Upload
dangkhanh
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( Studi
Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Positif ) SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Husnul Aulia
NIM.1020 4412 5008
Di Bawah Bimbingan :
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma. SH.MA. MM
NIP. 150.210.422
KOSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL-AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H/ 2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” (Studi Perbandingan Antara
Hukum Islam Dan Hukum Positif) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 7 Maret 2007.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Islam pada Jurusan Ahwal Syakhshiyah.
Jakarta, 7 Maret 2007
Mengesahkan
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. M.A.MM NIP. 150. 210. 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.MA. MM (-------------------) NIP.150.210.422 Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (-------------------) NIP. 150.285.972 Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,SH. MA.MM (------------------) NIP. 150. 210. 422 Penguji I : Drs. H.A. Djuaini Syukri, Lc, M. Ag (-------------------) NIP. 150. 256. 969 Penguji II : Drs. Odjo Kusnara, M. Ag (-------------------) NIP. 150. 060. 388
ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(Studi Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum
Positif)
OLEH:
HUSNUL AULIA
KONSENTRASI PERDILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL-AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H/2007 M
KATA PENGANTAR
SEGALA puji bagi Allah, yang telah memberikan petunjuk kepada kita
semua. Kita tidak akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, kalau Allah tidak
memberikan petunjuk itu kepada kita. Salawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada junjungan, pimpinan, teladan, kekasih kita, Nabi Muhammad SAW serta
kepada seluruh keluarganya, sahabatnya, dan kepada orang-orang yang
mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat kelak.
Banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perbuatan mengadopsi anak,
mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai adopsi sebagai
perlindungan anak menurut hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dalam penelitian ini penulis coba membandingkan antara
hukum Islam dengan hukum Positif.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini sehingga berada di hadapan pembaca. Lebih khusus
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A.M.M sebagai Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang
telah sudi meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H M.A dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, sebagai
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhshiyah.
3. Pemimpin dan karyawan perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan
Perpustakaan Nasional RI yang telah meminjamkan buku-buku yang
diperlukan dalam penelitian ini.
4. Ayahanda Tutur Sigit Widiarto dan Ibunda Napsiah serta adikku Muhammad
Husnul Khuluqi yang telah memberikan dorongan dan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Sahabat-sahabat terdekat, Hamdani, Marwanih, dan Siti Hidayah yang telah
memberikan dorongan moril dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi Al-Ahwal Asy-
Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama.
Penulis berdo’a semoga semua pihak yang membantu mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan skripsi ini.
Jakarta, 03 Januari 2007 M
13 Dzulhijjah 1427 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
D. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan................................... 9
E. Sistematika Penelitian ................................................................ 11
BAB II ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM ...................................... 12
A. Pengertian Adopsi ...................................................................... 12
B. Sejarah Adopsi ........................................................................... 17
C. Syarat-Syarat Adopsi Menurut Hukum Islam ........................... 21
D. Kedudukan Anak Adopsi Menurut Hukum Islam ..................... 24
E. Tujuan Adopsi Menurut Hukum Islam ...................................... 29
F. Akibat Hukum Anak Adopsi Menurut Hukum Islam ................ 30
BAB III ADOPSI MENURUT UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK ........................................................... 34
A. Pengertian Adopsi dan Perlindungan anak ................................ 34
B. Syarat-Syarat Adopsi ................................................................. 41
C. Kedudukan Hukum Anak Adopsi............................................... 45
D. Akibat Hukum Anak Adopsi ..................................................... 47
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ADOPSI
MENURUT HUKUM ISLAM DENGAN UU NO 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ............................. 53
A. Persamaan Adopsi Antara Hukum Islam dengan UU No 23
tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ................................... 53
B. Perbedaan Adopsi Antara Hukum Islam dengan UU No 23
tahun 2002 Tetang Perlindungan Anak ..................................... 55
C. Analisis ...................................................................................... 56
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 58
A. Kesimpulan ................................................................................ 58
B. Saran .......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia menurut ajaran agama Islam adalah pemimpin atau wakil Tuhan di
muka bumi, yang dalam istilah agam disebut ”khalifah”, sebagaimana firman Allah
SWT :
....خليفة الأرض في جاعل إني للملائكة ربك قال وإذArtinya :”Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ...” ( Al-Baqarah/2: 30)
Manusia dipilih sebagai khalifah merupakan pemberian tanggung jawab, yang
berarti pada waktunya nanti manusia sebagai khalifah wajib
mempertanggungjawabkan pelaksanaan misinya di hadapan Allah SWT.
Untuk melestarikan keberadaan manusia, maka Allah mensyari’atkan
perkawinan. Perkawinan bukan sekadar menyalurkan hawa nafsu seksual secara
legal, namun lebih dari itu mempunyai tujuan yang sangat mulia. Tujuan perkawinan
selain untuk menyalurkan hawa nafsu secara legal, juga untuk mempunyai anak juga
untuk menyambung keturunan dan mewarisi harta peninggalan orang tua, juga untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam.
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan
tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Allah SWT, di mana kehendak
mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa
yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan
tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang dilakukan oleh mereka adalah
mengangkat anak atau ”adopsi”.
Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum
sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat,
terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuannya.
Anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi nusa dan
bangsa selama-lamanya. Dengan demikian, perlindungan anak adalah hal yang
wajar dan merupakan tanggung jawab kita bersama. Selain itu pula perlindungan
anak adalah hak asasi mereka, karena ia adalah sosok manusia kecil yang tidak
berdaya yang belum mampu berbuat banyak terhadap dirinya dan belum dapat
berpikir atau bertindak lebih jauh untuk kepentingan dan kesejahteraan dirinya.
Karena itu, kehidupan mereka sangat tergantung kepada orang tua dan
membutuhkan perlindungan darinya, masyarakat dan negaranya.
Perwujudan sumber daya manusia yang berkualitas harus mulai dipersiapkan
sejak dini, bahkan sejak anak dalam kandungan sudah membutuhkan perlindungan
agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, baik jasmani, rohani, maupun
sosialnya, sehingga kelak menjadi pewaris masa depan yang berkualitas.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dikatakan bahwa ”Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dari pasal tersebut jelas
bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak tidak hanya menjaganya dan
melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi, tetapi juga menjaminnya agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal.
Seperti kita ketahui di antara masalah yang ada saat ini adalah kemiskinan
yang jumlahnya masih sangat banyak yang mengakibatkan banyak anak terlantar
dan terjadi kekerasan terhadap anak, serta pengeksploitasian terhadap anak yang
justru dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Masalah-masalah kekerasan dan
pengeksploitasian terhadap anak ini timbul karena ada suatu anggapan pada orang
tua mereka bahwa anak mereka adalah milik mereka dan mereka berhak melakukan
apa saja terhadap anak tersebut. Anggapan inilah yang membuat mereka merasa
berhak untuk melakukan apa saja terhadap anak mereka termasuk melakukan
kekerasan. Seperti kita ketahui bahwa sudah menjadi tugas bagi pemerintah untuk
melindungi anak-anak yang kelak akan menjadi penerus generasi yang akan datang.
Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 34 dinyatakan bahwa ” Anak-
anak terlantar sepenuhnya dipelihara oleh negara” tetapi sampai saat ini pemerintah
masih belum mampu sepenuhnya memelihara mereka. Oleh karena itu, tidak ada
salahnya bagi kita untuk membantu pemerintah dengan cara memelihara anak-anak
terlantar tersebut.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan mengadopsi anak-anak
tersebut. Dalam mengadopsi anak-anak tersebut, selain untuk membantu pemerintah
tetapi juga untuk berbagi kasih sayang dengan anak-anak yang kurang mendapatkan
kasih sayang.
Adopsi adalah suatu usaha yang melindungi anak agar ia dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya. Adopsi dalam hal perlindungan anak merupakan perwujudan
keadilan dalam masyarakat. Perlindungan anak adalah suatu usaha di bidang
pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia untuk
membangun manusia seutuhnya. Hakikat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak
akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak ada perlindungan anak
akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu ketertiban
dan keamanan yang dapat juga mengganggu pembangunan nasional. Ini berarti
bahwa perlindungan anak yang salah satu upayanya adalah melalui adopsi harus
diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang
memuaskan.
Adopsi mengusahakan anak mendapatkan kasih sayang dari orang tua dan
sekelilingnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, jenis
kelamin, kebangsaan dan sosial.
Di sinilah perlu berperan misi ketertiban dalam berbagai kepentingan yang
berbeda, baik itu kepentingan orang tua yang memberikan anaknya untuk diadopsi
atau kepentingan orang tua yang mengangkat anak maupun kepentingan anak itu
sendiri, sehingga setiap kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan tepat.
Misi ketertiban yang dikemukakan di atas adalah tak lain dari apa yang
menjadi tujuan hukum, yakni untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.
Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta,
benda dan sebagainya dari yang merugikan.
Dalam hal adopsi ini, di mana kepentingan orang tua yang mengangkat dengan
sejumlah motif yang ada dibelakangnya dapat terpenuhi dengan baik di satu pihak,
sedang di pihak lain kepentingan anak yang diangkat atas masa depannya yang lebih
baik harus lebih terjamin kepastiannya. Di samping itu pula, kehormatan orang tua
kandungnya sendiri dengan tujuan-tujuan tertentu dari penyerahan anaknya itu harus
dipenuhi.
Justru itulah antara adopsi sebagai lembaga kemasyarakatan di satu pihak,
dengan misi ketertiban hukum di lain pihak tidak dapat dipisahkan. Dengan
demikian adopsi sekaligus sebagai suatu lembaga hukum.
Dalam Islam pun dianjurkan untuk memelihara anak-anak yatim piatu dan
anak-anak terlantar, dengan memberikan kasih sayang yang tulus kepada mereka,
sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT di dalam surat Al-Baqarah ayat
220:
... جميعا الناس أحيا فكأنما أحياها ومن ...Artinya : ”Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang
anak yatim, katakanlah : ”Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan ...” ( Al-Baqarah/2 :220)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada
umatnya untuk mengurus anak yatim. Dalam hal mengurus keperluan anak yatim
harus dengan sebaik-baiknya, karena anak-anak yatim tersebut adalah saudara-
saudara kita semua. Semua makhluk ciptaan Allah adalah sama di hadapanNya, baik
mereka kaya atau miskin, anak-anak yatim atau bukan, yang membedakan hanyalah
amal ibadah kita. Oleh karena itu kita harus memelihara anak yatim sebaik-baiknya.
Selain itu Nabi SAW juga memberi kedudukan bagi orang yang memelihara anak
yatim adalah di sisinya.
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk menjaga dan memelihara
anak-anak yatim piatu. Salah satu cara untuk menjaga dan melindungi mereka
adalah dengan mengadopsi mereka. Akan tetapi Islam tidak memandang statusnya
sebagai anak kandung, karena Islam sangat mementingkan hubungan nasab, dan ini
dapat mengaburkan kejelasan nasab seorang anak. Saat ini masih terjadi anak angkat
yang diberikan status sebagai anak kandung, hal ini bisa terjadi karena orang tua
angkat tersebut sayang terhadap anak angkatnya atau karena ia tidak memiliki anak
selain anak angkat tersebut. Oleh karena itu, Islam mengatur masalah adopsi ini
dengan sejelas-jelasnya.
