123
Usulan Penelitian ANALISIS SEMANTIK TEKS-TEKS KOLONIAL DI INDONESIA THE SEMANTIC ANALYSIS OF THE COLONIAL TEXTS IN INDONESIA Disusun dan Diajukan oleh Ade Yolanda Latjuba PO 300309002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

Usulan Penelitian

ANALISIS SEMANTIK TEKS-TEKS KOLONIAL DI INDONESIA

THE SEMANTIC ANALYSIS OF THE COLONIAL TEXTS IN

INDONESIA

Disusun dan Diajukan oleh

Ade Yolanda Latjuba

PO 300309002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

Page 2: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Penelitian yang memfokuskan perhatian pada kebermaknaan teks-teks

kolonial ini bermula pada keingintahuan akan realitas sosial yang ada di balik

teks-teks yang diproduksi. Teks sebagaimana diketahui umum dapat berarti

verbal, tetapi dapat juga nonverbal, seperti pertunjukkan suatu tarian. Dari

awal tarian itu mulai hingga berakhirnya tarian tersebut dapat dianggap

sebagai satu teks, namun itu berarti kita membicarakan teks dengan

pengertian khusus. Adapun yang menjadi perhatian dalam penelitian ini,

adalah pengertian teks sebagaimana yang umum dipahami. Secara umum

teks dipahami lewat bentuknya, yaitu teks tertulis (written text) dan teks

ujaran (spoken text), namun ujaran akan menjadi teks tertulis bila ia telah

didokumentasikan secara tertulis.

Dokumen tertulis oleh sebagian ahli digunakan untuk merujuk pada hal

yang sama sebagaimana yang dirujuk oleh wacana (discourse). Kedua

istilah ini, teks dan wacana tidak lain merujuk pada penggunaan bahasa.

Penggunaan bahasa di sini dapat diidentifikasi mulai dari tahap ( level) kata

hingga kalimat dan klausa –kalimat yang lebih rumit-. Namun, tidak tertutup

Page 3: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

2

kemungkinan adanya pemahaman lain mengenai teks dan wacana. Ini terjadi

karena ada yang beranggapan bahwa teks yang merupakan fakta material

dari gagasan (notion) yang ingin disuarakan, mengambil bentuknya yang

konkret dalam wujud bahasa di atas kalimat dan klausa. Wacana, dalam

wujudnya yang abstrak dapat berupa ide, gagasan, pemikiran, yang bila

diaktualisasikan dalam bentuk teks, dapat muncul dalam bermacam-macam

bentuk (discursive forms). Jadi, bila ingin menganalisis suatu wacana

tertentu, sudah selayaknya kita menaruh perhatian pada berbagai bentuk

teks agar dapat diperoleh pemahaman menyeluruh akan wacana yang

dimaksud.

Karena analisis wacana merujuk pada penggunaan bahasa maka unit

linguistik terkecil yang dapat dianalisis adalah kata. Kata, dalam pandangan

strukturalis, merupakan pertautan antara satu tanda (sign) dengan tanda-

tanda lain (other signs) yang membentuk satu tanda yang sesungguhnya

merupakan manifestasi dari citraan bunyi (sound images). Pemahaman

penganut aliran rationalisme mengatakan bahwa bahasa yang merupakan

manifestasi dari citraan bunyi, keterkaitannya dengan tanda yang diwakili

bersifat semena-mena (arbitrary). Tidak ada satu alasan pun yang mampu

menjelaskan mengapa penutur bahasa Indonesia memilih perlambangan

yang diwakili oleh alfabet Latin m e r a h untuk sesuatu konsep yang

merupakan hasil persepsi inderawi terhadap keadaan nyata yang berbeda

dari keadaan lainnya, misalnya k u n i n g atau p u t i h. Sementara penutur-

Page 4: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

3

penutur bahasa lain lebih suka memilih perlambangan dengan huruf Latin

r o o d atau r e d untuk konsep atau ide yang sama. Semua ini

menunjukkan bahwa sumber pengetahuan primer manusia tidak terletak

pada empiri atau pengalaman yang diserap lewat indera, tetapi sudah ada

disediakan oleh rede atau akal / pikiran, yang dalam bahasa masa kini sering

dirujuk dengan kata kognisi. Kesadaran akan pemahaman ini, dapat

dijelaskan dengan merujuk pada hasil pemikiran Ferdinand de Saussure

(1857-1913), penggagas Strukturalisme modern, yang mengaitkan citraan

bunyi dengan tanda yang arbitrer tanpa harus keluar dari lingkungan mind

tiap-tiap penutur. Gagasan De Saussure ini menjelaskan pula bahwa citraan

bunyi yang terbentuk dari suatu tanda bahasa sebenarnya merujuk pada

konsep atau gambaran pikiran yang ada di kepala tiap-tiap penutur, dan

tidak merujuk pada objek atau referen yang berada di luar, dalam dunia

realitas. Kedekatan antara tanda bahasa dan gambaran pikiran ini seolah-

olah menyatu, berhimpitan, sampai-sampai sukar untuk dipisahkan.

Sementara keberadaan gambaran pikiran atau konsep ini hanyalah

merupakan hasil kesepakatan bersama (convention) masyarakat penutur

suatu bahasa.

Dengan memahami konsep De Saussure akan kearbitreran hubungan

satu tanda dengan apa yang diwakilinya, maka dapat diturunkan pemahaman

bahwa tanda (baca: kata) pada hakikatnya tidak memiliki beban atau

Page 5: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

4

content yang mengandung muatan-muatan positif ataupun negatif, karena ia

diturunkan dari suatu pemikiran murni yang dibawa manusia sejak lahir.

Keadaan ini berlaku bila kedekatan antara tanda dan apa yang diwakilinya

berdiam hanya dalam pikiran penuturnya. Keadaan sebaliknya terjadi bila

tanda (baca: kata) telah keluar dari ‘tempat persembunyiannya’ yaitu pikiran

dan digunakan oleh pemiliknya.

Kedekatan antara tanda bahasa dan gambaran pikiran - antara

signifiant dan signifié - dapat disetarakan dengan kedekatan antara kata dan

makna (meaning), sehingga dengan ini dapat diduga bahwa hubungan

antara kata dan makna seyogianya juga bersifat tanpa beban, artinya tidak

mengandung muatan-muatan penilaian. Kenyataan yang ditemui menyajikan

banyak kata yang dituturkan atau yang diungkapkan dalam bentuk tulisan

menimbulkan ketersinggungan pendengar atau pembacanya. Hal ini

mengindikasikan bahwa kata-kata itu telah aktif digunakan dan tidak hanya

berdiam di dalam kepala penutur. Bukan hanya itu, banyak faktor yang dapat

menjadikan kata dimaknai lebih meluas. Menurut Roeffaers (2004: 30), De

Saussure pun mengakui adanya penyatuan antara bentuk tanda dengan

maknanya, namun ia tidak membahas masalah signification, ia justru

berbicara mengenai nilai (valeur) yang dikandung oleh suatu tanda, yang

merupakan bagian dari sistem bahasa (langue).

Page 6: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

5

Kata, ketika digunakan akan terkait dengan kata-kata lain, yang

kemudian akan memunculkan makna (meaning). Begitu pula yang dipahami

wacana analitis (analitical discourse), ketika kata telah digunakan, baik

secara tertulis ataupun tertutur, maka ia akan menunjuk, merefleksikan, atau

mengasosiasi sesuatu kenyataan di luar dirinya. Pada ruang inilah

penggunaan kata tidak akan bebas dari pemaknaan. Sebagai contoh, pada

permulaan tahun 2011 lalu, medio bulan Januari, media massa luar negeri

dan Indonesia banyak memberitakan ketersinggungan pihak-pihak tertentu

akibat penggunaan kata-kata tertentu. Kata-kata itu adalah blood libel (“fitnah

darah”) yang digunakan Sarah Palin, politisi dari Partai Republik AS, dalam

pernyataannya menanggapi ditembaknya politisi dari Partai Demokrat AS

yang berketurunan Yahudi, Gabrielle Giffords, oleh seseorang di Tucson,

Arizona, AS, ketika sedang mengadakan pertemuan dengan para

konstituennya di pelataran sebuah Mall (Kompas, 10 dan 15 Januari 2011).

Pernyataann Palin yang menggunakan kata “fitnah darah” ini, telah

menimbulkan ketersinggungan banyak orang, terutama mereka yang memiliki

darah keturunan bangsa Yahudi. Ini terjadi karena ketika kata tersebut

digunakan, ia tidak bebas dari pemaknaan; dengan melihat konteks yang

ada, maka ia dapat menunjuk, mengasosiasi pada suatu kenyataan yang ada

atau yang pernah ada. Bagi yang memahami sejarah bangsa Yahudi, kata ini

mengingatkan mereka pada peristiwa kelam di Abad Pertengahan, saat

Page 7: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

6

bangsa Yahudi pernah mengalami fitnah yang dilakukan oleh Kristen Eropa.

Fitnah yang disebarkan berupa rumor ini, mengisukan bahwa orang-orang

Yahudi masih melakukan ritual pengorbanan manusia. Karena itu, mereka

dituduh menculik anak-anak Kristen guna dijadikan korban persembahan.

Sebagai akibat dari fitnah tersebut, banyak orang Yahudi ketika itu ditindas,

disiksa, bahkan dibunuh. Peristiwa kelam ini rupanya telah menjadi beban

yang dimuat oleh kata blood libel itu sendiri, terutama bagi masyarakat yang

telah menyimpannya dalam ingatan mereka. Sebenarnya, faktanya kata itu

biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa Inggris yang

merujuk pada orang yang difitnah (Kompas, 15 Januari 2011 “Fitnah Darah”

Jejak Sejarah Kelam Anti-Semitisme di Eropa, 9), tetapi bila digunakan pada

konteks tertentu ia akan memiliki dampak karena dimaknai berbeda dari

makna yang sudah ada sebelumnya.

Pemaknaan kata sebagaimana contoh di atas, merupakan pandangan

poststrukturalis. Poststrukturalis memiliki pandangan yang bertitik tolak dari

pandangan strukturalis, tetapi dengan sedikit modifikasi. Poststrukturalis

mengambil ide strukturalis, bahwa tanda menurunkan (derive) maknanya

tidak melalui relasinya terhadap kenyataan (reality) tetapi melalui relasi intern

dalam jaringan tanda itu sendiri, namun ia menolak pandangan strukturalis

terhadap bahasa sebagai suatu struktur yang stabil (stable), tidak dapat

diubah (unchangeable), dan total (totalising). Bagi poststrukturalis, tanda

Page 8: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

7

tetap memperoleh (acquire) maknanya lewat pembedaan dari tanda lain,

tetapi tanda yang membedakannya dari yang lain itu dapat berubah menurut

konteksnya (Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004:9-11). Jadi, bahasa bukan

hanya merupakan saluran di mana informasi mengenai pernyataan mental

dan perilaku atau fakta mengenai dunia dikomunikasikan, melainkan juga

merupakan ‘mesin’ yang menggeneralisasi, dan sebagai hasilnya bahasa

juga menetapkan dunia sosial.

Contoh lain yang menjelaskan bahwa hubungan antara bahasa dan

realita juga bersifat arbitrer, satu poin yang dikembangkan oleh teori

strukturalisme yang datang kemudian dan juga poststrukturalisme. Teori

strukturalisme menerima pandangan bahwa makna tanda individual

dideterminasi (determined) oleh relasinya terhadap tanda-tanda lain, atau

suatu tanda memperoleh maknanya karena berbeda dari tanda lain. Sebagai

contoh kata berbahasa Belanda aap ‘monyet’, kata ini bermakna karena ia

berbeda dari kata-kata lain misalnya geit ‘kambing’, buffel ‘kerbau’, muis

‘tikus’, kat ‘kucing’ dst. Kata aap ini merupakan bagian dari jaringan

(network) atau struktur kata yang menjadikannya berbeda dari struktur kata

lain yang tidak memberikannya makna ‘aap’ sebagai hewan berkaki empat

yang ‘terampil’. Tidak hanya itu, ia juga menampakkan bentuk yang berbeda

dalam bahasa-bahasa yang berbeda, misalnya: monyet dalam bahasa

Indonesia, monkey atau apes, la signe, der affe dalam bahasa-bahasa lain.

Page 9: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

8

Penjelasan ini berimplikasi pada hubungan antara bahasa dan kenyataan;

bukan dunia yang mendikte kata yang dengan ini dunia digambarkan,

sebagaimana sudah dikatakan, ini hanyalah hasil kesepakatan masyarakat

pemakai bahasa. Meski demikian, muatan tanda itu selalu berubah bila

diterapkan pada situasi lain, contohnya ketika dikatakan pada seseorang

bahwa dia “als een klein nietswaardig aapmenschje”1, maka reaksinya tentu

tidak sekedar memahami sebagai makna biasa, yang arbitrer, yang tidak ada

hubungannya dengan kenyataan, tetapi sudah mengandung muatan

mendeskriditkan, ‘mengecilkan’: aapmenschje adalah manusia yang

dipersamakan dengan monyet.

Bahasa adalah istilah yang paling umum digunakan untuk merujuk

pada apa yang disebut sebagai ‘bahasa-bahasa alamiah’, yakni bentuk

komunikasi yang digunakan makhluk manusia. Dalam linguistik istilah ini

diperluas dengan mengacu pada proses berpikir manusia dalam

menciptakan dan menggunakan bahasa. Sesungguhnya, proses berpikir

manusia tidak selalu harus menggunakan bahasa (Callow, 1998:8), karena

1 Kutipan ini diambil dari salah satu teks kolonial yang menjadi bahan penelitian dan dikutip sesuai aslinya dengan masih menggunakan ejaan lama. Kutipan selengkapnya adalah sebagai berikut: …Dan tasten zijn handen naar de sarong en zwaait hij haar open en draait haar weer in nieuwe wrongen om het magere lijf. Teeken van eerbied voor de meerderen, en hij gaat hurken midden op ‘wegje en zit daar nu als een klein nietswaardig aapmenschje,omhangen met zijn djimats…(Zeggelen, M. van, 1920, Onderworpenen, Schetsen uit Celebes, p. 22-23)Terjemahannya: Kemudian tangannya menyentuh sarong dan dia membuka dengan mengibaskannya dan kembali melingkarkan dengan lipatan baru di sekeliling tubuhnya yang kurus. Tanda rasa hormat pada orang yang dianggap lebih, dan dia akan membungkuk di tengah jalan dan duduk di sana sekarang layaknya seorang manusia monyek, kecil, tidak berharga, dengan jimat menggantung.

Page 10: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

9

dalam keadaan normal sehari-hari, tak jarang manusia pun berpikir secara

non-verbal, misalnya ketika kita tengah menggumam beberapa baris nada

lagu, lalu baris berikutnya kita lupa, maka beberapa saat kita akan

berkonsentrasi mengingat nada yang tepat untuk ditampilkan ke permukaan

dalam pikiran. Begitu pula, ketika kita sedang berpikir tentang warna tas yang

cocok dengan gaun yang akan kita kenakan, kita akan berkonsentrasi

sejenak, sebelum sampai pada keputusan. Semua kegiatan berpikir itu tidak

menggunakan kata-kata, demikian juga bila kita mempelajari masalah

geometri atau persamaan (equation) dalam matematika, pemikiran kita

secara total terserap dalam relasi spasial dan numerik.

Meskipun demikian, dalam pikiran kita tersedia sarana petanda yang

memudahkan kita mengingat atau memunculkan kembali nada melodi yang

terlupakan tadi, misalnya dengan melihat angka atau simbol yang tertera

pada partitur. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa cara lain

manusia berpikir adalah dengan mengeksploitasi tanda-tanda semiotik.

