Upload
vunhu
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA
MOHAMMAD ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN
GOOD GOVERNANCE DI AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Adilah Yasmin Hatta
1113112000003
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
"t
AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOIIAMMAI)ASIIRAF GIIAI\I DALAM MEMBAI\GUN GOOD GOVERNANCEDI
AFGHANISTAI\ TAIIUN 2014-2016
. SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Adilah Yasmin Hatta1 I 131 12000003
Perrbimbing
Program Studi Ilmu PolitikFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Ilidayatullah Jakarta2017
NIP. 1 965 1 212199203100 4
PERNYATAAI\ BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD
ASHRAF GHAI\I DALAM MEMBAI\GUN GOOD GOVERNANCEDI
AFGHANISTAN TAHUN 2014.2016
Merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UbI)
S yarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UnD Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan aari tarya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.
2.
J.
Jakarta, 10 April2017
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
NIM
: Adilah Yasmin Hatta
:1113112000003
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul:
AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI:
ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN
UPAYA MOIIAMMAD
GOOD GOVERNANCE DI
AFGHANISTAI\ TAIIIJN 2014.2O16
dan telah memenuhi persyaratan untuk digji.
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Jakarta, l0 April2017at' .
Menyetujui,
Pembimbing
Jt*Dr. Idine Rosvidin HasanNIP. 19701013200501 1003
NIP.1965121 t1992031004
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSIAGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD
ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN GOOD GOYERNANCEDIAFGHANISTAN TAHUN 2014.2016
Oleh
Adilah Yasmin Hatta
I 1 131 12000003
Telah dipertahankan dalam sidang skripsi ini di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada27 April 2017.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mernperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada program Studi Ilmu Politik.
Ketua, --v\-firu
Dr. Idine Rosyidin Hasan
NIP. 19701013200501 1 003
NIP. 1 96208 192001 121001
Diterima dan dinyatakan memenuhi
Ketua Pogram Studi,Ilmu Politik
Jt*Dr. Iding Rosyidin HasanNIP. 19701013200501 1003
tll
Fffi\',\),j [r/Suryani. M.Si.NIP. 1 9770 4242007 rcZAA3
Pen'guji II,
Dr. Sirojuddin Aly. MA.NrP. 19s406052001 121001
syarat kelulusan pada tanggal2T Apil2017
iv
ABSTRAKSI
Adilah Yasmin Hatta
Agenda Konsolidasi Demokrasi: Upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam
Membangun Good Governance di Afghanistan Tahun 2014-2016.
Skripsi ini menganalisa tentang agenda konsolidasi demokrasi di
Afghanistan dan upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good
governance di Afghanistan, terhitung sejak tahun 2014 sampai dengan tahun
2016. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apa saja kebijakan Mohammad
Ashraf Ghani terhadap penguatan demokrasi dan bagaimana dampak kebijakan
tersebut dalam membangun good governance di Afghanistan. Penelitian ini
dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan tokoh yang terkait di
bidang yang berkaitan dengan judul penelitian. Pasca terselenggaranya tiga kali
pemilihan umum presiden di Afghanistan, yakni pada tahun 2004, 2009 dan 2014,
menjadi titik akhir masa transisi demokrasi dan diharapkan menjadi titik awal
dimulainya konsolidasi demokrasi. Mohammad Ashraf Ghani bersama dengan
National Unity Government berupaya untuk membangun demokrasi yang lebih
stabil dan pemerintahan yang baik (good governance) di Afghanistan.
Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori konsolidasi
demokrasi dan teori good governance. Melalui hasil analisa dengan teori ini,
peneliti menyimpulkan bahwa sekalipun telah dilaksanakan 3 kali pemilu
demokratis secara berkala di Afghanistan, hal tersebut bukan jaminan konsolidasi
demokrasi mampu tercapai. Begitupun dengan membangun good governance,
dalam pengimplementasiannya Mohammad Ashraf Ghani belum mampu
menjangkau secara keseluruhan. Namun, harus diakui bahwa setiap kebijakan
yang diterapkan pasti memiliki kelemahan, dan setidaknya Ashraf Ghani sudah
memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang ia telah janjikan. Afghanistan
masih patut belajar untuk membangun dan mendesain struktur institusi yang lebih
efektif, transparan, responsiveness dan accountable untuk membentuk struktur
pemerintahan yang baik.
Kata Kunci : Afghanistan, Demokrasi, Good Governance, Konsolidasi
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nyalah, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul: “Agenda Konsolidasi Demokrasi: Upaya Mohammad Ashraf
Ghani dalam Membangun Good Governance di Afghanistan Tahun 2014-
2016”. Tidak lupa Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang membawa manusia dari alam
kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Adapun dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis mengalami banyak
tantangan, namun berkat bantuan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak,
akhirnya skripsi ini mempu terselesaikan dengan baik, sesuai dengan waktu yang
telah penulis targetkan. Pertama-tama, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada seluruh dosen FISIP, terutama Prof. Dr. Zulkifli selaku Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Iding Rosyidin,
M.Si, dan Suryani, M.Si, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Politik,
Dr. Ali Munhanif, MA, sebagai dosen pembimbing penulis yang sejak awal
mendukung dan memotivasi penulis untuk melanjutkan karya ilmiah ini sampai
penulis mampu menyelesaikannya. Tidak lupa penulis juga berterima kasih
kepada penguji 1 dan penguji 2, Dr. Sirojuddin Aly dan Dr. Sya‟ban Muhammad
atas koreksi dan bimbingannya, serta untuk seluruh dosen FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis berterima kasih atas segala ilmu yang telah
diberikan. Semoga ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi penulis di masa mendatang.
Kemudian teruntuk kedua orang tua penulis, I would like to say thank you to
my mother and father for everything you have done for me. I could not have asked
for better parents. Teruntuk kedua saudariku, kakak dan adik saya, Nurul Zafirah
Hatta dan Jilan Tsamarah Hatta, penulis ingin menyampaikan salam paling rindu
untuk kalian. Meskipun kami dipisahkan oleh jarak dan waktu, hal tersebut bukan
penghalang bagi kami untuk saling memotivasi satu sama lain. Penulis berharap
kami bertiga bisa bersama-sama berusaha untuk menjadi kebanggaan keluarga dan
bekerja keras atas segala hal yang ingin kami capai.
vi
Selanjutnya untuk Kak Bayu Aji Bagus Prasetiyo, terima kasih sudah
mengajarkan penulis bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dilakukan
secara instan, karena usaha tidak akan membohongi hasil. Penulis berharap kami
bisa bersama-sama membawa hal positif dan bermanfaat dimanapun kami berada
and be educated adalah hal prioritas.
Teruntuk sahabat penulis selama tinggal di Jakarta, Tiara Azaria Amanda,
Eka Yulianti dan Lisa Septiani, i’ve never being so happy to met someone that is
so far away, you mean the world to me and you know it. Terima kasih paling tulus
dari penulis untuk kalian, yang selalu menemani, mendukung dan memberi
kepercayaan kepada penulis di saat dunia tidak bersahabat. Sukses selalu untuk
kalian.
Kepada Ayah dan Ibu Tiara, tidak lupa penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih. Mereka adalah pengganti orang tua penulis selama merantau, yang
selalu membuka lebar pintu rumahnya untuk penulis kunjungi. Terima kasih pula
kepada teman-teman kelas A dan B Politik UIN Jakarta angkatan 2013, yang
selalu menjadi tempat penulis untuk bercerita dan berkonsultasi mengenai hal
apapun, terima kasih pula untuk teman-teman kelas A yang lainnya.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan, walaupun penulis sudah berusaha dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna penyempurnaan penyusunan dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap agar skripsi ini dapat memperluas serta menambah pengetahuan
bagi kita semua.
Jakarta, 8 April 2017
Adilah Yasmin Hatta
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK .................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 9
E. Metode Penelitian................................................................................. 13
F. Teknik Analisis Data ............................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 15
BAB II KERANGKA TEORETIS
A. Konsolidasi Demokrasi ........................................................................ 17
B. Good Governance................................................................................. 21
BAB III PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI AFGHANISTAN
A. Profil Negara Afghanistan.................................................................... 27
B. Lahirnya Demokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Taliban ........................... 33
C. Proses Transisi Demokrasi ................................................................... 37
1. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan ................. 37
viii
2. Pemilihan Umum 2004 .................................................................. 40
3. Pemilihan Umum 2009 .................................................................. 44
BAB IV MOHAMMAD ASHRAF GHANI DAN AGENDA KONSOLIDASI
DEMOKRASI
A. Pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional pada Pemilu 2014 ... 48
B. Kebijakan Pemerintahan Mohammad Ashraf Ghani ........................... 60
1. Kebijakan Pemberantasan Korupsi ................................................ 61
2. Kebijakan dalam Penegakan Hak-Hak Perempuan........................ 71
3. Kebijakan Melawan Kelompok Islam Radikal (Taliban) .............. 77
C. Implementasi Kebijakan dalam Membangun Good Governance ........ 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 95
B. Saran ..................................................................................................... 98
Daftar Pustaka .................................................................................................. 99
Lampiran-lampiran ........................................................................................... 109
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Daftar Provinsi di Afghanistan ....................................................... 28
Tabel 3.2. Hasil Perolehan Suara Pilpres 2009 ................................................ 43
Tabel 4.1. Hasil Perolehan Suara Pemilu 2014 Putaran Pertama .................... 50
Diagram 4.1. Tugas dan Wewenang HCAC .................................................... 66
Diagram 4.2. Proses Penanganan ACJC .......................................................... 68
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Peta Negara Afghanistan ............................................................. 27
xi
DAFTAR SINGKATAN
ACC : Anti-Corruption Courts
ACJC : Anti-Corruption Criminal Justice Center
AGO : Attorney General’s Office
CEO : Chief Executive Officer
HCAC : High Council Governance, Rule of Law and Anti-
Corruption
HOO : High Office of Oversight and Anti-Corruption
IARCSC : Independent Administrative Reform and Civil Services
Commission
IEC : The Independent Election Commission
KIP : Komisi Independen Pemilu Afghanistan
MCTF : Major Crimes Task Force
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NDS : National Directorate of Security
NPA : National Procurement Authority
NPC : National Procurement Commission
NSP : National Solidarity Programme
NUG : National Unity Government
RAWA : The Revolutionary Association of the Woman of
Afghanistan
SAO : Supreme Audit Office
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Tahun 2014 menjadi titik penting dari perjalanan dan dinamika
demokratisasi di Afghanistan. Setelah melewati dua kali pemilihan umum yang
memberi ruang partisipasi masyarakat Afghanistan pada 2004 dan 2009,
pemilihan umum presiden 2014 kembali diselenggarakan di negara itu. Banyak
kalangan berharap bahwa, setelah sekian lama dilanda konflik dan ketidakpastian
transisi politik pasca perang, penyelenggaraan pemilihan presiden kali ini
merupakan batas akhir masa transisi demokrasi dan menjadi titik awal dimulainya
konsolidasi demokrasi. Hal ini bukan saja merupakan momentum politik biasa
(dalam konteks siklus demokrasi), melainkan momentum sejarah untuk
Afghanistan yang meningkat posisinya menjadi negara demokrasi yang stabil.
Perkembangan arus demokratisasi di Afghanistan yang berjalan begitu
cepat, terhitung sejak jatuhnya rezim Taliban pada 20011 menandai transisi
menuju demokrasi di Afghanistan. Pengalaman Afghanistan yang berada dalam
kurungan rezim otoriter sebelumnya tentu saja sedang mencari pola demokratisasi
yang tepat untuk dipraktekkan. Hamid Karzai yang terpilih sebagai Presiden
Afghanistan pada tahun 2004 melalui pemilihan umum menjadi awal
1 Rezim Taliban dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan dibantu oleh pasukan Aliansi Utara
melalui penyerangan darat dari tiga arah (masing-masing menuju Kabul, Qandahar dan Jalalabad).
Gempuran ini memang telah melumpuhkan Taliban pada Desember 2001. Kurang dari seminggu
setelah Kabul jatuh, meski Taliban tidak pernah memberi konfirmasi tentang kemundurannya,
Amerika mengumumkan jatuhnya Taliban dan menyerahkan kekuasaan pada Hamid Karzai,
seorang yang loyal kepada Amerika Serikat. Dilihat dari buku Iwan Hadibroto, Perang
Afghanistan: di Balik Perseteruan Amerika Serikat vs. Taliban, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2007), h. 121.
2
keberangkatan Afghanistan menuju sebuah negara yang oleh sarjana politik
sebagai “transisi menuju demokrasi”.
Dilanjutkan dengan terpilihnya kembali Hamid Karzai melalui pemilihan
umum pada 2009, menjadi langkah Afghanistan dalam mempersiapkan fase
demokratisasi yang berikutnya. Hal ini semakin nampak ketika
diselenggarakannya sidang parlemen pertama yang melibatkan 351 anggota
parlemen yang dipilih secara demokratis,2 kultur politik tradisional, khususnya
yang ditandai dengan kuatnya peran budaya Islam dan ulama, secara perlahan
berganti menjadi kultur politik demokratis di mana peran masyarakat Afghanistan
semakin besar dalam mempengaruhi keputusan pemerintah. Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa kepemimpinan Karzai pada periode yang kedua menjadi sebuah
landasan yang mempersiapkan Afghanistan untuk melangkah ke fase
demokratisasi selanjutnya.
Kemudian pada 2014, pemilihan umum kembali dilaksanakan. Pemilihan ini
menjadi harapan terbesar bagi masyarakat Afghanistan untuk menyeleksi
pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh
kepentingan masyarakat. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu tersebut menjadi proses
transfer kekuasaan yang panjang sebab masing-masing dari calon kandidat
mengklaim menang dalam pemilihan umum tersebut.
Persoalan mengenai hasil pemilu 2014 diselesaikan dengan jalan damai.
Kesepakatan pembagian kekuasaan atau pembentukan Persatuan Nasional (Unity
Goverment) dipandang sebagai jalan terbaik bagi penyelesaiaan sengketa pemilu
2 BBC Indonesia, “Parlemen Afghanistan Dibuka”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/12/051219_afghanparliament.shtml pada 15
November 2016.
3
di Afghanistan. Hal ini merupakan saran dari pihak yang sejak awal mengkawal
proses demokrasi di Afghanistan, yakni Amerika Serikat. Mohammad Ashraf
Ghani terpilih sebagai Presiden Afghanistan dan Abdullah Abdullah sebagai
Ketua Dewan Eksekutif yang setara dengan Perdana Menteri.3 Penyelenggaraan
pemilihan umum tersebut merupakan wujud dari keberhasilan proses
demokratisasi di Afghanistan yang berlangsung selama tiga kali pemilu
demokratis.4
Menurut Samuel P. Huntington, perjalanan suatu negara ke arah demokrasi
sejatinya melalui 3 tahapan penting, yakni; (1) Berakhirnya Rezim Otoriter, (2)
Munculnya pemerintahan demokratis, dan (3) Adanya konsolidasi demokrasi. Era
transisi demokrasi mestinya telah berakhir setelah dua kali pemilu berkala secara
demokratis, dimana pemilu-pemilu itu mengantarkan ke suatu rezim demokratis,
bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula.5
Pernyataan Samuel P. Huntington kemudian diperkuat lagi oleh Azyumardi
Azra. Menurutnya, untuk mengamati demokratisasi suatu negara tidak hanya
dinilai pada proses jalannya pemilu karena terdapat kriteria lain yang harus
dimiliki oleh suatu negara sehingga dikatakan sukses atau gagal dalam mencapai
transisi demokrasi, yaitu dapat dilihat melalui komposisi elit politik, desain
institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan
3 The Guardian, “Afghan President Mohammad Ashraf Ghani Inaugurated After Bitter
Campaign”, artikel ini diakses dari https://www.theguardian.com/world/2014/sep/29/afghan-
president-ashraf-ghani-inaugurated pada 27 Oktober 2016. 4 Iran Indonesian Radio, “Membangun Demokrasi di Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/78993-Membangun_Demokrasi_di_Afghanistan pada
tanggal 16 November 2016. 5 Tahapan transisi dan gelombang demokrasi ini lebih jauh dapat dilihat dalam karya
Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (London:
University of Oklahoma Press, 1991), yang diterjemahkan versi Indonesia Gelombang
Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001), h. 342.
4
elit dan non elit, serta peran civil society (masyarakat madani) itu sendiri.
Keempat faktor tersebut harus berjalan secara sinergis dan sebagai modal untuk
mengonsolidasikan keteguhan demokrasi.6
Dari pemaparan kedua tokoh di atas, dipahami bahwa Afghanistan telah
berhasil mambangun demokrasi di negaranya melalui era pemerintahan Hamid
Karzai. Keberhasilan dapat diraih karena Afghanistan—meskipun sebagai negara
yang baru dalam mengimplementasikan demokrasi—mampu melakukan sejumlah
langkah dan kebijakan penting yang menjadi landasan untuk memastikan transisi
demokrasi itu tercapai. Dalam hal ini, tahapan-tahapan yang dimaksud oleh
Samuel P. Huntington ialah yakni; pertama, jatuhnya pemerintahan Taliban,
kedua munculnya pemerintahan demokratis Hamid Karzai, dan agenda
selanjutnya adalah konsolidasi demokrasi.
Menurut pakar politik Guillermo O‟Donnel7, konsolidasi demokrasi
merupakan fase di mana stabilitas dan ketahanan demokrasi terjadi dalam sebuah
rezim. Sedangkan pakar lainnya, Larry Diamond,8 menyebut konsolidasi sebagai
legitimasi demokrasi yang secara luas dan kuat diterima sebagai suatu “rezim”
yang benar dan tepat bagi masyarakat. Proses konsolidasi tidak selalu bersifat
linear. Dalam banyak kasus, setelah transisi dikatakan berakhir, masih terdapat
banyak tugas yang harus diselesaikan, kondisi yang harus diciptakan, dan sikap
6 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), h. 135. 7 Guillermo O‟Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 6-7. 8 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, (Yogyakarta: IRE Press,
2003), h. 84.
5
serta kebiasaan yang harus diperkuat sebelum demokrasi bisa dianggap
terkonsolidasi.9
Selain itu, menurut Saiful Mujani, agar demokrasi terkonsolidasikan, warga
negara diharapkan menjadi seorang yang setia, yakni yang tertarik pada politik
dan percaya pada institusi politik.10
Kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap
partai politik akan menyebabkan demokrasi juga melemah, dan dari sini partai
politik harus memainkan peranan-peranan dan fungsi-fungsinya yang strategis.
Sementara itu, pandangan yang berbeda disampaikan Frans Beker dan Rene
Cuperus, menurutnya meluasnya konsolidasi demokrasi tidak senantiasa berjalan
secara linear dengan menguatnya peran partai politik sebagai lembaga
intermediasi kepentingan antara rakyat dan pemerintah. Karena melihat realita
yang ada di sejumlah negara, partai politik bahkan mulai digantikan perannya oleh
organisasi-organisasi mediasi yang menjadikan dirinya sebagai perantara opini
antara masyarakat dan negara.11
Semakin banyaknya individu atau lembaga yang
ikut berpartisipasi dalam mengawal demokratisasi, maka semakin terkonsolidasi
demokrasi.
Pemilu 2014 menjadi titik penentu bagi proses konsolidasi demokrasi di
Afghanistan. Ketua Dewan Pers Nasional Afghanistan, Abdul Hamid Mubariz
menilai peran pemuda dan perempuan sangat dominan dalam pilpres 2014. Dia
mengatakan bahwa 65 persen populasi rakyat Afghanistan dibentuk oleh pemuda
9 Mun‟im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim Dalam
Transisi Indonesia, (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 93. 10
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, h. 323. 11
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik
Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 2-3.
6
di bawah 30 tahun, dan sekarang perempuan terlibat aktif di banyak ranah politik
dan sosial. Para pengamat politik juga mengatakan, terlepas dari siapa yang akan
memenangi kontes demokrasi itu, pelaksanaan sukses pilpres Afghanistan
mengirim sejumlah pesan pada tingkat nasional, regional, dan internasional.
Mengenai pesan-pesan tersebut, rakyat Afghanistan dengan partisipasi luasnya
dalam pemilu menunjukkan bahwa mereka mulai memahami bahwa suara dan
peran mereka sangat menentukan masa depan negara.12
Namun, tidak semua proses tersebut bisa selalu berlangsung mulus. Ada
negara yang berhasil menjalani transisi, tetapi gagal menjalani konsolidasi
demokrasi. Proses demokratisasi merupakan sesuatu yang memang tidak mudah
dan butuh kesungguhan, konsistensi, kesabaran, serta penyediaan infrastruktur
yang memadai. Begitupula dengan perjalanan demokrasi di Afghanistan, bukan
tidak mungkin jika seorang pemimpin mempunyai kelemahan dalam
menyelesaikan segala persoalan pemerintahan, seperti yang terjadi di Afghanistan
di era kepemimpinan Hamid Karzai.
Tingkat pengangguran di Afghanistan yang semakin meningkat, tidak
adanya kebijakan anggaran yang transparan, serta para pejabat menjadi lebih kaya
dari hari ke hari, telah membuat perekonomian di Afghanistan saat itu menjadi
tidak stabil. Transparency International (TI) yang merupakan organisasi non-
pemerintah telah mempublikasikan bahwa rezim Hamid Karzai berada dalam
daftar tertinggi sistem pemerintahan yang paling korup. Informasi ini cukup
12
Iran Indonesian Radio, “Membangun Demokrasi di Afghanistan”.
7
kredibel mengingat definisi korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan
yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi.13
Selain itu, kegagalan Hamid Karzai dalam mempertahankan keamanan
nasional juga menjadi hal yang cukup diperbincangkan oleh para pengamat
politik. Padahal pemerintah Afghanistan saat itu bersama dengan pasukan koalisi
pimpinan NATO (North Atlantic Treaty Organization) telah bersusah payah
menata kehidupan sosial politik dan keamanan agar bebas dari gangguan serangan
milisi Taliban.14
Seluruh pelaksanaan NATO menyebabkan penderitaan besar
bagi masyarakat Afghanistan.15
Tentu hal itu menjadi kewajiban kepemimpinan selanjutnya dalam
membangun Afghanistan yang lebih progresif. Terpilihnya Mohammad Ashraf
Ghani pada September 2014 diharapkan mampu menciptakan tata pemerintahan
yang baik (good governance) bagi Afghanistan. Tata pemerintahan yang baik
dalam hal ini adalah pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat
diandalkan dan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Harapan dan keinginan mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance) juga merupakan tekad yang pernah diucapkan oleh Mohammad
Ashraf Ghani saat beliau dilantik sebagai Presiden Afghanistan yang secara
13
New York Times, “Corruption Remains Intractable in Afghanistan Under Karzai
Government”, artikel ini diakses dari http://www.nytimes.com/2012/03/08/world/asia/corruption-
remains-intractable-in-afghanistan-under-karzai-government.html pada 17 November 2016. 14
BBC Indonesia, “NATO Dianggap Gagal oleh Presiden Karzai”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/10/131008_afghanistan_nato pada 17 November 2016. 15
Presiden Afghanistan Hamid Karzai mengkritik NATO gagal menciptakan stabilitas di
negaranya selama satu dekade misinya di negeri itu. Dalam bidang keamanan, seluruh pelaksanaan
NATO menyebabkan penderitaan besar bagi warga Afghanistan. Dilihat dari Kompas, “Hamid
Karzai: NATO Gagal Di Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://tekno.kompas.com/read/2013/10/08/1816472/Hamid.Karzai.NATO.Gagal.di.Afghanistan
pada 17 November 2016.
8
langsung dipilih oleh rakyat.16
Harapan dan keinginannya ini diimplementasikan
ke dalam kebijakan-kebijakannya selama menjabat, terhitung sejak tahun 2014
sampai dengan 2016, setelah melewati masa transisi demokrasi.
Tahun 2014 diharapkan menjadi momentum tegaknya pemerintahan yang
bersih serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis berkepanjangan yang dialami
masyarakat Afghanistan. Untuk itu, skripsi ini akan lebih memfokuskan pada
upaya-upaya yang dilakukan oleh Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun
good governance di Afghanistan, terhitung sejak tahun 2014 sampai dengan 2016.
B. Rumusan Masalah
Melihat permasalahan yang tertulis dalam pernyataan masalah di atas,
penulis merumuskan beberapa masalah untuk dijawab dalam skripsi ini, yaitu:
1. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mohammad Ashraf
Ghani yang mengarah pada penguatan demokrasi?
2. Bagaimana dampak kebijakan-kebijakan tersebut dalam membangun
good governance di Afghanistan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, maka
terdapat beberapa tujuan yang dimaksud dalam penelitian ini:
a. Untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mohammad
Ashraf Ghani yang mengarah pada penguatan demokrasi.
16
CNN Indonesia, “Presiden Baru Afghanistan Dilantik”, artikel ini diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140929202153-120-4681/presiden-baru-
afghanistan-dilantik/ pada 19 Januari 2017.
9
b. Untuk mendeskripsikan dampak kebijakan-kebijakan Mohammad
Ashraf Ghani dalam membangun good governance di Afghanistan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui perkembangan demokrasi di Afghanistan di masa
sekarang.
b. Sebagai pengembangan ilmu politik tentang kajian demokrasi di Asia
Selatan, khususnya Afghanistan.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka di skripsi ini dimengerti sebagai kajian atau tinjauan
terhadap literatur, buku dan artikel ilmiah yang dianggap relevan untuk diteliti dan
menjadi landasan penulis untuk memposisikan penelitian tentang Afghanistan
ini.17
Penggunaan tinjauan pustaka ini merupakan sesuatu yang kami anggap
penting, karena diperlukan untuk menyusun peta konsep. Karenanya, dibutuhkan
beberapa buku acuan, tulisan ataupun teori untuk membahas dan menganalisis
agenda konsolidasi demokrasi di Afghanistan. Berikut beberapa literatur yang
penulis gunakan dalam memetakan penelitian ini, baik dari segi perdebatan
akademik, perbandingan kasus maupun kerangka teoritis.
Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Proses Demokrasi di Myanmar: Analisa
Terhadap Dinamika Politik Myanmar Tahun 2011-2012, ditulis oleh Ikhwan
17
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
h. 156.
10
Efendi18
. Skripsi ini menganalisa tentang proses demokrasi yang terjadi di
Myanmar sejak tahun 2011-2012. Adanya perubahan dari negara otoritarian
menjadi negara yang demokratis dialami oleh Myanmar yang sedang berusaha
mereformasi politiknya dengan serius di bawah pemerintahan sipil yang baru
Thein Sein. Skripsi ini memaparkan mengenai faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi proses perubahan demokrasi Myanmar dan apa saja perubahan
demokrasi Myanmar yang telah terjadi sampai saat ini.
