Upload
prisma-gita
View
225
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
essay
Citation preview
FOREIGN ENERGY WITHIN THE BODY OF INDONESIA
Prisma Gita Puspapuan
Efforts to obtain energy sovereignty is no longer a new discourse in
Indonesia, but it has already been a long and drawn out topic with problems that
seems to never run out. Energy sovereignty briefly is a term to describe the
independence of a nation to control, manage and efficiently utilize energy for the
benefit of the country or the people. Then it is reasonable if Indonesia is loaded by
questions of why we have never yet got on energy sovereignty level, even though
we’re known as a country with many energy resources and potential, in the form
of coal, petroleum, natural gas, and alternative energy sources such as geothermal
or currents and ocean waves.
Average coal production in Indonesia between 2009 and 2014 was 371
million tonnes per year with approximately 80% of it were used as export
commodities1. Oil and gas industry in the same period of time produced as much
as the average of 879.000 bpd2. The numbers may still increase with the findings
of new coal sources and oil and gas wells that will start producing in the near
future. The important thing to note is the management and exploration of these
resources are still dominated by privates. Ichsanudin Noorsy, Indonesian
economist, once said that the oil and gas sector in Indonesia is controlled by has
foreign corporations. Pertamina as the legal state-owned enterprises (Badan
Usaha Milik Negara, BUMN) have only a share of 16%, compared to the Chevron
who owns 40% in terms of the management handling of oil and gas in Indonesia3.
One of the important indicators of a country's energy sovereignty is the
ability to meet the needs of the whole region/ territory, not only in the big cities
but also to the remote areas. In fact, the uneven distribution of energy necessities
are still ongoing to this day, which many are concentrated in Java and Bali.
Another indicator is how much energy reserves available for future needs.
Indonesia on average has operational stock of national energy only for 18-20
days, with a maximum of 35 days4. A lot less than Myanmar and Laos which have
operational reserves for up to 90 days. This can be said to be a reflection that
Indonesia has not prepared for its energy sovereignty yet, whereas both of these
examples are very close and has direct effect on the lives of the people.
From upstream to downstream, Indonesia's energy problems were inter-
related and ranging from regulation and legislation, security of oil supply,
distributions, the conversion of coal and gas to electricity, setting the balance
between demand-supply and sustainability, pro-environmental policies, as well as
the implications of Indonesian policies toward other countries5. Indonesian law of
oil and gas number 22 year 2001 (UU Migas) and law of minerals and coal
number 4 year 2009 (UU Minerba) are considered to be revised because of some
open loopholes to foreigners and privates to control larger parts of energy
management rather than the government. Energy investments that were known as
very profitable will make private parties still vying to dredge benefits from oil and
gas resources as well as minerals and coals in Indonesia. From the contents of
article 10 paragraph (1) of UU Migas, it was said that the oil and gas resource
management company is obligated to submit at most only 25% of its production
output for domestic needs6. It's kind of gave them preference to sell more oil and
gas products abroad. Meanwhile, of the article 91 of UU Minerba, it was said that
the companies of minerals and coals management can make use of public facilities
and infrastructures for the purpose of mining7. Mining activities such as
transporting coal products using public access road not only disrupts the local
people with the possibility of greater road damage due to crossed by large trucks
but also for the local and regional governments because they will need to spend
more funds for maintenance costs8.
The reign of Joko Widodo according to some expert opinion has no solid
policy energy management and thus regarded as inconsistent. This is apparent in
the policy of raising the price of gasoline and 12 kg-sized liquid petroleum gas
(LPG) despite world’s oil prices are heading lower. Those examples are
considered as harmful to article 33 of the Constitution of the Republic of
Indonesia in 1945 (UUD RI 1945) which mandated that the prices of many people
necessities like energy cannot be based of the free market. In addition, with
petroleum price keeps going up, the demand of coals is also going up, and this
condition was utilized to make Indonesia as one of the largest coal exporter in the
world9. The concern arises that if this export activity is not controlled by the
government, the coal supply that currently considered as abundant, one day will
run out and perhaps we cannot fullfill even the domestic demands, and energy
sovereignty will only become a dream if it really happens.
The most realistic solution is that Indonesia should be back on track which
has been written down on the Blueprint for the National Energy Management
2006-2025 that based on Presidential Regulation number 5 year 200610. Inside,
there is a draft of targets for national primary energy mix that should be used as
one of the benchmark on how Indonesia concerns to the utilization and
management of energy sources and resources. We need some changes in our ways
of thinking to not only exploit natural resources for the benefit of today but also
on how to meet the needs of domestic consumption in the future. The
development of technology, economics, labor competences, energy utilizations
and managements need to be made as a priority so that Indonesia could prevail
and succeeded with its own powerful energy.
