Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ABSTRAK
KRITIK ATAS PRINSIP OBJEKTIVITAS DALAM KODE ETIK AKUNTAN MENURUT
PEMIKIRAN MARTIN LUTHER
Oleh:
Ananta Dian Pratiwi
125020300111010
Dosen Pembimbing:
Dr. Aji Dedi Mulawarman
Kode Etik Akuntan memuat prinsip-prinsip etika yang harus dimiliki oleh seorang akuntan. Aturan
ini dibuat untuk mencegah terjadinya kecurangan dan membantu akuntan untuk menjalankan tanggung
jawabnya dengan profesional. Nyatanya, prinsip objektivitas sebagai salah satu prinsip etika membuka
celah untuk terjadinya kecurangan. Prinsip ini mencoba menghilangkan subjektivitas yang pada
hakikatnya tak dapat dipisahkan dalam diri manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kritik atas
objektivitas dalam praktik akuntansi dan mengusulkan definisi baru atas prinsip objektivitas dalam Kode
Etik Akuntan. Melalui teori etika subjektivitas religius yang tercermin dalam pemikiran Martin Luther,
penelitian ini menelaah kegagalan objektivitas dalam praktik rotasi audit, perencanaan perpajakan, dan
penyajian laporan keuangan. Hasil penelitian menujukkan bahwa subjektivitas tetap ada dalam diri
manusia dan objektivitas membuka celah untuk kepentingan subjektif. Subjektivitas religius
mengarahkan subjektivitas dalam diri manusia untuk sepadan dengan kehendak Allah. Subjektivitas
religius memberikan ruang bagi objektivitas dan subjektivitas untuk berjalan beriringan dalam
pengambilan keputusan akuntan.
Kata kunci: Objektivitas, subjektivitas, subjektivitas religius, Martin Luther, Kode Etik
Akuntan
2
ABSTRACT
CRITICISM ON OBJECTIVITY PRINCIPLE IN ETHICAL CODE OF ACCOUNTANT
ACCORDING TO THE THOUGHT OF MARTIN LUTHER
By:
Ananta Dian Pratiwi
125020300111010
Advisor Lecturer:
Dr. Aji Dedi Mulawarman
Ethical Code of Accountant consists of ethical principles that must be owned by accountants. This
rule is designed to prevent fraud and help accountants do their responsibilities professionally. In fact, this
objectivity principle, as one of the ethical principles, opens loopholes for fraud. This principle tries to
eliminate the subjectivity that essentially cannot be detached from the selves of human beings. This study
aims to criticize the objectivity in accounting practices and propose a new definition of objectivity
principle in the Ethical Code of Accountants. Through ethical theory of religious subjectivity reflected in
Martin Luther’s thoughts, this study examines the failure of objectivity in the practice of audit rotation,
tax planning, and presentation of financial statements. The results show that subjectivity remains in man,
and objectivity opens the loopholes for subjective interests. Religious subjectivity leads subjectivity
embedded in human to level the will of God. Religious subjectivity makes room for objectivity and
subjectivity to go hand in hand in the process of decision making made by accountant.
Keywords: objectivity, subjectivity, religious subjectivity, Martin Luther, ethical Code of
accountant
PENDAHULUAN
Akuntan dituntut untuk memiliki
sikap objektif. Objektivitas menjadi salah
satu prinsip etika akuntan seperti yang
tertulis dalam Kode Etik Profesi Akuntan
Publik Seksi 100. Sikap objektif ditunjukkan
dengan mampu memberikan bukti nyata atas
sebuah hasil atau tindakan yang dilakukan,
mengikuti setiap aturan yang berlaku, dan
tidak membiarkan subjektivitas atau
benturan kepentingan dalam pengambilan
keputusan (Sari, 2011:43; Sawyer,
Dittenhofer, dan Scheiner, 2006:103; IAPI,
2008). Ada sebuah usaha untuk
menghilangkan subjektivitas dalam diri
akuntan. Namun nyatanya, subjektivitas
tetap terjadi dan tidak bisa dihilangkan.
Sebagai contoh, akuntan menggunakan
professional judgement dalam menentukan
metode mana yang dianggap terbaik dan
sesuai dengan kondisi organisasinya karena
IFRS (International Financial Reporting
Standard) yang bersifat principle based
(Martani, 2011). Namun, kondisi ini
dimanfaatkan untuk melakukan manajemen
laba yang tidak dipandang sebagai sebuah
kecurangan karena masih berada dalam
koridor standar akuntansi (Schroeder dan
Clark, 1998: 248). Sebuah usaha “baik”
untuk menutupi kepentingan subjektif di
balik peraturan yang objektif.
Nyatanya, subjektivitas tetap terjadi
dan menjadi negatif karena adanya usaha
untuk melegalkan itu melalui perlindungan
3
objektivitas. Akuntan menghadapi kondisi
dilematis. Di satu sisi ia harus memenuhi
kode etik untuk bersikap objektif. Di sisi
lain, sikap objektif membawanya pada
keadaan dimana segala sesuatunya salah tapi
sah-sah saja selama sesuai standar. Bersikap
objektif adalah pilihan agar akuntan
‘dianggap’ beretika. Akhirnya, akuntan
merasionalisasi setiap tindakannya sehingga
melupakan apa yang ada dalam hati
nuraninya.
Kritik terhadap objektivitas
disampaikan oleh Reiter (1997) dengan
memberikan paradigma baru melalui ethics
of care yang bernilai subjektif. Etika ini
menekankan pada berpikir induktif,
tanggung jawab dan hubungan antar
manusia. Reiter mengkritik ethics of right
selama ini yang menekankan objektivitas
dan otonomi menyebabkan pemisahan
hubungan dalam masyarakat sehingga
menjadi pribadi yang memikirkan diri
sendiri. Sayangnya, paradigma yang
diberikan Reiter masih terjebak dalam
dikotomi nilai objektivitas-subjektivitas dan
maskulin-feminin. Jika prinsip objektivitas
dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik
berusaha menghilangkan subjektivitas, maka
model etika berusaha untuk menghilangkan
unsur objektivitas.
Bagaimana sifat aturan tertinggi
dalam hidup manusia yaitu aturan Allah?
Allah adalah pribadi yang kasih dan adil
sehingga tercermin dalam aturannya yang
objektif dan subjektif. Keadilan Tuhan
dengan teguran merupakan wujud
objektivitas, sementara pengampunan adalah
perwujudan kasihNya pada kita. Aturan
Allah adalah aturan tertinggi dalam
kehidupan manusia tetapi seringkali
dinomorduakan karena aturan dunia lebih
penting dan sebuah kewajiban yang harus
diikuti. Aturan Allah saja memiliki
objektivitas dan subjektivitas, lalu mengapa
aturan akuntan berusaha menghilangkan
subjektivitas? Inilah yang menjadi
kegagalan akuntan karena bersikap terlalu
objektif sehingga melupakan nilai-nilai yang
dipercaya dan kata hati nuraninya. Akuntan
menjadi terpisah dengan Allah dan
sesamanya. Objektivitas dan subjektivitas
adalah nilai yang harus berjalan bersama
dalam diri akuntan. Tetapi perlu diingat
bahwa subjektivitas yang dimiliki harus
dilandasi aturan Allah agar tidak mengarah
pada sikap egois dan materialistis.
Kesadaran akan kedaulatan aturan
Allah yang membantu Luther dalam
menghadapi dilema objektivitas dan
subjektivitas saat mengkritik penjualan
indulgensia (surat pengakuan dosa).
Kepentingan objektif Luther terletak pada
kewajibannya sebagai seorang mahaguru
untuk menafsirkan kitab sesuai dengan apa
yang diperintahkan dan diinginkan oleh
penguasa saat itu (Gerrish, 1993:42).
Sementara, kepentingan subjektifnya adalah
menjadi pengajar yang setia pada kata-kata
Tuhan (Gerrish, 1993:41). Dalam
menghadapi dilema ini, Luther kembali pada
Firman Allah. Bagi Luther, Firman Allah
adalah dasar dari segala aturan yang ada. Ia,
sebagai hamba Allah, harus mengikuti apa
yang menjadi kehendak Allah. Karena itu,
Luther mendalami kehendak Allah melalui
penafsiran atas Firman Allah. Inilah yang
mendasari munculnya subjektivitas religius,
yaitu bahwa setiap manusia mendasarkan
hidupnya pada Firman Allah dengan
memahami kehendak Allah melalui
4
penafsiran FirmanNya. Firman Allah yang
tertulis dalam Kitab Suci (objektif) dipahami
secara pribadi (subjektif) dengan pengenalan
yang benar sehingga yang dilakukan
manusia adalah kepentingan Allah bukan
kepentingan pribadi.
Kritik Luther terhadap rasionalitas
dan kepentingan pribadi menjadi hal penting
dalam kritik terhadap objektivitas. Luther
menjembatani dilema objektivitas dan
subjektivitas melalui subjektivitas religius
yang didasarkan pada Firman Allah.