Di kalangan masyarakat Indonesia, di mana pengaruh agama Islam sangat
kuat, pengangkatan anak tidak menimbulkan akibat hukum. Sesuai dengan ketentuan
ajaran Islam, kedudukan anak angkat tidak akan menimbulkan akibat hukum apa
pun. Yusuf Qardhawi mengatakan dalam komentarnya mengenai surat Al-Ahzab
ayat 4 dan 5, bahwa :
”Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan
kerabat yang sebenarnya, maka oleh Al-Qur’an hal itu sama sekali tidak bernilai dan
tidak menjadi penyebab warisan. Dalam hal perkawinan, Al-Qur’an telah
mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawini
adalah bekas isteri anak kandung betul-betul bukan isteri anak angkat.”1
Kemudian dalam rangka menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat terutama mengenai kekerasan terhadap anak, pemerintah membuat
sebuah Undang-Undang yang mengatur perlindungan anak yaitu ketentuan-
ketentuan mengenai kekerasan terhadap anak, dan hukuman-hukuman yang berlaku
bagi para pelaku kekerasan terhadap anak. Kemudian yang menarik bagi penulis
adalah bagaimana adopsi menurut UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Karena adopsi adalah salah satu cara untuk melaksanakan perlindungan anak.
Dalam hal ini penulis melakukan perbandingan antara hukum Islam dengan UU No
23 tahun 2002. Oleh karena itu penulis mengambil judul : ”Adopsi Menurut
Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi
Perbandingan Antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
1 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum , ( Jakarta : Sinar Grafika , 2002 ) , cet. ke-4, h. 21.
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, dengan tidak
bermaksud mengurangi nilai pembahasan, maka penulis membatasi masalah dalam
skripsi ini hanya pada ”Perbedaan antara pengangkatan anak menurut hukum Islam
dengan UU No 23 Tahun 2002”.
2. Perumusan masalah
Sebuah penelitian pasti memiliki tujuan. Tujuan tersebut dirumuskan dalam
bentuk rumusan masalah. Rumusan masalah yang akan dikemukan di bawah ini
dimaksudkan untuk memberikan arah yang jelas dalam pokok masalah yang akan
diteliti.
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan adopsi dan perlindungan anak?
2. Dimanakah letak persamaan dan perbedaan antara adopsi menurut hukum
Islam dengan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk merealisasikan beberapa tujuan, antara lain:
1. Untuk mengetahui maksud adopsi dan perlindungan anak.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak adopsi, baik menurut hukum Islam
maupun UU No. 23 tahun 2002.
3. Untuk memenuhi syarat-syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) dalam program Strata 1 (S1) konsentrasi Peradilan Agama
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
kegunaan sebagai berikut :
1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan khususnya tentang adopsi.
2. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, untuk menambah khazanah
perpustakaan.
3. Bagi masyarakat, agar lebih memahami tentang adopsi.
D. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan
1. Metode penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada empat aspek metodelogi penelitian yang
akan digunakan, yaitu :
a. Metode Pembahasan
Adapun metode pembahasan yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini
adalah deskriptif analitis dan komparatif. Metode pembahasan deskriptif perlu
digunakan untuk memaparkan masalah adopsi. Sedangkan metode pembahasan
komparatif untuk membandingkan antara adopsi menurut Hukum Islam dengan UU
No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Jenis Data
Di dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis data berupa data
primer dan data sekunder, dan dari kedua sumber data tersebut penulis berusaha
menginterpretasikan dengan baik. Adapun sumber primer yang digunakan oleh
penulis dalam tulisan ini adalah al-Qur’an, buku-buku, dan kitab undang-undang.
Kemudian sumber data sekunder adalah majalah, internet, dan artikel yang ada
kaitan dengan adopsi.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu mengumpulkan data dari berbagai macam literatur yang relevan
dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan karya tulis ini.
d. Metode analisa Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Analisa data dilakukan
dengan metode induktif kemudian menginterpretasikan dengan bahasa penulis
sendiri.
2. Teknik Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
dan Disertasi, Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000, Cet.Ke-1 ”. Dengan
pengecualian terjemah ayat Al-Qur’an dan Hadits diketik miring dengan jarak satu
spasi meskipun kurang dari lima baris, dan Al-Qur’an Al-Karim pada daftar pustaka
ditulis pertama karena kitab suci.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab antara
lain :
BAB I : PENDAHULUAN, yang meliputi : Latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM, yang meliputi :
Pengertian adopsi, adopsi pada masa pra-Islam dan Islam, syarat-
syarat adopsi menurut hukum Islam, tujuan adopsi menurut hukum
Islam, kedudukan hukum anak adopsi menurut hukum Islam, serta
akibat hukum adopsi menurut hukum Islam.
BAB III : ADOPSI MENURUT UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK, yang meliputi : Pengertian adopsi dan
perlindungan anak, syarat-syarat adopsi menurut UU No 23 tahun
2002, kedudukan hukum anak adopsi menurut UU No 23 tahun
2002, akibat hukum adopsi menurut UU No 23 tahun 2002.
BAB IV : ANALISA PERBANDINGAN ANTARA ADOPSI
MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, yang meliputi :
Persamaan antara adopsi menurut hukum Islam dan UU No 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, perbedaan antara adopsi
menurut hukum Islam dan UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, dan analisis.
BAB V : PENUTUP, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
ADOPSI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Adopsi
Secara etimologis adopsi atau pengangkatan anak disebut ”tabanni” (تبني)
yang menurut Prof . Mahmud Yunus diartikan dengan ”mengambil anak angkat”.
Sedangkan dalam kamus Munjid diartikan dengan ”ittikhodzu ibnan” (اتخاذ ابنا)
yaitu menjadikannya sebagai anak.2
Secara terminologis adopsi menurut Mahmud Syalthut mempunyai dua
pengertian, ialah :
1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya,
2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.3
Pada pengertian yang pertama, anak angkat yang dididik dan dibesarkan
dengan penuh perhatian dan kasih sayang oleh orang tua angkatnya hanya
diperlakukan seperti anak sendiri, dengan tidak memberikan status anak kandung,
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( Jakarta : PT Hidakarya Agung, tth ), h .73.
3 Mahmud Syalthut, Al-Fatawa, ( Mesir : Dar al-Qalam ), h. 321-322.
begitu juga anak angkat tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya.
Adopsi seperti itulah yang diatur oleh hukum Islam.
Kemudian pada pengertian yang kedua, anak angkat selain dididik dan diberi
kasih sayang layaknya anak kandung, ia juga diberi status anak kandung. Anak
angkat dalam pengertian ini juga dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya.
Hal inilah yang dilarang oleh Islam. Dengan demikian adopsi dalam pengertian yang
kedua ini tidak sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam hal ini Islam mengambil pengertian yang pertama sebagai pengertian
adopsi. Pengertian pertama inilah yang lebih sesuai dengan tujuan syari’at Islam
sebab dalam pengertian yang pertama memberikan penekanan pada perlakuan
sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan
dalam segala kebutuhan, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Sedangkan pada pengertian yang kedua, lebih sesuai dengan adopsi pada zaman
jahiliyah sebelum Islam datang.
Sedangkan Abdul Hamid dan Muhammad Muhyiddin mendefinisikan
pengangkatan anak sebagai berikut:
ان يعمد رجل ما الى و لد معرو ف النسب الى ابيه : لتبني هو اة ما الى ولد معروف االنسب الى امه فينسبه الى نفسه او تعمد امر ا
فتنسبه الى نفسها
Artinya :”Adopsi adalah : persandaran atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada bapaknya ( yang asli ) oleh seorang laki-laki. Kemudian dihubungkan nasab si anak kepada dirinya ( si laki-laki atau pengadopsi ), atau dapat pula diartikan persandaran atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada ibunya ( yang asli) oleh seorang wanita (ibu), lalu
dihubungkan nasab si anak kepada dirinya ( si wanita tersebut atau pengadopsi ) dan anak yang semisal diatas disebut anak angkat atau anak adopsi ( yang dipanggil dengan bapak-bapak atau ibu-ibu mereka yang asli ).4
Dari definisi adopsi diatas menimbulkan pertanyaan, apakah sama antara anak
adopsi dengan anak pungut.
Dalam bahasa Arab anak pungut berasal dari laqatha’ yang berarti mengambil
anak pungut atau disebut juga tabanni, dengan arti yang sama. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia pengertian anak pungut yaitu anak orang lain yang diambil dan
disamakan dengan anaknya.5 Jika kita memperhatikan pada definisi secara bahasa,
maka terdapat kesamaan arti antara mengangkat anak dengan memungut anak.
Sedangkan menurut Hilman Hadi, anak pungut adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut
hukum adat setempat, dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan harta kekayaan rumah tangga. Mahmud Syalthut dalam
mendefinisikan anak pungut memberikan pengertian yang sama dengan anak angkat.
Kemudian anak asuh, ia memiliki pengertian yang sama dengan adopsi, tabanni,
atau luqatha’. Sedangkan seperti kita ketahui tabanni dan luqatha’ adalah kata lain
dari adopsi. Jadi antara anak angkat, anak pungut, dan anak asuh memiliki
pengertian dan maksud yang sama.
4 Abdul Hamid dan Muhammad Muhyiddin, Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah fi Syari’atil Islami,
(Mesir : Maktabah Muhammad Ali Sobih, 1996), cet. ke-3,h. 387. 5 Chuzaimah T. Yanggo, Problemaika Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2002), cet. ke-4, h. 143.
Sejalan dengan itu, diantara ahli hukum ada yang membedakan pengertian
adopsi dengan pengangkatan anak. Dalam pengangkatan anak, seorang anak angkat
dipelihara dan tidak mendudukkannya sama dengan anak kandung dalam hal waris.
Sebaliknya dalam adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan yang sama.6
Dalam memberikan pengertian tentang lembaga anak angkat menurut hukum
Islam, maka menurut penulis perlu dijelaskan beberapa istilah yang berkaitan
dengan lembaga ini yaitu at-Tabanni dan al- Laqith.
At-Tabanni adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak, sehingga
berlakulah bagi anak tersebut hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung. 7
Pengertian ini sama dengan pengertian adopsi yang berlaku di Indonesia. Sedangkan
al- Laqith mengandung arti pemungutan anak yang belum dewasa ditemukan di
jalan dan tidak diketahui keluarganya.8 Laqith berarti seorang ayah memungut
seorang anak yatim atau mendapat di jalan kemudian dijadikan sebagai anak sendiri
baik diasuh dan, diberi makan, pakaian oleh dia, maupun diajarkan, diajak bergaul
seperti anaknya sendiri. Bedanya ia tidak menisbathkan anak tersebut pada dirinya
dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum seperti anak kandung sendiri seperti:
menjadi mahram, haram dikawini, dan berhak mendapat waris.9
6 Irma Setiyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, ( Jakarta : Bumi Aksara,
1994), cet. ke-1, h .34. 7 Muhammad Ali as-sayis, Tafsir Ayat Ahkam, ( Mesir , Mathba’ah Muhammad ’Ali Sabih
Wa Auladuh, 1953), juz 4, h .7. 8 Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, ( Beirut : Dar al-Fikr, 1977), juz 3, h .240. 9 Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (terj) Muammal Hamidy, ( Surabaya :
PT Bina Ilmu, 1976 ), h .311.
Dari perbedaan pengertian di atas maka dapat diambil pengertian kedua bentuk
adopsi, tabanni dan luqatha’, terdapat perbedaan-perbedaan. Tabanni lebih
mengutamakan materilnya dari pada sosialnya, dan ini dapat dilihat pada:
1. Tabanni memutuskan hubungan antara si anak dengan orang tua
kandungnya, sedangkan luqatha’ tidak.
2. Tabanni menjadikan anak angkat sebagai anak kandung, sedangkan
luqatha’ tidak memberikan kedudukan hukum sebagai anak kandung
tetapi hanya terletak pada pemeliharaan dan pengurusan seperti anak
kandung.
3. Tabanni mengadakan ikatan dengan ditandai oleh peresmian
pengangkatan di depan umum, sedangkan luqatha’ tidak.
