Upload
opa-yat
View
478
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
1
TUGAS MATA KULIAH MORFOLOGI
AFIKSASI BAHASA SABU
OLEH
GUD REACHT HAYAT PADJE
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG 2013
1
AFIKSASI BAHASA SABU
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia dalam pergaulannya sehari-hari pada
umumnya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa-
bahasa daerah yang ada di wilayah Indonesia merupakan lahan subur bagi
penelitian kebahasaan. Jumlah bahasa daerah di Indonesia belum dapat
disepakati oleh para ahli dengan angka tertentu, karena masih banyak
bahasa daerah yang belum terjamah oleh peneliti terutama bahasa minor
misalnya, di pedalaman Papua. Sementara menurut Purwo (2009), secara
kuantitatif menyebutkan bahasa daerah di Indonesia berjumlah 706
bahasa. Dari 706 bahasa daerah itu, satu diantaranya adalah bahasa Sabu
(yang selanjutnya disingkat BS) digunakan oleh masyarakat yang ada di
Kepulauan Sabu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) sebagai alat komunikasi intraetnis dalam kehidupan sehari-hari. BS
juga dipakai oleh masyarakat Sabu yang berada di daerah lain, misalnya
di Sumba, Kupang, Flores, dan Rote. Selain sebagai alat komunikasi
sehari-hari, BS juga digunakan dalam upacara-upacara adat, misalnya:
upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan keagamaan (Ratukoreh,
2006). BS juga digunakan dalam pewarisan karya sastra lisan, seperti (1)
Li Pedjo (tuturan yang dilagukan untuk mengiringi tarian masal pedho’a),
(2) Li kewedhe (pantun), (3) Li jawi (cerita rakyat), (4) Li mengao (doa
2
permohonan), (5) Li lodo (nyanyian rakyat), (6) Tangi pali (ratapan), dan
(7) Li pana (mantra).
Masyarakat Sabu, baik yang termasuk etnis Sabu maupun etnis
non-Sabu mengenal istilah sabu dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, di
kalangan orang Sabu, penyebutan istilah sabu kurang populer karena
orang Sabu lebih senang menyebutnya dengan Hawu. Lebih lanjut, Kaho
(2007) mengungkapkan bahwa orang Sabu menamakan dirinya dengan
sebutan Do Hawu dan menamakan Pulau Sabu dengan sebutan Rai Hawu.
Do adalah singkatan dari kata dou yang berarti orang atau manusia,
sedangkan rai berarti tanah atau negeri. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Do Hawu mengacu pada orang atau manusia Sabu, sedangkan Rai
Hawu mengacu pada tanah atau negeri Sabu.
Data statistik tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk Pulau
Sabu berjumlah 91.870 jiwa dengan rincian 45.832 jiwa laki-laki dan
46.038 jiwa perempuan. Mata pencaharian utama penduduk Sabu adalah
pertanian, kerajinan (khususnya tenun dan gula nira), dan pengolahan hasil
laut (khususnya rumput laut). Aktivitas ekonomi masyarakat Sabu masih
konvensional yang terikat dengan norma budaya. Selain itu, masyarakat
Sabu masih tetap konsisten menjalankan budaya lokal walaupun kemajuan
informasi dan teknologi telah mulai berkembang. Wilayah Kabupaten
Sabu Raijua yang luasnya 460,84 km², terdiri atas 6 kecamatan yang
terdiri dari, Kecamatan sabu timur, Sabu Tengah, Sabu Barat, Sabu Liae,
Hawu Mehara dan Sabu Raijua, dapat ditempuh dalam hitungan menit
3
atau jam. Bila menggunakan jalur udara, jarak tempuh dari ibu kota
propinsi ke Pulau Sabu sekitar 45 menit dan bila menggunakan jalur laut
jarak tempuhnya adalah sekitar 12 jam.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 52 Tahun 2008, daerah ini
resmi menjadi sebuah daerah otonom baru dengan nama Kabupaten Sabu
Raijua yang terdiri dari empat pulau. Dari empat pulau ini, hanya dua
pulau yang berpenghuni. Walaupun penduduknya mendiami pulau yang
berbeda namun bahasa yang digunakan dalam berinteraksi sehari-hari
sama, yaitu bahasa Sabu. Menurut Kridalaksana (2008), bahasa Sabu
termasuk dalam rumpun bahasa Bima-Sumba yang meliputi bahasa Bima,
bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Sumba Barat,
bahasa Sumba Timur, dan bahasa Sabu.
BS memiliki lima variasi dialek, yakni dialek Seba, dialek Mesara,
dialek Raijua, dialek Timu, dan dialek Liae (Walker, 1982:3). Kelima
variasi dialek tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan atau
mencolok. Perbedaannya hanya terletak pada variasi fonologis pada
sebagian kecil leksikon (Ratukoreh, 2006). Dalam penelitian ini yang
menjadi subjek penelitian adalah BS dialek Seba karena dialek Seba bisa
berterima pada semua dialek BS. Untuk lebih jelas, variasi fonologis
sebagai penanda dialek tersebut terlihat di bawah ini.
Seba Mesara Timu Liae Raijua Arti
yaa dja dja yaa Jo Saya
dji dji dji dji ji Kami
Ri ri ro ri li Oleh
4
do do do do ro Yang
hiammu hiemmu ihiemmu hiammu ihiammu Istri/Suami
terae terae terae terae kerae Jagung
BS dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari dan di tempat
upacara yang dilakukan oleh setiap kelompok sepanjang takwin adat.
Kegiatan upacara dibagi dalam kurun musim kemarau dan kurun musim
hujan. Upacara itu berfungsi untuk menyingkirkan segala bentuk kekuatan
gaib yang merusak dan mengancam kehidupan manusia. Upacara adat
musim hujan dipimpin Deo Rai ‘dewa tanah’, sedangkan upacara musim
kemarau dipimpin oleh Pulodo Wadu ‘leluhur Matahari’ (Juli, 2003).
Masyarakat Sabu tergolong masyarakat dwibahasawan, yakni menguasai
dan menggunakan dua bahasa (BS sebagai bahasa ibu dan bahasa
Indonesia). Bahasa Indonesia dikuasai dan digunakan oleh anggota
masyarakat yang berpendidikan dan tinggal di ibu kota kabupaten dan
kecamatan. Kegiatan berbahasa Indonesia dilakukan ketika
berkomunikasi dengan mitra tutur yang bukan penutur BS. Hal itu sangat
berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman yang
menggunakan BS sebagai alat komunikasi utama.
Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki struktur. Struktur suatu
bahasa mencakup bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, dan
tata makna (Keraf 1991:17). Bahasa Sabu sebagai salah satu bahasa
memiliki struktur bahasa, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian
Wakidi dkk, yang membahas tentang Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis
bahasa Sabu. Khusus dalam bidang morfologi, membahas tentang
5
morfem, proses morfologis, dan kelas kata. Dalam kajian morfem terikat
hanya disebutkan dua morfem saja yaitu prefiks pe- dan ke-. Padahal
dalam bahasa Sabu masih ada morfem terikat yang lain. Begitu juga dalam
kajian proses morfologis afiksasi tidak dibahas secara tuntas tentang
kaidah pembentukan kata, fungsi dan makna afiks.