ENERGI ASING DALAM TUBUH INDONESIA
Prisma Gita Puspapuan
Upaya untuk memperoleh kedaulatan energi bagi Indonesia bukan lagi
wacana baru, namun menjadi topik yang panjang dan berlarut-larut dengan
permasalahan yang nampaknya tak kunjung habis. Kedaulatan energi secara
singkat merupakan istilah untuk menggambarkan keadaan kemandirian suatu
bangsa untuk menguasai, mengelola, dan mendayagunakan energi untuk
kepentingan negara atau rakyat. Maka wajar jika Indonesia diselimuti pertanyaan
mengapa belum pernah sampai di keadaan berdaulat terhadap energinya sendiri,
padahal konon digadang-gadang memiliki potensi energi yang besar. Potensi
energi yang dimaksud berkisar di keberlimpahan sumber daya alam dalam bentuk
batubara, minyak bumi, gas bumi, dan sumber-sumber energi alternatif lain
seperti geothermal maupun arus dan gelombang laut.
Rata-rata produksi batubara Indonesia antara tahun 2009 hingga 2014
adalah 371 juta ton per tahun dengan sekitar 80%-nya menjadi komoditas ekspor1.
Minyak dan gas bumi pada jangka waktu tahun yang sama rata-rata diproduksi
sebanyak 879.000 bpd2. Angka-angka tersebut diprediksi masih dapat terus naik
dengan adanya temuan sumber dan sumur-sumur minyak serta gas bumi yang
baru-baru ini akan diproduksi. Hal penting yang perlu dicermati adalah
pengelolaan dan eksplorasi kekayaan sumber daya tersebut lebih banyak dikuasai
oleh pihak asing. Ichsanudin Noorsy, seorang ekonom Indonesia, pernah berkata
bahwa sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia telah dikuasai korporasi
asing dengan Pertamina yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) hanya memiliki porsi 16%, dibandingkan Chevron yang memiliki porsi
40% dalam hal penguasaan pengelolaan migas di Indonesia3.
Salah satu indikator penting suatu negara yang berdaulat energi adalah
adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan seluruh wilayah, tidak hanya di
kota namun hingga ke pelosok. Kenyataannya, belum meratanya distribusi energi
yang banyak terpusat di Jawa dan Bali masih berlangsung hingga sekarang.
Indikator lain adalah seberapa banyak cadangan energi yang tersedia untuk
kebutuhan di masa mendatang. Indonesia selama ini diketahui hanya memiliki
stok operasional energi nasional hanya untuk 18-20 hari, maksimal 35 hari4. Jauh
dibandingkan Myanmar dan Laos yang memiliki cadangan operasional hingga 90
hari. Keadaan ini dapat dikatakan menjadi cerminan belum siapnya Indonesia
untuk berdaulat energi, padahal kedua contoh tersebut sangat dekat dan
berpengaruh langsung terhadap kehidupan rakyat.
Dari hulu hingga ke hilir, permasalahan energi Indonesia saling berkaitan
mulai dari regulasi dan perundang-undangan, keamanan pasokan minyak,
kelancaran distribusi, pengembangan batubara dan gas untuk listrik, pengaturan
keseimbangan antara pasokan dan keberlanjutan, kebijakan pro lingkungan hidup,
serta implikasi kebijakan Indonesia terhadap negara lain5. Undang-Undang
Minyak dan Gas (UU Migas) Nomor 22 Tahun 2001 dan Undang-Undang
Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 dianggap masih perlu
direvisi karena adanya celah yang terbuka bagi asing melakukan penguasaan
pengelolaan sumber daya yang lebih besar daripada BUMN. Investasi energi yang
dikatakan ‘tidak akan rugi’ membuat pihak swasta tetap berlomba-lomba untuk
mengeruk keuntungan dari sumber daya migas maupun minerba Indonesia.
Menilik isi pasal 22 ayat (1) UU Migas6, dikatakan bahwa perusahaan pengelola
sumber daya migas wajib menyerahkan paling banyak hanya 25% bagiannya dari
hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri6. Ini semacam memberi pilihan
mereka untuk lebih banyak menjual produksi migas ke luar negeri. Sementara,
dari pasal 91 UU Minerba, dikatakan bahwa perusahaan pengelola minerba dapat
memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk keperluan pertambangan7.
Aktivitas pertambangan seperti transportasi pemindahan batubara yang
menggunakan akses jalan publik bukan hanya mengganggu masyarakat dengan
kemungkinan kerusakan jalan yang lebih besar akibat dilalui oleh truk-truk besar
namun juga bagi pemerintah daerah yang perlu mengeluarkan dana lebih banyak
untuk biaya pemeliharaan sarana publik8.
