22
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Manusia Ayu Natalia NIM: 102011302 Email: [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat I. Pendahuluan A. Latar belakang Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di Seluruh dunia. Pada Desember 2004 WHO memperkirakan terdapat 35,9-44,3 juta orang di dunia mengidap HIV/AIDS, dan sudah tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Berdasarkan data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode Juli- September 2006 secara kumulatif pengidap HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang (Media Indonesia, 2006). HIV/AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, krisis pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1,2 Sesuai dengan skenario 9 yaitu “Seorang laki-laki usia 52 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama batuk-batuk

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aids

Citation preview

Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Manusia

Ayu Natalia

NIM: 102011302

Email: [email protected]

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat

I. Pendahuluan

A. Latar belakang

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di Seluruh dunia. Pada Desember 2004 WHO memperkirakan terdapat 35,9-44,3 juta orang di dunia mengidap HIV/AIDS, dan sudah tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Berdasarkan data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006 secara kumulatif pengidap HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang (Media Indonesia, 2006). HIV/AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, krisis pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1,2

Sesuai dengan skenario 9 yaitu Seorang laki-laki usia 52 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama batuk-batuk disertai dengan sesak nafas. Pasien menderita panas disertai nyeri menelan sejak 3 minggu lalu. Pasien sering menderita gatal-gatal diseluruh badan, juga mengalami diare sejak 2 bulan terakhir dan berat badan turun sekitar 9 kg dalam 2 bulan terakhir. Pasien merupakan pengguna obat bius intevena dengan jarum suntik yang sama bergantian dengan temannya. Pemeriksaan fisik: 37,90C, denyut nadi 96x/menit, ditemukan pembesaran kelenjar limfe pada leher dan aksilla. Tampak bercak kemerahan pada badan dan tungkai. Pemerikasaan laboratorium: Hb 12.8 g/dL, Ht 38%, leukosit 6200/L, trombosit 128000/L, makalah ini dibuat dengan tujuan membahas lebih dalam mengenai penyakit HIV.

II. Pembahasan

A. Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada dibalik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.3 Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut:

1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis)

2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko)

4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)

5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)

6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya.

Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.

Berdasarkan kasus pada skenario 9 dan dasar teori dari anamnesis, maka dapat diketahui data-data sebagai berikut:

1. Keluhan utama

Batuk disertai sesak napas

2. Riwayat penyakit sekarang

Panas disertai nyeri menelan sejak 3minggu yang lalu. Pasien sering menderita gatal-gatal diseluruh tubuh, juga mengalami diare sejak 2 bulan terakhir dan berat badan berkurang sekitar 9 kg dalam 2 bulan terakhir. Pasien pecandu obat bius intravena dengan jarum suntik yang sama bergantian dengan orang lain.

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi) dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi).4

Pada skenario diketahui suhu 37.9o C, denyut nadi 96x /menit, ditemukan pembesaran kelenjar limfe pada leher dan aksila. Tampak bercak kemerahan pada badan dan tungkai.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skenario 9 adalah pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 12.8 g/dl, Ht 38%, leukosit 6200/ul, dan trombosit = 128.000/ul.

A. Pemeriksaan laboratorium5

a. Pemeriksaan trombosit

- Semi kuantitatif (tidak langsung)

- Langsung (Rees Ecker)

- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

b. Pemeriksaan hematokrit

Pemeriksaan hematokrit antara lain dengan mikro hematokrit centrifuge. Nilai normal hematokrit:

Anak anak: 33 38 vol%

Dewasa laki laki: 40 48 vol%

Dewasa perempuan: 37 43 vol%

Untuk puskesmas misalnya yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3x kadar Hb.

c. Pemeriksaan kadar hemoglobin

Contoh nilai normal hemoglobin (Hb):

Anak anak: 11,5 12,5 gr / 100 ml darah

Pria dewasa: 13 16 gr / 100 ml darah

Wanita dewasa: 12 14 gr / 100 ml darah

D. Diagnosis (Working Diagnose)

Pemeriksaan laboratorium ada dua jenis, yaitu uji saring darah untuk mendeteksi semua individu yang terinfeksi HIV dan uji konfirmasi yang dapat mengetahui bahwa individu yang tersangka positif benar-benar terinfeksi HIV.