Selain berperan dalam aspek kehidupan manusia sebagai alat
komunikasi yang memiliki sistem dan kaidah-kaidah, bahasa juga
memiliki properti struktural atau aspek gramatikal, yang dikaji dalam
tipologi bahasa. Berkaitan dengan tipologi menurut Comrie (1989:42-43)
dalam morfologi tradisional dikenal tiga tipe bahasa, yaitu isolasi,
aglutinasi, dan fusi yang kemudian ditambahkan lagi dengan tipe keempat,
yaitu tipe polisintesis atau inkorporasi. Tipe bahasa isolasi memiliki ciri-
ciri antara lain: (1) tidak memiliki bentuk morfologi; (2) memiliki
hubungan satu-satu; (3) setiap kata mungkin terdiri atas lebih dari satu
suku kata, tetapi batasan dari masing-masing morfem selalu jelas; (4) tidak
memiliki variasi morfologis untuk menyatakan kata atau kasus-kasus
lainnya. Tipe bahasa aglutinasi memiliki ciri-ciri antara lain: (1) sebuah
kata terdiri atas lebih dari sebuah morfem; (2) batasan kata atau morfem
selalu jelas; (3) tiap-tiap morfem selalu memiliki varian-varian ( variasi
bentuk ); (4) identifikasi bunyi mudah dipahami. Tipe bahasa fusi
memiliki ciri-ciri antara lain: (1) tidak ada batasan yang tegas antara
morfem-morfem; (2) ekspresi dari kategori yang berbeda dalam kata yang
sama lebur dan menjadi sebuah bentuk tunggal; (3) morfem tidak dapat
6
disegmentasikan; (4) seperti bahasa aglutinasi, bahasa fusi memiliki
bentuk infleksi. Tipe bahasa polisintesis memiliki ciri-ciri antara lain: (1)
tidak mungkin berkombinasi dengan morfem dalam jumlah yang besar,
baik morfem leksikal maupun morfem gramatikal. Umumnya, kombinasi
antara satu morfem leksikal dengan satu morfem gramatikal; (2) setiap
kalimat terdiri atas satu kata, dan setiap kata terdiri atas beberapa morfem
untuk mengungkapkan makna yang diinginkan.
Berdasarkan tipologi morfologi yang telah dipaparkan di atas
maka bahasa Sabu dapat digolongkan dalam tipologi morfologi aglutinasi.
Hal ini, dapat dibuktikan dengan ditemukan afiks berupa prefiks dalam
pembentukan kata yang terdapat dalam bahasa Sabu.
Secara genealogis bahasa Sabu termasuk rumpun bahasa
Austronesia Barat yaitu kelompok Hespronesia (Indonesia Barat). Ciri-ciri
bahasa Austronesia Barat yaitu: (1) memiliki morfem-morfem derivasi,
hampir tak ada morfem infleksi, (2) menempatkan kata benda yang
berfungsi sebagai posesif di belakang kata benda yang dimiliki, (3)
menempatkan penanda jumlah bilangan di depan satuan bilangannya, dan
(4) hanya mengenal kata depan atau preposisi (Keraf, 1991:14-15).
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa alasan yang mendorong
peneliti untuk melakukan penelitian khusus tentang afiks bahasa Sabu.
Pertama, bahasa Sabu memiliki afiks yang pernah diteliti oleh peneliti
terdahulu tetapi belum tuntas. Kedua, dalam penggunaan sehari-hari
sebagian besar warga masyarakat Sabu, terutama generasi muda merasa
7
enggan menggunakan bahasa Sabu sebagai media komunikasi. Ketiga,
bahasa Sabu merupakan salah satu bahasa daerah yang dipandanng masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, karena informasi kebahasaan yang ada
mengenai bahasa Sabu masih relatif terbatas. Keempat, teori morfologi
generatif belum pernah diterapkan dalam penelitian bahasa Sabu
khususnya afiksasi.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Afiks apa sajakah yang terdapat dalam bahasa Sabu ?
2. Bagaimanakah kaidah pembentukan kata dengan menggabungkan
afiks
dalam bahasa Sabu ?
3. Apakah fungsi afiks yang terdapat dalam bahasa Sabu ?
4. Apa makna afiks yang terdapat dalam bahasa Sabu ?
II KERANGKA TEORI DAN KONSEP
2.1 Kerangka Teori
Untuk menganalisis Afiksasi BS menggunakan teori Morfologi
Generatif yang dikemukakan oleh Halle (1973), Aronoff (1976) dan
Dardjowidjojo (1988).
8
Halle, (1973:3) menyatakan, bahwa penutur asli suatu bahasa
tertentu memiliki kemampuan intuisi untuk mengenal kata-kata dalam
bahasanya sendiri serta bagaimana kata-kata itu dibentuk. Halle (1973)
memberikan contoh, penutur asli bahasa Inggris akan mengetahui, bahwa
kata-kata a dog think write love, antidisertablish mentananisme adalah
bahasanya dan kata-kata svan pansare katau mile Donawdampfs
chiffahrtsgesell chaff (1973) bukan bahasanya.
Berdasarkan teori Morfologi Generatif model Halle, tataran
morfologi memiliki tiga komponen yang tidak bisa dihilangkan salah
satunya. Ketiga komponen tersebut adalah (1) List of Morphemes “Daftar
Morfem” disingkat menjadi DM, (2) Word Formation Rules “Aturan
Pembentukan Kata” yang kemudian disingkat menjadi APK, dan (3) Filter
“Saringan” ( Halle, 1973: 8, Darjowidjojo 1988: 34 ).
Pada komponen DM, terdapat dua anggota, yaitu akar kata dan
bermacam-macam afiks, baik yang infleksional maupun yang
derivasional. Sebagai contoh kata write dalam bahasa Inggris mesti
diinformasikan, bahwa (a) kata ini adalah akar kata verbal, (b) kata ini
tidak berasal dari bahasa Latin, dan konjungsinya tidak umum. Pengertian
morfem menurut Halle berbeda dengan pengertian morfem yang umum
diketahui, misalnya kata transformational terdiri atas lima morfem yaitu:
trans-form-at-ion-al. Demikian juga kata vacant, total, dan believe terdiri
atas dua morfem yakni: va-cant, tot-al, dan be-lieve.
9
Komponen kedua dari morfologi adalah APK, dalam komponen
ini memuat semua aturan pembentukan kata dari morfem-morfem yang
termuat dalam DM. Dalam hal ini, APK dan DM bersama-sama
membentuk kata, kata-kata yang dibentuk itu berupa kata-kata yang benar
ada maupun kata-kata yang potensial. Maksudnya, kata-kata yang
memiliki persyaratan kaidah, pembentukan kata, tetapi dalam kenyataan
tidak digunakan oleh pemakai bahasa. Lebih lanjut Dardjowidjojo (1988:
35), memberikan contoh kata derivation dan *derivan untuk bahasa
Inggris serta pemberian, berlayar, dan * berbus untuk bahasa Indonesia
yang dihasilkan dalam APK. Kata-kata yang memakai tanda bintang
sebenarnya sudah memenuhi aturan kaidah pembentukan kata, namun
kenyataannya kata-kata itu tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa.
Akan tetapi, kata-kata tersebut pada suatu saat akan muncul dan digunkan
oleh masyarakat bahasa tersebut. Bentuk-bentuk yang potensial tersebut
akan tertahan dalam komponen Filter (saringan ).
Komponen Saringan, adalah komponen Morfologi Generatif yang
memiliki tugas menyaring kata bentukan yang diproses dalam komponen
APK. Di samping itu, komponen saringan memiliki tugas menempelkan
idiosinkresi yang terdapat dalam kata yang telah diproses dalam
komponen APK baik itu idiosinkresi fonologis, idiosinkresi, semantik,
maupun idiosinkresi leksikal.
