Upload
phamdat
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
587
KERETA API SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI MILITER
KOLONIAL BELANDA DALAM PERANG ACEH
(Suatu Kajian Historis dan Ekonomi di Pantai Timur Aceh Tahun 1900-1942)
Drs. Usman, M.Pd dan Drs. Rachmatsyah, M.Pd
Universitas Samudra 2017
Email: [email protected]
Abstrak
Perintisan kereta api Aceh pada tahun 1874 bagian dari usaha penaklukkan wilayah Aceh untuk
menjadi wilayah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Walaupun berbagai reaksi dari gerilyawan Aceh pada
masa-masa awalnya, transportasi kereta api satu-satunya sarana penting di bidang angkutan militer kolonial dan
bersamaan dengan sistem Lini Konsentrasi. Ruang lingkup kegiatan kereta api masih terbatas yaitu Ulee Lheue,
Kutaraja, Lam Nyong, Keutapang dan Indrapuri hingga Seulimuem. Pada tahun 1898, sewaktu Van Heutsz
menjadi Gubernur Militer dan Sipil Aceh jalu rel kereta api diperlebar dari Seulimuem ke Padang Tiji, Sigli
(1900), Lhokseumawe (1901), Idi dan Langsa (1903) sampai Kuala Simpang (19012). Pembukaan dari jalur barat
ke pantai Timur Aceh merupakan bagian dari politik pasifikasi Belanda, selain usaha untuk penaklukkan wilayah
atau penguatan kekuasaan Belanda juga kereta api lebih berfungsi menjadi sarana angkutan hasil perkebunan,
perdagangan dan militer serta transportasi umum bagi masyarakat. Beberapa rumusan masalah yaitu (1)
bagaimana usaha pemerintah kolonial Belanda merintis pembangunan transportasi jalan (rute) kereta api di masa
konsentrasi lini dan pasifikasi di Aceh?, (2) bagaimana peran dan atau fungsi kereta api militer dalam
pengembangan transportasi hasil bumi maupun angkutan umum di bidang ekonomi di masa pemerintah kolonial
Belanda di Aceh (1900-1942)? dan (3) bagaimana dampak dari aktivitas perkeretaapian di Aceh bagi kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat di masa pemerintah kolonial Belanda (1900-1942)?.
Penelitian ini untuk mengkaji peran penting keserta sebagai transportasi militer pada masa kolonial
Belanda (1900-1942) dengan scoup adalah wilayah pantai Timur Aceh (Idi, Langsa, Tamiang dan Pangkalan
Susu). Komponen yang akan dikaji meliputi; (1) kereta api Aceh Tram sebagai sarana transportasi angkutan hasil
perkebunan dan industri, (2) kereta api Aceh Tram sebagai sarana angkutan barang dan penumpang umum, dan
(3) dampak perkembangan kereta api Aceh Tram di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metoda analisis
historis dengan studi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, monomen atau peninggalan sejarah. Juga melalui teknik mewawancara dan studi
kepustakaan atau dokumentasi akan dikaji dan ditafsirkan dengan masalah penelitian.
Secara detail analisis data adakan dilaksanakan beberapa tahapan. Pertama reduksi data merupakan
proses seleksi, pemfokusan, penyederhaaan, abstraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan. Reduksi data
ini akan berlangsung terus selama pelaksanaan penelitian. Kedua sajian data adalah suatu kegiatan untuk
menyajikan data yang diperoleh dalam bentuk cerita yang sistematis, kronologis dan mudah untuk dimengerti
serta dipahami. Ketiga verifikasi/ penarikan simpulan merupakan komponen analisis yang memberikan ekspanasi
secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan.
Hasil penelitian menunjukkan bawa kereta api salah satu dari bagian transportasi darat pada masa
pemerintah kolonial Belanda menjadi transportasi angkutan hasil perkebunan getah, sawit dan angkutan
perdagangan antar kota dan wilayah dengan basisnya adalah sejumlah stasiun-stasiun yang menjadi pusat
bongkar-muat barang dan naik turun penumpang. Di bidang angkutan hasil bumi seperti pada tahun 1939 tercatat
kereta api Aceh Tram mengangkut ekspor minyak sawit yaitu 244.000 ton dan petroleum 4.000 ton, kayu arang
6.000 ton. Barang dagangan pada 1940 menjadi 24.000 ton dan tahun 1941 mencapai 36.000 ton. Sedang
angkutan penumpang pada tahun 1914 sekitar 3.000 orang dan tahun 1926 berkisar 4.378 orang penumpang
umum untuk wilayah Aceh Demikian hal dampak dari kereta api yaitu sudah melahirkan kota-kota perdagangan
baru di pantai Timur Aceh Idi, Langsa dan Kuala Simpang.
