25
ix ABSTRACT REALITY RECEIVABLES MANAGEMENT OF LAND AND BUILDING TAX IN DISTRICT X This research is motivated by the phenomenon of the of the growing number of PBB-P2 receivable every year, accompanied declining tax revenue from the sector PBB-P2. This study aimed to determine receivables management PBB-P2. Receivables management PBB-P2 are divided into three groups, namely administration, billing, and write-off accounts receivable. In order to explore the understanding of informants, phenomenology is used as a methodology, with interpretive paradigm as a foothold research. Exploration understanding informant against receivables management PBB-P2 done in depth using Epoche. Reality administration, billing, accounts receivable and the elimination of PBB-P2 indicate that the administration of receivables is constrained by the data held by the District Revenue X at this time. The problems faced include validation and updating the PBB-P2, human resource management which has not gone well, lack of infrastructure, low technological mastery, lack of understanding of accounting. Collection of accounts receivable PBB-P2 executed by the system pick up the ball, extend access to payment, and issuing summons for delinquent taxes. proactive system quite effectively applied especially for WP who are in rural areas. Access payments were extended cooperation with financial institutions such as BPD, LPD, Sedana Werdhi Market Bank, and cooperatives. For WP is delinquent taxes have been issued a summons. The letter as a means of information dissemination and communication between Revenue and WP. Although write-off receivables which are conducted only limited allowance, but the informant was aware that the receivables that have passed through the billing period should be eliminated. Write-off of receivables account constrained regulatory issues. In addition, the implementation of which has not been optimal tax collection led to the write-off receivable accounts can not be implemented. The coordination process long before write-off receivable PBB-P2 is the next obstacle, as well as coordination has already been made by the BPK and the KPP has not produced results. Keywords: Management, Accounts Receivable, administration, billing, Write-off, interpretive, phenomenology.

ABSTRACT - sinta.unud.ac.id · karena SISMIOP mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan administratif yang dapat mengolah informasi data objek dan subjek pajak melalui komputerisasi,

Embed Size (px)

Citation preview

ix

ABSTRACT

REALITY RECEIVABLES MANAGEMENT

OF LAND AND BUILDING TAX IN DISTRICT X

This research is motivated by the phenomenon of the of the growing

number of PBB-P2 receivable every year, accompanied declining tax revenue

from the sector PBB-P2. This study aimed to determine receivables management

PBB-P2. Receivables management PBB-P2 are divided into three groups, namely

administration, billing, and write-off accounts receivable.

In order to explore the understanding of informants, phenomenology is

used as a methodology, with interpretive paradigm as a foothold research.

Exploration understanding informant against receivables management PBB-P2

done in depth using Epoche.

Reality administration, billing, accounts receivable and the elimination of

PBB-P2 indicate that the administration of receivables is constrained by the data

held by the District Revenue X at this time. The problems faced include validation

and updating the PBB-P2, human resource management which has not gone well,

lack of infrastructure, low technological mastery, lack of understanding of

accounting. Collection of accounts receivable PBB-P2 executed by the system

pick up the ball, extend access to payment, and issuing summons for delinquent

taxes. proactive system quite effectively applied especially for WP who are in

rural areas. Access payments were extended cooperation with financial

institutions such as BPD, LPD, Sedana Werdhi Market Bank, and cooperatives.

For WP is delinquent taxes have been issued a summons. The letter as a means of

information dissemination and communication between Revenue and WP.

Although write-off receivables which are conducted only limited allowance, but

the informant was aware that the receivables that have passed through the billing

period should be eliminated. Write-off of receivables account constrained

regulatory issues. In addition, the implementation of which has not been optimal

tax collection led to the write-off receivable accounts can not be implemented. The

coordination process long before write-off receivable PBB-P2 is the next

obstacle, as well as coordination has already been made by the BPK and the KPP

has not produced results.

Keywords: Management, Accounts Receivable, administration, billing,

Write-off, interpretive, phenomenology.

x

RINGKASAN

REALITAS PENGELOLAAN PIUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN X

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memberikan kewenangan

yang besar kepada daerah. Desentralisasi fiskal bertujuan memberikan

kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, sebagaimana

diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 jo UU No. 33 tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal

dimanifestasikan dalam bentuk UU No 28 Tahun 2009 tentang PDRD. UU

tersebut ditujukan dalam rangka optimalisasi penerimaan daerah guna

melaksankan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan.

Dampak diberlakukannya UU 28/2009 adalah dialihkannya Pajak Bumi

dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Dasar pemikiran pengalihan tersebut adalah Pertama, PBB-P2

lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah

(immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang

menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-linkprinciple). Kedua, dapat

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sekaligus memperbaiki struktur

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, untuk meningkatkan

pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparansi dalam

pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2

atau Property Tax termasuk dalam jenis local tax.