Pemerintahan Joko Widodo menurut beberapa pendapat ahli tidak
memiliki kebijakan mengenai energi yang solid dan justru terkesan tidak
konsisten alias mencla-mencle. Hal ini terlihat dalam kebijakan menaikkan harga
elpiji 12 kg dan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berada di atas
harga keekonomian dunia sehingga rakyat seolah-olah menanggung beban yang
seharusnya dipikul negara. Kedua contoh tersebut dianggap mencederai pasal 33
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan
bahwa harga keperluan hajat hidup rakyat banyak seperti energi tidak boleh
dilepas ke pasar bebas. Selain itu, harga minyak bumi yang semakin lama semakin
tinggi berbanding lurus dengan permintaan batubara, yang kemudian
dimanfaatkan Indonesia untuk berperan sebagai salah satu eksportir batubara
terbesar di dunia9. Timbul kekhawatiran jika hal ini tidak dikendalikan oleh
pemerintah, pasokan batubara yang dianggap berlimpah suatu saat akan habis
hingga kebutuhan dalam negeri sendiri tidak dapat tercukupi dan semakin
menjauhkan dari target menjadi negeri yang berdaulat akan energi.
Sejatinya, Indonesia harus kembali pada cetak biru (blueprint)
Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 yang disusun berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 5 tahun 200610. Dalam rencana tersebut, terdapat rancangan
sasaran bauran energi primer nasional yang seharusnya dijadikan salah satu
patokan Indonesia mengenai pemanfaatan dan pengelolaan energi. Perlu adanya
perubahan cara berpikir dan bertindak untuk tidak hanya mengeksploitasi sumber
daya alam untuk keuntungan saat ini tetapi juga bagaimana cara memenuhi
kebutuhan konsumsi domestik di masa yang akan datang. Kemandirian secara
teknologi, ekonomi, tenaga kerja, pemanfaatan, dan pengelolaan energi perlu
dijadikan prioritas agar Indonesia bisa berdikari dengan energinya sendiri, bukan
dengan sumber energi suapan asing.
REFERENCES / REFERENSI:
1 Grafik Data Produksi, Ekspor dan Penjualan dalam Negeri Batubara Indonesia
(2009 – 2014). http://www.apbi-icma.org/global-chart/. Diakses pada 2 Oktober
2015 pukul 09:26 WIB.2 Minyak & Gas Indonesia: Produksi Minyak Mentah Meningkat di 2015?.
http://www.indonesia-investments.com/id/berita/kolom-berita/minyak-gas-
indonesia-produksi-minyak-mentah-meningkat-di-2015/item5385. Diakses pada
2 Oktober 2015 pukul 10:11 WIB.3 Kedaulatan Energi RI di Tangan Asing. http://www.republika.co.id/berita/
nasional/umum/12/02/10/lz62dl-kedaulatan-energi-ri-di-tangan-asing. Diakses
pada 2 Oktober 2015 pukul 10:24 WIB.4 Pertamina Sanggup Siapkan Cadangan Strategis Minyak.
http://bisnis.liputan6.com/read/2064500/pertamina-sanggup-siapkan-cadangan-
strategis-minyak. Diakses pada 2 Oktober 2015 pukul 11:09 WIB.5 Kedaulatan Energi Nasional Tentukan Kebijakan Kelola Energi.
http://politik.news.viva.co.id/news/read/654762-kedaulatan-energi-nasional-
tentukan-kebijakan-kelola-energi. Diakses pada 2 Oktober 2015 pukul 11:27
WIB.6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak
Bumi dan Gas.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.8 Poppy Ungkap Kelemahan UU Tentang Minerba.
http://www.tambangnews.com/ berita/utama/2758-poppy-ungkap-kelemahan-
uu-tentang-minerba.html. Diakses pada 2 Oktober 2015 pukul 11:29 WIB.9 DPR: Kebijakan Energi Jokowi Mencla-mencle. http://ekonomi.inilah.com/
read/detail/2238823/dpr-kebijakan-energi-jokowi-mencla-mencle. Diakses pada
2 Oktober 2015 pukul 11:37 WIB.10 Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 Sesuai Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2006, disusun oleh Sekretariat Panitia Teknis Sumber Energi
(PTE). http://www.esdm.go.id/publikasi/lainlain/doc_download/714-blue-print-
pengelolaan-energi-nasional-. Diakses pada 2 Oktober 2015 pukul 10:52 WIB.
THE WRITER
Full name : Prisma Gita PuspapuanPlace, Date of Birth : Bogor, 17th June, 1995Current Address : Jl. Banjarsari gg Gayamsari no. 21 TembalangFaculty : Fisheries and Marine Science (FPIK)Department/ Major : Marine Science/ OceanographyBatch : 2012Email : [email protected] : 0857-1929-8965