Berdasarkan hasil penelitian, diajukan beberapa sarata. Pertama harapkan kepada pemerintah Pusat
dalam rangka menyusun perencanaan transportasi darat, seyogianya tetap memperhatikan faktor tata guna lahan/
jalan yang berkaitan dengan akses jaringan, lokasi/ tempat tujuan perjalanan, distribusi perjalanan penentuan
alternatif moda/ jenis angkutan, pengaturan alternatif rute lalulintas transportasi, dan arus pada jaringan
transportasi. Kedua untuk pemerintah Propinsi Aceh bahwa kereta api bagian dari transportasi darat mampu
mendukung perkembangan ekonomi rakyat Aceh, karena moda/ jenis angkutan ini mampu merangsang
pertumbuhan perdagangan ke arah yang lebih baik dan mampu mensejahterakan penduduk daerah-daerah
terpencil dengan harga terjangkau, bila menggunakan kereta api hendak berpegian antara kota dan propinsi.
Keywords: Kajian Transportasi Kolonial Belanda di Pantai Timur Aceh.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
588
PENDAHULUAN
Perkembangan transportasi kereta api di Aceh bersamaaan dengan usaha
Belanda meluaskan wilayah dan daerah takluknya yang sekaligus merintis transportasi
moderen yaitu kereta api Atjeh Tram sebagai alat logistik perang untuk menaklukkan Aceh
berdasarkan perjanjian Korte Verklaring. Dalam kajian Yati Nurhayati (2014), dikemukakan
bahwa pada masa pemerintahan Belanda, kereta api memiliki peran penting untuk
mengangkut barang maupun orang, dan juga kereta api berkembang sangat pesat. Belanda
bukan saja membangun rel kereta api di Pulau Jawa saja, melainkan di berbagai daerah
lainnya di Indonesia termasuk Aceh. Menurut Kartodirdjo (1978: 687), mengatakan bahwa
rancangan pembangunan jalur kereta api di Aceh (1874) ada hubungannya dengan
didirikannya Naamlooze Venootschap de Netherlandsche Spoorweg Maatschapij (N.V.
NISM), di Batavia dari pencangkulan pertama dibuka jalan rel kereta api oleh Gubernur
Jenderal Belanda Mr. LA. J. Baron Sloet van der Beele di Semarang, Pulau Jawa pada tanggal
17 Juni 1864.
Pembangunan jalur Atjehtram (Atjeh Staats Spoorweg), yaitu setelah mendapat
kosensi atau izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon di Batavia (pulau
Jawa: sekarang Jakarta) mengumumkan rencana pembangunan jalur kereta api dengan lebar
lintasan dari 1.067 mm, pada jalur Ulee Lheue sebagai debarkasi kereta api yang akan
dibangun di laut dengan Kutaraja, yang diprakarsa oleh Gubernur Jenderal J.L.J.H. Pel
dengan pangkat Civiel en Militair Bevelhebber (menggantikan van Swieten) berkuasa di
Aceh (Sufi, 2001: 26 dan Jacob, 1960: 37).
Kereta api Aceh dikenal tempo dulu namanya Atjehtram selama masa periode
1874-1885, hal mana aktivitas sosial ekonomi dan kemasyarakat belumlah nampak
fungsinya. Tetapi kereta api sangat berperan penting dalam kegiatan sarana pengangkutan
militer menjadi perioritas utama sebagai alat perang bagi pemerintah Belanda. Namun kereta
api Deli Spoorweg Maaschappij (DSM) dibawah perusahaan pihak swasta difasilitasikan
sebagai transportasi angkutan hasil perkebunan termbakau di Deli pada tahun 1886.
Demikian halnya dengan kereta api di Pulau Jawa bahwa peran perkeretaapian sebagai alat
pengangkutan hasil bumi (teh dan gula dan tembakau).
Dalam perkembangannya perkeretaapian Aceh sekitar tahun 1886-1900, di masa
Gubernur Jenderal Van Huetz, ditandai oleh kegiatan pembangunan jalur sambungan dari
Kutaraja ke Indrapuri, dan untuk kelancaran rute atau jalan rel Aceh Besar dan Seulimuem.
Rel sambungan dari Lembah Seulawah ke Pidie, Gubernur Aceh Van Huetz terus
membangun jalan rel kereta api ke pantai Utara dan Timur Aceh (Idi, Langsa dan Tamiang).
Dalam masa ini juga, aktivitas gerilyawan Mujahidin masih sering mengganggu atau
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
589
membongkar sepur kereta api disepanjang rel-rel. Seperti tercatat 1903 di Keuereutoe Lhok
Sukon oleh gerakan Chik di Tunong Aceh Utara (Sou’yb, 1962: 10). Tetapi peran penting
Atjeh Tram, masih tetap sebagai alat angkutan amunisi dan militer, dalam upaya penyatuan
wilayah dibawah kekuasaan Belanda dan angkutan komoditas hasil perkebunan rakyat di
pantai Timur Aceh (lada, beras, dan arang) dan bersamaan dengan pelaksanaan pasifikasi
untuk mensejahterakan rakyat Aceh di bidang perekonomian.