Dalam menciptakan dan menggunakan sistem tanda secara sistematis,

terutama dalam berbahasa, manusia secara mendasar perlu memperhatikan

konsep linguistik tentang makna (semantik), struktur kalimat, dan tata

bahasa, agar produk bahasa yang dihasilkan dapat dipahami.

Konsep linguistik tentang makna dapat diklasifikasi dalam beberapa

pengertian, yaitu konsep tentang makna leksikal, makna gramatikal, dan

Page 11: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

10

makna kontekstual. Setiap kata memiliki medan semantik yang mencakup

seluruh kemungkinan pemanfaatannya secara kontekstual dalam batas-batas

normal (sebagaimana dikutip dari Cruse, 2004: 199). Dari makna kontekstual

diperoleh pengertian akan makna pragmatik, yaitu makna yang lebih

memperhitungkan makna bahasa dalam penggunaannya (language in use)

daripada makna leksikal kata secara terisolasi. Karena itu, dalam

menganalisis wacana yang ada dalam teks, konteks mendapat porsi

perhatian yang cukup besar.

Chilton (2004:154, dalam: Blackledge, A., 2005:9) menunjukkan

bahwa makna suatu teks tidak dimuat dalam teks itu sendiri, lebih dari itu

pembaca atau pendengar membuat pengertian terhadap teks dengan jalan

mengaitkannya dengan pengetahuan dan harapan-harapan mereka

sebelumnya. Chilton memberi istilah konteks ini dengan ‘backstage

knowledge’ pengetahuan di balik panggung yang pada dasarnya tidak

terbatas, dan ditentukan tidak hanya lewat pengetahuan tetapi juga lewat

ketertarikan (interest) dan anggapan (presumption) atau keyakinan pembaca.

Bagi Van Dijk (2004) konteks wacana seharusnya tidak hanya didefinisikan

dalam istilah situasi sosial tempat wacana itu terjadi, tetapi lebih dari itu

sebagai representasi mental atau model mental. Model mental adalah

interpretasi personal terhadap wacana oleh pengguna-pengguna bahasa

Page 12: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

11

individual, yang boleh digeneralisasikan sebagai pengetahuan umum tentang

dunia.

Memahami keterkaitan bahasa yang ada dalam wacana dengan

pikiran (kognisi) penggunanya, tentu tidak akan lepas dari memahami

keterkaitan antara kata dan makna yang juga dianalogikan dengan kedekatan

antara tanda bahasa dan gambaran pikiran (konsep). Kedekatan antara

tanda bahasa dan gambaran pikiran membentuk satu kesatuan yang

melahirkan makna literal, sedangkan gabungan dua kata atau lebih

melahirkan makna figuratif, yang belum tentu merupakan gabungan makna

literal dari masing-masing kata, karena bisa saja makna yang tercipta adalah

sesuatu yang baru.

Untuk mengetahui bagaimana hal tersebut dapat terjadi, pertama-tama

harus disadari bahwa ilmu bahasa kognisi mengakui sebagian kapasitas

bahasa manusia sudah dibawa sejak manusia lahir ( ingeboren / innate),

sebagaimana juga diakui oleh teori gramatika generatif Chomsky dengan

konsep LAD (Language Acquisition Device) nya. Akan tetapi, menurut ilmu ini

juga, sisa kapasitas bahasa lainnya diperoleh melalui serapan kenyataan dari

luar dengan memberdayakan pengamatan indera dengan baik, sehingga

diperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan. Keadaan ini memiliki

kesamaan cara perolehan dengan pengetahuan lain selain bahasa, yang

juga dimiliki manusia. Jadi, menurut ahli bahasa kognisi, bahasa merupakan

Page 13: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

12

proses perolehan (acquisition) sekaligus juga proses penyituasian dalam

lingkungan khusus (gesitueerd in specifiek milieu).

Penelitian-penelitian bahasa yang berkenaan dengan kognisi manusia,

telah banyak dilakukan orang, bahkan telah melahirkan teori-teori yang kerap

dijadikan rujukan oleh peneliti lain, seperti misalnya proses komunikasi yang

terjadi dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan kognisi ini merupakan

pengembangan dari pendekatan-pendekatan lama yang mungkin dirasa

sudah tidak efektif lagi, misalnya pendekatan behaviorisme. Tidak hanya itu,

pendekatan kognisi juga digunakan dalam ilmu pengetahuan bahasa

(linguistik) dalam mengembangkan temuan-temuannya di bidang fonologi,

morfologi, sintaksis, dan semantik satu bahasa yang dahulu sesungguhnya

telah ada, namun kini dirasa telah mencapai titik kejenuhan, sehingga

pendekatan kognisi dilihat sebagai jalan keluar yang membawa kebaruan

temuan.

Untuk mencari tahu representasi mental pengguna bahasa dalam

memahami dan mengekspresikan wacana yang diproduksi lewat teks, perlu

memperhitungkan ketiga elemen yaitu wacana, bahasa, dan kognisi. Wacana

didefinisikan secara luas berarti ide, gagasan yang bersemayam di benak,

pikiran pemilik bahasa, yang dalam bentuknya yang konkret diwujudkan

berupa ekspresi bahasa lisan (talk) atau bahasa tulisan berupa teks.

Meskipun ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai batasan wacana,

Page 14: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

13

intinya memberikan pemahaman bahwa bahasa yang digunakan dalam

wacana selalu memiliki intensi, maksud tertentu, apakah bentuknya berada di

“atas” klausa atau kalimat ataukah bisa hanya diwakili oleh kata atau

kelompok kata, sebagaimana yang diyakini oleh Widdowson (2004). Dari

batasan yang dikenakan pada wacana, dapat dilihat bahwa analisis yang

dapat dilakukan padanya, meliputi analisis pada tataran kata hingga kalimat.

Dalam wujudnya sebagai teks, wacana diorganisasi dari unit-unit linguistik

yang memiliki makna khusus, karena essensi wacana adalah maksud atau

intensi yang dikandungnya yang ingin dipersuasikan pada resipien agar

dapat diproduksi ulang oleh penerima dalam bentuknya yang bermacam-

macam. Bentuk yang bermacam-macam (discursive forms) ini berimplikasi

pada penggunaan kata yang memiliki makna ekuivalen, yang tujuannya

adalah maksud semula tetap dapat disampaikan, atau dengan kata lain

wacana berhasil direproduksi secara berantai. Tidak hanya itu, discursive

forms juga dapat menampilkan diri dalam bentuknya yang total berlawanan.

Semua ini merefleksikan bahwa bahasa dalam wacana memiliki keterkaitan

dengan situasi sosio-historis dan sosio-kultural yang melatarbelakangi

kemunculannya.

Hal yang sama dapat dilihat pada wacana kolonial, khususnya wacana

kolonial di Indonesia yang ditulis oleh pengarang-pengarang Belanda, yang

eksis beberapa abad lalu. Teks-teks yang memproduksi dan mereproduksi

Page 15: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

14

wacana ini tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi dan keadaan ketika ia

diproduksi. Karena keadaan ketika itu memperlihatkan situasi bahasa

multilingual, maka tidak heran bila kondisi itu tercermin di dalamnya: kata-

kata dan kalimat-kalimat singkat berbahasa Perancis, Inggris, Jerman,

bahkan terutama berbahasa Indonesia lama dan bahasa lokal setempat

seperti bahasa Makassar turut menghiasi penggunaan bahasa Belanda yang

boleh dibilang agak ouderwets dan telah ‘mengindonesia’ (verindisch)

menurut pendengaran kebanyakan orang-orang Belanda masa kini. Situasi

politik ketika itu juga turut mewarnai wacana yang ada, dan yang paling

mudah diserap pembaca adalah gambaran kondisi sosio-historis yang

mewakili zamannya. Gambaran yang ditampilkan adalah kehidupan dan

aktivitas orang-orang Belanda yang kala itu dikenal dengan sebutan

Hollander, di berbagai tempat di pedalaman hingga hutan-hutan di Hindia;

suka duka menjalani kehidupan dengan sesama orang Belanda Totok

(volbloed Hollander), dengan orang-orang Indisch, yakni orang-orang

Belanda yang berdarah campuran pribumi yang biasa dikenal dengan nama

orang Indo, hingga tantangan yang harus dihadapi karena perbedaan iklim

dengan negara asal, terutama bagi Hollander yang baru tiba di koloni ini.

Kehidupan yang eksklusif, megah di zamannya, terpisah dari kehidupan

rakyat kebanyakan yang berlawanan bagaikan bumi dan langit dalam hal

kemewahan; sketsa kehidupan yang menampilkan pemilik asli negeri ini,

yang di mata para pendatang atau mereka biasa menyebut diri sebagai

Page 16: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

15

Indische gasten (tamu-tamu Hindia), hanya sebagai pelengkap penderita

yang melayani, mempermudah berbagai aktivitas para tuan besar, sehingga

dengan demikian kehadiran para inlander, begitu mereka biasa disebut oleh

para tamu Hindia ini, semakin memperkuat wacana kuasa yang

dipertontonkan oleh orang-orang Holland yang berdarah asli Belanda.

Mereka tidak hanya menguasai kehidupan penduduk asli bumi pertiwi, tetapi

juga menguasai tanah negeri dan segala kekayaan yang dimiliki. Kehadiran

mereka yang hanya sedikit dalam ukuran kuantitas namun mampu

menyuarakan eksistensi kebesaran kuasa yang dimiliki lewat strategi yang

digunakan. Karena itu wacana kolonial yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah wacana kuasa; kata kuasa atau macht dalam bahasa Belanda akan

dijadikan titik pusat yang mengikat dan mengaitkan kata-kata lain yang

memperkuat dan mendukung eksistensi keberadaan kekuasaan itu sendiri.

Latar pemikiran atau background pengetahuan pengguna bahasa

diduga ada kaitannya dengan kata-kata yang dipilih, struktur yang dibangun,

serta strategi yang digunakan untuk menanamkan pemahaman dalam pikiran

pembaca akan wacana kuasa yang sedang disebarluaskan. Karena teks

masa kolonial yang berbahasa Belanda, terutama teks literer banyak

mencerminkan kehidupan dan pemikiran penguasa, maka penelitian ini pun

diarahkan padanya. Mengungkap wacana kuasa dibalik penggunaan kata-

kata tertentu menarik untuk menelisik lebih jauh konteks pemikiran

Page 17: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

16

penggunanya, yang kadang pilihan katanya cukup menggores rasa

kesantunan berbahasa orang yang dikuasai. Mengaitkan penggunaan

bahasa dengan konteks pemikiran merupakan usaha lebih lanjut dalam

memaknai teks.

Penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, memang

pernah dilakukan oleh beberapa peneliti Belanda, namun hal ini hanya

menyentuh sebagian kecil dari yang ingin diungkap, sebagai contoh yang

dapat diutarakan di sini adalah penelitian Van Dijk2 pada tahun 1990-an yang

dilakukan terhadap cara berbahasa masyarakat Belanda bila berbicara

mengenai kalangan minoritas yang ada di sana. Hasilnya menunjukkan

adanya perlakuan diskriminatif secara bahasa, terhadap kalangan yang

dipersepsi sebagai pembuat masalah di masyarakat ini, seperti masalah

ekonomi, sosial, yang berupa kerusuhan, kekerasan, kriminalitas, dan

sebagainya.

Pada tahun 2000-an pernah pula dilakukan penelitian terhadap orang

asing pencari suaka (asielzoeker) di Belanda. Penelitian ini dilakukan oleh Ivo

Nieuwenhuis, dengan bertitik tolak pada dua teks sastra Belanda masa kini,

yang diberi judul: Vreemd Besoek. De koloniale representatie van de

asielzoeker in twee hedendaagse Nederlandse teksten.3 Penelitian ini

2 Hasil penelitian ini dipublikasikan sebagai artikel berjudul: Discourse, Ethnicity, Culture, and Rasism oleh Teun van dijk , dkk, dan dimuat dalam Discourse As Social Interaction. Discourse Studies 2. A Multidiciplinairy Introduction yang dicetak ulang tahun 2004.3 Sumber informasi diperoleh lewat layanan online google.nl yang diakses 16-8-2011.

Page 18: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

17

menerapkan pendekatan postkolonial dalam menganalisis teks, yaitu peneliti

pertama-tama mengkritisi dan mendiskusikan pandangan Edward Said yang

sudah dikenal umum tentang Orientalism. Pandangan ini mengonfrontasikan

Barat dengan Timur, bagaimana sikap berpikir Barat telah mendasari cara

bertindak memperlakukan ‘Yang Lain” Timur (de Oosterse Ander) sebagai

kutub yang berbeda dan berlawanan dengan Barat itu sendiri (Westerse

Zelf). Hal ini berdampak pada cara kolonisator bertindak pada orang-orang

yang dikolonisasi (dijajah).

Walau ada perbedaan essensial antara wacana kolonial dan

representasi pencari suaka, tetapi peneliti melihat adanya kesamaan yang

dapat diperbandingkan di antara keduanya. Pertama, keduanya dibicarakan

dari sudut pandang Barat, dengan konteks dan sumber-sumber penunjang

yang juga berasal dari Barat. Kedua, yang menarik dari penelitian ini, adalah

sikap peneliti yang mengaitkan antara pencari suaka yang notabene adalah

permasalahan masa kini dan sikap kolonial dari kolonisator-kolonisator yang

seharusnya sudah menjadi bagian dari masa lalu. Dari permasalahan yang

mencuat dalam penelitian Ivo Nieuwenhuis ini dapat dimaknai bahwa

sesungguhnya permasalahan laten kolonialisme masih tetap ada

tersembunyi di bawah permukaan, dan masih akan tetap penting untuk diteliti

demi memberi solusi bagi permasalahan relasi ras yang akhir-akhir ini

menghangat kembali dibicarakan di Eropa.

Page 19: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

18

Pertanyaannya sekarang apakah penelitian yang tengah dirancang ini

akan bermuara pada hasil yang sama seperti yang dilakukan peneliti-peneliti

Belanda? Tentu saja jawabannya tidak, karena apa yang akan dilakukan

adalah memberikan makna secara komprihensip pada teks kolonial. Memang

tidak dimungkiri bahwa penelitian ini juga akan menyentuh penggunaan

bahasa secara khusus yang diduga mengandung muatan intensi tertentu,

namun di sisi lain kebermaknaan juga ada dalam aspek-aspek bahasa yang

berlaku secara umum. Teks kolonial yang diduga mengandung muatan

wacana kuasa ini tentunya menggunakan bahasa tertentu yang

merepresentasikan pemikiran penggunanya. Oleh karena itu, pemaknaan

wacana kuasa akan mendapat porsi perhatian tersendiri. Ujung dari

pemaknaan secara semantik maupun pragmatik diharapkan dapat menguak

kognisi (pemikiran) sang kolonisator dan memberikan gambaran realita ketika

itu

Fokus Penelitian

Penelitian ini bertitiktolak dari teks-teks masa penjajahan dulu. Dalam

hal ini, peneliti mencurahkan banyak perhatian pada produksi bahasa

(wacana) yang digunakan oleh pemroduksi bahasa, yang berdampak pada

pemaknaan oleh penerima; semua ini berkaitan dengan pikiran manusia

penggunanya. Langkah awal yang akan dilakukan adalah membongkar teks-

teks yang telah dipilih secara selektif (eclectic) dari sejumlah teks yang

Page 20: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

19

masuk kategori teks kolonial untuk mendapatkan data bahasa yang

dimaksud. Untuk itu, pertanyaan mula-mula yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimanakah kata-kata dan ungkapan kalimat di seputar wacana

kuasa yang teridentifikasi dalam teks-teks kolonial dapat ditampilkan

dan dianalisis dengan teori wacana?