Pemikiran Luther yang digunakan dalam
mengkritik kondisi Gereja kala itu menjadi
sebuah dasar pembentukan model etika non-
objektivitas dalam Kode Etik Profesi
Akuntan Publik.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengantar: Objektivitas dan Subjektivitas
Objektivitas akuntan ditentukan
berdasarkan kepatuhannya atas aturan yang
berlaku (Sawyer, Dittenhofer, dan Scheiner,
2006:103). Sari (2011) menunjukkan bahwa
salah satu indikator pengukuran objektivitas
seorang akuntan adalah pengungkapan
kondisi sesuai fakta. Kemudian, Kode Etik
Profesi Akuntan Publik Seksi 120
memberikan pengertian mengenai
objektivitas:
Prinsip objektivitas
menekankan bahwa praktisi tidak
membiarkan subjektivitas, benturan
kepentingan, dan pengaruh pihak
lain memengaruhi pengambilan
keputusan. Ketika praktisi
dihadapkan pada situasi yang
mengurangi objektivitas, maka ia
harus menghindari hubungan yang
subjektif tersebut.
Akuntan berusaha untuk mematuhi
Kode Etik dimana tidak membiarkan
subjektivitas berada dalam pekerjaannya.
Kode Etik berusaha untuk menghilangkan
subjektivitas dalam diri akuntan. Apakah
memang subjektivitas bisa dihilangkan?
Apakah semua subjektivitas tidak baik?
Reiter (1997) menjelaskan bagaimana
akuntan perlu mempertahankan nilai-nilai
yang dimiliki dan menjaga hubungan
dengan sesamanya. Berdasarkan hal ini, kita
bisa melihat bahwa subjektivitas bisa
memiliki pengertian yang berbeda. Pertama
subjektivitas yang didasarkan pada nilai-
nilai kebenaran sehingga membantu akuntan
untuk menetapkan sikap dengan benar
(Preuss, 1994:506). Kedua, subjektivitas
yang mengarah pada kepentingan pribadi.
Misalnya dalam praktik rotasi audit dimana
auditor berupaya mensiasati rotasi audit agar
tetap sesuai dengan peraturan namun tetap
dapat menjaga sumber pendapatannya
(Irianto et al, 2014:402-403). Subiyantoro
dan Triyuwono (2004) menjelaskan
bagaimana kepentingan subjektif yang
didominasi dengan kepentingan ekonomis
terjadi karena dominasi nilai-nilai
kapitalisme sehingga manusia melupakan
kedaulatan dan kehendak Allah dalam
kehidupannya. Subjektivitas pertama adalah
hal yang positif karena itu jika dihilangkan
akan membuat akuntan tidak lagi
menggunakan hati nuraninya dalam
pengambilan keputusan. Sementara
subjektivitas kedua adalah hal yang negatif
5
karena mengarahkan manusia pada
keserakahan (Irianto et al, 2014:406).
Bagaimana pemikiran Luther terhadap
objektivitas dan subjektivitas? Mari kita
lihat pemikiran Luther mengenai
objektivitas dan subjektivitas melalui
kehidupan dan teologi yang
disampaikannya.
Pemikiran Martin Luther
Luther mengalami dilema ketika ia
diangkat menjadi Doctor of Holy Scripture.
Sebagai seorang mahaguru, ia memiliki
kepentingan objektif untuk menafsirkan
kitab sesuai dengan apa yang diperintahkan
dan diinginkan oleh penguasa saat itu
(Gerrish, 1993:42). Tetapi secara subjektif,
ia harus mewartakan apa yang sebenarnya
menjadi kehendak Tuhan bukan kehendak
manusia (Gerrish, 1993:41). Bayer dalam
Pless (2011) menjelaskan mengenai
pemikiran Luther terhadap aturan Tuhan
dalam hidup manusia sebagai kebebasan
jiwa, yaitu kebahagian dalam menjalankan
aturan Allah walaupun banyak pertentangan
tetapi Tuhan selalu beserta. Luther dalam
Pless (2011) memberikan penegasan bahwa
hanya pengenalan yang benar akan Tuhan
dan iman yang percaya yang bisa
memberikan kemampuan pada kita untuk
menjalankan aturan Tuhan dalam setiap
aspek kehidupan kita.
Berdasarkan pemikiran Luther, maka
kita bisa mulai memahami bagaimana
spiritualitas menjadi jembatan atas dilema
yang terjadi antara kepentingan objektif dan
kepentingan subjektif. Sebagai orang yang
beriman kepada Tuhan, kita harus
menempatkan Tuhan sebagai pemimpin
hidup kita. Artinya, setiap aturan Tuhan
harus dilakukan dalam setiap aspek
kehidupan kita. Ketika kita tahu ada sebuah
realita yang tidak sesuai dengan aturan
Tuhan, maka kita wajib memberikan
“perlawanan” akan hal itu. Dalam
menghadapi konflik kepentingan pasti akan
merasakan dilema yang tidak mengenakkan,
tetapi ketika kita melihat pada Tuhan maka
Ia akan menguatkan kita. Schleiermacher
(dalam Gerrish, 1993:52) menyatakan
bahwa isi ajaran Luther ini lebih kepada
subjektivitas religius. Artinya bahwa
kepentingan yang kita pilih adalah
kepentingan Allah.
Metode Penelitian
Bertolak dari pemikiran Luther,
maka subjektivitas religius menjadi metode
mengkritik prinsip objektivitas dalam Kode
Etik Akuntan Indonesia. Kritik atas
objektivitas melalui subjektivitas religius
dilakukan melalui empat tahap, mulai dari
merumuskan pemikiran Luther sampai
menurunkan pemikiran tersebut ke dalam
kode etik (Gambar 2.1).
6
Gambar 2.1 Tahap-Tahap Metode Martin Luther
Pertama, merumuskan pemikiran
Martin Luther dengan menghimpun sumber
melalui studi literatur. Kedua, subjektivitas
religius akan membawa kita pada kesadaran
bahwa teori etika yang selama ini umum
digunakan telah membawa kita jauh dari
kehendak Allah. Teori etika yang selama ini
digunakan (utilitarian, deontologi, hak, dan
keutamaan) cenderung menilai sesuatu
berdasarkan moral kognitif atau
rasionalisme. Teori etika kognitif sendiri
terdiri atas empat, yaitu. Teori etika
subjektivitas religius Luther ingin
memberikan kesadaran bahwa tindakan yang
kita lakukan bukan hanya dinilai etis atau
tidak etis berdasarkan manfaat, kewajiban,
atau keadilan. Tetapi lebih jauh lagi bahwa
tindakan yang kita lakukan didasarkan pada
kehendak Tuhan.
Ketiga, subjektivitas religius menjadi
dasar dalam memaparkan kegagalan
objektivitas. Penerapan objektivitas dalam
dunia akuntansi membawa dilema bagi para
akuntan. Kegiatan dalam dunia akuntansi
yang dijadikan objek penelitian, yaitu rotasi
audit, perencanaan pajak, dan penyajian
laporan keuangan. Ketiga hal ini dipilih
sebagai objek penelitian karena merupakan
pilihan utama bidang pekerjaan akuntan dan
sarat dengan isu etika. Pengumpulan bukti
kegagalan objektivitas (data) dilakukan
dengan studi literatur dan wawancara. Studi
literatur dilakukan dengan mempelajari
jurnal, skripsi, dan artikel yang memuat
penerapan aturan tidak hanya dalam tataran
praktis, tetapi juga dalam tataran nilai.
Keempat, konsep umum
subjektivitas religius dan realita objektivitas
di dunia akuntan menjadi dasar dalam
menurunkan subjektivitas religius dalam
konsep kode etik sehingga bisa membentuk
definisi baru atas prinsip objektivitas dalam
Kode Etik Akuntan.
TEORI ETIKA
Perkembangan Teori Etika
Nilai etika bersumber dari dua
kelompok besar, yaitu etika kognitif dan
etika non-kognitif. Etika kognitif atau etika
rasional adalah penilaian sesuatu yang
didasarkan pada pemikiran logis. Etika ini
akan menghasilkan penilaian etis atau tidak
etis terhadap suatu tindakan. Sementara,
etika non-kognitif atau etika religius adalah
penilaian yang didasarkan pada kehendak
Tuhan dan ajaran teologis. Pada abad
7
pertengahan, sekitar abad ke-5 M sampai ke-
15 M, nilai-nilai religi menjadi dasar
pemikiran manusia. Abad pertengahan mulai
berakhir dengan ditandai lahirnya era baru,
yaitu zaman modern. Pada abad ke-18
muncullah pemikiran logis dimana banyak
pemikiran ilmiah yang dihasilkan. Namun,
pemikiran logis ini menjadi semakin tak
terkendali seiring dengan perkembangan
zaman. Banyak yang mempertanyakan
eksistensi Tuhan dan menghasilkan
kesimpulan bahwa eksistensi Tuhan tidak
dapat dibuktikan secara rasional (Magee,
2008:57).