Dengan dibangunnya jalur transportasi kereta di Aceh, tentu sudah membuka
babak baru yang dikenal adalah “Politik Pasifikasi” (perdamaian Aceh). Fungsi kereta api
selain angkutan logistik perang Belanda, juga dapat dijadikan sarana angkutan hasil
perkebunan dan transportasi umum untuk masyarakat untuk pemulihan keamanan dan
percepatan ekonomi rakyat Aceh (Langsa, 2014: 180). Dengan meningkatnya ekspor hasil
perkebunan pantai Timur Aceh yang dipasarkan ke Eropa, dan telah mendorong laju
percepatan jaringan kereta api yang menghubungkan antara daerah-daerah perkebunan di
pantai Timur Aceh-Sumatera (Kartodirdjo, 1978: 687).
Selain itu, tidak hanya hasil perkebunan tetapi produksi minyak sawit dan
pertanian pada dua dasawarsa di pantai Timur Aceh (Idi, Peureulak, Langsa dan Tamiang),
juga masih memperoleh keuntungan untuk pemerintah kolonial Belanda dan mengalami
peningkatan yang signifikan. Hal ini juga sebagaimana dikemukakan oleh Ismail (1989: 18)
bahwa pada tahun 1939 karet mencapai 15,634596 ton, minyak 13,052,009 ton serta kelapa
sawit 2,626,950 ton diangkut dengan kereta api ke Sumatera Timur. Selama dua puluh tahun
(1922-1942) adalah masa kejayaan kereta api di Aceh dengan Deli trans Sumatera.
Perusahaan kereta api Aceh (Atjehram) berada dibawah koordinasi Straat Spoort (SS)
berpusat di Bandung dikelola sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda (Hasjim, 2015: 72).
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
590
PEMBAHASAN
A. Kereta api Aceh Tram sebagai sarana Transportasi Angkutan Hasil Perkebunan
dan Industri
Berdasarkan sumber data penelitian bahwa Pasca tertawannya sultan
Muhammad Daudsyah 1903, Gubernur Aceh van Heutsz berhasil merangkul para uleebalang
untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah Belanda di bidang transportasi kereta api
sebagai sarana angkutan hasil bumi Aceh untuk kepentingan pemerintah kolonial, disamping
itu juga difungsikan alat penyatuan kekuasaan maupun kekuasaan politik dan daerah
takluknya. Sekalipun kereta api masih digunakan sarana vital di bidang angkutan militer,
tetapi sudah dibuka untuk umum dan sarana transportasi Angkutan Hasil Perkebunan dan
Industri.
Bersamaan dengan sudah lancar jalan atau rute kereta api di pantai Timur Aceh
pada tahun 1910, di sisi lainnya Pemerintah Belanda juga memusatkan perhatian untuk
membuka lokasi perkebunan karet dan kelapa sawit di daerah pantai Timur Aceh dan tumbuh
berdampingan dengan tanaman perkebunan tradisional rakyat. Peran angkutan transportasi
kereta api di wilayah pantai Timur Aceh berpeluang besar terutama hasil perkebunan rakyat
yaitu lada, pala dan cengkeh. Mula-mula kereta api Aceh Tram memuat hasil perkebunan
rakyat dari pusat stasiun Idi, kemudian diangkut ke stasiun pelabuhan Lhokseumawe untuk
dkirik ke luar negeri (Eropa). Hasil kajian dari Nazaruddin Syamsuddin (1999: 21)
dikemukakan bahwa kereta api Aceh Tram di pantai Timur Aceh menjadi sarana angkutan
hasil perkebunan rakyat, seperti lada, yang merupakan komoditi tradisional bagi rakyat Aceh
yang pernah jaya dahulu, pada tahun 1918 sebesar 4.000 ton mendekati 2.700 ton, pada tahun
1921 dan tahun 1937 sekitar 990 ton, di ekspor ke luar negeri. Di samping hasil perkebunan
tradisional rakyat, transpostasi kereta api Aceh Tram mengangkut pula hasil perkebunan
modern (getah dan sawit) serta hasil industri seperti minyak dan arang.
Gambar: 12. Transportasi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS) Tahun 1912-1939
Sumber: Meuseum Aceh dan Photo Koleksi Peneliti (2017). Kereta api Aceh Tram sebagai
angkutan hasil perkebunan (getah, sawit, lada), industri (minyak bumi/petroleum
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
591
dan arang) pertanian (beras dan pinang, kayu, kopra). Pusat pelaksanaan
manajemen komoditi perkebunan untuk mendistribusikan hasilnya yaitu pada
kantor pusat administrasi perkebunan swasta kolonial Belanda “Het
Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel Maatschappij Te Langsa 1912-1939”,
terletak di kota Langsa (sekarang Balai Juang/Kantor Perencanaan),
berdampingan dengan stasiun kereta api Langsa dan kantor itu pusat dari segala
aktivitas hasil perkebunan getah dan sawit berasal dari wilayah Simpang Ulim,
Idi, Peureulak sampai ke Tamiang di bawah koordinasi Kebun Lama dan Baru.
