Upload
sophie-ovypian-utraphielopez
View
1.004
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
abu sekam padi banyak mengandung silika hampir 94%
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Silika Abu Sekam Padi
1. Abu Sekam Padi
Abu hasil pembakaran sekam padi, yang pada hakikatnya
hanyalah limbah, ternyata merupakan sumber silika yang cukup
tinggi. Pirolisis lebih lanjut dari hasil pembakaran sekam padi
menunjukkan bahwa kandungan SiO2 mencapai 96.51%. Yang
juga menarik, 15% berat abu akan diperoleh dari total berat
sekam padi yang dibakar. Dari 5 gram sekam padi, jika dibakar
sampai 7000C, akan diperoleh 1 gram abu warna putih.
Abu sekam padi adalah hasil pembakaran sempurna dari
sekam padi. Setiap pembakaran sekam padi akan dihasilkan
sekitar 20% abu sekam. Abu sekam padi mengandung sekitar
94% silika (SiO2), 6% lainnya terdiri dari K2O, CaO, MgO, MnO,
Al2O3, Fe2O3, ZrO, Mn2O3, P2O5. Silika yang terdapat dalam abu
sekam padi ada dalam bentuk amorf terhidrat. Tapi jika
pembakaran dilakukan terus menerus pada suhu diatas 700°C
akan menaikan kristalinitasnya dan akhirnya akan terbentuk fasa
kristobalit dan tridimit dari silika. Hal ini juga dilaporkan
Shinohara dan Kahyoma dalam Foletto (2006: 337) bahwa pada
suhu tersebut tingkat kristalinitas yang dimiliki berada di bawah
5% (silika dalam fasa amorf). Sedangkan perlakuan pada suhu
1350°C mengandung 83% silika kristalin.
Gambar 1. Morfologi Abu sekam Padi (Putro, 2007: 35)
Perbedaan komposisi di dalam abu sekam padi dapat
terjadi karena faktor geografis, tipe tanah, masa panen,
preparasi sampel dan metoda penganalisaannya (Folletto, 2006:
336). Selain itu menurut de Souza (2002: 446) komposisi organik
dan anorganik dalam sekam padi juga bergantung pada iklim dan
varietas padi yang digunakan. Adapun Komponen organik utama
pada sekam yang kering adalah 50% selulosa, 26% lignin dan 4%
komponen organik seperti minyak, protein dan lainnya.
2. Silika
Silika merupakan suatu unsur bersifat asam dari batuan
silikat, granit dan batuan lain yang sejenis terdiri dari 20 sampai
30% silikon. Silika merupakan suatu senyawa yang dianalogkan
dengan alumina dan kapur. Silika atau silikon dioksida (SiO2)
adalah oksida dari silikon yang terdapat di alam dalam dua
macam bentuk yaitu amorf dan kristallin. Silika kristallin terbagi
dalam tiga bentuk yaitu mineral quartz, kristobalite dan
tridymite. Silika adalah komponen terbesar dari batuan. Silika
membentuk mineral dalam batuan magma dan metamorf.
Kandungan silika dalam kulit bumi adalah sekitar 75% dari
keseluruhan komponen pembentuk kulit bumi. Silika juga
merupakan komponen penting dari sediment dan tanah.
Unsur pada golongan IV biasanya membentuk empat
ikatan. Karbon dapat membentuk ikatan ganda dua p dan d
maka CO2 adalah molekul yang deskrit dan berbentuk gas.
Silikon tidak dapat membentuk ikatan ganda dua melainkan
dengan ikatan p dan d dengan tiap atom silikon
menggunakan 4 elektron orbital d untuk berikatan secara
tetrahedral. Oleh sebab itu SiO2 membentuk struktur tiga dimensi
yang tidak terbatas dengan pengertian bahwa monomer
tetrahedral dari silika (SiO4) dapat berikatan bersama dengan
monomer lainnya dengan berbagi atom O. Oleh karena itu SiO2
dapat mewakili keberadaan SiO4
Gambar 2. Struktur monomer dan trimer silika ( PQ Coorporation,
2005 :2)
Struktur quartz dan bentuk lain dari silika biasa
digambarkan sebagai SiO4 tetrahedral dengan masing-masing
atom oksigen bertindak sebagai sudut dari tetrahedral tersebut.
Kristobalite dan tridymite hampir sama dengan SiO4 tetrahedral
yang digabungkan dengan pemakaian bersama atom
oksigen,perbedaannya terletak pada susunan ruang
tetrahedralnya (Missler and Tarr, 1991:621).
Mineral silika mempunyai berbagai sifat kimia diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Reaksi Asam
Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali terhadap
asam hidrofluorida dan asam phospat.
SiO2(s)+4HF(aq) SiF4(aq) + 2H2O(l) (Vogel, 1985:376)
Dalam asam berlebih reaksinya adalah:
SiO2 + 6HF H2[SiF6](aq) + 2H2O(l) (Vogel, 1985:376)
b. Reaksi basa
Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat,
seperti dengan hidroksida alkali.
SiO2(s) + 2NaOH(aq) SiO32-
(aq) + 2Na+ + H2O
(Vogel,1985:374)
Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan
aplikasinya sangat luas mulai dibidang elektronik, mekanik,
medis, seni hingga bidang-bidang lainnya. Salah satu
pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai
penyerap kadar air di udara sehingga memperpanjang masa
simpan bahan dan sebagai bahan campuran untuk membuat
keramik seni. Silika amorf terbentuk ketika silikon teroksidasi
secara termal. Silika amorf terdapat dalam beberapa bentuk
yang tersusun dari partikel-partikel kecil yang kemungkinan ikut
tergabung. Biasanya silika amorf mempunyai kerapatan 2,21
g/cm3 (Harsono, 2002: 99).