4. Tabanni di samping menjaga keselamatan anak juga untuk tujuan lain,
sedangkan luqatha’ tidak. Dasar utamanya menyelamatkan anak tersebut
dari hal-hal yang tidak diinginkan, di samping pemeliharaan dan
pendidikan demi masa depan tanpa mengharapkan sesuatu darinya.
5. Tabanni memberikan hak mewarisi dan diwarisi, sedangkan luqatha’
hanya memberikan wasiat.10
Maka dari itu dapat dipahami bahwa pengertian anak angkat menurut hukum
Islam adalah anak yang diangkat untuk dipelihara, dibiayai pendidikannya, dan
dipenuhi segala kebutuhannya oleh orang tua angkat. Disitu terjadi suatu peralihan
10 Huzaemah, T. Yanggo, op.cit.,h .131.
tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat berdasarkan
putusan pengadilan.
B. Sejarah Adopsi
a. Adopsi Pada Masa Pra-Islam
Adopsi sudah dikenal jauh sebelum Islam berkembang. Masayarakat jahiliyah
sudah lebih dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya. Adopsi
sangat erat kaitannya dengan waris dan mewarisi. Adopsi menjadi salah satu sebab
mewarisi dari dua sebab yang berlaku pada masa itu.
Sebab yang pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah
warisan yang diturunkan kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan
kemampuan menunggang kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang.
Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris
ashabah yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekat, seperti saudara laki-
laki, paman, dan lainnya. Dengan demikian bangsa Arab jahiliyah, tidak
memberikan warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan.
Sedangkan sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah
warisan yang diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak
angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan
salah satu adat bangsa Arab yang sudah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka
menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama, mereka menjadikan adopsi
sebagai salah satu penghalang dibolehkan nikah dengan perempuan (istri) dari orang
tua yang mengadopsinya. Anak laki-laki yang diadopsi haram menikahi istri orang
yang mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari
orang yang mengadopsinya, apabila keduanya dicerai atau ditinggal mati. Kedua,
mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.11
Selain itu, dalam masyarakat Arab Jahiliyah sebab atau alasan tertentu yang
dapat menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Sebagai akibat dari perjanjian
ini bila salah seorang dari mereka meninggal dunia, pihak yang masih hidup berhak
mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia.
b. Adopsi pada masa Islam
Pada masa permulaan Islam, untuk dapat mewarisi masih berlaku landasan
pengangkatan anak dan sumpah setia. Kemudian diberlakukan alasan ikut hijrah,
lalu alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dengan sahabat Anshor. 12 Yang
dimaksud dengan alasan ikut hijrah adalah jika seorang sahabat Muhajirin
meninggal dunia maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah,
sedang keluarga yang tidak ikut hijrah tidak ikut mewarisi.
Kemudian jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia tidak memiliki
kerabat yang ikut hijrah maka yang berhak mewarisi adalah sahabat Anshor.
Pada masa itu juga berlaku pewarisan harta terhadap harta orang yang
memerdekakan budak terhadap mantan budak yang pada waktu sebelumnya
dimerdekakannya dengan sistem wala’ ( hak mewarisi pada mantan majikannya
11 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris Terj, ( Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004) , cet. ke-1, h. 1-2.
12 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , ”Ajaran” , PT Ichtiar Baru Van Hoeve.h .107.
terhadap mantan budak yang dimerdekakannya) dengan catatan bahwa sistem wala’
tidak berlaku timbal balik.
Akhirnya yang berlaku dalam kewarisan Islam adalah sistem nasab-kerabat
yang berlandaskan kelahiran ( nasab, qarabah, rahm). Hal ini dijelaskan dalam surat
Al-Anfal ayat 75:
وأولو منكم فأولئك معكم وجاهدوا وهاجروا بعد من ءامنوا والذين عليم شيء بكل الله إن الله آتاب في ببعض أولى بعضهم الأرحام
Artinya :”Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya ( daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. ( Al-Anfal/8: 75)
Sebagaimana kita ketahui Islam adalah agama yang menyempurnakan
agama-agama sebelumnya. Dalam Islam telah diatur segala aspek yang berkaitan
dengan kehidupan kita, termasuk di dalamnya mengenai pengangkatan anak.
Pada tahun 8 H/ 625 M, Zaid bin Haritsah diperjualbelikan di pasar Ukad. Ia
dan pemuda-pemuda lain dibeli dari pasar ini oleh Hakim, kemenakan Khadijah.
Suatu ketika Khadijah berkunjung ke rumah Hakim dan ditawari memilih salah
seorang dari budak tersebut. Ia memilih Zaid. Pada saat pernikahannya dengan
Muhammad SAW, ia memberikan Zaid kepada Muhammad SAW sebagai hadiah.
Muhammad SAW kemudian membebaskan Zaid dan mengangkatnya sebagai
anaknya sendiri. 13
13 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, “Akar dan Awal”, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Juz 1, h .85.
Ketika mengetahui Zaid ada di Mekah, ayahnya Haritsah dan saudaranya
Ka’ab, datang menemui Nabi SAW untuk menebusnya. Nabi SAW mengembalikan
Zaid tanpa tebusan . hanya saja Zaid sendiri yang menolak untuk kembali kepada
orang tuanya. Ia memilih tetap bersama Rasulullah SAW yang sudah dipandang
sebagai orang tuanya sendiri. Harisah dan saudaranya tidak keberatan, karena Zaid
dijadikan orang terhormat. Sejak itu masyarat menyebutnya Zaid bin Muhammad
sampai kemudian datang wahyu yang melarang menasabkan orang lain kepada
orang tua kandungnya.
Beberapa waktu setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu
yang menegaskan masalah itu, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 4-5:
اللائي أزواجكم جعل وما جوفه في قلبين من لرجل الله جعل ما قولكم ذلكم أبناءآم عياءآمأد جعل وما أمهاتكم منهن تظاهرون هو لآبائهم ادعوهم.السبيل يهدي وهو الحق يقول والله بأفواهكم ومواليكم الدين في فإخوانكم ءاباءهم تعلموا لم فإن الله عند أقسط وآان قلوبكم تعمدت ما ولكن به أخطأتم فيما جناح عليكم سولي .رحيما غفورا الله
Artinya :”Allah sekali-kal tidaki menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. ( Al-Ahzab/33: 4-5)
Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan peraturan waris mewarisi
yakni surat Al-Ahzab ayat 6 yang kemudian membatalkan pewarisan lewat jalur
pengangkatan anak.
C. Syarat-syarat Adopsi Menurut Hukum Islam
Berdasarkan Al-qur’an surat Al-Ahzab ayat 4,5,dan 37, jelas bahwa Islam
melarang mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal.
Islam dengan tegas melarang perbuatan itu karena :
1. Mengangkat anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah SWT dan
di hadapan manusia dan hanya merupakan kata-kata yang diucapkan
berulang kali, tetapi tidak mungkin akan menimbulkan kasih sayang yang
sesungguhnya sebagaimana kasih sayang yang timbul di kalangan ayah,
ibu, dan keluarga yang sebenarnya.
2. Mengangkat anak sering dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan
menyusahkan kaum keluarga. Misalnya, seorang laki-laki mengangkat
anak yang akan menjadi pewaris dari harta kekayaannya. Dengan
demikian berarti orang itu tidak memberikan bagian dari hartanya kepada
saudara-saudaranya, dan ahli waris yang lain, yang mempunyai hak
dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah. Hal inilah yang
menyebabkan perbuatan itu dilarang.
3. Mengangkat anak dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung,
kadang- kadang menjadi beban dan tugas yang berat bagi keluarga ayah
angkat. Bila ayah angkatnya meninggal, maka keluarganya bertugas
memberi nafkah kepadanya. Hal ini menyebabkan pelimpahan tugas-
tugas mereka yang pada akhirnya menyebabkan yang halal menjadi
haram dan sebaliknya.
Salah satu tujuan atau sasaran hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan
bagi manusia. Tidak ada suatu perkara pun yang disyari’atkan oleh Islam melalui
Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan terkandung maslahat yang hakiki. 14 Maslahat
ini mengacu pada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara kemaslahatan
beragama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta benda dan kehormatan.15 Dalam hal pemeliharaan keturunan,Islam
sangat menjaga kemurnian nasab seseorang. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa
adopsi diharamkan dalam Islam.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga.
14 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, ( Jakarta : PT Pustaka Firdaus dengan P3M, 1994),
cet .ke-1, h .548. 15 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
ke-1, h .548.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandung, demikian juga
orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal/alamat.
4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan
terhadap anak angkatnya.
5. Hubungan kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua
angkat hendaknya untuk dalam hubungan hibah dan wasiat.
6. Pengangkatan yang dilakukan oleh orang yang berlainan agama tidak
dibenarkan.16
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan
anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar
seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang memelihara anak
orang lain terlebih lagi anak tersebut yatim maka akan mendapat ganjaran surga: قا ل رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابي هر يرة رضي اهللا عنه قا ل
وا شا ر ما لك . آها تين في الحتةآا فل اليتيم او لغيره انا و هو: وسلم بالسبا بة والوسطى
)لم روا ه مس(
Artinya :” Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, ” Rasulullah SAW telah bersabda, Pengasuh anak yatim, anaknya sendiri, ataupun anak orang lain, aku dan
16 Chuzaemah T. Yanggo, op.cit, h .153.
dia seperti dua jari ini di surga kelak. ”Malik RA memperagakan jari telunjuk dan jari tengahnya.(Riwayat Muslim) 17
D. Kedudukan Anak Adopsi Menurut Hukum Islam
Pada zaman jahiliyah, jika seseorang mengangkat anak, maka otomatis
nasabnya disambungkan kepada ayah angkatnya dan nasab kepada orang tua
kandungnya terputus, bahkan anak angkat mendapatkan hak waris. Pengangkatan
anak menurut hukum Islam tidak merubah kedudukan seorang anak terhadap
beberapa hal, di antaranya:
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologisnya dan keluarga.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya orang
tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat.
3. Anak angkat tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya
(panggilan anak-anak angkat) secara langsung sebagai tanda
pengenal/alamat.
4. Orang tua angkat tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya. 18
17 Muhammad Nashirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, (terj) Subhan LC, Imran
Rosadi, ( Beirut : Al Maktab Al-Islami, tth ), buku 2, h .498. 18 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum , ( Jakarta : AKAPRESS,
1991), cet. ke-2, h.18.
Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT
dalam Surat Al-Ahzab ayat 4-5 sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad
SAW dalam mengangkat anak yang disesuaikan adat istiadat dan tradisi yang
berlaku dalam keridupan bangsa Arab Jahiliyah. 19 Allah menurunkannya sebagai
petunjuk untuk memanggil angkat disertai nama bapak kandungnya.20
Dari rumusan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Islam melarang
menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Oleh karena itu untuk memperkuat
bahwa anak kandung tidak sama dengan anak angkat, Nabi dibolehkan menikahi
bekas istri anak angkatnya ( Zainab binti Jahsy) . Firman Allah dalam surat Al-
Ahzab ayat 37:
واتق زوجك عليك أمسك عليه وأنعمت عليه الله أنعم يللذ تقول وإذ أن أحق والله الناس وتخشى مبديه الله ما نفسك في وتخفي الله
على يكون لا لكي زوجناآها وطرا منها زيد قضى فلما تخشاه أمر وآان وطرا منهن قضوا إذا أدعيائهم أزواج في حرج المؤمنين
مفعولا الله
Artinya :”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: ”Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah” , sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
19 Ibid , h. 17. 20 Nurcholis , Asbabun Nuzul, ( Surabaya : Pustaka Anda, 1977 ), cet. ke-1, h .427.
dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripaa istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Al-Ahzab/33: 37)
Selain itu ada hal lain mengapa Nabi memilih Zainab bin Jahsy sebagai istri
anak angkatnya. Beliau ingin menghapus perbedaan antara berbagai kelas dan
meniadakan pengkotakan yang terjadi di kalangan orang-orang Arab antara kaum
atas dan hamba sahaya, antara miskin dan kaya. Oleh karena itu, Nabi memilih
sepupunya untuk menjadi model bagi perempuan-perempuan Arab di mana Zainab
bin Jahsy adalah perempuan dari golongan terhormat dan mulia sedangkan Zaid bin
Haritsah adalah seorang hamba sahaya.