Permasalahan validitas dan akurasi data PBB-P2 akan memengaruhi

proses penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), terutama pada

penyajian saldo awal piutang PBB-P2 yang diserah terimakan pemerintah pusat

kepada pemerintah kabupaten/kota. Adanya permasalahan data PBB-P2

berpotensi menimbulkan ketidakakuratan informasi seperti jumlah wajib pajak,

objek pajak, dan penyajian nilai piutang PPB-P2, yang memicu potensi fraud.

Potensi fraud tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan potensi kehilangan

penerimaan PBB-P2 yang seharusnya dapat diterima pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya adalah mempersiapkan regulasi dalam bentuk Perda, Perbup,

dan SOP. Peneliti memperhatikan selama ini Perda dan Perbup di Kabupaten X

yang berkaitan dengan pajak daerah merupakan transplantasi Perda daerah lain

yang terlebih dahulu terbit. Hal tersebut menyebabkan lemahnya Peraturan

Daerah dan Peraturan Bupati saat ini dalam mendukung pengelolaan piutang

PBB-P2 yang menyebabkan proses pengelolaan piutang tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya. Pengamatan peneliti terhadap pelaksanaan Perda pajak

xi

daerah adalah tidak dilaksanakannya tindakan penagihan pajak terutang yang telah

jatuh tempo dengan menerbitkan surat teguran, surat peringatan atau surat lainnya

yang sejenis. Tidak terlaksanakannya prosedur penagihan di atas berdampak pada

jumlah piutang pajak daerah yang membengkak setiap tahun, serta tidak

tercapainya target penerimaan PBB-P2. Tahun 2014 jumlah piutang pajak daerah

sebesar Rp87.246.854.835,69 menjadi Rp101.973.572.261,74 pada tahun 2015

atau terdapat peningkatan jumlah pendapatan pajak yang belum tertagih sebesar

16,88%.

Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penerimaan PBB P2, Pemda X

tetap menerapkan sistem administrasi perpajakan modern yang selama ini telah

digunakan oleh pemerntah pusat yaitu yang disebut dengan Sistem Manajemen

Informasi Objek Pajak (SISMIOP). SISMIOP merupakan jantungnya PBB-P2

karena SISMIOP mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan administratif yang

dapat mengolah informasi data objek dan subjek pajak melalui komputerisasi,

mulai dari proses pendataan, penilaian, penagihan, penerimaan dan pelayanan.

Berdasarkan pengamatan peneliti, akses pembayaran PBB-P2 saat ini sudah cukup

luas. Selain membuka rekening penampungan PBB-P2 bekerjasama dengan Bank

Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali), lebih lanjut telah dilaksanakan kerjasama

dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan koperasi. Tujuannya adalah

memberikan kemudahan bagi wajib pajak (WP) dalam melakukan pembayaran.

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) pada Laporan Keuangan Dinas

Pendapatan Kabupaten X tidak menjelaskan secara khusus penyebab dari

fenomena meningkatnya saldo piutang PBB-P2. Atas dasar tersebut dan dari

uraian di atas peneliti memandang bahwa permasalahan tersebut perlu untuk

diteliti dengan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pemahaman atas

fenomena yang terjadi secara lebih dalam dengan berfokus pada permasalahan

yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah piutang PBB-P2 yang diawali

dengan tidak dilaksanakannya prosedur pemungutan PBB-P2, terutama tidak

dilaksanakannya proses penagihan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten X.

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dalam

pembahasan mengenai pengelolaan piutang PBB-P2, peneliti tidak mencari

pengaruh keterkaitan variabel sebagaimana yang terdapat pada batasan-batasan

masalah, melainkan menganalisis berdasarkan situasi sosial yang terjadi di Dinas

Pendapatan Kabupaten X. Penelitian ini dilakukan dalam wilayah paradigma

interpretif. Peneliti percaya dengan paradigma ini dapat mengembangkan apa

yang ada di balik peristiwa, dan latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di

dalamnya, dalam hal ini terkait pengelolaan piutang PBB-P2 sebagaimana yang

diungkapkan Sarantakos (1993:34-39) bahwa tujuan riset sosial membantu untuk

memahami dan memaknai alasan di balik suatu aksi sosial.

xii

Terkait dengan pendekatan fenomenologi, penelitian ini bertujuan untuk

memahami esensi pengelolaan piutang PBB-P2, menganalisis problematika dalam

konteks pengelolaan piutang PBB-P2, serta memahami motif dibalik perilaku

informan dalam mengelola piutang PBB-P2 di Kabupaten X. Oleh karena itu

pendekatan fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang tepat digunakan

dalam penelitian ini, yang memungkinkan peneliti untuk menelaah dan

mendeskripsikan permasalahan, serta berkaitan dengan interaksi atau proses

secara lebih mendalam yang digali melalui wawancara dan observasi. Dengan

cara itulah peneliti berusaha memahami pemikiran subjektif agar penelitian ini

memiliki sifat emic yang oleh Sugiyono (2014: 387) diartikan sebagai

memperoleh data berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang

dialami, dirasakan dan partisipan atau sumber data bukan berdasarkan apa yang

dipikirkan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini pengujian keabsahan/validitas data, peneliti

menekankan pada uji kredibilitas. Menurut Sugiyono (2014: 460), pengujian

kredibilitas data penelitian kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan,

perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, tringulasi,

diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member checking.