Literatur berikutnya ialah sebuah artikel yang dimuat dalam sebuah jurnal
ilmiah yang berjudul “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia:
Kaitan Perdamaian, Pembangunan dan Demokrasi dalam Pengembangan
Kelembagaan Pasca-Konflik”. Artikel ini ditulis oleh Lambang Trijono.19
Artikel
tersebut secara khusus membahas masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi
daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara, Poso,
Kalimantan Barat, dan lainnya, dan dalam tingkat tertentu mengalami konflik jauh
sebelum transisi demokrasi berlangsung. Fokus utama pembahasan ditujukan pada
bagaimana kemudian demokrasi hadir sebagai harapan penanganan damai yang
diharapkan membawa perbaikan pada kondisi sosial ekonomi dan keamanan di
masyarakat.
18
Ikhwan Efendi, “Proses Demokrasi di Myanmar: Analisa terhadap Dinamika Politik
Myanmar Tahun 2011-2012, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013). 19
Lambang Trijono, “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia: Kaitan
Perdamaian, Pembangunan dan Demokrasi dalam Pengembangan Kelembagaan Pasca-Konflik”,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, No. 1 (Juli 2009: 48-70).
11
Kemudian artikel yang berjudul “Konsolidasi Demokrasi” yang ditulis oleh
Kris Nugroho.20
Artikel ini secara khusus mengamati tentang proses
demokratisasi di Indonesia yang relatif dilanda berbagai gejolak. Diwarnai konflik
elite politik, konflik primordial dan ancaman-ancaman pemisahan diri dari
beberapa provinsi meyakinkan pembaca bahwa rezim Abdurrahman Wahid saat
itu tidak mampu mengantarkan Indonesia mencapai transisi demokrasi. Jurnal ini
memaparkan mengenai fase-fase demokratisasi yang harus ditempuh guna
mencapai demokrasi yang terkonsolidasi.
Selanjutnya ialah buku yang berjudul Gelombang Demokratisasi Ketiga
yang ditulis oleh Samuel P. Huntington.21
Buku ini membahas perkembangan
politik global pada akhir abad ke-20, yakni transisi yang dialami sekitar 30 negara
dari sistem politik non-demokratis ke sistem politik demokratis. Dalam buku ini
penulis menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang demokratisasi tersebut
terjadi dengan menganalisis faktor-faktor politik, ekonomi dan budaya yang akan
menentukan masa depannya.
Adapun artikel yang berjudul Implementasi Prinsip-prinsip Good
Governance dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, ditulis
oleh Sondil E. Nubatonis, Sugeng Rusmiwari dan Son Suwasono.22
Artikel ini
menjelaskan untuk menciptakan pemerintahan yang baik salah satunya harus
melalui sistem pelayanan publik yang akuntabel. Pelayanan publik saat ini
20
Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,
Vol. XIV No. 2 (April 2001: 25-34). 21
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2001). 22
Sondil E. Nubatonis, dkk, “Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance dalam
Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 3
No. 1 (2014: 16-20).
12
memiliki berbagai kelemahan, yaitu kurang koordinasi, kurang bikrokratis, kurang
mau mendengar keluhan, dan kurang inefisien. Artikel ini secara khusus menelaah
upaya apa saja yang dilakukan guna mendorong terciptanya good governance
dalam pelayanan publik.
Selanjutnya adalah buku yang berjudul Analisis Masalah Good Governance
dan Pemerintahan Strategis, ditulis oleh Roby Arya Brata.23
Buku ini merupakan
hasil kontemplasi mendalam penulis atas permasalahan tata kelola pemerintahan
(good governance), anti-korupsi, hukum, dan kebijakan kontroversial
kontemporer yang diperdebatkan baik di masyarakat maupun komunitas kebijakan
(policy community). Berbagai isu kebijakan dibahas dalam buku ini, mulai dari
strategi dan paradigma baru KPK, reformasi konstitusi, Perang Suriah, terorisme,
penyadapan intelijen, hingga permasalahan yang berhubungan dengan tata
pemerintahan yang baik.
Kemudian untuk melengkapi informasi mengenai situasi dan kondisi politik
Negara Afghanistan, penulis menggunakan skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin yang berjudul Penyelesaian Konflik Afghanistan-
Pakistan Sebuah Pendekatan Rekonsiliasi, ditulis oleh Umiyati Haris.24
Skripsi ini
menggambarkan tentang konflik Afghanistan dan Pakistan hingga upaya
penyelesaian konflik kedua negara melalui proses rekonsiliasi. Pembahasan
difokuskan pada bagaimana penyelesaian konflik antara kedua negara tersebut.
23
Roby Arya Brata, Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan Strategis,
(Jakarta: Pustaka Kemang, 2016). 24
Umiyati Haris, “Penyelesaian Konflik Afghanistan-Pakistan: Sebuah Pendekatan
Rekonsiliasi”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2016).
13
Berdasarkan ketujuh literatur yang penulis telah paparkan di atas, adapun
yang membedakan skripsi ini dibandingkan dengan penulis di atas adalah
pembahasan tentang agenda konsolidasi demokrasi yang terjadi di Afghanistan.
Beberapa tulisan di atas akan mengantarkan penulis untuk menerima informasi
tentang penjelasan mengenai topik skripsi ini.
E. Metode Penelitian
1. Tipe atau Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif. Metode kualitatif ini telah banyak digunakan dalam studi
Ilmu Politik, karena para partisipan dalam dunia politik ada kecenderungan
bersedia berbicara tentang keterlibatan dan peran mereka dalam jabatan kekuasaan
formal.25
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Contohnya, dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku
seseorang, di samping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau
hubungan timbal balik, dan lain-lain.26
Dengan begitu penulis berharap dapat
mengetahui serta memahami apa yang terjadi di balik fenomena yang kadang sulit
dipahami.
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data berupa data primer.
Adapun data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
25 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik, (Bandung:
Nusamedia, 2002), h. 242. 26
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Tata Langkah dan
Teknik-Teknik Teoritisi Data), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet.1), h. 4.
14
wawancara dan literatur bacaan. Wawancara adalah interaksi bahasa yang
berlangsung antara dua orang dalam situasi yang berhadapan, salah seorang yaitu
yang melakukan wawancara meminta informasi atau ungkapan kepada orang yang
diteliti yang berputar di sekitar pendapat dan keyakinannya.
Penulis melakukan wawancara dengan orang yang terkait dengan
penelitian yang sedang penulis teliti. Maka dalam hal ini wawancara dilakukan
dengan masyarakat Afghanistan asli, yaitu Mohammad Salim adalah seorang
profesor di bidang hukum, Ahmad Nadeem Kakar adalah seorang Office
Administrator Legal Education Support Program Afghanistan, kemudian S.
Hamidullah Husaini yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian
Luar negeri Kabul. Penulis juga melakukan wawancara dengan Patrice Lumumba.
Beliau merupakan Dosen Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin.
Sedangkan data primer lainnya ialah penulis menggunakan berupa bahan
bacaan mulai dari buku-buku, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, artikel-artikel,
internet, serta yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk mendapatkan hal itu,
maka penulis berkunjung ke perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakaan Universitas Hasanuddin, perpustakaan Universitas Indonesia, serta
Perpustakaan Nasional.
F. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data yang terkumpul, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu kegiatan menggambarkan dan menganalisa dengan cara
tertentu sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Proses analisis
data atau pengolahan data, dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh
15
dari berbagai sumber, kemudian direduksi dengan membuat abstraksi
penyederhanaan sebagai usaha membuat rangkuman inti dan untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Secara umum, teknik penulisan studi ini
bersandar pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab. Berikut adalah sistematika
penulisan dalam penelitian ini:
Bab I, penulis memaparkan mengenai pernyataan masalah yakni berisi
substansi permasalahan yang dikaji dalam penelitian, dalam hal ini ialah agenda
konsolidasi demokrasi di Afghanistan, upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam
membangun good governance. Kemudian dipaparkan pula pertanyaan penelitian,
manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan yang berkaitan dengan topik penelitian.
Bab II, penulis mengeksplorasi kerangka teori yang digunakan sebagai
rancangan konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian ini. Teori yang
digunakan adalah teori konsolidasi demokrasi dan good governance.
Bab III, penulis memfokuskan pembahasan pada gambaran umum
mengenai perkembangan demokrasi di Afghanistan, dalam hal ini perjalanan
demokrasi, dimulai dari lahirnya demokrasi di Afghanistan pasca rezim Taliban,
serta proses transisi demokrasi di Afghanistan yang ditandai dengan pemilihan
umum.
16
Bab IV, penulis melakukan analisa untuk mengetahui kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat oleh Mohammad Ashraf Ghani yang mengarah pada penguatan
demokrasi, serta menjelaskan secara rinci mengenai dampak kebijakan tersebut
dalam membangun good governance di Afghanistan.
BAB V, penulis menjabarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam
penelitian untuk dijadikan kesimpulan dan saran untuk penelitian lebih lanjut.
17
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Pada bab ini, penulis akan mengambil dua teori sebagai rancangan
konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini, yakni: Pertama,
penulis menggunakan teori konsolidasi demokrasi sebagai tahapan akhir dalam
proses demokratisasi sebuah negara. Teori ini digunakan sebagai landasan untuk
menelaah bagaimana kriteria sebuah negara dikatakan berhasil dalam mencapai
tahapan konsolidasi demokrasi dalam proses demokratisasi suatu negara.
Kedua, penelitian ini juga akan memakai teori good governance untuk
melihat seberapa jauh komitmen Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun
good governance di Afghanistan. Dalam hal ini, agenda politik dan kebijakan-
kebijakan Mohammad Ashraf Ghani, terhitung sejak tahun 2014 (saat ia terpilih)
hingga saat ini dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dan
politik di Afghanistan.
1. Konsolidasi Demokrasi
Menurut Guillermo O‟ Donnel dan Phillipe C. Schmitter, konsolidasi
demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen
demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik.
Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi
18
politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun
masyarakat politik.27
Sedangkan menurut Larry Diamond28
konsolidasi demokrasi adalah:
“Proses dengan apa demokrasi mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat
dari warga negara, sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan ambruk.
Proses itu melibatkan perubahan perilaku dan institusi yang menormalkan
politik yang demokratis dan mengurangi tingkat ketidakpastiannya.
Normalisasi tersebut menuntut perluasan akses yang dimiliki oleh warga
negara, tumbuhnya budaya dan kewarganegaraan yang demokratis,
pelebaran ruang rekruitmen dan pelatihan kepemimpinan, dan fungsi-fungsi
lain yang dimainkan oleh civil society.”
Alasan mengapa konsolidasi demokrasi perlu dilakukan adalah untuk
membangun rezim demokratis yang kuat dan melembaga setelah runtuhnya rezim
otoriter. Setelah rezim otoriter berakhir, situasi politik tidak menentu (chaos),
fragmentasi sipil, militer frustasi dan merasa terpojokan atas perannya mendukung
rezim masa lalu dan norma, aturan dan prosedur (rule of the game) baru yang
mewakili sistem demokrasi belum terbentuk. Itulah sebabnya konflik-konflik
menjadi terbuka dan sulit dikendalikan mengingat penguasa baru belum punya
pijakan politik yang bisa absah diterima semua kelompok politik guna
menyelesaikan konflik-konflik politik yang muncul.29
Untuk itu, menurut Larry Diamond, paling tidak harus dipenuhi tiga syarat
utama untuk menuju konsolidasi demokrasi, yakni dilihat pada elit, organisasi dan
masyarakatnya. Sebagian besar elit atau tokoh dalam penggalangan opini publik,
27
Guillermo O‟Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, h. 5. 28
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 84-85. Dapat dilihat
pula dalam Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 221-222. 29
Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,
Vol. XIV No. 2 (April 2001: 25-34), h. 28.
19
budaya, bisnis, organisasi sosial, pemerintahan dan politisi harus percaya bahwa
demokrasi adalah format politik terbaik bagi pemerintahan. Keyakinan mereka
terhadap demokrasi harus ditunjukkan dengan beberapa aksi nyata, seperti
publikasi tulisan dan aksi simbolik lainnya di ruang publik. Militer harus
ditempatkan sebagai entitas yang netral dalam artian berdiri di semua golongan
dan tidak memihak.30
Berdasarkan pernyataan di atas, esensi dari konsolidasi demokrasi adalah
legitimasi. Dalam hal ini, semakin tinggi keyakinan semua pihak bahwa
demokrasi adalah satu-satunya jembatan untuk menggapai kesejahteraan di
Afghanistan, semakin terkonsolidasi demokrasi suatu negara. Sebaliknya,
demokrasi berada dalam ancaman ketika semakin banyak aktor yang luntur
kepercayaannya terhadap demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain yang
berlawanan dengan arus demokratisasi.
Hal serupa disampaikan oleh Juan J. Linz, menurutnya demokrasi menjadi
“the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan
demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi
yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan
politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter yang terdapat
dalam prosedur demokratis. Jadi, konsolidasi demokrasi membutuhkan lebih dari
sekedar pemilu.31
Sementara itu, Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling
berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain yang diperlukan agar demokrasi
30
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 87. 31
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation,
(Bandung: Mizan, 2001), h. 27.
20
terkonsolidasi, yakni: (1) Kondisi yang memungkinkan pengembangan
masyarakat sipil yang bebas; (2) Adanya masyarakat politik yang otonom; (3)
Kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat
pemerintahan pada rule of law; (4) Harus terdapat birokrasi negara yang dapat
dipergunakan oleh pemerintahan demokratis baru (usable bureaucracy); (5)
Keharusan akan adanya masyarakat ekonomi yang terlembagakan.32
Kemudian masih dalam agenda konsolidasi demokrasi, Larry Diamond
mengajukan beberapa hal agar konsolidasi demokrasi dapat tercapai33
, yaitu:
1. Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan
membangun suatu rule of law yang sesungguhnya;
2. Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat
meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik;
3. Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legistalif
sehingga menjadi badan yang profesional dan independen;
4. Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah,
sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh
warga negara di seluruh wilayah suatu negara;
5. Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan
merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat, bukan
hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi
belaka;
32
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation,
h. 28-34. 33
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 113-138.
21
6. Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang
dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi
memperkuat kewenangan konstitusional dari negara;
7. Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan.
Program pendidikan warga baru yang dapat menumbuhkan kemampuan
untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi dan
kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis.
2. Good Governance
Secara konseptual, good dalam Bahasa Indonesia adalah “baik” dan
“governance” adalah “pemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi
Negara), good governance mengandung dua pengertian, yakni34
:
a. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan
nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam
pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan
dan keadilan sosial.
b. Aspek-aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli dalam memahami arti good
governance, salah satunya menurut Robert Charlick. Ia mendefinisikan good
governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif
melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang baik demi untuk
34
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas Dan Good Goverenance, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
dan Badan Penagwas Keuangan dan Pembangunan, 2000), h.5.
22
mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.35
Sedangkan good governance
menurut Mardiasmo adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada
pembangunan sektor publik oleh pemerintahan yang baik.36
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, good governance dianggap sebagai suatu
bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai adminstrasi
pembangunan, yakni menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent
of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di dalam Negara
berkembang. Dikatakan Agent of change karena perubahan yang dikehendakinya,
menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga Agent of
Development. Agent of Development diartikan sebagai pendorong proses
pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, dan peran
perencanaan dalam anggaran.37
Selanjutnya, Bank Dunia mengartikan good governance sebagai pelayanan
publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang
bertanggung jawab pada publiknya, pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang
masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan
dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang
bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah untuk memerangi korupsi,
35
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, (Bandung:
Refika Aditama, 2008), h. 130. 36
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, (Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 2002), h. 18. 37
Bintoro Tjokroamijojo, Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan,
(Jakarta: UI Press, 2000), h. 1.
23
penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers
dan ekspresi.38
Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa good governance adalah suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan demi pembangunan
masyarakat yang solid dan bertanggung jawab secara efektif melalui pembuatan
peraturan dan kebijakan yang absah dan yang merujuk pada kesejahteraan rakyat,
pengambilan keputusan, serta tata laksana pelaksanaan kebijakan.
Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa tuntutan akan good governance
timbul karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dari nilai
demokratis sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk menciptakan
sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak
melenceng dari tujuan semula.39
Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung
jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan
administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan
sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur
bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas
dan pasti.40
Tentu saja good governance di Afghanistan akan berkembang sehat di
bawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
38
Suto Eko, Mengkaji Ulang Good Governance, (Yogyakarta: IRE, 2008), h. 13. 39
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung:
Fokus Media, 2003), h. 23. 40
Sulastomo T.A. Legowo, Memadukan Langkah Membangun Indonesia Masa Depan,
(Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2008), h. 111.
24
Maka dari itu, membangun good governance adalah mengubah cara kerja
state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar
negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara
umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat
diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja
institusi negara dan pemerintah. Dalam hal ini, untuk mengakomodasi keragaman,
good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik.41
Oleh
karena itu, membangun good governance di Afghanistan adalah proyek sosial
yang besar dan agar menjadi realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara
bertahap.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-
prinsip di dalamnya, dan bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak
ukur kinerja suatu pemerintahan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang
baik. United Nations Development Programme pada paper pertamanya
mengidentifikasi karakteristik sistem kepemerintahan yang baik (the
characteristics of good system of governance) yaitu:42
“Legitimacy, freedom of association and participation and freedom of the
media, fair and established legal frameworks that are enforced impartially,
bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid
information, effective and efficient public sector management, and
cooperation between governments civil society organizations”.
41
Loina Lalolo, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan
Partisipasi, (Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2003), h. 6. 42
Joko Widodo, Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2007), h. 24-25.
25
Namun, dalam perkembangan berikutnya, United Nations Development
Programme (UNDP) sebagaimana yang dikutip oleh Lembaga Administrasi
Negara mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut:43
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun
atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk Hak Asasi Manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat
diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami
dan dapat dimonitor.
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba
untuk melayani setiap “stakeholders”.
5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan
yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-
prosedur.
43
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara dan Badan
Pengawas Keuangan dan pembangunan, 2000), h. 7.
26
6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan
mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik
mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung-jawab kepada publik
dan lembaga-lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic version. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif
good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan
sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Berdasarkan beberapa karakteristik good governance menurut UNDP yang
dikemukakan di atas, Mardiasmo mengemukakan bahwa terdapat tiga pilar yang
saling berkaitan untuk mewujudkan good governance, yaitu partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas, serta terdapat satu elemen lagi yang dapat
mewujudkan good governance yaitu value for money (ekonomi, efisiensi, dan
efektifitas).44
44
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, h. 18.
27
BAB III
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI AFGHANISTAN
A. Profil Negara Afghanistan
Afghanistan merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia
Selatan. Negara ini berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan
di sebelah utara, dengan Pakistan di sebelah timur dan selatan, serta dengan Iran
di sebelah barat. Ibukota negara ini ialah Kabul. Afghanistan memiliki nama
nasional Daulah Islamiyah, atau Emirat Islam Afghanistan, dan mendapat
kemerdekaannya dari Inggris pada 19 Agustus 1949.45
Luas wilayah Afghanistan
yaitu 652.864 km2 (251.827 sq miles)46
dengan populasi sebanyak 32.564.342
juta jiwa47
pada bulan Juli 2015.
Gambar III.1. Peta Negara Afghanistan
Sumber: www.worldatlas.com
45
Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” dalam Verinder Grover (ed).,
Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan, (New Delhi: Deep&Deep Publication
PVT.LTD, 2002), h. 1. 46
BBC.com, “Afghanistan Country Profile”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12011352 pada 2 Februari 2017. 47
Maps of World, “Afghanistan Map”, artikel ini diakses dari
http://www.mapsofworld.com/afghanistan/ pada 2 Februari 2017.
28
Afghanistan memiliki 34 provinsi, namun tabel di bawah hanya menujukkan
29 provinsi dengan tidak mencantumkan 5 provinsi lainnya, yaitu Daykundi;
Khost; Nuristan; Panjhsir dan Sar-e Pul. Kemudian provinsi Kabul menempati
jumlah populasi terbanyak yakni sebanyak 1.373.572 jiwa. Namun, hal itu tidak
sebanding dengan luas wilayahnya yang hanya 4,585 km2. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Kabul merupakan kota atau wilayah terpadat di Afghanistan.
Sedangkan provinsi Helmand dengan ibukota Lashgar Gah merupakan yang
terluas, dengan jumlah penduduk sebanyak 517.645 jiwa.
Tabel III.1. Daftar Provinsi di Afghanistan
Provinsi Ibu Kota Luas Populasi
Badakhshan Feyzabad 47,403 497,758
Badghis Qal‟eh-ye Now 21,858 233,613
Baghlan Baghlan 17,109 533,782
Balkh Mazar-e Sharif 12,593 580,146
Bamian Bamian 17,414 268,517
Farah Farah 47,788 234,621
Faryab Meymaneh 22,279 582,705
Ghazni Ghazni 23,378 646,623
Ghowr Chaghcharan 38,666 337,492
Helmand Lashgar Gah 61,829 517,645
Herat Heart 61,315 769,111
Jowzjan Sheberghan 25,553 588,609
Kabul Kabul 4,585 1,373,572
Kandahar Kandahar 47,676 567,204
Kapisa Mahmud-e-Eraqi 1,871 250,553
Konar Asadabad 10,479 250,122
Konduz Konduz 7,827 555,437
29
Laghman Mehtar Lam 7,210 310,650
Lowgar Baraki Barak 4,652 216,241
Nangarhar Jalalabad 7,616 745,986
Nimruz Zaranj 41,356 103,634
Oruzgan Tarin Kowt 29,295 444,168
Paktia Gardez 9,581 482,158
Paktika Orgun 19,336 245,229
Parvan Charikar 9,399 504,750
Samangan Aybak 15,465 261,693
Takhar Taloqan 12,376 519,752
Vardak Kowt-e-Ashrow 9,023 285,557
Zabol Qalat 17,293 179,362
Sumber: Central Statistics Office Website, Maps of World
Kelompok-kelompok suku utama di Afghanistan adalah Pashtun48
(35-
40%), Tajik (25-30%), Uzbek (10%), Hazara (10-15%), Turkman (5%) dan lain-
lain (2%). Bahasa yang paling banyak digunakan adalah Afghan Persian atau
Dari, yaitu 50% dan merupakan bahasa resmi Afghanistan. Selain itu, bahasa Dari
juga digunakan sebagai bahasa penghubung antar-suku di Afghanistan.
Selanjutnya, terdapat bahasa Pashto yang merupakan bahasa resmi kedua dengan
presentasi sebesar 30%.49
Agama mayoritas di Afghanistan adalah Islam, yang
terdiri dari 84% Islam Sunni dan 15% Islam Syi‟ah.50
48
Pashtun adalah kelompok etnis dominan di Afghanistan. Mereka merupakan penganut
muslim Sunni dan menyebut diri mereka Afghan (suku bangsa dari Afghanistan). Dilihat dari
About Afghanistan, “A General Summary The Pashtun People”, artikel ini diakses dari
http://www.about-afghanistan.com/pashtun-people.html pada 31 Januari 2016. 49
Central Intelligence Agency Government, “World Factbook”, artikel ini diakses dari
https://www.cia.gov/library//publications/the-world-factbook/geos/af.html pada 2 februari 2017. 50
Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction”, h. 2.
30
Bentuk Negara Afghanistan adalah republik dengan menganut sistem
hukum campuran antara hukum sipil, adat dan hukum. Jenis pemerintahan di
Afghanistan adalah unitary presidential republic yang dipimpin oleh presiden,
wakil presiden dan perdana menteri. Sedangkan sumber lain menyebutkan jenis
pemerintahan Afghanistan adalah Islamic Republic.51
Badan Eksekutif dalam sistem pemerintahan Afghanistan yang terdiri dari
chief of state, head of government dan cabinet. Badan Legislatif di Afghanistan
menganut sistem dua kamar atau bicameral National Assembly yang terdiri dari
Meshrano Jirga atau House of Elders dan diisi oleh 102 kursi. Selanjutnya Wolesi
Jirga atau House of People yang diisi dengan tidak lebih dari 250 kursi.52
Partai-partai yang ada di Afghanistan dipengaruhi oleh etnis yang membuat
etnis merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi aliansi politik. Presentasi
partai politik dan posisi untuk duduk dalam pemerintahan berdasarkan kelompok
etnis, yaitu Pashtun sebanyak 39%; Hazara 24%; Tajik 21%; Uzbek 6%; lain-lain
10% (termasuk Aimak, Arab, Baloch, Nuristan, Turkmen).53
Masyarakat Afghanistan hidup dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan norma-norma suku Pashtun dan adat
istiadat lokal lainnya. Meski demikian, terdapat perbedaan pandangan terhadap
implementasi syari‟ah Islam di antara mereka. Ada yang liberal, konservatif,
maupun ortodoks.54
Namun, secara keseluruhan kehidupan sosial budaya
51
Afghan Web, “Politics Government”, artikel ini diakses dari http://www.afghan-
web.com/politics/government.html pada 31 Januari 2016. 52
Afghan Web, “Politics Government”. 53
Afghan Web, “Politics Government”. 54
Z.A. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia
Tengah, (Jakarta: Dalancang Seta, 2002), h. 4-5.
31
masyarakat Afghanistan sangat kental dengan unsur agama Islam. Hal ini
dikarenakan hampir seluruh masyarakat Afghanistan, terutama etnis Pashtun,
merupakan muslim taat bahkan cenderung fanatik.
Hampir sepanjang sejarah Afghanistan, terutama dalam kurun waktu 20-30
tahun terkhir, kehidupan masyarakat Afghanistan diwarnai dengan kegiatan
pengungsian ke negara-negara tetangga terdekatnya, terutama Pakistan dan Iran.