Halle (1973) menambahkan sebuah komponen lagi, yaitu
komponen Dictionary atau Kamus. Komponen Kamus mempunyai tugas
10
menampung kata-kata hasil dari komponen APK yang sudah lolos dari
Komponen Saringan dan kata-kata yang tidak lolos akan tertahan dalam
Komponen Saringan menjadi bentuk potensial. Kata-kata yang sudah lolos
dari komponen saringan menjadi anggota kamus. Kata-kata yang sudah
lolos itu dapat dibentuk lagi dalam komponen APK dengan proses
afiksasi, sehingga diperoleh lagi kata-kata bentukan baru dan kalau tidak
tertahan dalam komponen Saringan, maka akan menjadi anggota Kamus.
Kata-kata bentukan yang termuat dalam kamus inilah yang nantinya
menjadi bahan pembentukan sintaksis sedangkan pada struktur permukaan
tam.pil mengikuti kaidah fonologis, tentunya yang sudah mengalami
proses dalam komponen APK. Dengan demikian, komponen APK
memiliki saluran dari fonologi dan komponen Kamus.
Alur pembentukan kata sesuai dengan teori Morfologi Generatif
model Halle, dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Output
List of
Morphe
mes
Phonology Syntax
Word
Formation
Rules
Dictionary
of Word
Filter
11
Aronoff (1976) juga membicarakan Morfologi Generatif.
Pendapatnya tertuang dalam tulisannya yang berjudul ”Word Formation
in Generatif Grammar” pendapat Aronoff memiliki perbedaan dengan
pendapat Halle terutama dalam Kaidah Pembentukan Kata. Menurut Halle
morfem sebagai bentuk minimal sebagai penurunan dari pembentukan
kata sehingga dikenal dengan istilah morpheme based approach.
sementara itu, Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal
yang dipakai sebagai landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud
harus diartikan leksem, sehingga teori Aronoff dikenal dengan lexem
based approach karena leksem merupakan bentuk dasar dalam penurunan
kata.
Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan kata sebagai
unit minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi
persyaratan seperti berikut: (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2)
kata yang dimaksud adalah kata yang benar-benar ada dan bukan hanya
merupakan bentuk potensial saja, (3) aturan pembentukan kata ( WFR’s )
hanya berlaku pada kata tunggal, dan bukan kata kompleks atau lebih kecil
dari kata (bentuk terikat), (4) baik masukan maupun keluaran dari
(WFR’s) harus termasuk dalam kategori sintaksis yang utama (Aronoff,
1976: 40).
Dardjowidjojo mengusulkan empat komponen yang integral dalam
teori Morfologi Generatif. Keempat komponen tersebut adalah Daftar
Morfem (DM), Aturan Pembentukan Kata (APK), Saringan, dan Kamus.
12
Diagram Model Pembentukan Kata menurut Dardjowidjojo
Dalam komponen DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas
dan bentuk terikat, tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat
seperti morfem prakategorial. Penerapan model ini merupakan bentuk
KAMUS
Kata
Dasar
Bebas
Terikat
a
f
i
k
s
a
b
c
d
i
e
f
g
h
j
k
SARING
AN
APK DM
13
bebas yang ada dalam komponen DM seperti baju, makan dan minum
dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada komponen
saringan. Untuk jalur (b) bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi
andaikata tidak mengalami idiosinkresi maka dapat langsung masuk ke
dalam komponen Kamus dan kalau dikenai idiosinkresi, bentuk itu akan
melalui jalur (c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian
sehari-hari, maka akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam
komponen Kamus dengan memberikan tanda (*). Untuk bentuk-bentuk
yang mustahil seperti *berjalani,* melukisan, melalui jalur (d) dan (h)
tidak bisa masuk dalam komponen kamus, kemudian tertahan pada
komponen Saringan. Jalur (f) pecah menjadi jalur (j) untuk bentuk yang
tidak mendapatkan idiosinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang
mengalami idiosinkresi.
2.2 Konsep Afiksasi
Afiksasi merupakan suatu proses pembentukan kata-kata dengan
cara melekatkan afiks, baik prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks.
Berbicara tentang afiksasi berarti membicarakan bagaimana proses
pembentukan kata-kata dalam suatu bahasa dengan cara
menambahkan unsur afiks (morfem terikat) pada bentuk dasar bebas
(morfem bebas).
1. Bentuk Dasar
Bentuk dasar dalam kajian sistem afiksasi BS ini diartikan
sebagai bentuk yang terkecil dalam proses afiksasi. Bentuk dasar
14
dibedakan menjadi dua bagian yaitu bentuk dasar bebas dan bentuk
dasar terikat. Ciri-ciri bentuk dasar adalah sebagai berikut: (1) satuan
bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah kosa kata, (2) satuan yang
berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3) merupakan
bahan baku dalam bahan morfologis, dan (4) sebagai unsur yang
diketahui adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk
kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis
(Harimurti Kridalaksana: 1989, 20-30).
2. Kaidah Penyesuaian
Cara kerja komponen Aturan Pembentukan Kata (APK) dalam
teori Morfologi Generatif pada proses afiksasi terjadi penggabungan
sebuah morfem dengan morfem yang lain. Seperti sebuah bentuk
dasar dibubuhi dengan sebuah morfem pembentukan kata, yang
dalam hal ini morfem terikat berupa afiks. Afiks yang dibahas dalam
kajian ini berupa prefiks, mengingat sufiks konfiks dan infiks tidak
ditemukan dalam BS. Kaidah penyesuaian merupakan terjemahan
dari bahasa Inggris Adjusment Rules (Aronoff 1976: 105) atau
Readjusment Rules (Scalice, 1984: 54). Adapun tujuannya adalah
untuk memperlihatkan bagaimana penyesuaian itu berinteraksi
dengan Aturan Pembentukan Kata (APK). Selanjutnya, Aronoff
membedakan jenis Kaidah Penyesuaian menjadi dua yaitu Kaidah
Pemenggalan dan Kaidah Alomorfi. Kaidah Pemenggalan dalam
operasionalnya tidak berlaku secara luas, sifatnya sangat khusus.
15
Tugas Kaidah Pemenggalan adalah mengatur pelesapan dalam sebuah
morfem yang berwujud dalam proses afiksasi. Kaidah Alomorfi
adalah kaidah yang mengatur perubahan fonologis, yang diterKPKan
pada morfem tertentu dalam lingkungan morfem tertentu (Aronoff
1976:116). Kaidah Alomorfi terjadi sebagai akibat penggabungan
sebuah morfem dengan morfem yang lain dalam proses afiksasi.
III PEMBAHASAN
3.1 Afiks
Afiks dalam teori Morfologi Generatif merupakan unsur ketiga
dari komponen Dasar Morfem, setelah bentuk dasar bebas dan kata dasar
terikat. Afiks adalah bentuk terikat yang digolongkan sebagai morfem
terikat, berfungsi sebagai pembentuk kata turunan (Kridalaksana,
1989:28; Mathews, 1974:41). Afiks yang terdapat dalam bahasa Sabu
berupa prefiks saja. Prefiks adalah afiks yang dilekatkan di awal bentuk
dasar. Prefiks tersebut adalah pe-, he-, ke- dan ta-.