3. Silikat
Sekitar 95% batuan kerak bumi mengandung bermacam-
macam mineral silikat. Bentuk sederhana ion silikat seperti
(SiO4)4- ; zirconium silicate, ZrSiO4, gemstone zircon, merupakan
beberapa mineral yang mengandung ion ini (Geoff, 1999: 279).
Silikat merupakan suatu senyawa yang mengandung
satu anion dengan satu atau lebih atom silikon pusat yang
dikelilingi oleh ligan elektronegatif. Jenis silikat yang sering
ditemukan umumnya terdiri dari silikon dengan oksigen sebagai
ligannya. Anion silikat dengan muatan listrik negatif harus
mendapatkan pasangan kation lain untuk membentuk senyawa
bermuatan netral. Silika atau silikon dioksida, sering dianggap
sebagai silikat, walaupun senyawa ini tidak bermuatan negatif
dan tidak memerlukan ion pasangan. Silika ditemukan di alam
dalam bentuk mineral kuarsa.
Silikat adalah komponen penyusun kebanyakan mineral di
kulit bumi. Lebih dari 92% volume lapisan kulit bumi tersusun
atas kuarsa dan beberapa mineral pembentuk silikat.
Kebanyakan dari mineral silikat sukar larut karena memiliki
struktur ionik dan memiliki energi ikatan Si-O (452 kj/mol) lebih
tinggi dibandingkan ikatan Si-Si (222 kj/mol) (Elvers, 1989: 662-
663).
Kegunaan larutan alkali silikat dapat dibagi menjadi dua
kategori:
1) Sebagai bahan dasar
Aplikasi ini menggunakan anion silikat sebagai blok
pembangun untuk membuat material silikat yang mengandung
silica. Produk yang dihasilkan termasuk gel silika, zeolit,
aluminosilikat, magnesium silikat, tanah liat sintesis, keramik,
dan katalis.
Dalam larutan asam, ion silikat reaktif terhadap ion
hydrogen membentuk asam silikat, yang bila dipanaskan akan
membentuk gel silica. Sifat sodium silikat, atom silikatnya dapat
digantikan oleh kation lainya, seperti Al, B. Bila digantikan oleh Al
dalam struktur tiga dimensi silikat maka akan membentuk
natrium aluminosilikat yang dinamakan juga dengan zeolit (Kirk
and Othmer; 1969).
2) Sebagai bahan tambahan
Penggunaan bermacam-macam sifat silikat
antara lain sebagai; sumber kebasaan dan buffer, system polimer
anorganik dengan bahan perekat, bahan pengikat, dan
kemampuan pembentuk film. Sejumlah besar silikat digunakan
dalam industri pengecoran logam. Silikat dipersiapkan oleh
reaksi dengan CO2, disemprotkan melalui campuran silikat-pasir.
Cairan silikat digunakan secara luas sebagai bahan perekat,
konsumen terbesar adalah industri kayu dan kertas.
4. Kalsium Silikat
Wollastonite (CaSiO3) adalah senyawa silikat yang
dihasilkan dari reaksi antara kalsium karbonat dan silika.
Reaksinya sebagai berikut:
CaCO3 (s) + SiO2 (s) CaSiO3 (l) + CO2 (g)
(Elver, 1989: 704)
Adapun sifat fisika dan sifat kimia dari calsium silikat:a. Sifat Fisika
Warna : Putih Titik Leleh : 1540°C Bau : Tidak berbaub. Sifat Kimia
:Tidak larut dalam air tetapi larut dalam HCl pH : 9,0 Mr : 116,2 Rumus Molekul : CaSiO3
Kegunaan kalsium silikat adalah:
a. Sebagai salah satu bahan baku dalam industri semen.
b. Kalsium silikat banyak digunakan untuk menghindari
penggumpalan baking powder dan mempunyai kemampuan
untuk mengikat air. Selain mengikat air, kalsium silikat juga
dapat mengikat minyak dan senyawa-senyawa non polar lainnya.
c. Untuk sintesis gel silika karena merupakan senyawa silikat.