Pandangan ini yang mengantar pada
teori etika kognitif dimana mendasarkan
sesuatu bukan lagi pada kehendak Tuhan,
tetapi pada rasionalisasi tindakan. Teori
etika kognitif menjadi yang paling banyak
dianut dan dipercaya karena memiliki dasar
yang logis. Berikut ini adalah teori etika
kognitif yang sering digunakan dalam
pemikiran moral di etika bisnis.
1. Utilitarianisme, menekankan baik atau
buruk suatu perbuatan berdasarkan
manfaat yang dihasilkan. Perbuatan
yang baik adalah perbuatan yang
membuat senang banyak orang
(Bertens, 2013:63). Dalam prinsip
etika, sesuatu dikatakan etis jika itu
memberi manfaat.
2. Deontologi, penilaian baik atau buruk
suatu perbuatan didasarkan pada
kewajiban atau apa yang harus
dilakukan. Karena itu, deontologi
menekankan pada kewajiban.
Konsekuensi perbuatan tidak menjadi
pertimbangan untuk penilaian baik
atau buruk (Bertens, 2013: 66).
3. Teori hak, didasarkan pada persamaan
hak atau penghargaan atas hak asasi
manusia, artinya suatu perbuatan
dikatakan etis apabila didasarkan pada
hak individu yang menjamin
kebebasan untuk memilih (Djakfar,
2012:45).
4. Teori keutamaan, teori yang
memandang sikap atau akhlak
seseorang. Seseorang dikatakan baik
jika hidup menurut keutamaan
(virtuous life).
Prinsip Objektivitas dalam Kode Etik
Akuntan
Akuntan, sebagaimana profesi
lainnya, menghadapi dilema etis yang
cenderung kompleks dan tidak didefinisikan
dengan jelas (Preuss, 1998:500). Organisasi
profesional akuntan mencoba untuk
menyelesaikan permasalahan ini dengan
membuat Kode Etik yang memberikan
batasan atas perilaku tidak etis dan
memandu akuntan menghadapi berbagi
situasi yang ambigu. Preuss (1998)
menunjukkan bagaimana Kode Etik
memang penting, namun belum cukup untuk
menyelesaikan dilema etis yang dihadapi
oleh akuntan. Karena itu, penelitian ini akan
mengkritisi kelemahan Kode Etik melalui
salah satu prinsip yang ada di dalamnya,
yaitu prinsip objektivitas.
Kode Etik Akuntan didasarkan pada
teori etika kognitif. Reiter (1997)
menjelaskan mengenai ethics of right yang
memuat nilai-nilai maskulin, salah satunya
adalah objektivitas. Objektivitas menjadi
salah satu prinsip etika yang harus dimiliki
oleh akuntan sebagaimana tertulis dalam
Kode Etik Profesi Akuntan Publik Seksi 100
8
poin 4. Selanjutnya, Seksi 120 menjelaskan
mengenai prinsip objektivitas:
Prinsip objektivitas mengharuskan
Praktisi untuk tidak membiarkan
subjektivitas, benturan kepentingan,
atau pengaruh yang tidak layak dari
pihak-pihak lain memengaruhi
pertimbangan profesional atau
pertimbangan bisnisnya. (120.1)
Setiap praktisi harus menghindari
setiap hubungan yang bersifat
subjektif atau yang dapat
mengakibatkan pengaruh yang tidak
layak terhadap pertimbangan
profesionalnya. (120.2)
Etis atau tidak etis didasarkan pada
objektivitas itu sendiri. Artinya, akuntan
dinilai etis jika ia mematuhi aturan,
menghilangkan subjektivitas, dan
membuktikan keadaan yang sebenarnya.
Dalam pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa subjektivitas tidak bisa
dihilangkan dalam diri manusia.
Subjektivitas bisa berarti dua hal yang
berbeda, yaitu pernyataan sikap yang
didasarkan pada nilai-nilai kebenaran yang
diyakini dan kepentingan pribadi yang
mengarah pada kepentingan ekonomis.
Sayangnya, selama ini yang terjadi adalah
subjektivitas yang mengarah pada
kepentingan ekonomis. Misalnya, Irianto et
al (2014) menunjukkan fakta bahwa auditor
mengakui memiliki kepentingan ekonomis
untuk menjaga sumber pendapatan sehingga
berusaha untuk menjaga hubungan baik
dengan klien. Pertimbangan pragmatis
materialistis telah membuat akuntan
melupakan tujuan mulia dari peraturan yang
berlaku (Irianto et al, 2014:405).
Kita bisa melihat bagaimana
kepentingan subjektif yang sebenarnya
merugikan menjadi “tidak” merugikan
karena adanya aturan yang melindungi.
Kepentingan subjektif yang sebenarnya
tidak etis menjadi etis karena alasan masih
dalam batasan standar dan peraturan yang
berlaku. Misalnya, penerapan aturan
perpajakan. Ada egoisme untuk
mendapatkan laba maksimal dengan
meminimalkan pajak terutang (Mangonting,
1999:45; Suandy, 2014:5). Langkah untuk
meminimalkan pajak dilakukan dengan
perencanaan pajak. Riduwan (2010)
menemukan bagaimana perusahaan
berusaha menyiasati kelemahan-kelemahan
yang ada dalam UU maupun peraturan
perpajakan atau jika tidak menemukan
kelemahan, maka perusahaan akan
menyiasati penerapan akrual yang
diperbolehkan dalam akuntansi perpajakan.
Jika dilihat dari tataran praktis, maka
akuntan dinilai bersikap objektif dan
objektivitas tidak akan dipertanyakan karena
ia mematuhi setiap peraturan yang berlaku.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik
itu semua? Apakah benar akuntan telah
bersikap objektif dengan tidak membiarkan
subjektivitas atau benturan kepentingan
terjadi? Dari tataran nilai, apakah akuntan
bersikap etis? Nyatanya, tidak. Kita bisa
melihat sebuah “upaya” untuk bersikap
objektif walaupun di balik itu ada sebuah
kepentingan subjektif yang tidak etis.
Objektivitas yang ditunjukkan adalah
kepatuhan sekadarnya (Loeb, 1971:302).
Objektivitas yang memiliki tujuan mulia
untuk mencegah kecurangan, ternyata
dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan
subjektif.
9
Kita bisa melihat bagaimana
objektivitas dan subjektivitas tidak dapat
berdiri sendiri. Preuss (1998) menyatakan
bahwa penyelesaian dilema etis akuntan
tidak bisa sebatas pada kognitif saja, tetapi
juga membutuhkan perkembangan moral
akuntan. Kesadaran moral membawa
manusia pada kesadaran bahwa kepatuhan
pada aturan didasari akan kecintaan pada
Allah sehingga berusaha untuk menuju nilai
yang paling tinggi, yaitu aturan Allah
(Suseno dalam Ludigdo, 2007:35). Penilaian
etis dan tidak etis didasarkan pada apa yang
menjadi kehendak Allah yang tertulis dalam
aturanNya dalam Kitab Suci. Ini akan
membawa kita pada teori etika subjektif
religius.
Teori Etika Subjektif Religius
Teori subjektif religius menjelaskan
bahwa tindakan yang kita lakukan bukan
hanya dinilai etis atau tidak etis berdasarkan
manfaat, kewajiban, keadilan, atau
keutamaan. Tetapi lebih jauh lagi bahwa
tindakan yang kita lakukan didasarkan
kecintaan pada Tuhan. Sebuah kesadaran
bahwa segala yang kita lakukan telah kita
lakukan dengan maksimal dan tujuannya
satu, yaitu untuk memuliakan Tuhan, seperti
yang tertulis dalam Kolose 3:23, “Apa pun
juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan
segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.”
Kita perlu memahami ajaran agama
supaya memiliki pemahaman yang benar
sehingga bisa memutuskan sesuatu dengan
lebih tepat. Pemahaman ini juga harus
dilakukan secara konkrit. Bukan hanya
pemahaman ajaran yang terbatas pada
pengetahuan. Tetapi bagaimana ajaran itu
bisa dipraktikkan dalam setiap tindakan kita.
Namun, kita harus berhati-hati jangan
sampai muncul niatan menjalankan
kehendak Tuhan agar kita bisa mendapat
manfaat atau hanya untuk menjalankan
kewajiban. Catatan penting, bahwa kita
menjalankan ajaran dan mendasarkan nilai
etika kita pada kehendak Tuhan karena
kecintaan kita padaNya. Dasarkanlah nilai-
nilai etika kita pada sesuatu yang benar, adil,
baik, dan mulia sesuai dengan ajaran dan
apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita
seperti yang tertulis dalam Filipi 4:8, “Jadi
akhirnya, saudara-saudara, semua yang
benar, semua yang mulia, semua yang adil,
semua yang suci, semua yang manis, semua
yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah
semuanya itu.” Pada akhirnya, etis atau tidak
etis bukan hanya terletak pada realitas tetapi
lebih pada ketentuan Tuhan dan apakah itu
kehendak Tuhan atau tidak dalam kehidupan
kita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Objektivitas Rotasi Audit
1. Kegagalan Objektivitas dalam Rotasi
Audit
Rotasi audit adalah pergantian
partner audit dan/atau Kantor Akuntan
Publik (KAP) untuk penugasan audit klien.