2. Bagaimana menginterpretasi dan menganalisis konteks dalam

wacana teks kolonial

3. Bagaimanakah menjelaskan keterkaitan kata-kata yang dipilih untuk

digunakan dalam wacana kolonial ini dengan representasi makna dan

kognisi penggunanya (konteks)?

B. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk menjawab rasa ingin tahu

peneliti akan fenomena bahasa masa lalu yang pernah ada di Indonesia.

Bahasa ini bahkan pernah menjadi salah satu pilihan bahasa bergengsi

kaum intelektual Indonesia. Namun sejalan dengan perkembangan zaman,

bahasa ini lambat laun tersingkir dari perbincangan dan hanya menyisakan

lembaran-lembaran dokumen yang sarat dengan data dan fakta-fakta

sejarah.

Secara khusus, penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang telah diajukan pada sub-bab Fokus Masalah di atas, sebagai berikut:

Page 21: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

20

1. Menampilkan dan menjelaskan data bahasa berupa kata, frasa, dan

kalimat yang diidentifikasi mengandung muatan wacana kolonial

2. Menginterpretasi dan menganalisis makna konteks dalam wacana teks

kolonial

3. Menjelaskan keterkaitan penggunaan kata-kata dalam wacana kolonial

dengan representasi makna dan kognisi penggunanya (konteks)

D. Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang cukup

signifikan pada pengembangan teori analisis wacana kritis, yang selama ini

sudah menunjukkan keragaman pemikiran dalam menjawab berbagai

fenomena wacana yang ada di masyarakat masa kini, seperti fenomena yang

ada pada konversasi (percakapan) sehari-hari, berita lewat media

komunikasi, pengajaran (hubungan guru dan murid) dalam bidang

pendidikan, dan masih banyak yang lainnya, termasuk wacana rasisme. Dan

kini peneliti mencoba menyumbangkan pemikiran lewat wacana kolonialisme.

Selain itu, diharapkan penelitian ini memberikan perluasan

pengetahuan akan makna kosakata yang digunakan pada peristiwa (event)

khusus, yang dalam hal ini peristiwa yang bersituasikan masa lalu di

Indonesia. Dalam bidang ilmu bahasa penelitian dengan objek bahasa masa

Page 22: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

21

lalu ini, kiranya dapat memberikan warna berbeda untuk hasil-hasil penelitian

yang di Eropa dan di Amerika telah dihimpun di bawah satu nama historical

discourse analysis, yang merupakan bidang ilmu yang berada di bawah

historical pragmatics, suatu bidang ilmu yang relatif masih baru dari linguistik

historis.

Page 23: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.TINJAUAN TEORI dan KONSEP

Untuk menunjang penelitian ini, pertama-tama akan diulas

pengetahuan yang berkaitan dengan fokus perhatian peneliti dan juga teori

yang akan dijadikan landasan berpikir. Tinjauan pustaka dan perspektif

teoretis ini diharapkan dapat membingkai arah penelitian agar tidak keluar

dari tujuan yang telah ditetapkan. Walau disadari bahwa formasi teori

bukanlah proses yang bertujuan mereproduksi kebenaran abadi, setidak-

tidaknya ia merupakan alat yang didesain untuk membantu memahami dunia.

1. Analisis wacana

Analisis wacana sekarang ini sering dilihat sebagai suatu cara yang

dilokalisasi dalam disiplin ilmu linguistik, walau sesungguhnya ia merupakan

suatu bidang yang mengusik rasa ingin tahu yang bersifat antardisiplin.

Dalam waktu kurang dari setengah abad analisis wacana telah memiliki

Page 24: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

23

status, stabilitas , signifikansi, dan integritas sebagai disiplin yang memiliki

penilaian baik, dan ia merupakan perluasan batasan linguistik konvensional.

Bila merujuk ke belakang ke tahun 1960an, ia didefinisikan sebagai analisis

perilaku linguistik (Bhatia, V.K. et al. 2008) dan fokus utamanya pada

konstruksi dan interpretasi makna bahasa yang digunakan pada konteks

sosial khusus.

Pendekatan yang lebih kontemporer terhadap bahasa dalam

penggunaannya, berakar dari sejumlah perkembangan pada Abad 20 dalam

bidang filsafat, antropologi, sosiologi, dan linguistik. Akar dari pandangan

terhadap bahasa ini, mungkin bersumber dari karya Wittgenstein (1951/1972)

yang melihat bahasa sebagai suatu seri ‘permainan’ yang dengannya orang

mengonstruksi apa yang disebut ‘bentuk kehidupan’, cara khusus berinteraksi

dengan orang lain dan sekelilingnya. Kemudian diikuti oleh kemunculan

publikasi karya klasik Austin pada tahun 1962, How to Do Things with Words,

suatu kajian yang menyarankan bahwa pengkajian bahasa tidak hanya

melibatkan strukturnya, tetapi yang penting bagaimana cara ia digunakan,

dibentuk, dan dimunculkan hingga menjadi lebih menonjol, sekurang-

kurangnya di lingkungan filsafat. Menyusul pemikir-pemikir seperti Foucault

dan Derrida, meskipun apa yang dilakukan mereka bukanlah cara yang

menguatkan apa yang menjadi tradisi Austin, tetapi perlu untuk dicatat bahwa

cara mereka justru memperluas cara menganalisis bahasa, yaitu apa yang

Page 25: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

24

mereka lakukan lebih bersifat divergence daripada convergence terhadap

karya Austin, juga telah membuat bahasa khususnya ‘wacana’ menjadi

sentra untuk memahami praktik sosial.

Kegiatan menganalisis wacana bahasa telah banyak dilakukan oleh

para ahli bahasa, sebut saja Harris (1952), Stubbs (1983), yang banyak

dirujuk oleh Widdowson (2004) dalam menganalisis isu-isu kritis dalam

analisis wacana. Widdowson sesungguhnya mengelompokkan dua cara

dalam menghadapi bahasa, pertama analisis, bila yang dihadapai adalah

unit-unit linguistik, terutama dalam memahami maknanya, sedangkan, bila

yang ingin diketahui adalah apa yang dimaksud penulis / penutur lewat

penggunaan bahasa tertentu, maka alat yang digunakan adalah interpretasi.

Interpretasi berarti mempertimbangkan segi pragmatik dalam penggunaan

bahasa, dan tidak semata-mata hanya masalah semantik.

Penggunaan istilah wacana oleh Nelson Phillips dan Cynthia Hardy

(2002) lebih bersifat khusus; mereka mendefinisikan wacana sebagai

seperangkat teks yang terhubungkan satu sama lain, di mana praktik

produksi, diseminasi, dan resepsi telah menjadikannya objek yang mengada.

Mereka memberikan contoh koleksi teks dari berbagai jenis, yang telah

membuat wacana psychiatry menjadi populer dengan gagasannya mengenai

ketaksadaran yang eksis pada Abad 19 (sebagaimana hasil penelitian

Foucault, 1965). Dengan kata lain, realita sosial diproduksi dan dibuat nyata

Page 26: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

25

melalui wacana, interaksi sosial tidak dapat dipahami penuh, jika tidak

merujuk pada wacana yang telah memberinya makna. Karena itu, tugas

seorang analis wacana menurut mereka adalah mengeksplorasi relasi antara

wacana dan realita.

Wacana juga dipandang sebagai konstruksi sosial (Phillips, L. and

Jorgensen, M.W., 2004; Phillips, N. and Hardy,C., 2002), paham konstruksi

sosial sesungguhnya merupakan istilah yang memayungi teori-teori baru

mengenai budaya dan masyarakat ( Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004:

4). Akan tetapi analisis wacana hanyalah salah satu di antara beberapa

pendekatan yang biasa digunakan para konstruksionis, walau demikian

penggunaannya paling meluas di antara pendekatan yang lain. Bila dilihat

asal muasalnya, paham ini memiliki akarnya dalam teori poststrukturalisme

Prancis dan penolakannya terhadap totalisasi dan universalisasi teori-teori

seperti Marxisme dan psychoanalysis (Ibid: 6).

a. Wacana bahasa dan konteks budaya.

Di Amerika, munculnya perhatian yang mengaitkan bahasa dengan

kebudayaan sudah dimulai pada tahun-tahun pertama Abad Kedua Puluh,

dengan kehadiran karya Edward Sapir dan Benyamin Lee-Whorf, seperti

juga sebelumnya telah dirintis oleh tradisi Boasian dalam antropologi

linguistik. Adapun di Eropa, pendekatan yang mengaitkan bahasa dengan

Page 27: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

26

lingkungan sosial dan budaya dapat dilihat pada karya Michael Halliday.

Konsep Halliday bertitik tolak dari paradigma strukturalis, dan kognisi dalam

gramatika, yang melihat sistem bahasa sebagai suatu sistem yang otonom

dan independen dalam penggunaannya. Namun dalam perkembangannya ia

kemudian mengaitkannya dengan linguistik sosiologi, yaitu suatu disiplin

yang membuka ruang bagi bahasa untuk dikenali struktur sosial, nilai-nilai,

sistem pengetahuan serta pola-pola budaya yang terdapat dan yang

menyatu di dalamnya. Kemudian konsep ini menggabungkan kedua tataran,

yakni tataran makro sosiologi (Halliday, 1978:65) dan juga tataran mikro

sosiologis, yang padanya makna bahasa dilihat secara spesifik dalam

konteks dan situasi.

Hipotesis relativitas Whorf (1956) terhadap bahasa, menurut Dirven

(2001:176-178) dapat diinterpretasi dengan dua cara. Versi aliran keras

mengatakan bahwa sistem bahasa menentukan atau ‘mendeterminasi’

pemikiran. Tesis ini telah dikesampingkan oleh sebagian orang, karena

manusia nyatanya tanpa bahasa masih dapat mengonstruksi pikirannya

panjang lebar, seperti misalnya pada penciptaan karya seni lukis, tari, dsb.

Adapun versi lemah mengatakan bahwa bahasa mengarahkan pemikiran dan

pengamatan kita. Jika masih tetap berpikir dengan bahasa, ide-ide Whorf

senantiasa masih merupakan tantangan untuk dipikirkan. Karena masyarakat

berevolusi, kategori-kategori pemahaman ini pun dapat disesuaikan dengan

Page 28: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

27

perkembangan atau bahkan dihilangkan. Dalam pengertian ini, gambaran

dunia suatu masyarakat ternyata tidak pernah statis dan tidak pernah

‘dideterminasi ‘ secara penuh oleh alat-alat yang ada dimiliki oleh kategori-

kategori pemahaman, meskipun memang ia dipengaruhi oleh ketegori-

kategori tersebut. Demikian juga dengan pandangan individu tertentu

terhadap dunia, sama sekali tidak dideterminasi oleh bahasanya, tetapi ia

memang sangat dipengaruhi oleh bahasanya.

Semua berlaku mutatis mutandis karena satu dan lain hal perlu

perubahan, ini juga berlaku untuk perilaku komunikasi dalam budaya

tertentu. Gaya komunikasi individu sama sekali tidak pernah dideterminasi

oleh budaya yang ia serap di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Tetapi

memang selalu ada ruang untuk variasi dan pembaharuan yang bersifat

sosial dan individual.

Secara historis, satu alasan mengapa kajian mengenai sosial budaya

begitu disukai dalam bahasa, adalah karena keduanya, bahasa dan budaya,

tampaknya memiliki properti yang sama. Keduanya dapat diperlakukan

sebagai sistem yang mengandung identitas diri yang didefinisikan dari

aturan-aturan yang digunakan untuk mengombinasikan elemen-elemen

masing-masing.

Page 29: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

28

Pada masa poststrukturalisme sekarang ini, menurut Kress,

sebagaimana dikutip dari Wetherell (2005: 284), pendekatan strukturalis tidak

lagi memberikan kepuasan, akibatnya, ia berargumentasi bahwa lebih

banyak pandangan yang tertarik dan menaruh perhatian terhadap relasi

antara bahasa dan konteks sosialnya. Ini terjadi bila peneliti mulai lebih

mengkaji praktik berbahasanya daripada strukturnya. Fokus berbalik ke

tindakan sosial dan realita yang hidup secara aktual. Tulisan Bakhtin dan

Volosinov (dalam Wetherell, 2005) merupakan contoh yang bagus sekali

karena bagi Bakhtin dan Volosinov makna kata tidak diturunkan dari

tempatnya dalam struktur, tetapi dari akumulasi dan dinamisasi

penggunaannya secara sosial.

b. Wacana kritis terhadap interaksi sosial.

Dengan meningkatnya isu-isu sosial dan politik mengenai imigran dan

relasi etnis di Eropa dan Amerika Serikat pada sekitar tahun 1990 membuat

analisis wacana mendapat perhatian ketika itu. T. van Dijk (1997/2004) salah

satu di antara analis-analis Critical Discourse Analysis yang melakukan

pengujian terhadap cara anggota kelompok mayoritas di Belanda dan di

Amerika Serikat dalam bercakap (talk) dan menulis (written) mengenai

kelompok minoritas, juga bagaimana relasi etnis menampakkan diri dalam

percakapan sehari-hari, buku teks, bahasa pers, parlemen, korporasi bisnis

Page 30: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

29

dan ilmu pengetahuan. Dalam kajiannya, ia menunjukkan bagaimana

pendekatan multi-disiplin bekerja untuk menampilkan reproduksi rasisme

dalam masyarakat, yang melibatkan relasi yang kompleks antara struktur

wacana, representasi kognisi, dan strukrur sosial. Analisis wacana yang

dilibatkan dalam penelitiannya itu terutama difokuskan pada tipe topik yang

lebih disukai, seperti topik perbedaan, penyimpangan, dan ancaman, juga

riwayat perkembangannya, struktur berita, argumentasi, gerakan pemaknaan

secara lokal, seperti stilistika dan properti retorika yang digunakan.

Paradigma yang sama juga digunakan Jӓger dan teman-temannya di

Duisburg (Jerman) (van Dijk, 1997/2004:167) dalam menguji secara

mendetail cara orang Jerman berbicara dan menulis mengenai minoritas dan

pengungsi pada tahun sekitar 1990, yang menjadikan mereka tiba pada

kesimpulan yang secara esensial sama. Ini memberi ide bahwa model

percakapan dan teks di sana menampakkan diri hampir sama bila berbicara

mengenai ‘orang lain’ (the others). Cara yang hampir sama juga dilakukan

Wodak dkk di Austria. Keingintahuan akan wacana anti Semit di Austria,

didasarkan pada kasus the Waldheim affair, pemilihan presiden yang

presidennya diduga terlibat kejahatan perang Nazi selama Perang Dunia II.

Sebagai tambahan untuk analisis wacana secara mendetail, Wodak mengkaji

berita di media, talk show di TV, percakapan sehari-hari di jalan. Wodak juga

menguji dimensi kognisi, sosial, politik, dan histori. Dalam kerangka yang

Page 31: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

30

lebih luas pada pragmatik dan wacana nasional, Blommaert dan Verschueren

(1992) melakukan pengujian terhadap orang kulit putih di Belgia, bagaimana

mereka berbicara mengenai minoritas dan imigran di sana.

Dalam menganalisis texts dan talks, van Dijk memfokuskan pada

properti wacana dan kondisi kontekstual serta konsekuensinya. Beberapa

struktur diskursi dan strategi yang lebih khusus ternyata berpengaruh dalam

mereproduksi rasisme. Struktur wacana berperan dalam mengekpresikan

dan mempersuasi perilaku dan ideologi yang dipolarisasi sebagaimana

“kami” yang baik dan “mereka” yang buruk. Makna semacam ini boleh jadi

ditekankan lewat intonasi khusus dalam percakapan, sebagaimana juga

dalam headline berita atau gambar dalam buku teks.