Untuk diagnosis HIV dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan deteksi antibodi terhadap HIV, deteksi antigen p24 (protein24) HIV, deteksi asam nukleat (RNA/DNA) dan teknik biakan virus. Ada 2 jenis HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang secara biologis hampir sama. HIV-1 terdiri dari beberapa subtipe yang dapat dibedakan secara genetik. Pemeriksaan anti-HIV harus menggunakan antigen yang dapat dipakai untuk mendeteksi anti-HIV-1, anti-HIV-2 dan antibodi terhadap HV-1 subtipe O.

Tes pertama yang dikembangkan untuk deteksi antibodi HIV adalah metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), karena mampu mendeteksi bermacam-macam penyebab infeksi, sesuai untuk jumlah spesimen yang banyak seperti pada uji saring darah, cukup sensitif dan relatif spesifik.6

Uji anti-HIV dapat diklasifikasi menjadi generasi pertama sampai dengan generasi empat berdasarkan prinsip pemeriksaan dan jenis antigen yang dipakai pada pemeriksaan. Saat ini telah banyak digunakan reagensia Rapid yang memakai antigen seperti pada ELISA generasi ketiga, menggunakan antigen berupa protein rekombinan dan peptide sintetik yang lebih baik sehingga memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Pemeriksaan Rapid tes ini dapat dilaksanakan kurang dari 30 menit dan mempunyai prinsip kerja immunokromatografi, immunodot assay atau aglutinasi partikel (seperti gelatin/lateks).

Untuk uji konfirmasi HIV, yang sering digunakan adalah pemeriksaan Western Blot (WB), Line ImmunoAssays (LIA) dan Indirect immunoflourescence assay (IFA).6

Antibodi yang diperiksa pada umumnya adalah IgG. Antibodi pada umumnya terbentuk 3-6 minggu setelah terinfeksi, bahkan pada pembentukan antibodi lambat baru terbentuk 3-6 bulan. Masa antara terjadinya infeksi sampai timbulnya antibody dikenal sebagai periode jendela (window period).pada saat ini uji terhadap aanya antibody akan menunjukkan hasil negatif atau non-reaktif, walaupun telah terjadi infeksi, sehingga dapat memberikan hasil negatif palsu.6

E. Diagnosis Banding (Difference Diagnose)

Diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang diperkirakan dekat dengan hasil diagnosis kerja (Working Diagnose). Berdasarkan skenario 9 Hepatitis Bdimasukkan kedalam diagnosa banding. Pada hepatitis B gejala yang timbul dapat berupa kehilangan nafsu makan, mual, muntah-muntah, lemas, merasa lelah, nyeri perut terutama di sekitar hati, urin bewarna gelap, kulit menjadi kuning, dan juga terlihat terutama pada mata, serta kadang-kadang pula disertai nyeri otot dan tulang-tulang.7

F. Etiologi

Penyakit HIV merupakan suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Pada kebanyakan kasus infeksi HIV menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan bentuk Imunodefisiensi sekunder karena infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV-1). Ditandai oleh supresi berat imunitas yang diperantarai sel T, infeksi oportunistik,keganasan sekunder, dan kelainan neurologik.2

G. Epidemiologi

Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual-baik homoseksual maupun heteroseksual, inokulasi parenteral, atau dari ibu terinfeksi kepada janin atau neonatus

Di amerika serikat terdapat 5 kelompok risiko:

1. Pria homoseksual/biseksual. Sekitar 60% kasus AIDS yang dilapokan (pada pria homoseksual virus masuk melalui limfosit dalam semen melalui mukosa rectum yang terluka)

2. Pengguna obat intravena (tanpa pengalaman konta homoseksual). Sekitar 23% dari seluruh penderita, yang disebabkan karena penggunaan jarum tercemar dan paraphernalia.