Regulasi mengenai rotasi audit muncul
sebagai dampak terkuaknya skandal
keuangan perusahaan-perusahaan besar di
Amerika Serikat, seperti Enron, Tyco
International, Adelphia, dan WorldCom
yang juga melibatkan beberapa KAP besar,
seperti Arthur Andersen, KPMG dan PWC.
Sarbanes-Oxley Act (SOA) yang disahkan
10
pada tahun 2002 oleh Kongres Amerika
Serikat merupakan regulasi pertama yang
mengatur rotasi audit (Novianti, 2010).
Jika dalam SOX hanya diatur rotasi
partner, maka Indonesia membuat aturan
yang lebih ketat. Pemerintah Indonesia
mengatur rotasi audit dalam Peraturan
Menteri Keuangan yang terus mengalami
perubahan sesuai kondisi Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan aturan rotasi audit
terbaru dalam PP 20/2015 dimana tidak ada
pembatasan untuk KAP. Rotasi audit hanya
diberlakukan pada partner selama 5 tahun
dengan periode tunggu 2 tahun.
Tujuan dari diberlakukannya rotasi
audit adalah untuk menjaga dan
meningkatkan independensi auditor. Chen et
al. (2008) menjelaskan bahwa hubungan
yang lama antara auditor dan klien akan
membuat auditor lebih mudah berkompromi
dalam pemilihan metode akuntansi dan cara
penyusunan laporan keuangan yang
disesuaikan dengan keinginan klien. Myers
et al. (2003) menyatakan bahwa efektivitas
audit berkurang seiring dengan semakin
lamanya hubungan antara auditor dan klien.
Kedekatan antara auditor dan klien inilah
yang coba untuk dihindari dengan adanya
rotasi audit. Apalagi jika kedekatan ini
membuka peluang terciptanya kepentingan
ekonomis (Irianto et al., 2014).
Rotasi audit memiliki tujuan yang
mulia, yaitu membatasi kedekatan yang
dapat berujung pada hilangnya independensi
auditor dan menurunnya kualitas audit.
Namun sayangnya, aturan yang sebenarnya
untuk menghindari praktik kecurangan telah
membuka kesempatan terciptanya
kecurangan. Objektivitas yang seharusnya
dicapai melalui aturan ini, malahan
digunakan sebagai “alat” untuk melegalkan
praktik kecurangan yang ada. Beberapa
praktik penyiasatan aturan rotasi audit
diangkat dalam penelitian Irianto et al.
(2014) sebagai berikut:
1) Praktik “rotasi auditor semu”, yaitu
sebuah keadaan dimana telah terjadi
pergantian sesuai aturan, namun
sebenarnya hubungan antara auditor dan
klien masih tetap terjalin (Junaidi et.al,
2013). Beberapa model pensiasatan
aturan didapatkan dari informan dalam
penelitian Irianto et al. (2014). Pertama,
praktik “pinjam bendera” dimana ada
beberapa KAP bekerjasama
menjalankan suatu penugasan audit
dengan tugas yang berbeda. Satu KAP
menjalankan audit, namun yang
menandatangani laporan audit adalah
KAP lain. Kedua, praktik “pindah
sementara”. Praktik ini dilakukan
dengan cara auditor di satu KAP
merekomendasikan KAP lain sehingga
setelah lewat periode tunggu klien dapat
kembali ke KAP awal.
2) Praktik “reinkarnasi” KAP, yaitu KAP
masih bisa menjalankan penugasan
audit pada klien yang sama walaupun
sudah lewat batas waktu dengan cara
melakukan pergantian nama. Hal ini
juga yang ditemukan dalam penelitian
Irianto et al. (2014) dimana KAP
dibubarkan dan dibentuklah KAP
melalui perikatan baru. Walaupun ada
beberapa partner baru yang masuk,
KAP tetap didominasi oleh partner
lama. Informan dalam penelitian
tersebut menjelaskan bagaimana KAP
tertentu akan merubah nama dengan
11
cara membubarkan diri dan membentuk
KAP yang baru.
3) Praktik “tukaran” klien, yaitu
memberikan klien pada KAP lain
setelah periode pemberian jasa habis
dan KAP lain melakukan hal yang sama
pula.
Tugas mulia rotasi audit, nyatanya,
tidak dapat tercapai dengan maksimal.
Ketergantungan ekonomis auditor terhadap
klien menjadi pemicu adanya praktik rotasi
audit semu. Auditor membutuhkan sumber
pendapatan yang tetap sehingga
mengusahakan terjalinnya hubungan yang
baik dengan klien. Auditor berlindung dalam
objektivitas bahwa ia masih melakukan
kewajiban berdasarkan regulasi yang
berlaku.
2. Subjektivitas Religius dalam Rotasi Audit
Tak dipungkiri bahwa auditor
membutuhkan klien karena sumber
pendapatan auditor dari fee yang dibayarkan
oleh klien. Regulasi mengenai rotasi audit
membuat ini menjadi sulit. Auditor tidak
bisa memberikan jasa selama yang
diinginkannya. Auditor sadar bahwa ia harus
patuh terhadap aturan. Namun, kepentingan
ekonomis mengalahkan kesadaran ini.
Auditor menggunakan cara “kreatif” agar
praktik-praktik yang bertentangan dengan
nilai sebenarnya dapat terlihat sah sesuai
dengan regulai yang berlaku. Bagi auditor
selama kebutuhan ekonomis dapat terus
tercukupi, maka cara apapun akan dilakukan
toh masih sesuai dengan aturan. Hal ini telah
diperingatkan dalam Firman Allah 1
Timotius 6:10 yang berkata, “Karena akar
segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab
oleh memburu uanglah beberapa orang
telah menyimpang dari iman dan menyiksa
dirinya dengan berbagai-bagai duka.”
Luther dalam kritiknya atas
penjualan indulgensia (surat pengampuan
dosa) menyampaikan hal yang sama
mengenai kecintaan pada uang berujung
pada tindakan menyimpang dari kehendak
Allah. Luther dalam The 95 Theses
menentang dengan keras tindakan para
pimpinan Gereja saat itu yang menyatakan
bahwa dosa dihapuskan jika membeli surat
pengampunan dosa:
(21) Thus those indulgence
preachers are in error who say that
a man is absolved from every penalty
and saved by papal indulgences,
(27) They preach only human
doctrines who say that as soon as the
money clinks into the money chest,
the soul flies out of purgatory.
Uang telah membutakan nurani para
pimpinan Gereja dan mengabaikan kasih
Allah yang sebenarnya. Pengampunan dosa
tidak lagi dilakukan dengan datang pribadi
kepada Allah melainkan membeli surat
pengampunan dosa. Padahal, pengampunan
dosa manusia terjadi semata-mata karena
kasih karunia Allah.
Perlu ditekankan bahwa yang
menjadi permasalahan di sini bukan terletak
pada uang, tetapi pada kecintaan pada uang.
Fokus pada uang membuat banyak orang
lupa diri dan tidak lagi mencintai Allah
dengan segenap hati. Padahal segala berkat
yang ada pada manusia berasal dari Allah.
Ketika auditor berfokus pada pemenuhan
ekonomi, maka itulah yang terjadi: legalisasi
kecurangan. Auditor memanfaatkan
kelemahan aturan dengan melakukan rotasi
12
semu. Praktik “pindah semntara” menjadi
hal yang sah. Ini memicu terbentuknya
KAP-KAP kecil yang menjadi tempat
penitipan klien (Irianto et al., 2014).
Objektivitas Perencanaan Pajak (Tax
Planning)
1. Perencanaan Pajak
Pemerintah dan perusahaan memiliki
pandangan yang berbeda terhadap pajak.
Bagi pemerintah, pajak adalah sumber
penerimaan penting yang digunakan untuk
pembiayaan pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan (Suandy,
2014:1). Sementara bagi perusahaan, pajak
adalah beban yang mengurangi laba
(Suandy, 2014:5). Pandangan pajak sebagai
beban membuat perusahaan berusaha
mengurangi pajak tersebut dengan
melakukan perencanaan pajak.
Perencanaan pajak dilakukan dengan
meneliti peraturan perpajakan agar
mengetahui tindakan penghematan apa yang
sebaiknya dilakukan. Wajib Pajak
menghindari/mengurangi pajak dengan
memilih jenis transaksi apa yang harus
dilakukan berdasarkan hukum pajak yang
ada, misalnya apakah suatu transaksi akan
terkenan tarif pajak khusus final atau tidak
(Suandy, 2014:118). Beberapa perencanaan
pajak yang dapat dilakukan untuk
mengefisienkan beban PPh badan (Suandy,
2014:131-136; Zain, 2007:89) seperti
pengelolaan beban pajak, pemilihan metode
penilaian persedian, pemilihan metode
penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak
berwujud, optimalisasi pengkreditan pajak
yang telah dibayar, dan pemilihan metode
perhitungan PPh 21 karyawan
2. Penerapan Perencanaan Pajak Sebagai
Upaya Penghematan Pajak
Strategi perencanaan pajak dilakukan
untuk efisiensi beban pajak yang nantinya
dapat dijadikan pengurang atas laba
sehingga jumlah pajak yang dibayarkan bisa
seminimal mungkin. Berikut ini adalah
beberapa contoh kasus penerapan strategi
perencanaan pajak perusahaan yang
dihimpun dari beberapa penelitan dalam
jurnal dan skripsi.