Pelaksanaan pengelolaan piutang PBB-P2 di Kabupaten X meliputi

penatausahaan, penagihan, dan penghapusan. Penatausahaan piutang terkendala

oleh data yang dimiliki oleh Dispenda Kabupaten X saat ini. Validasi dan

pemutakhiran data PBB-P2 merupakan awal permasalahan. Selanjutnya

manajemen SDM yang belum berjalan dengan baik menyebabkan fungsi-fungsi

dalam pengelolaan PBB-P2 tidak berjalan lancar. Sarana dan prasarana perlu

ditingkatkan guna menunjang pelaksanaan pengelolaan PBB-P2. Ketika Pemda

memutuskan tetap menggunakan SISMIOP sebagai sistem untuk mengelola data

PBB-P2, dibutuhkan penguasaan teknologi untuk mengimbangi kecanggihan

sistem. Meskipun telah diproses secara otomatis oleh SISMIOP, tetap diperlukan

pemahaman akuntansi yang memadai dalam pelaksanaannya. Untuk itu,

dibutuhkan pelatihan-pelatihan bagi fiskus demi meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman mereka. Namun, yang terpenting adalah tersedianya aturan teknis

yang menjadi pedoman dalam segala upaya yang akan dilakukan.

Penagihan piutang PBB-P2 dilaksanakan dengan sistem jemput bola,

memperluas akses pembayaran, dan menerbitkan surat panggilan bagi penunggak

pajak. sistem jemput bola cukup efektif diterapkan terutama bagi WP yang berada

di perdesaan yang selama ini tidak terjangkau oleh pemerintah. Untuk

memperluas jangkauan pembayaran pemerintah daerah bekerjasama dengan

lembaga keuangan seperti BPD, LPD, Bank Pasar Werdhi Sedana, dan Koperasi.

Bagi WP yang menunggak pajak telah diterbitkan surat panggilan. Surat tersebut

sebagai sarana penyebaran informasi dan komunikasi antara Dispenda dan WP.

xiii

Segala upaya tersebut bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan daerah

terutama dari sektor PBB-P2.

Meskipun upaya penyisihan piutang PBB-P2 telah dilakukan, namun

informan memiliki kesadaran bahwa piutang yang telah melewati jangka waktu

penagihan seharusnya dihapuskan. Karena jika dibiarkan piutang yang tidak dapat

ditagih tersebut akan tercatat dan membebani neraca keuangan. Penghapusan

piutang PBB-P2 terkendala regulasi. Dimana regulasi yang dimaksud adalah

aturan teknis penghapusan piutang. Selain itu, pelaksanaan penagihan pajak yang

belum optimal menyebabkan penghapusan piutang belum dapat dilaksanakan.

Proses koordinasi yang panjang sebelum menghapus piutang PBB-P2 merupakan

penghambat selanjutnya, begitu pula koordinasi yang telah diupayakan dengan

BPK dan KPP belum membuahkan hasil.

Secara umum perilaku informan dipengaruhi oleh norma subjektif. Norma

subjektif berupa regulasi/peraturan yang menyediakan petunjuk tentang apa yang

seharusnya pantas/tepat untuk dilakukan. Norma inilah yang membentuk niat

berperilaku. Perilaku selain ditentukan oleh niat juga dipengaruhi oleh motif.

Motif akan harapan masa depan yang lebih baik, serta motif yang disebabkan oleh

pengalaman masa lalu ikut membentuk perilaku seseorang.

xiv

DAFTAR ISI

PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ viii

ABSTRACT ............................................................................................................ ix

RINGKASAN .......................................................................................................... x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................11

1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................12

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN ............................................................................... 14

2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 14

2.1.1 Theory of Planned Behavior (TPB) ...................................... 14

2.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

(PBB-P2) .............................................................................. 23

2.1.3 Pemungutan PBB-P2 ............................................................ 26

2.1.4 Penagihan PBB-P2 ............................................................... 26

2.1.5 Jangka Waktu Pelaksanaan Penagihan PBB-P2 ................... 27

2.1.6 Piutang Pajak ........................................................................ 28

2.1.7 Pengelolaan Piutang PBB-P2 ............................................... 33

2.1.8 Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak .......................... 38