Rumusan ayat berikutnya dari Surat Al-Ahzab ayat 40 menyatakan bahwa
tidak dibenarkan anak angkat dipanggil menurut nama bapak angkatnya:
النبيين وخاتم الله رسول ولكن رجالكم من أحد أبا محمد آان ما عليما شيء بكل الله وآان
Artinya :”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab/33: 40)
Dan banyak hadits yang melarang tentang hal ini, diantaranya:
ى اهللا عليه وسلم يقول ليس من بي ذر انه سمع النبي صل ا عن هم لغير ابيه وهو يعلمه اال آفر ومن ادعى قو ما ليس له في ادعىر
)رواه البخارى( فليتبوأ مقعده من النار
Artinya :”Dari Abu Dzar ra, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda : ” Seorang yang mengatakan mengaku keturunan selain ayahnya, padahal ia
tahu (dia bukan ayah kandungnya) maka orang itu kafir. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa ia keturunan suatu kaum bukan menurut hubungan keturunan mereka, maka hendaklah mereka menempati tempatnya di neraka.” (Riwayat Bukhori)21
ه وسلم ان عن وا ثلة بن اال سقع يقول قال رسول اهللا صلى اهللا عليمن اعظم الفرى ان يد عي الرجل الى غير ابيه او يرى عينه ما لم تر
روا ه ( او يقول على رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ما لم يقل )البخارى
Artinya :”Dari Waatsilah ibn Atsqo’i bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya
ada beberapa hal yang termasuk dosa besar yaitu memanggil bapak selain kepada ayahnya sendiri, melihat dengan matanya padahal tidak melihat, menyatakan pernyataannya dari Nabi padahal bukan perkataan Nabi”. (Riwayat Bukhori) 22
Berdasarkan surat Al-Ahzab dan hadits diatas dapat diketahui bahwa :
1. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk
memelihara anak dan mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid , Nabi
SAW memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan dan
menjadikannya hidup layak sebagaimana manusia merdeka. Sedangkan
tujuan lainnya adalah ingin menolong sesama manusia. Firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an :
والعدوان الإثم لىع تعاونوا ولا والتقوى البر على وتعاونوا...
Artinya :”....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesunggyhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (Al-Maidah/5: 2)
21 H. Zaenuddin Hamidy, dkk, Terjemah Shahih Bukhari, ( Jakarta : Widjaya, 1986), jilid
III, cet. ke-4, h. 223. 22 Ibid, h .224.
2. Dengan tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat,
mengandung arti bahwa pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk
memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul
seseorang.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam hukum Islam anak angkat
tidak dapat disamakan dengan anak kandung. Seperti diketahui, Islam sangat
mementingkan hubungan nasab. Oleh karena itu status anak angkat tidak dapat
menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris. Karena antara anak angkat dengan
orang tua angkat adalah orang lain dan tidak ada hubungan nasab. Meskipun antara
anak angkat dengan orang tua angkat ada jalinan kasih sayang yang kuat seperti
layaknya dengan orang tua kandung, tetapi mereka tetap saja tidak ada hubungan
darah. Karena hubungan darah tidak akan pernah terputus antara orang tua kandung
dengan anaknya. Oleh karena itu, antara anak adopsi dan hak waris tidak ada
hubungan sama sekali. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya pengangkatan anak
menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang
anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Kemudian jika dilihat di dalam KHI pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa: ”
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”
Dengan demikian jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal pemeliharaannya
dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung kepada orang tua
angkat. Akan tetapi untuk masalah perwalian dalam pernikahan dan masalah waris,
anak angkat tersebut tetap berhubungan dengan orang tua kandungnya.
E. Tujuan Adopsi Menurut Hukum Islam
Suatu perbuatan pasti memiliki tujuan yang akan dicapai. Begitu pula
seseorang dalam mengangkat seorang anak pasti memiliki suatu tujuan yang ingin
dicapai. Memang banyak faktor mengapa seseorang melakukan pengangkatan anak.
Namun lazimnya latar belakang pengangkatan anak dilakukan oleh orang yang tidak
diberikan keturunan. Pengangkatan anak dilakukan guna memenuhi instingtif
manusia yang berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang
dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.23
Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan
perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak,
pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan
memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi
hukumnya.
Dalam Islam, ajaran agar selalu peduli kepada sesama merupakan suatu hal
yang memang harus selalu diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan
anak yatim. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara
23 Ahmad Azhar Basyir , Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, ( Bandung : PT Al- Ma’rif, 1972), h .19.
anak-anak yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan
penyantunan dan pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan
hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya. Pemeliharaan tersebut harus
didasarkan pada penyantunan semata.24 Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah
SWT, dalam firman-Nya :
وأسيرا ويتيما مسكينا حبه على الطعام ويطعمون
Artinya :”Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan”. (Al-Insan/76: 8)
F. Akibat Hukum Dari Anak Adopsi Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak pada prinsipnya bersifat
pengasuhan, dengan tujuan agar anak tidak terlantar dan menderita dalam
pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menurut hukum Islam pengangkatan
anak tidak menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam firman
Allah SWT :
الله عند أقسط هو لآبائهم ادعوهم... أبناءآم أدعياءآم جعل وما... جناح عليكم وليس ومواليكم الدين في فإخوانكم ءاباءهم تعلموا لم فإن .رحيما غفورا الله وآان قلوبكم تعمدت ما ولكن به خطأتمأ فيما
Artinya :”Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang benardan Dia menunjukan
24 Muderis Zaini, op.cit,h .50.
jalan (yang benar) Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab/33: 4-5)
Jadi jelaslah bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkat bahkan
keluarga yang mengangkat, tidak terdapat hubungan perwalian bahkan hubungan
nasab. Oleh karena itu, anak angkat dapat dinikahi orang tua angkatnya atau kepada
anggota keluarganya yang lain, karena dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa di antara
perempuan-perempuan yang haram dinikahi adalah bekas istri anak kandung, bukan
bekas istri anak angkat.
Kemudian dalam hukum waris dijelaskan bahwa untuk mendapatkan waris
maka harus terpenuhi beberapa syarat di antaranya adalah harus ada hubungan darah
dan kekerabatan. Sedangkan sebagaimana kita ketahui adopsi atau pengangkatan
anak adalah mengambil anak orang lain yang kemudian dijadikan anak sendiri.
Sedangkan untuk memiliki hubungan darah itu harus melalui sebuah perkawinan
yang sah. Seorang anak yang lahir dari pernikahan yang sah antara suami dan istri,
barulah anak tersebut memiliki hubungan darah dengan orang tuanya dan ia juga
mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Akan tetapi berbeda dengan adopsi,
karena anak adopsi adalah anak orang lain yang diambil sebagai anak, maka anak
tersebut tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Anak tersebut
tidak mendapatkan waris dari orang tua angkatnya, melainkan ia mendapatkan waris
dari orang tua kandungnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Firman Allah SWT
:
المؤمنين من الله آتاب في ببعض أولى بعضهم الأرحام وأولو ... الكتاب في ذلك آان معروفا أوليائكم إلى تفعلوا أن إلا والمهاجرين مسطورا
Artinya :”....Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (orang-orang Anshar) dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis dalam Kitab Allah.” (Al-Ahzab/33: 6)
Islam juga memandang wala’al-ataqah (hubungan kekerabatan yang terjadi
karena membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya), sebagai sebab terjadi
warisan. 25 Kekerabatan ini sangat berbeda dengan kekerabatan yang dibuat dengan
praktek adopsi atau pengangkatan anak. Meskipun antara orang tua angkat dan anak
angkat terjalin suatu kasih sayang seperti orang tua kandung dengan anaknya,
mereka tetap saja tidak memiliki hubungan darah. Karena pada dasarnya kasih
sayang antara orang tua agkat dan anak angkat yang begitu besar tidak setulus kasih
sayang orang tua kandung dengan anak kandung, bisa saja dibalik kasih sayang
tersebut ada sebuah keinginan yang terselubung. Dari sini dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam hukum Islam praktek adopsi atau pengangkatan anak tidak memiliki
akibat hukum apa pun. Kecuali dalam hal kewajiban anak terhadap orang tuanya,
meskipun bukan orang tua kandung tetap saja seorang anak angkat harus
menghormati orang tua angkatnya.
25 Ibid , h. 6.
Maka dengan demikian pada prinsipnya pengangkatan anak dalam Islam tidak
menimbulkan akibat hukum dalam hal:
1. Hubungan darah, di mana nasab si anak tetap dihubungkan dengan orang
tua kandungnya.
2. Hubungan kewalian, dimana orang tua angkat tidak bisa menjadi wali dari
anak angkatnya.
3. Hubungan kewarisan dengan orang tua angkat, karena yang berhak
mendapatkan warisan adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dan
anak angkat tetap saling mewarisi dengan orang tua kandungnya bukan
dengan orang tua angkatnya. Hubungan hukum yang bisa terjalin antara
anak angkat dengan orang tua angkat hanya dalam hibah atau wasiat.
BAB III
ADOPSI MENURUT UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian Adopsi dan Perlindungan Anak
1. Pengertian adopsi
Secara etimologis adopsi berasal dari kata ”adopt” (adoption) bahasa
Inggris yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.26
Di dalam Kamus Hukum dijelaskan bahwa adoptie adalah mengangkat
seorang anak orang lain sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama
dengan anak kandung.27 Dari definisi di atas yang ditekankan adalah menjadikan
anak orang lain sebagai anak kandung baik dari segi hak maupun kewajibannya.
Dalam Ensiklopedi Umum disebutkan bahwa Adopsi, suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan. Biasanya dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang
demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak
kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi
26 Jhon. M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996 ), cet ke-23, h. 13. 27 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, ( Jakarta : Sinar Grafika, Februari, 2004), cet ke-8, h 4.
itu calon orang tua harus memenuhi syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan bagi anak.
Kemudian dalam UU No 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat 9 dinyatakan bahwa :
”Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”
Dr. Soerjono Soekanto, SH, mengatakan : ”Adopsi adalah suatu perbuatan
mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau mengangkat seseorang dalam
kedudukan tertentu yang menyebabkan timbul hubungan yang seolah-olah
didasarkan pada faktor hubungan darah.28
Menurut Arif Gosita pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil
anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak turunannya sendiri,
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum
yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.29
Menurut Wirjono Prodjodikoro adopsi adalah pengambilan seorang anak
yang bukan keturunan dua orang suami istri untuk dipelihara dan diperlakukan oleh
mereka sebagai anak keturunannya sendiri.30
28 Soerjono Soekanto , Intisari Hukum Keluarga, ( Bandung : Alumni , 1973), h 52. 29 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, ( Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer), cet ke-3,
h.47. 30 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, ( Bandung : PT Sumur Bandung,
1991), h 37.
