Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Identitas diri pada remaja akhir menandai tugas perkembangan
yang harus diselesaikan di masa ini. Kompleksitas perubahan dan
dinamika internal dalam diri remaja menjadi tantangan bagi proses remaja
membentuk identitasnya. Identitas remaja harus bisa dicapai disamping
banyak faktor yang memengaruhinya yaitu beberapa diantaranya seperti
kualitas pertemanan dan iklim sosial.
2.1. Identitas Diri Remaja
2.1.1. Pengantar tentang Remaja Akhir
Remaja dideskripsikan sebagai masa transisi dari kanak-kanak ke
dewasa, yang berarti berada diantara dua usia, periode di mana
kematangan dicapai; periode di mana seorang individu emosional dewasa
mendekati puncak pertumbuhan fisik dan mentalnya; waktu “kelahiran
kembali” (Powell, 1963). Istilah “adolescence” atau remaja berasal dari
kata latin yaitu “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa” (Hurlock, 1991). Menurut Rifai (1983) masa adolensi
disebut juga masa “physiological learning” dan “social learning” yang
berarti pada masa ini remaja sedang mengalami pematangan fisik dan
sosial.
Jersild (1963) menyatakan istilah “remaja” digunakan untuk
menunjukkan periode di mana seorang individu tumbuh dan mengalami
transisi dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Masa remaja dapat dilihat
sebagai awal sekitar ketika individu mulai menunjukkan tanda-tanda
pubertas dan berlanjut sampai kebanyakan mereka telah matang secara
seksual, telah mencapai pertumbuhan maksimal seperti tinggi, dan
18
mencapai pertumbuhan mental penuh yang diukur dengan tes kecerdasan.
Periode tersebut tercakup meliputi tahun dari sekitar usia dua belas ke
awal dua puluhan.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa lazimnya remaja mulai
dianggap saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia
diakui mencapai usia matang secara hukum. Garis pemisah antara awal
masa remaja terletak kira-kira tiga belas tahun hingga sekitar usia tujuh
belas tahun, usia rata-rata di mana remaja memasuki usia sekolah
menengah atas.
Piaget (dalam Hurlock, 1991) mengatakan bahwa secara
psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi
ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa
bahwa ia berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa
sama atau paling tidak sejajar.
Sarwono (2003) mendefinisikan remaja akhir adalah masa di mana
individu yang telah memiliki keseimbangan antara kepentingan pribadi
yang terbentuk pada masa sebelumnya, dengan kepentingan diri sendiri
dan orang lain. Masa remaja akhir (dalam Agustiani, 2006) didefinisikan
sebagai masa dimana individu memasuki usia 19-21 tahun, ditandai oleh
persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa dan masa di
mana individu berusaha memantapkan tujuan vokasional dan
mengembangkan identitas pribadi.
Ahmadi dan Sholeh (2005) menyatakan bahwa remaja akhir adalah
masa dimana seorang individu telah menerima keadaan fisik yang berubah
selama proses remaja awal sampai remaja pertengahan, dan bersama
dengan itu, terbentuk pilihan-pilihan dan pendirian-pendirian hidup yang
semakin mantap.
19
Feist dan Feist (2006) menyatakan bahwa remaja akhir atau late
adolescence adalah masa di mana anak-anak muda mulai merasakan nafsu
dan keintiman terhadap satu orang yang sama dan ini berakhhir pada masa
dewasa saat mereka sanggup membangun sebuah hubungan cinta yang
abadi.
Monks (1999) memberikan batasan usia remaja akhir adalah 18-21
tahun. Senada dengan itu, Asrori & Ali (2008) juga membagi usia remaja
akhir enjadi antar 18-21 tahun. Sedangkan Hurlock membagi masa remaja
akhir dalam usia 17-18. Dalam penelitian ini usia yang dimaksud adalah
18-21 tahun seperti batasan usia yang dikemukakan oleh Monks (1999).
Remaja akhir umumnya adalah individu dalam rentang tahanpan tingkat
akhir SMU dan mahasiswa Perguruan inggi tingkat awal (Christianti,
2004). Pada masa ini seseorang sudah mulai berperilaku seperti orang
dewasa dibandingkan pada usia remaja awal (12-15) yang masih erat
dengan sifat kekanak-kanakan dan sangat bergantung pada orang tua.
Selanjutnya Menurut Ahmadi & Sholeh (2005) remaja akhir
memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:
a) Pemantapan pendirian hidup dengan pengujian lebih lanjut tentang
pendirian hidup serta penyiapan diri dengan keterampilan dan
kemampuan yang diperlukanuntuk merealisasikan pendirian hidup
yang telah dipilihnya
b) Mencapai proses pematangan biologis-fisiologis yang makin
melambat dan akhirnya mencapai taraf kematangan
c) Menghilangnya problem-problem yang berkaitan dengan
perubahan-perubahan biologis-fisiologis dan penemuan pendirian
hidupyang makin mantap.
20
Menurut Garrison (dalam Kusumawati, 2008) tugas perkembangan
remaja akhir yaitu antara lain:
a) Menerima kondisi jasmani
Kondisi jasmani sesorang sudah relatif stabil pada masa ini, hal ini
juga berkaitan dengan bentuk tubuh dan berat badan yang
dimilikinya. Seseorang harus menerima keadaan fisik yang
dimilikinya dengan baik serta puas dengan penampilan fisiknya
yang ada.
b) Mendapatkan hubungan yang lebih dalam dan intens dengan teman
yang berlainan jenis
Kematangan seksual yang dicapai sejak awal remaja mendorong
remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih dalam dan
intens dengan lawan jenis.
c) Menerima kondisi dan belajar hidup sesuai dengan jenis
kelaminnya
Remaja akhir harus dapat menerima kondisi kelaminnya (sebagai
laki-laki atau perempuan) dengan penuh tanggung jawab.
d) Mendapat kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnnya
Bebas dari ketergantungan emosional merupakan tugas
perkembangan yang penting bagi remaja. Apabila tidak memiliki
kebebasan emosional, remaja akhir akan menemui kesukaran
dalam masa dewasa, tidak bisamembuat keputusan sendiri dan
bertanggungawab atas pilihan yang daitempuhnya.
e) Mendapatkan kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang
berkaitan dengan masalah ekonomi
21
Tugas lainnnya adalah kesanggupan berdiri sendiri dalam masalah
ekonomi karena kelak mereka akanhidup sebagai orang dewasa.
f) Mendapatkan nilai-nilai dan falsafah hidup
Nilai-nilai dan falsafah hidup di sini berkaitan dengan tujuan
hidup, perilaku dirinya, keluarga dan orang lain, serta keagamaan.
Periode remaja akhir harus sudah bisa menemukan falsafah hidup
sehingga ia bisa hidup dengan harmonis dan menginjak ke tahap
perkembangan selanjutnya yaitu masa dewasa.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa remaja adalah usia
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan diikuti oleh
perubahan fisik dan psikologis dan berusaha menemukan jalan hidupnya,
menyelesaikan sejumlah tugas perkembangannya serta mulai mencari
nilai-nilai kematangan diri dari berbagai aspek baik fisik, mental, emosi,
kognitif, sosial dan sebagainya.
Adapun ciri-ciri remaja akhir seperti yang dikemukakan Mappriare
(1982) adalah stabilitas mulai timbul dan meningkat, citra diri dan sikap
pandangan menjadi lebih realisitis, mampu menghadapi masalah dengan
lebih matang, dan perasaan menjadi lebih tenang.
Pada umumnyaremaja akhir atau usia 18-21 tahun dalam batasan
usia itu terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan
perkembangan aspek-aspek psikis yang dimulai sejak masa-masa
sebelumnya, yang mengarah pada kematangan yang sempurna (Al
Mighwar, 2006). Namun ciri-ciri remaja akhir dapat dilihat antara lain
sebagai berikut:
Menurut Sarwono (2003) ciri-ciri remaja akhir adalah sebagai
berikut:
a) Minat yang mantap terhadap fungsi-fungsi intelek
22
b) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain
dalam pengalaman-pengalaman baru
c) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
d) Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan
diri sendiri dengan orang lain
Selanjutnya Al-Mighwar (2006) menyebutkan ciri-ciri umum
remaja akhir yaitu sebagai berikut:
a) Mulai stabil baik dalam aspek fisik maupun psikis
b) Lebih realistis dalam menilai diri sesuai keadaan yang ada
c) Lebih matang menghadapi masalah karena kemampuan berpikir
sudah lebih sempurna dibanding masa remaja awal maupun
pertengahan
d) Menunjukkan perasaan yang lebih tenang dibanding masa remaja
awal dan pertengahan.