Reaksinya sebagai berikut :
CaSiO3(aq) + HCl(aq) H2SiO3(aq) + CaCl2(aq)
H2SiO3(aq) ∆ SiO2.H2O(s)
5. Kalsium Karbonat
Kalsium adalah unsur terbanyak kelima dibumi, sangat
banyak terdapat sebagai kalsium karbonat dalam deposit masif
kapur (chalk), gamping atau batu kapur (limestone), dan marmer
yang tersebar secara meluas dimana-mana. Pembentukan
batuan karbonat terjadi secara kimia, dengan turut sertanya
organisme di dalam batuan karbonat. Batu kapur terbentuk
dalam laut yang sama, tetapi sebagai endapan sederhana karena
kelarutan kalsium karbonat menjadi berlebihan dalam air
tersebut sehingga terjadi reaksi pengendapan:
Ca2+(aq) + CO3
2-(aq) CaCO3 (s) (Geoff-
Canham, 1999: 216)
Adapun sifat kimia dan fisika kalsium karbonat:
Sifat kimia
a. Bereaksi dengan asam kuat, melepaskan karbon dioksida
CaCO3(s) + 2HCl(aq) → CaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l) (Lee, J.D,
1991 : 424)
b. Kalsium karbonat bereaksi dengan air yang dicampur
carbon dioksida untuk membentuk larutan kalsium
bikarbonat
c. CaCO3 + CO2 + H2O → Ca(HCO3)2 (Lee, J.D, 1991 : 424)
Sifat Fisika:
a. Warna : Putih
b. Titik leleh : 825°C
Kegunaan kalsium karbonat adalah
a. Sebagai bahan dasar sintesis kalsium silikat. Reaksinya
adalah:
CaCO3 (s) + SiO2 (s) CaSiO3 (l) + CO2 (g) (Elver,
1989: 704)
b. Sebagai antacid, yaitu untuk mencegah keasaman
B. Sintesis Katalis Ni/SiO2
1. Katalis
Katalis adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu
reaksi dengan maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis
terkadang ikut terlibat dalam reaksi tetapi tidak mengalami
perubahan kimiawi yang permanen, dengan kata lain pada akhir
reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah
yang sama seperti sebelum reaksi. Fungsi katalis adalah
memperbesar kecepatan reaksinya (mempercepat reaksi)
dengan jalan memperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan
dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan menurunnya
energi pengaktifan maka pada suhu yang sama reaksi dapat
berlangsung lebih cepat. Dengan kata lain penambahan katalis
memberikan jalan baru bagi reaksi yang memiliki energi aktivasi
yang lebih rendah, sehingga lebih banyak molekul yang
bertumbukan pada suhu normal dan laju reaksi semakin cepat.
Gambar 3. Grafik energi aktivasi suatu reaksi. (Munyati, 2007)
Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat bahwa
penggunaan katalis memberikan alternatif mekanisme lain yang
energi aktivasinya lebih rendah sehingga reaksi dapat berjalan
dengan lebih cepat. Pembentukan kompleks teraktivasi akan
lebih tercapai dengan penambahan katalis yang menyebabkan
reaksi dapat lebih cepat berjalan.
Berdasarkan fasanya, katalis bisa digolongkan menjadi 2
yaitu katalis heterogen (fasa katalis tidak sama dengan
campuran reaksi) dan homogen (fasa katalis sama dengan
campuran reaksi). Namun, katalis heterogen lebih disukai karena
proses pemisahan katalis dan hasil-hasil reaksi lebih mudah
untuk dilakukan. Suatu katalis padat terdiri dari 3 komponen
utama, yaitu (1) fasa aktif, (2) penyangga, dan (3) promotor.
Fasa aktif berfungsi untuk mempercepat dan mengarahkan
reaksi, penyangga berfungsi untuk memberikan luas permukaan
yang lebih besar bagi fasa aktif, dan promotor berfungsi untuk
meningkatkan kinerja katalis. Fasa aktif dari katalis bisa menjadi
tidak aktif (terdeaktivasi) karena beberapa sebab seperti
kehadiran CO, CO2, dan senyawa-senyawa sulfur serta
temperatur operasi yang terlalu tinggi (Hidayat, W., 2007)
Katalis dibedakan menjadi dua yaitu katalis dengan
pengemban dan tanpa pengemban. Pengemban katalis
merupakan komponen terbesar dari katalis yang menyangga
situs aktif katalis. Pengemban katalis dalam penelitian ini
dilakukan dengan mendispersikan katalis melalui mertoda
impregnasi basah yang mengakibatkan luas permukaan situs
aktif katalis semakin luas. Situs aktif merupakan titik pada
permukaan katalis yang membentuk ikatan kimia kuat dengan
atom atau molekul teradsorpsi. Peningkatan jumlah situs aktif
mengakibatkan kontak reaktan dengan katalis menjadi semakin
besar sehingga reaksi akan berjalan dengan cepat. Selain itu
biaya preparasi katalis menjadi lebih murah karena hanya sedikit
logam aktif yang didispersikan ke suatu permukaan.
Pemilihan pengemban harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
a. Memilih luas permukaan yang besar.
b. Memiliki porositas yang baik.
c. Memiliki adsoptivitas yang baik.
d. Tahan panas.
e. Stabil secara kimia.
f. Reaktif.
Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, ada beberapa
parameter yang harus diperhatikan :
a. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan
menjadi produk yang diinginkan.
b. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi
di antara beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang
diinginkan dapat diperoleh dengan produk sampingan seminimal
mungkin.
c. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan
selektivitas seperti pada keadaan semula.
d. Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk untuk setiap
satuan reaktan yang terkonsumsi.
e. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas
dan selektivitas katalis seperti semula (Handoko, P. Setyawan D.,
2003).
Dewasa ini katalis heterogen merupakan material yang
sangat dibutuhkan oleh industri karena di samping fungsi
utamanya untuk meningkatkan laju reaksi, katalis jenis ini
memiliki berbagai keunggulan dibanding dengan katalis
homogen, antara lain efisiensinya yang tinggi, kemudahan untuk
digunakan dalam berbagai media, kemudahan pemisahan katalis
dari campuran reaksi, dan penggunaan ulang katalis (Kamisah.
D.P, 2008). Katalis heterogen terdiri dari penyangga dan gugus
aktif (dopan), yang keduanya merupakan penentu peruntukan
dan unjuk kerja suatu katalis. Karena peranan kedua komponen
tersebut, pengembangan katalis heterogen dewasa ini diarahkan
pada penggunaan berbagai jenis penyangga seperti, alumina,
magnesia dan silica, serta penggunaan berbagai jenis dopan,
terutama logam aktif seperti Ti, Zn, Ni, Cu, Fe dan Co, dan
campuran logam.