Prof. R. Soepomo, memberi rumusan tentang adopsi, bahwa adopsi adalah
mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Seorang sarjana Belanda yang
khusus mempelajari tentang adopsi, yaitu Dr.J.A.Nota, memberi rumusan bahwa
adopsi adalah suatu lembaga hukum ( een rechtsinstelling), melalui mana seseorang
berpindah ke dalam ikatan keluarga yang lain (baru), dan sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan-hubungan hukum yang
sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.31
Sebagaimana pengertian di atas dalam mengadopsi seorang anak harus
sesuai dengan perundang- undangan yang berlaku dan berdasarkan putusan
pengadilan serta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam undang-
undang tersebut.
Pada dasarnya pengertian adopsi dapat dikategorikan menjadi dua:
a. Adoptio Plena, artinya adopsi dimana hubungan antara anak dan
orang tua biologisnya putus sama sama sekali.
b. Adoptio Minus Plena, artinya hubungan antara anak dengan orang
tua tidak putus sama sekali, dengan perkataan lain, hubungan anak
angkat dengan orang tua angkatnya hanyalah hubungan
pemeliharaan dan pendidikan saja.32
31 Djaja. S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia, (Bandung : PT Tarsito,
1996), h 3. 32 Erna Sofwan Syukrie, Pengaturan Adopsi International, ( Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman , 1992), h 2.
Dari beberapa pengertian adopsi di atas bahwa adopsi dalam hukum positif
adalah termasuk adopsi pada kategori yang pertama. Karena dalam adopsi ini
hubungan antara anak dengan orang tua biologis, putus sama sekali dan status anak
angkat tersebut sama dengan anak kandung. Kemudian adopsi dalam hukum Islam
adalah termasuk kategori yang kedua. Karena adopsi dalam hukum Islam hubungan
antara anak dengan orang tua biologis tidak terputus.
Dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memang tidak
dijelaskan definisi pengangkatan secara jelas. Akan tetapi jika dilihat pada pasal-
pasal mengenai syarat-syarat pengangkatan anak, maka pengangkatan anak menurut
undang-undang ini termasuk pada adopsi kategori yang kedua. Di mana hubungan
antara anak angkat dengan orang tua angkat hanya sebatas hubungan pemeliharaan
saja.
1. Pengertian perlindungan anak
Menurut pasal 1 ayat 2 mengatakan bahwa ” Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.” Kemudian menurut Arif Gosita perlindungan anak adalah suatu
kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan dan
pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan
kepentingannya dan hak asasinya.33
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan anak
adalah suatu kegiatan yang melindungi anak, tidak hanya jasmaniah saja akan tetapi
juga rohaniah anak juga dilindungi, baik dari kekerasan maupun diskriminasi.
Seperti kita ketahui perlindungan anak adalah hak asasi bagi setiap anak, baik dari
orang tuanya maupun dari masyarakat sekitarnya dan negaranya.
Masalah pengangkatan anak erat kaitannya dengan masalah perlindungan
anak. Oleh sebab itu perlu kita memahami hakikat perlindungan anak serta asas-
asasnya. Dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 4
menyatakan bahwa : ” Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Ayat di atas
menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah mengusahakan agar anak dapat
terpenuhi hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, agar kelak dapat
menjadi penerus bangsa yang berkualitas di masa yang akan datang.
Yang berkewajiban pertama kali untuk melakukan perlindungan anak
adalah orang tua kandung dari anak tersebut. Karena di lingkungan keluargalah
seorang anak pertama kali mengenal dunia dan lingkungan sekitarnya. Namun yang
terjadi sekarang ini justru lingkungan keluargalah yang tidak dapat memberikan
perlindungan bagi seorang anak. Hal ini diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 pasal 7
33 Arif Gosita, op.cit., h 4.
ayat 2 yang berbunyi : ”Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal
tersebut memberikan jalan bagi orang tua yang tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak untuk membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain. Kemudian dalam
pasal 14 diatur : ” Setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/ atau aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan
itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.” Jadi jelas bahwa pengangkatan anak dan pengasuhan anak kepada orang
lain bukan satu- satunya jalan akan tetapi merupakan pertimbangan terakhir.
Perlindungan anak berusaha mengembangkan manusia seutuhnya,
memelihara dan menyempurnakan hubungan antara anak dengan orang tua
kandungnya sepanjang hidupnya dengan berbagai cara dan perwujudan.
Perlindungan anak mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang
tua. Hal ini tidak boleh mempunyai akibat pemanjaan anak yang akan merugikan
anak yang bersangkutan. Perlindungan anak melarang pemanfaatan anak untuk
kepentingan orang lain dalam berbagai bentuk dan cara.
Perlindungan anak mengusahakan anak mendapatkan kasih sayang
pengertian dari orang tuanya dan sekelilingnya, serta menikmati hak-haknya tanpa
mempersoalkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, kebangsaan atau sosial.
Kegiatan perlindungan anak adalah suatu tindakan hukum yang membawa
suatu akibat hukum. Oleh sebab itu, perlu ada jaminan hukum untuk kegiatan
perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang menimbulkan korban yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Hal ini juga berlaku bagi kegiatan
pengangkatan anak. Dalam hal ini UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak telah memberikan suatu kepastian hukum.
B. Syarat-Syarat Adopsi Menurut UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Syarat-syarat adopsi yang diatur oleh UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dipaparkan dalam pasal 39 undang-undang tersebut, yang antara
lain :
1. Pasal 39 ayat 1 menyatakan : ” Pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Sebagaimana dijelaskan pada ayat tersebut, maka syarat adopsi yang
pertama adalah adopsi baru dapat dilakukan bila itu memang yang terbaik
bagi anak. Namun bila masih ada jalan lain untuk melindungi, anak maka
jalan tersebutlah yang digunakan. Kemudian syarat yang kedua adalah
adopsi dilakukan berdasarkan hukum adat dan aturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Pasal 39 ayat 2 menyatakan : ” Pengangkatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang tua kandungnya.”
Kemudian syarat yang ketiga adalah hubungan antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya tidak boleh terputus. Hal ini dijelaskan
bahwa hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat hanya
sebatas hubungan pemeliharaan saja.
3. Pasal 39 ayat 3 mengatakan bahwa : ” Calon orang tua angkat harus
seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.”
Sesuai dengan ayat tersebut syarat yang selanjutnya adalah calon orang
tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat.
4. Pasal 39 ayat 4 mengatakan bahwa : ” Pengangkatan oleh warga negara
asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.”
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa anak Indonesia hanya boleh diadopsi
oleh warga negara Indonesia saja. Jika memang tidak ada lagi yang mau
mengadopsi atau tidak ada yang layak mengadopsi, maka pengangkatan
anak oleh warga negara asing baru dapat dilakukan. Pengangkatan ini
adalah merupakan upaya terakhir.
5. Pasal 39 ayat 5 menyatakan : ” Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui,
maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk
setempat.”
Kemudian jika asal-usul anak tidak diketahui, seperti misalnya agama
anak tersebut, maka agama anak tersebut harus disamakan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.
Selain dari syarat-syarat tersebut, orang tua angkat juga harus melaksanakan
satu kewajiban yang akan dilakukan setelah mengangkat anak. Sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 40 ayat 1 dan 2 :
Ayat 1:
Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal-usulnya dan orang tua kandungnya.
Ayat 2 :
Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Sesuai dengan pasal tersebut maka orang tua angkat tidak boleh menutupi
identitas anak. Dalam beberapa pasal tersebut tidak dijelaskan bagaimana sayarat-
syarat untuk perizinan mengadopsi anak, syarat-syarat tersebut antara lain tercantum
dalam beberapa peraturan, antara lain :
1. Surat Edaran Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan Nomor
JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 tentang prosedur pengangkatan anak
warga negara Indonesia oleh warga negara asing. Surat Edaran tersebut
menyatakan pengangkatan anak oleh warga asing hanya dapat dilakukan
dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan dengan
akta Notaris yang dilegarisir oleh Pengadilan Negri. Selanjutnya dalam
Surat Edaran tersebut ditentukan juga syarat-syarat permohonan
pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing, di
antaranya ditentukan bahwa permohonannya harus diajukan oleh
Pengadilan Negeri ( di mana anak yang akan diangkat itu berdiam),
pemohon harus berdiam di Indonesia, pemohon beserta isteri menghadap
sendiri di hadapan hakim serta pemohon dan isteri berdasarkan peraturan
perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat
anak.
2. Surat Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia tertanggal 7 Desember
1978 Nomor : HUK. 3-1-58-1978. surat Edaran tersebut ditujukan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial seluruh Indonesia,
yang menjadi penekanan Surat Edaran ini adalah supaya Dep-Sos
memperhatikan hal pengangkatan anak. Surat Edaran ini merupakan
petunjuk sementara dalam pengangkatan anak (Adopsi) Internasional di
mana kasus adopsi antar negara semakin meningkat, yakni adopsi WNI
oleh WNA.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam adopsi sebaga berikut :
a. Batas umur anak yang akan diangkat (sedapat mungkin tidak lebih
dari 5 tahun).
b. Batas usia calon orang tua angkat (sedapat mungkin tidak lebih dari
50 tahun) dan bersuami istri.
c. Anak yang diangkat jelas asal-usulnya.
d. Bila masih ada orang tua kandung si anak, dimintakan persetujuanya
dan dihadirkan saksi.
e. Ada bukti persetujuan dari instansi yang berwenang dari negara asal
bahwa calon orang tua angkat telah disetujui dan benar-benar
mapan baik materi maupun sosial.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak. Surat Edaran itu ditujukan
kepada Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi, dan semua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim di Pengadilan Negeri di seluruh
Indonesia. Surat edaran tersebut menjelaskan tentang syarat-syarat
permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang tua WNA (Inter
Country adoption).
C. Kedudukan Hukum Anak Adopsi Menurut UU No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Anak angkat atau anak adopsi dalam hukum positif mempunyai kedudukan
tersendiri. Sebelum kita mengetahui kedudukan anak adopsi menurut UU No 23
Tahun 2002, maka alangkah baiknya terlebih dahulu kita melihat kedudukan anak
adopsi menurut hukum positif. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
kedudukan anak angkat dapat ditemui dalam beberapa peraturan di antaranya :
1. Staatblad 1917 : 129, bab II pasal 7 (2) menyatakan bahwa anak angkat
kedudukannya sama dengan anak kandung. Bunyi lengkapnya sebagai
berikut :
” Dalam adopsi terhadap seorang keluarga, sah atau di luar perkawinan,
maka orang yang diadopsi dalam hubungan keluarga dengan ayah
moyang bersama harus berkedudukan dalam derajat yang sama dalam
keturunan seperti sebelum adopsi terhadap ayah moyang itu karena
kelahiran.”34
2. Kompilasi Hukum Islam, pasal 171 (h) menyatakan bahwa kedudukan
anak angkat hanya sebagai anak yang dipelihara dan dirawat oleh orang
tua angkat. Artinya anak angkat tidak sama dengan anak kandung. Hanya
tanggung jawab terhadap anak beralih dari orang tua kandung kepada
orang tua angkat. Orang tua angkat diberi tanggung jawab yang sama
dengan orang tua kandung, seperti : merawat, mendidik, dan sebagainya.
Bunyi lengkapnya sebagai berikut :
” Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan.”35
34 Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan anak, ( Jakarta : Sinar
Grafika, Februari 2004, cet ke-2, h 5. 35 Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : AKAPRESS, 1995), cet
ke-2, h 156.
3. Undang-undang RI No 4 Tahun 1979 , pasal 12 (1) Tentang
Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut :
” Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak .”36
Dalam penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pengangkatan
anak pada pasal ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua
dan keluarga orang tua berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang
bersangkutan. Hal ini berarti bahwa kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak
kandung, apabila hukum si anak baik hukum agama maupun hukum adat berlaku
seperti itu.