2.1.2. Identitas Diri
Ishiyama (1987 dalam Ishiyama 1989) menyatakan identitas diri
adalah proses memulihkan dan memperkuat rasa harga diri, dan identitas
pribadi ada dalam kompetensi melalui berbagai kegiatan serta interaksi
dengan lingkungan alam dan sosial, dan jauh melampaui hal itu adalah
juga untuk tingkat spiritual. Identitas diri demikian mengacu pada
pengakuan dan penegasan dari semua aspek diri dan nilai dan makna dari
eksistensi pribadi. Model ini mengusulkan bahwa individu termotivasi
untuk memulihkan, mempertahankan, dan lebih meningkatkan rasa diri
oleh berbagai validasi diri dalam dimensi fisik, sosial, dan pribadi.
Wendt (1992, dalam Fearon, 1999) menyatakan bahwa identitas
diri adalah apa yang relatif stabil, pemahaman peran yang spesifik dan
harapan tentang diri. Hogg & Abrams (1988 dalam Fearon, 1999)
23
menyatakan identitas diri adalah konsep orang tentang siapa mereka, jenis
orang seperti apa dan bagaimana mereka dalam hubungan dengan orang
lain.
Cast & Burke (2002) identitas adalah seperangkat makna yang
mewakili pemahaman, perasaan, dan harapan yang diterapkan diri sebagai
penghuni posisi sosial. Adams & Marshall (Serafini & Adams, 2002)
menyatakan identitas adalah konstruksi sosial-psikologis yang
mencerminkan pengaruh sosial melalui imitasi dan identifikasi proses dan
aktif diri konstruksi dalam penciptaan apa yang penting untuk diri dan
orang lain. Aspek diri yang konstruktif aktif identitas didirikan pada
kognitif (atau ego) operasi yang mengatur, struktur, dan membangun atau
merekonstruksi pengetahuan tentang diri.
Erikson (dalam Reich dan Siegel, 2002) yang dikutip asumsi
implisitnya bahwa orang akan ada dalam situasi stres, keamanan individu
yang melekat harus lebih terbuka untuk eksplorasi intelektual dan
lingkungan yang mendasari proses pembentukan identitas. Identitas diri
sebagai pearsaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang
dari waktu ke waktu. Teori ego-identitas Erikson menunjukkan bahwa
individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, otonomi,
inisiatif, industri, identitas dan atau memiliki keunikan potensi yang lebih
memadai secara psikologis untuk menahan ancaman terhadap diri yang
sering menyertai eksplorasi.
Menurut Gunarsa (2003) identitas dapat diartikan sebagai suatu inti
pribadi yang tetap ada walaupun mengalami perubahan bertahap dengan
perkembangan umur dan perkembangan lingkungan. Gunarsa juga
menambahkan bahwa identitas juga dapat diartikan sebagai cara hidup
tertentu yang sudah dibentuk pada masa-masa sebelumnya dan
24
menentukan peranan sosial manakah yang harus dijalankan. Identitas juga
merupakan suatu hasil yang diperoleh pada masa remaja, akan tetapi yang
masih mengalami perubahan dan pembaharuan. Identitas dialami sebagai
suatu kelangsungan di dalam dirinya dan di dalam hubungan keluar
dirinya. Identitas juga merupakan suatu penyesuaian peranan sosial yang
ada azaznya mengalami perubahan.
Stuart & Laraia (2005) menyatakan identitas diri ditandai dengan
seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Salah satu
dasar persepsi seseorang terhadap kecukupan peran yang diterimanya
adalah ego yang menyertai peran, berkembang sesuai dengan harga diri,
dimana harga diri yang tinggi adalah hasil dari pemenuhan kebutuhan
peran dan sejalan dengan ideal diri seseorang.
Andreouli (2010) menyebutkan bahwa identitas telah
dikonseptualisasikan sebagai posisi menuju “lainnya” dalam kaitannya
dengan representasi sosial yang mana posisi tersebut memungkinkan
individu untuk melihat identitas sebagai proses relasional dan dinamis.
Sedangkan Leary & Tangney (2012) menyatakan identitas
merupakan ciri-ciri dan karakteristik, hubungan sosial, peran, dan
keanggotaan kelompok sosial yang menentukan siapa individu tersebut.
Identitas dapat difokuskan pada masa lalu, masa sekarang, atau masa
depan,dimana seseorang merasa wajib untuk mencoba untuk menjadi
“siapa”, atau ketakutan seseorang dapat menjadi “siapa”.
Kartono & Gulo (dalam Purwanti, 2013) menyatakan identitas diri
merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan
orang lain. Individu harus memutuskan siapakah dirinya sebenarnya dan
bagaimanakah peranannya dalam kehidupan nanti. Selanjutnya Panuju &
Umami (dalam Purwanti, 2013) menyatakan bahwa identitas merupakan
25
suatu kesatuan. Kesatuan yang terbentuk dari asas-asas, cara hidup,
pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Kesatuan
ini merupakan inti seseorang yang menentukan cara meninjau diri sendiri
dalam pergaulan dan tinjauannya keluar dirinya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana
menurut Ishiyama, identitas diri adalah proses memulihkan dan
memperkuat rasa harga diri, dan identitas pribadi ada dalam kompetensi
melalui berbagai kegiatan serta interaksi dengan lingkungan alam dan
sosial, dan jauh melampaui hal itu adalah juga untuk tingkat spiritual.
Identitas diri demikian mengacu pada pengakuan dan penegasan dari
semua aspek diri dan nilai dan makna dari eksistensi pribadi.
2.1.3. Teori Identitas Diri
Salah satu proses utama dalam masa remaja ialah pembentukan
identitas (identity formation) yang mana adalah sebuah prosedur untuk
memperjelas dan menegaskan nilai seorang pribadi. Hal ini menjadi saat
di mana remaja secara kognitif mengganti nilai-nilai lama dan tingkah
lakunya sebagai pengalaman mereka yang baru. Namun oleh hal ini, ada
yang disebut Erikson sebagai “krisis identitas” yaitu keadaan
ketidakmampuan untuk menempatkan apa yang akurat dan bermakna
dalam diri seseorang sebagai identitas (Turner& Helms, 1983).
Dalam tahapan psikososial Erikson seperti yang jelaskan oleh
Turner & Helms (1983) dalam bukunya “Lifespan Development”, tahapan
yang kelima sering dirujuk sebagai teori Erikson tentang „pencarian
identitas‟ yang mungkin sekali paling populer dalam ke delapan tahapan
psikososialnya. Sejak awal pubertas dan kematangan seksual, remaja
menyadari bahwa masa kanak-kanak telah hilang dan masa dewasa mulai
mendekat. Oleh karenanya, ego harus dinilai kembali dalam realitas dan
26
menjalankannnya dalam kesehariannya. Namun pada kebanyakannya,
remaja selalu mengalami „kebinggungan‟ dalam hal yang berkatan dengan
ide-ide dan hal-hal menyangkut keyakinan diri remaja itu sendiri ketika
berhadapan dengan orang lain. Bagian yang menjadi perhatian adalah
dicapainya kesesuaian antara persepsi diri dalam identitas indivdu itu
sendiri dengan individu yang lain. Hal ini juga nampak dalam
meningkatnya perhatian pada kemampuan-kemampuan sosial remaja dan
ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya khususnya dalam
menyesuaikannya dengan prototipe-prototipe yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena itu tersebut mengambil tempat dalam bentuk „identitas ego‟
itu sendiri.
Erikson (dalam Turner & Helms, 1983) menyatakan kemampuan
ego untuk mengintegrasikan semua hal yang berkaitan dengan identifikasi-
identifikasi tawaran-tawaran menyangkut pekerjaan atau yang disebut
Erikson sebagai „peran sosial‟ merupakan keberhasilan remaja dalam
tahapan ini. Sehingga Teori Erikson mengenai “Identitas versus
Kebingungan peran” (identity versus role confusion) menegaskan bahwa
tugas utama dari masa remaja ialah untuk menjadi orang dewasa yang
unik dengan pemahaman diri sendiri yang koheren dan memiliki peran
yang bernilai dalam masyarakat (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).
Remaja membentuk identitas mereka dengan menggabungkan identifikasi
sebelumnya menjadi “struktur psikologis baru, lebih besar dari jumah
bagian-bagian yang membentuknya” (Kroger dalam Papalia, et al., 2009).