Pada masa perang internal misalnya, yaitu sekitar tahun 1992 hingga 1994, jumlah
pengungsi Afghanistan di Pakistan adalah sekitar 3.2 juta penduduk dan di Iran
sebanyak 2.9 juta penduduk. Para pengungsi Afghanistan telah mengalami
gangguan-gangguan yang radikal dalam kebudayaan, organisasi sosial, serta
kehidupan perekonomian mereka, terutama sejak mereka diharuskan mengungsi
akibat perang yang berkepanjangan.55
Peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun dan ketidakstabilan
politik saat itu telah meninggalkan Negara Afghanistan dalam reruntuhan dan
bergantung pada bantuan asing.56
Pada tahun 2011, Afghanistan mempunyai
utang sebesar $2.300.000.000 dimana utang tersebut antara lain berasal dari Rusia
$987.000.000, Bank Pembangunan Asia $596.000.000, Bank Dunia
$435.000.000, Dana Moneter Internasional $114.000.000, Jerman $18.000.000,
55
Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di
Afghanistan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 24. 56
Uni Assigment Centre, “Afghanistan Transition Towards A Market Driven Economy
Economics Essay”, artikel ini diakses dari https://www.uniassignment.com/essay-
samples/economics/afghanistans-transition-towards-a-market-driven-economy-economics-
essay.php pada 1 Februari 2017.
32
Saudi Development Fund $47.000.000, Bank Pembangunan Islam $11.000.000,
Bulgaria $51.000.000, Iran $10.000.000, dan Opec $1.800.000.57
Sementara dalam kehidupan politik, sebelumnya pergolakan selalu terjadi di
Afghanistan. Kudeta pemerintahan telah terjadi sejak sejarah politik kontemporer
Afghanistan dimulai pada tahun 1919, hingga Afghanistan mengalami invasi
eksternal oleh Uni Soviet. Pada tahun 1979 pun perebutan kekuasaan politik terus
berlangsung. Pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menginvasi Afghanistan
berkaitan dengan perjanjian persahabatan 1978. Dewan Revolusi kemudian
memilih Sayid Mohammad Najibullah sebagai Presiden Afghanistan pada
September 1987.58
Setelah melakukan perundingan pada November 1991 dengan gerakan
oposisi Afghanistan (Mujahidin), pemerintah Uni Soviet setuju untuk mentransfer
dukungannya dari rezim Najibullah ke rezim Islamic Interim Government atau
Pemerintahan Islam Interim. Ketika pasukan Mujahidin mulai menguasai Kabul,
Presiden Najibullah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 16
April 1992.59
Setelah kepergian Presiden Najibullah, power di Afghanistan dipegang dan
dikuasai penuh oleh dewan pemimpin yang beranggotakan 10 orang, dipimpin
oleh Burhanuddin Rabbani yang dinobatkan menjadi presiden Interim
Afghanistan pada 28 Juni 1992. Pada Desember 1992, pertemuan dewan yang
57
Index Mundi, “Afghanistan Private Debt”, artikel ini diakses dari
http://www.indexmundi.com/facts/afghanistan/private-debt pada 1 Februari 2017. 58
Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di
Afghanistan”, h. 28. 59
Ibid.
33
terdiri dari 1.335 delegasi nasional mengikuti konvensi dan memilih kembali
Burhanuddin Rabbani sebagai Presiden Afghanistan.60
Mandat Presiden Rabbani seharusnya berakhir pada Juni 1994, namun ia
tetap memegang jabatannya, sehingga kembali terpilih menjadi Presiden
Afghanistan secara resmi pada 30 Januari 1995. Setahun berikutnya, Taliban telah
berhasil mengendalikan dua pertiga Afghanistan, termasuk Kabul. Sejak saat itu,
Afghanistan terpecah antara wilayah selatan yang dikuasai oleh kelompok
fundamentalis Taliban dan wilayah utara yang dikuasai oleh faksi liberal.61
B. Lahirnya Demokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Taliban
Sejak dahulu, masyarakat Afghanistan dikenal sangat gigih dan bersemangat
dalam membela Islam. Mereka melawan musuh-musuh Islam dan berhasil
melumpuhkannya, termasuk Uni Soviet.62
Perlawanan ini pada akhirnya
melahirkan sejumlah kelompok dan organisasi Islam yang seringkali justru saling
bertikai demi untuk merebut kekuasaan. Di antara organisasi dan kelompok paling
masyhur yang terlahir kala itu adalah Jami’iyyah Islamiyyah (Jemaat Islamiyah),
Partai Islam (al-Hizb al-Islami), kelompok Mujahidin dan kelompok Taliban.
Konflik sektarian yang melanda Afghanistan tidak lepas dari realitas
masyarakat Afghanistan yang beragam dan keinginan yang sangat tinggi dari para
kelompok islamis dalam memimpin Afghanistan. Terbukti, lengsernya suatu
rezim menandai kelahiran sebuah rezim baru. Hal ini semakin terasa ketika
60
Ibid., h. 29. 61
Ibid. 62
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini, terj. Zainal Arifin, (Jakarta: Zaman, 2014), h.
773.
34
kelompok Taliban mampu menapaki kekuasaan Afghanistan setelah memporak-
porandakan pemerintahan fragmentatif Burhanuddin Rabbani, salah seorang
pemimpin Jami‟at Islam, salah satu faksi Mujahidin Afghan.
Sejak Taliban menguasai Afghanistan, kelompok ekstrimis ini langsung
mengubah hukum-hukum yang ada dan membuat hukum-hukum yang baru
dengan menggunakan syari‟at Islam sebagai landasan utamanya. Di bawah
pemerintahan tangan besi Taliban, kehidupan sehari-hari menjadi mimpi buruk
bagi masyarakat Afghanistan. Diberlakukannya hukum rajam bagi para pezina,
hukum cambuk bagi para pemabuk, hukum potong tangan bagi para pencuri dan
hukuman mati bagi orang-orang dianggap kafir.
Taliban juga melarang keras adanya musik, bioskop dan seluruh tempat dan
kegiatan yang berhubungan dengan Barat. Kaum pria diwajibkan memelihara
jenggot dan sepatu berwarna putih63
serta mengumpulkan mereka pada siang hari
untuk melaksanakan ibadah. Sementara kaum perempuan diwajibkan memakai
pakaian burqa dan dilarang bepergian seorang diri.64
Rezim Taliban sangat
merepresi dan melarang perempuan berkiprah di ranah domestik. Perempuan yang
dulunya bisa bekerja, bersekolah dan menentukan pilihan hidupnya saat itu tidak
dirasakan lagi oleh mereka.
Ketidakadilan terhadap perempuan di bawah beragam versi
fundamentalisme Islam, baik itu para penguasa Afghanistan sebelumnya,
63
Warna putih adalah warna resmi pemerintahan Taliban, ia dianggap suci karena bendera
Taliban berwarna putih polos. Taliban melarang keras kaum perempuan mengenakan sepatu putih,
sebab putih dianggap adalah warna milik kaum laki-laki. Dilihat dari Anton Kurnia, Dari Penjara
Taliban Menuju Iman, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 59. 64
Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2005), h.
3.
35
Mujahidin ataupun Taliban, adalah satu hal yang tragis. Hal itu terjadi semenjak
pecahnya perang sipil di Afghanistan. Perempuan secara resmi menjadi urusan
nomor dua di bawah kekuasaan Mujahidin, dan ditambah kekuasaan Taliban,
kondisi tersebut menjadi semakin buruk.65
Melihat fenomena di atas, memberikan
kita pemahaman bahwa Taliban hanyalah sebuah contoh paling akhir dari versi
pemerintahan otoriter di Afghanistan.
Hingga tahun 1998, Taliban memang telah berhasil menguasai Afghanistan.
Namun, keberhasilan ini justru menambah kompleks suasana. Konflik bersenjata
terus bergulir. Munculnya Aliansi Utara (Northern Alliance)66
pada tahun 1998
yang dipelopori oleh Ahmad Shah Massoud dan pengikutnya menandai babak
baru terhadap konflik di Afghanistan. Keinginan yang tinggi dari Massoud untuk
melengserkan rezim Taliban terlihat lewat aksi-aksi gerilyanya dalam melawan
kelompok Taliban di pegunungan Hindu Kush, Afghanistan Utara.
Tahun 1998 juga ditandai dengan menegangnya hubungan antara Iran dan
Afghanistan. Pasukan Taliban membunuh puluhan diplomat di gedung kesultanan
Iran tidak lama setelah melakukan serangan ke kota Mazar.67
Insiden tersebut
langsung mengundang kemarahan Iran yang sempat mengancam akan menginvasi
Afghanistan. Terbukti, selama Afghanistan di bawah kendali Taliban, hanya ada 3
65
Ibid., h. 4. 66
Aliansi Utara diusir oleh Taliban pada tahun 1996, dan dibentuk kembali sebagai suatu
kelompok gerakan bawah tanah. Kelompok ini menguasai beberapa provinsi di bagian uatara
Afghanistan pada tahun 1996 hingga 2001. Setelah peristiwa 11 September, angkatan bersenjata
Amerika Serikat bersekutu dengan Aliansi Utara, yang memungkinkan dilakukannya pengepungan
kembali kota Kabul. Dilihat dari Buku Omar Nasiri, Inside The Jihad: Teroris atau Tentara
Tuhan?, (Jakarta: Zahira, 2007), h. 559. 67
CNN, “Taliban Threatens Retaliation If Iran Strikes”, artikel ini diakses dari
http://edition.cnn.com/WORLD/meast/9809/15/iran.afghan.tensions.02/index.html pada 2 Februari
2017.
36
negara di dunia yang mengakui kedaulatan pemerintahan Taliban, yakni: Pakistan,
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.68
Namun, pasca rezim Taliban berhasil dijatuhkan69
dan kemudian terpilihnya
Hamid Karzai sebagai Presiden Afghanistan pada tahun 2004 dan 2009 melalui
pemilihan umum, telah mengantarkan Afghanistan menuju transisi demokrasi.
Kemudian pada September 2014, pelantikan Presiden baru Afghanistan menandai
lembaran baru pemerintahan. Mohammad Ashraf Ghani secara resmi terpilih
menjadi Presiden Afghanistan menggantikan Hamid Karzai melalui pemilihan
umum langsung. Hal ini sekaligus menjadi momentum masyarakat Afghanistan
menuntaskan transisi menuju demokrasi.70
Keberhasilan Afghanistan dalam melahirkan sebuah pemerintahan
demokratis terlihat dari keikutsertaan masyarakat Afghanistan dalam
menyelenggarakan pemilihan umum itu sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh
teror kelompok Taliban yang mengancam akan mensabotase proses pemilihan
umum presiden 2014. Ancaman ini rupanya tidak mempengaruhi mindset
masyarakat Afghanistan, mereka ingin dilibatkan dalam menentukan masa depan
negara. Mereka yakin bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan keluar
68
Muslimedia News, “Taliban Lahir dari Perang Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://www.muslimedianews.com/2016/04/taliban-lahir-dari-perang-afghanistan.html pada 2
Februari 2017. 69
Rezim Taliban dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan dibantu oleh pasukan Aliansi Utara
melalui penyerangan darat dari tiga arah (masing-masing menuju Kabul, Qandahar dan Jalalabad).
Gempuran ini memang telah melumpuhkan Taliban pada Desember 2001. Kurang dari seminggu
setelah Kabul Jatuh, meski Taliban tidak pernah memberi konfirmasi tentang kemundurannya,
Amerika mengumumkan jatuhnya Taliban dan menyerahkan kekuasaan pada Hamid Karzai,
seorang yang loyal kepada Amerika Serikat. Dilihat dari Buku Iwan Hadibroto, Perang
Afghanistan: Di Balik Perseteruan Amerika Serikat vs. Taliban, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama), h. 121. 70
Iran Indonesian Radio, “Membangun Demokrasi di Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://indonesian.irb.ir/ranah/telisik/item/78993-Membangun_Demokrasi_di_Afghanistan pada 2
Februari 2017.
37
untuk menjauhkan Afghanistan dari konflik yang berkepanjangan, dan partisipasi
politik merupakan solusi untuk kehidupan berpolitik di Afghanistan, bukan
kekerasan ataupun terorisme.
C. Proses Transisi Demokrasi
Proses transisi demokrasi di Afghanistan berlangsung melalui tiga tahapan
penting: Pertama, ditandai dengan terbentuknya pemerintahan transisional
Afghanistan sebagai awal dibukanya keran demokrasi di Afghanistan, terpilihnya
Hamid Karzai sebagai Kepala Pemerintahan Transisi dan sebagai momentum
jatuhnya rezim Taliban. Kedua, Pemilihan Umum 2004 yang merupakan
pemilihan umum pertama yang melibatkan masyarakat Afghanistan. Kemudian
yang ketiga adalah Pemilihan Umum 2009 yang berhasil mengantarkan Hamid
Karzai terpilih kembali menjadi Presiden Afghanistan.
C.1. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan
Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai pada saat rezim
Taliban berhasil dijatuhkan, yaitu pada November 2001. Sebulan setelah peristiwa
tersebut, para pemimpin Afghanistan, baik tokoh masyarakat maupun pemuka
agama, bertemu dengan perwakilan PBB di Bonn, Jerman, untuk menyusun
pedoman pembentukan pemerintahan baru Afghanistan.71
Para tokoh mewakili
empat faksi dari Afghanistan, yaitu Aliansi Utara, kelompok utara yang mewakili
mantan Raja Afghanistan Mohammad Zahir Shah, kelompok Peshawar yang
71
Larry P. Goodson, “Afghanistan in 2003: The Taliban Resurface and A New Constitution
is Born”, Asian Survey, Vol. XLIV No. 1 (Januari 2004: 14-22), h. 14.
38
mewakili para pengungsi Afghanistan di Pakistan dan kelompok Siprus yang
mewakili sekelompok masyarakat Afghanistan yang berada di pengasingan.72
Persetujuan pertemuan yang dilakukan pada 5 Desember 2001 ini
menghasilkan „Agreement on Provinsional Arrangement in Afghanistan Pending
the Re-establishment to Permanent Government Institution’ yang dikenal sebagai
Bonn Agreement, dengan pemilihan Hamid Karzai sebagai Ketua Pemerintahan
Transisi (interim). Dalam kesepakatannya, pelaksanaan Bonn Agreement
berlangsung selama dua sampai tiga tahun, yang akan diakhiri dengen
pemerintahan resmi dan sah Afghanistan yang dipilih melalui pemilihan umum
demokratis.73
Hamid Karzai terpilih karena dianggap memiliki keahlian politik yang
modern serta mengenal budaya tradisionalnya dengan baik. Selain itu, ia juga
memiliki dukungan kuat dari negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat dan
ditambah dengan dukungan dari spektrum faksi lokal di Afghanistan yang cukup
luas, menjadi nilai tambah bagi Hamid Karzai dalam memenangkan pemilihan
Ketua Pemeritahan Transisi (interim). Dukungan dari spektrum faksi lokal
merupakan faktor terpenting karena identitas etnis dan kesukuannya yang sangat
mendominasi politik Afghanistan. Bahkan, pendukung Taliban, yang sebagian
besar suku Pasthun lebih dapat menerima Hamid Karzai sebagai pemimpin
dibandingkan para pemimpin Aliansi Utara yang berasal dari suku Tajik dan
Uzbek.74
72
Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di
Afghanistan”, h. 58. 73
Ibid., h. 60. 74
Ibid., h. 61.
39
Penandatanganan Bonn Agreement terbukti mendapat reaksi positif di
Afghanistan saat itu. Karena pertama, bagi sebagian masyarakat Afghanistan
skema transisi rezim yang direncanakan merupakan kesempatan yang baik untuk
memulai kehidupan di negara yang sedang berada dalam proses statebuilding.
Kedua, Boon Agreement menghasilkan struktur pemerintahan yang lebih solid
melalui tiga tahap. Otoritas interim yang ditunjuk di Bonn akan digantikan
otoritas transisional yang dipilih Loya Jirga75
darurat. Berikutnya, otoritas
transisional akan memerintah negara sampai pemilihan umum demokratis
berlangsung.76
Selanjutnya adalah karena telah ditetapkannya sebuah konstitusi baru.
Pemerintahan Hamid Karzai berhasil merumuskan sebuah draf konstitusi baru
melalui komisi konstitusi pada November 2003.77
Konstitusi tersebut berisikan
pasal-pasal yang menyangkut nilai-nilai demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
prinsip kesetaraan bagi perempuan Afghanistan. Konstitusi ini pun menjanjikan
modernitas dalam kehidupan masyarakat Afghanistan pasca pemerintahan
Taliban, yang menggabungkan nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Selain
itu, melalui konstitusi baru, diproklamasikan Negara Afghanistan sebagai
Republik Islam Afghanistan.
75
Loya jirga adalah lembaga musyawarah tradisional beranggotakan wakil semua etnis dan
kelompok masyarakat dan dibentuk pada akhir 2003. Dilihat dari artikel Erwin Salim,
“Afghanistan: Gembong Perang di Kursi Parlemen”, artikel ini diakses dari
http://arsip.gatra.com/2005-10-16/majalah/artikel.php?pil=23&id=89053 pada 11 Februari 2017. 76
Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di
Afghanistan”, h. 62. 77
Larry P. Goodson, “Afghanistan in 2003: The Taliban Resurface and A New Constitution
is Born”, h. 20.
40
Pencapaian Afghanistan melalui instansi pemerintahan baru, meskipun baru
berbentuk interim (sementara), dan pembuatan konstitusi baru merupakan indikasi
yang baik bahwa terdapat perubahan yang lebih baik dalam kehidupan tatanegara
di Afghanistan. Selanjutnya tiga tahun setelah dibentuknya pemerintahan
transisional di Afghanistan, sesuai kesepakatan sebelumnya, yakni pada tahun
2004 diselenggarakan pemilihan umum secara demokratis sebagai wujud
terciptanya demokrasi di Afghanistan.
C.2. Pemilihan Umum 2004
Tahun 2004 menjadi momentum terpenting dalam sejarah perpolitikan di
Afghanistan karena untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilihan umum yang
melibatkan masyarakat Afghanistan dalam proses pemilihan presiden.78
Selama
ini Afghanistan dikenal sebagai negara yang berada pada situasi yang kompleks
ketika tahap pergantian kekuasaan berlangsung. Karena selama kurang lebih 60
tahun, negara tersebut mengalami beberapa kali peperangan dengan tujuan saling
merebut kekuasaan.79
Hamid Karzai yang telah terpilih sejak 2001 menjadi Ketua Pemerintahan
Transisi (interim) sekaligus menjadi presiden sementara Afghanistan, tidak
menghentikan langkahnya untuk maju sebagai kandidat Presiden Afghanistan
selanjutnya. Pemerintah Amerika Serikat adalah pihak yang paling mendukung
proses ini dan terus memotivasi Hamid Karzai untuk melanjutkan upayanya
78
Liputan 6, “Afghanistan Bersiap Menggelar Pilpres Pertama”, artikel ini diakses dari
http://m.liputan6.com/global/read/84167/afghanistan-bersiap-menggelar-pilpres-pertama pada 10
Oktober 2016. 79
Umiyati Haris, “Penyelesaian Konflik Afghanistan-Pakistan: Sebuah Pendekatan
Rekonsiliasi”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2016),
h.1
41
merealisasikan rencana tersebut. Hamid Karzai percaya penyelenggaraan
pemilihan presiden secara demokratis akan memberikan legitimasi yang lebih
besar bagi pemerintah Afghanistan, tidak hanya di dalam negeri melainkan juga
secara internasional.
Beberapa permasalahan dalam persiapan penyelenggaraan pemilu seringkali
ditemukan di beberapa negara, terlebih jika hal ini menjadi pertama kalinya bagi
sebuah negara yang baru menerapkan demokrasi. Hal ini juga terjadi di
Afghanistan, jumlah masyarakat yang mendaftar untuk memilih pada awal 2004
sangat rendah, di samping itu terdapat ancaman dari kelompok-kelompok
ekstrimis seperti Taliban dan al-Qaeda terhadap presiden Hamid Karzai.
Permasalahan ini mengakibatkan diundurnya pelaksanaan pemilihan umum yang
seharusnya diselenggarakan pada Juni 2004 menjadi September 2004.80
Untuk menghindari peristiwa yang akan menghambat proses pemilihan
umum, Amerika Serikat yang sejak awal bertanggung jawab terhadap jalannya
demokrasi di Afghanistan, mengupayakan agar hal yang tidak diinginkan terjadi
kembali. Maka dari itu, Amerika Serikat memimpin koalisinya dalam melatih
pasukan kepolisian Afghanistan, memperkuat tentara, serta terus meningkatkan
kewaspadaan keamanan untuk memperlancar pemilihan umum. Sayangnya,
pemilihan umum dianggap tidak dapat dilaksanakan segera. Oleh karena itu,
pemilihan presiden yang dianggap lebih sederhana penyelenggaraannya lebih dulu
diselenggarakan pada 9 Oktober 2004.81
80
Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di
Afghanistan”, h. 78. 81
Ibid.
42
Satu hari menjelang pemilihan umum pertama di Afghanistan, 8 Oktober
2004, banyak pihak meragukan kelancaran dari seluruh prosesnya. Padahal,
keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum demokratis bagi suatu negara di
era transisi menuju demokrasi merupakan salah satu indikator paling penting
untuk mengukur tercapai atau tidaknya demokrasi. Keraguan ini disebabkan
karena mendekati hari pemilihan umum, kelompok Taliban masih mengancam
akan melakukan pemboman di Afghanistan. Selain itu, banyak di antara para
pemilih yang buta huruf dan sama sekali belum pernah mengikuti proses
pemilihan umum sebelumnya juga menjadi faktor penghambat lainnya.82
Banyak dari para ahli dengan mudah dapat memprediksikan bahwa kandidat
presiden yang akan memenangkan pemilihan umum adalah presiden transisional
Afghanistan Hamid Karzai, padahal para pemilih diberikan pilihan 18 orang
kandidat presiden dengan masa jabatan lima tahun. Para kandidat utama antara
lain: Hamid Karzai, Younus Qonuni, Massouda Jalal, Mohammad Mohaqeq,
Abdul Rasyid Dostum, Abdul latif Pedram dan Ahmad Shah Adzmadzai. Apabila
tidak ada seorang pun di antara kandidat memenangkan pemilihan umum secara
mayoritas, maka pemilihan tahap kedua dilakukan pada November 2004 untuk
menentukan pemenangnya.
Pada akhirnya Hamid Karzai memenangkan pemilihan umum 9 Oktober
2004.83
Hasil Survey Asia Foundation mencatat sekitar delapan juta masyarakat
Afghanistan berpartisipasi dalam pemilu, dengan 42 persen di antara para pemilih
82
Ibid., h. 79. 83
BBC News, “Karzai Declared Afghan President”, artikel ini diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/3977677.stm pada 9 Februari 2017.
43
adalah kaum perempuan.84
Pada 31 Oktober 2004, hasil dari pemilihan presiden
sudah dapat diketahui. Hamid Karzai berhasil memenangkan pemilihan tersebut,
dengan mendapatkan 55.37% suara. Selanjutnya Younus Qonuni memperoleh
peringkat kedua dengan perolehan suara sebesar 16.28%85
Tabel III.2. Hasil Perolehan Suara Piplres 2009
Hamid Karzai 4,443,029 55.37%
Younus Qonuni 1,306,503 16.28%
Mohammad Mohaqeq 935,325 11.66%
Abdul Rasyid Dostum 804,861 10.03%
Abdul latif Pedram 110,160 1.37%
Massouda Jalal 191,415 1.14%
Ahmad Shah Adzmadzai 60,199 0.75%
Sumber: http://www.globalsecurity.org/military/world/afghanistan/politics-2004.htm
Sebelumnya sempat diperkirakan akan terjadi kekacauan selama pemilihan
umum berlangsung, akan tetapi pelaksanaan pemilu berlangsung mulus di luar
perkiraan banyak orang. Ketika beberapa kandidat dari oposisi sempat
mempermasalahkan mengenai kecurangan pemungutan suara, namun kemudian
pada akhirnya kontroversi tersebut berangsung-angsur hilang. Kelegaan berlanjut
84
The Asia Foundation, Voter Education Planning Survey: Afghanistan 2004 National
Elections, (Afghanistan: U.S Agency for International Development), h. 20. 85
Global Security, “Afghanistan: President Election”, artikel ini diakses dari
http://www.globalsecurity.org/military/world/afghanistan/politics-2004.htm pada 9 Februari 2017.
44
ketika Hamid Karzai dilantik sebagai Presiden Afghanistan pada 7 Desember
2004.86
C.3. Pemilihan Umum 2009
Tidak sedikit pakar yang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan
berlangsung lama di Afghanistan, dengan asumsi bahwa masyarakat Afghanistan
masih belum siap. Namun, kenyataannya pemilihan umum 2009 kembali
diselenggarakan dan masyarakat Afghanistan masih menyambutnya sebagai
bentuk kepedulian mereka dalam membangun Negara Afghanistan yang lebih
maju dan progresif. Dalam hal ini, mereka percaya bahwa cara terbaik untuk
melakukannya adalah dengan melalui demokrasi.
Terdapat beberapa nama yang menjadi calon kandidat resmi Presiden
Afghanistan selanjutnya adalah Hamid Karzai, Abdullah Abdullah, Ramazan
Bashardost, Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai dan 28 kandidat lainnya. Hamid
Karzai yang terpilih sebagai Presiden Afghanistan sejak 2004, menurut beberapa
pihak masih memiliki peluang yang cukup besar dalam pemilu Presiden
Afghanistan akan datang, bahkan Hamid Karzai diprediksikan akan
memenangkan pemilihan presiden tahun 2009 mengalahkan beberapa kandidat
lainnya. Sedangkan sebagian dari masyarakat Afghanistan beranggapan bahwa
Hamid Karzai tidak layak untuk dipilih lagi sebagai presiden, oleh karena itu
mereka tidak akan memberikan suaranya kepada Hamid Karzai.87
86
BBC News, “Karzai Declared Afghan President”. 87
Breaking World News, “Karzai Masih Punya Peluang dalam Pemilu Presiden
Afghanistan”, artikel ini diakses dari http://www.dw.com/id/karzai-masih-punya-peluang-dalam-
pemilu-presiden-afghanistan/a-4442191 pada 11 Februari 2017.