Properti wacana yang jelas-jelas paling masuk akal adalah topik. Bila

anggota kelompok dominan atau institusi berbicara atau menulis mengenai

kelompok minoritas, maka akan tampak pada topik apa yang mereka

gunakan. Analisis mengenai topik-topik semacam ini penting, karena mereka

sebagain besar mendeterminasi cara orang memahami dan mereproduksi

teks dan percakapan semacam itu. Jadi, topik umum dalam media akan

memengaruhi agenda, yakni apa yang publik pikirkan dan perbincangkan.

Dari analisis mengenai wacana anggota kelompok mayoritas dan institusi ini

diperoleh hasil, bahwa mereka sebagian besar mereproduksi dan

mengekspresikan stereotip dominan, seperti topik-topik berbau etnik: imigran,

Page 32: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

31

kejahatan, perbedaan budaya, penyimpangan, dan masalah sosial ekonomi.

Analisis lebih jauh menunjukkan bahwa kelompok minoritas sering

menimbulkan dampak negatif. Jadi, imigran tidak pernah dijadikan topik

netral atau sebagai kontributor dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai

pembawa masalah, apakah itu masalah penipuan, atau ancaman bagi

berbagai masalah kejahatan yang khas secara etnis, seperti perampokan,

drugs, kekerasan (kerusuhan). Pada sisi lain kejahatan yang dilakukan

terhadap golongan minoritas, seperti diskriminasi, cenderung dinilai kecil atau

diasosiasikan dengan perbuatan individual yang menyimpang atau perbuatan

kelompok radikal.

2. Teori dan metode analisis wacana

Banyak teori dan kerangka kerja terhadap analisis wacana telah

diperkenalkan oleh para ahli, di antaranya Fairclough menawarkan kerangka

kerja “tiga dimensi” yang bertujuan memetakan tiga bentuk terpisah dari

analisis wacana: pertama, analisis teks bahasa (tuturan atau tulisan), kedua,

analisis praktik wacana (berupa proses produksi teks, distribusi dan

pengonsumsiannya), dan ketiga, analisis terhadap peristiwa diskursi sebagai

bagian dari praktik sosiokultural (Fairclough, 1995:2; Bhatia, et al. (ed),

2008:11).

Page 33: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

32

Dalam pengertiannya yang paling abstrak, wacana merujuk pada

penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Wacana juga dipahami sebagai

jenis bahasa yang digunakan dalam satu bidang khusus, seperti wacana ilmu

politik. Dan yang paling konkret, wacana dilihat sebagai kata benda (noun)

yang dapat dihitung, contohnya: a discourse, the discourse, the discourses,

discouses, (Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004: 66), yang merujuk pada

cara berbicara yang memberi makna pada pengalaman yang diperoleh dari

perspektif khusus. Fairclough membatasi istilah wacana menjadi sistem

semiotik seperti bahasa (dalam bentuk ujaran maupun tulisan) dan imaji,

berlawanan dengan apa yang dilakukan Laclau dan Mouffe yang

memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana (Ibid: 67).

a.Teori tentang konteks menurut van Dijk.

Van Dijk (2009) memperkenalkan teori tentang konteks yang

menjelaskan bagaimana text dan talk diproduksi, disesuaikan dengan

lingkungan sosialnya. Ini merupakan hubungan tidak langsung yang

ditetapkan antara wacana dan masyarakat, karena penyesuaian yang

dilakukan tergantung pada pengguna bahasa itu sendiri, bagaimana ia atau

mereka mendefinisikan situasi komunikasi. Model-model konteks Van Dijk ini

mengontrol semua produksi bahasa dan pemahamannya dan menjelaskan

bagaimana wacana dibuat cocok untuk setiap situasi. Dengan pendekatan

multidisiplin, dia mengembangkan teori tentang konteks dan melakukan

Page 34: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

33

pengujian pada struktur situasi sosial dengan memperhatikan dimensi

psikologi sosial, sosiologi, dan variasi-variasi budaya.

Dalam disiplin psikologi sosial perhatian lebih dicurahkan pada ‘social

cognition’, yakni representasi dan proses kognitif, masyarakat dipahami

lewat cara bagaimana mereka dipengaruhi oleh persepsi orang lain. Juga

dilanjutkan menganalisis masyarakat dengan jalan memahami situasi sosial

individu atau anggota dari satu kelompok komunitas yang berpartispasi

dalam suatu interaksi sosial. Konteks situasi sosial dari suatu interaksi sosial

dalam setting khusus ini, melibatkan partisipan yang berhadapan satu lawan

satu, sedangkan ‘konteks budaya’ didefinisikan lebih global, yang melibatkan

anggota seluruh komunitas, sebagaimana juga beberapa properti yang

mereka miliki, seperti pengetahuan, norma-norma, dan nilai-nilai (Ibid: 154).

Teori tentang konteks ini diklaim sebagai perantara interface yang bersifat

teoretis dan empiris, yang menjadi jembatan penghubung antara aktor sosial

dengan struktur sosial.

Lain halnya dengan teori wacana Laclau dan Mouffe (1985), yang

dikonstruksi dengan jalan mengombinasikan dua tradisi mayor teoretis, tradisi

Marxisme dan Strukturalisme. Marxisme memberikan jalan untuk berpikir

mengenai masyarakat, sedangkan Strukturalisme memberi jalan bagi teori-

teori tentang makna. Laclau dan Mouffe memfusikan kedua tradisi ini ke

dalam satu teori poststrukturalis tunggal, yakni keseluruhan bidang

Page 35: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

34

kemasyarakatan dipahami sebagai jaringan proses yang di dalamnya makna

diciptakan. Untuk memahami seperti apa teori wacana yang diperkenalkan

Laclau dan Mouffe, di bawah ini akan disarikan teori tersebut sebagaimana

digambarkan oleh Louise Phillips and M.W. Jorgensen

b.Teori wacana Laclau dan Mouffe.

Laclau dan Mouffe mendefinisikan 4 konsep yang telah diuji oleh

Louise Phillips and Marianne W. Jorgensen, di samping itu dua orang yang

disebut terakhir ini juga memperkenalkan sejumlah konsep yang terkait, yaitu

‘nodal point’ poin persetujuan, ‘the fields of discursivity,’ dan ‘closure’

pengakhiran / penutupan. Bagaimana pemahaman mereka mengenai teori

Laclau dan Mouffe, akan dipaparkan di bawah, sebagaimana disarikan dari

uraian mereka pada halaman 26-30 (2004).

Wacana dipahami sebagai pemastian makna dalam suatu domain

khusus. Semua tanda dalam wacana adalah moment-moment. Mereka

adalah simpul seperti yang ada pada jaring / jala ikan, makna mereka

dipastikan melalui perbedaannya dengan yang lain (differential positions).

Sebagai contoh, misalnya pada wacana medikal: tubuh, penyakit, dan

pengobatan direpresentasikan dengan cara khusus. Semua penelitian

medikal membagi tubuh, penyakit, dan pengobatan menjadi bagian-bagian,

yang digambarkan memiliki relasi dengan cara yang tidak ambigu. Secara

Page 36: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

35

khusus tubuh dilihat seperti terbagi dalam bagian-bagian yang akan diobati

secara terpisah dan penyebab penyakit sering dilihat sebagai bersifat lokal.

Misalnya, infeksi diterima sebagai disebabkan oleh serangan lokal dari mikro

organisme yang harus dieliminasi dengan obat. Wacana medikal,

membentangkan suatu jaringan makna antarrelasi, yang mengaitkan tubuh

dengan penyakit. Dalam pengertian ini, kita berbicara mengenai wacana

bahwa semua tanda adalah moment dalam suatu sistem, dan makna setiap

tanda dideterminasi lewat relasinya dengan tanda-tanda lain.

Wacana dibentuk lewat pemastian makna sebagian di sekitar nodal

point tertentu (Phillips, L. and Jorgensen, M.W., 2004:26; lihat juga Laclau

and Mouffe, 1985:112). Nodal point adalah tanda yang memperoleh hak

istimewa (privileged), di sekitarnya tanda-tanda lain ditata. Tanda-tanda lain

ini memperoleh maknanya dari relasi dengan nodal point. Pada wacana

medikal misalnya, tubuh merupakan nodal point, yang di sekitarnya

beberapa makna lain terkristalisasi. Tanda-tanda seperti ‘symptoms’ gejala,

‘tissue’ jaringan, dan ‘scalpel’ pisau bedah memperoleh maknanya dengan

jalan menghubungkannya dengan ‘body’ tubuh secara khusus. Nodal point

dalam wacana politik, misalnya, adalah ‘demokrasi’, sedangkan dalam

wacana kebangsaan adalah ‘rakyat’. Nodal point untuk wacana kolonial

diduga adalah ‘kekuasaan’, namun itu pun masih harus dibuktikan dalam

penelitian ini.

Page 37: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

36

Wacana ditetapkan sebagai suatu totalitas, yaitu setiap tanda

dipastikan sebagai moment melalui relasinya terhadap tanda-tanda lain

sebagaimana dalam metafora jala ikan tadi. Ini dilakukan dengan jalan

penyingkiran (exclution) semua makna yang mungkin yang dapat dimiliki oleh

tanda-tanda itu, atau penyingkiran semua cara yang mungkin yang dapat

digunakan menghubungkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,

wacana merupakan pereduksian semua kemungkinan. Ini merupakan usaha

untuk menghentikan tanda yang menggelinding / meluncur / menyasar dalam

hubunganya dengan tanda lain dan juga karena ingin menciptakan sistem

makna yang menyatu. Semua kemungkinan yang wacana singkirkan, oleh

Laclau dan Mouffe disebut the field of discursivity (Phillips, L. and Jorgensen,

M.W., 2004:27; lihat juga Laclau and Mouffe, 1985:111). The field of

discursivity ini merupakan tempat penampungan bagi ‘makna yang berlebih’

(‘surplus of meaning’) yang diproduksi lewat praktik artikulasi, Ini adalah

makna yang dimiliki oleh suatu tanda atau pernah dimiliki di wacana-wacana

lain, tetapi yang disingkirkan oleh satu wacana khusus demi untuk

menciptakan kesatuan makna. Misalnya, wacana medikal ditetapkan

(constituted) dengan jalan menyingkirkan wacana mengenai pengobatan

alternatif, dalam wacana ini tubuh dilihat sebagai entitas secara holistik yang

menyerap energi lewat jalan yang berbeda.

Page 38: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

37

The field of discursivity dalam definisi konsep Laclau dan Mouffe,

dipahami sebagai segala sesuatu yang berada di luar satu wacana, segala

yang wacana itu singkirkan. Namun, karena satu wacana selalu ditetapkan

dalam hubungannya dengan wacana di luarnya, maka ia selalu berada dalam

bahaya dikurangpentingkan (undermined), yakni kesatuan maknanya berada

dalam bahaya dikacaukan (disrupted) oleh cara penetapan makna yang lain

tandanya. Di sini konsep element menjadi relevan. Element adalah tanda

yang maknanya belum dipastikan, tanda yang memiliki potensi makna multi

(tanda-tanda yang polisemi). Jadi, dengan menggunakan konsep ini, definisi

wacana dapat direformulasi sebagai suatu usaha untuk mentransformasi

elemen-elemen ke dalam momen-momen dengan jalan mereduksi

poliseminya menjadi makna yang pasti. Dalam teori wacana Laclau dan

Mouffe diistilahkan bahwa wacana tersebut telah menetapkan makna tanda

akhir, a closure, suatu penghentian sejenak fluktuasi makna dalam tanda.

Akan tetapi a closure, makna akhir, tidak pernah definitif. Sebagaimana

dikutip perkataan Laclau dan Mouffe oleh Louise Phillips dan Marianne

Jorgensen (hal. 28): ‘The transition from the “elements” to the “moments” is

never entirely fullfilled.’ Wacana tidak pernah dapat dipastikan dengan

sempurna karena ia dapat dikacaukan dan diubah dengan berbagai makna

multi yang ada dalam tanda. Misalnya, dalam wacana pengobatan Barat,

masuknya akupuntur telah menyebabkan terjadinya modifikasi dalam

pemahaman pengobatan yang dominan cara Barat.

Page 39: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

38

Dalam istilah Laclau dan Mouffe ‘tubuh’ adalah elemen sebagaimana

di dalamnya ada beberapa cara pemahaman yang bersaing, Dalam wacana

pengobatan Barat yang dominan, tubuh dapat direduksi menjadi moment

yang dapat didefinisikan secara khusus dan tidak ambigu, dan dalam

wacana pengobatan alternatif, tubuh dapat didefinisikan dengan

dikorespondesikan dengan ketidakambiguan, tetapi dengan cara yang

berbeda dari wacana medikal. Namun, wacana Kristen memiliki cara lain

memahami tubuh, yakni mengaitkannya dengan tanda ‘soul’ jiwa. Jadi, kata

‘body’, tidak terlalu berbicara banyak mengenai dirinya, ia harus diposisikan

dalam hubungannya dengan tanda lain untuk memberikan makna, ini terjadi

lewat articulation. Laclau dan Mouffe mendefinisikan artikulasi sebagai

setiap praktik yang menetapkan relasi antar elemen-elemen, seperti halnya

identitas dari elemen yang dimodifikasi. Kata ‘body’ dalam dirinya sendiri

bersifat polisemi dan identitasnya, oleh karena itu, diputuskan melalui

hubungannya dengan kata lain dalam artikulasi. Misalnya, ujaran ‘body and

soul’ menempatkan ‘body’ dalam wacana religius, beberapa makna kata

tetap lanjut digunakan dan yang lain diabaikan.

Nodal point adalah tanda-tanda yang memiliki privilege di mana di

sekelilingnya wacana diorganisasi, tetapi tanda-tanda ini dalam dirinya

kosong. Sebagaimana telah disebutkan, tanda ‘body’ tidak memperoleh

makna yang mendetail sampai ia masuk dalam wacana khusus. Oleh karena

Page 40: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

39

itu, tanda ‘body’ juga merupakan elemen. Sesungguhnya teori wacana

memiliki istilah untuk elemen yang terbuka untuk perbedaan makna, dan itu

adalah floating signifier penanda mengambang. Floating signifier adalah

tanda yang berbagai wacana berbeda berusaha miliki dengan makna yang

sesuai dengan yang mereka ingini. Nodal point adalah floating signifier, tetapi

karena istilah ‘nodal point’ mengacu kepada poin pengkristalisasian dalam

wacana khusus, maka istilah ‘floating signifier’ menjadi bagian dari pergulatan

yang sedang terjadi antara wacana berbeda untuk memastikan makna tanda

yang penting.

Dengan menghubungkan semua istilah satu sama lain, wacana

bertujuan memindahkan ambiguitas dengan jalan mengubah element

menjadi moment sampai menjadi makna akhir atau closure. Tetapi tujuan ini

tidak pernah berhasil dengan sempurna sebagaimana kemungkinan-

kemungkinan makna yang wacana pindahkan (displaces) ke field of

discursivity yang selalu mengancam untuk membuat tidak stabil makna yang

pasti (fixed). Oleh karena itu, semua moment berada dalam polisemi yang

berpotensi, yang berarti bahwa moment selalu merupakan element

potensial. Artikulasi-artikulasi khusus mereproduksi atau menolak wacana

yang telah eksis lewat penetapan makna dengan cara khusus. Oleh karena

polisemi yang terus menerus berpotensi, maka setiap ekspresi verbal atau

tertulis (bahkan setiap tindakan sosial) juga merupakan artikulasi atau

Page 41: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

40

inovasi; meskipun ekspresi itu digambarkan berdasarkan kepastian makna

sebelumnya – ia digambarkan berdasarkan wacana-wacana yang telah

menjadikan tanda sebagai moment – namun ia tidak pernah merupakan

repetisi dari sesuatu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, ekspresi

merupakan reduksi aktif dari kemungkinan-kemungkinan makna karena ia

memosisikan tanda dalam hubungannya satu terhadap yang lain dengan

melalui hanya satu cara, menyingkirkan bentuk-bentuk organisasi alternatif.