Identitas yang terbentuk saat remaja menyelesaikan tiga persoalan besar
yaitu mengenai karir atau pekerjaan, pemilihan nilai-nilai atau ideologi
untuk diterapkan dalam dirinya, dan perkembangan identitas seksual yang
memuaskan (Papalia, et al., 2009). Erikson dalam teorinya menyebutkan
27
bahwa identitas ego secara konstan berubah karena pengalaman-
pengalaman baru dan informasi yang diperoleh dalam interaksi sehari-hari
dengan orang lain (Upton, 2012).
Proses pembentukan identitas merupakan perkembangan ke arah
individualitas yang mantap. Hal ini dapat diungkapkan sebagai “satu
proses restrukturisasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu, di
mana seluruh identitas fragmenter yang dahulu diolah dalam perspektif
suatu masa depan yang diantisipasi” (Erikson,1989). Individu dapat
menemukan identitasnya apabila ia dapat menggabungkan semua
identifikasi masa kanak-kanaknya di dalam suatu konfigurasi baru,
sehingga identitas pribadi bukan merupakan penjumlahan otomatis dari
semua identifikasi terdahulu, melainkan suatu “prestasi sintesis pribadi”.
Keberhasilan merestrukturisasi identitas diri sebagai sosok individu
remaja akan sangat membantu untuk mengambil peran yang tepat dalam
kehidupannya. Terbentuknya identitas diri pada masa remaja, akan dapat
mengarahkan tingkah laku dan sikap terhadap lingkungan.
Konsep identitas diri sendiri sangat berkenaan dengan fase remaja,
terutama remaja akhir. Menurut Erikson (Bosma et.al dalam Marwing &
Ilman, 2014), dalam tahap perkembangan tersebut, remaja menjawab
pertanyaan tentang status dan peran yang diberikan orang lain kepada
dirinya di tengah masyarakat. Remaja tidak membentuk identitas diri
mereka dengan hanya memodel atau mencontohnya dari orang lain tetapi
juga memodifikasi dan menyatukan hasil identifikasi awal di atas menjadi
suatu struktur psikologis yang baru, dan lebih besar dan penjumlahan
bagian-bagiannya. Pengetahuan yang dimiliki remaja akan menghasilkan
suatu sikap dalam kehidupan dirinya. Dalam proses pencarian identitas,
remaja akan mencari tahu tentang siapa dirinya dalam lingkungan
28
sosialnya terutama pada kelompok-kelompok sosial, seperti kelompok
teman sebaya, kelompok agama dan sebagainya. Hal ini dapat membantu
remaja untuk mengetahui dirinya dalam perbandingannya dengan orang
lain yang selanjutnya akan berpengaruh pada sikap yang akan mereka
tunjukkan.
Meskipun berbagai pernyataan tentang identitas menjadi hal yang
penting dalam masa remaja, pembentukan identitas tidak dimulai atau
diakhiri pada masa ini. Hal yang terpenting terjadi pada masa ini ialah
untuk pertama kalinya terjadi perkembangan fisik, kognitif, dan
sosioemosi hingga suatu taraf yang memungkinkan individu dapat
menyaring dan mensintesiskan identitas kanak-kanak dan beridentifikasi
untuk melangkah mencapai kematangan seorang dewasa (Santrock, 2011).
2.1.4. Dimensi Identitas Diri
Identitas diri dapat diungkap melalui suatu pengukuran yang
mengacu pada indikator atau aspek-aspek atau dimensi-dimensi sebagai
pengukur identitas diri itu sendiri, oleh karena itu penyajian teori tentang
dimensi-dimensi sebagai pengukur identitas diri sangat diperlukan agar
dapat dirumuskan suatu alat pengukuran yang tepat. Erikson (dalam
Santrock, 2003) mengemukakan bahwa aspek-aspek identitas diri adalah
genetik, adaptif, struktural, dinamis, timbal balik psikososial dan status
eksistensial yang dapat membantu individu dalam menemukan identitas
dirinya.
Ishiyama (1989) yang mengembangkan teori Erikson menyebutkan
identitas diri sebagai “multi-lateral” di mana ada banyak dimensi yang
membingkai identitas diri sorang individu. Dimensi-dimensi identitas diri
antara lain social identity, physical identity, personal identity, familial
identity, dan ethical-moral identity, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
29
1. Social identity atau identitas sosial
Identitas sosial yang dimaksud ialah remaja dan keanggotaan atau
eksistensinya secara sosial. Kelompok sosial merupakan suatu hal yang
penting bagi remaja. Komunitas dan pergaulan bersama teman sebaya
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari diri seorang remaja.
Remaja mengambil peran dan menghabiskan banyak perhatian untuk bisa
atau berada dalam suatu komunitas sosial, menjadi anggota suatu
kelompok, dan sebagainya. Seperti kelompok teman sebaya misalnya.
Bagi remaja kelompok teman sebaya adalah sumber kasih sayang, simpati,
perhatian, pengertian, dan tuntutan moral; tempat untuk melakukan
eksperimen; serta sarana untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari
orang tua.
Pemenuhan peran dalam kelompok sekolah, rumah dan masyarakat
secara umum merupakan aspek lain dari identitas sosial. Aspek identitas
sosial akan terus menerus berkembang dan akan diperoleh dari suatu
proses penerimaan dan atau penolakan dari orang lain (Papalia, et al.,
2009).
2. Identitas fisik (physical identity)
Penampilan atau fisik merupakan perhatian penting bagi seorang
remaja. Remaja bisa menjadi gelisah karena fisik atau penampilannya
bahkan berusaha keras untuk memiliki penampilan yang baik. Identitas
fisik selalu dipengaruhi oleh konteks sosial di mana remaja berada.
Demikian juga penilaian orang lain terhadap fisik dan penampilan remaja
juga memiliki pengaruh besar bagi identitas fisik seorang remaja.
Preokupasi terhadap citra tubuh sangat kuat di atara remaja. Secara
umum, jika dibandingkan dengan remaja laki-laki, remaja perempuan
kurang puas dengan tubuhnya (Santrock, 2011). Pada dasarnya
30
karakteristik setiap individu adalah untuk memiliki pandangan terhadap
fisiknya, seperti selama masa remaja, perubahan besar terjadi di sekitar
proporsi, ukuran, tampilan wajah, dan banyak dari perkembangan primer
dan sekunder organ-organ seksual. Pandangan tentang fisik remaja oleh
remaja itu sendiri didasarkan pada perluasan dari norma-norma, dan
khususnya pada interpretasi terhadap norma-norma yang diterima sebagai
standar oleh kelompok teman sebaya. Gambaran citra diri akhirnya
menjadi penting bagi seorang remaja, bahkan sebuah studi membuktikan
bahwa ada sebuah hubungan sebab-akibat antara citra fisik dan reputasi
seorang remaja. Juga mengenai tubuh tinggi atau pendek, juga mengenai
kegemukan dan perubahan warna suara biasanya menjadi „masalah‟ bagi
seorang remaja. Namun betapa pun hal-hal tersebut menjadi masalah,
namun bagi seorang remaja hal-hal tersebut berhubungan fungsi-fungsi
tertentu antara lain remaja menjadi lebih memperhatikan kesehatan,
kekuatan, dan koordinasi yang mana semuannya itu berimbas pada
aktivitas sosialnya bersama teman atau kelompok sebayanya (Powell,
1963).
3. Identitas personal (personal identity)
Karakteristik personal atau kepribadian remaja merupakan bagian
yang juga penting. Hal tersebut karena selain perkembangan fisik
mengalami perubahan-perubahan besar tetapi pada saat yang sama
kepribadian remaja pun juga mengalami perubahan seperti konsep diri
(self-concept) juga kematangan emosional serta intelegensi. Dalam suatu
studi yang dilakukan oleh Mussen dan Jones (dalam Powell, 1963)
menyatakan bahwa lingkungan sosiopsikologis dan karakteristik fisik
yang lambat memengaruhi dengan pengaruh merugikan bagi kepribadian
seorang remaja, sedangkan pada saat yang sama tanda-tanda konsep diri
31
yang muncul pada remaja awal pada umumnya menimbulkan rasa percaya
diri pada seorang remaja. Perkembangan konsep diri yang sehat terlihat
sangat sulit bagi seorang remaja. Masyarakat yang mana di dalamnya
remaja ada dan bertumbuh memiliki pengaruh utama dalam aspek
perkembanganya, sejak konsep diri yang ideal sering berdasarkan persepsi
dari apa yang dipatok oleh masyarakat sebagai yang ideal (Powell, 1963).
Seperti gambaran tentang perubahan yang ideal seiring dengan
meningkatnya usia demikianlah juga konsep diri seorang remaja.
Kematangan konsep diri berubah-ubah sesuai usia dan biasanya menjadi
lebih matang saat individu tersebut bertambah tua. Faktor etnis dan agama
juga turut memberi pengaruh terhadap perkembangan karakteristik
kepribadian seorang remaja.