3. Penderita hemofilia. Terutama yang menerima konsentrat faktor VIII yang dikumpulkan dalam jumlah banyak sebelum tahun 1985 1% kasus.

4. Resipien darah/komponen darah (tidak termasuk penderita hemofilia); 2% dari seluruh penderita. Penularan cara ini telah dieliminasi di Amerika Serikat. Namun, karena beberapa penderita yang seronegatif ditemukan, maka risiko kecil namun pasti untuk kejadian ini masih tetap ada.

5. Kelompok risiko yang lain. 6% penderita mendapatkannya melalui kontak heteroseksual dari kelompok risiko tinggi lainnya. 8% anak-anak yang menderita AIDS mempunyai orang tua yanag terinfeksi HIV dan mengalami penularan transplasental atau perinatal. 8

H. Patogenesis

Hal utama dari patogenesis AIDS adalah hilangnya sel CD4+ sel T helper. Antigen CD4 (juga ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan makrofag) adalah reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk protein gp120 dari HIV-I.8

Setelah virus terikat, terjadi internalisasi; genom mengalami transkripsi terbalik (reverse transcription) terjadi integrasi DNA povius kedalam genom pejamu.

Selanjutnya terjadi transkripsi/translasi dan propagasi virus, hanya setelah terjadi aktivasi sel T (misalnya, stimulasi antigen) tanpa aktivasi sel T terjadnya masa laten infeksi HIV

Diperkirakan 0,1% samapi 13% sel T yang beredar mengekspresikan mRNA virus. Meskipun demikian, sebagian besar CD4+ sel T dalam kelenjar limfe (20-30%) mengandung DNA HIV, umumnya dalam bentuk laten.

Monosit dan makrofag terinfeksi yang tahan terhadap efek sitopatik HIV berperan senagai; 1. Reservoir HIV (mungkin memindahkan viruske sel T saat terjadi penyajian antigen) dan 2. Alat transport saat terjadi transport virus, terutama ke susunan saraf pusat

Selain makrofag, sel folikuler dendritik (follicular dendritic cells [FDC]) didalam sentrum germinativum kelenjar limfe njuga merupakan reservoir penting untuk HIV. Partikel virus dilapisi oleh antibodi HIV ditemukan melekat pada reseptor Fc untuk ig pada permukaan FDC. HIV virion ini secara berkesinambungan menginfeksi sel T saat berdekatan dengan FDC ketika melewati kelenjar limfe.

Selain deplesi sel T, terjadi defek kualitatif dan selektif dari fungsi sel T berupa kehilangan memori sel T pada fase dini penyakit ini.

Terjadi aktivasi sel B, namun tidak terjadi respon antibodi yang cukup terhadap antigen yang baru, yang mungkin disebabkan oleh deplesi CD4+ sel T dan/atau defek sel B.8

I. Patofisiologis

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hamper 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun. Dalam tubuh odha, partiketl virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6minggu setelah infeksi (Sudoyo, 2006). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.2

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk kedalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respons imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikrogobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan atibodi upregulaton (gp 120, anti p24; IgA). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak akan memberikan induksi sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit, dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh kedalam stadium lebih lanjut. Saat ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain didalam darah, permilimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berekeringat dimalam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang ataua menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdetekai sebagai influenza atau infeksi mononucleosis. 2

Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut,yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan teknik ELISA akan menunjukkan hasil positif.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang sangat lambat. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll.pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesi dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunankadar CD4+, sitokin (IFNx; IL-2;IL-6); antibody down regulation (gp120; anti p-24); TNF; antinef. 2

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi penumonia dan tuberculosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus didalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif. 2