1) Penerapan Perencanaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Sebagai Strategi
Penghematan Pembayaran Pajak di PT A
(Sahilatua dan Noviari, 2013). Penelitian
ini difokuskan pada kewajiban
perpajakan PT A yang berkaitan dengan
pajak penghasilan baik perorangan
maupun badan. PT A menggunakan
metode net basis untuk menghitung PPh
21 atas dua orang karyawannya, yaitu
komisaris dan direktur. Peneliti
menemukan bahwa cara ini kurang
menguntungkan bagi perusahaan karena
biaya PPh 21 yang dibayarkan tidak
diakui dalam fiskal dan harus dikoreksi
positif. Peneliti menemukan bahwa
metode gross up adalah alternatif terbaik
bagi perusahaan karena memberikan
manfaat bagi karyawan dan perusahaan.
Bagi karyawan, tidak ada pengurangan
take home pay. Bagi perusahaan, PPh
badan yang dibayarkan lebih kecil.
Berdasarkan perhitungan, perusahaan
menghemat beban PPh badan sebesar Rp
513.999.
2) Penerapan Perencanaan Pajak Pada PT. X
Dalam Meminimalisasi Pajak Sesuai
Peraturan Perpajakan (Zulfa dan
Widyawati, 2013). Peneliti memberikan
13
perencanaan pajak yang dapat dilakukan
perusahaan untuk meminimalisasi pajak
yang dibayarkan, seperti penggunaan
metode garis lurus untuk penyusutan aset,
pengelolaan beban entertainmen yang
sesuai dengan prinsip 3M, dan pemberian
tunjangan PPh dengan menggunakan
metode gross up. Setelah penerapan
perencanaan pajak, laba rugi fiskal
perusahaan menjadi lebih kecil sehingga
laba kena pajak juga kecil. Laba kena
pajak menjadi dasar dalam menghitung
besarnya pajak terutang. Sebelum
diterapkan perencanaan pajak, pajak yang
harus dibayar adalah Rp 132.851.711
sedangkan setelah perencanaan, pajak
yang harus dibayar adalah Rp
126.321.378 pada tahun 2011.
3) Penerapan Strategi Perencanaan Pajak
(Tax Planning) Dalam Upaya
Penghematan Pajak Penghasilan (Studi
Pada PT. BPR Tulus Puji Rejeki, Kediri)
(Titin, D.W., Saifi, M., Dwiatmanto,
2014). Peneliti menganalisis pendapatan
dan beban pada Laporan Laba Rugi PT
BPR Tulus Puji Rejeki. Peneliti
menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang cukup material antara PPh terutang
sebelum dilakukan perencanaan pajak
dengan setelah dilakukan perencanaan
pajak. Sebelum dilakukan perencanaan
pajak PPh yang harus dibayar oleh PT
BPR Tulus Puji Rejeki adalah sebesar Rp
385.884.029 dan setelah dilakukan
perencanaan pajak adalah sebesar Rp
377.824.029. Perusahaan dapat
menghemat pajak sebesar Rp 8.059.490.
3. Subjektivitas Religius dalam Tax
Planning
Orientasi laba membuat perusahaan
berusaha untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya melalui berbagai
macam efisiensi biaya termasuk efisiensi
biaya pajak. Perencanaan pajak dapat
dilakukan untuk mengurangi jumlah pajak
yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Nyatanya, perencanaan pajak dapat
dilakukan karena memang ada kelemahan
dalam peraturan perpajakan (loophole).
Namun yang menjadi perhatian adalah
ketika ada intensi perusahaan melakukan
perencanaan pajak untuk menghinndari
pembayaran pajak yang besar. Perusahaan
tidak mau labanya berkurang banyak
sehingga berusaha meminimalisasi beban
pajak melalui perencanaan pajak.
Kepentingan subjektif perusahaan untuk
mengurangi laba dibungkus dalam aturan
perpajakan yang objektif. Perusahaan
merasa aman selama perencanaan pajak
yang dilakukan sesuai dengan aturan dalam
undang-undang perpajakan yang berlaku.
Perusahaan memanfaatkan celah atau
kelemahan undang-undang untuk
membenarkan tindakannya. Allah
menyatakan pada umat manusia untuk
mentaati pemerintah dan membayar pajak
seperti dalam Roma 13:7, “Bayarlah kepada
semua orang apa yang harus kamu bayar:
pajak kepada orang yang berhak menerima
pajak, cukai kepada orang yang berhak
menerima cukai.”
Luther dalam Lindberg (2001)
memberikan pandangannya mengenai
hubungan gereja dan pemerintah, yaitu
bahwa gereja ada dalam dunia sehingga
gereja harus tunduk kepada pemerintah yang
14
bertugas/berfungsi mengatur dunia ini.
Luther menyadari bahwa dalam masyarakat
masih ada individu yang belum sepenuhnya
dewasa sehingga diperlukan pengatur
(pemerintah) agar bisa menjalankan
fungsinya dengan baik di masyarakat.
Luther juga menyampaikan bahwa
pemerintah tidak berhak campur tangan
dalam gereja terkait dengan ajaran Firman
Tuhan, tetapi pemerintah berhak dengan
segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengaturan masyarakat dimana gereja harus
tunduk.
Takluk dalam hal ini adalah taat pada
setiap aturan yang diberikan oleh
pemerintah, salah satunya dalam hal
pembayaran pajak. Allah dengan jelas
menegaskan bahwa sebagai umat yang
percaya kita harus membayar pajak dengan
benar. Jangan sampai kita melakukan
penggelapan atau penghindaran atas
kewajiban membayar pajak karena pajak ini
juga dibayarkan untuk keperluan masyarakat
sendiri.
Objektivitas Penyajian Laporan
Keuangan
1. Legalisasi Kecurangan Laporan
Keuangan
Studi yang dilakukan Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE) tahun 2014
menunjukkan bahwa kecurangan pelaporan
keuangan merupakan salah satu fraud yang
sering dilakukan di samping penggelapan
aktiva (missappropiation asset) dan korupsi.
Berdasarkan studi ACFE, kecurangan
laporan keuangan menyebabkan kerugian
paling besar, yaitu sampai $1.000.000.
Albrecht et al (2012, 139-142) menyebutkan
tiga penyimpangan akuntansi sebagai gejala
terjadinya kecurangan, yaitu penyimpangan
dokumen sumber, penjurnalan yang tidak
sesuai. dan ketidakuratan buku besar.
Berbicara mengenai kecurangan
laporan keuangan, maka ada praktik yang
masih diperdebatkan sampai saat ini, yaitu
manajemen laba. Apakah kegiatan ini
termasuk kecurangan? Ada dua pandangan
mengenai manajamen laba dan kecurangan.
Pandangan pertama menyatakan bahwa
manajemen laba bukanlah kecurangan
selama dilakukan dalam koridor standar
akuntansi (Schroeder dan Clark, 1998: 248).
Sementara, pandangan kedua menyatakan
bahwa manajemen laba merupakan tindakan
koruptif (Healy dan Wahlen, 1999: 368,
Riduwan, 2010:18, Sulistiyo, 2014:304).
The National Commission on Fraudulent
Financial Reporting (1987) menegaskan
bahwa manajemen laba bisa memberikan
informasi yang menjerumuskan bagi
pemakai laporan keuangan sehingga bisa
salah dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan pandangan pertama,
manajemen laba menjadi hal yang sah
selama masih sesuai dengan standar. Ada
sebuah usaha berlindung dalam objektivitas
(aturan). Bagi manajemen bukanlah suatu
kecurangan selama tidak menyalahi aturan
yang berlaku. Penelitian Febriyanti (2014:
61) menunjukkan bagaimana debitur
(manajemen perusahaan) menyetujui praktik
manajemen laba sepanjang dilakukan dalam
batasan standar akuntansi. Manajemen
melegalkan tindakan karena ada aturan yang
melindungi mereka. Bagi mereka laporan
keuangan tetap objektif walaupun ada
praktik manajemen laba di dalamnya. Jika
dilihat lebih mendalam, sebenarnya ada
unsur subjektivitas dalam penyajian laporan
keuangan karena adanya praktik manajemen
15
laba tersebut. Berikut ini adalah beberapa
kasus mengenai praktik kecurangan yang
“dilegalkan” karena adanya objektivitas
(aturan).