Seorang remaja lebih menaruh perhatian pada tindakan-tindakan
yang kelihatan dari pada kepribadian inti (inner personality). Seperti
kejujuran, keramahan, keberanian dan sebagaian adalah karakteristik yang
dilihat oleh seorang remaja sebagai yang paling diinginkan ada pada orang
lain dan juga pada dirinya. Umumnya, karakteristik seperti agresif tidak
diterima. Kepribadian dan karateristik sifat menjadi sangat penting bagi
seroang remaja ketika ia mulai masuk dalam suatu kelompok sosial dan
atau dalam perkembangan hubungan personal antar lawan jenis (Powell,
1963).
4. Identitas Keluarga (familial identity)
Keluarga merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan
remaja. Meskipun remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama
teman sebaya dan leih sedikit dengan keluarga akan tetapi sebgaian besar
nilai-nilai dasar remaja tetap lebih dekat nilai-nilai orang tua mereka
dibandingkandengan yang secara umum disadari (Papalia, et al., 2009).
32
Remaja yang paling merasa aman memiliki hubungan yang kuat dan
penuh dukungan dengan orang tua yang memahami cara remaja melihat
diri mereka sendiri, mengizinkan dan mendorong usaha mereka untuk
mencapai kemandirian, serta menyediakan tempat mana di saat-saat
remaja mengalami tekanan emosional.
Di lain pihak remaja juga merasakan tekanan antara
ketergantungan mereka dengan orang tua dan kebutuhan untuk
melepaskan diri, pada saat yang sama orang tua pun merasakan berbagai
hal. Tekanan keluarga yang menghendaki remaja untuk memiliki
kemandirian namun pada saat yang sama orang tua juga sulit untuk
melepaskan remaja untuk melakukan segala sesuatu sendiri. Tekanan
inilah yang seringkali menyebabkan konflik dalam keluarga (Papalia, et
al., 2009). Hurlock (1980) menyebut masalah yang lebih penting lainnya
ialah “kesenjangan generasi” antara remaja dan orang tua mereka
disebabkan adanya perubahan radikal dalam nilai dan perilaku.
Kesenjangan yang paling menonjol ialah terjadi di bidang norma-norma
sosial.
Di lain pihak dalam keluarga juga ada relasi antara remaja dan
saudara kandung, dengan kakek, nenek atau dengan sanak saudara lain.
Seringkali remaja yang lebih tua akan mengembangkan sikap seperti
orang tua mereka terhadap saudara kandung atau adik-adiknya. Hal ini
akan juga mengurangi masalah remaja dengan saudara kandung atau yang
lebih dikenal dengan “persaingan antarsaudara” (Hurlock, 1980).
Dalam keluarga, jumlah anak juga menjadi penentu besarnya
pertentangan remaja dengan orang tua. Dalam keluarga sedang yang
terdiri dari tiga atau empat anak akan lebih sering terjadi pertentangan
dibandingkan dengan keluarga kecil atau pun keluarga besar. Orang tua
33
dalam keluarga besar tidak membenarkan adanya pertentangan sedangkan
dalam keluarga kecil remaja bersikap lebih lunak dan merasa tidak perlu
untuk memberontak.
5. Identitas etis-moral (ethical-moral identity)
Salah satu tugas perkembangan remaja ialah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dan kemudian membentuk perilakunya agar
sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi didorong
apalagi diancam. Pembentukan kode moral akan terasa sulit bagi remaja
karena ketidakkonsistenan dalam konsep yang benar dan salah yang
daitemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian remaja
diharapkan menanamkan prinsip dan konsep-konsep moral yang berlaku
umum dan dan merumuskannnya dalam kode moral yang akan berfungsi
sebagai pedoman perilakunya (Hurlock, 1980). Ketika memasuki usia
remaja, remaja tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orang tua,
guru, bahkan teman sebayanya karena ia sendiri telah mulai membentuk
kode moral sendiri.
Dimensi-dimensi identitas diri yang ditawarkan oleh Ishiyama
(1989) menurut teori identitas Erikson, memberi jangkauan konkret untuk
memahami identitas diri yang kompleks. Dengan demikian dalam
penelitian ini akan digunakan dimensi identitas diri menurut Ishiyama
(1989).
2.1.5. Faktor-faktor yang memengaruhi Identitas Diri
Sedikides & Brewer (1996) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi identitas diri ialah berdasarkan rantai kelekatan personal.
Hal-hal tersebut meliputi hubungan orang tua-remaja, pertemanan atau
persabahatan, pacaran, serta hubungan guru dan murid.
34
Macia (dalam Dariyo, 2004) menyebut dua faktor utama yaitu
pertama ialah orang tua dan yang kedua ialah kepribadian remaja itu
sendiri (meliputi kekuatan ego, kemandirian, kontrol diri internal, percaya
diri, insiatif, kreatif dan berprestasi).
Smits et.al. (2008) juga menyebut keluarga sebagai faktor yang
mempengaruhi identitas diri, terutama yang berkaitan dengan pola asuh,
rasa aman, kelekatan, komunikasi yang hangat. Para (2008) dalam
penelitiannya menyatakan ada dua sumber dukungan yang utama bagi
perkembangan individu yaitu keluarga dan teman sebaya.
Fuhrman (dalam Ristianti, 2009) menyebut faktor-faktor seperti
hubungan orang tua-remaja, model identifikasi, homogenitas lingkungan,
perkembangan kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanak,
pengalaman kerja, interaksi sosial, dan kelompok teman sebaya. Berkaitan
dengan teman sebaya, Bosma & Kunnen (2001) yang dalam penelitiannya
menemukan bahwa teman sebaya menawarkan model-model, ragam, dan
peluang untuk eksplorasi identitas menyangkut nilai-nilai, ide dan
keyakinan-keyakinan.
Coatsworth et.al.; McIntosh et.al., (dalam Berk, 2012)
menyebutkan sekolah dan komunitas juga turut memberi pengaruh dan
memberi banyak peluang bagi ekplorasi identitas seorang remaja,
aktivitas-aktivitas seperti kegiatan ektrakulikuler, dinamika kelas, dan
berbagai pelatihan. Berk (2012) juga menyebutkan faktor lain yaitu
budaya yang juga turut memengaruhi perkembangan identitas. Rich &
Schachter (2012) menambahkan faktor yang lain bagi perkembangan
identitas yaitu iklim sosial di mana persepsi siswa terhadap iklim sosial
yang positif bermakna dan berguna bagi penegasan eksplorasi identitas.
35
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi identitas diri remaja ialah relasi orang tua-remaja,
kepribadian remaja, identitas sebelumnya (pra remaja), gaya pengasuhan,
model atau tokoh yang diidolakan, homogenitas lingkungan,
perkembangan kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanak,
interaksi sosial, teman sebaya, iklim sosial, komunitas sekolah, dan
budaya.
2.2. Kualitas Pertemanan
2.2.1. Pengertian Kualitas Pertemanan
Menurut Coleman (1980) kualitas pertemanan adalah seberapa
besar penerimaan yang ditunjukkan dari adanya kedekatan hubungan
antara dua orang atau lebih yang melibatkan penyikapan diri sendiri serta
merupakan bentuk kedekatan alamiah. Pertemanan yang terjadi antar
pribadi berkaitan dengan kualitas pertemanan tersebut.
Parker & Asher (1993) mendefenisikan kualitas pertemanan
sebagai hubungan akrab dalam kebersamaaan antar individu, yang mana
meskipun ada ruang untuk berkonflik namun memiliki pengaruh positif
secara keseluruhan pada psikologis kesejahteraan individu
tersebut.Sedangkan Furman &Buhrmester (1992, dalam La Gresa &
Harrison, 2005) menyatakan selama masa remaja, pertemanan atau
persahabatan merupakan sumber utama dukungan sosial bagi remaja.
Bukowski et al., (2009, dalam Dessousa et.al., 2013) hubungan
pertemanan adalah pengalaman di mana-mana untuk anak-anak dari segala
usia, dan beberapa manfaat yang terkait dengan kualitas pertemanan yang
baik dalam perkembangan anak bahkan sampai remaja dan dewasa.
Selanjutnya Bukowski et al. (2009) juga mendefenisikan sebuah kualitas
persahabatan sebagai hubungan efektif dalam timbal balikyang kuat dan
36
positif hubungan afektif antara dua orang yang diharapkan akan ada untuk
satu sama lain untuk menawarkan persahabatan, dukungan, dan bantuan
bila diperlukan.