Aspek penting dalam teknologi katalis heterogen adalah
metode preparasi katalis, yang pada hakekatnya bertujuan untuk
mendapatkan katalis yang mengandung dopan dengan jumlah
yang cukup dan terdistribusi secara merata pada permukaan
penyangga. Jumlah dopan perlu dikontrol untuk mendapatkan
jumlah situs aktif yang optimal dan distribusi dopan yang merata
diperlukan agar katalis mempunyai unjuk kerja yang konsisten.
Untuk tujuan tersebut berbagai teknik telah dikembangkan,
meliputi metode impregnasi, pertukaran ion dan metode sol-gel
(Pandiangan, D. Kamisah, 2008).
2. Reaksi Sintesis Katalis Ni/SiO2
Penelitian tentang sintesis katalis Ni/SiO2 yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Ridla Bakri, dkk (2007) telah
mensintesis katalis Ni/SiO2 yang menggunakan kaolin sebagai
sumber SiO2. Untuk mendapatkan SiO2 sampel kaolin dipanaskan
pada suhu 800°C selama 6 jam untuk diubah menjadi kaolin
meta stabil, karena pada suhu tersebut ikatan Si-O-Al menjadi
lemah. Setelah ikatan Si-O-Al lemah, dengan penambahan asam
kuat diharapkan Si dapat terpisah dari Al. Untuk itu kaolin
metastabil direfluks dengan aqua regia (campuran HNO3 dan HCl
pekat). Hasil refluks diperoleh endapan SiO2 dan larutan
berwarna kuning kehijauan yang mengandung senyawa dari
logam–logam pengotor seperti Al, Fe, Mn, Mg, P, Ca, dan K yang
terdapat dalam kaolin. Silika yang dihasilkan dari kaolin dapat
diubah menjadi silikat dengan mereaksikannya dengan Na2CO3
yang difurnance pada suhu 1400-1500°C yang menghasilkan
Na2SiO3 (waterglass) yang mudah larut dalam
air.
SiO2(s) +Na2CO3(s) Na2SiO3(s) + CO2(g)
Na2SiO3 yang dihasilkan dilarutkan kedalam air kemudian
ditambahkan sedikit demi sedikit HNO3 untuk mendapatkan silika
hidrosol, H2SiO3. Setelah didiamkan selama 2 malam silika
hidrosol akan mengalami proses membentuk gel yang kenyal
(silika hidrogel), yang kemudian dikeringkan pada suhu 110°C
agar terbentuk silika gel.
Na2SiO3(aq) + HNO3(aq) H2SiO3(l) +
NaNO3(aq)
H2SiO3(s) ∆ SiO2.H2O(s) (R. Bakri, 2007:
36-40)
Selanjutnya katalis Ni/SiO2 dibuat dengan 2 cara yaitu :
1) Katalis a (Ka) dibuat dengan cara merendam silika gel dalam
larutan Ni(NO3)2 dengan harapan logam Ni akan terdistribusi
merata di permukaan silika gel.
SiO2.H2O(s) + Ni(NO3)2(aq) ∆ SiO2NiO(s) +
2HNO3(g)
2) Katalis b (Kb) dibuat dengan menambahkan larutan larutan
Ni(NO3)2 ke dalam waterglass (Na2SiO3) dan diperoleh logam Ni
ikut serta dalam proses polimerisasi asam silikat, sehingga Ni
akan terdistribusi tidak hanya dipermukaan tetapi juga didalam
strukturnya.
Na2SiO3(aq) + Ni(NO3)2 ∆ 2Na+
+ 3NO3- +
SiO2NiO(s)
Sedangkan pada penelitian ini, diperoleh katalis Ni/SiO2 dengan
reaksi sebagai berikut,
CaCO3 (s) + SiO2 (s) CaSiO3 (l) + CO2 (g)
(Elver, 1989: 704)
CaSiO3 (l) + 2HCl(aq) H2SiO3(l) + CaCl2
H2SiO3(l) + NiCl2(aq) ∆ NiOSiO2 (s) + 2HCl(aq)
3. Kajian Termodinamika
Termodinamika dapat digunakan untuk menentukan
kespontanan reaksi kimia. Proses pembentukan suatu senyawa
dapat diketahui melalui aspek termodinamika. Aspek
termodinamika tersebut adalah entalphi (∆Hf°), entropi (∆S°), dan
energi bebas Gibbs (∆Gf°). Entalpi adalah kandungan kalor
sistem dalam tekanan tetap, perubahan ∆H bernilai negatif
untuk reaksi eksoterm, dan positif untuk reaksi endoterm.
Entalpi reaksi standar, ∆H0, adalah perubahan entalpi dari 1 mol
reaktan dan produk pada keadaan standar (105 Pa dan 298.15
K). Entalpi pembentukan standar, ∆Hf0, suatu senyawa adalah
entalpi reaksi standar untuk pembentukan senyawa dari unsur-
unsurnya. Karena entalpi adalah fungsi keadaan, entalpi reaksi
standar dihitung dengan mendefinisikan entalpi pembentukan
zat sederhana (unsur) bernilai nol. Dengan demikian: (T. Saito,
2009)
Entropi adalah fungsi keadaan, dan merupakan kriteria
yang menentukan apakah suatu keadaan dapat dicapai dengan
spontan dari keadaan lain. Hukum ke-2 termodinamika
menyatakan bahwa entropi, S, sistem yang terisolasi dalam
proses spontan meningkat. Dinyatakan secara matematis yaitu,
∆S > 0. Proses yang secara termodinamika ireversibel akan
menghasilkan entropi.