45
Abdullah Abdullah yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri
merupakan saingan terkuat dari Hamid Karzai, diikuti oleh Ramadan Bashardost
yang saat itu menjabat sebagai anggota parlemen Afghanistan dan sekaligus
mantan menteri perencanan, kemudian selanjutnya adalah Mohammad Ashraf
Ghani yang merupakan Menteri Keuangan Afghanistan dan dulunya pernah
menjadi staf Bank Dunia. Mereka secara serentak mengutarakan akan membentuk
pemerintahan yang baik dan bersih jika terpilih menjadi presiden selanjutnya.88
Hal ini dikarenakan selama Hamid Karzai menjabat sebagai Presiden
Afghanistan, banyak dari masyarakat Afghanistan yang mengkritik korupsi yang
merajalela. Mereka menganggap bahwa Hamid Karzai yang paling bertanggung
jawab atas meluasnya korupsi. Selain itu, tingkat kriminalitas dan pengangguran
juga semakin tinggi. Banyak pula dari beberapa pihak yang meragukan pemilu
tahun 2009 ini akan berlangsung dengan adil dan transparan.89
Berdasarkan konstitusi di Afghanistan tahun 2004, pemilihan umum harus
sudah diselenggarakan 60 hari sebelum masa akhir jabatan presiden Hamid Karzai
pada bulan Juli 2009. The Independent Election Commission (IEC) awalnya
merekomendasikan bahwa pemilihan umum presiden diadakan pada saat yang
sama dengan pemungutan suara parlemen tahun 2010 guna untuk menghemat
biaya. Namun, beberapa pihak tidak bisa menyetujui saran tersebut. Kekhawatiran
tentang aksesibilitas ke daerah pegunungan di musim semi 2009 membuat
88
Kompas, “Dari Yang Nyentrik Hingga Yang Dicap Antek”, artikel ini diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2009/08/18/0700573/dari.yang.nyentrik.hingga.yang.dicap.antek
pada 11 Februari 2017. 89
Breaking World News, “Karzai Masih Punya Peluang dalam Pemilu Presiden
Afghanistan”.
46
pemimpin dari IEC mengumumkan pemilihan umum akan ditunda sampai dengan
bulan Agustus 2009.90
Sekitar 17 juta masyarakat Afghanistan berhak memberikan suaranya untuk
menentukan presiden baru dan parlemen regional yang diselenggarakan pada 20
Agustus 2009. Namun, tingkat partisipasi masyarakat Afghanistan saat itu
menurun jika dibandingkan dengan pemilihan umum 2004. Hal ini dipicu oleh
aksi teror kelompok Taliban yang diduga telah menurunkan minat pemilih di
Afghanistan. Terdapat 315 TPS yang terpaksa harus ditutup karena alasan
keamanan. Meskipun begitu, lebih dari 6500 TPS di Afghanistan dibuka kembali
pada keesokan harinya.91
Sejumlah pengamat menilai bahwa pada pemilu pertama di Afghanistan
lima tahun lalu, antrian-antrian pemilu jauh lebih panjang. Namun kini pun tidak
sedikit penduduk Afghanistan, khususnya penduduk Kabul yang berani
menentang intimidasi kelompok Taliban. Pakar politik Haroun Mir justru menilai,
masalahnya tidak terletak pada teror Taliban, melainkan pada tidak dipenuhinya
janji-janji Presiden Hamid Karzai yang diutarakan pada tahun 2004 yang pada
akhirnya menghilangkan kepercayaan masyarakat Afghanistan pada demokrasi.92
Hamid Karzai dinyatakan sebagai Presiden Afghanistan setelah melewati
berbagai persoalan mengenai isu kecurangannya dalam pemilihan umum presiden
90
Breaking World News, “Dunia Sambut Pemilu di Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://www.dw.com/id/dunia-sambut-pemilu-di-afghanistan/a-4589128 pada 11 Februari 2017. 91
Breaking World News, “Afghanistan Telah Memilih”, artikel ini diakses dari
http://www.dw.com/id/afghanistan-telah-memilih/a-4587954 pada 11 Februari 2017. 92
Breaking World News, “Afghanistan Telah Memilih”.
47
saat itu.93
Pengumuman ini dikeluarkan sehari setelah satu-satunya penantang
Karzai, yakni Abdullah Abdullah menarik diri dari pemilihan. Sebelumnya,
Abdullah Abdullah menuntut agar segera dilaksanakan pemilihan umum putaran
kedua karena dinilai terjadi kecurangan dalam pelaksanaannya. Hamid Karzai
resmi sebagai pemenang dengan memperoleh suara sebanyak 55% dan kemudian
disusul oleh Abdullah Abdullah sebanyak 28%.94
93
Hidayatullah, “Karzai Terpilih Lagi Menjadi Presiden Afghanistan”, artikel ini diakses
dari https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2009/11/03/42721/karzai-terpilih-lagi-
menjadi-presiden-afghanistan.html pada 11 Februari 2017. 94
Breaking World News, “Jelang Pemilu Penentuan, Abdullah Keluarkan Tuntutan”,
artikel ini diakses dari http://www.dw.com/id/jelang-pemilu-penentuan-abdullah-keluarkan-
tuntutan/a-4835904 pada 11 Februari 2017.
48
BAB IV
MOHAMMAD ASHRAF GHANI DAN AGENDA KONSOLIDASI
DEMOKRASI
A. Pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional pada Pemilu 2014
Setelah menyelenggarakan 2 kali pemilihan umum secara berkala, yaitu
pada 2004 dan 2009, Afghanistan kemudian melaksanakan pemilihan umum
ketiga pada 2014. Pemilihan ini diharapkan akan mengantarkan Afghanistan
menuju proses demokratisasi selanjutnya, yakni konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi bertujuan untuk membangun rezim demokratis yang kuat
dan melembaga setelah runtuhnya rezim otoriter.
Pemilihan Umum 2014 sebagai pemilu ke tiga setelah jatuhnya rezim
Taliban memang menjadi harapan terbesar bagi masyarakat Afghanistan untuk
menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan
seluruh kepentingan masyarakat, sehingga wajar apabila semua pihak menaruh
harapan bahwa pemilu 2014 ini akan jauh lebih mapan dan lebih baik
dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Terbukti, tingkat partisipasi pemilih
Afghanistan cukup menggembirakan. Masyarakat terlihat mulai merespons positif
akan perlunya berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.95
Lebih dari 60% dari sekitar 13.5 juta penduduk Afghanistan yang memiliki
hak pilih menggunakan hak politik mereka dalam pemilu 5 April 2014. Menurut
Sekretaris Pemilu, Zia-ur-Rahman, partisipasi pemilih tersebut melampaui
95
Metro Tv News, “Pemilu Afghanistan Banjir Pujian”, artikel ini diakses dari
http://m.metrotvnews.com/read/2014/04/06/227179/pemilu-afghanistan-banjir-pujian pada 28
Februari 2017.
49
harapan. Delapan calon presiden yang bertarung untuk menggantikan Hamid
Karzai pun tampak arif, tidak mengumbar pernyataan yang bisa memanas-manasi
situasi politik keamanan.96
Adapun ke-8 di antaranya adalah Abdullah Abdullah,
Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai, Zalami Rassould, Abdul Rasoul Sayyaf,
Qutbuddin Hilal, Hidayat Amin Arsala, Mohammad Daoud Sultanzai dan Gul
Agha Sherzai.97
Namun, jika dilihat dari sepak terjang dan kredibilitas calon, hanya ada dua
tokoh yang paling berpengaruh di Afghanistan dan menonjol secara internasional.
Kedua calon terkuat kandidat adalah mantan Menteri Luar Negeri, Abdullah
Abdullah dan mantan Ahli Ekonomi World Bank sekaligus mantan Menteri
Keuangan, Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai. Sosok Abdullah Abdullah
dipandang sebagai calon yang relatif liberal dan sangat menjunjung tinggi hak-hak
perempuan, sedangkan Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai dikenal sebagai
sosok yang tidak sabar, berapi-api tetapi juga menjadi sangat detail.
Hasil sementara pemilihan Presiden Afghanistan pada 5 April 2014
menunjukkan suara Abdullah Abdullah mengungguli Mohammad Ashraf Ghani
dengan memperoleh suara sebesar 45%, sementara Mohammad Ashraf Ghani dari
Partai Independen memperoleh 31.56% suara. Kemudian Zalmai Rassoul berada
pada peringkat ketiga dengan memperoleh 11.37%, disusul oleh Abdul Rasul
Sayyaf dengan 7.04%, Qutbuddin Hilal yaitu 2.75%, Gul Agha Sherzai dengan
96
Suara Merdeka, “Menyemaikan Damai di Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/04/14/258670/Menyemaikan-Damai-
di-Afghanistan pada 28 Februari 2017. 97
Berita Daerah, “Para Calon Presiden Afghanistan Ikut Debat Pemilu Presiden”, artikel ini
diakses dari http://beritadaerah.co.id/2014/02/06/para-calon-presiden-afghanistan-ikuti-debat-
pemilu-presiden/ pada 18 Februari 2017.
50
1.57%, Mohammad Daoud Sultanzan dengan 0,46% dan Hidayat Amin Arsala
dengan 0.23%.
Tabel IV.1. Hasil Perolehan Suara Pemilu 2014 Putaran Pertama
Calon Kandidat Partai Suara Persen (%)
Abdullah Abdullah Independen 2.084.547 45%
Mohammad Ashraf Ghani Koalisi Afghanistan 2.972.141 31.56%
Zalmai Rassoul Independen 750.997 11.37%
Abdul Rasul Sayyaf Dakwah Islam 465.207 7.04%
Qutbuddin Hilal Independen 181.827 2.75%
Gul Agha Sherzai Independen 103.636 1.57%
Mohammad Daoud
Sultanzan
Independen 30.685 0.46%
Hidayat Amin Arsala Independen 15.506 0.23%
Sumber: http://www.fpri.org/2014/06/afghan-presidential-election-second-round-opinion-
survey-findings/
Hasil perolehan suara pemilu presiden 2014 pada putaran pertama di atas
menunjukkan bahwa partai politik di Afghanistan tidak memiliki pengaruh yang
kuat dalam memenangkan kontestasi politik di Afghanistan dewasa ini. Terlihat
dari mayoritas calon kandidat yang berasal dari non-partai (independen) justru
memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat Afghanistan.
Kurangnya persaingan di antara partai politik di setiap penyelenggaraan
pemilu di Afghanistan mengindikasikan bahwa partai politik tidak mempunyai
daya tarik bagi masyarakat Afghanistan. Dalam hal ini, akses perorangan untuk
51
dapat dipilih sebagai presiden tanpa melalui jalur partai politik merupakan titik
balik dari keadaan selama ini di mana masyarakat hanya dinilai memilih partai
bukan individu beserta program-program yang ditawarkan.
Perubahan ini disebabkan oleh cara pandang mereka melihat partai politik
yang mana selalu identik dengan pemerintahan komunis di masa lalu. Selain itu,
terdapat kekhawatiran bagi masyarakat Afghanistan bahwa partai politik
merupakan organisasi yang memiliki kemungkinan untuk memecah belah suatu
etnis.98
Akan tetapi, saat ini perkembangan partai politik mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, meskipun kenyataannya partai
politik di Afghanistan belum mampu berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Mohammad Salim, yakni:99
“Yet little research to date has focused on how Afghan parties generally are
evolving, but Afghanistan still needs political movements tied to ideas and
governing principles rather than ethnicity or individuals. To be sure,
Afghans should choose how to organize, who to lead parties, what reviews
their platform should be, and so forth.”
Artinya, tidak sedikit penelitian yang mengungkapkan bahwa partai politik
di Afghanistan mengalami kemajuan, namun Afghanistan masih membutuhkan
aksi politik yang mampu mengesampingkan antara kepentingan politik dan etnis.
Seperti yang juga dibenarkan oleh Hamidullah Husaini, bahwa masyarakat
Afghanistan pada umumnya masih dibatasi oleh permasalahan etnisitas. Hal ini
dikarenakan Afghanistan merupakan negara tradisional, yang mana agama
memiliki peranan penting.100
98
Sarah Chayes, The Punishment of Virtue: Inside Afghanistan After the Taliban, (New
York: Penguin Books, 2006), h. 168-170. 99
Hasil Wawancara dengan Mohammad Salim pada 13 Maret 2017. 100
Hasil Wawancara dengan S. Hamidullah Husaini pada 20 Februari 2017.
52
Larry Diamond berpandangan bahwa salah satu indikator utama menuju
demokrasi terkonsolidasi diperlukan kelembagaan partai politik sebagai esensi
demokrasi.101
Pandangan ini sejalan dengan Richard S. Katz yang berpendapat
tentang posisi partai politik sebagai institusi paling esensial dan inti dari
pemerintahan demokrasi.102
Kualitas demokrasi sesungguhnya bergantung pada
kualitas partai, keberlangsungan fungsi-fungsi partai akan menentukan wajah
demokrasi. Buruk wajah partai, buruk pula kualitas demokrasi, sebaliknya baik
wajah partai baik pula kinerja demokrasi.
Selain itu, menurut Saiful Mujani, agar demokrasi terkonsolidasikan, warga
negara diharapkan menjadi seorang yang setia, yakni yang tertarik pada politik
dan percaya pada institusi politik. Kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap
partai politik akan menyebabkan demokrasi juga melemah, dari sini partai politik
harus memainkan peranan-peranan dan fungsi-fungsinya yang strategis.103
Sementara itu, pandangan yang berbeda disampaikan Frans Beker dan Rene
Cuperus, menurutnya meluasnya konsolidasi demokrasi tidak senantiasa berjalan
secara linier dengan menguatnya peran partai politik sebagai lembaga intermediasi
kepentingan antara rakyat dan pemerintah. Karena melihat realita yang ada di
sejumlah negara, partai politik bahkan mulai digantikan perannya oleh organisasi-
101
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 221-222. 102
Richard S. Katz, Democracy and Elections, (New York: Oxford University Press, 1997),
h. 144. 103
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 323.
53
organisasi mediasi yang menjadikan dirinya sebagai perantara opini antara
masyarakat dan negara.104
Selanjutnya pemilihan umum presiden putaran kedua diselenggarakan pada
14 Juni 2014. Para pemilih akan menentukan Presiden Afghanistan antara
Abdullah Abdullah dan Mohammad Ashraf Ghani. Ketua Komisi Independen
Pemilu Afghanistan (KIP), Muhammad Yusuf Nuristani mengkonfirmasikan telah
melakukan sosialisasi pemilu di berbagai wilayah, khususnya di kawasan terpencil
Afghanistan. Mengingat banyak pihak telah memprediksikan tingkat partisipasi
masyarakat Afghanistan akan menurun pada pemilu putaran kedua, dikarenakan
pelaksanaan pilpres pada putaran kedua akan bersamaan dengan pemilu anggota
dewan provinsi yang diperkirakan dapat mempengaruhi jumlah suara.105
Selain itu, terdapat masalah lain yang juga menjadi bahan pertimbangan
sejumlah kelompok politik pada pelaksanaan pilpres putaran kedua, yaitu masalah
keamanan, sikap Taliban dan kemampuan pemerintah Kabul dalam menggelar
pemilu. Hamid Karzai, di akhir masa jabatannya saat itu berencana akan
menunjukkan rapor kerja yang baik dalam menyukseskan pelaksanaan pilpres
tanpa campur tangan pihak asing. Atas dasar hal itu, Hamid Karzai mendorong
para kandidat pilpres pada putaran pertama untuk menentukan wakil mereka dari
berbagai kelompok, partai dan etnis, serta membantu meningkatkan antusasis
masyarakat Afghanistan dalam berpartisipasi pada pemilu.
Meskipun dibayang-bayangi oleh teror kelompok Taliban yang mengancam
akan mensabotase proses pemilihan umum presiden 2014, pemilihan umum tetap
104
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik
Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 2-3. 105
Iran Indonesian Radio, “Afghanistan Menjelang Piplres”.
54
diselenggarakan. Ancaman ini rupanya tidak mempengaruhi mindset masyarakat
Afghanistan. Mereka ingin dilibatkan dalam menentukan masa depan Negara
Afghanistan. Mereka yakin bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan
keluar untuk menjauhkan Afghanistan dari konflik yang berkepanjangan, dan
partisipasi politik merupakan solusi untuk kehidupan berpolitik di Afghanistan,
bukan kekerasan ataupun terorisme.
Situasi tersebut menunjukkan keyakinan masyarakat Afghanistan terhadap
penyelenggaraan demokrasi di negara mereka. Dalam konteks inilah konsolidasi
demokrasi mampu terlaksana, mengingat esensi dari konsolidasi demokrasi adalah
legitimasi; pertumbuhan keyakinan di antara para elit dan warga negara dari partai
politik, kepentingan, etnisitas dan ideologi, bahwa demokrasi adalah bentuk
pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan yang disediakan di dalamnya
merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan.106
Hal serupa disampaikan oleh Juan J. Linz, menurutnya demokrasi menjadi
“the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan
demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi
yang sangat buruk sekalipun.107
Semakin tinggi keyakinan semua pihak bahwa
demokrasi adalah satu-satunya jembatan untuk menggapai kesejahteraan, semakin
terkonsolidasi demokrasi suatu negara. Sebaliknya, demokrasi berada dalam
ancaman ketika semakin banyak aktor yang luntur kepercayaannya terhadap
demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain yang berlawanan dengan arus
demokratisasi.
106
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 23. 107
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and
Consolidation, h. 27.
55
Menurut Hamidullah Husaini, pemuda yang berpendidikan di Afghanistan
memiliki pandangan yang hampir sama mengenai demokrasi. Ia menilai bahwa
setiap negara yang beragam seperti Afghanistan tidak memiliki pilihan lain selain
demokrasi, dan demokrasi yang dimaksudkan di sini adalah demokrasi yang ikut
serta dalam setiap penyelenggaran pemilihan umum, persamaan derajat khususnya
bagi kaum minoritas. Menurutnya, semuanya tergantung pada perspektif masing
masing, apabila demokrasi mampu bekerja dengan baik, masyarakat tentu akan
memilihnya.108
Dalam hal ini, terdapat tiga asumsi yang dijadikan dasar pegangan
keyakinan sehingga demokrasi memiliki citra yang positif. Pertama, demokrasi
tidak saja merupakan bentuk terbaik pemerintahan, tetapi juga merupakan suatu
doktrin politik yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua,
demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan, dianggap mempunyai akar
kesejarahan yang amat panjang, sehingga telah teruji sebagai suatu sistem yang
stabil dan baik dalam suatu negara. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai suatu
sistem yang paling alami dan manusiawi, sehingga semua rakyat di negara
manapun akan memilih demokrasi, bila mereka diberi kebebasan untuk
menentukan pilihannya.109
Hasil pemilihan umum presiden 2014 pada putaran kedua telah menggeser
perolehan suara yang diperoleh Abdullah Abdullah pada pemilu putaran pertama.
Komisi Independen Pemilu (KIP) mengumumkan bahwa Mohammad Ashraf
Ghani terpilih sebagai pemenang pemilu Presiden Afghanistan dengan berhasil
108
Hasil Wawancara dengan S. Hamidullah Husaini. 109
H.A. Chozin Chumaidy, Etika Politik dan Esensi Demokrasi: Jejak Pemikiran
Demokratisasi Politik Indonesia, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), h. 10-11.
56
meraih 55.27 % suara. Namun, Komisi Independen Pemilu (KIP) tidak
mengumumkan perolehan suara yang diperoleh oleh Abdullah Abdullah. Hal ini
sengaja dilakukan oleh pihak Komisi Independen Pemilu (KIP) untuk
menghindari kebencian di antara pendukung Abdullah.110
Tentu hal tersebut menimbulkan tanda tanya bagi pihak pendukung
Abdullah Abdullah. Tidak adanya transparansi dalam pemberitahuan hasil
perolehan suara oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) menjadi perdebatan yang
panjang. Perselisihan mengenai pemilu yang bertujuan mengganti presiden Hamid
Karzai telah membuat situasi politik Afghanistan menjadi tidak stabil. Baik
Mohammad Ashraf Ghani maupun Abdullah Abdullah mengklaim menang dalam
pemilihan umum presiden 2014.
Pemberitahuan hasil pemilu merupakan mandat dari komisi pemilu, yang
mana Komisi Independen Pemilu (KIP) idealnya menyebutkan hasil akhir dari
penyelenggaraan pemilu, yakni pemenang pemilu, perolehan suara yang diperoleh
setiap kandidat, serta partai yang unggul, sesuai dengan waktu yang telah
disepakati. Hal ini akan membantu untuk meningkatkan kepercayaan terhadap
proses pemilu, menghindari persoalan yang akan memunculkan kecurigaan bahwa
hasil pemilu dimanipulasi, serta sebagai jaminan terhadap integritas dan
transparansi dari lembaga penyelenggaraan pemilu di Afghanistan, yakni Komisi
Independen Pemilu (KIP).
Dalam suatu negara demokrasi, peranan lembaga penyelenggara pemilu
merupakan salah satu persyaratan penting untuk mencapai pemilu yang
110
Viva, “KPU Umumkan Mohammad Ashraf Ghani Pemenang Pilpres”, artikel ini diakses
dari http://www.viva.co.id/prancis2016/read/542425-kpu-afghanistan-umumkan-ashraf-ghani-
pemenang-pilpres pada 3 Maret 2017.
57
demokratis.111
Maka dari itu, efektif atau tidaknya fungsi-fungsi kelembagaan
negara, salah satunya lembaga penyelenggara pemilu, sangat menentukan kualitas
sistem mekanisme demokrasi yang dikembangkan oleh suatu negara. Seluruhnya
sangat bergantung pada kemampuan Independen Pemilu (KIP) untuk dapat
beroperasi secara transparan, sehingga mampu meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap badan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemilu.
Dalam hal ini, jika ada kesan bahwa badan tersebut tidak kompeten, tidak
netral secara politik, tidak memiliki sumber daya yang cukup, korup, tidak mampu
melawan aktor-aktor kuat yang berusaha untuk menggagalkan pemilu, atau tidak
dapat menjalankan pemilu dengan cara yang menjamin bahwa pemilu tersebut
bebas dan adil, maka hal ini akan secara signifikan melemahkan kepercayaan
publik terhadap demokrasi.112
Namun, persoalan mengenai hasil pemilu 2014 tidak berlangsung lama.
Kesepakatan pembagian kekuasaan atau pembentukan Persatuan Nasional (Unity
Goverment) dipandang sebagai jalan terbaik bagi penyelesaiaan sengketa pemilu
di Afghanistan. Hal ini merupakan usulan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
menghindari kembalinya perpecahan etnis di Afghanistan, seperti perang saudara
pada tahun 1990-an.113
111
Lusy Liani, “Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu”, Jurnal Cita
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Vol. 4 No. 1 (2016: 51-72), h. 52. 112
Veri Junaidi, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Pemilu,
(Jakarta: Perludem, 2013), h. 3. 113
Pertentangan terhadap hasil akhir pemilu dapat memecah masyarakat Afghanistan
karena banyak pendukung Mohammad Ashraf Ghani merupakan etnis Pashtun yang berada di
wilayah selatan dan timur, sementara pendukung Abdullah adalah etnis Tajikistan dan sejumlah
etnis lainnya tinggal di wilayah Afghanistan Utara. Dilihat dari New York Times, “Afghan
Presidential Rivals Finally Agree On Power-Sharing Deal”, artikel ini diakses dari
https://www.nytimes.com/2014/09/21/world/asia/afghan-presidential-election.html?_r=0 pada 3
Maret 2017.
58
Masyarakat Afghanistan tentu saja berharap pengumuman hasil pemilu oleh
Komisi Independen Pemilu (KIP) akan menghasilkan seorang kandidat sebagai
presiden baru Negara Afghanistan. Namun, setelah dicapainya kesepakatan politik
di antara dua kandidat, Komisi Independen Pemilu (KIP) Afghanistan akhirnya
menetapkan Mohammad Ashraf Ghani sebagai presiden terpilih, Abdullah
Abdullah juga sebagai Ketua Dewan Eksekutif yang setara dengan Perdana
Menteri, Abdul Rashid Dostum sebagai Wakil Presiden Pertama, serta Sarwar
Danish sebagi Wakil Presiden Kedua.
Meskipun demikian, sejumlah partai politik dan media di Afghanistan
menganggap bahwa kesepakatan di antara dua calon presiden sebagai hasil pemilu
dan merupakan pergantian kekuasaan secara demokratis. Karena pada tahap
pertama pemilu Presiden Afghanistan, terdapat delapan kandidat yang bersaing,
yang mana Abdullah Abdullah dengan mengantongi 50 persen suara bersama
Mohammad Ashraf Ghani melangkah ke babak kedua pemilu.114
Selama proses pemilihan umum tersebut, telah mengarahkan pesta
demokrasi Afghanistan dari nuansa sukuisme menuju nasionalisme. Dampak dari
terobosan itu, sekitar 70 persen dari pemilik hak suara antusias mendatangi
tempat-tempat pemungutan suara meskipun menerima ancaman dari Taliban.115
Dalam hal ini, mereka memiliki pemahaman yang sama guna untuk membangun
demokrasi yang lebih stabil di Afghanistan.
Pengumuman hasil pilpres Afghanistan menunjukkan bahwa partai-partai
politik dan masyarakat adat di Negara Afghanistan sudah sampai pada kesimpulan
114
Iran Indonesian Radio, “Jalan Terjal Afghanistan Menuju Demokrasi”. 115
BBC News, “Afghan Presidential Contenders Sign Unity Deal”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-asia-29299088 pada 3 Maret 2017.
59
bahwa kepentingan nasional tidak boleh dikorbankan untuk hal-hal yang berbau
kesukuan. Oleh sebab itu, pelaksanaan penuh kesepakatan politik Mohammad
Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah dapat menjadi pengalaman berharga bagi
masyarakat multi-etnis Afghanistan agar dapat membangun kerjasama yang baik
demi kepentingan nasional mereka. Hal ini merupakan sebuah pencapaian bagi
Afghanistan setelah 17 tahun berdemokrasi.
Di sisi lain, menurut Patrice Lumumba, Afghanistan masih harus belajar
dari negara-negara dengan sistem demokrasi yang sudah mapan, seperti misalnya
Amerika Serikat. Ia masih harus belajar bagaimana menjaga keamanan di negara
sendiri dengan mengurusi masalah Taliban, terlepas ia sudah menuntaskan transisi
menuju demokrasi dengan melakukan 3 kali pemilu.116
Juan J. Linz dan Alfred Stepan mengatakan bahwa demokratisasi yang baru
seumur jagung ketika dikelola dengan baik pasti akan berujung pada konsolidasi
demokrasi. Tetapi ketika prosesnya tidak berjalan dengan baik, yang terjadi
adalah rekonsolidasi otoritarianisme. Konsolidasi demokrasi ditandai dengan
kacakapan aktor memikul mandat, kepatuhan pemimpin aktor terhadap konsensus
politik, kontrol kekuasaan berjalan, hukum ditegakkan, praktik korupsi ditekan
dan sejumlah kriteria positif lainnya.117
Pada tahap konsolidasi demokrasi, rakyat berdaulat dan aktor menjadi lebih
bersih. Dengan sendirinya politik akan perlahan bersih dari praktik-praktik busuk.