Selain pusat pendistribusian dari Kota langsa, ada gudang-gudang kecil lainnya
untuk penyimpanan karet/ getak di pantai Timur Aceh yaitu di Bukit Tinggi
Tualang Cut (Lhok Medang Ara), yang terletak di belakang SMAN Unggul
Tualang Cut-Tamiang. Gudang ini berdekatan dengan hatle kereta api Bukit
Tinggi dan pusat langsir barang-barang dari Matang Ara Jawa, Paya Keutenggar,
dan Manyak Payet pada masa kolonial Belanda (1900-1942). Di gudang ini
menyimpang karet/ getah juga tempat pembuat latek, yang diangkut oleh kereta
api ke Pangkalan Susu yang dikapalkan dan dikirim ke Eropah. Ada juga melalui
pelabuhan Langsa Bay.
Berdasarkan hasil kajian selama penelitian bahwa terutama angkutan
transportasi hasil perkebunan tradisional rakyat, serta perkebunan modern. Kereta api
angkutan getah dimuat dalam jumlah set atau bal masing-masing beratnya 3 kg dan 150-200
kg. Getah tersebut, yang diambil dari kebun baru wilyahnya mencakup; Geudubang Aceh,
Sidodadi, Bukit Tiga di bawah kontrol Aleu Canang dan Aleu Buloih. Kantor pusat
administrasi perkebunan swasta kolonial Belanda terletak di kota Langsa (sekarang Balai
Juang/Kantor Perencanaan), dan kantor itu pusat dari segala aktivitas hasil perkebunan getak
dan sawit berasal dari wilayah Simpang Ulim, Idi, Peureulak sampai ke Tamiang di b. awah
koordinasi Kebun Lama dan Baru (Wawancara dengan Usman Hamid, 25 September 2017).
Berkisar dari hasil tanaman perkebunan modern yang diangkut dengan kereta
api Aceh Tram milik militer pemerintah kolonial Belanda, yaitu sejak tahun 1920 sudah
dibuka 25 perusahaan untuk menanam sawit di Deli Sumatera Timur, dan 8 di pantai Timur
Aceh (Tamiang, Langsa, Idi dan Simpang Ulim. Pada tahun 1939 tercatat 66 perkebunan
dengan luas areal 100.000 hektar. Dari sejumlah perusahaan tersebut sudah menghasilkan
ekspor minyak sawit Aceh dan Deli yaitu 1.000 ton (1920); 50.000 ton (1930) dan 244.000
ton (1939). Tidak hanya kereta api membawa minyak kelapa sawit, juga mengangkut hasil
tanaman teh yang mampu memproduksi hasilnya adalah 48.000 ton tahun 1920, 72.000 ton
tahun 1930 dan 83.000 ton tahun 1939 (Abdul Ghani, 2016: 29). Di samping itu kereta api
Aceh, juga berfungsi mengangkut hasil indusri minyak bumi dan kayu, serta arang.
Diantaranya petroleum 4.000 ton, kayu 11.000 ton, dan kayu arang 6.000 ton Caspersz, 1927:
36).
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
592
B. Kereta Api Aceh Tram sebagai sarana Angkutan Barang dan Penumpang Umum
Hasil penelitian fungsi kereta api Aceh Tram, dibawah koordinasi zeni militer di
bidang angkutan barang dan penumpang umum, dalam rangka percepatan pertumbuhan
ekonomi rakyat dan bersamaan dengan pelaksanaan politik pasifikasi (percepatan
perdamaian dan keamanan Aceh), pemerintah kolonial Belanda membangun proyek irigasi
pertanian diperuntukkan seluas 140.000 hektar sawah dan 6.000 hektar huma, yang
kesemuanya menghasilkan 216.000 ton beras. Diantara 2.000 ton beras dikirim ke Sumatera
Timur (Deli) dengan menggunakan transportasi kereta api Atjehtram, yang diambil dari
Pidie, Aceh Utara, Gayo Lues dan Aceh Timur. Pada tahun 1940 menjadi 24.000 ton dan
tahun 1941 mencapai 36.000 ton (Syamsuddin, 1999: 21). Adapun angkutan barang lainnya
yang diangkut dengan kereta api Aceh Tram yaitu biji pinang 12.000 ton, kopra 3.000 ton,
ternak 3.000 ton, gula 2.000 ton, dan lada 2.000 ton (Sufi, 2001: 30).
