu. “Sayatidak tahu mereka kerjanya apa saja.Karena rumahnya juga hanya sebe-sar itu kenapa harus pakai pembantulebih dari 10 orang,” kata Sumi, salahsatu warga di perumahan tersebut,Jumat (21/2).

Menurut Sumi yang dikutip Merde-ka.com, meskipun rumah tersebut ter-bilang besar, seperti juga yang dimili-kinya di kompleks tersebut, tetap tidakwajar jika harus sampai 15 pembanturumah tangga. Kisah-kisah seperti itusebenarnya amat banyak di sekitarkita. Begitu banyak saudara-saudarakita yang bernasib malang. Orang-orang miskin di negeri ini memangmasih amat banyak. Data yang ber-edar belum lama ini menyebut angkalebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlahtersebut, tak terhitung yang bernasiblebih malang karena menjadi budakdalam arti sebenarnya. Mungkin di-sebut budak modern. Tetapi apa beda-nya dengan budak-budak di masa lalu?Mereka sama-sama tidak dihargai har-katnya sebagai manusia. Merekamungkin diberi makan, tapi dibentak-bentak, dibodoh-bodohkan, dan diren-dahkan. Gajinya pun sering amat kecil.Awal mulanya pun sering akibat bujukrayu gombal para makelar. Sebagianmereka pun sering dikorbankan keluar negeri, selain ada yang tergiurmakelar di luar negeri pula. Sepertiyang dialami Shandra Woworuntu diAmerika Serikat belum lama ini.

Seperti dilaporkan Eva Mazrievadari VOA di Washington, dengan suarabergetar, Shandra Woworuntu berbi-

cara pada VOA tentang kisah kelamyang dialaminya ketika menjadi kor-ban sindikat perdagangan manusia diNew York pada 2001.

“Tidak ada satu orang pun yangingin terjebak. Tidak ada seorangmanusia pun ingin mengalami hal ini,tetapi itu di luar daya upaya kita,”ujarnya dalam wawancara melaluitelepon, Minggu (2/2).

Shandra mengatakan ia tertarikmengadu nasib ke Amerika setelahmelihat iklan pekerjaan di beberapamedia Indonesia. Ketika itu ia sedangmenganggur setelah diberhentikandari pekerjaannya sebagai analis ke-uangan di sebuah bank akibat krisismoneter yang melilit Indonesia padapertengahan 1998. Berbekal iklanyang sama dari surat kabar Kompasdan Pos Kota, Shandra menghubungisebuah agen di daerah Tebet, JakartaSelatan, yang menurutnya memilikihubungan dengan agen perjalananVayatour, dan kemudian menguruskeberangkatannya. Ia membayar Rp30 juta rupiah untuk seluruh biayaadministratif dan tiket perjalanan, diluar visa yang harus diurusnya sendiridi Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Dengan membawa dokumen-doku-men resmi tentang calon tempat ker-janya, sebuah hotel di Chicago, Shan-dra memperoleh visa dan kemudianberangkat ke Amerika Serikat.

Tetapi keadaan ternyata tidak se-mulus yang dibayangkan, ujarnya.

Agensi yang menjemputnya di ban-dar udara John F. Kennedy di NewYork buru-buru mengatakan merekatidak bisa langsung berangkat ke Chi-cago karena sudah malam sehinggaharus menginap.

“Di situlah saya dipindah tangan-kan, dari satu tempat ke tempat lain.Saya tidak bekerja di hotel, tetapi jus-tru disekap. Dari satu orang ke oranglain. Ganti-ganti tangan. Saya harusmelakukan pekerjaan yang tidak di-inginkan. Tidak seperti yang dibayang-kan dalam perjanjian. Saya dipindah-pindah beberapa kali,” ujarnya.