Santrock (dalam Dariyo, 2004) mengatakan bahwa pertemanan
merupakan hubungan antar individu, yang ditandai dengan keakraban,
saling percaya, menerima satu dengan yang lain, mau berbagi perasaan,
pemikiran dan pengalaman, serta kadang-kadang melakukan aktivitas
bersama.
Kiesner, et al., (2005, dalam Dessousa, et.al., 2013)
mendefinisikan kualitas pertemanan dengan membangun persepsi individu
tentang persahabatan khusus. Hubungan antar teman yang menghadirkan
fitur berkualitas baik telah dikaitkan dengan berbagai efek langsung dan
tidak langsung yang positif pada remaja itu sendiri (Berndt, 2002). Sampai
saat ini definisi kualitas pertemanan lebih banyak dikaitkan dengan
pengaruhnya dalam hubungan persahabatan. Kualitas pertemanan ditandai
dengan tingginya frekuensi interaksi positif dan rendahnya frekuensi
interaksi negatif. Selanjutnya Damon dalam Grimme (2005) menyatakan
bahwa kualitas persahabatan adalah hubungan yang berkembang dari
konsep konkrit seperti bergabung dalam beberapa aktivitas atau kegiatan,
menjadi terfokus pada konsep abstrak seperti pada hubungan mutual dan
kepuasan psikologis.
La Greca & Harrison (2005) menyatakan secara umum kualitas
positif dari persahabatan remaja (yaitu keakraban dan dukungan) dikaitkan
dengan tingkat kecemasan sosial yang lebih rendah, di mana hal ini
menunjukkan bahwa pertemanan atau persahabatan dapat menjadi
pelindung fungsi kesehatan mental seseorang. Sebelumnya Berndt (2002)
juga menyatakan bahwa hubungan antar teman yang nampak dalam jenis
37
kualitas yang baik berkaitan dengan berbagai efek langsung dan tidak
langsung yang positif pada individu itu sendiri.
Menurut Kieser et al. (2005) kualitas pertemanan adalah sebuah
tatatan yang mengacu persepsi individu tentang relasi pertemanan yang
khusus.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan
sebagaimanamenurut Parker & Asher (1993) yaitu kualitas pertemanan
sebagai hubungan akrab dalam kebersamaaan antar individu, yang mana
meskipun ada ruang untuk berkonflik namun memiliki pengaruh positif
secara keseluruhan pada psikologis kesejahteraan individu tersebut.
2.2.2. Teori Kualitas Pertemanan
Berndt& Perry (1986, dalam Bagwell et.al., 2001) menyatakan
pertemanan dan hubungan persahabatan selama masa remaja berfungsi
untuk menjembatani kesenjangan antara masa kanak-kanak dan dewasa.
Sebagai anak-anak yang memasuki masa remaja, mereka mendapatkan
peningkatan kemandirian dari orang tua mereka dan memulai proses terus-
menerus memperbaiki komitmen dan hubungan pribadi mereka. Remaja
mungkin memiliki empat sampai enam teman terbaik yang mereka
tetapkan sebagai yang dapat dipercaya, memahami, dan setia. Bliezsner &
Adams (1992, dalam Demir, 2007) menunjukkan bahwa seseorang akan
lebih bahagia saat mereka mengalami persahabatan dengan kualitas yang
tinggi dengan sahabat mereka.
Wright (1984, dalam Żurko, 2011) yang menganggap persahabatan
sebagai hubungan memfasilitasi pemenuhan atau ekspresi harapan
individu mengenai konfirmasi keunikan dan pentingnya, pertumbuhan
(perkembangan) seseorang dan menghindari ancaman. Sedangkan Zurko
38
(2011) menyatakan kualitas persahabatan merupakan sebuah fenomena
multidimensi yang sulit untuk dijelaskan.
Erikson (1964 dalam Upton, 2012) mengidentifikasi tantangan
membangun hubungan intim dengan orang lain sebagai tugas utama
perkembangan dalam tahap psikososial keenam, keintiman vs isolasi, yang
berlangsung dari sekitar usia dua puluh hingga empat puluh usia.
Menyoroti pentingnya remaja dalam transisi ke masa dewasa, Erikson
menekankan bahwa kemampuan untuk mencapai keintiman selama
dewasa muda sangat tergantung pada pengalaman relasional sebelumnya
yaitu pada masa remaja.
Ide ini konsisten dengan deskripsi Sullivan (1953) tentang
pentingnya persahabatan pra-remaja untuk menyediakan konteks untuk
mengembangkan keterampilan dan kompetensi yang penting untuk
keberhasilan dalam hubungan masa depan. Konseptualisasi yang lebih
baru dari fungsi masa kanak-kanak dan kualitas pertemanan pra-remaja
menekankan bahwa pengalaman-pengalaman persahabatan sebelumnya
menyediakan bangunan untuk pengembangan hubungan romantis dan
hubungan interpersonal lainnya pada masa remaja akhir dan dewasa nanti.
Bagwell, et al. (1998) juga menyatakan bahwa persahabatan di masa
remaja cukup dapat memprediksi nilai-diri seseorang dimasa
depan.Sullivan (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa pada masa
remaja, pengaruh psikologis dan keakraban kawan dekat cenderung
mengikat. Teman memainkan peranan yang penting dalam membangun
kesejateraan dan perkembangan anak-anak maupun remaja. Kebutuhan
remaja akan keakraban dapat meningkat mulai dari remaja awal dan
hingga remaja akhir. Bila remaja gagal menemukan sahabat yang karib
39
atau kualitas pertemanan yang baik, mereka akan merasa kesepian yang
disertai juga dengan menurunnya nilai-diri.
Sependapat dengan Sullivan, Parker & Asher (dalam Dessousa
et.al., 2013) menyatakan aspek-aspek penting kualitas hubungan
pertemanan di masa remaja ditemukan dalam enam domain yaitu antara
lain pertukaran keakraban, resolusi konflik, persahabatan dan rekreasi,
membantu dan bimbingan, keterbukaan dan kepedulian, serta konflik dan
pengkhianatan.
2.2.3. Dimensi Kualitas Pertemanan
Bukowski (2009, dalam Zurko, 2011) menyatakan karakteristik
kualitas pertemanan dapat dilihat dari tiga dimensi utama antara lain
adanya hubungan timbal-balik, kesamaan antar teman, serta koordinasi
dan tanggungjawab dari aktivitas. Sedangkan Dunn (2008, dalam Zurko,
2011) menyatakan lima karakteristik kualitas pertemanan yaitu antara lain
selalu bersama, kedekatan atau keakraban (intimasi), menjadi partner bagi
yang lain, loyalitas, dan komitmen yang mutual.
Parker dan Asher (1993) menyatakankualitas pertemanan dapat
dilihat dari enam dimensi untuk menilai persepsi remaja dari aspek
kualitas pertemanan mereka. Keenam dimensi kualitas pertemanan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pertukaran Keakraban (Intimate exchange)
Pertukaran keakraban atau intimate exchangeyaitu remaja diakui
teman, adanya perilaku saling menjaga, mendukung dan saling
memberi perhatian.
b. Resolusi Konflik(Conflict resolution)
40
Resolusi konflik atau Conflict resolution yaitu munculnya perdebatan
atau perselisihan faham dan adanya jalan keluar pemecahan masalah
secara baik dan efisien.
c. Persahabatan dan Rekreasi (Companionship and recreation)
Persahabatan dan Rekreasi atau companionship and recreation yaitu
menghabiskan waktu bersama-sama teman, baik di luar maupun di
dalam lingkungan sekolah.
d. Saling menolong dan Membimbing(Help and guidance)
Menolong dan memberi petunjuk atau help and guidance yaitu usaha
seorang teman untuk membantu temannya yang lain dalam
menyelesaikan tugas rutin yang menantang ataupun memberikan
petunjuk dan solusi bagi temannya.
e. Keterbukaan dan Kepedulian(Validation and caring)
Keterbukaan dan kepedulianatau validation and caring yaitu perasaan
antar pribadi untuk saling berbagi pengalaman di antara remaja dan
temannya, rasa peduli satu dengan yang lain.
f. Konflik dan Kemarahan(Conflict and betrayal)
Konflik dan Kemarahanatau conflict and betrayal diartikan sebagai
munculnya konflik atau hal-hal yang berselisih paham yang
menimbulkan kemarahan dan ketidakpercayaan.
Berdasarkan beberapa dimensi yang ditawarkan oleh beberapa ahli,
dimensi-dimensi kualitas pertemanan oleh Parker & Asher (1993)
menyediakan ruang yang luas dan konkret untuk memahami kualitas
pertemanan. Dengan demikian dalam penelitian ini akan digunakan
dimensi kualitas pertemanan menurut Parker & Asher (1993).