Spontanitas reaksi bergantung pada temperatur (T),
entropi (S°), energi bebas Gibbs (∆G) dan entalphi (∆H). seperti
yang terlihat pada persamaan berikut ini,
∆G = ∆H – T∆S
Secara termodinamika tanda ∆G mempunyai arti penting.
Harga energi bebas Gibbs (∆G) suatu reaksi adalah negatif pada
temperatur 298 K dan tekanan 1 atm maka senyawa tersebut
dikatakan stabil, berarti merupakan reaksi spontan sehingga
dapat berlangsung reaksi. Harga ∆G reaksi adalah positif berarti
reaksi tidak spontan, sedangkan harga ∆G adalah nol berarti
reaksi dalam keadaan setimbang. Beberapa sifat termodinamika
dari unsur dan senyawa anorganik dilihatkan sesuai tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Sifat termodinamik beberapa unsur dan senyawa anorganik
Rumus umum
Keadaan
∆ Hf0 ∆ G0 S0 Cp0
CaCO3 calciteAragonite
c -288,45-288,49
-269,78-269,53
22,221,2
CaSiO3 αβ, wolastonite
cc
-337,4-378,6
-357,4-358,2
20,919,6
NiCl2.6H2O c -502,67 409,54 82,3SiO2 quartzKristobaliteTridimite
ccc
-271,72-271,37-271,27
-204,75-204,56-204,42
10,0010,2010,4
10,6210,5610,66
H2SiO3
undissoc.std.statem = 1
Aq -282,7 -258,0 26
(Dean. J. A, 1973 : 12-46)
C. Karakterisasi Katalis Ni/SiO2
1. Difraktometer Sinar-X
Difraktometer Sinar-X adalah suatu alat yang dapat
digunakan untuk melihat difraktogram (pola difraksi sinar-X)
suatu padatan kristal yang bila diberi sinar-X. Suatu kristal
memiliki bidang yang dibentuk oleh atom-atom yang tertata
secara teratur akan memilik jarak bidang tertentu (d) dan sudut
difraksi tertentu (2θ). Hubungan antar panjang gelombang sinar-
X (λ) pada bidang kristal dengan jarak antar bidang (d) dan sudut
difraksi(θ), tingkat difraksi (n), dapat dijelaskan oleh Gambar 4
dan persamaan Bragg berikut:
n.λ = 2d. sinθ
Gambar 4. Diagram difraksi Bragg (Anthony. R.W, 1995)Difraktometer sinar-X merupakan suatu teknik uji tak
merusak yang berguna untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari berbagai bentuk kristalin yang dikenal sebagai
“phase” dalam bentuk cuplikan serbuk maupun padatan.
Keuntungan utama penggunaan sinar-X dalam karakterisasi
material adalah kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X
memiliki energi sangat tinggi akibat panjang gelombangnya yang
pendek.
Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 0,5-2,0 mikron. Sinar ini dihasilkan dari
penembakan logam dengan elektron berenergi tinggi. Elektron
itu mengalami perlambatan saat masuk ke dalam logam dan
menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut terpental
membentuk kekosongan. Elektron dengan energi yang lebih
tinggi masuk ke tempat kosong dengan memancarkan kelebihan
energinya sebagai foton sinar-X.
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur
dari lapisan tipis yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel
holder difraktometer sinar X. Proses difraksi sinar X dimulai
dengan menyalakan difraktometer sehingga diperoleh hasil
difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara
sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar X yang dipantulkan.
Untuk difraktometer sinar X, sinar X terpancar dari tabung
sinar X. Sinar X didifraksikan dari sampel yang konvergen yang
diterima slit dalam posisi simetris dengan respon ke fokus sinar
X. Sinar X ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah
menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi
komponen noisenya, dihitung sebagai analisa pulsa tinggi. Teknik
difraksi sinar x juga digunakan untuk menentukan ukuran kristal,
regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki
orde yang sama.
2. Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Pada dasarnya Spektrofotometer Fourier Transform Infra
Red (disingkat FTIR) adalah sama dengan Spektrofotometer Infra
Red dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada
sistim optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati
sampel. Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) adalah
sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
material organik dan beberapa material anorganik. Teknik
pengukuran FTIR adalah berdasarkan penyerapan pada panjang
gelombang pada daerah infra merah tertentu oleh suatu
material. Pita serapan infra merah pada FTIR secara khusus
mengidentifikasi komponen molekul dan struktur molekul (S,
Giwangkara EG, 2007).
Selanjutnya pada sistim optik peralatan instrumen FTIR
dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh
aplikasi pemakaian gelombang radiasi elektromagnetik yang
berdasarkan daerah waktu adalah interferometer yang
dikemukakan oleh Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831).
Perbedaan sistim optik Spektrofotometer IR dispersif (Hadamard
Transform) dan Interferometer Michelson pada Spektrofotometer
FTIR (Fourier Transform) tampak pada gambar berikut :
Gambar 5. Perbedaan sistim optik Spektrofotometer IR dispersif
(Hadamard Transform) dan Interferometer Michelson pada
Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform) (S, Giwangkara EG,
2007).
Menurut Hamdan (1992:37-38), spektroskopi inframerah
dapat digunakan untuk mengidentifikasi ikatan dalam struktur
tiga dimensi silika karena ikatan O-Si-O dapat mengalami vibrasi
jika menyerap radiasi inframerah: Vibrasi Ulur Asimetrik gugus O-
Si-O, jika menyerap radiasi inframerah pada 1250-900 cm-1.