Kasus 1 - Manajemen Laba di PT ABC1
Yeremia, seorang asisten account
manager di PT ABC menyampaikan praktik
manajemen laba sebagai hal wajar selama
tidak merugikan orang lain. Praktik
manajemen laba dijabarkan tidak sama
dengan manipulasi laba karena manajemen
laba hanya mempermainkan angka laba
melalui metode akuntansi. Misalnya,
pemilihan metode persediaan yang bisa
menghasilkan laba lebih besar. Baginya,
SAK bersifat fleksibel sehingga memberikan
kebebasan untuk memilih metode atau
kebijakan akuntansi sesuai dengan
karakteristik perusahaan.
Nyatanya, praktik manajemen laba di
PT ABC disadari oleh pihak kreditur.
Buyung, kepala reviewer di Bank NN, yang
tidak langsung mempercayai hasil analisa
kuantitatif laporan keuangan PT ABC. Ia
menemukan kejanggalan angka-angka pada
beberapa pos tertentu laporan keuangan.
Dari analisa laporan keuangan tahunan PT
ABC, ia menemukan beberapa pos yang
menunjukkan kenaikan yang tidak wajar jika
dibandingkan dengan kenaikkan tahun-tahun
sebelumnya. Ia menilai bahwa kejanggalan
itu disengaja oleh perusahaan sebagai cara
untuk memuluskan proses kredit dimana
perusahaan berharap kreditnya bisa diterima,
1 Kasus ini didasarkan pada penelitian Febriyanti,
Swarjuwono, dan Pratama (2014) yang berjudul
Manajemen Laba: Pro-Kontra Pemaknaan Antara
Kreditur Dan Debitur Dalam Proses Pembiayaan
Kredit. Peneliti mewancarai langsung informan yang
merupakan akuntan (debitur) dan staf Bank NN
sebagai kreditur PT ABC untuk mendapatkan
informasi mengenai praktik manajemen laba.
diperpanjang, atau diberikan fasilitas kredit
tambahan.
Kasus 2 - Mahasiswa Magang di
Perusahaan Jasa Konstruksi AA2
Seorang mahasiswa semester 7
angkatan 2012 menjalani magang di PT AA,
perusahaan jasa konstruksi, ditugaskan di
bagian pemasaran yang bertanggungjawab
atas pembuatan, pelaksanaan, dan finalisasi
tender ketika ada penawaran proyek
konstruksi. Salah satu tugas yang dikerjakan
olehnya adalah menyusun laporan
pengeluaran. Saat menyusun laporan, ia
menemukan sebuah akun yang tidak ada
bukti pengeluarannya. Ternyata akun
tersebut berisi biaya untuk “memuluskan”
proses tender perusahaan. Biaya ini
dikeluarkan agar perusahaan dapat
memenangkan proyek. Bukti pengeluaran
dibuat sendiri dengan menyatakan
“pengeluaran” itu sebagai beban X. Ia
mengalami dilema saat harus memasukkan
akun tersebut dalam laporan.
Kasus 3 - Creative Accounting di Enron3
Enron dinilai sebagai perusahaan
yang sukses karena mampu membukukan
laba sebesar US$ 100 milyar pada tahun
2000. Namun, kesuksesan ini tidak berjalan
lama. Pada tahun 2001 skandal keuagan
Enron terkuak. Ternyata selama ini Enron
menggelembungkan pendapatannya sebesar
US$ 600 juta dan menutupi utangnya senilai
US$ 1,2 milyar. Utang-utang Enron
dialihkan ke SPE (special purpose entity)
2 Kasus ini berdasarkan percakapan santai antara
penulis dan informan pada tanggal 29 November
2015 mengenai pengalaman magang di tempat
magang masing-masing. 3 Informasi mengenai Enron dikutip dari beberapa
situs portal berita, yaitu The Economist, CNN US,
The New York Times, dan Liputan 6
16
dimana tidak diperlukan konsolidasi dengan
laporan induk Enron.
Kenyataan yang terjadi pada Enron
menunjukkan bagaimana penerapan creative
accounting. Enron adalah perusahaan yang
tidak hanya inovatif dalam berbisnis, tetapi
juga ‘inovatif’ dalam cara pembukuannya.
Di balik kesuksesannya, banyak sekali
hutang-hutang yang dipindahkan kepada
anak-anak perusahaan yang tidak
dikonsolidasi (tidak diperhitungkan masuk
ke dalam neraca perdagangan Enron
sendiri). Perusahaan membuat serangkai
transaksi kompleks yang membantu Enron
menyembunyikan hutang-hutangnya. Enron
sengaja memanfaatkan celah dalam hukum
Amerika yang memperbolehkan SPE, yaitu
suatu entitas legal dibentuk terpisah untuk
mengisolasi resiko-resiko dari sebuah
proyek yang memenuhi syarat-syarat
tertentu tidak dikonsolidasi. SPE
memungkinan perusahaan meningkatkan
leverage dan ROA (return on asset) tanpa
mencantumkan utangnya di neraca.
Beberapa kasus di atas memberikan
sebuah realita tentang bagaimana
objektivitas memberikan sebuah celah atau
kesempatan untuk terjadinya kecurangan.
Kecurangan yang dianggap sah-sah saja
karena tidak ada aturan yang menyebutkan
itu sebuah kecurangan. Para pelaku
kecurangan berlindung di balik aturan.
Selama tidak menyalahi aturan, maka
mereka aman. Perusahaan berusaha
mengintepretasikan aturan menurut
pendapat mereka untuk melegalkan apa
yang mereka lakukan.
2. Subjektivitas Religius dalam Laporan
Keuangan
Sulistyo (2014, 307) mengemukakan
mengenai mitos dalam dunia akuntansi yang
menilai laporan keuangan sebagai dokumen
yang objektif karena terukur, sistematis, dan
bebas dari subjektivitas. Namun, ini bertolak
belakang dengan kenyataan yang ada dalam
tiga kasus di atas. Kepentingan subjektif
tidak bisa dihilangkan walaupun dengan
jelas prinsip objektivitas menekankan untuk
tidak adanya subjektivitas dalam laporan
keuangan. Objektivitas membuat pelaku
kecurangan merasionalisasi tindakannya.
Mereka merasa tidak melakukan kecurangan
karena tidak menyalahi standar akuntansi.
Kepentingan kelompok tertentu bisa tercapai
selama bisa “bermain aman”. Karena itu,
political economy of accounting (PEA)
memberikan pandangan mengenai penyajian
informasi akuntansi yang penuh dengan
muatan politis untuk menguntungkan
kelompok tertentu dan merugikan pihak
yang lain (Sulistyo, 2014:307).
Pada akhirnya, objektivitas tidak bisa
menjawab permasalahan kecurangan laporan
keuangan. Objektivitas berusaha
menghilangkan subjektivitas yang pada
kenyataannya tidak bisa dihilangkan dalam
pembuatan laporan keuangan. Subjektivitas
religius mencoba menjawab permasalahan
ini. Subjektivitas religius didasarkan pada
pemahaman pribadi (subjektif) yang
didasarkan pada aturan Allah (objektif)
sehingga tidak berusaha menghilangkan
subjektivitas yang memang ada dalam diri
manusia. Subjektivitas didasarkan pada apa
yang menjadi kehendak Allah yang
memiliki otoritas dalam kehidupan manusia.
Allah berfirman dalam Yesaya 61:8a,
17
“Sebab Aku, TUHAN, mencintai hukum, dan
membenci perampasan dan kecurangan.”,
Yehezkiel 28:18, “Dengan banyak
kesalahanmu dan kecurangan dalam
dagangmu engkai melanggar kekudusan
tempat kudusmu.”, dan Amsal 22:8, “Orang
yang menabur kecurangan akan menuai
bencana dan tongkat amarahnya akan habis
binasa.” Allah tidak suka dengan
kecurangan. BagiNya kecurangan membuat
manusia jauh dari padaNya dan
mendatangkan bencana.
Luther menyadari hal ini sehingga
mengkritik kondisi Gereja saat itu yang
penuh dengan tindak korupsi. Luther
menyampaikan pemikirannya dalam
Christian Nobility (1520) mengenai kondisi
saat itu dimana ada upaya untuk berlindung
di balik aturan. Aturan ini dibuat untuk
melindungi kepentingan pribadi sehingga
menyebabkan korupsi besar-besaran pada
saat itu. Bagi mereka yang berusaha
menyembunyikan kecurangan dengan
berlindung di balik alasan “masih sesuai
dengan standar”, Allah menyatakan dalam
Ibrani 4:13, “Dan tidak ada suatu
makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-
Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan
terbuka di depan mata Dia, yang kepada-
Nya kita harus memberikan pertanggungan
jawab." Allah mengetahui kepentingan
subjektif yang ingin dicapai dengan cara
yang tidak benar. Ini memberikan
pemahaman bahwa kecurangan yang
dilakukan memang tidak akan disalahkan
oleh aturan dunia, namun akan
dipertanggungjawabkan pada Allah.