41
2.2.4. Efek Kualitas Pertemanan terhadap Identitas Diri
Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Robinson (dalam
Papalia dkk, 2008) bahwa ada peningkatan keterlibatan remaja dengan
teman sebayanya dimana sumber dukungan emosional penting sepanjang
transisi masa remaja. Berarti bahwa pada usia remaja, remaja
membutuhkan orang lain, terutama teman sebayanya. Di sisi lain, remaja
juga memiliki tugas perkembangan yaitu mencapai kemandirian
emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Hal ini merupakan
konsep dari manusia sebagai makhluk individual dimana seseorang ingin
bebas dari pengaruh lingkungannya. Seseorang akan berusaha untuk
mengontrol interaksinya dengan orang lain dengan berbagai cara, baik
secara verbal maupun non verbal dengan maksud agar orang-orang
sekitarnya tidak mengganggu kehidupan pribadinya, maka dari itu
seseorang membutuhkan sahabat yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita
atau masalah.
Sullivan (dalam Santrock, 2003) beranggapan bahwa teman
memainkan peranan penting dalam membentuk kesejahteraan serta
perkembangan anak dan remaja. Kelompok teman sebaya merupakan
lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama
orang lain yang bukan anggota keluarganya. Lingkungan teman sebaya
merupakan suatu kelompok yang baru, yang memiliki ciri, norma,
kebiasaan yang jauh berbeda dengan apa yang ada dalam lingkungan
keluarga remaja. Hubungan dengan orang lain atau teman-temannya
meluas mulai dari terbentuknya kelompok-kelompok teman sebaya
sebagai suatu wadah penyesuaian. Intisari persahabatan tampaknya adalah
penerimaan yang datang meskipun seseorang dapat bertindak atau berpikir
42
secara berbeda dari pada temannya (Youniss & Smollar (1985) dalam
Jones et al., 2014).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perkembangan
identitas remaja terkait dengan hubungan mereka dengan teman sebaya
seperti oleh Rassart et al. (2012), baik dan mendukung hubungan dengan
teman sebaya secara positif berhubungan dengan perkembangan identitas
remaja karena dapat membantu mencegah stagnasi dalam proses
eksplorasi identitas. Kelekatan teman sebaya dan kelompok sebaya, serta
dukungan dari hubungan romantis dan kualitas pertemanan juga positif
terkait dengan pengembangan identitas remaja (Pugh & Hart, 1999;
Klimstra etal., 2013 ; Meeus, et al., 2002).Dalam hubungan dengan teman
sebayanya, remaja akhir tidak hanya menjalin persahabatan untuk
menghabiskan waktu luang, tetapi karena perkembangan psikologis sosial
yang sama dimana mereka dengan bebas saling belajar suasana yang
menyenangkan.
Dalam penelitian lain dilakukan oleh Barryet al., (2009)
menyimpulkan bahwa status identitas bukan merupakan prediktor
signifikan dari kualitas persahabatan. Namun sebaliknya, penelitian
tersebut tidak mempertimbangkan seberapa baik karakteristik
persahabatan memprediksi perkembangan identitas (Joneset al., 2014).
2.3. Iklim Sosial
2.3.1. Pengertian Ilkim Sosial
Iklim diasumsikan konsep multifaset yang tidak secara langsung
diamati dan sulit untuk mengukurnya. Iklim didefinisikan sebagai ukuran
sikap orang tentang, persepsi, dan pengalaman dalam lingkungan tertentu
(Glisson & James, 2002) dan tidak melihatnya sebagai hal yang sama
seperti budaya.
43
Holland (1997dalam Oseguera & Rhee, 2009)menyatakan bahwa
iklim dapat disimpulkan dari jenis orang yang membuat atau yang ada
pada kelompok atau lingkungan tertentu dimana karakter umum dan fitur
dominan dari lingkungan tersebut disebutkan “mencerminkan ciri khas
dari anggotanya”.
Moos (1987, dalam Beattyet al., 2010) menyatakan bahwa iklim
sosial adalah “kepribadian” dari sebuah setting atau lingkungan, dimana
berkaitan dengan persepsi individu terhadapnya. Lingkungan yang positif
memberi pemahaman atau tempat individu untuk mencapai iklim yang
positif, kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan
keselamatan, penerimaan dan persahabatan kebutuhan, prestasi dan
pengakuan kebutuhan, dan kebutuhan untuk memaksimalkan potensi harus
dikelola (Howard et al., 1987, dalam Smith, 2005).
Sependapat dengan Moos (1987), Kuh(2000) menegaskan bahwa
iklim sosial menjelaskan bagaimana individu memahami dan mengalami
interaksinya berbasis pada lembaga sosial individu itu sendiri, seperti
sekolah, organisasi, dan sebagainya namun juga tidak terbatas untuk,
pengalaman dalam asrama, ruang kelas, proyek kelompok, dan organisasi
kemahasiswaan.Iklim sosial juga merupakan media untuk transmisi dan
menegakkan nilai-nilai kemasyarakatan sosial yang penting dalam
organisasi atau sekolah atau komunitas dan kehidupan sehari-hari. Ini
termasuk dalam tujuan-tujuan sosial yang yang harus tercapai.
Berdasarkan beberapa defenisi tersebut, defenisi menurut Moos
digunakan untuk memahami tentang Iklim sosial dalam kebutuhan
penelitian ini. Hal ini karena meskipun defenisi Iklim Sosial diasumsikan
sebagai sesuatu yang tidak mudah untuk didefenisikan secara tepat, namun
defenisi Moos memberi pandangan sederhana tentang Iklim Sosial. Oleh
44
karena itu, dapat disimpulkan sebagaimana menurutMoos iklim sosial
adalah “kepribadian” dari sebuah setting atau lingkungan, dimana
berkaitan dengan persepsi individu terhadapnya.
2.3.2. Teori Iklim Sosial
Moos (1987, dalam Beatty et al., 2010) merancang beberapa
instrumen penilaian untuk mengukur “kepribadian” dari setting atau
“lingkungan”. Model teori Moos dilandaskan pada pandangan bahwa
perilaku individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan baik lingkungan
dan interaksinya dengan karakteristik pribadi individu merupakan penentu
kuat perilaku manusia dan tekanan model kebutuhan. Dalam teorinya,
meskipun sebagian besar konstruksi dalam teori sosialnya mengatasi
banyak lingkup perilaku (misalnya, dimensi antarpribadi), namun
penilaian lingkungan yang dikembangkan khusus untuk ranah lingkungan
tertentu misalnya, kelas, pekerjaan, sekolah, keluarga, kelompok, dan lain-
lain.
Setidaknya dikenal tiga dari penilaian ranah spesifik atau penilaian
terhadap iklim sosial Moos. Ketiganya merupakan pengukuran yang tepat
untuk lingkungan yang terdiri dariWork Environment Scale atau WES,
University Residence Environment Scale atau URES, dan Group
Environment Scale atau GES (Salter et al., 2004). Khususnya untuk iklim
sosial yang berkaitan dengan hunian kampus atau yang disebut sebagai
asrama, pengukuran yang digunakan ialah University Residence
Environment Scale atau URES.
Moos (1987, dalam Salter et al., 2004) kemudian menekankan teori
iklim sosial disusun oleh tiga set dimensi yaitu antara lain hubungan
(relationship), pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan (personal growth
or goal orientation) dan sistem pemeliharaan dan perubahan
45
sistem(systems maintenance and systems change). Deskripsi ketiga
dimensi Iklim Sosial menurut Moos antara lain sebagai berikut:
1. Dimensi Hubungan (Relationship)
Dimensi ini mengatasi hubungan pribadi dalam lingkungan (misalnya,
keterlibatan dan kohesi), suasana yang mendukung, dan ekspresi
individu dalam lingkungan. Sifat pribadi yang kuat dari dimensi
hubungan menunjukkan hubungan dengan lingkungan perasaan, yang
juga menempatkan nilai tinggi pada interaksi interpersonal dalam
lingkungan. Selain itu, Moos juga melihat keterlibatan mirip dengan
extraversion lingkungan, termasuk harapan menuju kebersamaan dan
partisipasi.
2. Dimensi Pertumbuhan Pribadi atau Orientasi Tujuan (Personal
growth or goal orientation)
Kekhawatiran apakah lingkungan juga membantu pertumbuhan
pribadi dan kemajuan menuju tujuan. Subskala di bagian instrumen
Moos sangat bervariasi dari penilaian untuk penilaian, hal ini
berkaitan dengan interaksi personal antara individu (positif dengan
orientasi sosial tradisional dan negatif dengan kemarahan dan agresi)
dan dengan lebih nonpersonal aspek yang berhubungan dengan
orientasi tujuan seperti kompetisi, tekanan kerja, orientasi tugas, dan
prestasi akademik. Kombinasi pandangan yang lebih luas dari fungsi
pribadi yang akan memungkinkan untuk otonomi, kemandirian, dan
penemuan diri.