Gambar: 13. Kereta Api Angkutan Barang dan Penumpang (1900-1942)
Sumber: Pustaka Kuala Simpang dan Meseum Aceh (10 September 2017). Gerbong kereta
api di wilayah pantai Timur Aceh terdiri gerbong barang dan gerbong penumpang
umum yang sedang memuat barang-barang dan angkutan penumpang untuk
melakukan perjalanan, dan salah seorang machines lokomotif (berdiri di tengah
jalan rel kereta api dan berpakaian putih serta memakai topi.
Di samping sarana angkutan barang, kereta api Aceh Tram berfungsi sebagai
sarana angkutan para penumpang umum. Data hasil penelitian diperoleh bahwa sebagai
sarana angkutan penumpang pada tahun 1914 mengangkut sekitar 3.000 orang penumpang.
Sedangkan pada tahun 1926, kereta api Aceh Tram mengangkut sejumlah 4.378 orang
penumpang umum untuk wilayah Aceh (Syamsuddin, 1999: 20). Mengenai aturan dalam
perjalanan kereta api angkutan umum ditentukan oleh gubernur militer dan sipil Aceh dan
daerah takluknya. Di pantai Timur Aceh untuk lintas pelabuhan Langsa-Kuala langsa
berlangsung dengan 4 kereta api pulang pergi. Dari Langsa menuju Kuala Simpang orang
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
593
bisa menempuh dengan kereta api kira-kira ½ jam dengan kereta api cepat selama lima belas
menit. Penumpang pada jalur ini bisa lima kali berangkat dan pergi (Sufi, 2001: 27).
Untuk setiap penumpang bila naik kereta api berkewajiban memperoleh karcis
dari stasiun yang hendak berangkat. Tiap-tiap penumpang yang berangkat dari sesuatu
tempat menjual karcis, yaitu stasiun ada dijual karcis dan berkewajiban sebelum ia menaiki
kereta api (trein), membeli karcis di loket, karcis mana yang laku buat penumpang yang akan
dijalaninya, klass yang akan didudukinya dan kereta api yang akan diberangkatnya. Bila
penumpang naik pada stasiun yang tidak dijula karcis, hendaklah membeli karcis itu dalam
kereta api pada kondektur.
Gambar: 14. Model Karcis Treim zaman Hindia Belanda tahunn 1930.
Sumber: Wetseb Elektronic, 11 September 2017. Karcis penumpang bila naik kereta api antar
kota dan daerah ada model kelas I, III dan III. Kalau seseorang penumpang yang
tidak mempunyai karcis yang laku, untuk menaiki kereta api pada suatu tempat
mennjual karcis, maka hendaklah ia membanyar harga vracht (muatan) mulai dari
stasiun dimana ia menaiki kereta api itu hingga pada tempat yang ditujukannya,
ditambah lagi dengan f 0 25 buat kelas tiga dan “Kelas 3 Bumiputra”. Kalau
penumpang itu waktu naik lekas dengan kemauan sendiri memberikan tahukan
kepada kondektur, bahwa ia tidak mempunyai karcis yang laku, maka banyaklah
tambahan itu hanya f 0.25 dan f 0.10 (Den, 1931: 4).
Untuk lintas pelabuhan Langsa-Kuala Langsa, sesuai dengan keadaan bahwa
penduduk yang tinggal disekitar Kuala Langsa bekerja di Langsa, maka berlaku tarif khusus
yang rendah bagi mereka. Sedangkan tarif barang dikenakan bagi barang-barang yang
pengirimannya dihitung berdasarkan daya muat di dalam gerbong maupun barang-barang
yang ongkos pengangkutannya dihitung berdasarkan jumlah barang. Dasar tarif untuk
angkutan barang terbatas untuk daya muat 4 ton, Sebagai tarif minimum ditetapkan £ 3,;
untuk jarak angkutan minimal 13 km, £ 15 28,- untuk 60 km, £ 21,- untuk 100 km, £ 25 untuk
150 km, £ 27,- untuk 200 km, £ 28,- untuk 225 km (Sufi, 2001: 28).
Sementara di dalam penelitian Van Den diterangkan tarif Aceh-Deli seperti
halnya lintas Langsa-Kuala Simpang tarif angkutan £ 11,35 sen untuk klas II. Untuk lintas
Langsa-Besitang tarifnya £ 2,16 sen, dan lintas Langsa-Pangkalan Susu £ 11,27 sen.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
594
Sedangkan lintas Deli-Pangkalan Brandan-Tanjung Pura masing-masing adalah £ 11,5 sen
dan £ 10,34 sen (van Den, 1931: 20).