2.1.9 Fenomenologi ....................................................................... 40

2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................ 44

2.3 Konsep Penelitian ............................................................................. 45

2.4 Penelitian Terdahulu ......................................................................... 47

2.5 Model Penelitian ............................................................................... 49

xv

BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 51

3.1. Paradigma Penelitian ........................................................................ 51

3.2. Paradigma Interpretif Sebagai Pijakan Penelitian ............................ 54

3.3. Metodologi Fenomenologi Sebagai Pengungkap Realitas ............... 56

3.4. Lokasi Penelitian .............................................................................. 60

3.5. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 61

3.6. Instrumen Penelitian ......................................................................... 63

3.7. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ........................................... 64

3.7.1. Wawancara ........................................................................... 64

3.7.2. Observasi .............................................................................. 66

3.7.3. Studi dokumentasi ................................................................ 68

3.8. Metode dan Teknik Analisis Data .................................................... 69

3.9. Uji Kredibilitas Data Penelitian........................................................ 74

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 77

4.1. Penatausahaan Piutang PBB-P2 ....................................................... 79

4.1.1 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 Menurut A ........... 79

4.1.2 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 Menurut B ........... 91

4.1.3 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 Menurut C ........... 92

4.1.4 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 Menurut D ........... 94

4.1.5 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 Menurut E ........... 98

4.1.6 Ringkasan ............................................................................. 99

4.2. Penagihan Piutang PBB-P2 ............................................................ 103

4.2.1 Realitas Penagihan Piutang PBB-P2 Menurut A ................ 103

4.2.2 Realitas Penagihan Piutang PBB-P2 Menurut B ................ 107

4.2.3 Realitas Penagihan Piutang PBB-P2 Menurut C ................ 108

4.2.4 Realitas Penagihan Piutang PBB-P2 Menurut D ................ 110

4.2.5 Realitas Penagihan Piutang PBB-P2 Menurut E ................ 114

4.2.6 Ringkasan ........................................................................... 115

4.3. Penghapusan Piutang PBB-P2 ........................................................ 118

4.3.1 Realitas Penghapusan Piutang PBB-P2 Menurut A ........... 118

4.3.2 Realitas Penghapusan Piutang PBB-P2 Menurut B ........... 119

4.3.3 Realitas Penghapusan Piutang PBB-P2 Menurut C ........... 120

4.3.4 Realitas Penghapusan Piutang PBB-P2 Menurut D ........... 120

4.3.5 Realitas Penghapusan Piutang PBB-P2 Menurut E ............ 121

4.3.6 Ringkasan ........................................................................... 123

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 125

5.1. Simpulan ......................................................................................... 125

5.2. Keterbatasan ................................................................................... 127

xvi

5.3. Saran ............................................................................................... 127

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 130

LAMPIRAN -LAMPIRAN ................................................................................. 136

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Realisasi Pendapatan PBB-P2 tahun 2014 dan 2015 .................... 7

Tabel 1.2 Jumlah Piutang Pajak Daerah Tahun 2014 dan 2015 ................... 9

Tabel 2.1 Jangka Waktu Penagihan PBB-P2 ................................................ 28

Tabel 3.1 Coding Data................................................................................... 72

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Bagan Alur Prosedur Penagihan PBB-P2 .................................... 8

Gambar 2.1 Theory of Planned Behavior ........................................................ 15

Gambar 2.2 Bagan Alur Pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih ....... 32

Gambar 2.3 Struktur/ Bagan Umum SISMIOP ............................................... 40

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir ........................................................................ 44

Gambar 2.5 Konsep Penelitian ......................................................................... 46

Gambar 2.6 Model Penelitian .......................................................................... 50

Gambar 3.1 Komponen dalam Analisis Data Model Interaktif ....................... 70

Gambar 4.1 Realitas Penatausahaan Piutang PBB-P2 ..................................... 100

Gambar 4.2 Proses Terbentuknya Perilaku WP yang Dipengaruhi

Oleh Behavioral Beliefs............................................................... 103

Gambar 4.3 Proses Terbentuknya Perilaku Fiskus yang Dipengaruhi

Oleh Normative Beliefs ................................................................. 118

Gambar 4.4 Proses Terbentuknya Perilaku Fiskus yang Dipengaruhi

Oleh Control Beliefs ...................................................................... 124

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lamp. 1 Perbandingan dasar hukum menurut UU 28/2009 dengan

Dasar hukum pemungutan PBB-P2 di Kab. X ............................. 136

Lamp. 2 Penelitian Terdahulu .................................................................... 138

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,

dan tujuan penelitian.

1.1 Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menempatkan pemerintah

provinsi, kabupaten dan kota sebagai titik berat penyelenggaraan pemerintahan

daerah, memberikan kewenangan yang besar di bidang politik, administrasi

pemerintahan, maupun fiskal. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Rondinelli

(1986) dalam Suryanto (2014), bahwa desentralisasi dibedakan menjadi empat

yakni desentralisasi politik, administratif, pasar/ekonomi, dan fiskal.

