Click here to load reader
Upload
endaragustyan
View
266
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN
ALIH FUNGSI ATAU KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE LAHAN
NON PERTANIAN DI INDONESIA
“Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agribisnis Tanaman
Pangan”
Disusun Oleh :
Prestilia Ningrum 150310080098
Rakhmi Primadianthi 150310080103
Bernida H Munthe 150310080102
Ratna Puspita Dewi 150310080115
Fakhrizal Maulana 150310080119
Wendi Irawan Dediarta 150310080137
Kelas : Agribisnis B
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa
jalan, bangunan industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung dengan
ketersediaan lahan. konversi lahan pertanian dilakukan secara langsung oleh
petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya
diawali dengan transaksi jual beli lahan pertanian. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilik lahan mengkonversi lahan atau menjual lahan
pertaniannya adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, produktivitas
lahan, status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial. Dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur
alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran,
perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi)
dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan. Rencana tata ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan
kawasan perkotaan atau ekonomi ( Anonimous, 2009).
Hal ini mulai terjadi sejak dikeluarkannya paket-paket kebijakan yang
mendorong investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di bidang
nonpertanian sekitar pertengahan 1980-an. Keperluan lahan nonpertanian
mengikuti trend peningkatan investasi tersebut. Keperluan lahan untuk bidang
nonpertanian semakin meningkat pula seiring dengan booming pembangunan
perumahan pada awal tahun 1990-an. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas
untuk mendorong pembangunan wilayah. Laju alih fungsi lahan dari yang semula
digunakan untuk pertanian menjadi perumahan dan industri tidak dapat dihindari.
Departemen Pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian
terkait dengan keterbatasan lahan. (Sudaryanto, 2002).
Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik
berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Dengan kondisi demikian,
permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non pertanian tersebut semakin
meningkat, akibatnya banyak lahan sawah terutama yang berada di sekitar
perkotaan mengalami alih fungsi ke penggunaan lain. Kurangnya insentif pada
usahatani lahan sawah dapat menyebabkan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke
fungsi lainnya (Ilham dkk, 2003).
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri,
prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya
memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi
kebutuhan nonpertanian. Namun pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan
kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi inilah yang membuat
konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari (Sudaryanto, 2002).
Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor
pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga
kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan, dan
pendapatan per kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat
proses marjinalisasi usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk
pertanian domestik. Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam
rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani
dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebenarnya telah
diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun
pengalaman menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut kurang efektif.
Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya
diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, semakin kurang
efektif karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas
dalam merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang, 2001).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham
dan mengerti mengenai konversi atau alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non
pertanian. Hal ini merupakan masalah yang menarik untuk dibahas karena
menyangkut dengan keberlangsungan sistem pertanian yang ada di Indonesia.
1.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang kami gunakan adalah dengan studi literatur
melalui media elektronik yang kemudian kami bahas bersama dalam kelompok
belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Alih Fungsi Lahan
Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
berdampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu
ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih
fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang
beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi –
sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi
teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan
kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas,
2007).
Irawan (2005), mengemukakan bahwa konversi yang lebih besar terjadi
pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu:
(1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan,
pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada
tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering;
(2) akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan
produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah
persawahan daripada daerah tanah kering;
(3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen
atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah
tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan
pegunungan.
Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik
lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan
transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya
berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan
kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent)
jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan
perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar
(prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal
pemilik lahan yang bersangkutan (Murniningtyas, 2007).
Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi
penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan
keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi
pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang
akan meningkat (Ilham dkk, 2003).
Penelitian Syafa’at (1995), pada sentra produksi padi utama di Jawa dan
Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor
ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian
adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon
petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.
Dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung
atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah. Dalam
proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga
sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk
mendasari suatu keputusan transaksi. Kegagalan mekanisme pasar dalam
mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor lainnya dari
keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan,
fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi
selanjutnya (Rahmanto dkk, 2008).
Hasil temuan Rusastra (1997), di Kalimantan Selatan, alasan utama petani
melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi,
skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama
penelitian. Syafa’at (1995), di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani
melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam
kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung
mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian
terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk
melakukan konversi. Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang, Jawa
Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara
signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di
lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan
industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan
peubah lain tidak berpengaruh signifikan.
Manan H, (2006) menyatakan bahwa belum ada peraturan yang khusus
mengatur perlindungan lahan pertanian produktif. Ketentuan perlindungan
tersebut saat ini tersebar dalam berbagai peraturan, antara lain:
1. UU 56 Prp 1960 (luas lahan maksimum dan minimum)
2.UU 12/1992 tentang Budidaya Tanaman (tata ruang memperhatikan rencana
produksi tanaman)
3. UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (terdapat kawasan lahan pertanian
basah dalam Rencana Tata Ruang)
4. Keppres 53/1989 jo. 41/1996 jo. 98/1998 tentang Kawasan Industri
(dilarang mengurangi lahan pertanian)
5. Berbagai surat edaran Meneg Agraria/KaBPN, Meneg PPN/KaBappenas,
Mendagri tentang larangan konversi sawah irigasi teknis untuk penggunaan
lain.
Widjanarko dkk, (2006) menyatakan bahwa terjadinya perubahan
penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang
wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar.
Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir,
karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai
tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan.
Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek
pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal
maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan
tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas. Tiga kebijakan
nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke
nonpertanian ialah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari
ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya
spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman
modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun
1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan
perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata
dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman
skala besar, maupun kawasan pariwisata.