Wacana, dalam pengertian Saussurean adalah satu tipe struktur yang

makna tandanya dalam satu jaringan relasional sudah pasti. Atau dengan

kata lain struktur dalam tradisi Saussurean meliputi semua tanda akhir

(closure) yang permanen, sedangkan bagi Laclau dan Mouffe, wacana tidak

pernah secara total berada dalam pengertian Saussurean ini. Selalu ada

makna potensial lain, yang ketika diartikulasi dengan cara khusus, boleh jadi

ia menolak dan mentransformasi struktur wacana. Jadi, wacana dalam

pandangan Laclau dan Mouffe merupakan (closure) makna tanda akhir

temporer: ia memastikan makna dengan cara khusus, tetapi ia tidak mendikte

makna itu pasti menjadi tetap dengan cara itu untuk selamanya.

c.Teori relativisme dan universalisme bahasa.

Ketika peneliti-peneliti Barat mulai mencurahkan perhatian mereka

pada bahasa-bahasa lain di luar bahasanya sendiri, maka muncullah dua

Page 42: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

41

pendapat yang saling bertentangan dalam melihat hubungan bahasa dengan

budaya. Pendapat pertama yang setuju dengan pernyataan yang

mengatakan bahwa bahasa yang dimiliki seseorang mendeterminasi cara

pandang dan berpikirnya, di mana dengan ini akan berdampak pada cara ia

memperlakukan dunia, melahirkan teori yang disebut sebagai teori

relativisme bahasa. Teori ini beranggapan bahwa konsep setiap bahasa

berbeda-beda, baik dalam bidang leksikologi, morfologi, maupun dalam

bidang sintaksis. Bahkan dalam bidang fonologi pun demikian pula,

perbedaan tekanan dan intonasi sering memberikan perbedaan makna pada

satu bahasa tertentu yang belum tentu sama pada bahasa yang lain. Begitu

juga dengan bangun fisik kata yang tampak dari luar (overt) suatu bahasa,

kata bahasa Belanda rijst misalnya, padanannya dalam bahasa Indonesia

bisa beras,nasi, padi, gabah, dst. Hal ini disebabkan kata rijst dalam bahasa

Belanda tidak memiliki hubungan budaya dengan masyarakat bahasanya,

kata ini diadopsi ke dalam bahasa Belanda hanya karena adanya ikatan

dengan Indonesia, oleh karena itu kata ini dalam beberapa teks tampil

sebagaimana asalnya, seperti kata nasi goreng, paddi, dst.

Pandangan kedua melihat bahwa dalam bahasa terdapat ciri-ciri yang

bersifat universal, karena itu lahirlah teori universalisme bahasa. Bila kita

ingin mengadopsi kedua pandangan ini maka apa yang dilakukan tidaklah

terlalu salah. Karena bila dicermati dengan seksama, memang dalam setiap

Page 43: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

42

bahasa selalu terdapat ciri atau karakter yang memperlihat kesamaan

dengan bahasa-bahasa lain yang ada di dunia, terutama dalam hal konsep,

klasifikasi, dan kategorisasi. Ikhwal konsep suatu kata, akan memperlihatkan

ciri keuniversalan bila yang dianalisis adalah fitur makna yang dikandung

oleh kata tersebut. Contohnya kata bahasa Belanda paard memiliki fitur-fitur

makna [+bernyawa], [+ binatang], [+piaraan], [+warna: hitam, coklat, putih,

dan belang-belang], [+kaki empat], [+ekor satu]..dst; fitur-fitur ini dapat

diperluas sesuai dengan kemampuan pengetahuan orang yang

memaknainya, seperti [+nomina], [+tunggal], [+jamak], [+referen], dst.

Banyak pemikir-pemikir besar dunia yang mengakui keberadaan

konsep makna universal ini. Filosof seperti Pascal, Arnauld, dan Leibniz

(Dirven, 2001: 161) menyebut konsep semacam ini sebagai “pengertian

sederhana’ (“eenvoudige begrippen”). Dalam linguistik modern pengertian

semacam ini umum disebut sebagai semantik primitif, sebagaimana istilah

yang digunakan René Dirven semantische primitiven dan juga Anna

Wierzbicka dan Cliff Goddard ketika mengulas mengenai Semantics and

Lexical Universal (1994) juga menggunakan istilah yang senada semantic

primitives, namun dalam tulisan-tulisan mereka yang muncul kemudian

istilah yang sama telah diubah menjadi semantic primes (semantik prima).

Sebagai peneliti yang berkepentingan menggunakan istilah ini, saya

cenderung lebih memilih istilah semantik prima, karena menurut

Page 44: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

43

representasi mental saya kata ini lebih mengandung muatan fitur netral

dibandingkan kata primitif. Kata primitif pernah pula digunakan oleh sosiolog

Prancis pada permulaan Abad Kedua Puluh, Lucien Lévy Bruhl (Wierzbiecka,

pada opening statementnya dalam Semantics and Lexical Universal, 1994:

1). Lévy Bruhl menggunakan kata ini ketika ia membedakan cara berpikir

masyarakat Barat yang menurutnya logis dan non-Barat yang primitif. Cara

ini tentu saja tidak mencerminkan cara berpikir yang universal.

Semantik prima merupakan konsep-konsep universal yang dimiliki

semua bahasa di dunia, yang keberadaanya relatif kecil dalam jumlahnya.

Menurut Driven (2001) ada sekitar 60-an kata bahasa Belanda yang dapat

diidentifikasi memiliki konsep makna prima. Semantik prima adalah

pemaknaan yang sudah jelas untuk dirinya sendiri dan tidak dapat lagi

dijelaskan dengan pengertian sederhana lain.

Umumnya dari pengertian sederhana ini dapat dikembangkan lagi

pendekatan baru yang bersifat antar bahasa dan lintas budaya, serta dapat

digunakan untuk memparafrasekan pengertian-pengertian yang khas secara

budaya.

Diyakini dalam konsep semantik prima ini pasti terdapat kerumitan-

kerumitan lain yang masih perlu dibuktikan dalam penelitian ini, apalagi bila

yang diteliti adalah kata-kata yang mengandung intensi tertentu seperti

Page 45: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

44

wacana kolonial. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa di antaranya,

seperti alloleksen (allolexen): satu konsep makna (covert) yang diwujudkan

dalam dua bentuk fisik kata (overt) yang berbeda, seperti je / u , iemand / een

persoon, zich voelen / voelen, dst. Makna figuratif, yakni makna assosiatif

yang terbentuk dari gabungan dua makna prima, seperti kata majemuk

aapmens. Kompleksitas atau kerumitan lain yang perlu dijelaskan lebih jauh

adalah kata yang memiliki makna ganda atau polisemi.

3. Pandangan terhadap makna kata

Berlawanan dengan pandangan strukturalis yang memiliki pandangan

bahwa kata yang biasanya diwakili oleh tanda memiliki kedekatan dengan

makna yang hampir tidak dapat dipisahkan darinya, maka Callow (1998: 19)

justru melihat bahwa keberadaan makna lebih dulu hadir dari pada kata.

Orang yang sedang berkomunikasi tahu apa makna yang hendak

dikomunikasikan, kemudian baru ia memilih kata-kata terbaik untuk

mengekspresikan maksud (makna) tersebut. Jadi, sesungguhnya bukan kata

yang memaknai sesuatu, tetapi manusialah yang memaknai sesuatu ketika ia

menggunakan kata-kata. Bagi Callow, kata tidak memiliki makna, tetapi kata

hanya memberi sinyal mengenai makna.

Pikiran orang yang sedang berkomunikasi tidak kosong (blank), tetapi

ada dipenuhi muatan-muatan. Kata-kata tidak berada di otak kita

Page 46: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

45

sebagaimana abstraksi logis, tetapi keberadaan kata lebih dekat pada

penggunaannya. Di sini tampak, pandangan terhadap makna berpusat pada

penutur (speaker). Mereka yang menerima pandangan tentang makna yang

terpusat pada kata, melihat satu kata yang sama bisa memiliki makna-makna

yang berbeda di konteks kalimat yang berbeda. Sedangkan mereka yang

memandang makna terpusat pada penutur, melihat makna yang sama dapat

diekspresikan lewat kata-kata yang berbeda (dan melalui sejumlah cara yang

berbeda). Dapat juga makna yang sama diekspresikan dalam bahasa yang

berbeda. Jadi, jika makna dipertimbangkan inheren dalam kata, maka tidak

mungkin mengekspresikan makna berbeda bila konteks kalimat tidak

berbeda.

Apa yang dijelaskan di atas, secara singkat dapat memberikan

pengertian mengenai definisi makna dalam pandangan strukturalis, yang

kemudian mendapat tentangan dari pandangan poststrukturalis.

Dalam pandangan strukturalis, makna adalah relasi yang setiap

elemen linguistik miliki dengan elemen lain, juga dipahami sebagai penyatuan

signifier (signifiant) dan signified (signifié), expression dan content. Makna

juga didefinisikan sebagai konsep atau mental image yang ekspresi atau

tanda kaitkan dalam pikiran kita. Selain itu, masih ada pandangan lain yang

mendefinisikan makna sebagai ‘sesuatu’ atau entitas yang dirujuk oleh tanda

atau ekspresi.

Page 47: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

46

Pandangan-pandangan lain yang tengah mencari jawaban untuk

pertanyaan “apa itu makna?” secara fundamental dapat dibedakan menurut

seberapa besar penekanan mereka pada sisi berbeda dari segitiga semiotik,

semiotic triangle (lihat Violi, 2001): linguistik dan psikolinguistik menekankan

perhatian pada expression dan content, sedangkan filsafat pada content

dan referent. Dalam tradisi filsafat, misalnya, dapat digambarkan perbedaan

antara mereka yang mempertimbangkan relasi langsung antara ekspresi dan

referen (menyingkirkan puncak dari semiotic triangle atau dalam hal ini

content), dan mereka yang melihatnya sebagai relasi yang dimediasi oleh

entitas penengah yang disebut sense atau intension. Linguistik juga

menginterpretasi content dengan cara berbeda, baik sebagai bagian integral

dari ekspresi, petanda linguistik (signified) yang tidak dapat dipisah dari

penandanya (signifier) atau sebagai sesuatu yang memiliki substansi

konseptual yang otonom.

a. Semantik kognitif.

Semantik kognitif yang secara khusus digunakan sebagai alat untuk

mengkaji leksikal merupakan bagian dari linguistik kognitif. Sebagai

pendekatan, semantik kognitif ini rupanya menolak pembagian linguistik

secara tradisional ke dalam bagian-bagian seperti fonologi, morfologi,

sintaksis, pragmatik, dsb. Sebagai gantinya, semantik (makna) justru dibagi

menjadi konstruksi makna (meaning construction) dan representasi

Page 48: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

47

pengetahuan (knowledge representation). Dari situ dapat dilihat bahwa

semantik kognitif menaruh perhatian pada kajian makna secara keseluruhan.

Oleh karena itu kajian semantik kognitif mempersembahkan perhatian tidak

hanya pada makna leksikal (semantik) tetapi juga pada pragmatik atau

makna kalimat dalam penggunaannya.

Sebagai teori, semantik kognitif membangun argumentasi bahwa

makna leksikal bersifat konseptual. Makna leksem (lexeme) tidak merujuk

pada entitas atau relasinya dengan dunia nyata, tetapi merujuk pada konsep

yang ada di kepala berdasarkan pengetahuan dan relasinya dengan dunia

nyata. Lebih dari itu, semantik kognitif menerima proses mental yang terjadi

sebagai pengetahuan yang bersifat ensiklopedis (bersifat meluas), dan

karenanya melibatkan beberapa teori dari psikologi kognitif.

Ciri lain dari semantik kognitif adalah mengakui bahwa makna leksikal

bersifat tidak tetap dan merupakan masalah penafsiran (construal) serta

konvensionalisasi (conventionalization). Proses penafsiran secara linguistik

diyakini sebagai proses yang sama seperti pada pengetahuan lain yang

secara psikologis melibatkan proses mempersepsi, mengassosiasi, dan

mengingat.

(1). Konsep makna

Konsep makna yang paling sederhana yang dapat dibentuk oleh

seorang anak yang baru pertama kali memperoleh bahasa ibu adalah dengan

Page 49: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

48

jalan membangun ciri-ciri fisik benda yang diperkenalkan padanya. Ciri-ciri

itu diperoleh dengan memaksimalkan pengamatan inderawi, seperti

penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dst. Kemudian

menghubungkannya dengan apa yang didengar dari ibu atau pengasuhnya

tentang benda itu. Semua ini nantinya akan direkam dalam memori anak

tersebut, untuk nantinya akan dikeluarkan dalam bentuk ujaran bila ia melihat

benda yang sama atau hampir sama dengan ciri-ciri yang sudah direkamnya.

Teori ini menurut psikolinguistik disebut sebagai teori fitur (meminjam istilah

Dardjowidjojo, 2005)

Teori fitur hakekatnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat

fitur atau ciri yang menjadi bagian integral dari kata itu. Seperti kata kucing,

memliki fitur [+bernyawa], [+binatang], [+warna: hitam, coklat, putih, abu-abu,

atau belang-belang], [+berbulu halus], dst. Fitur-fitur ini secara keseluruhan

membentuk konsep untuk kucing.

Teori ini dalam praktiknya ternyata memiliki banyak kelemahan,

seperti, ciri-ciri yang dibangun sering merupakan ciri yang prototipe, sehingga

dengan demikian benda yang dirujuk kadang keliru dengan benda lain yang

memiliki ciri yang sama. Karena itu muncul teori lain yang dinamakan Teori

Berdasarkan-Pengetahuan (Knowledge-Based Theory) (Dardjowidjojo, 2005:

91). Teori ini masih bersandar pada teori fitur, tetapi diperluas. Dalam teori ini

tidak hanya fitur yang dilihat tetapi juga esensi dan konteksnya. Di sini tidak

hanya pengetahuan yang dapat memperluas ciri makna suatu kata tetapi

Page 50: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

49

juga pengalaman yang telah menjadi pengetahuan, misalnya untuk kata

kucing dapat diperluas dengan fitur [+bersuara: meong], [+pemakan ikan],

dst.

Pandangan yang senada juga dikemukan oleh Katz dan koleganya

(Katz dan Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1972 dalam: Evans,

2006: ?) yang mengidentifikasi elemen makna sebagai analisis komponen.

Pandangan mereka ini dilandasi pemikiran bahwa kata sesungguhnya terdiri

dari elemen-elemen atau komponen-komponen atomik khusus. Sehingga

analisis yang dikembangkan oleh mereka ini dikenal sebagai gaya

komponensial (style-componential). Dalam perhitungan mereka makna kata

terdiri dari penanda (marker) semantik dan pembeda semantik

(distinguisher). Penanda semantik terdiri dari informasi yang dimiliki oleh

kata, sementara pembeda menetapkan informasi idiosinkratik untuk makna

kata yang ada. Misalnya, menurut Katz dan Postal (1964) makna polisemi

untuk kata bachelor dapat dihadirkan sebagai berikut:

a. (manusia) (laki-laki) [ yang tidak pernah menikah]

b. (manusia) ( laki-laki) [satria muda yang melayani dibawah perintah

orang lain]

c. (manusia) [penerima gelar akademik terendah]

d. (bukan manusia) (laki-laki / jantan) [anjing laut berbulu yang masih

muda tanpa pasangan].