3.2 Kaidah Pembentukan Kata
Kaidah Pembentukan Kata adalah komponen kedua dalam
Morfologi Generatif. KPK merupakan tempat memproses bentuk turunan.
Muatan yang ada dalam komponen Daftar Morfem berupa bentuk dasar
bebas, bentuk dasar terikat, dan afiks ditarik ke dalam komponen APK,
kemudian diproses sehingga melahirkan kata turunan atau kata kompleks.
Kedudukan bentuk dasar bebas dan terikat dalam bahasa Sabu adalah
16
sama yaitu mempunyai potensi sebagai bentuk asal, kemudian dikodekan
dengan huruf A.
Rumus yang dikemukakan dalam komponen APK adalah:
[A] [[A] + Af ]
Artinya bentuk dasar [A] diproses berdasarkan afiksasi sehingga
menjadi bentuk kompleks, (bandingkan dengan Anom, 1995:114).
Gabungan bentuk asal dengan afiks dalam bahasa Sabu dapat dicontohkan
sebagai berikut:
bentuk asal afiksasi bentuk kompleks
[ra’i] ‘kotor’ [[ra’i] + pe-]’mengotori
[tabbhu] ‘tikam’ [[tabbhu]+pe-] ‘saling tikam’
Untuk lebih jelas rumus ini dapat dideskripsikan dengan substitusi
afiks yang berupa prefiks (pref), infiks (inf), sufiks (suf), dan konfiks
(konf), menjadi seperti di bawah ini:
a) [A] [[A] + Pref]
b) [A] [[A] + Inf ]
c) [A] [[A] + Suf]
d) [A] [[A] + Konf]
Dalam kajian ini afiks yang akan dibahas adalah prefiks karena
infiks, sufiks, dan konfiks tidak ada dalam bahasa Sabu. Untuk lebih jelas
tentang kaidah Pembentukan Kata bahasa Sabu akan diuraikan sebagai
berikut.
a. Pembentukan Kata dengan prefiks.
17
Prefiks dalam proses afiksasi merupakan morfem terikat yang
dilekatkan di depan bentuk asal atau A. Proses pembentukan katanya
ditentukan oleh lingkungan segmen pertama dari bentuk A dan pada
golongan kata mana yang bisa dilekatinya. Prefiks memiliki
kesanggupan untuk dilekatkan dengan satuan-satuan bebas (morfem
bebas), tetapi tidak semua morfem bebas dapat dilekatkan dengan
prefiks. Dalam proses afiksasi bahasa Sabu prefiks tidak memiliki
alomorf. Di bawah ini akan dibahas masing-masing prefiks bahasa
Sabu.
1. Prefiks {pe-}
[A] [A] + pe-]
ra’i ‘kotor’ pera’i ‘mengotori’
dhida ‘tinggi’ pedhida ‘meninggikan’
nga’a ‘makan’ penga’a ‘memberi makan’
puru ‘turun’ pepuru ‘menurunkan’
kako ‘jalan’ pekako ‘ menjalankan’
hudhi ‘kejar’ pehudhi ‘ saling kejar’
tabbu ‘tusuk’ petabbu ‘saling tikam’
rubhi ‘desak’ perubhi ‘saling desak’
dhaba ‘pukul’ pedhaba ‘saling pukul’
hengaddhu’cium’ pehengaddhu’saling cium’
nginu ‘minum’ penginu ‘memberi minum’
hudi ‘sedikit’ pehudi ‘membuat jadi sedikit’
18
made ‘mati’ pemade’membuat jadi mati’
huba ‘ampun’ pehuba’mengampuni
Berdasarkan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa prefiks
pe- dapat bergabungkan dengan adjektiva dan verba.
2. Prefiks {he-}
[A] [[A]+he-]
lai’lembar’ helai’selembar’
piri’piring’ hepiri’sepiring’
ammu’rumah’ heammu’serumah’
bhakka’belah’ hebakka’sebelah’
madha’malam’ hemadha’semalam’
muhi’hisap’ hemuhi’mengisap’
atta ‘potong’ heatta ‘sepotong’
Prefiks he- berdasarkan contoh di atas dapat dilekatkan pada kata
benda dan kata kerja.
3. Prefiks {ke-}
[[A] [[A]+ke-]
ahhi’satu’ keahhi’pertama’
dhue’dua’ kedhue’kedua’
tallu’tiga’ ketallu’ketiga’
appa’empat’ keappa’keempat’
Prefiks ke- berdasarkan contoh kata di atas dapat bergabung dengan
kata bilangan (numeralia).
19
4. Prefiks {ta-}
[A] [[A] + ta-]
hakko’coba’ tahakko ’mau coba’
nga’a ’makan’ tanga’a ‘mau makan’
walli ‘beli’ tawalli ‘mau beli’
pue’petik’ tapue’ mau petik’
nginu ‘minum’ tanginu ‘mau minum’
aggo ‘ambil’ taaggo ‘mau ambil’
happe ‘tarik’ tahappe ‘mau tarik’
Prefiks ta- berdasarkan contoh kata di atas dapat digabungkan dengan
kata kerja.
b. Saringan
Dalam teori Morfologi Generatif komponen yang ketiga sesudah
Kaidah Pembentukan Kata adalah komponen saringan. Saringan atau
penapis memiliki fungsi menyaring bentuk turunan yang diproses dalam
komponen Kaidah Pembentukan Kata. Kata-kata yang berterima akan
diteruskan ke komponen kamus, sedangkan bentuk turunan yang tidak
berterima atau tidak lazim akan tersimpan dalam komponen Saringan.
Kata dalam bahasa Sabu yang memenuhi Kaidah Pembentukan
Kata melalui proses afiksasi tetapi tidak muncul dalam pemakaian sehari-
hari dapat dilihat dalam contoh berikut. Kata ki’i ‘ kambing, adju ’kayu’,
wela’parang’ mendapat prefiks {he-} akan mejadi *heki’i ‘satu kambing’
*heajhu ‘satu kayu’, *hewela ‘satu parang’.
20
Bentuk *heajhu, *hewela, *heki’i adalah bentuk turunan yang
terdapat dalam bahasa Sabu yang akan terbendung dalam komponen
saringan atau penapis. Bentuk–bentuk yang terbendung itu diberikan tanda
* agar dapat dibedakan dengan kata–kata yang lolos ke komponen kamus.
Kata yang bertanda * tidak pernah muncul penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Kamus
Dalam diagramnya Halle mencantumkan kamus tetapi ia tidak
menganggap kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif.
Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat
memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Menurut
Dardjowidjoyo (1983:57) komponen kamus sangat penting dalam sistem
pembentukan kata. Komponen kamus menampung bentuk dasar bebas dan
kata turunan yang sudah lolos dari komponen saringan. Dalam penelitian
ini penulis akan mengikuti saran dari Dardjowidjoyo yang mengatakan
bahwa kamus merupakan bagian integral dalam morfologi generatif
(Dardjowidjoyo, 1988:57).
Isi kamus yang berhubungan dengan sistem afiksasi bahasa Sabu
dapat dikelompokkan menjadi kata dasar bebas dan kata turunan yang
berasal dari kaidah pembentukan kata melalui afiksasi. Agar mendapat
gambaran yang lebih jelas dapat dilihat dalam contoh berikut.