Seperti yang telah disebutkan di atas peraturan perundang-undangan dalam
memandang kedudukan anak angkat berbeda-beda. Kemudian kita melihat pada
undang-undang RI No 23 Tahun 2002 pasal 39 (2) Tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa: ”Pengangkatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.”
Dari isi pasal tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak tidak dapat
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. Ini berarti bahwa kedudukan anak angkat adalah tetap anak angkat
bukan anak kandung. Sedangkan hubungan anak angkat dengan orang tua angkat
hanya sebatas hubungan pemeliharaan saja. Dalam hal ini UU No 23 Tahun 2002
36 Undang-Undang Peradilan Anak , (Jakarta : Sinar Grafika ,1997 ), cet ke-2, h 56.
Tentang Perlindungan Anak, sesuai dengan KHI pasal 171 (h) dan UU No 4 tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak pasal 12 (1).
Hal ini menjelaskan bahwa kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak
kandung. Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah keluarga
terutama dalam masalah kewarisan dan kewalian. Kemudian anak angkat tidak
memiliki kedudukan yang berarti dalam sebuah keluarga, karena anak angkat tidak
memiliki hubngan darah dengan anggota keluarga tersebut sehingga tidak ada
hubungannya dengan masalah kewarisan maupun kewalian.
D. Akibat Hukum Anak Adopsi Menurut UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa anak angkat memiliki kedudukan
tersendiri, maka ia juga memiliki akibat hukum tersendiri. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa peraturan yang telah disebutkan di atas, antara lain:
1. Di dalam Staatblad 1917 : 129, bab II pasal 7 (2) yang menyamakan
antara anak kandung dengan anak angkat, berimplikasi pada persamaan
hak dan kewajiban antara anak kandung dengan anak angkat, antara lain :
a. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat.
b. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat.
c. Anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkat.
d. Karena pengangkatan anak , terputus segala hubungan perdata yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran.
2. Di dalam KHI pasal 171 (h) yang menyatakan bahwa kedudukan anak
angkat hanya sebagai anak yang dipelihara dan dirawat oleh orang tua
angkat. Dengan demikian menurut KHI pengangkatan anak tidak
memberikan akibat hukum apa pun bagi anak angkat dan orang tua
angkat. Hubungan antara keduanya hanya sebatas hubungan
pemeliharaan.
3. Kemudian dalam UU No 4 Tahun 1979, pasal 12 (I) Tentang
Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak menurut adat
dan kebiasaan ini tidak boleh memutuskan hubungan darah antara anak
dengan orang tua kandungnya. Dari itu dapat dipahami bahwa antara
anak kandung dengan anak angkat tidaklah sama. Hanya kewajiban
mereka sebagai anak saja yang memiliki kesamaan, yaitu menghormati
dan mematuhi orang tua, baik orang tua angkat maupun orang tua
kandung.
4. Kemudian dalam UU No 23 Tahun 2002 pasal 39 ayat (2) yang
mengatakan hal yang senada dengan UU No 4 Tahun 1979 yang telah
disebutkan lebih dahulu. Pasal tersebut menyatakan bahwa pengangkatan
anak tidak dapat memutuskan hubungan darah, hal ini mengisyaratkan
bahwa pengangkatan anak tidak memiliki akibat hukum apa pun. Dan
hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkat hanya sebatas
hubungan pemeliharaan saja.
Ketidakjelasan kedudukan anak angkat inilah yang menyebabkan akibat
hukum yang akan diterima setelah pengangkatan anak pun masih ada keraguan,
apakah anak tersebut sama dengan anak kandung atau tidak. Jika anak tersebut sama
dengan anak kandung maka ia berhak mendapatkan waris. Akan tetapi jika tidak
maka ia tidak berhak mendapat waris akan tetapi mendapatkan wasiat wajibah
sebagaimana yang disebutkan dalam KHI.
Menurut asas perlindungan anak maka seorang anak berhak atas perlindungan
orang tuanya, dan orang tua wajib melindungi anaknya dengan berbagai cara. Oleh
sebab itu hubungan antara orang tua dengan anak itu harus dipelihara dan
dipertahankan sepanjang hidup masing-masing. Pelaksanaan pengangkatan anak
pada hakikatnya merupakan suatu pemutusan hubungan antara orang tua kandung
dengan anak kandung. Dengan demikian, maka pengangkatan anak adalah pada
dasarnya tidak sesuai dengan asas perlindungan anak. 37
Jika orang tua tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak, maka
pemeliharaan dan pembinaan anak kandung dapat saja diserahkan atau dapat
dilakukan oleh orang lain tanpa harus menyerahkan anak kandung untuk diangkat
oleh yang bersangkutan. Penyerahan ini berarti juga melepaskan diri dari tanggung
jawab untuk memelihara dan membina anak kandung sendiri. Apabila ia mendapat
uang imbalan untuk penyerahan anak tersebut, maka tindakannya merupakan
37 Arif Gosita, op.cit.,h 53.
tindakan penjualan anak. Ini bukanlah suatu tindakan usaha perlindungan anak,
melainkan memanfaatkan anak bersama dengan pihak pengangkat anak.
Perundang-undangan pengangkatan anak yang berlaku di Indonesia sejak
sebelum perang kemedrekaan hingga sekaran ini masih banyak terdapat kekurangan.
Hal itu dapat terlihat dari sederetan peraturan-peraturan tersebut di mana dari tahun
ke tahun saling melengkapi satu dengan lainnya.
Pertama, staatblad tahun 1917 Nomor : 129 Bab II, kalau diperhatikan
sebetulnya dibuat demi status sosial yakni untuk melestarikan keturunan atau
pemeliharaan warga Tionghoa, bukan demi kepentingan anak. Staatblad itu belum
dihapus dari sistem dan perundang-undangan tentang adopsi di Indonesia. Menurut
penulis peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 jangan dijadikan rujukan
hukum, apalagi staatblad 1917 : 129 tersebut merupakan produk hukum kolonial,
yang tentu dalam kebijakannya mengandung unsur-unsur yang menguntungkan
mereka dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia.
Kedua, mengenai pengangkatan anak yang melibatkan dua negara yang
berbeda, harus dibuat peraturan yang tegas. Hal itu disebabkan karena isu
pengangkatan anak mencakup beberapa aspek, misalnya isu agama, kebangsaan, dan
lain-lain. Mengenai isu agama dalam hal ini undang- undang perlindungan anak
dalam salah satu pasalnya telah mensyaratkan bahwa antara calon orang tua angkat
dengan calon anak angkat harus seagama. Ini adalah untuk menghindari pemaksaan
bagi anak angkat untuk mengikuti agama orang tua angkatnya.
Ketiga, mengenai UU Kesejahteraan Anak No 4 Tahun 1979 yang walaupun
dalam pasal-pasalnya ditegaskan bahwa pengangkatan anak harus lebih diutamakan
kepentingan anak, akan tetapi pada kenyataanya dapat dilihat dalam perkara-perkara
adopsi terbukti bahwa pengangkatan anak didasarkan pada alasan tidak adanya
keturunan.
Keempat, dalam undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yang secara keseluruhan mengatur mengenai perlindungan anak,
pengangkatan anak yang merupakan bagian dari usaha perlindungan anak hanya
diatur sebagian kecilnya saja. Dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai
prosedur permohonan pengangkatan anak, hal ini diserahkan kepada hukum adat
yang berlaku pada suatu daerah tertentu. Prosedur pengangkatan anak hanya diatur
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 Tahun 1983.
Kelima, dalam prosedur pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung, syarat-
syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang akan mengangkat anak sangat ketat. Di
antaranya, harus ada saksi-saksi, baik dari pihak adoptandus maupun adoptan,
tenaga ahli, pihak migrasi (bagi warga negara asing), kesaksian lurah, laporan sosial,
motivasi pengangkatan anak, kesungguhannya, tanggapan anggota keluarga terdekat,
harus dilakukan survai ke tempat calon adoptan sebagai pertimbangan hakim dalam
menilai status sosial dan kemampuan pihak adoptan, harus tinggal bersama antara si
calon adoptan dengan calon adoptandus selama setahun, untuk mengetahui sejauh
mana kedekatan si anak dengan calon orang tua angkatnya atau bahkan mugkin
sebaliknya, si calon orang tua angkat mencoba sejauh mana kesanggupan dan
kemampuan dia dalam mendidik dan mengasuh anak tersebut.
Kalau melihat syarat-syarat atau prosedurnya yang begitu ketat dan sangat
berat, maka muncul pertanyaan, apakah ketentuan-ketentuan tersebut, benar-benar
diterapkan oleh masing-masing pihak yang terkait?
Tidak adanya kesatuan hukum inilah yang menyebabkan kedudukan hukum
anak angkat tidak jelas, begitu pula akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak
tersebut. Dalam hal ini penulis menyarankan agar dibuat suatu aturan hukum yang
mengatur tentang adopsi baik yang mengatur tentang prosedur pelaksanaannya
maupun status anak angkat dan akibat hukumnya.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG ADOPSI ANTARA
HUKUM ISLAM DENGAN UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, jelaslah bahwa antara
ketentuan hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam memandang persoalan adopsi atau pengangkatan anak, mempunyai
ketentuan-ketentuan yang sama di beberapa sisi dan perbedaan di lain sisi. Berikut
penulis akan menyampaikan persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dengan
UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam memandang permasalahan
pengangkatan anak (adopsi).
A. Persamaan Tentang Adopsi Antara Hukum Islam Dengan UU No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
1. Keduanya mensyaratkan bagi calon orang tua angkat harus seagama
dengan calon anak angkat. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi
orang tua angkat untuk mendidik anak tersebut dalam memahami ajaran
agama yang dianutnya. Selain itu juga dimaksudkan agar dalam
membimbing mental si anak, orang tua angkat tidak kesulitan. Hal ini
juga bertujuan agar tidak terjadi tekanan yang memaksa anak tersebut
untuk berpindah agama kepada agama yang dianut oleh orang tua
angkatnya. Karena agama adalah hak asasi manusia yang paling hakiki
yang tidak boleh dilanggar oleh manusia lainnya. Oleh karena itu, hukum
Islam dan UU No 23 Tahun 2002 mensyaratkan seagama bagi anak yang
akan diangkat dengan calon orang tua angkat untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan.
2. Keduanya sama-sama menganggap bahwa pengangkatan anak tidak
dapat memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Hal ini dikarenakan pengangkatan anak tidak menjadikan
anak angkat sebagai anak kandung. Pengangkatan anak hanya
memindahkan kepengurusan anak dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat. Seperti diketahui hubungan darah tidak dapat dihapus oleh
apa pun. Karena hubungan darah adalah hubungan yang diciptakan oleh
Allah SWT , maka hubungan ini tidak dapat dihapus dengan adanya
pengangkatan anak, meskipun kasih sayang yang diberikan orang tua
angkat lebih besar dari kasih sayang orang tua kandung, namun kasih
sayang tersebut tetap saja berbeda. Karena hanya kasih sayang dari orang
tua kandunglah yang benar-benar tulus tanpa mengharap imbalan apa
pun. Sedangkan kasih sayang orang tua angkat meskipun sama besar
dengan orang tua kandung tapi tidak setulus kasih sayang orang tua
kandung.
3. Keduanya juga mewajibkan bagi orang tua angkat untuk tidak
menyembunyikan identitas orang tua kandung dari anak tersebut. Hal ini
sesuai dengan pernyataan bahwa pengangkatan anak tidak dapat
memutuskan hubungan darah. Jika orang tua angkat mencoba untuk
menyembunyikan identitas orang tua kandung kepada anak yang
diangkat, maka orang tua angkat tersebut sudah berusaha memutuskan
hubungan nasab yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Hal ini sangat
dibenci oleh Allah SWT dan ia akan mendapat balasan-Nya.