Page 51: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

50

Keterangan: penanda semantik (marker) diberikan dalam parantheses

(tanda kurung) dan pembeda semantik (distinguisher) diberikan dalam tanda

kurung siku-siku ( [ ] ).

(2). Makna ujaran atau tuturan

Makna tuturan langsung dapat diartikan secara harafiah (letterlijk),

sebagai ungkapan perpaduan makna kata dari tiap kata yang ada dalam

kalimat. Namun ada kalanya makna dari satu kata yang dijejerkan dengan

kata lain, bukan merupakan perpaduan dari kedua makna kata tersebut atau

dengan kata lain ia menunjuk pada makna figuratif.

Begitu pula makna tuturan dapat bersifat metaforis, artinya ungkapan

kalimat yang terdiri dari jejeran kata-kata itu dipersamakan dengan sesuatu

yang lain, meskipun sebenarnya mereka tidak sama. Ungkapan ini biasanya

ditandai dengan pemakaian kata pembanding bagaikan, seperti, dan

sejenisnya. Contohnya ungkapan wajah kedua anak itu bagaikan pinang

dibelah dua. Di sini wajah anak-anak itu dipersamakan dengan buah pinang

yang terbelah dua, sama persis, padahal faktanya wajah seorang anak

dengan buah pinang tidak ada kemiripannya sama sekali.

Dalam kehidupan sehari-hari sering pula dijumpai dalam percakapan

atau tulisan dalam suatu teks, ungkapan-ungkapan kalimat yang bermakna

ambigu, seperti ungkapan panas ya hari ini, yang diucapkan seorang dosen

Page 52: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

51

ketika memasuki ruang kuliah. Makna tuturan ini sebenarnya tidak hanya

sekedar memberikan informasi bahwa suhu udara hari ini panas, tetapi lebih

dari itu si penutur mengingatkan bahwa AC atau pendingin udara di ruangan

itu belum dinyalakan dan meminta atau menyuruh secara tidak langsung

kepada siapa pun yang ada dalam ruangan itu untuk menyalakan AC.

Ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa makna tuturan sangat

tergantung pada konteks. Suatu bidang linguistik dan kajian wacana yang

secara sistematis mengkaji relasi antara konteks dan bahasa adalah

pragmatik. Pragmatik lebih terkait dengan penggunaan bahasa dan

tindakannya daripada dengan tata bahasa formal atau struktur wacana

abstrak. Akan tetapi pragmatik juga dapat digunakan dalam psikolinguistik,

sosiolinguistik, dan analisis konversasi. Di antara arah penelitian terhadap

penggunaan bahasa, pragmatik lebih fokus pada isu-isu filosofis. Jadi,

pragmatik menjadi label yang umum untuk berbagai kajian seperti analisis

speech act (Austin, 1962; Searle, 1969), maksim konversasi (Grice, 1989),

kesantunan (Brown and Levinson, 1989), presupposisi dan indeksikal

(Stalnaker, 1999) dan beberapa pendekatan yang lain (Van Dijk, 2009:13).

Tindak tutur

John R. Searle (dalam: Rahardi, R.K., 2005) menyatakan dalam

bukunya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language, bahwa

Page 53: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

52

dalam praktik penggunaan bahasa terdapat sedikitnya tiga macam tindak

tutur, yaitu: (1) tindak lokusioner (locutionary acts), (2) tindak ilokusioner

(illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts)

Dalam menuturkan sesuatu, seseorang secara khusus memerankan

beberapa tindakan (acts). Sebagaimana disampaikan Searle (1969), ketiga

tindakan itu adalah (a) an utterance act (the bringing forth of certain speech

sound, word, and sentence), (b) a propositional act (referring to something or

someone and pradicating some properties of that thing or person), (c) an

illocutionary act (investing the utterence with a communicative force of

promise, statement of fact, and so on).

Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, kalimat

yang maknanya sesuai dengan apa yang dikandung oleh kata, frasa, dan

kalimat tersebut, walau kadang dalam maknanya tersembunyi tujuan dan

maksud tertentu. Contoh tuturan di atas, panas ya hari ini, dapat

menjelaskan hal itu. Tuturan ini memiliki makna informatif sesungguhnya bagi

pendengarnya, yakni menyampaikan pernyataan yang sebenarnya akan

cuaca hari itu kepada yang mendengarkan. Kalimat proposisi atau

pernyataan seperti ini oleh Searle dimasukkan dalam kategori tindak tutur

representatif.

Page 54: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

53

Namun tidak tertutup kemungkinan, penyataan dari tindak tutur ini

dimaknai lebih jauh oleh pendengarnya, misalnya dengan melakukan

tindakan menyalakan AC bila dalam ruangan tersebut terdapat AC atau alat

pendingin lain, atau dapat juga seseorang melakukan tindakan membuka

jendela. Bahkan dapat saja terjadi bahwa pendengar dari tindak tutur tersebut

tidak melakukan suatu tindakan apapun, pernyataan ini hanya dimaknai

sebagai informasi umum sebagaimana kategori tindak tutur representatif.

Pernyataan tindak tutur yang dimaknai dengan suatu tindakan oleh

pendengarnya dikategorikan sebagai tindak tutur direktif.

Tindak tutur lokusioner, dalam hal perwujudannya oleh Searle (1969)

(lihat Dardjowidjojo,2005 dan Rahardi, R. K., 2005) dikategorikan ke dalam

lima bentuk, yakni: (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan

(e) deklaratif.

Sama seperti pernyataan tidak tutur direktif yang dimaknai tersirat

sebagai “perintah”, tindak tutur komisif pun demikian, hanya saja pada tindak

tutur komisif pemaknaannya diarahkan pada diri sendiri dan lebih bersifat

tersurat dengan menggunakan kata-kata seperti berjanji, bersumpah,

bertekad, dan sejenisnya. Contohnya adalah kalimat: saya berjanji untuk

menyelesaikan tugas ini secepatnya.

Page 55: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

54

Tindak tutur ekspresif dimaknai pendengar sebagai bentuk ungkapan

yang bersifat psikologis sekaitan dengan apa yang dirasakan oleh penutur.

Dalam bentuk perwujudannya, ungkapan ini sering digunakan

mengekspresikan rasa terima kasih, rasa bahagia dalam bentuk ucapan

selamat, rasa kagum seperti contoh dalam bahasa Belanda berikut: Wat een

prinsesje, de vrouw van dien sul (padanannya dalam bahasa Indonesia

kurang lebih seperti ini: alangkah cantiknya istri sultan itu). Dapat juga

mengekpresikan rasa keterkejutan, seperti contoh: “God, wat ‘n ellende”

Ungkapan ini dituturkan ketika pendengar mendengar penderitaan seorang

yang tengah menjadi bahan obrolan, seorang laki-laki setelah beberapa hari

sakit dan setelah diperiksa dokter ternyata menderita penyakit lepra. Tidak

hanya itu ia juga sudah dikeluarkan dari pekerjaannya, sementara istrinya

pun sedang berada di Holland untuk urusan kesehatannya sendiri. Ungkapan

itu mengekspresikan perasaan pendengar setelah mendengar cerita tersebut:

“Ya Tuhan, betapa menderitanya (orang itu).”

Tindak tutur deklaratif dimaknai sebagai pernyataan yang

mengungkapkan adanya suatu keadaan baru yang timbul setelah pernyataan

ini diungkapkan. Biasanya orang yang mendeklarasikan sesuatu adalah

orang yang memiliki wewenang untuk itu, misalnya hakim yang membacakan

putusan terhadap terdakwa: “Dus drie jaar dwang-arbeid buiten den

Page 56: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

55

ketting en driehonderd gulden boete, subsidiair zes weken dwang-

arbeid…..” (De Wit, A., 1903: 95).

Maksim konversasi

Dalam berkomunikasi orang biasanya akan mengikuti prinsip

kerjasama (cooperative principle) yang akan menjadikan percakapan itu

berjalan dengan baik. Prinsipel Kooperatif ini pertama kali dikenalkan oleh

filsuf H. Paul Grice, pada kuliahnya di tahun 1967 (Dardjowidjojo, 2005: 108-

113). Prinsipel ini memberikan landasan dalam berkomunikasi yang dikenal

dengan sebutan maksim (maxims). Grice memperkenalkan empat macam

maksim, yaitu: (a) maksim kuantitas, (b) maksim kualitas, (c) maksim relasi,

(d) maksim cara (manner).

Maksim kuantitas dimaknai sebagai landasan dari tuturan yang

memberikan informasi yang tepat kepada pendengar. Ukuran tepat untuk

tuturan ini berarti informasi yang diberikan tidak berlebih tetapi juga bukan

kurang. Namun informasi yang disampaikan harus sesuai dengan yang

diperlukan. Bila informasi yang disampaikan kurang, maka pendengar akan

salah memahami ungkapan tersebut, sebaliknya bila berlebihan maka

pendengar akan dibuat bingung, karena tuturan akan menjadi tidak fokus.

Page 57: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

56

Maksim kualitas dimaknai sebagai landasan bagi tuturan untuk

memberikan informasi yang benar. Komunikasi biasanya akan terganggu bila

informasi yang disampaikan tidak benar.

Sedangkan pada maksim relasi dimaknai bahwa pendengar

seharusnya mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan percakapan.

Bila tidak, maka komunikasi akan terganggu.

Untuk maksim cara, diharapkan pendengar mendapatkan informasi

yang jelas mengenai ungkapan pemikiran penutur. Pemikiran yang

diungkapkan dengan cara ambigu akan mengganggu pemaknaan pendengar

terhadap apa yang disampaikan.

Dalam kenyataannya, prinsipel kooperatif tidak selamanya diterapkan

dalam kehidupan berbahasa. Karena apa yang ditemui dalam kehidupan

sehari-hari memperlihatkan bahwa sering orang menyatakan apa yang

dimaksud tidak secara rinci dan eksplisit, bahkan ujaran yang disampaikan

pun tidak dengan pemikiran yang runtun atau pemberian informasi kadang

tidak jelas.

Teori kesantunan Brown dan Levinson

Komunikasi, dalam pandangan Brown dan Levinson, dilihat sebagai

bahaya berpotensi dan antagonistis. Kekuatan dari pendekatan mereka

Page 58: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

57

menurut Gabriel BĂRBULEŢ dalam artikelnya yang berjudul The Politeness

Principle – A Fundamental Pragmatic Dimension, melebihi teori Geoff Leech,

karena mereka menjelaskan kesantunan dengan jalan menurunkannya dari

gagasan yang lebih fundamental tentang kemanusiaan. Gagasan dasar dari

model ini adalah “face” wajah yang didefinisikan sebagai citra (image) diri

publik yang setiap anggota masyarakat ingin miliki untuk dirinya. The public

self-image that every member (of society) wants to claim for himself.

Dalam kerangka kerja mereka, wajah terdiri dari dua aspek terkait. Pertama,

negative face wajah negatif, yakni hak atas teritori diri, yang menyebabkan orang

bebas bertindak dan bebas dari paksaan. Kedua, positive face wajah positif adalah

citra diri yang konsisten dimiliki orang, yakni merupakan keinginan untuk dihargai

dan setidak-tidaknya disetujui oleh sejumlah orang.

Kedua aspek wajah ini dimiliki oleh setiap manusia, namun dalam suatu

interaksi komunikasi kadang aspek wajah negatif lebih menonjol sehingga

menyebabkan dampak tidak menyenangkan pada mitra tutur. Orang yang bertindak

rasional berusaha menjaga kedua jenis wajah ini untuk dirinya dan orang yang

berinteraksi dengannya.

Brown dan Levinson juga berargumentasi bahwa dalam komunikasi

manusia, baik tuturan maupun tulisan, orang cenderung menjaga wajah

seseorang dari orang lain secara terus menerus. Namun adakalanya orang

lain dibuat tidak nyaman atau dipermalukan lewat tuturan yang disampaikan

atau tulisan yang dibuat. Tindakan demikian disebut sebagai tindakan

Page 59: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

58

mengancam wajah (face threatening act – FTA). FTA adalah tindakan yang

melanggar kebutuhan pendengar (mitra tutur) untuk menjaga harga dirinya

dan dihargai.

Untuk mengurangi dampak tidak menyenangkan dari FTA ini, Brown

dan Levinson mengidentifikasi 4 strategi kesantunan yang biasa dilakukan

orang dalam berinteraksi, yaitu: bald on-record, positive politeness, negative

politeness, dan off-record-indirect. Keempat strategi itu dapat dijelaskan

sebagai berikut, dengan disertai contoh-cotoh (yang berbahasa Inggris

dikutip dari artikel Bărbulet yang telah disebut di atas).

Bald on-record strategy (strategi gundul / polos terekam). Dengan

menggunakan strategi ini tidak satu pun ancaman terhadap wajah

pendengar yang diminimalisasi. Tuturan atau tulisan ditampilkan apa adanya;

sejauh hal itu masuk kategori tertentu, seperti yang disebutkan di bawah ini,

maka itu masih dapat dikategorikan santun. Di luar dari kriteria ini, maka

tuturan atau tulisan tersebut berpotensi mengancam wajah pendengar atau

pembaca. Tuturan yang masih dapat dikategorikan santun, bila ia memenuhi

kriteria sebagai berikut:

1) Pemberituhuan keadaan darurat (an emergency): help!

2) Berorientasi tugas (task-oriented): give me those!

3) Merupakan permohonan (request): put your jacket away!

Page 60: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

59

4) Meminta kewaspadaan (alerting): turn your lights on! (while driving).

Positive politeness strategy (strategi kesantunan positif). Strategi ini

menunjukkan pengakuan penutur akan keinginan pendengar untuk dihargai.

Strategi ini sekaligus juga mengkonfirmasikan bahwa hubungan ini adalah

hubungan persahabatan dan mengekspresikan rasa kelompok yang sama.

Tuturan atau tulisan yang menggunakan strategi kesantuan positif

menampilkan ciri-ciri, seperti:

1) Menunjukkan perhatian pada pendengar: you must be hungry. It’s

a long time since breakfast. How about some lunch?

2) Menghindari ketidaksetujuan dengan jalan tidak mengatakan

secara langsung tetapi sedikit berputar-putar :

A: What is she, small?

B : Yes, yes, She’s small,

smallish, um, not really small but

certainly not very big.

3) Mengasumsi persetujuan dengan suatu penegasan: so when are

you coming to see us?

4) Mengelak memberikan opini: you really should sort of try harder.

Negative politeness strategy (strategi kesantunan negatif). Strategi ini

mengakui wajah positif pendengar atau mitra tutur, tetapi di sisi lain strategi

Page 61: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

60

ini juga mengakui bahwa penutur dengan beberapa cara memaksakan

sesuatu pada pendengar. Ada beberapa contoh dalam bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia yang bisa ditampilkan, seperti:

1) Penggunaan kata-kata: I don’t want to bother you but……. atau

… I was wondering if …….

2) Mengutarakan secara tidak langsung, misalnya dengan

mengatakan: “saya mencari bolpoin”, padahal yang dimaksud

adalah “saya membutuhkan sebuah bolpoin”.

3) Mengutarakan permintaan maaf yang diikuti permintaan yang

sedikit memaksa : you must forgive me, but…….

4) Menggunakan kata yang memberi kesan meminimalisasi

pemaksaan: I just want to ask you if I could use your computer.

5) Melipatgandakan tanggungjawab personal: we forgot to tell you

that you needed to buy your plane ticket yesterday.

Off-record indirect strategy (Strategi tidak langsung tidak terekam).

Cara ini menanggalkan beberapa tekanan terhadap pendengar atau mitra

tutur, dengan mencoba menghindari FTA secara langsung. Strategi ini

diyakini merupakan cara yang paling santun untuk menghindari ancaman

terhadap wajah. Untuk itu ada beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti:

Page 62: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

61

1) Memberi isyarat dengan meminta pendapat mitra tutur sebelum

permintaan sesungguhnya diajukan padanya, seperti: “Sedikit

berangin di sini, bagaimana kalau jendela itu ditutup.”