1. Kata Dasar Bebas
be’i ‘tidur’ nyakka ‘tolak’
21
nginu’minum’ tuku’lempar’
bhara’barang’ maddha’malam’
arru’periuk’ tou’tahun’
idhu’pikul’ pudi’putih’
parru’pegang’ puru’turun’
lila’terbang’ ehhi’satu’
tao’buat’ dallu’telur’
tabe’tambah’ hudi’sedikit’
dhue’dua’ atta’potong’
tallu’tiga’ parru’pegang’
appa’empat’ bhakka’belah’
ammu’rumah’ hudi’sedikit’
made’mati’ hedui’susah’
2. Kata Turunan
pemade ’membuat jadi mati’
penga’a ‘ memberi makan’
penginu ’memberi minum’
pehedui ‘membuat jadi susah’
pekako ‘menjalankan’
peapa ‘membuat jadi rusak’
pelammi ‘membuat jadi lima’
petuku ‘saling lempar’
peti’o ‘meniup’
22
hekama ‘sekamar’
hemuhi ‘menghisap’
heatta ‘ sepotong’
heammu ‘serumah’
hedou ‘seorang’
tabhale ‘mau pulang’
tabe’i ‘mau tidur’
tanga’a ‘mau makan’
tahakko ’mencoba’
kedhue ‘kedua’
keappa ‘keempat’
keanna ‘keenam’
Kata dasar atau kata turunan bahasa Sabu yang terdaftar
dalam kamus akan digunakan dalam pembentukan kalimat.
23
Diagram Proses Pembentukan Kata
D M
a. Kata Dasar Bebas nginu ( V ) nga’a ( V ) ha’e ( V ) puru ( V ) made ( V ) tuku ( V ) ti’o ( V ) maddi ( Adj ) pudi ( Adj ) mea ( Adj ) hedui ( Adj ) ammu ( N ) kepue ( N ) piri ( N ) kama ( N ) muhi ( V ) dhue ( Num ) tallu ( Num ) walli ( V ) nga’a ( V ) kei ( V )
b. Afiks : pe- he- ke- ta-
A P K
penginu penga’a peha’e pepuru pemade petuku peti’o pemaddi pepudi pemea pehedui heammu hekepue hepiri hekama hemuhi kedhue ketallu tawalli tanga’a takei
SARINGAN
KAMUS
penginu penga’a peha’e pepuru pemade petuku peti’o pemaddi pepudi pemea pehedui heammu hekepue hepiri hekama hemuhi kedhue ketallu tawalli tanga’a takei
24
3.3 Fungsi Afiks Bahasa Sabu
Afiks mempunyai fungsi mengubah bentuk dasar dan bentuk
terikat menjadi bentuk turunan atau yang biasa disebut bentuk kompleks.
Proses afiksasi yang terjadi pada kaidah pembentukan kata tidak
selamanya berasal dari daftar morfem, bisa juga berasal dari komponen
kamus untuk membentuk bentuk turunan. Oleh sebab itu, secara leksikal–
gramatik bentuk A itu, bisa berupa bentuk dasar bebas, bentuk dasar
terikat, bentuk turunan, bentuk reduplikasi, dan bentuk kompositum,
bandingkan (Reteg, 2002:89).
Verhaar (2008:107) menyatakan fungsi utama yang dimiliki oleh
proses afiksasi ada dua, yaitu infleksi, afiksasi yang membentuk alternan-
alternan dari bentuk yang tetap merupakan kata, atau unsur leksikal, yang
sama dan derivasi, afiksasi yang menurunkan kata unsure leksikal yang
lain dari kata atau unsure leksikal tertentu. Lebih lanjut Aronoff (1976:2)
menyatakan, bahwa secara tradisional gejala morfologi dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional. Gejala
derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya proses
derivasional merupakan suatu proses pembentukan bentuk turunan lewat
proses afiksasi dapat mengubah kategori kata asal sebagai dasar
pembentukan kata. Gejala infleksional berkaitan dengan kategori
gramatikal. Artinya, dalam proses infleksional tidak terjadi perubahan
kategori kata turunan dari kata asal. Untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas akan diuraikan fungsi afiks bahasa Sabu sebagai berikut.
25
a. Fungsi prefiks {pe-}
1. Jika prefiks {pe-} dilekatkan dengan A adjektif, maka bentuk A
tersebut akan menjadi verba.
Contoh:
[pe- + [ra’i]adj ]V
ra’i’kotor’ pera’i ‘mengotori’
[pe- + [pudi]Adj]V
pudi’putih’ pepudi’memutihkan’
[pe- + [made]Adj]V
made’mati’ pemade’mematikan’
[pe- +[padha]Adj]V
paddha’sakit’ pepadha’menyakiti’
1) a) Ki’i made pa padha.
Kambing N matiAdj diPrep padangN.
‘Kambing mati di padang’.
b) ’Ki’i no pemade ri Ande.
Kambing(N) dia(N) dimatikan dar Ande(N).
‘Kambingnya dibunuh oleh Ande’.
2) a) Bajhu ari ra’i .
BajuN adikN kotorAdj.
‘Baju adik kotor’
b) Evi do perai kama jhi.
EviN yang mengotoriV kamar N kamiN.
‘Evi yang mengotori kamar kami’.
Kata ‘pemade’ dan ‘pera’i’ pada contoh kalimat di atas adalah
bentuk turunan dari kata dasar ‘made’ dan ‘ra’i’ yang dilekatkan prefiks
26
{pe-}. Prefiks {pe-} memiliki fungsi derivasional mentransformasikan
adjektiva menjadi verba.
Proses pembentukan kata turunan ini adalah sebagai berikut :
[pe- + (Adj] V
2. Jika prefiks {pe-} dilekatkan dengan A verba, maka bentuk A
tersebut tetap menjadi verba.
Contoh: [pe- + [nga’a]V]V
nginu’minum’ penginu’meminumkan’
[pe- + [hengadhu]V]V
hengadhu’cium’
pehengadhu’berciuman’
[pe- + [rubhi]V]V
rubhi’desak’ perubhi’berdesakan’
1) a) Ama nginu kowi.
AyahN minumV kopiN
‘Ayah minum kopi’
b) Ama penginu dou lowe.
AyahN memberi minumV orang N banyakNum.
‘Ayah memberi minum orang banyak’
2) a) Yuli hengaddhu ina nga ama no.
YuliN cium V ibu N dan ayah N diaN
‘ Yuli cium ayah dan ibunya’
b) Ro pehengadhu pa ammu ya.
MerekaN berciuman V diPrep rumahN sayaN.
‘Mereka berciuman di rumahku’.
27
Kata ‘peginu’ dan ‘pehengadhu’ pada contoh kalimat di atas
merupakan kata turunan dari kata dasar ‘nginu’ dan ‘hengadhu’ yang
dilekatkan afiks {pe-}. Afiks {pe-} memiliki fungsi infleksional.
Proses pembentukan kata turunan ini adalah sebagai berikut :
[pe- + V] V
b. Fungsi prefiks {he-}
1. Jika prefiks {he-} dilekatkan dengan A nomina maka bentuk A itu
akan menjadi numeralia.
Contoh: [he- + [piri]N]Num
piri’piring’ hepiri’sepiring’
[he- + [ammu]N]Num
ammu’rumah’ heammu’serumah’
[he- + [dou]N]Num
dou’orang’ hedou’seorang’
1) a. Chaty lojho piri.
ChatyN cuciV piringN.
‘Chaty cuci piring’
b. Chaty nga’a ai kawo hepiri.
ChatyN makanV bubur N satu piringNum.
‘Chaty makan bubur satu piring’
2) a. Randy manga pa ammu.
RandyN mainV di rumah.