Desentralisasi fiskal bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah

untuk menggali berbagai sumber dana. Sumber dana dimaksud meliputi

pembiayaan mandiri dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih

tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk

melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah. Secara khusus, desentralisasi

fiskal diatur dalam undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pusat

dan daerah (UU No. 25 tahun 1999 jo UU No. 33 tahun 2004).

Manifestasi dari desentralisasi fiskal tersebut adalah terbitnya Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (UU

2

28/2009). Menurut Undang-undang tersebut, pajak daerah yang selanjutnya

disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi Undang-undang

tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada

kemandirian daerah dalam mengoptimalkan penerimaan daerahnya. Optimalisasi

penerimaan daerah ini sangat penting bagi daerah dalam rangka menunjang

pembiayaan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. Haldenwang (2015)

mengungkapkan hal yang sama.

“The overall objectives of the devolution of the land and building tax are to improve revenue autonomy of local governments, to increase sub-national revenues and to reduce local governments’ dependence on fiscal transfers from the central government.” Dampak diberlakukannya UU 28/2009 adalah dialihkannya Pajak Bumi

dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Dasar pemikiran dan alasan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak

daerah, antara lain: Pertama, berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal (local

origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat

hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut

(the benefit tax-linkprinciple). Kedua, pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sekaligus memperbaiki struktur

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, untuk meningkatkan

pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparansi dalam

3

pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2

atau Property Tax termasuk dalam jenis local tax.

Sejak pengalihan kewenangan pengelolaan PBB-P2 bulan Januari 2014,

Pemda memiliki kewenangan untuk menentukan besarnya pajak terutang. Sari

(2010) juga mengungkapkan hal yang serupa.

“Dari segi substansi pajak, kewenangan pemajakan atas tanah dan

bangunan merupakan hak dari Pemerintah Daerah, dengan kata lain hak

pemajakan PBB-P2 sejatinya berada pada Pemerintah Daerah bukan pada

Pemerintah Pusat.”

Namun, pengalihan kewenangan tersebut tidak serta merta memberikan

keuntungan bagi peningkatan kemampuan keuangan pemerintah daerah.

Pengalihan tersebut juga menandai bertambahnya tanggung jawab Pemda, seperti

penyusunan kebijakan pengelolaan PBB-P2, menyiapkan administrasi seperti

pengelolaan tunggakan, pemungutan pajak, penilaian, dan lain-lain. Selain itu

diperlukan integrasi terhadap struktur organisasi yang telah ada sebelumnya

(Kelly et al., 2011).

“In order to increase autonomy, the central government not only transferred responsibility for administering the land and building tax, but also granted local governments certain policy-making competences. With the transfer of responsibilities, local governments face new tasks with regard to administration; for instance, these include arrears management, tax collection, valuation, etc. These new administrative processes need to be integrated into local administration structures with the support of national institutions” (Ibid, 2011). Terkait dengan pengalihan PBB-P2 beberapa permasalahan juga ikut

dilimpahkan kepada pemerintah daerah, seperti database PBB-P2 serta data

piutang tidak valid dan akurat. Pendapat Badan Pemeriksa Keuangan Republik

Indonesia (BPK-RI) menyatakan bahwa :

4

“Pengalihan PBB-P2 yang tidak disertai data yang valid dan akurat hanya akan memindahkan masalah ke daerah. Data PBB-P2 yang tidak valid dan akurat tersebut akan mempengaruhi kualitas penyajian laporan keuangan dan mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan PBB-P2.” (Pendapat BPK, Juni 2015). Permasalahan validitas dan akurasi data PBB-P2 akan memengaruhi

proses penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), terutama

pada penyajian saldo awal piutang PBB-P2 yang diserahterimakan pemerintah

pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Nilai piutang pajak yang disajikan

dalam neraca pemerintah kabupaten/kota per 31 Desember 2013 belum

dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya (overstated/understated).

Permasalahan penyajian saldo piutang PBB-P2 yang diserahterimakan oleh

Pemerintah Pusat/Kementerian Keuangan menjadi permasalahan yang telah

diungkap BPK dalam 106 laporan hasil pemeriksaan atas LKPD Tahun 2013

terutama mengenai kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota, proses pengalihan

kewenangan PBB-P2, dan pelaksanaan pengelolaan PBB-P2 di Pemerintah

Kabupaten/Kota.