2) Bertutur secara samar-samar: “Barangkali seseorang harus

dapat lebih bertanggungjawab.”

3) Dengan cara bercanda atau bertutur dengan humor.

Strategi ini setelah diuji pada beberapa bahasa yang ada di dunia

ternyata tidak menunjukkan sifat keuniversalannya yang menonjol.

Kesantunan berbahasa untuk sebagian besar bahasa-bahasa di dunia,

sangat dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi masyarakat penuturnya.

Dilihat dari kecendrungan yang dilakukan masyarakat penutur Inggris-

Amerika, dapat disimpulkan bahwa mereka banyak menggunakan strategi

kesantunan positif, sedangkan masyarakat Jepang lebih menggunakan

strategi kesantunan negatif (lihat artikel Langcope mengenai The Universality

of Face in Brown and Levinson’s Politeness Theory: A Japanese Perspective,

dalam: longscope.pdf).

4. Bagaimana pikiran mengorganisasi bahasa

Manusia memiliki kemampuan mengekpresikan berbagai hal. Untuk itu

pertanyaan yang dapat diajukan adalah innerfaculties dan kemampuan

Page 63: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

62

macam apa yang dimiliki manusia yang membuatnya dapat mengirim dan

menerima pesan dalam berkomunikasi?

Untuk memulainya, pertama-tama harus disadari bahwa manusia

secara genetik telah dibekali Language Acquisition Devices (LAD), sarana

penunjang manusia agar dapat berbahasa, sebagaimana teori yang diyakini

Chomsky. Alat ini juga, diyakini banyak ahli (Dardjowidjojo, 2003:5) sebagai

pembeda manusia dari hewan dalam hal kemampuan berbahasa. Selain itu,

manusia juga memiliki kemampuan menyimpan semua impresi yang

diperoleh lewat inderanya, dari dulu hingga sekarang, ke dalam gudang

penyimpanan yang disebut mind, minda (dipinjam dari istilah Soenjono

Dardjowidjojo). Minda ini dapat menampung semua memori yang sifatnya

individual dan subjektif, karena mereka merupakan pengalaman dan aktivitas

milik seseorang dan bukan milik orang lain.

Bila harus memahami bagaimana orang berkomunikasi, kita harus

memahami kecendrungan terhadap apa yang disebut mental furniture,

karena itu adalah apa yang ada dalam batin seseorang (inwardy) yang ia

ekspresikan ke luar (outwardy). Cara kita mengorganisasi ujaran kita

merefleksikan bentuk dan lekuk (contour) pikiran kita. Bagaimana konfigurasi

mental kita, mencirikan bagaimana kandungan minda kita; kandungan minda

diorganisasi dan diatur dapat diakses ketika kita membutuhkannya tetapi

tidak menonjol ketika kita tidak membutuhkannya.

Page 64: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

63

Manusia memiliki kapasitas untuk menggeneralisasi dan

mengidentifikasi. Ia dapat mengidentifikasi pengalaman baru dengan

beberapa cara sebagai “hal yang sama” yang pernah ia alami sebelumnya,

dan ia menyimpan kedua pengalaman ini pada tempat yang sama. Ia juga

sepanjang hidupnya membandingkan dan mengkategorisasi, bahkan ketika

aktivitas ini telah menjadi kebiasaan (habitual) yang terlatih di luar kesadaran.

Menurut Callow (1998), kandungan mental manusia diorganisasi sebagai

unit-unit sarang, suatu gambaran multidimensional yang terdiri dari blok-blok

atau area atau bidang-bidang materi terkait, masing-masing merupakan area

yang lebih kecil. Jadi seorang anak kecil memiliki area keluarga dalam

mindanya, dengan sub area terpisah untuk ayah, ibu, dan anggota keluarga

yang lain, dan untuk semua jenis peristiwa dan kejadian yang berbasis pada

rumah, seperti bermain, makan, membantu ibu. Ketika ia besar ia menambah

satu area di luar rumah, dan ini nantinya akan beraneka, ada area sekolah,

hobby, dst. Sampai ia dewasa area-area ini akan terus bertambah sesuai

dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuannya.

Secara teknis, para ahli lain ada yang menggunakan istilah the

faculties of mind (Chomsky), frame (Fillmore), mental space (Fouconnier)

ataukah image schema (Lakoff). Namun intinya menggambarkan, bahwa

muatan mental manusia seperti kotak dalam kotak atau ruangan-ruangan

dalam satu bangunan, yang batasannya tidak begitu solid, karena

kemampuan mental manusia untuk menyimpan beberapa detail dalam

Page 65: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

64

pikirannya berada di bawah satu payung besar, di mana tiap-tiap kotak atau

ruangan-ruangan kecil di bawahnya menyimpan pengalaman / pengetahuan

yang telah dipisah-pisahkan berdasarkan kategori-kategori, bisa berdasarkan

waktu kejadian, jenis peristiwa, relasi peristiwa, apakah penting, atau kurang

penting, dsb. Ketika berbahasa, pikiran akan menampilkan ke permukaan

simpanan yang ada pada satu area kemudian dengan cepat akan beralih

pada area lain dan begitu seterusnya, sehingga nampak seolah-olah batas

antara satu area dengan area lain tidak begitu jelas.

Pengalaman masa lalu manusia disimpan di area-area di dalam

minda, dan disimpan dalam bentuk unit-unit dalam unit besar. Manusia juga

memiliki kemampuan untuk melihat peristiwa yang paling rumit sebagai satu

kesatuan dengan beberapa cara. Pada saat yang sama ia juga memiliki

kapasitas untuk melihat konstituen bagian sebagaimana mereka unit-unit

tersendiri. Tanpa kapasitas ini, memori sebagaimana kita tahu, tidak dapat

eksis dan pemikiran yang koheren tidak dapat terjadi. Namun demikian,

tidaklah sesederhana itu, kadang pikiran kita dapat dikacaukan dan terjadi

disorganisasi, lebih dari itu, bahkan berpikir sebagaimana kita tahu, dapat

tidak terjadi sama sekali. Satu dari kapasitas-kapasitas esensial manusia

yang membuat berpikir menjadi mungkin adalah mengenali kesatuan yang

berhubungan dengan variasi-variasi bersama, dan variasi bergabung

Page 66: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

65

membentuk satu kesatuan. Namun kebanyakan dunia pikiran (the realm of

the mind) tetap tersembunyi dari kita., jadi survey ini tidak dapat sempurna.

B. Kerangka Pikir

Teks yang diasumsikan mengandung muatan “wacana kolonial”,

secara empiris kehadirannya dapat diuji lewat pilihan kata-kata yang

digunakan yang sifatnya tidak terbatas dan menyebar di sepanjang teks.

Pilihan kata yang dimaksud dapat tampil dalam bentuknya sebagai kata

lepas, frasa, klausa, dan rangkaian beberapa kalimat.

Kehadiran kata-kata dan rangkaian kata ini secara teoretis tidaklah

mungkin terlepas dari makna, apakah itu makna leksikal ataukah makna

gramatikal. Makna bahasa, intinya, adalah titik berangkat yang akan

dieksplorasi untuk sampai pada akhir dari tujuan penelitian ini.

Untuk dapat mengeksplorasi makna leksikal dan gramatikal,

diperlukan data kata-kata dan kalimat yang diasumsikan mengandung

muatan “wacana kuasa kolonial” yang kehadirannya akan dimunculkan lewat

pembedahan dengan menggunakan pisau teori analisis wacana yang

diadopsi dari Laclau dan Mouffe.

Dalam pembedahan ini, istilah nodal point (NP) akan digunakan ketika

mengidentifikasi kata lepas dan frasa yang diduga mengandung muatan

makna ‘kolonial’. Seperti pemahaman Laclau dan Mouffe, di sekitar NP ini

Page 67: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

66

juga dapat diidentifikasi kata-kata lain yang juga tidak terbatas, di mana

penetapan maknanya sangat tergantung pada NP yakni makna istimewa

yang sejak awal akan ditetapkan lebih dulu. Kata-kata lain yang berada di

sekitar NP ini, oleh Laclau dan mouffe disebut moments. Moment adalah

makna sementara yang kepastian maknanya baru diperoleh ketika ia berada

dalam suatu wacana khusus. Jadi moment adalah penanda wacana (kata)

yang teridentifikasi berada di seputar penanda wacana istimewa yang akan

ditetapkan lebih awal. Keberadaan moment di sekitar nodal point (NP) tidak

terlepas dari keberadaan elements yang merupakan elemen bahasa atau

tanda yang berpotensi memiliki makna multi. Untuk sampai menjadi moment,

element direduksi makna lainnya, hingga tinggal menjadi satu makna akhir

yang pasti. Satu makna pasti dari moment baru menjadi makna akhir, apabila

tanda tersebut menjadi bagian dari satu wacana khusus.

Data-data bahasa yang teridentifikasi ini dikumpulkan dan

dikelompokkan menjadi kelompok kata, frasa, dan kalimat yang mengandung

muatan makna kolonial, yang nantinya akan menjadi sumber rujukan bila

akan menganalisis makna ungkapan kolonial.

Kemudian, melalui metode observasi akan dilakukan interpretasi

makna terhadap wacana teks, yang pada akhirnya akan sampai pada

menganalisis konteks yang terdapat dalam wacana teks kolonial.

Page 68: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

67

Dalam menganalisis makna semantik data-data kebahasaan akan

diklasifikasi berdasarkan aspek-aspek pemaknaan teks bila dilihat secara

keseluruhan dan aspek-aspek makna khusus yang berkaitan dengan teori

dan konsep semantik, juga akan didiskusikan pengelompokkan kata

berdasarkan pandangan sosio-historis dan sosio-kultural.

Secara singkat kerangka pikir ini dapat dihadirkan sebagaimana

gambar berikut ini:

Wacana Teks

Kata, Frasa, Kalimat

Makna

Konteks

Kebermaknaan Teks Kolonial

Leksikal Gramatikal

Page 69: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

68

Gambar 1. Skema kerangka pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data-data bahasa yang bersifat kolonial yang diduga

ada tersembunyi di balik praktik-praktik diskursif, pertama-tama yang

dilakukan adalah membongkar seperangkat teks yang teridentifikasi

mengandung muatan-muatan itu. Hal ini dilakukan dengan alasan karena

analisis wacana sesungguhnya mengeksplorasi ide-ide dan objek-objek yang

diproduksi atau dikonstruksi secara sosial, yang disebarkan ke seluruh teks,

dipelihara, dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Karena itu cara yang

paling cocok untuk mendapatkan data kebahasaan ini adalah dengan

menggunakan konsep teori yang telah dikembangkan oleh para analis

wacana. Ada banyak teori dan konsep yang dikenal, namun penelitian ini

sedikit banyak mengadopsi pemikiran analisis wacana Laclau dan Mouffe

untuk mendapatkan data kebahasaan

Page 70: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

69

Analisis wacana tidak hanya sekedar metode, tetapi ia mewakili suatu

metodologi yang mewujudkan suatu pandangan konstruksi sosial yang kuat

(Gergen, 1999, sebagaimana dikutip oleh Philips dan Cynthia Hardy, 2002:

5). Analisis wacana ini tidak sama dengan bentuk metodologi penelitian

kualitatif lain, seperti pendekatan analisis naratif atau analisis konversasi

yang khas kajian teks atau kajian konversasi. Kedua pendekatan kualitatif

yang disebut terakhir ini memang memperhitungkan juga konteks untuk

memastikan makna, tetapi biasanya tanpa referensi yang lebih luas atau

tanpa memperhitungkan akumulasi bentuk-bentuk teks yang biasanya juga

menentukan makna.

Meskipun tertarik pada pengonstruksian naratif atau konversasi,

pendekatan ini kurang secara eksplisit mempersembahkan perhatian pada

konstruksi realitas sosial yang lebih luas. Sama halnya seperti pendekatan

kualitatif yang dilakukan melalui metodologi etnografi. Etnografi sering

bertujuan membongkar makna realitas sosial dengan metode partisipasi,

tetapi sering kurang memperhatikan bagaimana suatu realitas sosial bisa

sampai menjadi eksis, yang biasanya terkonstruksi sebagai akibat dari

berbagai wacana dan dari berbagai teks yang diasosiasikan padanya (Ibid:

6). Metodologi etno fokus pada aturan-aturan generatif yang memungkinkan

hubungan antar relasi sosial, tetapi perhatiannya ini lebih kepada

mengobservasi tindakan dari pada mengkaji teks.

Page 71: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

70

Analisis content, dalam bentuknya yang lebih interpretatif dapat

digunakan dalam penelitian ini, untuk menghubungkan isi teks dengan

konteks diskursif yang lebih luas. Misalnya mengidentifikasi tema atau topik,

strategi retorika yang digunakan, kemudian mengaitkannya dengan siapa

yang berbicara dan siapa pendengar yang dituju. Penelitian ini juga akan

memberdayakan teknik interpretatif, yakni pemaknaan secara pragmatik

ujaran-ujaran individual dalam teks dan analisis semantik kata (leksikal)

digunakan untuk memaknai lebih jauh kata-kata yang dipilih secara khusus.

Perlu ditekankan kembali di sini, bahwa jenis penelitian ini adalah

penelitian purposif-kualitatif, artinya data yang telah diidentifikasi hanya akan

dianalisispemaknaannya sesuai kebutuhan, untuk memperlihatkan konsep-

konsep yang sesuai dengan pemahaman teori analisis semantik.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah seluruh teks yang diproduksi

pada masa penjajahan dulu di Hindia, dalam rentang waktu yang dibatasi

mulai Abad 19 hingga paruh awal Abad 20, oleh Belanda sebagai pihak

yang menjajah ketika itu, dan diaktualisasikan dalam bentuk teks tertulis

dengan menggunakan bahasa Belanda. Teks ini merupakan perspektif

mereka tentang Hindia dengan segala permasalahannya, terutama yang

Page 72: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

71

berkaitan dengan peran mereka sebagai penguasa dalam mengelola tanah

jajahan.

Khusus penelitian ini, sumber data sebagai sample dibatasi pada teks-

teks yang telah ditetapkan secara eclectic yang berada pada rentang waktu

yang telah diputuskan, dan memiliki bentuk khusus berupa novel, roman,

cerpen, laporan-laporan atau dokumen-dokumen pemerintahan.

Sedangkan data yang dikumpulkan dari nya berupa kata-kata lepas,

frasa, dan kalimat-kalimat yang sesuai dengan arah tujuan penelitian. Kata-

kata dan kalimat-kalimat ini diambil dari sumber data yang telah ditetapkan

sebagai sample dan diterima sebagai data primer, sehingga dengan demikian

keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keberadaan

sumber data sekunder juga kadang diperlukan, bila harus menjelaskan

konteks yang melatari penjelasan akan kata-kata atau kalimat-kalimat

tersebut.

C. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

memberdayakan teori Laclau dan Mouffe dalam menghimpun data kata-kata,

rangkaian kata, yang menyimpan karakteristik kolonial, di samping juga

mengidentifikasi ungkapan-ungkapan bahasa dalam bentuk tuturan langsung,

Page 73: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

72

dan tidak langsung yang terdapat dalam beberapa teks kolonial yang menjadi

sumber data penelitian.