Vibrasi Ulur Simetrik gugus O-Si-O jika menyerap radiasi
inframerah pada 680-850 cm-1. Vibrasi Tekuk gugus Si-O jika
menyerap radiasi inframerah pada 420-500 cm-1.
Radiasi infra merah yang diserap oleh suatu molekul
menyebabkan kenaikan amplitude vibrasi atom-atom yang
terikat satu sama lain. Suatu tipe ikatan tertentu akan menyerap
radiasi dengan panjang gelombang tertentu tergantung pada
mode vibrasi molekul tersebut. Tipe ikatan yang berlainan akan
menyerap radiasi infra merah yang berlainan pula (Fessenden,
1999:315).
Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red :
Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti
pada gambar di bawah ini dilengkapi dengan cermin yang
bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian
radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang
ditempuh menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin
yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah
2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan
antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap
retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik
dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya
interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform
Infra Red (S, Giwangkara EG, 2007).
Gambar 6. Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red
(S, Giwangkara EG, 2007).
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan
radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of
Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan
dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang
diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang
digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red
adalah Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury
Cadmium Telluride (disingkat MCT). Detektor MCT lebih banyak
digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada
frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak
dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi
vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah (S, Giwangkara EG,
2007).
Keunggulan Spektrofotometer FTIR
Secara keseluruhan, analisis menggunakan Spektrofotometer
FTIR memiliki dua kelebihan utama dibandingkan metoda
konvensional lainnya, yaitu :
1. Dapat digunakan pada semua frekwensi dari sumber
cahaya secara simultan sehingga analisis dapat dilakukan
lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau
scanning.
2. Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar
daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke
sistim detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui
celah (slitless) (S, Giwangkara EG, 2007).
R. Bakri, dkk (2008) telah mensintesis katalis Ni/SO2 dari
silika yang bersumber dari kaolin. Hasil analisis spektrum FTIR
untuk katalis tersebut disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 7. Spektra FTIR dari Ka-1 (Bakri, 2008: 41)
Spektrum FTIR di atas menunjukkan bahwa produk katalis
mengandung gugus hidroksil (-OH pada 3.200-3.600 cm-1) yang
berasal dari silanol dan dari air yang terabsorpsi, dan silikat (Si-
O-Si pada 965 ; 1.088 cm-1 ; Si- OH pada 1.630 cm-1 dan O-Si-O
pada 460 cm-1).
3. Spektrofotometer Serapan Atom
Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif
yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang
dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit.
Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrofotometri
Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara
kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya
dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam
keadaan bebas (Skoog et. al., 1998).
Metode SSA berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom.
Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang
tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Dengan absorpsi
energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom
pada keadaan dasar dinaikan tingkat energinya ketingkat
eksitasi. Keberhasilan analisis ini tergantung pada proses eksitasi
dan memperoleh garis resonansi yang tepat. Skema alat SSA
ditunjukkan pada gambar di bawah.
Gambar 8. Skema alat SSA (Renzo, Di Mauro : 1995)
Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu
dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas
yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap
dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan
antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari:
a. Hukum Lambert : Bila suatu sumber sinar monokromatik
melewati medium transparan, maka intensitas sinar yang
diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium
yang mengabsorpsi.
b. Hukum Beer : Intensitas sinar yang diteruskan berkurang
secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi
yang menyerap sinar tersebut. Dari kedua hukum tersebut
diperoleh suatu persamaan:
It = Io.e-εbc, atau A = - Log It/Io = εbc
Dimana :
Io = Intensitas sumber sinar
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Absortivitas molar
b = Panjang medium
c = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
A = Absorbans.
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi
cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day &
Underwood, 1989).
Abu sekam memiliki fungsi mengikat logam berat. Selain itu sekam berfungsi untuk menggemburkan tanah sehingga bisa mempermudah akar tanaman menyerap unsur hara di dalamnya. sehingga masih tetap terlu campuran media lain dalam media tanaman tersebut. bagus di campur dengan kompos.sekam ada dua jenis yang dipakai untuk tanaman hias, pertama yang hangus 50% untuk media tanam atau dicampur, tapi untuk semai bibit, adenium missalnya kurang baik, kedua yang hangus 100% ini baik untk media atau campuran dan juga baik untuk
semai, lebih steril, soal kelembaban saat membuat tidak perlu diperhatikan, tapi saat aplikasinya ketanaman asal jangan becek aja. semua tanaman bisa tumbuh baik dg sekam bakar, keuntungan pakai media tanama sekam bakar adalah steril, poros, banyak unsur hara, ringan untuk mobilisasi, tapi harganya terbilang mahal, karena proses pembuatanya memakan waktu dan bahan bakar yang banyak.
Juga, bahan organik dan merupakan kompos bagi tanah. yang namanya bahan organik itu berfungsi memperbaiki sifat tanah dan membantu mengikat unsur nitrogen, fospor, dan kalium (NPK) dalam tanah agar tidak lari kemana2 karena kalo unsut2 tsb lari, tanaman akan kekurangan. tanpa tanahpun dia akan berfungsi menahan unsur2 tadi, makanya tanaman bisa hidup jika ditanam di sekam atau abu sekam.tapi ingat, kandungan unsur hara sekam itu tak sebanyak yang ada di pupuk buatan, maka penggunaan yang terbaik adalah dengan mencampur antara kompos (misalnya sekam) dan pupuk buatan, dengan intensitas sesuai kebutuhan tanah.