Adanya permasalahan data PBB-P2 berpotensi menimbulkan

ketidakakuratan informasi seperti jumlah wajib pajak, objek pajak, dan penyajian

nilai piutang PBB-P2. Kondisi tersebut membuka peluang bagi pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan ketidakakuratan database guna

kepentingan tertentu atau dengan kata lain berpotensi memicu munculnya

fraud dalam pengelolaan PBB-P2. Potensi fraud tersebut antara lain berupa

penerimaan PBB-P2 yang tidak dilaporkan, penerimaan PBB-P2 terlambat

disetorkan, pemberian keringanan pajak kepada wajib pajak tertentu, dan

5

memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menghindari menyelesaikan

kewajiban pembayaran PBB-P2. Potensi fraud tersebut pada akhirnya dapat

mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan PBB-P2 yang seharusnya

dapat diterima Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pengelolaan piutang PBB-P2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari pengelolaan PBB-P2. Perlu disiapkan peraturan-peraturan sebagai dasar

hukum untuk menjamin adanya kepastian dan mengatur jalannya suatu

pemerintahan (Nurtanzila dan Kumorotomo, 2015). Peraturan Daerah No 10

Tahun 2011 tentang PBB-P2 (Perda 10/2011) dan Peraturan Bupati No 27 Tahun

2013 tentang tata cara pemungutan PBB-P2 (Perbup 27/2013) merupakan dasar

hukum pelaksanaan pengelolaan PBB-P2 di Kabupaten X saat ini. Indrati (2007)

mengungkapkan secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah

mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang

diatur oleh hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan di dalam

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, salah satu tiang utama

dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara hukum adalah pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam

masyarakat.

Peneliti memperhatikan selama ini Perda dan Perbup di Kabupaten X yang

berkaitan dengan pajak daerah merupakan transplantasi peraturan daerah lain

yang terlebih dahulu terbit. Beberapa Kabupaten/Kota mengambil jalan pintas

melalui transplantasi atas peraturan daerah lain yang terbit lebih dahulu. Padahal

Perda yang diterbitkan oleh Pemda lain sudah pasti tidak akan mencerminkan

6

kehendak dan kondisi dari pada rakyat setempat (Jalaludin, 2011). Akibatnya,

Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati saat ini lemah dalam mendukung

pengelolaan piutang PBB-P2 yang menyebabkan proses pengelolaan piutang tidak

dilaksanakan sebagaimana mestinya. Suryanto (2014) menyatakan bahwa

pemberian kewenangan pengelolaan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak

daerah belum dapat dilaksanakan secara maksimal, sekalipun dari aspek regulasi,

yang berupa PERDA Pajak dan Retribusi Daerah, PERDA SOTK dan Peraturan

Bupati yang terkait dengan kesanggupan untuk mengelola PBB-P2 telah

diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

Pengamatan peneliti terhadap pelaksanaan peraturan PBB-P2 adalah tidak

dilaksanakannya tindakan penagihan pajak terutang yang telah jatuh tempo

dengan menerbitkan surat teguran, surat peringatan atau surat lainnya yang

sejenis. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan pasal 30 ayat 4 Perbup 27/2013

sebagai berikut :

“Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.” Prosedur penagihan sesuai dengan Perbup 27/2013 seharusnya dijalankan

ketika WP terlambat membayar PBB dan/atau membayar dengan jumlah yang

kurang. Fungsi penagihan dapat memproses hal tersebut dengan menggunakan

dokumen-dokumen berupa Surat Tagihan Pajak (STP), surat teguran, dan/atau

surat paksa. Dengan tidak dilaksanakannya proses penagihan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku seperti di atas dapat menimbulkan penumpukan pada

7

piutang pajak daerah yang setiap tahun membebani Neraca Keuangan Pemerintah

Daerah Kabupaten X.

Penelitian Kamba (2013), menemukan sistem penagihan PBB yang baik

dan dilaksanakan dengan serius berdampak pada pencapaian target penerimaan

PBB. Dimana sistem tersebut dapat meningkatkan ketaatan dari penanggung

pajak, yang dibuktikan dengan proses penagihan hanya sampai proses penyitaan,

belum ada proses pelelangan. Besarnya penerimaan PBB sangat bergantung dari

pelaksanaan penagihan PBB. Apabila pelaksanaan penagihan pajak dilakukan

dengan baik dan tegas, maka penerimaan PBB akan dapat mencapai target yang

telah ditentukan oleh pemerintah, begitu pula sebaliknya. Tidak dilaksanakannya

proses penagihan secara baik dan tegas menyebabkan tidak tercapainya target

penerimaan PBB-P2 Kabupaten X seperti yang tertuang pada Laporan Realisasi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Dinas Pendapatan Kabupaten X pada

tahun 2014 dan 2015, sebagaimana tersaji pada tabel berikut.

Tabel. 1.1 Realisasi Pendapatan PBB-P2 tahun 2014 dan 2015

(dalam rupiah)

No Uraian Anggaran Realisasi % Lebih/(Kurang)

1 PBB-P2

tahun 2014

17.000.000.000 16.241.745.807 95,53 (758.254.193)

2 PBB-P2

tahun 2015

17.000.000.000 13.808.360.312 81,22 (3.191.639.688)

Sumber : Dispenda Kabupaten X

Sebenarnya Pemda X, khususnya Dinas Pendapatan telah memiliki alur

prosedur penagihan sebagai dasar hukum penagihan piutang PBB-P2, hanya saja

sampai saat ini belum dilaksanakan. Berikut disajikan bagan alur prosedur

8

penagihan PBB-P2 di Kabupaten X sesuai dengan Perbup 27/2013 tentang Tata

Cara Pemungutan PBB-P2 di Kabupaten X.