Kecurangan bisa lolos dan manusia mungkin
bisa ditipu, tapi Tuhan tidak akan pernah
bisa.
Subjektivitas Religius Dalam Kode Etik
Akuntan
Luther mengambil sikap atas dilema
subjektivitas-objektivitas yang dialaminya
ini dengan kembali pada Allah. Bayer dalam
Pless (2011) menjelaskan bagaimana
perenungan yang dilakukan Luther
membawanya pada suatu pemahaman bahwa
perkataan Allah adalah kebutuhan dasar
untuk kebebasan jiwa manusia. Perkataan
Allah yang diturunkan dalam aturan-Nya di
Kitab Suci menjadi dasar bagi manusia
dalam menjalankan kehidupannya.
Schleiermacher (dalam Gerrish, 1993:52)
menyatakan mengenai isi ajaran Luther
sebagai ajaran subjektivitas religius.
Subjektivitas religius dalam ajaran
Luther berusaha untuk menyeimbangkan
objektivitas dan subjektivitas dalam diri
manusia untuk dapat menghadapi dilema
yang terjadi. Luther menyadari bahwa
manusia memiliki subjektivitas sehingga hal
ini tidak bisa dihilangkan dalam diri
manusia. Tetapi subjektivitas ini perlu
diarahkan agar tidak mengarahkan manusia
pada egoisme dan materialisme sehingga
menjauhkan manusia dari Allah. Begitu pula
dengan objektivitas. Manusia membuat
aturan untuk mencapai keteraturan hidup.
Aturan menjadi sebuah koridor bagi
manusia dalam bertindak sehingga tindakan
yang dilakukan tidak merugikan sesama.
Karena itu, Luther memberikan konsep baru
melalui subjektivitas religius untuk
menjembatani dilema objektif-subjektif
(Gambar 7.1).
18
Gambar 7.1 Konsep Subjektivitas Religius
Subjektivitas religius dibandingkan
dengan realita dalam dunia akutansi
menghasilkan perbedaan yang kontras. Kita
dapat melihat bagaimana objektivitas
menjadi hal yang ditonjolkan. Bahkan
subjektivitas dianggap sebagai sesuatu yang
menganggu sehingga harus dihilangkan. Di
sisi lain, penelitian Reiter (1997) berusaha
menghilangkan unsur objektivitas. Tetapi
kita dapat melihat bahwa kedua hal ini tidak
dapat dipisahkan dan dihilangkan salah
satunya. Berdasarkan paparan kegagalan
objektivitas, kita menyadari subjektivitas
tetap ada dalam diri manusia.
Paparan di atas menunjukkan bahwa
subjektivitas merupakan hal yang tak dapat
dihilangkan dalam diri manusia.
Bagaimanapun manusia tetap memiliki
kepentingan pribadi. Objektivitas dianggap
mampu membuat keteraturan sehingga
manusia tidak melakukan pelanggaran.
Aturan pun dibuat dengan menempatkan
objektivitas sebagai salah satu prinsip yang
harus dipegang akuntan. Akuntan dituntut
untuk bersikap objektif, yaitu sesuai dengan
aturan dan tidak membiarkan kepentingan
pribadi menganggu tanggung jawabnya.
Bersikap objektif bukanlah hal yang salah
karena aturan menjadi pedoman dalam
bertindak. Menjadi suatu hal yang keliru
ketika objektivitas ini dimanfaatkan untuk
mencapai kepentingan subjektif. Akuntan
pun menjadi berusaha mengkondisikan
segala sesuatu agar sesuai dengan aturan.
Subjektivitas dan objektivitas adalah
dua hal yang tak dapat dipisahkan seperti
dua sisi mata uang. Keduanya berdiri secara
mandiri tetapi melengkapi satu sama lain.
Subjektivitas membutuhkan objektivitas
agar tidak menjerumuskan manusia pada
egoisme. Objektivitas membutuhkan
subjektivitas agar manusia tidak bekerja
seperti robot dan melupakan naturnya
sebagai manusia yang diberikan kebebasan
untuk memilih. Itulah mengapa subjektivitas
religius mempertahankan dan berusaha
untuk menyeimbangkan keduanya untuk
berjalan bersamaan. Perlu adanya
perombakan dalam tatanan aturan saat ini
agar tindak kecurangan dapat diakui sebagai
suatu pelanggaran bukan dibenarkan secara
sepihak. Penulis mencoba memberikan
konsep subjektivitas religius atau
subjektivitas beragama sebagai pengganti
prinsip objektivitas dalam Kode Etik Profesi
Akuntan Publik (Tabel 7.1).
19
Tabel 7.1
Konsep Subjektivitas Religius dalam Kode Etik Akuntan
Kode Etik Profesi Akuntan Publik Prinsip Objektivitas Prinsip Subjektivitas Religius
Seksi 100
Prinsip-Prinsip Dasar Etika Profesi
Setiap Praktisi tidak boleh
membiarkan subjektivitas, benturan
kepentingan, atau pengaruh yang
tidak layak (undue influence) dari
pihak-pihak lain memengaruhi
pertimbangan profesional atau
pertimbangan bisnisnya.
Setiap Praktisi diperkenankan
memberikan pertimbangan subjektif
ketika diperhadapkan dengan
kepentingan subjektif, benturan
kepentingan atau pengaruh (undue
influence) dari pihak-pihak lain yang
bertentangan dengan aturan Allah dalam
Kitab Suci. Pertimbangan subjektif ini
didasarkan pada aturan Allah untuk
mengambil pertimbangan profesional
atau pertimbangan bisnis yang tepat dan
benar.
Seksi 120
Prinsip Objektivitas
Prinsip objektivitas mengharuskan
Praktisi untuk tidak membiarkan
subjektivitas, benturan kepentingan,
atau pengaruh yang tidak layak dari
pihak-pihak lain memengaruhi
pertimbangan profesional atau
pertimbangan bisnisnya.
Setiap Praktisi diperkenankan
memberikan pertimbangan subjektif
ketika diperhadapkan dengan
kepentingan subjektif, benturan
kepentingan atau pengaruh (undue
influence) dari pihak-pihak lain yang
bertentangan dengan aturan Allah dalam
Kitab Suci. Pertimbangan subjektif ini
didasarkan pada aturan Allah untuk
mengambil pertimbangan profesional
atau pertimbangan bisnis yang tepat dan
benar.
Praktisi mungkin dihadapkan pada
situasi yang dapat mengurangi
objektivitasnya. Karena beragamnya
situasi tersebut, tidak mungkin untuk
mendefinisikan setiap situasi tersebut.
Setiap Praktisi harus menghindari
setiap hubungan yang bersifat
subjektif atau yang dapat
mengakibatkan pengaruh yang tidak
layak terhadap pertimbangan
profesionalnya.
Praktisi mungkin diperhadapkan dengan
situasi yang bermuatan kepentingan
subjektif. Dalam menyikapi situasi ini,
maka Praktisi menilai kepentingan
subjektif tersebut berdasarkan aturan
Allah. Praktisi harus menghindari
kepentingan subjektif yang bertentangan
dengan aturan Allah karena dapat
mengakibatkan pengaruh yang tidak
layak terhadap pertimbangan
profesionalnya.
Prinsip subjektivitas religius
membantu akuntan untuk memberikan ruang
bagi pertimbangan subjektifnya ketika
diperhadapkan pada situasi dilematis.
Pertimbangan itu didasarkan pada aturan
Allah yang mutlak sehingga tidak
membiarkan sikap egoistis memengaruhi
pertimbangan profesional akuntan. Prinsip
ini menjelaskan bagaimana menghadapi
kepentingan subjektif yang sering ditutupi di
balik jubah objektivitas. Ketika kepentingan
subjektif itu tidak sesuai dengan aturan
Allah, maka kepentingan itu bukan berasal
dari Allah melainkan nafsu pribadi. Karena
itu akuntan harus mengambil sikap tegas
atas setiap kepentingan subjektif yang
mengarah pada egoisme dan mendahulukan
apa yang menjadi kehendak Allah.
20
SIMPULAN
Teori etika subjektif religius
menjelaskan bahwa tindakan yang kita
lakukan bukan hanya dinilai etis atau tidak
etis berdasarkan manfaat, kewajiban,
keadilan, atau keutamaan. Lebih jauh lagi,
teori ini mau menyatakan bahwa tindakan
yang kita lakukan didasarkan kecintaan pada
Tuhan. Setiap apa yang kita lakukan bahkan
kita putuskan harus didasarkan pada
kehendak Tuhan agar kita bisa mencapai visi
itu.
Kesadaran akan Allah dalam
kehidupan kita membantu kita untuk melihat
realita yang terjadi dalam dunia akuntansi
saat ini. Objektivitas sebagai salah satu
prinsip dalam Kode Etik Akuntan mencoba
menghilangkan subjektivitas. Padahal dalam
kenyataannya, objektivitas telah membuat
sejumlah besar orang melakukan
kecurangan. Kecurangan tersebut dianggap
sebagai suatu yang sah dan tidak melanggar
karena adanya perlindungan dalam
objektivitas. Kepentingan subjektif dapat
berjalan karena adanya aturan yang
melindungi sehingga hal itu menjadi legal.