3. Dimensi Intelektual (Intellectual Growth)
Penekanan dimensi ini ditempatkan pada kegiatan akademik dan
intelektual yang terkait dengan perkembangan kognitif, juga berkaitan
46
dengan kompetisi akademis personal ketika berhadapan dengan orang
lain.
4. Dimensi Sistem Pemeliharaan dan Perubahan Sistem(Systems
maintenance and systems change)
Dimensi ini memberi perhatian bagaimana jelas terstrukturnya
lingkungan yaitu kejelasan organisasi atau respon atau kemampuan
untuk mengubah (pengaruh dan inovasi). Konstruksi seperti tampak
terkait dengan dimensi menilai-mengamati jenis lingkungan. Moos
menyarankan mengidentifikasinya dalam enam hal antara lain
berorientasi pada hubungan, secara berorientasi pada sosial
tradisional, berorientasi pada prestasi mendukung (supportive),
berorientasi pada kemandirian, berorientasi pada intelektual, dan
berorientasi pada kompetisi), lima kelompok pertama menunjukkan
pola mana ketertiban dan organisasi cenderung memiliki hubungan
terbalik dengan inovasi.
2.3.3. Dimensi Iklim sosial
Smith (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan dimensi-dimensi
Iklim Sosial yang berkaitan dengan tiga hal yakni perilaku individu
(behavior), keberadaan dan ketidakterlibatan (existenceand truancy) serta
status sosial ekonomi (socialeconomic status).
Oseguera & Rhee (2009) menyimpulkan dimensi yang disebutnya
sebagai “hirarki” Iklim Sosial yakni kemampuan siswa atau mahasiswa
(student ability), harapan-harapan (expectations), status sosial ekonomi
keluarga (family socialeconomic status), dan pengaruh perilaku ketekunan
siswa (influence students persistence behavior).
Sedangkan menurut Moos (1987, dalam Salter et al.,2004)
dimensi-dimensi Iklim Sosial yang diuraikan sebagai berikut:
47
1. Hubungan Interpersonal(Interpersonal Relationship)
Penekanan pada hubungan interpersonal di dalam rumah
(asrama)
a. Keterlibatan(Involvement)
Tingkat komitmen untuk asrama dan warga asrama;
kualitas interaksi sosial dan perasaan persahabatan di
asrama.
b. Dukungan Emosional(Emotional Support)
Tingkat kepedulian terhadap orang lain di asrama; upaya
untuk membantu satu sama lain berkaitan dengan masalah
akademis dan pribadi; penekanan pada komunikasi yang
terbuka dan jujur.
2. Perkembangan Pribadi(Personal Growth)
Dimensi tekanan sosial terkait dengan pengembangan
psikososial asrama.
a. Kebebasan (Independence)
Keragaman perilaku warga asrama yang diperbolehkan
tanpa sanksi sosial, dibandingkan perilaku sosial yang tepat
dan konformis.
b. Orentasi Sosial-Tradisional (Traditional Social
Orientation)
Stres berkaitan dengan kencan, pergi ke pesta, dan interaksi
heteroseksual lainnya.
c. Kompetisi (Competition)
Jembatan antara daerah personalgrowth dan intellectual
growth; Tingkat dimana berbagai kegiatan seperti kencan,
48
nilai, dan lain-lain dilemparkan ke dalam kerangka
kompetitif.
3. Perkembangan Intelektual (Intellectual Growth)
Penekanan ditempatkan pada kegiatan akademik dan
intelektual yang terkait dengan perkembangan kognitif warga
asrama.
a. Kompetisi (Competition)
Seperti deskripsi sebelumnya.
b. Prestasi Akademik (Academic Achievement)
Tingkat iklim asrama menekankan akan tingkat kelas dan
prestasi akademik.
c. Intelektualitas (Intellectuality)
Penekanan pada budaya, seni dan kegiatan intelektual
ilmiah lainnya di asrama, yang dibedakan dari prestasi
kelas.
4. Perubahan dan Pemeliharaan Sistem (System Change and
Maintenance)
Tingkat stabilitas dan kemungkinan perubahan lingkungan
asrama dari perspektif sistem.
a. Peraturan dan Organisasi (Order and Organization)
Kualitas struktur formal atau organisasi (misalnya, aturan,
jadwal, mengikuti prosedur yang ditetapkan, dan lain-lain)
di asrama; kerapian.
b. Inovasi (Innovation)
Organisasi dan spontanitas individu berkaitan dengan
perilaku dan ide-ide; jumlah dan variasi aktifitas; kegiatan
baru.
49
c. Pengaruh Mahasiswa (Student Influence)
Sejauh mana warga siswa (bukan staf atau administrasi)
menganggap mereka mengontrol jalannya asrama;
merumuskan dan menegakkan aturan, mengontrol
penggunaan uang, pemilihan staf, makanan, teman
sekamar, kebijakan, dan lain-lain.
2.3.4. Efek Iklim Sosial terhadap Identitas Diri Remaja
Iklim Sosial memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial
remaja (Turner & Helms, 1991). Perkembangan sosial tersebut tumbuh
dari hubungan antar individu di lingkungan kampus-asrama, antar dosen
dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan mahasiswa.
Ali dan Asrori (dalam Priatini dkk, 2008) menyatakan sekolah atau
tempat belajar berperan serta dalam proses perkembangan hubungan sosial
remaja. Di mana persepsi individu bahwa lingkungan sekolah dapat
menciptakan lingkungan yang mempunyai disiplin yang baik, memberikan
pembelajaran emosional, mengadakan kegiatan ekstrakurikuler dan adanya
hubungan guru-siswa yang baik pula.Demikian pula lingkungan asrama-
kampus, juga sebagai lingkungan juga turut berperan penting bagi
eksplorasi remaja dalam pencarian identitasnya seperti dalam hubungan
sosialnya dengan individu lain.
Halpin & Croft (1963) menyatakan efek dari hubungan antara
iklim sosial dari lingkungan dan orang-orang di lingkungan adalah timbal
balik. Kepribadian orang mendefinisikan setting iklim sosial dan, karena
itu, secara bersamaan mempengaruhi orang-orang yang membuat
lingkungan itu. Aspirasi, personalitas, identitas, prestasi, moral, dan
kesejahteraan individu mungkin terkena dampak sebagai akibat dari iklim
sosial (Moos, 1987 dalam Beatty et al., 2012).
50
Iklim sekolah adalah kompleksitas danmultidimensi dari atmosfer,
budaya, nilai-nilai, sumber daya, jejaring sosial, dan organisasi,
instruksional, dimensi interpersonal (Murphy, 2007). Oleh karena itu dapat
secara tidak langsung memberi efek bagi proses pembentukan dan
perkembangan identitas seorang individu, yang memuat nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan yang khas. Iklim sosial merujuk sebagai salah satu
elemen yang dapat memodifikasi “pertunjukan logis” dari yang manaself-
efficacy dan self-manajemenada dalam situasi belajar (Schoenfelder,
2006). Komponen penting dari model “person-environment”
menghubungkan iklim sosial dengan penyesuaian psikologis termasuk
perkembangan kepribadian dan identitas dan perilaku sosial yang
berdasarkan persepsi atau pengalaman dari lingkungan sosial remaja
(Wayet al., 2007).
Persepsi iklim sosial siswa telah ditemukan untuk secara konsisten
terkait dengan kinerja mereka pada tes prestasi dan dengan beberapa
indeks penyesuaian akademik, perilaku, dan perkembangan identitas sosial
mereka (Brand et al., 2008). Sedangkan lingkungan sosial sekolah atau
kampus yang tidak memuaskan juga dapat mengurangi keberhasilan
akademis. Misalnya, lingkungan yang tidak bersahabat dapat menghambat
minat siswa dan kenikmatan sekolah dan kualitas hidup secara
keseluruhan, sebagai remaja melaporkan bahwa waktu yang dihabiskan
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka adalah salah satu komponen yang
paling menyenangkan dari hari-hari mereka (Csikszentmihalyi &Larson,
1984 dalam Migliorini et al.,2012).
2.4. Hasil penelitian sebelumnya
Secara parsial, dari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang
daitemukan ialah sebagai berikut. Byrd & Chavous (2011) mengenai
51
identitas di mana identifikasi ras yang kuat menghambat motivasi
berprestasi di kalangan remaja Afrika Amerika secara keseluruhan, hasil
penelitian menunjukkan bagaimana iklim sosial sekolah memediasi
hubungan antara identitas rasial - keselarasan iklim ras dan sekolah
motivasi intrinsik, di mana iklim sekolah memberi dukungan kuat bagi
pengembangan identitas remaja.