Sumber : Peraturan Bupati X Nomor 27 Tahun 2013 Gambar 1.1

Bagan alur prosedur penagihan PBB-P2

Tidak terlaksananya prosedur penagihan di atas berdampak pada jumlah

piutang pajak daerah yang membengkak setiap tahun, serta tidak tercapainya

target penerimaan PBB-P2. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2014

jumlah piutang pajak daerah sebesar Rp87.246.854.835,69 menjadi

Rp101.973.572.261,74 pada tahun 2015 atau terdapat peningkatan jumlah

pendapatan pajak yang belum tertagih sebesar 16,88%. Piutang PBB-P2

merupakan yang terbesar diantara semua jenis pajak daerah, mengalami

peningkatan sebesar 11,72% dari tahun 2014 menjadi Rp85.746.640.626,00 pada

tahun 2015. Selanjutnya berkaitan dengan penyisihan piutang, piutang PBB-P2

Petugas Penagihan Petugas Pengolahan Data Wajib Pajak

Mulai

Meminta daftar tunggakan

Meneliti daftar tunggakan

Menerbitkan dan menyerahkan STP

Menyimpan STP (arsip)

Menerbitkan surat teguran

Memberi daftar tunggakan

Menerima STP

Melakukan penyetoran PBB Memperbarui daftar tunggakan

Menerima surat teguran

Membayar

Tidak Membayar

9

merupakan yang paling banyak disisihkan. Pada tahun 2014 sebesar 53,98%

piutang yang seharusnya dapat ditagih harus disisihkan. Semakin besar penyisihan

piutang PBB-P2 di tahun 2015, yaitu 64,57%. Besarnya dana yang harus

dicadangkan dalam penyisihan piutang tersebut berasal dari penyisihan piutang

dari tahun 1998-2015. Hal tersebut mengindikasikan pembayaran piutang PBB-P2

yang tidak lancar, baik ketika dikelola oleh KPP maupun Dispenda. Dengan target

penerimaan PBB-P2 sebesar Rp 17.000.000.000,- untuk tahun 2014 dan 2015

tidak dapat menutupi besarnya penyisihan piutang tersebut.

Walaupun saldo akhir piutang PBB-P2 tahun 2015 menurun bila

dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp30.378.684.247,00 tidak

menunjukkan adanya perbaikan dalam proses pemungutannya. Selain itu, data

pada laporan keuangan tahun 2015 belum diaudit oleh BPK-RI sehingga masih

memungkinkan terjadinya koreksi. Penurunan tersebut terjadi karena semakin

besarnya piutang yang disisihkan atau piutang yang diperkirakan tidak dapat

ditagih.

Tabel 1.2 Jumlah Piutang Pajak Daerah tahun 2014 dan 2015

(dalam ribuan rupiah)

NO JENIS

PAJAK

PIUTANG PENYISIHAN SALDO AKHIR

2014 2015 % 2014 % 2015 % 2014 2015

1 Hotel

7.767.758 8.773.326 12,95

93.341

1,20

1.287.914 14,68

7.674.416

7.485.411

2 Restoran

2.106.846 3.918.730 86,00

111.066

5,27

627.510 16,01

1.995.780

3.291.220

3 Hiburan

436.069 2.291.117 425,40

-

127.754 5,58

436.069

2.163.363

4 Air Tanah

187.813 1.243.756 562,23

-

21.191 1,70

187.813

1.222.564

5 PBB-P2

76.748.366 85.746.640 11,72 41.429.161

53,98 55.367.956 64,57

35.319.205

30.378.684

JUMLAH 87.246.854 101.973.572 16,88 41.633.569

57.432.327

45.613.285 44.541.244

Sumber : Dispenda Kabupaten X

10

Pengelolaan penerimaan daerah, khususnya PBB-P2 bukanlah hal yang

mudah. Selain sarana dan prasarana penunjang, yang sangat penting untuk

dipersiapkan adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Direktorat

Perimbangan Keuangan, SDM yang dibutuhkan dalam pengelolaan PBB-P2

dikelompokkan ke dalam 6 (enam) fungsi yaitu: 1) Fungsi Pelayanan, 2) Fungsi

Pendataan dan Penilaian, 3) Fungsi Penerimaan, 4) Fungsi manajemen IT, 5)

Fungsi Penagihan, dan 6) Fungsi Pengawasan (Pedoman Umum Pengelolaan

PBB-P2, 2014:13-14). Suryanto (2014), Prasetiyo (2014), dan Santoso (2014)

juga mengungkapkan hal yang serupa bahwa SDM Pengelolaan PBB-P2 belum

disiapkan secara memadai, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Hal ini

berdampak pada kurangnya pemahaman petugas pajak terhadap peraturan

perundang-undangan yang menyebabkan tidak terlaksananya kegiatan

pemungutan piutang PBB-P2.