Larry Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation,
menjelaskan bahwa konsolidasi demokrasi itu adalah persoalan bagaimana
116
Hasil Wawancara dengan Patrice Lumumba pada 2 Maret 2017. 117
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and
Consolidation, h. 18.
60
merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.118
Hal ini tentu akan tercapai apabila
pemimpin mampu mendesain sebuah struktur politik yang dibangun untuk
menyejahterakan rakyat dan bebas kepentingan. Seperti yang mencoba diterapkan
oleh Mohammad Ashraf Ghani di Afghanistan, melalui kebijakan-kebijakannya.
B. Kebijakan Pemerintahan Mohammad Ashraf Ghani
Mohammad Ashraf Ghani sejak tahun 2014 terpilih sebagai Presiden
Afghanistan, bersama dengan Abdullah Abdullah yang juga ditetapkan sebagai
Ketua Dewan Eksekutif, menjalankan sebuah pemerintahan yang dikenal dengan
istilah Persatuan Nasional. Pemerintahan Persatuan Nasional (National Unity
Government) yang diketuai oleh Ashraf Ghani telah bertekad untuk membangun
pemerintahan demokratis, bersih, dan memberikan jaminan perubahan sosial bagi
masyarakat Afghanistan. Ashraf Ghani dipercaya mampu mewujudkan banyak
perubahan di Afghanistan melalui kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan,
terhitung sejak tahun 2014, saat dia mulai menjabat sampai dengan tahun 2016.
B.1 Kebijakan Memberantas Korupsi
Pada saat Mohammad Ashraf Ghani terpilih sebagai presiden, Afghanistan
belum sepenuhnya terbebas dari krisis ekonomi. Korupsi yang semakin merajalela
menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Ashraf
Ghani. Sebelumnya pada saat Hamid Karzai menjabat, Afghanistan telah
menduduki peringkat kedua dari bawah dalam daftar negara paling korup di
118
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 124.
61
dunia. Pemeringkatan tersebut berdasarkan hasil survei dengan para pengusaha
dan pakar sebagai respondennya.119
Hal tersebut tidak lantas menurunkan motivasi Hamid Karzai dalam
menyelesaikan permasalahan korupsi di Afghanistan. Selain lima lembaga
penegak hukum adat, Hamid Karzai juga mendirikan lima lembaga anti-korupsi
untuk mengatasi permasalahan korupsi yang sudah terlanjut menjalar di berbagai
instutusi pemerintahan. Namun, hal ini tidak berhasil bertahan lama karena
kurangnya kemauan dari stakeholder untuk membantu hal tersebut terwujud,
ditambah dengan struktur kelembagaan yang belum kokoh membuat lembaga
yang telah dibangun tersebut tidak mampu berfungsi sedemikian rupa.
Ketidakmampuan Hamid Karzai untuk memerangi korupsi, nepotisme dan
penyuapan selama dia menjabat, ditakutkan berimbas pada meningkatnya
dukungan terhadap gerakan Taliban di Afghanistan. Tentu hal itu, tidak terjadi
apabila pemerintahan Ashraf Ghani mampu mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut secara tegas. Robin Hodess, Direktur Kebijakan dan
Penelitian Transparency International, mengatakan bahwa salah satu persyaratan
penting bagi sebuah negara untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi adalah
keyakinan para penduduk bahwa mereka memiliki pemerintah yang benar-benar
bekerja untuk melayani mereka.120
Sejak terpilihnya Ashraf Ghani sebagai presiden, Masyarakat Afghanistan
memiliki harapan yang besar terhadap komitmen Ashraf Ghani dalam
119
The American Prospect, “Hamid Karzai and The Afghan Disaster”, artikel ini diakses
dari http://prospect.org/article/qa-hamid-karzai-and-%E2%80%9Cafghan-disaster%E2%80%9D
pada 13 Maret 2017. 120
Inter Press Service, “Corruption: Few See a Clean Way Out”, artikel ini diakses dari
http://www.ipsnews.net/2004/12/corruption-few-see-a-clean-way-out/ pada 13 Maret 2017.
62
memberantas korupsi. Hal ini selaras dengan pengakuan dari Ashraf Ghani ketika
diwawancari di salah satu media di Afghanistan, yakni:121
“I fought corruption when i was minister for three years. I left government
because i felt that my agenda of anti-corruption would not have elite
consensus. As president, i will have that consensus. People have voted for
me on anti-corruption agenda and i promise them a clean government. We
will harness Afghan money. Private sector money has not been harnessed
due to corruption and lack of security. Afghan bussinessmen have been
kidnapped in a very organized manner and they are spending million of
dollars on their personal security. We are going to establish a single office
where all public land is concentrated in that office. A law will be made
where all the land is distributed in a legal manner to create jobs. I
personally see to it.”
Tidak butuh waktu banyak bagi Mohammad Ashraf Ghani untuk
merealisasikan hal tersebut agar segera terwujud. Ia yang tergabung dalam
Pemerintahan Persatuan Nasional (National Unity Government), bersama dengan
Abdullah Abdullah, telah membuat beberapa kemajuan dalam hal penanganan dan
pencegahan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari: Pertama, adanya komitmen
transparan (Transparency commitments) Mohammad Ashraf Ghani dalam sebuah
pertemuan London Conference yang diadakan pada 3-4 Desember 2014. Dalam
konferensi tersebut, Ashraf Ghani memperkenalkan reform paper yang berjudul
“Mewujudkan Kemandirian- Komitmen Reformasi dan Kemitraan
Pembaruan”.122
Substansi dari reform paper yang telah diketik sebanyak 19 halaman,
menjelaskan tekad dan keinginan Mohammad Ashraf Ghani beserta Abdullah
Abdullah untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi di Afghanistan, dengan
121
The Diplomat, “Interview: Ashraf Ghani”, artikel ini diakses dari
http://thediplomat.com/2014/10/interview-ashraf-ghani/ pada 3 April 2017. 122
Christine Roehrs, “Return of The Goodwill? London Conference As Symbol for A New
Start”, artikel ini diakses dari https://www.afghanistan-analysts.org/return-of-the-good-will-
london-conference-as-symbol-for-a-new-start/ pada 20 Maret 2017.
63
pemberantasan korupsi sebagai fokus utama. Sekitar 10 halaman dipaparkan
mengenai rincian apa saja yang akan dilakukan dalam mereformasi ekonomi di
Afghanistan, seperti membentuk lembaga anti-korupsi yang independen dan
membangun reformasi Badan Pemeriksa Keuangan. Konferensi ini dihadiri oleh
perwakilan dari 50 negara dan 24 organisasi internasional.123
Selanjutnya, Kedua, pembentukan pengawasan eksternal melalui Komisi
Pengadaan Nasional (National Procurement Commission) dan Otoritas Pengadaan
Nasional (National Procurement Authority). Mohammad Ashraf Ghani
membentuk Otoritas Pengadaan Nasional (National Procurement Authority) dan
Komisi Pengadaan Nasional (National Procurement Commission) sebagai bagian
dari agenda reformasi di Afghanistan dalam rangka memberikan pelayanan yang
lebih baik melalui sistem pengadaan yang efektif, efisien dan transparan.
Otoritas Pengadaan Nasional (National Procurement Authority) bertugas
untuk meninjau ulang kebijakan atau kesepakatan yang telah dibuat oleh
pemerintah dalam hal pelayanan publik, serta mengawasi jalannya kebijakan
tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pengadaan publik dengan
memasukkan kerangka prosedur kebijakan yang taat hukum. Mengingat, pada
sektor pelayanan publik, selama ini pemerintah Afghanistan dianggap lemah dan
tidak transparan.
Selain itu, guna untuk mempermudah koordinasi langsung oleh presiden,
maka Ketua Komisi Pengadaan Nasional (National Procurement Commission)
adalah Presiden Afghanistan, yakni Mohammad Ashraf Ghani. Selanjutnya
123
Tolo News, “Afghanistan President Ghani Attends London Anti-Corruption Summit”,
artikel ini diakses dari http://www.tolonews.com/afghanistan/president-ghani-attends-london-anti-
corruption-summit pada 20 Maret 2017.
64
Dewan Eksekutif, Wakil Presiden Kedua, Menteri Keuangan, Menteri Ekonomi,
Menteri Keadilan dan Penasehat Senior Presiden untuk urusan Infrastruktur
adalah para anggotanya. Selama komisi ini dibentuk, telah dilakukan pemeriksaan
terhadap 2000 contracts, yang mana masing-masing bernilai hampir $3 milyar
dan menyimpan $240 juta penyalahgunaan keuangan.124
Selanjutnya, ketiga, pembentukan High Council Governance, Rule of Law
and Anti-Corruption (HCAC). Seperti yang sudah penulis paparkan di atas,
London Conference pada tahun 2014 menjadi salah satu momentum Ashraf Ghani
bertekad untuk mengatasi permasalahan korupsi di Afghanistan dengan
membangun lembaga anti-korupsi yang independen. Hal tersebut kemudian
disambut baik oleh masyarakat Afghanistan. Terbukti, menurut survei yang telah
dilakukan terhadap beberapa kelompok masyarakat, 84% masyarakat Afghanistan
merasa yakin dan percaya kepada Ashraf Ghani bahwa National Unity
Government (NUG) akan menyelesaikan permasalahan korupsi di Afghanistan
saat itu.125
Namun, sejak Desember 2014 sampai dengan Februari 2016, NUG tidak
juga mengambil langkah-langkah praktis untuk membangun institusi independen
yang bergerak dalam pemberantasan korupsi. Terlebih lagi, fokus terhadap
kebijakan tersebut selama kurang lebih satu setengah tahun mengalami penundaan
dan tanpa kejelasan oleh pemerintah. Terlihat dari Survei Asia Foundation pada
124
NPA, “The Introduction of The National Procurement Authority”, artikel ini diakses dari
http://www.ppu.gov.af/Beta/English/AboutUs.aspx pada 20 Maret 2017. 125
Sayed Ikram, Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The Institutional Puzzle,
(Kabul: Integrity Watch Afghanistan, 2016), h. 28.
65
tahun 2015, yang mana 89% masyarakat sepakat bahwa korupsi merupakan
permasalahan utama di Afghanistan.126
Hal tersebut kemudian membuat Mohammad Ashraf Ghani tidak hanya
berdiam diri. Pada awal Maret 2016, sebuah komisi anti-korupsi yang diberi nama
High Council Governance, Rule of Law and Anti-Corruption (HCAC) berhasil
diresmikan. Tujuan dari dibentuknya institusi ini yaitu untuk memperbaiki dan
meningkatkan sistem peradilan berdasarkan aturan hukum, menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia (HAM), menjamin tegaknya keadilan dan mengatasi
permasalahan korupsi di Afghanistan.
Diagram IV.1. Tugas dan Wewenang High Council Governance, Rule of Law
and Anti-Corruption (HCAC)
Sumber: http://aop.gov.af/english/
Menurut Keputusan Presiden No. 168 pada 3 Maret 2016, HCAC dipimpin
oleh presiden dan memiliki 12 pejabat pemerintahan sebagai anggotanya, yakni
126
Ibid., h. 29.
The High Council Governance, Rule of Law and Anti-Corruption
Coordination, Public Outreach, Prevention
NDS, Police, SAO
Detection
IARCS, HOO
Prevention
MCTF
Major Crimes Task Force
AGO
Investigation, Prosecution
Anti-Corruption Courts
Sentencing
Secretariat
M & E
66
terdiri dari Chief Executive Officer (Ketua Dewan Eksekutif), Wakil Presiden
Kedua, Minister of Justice (Menteri Kehakiman), Attourney General (Jaksa
Agung), Director Generals of The Supreme Audit Office (Badan Pemeriksa
Keuangan), High Office of Oversight and Anti-Corruption127
(Kantor Tinggi
Pengawasan dan Anti-Korupsi), Independent Administrative Reform and Civil
Services Commission (Pembaruan Administrasi Independen dan Komisi
Pelayanan Sipil), serta National Directorate of Security (Badan Keamanan
Nasional).
Beberapa di antaranya memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing, di
bawah otoritas High Council Governance, Rule of Law and Anti-Corruption
(HCAC). HCAC sendiri mempunyai perannya dalam melakukan koordinasi
dengan beberapa instansi, mengadaan penyuluhan publik dan melakukan
pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan National Directorate of
Security (Badan Keamanan Nasional), polisi dan Supreme Audit Office (Badan
Pemeriksa Keuangan) memiliki wewenang dalam penyelidikan terhadap kasus
korupsi.128
Kemudian Independent Administrative Reform and Civil Services
Commission (Pembaruan Administrasi Independen dan Komisi Pelayanan Sipil)
bersama dengan High Office of Oversight and Anti-Corruption (HOO)
127
Hamid Karzai pada bulan Juli 2008 mengeluarkan Keputusan mendirikan High Office of
Oversight and Anti-Corruption (HOO), sesuai dengan ketentuan Pasal (7) ayat (3), Pasal (75) dan
Pasal (142) untuk mengawasi dan mengkoordinasi pelaksanaan korupsi. HOO selama ini dianggap
tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Akhirnya, setelah dua minggu National Unity
Governement (NUG) menjabat menggantikan Hamid Karzai, NUG dengan cepat menghapus dan
mengurangi kekuasaan yang diberi mandat untuk memerangi korupsi, salah satunya adalah HOO.
Dilihat dari buku Sayed Ikram, Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The Institutional
Puzzle, h. 26. 128
Sayed Ikram, Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The Institutional Puzzle, h.
31.
67
mempunyai tugas dalam hal penanggulangan atau penyelesaian kasus korupsi
untuk diserahkan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan terdiri atas Major
Crimes Task Force, Attorney General‟s Office (kantor Jaksa Agung) dan Anti-
Corruption Courts (Pengadilan Anti-Korupsi).129
Keempat, yaitu dibentuknya Anti-Corruption Criminal Justice Center
(ACJC). Lembaga peradilan anti-korupsi ini bertujuan untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi di
Afghanistan. Anti-Corruption Criminal Justice Center (ACJC) yang telah resmi
dibuka pada 5 Mei 2016, terdiri dari polisi, jaksa dan hakim dari Kementerian
Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Pengadilan. Dalam hal penanganan, polisi
akan mendeteksi pelaku, jaksa akan menuntut pelaku dan hakim akan menetapkan
vonis pada pelaku. Seluruhnya berada di bawah satu kepemimpinan yang
transparan.130
Diagram IV.2. Proses Penanganan Kasus Anti-Corruption Criminal Justice Center
Sumber: http://www.gmic.gov.af/english/index.php
Pada dasarnya, Anti-Corruption Criminal Justice Center (ACJC) merupakan
lembaga independen. Akan tetapi, dari perspektif kebijakan, lembaga ini bekerja
129
Ibid. 130
Government Media and Information Center, “Establishment of Anti-Corruption Justice
Center Critical to Fighting Corruption in Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://www.gmic.gov.af/english/analysis/406--establishment-of-anti-corruption-criminal-justice-
center-critical-to-fighting-corruption-in-afghanistan pada 20 Maret 2017.
Detection
Police
Prosecution
Prosecutors
Conviction
Judges
68
di bawah kewenangan HCAC. Adapun dengan kehadiran Anti-Corruption
Criminal Justice Center (ACJC), diharapkan mampu menghilangkan kesenjangan
antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat mendukung pemerintah, dan
sebagai imbalannya pemerintah akan memberikan layanan yang diinginkan oleh
masyarakat. Pendapatan juga diharapkan akan meningkat dan masyarakat tidak
perlu lagi untuk membayar suap kepada pejabat pemerintah untuk mengurangi
pajak mereka atau dibebaskan dari pajak.
Melihat kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan di atas, menunjukkan
betapa besar komitmen Mohammad Ashraf Ghani sebagai Presiden Afghanistan
dalam memerangi korupsi yang sudah mengakar. Hal ini juga dapat disaksikan
dengan beberapa kebijakan lain yang juga tidak kalah penting, seperti telah
diberlakukan reshuffling staff dan pemecatan pemerintah tidak kompeten,
membuka kembali kasus Kabul Bank, sampai dengan melakukan kunjungan tidak
terduga ke kantor-kantor pemerintahan di Afghanistan.131
Menurut Hamidillah Husaini, meskipun telah dibuat upaya yang mampu
mencegah dan menghilangkan korupsi di Afghanistan, cara tersebut masih jauh
dari selesai. Masih banyak yang harus dilakukan oleh Pemerintah Persatuan
Nasional terhadap kejahatan korupsi di Afghanistan, seperti salah satunya
partisipasi dari berbagai kalangan masyarakat untuk bersama-sama berkomitmen
131
Administrative Office of The President Islamic Republic of Afghanistan, “National High
Council for Rule of Law and Anti-Corruption Holds Its First Meeting”, artikel ini diakses dari
http://aop.gov.af/english/2920/National+High+Council+for+Rule+of+Law+and+Anti-
Corruption+Holds+Its+First+Meeting pada 21 Maret 2017.
69
dalam pencegahan kasus korupsi. Sebab, pencegahan adalah upaya penyelesaian
paling sulit yang dialami Afghanistan saat ini.132
Banyak pengamat sosial berpendapat bahwa faktor yang secara dominan
mempengaruhi perilaku korupsi dalam masyarakat adalah kebudayaan yang hidup
dalam masyarakat itu sendiri. Gunnar Myrdal misalnya, menyatakan bahwa
korupsi banyak terjadi di daerah Asia Selatan dibandingkan di negara Barat
disebabkan oleh faktor kebudayaan, yakni keadaan di mana orang enggan
menyebut keberadaan korupsi, tetapi ia menerimanya sebagai sesuatu yang
lumrah.133
Hal ini menurut Patrice Lumumba sudah berlangsung sejak lama di
Afghanistan, yang mana uang tersebut berasal dari dana bantuan negara-negara
asing seperti Amerika. Petinggi-petinggi Afghanistan belum mampu saat itu
mengelola keuangan dengan baik, sehingga wajar apabila mereka menganggap
bahwa bantuan tersebut dijadikan kepemilikan pribadi setelah mengalami
peperangan yang panjang.134
Seperti yang sudah dibenarkan oleh Hamidullah Husaini, sebagai bentuk
kesalahan pemahaman dalam memahami tindakan korupsi dan menambahkan
bahwa faktor etnis menjadi penghalang kebijakan anti-korupsi menjadi tidak
menyeluruh, menurutnya:135
“Unfortunately, corruption is very pervasive, it rooted everywhere. Fighting
against it is not easy and there is no trust. For example, if Mr. Ghani’s
intention is good but the people he brought to office from his ethnicity the
132
Hasil Wawancara dengan Hamidullah Husaini. 133
Edy Herry Pryhantoro, Korupsi Dalam Perspektif Teori Sosial Kontemporer, (Jakarta:
Agra Vidya, 2016), h. 19. 134
Hasil Wawancara dengan Patrice Lumumba. 135
Hasil Wawancara dengan Hamidullah Husaini.
70
people from other ethnicites don’t trust them, it is very complicated. They
think while president cut supply of fund for them it enjoys it for the people
around himself”.
Namun, meskipun demikian, pemerintah Afghanistan telah menunjukkan
hasil yang cukup menggembirakan. Menurut Ahmad Nadeem Kakar, terlepas
Mohammad Ashraf Ghani tidak mampu mewujudkan janjinya dalam
memberantas korupsi sampai kepada akar-akarnya, setidaknya dia telah
melakukan penanganan yang serius dalam menjalankan misinya tersebut. Tentu
ini adalah sebuah pencapaian bagi Afghanistan, sebab sebelumnya Hamid Karzai
telah gagal dalam menangani persoalan ini.136
Jika percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan, hal itu akan lebih
baik karena segera mewujudkan kesejahteraan dan negara hukum demokratis bagi
Negara Afghanistan, mengingat korupsi dan demokrasi memiliki relasi yang erat.
Hal ini juga dibenarkan oleh Larry Diamond, ia menyatakan bahwa korupsi
merupakan ancaman bagi demokrasi dan konsolidasi demokrasi di suatu negara.
Ia mengajukan beberapa hal agar konsolidasi demokrasi dapat tercapai, salah
satunya adalah menghentikan perkembangbiakan korupsi.137
B.2 Kebijakan dalam Penegakan Hak-Hak Perempuan
Penderitaan panjang bagi perempuan Afghanistan berakhir ketika rezim
Taliban jatuh pada tahun 2001. Sejak saat itu, kiprah perempuan di ranah
produktif mulai menunjukkan eksistensinya. Mereka sudah makin terlihat
keterlibatannya di berbagai bidang, seperti turut mengambil keputusan di bidang
politik, mendapatkan kesempatan berdagang dalam bidang ekonomi,
136
Hasil Wawancara dengan Mohammad Salim. 137
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 113-138.
71
mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan bisa turut andil memberikan
pendidikan, serta menerima kesempatan yang sama di bidang kesehatan.
Hal ini semakin nampak ketika banyak perempuan di Afghanistan sudah
mulai menduduki jabatan penting di pemerintahan, seperti Ministry of Women’s
Affairs, Ministry of Higher Education, Ministry of Counter-Narcotics dan
Ministry of Labor, Social Affairs, Martyrs and Disabled, serta Afghanistan’s
Independent Commission on Human Rights. Selain itu, Kementerian Luar Negeri
Afghanistan telah menunjuk tiga Duta Besar perempuan ke Norwegia, Swiss dan
Indonesia, sementara seorang wanita baru-baru ini mengisi posisi Wakil Menteri
Luar Negeri untuk Urusan Ekonomi.138
Namun, di tengah perkembangan yang terjadi di Afghanistan, masih
ditemukan ketidakadilan dan tindakan diskriminatif yang melibatkan perempuan,
seperti misalnya yang terjadi di daerah pinggiran, di Provinsi Balkh, Afghanistan
Utara. Menurut pengakuan salah satu perempuan di sana, diskriminasi terhadap
perempuan terjadi dalam bentuk perkawinan anak di bawah umur, kawin paksa,
perkosaan dan poligami, serta masih banyak perempuan Afghanistan menjadi
objek kekerasan dan pelecahan seksual.139
Selain itu, perempuan di Afghanistan dianggap sebagai beban keluarga.
Mereka tidak diberikan uang yang cukup, sehingga pernikahan menjadi satu-
satunya solusi bagi mereka. Tidak heran apabila perempuan di Afghanistan
138
The Diplomat, “Institutionalizing Womens Rights For Afghanistan Future”, artikel ini
diakses dari http://thediplomat.com/2016/03/institutionalizing-womens-rights-for-afghanistans-
future/ pada 22 Maret 2017. 139
Mohammad Ismail, “Perempuan Afghanistan Hadapi Diskriminasi dan Kemiskinan”,
artikel ini diakses dari http://www.antaranews.com/berita/430052/perempuan-afghanistan-hadapi-
diskriminasi-dan-kemiskinan pada 22 Maret 2017.
72
hampir sebagian besar menikah di usia yang sangat muda. Menurut sebagian
masyarakat Afghanistan, hal yang terpenting dalam pernikahan adalah jumlah
uang yang diterima, bukan perihal usia. Maka dari itu, perempuan dianggap tidak
lebih dari kepemilikan pribadi oleh laki-laki. Mereka dapat membeli atau
menjualnya, bahkan menjaga atau membuangnya sekalipun adalah urusan pihak
laki-laki sebagai pemimpin keluarga.140
Hal ini menjadi dampak terhadap kurangnya perlindungan hukum bagi
perempuan di Afghanistan. Mereka yang berasal dari daerah pinggiran
Afghanistan belum mengetahui Hak Asasi Manusia secara umum. Padahal,
penyadaran terhadap hak-hak akan mendorong mereka untuk memperjuangkan
statusnya di dalam kelompok masyarakat. Maka dari itu, perlunya pemberdayaan
perempuan dilakukan dengan membekali mereka akan pentingnya pemahaman
terhadap Hak Asasi Manusia.
Menyangkut hal tersebut, Mohammad Asharaf Ghani beranggapan bahwa
kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah bagian dari rasa
malu pemimpin saat ini. Afghanistan telah mewarisi situasi yang sangat
memalukan dan tercela. Mohammad Ashraf Ghani dalam pidatonya
tmenyebutkan untuk melarang bagian tertentu dari konstitusi, yang mana berisi
akan memenjarakan perempuan apabila meninggalkan rumah tanpa izin dari pihak
laki-laki.141
140
Dilawal Sherzai, “Discrimination Against Women in Afghan Society”, artikel ini
diakses dari http://outlookafghanistan.net/topics.php?post_id=3629 pada 22 Maret 2017. 141
GirlTalkHq, “Afghanistan President Ashraf Ghani Elevating Championing Status
Women”, artikel ini diakses dari http://girltalkhq.com/afghanistan-president-ashraf-ghani-
elevating-championing-status-women/ pada 22 Maret 2017.
73
Ketidaksetaraan dan kekerasan terhadap gender di Afghanistan sebelumnya
telah mendorong para perempuan Afghanistan untuk membangun kelompok yang
dapat membantu sesama perempuan di Afghanistan. Di era pemerintahan Hamid
Karzai, sebuah organisasi yang bergerak khusus untuk emansipasi perempuan
dibentuk, The Afghan Women’s Mission telah resmi bekerja sama dengan The
Revolutionary Association of the Woman of Afghanistan (RAWA). Selanjutnya,
Women’s Development Centers didirikan pada tahun 2002 oleh Ministry of
Women’s Affairs, yang menjadi tempat perkumpulan bagi perempuan Afghanistan
untuk berdiskusi, melakukan bantuan sosial dan meningkatkan mutu pendidikan
di Afghanistan.142
Sedangkan Mohammad Ashraf Ghani beserta Abdullah Abdullah, yang
tergabung dalam National Unity Government (NUG), telah melakukan upaya
serius untuk meningkatkan partisipasi perempuan di pemerintahan. Presiden
Ashraf Ghani telah menunjuk tiga Duta Besar perempuan untuk Afghanistan dan
memilih empat perempuan untuk menduduki jabatan menteri di kabinetnya.
Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Afghanistan, presiden
memperkenalkan seorang wanita yang menjadi calon Mahkamah Agung.