‘Randy main di rumah’.
b. No nga yaa be’i heammu.
DiaN dan sayaN tidurV serumahNum
‘Dia dan saya tidur serumah’
28
3) a. Dou nanni ari ri ina ya.
OrangN ituAtr adikN dari ibuN saya.
‘Orang itu adik dari ibu saya’
b. Ana no hedou we.
AnakN dia N seorangNum saja .
‘Anaknya seorang saja’
Bentuk kata ‘hepiri’, ‘heammu ‘, ’hedou’, pada kalimat di atas
merupakan bentuk turunan dari kata dasar ‘ammu ‘, ’piri’, ‘dou ‘, yang
dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks he- memiliki fungsi derivasional.
Proses pembentukan kata turunan ini adalah
[he + N] NUM
2. Jika prefiks {he-} dilekatkan dengan A verba maka bentuk A tetap
verba.
Contoh : [he +[ muhi]V ]V
muhi’ hisap’ hemuhi’menghisap’
4) a. Ama muhi roko pa kama.
AyahN hisapV rokokN di Prep kamarN.
‘Ayah hisap rokok di kamar’
b. Ana ngaka naido hemuhi huhu pa kejhunga ammu.
AnakN anjingN sedang menghisapV susuN diPrep belakangN rumahN.
‘Anak anjing sedang menghisap susu di belakang rumah.
29
Bentuk kata ‘hemuhi’ pada kalimat di atas adalah bentuk turunan
dari kata dasar ‘muhi’ yang dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks he memiliki
fungsi infleksional.
3. Jika prefiks {he-} dilekatkan dengan A verba maka bentuk A
menjadi Num.
Contoh : [he + [bhakka]V]Num
bhakka ’belah’ hebhakka’sebelah’
[he + [atta]V ] Num
atta ‘potong’ heatta’sepotong’
9) a. Ama neido bhakka ajhu.
AyahN sedang belahV kayuN.
‘Ayah sedang belah kayu’.
b. Nga’e hebhakka we ri ya wopau nadhe.
MakanV sebelahNum saja dariPrep sayaN mangga N iniArt.
‘Saya makan sebelah saja mangga ini’.
10) a. Luji heido atta ajhu.
LujiN sedang potong V kayuN.
‘Luji sedang potong kayu’.
b. Ani aggo heatta we ajhu nadhe.
Ani bawa sepotong saja kayu ini.
‘Ani bawa kayu ini sepotong saja’.
Bentuk turunan ‘hebakka’ sebelah dan ‘heatta’ sepotong adalah
bentuk turunan dari’ bakka’ dan ’atta’ yang dilekatkan prefiks {he}.
Prefiks {he} memiliki fungsi derivasional.
Proses bentuk turunan ini adalah
30
[he+ [V]]Num
c. Fungsi Prefiks {ke-}
Prefiks {ke} jika dilekatkan dengan A Numeralia maka A tetap
Numeralia.
Contoh: [ke+[dhue]Num]Num
dhue’dua’ kedhue ‘kedua’
[ke+[tallu]Num]Num
tallu’tiga’ ketallu’ketiga’
11) a. Ana ro dhue dou.
AnakN mereka N duaNum orangN.
‘Anak mereka dua orang’.
b. No ana kedhue ri ina nga ama ya.
DiaN anakN keduaNum dari Prep ibuN dan ayahN sayaN.
‘Dia anak kedua dari orang tuaku’.
12) a. Ari nga’a wopau tallu bhue.
AdikN makanV manggaN tigaNum buah.N
‘Adik makan mangga tiga buah’.
b. Alla tamade ama ro, pa lodho ketallu metana
Sesudah meninggalV ayahN merekaN, pada hariN ketigaNum melahir
anake Yuli.
anaklahN YuliN.
‘Sesudah ayah mereka meninggal, pada hari ketiga Yuli melahirkan’.
31
Bentuk turunan ‘kedhue’kedua dan ‘ketallu’ ketiga adalah bentuk
turunan dari bentuk dasar ‘dhue’ dan ‘tallu’ yang dilekatkan prefiks {ke-
}. Prefiks {ke-} memiliki fungsi infleksional.
Proses turunan ini adalah
[he+[Num]Num]
d. Fungsi Prefiks {ta-}
Prefiks {ta-} jika dilekatkan dengan A Verba maka A tetap Verba.
Contoh : [ta+[walli]V]V
walli’beli’ tawalli’mau beli’
13) a. No walli kenana pa paha.
DiaN beliV sirihN diPrep pasarN.
‘Dia beli sirih di pasar’
b. No tawalli kenana pa paha.
DiaN membeliV sirihN diPrep pasarN.
‘Dia membeli sirih di pasar.
14) a. Yuli hakko ai kua hedhai wawi.
YuliN cobaV air supN dagingN babiN.
‘ Yuli coba sup daging babi’.
b. Yuli tahakko ai kua hedhai wawi.
Yuli mencoba air sup daging babi.
‘Yulu mencoba sup daging babi’.
32
Bentuk turunan ‘tawalli’ membeli dan ‘tahakko’mencoba adalah
bentuk turunan dari bentuk dasar’walli’ dan ’hakko’ yang dilekatkan
prefiks {ta-}.Prefiks {ta-} memiliki fungsi infleksional.
3.4 Makna Afiks Bahasa Sabu
Masing–masing kata dalam 4 jenis kelompok kata dasar yaitu
nomina, verba, adjektiva, dan numeralia maupun berbagai bentuk hasil
pembentukan kata jadian, jelas ditandai oleh bentuk dan isi kata itu
sendiri. Secara ideal, dapat dikatakan bahwa setiap kata pasti memiliki 5
buah unsur yang dinamakan kadar. Besar atau kecilnya kadar dari masing-
masing unsur dalam sebuah kata itulah yang akan menentukan makna
sebuah kata. Kelima unsur itu adalah 1) Kadar bunyi. Setiap kata pasti
dibentuk oleh bunyi. 2) Kadar arti dan pengertian. Setiap bunyi yang
dihsilkan oleh alat ucap manusia mempunyai arti apabila bunyi itu
berfungsi sebagai tanda untuk “sesuatu dan dimiliki oleh sekelompok
orang yang konvensi. 3) Kadar tugas. Bunyi yang diucapkan mempunyai
tugas untuk menimbulkan kontak dengan orang lain karena menangkap
acuan yang sama dalam angan dan kata itu bertugas menghadirkan kata
lain yang berhubungan dekat dengan acuan tadi. 4) Kadar rasa adalah
unsur bunyi, arti, dan tugas dalam sebuah kata mempunyai hubungan erat
dengan perasaan dengan setiap yang memilikinya. 5) Kadar asosiasi
mempunyai fungsi dan pengaruh sangat penting terhadap pertumbuhan
dan perkembangan intelegensi manusia.kecepatan bernalar, kelogisan
33
berpikir, dan ketejaman analisis ternyata sangat ditentukan oleh
kemampuan menggunakan kekuatan unsur asosiasi (Sanga, 2008:23-26).
Ogden and Richards (dalam Reteg, 2002:107) mengemukakan,
bahwa konsep makna dapat digambarkan dalam bagan berupa segitiga,
seperti tergambar di bawah ini.