Bukti kegagalan ini dapat dilihat dalam
rotasi audit, perencanaan pajak, dan
penyajian laporan keuangan. Kenyataan ini
memberikan gambaran tentang bagaimana
objektivitas menjadi sebuah legalisasi atas
kepentingan subjektif seseoarang atau
sekelompok orang.
Kita menyadari bahwa subjektivitas
tanpa objektivitas adalah tidak baik karena
manusia akan menjadi egois. Namun,
objektivitas tanpa subjektivitas juga tidak
memberikan hasil yang lebih baik. Bahkan
manusia menjadi tidak menyadari
kesalahannya karena sudah terbuai dengan
legalisasi aturan atas kepentingan subjektif
mereka. Di sini kita perlu menerapkan
subjektivitas religius karena teori ini tidak
berusaha untuk menghilangkan salah
satunya. Subjektivitas dalam diri manusia
didasarkan pada aturan Allah yang tertulis
dalam Alkitab (objektif). Dengan
memahami apa yang menjadi perintah Allah,
maka manusia bisa menghadapi dilema yang
dihadapi dari beberapa praktik di atas.
Subjektivitas religius memberikan
tempat bagi objektivitas dan subjektivitas
untuk ada dalam pengambilan keputusan
manusia. Konsep ini menjadi pertimbangan
untuk mengganti prinsip objektivitas yang
gagal mencapai tujuannya. Prinsip
objektivitas dalam Kode Etik Akuntan
digantikan dengan prinsip subjektivitas
religius. Prinsip ini menjelaskan bahwa
setiap Praktisi diperkenankan memberikan
pertimbangan subjektif ketika
diperhadapkan dengan kepentingan
subjektif, benturan kepentingan atau
pengaruh (undue influence) dari pihak-pihak
lain yang bertentangan dengan aturan Allah
dalam Kitab Suci. Pertimbangan subjektif
ini didasarkan pada aturan Allah untuk
mengambil pertimbangan profesional atau
pertimbangan bisnis yang tepat dan benar.
Prinsip ini juga menegaskan mengenai
kepentingan subjektif yang mungkin
dihadapi oleh Praktisi dengan menyikapinya
berdasarkan aturan Allah dalam Kitab Suci.
Prinsip ini mau membantu Praktisi untuk
menilai kepentingan mana yang sesuai
dengan kehendak Allah dan mana yang tidak
agar Praktisi bisa memberikan pertimbangan
profesional dengan benar dan tepat.
Prinsip subjektivitas religius ini
dapat direkomendasikan untuk dijadikan
21
pertimbangan untuk mengubah prinsip
objektivitas yang selama ini dituntut dalam
diri akuntan. Prinsip ini diharapkan mampu
membawa akuntan menjadi pribadi yang
sesuai dengan kehendak Allah. Penelitian ini
dapat dijadikan panduan mengkritisi
kebijakan-kebijakan yang mencoba untuk
menghilangkan subjektivitas manusia.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya
adalah dapat dilakukan penelitian secara
langsung mengenai rotasi audit di KAP dan
praktik manajemen laba di perusahaan untuk
memberikan bukti-bukti konkrit adanya
praktik tersebut sehingga bukti-bukti yang
dijabarkan lebih banyak dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia.
Albrecht et al. 2012. Fraud Examination.
Ohio: South-Western Cengage
Learning.
Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE). 2014. Report To The
Nations On Occational Fraud and
Abuse, 2014 Global Fraud Study.
Bainton, Ronald H. 1950. Here I Stand: A
Life of Martin Luther. New York:
Abingdon-Cokesbury Press.
Bertens, K. 2013. Pengantar Etika Bisnis.
Yogyakarta: Kanisius.
Chen, C.Y. et al. 2008. Audit Partner
Tenure, Audit Firm Tenure, and
Discretionary Accruals: Does Long
Auditor Tenure Impair Earnings
Quality?. Contemporary Accounting
Research, XXV, 415-445.
Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis:
Menangkap Spirit Ajaran Langit dan
Pesan Moral Ajaran Bumi. Depok:
Penebar Plus.
Febriyanti, A., Sawarjuwono T., dan
Pratama, A.B. 2014. Manajemen
Laba: Pro-Kontra Pemaknaan Antara
Kreditur Dan Debitur Dalam Proses
Pembiayaan Kredit. Jurnal
Manajemen Dan Kewirausahaan,
XXVI, 55–68.
Gerrish, B.A. 1993. Continuing the
Reformation: Essays on Modern
Religious Thought. Chicago:
University of Chicago Press.
Healy, P. dan J. M. Wahlen. 1999. A
Review of The Earnings
Management Lite-rature and Its
Implications for Stan-dard Setting.
Accounting Horizons, XIII, 365-383.
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
2008. Kode Etik Profesi Akuntan
Publik.
Irianto, Gugus et al. 2014. “Kamuflase”
dalam Praktik Rotasi Auditor. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, V, 393-
408.
Lindberg, Carter. 2001. The Reformation
Theologians: An Introduction to
Theology in the Early Modern
Period. Wiley.
22
Loeb, Stephen E. 1971. A Survey of Ethical
Behaviour in The Accounting
Profession. Journal of Accounting
Research, IX, 287-306.
Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika
Akuntan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Luther, Martin. 1520. Open Letter to the
Christian Nobility of the German
Nation Concerning the Reform of the
Christian Estate.
Mangonting, Yenni. 1999. Tax Planning:
Sebuah Pengantar Sebagai Alternatif
Meminimalkan Pajak. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, I, 43 - 53.
Martani, Dwi. 2011. Dampak Implementasi
IFRS Bagi Perusahaan. Majalah
BUMN Track No. 48, V, 98-99.
Magee, Bryan. 2008. The Story of
Philosophy Indonesian Edition.
Yogyakarta: Kanisius.
Myers, I.N. et al. 2003. Exploring the Term
of the Auditor-Client Relationship
and the Quality of Earnings: A Case
for Mandatory Auditor Rotation?”.
The Accounting Review, LXXVIII,
779-799.
National Commission on Fraudulent
Financial Reporting. 1987. Report of
the National Commission on
Fraudulent Financial Reporting.
Novianti, Nurlita. 2010. Tenur Kantor
Akuntan Publik, Tenur Partner
Audit, Auditor Spesialisasi Industri ,
dan Kualitas Audit. Skripsi. Malang:
Program Sarjana Jurusan Universitas
Brawijaya.
Pless, John T. 2011. Study Notes on The
Freedom of the Christian by Martin
Luther.
Preuss, Lutz. 1998. On Ethical Theory in
Auditing. Managerial Auditing
Journal, XIII, 500-508.
Reiter, Sara. 1997. The Ethics of Care and
New Paradigms for Accounting
Practice. Accounting, Auditing &
Accountability Journal, X, 299 - 324.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2015 Tentang
Praktik Akuntan Publik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 79. Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Riduwan, A. 2010. Etika Perilaku Koruptif
dalam Praktik Manajemen Laba:
Studi Hermeneutika. Jurnal
Akuntansi & Auditing Indonesia,
XIV, 1-21.
Sari, Nungky Nurmalita. 2011. Pengaruh
Pengalaman Kerja, Independensi,
Objektivitas, Integritas, Kompetensi
Dan Etika Terhadap Kualitas Audit.
Skripsi. Semarang: Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro
Sahilatua, P.F. dan Noviari, N. Penerapan
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal
23
21 Sebagai Strategi Penghematan
Pembayaran Pajak. E-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana, V,
231-250.
Sawyer, Lawrence B., Dittenhofer,
Mortimer A., dan Scheiner, James H.
2006. Internal Auditing Buku 1.
Jakarta: Salemba Empat.
Schroeder, R.G., dan Clark, M.V. 1998.
Accounting Theory: Text and
Reading. New York: John Wiley &
Sons.
Suandy, Erly. 2014. Perencanaan Pajak
Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
Sulistiyo, A.B. 2014. Mengungkap
Kompleksitas Masalah Pada Konsep
Substance Over Form. Ekuitas:
Jurnal Ekonomi dan Keuangan,
XVIII, 293 – 310.
Titin, D.W., Saifi, M., Dwiatmanto. 2014.
Penerapan Strategi Perencanaan
Pajak (Tax Planning) Dalam Upaya
Penghematan Pajak Penghasilan
(Studi Pada PT. BPR Tulus Puji
Rejeki, Kediri). Skripsi. Malang:
Program Sarjana Universitas
Brawijaya.
Zain, Mohammad. 2007. Manajemen
Perpajakan Edisi 3. Jakarta:
Salemba Empat.
Zulfa, Laili dan Widyawati, Dini. 2013.
Penerapan Perencanaan Pajak Pada
Pt. X Dalam Meminimalisasi Pajak
Sesuai Peraturan Perpajakan. Jurnal
Ilmu & Riset Akuntansi, II, 1-22.