Shandra mencatatnya dengan leng-kap dalam sebuah buku harian, yangkelak sangat membantu aparat ber-wenang di Amerika untuk menggu-lung komplotan itu. “Saya ke polisitetapi polisi tidak mau bantu. Sayajuga ke konsulat (KJRI New York) te-tapi juga mereka tidak bantu. Sayabetul-betul tidak punya tempat tinggaldan uang untuk hidup. Saya terpaksatinggal di dalam subway (stasiun ke-reta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yangtolong. FBI akhirnya turun tangan.Mereka kontak polisi dan kasus sayaditangani.”

Biro Investigasi Federal pun berge-rak cepat. Berbekal keterangan Shan-dra dan data dari buku hariannya,FBI menggulung sindikat perdagang-an manusia di New York. Tiga kepalasindikat - termasuk seorang warga

Indonesia yang disebut-sebut Shan-dra- ditangkap. Puluhan perempuanberhasil dibebaskan, termasuk duaperempuan Indonesia yang bersama-sama Shandra menjadi korban per-dagangan manusia.

Pada 27 Januari 2014, Shandra ber-sama beberapa korban sindikatperdagangan manusia yang berhasilmenyelamatkan diri dan para aktivisdari lembaga-lembaga swadaya ma-syarakat penggiat isu ini, berbicara disidang dengar pendapat Senat Ame-rika.� Kisah Shandra Woworuntu ter-sebut jelas hanya satu dari para kor-ban jaringan mafia perbudakaan mo-dern. Negeri besar AS pun tampakkuwalahan menghadapi para kriminaltersebut. Belum termasuk para pelakuperbudakan modern yang bertamengdiplomatik. Seperti pernah dilaporkandi Washington DC pada Juni 2010.

Dalam laporan media 14 Juni 2010,Menlu AS waktu itu, Hillary Clinton,mengungkapkan laporan tahunan ke-10 tentang perbudakan modern di 174negara. Pengungkapan tersebut, iro-nisnya, disampaikan setelah ada la-poran tentang seorang diplomatTanzania di Washington yang terung-kap menyekap seorang PRT asalnegaranya. Rumah sang diplomat ber-nama Alan Mzengi tersebut tak jauhdari Gedung Kongres, tempat Hillaryberbicara.

Sang diplomat yang terhormattersebut, seperti disebut dalamkeputusan pengadilan pada Januari2008, merampas paspor sang PRT dariTanzania tersebut dan juga menyitakontrak kerjanya. Selama empat ta-hun, sang PRT tidak digaji meskipunsetiap minggu bekerja 112 jam.

Amerika pun geger begitu kasustersebut terungkap. Kongres membi-carakan kasus tersebut berhari-hari.Seorang anggota Kongres, Tom Lan-tos, yang pernah diperbudak di masamudanya, menyerukan agar diplomatTanzania tersebut diusir dari AS. Te-tapi angka PRT di Washington yangdiperbudak warga asing ternyata cu-kup tinggi. Hampir 50 orang antaratahun 2000 hingga tahun 2008.

Tetapi rasanya tak perlu harusmelihat kasus-kasus perbudakan diluar negeri. Di sekitar kita ternyatatidak kurang jumlahnya.

([email protected])

ILUSTRASI: FAJAR/RADAR SURABAYA

LUDRUK, kesenian khas JawaTimur itu banyak terbekukan lewatteks berupa buku. Kisah-kisah lakonludruk selama ini terlihat tak paripur-na dalam kisaran dongeng dan mitos.Namun, telisik tentang ludruk justrubelum mampu menjadi daya tariktersendiri sebagai fondasi pembentukidentitas wajah kebudayaan, keseniantradisi, di Jawa Timur masa kini. Kitapatut berbangga kala Eko Edi Susan-to, pemilik Ludruk Karya BudayaMojokerto, mempelopori denganmelukiskan kisah ludruknya lewatbuku pada 2013 lalu. Buku yangberjudul Ludruk karya BudayaMbeber Urip itu berisi telisik perjalan-an Ludruk Karya Budaya darigenerasi ke generasi. Menuliskansejarah ludruk dari kacamata “orangdalam” memang sangat jarang terjadi.Hasilnya pun dapat ditebak, kajianyang dilakukan Edi lebih komprehen-sif, realistis, gamblang dan dapatdipertanggungjawabkan. Ludrukkarya Budaya menjadi cendela dantolok ukur objektif dalam melihattantangan dan problematika dunialudruk di Jawa Timur mutakhir.