Reference
Symbol ------------------------------ Referent
Ketiga unsur terdapat dalam diagram segi tiga yaitu symbol,
reference, dan referent merupakan tiga komponen makna. Unsur yang
pertama adalah symbol atau lambang merupakan bunyi ujaran yang berupa
kata yang menempati titik kiri bagian bawah. Unsur kedua, adalah
reference atau referensi merupakan bayangan atau citra, terletak pada
pikiran penutur bahasa, yang berada pada titik atas. Referensi ini mengacu
kepada unsur atau peristiwa yang dibicarakan.Unsur ketiga, adalah
referent merupakan benda atau hal yang diacu. Referent berada pada titik
kanan bawah.Dalam konsep makna ini symbol atau kata tidak memiliki
hubungan langsung dengan referent yang diacu, sebagaimana terlihat
adanya garis putus-putus yang menghubungkan symbol dengan referent.
Setiap kata dalam bahasa Sabu memiliki makna, baik itu kata dasar
maupun kata yang telah mengalami proses morfologis. Kata-kata yang
34
telah mengalami proses morfologis pasti mengalami perubahan makna.
Perubahan makna itu bisa secara gramatis dan non-gramatis. Secara
gramatis proses morfologis kata dalam bahasa Sabu ada 3 yaitu 1) afiksasi,
2) reduplikasi, 3) kompositum atau pemajemukan. Dalam penelitian ini
peneliti hanya akan menjelaskan makna kata yang mengalami perubahan
makna akibat proses afiksasi.
1. Makna gramatikal prefiks {pe-}.
Contoh :
15) Ama penga’e ari.
Ayah menyuap adik.
‘Ayah meyuap adik’
16) Ama penga’a dou do djagga ammu.
Ayah memberi makan orang yang kerja rumah.
‘Ayah memberi makan orang yang kerja rumah’
Bentuk turunan kata ‘penga’e’ dan ‘penga’a ‘ berasal dari kata
‘nga ‘a ‘yang dilekatkan prefiks { pe-}.Prefiks {pe-} pada kata ‘penga’e’
bermakna memberi makan untuk seorang saja sedangkan’penga’a‘
bermakna memberi makan untuk orang banyak.
17) Ani pengino ari.
Ani meminumkan adik.
‘Ani meminumkan adik’
18) Welem penginu dou lowe.
Welem meminumkan orang banyak
35
‘Welem meminumkan orang banyak’.
Bentuk turunan kata’ penginu’dan ‘pengino’berasal dari kata
‘nginu’ yang dilekatkan prefiks {pe-}. Kata’ nginu’adalah pekerjaan yang
dilakukan untuk diri sendiri sedangkan kata ‘pengino’ pekerjaan yang
dilakukan untuk seorang saja dan kata ’ penginu’ pekerjaan yang
dilakukan untuk orang banyak.
19) Ro hei do petuku pa ammu.
Mereka sedang saling lempar di rumah.
‘Mereka sedang saling lempar di rumah’.
20) Yuli nga Ana hei do pedhaba pa dahi.
Yuli dan Ana sedang saling pukul di laut.
‘Yuli dan Ana sedang saling pukul di laut’.
Bentuk turunan’ petuku ‘ dan ‘pedhaba ‘ berasal dari kata ‘tuku’
dan kata ‘dhaba’ yang dilekatkan prefiks {pe-}.Prefiks {pe-} pada kata
‘petuku ‘memiliki makna saling lempar dan kata ‘pedhaba’ memiliki
makna saling pukul.
21) Andi peha’e paji pa hekola.
Andi menaikkan bendera di sekolah.
‘Andi menaikkan bendera di sekolah’.
22) A’a pepure ari ti kelaga.
Kakak menurunkan adik dari balai-balai.
‘Kakak menurunkan adik dari balai-balai’.
23) Toni pepuru bhara ti oto.
Toni menurunkan barang dari oto.
36
‘Toni menurunkan barang dari oto’
Bentuk turunan ‘peha’e ‘, ‘pepure’, dan ‘pepuru’ berasal dari kata
dasar’ ha’e’ dan ‘puru’ yang dilekatkan prefiks {pe-}. Prefiks {pe-} pada
kata ’peha’e’ memiliki makna menaikkan sedangkan kata ’pepure’
memiliki makna menurunkan kalau itu manusia dan kata ‘pepuru’
memiliki makna menurunkan kalau itu barang.
24) Uce pera’i tebo hekola.
Uce mengotori tembok sekolah.
‘Uce mengotori tembok sekolah’.
25) Ina heido pemaddi luawangngu.
Ibu sedang menghitamkan benang.
‘Ibu sedang menghitamkan benang’.
26) Ama heido pemola bhehi.
Ayah sedang meluruskan besi.
‘Ayah sedang meluruskan besi’.
Bentuk turunan ‘pemaddi’ dan ‘pemola’ berasal dari kata dasar
‘maddi’ dan ‘mola’ yang dilekatakan prefiks {pe-}. Prefiks {pe-} pada
kata ‘pemaddi’ memiliki makna menghitamkan (membuat jadi hitam) dan
‘pemola’ memiliki makna meluruskan (membuat jadi lurus).
1. Makna Gramatikal Prefiks {he-}.
Contoh :
27) Banni nga Yanti be’i heammu.
Banni dan Yanti tidur serumah.
‘Banni dan Yanti tidur serumah (satu rumah)’.
37
28) Ama nga ina nga,a hepiri.
Ama dan ina makan sepiring.
‘Ayah dan ibu makan sepiring (satu piring)’.
29) No nginu kowi hegela.
Dia minum kopi segelas (satu gelas).
‘Dia minum kopi segelas (satu gelas)’.
Bentuk kata turunan ‘heammu’ dan ‘hegela’ berasal dari kata
dasar’ ammu ‘ dan ‘gela’ yang dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks {he-}
pada kata’ heammu’ memiliki makna satu rumah dan kata’ hegela’
memiliki makna satu gelas.
30) Wempi ag’go heatta we ne dari.
Wempi ambil sepotong saja itu tali.
‘Wempi mengambil sepotong saja tali itu’.
31) Toni be’i herammi we pa ammu yaa.
Toni tidur semalam saja di rumah saya.
‘Toni tidur semalam di rumahku’.
Bentuk kata turunan ‘heatta’ dan’ herammi ‘berasal dari kata dasar
‘atta’ dan ‘rammi’ yang dilekatkan prefiks {he-}. Kata ‘heatta’ memiliki
makna satu potong dan ‘semalam’ memiliki makna satu malam.
32) Ana ngaka heido hemuhi huhu pa keraha ammu.
Anak anjing sedang menghisap susu di samping rumah.
‘Anak anjing sedang menghisap susu di belakang rumah’.
38
Bentuk kata turunan ‘hemuhi’ berasal dari kata dasar ‘ muhi’ yang
dilekatkan prefiks {he-} .Prefiks {he-} pada kata’ hemuhi’ memiliki
makna sedang melakukan pekerjaan.
2. Makna Gramatikal Prefiks {ke-}
Contoh :
33) Yanti ana kedhue ri ina nga ama yaa.
Yanti anak kedua dari ibu dan ayah saya.
‘Yanti anak kedua dari ibu dan ayahku.
34) Alle tamade ama ro, pa lodho ketallu
Sesudah meninggal ayah mereka, pada hari ketiga
metana anake Yuli.
melahir anaklah Yuli.
‘Sesudah ayah mereka meninggal, pada hari ketiga Yuli
melahirkan’
Bentuk kata turunan ‘kedhue’ dan ‘ketallu’ berasal dari kata dasar
‘dhue’ dan ‘tallu’ dilekatkan prefiks {ke-}. Prefiks {ke-} pada kata
‘kedhue’ dan ‘ketallu’ memiliki makna yang menyatakan numeralia
tingkatan.