J. Gejala klinik

Gejala yang muncul pada penderita HIV yaitu demam, keringat malam, kelemahan, adenopati, faringitis, ruam, mialgia, sakit kepala, penurunan berat badan, seborea, nyeri kulit, nyeri mulut, nyeri anus, disfagia, dispnea, batuk, nyeri dada, nyeri abdomen, penglihatan kabur, perdarahan vagina, diare, kehilangan memori, kebingungan. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menetapkan tiga kategori HIV/ AIDS. 9

Kategori A: infeksi HIV tanpa menunjukkan gejala

1. Infeksi HIV primer akut yang ditandai dengan demam, malaise, limfadenopati, dan ruam kulit.

2. Limfadenopati menyeluruh yang persisten tanpa menunjukkan gejala.

Kategori B: kondisi simtomatik yang tidak termasuk kategori lainnya.

1. Kandidiasis vulvovaginal-persisten lebih dari sebulan, kurang berespons terhadap pengobatan

2. Kandidiasis orofaring

3. Angiomatosis basilaris

4. Displasia serviks-berkembang cepat menjadi karsinoma in situ

5. Gejala umum, seperti demam atau diare lebih dari sebulan.

Kategori C: AIDS

1. Hitung sel CD4+ kurang dari 200

2. Infeksi oportunistik

a. Sitomegalovirus yang menyebabkan retinitis dan kardiomiopati

b. Sarkoma Kaposi

c. Pneumonia Pneumocytis carinii

d. Limfoma Non-Hodgkin

e. Ensefalitis toksoplasma

f. Diseminata mycobacterium avium complex (MAC)

g. Tuberkulosis

3. Malnutrisi berat, penurunan berat badan, dan kematian.

K. Komplikasi

Penyakit HIV/AIDS dapat menimbulkan komplikasi seperti pada otak, paru-paru,dan saluran pencernaan. Kompleks demensia AIDS merupakan gambaran klinis akibat langsung HIV ke jaringan otak. Daerah yang sering terinfeksi adalah daerah subkortikal yang meliputi substansia grisea bagian dalam(ganglia basalis dan talamus) dan substansia alba. Pada umumnya, demensia muncul secara tersembunyi/tidak jelas. Namun, pada pasien dengan gangguan sistemik, perkembangan demensia menjadi lebih cepat. Dapat dijumpai juga perubahan pola pikir, gangguan motorik, kelainan tingkah laku dan nyeri kepala serta kejang. Manifestasi lanjut berupa ataksia, inkontinensia, dan tremor.10

Insiden toksoplasmosis otak juga meningkat pada penderita AIDS. Gejala yang paling sering dijumpai adalah hemiparesis, dapat juga dijumpai kejang,afasia maupun gangguan saraf kranial. Toksoplasmosis merupakan salah satu komplikasi HIV otak yang dapat diobati jika didiagnosis sejak dini.

Pada paru-paru, komplikasi yang dapat terjadi adalah pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungsi Pneumocystis jirovecii.Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara Barat, penyakit ini umunya segera menyebabkan kematian.Di negara berkembang, penyakit ini masih menjadi indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umunya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah sel CD4 kurang dari 200/L. TBC juga sering muncul pada stadium lanjut infeksi HIV. TBC akan menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening dan sistem saraf pusat.10

Pada saluran pencernaan, esofagitis adalah peradangan pada esofagus.Individu yang terinfeksi HIV, penyakit terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo) dan bisa juga disebabkan oleh mikrobakteria, walaupun kasusnya sangat langka. Diarekronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagaipenyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (sepertiSalmonella, Shigella, Listeria,Kampilobakter, dan Escherichiacoli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diareterjadi sebagai efeksamping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dariantibiotikyang digunakan untukmenangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile).

Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan carasaluran pencernaanmenyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.10

L. Penatalaksanaan farmakologi

HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total. Namun, pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV. Obat anti retroviral, disingkat ARV bermanfaat untuk menekan replikasi virus HIV sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.11

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tetapi tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia.

Waktu untuk memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV diberikan dalam jangka panjang. Obat direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam criteria diagnosis AIDS, atau menjunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml.

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post-exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. 11

Dengan terapi ARV orang dengan HIV/AIDS (odha) menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.