Sebelum Edi, nukilan tentangludruk berpendar dan berserakandalam banyak kajian. Henri Suprianto(1992) menuliskan tentang lakon-lakonludruk yang cukup terkenal, sepertiSakerah dan Sarip Tambak Yoso.Sunaryo (1997) mendudukkan pertun-jukan ludruk dalam analisis wacana.Maryeni (2002) dalam disertasinya diUniversitas Gajah Mada Jogjakartamengambil bahasa ludruk sebagaisubjek penelitian. Disebutkan bahwagaya bahasa ludruk mencerminkankelas sosial masyarakat akar rumputyang sederhana namun tegas danblak-blakan. Kasiyanto Kasemin(1999) memandang ludruk sebagaiteater sosial di mana adegan dantragedi hidup sehari-hari dapat direkaulang secara bebas di atas panggungpertunjukan ludruk. Dengan demiki-an, Kasemin memandang bahwa panggung ludruk adalah representasi kehidupan sosial masyarakat Jawa Timur.

Tak hanya berhenti dalam takarankontekstual, persoalan musik dalampertunjukan ludruk pun menjadi hal

yang seolah tiada tuntas diperdebat-kan. Sutowo (1994), Luckman SiswoBintoro (1999), Edi Susetyo (2002),dan Joko Santoso (2007) mengkajigarap kidungan jula-juli ludrukanversi Kartolo untuk melengkapi gelarkesarjanaan mereka dari berbagaisudut pandang. Kartolo dianggapsebagai maestro yang mampumemberi pengaruh dan warna baruludruk di Jawa Timur. Kidungannya(vokal)eksotis,kisarannadanyaunik dantipikal, temadan topik-nya merak-yat. Kartolomenyulapdirinyamenjadisubjekkajian dibanyak skripsi dan tesis. Kartolomendekonstruksi gaya ludruk diJawa Timur, dagelan tak sematahanya berisi humor dan canda,namun juga berbalut cerita yangpenuh dengan muatan pesan kehidu-pan. Kartolo kemudian juga menyam-paikannya lewat lantunan vokalkidungan. Ia berjaya di era 80-an kalakaset (analog) rekamannya larismanis di pasaran.

Awal mula menuliskan ludrukjustru diawali oleh kaum non-pribumi. Mereka tertarik melihatludruk, baik sebagai misionaris,penjajah maupun murni peneliti.James L. Peacock (1967) mendeskrip-sikan pertunjukan dan responsmasyarakat Surabaya terhadappertunjukan ludruk. Kita bisa melihatpotret kehidupan masyarakat Sura-baya dari tulisan Peacock yang seolahtak terpisahkan dari ludruk. Menjadisajian pertunjukan unggulan, ditung-gu-tunggu, penuh sesak oleh penon-ton, di samping panggung bertaburanhiburan laksana pasar malam.Matthew Isaac Cohen lewat bukunyaKomedie Steamboel 1891-1903 (2006),ludruk pada dasarnya adalah komediyang berpentas keliling atau tobong.Tak ada pernak-pernik pakaianglamor yang dikenakan oleh parapemainnya. Semua berpenampilansederhana, berbeda dengan wayang

wong di Jawa Tengah. Pertunjukanludruk kemudian menghapus sekatantara penonton dan pemain, tak adajarak. Karena persoalan itulah CarlHefner (1994) memandang ludruksebagai teater rakyat yang tak dapattergantikan. Lakon-lakon ludruktidak menjadi beku, setiap saat dapatberubah menuruti apa yang sedangramai diperbincangkan. Janganheran kemudian jika melihat judul