Tahukah kalian:Ternyata abu sekam padi ini sangat kaya akan silica (Si) yang dalam oksidanya dikenal dengan silica dioxide. Sebenarnya penggunaan silica dalam dunia konstruksi khususnya teknologi beton sudah mulai dipakai sebagai bahan tambah. Hebatnya silica yang dari abu sekam padi ini tidak kalah dengan silica fume yang harganya cukup tinggi. Namun sayangnya, pertumbuhan tanaman padi dewasa ini telah berganti dengan pertumbuhan beton dan bata. Sehingga prospek usaha untuk pengembangan silica dari abu sekam padi akan semakin suram.
Dari penelitian yang dilakukan secara intensif sejak tahun 1997 hingga 2005, didapat kesimpulan akhir bahwa abu sekam padi ini sangat potensial digunakan dalam bidang geoteknik terutama untuk perbaikan tanah. Dengan sedikit memberikan sentuhan iptek pada proses pembakaran, kandungan silica yang dihasilkan dapat mencapai diatas 90%. Sunggung nilai yang fantastis bukan. Dari catatan, 1995-2001, produksi sekam padi di
Indonesia adalah bisa mencapai 4 juta ton per tahunnya. Berarti abu sekam yang dihasilkan 400 ribu ton per tahun. Inikan bisa menjadi nilai bagi para petani padi, jika ia tahu akan manfaatnya.
EKSTRAKSI SILICA (SiO2) DARI ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKU PENGUAT KOMPOSIT BERMATRIKS ALUMUNIUM (AMCs) UNTUK APLIKASI BAHAN KOMPONEN OTOMOTIF
PENDAHULUANI.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya.
Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/).
Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya. Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs.Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses
tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur. Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991).
Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit.
Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada
partikel komposit. Fraksi volume penguat SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.
I.2 Perumusan MasalahPermasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
3. Bagaimana pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
I.3 Tujuan ProgramAdapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengkaji pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
3. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
I.4 Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.
I.5 Kegunaan Program
Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan solusi upaya peningkatan nilai fungsi serta nilai jual sekam padi yang selama ini kurang mampu dimanfaatkan secara maksimal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan taraf hidup petani.
2. Memberikan bahan masukan dalam upaya pengembangan industri otomotif dalam negeri yang bertujuan meningkatkan kemampuan memproduksi komponen otomotif dan suku cadang secara mandiri.
3. Dapat dijadikan referensi atau acuan pembuatan komposit bermatriks alumunium (Al) dengan penguat silika (SiO2) yang dapat diaplikasikan dalam bidang otomotif dengan metode metalurgi serbuk misalnya pada pembuatan automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
4. Dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian – penelitian selanjutnya yang sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)
Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).
Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:
Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).II.1 Metode Pembuatan MMCsMMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.
Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu.
Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan
komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah.
Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994).MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.
II.2 Sekam Padi Dan SilikaSekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam
padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.
Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 – 80,2 persen.
Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat (Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).
Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2. Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.
II.3 Penelitian Tentang AMCs Berpenguat SiO2
Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi :4Al + 3SiO2 → 2Al2O3 + 3Si
Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks. Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan
temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.
Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut.
Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.
Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.
III. METODE PENELITIAN
III.1 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.
III.1.1. Ekstraksi SiO2 Dari Sekam Padi
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
1. Pencucian, dilakukann dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran.
2. Pengeringan, dilakukan di bawah sinar matahari3. Penimbangan, dilakukan untuk membagi sampel sekam
padi menjadi dua bagian sama besar yaitu sampel A, B dan C dimana harus memenuhi berat sekam padi yang akan diproses yaitu masing – masing dengan berat 250 gram. Dengan asumsi persentase berat sekam yang hilang selama proses sebesar 80 persen, maka nantinya akan didapatkan abu sekam dari masing – masing sampel sebanyak 50 gram.
4. Pengarangan dan Pengabuan, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan dimana masing – masing sampel dikenai variabel temperatur pengabuan seperti disajikan pada Tabel 3.1 berikut.
5. Pemurnian, dilakukan setelah didapatkan abu sekam untuk memisahkan zat – zat pengotor dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksida – oksida logam dan non logam dari dalam abu sekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi
kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, lalu pada campuran ditambahkan 200 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 625 ml akuades dan 40 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 15 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci lima kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 oC selama 1 jam hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 oC selama 2 jam hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih.
6. Pengujian XRD dan Gravimetri, ditujukan untuk identifikasi apakah fase SiO2 telah terbentuk dan jenis SiO2 apa yang terbentuk, kristalin atau amorf, serta zat pngotor apa yang terkandung. Selain itu juga dilakukan perhitungan kuantitas kandungan SiO2 dalam abu sekam tersebut dengan menggunakan analisa gravimetri.
7. Penggerusan dan Pengayakan, dilakukan pada endapan silika pada sampel A, B dan C dimana masing – masing dihaluskan secara mekanik dengan menggunakan mortar lalu diayak hingga didapatkan partikel SiO2 dengan ukuran lebih besar dari 200 mesh.
III.1.2. Penentuan Banyaknya Spesimen Yang Akan Dibuat
Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.
III.1.3. Penentuan Dimensi Komposit Yang Akan Dibuat
Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.
III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen
Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.
Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.
III.1.5. Pencampuran Material Matriks Dan Penguatnya (Mixing)
Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit.
III.1.6. Kompaksi
Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit.
III.1.7. Sintering
Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam.