B. Perbedaan Tentang Adopsi Antara Hukum Islam Dengan UU No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak
1. Mengenai kedudukan anak angkat
a. Di dalam hukum Islam kedudukan anak angkat adalah jelas tidak sebagai
anak kandung. Hal ini karena menurut hukum Islam anak angkat adalah
tetap anak orang lain yang tidak memiliki hubungan darah meskipun kasih
sayang yang diberikan sama seperti orang tua kandung. Juga tidak
berdampak terhadap hukum pada masalah kewarisan maupun kewalian
antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya. Oleh karena itu
untuk masalah waris dan wali anak angkat tersebut tetap berhubungan
dengan orang tua kandungnya.
b. Kemudian dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya.
Kemudian jika memperhatikan pada hukum positif, anak angkat adalah
sama dengan anak kandung. Hal ini karena hukum positif mengakui
adanya pengakuan anak luar kawin. Dengan pengakuan anak luar kawin,
maka anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan orang tua yang
mengakuinya. Dengan hubungan perdata tersebut dalam masalah
kewarisan dan kewalian anak luar kawin maka ia memiliki hubungan
waris dan wali dengan orang tua yang mengakuinya.
2. Mengenai tata cara pengangkatan anak
a.Dalam hukum Islam tidak ada cara-cara tertentu untuk melakukan
pengangkatan anak. Dalam hukum Islam yang terpenting adalah
pemberitahuan kepada masyarakat banyak perihal pengangkatan anak
yang telah dilakukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengumumkannya di
pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Kemudian setelah diumumkan
baru dibuatkan surat yang menyatakan perihal pengangkatan anak
tersebut.
b. Dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 39 ayat 1
dijelaskan bahwa pengangkatan anak dilakukan sesuai dengan hukum adat
yang berlaku. Hal ini menjelaskan bahwa dalam undang-undang ini tidak
aturan khusus mengenai tata cara pengangkatan anak, dan tata cara
pengangkatan anak ini diserahkan kepada masing-masing hukum adat
yang berlaku. Pasal ini dibuat dengan memperhatikan begitu beragam
hukum yang berlaku di Indonesia. Sebelum undang-undang ini dibuat,
maka aturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak adalah
Staatblad 1917 :129, bab II pasal 7 ayat 2. Akan tetapi setelah adanya
undang-undang ini maka Staatblad tersebut sudah tidak berlaku lagi.
3. Mengenai kewarisan
a. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam hukum
Islam, pengangkatan anak tidak memiliki akibat hukum apa pun termasuk
di dalamnya hukum waris. Hal ini karena dalam hukum Islam yang lebih
berhak mendapat kan waris adalah orang yang memiliki hubungan darah
atau hubungan kekerabatan dengan si mayit. Sedangkan anak angkat
dengan orang tua angkatnya tidak memiliki hubungan darah, meskipun
kasih sayang antara anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti kasih
sayang antara anak kandung dengan orang tua kandungnya, akan tetapi
mereka tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dan keduanya
tidak bisa saling mewarisi.
b. Kemudian jika kita perhatikan dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang
perlindungan Anak, di dalamnya tidak diatur sama sekali mengenai
hukum waris-mewarisi. Kalau kita lihat pada hukum positif dijelaskan
bahwa anak angkat berhak mendapat waris. Hal ini karena dalam hukum
positif berlaku pengakuan anak luar kawin. Sedangkan anak angkat
adalah termasuk anak luar kawin. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
setelah ada pengakuan anak luar kawin maka anak luar kawin memiliki
hubungan perdata dengan orang tua yang mengakuinya. Dan mengenai
waris termasuk dalam hubungan perdata tersebut.
4. Mengenai Kewalian
a. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa, pengangkatan anak tidak
menimbulkan akibat hukum apa pun. Maka anak angkat tidak memiliki
hubungan perdata apa pun dengan orang tua angkatnya. Kemudian dalam
masalah wali, jika anak angkat tersebut perempuan maka orang tua
angkatnya tidak berhak menjadi wali pada saat anak tersebut akan
menikah. Orang tua kandungnyalah yang berhak menjadi wali, karena
hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang berhak menjadi
wali. Jika orang tua kandung dari ankangkat tersebut tidak diketahui
keberadaannya, maka hakimlah yang berhak menjadi wali, bukan orang
tua angkatnya. Hal ini karena hakimlah yang lebih berhak menjadi wali
daripada orang tua angkat anak tersebut.
b. Menurut hukum positif masalah wali tidak ada kaitannya dengan
pengangkatan anak. Karena yang menjadi wali dari si anak tidak harus
orang tua si anak baik kandung maupun angkat. Dalam hukum positif
siapa saja berhak menjadi wali, jika ia mendapat kepercayaan dari orang
tua si anak melalui adanya pengangkatan yang dilakukan oleh hakim.
Pengangkatan ini dapat dilakukan hakim dengan atau tanpa kehadiran
orang yang diangkat. Dan pengangkatan wali ini hanya berlaku untuk
waktu yang telah ditentukan dalam surat pengangkatan. Maka dengan
adanya wali penguasaan terhadap anak sepenuhnya berada di tangan wali.
Dan segala perkara si anak sepenuhnya dilakukan oleh wali. Jadi masalah
wali tidak ada kaitannya dengan masalah pengangkatan anak.
C. Analisis
Adopsi atau pengangkatan anak adalah menjadikan anak orang lain sebagai
anak sendiri. Anak angkat tersebut mendapatkan kasih sayang layaknya anak
kandung, akan tetapi anak tersebut tidak mendapatkan kedudukan seperti anak
kandung.
Dalam penelitian ini penulis telah membandingkan antara adopsi menurut
hukum Islam dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya antara adopsi menurut hukum Islam
dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memiliki banyak
persamaan, antara lain keduanya mensyaratkan bagi calon orang tua angkat harus
seagama dengan calon anak angkat. Hal ini menggambarkan bahwa kedua hukum
tersebut menginginkan yang terbaik bagi calon anak angkat. Karena jika ia tinggal
bersama orang tua angkat yang seagama maka kebebasan anak tersebut dalam
menjalankan agamanya tidak akan terganggu, bahkan ia akan mendapat bimbingan
dari orang tua angkatnya dalam menjalankan agamanya. Lain halnya jika calon
orang tua angkat tidak segama dengan calon anak angkat, dikhawatirkan kebebasan
bagi anak tersebut dalam menjalankan ibadah menurut agamanya akan terganggu.
Selain itu dikhawatirkan anak tersebut akan dipaksa untuk berpindah agama oleh
orang tua angkat yang berbeda agama tersebut. Oleh karena itu disyaratkan bagi
calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat adalah untuk
mencegah pemaksaan dalam beragama.
Selain itu keduanya juga menganggap pengangkatan anak tidak dapat
memutuskan hubungan darah antara calon anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Hal ini karena keduanya menganggap bahwa pengangkatan anak tidak
dapat memutuskan hubungan darah. Karena hubungan darah adalah hubungan yang
diciptakan oleh Allah, dan hubungan ini tidak akan putus oleh apa pun, terlebih lagi
hanya dengan pengangkatan anak. Dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua
angkat sebesar apa pun kepada anak angkatnya, tidak sebesar kasih sayang orang tua
kandung terhadap anak kandungnya. Selain itu kasih sayang orang tua angkat tidak
setulus kasih sayang orang tua kandung, karena dalam kasih sayang orang tua angkat
pasti ada suatu keinginan yang terselubung.
Keduanya juga mewajibkan bagi orang tua angkat untuk tidak
menyembunyikan identitas orang tua kandung dari anak yang diangkat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa pengangkatan anak
tidak dapat memutuskan hubungan darah. Namun jika orang tua angkat
menyembunyikan identitas orang tua kandung dari anak yang diangkat, maka ia
telah berusaha memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya. Dan hal ini sangat dibenci Allah SWT.
Selain memiliki beberapa persamaan antara adopsi menurut hukum Islam
dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, juga memiliki beberapa
perbedaan.
Islam sangat mementingkan hubungan darah, karena suatu hubungan darah
menentukan status seseorang di dalam keluarganya. Pengangkatan anak merupakan
perbuatan yang mengada-adakan sesuatu yang tidak ada. Hal ini tidak disukai Allah.
Akan tetapi karena tujuan pengangkatan anak ini adalah untuk menolong sesama
maka Allah tetap memperbolehkan.
Oleh karena itu kedudukan anak angkat jelas tidak sama dengan anak kandung
walaupun mendapatkan kasih sayang yang sama dengan anak kandung. Karena
hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat pada dasarnya tidak ada. Dan
pengangkatan anak ini mengada-adakan hubungan yang sebenarnya tidak ada. Maka
meskipun kasih sayang orang tua angkat terhadap anak angkat sama besar dengan
anak kandung bahkan mungkin lebih besar, hubungan keduanya adalah tetap orang
lain, karena hubungan darah tidak dapat diubah yang telah dibuat Allah tidak dapat
diubah oleh apa pun.
Kemudian kedudukan anak angkat dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, meskipun tidak ditegaskan secara jelas akan tetapi undang-
undang ini menegaskan bahwa pengangkatan anak tidak dapat memutuskan
hubungan darah. Jika di perhatikan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia,
maka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Hal ini disebabkan karena
adanya pengakuan dari orang tua yang mengangkat anak tersebut. Dengan
pengakuan maka anak angkat memiliki hubungan perdata dengan orang tua yang
mengangkatnya.
Dalam hukum Islam tidak ada cara-cara tertentu untuk melakukan
pengangkatan anak. Mengenai hal ini menurut Islam yang terpenting adalah
memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peristiwa pengangkatan anak.
Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman, jika suatu saat orang
tua angkat meninggal dunia dan si anak angkat tidak mendapatkan warisan dari
orang tua angkatnya, tanpa sebelumnya ia mengetahui bahwa ia adalah anak angkat.
Dengan adanya pemberitahuan kepada masyarakat mengenai pengangkatan anak
tersebut maka anak tersebut bisa mengetahui tentang hal itu dengan mudah.
Sedangkan menurut hukum positif terutama UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, tata cara pengangkatan anak dilakukan sesuai dengan hukum
adat yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini hukum positif merupakan salah satu
hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu hukum positif memiliki aturan
tersendiri yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan anak. Meskipun dalam
UU No 23 Tahun 2002 tidak disebutkan secara jelas, akan tetapi tata cara
pengangkatan anak dijelaskan dalam aturan-aturan lain seperti Surat Edaran MA
atau Keputusan MA.
Kemudian mengenai masalah kewarisan Islam. Dalam masalah kewarisan
sustu hubungan darah dan hubungan kekerabatan sangat penting. Karena hubungan
darah dan hubungan kekerabatan sangat menentukan seorang ahli waris
mendapatkan harta warisan atau tidak. Selain itu hubungan darah danhubungan
kekerabatan juga menentukan besar kecilnya bagian harta warisan seorang ahli
waris. Sedangkan pengangkatan anak menjadikan orang lain yang tidak memiliki
hubungan darah atau hubungan kekerabatan menjadi satu keluarga. Meskipun
dengan pengangkatan anak seseorang yang awalnya orang lain menjadi keluarga, hal
ini tidak menjadikan ia seorang ahli waris. Karena hanya orang yang memiliki
hubungan darah dengan pewaris saja yang berhak mendapatkan harta warisan. Dan
seseorang yang telah diangkat menjadi anak angkat adalah tetap orang lain meskipun
orang tua yang mengangkat telah menganggap anak itu seperti anak kandungnya.