Meskipun gagal memperoleh jabatan tersebut karena tidak mendapatkan cukup
suara untuk diratifikasi oleh Parlemen Afghanistan, tetapi sudah ada upaya untuk
memperkenalkan seorang perempuan sebagai pengganti Mahkamah Agung.143
142
Catarina Mega Amelia, “Upaya United Nation dalam Penyetaraan Gender di
Afghanistan”, ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 4 No. 1, (2016: 89-102), h. 90. 143
Ariana News, “Ashraf Ghani Warns to Fight Violence, Discrimination Against
Women”, artikel ini diakses dari http://ariananews.af/ghani-warns-to-fight-violence-
discrimination-against-women/ pada 22 Maret 2017.
74
Menurut Mawaya dan Kabeer, hal tersebut merupakan sebuah
pemberdayaan gender (gender empowerment). Menurutnya, sangat penting untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan untuk menggunakan
kemampuannya dalam mengenali masalah-masalah sosial, termasuk juga
kemampuan untuk mengambil tindakan dan pilihan strategis bagi kehidupan
mereka. Ini juga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpatisipasi
dalam ranah publik melalui kemampuannya mengakses sumber daya (resources)
ekonomi dan kekuasaan, menjadi bagian dari pengambil keputusan (agency).144
Seperti halnya kondisi yang sudah dibentuk oleh Mohammad Ashraf Ghani
dalam menambah peran perempuan merupakan sebuah kemajuan bagi perempuan
di Afghanistan. Mereka yang sejak dulu bermimpi untuk bekerja menjadi menteri
atau hakim, akhirnya punya kesempatan untuk mewujudkannya. Namun, bagi
perempuan yang tinggal di luar Provinsi Kabul, mereka tentu harus menempuh
pendidikan dan dianggap terpelajar untuk mampu merealisasikannya. Namun, saat
ini berbagai sekolah dan universitas di Afghanistan telah membuka pendaftaran
untuk perempuan. Terbukti, lebih dari 8 juta siswa dan siswi terdaftar di sekolah,
termasuk lebih dari 2,5 juta adalah perempuan.145
Di balik peningkatan terhadap kesetaraan perempuan di Afghanistan,
Ahmad Nadeem Kakar memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat
persoalan human rights atau women rights di Afghanistan. Menurutnya:146
144
Alfirdaus, “Bukan Untuk Angka, Apalagi Pemberdayaan: Kebijakan Setengah Hati
Kuota Perempuan”, Jurnal Konstitusi, Vol. 5 No.5 (2008: 145-159), h. 148. 145
World Education News and Reviews, “Education in Afghanistan”, artikel ini diakses
dari http://wenr.wes.org/2016/09/education-afghanistanhttp://wenr.wes.org/2016/09/education-
afghanistan pada 22 Maret 2017. 146
Hasil Wawancara dengan Ahmad Nadeem Kakar pada 13 Maret 2017.
75
“The idea of human rights in current Afghanistan is suffering from one
problem which also cause human right to stagnate. It was associated with
the foreigner ideology. It means many ordinary people in Afghanistan think
ideas like human rights, women rights, and democracy are mottos to firstly
break down our traditional values, perspectives, and even faith. Like i heard
about some colleagues who teach the value of women rights in public and
academics but they put many restrictions on their own wives.”
Hal ini diyakini Ahmad Nadeem Kakar sebagai permasalahan utama yang
membuat kesetaraan perempuan di Afghanistan tidak menyuluruh, yakni karena
lazimnya, masyarakat Afghanistan masih berpandangan bahwa gagasan mengenai
human rights atau women rights merupakan slogan untuk menghancurkan nilai-
nilai tradisional dan kepercayaan yang sudah melekat sejak dahulu di
Afghanistan. Seperti ia melihat sebuah contoh terdekat, di mana mereka yang
paling massive mengkampanyekan hak-hak perempuan justru ialah mereka yang
mengekang istri-istri dan keluarganya sendiri.
Ahmad Nadeem Kakar menambahkan bahwa persoalan ini semestinya
diselesaikan dengan metode yang yang tidak terburu-buru. Sebab menurutnya,
human rights maupun women rights activist di Afghanistan telah melakukan
prosedur yang keliru, yang mana mereka memberitahukan kepada orang-orang di
lingkungan sekitar untuk segera berjuang melawan tindakan diskriminatif
terhadap perempuan, tanpa memahami bahwa betapa hal tersebut juga berguna
bagi kebaikan mereka. Ahmad Nadeem Kakar mengatakan, “Remember, humanity
is not simple and neutral as the machine and vehicle.”147
Melihat dari persoalan tersebut, Mohammad Ashraf Ghani tidak berdiam
diri. Ia berupaya untuk mengubah mindset masyarakat Afghanistan, karena
147
Hasil Wawancara dengan Ahmad Nadeem Kakar.
76
menurutnya sikap tradisional masyarakat yang akan menghambat kemajuan dan
kesetaraan perempuan di Afghanistan. Tidak seperti kebanyakan pemerintah pada
umumnya, Mohammad Ashraf Ghani bersama National Unity Government
(NUG) tidak hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi juga berfungsi
sebagai agen perubahan sosial dengan terus melakukan langkah-langkah persuasif
dalam meluruskan pandangan masyarakat Afghanistan.
Adapun di tingkat lokal, National Unity Government bekerja sama dengan
beberapa pemuka agama dan masyarakat sipil di beberapa wilayah. Tokoh atau
pemuka agama memberikan pemahaman mengenai perlunya sikap menghargai
dan melindungi perempuan dengan ikut bergabung di komunitas Program
Solidaritas Nasional.148
Hal ini dilakukan guna untuk melakukan pendekatan
sosial dan agama kepada masyarakat di wilayah terpencil Afghanistan. Melalui
Program Solidaritas Nasional, lebih dari 22.000 perempuan Afghanistan secara
aktif melakukan berbagai kegiatan bermanfaat tanpa adanya diskriminasi gender.
Dalam hal ini, demokrasi mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan,
persamaan, kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara, baik laki-laki
maupun perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mewujudkan kesetaraan perempuan adalah salah satu
upaya mewujudkan demokratisasi, karena dengan kesetaraan gender akan
148
Program Solidaritas Nasional (NSP) didirikan pada pertengahan tahun 2003. Tujuannya
adalah untuk memberdayakan masyarakat Afghanistan untuk mengurangi kemiskinan melalui
pembentukan dan penguatan jaringan lembaga nasional. NSP dibentuk dalam membuat
masyarakat Afghanistan bekerjasama untuk membangun fasilitas umum secara kolektif, membantu
untuk memecahkan masalah dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kesetaraan dan keadilan.
Dilihat dari Afghanistan Reconstruction Trust Fund, “Active Portofolio Investment Projects”,
artikel ini diakses dari http://www.artf.af/portfolio/active-portfolio-investment-projects/rural-
development/national-solidarity-program-iii pada 22 Maret 2017.
77
membuka peluang dan kesempatan bagi seluruh masyarakat dari segala lapisan
untuk ikut serta dalam proses demokratisasi itu sendiri.
Proses demokratisasi telah membuat pemerintah Afghanistan memberikan
aksesibilitas terhadap kaum perempuan yang selama ini dianggap inferior dan
tidak mampu memangku jabatan penting di pemerintahan. Perempuan
Afghanistan sangat antusias dalam partisipasi politik, dibuktikan dengan
banyaknya keikutsertaaan perempuan Afghanistan dalam pesta demokrasi
(pemilu), seperti, pemungutan suara dan ikut andil dalam komunitas sosial,
bahkan ambil bagian dalam kursi-kursi pemerintahan.
B.3 Kebijakan Melawan Kelompok Islam Radikal (Taliban)
Penanganan terhadap kelompok Islam Radikal di Afghanistan mulai
diterapkan sejak pemerintahan Hamid Karzai. Telah banyak upaya yang dilakukan
guna untuk mencapai perdamaian dan stabilitas Negara Afghanistan saat itu,
seperti halnya membentuk Dewan Tertinggi Keamanan di Afghanistan. Hamid
Karzai pun menunjuk Burhanuddin Rabbani149
sebagai Ketua Dewan Tertinggi
Keamanan sebagai bentuk usahanya dalam melanjutkan dialog negosisasi dengan
kelompok Taliban.
Selain itu, pada tahun 2010, Hamid Karzai telah menandatangani kerjasama
keamanan dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pasukan Bantuan
Keamanan Internasional NATO (ISAF) mempunyai 130.000 tentara yang
149
Setelah Soviet angkat kaki dari Afghanistan, Burhanuddin Rabbani sempat menduduki
jabatan sebagai Presiden Afghanistan tahun 1992 hingga 1996. Rabbani tewas ketika seorang
pelaku bom bunuh diri meledakkan bom yang dia simpan di dalam turban pada tahun 2011. Dilihat
dari BBC News, “Afghan Peace Council Head Rabbani Killed in Attack”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-south-asia-14985779 pada 23 Maret 2017.
78
ditempatkan di Afghanistan, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat. Hamid
Karzai beranggapan bahwa keputusannya untuk menyerahkan kekuasaan militer
Afghanistan ke tangan NATO akan memberikan rasa aman bagi masyarakat
Afghanistan.150
Namun, kenyataannya hal tersebut tidak terealisasikan. Justru
NATO dianggap gagal dalam menciptakan stabilitas di Afghanistan.
Hal ini dikarenakan, seluruh pelaksanaan NATO menyebabkan penderitaan
besar bagi masyarakat Afghanistan. Menurut Hamid Karzai, prioritasnya adalah
untuk menciptakan rasa aman di negaranya, dan jika berbagi kekuasaan dengan
Taliban adalah solusinya, maka hal tersebut akan dilakukan. Sebelum Hamid
Karzai turun dari jabatan presiden, pemerintah Afghanistan saat itu sempat terlibat
aktif dalam pembicaraan dengan kelompok militan Taliban. Hamid Karzai
membantah bahwa membawa Taliban ke pemerintahan akan menyebabkan
langkah mundur bagi demokrasi di Afghanistan.151
Sedangkan Amerika Serikat saat itu bersikeras untuk melanjutkan kerjasama
keamanan di Afghanistan, sebelum penarikan mundur oleh pasukan Amerika
Serikat pada tahun 2014. Sebelumnya, Amerika Serikat menuntut perjanjian
bilateral yang mengatur pengerahan pasukannya setelah 2014. Tetapi hal tersebut
tidak ditanggapi oleh Hamid Karzai dan menolak untuk menandatangani naskah
perjanjian itu. Ia menerangkan bahwa perjanjian tersebut seharusnya ditandatangai
oleh presiden baru akan datang, yang akan dipilih melalui pemilihan umum
kembali pada April tahun 2014.
150
BBC Indonesia, “Karzai dan NATO Sepakati Strategi”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/11/101120_natolisabon.shtml pada 23 Maret 2017. 151
BBC Indonesia, “NATO Dianggap Gagal oleh Presiden Karzai”.
79
Kemudian setelah Mohammad Ashraf Ghani terpilih dan menduduki jabatan
presiden, upaya pertama yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan oleh
Hamid Karzai sebelumnya, yaitu bernegosiasi. Mohammad Ashraf Ghani
mengundang gerilyawan Taliban untuk berpartisipasi dalam proses rekonsiliasi
yang dipimpin oleh pemerintah Afghanistan. Menurutnya, permasalahan ini harus
diselesaikan oleh masyarakat Afghanistan sendiri, ia meminta seluruh mitra
internasional untuk mendukung proses tersebut. Ashraf Ghani percaya bahwa
masyarakat Afghanistan memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengatasi
masalah mereka.152
Setelah Mohammad Ashraf Ghani beberapa kali mencoba untuk berunding
secara damai dengan kelompok Taliban, hal itu tetap tidak diperdulikan oleh
kelompok tersebut. Menurutnya, kelompok Taliban akan mendukung negosiasi
tersebut jika pemerintah Afghanistan mampu mengakhiri apa yang disebutnya
“pendudukan asing pimpinan Amerika” dan menghasilkan hukum Islam di
Afghanistan. Namun, apabila hal tersebut tidak direalisasikan, maka kelompok
Taliban akan tetap melakukan aksinya.
Menurut Patrice Lumumba, kelompok Taliban merupakan organisasi yang
kuat sehingga sulit untuk dihilangkan. Upaya yang telah dilakukan oleh
Mohammad Ashraf Ghani dan dibantu oleh Amerika hanya mengatasi luarnya
saja, yaitu dengan cara-cara kekerasan, sedangkan pemikiran dari kelompok ini
yang semestinya harus dihentikan.153
152
Kunto Wibisono, “Presiden Afghanistan Undang Taliban Berdialog”, artikel ini diakses
dari http://www.antaranews.com/berita/461798/presiden-afghanistan-undang-taliban-berdialog
pada 23 Maret 2017. 153
Hasil Wawancara dengan Patrice Lumumba.
80
Sebelumnya, kelompok Taliban mengakui keterlibatan dirinya terhadap
tewasnya ratusan pasukan keamanan Afghanistan dan atas kematian Ketua Dewan
Tertinggi Keamanan, serta mengecam seluruh masyarakat Afghanistan yang
mendukung tegaknya demokrasi di negara tersebut. Hal ini dilakukannya guna
untuk melahirkan kembali sebuah sistem pemerintahan yang berbasis Islam,
seperti yang sudah diterapkan tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 di
Afghanistan.
Bruce B Lawrence mengatakan bahwa mayoritas dari kelompok radikal
memang mengusung ideologi Islamis yang dikampanyekan kepada seluruh
anggota masyarakat untuk menggantikan sistem demokrasi yang dianggap berasal
dari Barat. Bagi mereka, sistem demokrasi jelas tidak mewakili Islam, sebab
agama tidak pernah mengenal istilah demokrasi. Demokrasi dalam pandangan
mereka adalah hasil ciptaan akal budi manusia yang diperlakukan lebih istimewa
ketimbang agama. Inilah yang oleh kalangan radikal digambarkan sebagai
“pemberontakan atas kekuasaan Tuhan” (the revolt against God’s sovereignty).154
Demokrasi semacam ini, di mata Judith Miller, tampaknya merupakan tren
umum di hampir semua kalangan Islam politik di dunia muslim.155
Hal ini
digambarkan oleh Daniel E. Price karena mayoritas kelompok Islam politik di
negara-negara mulim mengklaim bahwa keberadaan negara adalah tidak lebih dari
sarana untuk menerapkan syariat Islam. Karena itu, walaupun suatu negara
154
Bruce B. Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist: Revolt Against the Modern
Age, (San Francisco: Harper & Row, 1989), h. 15. Lihat juga Ahmad S. Mousalli, Radical Islamic
Fundamentalism: The Ideological and Political Discource of Sayyid Qutb, (Beirut: American
University of Berut, 1992), h. 118. 155
Edward W. Said, Covering Islam: How the Media and The Experts Determine How We
See The Rest of The World, (New York: Vintage Books, 1997), h. 39.
81
diperintah oleh rezim otoriter, asalkan mempunyai kebijakan penerapan syariat
Islam, akan tetap didukung dan dipertahankan.156
Demokrasi idealnya menjadi ruang terbuka bagi berkembangnya sikap
toleran dan penghormatan terhadap hak-hak individu dan kelompok bagi
tumbuhnya gagasan baru. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, demokrasi justru
memberi ruang lebar bagi berkembangnya gerakan-gerakan radikal yang secara
terang-terangan mengusung agenda anti-demokrasi.
Pada tingkat tertentu, kehadiran kelompok radikal yang kritis terhadap
penggunaan kebebasan perlu untuk menjadi kontrol dari praktek demokrasi.
Namun, apabila kontrol yang berlebihan dari kelompok ini, seperti melakukan
kekerasan kepada pihak yang dianggap berseberangan, pada akhirnya dapat
melemahkan bahkan merusak demokrasi itu sendiri.
Hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah mampu menyelesaikan
persoalan tersebut dengan segera. Melihat banyaknya korban yang terus
berjatuhan di Afghanistan, Mohammad Ashraf Ghani kemudian mengambil
langkah tegas dalam mengatasi permasalahan tersebut. Ia menyetujui untuk
memperpanjang kontrak kerjasama dengan Amerika Serikat dan NATO, ia
sepakat agar pasukan asing tetap berada di negaranya, guna untuk menjaga
stabilitas dan keamanan di Afghanistan.157
Ashraf Ghani mengizinkan lebih dari 10.000 prajurit yang dikepalai oleh
Pasukan Koalisi Amerika Serikat untuk tinggal dan melatih tentara dan polisi di
156
Daniel E. Price, Islamic Political Culture, Democracy, and Human Rights: A
Comparative Study, (London: Greenwood Publishing Group, 1999), h. 5. 157
Voa News, “Afghanistan Signs Security Pacts with Us, NATO”, artikel ini diakses dari
http://www.voanews.com/a/us-welcomes-signing-of-bilateral-security-agreement-with-
afghanistan/2467098.html pada 4 April 2017.
82
Afghanistan.158
Keputusan ini diambil oleh presiden mengingat sebagian besar
masyarakat Afghanistan khawatir terhadap hengkangnya pasukan NATO pada
2014. Mereka khawatir keamanan kembali runyam setelah pasukan asing
meninggalkan Afghanistan.
Melihat keputusan yang diambil oleh presiden, Hamid Karzai menegaskan
kepada Ashraf Ghani bahwa kelompok Taliban tidak akan mampu dikalahkan
dengan kekuatan militer. Ia menilai misi pasukan NATO belum mampu
memecahkan masalah utama di Afghanistan, yakni keamanan. Selain itu,
keberadaan NATO menyebabkan masyarakat sipil menjadi korban. Seperti
insiden yang terjadi di wilayah Logar, yang tanpa sengaja menewaskan tiga warga
sipil.159
Saat itu, mereka sedang berdebat mengenai sengketa tanah, lalu pasukan
NATO mengira bahwa mereka adalah anggota Taliban yang sedang
mempersiapkan sebuah serangan.
Thomas Ruttig, salah satu Direktur Afghan Anayst Network memiliki
pandangan yang serupa dengan Hamid Karzai. Menurutnya, situasi keamanan
seluruhnya bergantung pada kelompok Taliban, perang di Afghanistan belum juga
berakhir sebab NATO tidak mampu melumpuhkan Taliban.160
Komandan
Amerika Serikat di Afghanistan, Jenderal David H. Petraeus juga mengakui
bahwa Taliban adalah kelompok yang paling kompeten dan taktis yang pernah
158
International Business Times, “Afghanistan to Allow 10.000 US Troops Remain After
2014 Under New Security Agreement, Officials Yes”, artikel ini diakses dari
http://www.ibtimes.com/afghanistan-allow-10000-us-troops-remain-after-2014-under-new-
security-agreement-officials-1696349 pada 4 April 2017. 159
Deb Riechman, “NATO Apologizes for Civilian Deaths in Afghanistan”, artikel ini
diakses dari http://www.csmonitor.com/World/Latest-News-Wires/2012/0608/NATO-apologizes-
for-civilian-deaths-in-Afghan-airstrike pada 4 April 2017. 160
Ferry Kisihandi, “Misi Pasukan Asing Selesai”, artikel ini diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-koran/14/12/29/nhc3k76-misi-pasukan-
asing-selesai pada 23 Maret 2017.
83
dihadapi oleh NATO. Banyak hal yang dimiliki oleh Taliban dan membuatnya
lebih terlatih dan berpengalaman dibandingkan polisi dan tentara Afghanistan
sekalipun.161
Namun, hal itu tidak menghentikan langkah Mohammad Ashraf Ghani
untuk mengurangi ruang gerak Taliban. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani lebih
memilih mengajak Pakistan untuk memerangi kelompok Taliban daripada
membawa kelompok militan tersebut ke meja perundingan. Sebelumnya,
Afghanistan menuding Pakistan mensponsori pemberontakan Taliban, isu ini
timbul karena pemerintah Pakistan mengakui bahwa kelompok Taliban
bersembunyi di dalam wilayah Pakistan selama bertahun-tahun.
Menanggapi hal tersebut, menurut Ashraf Ghani, pemerintah Pakistan
seharusnya menindak mereka sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
Pemerintah Afghanistan sudah kewalahan setelah banyak mengelurakan modal
politik guna membujuk Pakistan untuk mendesak Taliban ke meja perundingan.
Seperti yang diutarakannya ketika berpidato dalam sidang gabungan Majelis
Nasional Afghanistan, yaitu:162
“Saya ingin menjelaskan bahwa kita tidak lagi berharap Pakistan mengajak
Taliban ke meja perundingan, yang kita harapkan adalah Pakistan mau
melancarkan operasi militer terhadap kubu-kubu pertahanan Taliban di
wilayah mereka. Jika tidak mampu mengatasinya, Pakistan sebaiknya
menyerahkan mereka ke wilayah hukum kita. Saya ingin mengatakan bahwa
pengampunan bagi mereka telah usai, selama ini kami memberikan pintu
terbuka untuk berunding, namun pintu itu tidak akan selamanya terbuka.”
161
North Atlantic Treaty Organization, “ISAF Commander General David Petraeus
Interviewed on Afghanistan”, artikel ini diakses dari
http://www.nato.int/cps/en/natolive/opinions_65854.htm pada 23 Maret 2017. 162
Suara Merdeka, “Afghanistan Ajak Pakistan Perangi Taliban”, artikel ini diakses dari
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/afghanistan-ajak-pakistan-perangi-taliban/ pada 23 Maret
2017.
84
Berdasarkan pernyataan Ashraf Ghani, Ahmad Nadeem Kakar mengatakan
bahwa tindakan ambisius seperti ini hanya dimiliki oleh Mohammad Ashraf
Ghani, sehingga menjadi ciri khas sosok dirinya. Hal ini yang membuat ia berbeda
dengan presiden sebelumnya. Seperti yang ia utarakan ketika diwawancara,
yakni:163
“At first, Ashraf Ghani thought that negotiations with the Taliban are the
only way to “end the bloodshed” and bring peace to the country. Then he
realized that it was an useless way. He assumed that no more peace talks
with Taliban, but it is time to wipe all of the Taliban people. As we can see
that is one major difference between Hamid Karzai and Ashraf Ghani.”
Sejak saat itu, Mohammad Ashraf Ghani berjanji untuk melakukan aksi
militer yang tegas terhadap kelompok Taliban dan berkomitmen menegakkan
hukuman kepada mereka, termasuk eksekusi terhadap para terpidana kelompok
Taliban. Tekad Ashraf Ghani tersebut kemudian terealisasikan ketika insiden
sebuah truk besar diledakkan oleh beberapa kelompok Taliban, yang
mengakibatkan tewasnya 64 pasukan keamanan dan masyarakat sipil.164
Ashraf
Ghani segera mengambil langkah untuk mengeksekusi mati 6 militan Taliban,
termasuk mereka yang terlibat dalam pembunuhan mantan presiden, Burhanuddin
Rabbani di tahun 2011 dan pembunuhan wakil kepala Intelijen Mohammad
Laghmani di tahun 2009.
Mengamati kebijakan yang telah diterapkan oleh Ashraf Ghani tersebut,
wakil direktur Amnesty International untuk Asia Selatan beranggapan bahwa
rencana pemerintah Afghanistan untuk mengeksekusi orang-orang yang dihukum
163
Hasil Wawancara dengan Ahmad Nadeem Kakar. 164
Aljazeera and Agencies, “Taliban Truck Bomb Hits Northgate Hotel in Kabul”, artikel
ini diakses dari http://www.aljazeera.com/news/2016/08/taliban-truck-bomb-hits-foreign-
guesthouse-kabul-160801000720311.html pada 7 April 2017.
85
karena kejahatan teror, tidak akan memberi keadilan yang layak bagi korban, atau
memberikan Afghanistan keamanan sesuai yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan
kelompok militan Taliban lainnya akan memberikan perlawanan secara terus-
menerus yang pada akhirnya membahayakan masyarakat sipil di Afghanistan.165
Melihat massive-nya gerakan radikalisme berjuang untuk menjalankan
misinya tersebut, banyak para ahli yang memandang perlunya merumuskan
sebuah kebijakan yang dapat mengatasi gerakan radikal di satu sisi, tetapi tidak
menutup demokrasi itu sendiri di sisi lain. Seperti yang dikemukakan oleh
Lawrence C. Reardon, yakni sikap demokrasi terhadap kelompok radikal ibarat
buah simalakama; maju kena, mundur pun kena.166
Menindak kelompok tersebut
jelas akan melemahkan kualitas demokrasi, tetapi apabila hal tersebut tidak segera
direalisasikan, maka akan merusak demokrasi dari dalam, bahkan membunuhnya.
Namun demikian, negara tidak memiliki kapasitas untuk merantai kelompok
tersebut agar sesuai pada koridornya. Jika negara bertindak represif, maka dapat
dipastikan pergerakan arah demokrasi akan berjalan ke arah negatif. Dalam
konteks ini, negara baru diperbolehkan melakukan intervensi ketika efek yang
ditimbulkan oleh kelompok tersebut membahayakan keamanan negara, misalnya
terjadi kekerasan yang melibatkan kelompok radikal.167
165
The Guardian, “Afghanistan Executes Six Taliban Prisoners”, artikel ini diakses dari
https://www.theguardian.com/world/2016/may/08/afghanistan-executes-six-taliban-prisoners-
ashraf-ghani pada 4 April 2017. 166
Lawrence C. Reardon, “Interpreting Political Islam‟s Challenge to Southeast Asia:
International Terrorism, Nationalism and Rational Choice”. Dilihat dalam William Crotty (ed.),
Democratic Development and Political Terrorism: The Global Perspective, (Florida:
Northeastern, University Press, 2005), h. 215-216. 167
Ibid., h. 217.
86
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan oleh Mohammad Ashraf Ghani dalam
memberantas Taliban di Afghanistan dengan cara menggunakan kekuatan militer
ataupun mengeksekusi 6 militan Taliban karena kejahatan teror,
merepresentasikan cara-cara otoritarianisme yang masih kental. Cara-cara seperti
ini rawan dengan unsur-unsur kepentingan yang tidak mencerminkan kepentingan
publik. Selain itu, upaya tersebut hanya akan semakin menjauhkan negara dari
prinsip-prinsip demokrasi yang menjanjikan kemerdekaan.
Meskipun demikan, Mohammad Ashraf Ghani sebelumnya telah melakukan
upaya yang soft dalam menyelesaikan permasalahan radikalisme di Afghanistan,
seperti misalnya bernegosiasi dengan para militan Taliban dan pemerintah
Pakistan. Hal tersebut tentu menggambarkan nilai-nilai demokrasi yang
sebelumnya berhasil dibangun. Namun, upaya tersebut dianggap berlarut-larut dan
tidak membuahkan hasil. Pada tahap ini, Afghanistan membutuhkan peraturan
yang spesifik diarahkan untuk melindungi dan mempertahankan demokrasi di
Afghanistan secara konstitusi dalam menanggulangi gerakan radikalisme di
Afghanistan.