lakonludruk takjauh bedadengansinetronyang ada ditelevisi,cintasegitiga,ratapananak tiridan tukangbubur naikhaji adalah

salah satunya.Ludruk menjadi kesenian komunal,

milik semua lapisan. Ia tak terikatoleh hukum-hukum tradisi, pakem,sebagaimana kesenian kratonis.Begitu cair hingga pada masa terten-tu kesenian ini dimanfaatkan sebagaicorong propaganda politik. Era PartaiKomunis Indonesia (PKI) dan PartaiNasional Indonesia (PNI) di tahun 50-60an adalah puncaknya. Soedarsono(2002) menjelaskan terdapat 30 grupludruk dihidupi oleh PKI dengannama “Lembaga Ludruk” yangbermarkas di Surabaya. Sementara diJawa Tengah terdapat Badan Ketho-prak Indonesia (BAKOKSI) yang jugadifasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timursendiri terdapat dua ludruk yangcukup terkenal kala itu, yakniLudruk Marhaen dibawah PKI danLudruk Tresno Enggal di bawah PNI.Ludruk menjadi katalisator yangmenyampaikan visi-misi politik partaipada publik. Bahkan, saat erapenjajahan Jepang, ludruk jugamenjadi ajang perjuangan dalammenyampaikan kritik pada penjajah.Cak Gondo Durasim, seniman ludruk,melantunkan kidungan bakupanomahe dara, melok nipon awaktambah sara meng akibatkan dirinyaharus ditangkap penjajah Jepang dandipenjarakan.

Pemain ludruk terbilang unik,

karena semua diperankan oleh laki-laki. Dengan demikian, si pemainlaki-laki juga harus berias layaknyawanita untuk memerankan sosokwanita. Suyanto lewat tulisannyaLudruk dan Tranvesty (1995) menje-laskan peran laki-laki femininmenambah daya kelucuan tersendirisaat pentas ludruk digelar. Selain itu,menghindari perilaku anarkistispenonton yang kurang sopan padapemain (jika diperankan oleh wanitasesungguhnya). Barbara Hetleymenulis Gender Ideology in Java(1983), beberapa peran wanita yangdibawakan oleh laki-laki berpengaruhdalam realitas kehidupan nyata.Akibatnya, banyak laki-laki yangbegitu feminin, baik di atas panggungludruk maupun tidak. Hal yangkemudian kita sebut sebagai wariaatau bencong. Kini banyak ludruk diJawa Timur yang memasukkanwanita sebagai pemain, menggusurperan “laki-laki feminin”. Sementarasalah satu ludruk yang hingga kinimasih mempertahankan laki-lakisebagai keseluruhan pemain adalahLudruk karya Budaya di Mojokerto.

Ludruk telah mewarnai kebudaya-an di Jawa Timur. Sayang, kesenianitu kini telah surut pamor, tak lagidigemari. Kalah oleh sajian hiburanyang setiap saat berlalu-lalang dilayar televisi kita. Buku-buku yangbertebaran tentang ludruk tersebutkemudian menjadi penting sebagai“bank-data”. Diceritakan dan dibaca-kan kembali pada anak cucu kalaludruk telah benar-benar mati. Atau,justru tak sekedar dibaca, namunjuga menjadi satir, betapa ludruktelah memberi arti penting dalamjejak peradaban kita. (*/c3/no)

*) Etnomusikolog, Pengajar diInstitut Seni Indonesia Surakarta

� JUDUL BUKU:

Little Stories, LotusCreatice Project

� PENULIS:

Adeste Adipriyanti, dkk

� PENERBIT:

Gramedia, 2014� ISBN:

9786020301907

Oleh: TEGUH AFFANDI,

*) Penikmat Cerpen dan Penulis Cerpen.