Jika orang tua angkat ingin memberikan anak angkat tersebut bagian dari harta
warisannya, maka ia boleh memberikannya dalam bentuk wasiat atau pun hibah
yang batas maksimalnya adalah sepertiga dari harta warisan.
Menurut hukum positif dalam hal ini UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, anak angkat adalah sama dengan anak kandung. Karena
pengangkatan anak menjadikan anak angkat memiliki hubungan perdata dengan
orang tua angkatnya, yang dalam hal ini adalah kewarisan. Hal ini karena
pengangkatan anak adalah pengakuan orang tua terhadap anak orang lain, dan
pengakuan inilah yang menjadikan anak angkat memiliki hubungan perdata denga
orang tua yang mengakuinya.
Masalah kewalian dalam Islam. Dalam hukum Islam hanya orang yang
memiliki hubungan darahlah yang berhak menjadi wali, khususnya dalam wali
nikah. Sedangkan orang tua angkat adalah orang lain bagi anak yang diangkatnya.
Dan orang lain tidak berhak menjadi wali. Maka jika anak angkat akan menikah
khususnya anak yang perempuan, yang berhak menjadi walinya adalah orang tua
kandungnya, namun jika orang tua kandungnya tidak diketahui keberadaannya atau
telah meninggal dunia, yang berhak menjadi wali nikahnya adalah hakim. Jadi orang
tua angkat tetap tidak berhak menjadi wali meskipun orang tua kandung si anak
tidak diketahui keberadaannya atau telah meninggal dunia, karena ia adalah orang
lain meskipun ia memiliki ikatan kasih sayang dengan si anak angkat akibat dari
pengangkatan anak.
Dalam masalah kewalian hukum positif dalam hal ini UU No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak menganggap tidak ada kaitannya dengan pengangkatan
anak. Karen dalam hukum positif siapa saja berhak menjadi tidak tertutup hanya
pada orang tua si anak saja. Dan orang tualah yang mengangkat seorang wali untuk
mengurus segala perkara si anak. Dan secara langsung kekuasaan orang tua atas
anak berpindah kepada wali.
Jadi, Islam membolehkan perbuatan pengangkatan anak. Karena pengangkatan
anak memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk menolong anak-anak yang terlantar
agar mereka mendapat pendidikan dan kesejahteraan dan mereka dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Akan tetapi tidak semua orang tua yang mengangkat anak memiliki niat yang
tulus untuk menolong anak-anak yang terlantar. Adakalanya seseorang mengangkat
anak hanya untuk dijadikan pembantu atau pekerja yang kemudian dieksploitasi. Hal
ini yang sangat dilarang oleh Allah SWT. Allah selalu memerintahkan kepada kita
untuk melindungi anak-anak yatim dan terlantar. Apabila kita melanggar perintah-
Nya maka pasti Allah akan memberikan azab yang pedih kepada kita.
Pengangkatan anak tidak menjadikan anak angkat sama dengan anak kandung.
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an anak angkat tidak sama
dengan anak kandung, meskipun kasih sayang yang diberikan orang tua angkat
terhadap anak angkat sama dengan yang diberikan terhadap anak kandung. Ini
karena hubungan kasih sayang antara orang tua angkat dengan anak angkat tidak
sama dengan hubungan kasih sayang antara orang tua kandung dengan anak
kandung. Sebesar-besarnya kasih sayang orang tua angkat dengan anak angkat tidak
setulus kasih sayang antara orang tua kandung dengan anak kandung.
Dalam Islam pengangkatan anak ini tidak memiliki akibat hukum. Ini berbeda
dengan anak kandung, yang apabila seorang anak lahir dari suami istri yang masih
berada dalam ikatan perkawinan, maka ia membawa akibat hukum yaitu adanya
hubungan nasab, hubungan waris mewarisi, dan hubungan perwalian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka
penulis mengambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Adopsi atau pengangkatan anak merupakan salah satu cara untuk
melakukan perlindungan anak, di jumlah anak-anak yang terlantar
semakin banyak dan jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi
semakin banyak pula.
2. Tentang adopsi antara hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak banyak terdapat persamaan, antara lain :
a. Persamaan tentang adopsi antara hukum Islam dengan UU No 23
Tahun 2002 :
1. Keduanya sama-sama tidak membenarkan putusnya hubungan darah
antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
2. Keduanya sama-sama tidak membenarkan orang yang mengangkat
anak itu berbeda agama dengan anak yang diangkat.
3. Keduanya juga mewajibkan bagi orang tua angkat untuk
memberitahukan kepada anak yang diangkat tentang orang tua
kandungnya.
4. Adopsi hanya dapat dilakukan apabila orang tua kandung si anak
tidak dapat melakukan tugasnya. Dan hal itu dilakukan hanya untuk
kepentingan anak, serta untuk memelihara pertumbuhan dan
perkembangan anak.
b. Perbedaan tentang adopsi antara hukum Islam dengan UU No 23
Tahun 2002 :
- Adopsi menurut hukum Islam :
1. Dalam hukum Islam anak angkat adalah tetap orang lain bagi
orang tua angkatnya. Dalam hal waris maka ia tidak
mendapatkan waris dari orang tua angkatnya. Kecuali jika orang
tua angkatnya sebelum meninggal dunia telah membuat wasiat
yang menyatakan bahwa anak angkat tersebut mendapatkan
sebagian dari harta peninggalannya. Dan besarnya tidak lebih
dari sepertiga harta. Kemudian dalam masalah wali nikah jika
anak angkat tersebut perempuan, maka orang tua angkatnya
tidak berhak menjadi wali.
2. Dalam hukum Islam tidak ada tata cara yang khusus untuk
melakukan pengangkatan anak, yang terpenting adalah
mengumumkannya kepada masyarakat banyak yang dilakukan
oleh orang yang mengangkat dengan mengatakan bahwa ia
telah mengangkat si fulan sebagai anak angkatnya.
- Adopsi menurut UU No 23 Tahun 2002 :
1. Dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam
pasal 39 ayat 2 dikatakan bahwa pengangkatan anak tidak dapat
memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang
tua kandungnya. Hal ini menyiratkan bahwa anak angkat adalah
tetap orang lain bagi orang tua angkatnya. Kemudian dalam
masalah waris, jika ia tidak memiliki hubungan dengan orang tua
angkatnya, maka ia tidak berhak mendapatkan waris. Dalam
hukum Perdata Positif dijelaskan bahwa anak angkat tidak
termasuk dalam orang yang berhak mendapatkan waris, kecuali
jika pewaris yang dalam hal ini adalah orang tua angkat si anak
telah berwasiat yang menyatakan bahwa si anak berhak mendapat
harta warisan maka ia mendapatkan waris.
2. Dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak
dijelaskan hubungan pengangkatan anak dengan masalah
kewalian, akan tetapi dalam hukum Perdata Positif dijelaskan
bahwa siapa saja berhak menjadi wali bagi seorang anak. Untuk
menjadi wali tidak harus memiliki syarat-syarat khusus.
Seseorang dapat menjadi wali berdasarkan surat penunjukan dari
hakim yang dibuat berdasarkan surat permohonan dari orang tua
si anak. Hal ini tidak ada hubungannya dengan pengangkatan
anak. Orang tua angkat bisa menjadi wali bagi anak angkatnya.
B. Saran-Saran
1. Usaha perlindungan anak dalam lembaga adopsi tidak akan dapat berdaya
maksimal bila tidak didukung oleh adanya kesatuan hukum peraturan
perundangan yang mengatur tentang adopsi. Yang didalamnya diatur
mengenai tata cara mengadopsi anak, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh calon orang tua angkat.
2. Pengangkatan anak secara langsung atau tidak langsung menyangkut
kepentingan pelayanan anak yang dapat mempunyai dampak positif dan
negatif pada masa depan anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu perlu
adanya usaha pencegahan penyalahgunaan pengangkatan anak secara
individual dan kolektif yang menyebabkan anak angkat menjadi korban.
Karena pengangkatan anak ini bertujuan sebagai usaha perlindungan anak,
maka calon orang tua angkat harus diberi penjelasan mengenai
perlindungan anak.
3. Salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya
sosialisasi UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena
itu UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak perlu disosialisakan
lagi.
4. Selain itu pemerintah juga harus meningkatkan taraf hidup rakyat
Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kemiskinan. Hal ini
karena kemiskinan adalah penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap
anak.
5. Dan adanya anggapan pada orang tua bahwa anak adalah milik mereka,
yang berhak mereka perlakukan sesukanya. Anggapan ini harus dihapus
dengan pemberian pemahaman agama yang cukup bahwa anak adalah
sebuah titipan dari Allah SWT yang dipercayakan kepada kita untuk dijaga
dan dipelihara.
6. Kemudian pemerintah perlu membentuk suatu badan hukum untuk
mengawasi pelaksanaan adopsi untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan.
7. Adopsi bukanlah satu-satunya jalan untuk melakukan perlindungan anak
karena pada dasarnya yang berkewajiban melakukan perlindungan anak
adalah orang tua kandung si anak. Maka dari itu para orang tua juga perlu
diberikan pemahaman mengenai perlindungan anak dan sosialisasi undang-
undang perlindungan anak.
Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus dilindungi. Oleh
sebab itu pengangkatan anak menjadi pokok perhatian perlindungan anak, serta
pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak demi
perlakuan yang adil dan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak merupakan
sesuatu yang bersifat positif dan negatif. Dapat menguntungkan dan merugikan
yang bersangkutan, tidak dapat dilarang, tetapi tidak juga dapat dianjurkan
secara besar-besaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Abdurrahman, .H.SH.MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :
AKAPRESS, 2004, Cet. ke-4.
Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim, (terj) Subhan LC,
Imran Rosadi, Beirut, Almaktab Al-Islamy,tth, jilid 2.
Ali Hasan, M, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2000, Cet. ke-4.
Azhar Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung :
PT Al- Ma’rif, 1972.
Budiarto. M, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta : AKAPRESS,
1991, Cet. II.
Djamil. Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Ajaran , Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002.
Gosita, Arif. Dr.SH, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2004, Cet ke-3.
Hamid, Abdul dan Muhammad Muhyiddin, Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah fi Syari’ah
Al-Islamy, Mesir : Maktabah Muhammad Ali Sobih, 1996, Cet. ke-3.
Hamidy, Zainudin,H, dkk, Terjemah Shahih Bukhari, Jakarta : Widjaya, Jilid III,
1986, Cet. ke-4.
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta : Senayan
Abadi Publishing, 2004, Cet. ke-1.
Mohd. Fachruddin, Fuad, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1991, Cet. ke-2.
Nurcholis, Asbabun Nuzul, Surabaya : Pustaka Anda, 1977, Cet ke-1, 1977.
Qardhawi, Yusuf, Halal Dan Haram Dalam Islam, (terj) Muammal Hamidy,
Surabaya : PT Bina Ilmu, 1976.
S. Meliala, Djaja, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung : PT Tarsito,
1996.
Simorangkir. J.C.T, dkk, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-8.
Soekanto. Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, Bandung : Alumni, 1973.
Soimin. Soedharyo.SH, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-2.
Syukrie. Erna Sofwan, Pengaturan Adopsi International, Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.
T. Yanggo. Chuzaemah, Dr. H, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-.4.
Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Peradilan Anak.
Zahrah.M. Abu, Ushul Fiqih, Jakarta : PT Pustaka Firdaus dengan P3M, 1994, Cet.
ke-1.
Zaini. Muderis. SH, Adopsi Suatu Tunjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar
Grafika, 2000, Cet ke-4.
Zuhdi. Masfjuk. Prof. Drs. H, Masail Fiqhiyah, Jakarta : CV Haji Masagung, 1993,
Cet ke-4.