Angkutan kereta api Aceh Tram antara tahun 1920-1942, menjadi transportasi
primadona baik angkutan umum maupun jasa lainnya. Selain angkutan penumpang umum/
sipil, sarana kereta api tidak terbatas pada angkutan hasil bumi dan umum hanya hanya untuk
angkutan militer dan kepentingan politik kolonial Belanda. Seperti di masa Gubernur
Sipil/Militer H.N.A. Swaart tetap memfungsikan kereta api sarana transportasi pemerintah
dan umum di bawah koordinasi Dinas Zeni militer Belanda. Sebagai alat kekuasaan bahwa
peran penting kereta api sarana angkutan pasukan militer yang ditempatkan diseluruh Aceh
sampai perbatasan Deli. Sebanyak 154 perwira dan 4.359 tentara bawahan yang diangkut
dengan kereta api dan ditempat pada setiap korps-korps departemen penerangan militer pada
tahun 1918. Terutama di antara wilayah-wilayah pantai utara dan pantai timur Aceh dengan
rute yang dilalui kereta api ditempat 14 pos (bivak) dan diperkuat kekuatan militer yaitu 54
perwira tinggi dan 1.408 serdadu/prajurit bawahan ditempatkan di Aceh. Sedangkan untuk
100 orang perwira dan 2.951 prajurit bawahan tersebut memperkuat wilayah pantai barat,
selatan dan pedalaman Aceh (Bakar, 1979:12-13).
C. Dampak Perkembangan Kereta Api Aceh Tram di Masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pembangunan rute kereta api di pantai Timur
Aceh bersamaan dengan perkembangan perkebunan dan perusahaan milik swasta kolonial
Belanda di Tamiang, Langsa, Idi dan Simpang Ulim tahun 1910. Kereta api sebagai alat
transportasi darat telah mendorong perkembangan ekonomi dari pola tradisional berubahan
menjadi transportasi modern di bidang angkutan hasil bumi di pantai Timur Aceh. Lintasan
re kereta api yang dibangun sepanjang 210 km di daeran ini untuk memperlancar distribusi
hasil perkebunan dan perusahaan dari pedalaman dengan Langsa Bay sebagai pusat
perdagangan internasional ekspor ke luar negeri. Menurut kajian Langsa (2014: 180)
dikemukakan bahwa “pemberdayaan ekonmi masyarakat Langsa melalui pembangunan
modernisasi bagi infrastruktur perkeretaapinan dan pelabuhan untuk kepentingan kolonial
dengan program Langsa Bay, membuka investasi yang seluas-luasnya dibidang perkebunan
karet khususnya untuk investor swasta Eropa”
Penanaman modal swasta asing dan pembangunan jaringan jalan kereta api
tersebut di pantai Timur Aceh, tentunya akan membawa dampak yang sangat mendasar pada
pola modernisasi pemukiman kota, dan program itu beriringan dengan pelaksanaan politik
pasifikasi tujuannya adalah untuk percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh. Terutama
dari kalangan para uleebalang, pedagang, pejabat pemerintah kolonial Belanda dan semua
orang kecuali para nelayan yang tinggal di pesisir pantai, mulai bangkit membuka lahan-
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
595
lahan baru dan perdagangan ala modern antara kota di pantai Timur Aceh. Di samping itu
telah mendorong terjadinya perpindahan penduduk yang pada mulanya bermukim di dekat
ke kota-kota strategis yang terletak sekitar di rute atau jalan kereta api dan sudah membaur
antara masyarakat dari luar Aceh dengan penduduk asli yang berada di kota-kota
perdagangan. Juga lahir pemukiman baru seperti di kota langsa muncul perkampungan etnis
jawa yaitu Gampong Kebun Lama dan Kebun Baru (Wawancara Usman Hamid, 25
September 2017). Proses urbanisasi (perpindahan penduduk) sebagai akibat kemajuan
transportasi rute kereta api, dan dampak perpindahan penduduk dari desa ke kota dan
transmigrasi dari luar Aceh. Proses ini melahirkan kota-kota perdagangan baru di pantai
Timur Aceh. Kota-kota perdagangan yang ada sebelum pembukaan rute atau jalan rel kereta
api mulai berubah dan pindah ke tempar sekitar jalan yang dilalui kereta api. Etnis dari luar
Aceh dari Pulai Jawa dan Sumatera Barat membangun pemukiman baru di Kuala Simpang
ada gampong perdamaian, dan di Idi ada gampong Jawa.
Dampak lainnya di bidang infrastruktur dengan adanya pembangunan jalan
kereta api sudah mempermudah angkutan hasil perkebunan di Medang Ara, Sungai Yu,
Sungai Liput, Langsa dan Idi sampai Simpang Ulim. Sehingga wilayah ini menjadi
perkebunan besar yang berperan penting sebagai pusat transportasi kereta api Aceh Tram,
sehingga perusahaan Atjeh Staats Spoorwegen(ASS) sebagai satu-satunya perusahaan
transportasi pada waktu itu berkembang cepat menjadi jaringan kereta api perdagangan Aceh
yang menghubungan dengan Deli dalam sektor perkonomian pemerintah di Hindia Belanda.