C. Implementasi Kebijakan Ashraf Ghani dalam Membangun Good
Governance
Melihat uraian masalah dan langkah yang telah dibuat oleh Mohammad
Ashraf Ghani melalui kebijakan-kebijakannya, penulis selanjutnya akan
menganalisa dampak kebijakan-kebijakan tersebut dalam membangun tata
pemerintahan yang baik (good governance) di Afghanistan. Hal ini juga
87
merupakan tekad yang pernah diutarakan oleh Mohammad Ashraf Ghani sendiri
saat beliau dilantik sebagai presiden pada 2014.
Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa tuntutan akan good governance
timbul karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dari nilai
demokratis sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk menciptakan
sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak
melenceng dari tujuan semula.168
Seperti halnya di Afghanistan, penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
dikelola dengan baik di era pemerintahan Hamid Karzai mengakibatkan
timbulnya berbagai masalah seperti korupsi, penegakan hukum yang sulit
berjalan, diskrimanasi perempuan, serta situasi keamanaan yang tidak kondusif.
Berbagai persoalan tersebut yang kemudian mendorong kesadaran masyarakat
untuk melakukan transformasi terhadap negara, hal ini pertama kali ditunjukkan
dengan cara memilih pemimpin yang memiliki visi yang sama.
Dalam hal ini, good governance akan berkembang sehat di bawah
kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas. Mohammad Ashraf
Ghani dengan slogan reformasinya secara impulsif mendapat pengakuan dan
kepercayaan dari masyarakat Afghanistan untuk mampu merealisasikan hal
tersebut terwujud. Menurut Susan Rose-Ackerman, trust sangat esensial untuk
berfungsi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan demokratis, karena
168
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, h. 23.
88
sulit bagi pemilih untuk terus menerus mengontrol atau mengawasi para wakil
yang dipilihnya menjadikan kepercayaan tersebut harus exist.169
Mohammad Ashraf Ghani menunjukkan hasil yang positif melalui
penerapan kebijakan anti-korupsi yang diimplementasikan melalui beberapa
upaya, seperti; aksi vokalnya dalam reform paper pada konferensi London,
pembentukan dewan pengawas eksternal yaitu Komisi Pengadaan Nasional
(National Procurement Commission) dan Otoritas Pengadaan Nasional (National
Procurement Authority), membangun lembaga anti-korupsi yakni High Council
Governance, Rule of Law and Anti-Corruption (HCAC), serta membentuk
lembaga peradilan anti-korupsi yaitu Anti-Corruption Criminal Justice Center
(ACJC).
Namun, di balik pencapaiannya tersebut, tidak semua bisa dikatakan
berhasil. Menurut Srirak Plipat, Regional Director for Asia Pacific, Afghanistan
masih membutuhkan institusi anti-korupsi yang kuat, independen dan bebas dari
pengaruh politik dalam mencegah dan menghilangkan korupsi di Afghanistan.170
Hal ini juga sejalan dengan laporan data survei pada 2016 dari Transparansi
Internasional171
yang menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Afghanistan masih
berada pada peringkat 169 dari 176 negara, meskipun setiap tahunnya
Afghanistan mengalami peningkatan yang relatif membaik.
169
Susan Rose-Ackerman, Korupsi dan Peremintahan: Sebab, Akibat, dan Reformasi, terj.
Toenggoel P. Siagian, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 27. 170
Tranparency International, “What Needs to Change in Afghanistan”, artikel ini diakses
dari http://www.transparency.org/news/feature/corruption_in_afghanistan_what_needs_to_change
pada 4 April 2017. 171
Transparency International, “Corruption Perceptions Index”, artikel ini diakses dari
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016 pada 4 April 2017.
89
Terdapat banyak faktor yang menghambat kebijakan anti-korupsi tidak
terealisasi sesuai target yang diinginkan. Jeremy Pope, salah seorang pendiri
Transparansi Internasional menyebutkan tidak adanya koordinasi dalam
pemberantasan korupsi sebagai faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut.
Faktor lainnya, menurut dia, adalah karena tujuan pemberantasan korupsi yang
tidak spesifik dan dapat dicapai yang memungkinkan diperolehnya hasil dengan
cepat atau „quick wins‟ untuk memperoleh dukungan kuat publik.
Sementara Huberts, berpendapat tidak ada atau kurang efektifnya kontrol
institusional internal, supervisi dan lemahnya kepemimpinan sebagai penyebab
kegagalan tersebut. Hal ini juga menjadi kendala Mohammad Ashraf Ghani
beserta National Unity Government (NUG) dalam menstabilkan perekonomian di
Afghanistan guna untuk membangun sebuah pemerintahan yang baik. Seperti
yang diutarakan oleh Penasehat Senior Ashraf Ghani, Sardar Mohammad
Roshan172
yakni: “However, the agenda of anti-corruption strategy suffers from
five major shortcomings; a lack of consistency, false assumptions, a weak
intitutional model, a lack of consultation with critical actors, and
incomprehensiveness.”
Dalam hal ini, strategi yang telah dibentuk oleh Mohammad Ashraf Ghani
bersama National Unity Government (NUG) untuk berperang melawan korupsi
memiliki beberapa kelemahan dalam pengimplementasiannya. Di antaranya:
pertama, lemahnya komitmen, konsistensi dan transparansi penegakan hukum.
Sebagi bukti, National Unity Government (NUG) berjanji akan memberikan
172
Wawancara dengan Sardar Mohammad Roshan, Senior Advisor Mohammad Ashraf
Ghani. Dilihat dari Sayed Ikram, Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The Institutional
Puzzle, h. 29.
90
hukuman yang setimpal kepada pejabat-pejabat yang terkait dengan kasus korupsi
Bank Kabul. Namun, setelah kasus tersebut dibawa ke Kantor Kejaksaan,
penanganan terhadap kasus tersebut berhenti sampai di situ. Tidak terdengar kabar
mengenai bagaimana tindak penyelesaian selanjutnya.
Kedua, pemahaman yang keliru terhadap lembaga anti-korupsi yang
independen. Seperti misalnya Pemerintah Afghanistan berkomitmen untuk
membangun sebuah lembaga yang independen, yaitu Komisi Pengadaan Nasional
(National Procurement Commission) dan Otoritas Pengadaan Nasional (National
Procurement Authority), High Council Governance, Rule of Law and Anti-
Corruption (HCAC), serta Anti-Corruption Criminal Justice Center (ACJC).
Namun, dalam hal kebijakan, keseluruhannya masih berada di bawah kewenangan
presiden, Chief Executive Officer, wakil presiden, dan pejabat tinggi lainnya di
Afghanistan.
Ketiga, yaitu institusi yang masih lemah dan tidak pasti (tegas). Pemerintah
Afghanistan idealnya membangun sebuah intitusi anti-korupsi yang didesain
untuk meningkatkan efek jera terhadap pelaku-pelakunya. Kemudahan dalam
pendeteksian dan pembuktian tindak pidana korupsi tidak cukup apabila sanksi
pidana terhadap tindakan tersebut ringan atau tidak menjerakan. Dalam hal ini,
hukuman mati terhadap koruptor diperlukan di suatu negara dalam keadaan
darurat korupsi di mana korupsi telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.173
173
Roby Arya Brata, Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan Strategis, h.
43-44.
91
Keempat, kinerja institusi yang masih sulit dipahami. Lembaga seperti High
Council Governance, Rule of Law and Anti-Corruption (HCAC) seharusnya
dibangun dengan metode yang lebih sederhana tetapi sesuai prosedur, sehingga
kinerja sebuah institusi dengan mudah mencapai visi misi yang diinginkan. Hal ini
juga dibenarkan oleh Transparansi Internasional174
, yakni:
“Accountability of the HCAC is even more probelamtic. According to the
decree, the HCAC shall report to the cabinet and the people each year. The
HCAC is the presided over by the President and half of its members are also
members of the cabinet; it seems that HCAC are accountable only to
themselves. This may meet the requirements of internal accountability but it
is not external eccountability mechanism by any standard.”
Di sisi lain, hal tersebut menjadi bukti kerja keras dan tekad Mohammad
Ashraf Ghani beserta National Unity Government dalam menurunkan angka
pertumbuhan korupsi di Afghanistan selama 3 tahun. Tidak bisa dipungkiri bahwa
pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang relatif lama untuk benar-benar
mewujudkan clean government di Afghanistan.
Menurut Philipus M. Hardjon, pemerintahan yang bersih bukanlah suatu
konsep, oleh karena itu tidak ada ukuran normatif suatu pemerintahan yang
bersih. Namun, pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di negara yang
masyarakatnya menghormati hukum, pemerintahan yang seperti ini juga disebut
sebagai kepemerintahan yang baik (good governance).175
Maka dari itu, membangun good governance adalah mengubah cara kerja
state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar
negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara
174
Sayed Ikram, Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The Institutional Puzzle, h.
32. 175
Sedarmayanti, Good Governance dan Good Corporate Governance, (Bandung: Mandar
Maju, 2007), h. 10.
92
umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat
diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja
institusi negara dan pemerintah. Dalam hal ini, untuk mengakomodasi keragaman,
good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik.176
Untuk itu, tidak hanya dalam penanganan korupsi, Mohammad Ashraf
Ghani berupaya untuk membangun sebuah pemerintahan yang baik dengan
melibatkan seluruh partispasi masyarakat Afghanistan, khususnya kaum
perempuan. Melalui kebijakan-kebijakan seperti peningkatan partisipasi
perempuan di pemerintahan dan mengajak perempuan Afghanistan untuk
bergabung dalam komunitas Solidaritas Nasional, Mohammad Ashraf Ghani
terbilang cukup berhasil.
Hal ini jelas menambah kualitas perempuan di Afghanistan, yang dulunya
hanya berada di lingkungan rumah. Dengan kebijakan tersebut, berbagai sekolah
dan universitas di Afghanistan telah membuka pendaftaran untuk perempuan.
Terbukti, lebih dari 8 juta siswa dan siswi terdaftar di sekolah, termasuk lebih dari
2,5 juta adalah perempuan. Terlebih, berbagai universitas pun dibangun dengan
perempuan Afghanistan sebagai agent of change.
Pencapaian ini merupakan bukti bahwa Afghanistan sedang berbenah untuk
menciptakan pemerintahan yang baik dengan ikut melibatkan seluruh elemen
masyarakat. United Nations Development Programme (UNDP)177
telah mencatat
sembilan karakteristik good governance, dan dalam hal ini, terdapat tiga kriteria
176
Loina Lalolo, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan
Partisipasi, h. 6. 177
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, h. 7.
93
atau tolak ukur yang sudah sejauh ini dimiliki Afghanistan dalam mencapai tata
pemerintahan yang baik (good governance), yaitu participation, equity dan
strategic version.
Dikatakan strategic version karena Mohammad Ashraf Ghani mempunyai
komitmen dan tekad ke depan dalam mewujudkan good governance di
Afghanistan. Namun dalam hal keamanan, Aimal Faizi, seorang jurnalis di
Afghanistan memiliki pandangan yang berbeda, menurutnya Afghanistan
kehilangan keseimbangannya ketika Presiden Ashraf Ghani terus melanjutkan
strateginya dalam hal memberantas kelompok Islam radikal Taliban.178
Ia
meyakini, selain melakukan pembalasan kekerasan terhadap kelompok Taliban,
pasti ada cara yang lebih efektif yang seharusnya dilakukan oleh tokoh
pembangunan seperti Ashraf Ghani.
Di sisi lain, menanggapi kebijakan yang dilakukan oleh Ashraf Ghani
tersebut, Ahmad Nadeem Kakar179
justru memuji ketegasan yang dimiliki oleh
Ashraf Ghani. Menurutnya, “President Ghani is a fim, strong-minded, and
empowering leader”. Hal ini juga disepakati oleh Mohammad Salim180
yang
menyatakan bahwa Hamid Karzai tidak lebih baik dari Presiden Ashraf Ghani
dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya.
Jika dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya seperti Hamid Karzai,
Mohammad Ashraf Ghani memang terbilang unggul. Hal ini terlihat dari
tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dibandingkan di era
178
Aimal Faizi, “Ashraf Ghani Strategy Fail”, artikel ini diakses dari
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/05/ashraf-ghani-war-strategy-fail-
160503071038798.html pada 5 April 2017. 179
Hasil Wawancara dengan Ahmad Nadeem Kakar. 180
Hasil Wawancara dengan Mohammad Salim.
94
kepemimpinan Hamid Karzai.181
Dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat,
pemimpin idealnya harus accountable, yaitu dapat dikur kinerjanya. Melihat
beberapa upaya yang mencoba diterapkan oleh Ashraf Ghani dalam membangun
tata pemerintahan yang baik di Afghanistan, ia patut untuk dipuji. Ini karena visi
dan misi yang telah ia bangun mampu ia realisasikan, terhitung sejak ia terpilih
sebagai presiden.
Seperti apa yang Ashraf Ghani ungkapkan di depan masyarakat
Afghanistan182
, “The two million people who voted for my agenda, they did not
vote for my person”. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Afghanistan
memilihnya bukan karena dirinya, melainkan karena agenda yang telah
dijanjikan. Tentu sejak awal masyarakat sudah meyakini sosok Ashraf Ghani akan
menciptakan struktur pemerintahan yang baik di Afghanistan.
181
Hasil Wawancara dengan Ahmad Nadeem Kakar dan Mohammad Salim. 182
The Diplomat, “Interview: Ashraf Ghani”.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sekalipun telah dilaksanakan 3 kali pemilu demokratis secara berkala di
Afghanistan, yaitu pada 2004, 2009 dan 2014, hal tersebut bukan jaminan
konsolidasi demokrasi mampu tercapai. Sebab untuk mewujudkan hal itu, tidak
hanya dinilai pada proses jalannya pemilu, terdapat kriteria lain yang harus
dimiliki suatu negara sehingga demokrasi mampu dikatakan stabil. Seperti apa
yang diungkapkan oleh Larry Diamond bahwa terdapat 7 indikator menuju
demokrasi terkonsolidasi.
Apabila dilihat dari unsur partai politik, hal tersebut belum terwujud.
Kondisi partai politik di Afghanistan telah kehilangan daya tariknya. Masyarakat
Afghanistan memandang partai politik selalu identik dengan pemerintahan
komunis di masa lalu dan terdapat kekhawatiran bagi mereka bahwa partai politik
merupakan organisasi yang memiliki kemungkinan memecah belah suatu etnis.
Meskipun saat ini perkembangan partai politik di Afghanistan mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Afghanistan masih
membutuhkan aksi politik yang mampu mengesampingkan antara kepentingan
politik dan etnis.
Namun di sisi lain, demokrasi di Afghanistan memiliki citra yang positif.
Hal ini terlihat dari tingginya tingkat partisipasi masyarakat Afghanistan untuk
menyelenggarakan pemilihan umum, meskipun dibayang-bayangi oleh teror
kelompok Taliban yang akan mengancam kebebasan mereka. Situasi tersebut
96
menunjukkan keyakinan masyarakat Afghanistan terhadap penyelenggaraan
demokrasi di negara mereka. Dalam konteks ini demokrasi mampu terlaksana,
mengingat esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi.
Terpilihnya Mohammad Ashraf Ghani pada September 2014 diharapkan
mampu menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) bagi
Afghanistan. Harapan dan keinginan mewujudkan tata pemerintahan yang baik
(good governance) adalah tekad yang pernah diucapkan oleh Mohammad Ashraf
Ghani saat beliau dilantik sebagai presiden. Harapannya ini kemudian
dimplementasikan ke dalam kebijakan-kebijakannya selama menjabat.
Dalam hal penanganan korupsi, Mohammad Ashraf Ghani menunjukkan
hasil yang positif melalui penerapan kebijakan anti-korupsi yang
diimplementasikan melalui beberapa upaya, seperti; aksi vokalnya dalam reform
paper pada konferensi London, pembentukan dewan pengawas eksternal yaitu
Komisi Pengadaan Nasional (National Procurement Commission) dan Otoritas
Pengadaan Nasional (National Procurement Authority), membangun lembaga
anti-korupsi yakni High Council Governance, Rule of Law and Anti-Corruption
(HCAC), serta membentuk lembaga peradilan anti-korupsi yaitu Anti-Corruption
Criminal Justice Center (ACJC).
Namun, upaya Ashraf Ghani tersebut strategi memiliki beberapa kelemahan
dalam pengimplementasiannya. Di antaranya: lemahnya komitmen, konsistensi
dan transparansi penegakan hukum, pemahaman yang keliru terhadap lembaga
anti-korupsi yang independen, institusi yang masih lemah, serta kinerja institusi
yang masih sulit dipahami. Di sisi lain, hal tersebut menjadi bukti kerja keras dan
97
tekad Mohammad Ashraf Ghani beserta National Unity Government dalam
menurunkan angka pertumbuhan korupsi di Afghanistan.
Sedangkan menyangkut persamaan hak-hak perempuan, Mohammad Ashraf
Ghani berupaya untuk membangun sebuah pemerintahan yang baik dengan
melibatkan seluruh partispasi masyarakat Afghanistan, khususnya kaum
perempuan. Melalui kebijakan-kebijakan seperti peningkatan partisipasi
perempuan di pemerintahan dan mengajak perempuan Afghanistan untuk
bergabung dalam komunitas Solidaritas Nasional, Mohammad Ashraf Ghani
terbilang cukup berhasil.
Selanjutnya dalam hal keamanan, Mohammad Ashraf Ghani dinilai gagal
dalam menyempurnakan sendi-sendi demokrasi. Upaya yang dilakukan oleh
Mohammad Ashraf Ghani dalam memberantas Taliban di Afghanistan dengan
cara menggunakan kekuatan militer ataupun mengeksekusi 6 militan Taliban
karena kejahatan teror, merepresentasikan cara-cara otoritarianisme yang masih
kental. Kendati demikian, Mohammad Ashraf Ghani sebelumnya telah melakukan
upaya yang persuasif dalam menyelesaikan permasalahan radikalisme di
Afghanistan.
Meskipun dalam pengimplementasiannya Mohammad Ashraf Ghani tidak
mampu menjangkau secara keseluruhan, harus diakui bahwa setiap kebijakan
yang diterapkan pasti memiliki kelemahan, dan setidaknya Ashraf Ghani sudah
memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang ia telah janjikan. Dalam hal ini,
Afghanistan masih patut belajar untuk membangun dan mendesain struktur
institusi yang lebih efektif, transparan, responsiveness dan accountable,
98
meningkatkan rasa aman dan partisipasi masyarakat, serta membangun kerangka
hukum yang adil dan tanpa pandang bulu guna untuk menciptakan tata
pemerintahan yang baik (good governance).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran bagi peneliti
lainnya yang tertarik dengan materi demokrasi, agar mengangkat tema kajian
demokrasi di Afghanistan, sebab penulis memahami keterbatasan pada tema
tersebut. Selanjutnya bagi yang telah meneliti tema yang sama dengan penulis,
disarankan untuk menambah Islamic Republic of Afghanistan Constitution sebagai
salah satu referensi agar mempunyai dasar hukum yang jelas sehingga mudah
dalam proses menganalisa.
99
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Azra, Azyumardi. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Prenada Media.
Brata, Arya Roby. 2016. Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan
Strategis. Jakarta: Pustaka Kemang.
Chayes, Sarah. 2006. The Punishment of Virtue: Inside Afghanistan After the
Taliban. New York: Penguin Books.
Chumaidy, A. Chozin. 2006. Etika Politik dan Esensi Demokrasi: Jejak
Pemikiran Demokratisasi Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu.
Crotty, William. 2005. Democratic Development and Political Terrorism: The
Global Perspective. Florida: Northeastern. University Press.
Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy: Toward Consolidation.
Yogyakarta: IRE Press. Terj. Tim IRE.
Eko, Suto. 2008. Mengkaji Ulang Good Governance. Yogyakarta: IRE.
Grover, Verinder. 2002. Government and Politics of Asian Countries 1:
Afghanistan. New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD.
Hadibroto, Iwan. 2007. Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan Amerika
Serikat vs. Taliban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Huntington, Samuel P. 2001. Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti. Terj. Pustaka Utama.
Ibrahim, Qasim A., dan Muhammad A. Saleh. 2014. Buku Pintar Sejarah Islam:
Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. terj.
Zainal Arifin. Jakarta: Zaman.
Ikram, Sayed. 2016. Fighting Corruption in Afghanistan: Solving The
Institutional Puzzle. Kabul: Integrity Watch Afghanistan.
Junaidi, Veri. 2013. Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan
Pemilu. Jakarta: Perludem.
Katz, Richard S. Democracy and Elections. 1997. New York: Oxford University
Press.
100
Kurnia, Anton. 2007. Dari Penjara Taliban Menuju Iman. Jakarta: PT Mizan
Pustaka.
Lalolo, Loina. 2003. Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi
dan Partisipasi. Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Lawrence, Bruce B. 1989. Defenders of God: The Fundamentalist: Revolt Against
the Modern Age. San Francisco: Harper & Row.
Legowo, Sulastomo T.A. 2008. Memadukan Langkah Membangun Indonesia
Masa Depan. Jakarta: Gerakan Jalan Lurus.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, 2000. Akuntabilitas dan Good Goverenance.
Jakarta: Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2000. Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan dan pembangunan.
Linz, Juan J. 2001. Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and
Consolidation. Bandung: Mizan.
Maulani, Z.A. 2002. Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni
Amerika di Asia Tengah. Jakarta: Dalancang Seta.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
Marsh, David. dan Gerry Stoker. 2002. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik.
Bandung: Nusamedia.
Mousalli, Ahmad S. 1992. Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and
Political Discource of Sayyid Qutb. Beirut: American University of Berut.
Nasiri, Omar. 2007. Inside The Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan?. Jakarta:
Zahira.
O‟Donnel, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead. 1993.
Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES.
Price, Daniel E. 1999. Islamic Political Culture, Democracy, and Human Rights:
A Comparative Study. London: Greenwood Publishing Group.
Rose-Ackerman, Susan. 2006. Korupsi dan Peremintahan: Sebab, Akibat, dan
Reformasi, terj. Toenggoel P. Siagian. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
101
Said, Edward W. 1997. Covering Islam: How the Media and The Experts
Determine How We See The Rest of The World. New York: Vintage Books.
Santosa, Pandji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: Refika Aditama.
Sirry, Mun‟im A. 2002. Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru
Muslim Dalam Transisi Indonesia. Bekasi: Gugus Press.
Strauss, Anselm. dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif
(Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisi Data). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. cet.1.
Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah
Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
The Asia Foundation. 2004. Voter Education Planning Survey: Afghanistan 2004
National Elections. Afghanistan: U.S Agency for International
Development.
Tjokroamijojo, Bintoro. 2000. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen
Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Bandung: Fokus Media.
Widodo, Joko. 2007. Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi
pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia.
B. Jurnal
Alfirdaus. “Bukan Untuk Angka, Apalagi Pemberdayaan: Kebijakan Setengah
Hati Kuota Perempuan”. Jurnal Konstitusi. Vol. 5 No.5. 2008: 145-159.
Amelia, Catarina Mega. “Upaya United Nation dalam Penyetaraan Gender di
Afghanistan.” Ejournal Ilmu Hubungan Internasional. Vol. 4 No. 1. 2016:
89-102.
Liani, Lusy. “Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu”, Jurnal
Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.” Vol. 4 No. 1.
2016: 51-72.
Nubatonis, Sondil E, dkk. “Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance dalam
Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik.” Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Vol. 3 No. 1. 2014: 16-20.
102
Nugroho, Kris. “Konsolidasi Demokrasi.” Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan
Politik. Vol. XIV No. 2. April 2001: 25-34.
Trijono, Lambang. “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia:
Kaitan Perdamaian, Pembangunan dan Demokrasi dalam Pengembangan
Kelembagaan Pasca-Konflik.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 13,
No. 1. Juli 2009: 48-70.
C. Skripsi
Arifin, Zaenal. 2008. “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses
Demokrasi di Afghanistan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Efendi, Ikhwan. 2013. “Proses Demokrasi di Myanmar: Analisa terhadap
Dinamika Politik Myanmar Tahun 2011-2012.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Haris, Umiyati. 2016. “Penyelesaian Konflik Afghanistan-Pakistan: Sebuah
Pendekatan Rekonsiliasi.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
D. Internet
About Afghanistan. “A General Summary The Pashtun People” [website resmi];
tersedia di http://www.about-afghanistan.com/pashtun-people.html; internet;
diunduh pada 31 Januari 2016.
Administrative Office of The President Islamic Republic of Afghanistan.
“National High Council for Rule of Law and Anti-Corruption Holds Its First
Meeting” [website resmi]; tersedia di
http://aop.gov.af/english/2920/National+High+Council+for+Rule+of+Law+
and+Anti-Corruption+Holds+Its+First+Meeting; internet; diunduh pada 21
Maret 2017.
Afghanistan Reconstruction Trust Fund. “Active Portofolio Investment Projects”
[website resmi]; tersedia di http://www.artf.af/portfolio/active-portfolio-
investment-projects/rural-development/national-solidarity-program-iii;
internet; diunduh pada 22 Maret 2017.
Afghan Web. “Politics Government” [wesbite resmi]; tersedia di
http://www.afghan-web.com/politics/government.html; internet; diunduh
pada 31 Januari 2016.
Aljazeera and Agencies. “Taliban Truck Bomb Hits Northgate Hotel in Kabul”
[berita online]; tersedia di http://www.aljazeera.com/news/2016/08/taliban-
103
truck-bomb-hits-foreign-guesthouse-kabul-160801000720311.html;
internet; diunduh pada 7 April 2017.
Ariana News. “Ashraf Ghani Warns to Fight Violence, Discrimination Against
Women” [berita online]; tersedia di http://ariananews.af/ghani-warns-to-
fight-violence-discrimination-against-women/; internet; diunduh pada 22
Maret 2017.
BBC News. “Afghanistan Country Profile” [berita online]; tersedia di
http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12011352; internet; diunduh
pada 2 Februari 2017.
___________. “Afghan Peace Council Head Rabbani Killed in Attack” [berita
online]; tersedia di http://www.bbc.com/news/world-south-asia-14985779;
internet; diunduh pada 23 Maret 2017.
___________. “Afghan Presidential Contenders Sign Unity Deal” [berita online];
tersedia di http://www.bbc.com/news/world-asia-29299088; internet;
diunduh pada 3 Maret 2017.