Graham, et al. (2014) menguji fungsi yang unik dari persahabatan
sama dan lintas-etnis, Latin dan Amerika Afrika pada sekolah menengah
yang beragam etnis. Dengan analisis jalur, hasil yang dilaporkan ialah
jumlah teman sama dan lintas-etnis memiliki hubungan dengan kerentanan
yang dirasakan, kualitas persahabatan, dan identitas etnis.
Jones et.al. (2014) menemukan beberapa hasil mengenai pengaruh
kualitas pertemanan dan pengembangan status identitas. Yang pertama,
dukungan yang lebih besar dalam persahabatan itu terkait dengan tingkat
yang lebih tinggi dari prestasi dan tingkat yang lebih rendah dari difusi,
dan konflik dalam persahabatan itu terkait dengan tingkat yang lebih
tinggi dari difusi dan moratorium. Yang kedua, kualitas relasional antar
teman berhubungan dengan tingkat kepercayaan, otonomi, inisiatif, dan
industri (status identitas). Konflik dalam persahabatan dikaitkan dengan
tingkat yang lebih rendahnya kepercayaan, otonomi, dan inisiatif, dan
tingkat yang lebih tinggi dari dukungan persahabatan bertepatan dengan
tingkat yang lebih tinggi dari inisiatif dan industri. Yang ketiga, pola
antara kualitas persahabatan dan tahap awal perkembangan psikososial
adalah sama untuk remaja laki-laki dan perempuan.
Ragelienė (2016) menemukan dalam review sastra sistematisnya
mengenai hubungan pengembangan identitas remaja dan hubungan
dengan teman-teman sebaya menemukan bahwa perkembangan identitas
52
remaja berhubungan positif dengan hubungan mereka dengan teman
sebaya. Memiliki kelompok sebaya dan hubungan yang baik dengan
teman-teman berdasarkan rasa saling menghormati dan penerimaan
berhubungan positif dengan perkembangan identitas remaja.
Sejauh ini, belum ada penelitian simultan yang dilakukan terhadap
ketiga variabel yang ada yaitu variabel identitas diri remaja, variabel
kualitas pertemanan dan variabel iklim sosial.
2.5. Landasan Teori
Menurut Rogers (1966), teman sebaya memiliki pengaruh dalam
beberapa hal utama yaitu memengaruhi remaja dalam hal yang baik
maupun buruk, dalam pencapaian bidang akademik maupun perilaku
prososial. Remaja pun saling memengaruhi dalam banyak aspek tingkah
laku, sikap maupun identitas. Perkembangan interaksi atar individu sejak
kanak-kanak memasuki usia remaja, pertemanan atau persahabatan
berkembangan lebih kepada intimasi, suportif dan relasi yang komunikatif
(Burhermester, 1990). Persahabatan mulai secara khas dalam gender yang
sama, tetapi sebagai remaja akhir kebanyakan lebih kepada yang
beranggotakan gender yang berbeda (Richards et.al., 1998). Dengan
demikian derajat sebuah interaksi antara remaja dalam sebuah pertemanan
menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari ada pada masa
perkembangan ini. Demikian halnya dalam suatu komunitas warga asrama
mahasiswa dengan rerata usia perkembangan yang sama yaitu remaja
akhir, intimasi dalam interaksi pertemanan antar remaja adalah hal yang
wajar ada.
Kualitas pertemanan dalam dunia remaja turut membentuk
perkembangan remaja. Relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya
dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja
53
(Santrock, 2007). Kualitas pertemanan bergantung sekali pada sumbangan
apa yang diberikan pada remaja dari relasi tersebut. Sullivan (dalam
Santrock, 2007) berpendapat bahwa ketika menjalin persahabatan yang
karib dengan kawan-kawan yang terpilih, remaja dapat belajar untuk dapat
menjadi mitra yang lebih terampil dan peka. Sebaliknya ada sejumlah ahli
yang menekankan bahwa pengaruh negatif dari teman sebaya bagi remaja
juga tidak dapat sepenuhnya dipungkiri. Seperti penerimaan atau
penolakan dalan suatu komunitas teman sebaya dapat memberi pengaruh
besar bagi remaja itu sendiri. Rahmat (2014) menyatakan bahwa sebuah
persahabatan dengan kualitas yang tinggi ditandai dengan tingginya
tingkat perilaku tolong-menolong, keakraban dan perilaku positif lainnya,
serta rendahnya tingkat konflik, persaingan dan perilaku negatif lainnya.
Budaya yang berisi nilai-nilai tertentu dari teman sebaya juga dapat
berpengaruh langsung pada remaja.
Selanjutnya sebagai mahasiswa tahun pertama, individu
menyesuaikan diri dengan lingkungan universitas dan mengembangkan
identitas khususnya sebagai remaja akhir dan status otonominya sebagai
mahasiswa. Dengan demikian, hal yang lain dari pada realitas kehidupan
berasrama ialah sebuah lingkungan yang sama.
Sebuah lingkungan yang mendukung menurut Cote & Levine
(1987) adalah salah satu yang berfungsi untuk individu berhasil
menyeleksi kompleksitas peran dan dengan demikian juga memvalidasi
identitas ego. Selain itu, interaksi dengan orang lain yang signifikan
(dalam hal ini teman sebaya) adalah sumber utama kekuatan untuk ego.
Interaksi ini yang membantu mempertahankan keuntungan identitas positif
yang telah dibuat ke arah stabilitas identitas ego. Persepsi mahasiswa atau
bagaimana mahasiswa memahami dan mengalami interaksi berdasarkan di
54
lingkungan mereka, di mana hal ini termasuk dan juga tidak hanya terbatas
pada pengalaman dalam asrama, ruang kelas, proyek kelompok, dan
organisasi mahasiswa (Kuh, 2000, dalam Cameron et.al., 2010)
Pascarella & Terenzini (2005, dalam Briggs, Clark & Hall, 2012)
dalam penilitian tiga dekade tentang pengaruh ilkim perguruan tinggi pada
remaja, mencatat manfaat untuk “belajar” dari lingkungan perguruan
tinggi yang menekankan hubungan yang erat antara dosen dan mahasiswa
serta perhatian fakultas tentang perkembangan identitas mahasiswa.
Ketika mulai tahun pertama di universitas, mereka diwajibkan untuk
menata kembali cara mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, sebagai
pelajar, dan sebagai makhluk sosial (Huon & Sankey, 2002). Membangun
identitas yang positif dengan demikian merupakan faktor penting dalam
ketekunan dan sukses seorang remaja sebagai mahasiswa.
Konteks iklim lingkungan sekolah memainkan peran penting
dalam pengembangan remaja yaitu variabilitas dalam hasil remaja dapat
dijelaskan oleh interaksi antara faktor-faktor kontekstual dan perbedaan
persepsi individu remaja itu sendiri. Persepsi iklim sekolah mempengaruhi
identitas khususnya iklim interpersonal, organisasi dan instruksional
sekolah mempengaruhi siswa penyesuaian di beberapa domain identitas
dalam hal ini identitas etnik dikemukakan juga oleh Wayet.al. (2007)
Seperti halnya transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama
selanjutnya ke sekolah menengah atas, kemudian transisi yang dirasakan
oleh remaja saat memasuki perguruan tinggi, eringkali mengakibatkan
perubahan dan stress (Santrock, 2007). Demikian menjadi mahasiswa, hal
ini melibatkan peralihan memasuki struktur sekolah yang lebih besar dan
inpersonal, berinteraksi dengan kawan-kawan sebaya, gaya belajar yang
baru, dan sebagainnya. Iklim sosial yang kondusif menolong remaja untuk
55
semakin aktif dan mandiri mengembangkan potensi secara kognitif,
afektif, psikososialnya dan perkembangan identitas dirinya yang lain.
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Hipotesis pertama, kualitas pertemanan dan iklim sosial sebagai
prediktor terhadap identitas diri remaja akhir pada mahasiswa
Fakultas Teologi yang tinggal di asrama teologi UKAW Kupang.
2. Hipotesis kedua, ada perbedaan signifikan identitas diri mahasiswa
teologi yang tinggal di asrama ditinjau dari jenis kelamin.
2.7. Model Penelitian
Adapun model penelitian yang dibangun dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut
Gambar 2.1.Model Penelitian
Kualitas Pertemanan
Identitas Diri
Remaja Akhir
Iklim sosial
Jenis Kelamin