III.1.8. Pengujian Tekan dan SEM
Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk.
III.1.9. Pengukuran Densitas Setelah Sinter dan Fraksi Porositas
Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2.
Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.
Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.
Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:
Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.
III.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.
III.3. Flow Chart Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASANSintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.
Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.
Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak.
Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap
sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
IV.1 Karakteristik Silika Yang Dihasilkan
Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam.
IV.1.1 Analisa Kualitatif
Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan.
Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada
masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.
Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin
lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit.
V.1.2 Analisa Kuantitatif
Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.5. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.
Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk
SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.
IV.2 Karakteristik Ikatan Antar Muka Partikel Alumunium Dan Silika
Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.
Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur co-continuous AlSi/Al2O3 terbentuk.
V.3 Karakteristik Mekanik Komposit
Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik keuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.2 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada
sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.3 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.
Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga
material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.
Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar. Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi,
namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter.
Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.
V. KESIMPULAN DAN SARANVI.1 KesimpulanBerdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Variasi temperatur pengabuan sekam dalam furnace sebesar 600oC, 750oC dan 900oC ternyata mampu menghasilkan produk silika dengan struktur kristal yang sebagian amorf dan sebagian lagi kristalin dengan persentase kandungan silika paling tinggi didapatkan dengan perlakuan temperatur pengabuan 750oC yaitu sebesar 91 persen.
2. Dari pengujian SEM diketahui bahwa antara partikel alumunium dan silika terbentuk ikatan antar muka
3. Untuk karakteristik kekuatan tekan diketahui bahwa yang paling baik adalah spesimen dengan temperatur pengabuan silika sebesar 900oC dan fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen.
VI. 2 SaranAdapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
1. Beberapa perhitungan, pengamatan dan pengujian perlu dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendetail hasil percobaan ini. Hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu dan biaya yang diberikan kurang mendukung. Untuk itu pada penelitian selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah dari hasil penelitian ini yaitu perbandingan jumlah silika kristalin dan amorf yang dihasilkan dalam abu sekam, karakteristik thermal, perilaku korosi, serta karakteristik mekanik yang meliputi karakteristik impak, kekerasan dan abrasivitas komposit.
2. Penelitian pendukung sebaiknya dilakukan dengan variasi perlakuan yang lain dimana nantinya dapat dijadikan sebagai pendukung dari penelitian ini mengingat penelitian ini merupakan penelitian awalan dari penelitian besar yang masih memiliki banyak varibel yang perlu diteliti untuk bisa mengetahui variabel – variable terbaik yang dapat dijadikan sebagai refrensi dalam produksi komponen otomotif berbasis komposit alumunium – silika.
3. Mengingat potensi pemanfaatan dari silika yang luas dimana tidak hanya seperti yang ditujukan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan penguat dari komposit bermatriks alumunium, tetapi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kaca, dan bahan baku peralatan – peralatan elektronik, maka perlu diadakan suatu sistem industrialisasi ekstraksi silika dari sekam padi, agar nantinya dapat menambah stok silika dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
_________, 1998. ASM Handbook Vol. 7, Powder Metal Technologies and Aplications. ASM International
Chawla, K. K. 1987. Composite Material: Science and Engineering. London Paris Tokyo : Springer-Verlag New York Berlin Heidelberg.
Fogagnolo, J.B., 2004. Aluminium Matrix Composites Reinforced with Si3N4, AIN and ZrB2, Produced by conventional powder Metallurgy and Mechanical Alloying. Avenide de la Universid, 30-28911
Froyen, L., dan Verlinden, B., 1994. Aluminium Matrix Composites Materials. Talat 1402. Belgium : European Aluminium Associations (EAA)
Gregolin, E. N., 2002. Alumunium Matrix Composites Reinforced With Co – Continuous Interlaced Phases Alumunium – Alumina Needles. Materials Research, vol.5, no.3 São Carlos July/Sept. 2002
Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf Dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu dasar Vol. 3, No. 2, 2002 : 98 – 103
Hirschhorn. Joel. S., 1976. Introduction to Powder Metallurgy. New Jersey : American Powder Metallurgy Institute.
Hwang, C.L. and Wu, D.S., 1989. Properties of Cement Paste Containing Rice Husk Ash. ACI Third International Conference Proceedings, pg. 738.
Jones, R. M. 1975. Mechanics Of Composite Material. Washington, DC : Scripta Book Company
Kang Suk – Joong., 2005. Sintering : Densifikation, Grain Growth and Microstructures. Elseviere - Butterworth. Heinemenn
Mantell, C. L., 1958. Engineering Material Handbook. New York : McGraw – Hill Book Company.
Mittal, D. 1997. Silica From Ash, A Valuable Produst From Waste Material. Resonance, July
Nursuhud, D., dan Basuki, T. (1989). Suatu Studi Kemungkinan Pemakaian Bahan Bakar Sekam Padi untuk Pusat Listrik Tenaga Uap Sistem Gasifikasi. Laporan Penelitian Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri. Surabaya : Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Pakpahan, A. 2006. Padi Lebih Bernilai dari Emas. Suara Pembaharuan, 20 November 2006.
PM2 Industry, 2001. Vision And Technology Roadmap, Powder Metallurgy And Particulate Materials. Metal Powder Industries Federation (MPIF), September, 2001.
Schumacher C.,1991, SAE Technology, paper No.892495
Workshop Roadmap Industri Komponen Otomotif. 13 Oktober 2004. dalam http://www.bppt.go.id/. dikunjungi : 8 September 2007 pukul 07.15 WIB