2.2 Studi Kasus Alih Fungsi Lahan
STUDI KASUS PENURUNAN LUAS LAHAN PERTANIAN DI KOTA
MEDAN
Berdasarkan hasil penelitian penurunan luas lahan pertanian akibat
konversi lahan pertanian menjadi permukiman di Kota Medan dapat dilihat dari
berbagai tolak ukur seperti, penurunan luas areal pertanian, berkurangnya luasan
panen padi sawah, dan berkurangnya jumlah produksi padi. Disamping itu
penurunan luas lahan pertanian ini, dapat diindikasikan terhadap peningkatan
jumlah bangunan yang dibangun di Kota Medan.
Dari Tabel 11 dapat di lihat bahwa penurunan luas lahan pertanian di Kota
Medan dari tahun 2001 - 2008 sebesar 4.088 Ha atau berkurang sebesar 36,5%
dari luas lahan pertanian tahun 2001, dimana tercatat pada tahun 2001 luas lahan
pertanian di Kota Medan sebesar 11.200 Ha dan pada tahun 2008 sebesar 7.112
Ha. Penurunan luas lahan pertanian dapat dilihat dari gambar 2 di bawah ini:
Berdasarkan data luas panen tercatat penurunan luasan panen sawah di
Kota Medan dari tahun 2001 sampai tahun 2008 sebesar 2.288 Ha atau berkuarang
sebesar 36,4% dari jumlah luasan panen tahun 2001. Dari gambar 3 terlihat
penurunan luasan panen tiap tahunnya terlihat fluktuatif tetapi cenderung menurun.
Berdasarkan data produksi padi sawah tercatat pengurangan produksi padi
dari tahun 2001 sampai tahun 2008 sebesar 19.205 ton atau berkurang sebesar
52,15% dari produksi padi tahun 2001. Dari gambar 4 terlihat penurunan produksi
padi tiap tahunnya terlihat fluktuatif tetapi cenderung menurun.
Untuk megetahui perkembangan konversi lahan pertanian menjadi
pemukiman di gunakan tolak ukur lainnya yaitu jumlah bangunan yang dibangun
di Kota Medan tiap tahunnya. Berikut data pemberian izin pembangunan, jumlah
bangunan di bangun dan jumlah lokasi pembangunan di Kota Medan.
Berdasarkan Tabel 12 di atas, di Kota Medan tercatat akumulasi jumlah
total bangunan yang dibangun dari tahun 2001 - 2008 adalah sebesar 8.624 unit.
Jika dihubungkan antara jumlah penurunan luas lahan pertanian dan akumulasi
jumlah total bangunan dibangun di Kota Medan dari tahun 2001 sampai tahun
2008 membentuk hubungan yang negative, artinya penurunan luas lahan pertanian
diikuti dengan penambahan jumlah bangunan dibangun. Berikut grafik jumlah
bangunan dibangun di Kota Medan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam
Mengkonversi Lahan Pertaniannya di Kota Medan
Dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
mengkonversi lahan pertaniannya, peneliti menggunakan dua analisis yaitu
analisis dengan metode logit dan juga secara deskriptif. Untuk faktor harga jual
lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, dan status lahan dianalisis dengan
menggunakan metode logit atau binnary logistic. Sedangkan untuk kebijakan-
kebijakan pemerintah terkait tata ruang dan pajak dibahas secara deskriptif.
Sawah sebagai salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani, kini
luasnya menjadi sangat terbatas, khususnya di daerah perkotaan. Seperti Di kota
Medan dalam waktu 5 tahun lagi mungkin kita tidak akan menemukan lagi sawah.
Atas fenomena itu seharusnya pemerintah agar lebih selektif lagi memberikan izin
terkait dengan alih fungsi lahan sawah.
Pembangunan yang pesat di bidang industri dan perumahan serta
pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong terjadi alih fungsi penggunaan
sawah ke penggunaan nonsawah. Sawah umumnya bertopografi datar,
kemiringannya 0%, infrastruktur seperti jalan, saluran drainase (jaringan irigasi
sekunder, tersier), jaringan listrik, telepon, umumnya sudah tersedia. Unsur-unsur
itu yang menjadikan faktor yang berpengaruh besar untuk investasi karena
investor tidak perlu membangun infrastruktur tersebut.
Berbagai macam alasan mengapa petani di perkotaan menjual tanah
sehingga terjadi alih fungsi, yakni usaha di bidang pertaian sawah dianggap tidak
efisien mengingat berdasarkan hasil penelitian land rent ratio atau perbandingan
nilai sewa tanah sawah dengan permukiman adalah 1:600. Demi memenuhi
kebutuhan dan kelangsungan hidup, termasuk gaya hidup, maka banyak petani
menjual tanahnya.
2.3 Dampak Negatif dari terjadinya Alih Fungsi lahan
Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi,
yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya
kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari
sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap
seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran.
Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
Berkurangnya ekosistem sawah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konversi lahan pertanian atau alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan
akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan dan kepemilikan lahan antara sektor
pertanian maupun nonpertanian. Oleh karena itu, dengan adanya konversi lahan
maka akan berdampak pada kondisi perumahan dan lingkungan fisik, kesehatan
dan tingkat pendapatan, serta akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan
masyarakat petani itu sendiri. Selain itu konversi lahan pertanian juga akan
menyebabkan keterbatasan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan
pertumbuhan ekonomi.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan
tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi
lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi
secara progresif.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak
terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang
lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih
fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga kini
implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal.
3.2 Saran
Disarankan agar pemerintah seharusnya dapat lebih selektif lagi
memberikan izin terkait dengan alih fungsi lahan sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi
Lahan Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani.. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian. Bogor.
Jamal, E, 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah di
Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Thesis Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan
Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor
Lestari, T, 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani.
IPB. Bogor
Anonimous, 2004. Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tinjauan dari Aspek
Pemanfatan dan pengendalian E: umber.homepage. makalah
dirtunas_140604.doc.