Mengikuti konsep dan teori Laclau dan Mouffe, pertama-tama akan

ditetapkan nodal point (tanda/kata yg diberi hak istimewa)

Langkah berikut di sekitar nodal point diidentifikasi moments (tanda/

kata yg maknanya telah ditetapkan sebagian) yang mendukung wacana yang

sedang dibentuk. Untuk mendapatkan tanda/kata yang dimaksud akan

dirancang suatu metode di mana dengan cara ini akan ditetapkan lebih dulu

beberapa pertanyaan penuntun yang dipastikan akan dapat mengarahkan

pemikiran dan perhatian dalam mengidentifikasi moments. Cara ini bersifat

filosofis, dalam pengertian bahwa cara berpikir yang dilakukan dapat dimulai

secara rasional baru kemudian menemukan data secara empiris dalam teks-

teks yang dimaksud. Namun dapat juga dilakukan dengan cara sebaliknya,

menemukan data secara empiris, yakni semua tanda/kata yang telah

teridentifikasi lewat pembacaan akan dicatat dan dikumpulkan untuk

selanjutnya akan diklasifikasi dan dikategorisasi sesuai prinsip-prinsip

rasionalisme wacana yang telah ditetapkan.

C. Teknik Analisis Data

Data-data yang terkumpul, diklasifikasi berdasarkan kelompok kata

lepas, frasa, dan kalimat. Ungkapan-ungkapan yang diidentifikasi

Page 74: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

73

mengandung muatan ‘wacana kuasa kolonial’ akan dianalisis

pemaknaannya berdasarkan aspek-aspek pemaknaan negatif secara

langsung dan tidak langsung. Mengeksplorasi pemaknaan negatif ini tentu

dengan mempertimbangkan konteks pengetahuan, nilai-nilai, dan moral yang

dianut penutur bahasa.

Untuk itu, data kata yang akan dianalisis ditentukan lebih dulu makna

leksikalnya sebagaimana yang tertera dalam kamus, namun dalam

penulisan di sini akan diekspresikan dalam bentuk padanannya dalam

bahasa Indonesia atau diparafrasekan untuk makna leksikal yang tidak

memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Kemudian, dilakukan

analisis makna gramatikal yang berkaitan dengan lingkungan fisik kalimat di

mana kata itu ditempatkan. Dari situ dapat dijabarkan konsep makna kata

sebagaimana diperkenalkan oleh teori tentang makna.

Agar diperoleh ciri-ciri yang lebih rinci mengenai konsep suatu kata,

maka perlu dieksplorasi pengetahuan dan hal-hal lain yang menjadi latar

belakang untuk memahami kata tersebut. Konteks dalam pengertian luas

akan ditelusuri dan dicoba untuk diinterpretasi agar kebermaknaan wacana

kolonial dapat dimunculkan.

Page 75: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

74

DAFTAR PUSTAKA

Adinda, 1892, Vrouwen Lief en Leed Onder de Tropen (roman), Schrool – Conserve [Indische Letterenreeks: 4], Eerder verschenen: Utrecht: Beijers.

Allwood, J. and Gӓrdenfors, P. (eds), 1999, Cognitive Semantics: Meaning and Cognition, John Benjamin B.V., USA.

Beaugrande, R. De, 1991, Linguistic Theory: The Discourse of Fundamental Works, Longman, London and New York.

Bărbulet, Gabriel, tanpa tahun, The politeness Principle – A Fundamental Dimension (online), diakses 6-11-2011.

Bhatia, V.K., et al. 2008, Advances in Discourse Studies, Routledge, USA a…….and Canada.

Blackledge, A., 2005, Discourse and Power in a Multilingual World (Discourse Approaches to Politics,Society and Culture), John Benjamin, B.V.,USA.

Boas, F., 1966, Introduction to Handbook of American Indian Languages, The University of Nebraska Press, United States of America.

Bourdieu, P. (edited and introduced by John B. Thompson), 1991, Language and Symbolic Power (translated by Gino Raymond and Matthew Adamson), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.

Brugge, Carry van, 1909, Goenong-Djatti (roman), Schoorl – Conserve [Indische Letterenreeks: 1], Eerder verschenen Amsterdam.

Brugge, Carry van, 1921, Een Indisch Huwelijk (novelle), Schrool –

Page 76: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

75

Conserve [Indische Letterenreeks: 2], Eerder verschenen Amsterdam.

Caldas-Coulthard, C.R. and Coulthard, M. (eds.), 2003, Texts and Practices. Readings in Critical Discourse Analysis, Roudledge, New Yorlk.

Callow, K., 1998, Man and Message. A Guide to Meaning-Based Text Analysis, Summer Institute of Linguistics, Inc., Lanham-New York- Oxford.

Campen, C. van, De Verwarring der Zintuigen. Artistieke en Psychologische Experimenten met Synesthesie (online), http://www.synesthesie.nl/pub/synp&m96.htm (diakses 14-9-2010).

Cobley, P., 2001, “Introduction” dalam: The Routledge Companion to Semiotics and Linguistics, Routledge, London and New York.

Croft, W. and Cruse, D. A. 2004, Cognitive Linguistics, Cambridge Press,

United Kingdom.

Cruse, A., 2004, Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics, Oxford University Press, New York.

Cummings, L., 2007, Pragmatik. Sebuah Perspektif Multidisipliner, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Dardjowidjojo, S., 2010, “Bahasa dan Pola Berpikir Bangsa Kita,” dalam: Jurnal Linguistik Indonesia tahun ke 28, nomor 2, Masyarakat Linguistik Indonesia, Jakarta.

Dardjowidjojo, S. 2003, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Daum, P.A., 1895/1989, Batavia-Amsterdam Reisschets, Nijgh & Van Ditmar, Amsterdam.

Daum, P.A., 1890/1982, H. van Brakel, Ing. B.O.W. (Salamander), Em. Querido’s Uitgeverij B.V., Amsterdam.

Daum, P.A., 1895/1987, Goena-Goena (Salamander), Em. Querido’s Uitgeverij B.V., Amsterdam.

Page 77: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

76

De Jong, G. F., 1975, The Dutch In Amerika 1609-1974, Twayne Publishers aDivision of G.K. Hall & Co, Boston.

Djajasudarma, T. F., 2012, Wacana & Pragmatik, Refika Aditama, Bandung. Douglas, P.A., 2009, “Unveiling Dutch America. The New Netherland Project”,

Dalam: The Low Countries, The Flemish-Netherlands Association Ons Erfdeel vxw.

Driven, R. en Verspoor, M. (reds), 2001, Cognitieve Inleiding tot Taal en Taalwetenschap, Uitgeverij Acco, Leuven.

Drooglever, P.J., 1991, Indisch Intermezzo. Geschiedenis van de Nederlanders in Indonesië, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam.

Eriyanto, 2001, Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta:

Evans, V. and Green, M., 2006, Cognitive Linguistics An Introduction, Lawrence Ertbaum Associates Inc.Publishers, New Jersey.

Fairclough, N., 1995, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, Longman, London and New York.

Fouconnier, G., 1985, Mental Space: Aspects of Meaning Construction in

Natural Language, MIT Press/Bradford, Cambridge, MA/London.

Goddard, Cliff (ed), 2008, Cross Linguistic Semantics, Jhon Benjamin Publishing, Amsterdam/Philadelphia.

Guevara, E., 2006, Lexical Semantics Book Review. Corpora in Cognitive Linguistics: Corpus Based Approaches to Syntax and Lexis. Stefan Gries and Anatol Stefanowitsch (eds), Mouton de Gruyter (online). Guevara-corpora-in-cognitive-linguistics.pdf-Adobe Reader (diakses 6-11-2010).

Halliday, M.A.K., 1978, Language as Social Semiotic. The Social Interpretation of Language and Meaning, Edward Arnold, Australia/USA:

Page 78: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

77

Hymes, D., 1986, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach,

Eight Paperback Printing, USA.

Inventaris Arsip Bantaeng (1866-1973), masalah pendidikan, no reg.48-49, 91-92.

Inventaris Arsip Selayar (1823-1973), masalah pendidikan, no reg. 369, 370, 373, 379, 380, 382, 383, 384, 385, 388.

Jackendoff, R., 2001, “Language in the Ecology of the Mind”, dalam: The Routledge Companion to Semiotics and Linguistics edited by Paul Cobley, Routledge, London and New York.

Jansma, K. en Schroor, M. (red), 1987, Onze Vaderlandse Geschiedenis, Uitgeverij Inter-Combi van Seijen, Leeuwarden.

JSTOR, Ethnophaulisms and Ethnocentrism. American Journal of Sociology (online), Vol 67, No 4 (Jan, 1962) (http://www.jstor.org/pss/2775144,

diakses 26-11-2011).

Kompas, 10 Januari 2011, Anggota Kongres Kritis. Si Penembak Diduga Tidak Sendirian, 8.

Kompas, 15 Januari 2011, Palin Terus Diserang, 9.

Kompas, 15 Januari 2011, “Fitnah Darah” Jejak Sejarah Kelam Anti-Semitisme di Eropa, 9.

Kompas (Liputan Khusus: Ekspedisi Cincin Api), 28 Juli 2012, New York Pun Ditukar dengan Pulau Run, 36.

Knaap, G.J., 1991, Inleidende opmerkingen over de geschiedenis van Indonesië tot circa 1870, dalam Drooglever, P.J., 1991, Indisch Intermezzo. Geschiedenis van de Nederlanders in Indonesië, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam.

Kramsch, C., 1998, Language and Culture, Oxford University Press, UK.

Laclau, E. and Mouffe, C., Hegemony and Socialist Strategy. Towards a Radical Democratic Politics, Verso, London.

Longcope, P. The Universality of Face in Brown and Levinson’s Politeness

Page 79: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

78

Theory: A Japanese Perspective (online), langscope.pdf (diakses 6-11-

2011).

LuMing, Robert Mao, 1994, Beyond politeness theory: “Face” revisited and renewed. Journal of Pragmatics 21: 451-486.

Matthes, B.F., “Verslag van een Verblijf in de Binnenlanden van Celebes, van 24 April tot 24 October 1856”, dalam: Van den Brink, H., 1943, Dr.Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeid in Dienst van hetNederlandch Bijbelgenootschap, Nederlandsch Bijbelgenootschap,Amsterdam.

Matthes, B.F., “Beknopte Verslag van een Paar Tochten in de Binnenlandenvan Celebes, Gedurende de Jaren 1857 en 1861”, dalam: Van denBrink, H., 1943, Dr. Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeidin Dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, NederlandschBijbelgenootschap, Amsterdam.

McGilvray, J. (ed), 2005, The Cambridge Companion to Chomsky,

Cambridge University Press, Cambridge.

Nieuwenhuys, R., 1972, Oost-Indische Spiegel, E.M. Querido’s Uitgeverij N. V., Amsterdam.

Nieuwenhuiys, R., 1988, “Kartini” dalam: Orientatie, Literair-cultureel tijdschrift

in Indonesië [1947-1953] (onder red.van Peter van Zonneveld), Schoorl-Conserve,

Peeters, B. (ed.) 2006, Semantic Primes and Universal Grammar: Empirical Evidence from Romance Languages, John Benyamin B.V., The Nederland / Philadelphia.

Philips, N. and Hardy, C 2002, Discourse Analysis. Investigating Processes of social construction (Qualitative Research Methods Series 50), Sage Publication International Educational and Professional Publisher, Thousand Oaks London, New Delhi.

Phillips, L. and Jorgensen, M. W. 2004, Discourse Analysis as Theory and Methods, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi.

Page 80: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

79

Riemer, Nick, 2010, Introducing Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Roeffaers, H., 2004, Taal Woordkunst. Een Filosofische Verkenning, Garant-Uitgevers n.v., Antwerpen-Apeldoorn.

Rutten, G.J.E., 2004, Wittgenstein’s Tractatus Logico Philosophicus (online), wittgensteinstractatus.pdf-Adobe Reader (diakses 19-10-2010).

Samuel, J., 2008, Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.

Saussure, F. de. translated and annotated by Roy Harris, Course in General Linguistics, Duckworth, Britain.

Shimp, T.A. and Sharma, S., Consumer Ethnocentrism: Construction and Validation of the Cetscale. Journal of Marketing Research, Vol. XXIV (August, 1987), hal 280-289. (online), consumer ethnocentrism construction and validation of the CETSCALE.pdf (diakses 26-11-2011).

Siauw, F. Y., 2012, Muhammad Al- Fatih 1453, Khalifah Press, Jakarta.

Sternberg, R. J., 2008, Psikologi Kognitif, Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Talmy, L., Cognitive Semantics: An Overview (online),

http://linguistics.buffalo.edu/people/faculty/talmy/talmyweb/recent/overview.html. (diakses 30-9-2010).

Titscher, S., et al., 2005, Methods of Text and Discourse Analysis, Sage Publications Ltd., London:

Urmson, J.O. and Sblsa, M. (ed), 1962/1975, How to Do Things with Words.

J.L. Austin.

Van den Brink, H., 1943, Dr. Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeid

in Dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam.

Van Dijk, T.A. (ed), 2004, Discource As Social Interaction. Discourse Studies 2, A Multidisciplinary Introduction, Sage Publication Ltd., London.

Page 81: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

80

Van Dijk, T.A., 2009, Society and Discourse. How Social Contexts Influence Text and Talk, Cambridge University Press, UK.

Verhaar, J.W.M., 2008, Asas-Asas Linguistik Umum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Verschuren, J. and Östman, J-O, 2009, Key Notions for Pragmatic, John Benjamin Publishing Company, Amsterdam / Philadelphia.

Violi, P. (Translated by Jeremy Carden), 2001, Meaning and Experience, Indiana University Press, USA.

Walraven, W., 1988, “Ngawi” dalam: Orientatie. Literair-cultureel tijdschrift in Indonesië [1947-1953], Schrool-Conserve.

Wetherell, M., et al., 2005, Discourse Theory and Practice: A Reader, Sage Publication Ltd., London.

Widdowson, H.C., 2004, Text, Context, Pretext. Critical Issues in Discourse Analysis, Blackwell Publishing, USA.

Wierzbicka, A. and Goddard, C.(ed), 1994, Semantic and Lexical Universal, John Benyamin Publishing Company, The Netherland / USA.

Wit, A. de, 1903, De Godin die Wacht (roman), Schrool – Conserve [Indische Letterenreeks: 6], Oorspr. Uitg. Amsterdam: Van Kampen.

Wit, A. de, 1920, De Drie Vrouwen in Het Heilige Woud [Indische Letterenreeks No.: 7], Meulenhoff, Amsterdam.

Wodak, R. and Meyer, M. (eds), 2009, Methods of Critical Discourse Analysis,

Sage Publications Ltd., London.

Wodak, R. and Chilton, P. (eds), 2005, A New Agenda in (Critical) Discourse Analysis: Theory, Methodology and Interdisciplinarity (Discourse Approaches to Politics, Society and Culture), John Benjamin Publishing Company, USA.

Yule, G., 2006, Pragmatik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Page 82: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

81

Zeggelen, M. van, 1920 / 1909, Onderworpenen. Schetsen uit Celebes,

Schrool - Conserve (Indische Letteren-reeks; nr.8), Oorspr. Uitg. Semarang: Masman & Stroink; Amsterdam: Meulenhoff.

Zonneveld, P. van (red), 1988, Oriëntatie. Literair-cultureel tijdschrift in Indonesië [1947-1853], Schoorl-Conserve.

Kamus:

Van Dale Groot Woordenboek der Nederlandse Taal, Elfde herziene druk, 1984, Van Dale lexicografie: Utrect / Antwerpen.

Verklarend Handwoordenboek der Nederlandsche Taal, Tiende,

Vermeerderde Druk, 1913, J.B. Wolters: Groningen.

Verklarend Handwoordenboek der Nederlandsche Taal, Zeventwintigste Druk, 1975, H.D. Tjeenk Willink BV: Groningen.

Page 83: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

82

Page 84: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3472 › S...  · Web viewrepository.unhas.ac.id2014-11-10 · Analisis wacana yang dilibatkan dalam penelitiannya

83