Selain itu juga membawa dampak dalam aspek sosial yaitu masyarakat mengenal sistem
manajemen perusahaan kereta api, machines, kondektur, kerani dan kuli (buruh) yang bekerja
pada perusahaan perkeretaapian. Bahkan hilangnya pekerjaan kerajian masyarakat di bidang
transportasi tradisonal rakyat (rakit dan jembatan kayu serta angkutan kuda) beralih ke sistem
yang lebih maju dan modern dengan menggunakan jalur angkutan darat melalui transportasi
kereta api yang berjalan di atas jalan baja.
Akibat dari bebasnya jalur kereta api Aceh sampai ke Deli membawa dampak
buruk kepada pemerintah kolonial Belanda sendiri yaitu masuknya pengaruh pergerakan
kebangsaan dari Pulau Jawa dan sekaligus bangkitnya gerakan “Persatuan Ulama Seluruh
Aceh” (PUSA) pada tahun 1939, yang anti terhadap pemerintah Belanda dan melakukan
perlawanan. Pihak PUSA dan pemuda PUSA di pantai Timur Aceh bersama rakyat Aceh dan
organisasi Syarikat Islam (SI) cabang Idi, Langsa dan Kuala Simpang pada tahun 1942,
melakukan pemberontak terhadap pemerintah Belanda dan serdadu-serdadunya dari Groot
Aceh (Aceh Besar) dan Aceh utara dengan jalan melakukan pembunuhan terhadap Kepala
Exploitasi ASS (Atjeh Staats Spoorwegen/ Kepala Kereta Api Negara Aceh) di Kutaraja,
Controleur di wilayah Seulimuem dan Asisten Residen di Sigli (Ismuha, 1969: 36). Pejabat
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
596
Belanda meninggalkan Aceh dan Deli, sementara kereta api beralih ke tangan rakyat dan
dijadikan sarana angkutan umum dan bekerjasama dengan pendudukan Jepang.
PENUTUP
Pembangunan rute atau jalan rel kerta api di Aceh bersamaan dengan perluasan
kekuasaan dan daerah takluknya oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1874, di masa
Gubernur Aceh Pel yang berawal dari Ulee Lheue-Kutaraja. Perintisan untuk kepentingan
pengiriman militer Belanda ke kantong-kantong gerilyawan dengan membentuk Konsentrasi
Lini, tujuannya adalah untuk menahan aksi penyerangan dari kelompok Chik Di Tiro sampai
1897. Dalam rangka mengejar kelompok gerilyawan di seluruh Aceh, sejak tahun 1900 pada
masa Gubernur Aceh Van Heutsz menggagaskan rute atau jalan rel kereta api sejalan dengan
pelaksanaan politik pasiifikasi (percepatan keamanan dan pertumbuhan ekonomi rakyat)
sampai ke pantai Timur Aceh.
Van Heutsz sesudah memaksa para uleebalang dengan Korte Verklarig
(perjanjian singkat), baru membangun jalan kereta api mulai dari Sigli, Lhokseumawe, Idi,
Langsa sampai berhasil menawan sultan Aceh Muhammad Daud Syah tahun 1903. Jalan
kereta api dibangun bersamaan dengan pembangunan stasiun, hatle dan jembatan serta
pelabuhan pantai yang fungsinya untuk memperlancar lalulintas militer, pengusaha asing
guna membuka perkebunan-perkebunan besar, dan juga dibuka untuk umum di pantai Timur
Aceh, yang diresmikan 29 Desember 1919.
Peranan penting perkeretaapian Aceh Tram di pantai Timur Aceh disamping
kepentingan poliitik dan militer, kereta api diperuntukkan pula sebagai sarana angkutan hasil
perkebunan rakyat, hasil tanaman modern (getah dan sawit), industri (pretroleum), kayu,
arang dan hasil pertanian beras, kopra, dan kopi. Segala hasil produksi perkebunan, industri
dan pertanian dari stasiun-stasiun besar, dan hatle di pantai Timur Aceh diangkut ke
pelabuhan Kuala Langsa, dan Pangkalan Susu dan selanjutnya diekspor ke luar negeri untuk
mengisi kas pemerintah Hindia Belanda, yang berlandaskan kepada kepentingan kolonial dan
modus tujuan politik pasifikasi untuk percepatan ekonomi rakyat Aceh.
Di samping itu, juga lancarnya lalulinitas transportasi kereta api dan sudah
membawa perubahan besar di kalangan masyarakat Aceh, yaitu berdampak pola transportasi
transional menjadi modern, berkembangannya kota-kota strategis dalam kegaiatan
perdagangan, munculnya pemukiman baru serta bangkit gerakan anti pemerintah kolonial
Belanda dibawah pimpinan PUSA tahun 1939, sehingga Belanda pada tahun 1942
meninggalkan Aceh dan seluruh Kepulauan Indonesia, setelah itu dikuasai oleh Jepang
(keluar aning masuk babi).