Selain dengan ARV ada pula pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti;11

PPC: obati dengan trimetoprimsulfatmetoksazol (TMP/SMZ), suatu agen antibakterial. Pentamidin, suatu antiprotozoal, adalah suatu agen alternatif.

Meningitis kriptokokus: obati dengan amfoterisin B IV dengan atau tanpa flukonazol, suatu preparat anti jamur.

Retinitis: obati dengan gansiklovir.

Malignansi sarkoma kaposi: obati dengan alfa-interferon atau preparat kemoterapi yaitu Adrianmycin, bleomisin, vinkristin (ABV); vinblastin untuk lesi intraoral.

M. Penatalaksanaan non-farmakologi

Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik. Odha sangat membutuhkan vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasa diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar odha akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan. Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan mengalami perkembangan lebih cepat pada odha yang mengalami defisiensi vitamnin dan mineral.

Pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan juga perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. 2

N. Prognosis

Prognosis dari infeksi HIV dan AIDS tergantung pada beberapa faktor, termasuk faktor biologis dan faktor sosial. Seorang HIV positif yang tinggal di lingkungan yang sosial ekonominya rendah dengan banyak penderita lainnya dalam hunian yang sama tanpa makanan yang sehat dan layanan kesehatan yang tepat, memiliki prognosis yang lebih buruk dari orang yang memiliki akses layanan kesehatan, antiretroviral dan mengikuti gaya hidup yang sehat. Orang-orang yang memiliki keadaan sosial ekonomi rendah juga lebih rentan terhadap infeksi oportunistik seperti TBC.

Prognosis dari seseorang yang terinfeksi HIV yang peduli akan sistem imun seperti mengobati infeksi oportunistik dan menggunakan antiretroviral bisa baik. Infeksi HIV dan AIDS saat ini termasuk kronis, dapat dikelola dan bukan lagi penyakit akut tanpa harapan hidup.12

III. Penutup

A. Kesimpulan

Laki-laki 52 tahun pada skenario positif terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didapatkan dari pemeriksaan fisik dan penunjang serta gejala klinik yan nampak. Pengobatan efektif untuk kesembuhan total pasien HIV/AIDS belum ditemukan, maka pengobatan yang diberikan hanya dapat memperpanjang umur pasien seperti pemberian obat antiviral dan edukasi mengenai penyakit HIV/AIDS. Penderita tetap harus diberi dorongan untuk tetap semangat menjalani kehidupannya dan diberi bimbingan untuk melakukan kegitan yang positif dan produktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban S. Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwil, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar penyakit dalam jilid III. Ed.5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.2861-8.

1. Nursalam M, Kurniawati N. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2007.h.22.

1. Gleadle, J. Pengambilan Anamnesis. Dalam: At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h. 1-17.

1. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwil, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar penyakit dalam jilid I. Ed.5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.25-7.

1. Bastiansyah, Eko. Panduan lengkap: membaca hasil tes kesehatan. Jakarta: Penebar Plus; 2008.h.45-7.

1. Retnowati E. Koinfeksi human immunodeficiency virus dan hepatitis B patogenesis dan diagnosis. Disampaikan pada Simposium Nasional Penyakit Tropik-Infeksi dan HIV&AIDS: Divisi Penyakit Tropik-Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK. UNAIR-RSU Dr. Soetomo, Surabaya, 22 Maret, 2008

1. Akbar N. Hepatitis B. Dexa media jurnal kedokteran dan farmasi 2006 Apr-Jun; 19(2): 31-32.

1. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Ed.7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.121-5.

1. Brashers V. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen. Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.389-93.

1. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis & tata laksana penyakit saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.68-9.

1. Baughman D, Hackley J. Keperawatan medikal-bedah buku saku dari brunner & suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.h. 4-14.

1. Koretenbout W, Mtshali N, Dyk A. Communicable diseases in southern africa. Pinelands: Pearson Education South Africa; 2009.h.131.