3. Makna Gramatikal Prefiks {ta-}
Contoh :
35) Yanto tanga’a koki pa ammu Uli.
Yanto mau makan kue di rumah Uli.
‘Yanto mau makan kue di rumah Uli’.
36) Evi tawalli kenana wie ina.
Evi mau beli sirih untuk ibu.
39
‘Evi mau beli sirih untuk ibu’.
Bentuk kata turunan ‘tanga’a’ dan ‘tawalli’ berasal dari kata dasar
’nga’a dan ‘walli’ dilekatkan prefiks {ta-}. Prefiks {ta-} pada kata
‘tanga’a’ dan ‘tawalli’ memiliki makna tindakan yang belum dilakukan.
IV PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa bahasa Sabu
memiliki:
1. Afiks yaitu berupa prefiks {pe-, he-, ke-, dan ta-}.
2. Kaidah pembentukan kata dengan afiks dalam bahasa Sabu adalah
dengan menggunakan teori Morfologi Generatif model Halle (1993)
yang sudah dimodifikasikan oleh Dardjowidjoyo (1980). Unsur–unsur
pembentuk kata itu adalah sebagai berikut.
Daftar Morfem yang memuat unsur pembentuk kata berupa bentuk
dasar bebas dan afiks.
1. Bentuk dasar bebas terdiri atas :
a. Kata dasar nomina yaitu nomina insan, nomina binatang, nomina
tumbuhan, dan nomina alat.
b. Kata dasar verba yaitu verba keadaan, verba proses, verba
tindakan, dan verba pengalaman.
c. Kata dasar adjektiva terdiri atas :
40
1. Adjektiva kualitatif yaitu adjektiva ukuran, adjektiva warna,
adjektiva sikap batin, dan adjektiva cerapan.
2. Adjektiva klasifikatoris.
d. Kata dasar numeralia
2. Bentuk dasar terikat berupa afiks yaitu prefiks {pe-, he-, ke-, ta-}
A. Kaidah Pembentukan Kata adalah komponen proses pembentukan
kata turunan. Proses Pembentukan Kata dengan afiks dalam bahasa
Sabu hanya berupa prefiks yaitu :
1. Prefiks {pe-}
Contoh : {pe-} + ra’i ‘kotor’ pera’i ‘mengotori’
{pe-}+ tuku ‘lempar’ petuku ‘saling lempar’
{pe-} + puru’turun’ pepuru’menurunkan’
{pe-} + maddi’hitam’ pemaddi’membuat jadi hitam’
2. Prefiks {he-}
Contoh: {he-}+ atta’potong’ heatta’satu potong’
{he-}+ ammu’rumah’ heammu’satu rumah’
{he-}+ arru ‘periuk’ hearru’satu periuk’
{he-}+ muhi’hisap’ hemuhi’menghisap’
3. Prefiks {ke-}
Contoh: {ke-} + dhue ‘dua’ kedhue’kedua’
{ke-}+ tallu’tiga’ ketallu’ketiga’
{ke-} + appa’empat’ keappa’keempat’
41
4. Prefiks {ta-}
Contoh: {ta-}+ walli’beli’ tawalli’mau beli’
{ta-}+ kako’jalan’ takako’mau jalan’
{ta-}+ nga’a’makan’ tanga’a’mau makan’
{ta-}+nginu’minum’ tanginu’mau minum’
3. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan atau penapis berfungsi
menyaring bentuk – bentuk kata turunan yang dihasilkan oleh APK.
Kata turunan bahasa Sabu yang berterima langsung menuju ke
komponen kamus, sedangkan kata turunan yang tidak berterima
tertahan dalam komponen saringan. Bentuk kata turunan bahasa Sabu
yang tertahan dalam saringan seperti *heki’i,* hewela, *heajhu,dan
*hetudhi.
4. Komponen keempat, yaitu kamus yang menampung kata, baik kata asal
maupun kata turunan yang diproses dari APK, seperti ra’i ’kotor’
,nginu ’minum’, tuku’lempar’, ammu ’rumah’, dhue’dua’, walli’beli’,
pera’i ‘mengotori’, penginu’memberi minum’, petuku’saling lempar’,
heammu ’satu rumah’,kedhue ’kedua’,dan tawalli’mau beli’.
5. Afiks bahasa Sabu memiliki fungsi derivasional dan infleksional.
a. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu prefiks {pe-} yang
mentransformasikan adjektiva menjadi verba proses.
b. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu prefiks {he-} yang
mentransformasikan nomina menjadi numeralia.
42
c. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu prefiks {he-} yang
mentransformasikan verba tindakan menjadi numeralia.
d. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu prefiks {pe-} yang
mentransformasikan verba tindakan menjadi menjadi verba
tindakan yang menyatakan saling.
e. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu prefiks {ke-} yang
mentransformasikan numeralia menjadi numeralia tingkat.
f. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu prefiks {ta-} yang
mentransformasikan verba tindakan menjadi verba tindakan yang
berlangsung.
6. Makna afiks bahasa Sabu.
a. Prefiks {pe-} memiliki makna tindakan yang menyatakan proses dan
menyatakan saling.
b. Prefiks {ke-} memiliki makna yang menyatakan urutan atau
tingkatan seperti apa yang tersebut pada bentuk dasarnya.
c. Prefiks {he-} memiliki makna menyatakan jumlah dan tindakan
yang sedang berlangsung.
d. Prefiks {ta-} memiliki makna tindakan yang belum dilakukan.
43
4.2 SARAN
Penelitian mengenai morfologi bahasa Sabu sudah dilakukan oleh
peneliti lain, khususnya penelitian mengenai afiksasi bahasa Sabu dengan
menggunakan teori morfologi generatif adalah penelitian yang pertama.
Karena itu penelitian ini bisa dipakai untuk melengkapi penelitian-
penelitian terdahulunya. Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai
pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar di kabupaten Sabu Raijua untuk
pengenalan materi afiksasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, I Gusti Ketut. 1995. “Sistem Morfologi Verba dengan Afiks {N-.
{-an/-in} dalam Bahasa Bali”. Tesis Program S2 Linguistik,
Universitas Udayana, Denpasar.
Aronoff, Mark. 1976. Word Formation on Gererative Grammer.
Cambridge: The MIT Press.
Chomsky, M. 1965. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge,
Massachuseets: The MIT Press.
Dardjowidjojo, Soendjono. 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Dardjowidjojo, Soendjono. 1988. “Morfologi Generatif: Teori dan
Permasalahan”, PELBA I” 31-60. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika
Atma Jaya.
Halle, Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of World Formation”.
Cambridge: The MIT Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
44
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Matthews, H. P. 1974. Morphology: An Introduction to the Theory of
Word Structure. London University Press.
Ratukoreh, Adriana.2006. Laporan Hasil Penelitian Bahasa Sabu.
Kupang : Unit Pelaksana Teknis Dinas Bahasa Pendidikan Dan
Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur
Reteg, I Nyoman. 2002. “Afiksasi Bahasa Dawan” Tesis Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Scalice, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordrixht: Faris
Publication.
Verhaar, J. W. M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Wakidi, dkk. 1991. Fonologi, Formologi, Sintaksis, Bahasa Sabu Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Walker, T. Alan. 1982. ”A Grammar Of Sabu,” dalam Nusa Universitas
Atma Jaya, Volume 13 Jakarta : Universitas Atma Jaya.