Dalam Peraturan Bupati X Nomor 67 Tahun 2015 tentang kebijakan

akuntansi pemerintah Kabupaten X, piutang didefinisikan sebagai jumlah uang

yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah

yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian/atau akibat lainnya

berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

Berdasarkan definisi tersebut, maka piutang daerah merupakan sejumlah uang

yang wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan kepada daerah, sehingga daerah

wajib mengupayakan untuk menagihnya.

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) pada Laporan Keuangan Dinas

Pendapatan Kabupaten X tidak menjelaskan secara khusus penyebab dari

11

fenomena meningkatnya saldo piutang PBB-P2. Atas dasar tersebut dan dari

uraian di atas peneliti memandang bahwa permasalahan tersebut perlu untuk

diteliti dengan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pemahaman atas

fenomena yang terjadi secara lebih dalam dengan berfokus pada permasalahan

yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah piutang PBB-P2 yang diawali

dengan tidak dilaksanakannya prosedur pemungutan PBB-P2, terutama tidak

dilaksanakannya proses penagihan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten X. Penelitian ini dilakukan di Dinas

Pendapatan Kabupaten X yang merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang

bertanggung jawab terhadap pengelolaan pajak daerah, khususnya PBB-P2.

1.2 Rumusan Masalah

Pengelolaan piutang pajak daerah yang belum optimal akan berpengaruh

pada kualitas penyajian piutang di neraca. Hal ini mengakibatkan laporan

keuangan pemerintah daerah belum dapat diandalkan dan memengaruhi opini

BPK. Pengalihan PBB-P2 yang tidak disertai data yang valid dan akurat hanya

akan memindahkan masalah ke daerah. Data PBB-P2 yang tidak valid dan akurat

tersebut akan mempengaruhi kualitas penyajian laporan keuangan dan

mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan PBB-P2. Lemahnya peraturan dan

kualitas serta kuantitas sumber daya manusia menyebabkan peraturan yang telah

disusun untuk mendukung proses pengelolaan piutang PBB-P2 tidak terlaksana

dengan baik. Dalam penelitian ini khususnya proses penagihan pajak terutang

belum dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah dan Peraturan

12

Bupati. Dengan melihat fakta yang terjadi, penelitian tentang pengelolaan aset

lancar dalam bentuk piutang pajak daerah perlu dilakukan, khususnya tentang

pengelolaan piutang PBB-P2. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan

pelaksanaan pengelolaan piutang PBB-P2 yang diterapkan oleh Dinas Pendapatan

Kabupaten X.

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi pokok masalah dalam

penelitian ini adalah, “bagaimanakah pengelolaan piutang PBB-P2 di Dinas

Pendapatan Kabupaten X?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap, memahami, dan memaknai

realitas secara mendalam pengelolaan piutang PBB-P2 di Dinas Pendapatan

Kabupaten X ditinjau dari penatausahaan, penagihan, dan penghapusan piutang.

1.4 Manfaat Penelitian.

1) Manfaat praktis/ regulasi

Manajemen Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) khususnya, lebih

memperhatikan program/kegiatan yang sudah dianggap baik. Sistem jemput

bola yang selama ini cukup efektif perlu dilanjutkan dan ditingkatkan, tetapi

membutuhkan dukungan yang lebih kuat dengan informasi/data yang akurat

melalui peningkatan kualitas pendataan. Akurasi data saldo piutang

dibutuhkan karena ternyata dapat menambah keyakinan dan meningkatkan

kesadaran masyarakat. Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah tentang

13

regulasi, kepastian aturan teknis sebagai kelanjutan dari peraturan yang lebih

tinggi penting untuk kepastian mereka melaksanakan tugas, termasuk pula

penerapan reward and punishment yang jelas dan tegas.

2) Manfaat akademik/ teoritis

Penelitian ini dapat menambah bahan referensi bagi para akademisi yang ingin

melakukan penelitian, mengingat penelitian mengenai pengelolaan piutang

PBB-P2 masih relatif sedikit. Secara teoritis, penelitian ini mendukung Theory

of Planned Behavior (TPB) yang dapat dipergunakan untuk memprediksi dan

meramalkan suatu perilaku yang dipengaruhi oleh niat. Dimana secara praktis

akurasi data piutang PBB-P2 dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.

Dengan tersedianya data yang benar masyarakat dapat merencanakan

pembayaran pajaknya, sehingga bisa menentukan niat untuk membayar karena

telah dialokasikan sebelumnya.