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
597
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo, 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anon, 1978. Kereta api Indonesia, Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Bakar, Aboe. 1979, Arsip. Memori Umum Daerah Aceh oleh Gubernur H.N.A. Swart dan
Memori Serah terima jabatan Gubernur A.H. Philips. Banda Aceh: PDIA.
Broersma, R,. 1925. Atjeh Als Voor Handel en Berdrijf. Utrecht-Gebrs. Cohen.
Seminar Nasional Masa Depan Perkeretaapian di Indonesia. Universitas Soegijopranoto,
Semarang, 17 Februari 2004.
Depdikbud, 1977/1978. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh:
Proyek Penelitian dan pencatatan Kebudayaan Daerah.
Direktorat Perkeretaapian (2008), Kinerja Perkeretaapian 2003-2007. Jakarta: Direktorat
Perkeretaapian Departemen Perhubungan.
Gade Ismail, Muhammad, 1989. The Sosio-Economic Foyntions of Late Colonial in
Indonesia,1880-1930: towards an explanation and The Economic Position of the
Uleebalang in the Late Colonial State Aceh (East Aceh, 1900- 1942). Netherlans:
Institute for Advanced Study Wassenaar.
Gani, Muhammad. 1978. Kereta Api Indonesia. Jakarta: Departemen Penerangan Republik
Indonesia.
Gottschalk, Louis, 1975. Mengerti Sejarah. UI
Hasjim, Ibrahim, 2015. Merajuk Kejayaan Idi Rayeuk: Idi Lon Sayang: Bintang Satu Media.
Hidayat, H. & Rachmadi, 2001. Rekayasa Jalan Rel. Catatan Kuliah. Penerbit ITB. Bandung.
Jan, Bremen. 1997. Menjinakan sang Kuli: Politik kolonial pada awal abad ke-20, Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti
Jakub, Ismail. 1960. Teungku Tjhik Di Tiro (Muhammad Saman) Pahlawan Besar Dalam
perang Atjeh (1881-1891). Djakarta: Bulan Bintang.
Kereta Api Indonesia, 1978. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Lexy Moleong, 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Lubis, Harun Al Rasyid (2002). Studi Mobilisasi Sumber Daya dalam Pengembangan
Perkeretaapian Indonesia. Bandung: PT KAI.
Miles, M.B dan Huberman, A.M, 1992. Qualitative Data Analisys, a.b. Tjejep Rohendi R,
Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Morlok, E.K. 1988. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. (alih bahasa : Ir. John
Kelana Putra Hainim). Erlangga. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
598
Mulyana, Wdy, 2008. Menekan Kembali Saudagar Aceh. Banda Aceh: Badan Arsip dan
Perpustakaan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Nurhayati, Yati, 2014. Sejarah Kereta Api Indonesia. Bandung: CV. Sahabat.
Rani, Muhammad, 1978. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Departemen Penerangan
Republik Indonesia.
Said, Muhammad. 1995. Aceh Sepanjang Abad, Medan: PT. Percetakan Prakarsa Abadi
Press.
Sekda Kota Langsa, 2014. Menelusuri Jejak Sejarah Langsa. Langsa: Pememrintah Kota
Langsa.
Setijowamo, D, Mengembangkan Kereta Api Wisata, Dinamika Transportasi, Penerbitan
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 2000
Subarkah, Imam. 1981. Jalan Kereta api. Bandung : Idhea Darma.
Sufi, Rusdi, dkk, 2001. Sejarah Perkeretaapian di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional.
Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sou’yb, Joesoef. 1962. Dipinggir Krueng Sampojnit, Medan: CV. Pustaka Aida.
Surakhmad, Winarno. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik. Bandung:
Tarsito.
Sutopo, HB, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar teori dan terapannya dalam
Penelitian). Surabaya: UNS Presss.
Thamrin Z, H.M, 2003. Aceh Melawan Penjajahan Belanda. Banda Aceh: CV. Wahana
Tim Telaga Bakti Bekerja sama dengan APKA, Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I.
Gubernur Jenderal J.L.J.H. Pel Bandung : Angkasa, 1997.
Tri Utomo, Suryo Hapsoro. jalan rel, (Yogyakarta: beta offset : 2008).
Usman, A. Rani, 2009. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan 0bor Indonesia
Van Heurn, JHR. Frans Cornelis, 1931. De Gronden van Het Cultuurgebied van Sumatra’s
Oostkust en Hunne Vruchtbaarheid Voor Cultuurgewassen. Amsterdam: J.H.
de Bussy.
Veer, Paul van't, 1969. De Atjeh-Oor log. Amsterdam: Uitgeverij De Arbeiderspres.
Widjijanto, Yudi Prasetyo. 1989. Jurnal. Perkembangan Transportasi Kereta Api di
Perkebunan Deli (Sumatera Utara) Tahun 1880-1891.Surabaya: STKIP
Sidoarjo.