___________. “Karzai Declared Afghan President” [berita online]; tersedia di
http://news.bbc.co.uk/2/hi/3977677.stm; internet; diunduh pada 9 Februari
2017.
BBC Indonesia. “Karzai dan NATO Sepakati Strategi” [berita online]; tersedia di
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/11/101120_natolisabon.shtml;
internet; diunduh pada 23 Maret 2017.
BBC Indonesia. “NATO Dianggap Gagal oleh Presiden Karzai” [berita online];
tersedia di
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/10/131008_afghanistan_nato;
internet; diunduh pada 17 November 2016.
BBC Indonesia. “Parlemen Afghanistan Dibuka” [berita online]; tersedia di
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/12/051219_afghanparlia
ment.shtml; internet; diunduh pada 15 November 2016.
Berita Daerah. “Para Calon Presiden Afghanistan Ikut Debat Pemilu Presiden”
[berita online]; tersedia di http://beritadaerah.co.id/2014/02/06/para-calon-
presiden-afghanistan-ikuti-debat-pemilu-presiden/; internet; diunduh pada
18 Februari 2017.
Breaking World News. “Afghanistan Telah Memilih” [berita online]; tersedia di
http://www.dw.com/id/afghanistan-telah-memilih/a-4587954; internet;
diunduh pada 11 Februari 2017.
104
______________. “Dunia Sambut Pemilu di Afghanistan” [berita online]; tersedia
di http://www.dw.com/id/dunia-sambut-pemilu-di-afghanistan/a-4589128;
internet; diunduh pada 11 Februari 2017.
______________. “Jelang Pemilu Penentuan, Abdullah Keluarkan Tuntutan”
[berita online]; tersedia di http://www.dw.com/id/jelang-pemilu-penentuan-
abdullah-keluarkan-tuntutan/a-4835904; internet; diunduh pada 11 Februari
2017.
______________. “Karzai Masih Punya Peluang dalam Pemilu Presiden
Afghanistan” [berita online]; tersedia di http://www.dw.com/id/karzai-
masih-punya-peluang-dalam-pemilu-presiden-afghanistan/a-4442191;
internet; diunduh pada 11 Februari 2017.
Central Intelligence Agency Government. “World Factbook” [website resmi];
tersedia di https://www.cia.gov/library//publications/the-world-
factbook/geos/af.html; internet; diunduh pada 2 februari 2017.
CNN Indonesia. “Presiden Baru Afghanistan Dilantik” [berita online]; tersedia di
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140929202153-120-
4681/presiden-baru-afghanistan-dilantik/; internet; diunduh pada 19 Januari
2017.
CNN. “Taliban Threatens Retaliation If Iran Strikes” [berita online]; tersedia di
http://edition.cnn.com/WORLD/meast/9809/15/iran.afghan.tensions.02/inde
x.html; internet; diunduh pada 2 Februari 2017.
Faizi, Aimal. “Ashraf Ghani Strategy Fail” [berita online]; tersedia di
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/05/ashraf-ghani-war-
strategy-fail-160503071038798.html; internet; diunduh pada 5 April 2017.
GirlTalkHq. “Afghanistan President Ashraf Ghani Elevating Championing Status
Women” [berita online]; tersedia di http://girltalkhq.com/afghanistan-
president-ashraf-ghani-elevating-championing-status-women/; internet;
diunduh pada 22 Maret 2017.
Global Security. “Afghanistan: President Election” [website resmi]; tersedia di
http://www.globalsecurity.org/military/world/afghanistan/politics-2004.htm;
internet; diunduh pada 9 Februari 2017.
Government Media and Information Center. “Establishment of Anti-Corruption
Justice Center Critical to Fighting Corruption in Afghanistan” [website
resmi]; tersedia di http://www.gmic.gov.af/english/analysis/406--
establishment-of-anti-corruption-criminal-justice-center-critical-to-fighting-
corruption-in-afghanistan; diunduh pada 20 Maret 2017.
105
Hidayatullah. “Karzai Terpilih Lagi Menjadi Presiden Afghanistan” [berita
online]; tersedia di
https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2009/11/03/42721/k
arzai-terpilih-lagi-menjadi-presiden-afghanistan.html; diunduh pada 11
Februari 2017.
Index Mundi. “Afghanistan Private Debt” [berita online] Artikel ini diakses dari
http://www.indexmundi.com/facts/afghanistan/private-debt; internet;
diunduh pada 1 Febuari 2017.
International Business Times. “Afghanistan to Allow 10.000 US Troops Remain
After 2014 Under New Security Agreement, Officials Yes” [berita online];
tersedia di http://www.ibtimes.com/afghanistan-allow-10000-us-troops-
remain-after-2014-under-new-security-agreement-officials-1696349;
internet; diunduh pada 4 April 2017.
Inter Press Service. “Corruption: Few See a Clean Way Out” [berita online];
tersedia di http://www.ipsnews.net/2004/12/corruption-few-see-a-clean-
way-out/; internet; diunduh pada 13 Maret 2017.
Iran Indonesian Radio. “Membangun Demokrasi di Afghanistan” [berita online];
tersedia di http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/78993-
Membangun_Demokrasi_di_Afghanistan; internet; diunduh pada tanggal 16
November 2016.
Ismail, Mohammad. “Perempuan Afghanistan Hadapi Diskriminasi dan
Kemiskinan” [berita online]; tersedia di
http://www.antaranews.com/berita/430052/perempuan-afghanistan-hadapi-
diskriminasi-dan-kemiskinan; internet; diunduh pada 22 Maret 2017.
Kisihandi, Ferry. “Misi Pasukan Asing Selesai” [berita online]; tersedia di
http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-
koran/14/12/29/nhc3k76-misi-pasukan-asing-selesai; internet; diunduh pada
23 Maret 2017.
Kompas. “Dari Yang Nyentrik Hingga Yang Dicap Antek” [berita online];
tersedia di
http://nasional.kompas.com/read/2009/08/18/0700573/dari.yang.nyentrik.hi
ngga.yang.dicap.antek; internet; diunduh pada 11 Februari 2017.
______. “Hamid Karzai: NATO Gagal Di Afghanistan” [berita online]; tersedia di
http://tekno.kompas.com/read/2013/10/08/1816472/Hamid.Karzai.NATO.G
agal.di.Afganistan; internet; diunduh pada 17 November 2016.
Liputan 6. “Afghanistan Bersiap Menggelar Pilpres Pertama” [berita online];
tersedia di http://m.liputan6.com/global/read/84167/afghanistan-bersiap-
menggelar-pilpres-pertama; internet; diunduh pada 10 Oktober 2016.
106
Metro Tv News. “Pemilu Afghanistan Banjir Pujian” [berita online]; tersedia di
http://m.metrotvnews.com/read/2014/04/06/227179/pemilu-afghanistan-
banjir-pujian; internet; diunduh pada 28 Februari 2017.
Maps of World. “Afghanistan Map” [berita online]; tersedia di
http://www.mapsofworld.com/afghanistan/; internet; diunduh pada 2
Februari 2017.
Muslimedia News. “Taliban Lahir dari Perang Afghanistan” [berita online];
tersedia di http://www.muslimedianews.com/2016/04/taliban-lahir-dari-
perang-afghanistan.html; internet; diunduh pada 2 Februari 2017.
North Atlantic Treaty Organization. “ISAF Commander General David Petraeus
Interviewed on Afghanistan” [website resmi]; tersedia di
http://www.nato.int/cps/en/natolive/opinions_65854.htm; internet; diunduh
pada 23 Maret 2017.
NPA. “The Introduction of The National Procurement Authority” [website resmi];
tersedia di http://www.ppu.gov.af/Beta/English/AboutUs.aspx; internet;
diunduh pada 20 Maret 2017.
Riechman, Deb. “NATO Apologizes for Civilian deaths in Afghanistan” [berita
online]; tersedia di http://www.csmonitor.com/World/Latest-News-
Wires/2012/0608/NATO-apologizes-for-civilian-deaths-in-Afghan-airstrike;
internet; diunduh pada 4 April 2017.
Roehrs, Christine. “Return of The Goodwill? London Conference As Symbol for
A New Start” [berita online]; tersedia di https://www.afghanistan-
analysts.org/reurn-of-the-good-will-london-conference-as-symbol-for-a-
new-start/; internet; diunduh pada 20 Maret 2017.
Rosenberg, Matthew. “Corruption Remains Intractable in Afghanistan Under
Karzai Government” [berita online]; tersedia di
http://www.nytimes.com/2012/03/08/world/asia/corruption-remains-
intractable-in-afghanistan-under-karzai-government.html; internet; diunduh
pada 17 November 2016.
Salim, Erwin. “Afghanistan: Gembong Perang di Kursi Parlemen” [berita online];
tersedia di http://arsip.gatra.com/2005-10-
16/majalah/artikel.php?pil=23&id=89053; internet; diunduh pada 11
Februari 2017.
Sherzai, Dilawal. “Discrimination Against Women in Afghan Society” [berita
online]; tersedia di http://outlookafghanistan.net/topics.php?post_id=3629;
internet; diunduh pada 22 Maret 2017.
107
Suara Merdeka, “Afghanistan Ajak Pakistan Perangi Taliban” [berita online];
tersedia di http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/afghanistan-ajak-
pakistan-perangi-taliban/; internet; diunduh pada 23 Maret 2017.
___________, “Menyemaikan Damai di Afghanistan” [berita online]Artikel ini
diakses dari
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/04/14/258670/
Menyemaikan-Damai-di-Afghanistan; internet; diunduh pada 28 Februari
2017.
The American Prospect. “Hamid Karzai and The Afghan Disaster” [berita online];
tersedia di http://prospect.org/article/qa-hamid-karzai-and-
%E2%80%9Cafghan-disaster%E2%80%9D; internet; diunduh pada 13
Maret 2017.
The Diplomat. “Institutionalizing Womens Rights For Afghanistan Future” [berita
online]; tersedia di http://thediplomat.com/2016/03/institutionalizing-
womens-rights-for-afghanistans-future/; internet; diunduh pada 22 Maret
2017.
___________. “Interview: Ashraf Ghani” [berita online]; tersedia di
http://thediplomat.com/2014/10/interview-ashraf-ghani/; internet; diunduh
pada 3 April 2017.
The Guardian. “Afghanistan Executes Six Taliban Prisoners” [berita online];
tersedia di https://www.theguardian.com/world/2016/may/08/afghanistan-
executes-six-taliban-prisoners-ashraf-ghani; internet; diunduh pada 4 April
2017.
____________. “Afghan president Mohammad Ashraf Ghani inaugurated after
bitter campaign” [berita online]; tersedia di
https://www.theguardian.com/world/2014/sep/29/afghan-president-ashraf-
ghani-inaugurated; internet; diunduh pada 27 Oktober 2016.
Tolo News. “Afghanistan President Ghani Attends London Anti-Corruption
Summit” [berita online]; tersedia di
http://www.tolonews.com/afghanistan/president-ghani-attends-london-anti-
corruption-summit; internet; diunduh pada 20 Maret 2017.
Tranparency International. “What Needs to Change in Afghanistan” [website
resmi]; tersedia di
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_in_afghanistan_what_
needs_to_change; internet; diunduh pada 4 April 2017.
____________. “Corruption Perceptions Index” [website resmi]; tersedia di
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_20
16; internet; diunduh pada 4 April 2017.
108
Uni Assigment Centre. “Afghanistan Transition Towards A Market Driven
Economy Economics Essay” [website resmi]; tersedia di
https://www.uniassignment.com/essay-samples/economics/afghanistans-
transition-towards-a-market-driven-economy-economics-essay.php;
internet; diunduh pada 1 Februari 2017.
Viva. “KPU Umumkan Mohammad Ashraf Ghani Pemenang Pilpres” [berita
online]; tersedia di http://www.viva.co.id/prancis2016/read/542425-kpu-
afghanistan-umumkan-ashraf-ghani-pemenang-pilpres; internet; diunduh
pada 3 Maret 2017.
Voa News. “Afghanistan Signs Security Pacts with Us, NATO” [berita online];
tersedia di http://www.voanews.com/a/us-welcomes-signing-of-bilateral-
security-agreement-with-afghanistan/2467098.html; internet; diunduh pada
4 April 2017.
Wibisono, Kunto. “Presiden Afghanistan Undang Taliban Berdialog” [berita
online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/461798/presiden-
afghanistan-undang-taliban-berdialog; internet; diunduh pada 23 Maret
2017.
World Education News. “Education in Afghanistan” [berita online]; tersedia di
http://wenr.wes.org/2016/09/education-
afghanistanhttp://wenr.wes.org/2016/09/education-afghanistan; internet;
diunduh pada 22 Maret 2017.
109
Lampiran 1
TRANSKIP WAWANCARA
Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan Prof. Mohammad
Salim, serta Ahmad Nadeem Kakar selaku Office Administrator Legal Education
Support Program Afghanistan dan merupakan mahasiswa S3 Hukum di
Universitas Washington, Amerika Serikat. Adapun wawancara ini dilakukan
secara langsung pada tanggal 13 Maret 2017, Pukul 07.15 WIB.
Yasmin : Nice to meet you Mr. Nadeem and Prof. Salim. Let me
introduce my self. My name is Adilah Yasmin Hatta. I am from
State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. I am
currently writing my bachelor thesis about “Consolidation
Democracy Agenda in Afghanistan”. I would like to say thank
you very much for this opportinity. It‟s an honour for me, sir.
Mr. Nadeem : Nice to meet you, Yasmin. I‟m happy to help you on that up to
my level of understanding. I‟m sure Prof. Salim at this moment
would like to help you for your research.
Prof. Salim : Yes, it‟s true. Nice to meet you, Mrs. Yasmin. I would be
happy to answer any questions you have. How could i help you?
Yasmin : Thank you very much, sir. I‟m wondering to know more about
democracy in Afghanistan on your and Mr. Nadeem‟s
perspectives as an Afghanistan citizens. How would you
describe it, sir?
110
Mr. Nadeem : That‟s good, but if it‟s possible, you could devide your
questions to us. I mean like your main questions would be
answered by Prof. Salim, and i would respond it some of them
to shorten time.
Yasmin : Good advice, Mr. Nadeem. Could we start it?
Mr. Nadeem : Sure.
Yasmin : First question to Prof. Salim, what do think about democracy in
your country nowadays and how would you describe it,
professor?
Prof. Salim : Ok. Bismillahirrohmanirrohim. Democracy in Afghanistan is
very young. If we are talking about “young” thing, so there are
still many problems and challenges. A lot‟s happened over the
years in Afghanistan and we have still got more work to do as
young democracy country. But however, as the economy of the
country worsen, as the people become more fearful and
frustrated, the voters may become more committed to change for
the better, and a more equitable system just might become a
reality.
Yasmin : How about the political parties in Afghanistan? How the
progress is going?
Prof. Salim : Well. Yet little research to date has focused on how Afghan
parties generally are evolving, but Afghanistan still needs
political movements tied to ideas and governing principles
111
rather than ethnicity or individuals. To be sure, Afghans should
choose how to organize, who to lead parties, what reviews their
platforms should be, and so forth.
Yasmin : Next question to Mr. Sadeem. How would you describe the
human right situation now, and what has changed for women?
Mr. Nadeem : The idea of human rights in current Afghanistan is suffering
from one problem which also cause human right to stagnate. It
was associated with the foreigner ideology. It means many
ordinary people in Afghanistan think ideas like human rights,
women rights, and democracy are mottos to firstly break down
our traditional values, perspectives, and even faith. Like i heard
about some colleagues who teach the value of women rights in
public and academics but they put many restrictions on their
own wives.
Yasmin : I see. So it means they do not apply that inside their house,
regarding their families. So, what tactics are used by human
rights activist to bring about this change?
Mr. Nadeem : Yes. It‟s true. Unfortunately, many human rights activists in
Afghanistan were doing a wrong method. Like they told people
to fight against their background without understanding how
human rights improves their lives. They wanted to change
Afghanistan over night in terms of modern value. One of them
defended her position saying that they cannot wait to modernize
112
the country. Remember, humanity is not simple and neutral as
the machine and vehicle.
Yasmin : I discern that, sir. Next question to Prof. Salim and Mr.
Nadeem, what do you think President Ashraf Ghani as a leader?
What are some of the major differences between president
Ghani and president Karzai?
Prof. Salim : For me, they both are personally good as a leader. But, I‟d
prefer Ashraf Ghani rather than Karzai. As we already know,
Ashraf Ghani was a former World Bank economist, and there is
no doubt Mr. Ghani is well-qualified for the job of reviving the
economy. Although Mr. Ghani has said he will not tolerate
corruption, any success will depend on whether or not he can
deliver serious reform. His predecessor Hamid Karzai largely
failed here. Another reason, that he also understands the Afghan
military.
Mr. Nadeem : If we compare President Ghani with President Karzai, there is
a huge difference. Karzai's style of leadership was more
traditional while Ashraf Ghani wants to promote modernism.
Then, President Ghani is a fim, strong-minded, and empowering
leader. Everybody working in the governments were now
thinking: 'If the president suddenly comes and I'm not doing my
work, what will happen? or if i suddenly come late?‟ all people
know that his passion for punctuality is renowned. Ghani is said
113
by aides to have canceled meetings if a minister is five minutes
late.
Yasmin : So, President Ghani is much better than president Karzai?
Mr. Nadeem : Let me say “yes”. I like him. He‟s good.
Prof. Salim : In that case, “yes”.
Yasmin : This is the last question, what solutions did he offer to solve
the Taliban conflict in Afghanistan?
Mr. Nadeem : At first, Ashraf Ghani thought that negotiations with
the Taliban are the only way to “end the bloodshed” and bring
peace to the country. Then he realized that it was an useless
way. He assumed that no more peace talks with Taliban, but it is
time to wipe all of the Taliban people. As we can see that is one
major difference between Hamid Karzai and Ashraf Ghani.
Yasmin : Prof. Salim and Mr. Nadeem, thank you very much once again.
Prof. Salim and Mr. Nadeem : You are welcome, Yasmin.
114
Lampiran 2
TRANSKIP WAWANCARA
Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat
Afghanistan asli, S. Hamidullah Husaini yang bekerja di Kementerian Luar
Negeri Kabul, Afghanistan. Adapun wawancara ini dilakukan melalui Email
([email protected]) pada tanggal 18 Februari 2017, Pukul 10.15 WIB.
Kemudian dilanjutkan pada tanggal 20 Februari 2017, Pukul 22.10 WIB melalui
aplikasi Whatsapp.
Yasmin : (Via Email) Dear Mr. Husaini,
My name is Adilah Yasmin Hatta, and i am a student of Political
Science from State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
in Indonesia. I am currently writing about bachelor thesis on
“Consolidation Democracy Agenda in Afghanistan”. I‟d like to
invite you to be interviewed because i knew from your nephew,
Mr. Mohammad ([email protected]) that you are the
citizens of Afghanistan as well. I sincerely hope that you will
participate in this important effort. I will send you just 7 short
questions to hear your opinion. Thank you very much for your
consideration, Please feel free to contact me.
Sincerely.
Husaini : Dear Ms. Hatta,
115
I received your email, i appreciate your interest for writing about
my country. As you know the previous days were holiday here in
Afghanistan. I will write my response to your questions as soon as
possible. Do you have any viber account? It will be easier for
communication.
Regards,
S. Hamidullah Husaini
Regional Cooperation Directorate
Ministry of Foreign Affairs,
Kabul, Afghanistan
Cell: +93783411004
Email: [email protected].
Yasmin : Dear Mr. Husaini,
I received your email yesterday and i would like to sincerely
thank you for your appreciation. I am really grateful for your
encouragement, guidance and support. Please feel free to contact
me on whatsapp +6287802026847.
I look forward to hearing more from you.
Kind regards.
Husaini : (via whatsapp) Hi. This is Husaini. How are you?
Yasmin : Hi. I am good thank you. And you? Nice to meet you.
Husaini : Thanks. I m fine. Me too. How is going life?
Yasmin : Everything is going smooth. I am still doing my thesis and thanks
116
for trying to help me. Do you live in Kabul?
Husaini : Yes. Good job. I m figuring out how i could help you.
Yasmin : If possible, i would like to ask you some questions. I hope i am
not bothering you.
Husaini : Ok. Can we talk after 4 hours? Now i m at work.
Yasmin : Sure. Let me know if you finish your work.
Husaini : Ok sure.
Husaini : Hi. What time there?
Yasmin : It is almost 10 pm. How about there?
Husaini : It is late. It is 7.10 pm. So you are working on your thesis.
Yasmin : Oh i see. Yes i am.
Husaini : How did you select such a subject?
Yasmin : I chose the topic.
Husaini : Nice. I appreciate it. We are geographically very far.
Yasmin : Yes, and i never expected that Afghanistan which is fulled of
conflict could be as democracy country. It makes me wonder how
it could be happen. Could you explain to me why?
Husaini : Good idea. We experienced different regims, from monarchy to
communists regim. Then after 9/11, it coms with US invasion of
Afghanistan but still we have problems. There should be parties
in the country, while we have no party as in other countries. They
are mostly on lines of ethnicity. But we are a traditional country.
117
Most people not live in cities. The religion plays a very important
role. We don‟t have middle class.
Yasmin : And how would you describe democracy in your country?
Husaini : Yeah. There is a kind of democracy. We have elected
government, we have parlement, we have free media and civil
society but still for example still there are problems. As i
mentioned while the litercy is low, people cannot choose right
candidates for parlement, also they decide based on ethnicity,
language and other factors. But we have achievements, we have
elections in recent years for the first time after 2000. Mps were
chosen and women participation improved. There powerful
elements against democracy.
Yasmin : Then how would you describe the human rights situation now as a
democracy country?
Husaini : Yeah. The last presidential election near became a crisis very
serious one. Though improvements but still as the interepretation
of Islam is very narrow and the religion play important role, the
HR situation is so so. We have a HR commusion durected by an
femal activist. It has branches all over the country, but still the
warlords are powerful. The mellitas are strong includin Taliban.
There are a collecton of elements against HR. But the activists
and organizations struggling.
Yasmin : So if you had to choose between the Taliban regime and
118
democracy, which one would you choose and why?
Husaini : Surely democracy, but it depends on people perception. If it
works properly people also will choose it.
Yasmin : Why you say that?
Husaini : Because an educated man i think in a diverse country like
Afghanistan we have no option except democracy. It is in
democracy that every one would participate in shaping the
country and will have a say in decision making by election,
specially minorities.
Yasmin : Next question, what do you think of President Ghani as a leader?
What are some of the major differences between President Ghani
and president Karzai?
Husaini : Mr. Ghani + Dr. Abdullah. You know we have an unity
government. They have their problems, but in total, the new
government is trying to fight corruption. One that was the legacy
of Karzai and work on major regional projects to Afghanistan
becoms a regional transit hub, but we have the territorial dispute
with Pakistan, we still have insurgency.
Yasmin : Yes as you said, Ashraf Ghani government has started new effort
to fight corruption since 2014, what is your statement? And how
much the influence that you have seen so far?
Husaini : Unfortunately corruption is very pervasive, it rooted everywhere.
119
Fighting against it is not easy and there is no trust. For example, if
Mr. Ghani‟s intention is good but the people he brought to office
from his ethnicity the people from other ethnicites don‟t trust
them, it is very complicated. They think while president cut
supply of fund for them it enjoys it for the people around himself.
The most important case was a private bank notorios case.
Though he promised about it but he didn‟t.
Yasmin : But how much the influence that you have seen? Or probably you
haven‟t seen the significant influence yet?
Husaini : Lets give you a very recent example. Today we heard that
President Ghani agreed that the governor of Balkh provience
continous on his post. While during campaign, this person was in
his rival camp. He is Tajik, and Ghani promised dismiss him and
avoided he continue his work, but in a political game for forcing
his rival, Abdullah, Mr. Ghani absorb this governor.
Yasmin : How could this happen?
Husaini : While he is in this province after 2001. So long and very
notorous. Dealing and solving the issues here are traditional.
Yasmin : Oh i see. Next question and it could be such a personal question.
On the whole, how satisfied or dissatisfied are you with the way
democracy works in your country? And how satisfied are you
with the Ashraf Ghani government?
Husaini : I think we are practicing democracy. It is not ideal but we have to
120
it. There are many young who struggling and fighting for it,
especially in media. Women and human rights activists. Even the
radical groups looks like compromise to the right people but what
happened in last presidential election stained democracy. The two
formed sides of unity government promised to reform the election
law to issue electronic id, but as there is ethnicity issue, still not
happened. They also promised to change the government from
presidential system to parliamentarism, but not happened. These
issue make people not trust in democratic mechanism. As we see,
the element of religion in these countries are essential. Yes, we
have such an institution to against corruption. It is a government
institution but as i said the culture of nepotism and warloads and
issue of ethnicity make it very difficult. The other factor is
problem with justice section. It is corrupt and in absence of a
clean and powerful justice system. It is difficult fighting
corruption.
Yasmin : Thank you very much Mr. Husaini for your informations about
your country. This will help me to finish my thesis. I truly
appreciate it.
Husaini : If it is possible to not use my real name. If you want i could give
your question also for one of my friend to answer them.
Yasmin : Sure. Thank you very much for your kindness.
Husaini : You are welcome.
121
Lampiran 3
TRANSKIP WAWANCARA
Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan Patrice Lumumba
yang merupakan Dosen Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin
Makassar. Beliau memiliki keahlian di bidang Hubungan Internasional, Diplomasi
dan Negosiasi Internasional, serta Kajian Amerika. Adapun wawancara ini
dilakukan secara langsung di Ruangan Departemen Hubungan Internasional
Universitas Hasanuddin pada tanggal 2 Maret 2017, Pukul 10.00 WITA.
Yasmin : Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai
pada saat rezim Taliban berhasil dijatuhkan yakni pada
November 2001. Tidak sedikit pakar yang berpendapat
bahwa demokrasi tersebut tidak akan berlangsung lama.
Dengan asumsi bahwa masyarakat Afghanistan masih
belum siap. Namun, kenyataannya pemilihan umum terus
diselenggarakan, dimulai pada 2004, 2009 dan terakhir
2014. Masyarakat Afghanistan masih menyambutnya
sebagai bentuk kepedulian mereka dalam membangun
demokrasi Afghanistan lebih stabil. Dalam hal ini, mereka
percaya bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah
dengan melalui demokrasi. Pertanyaan saya, dalam
pandangan bapak bagaimana bapak melihat fenomena
demokrasi di Afghanistan? Dan apakah pemilih di
122
Afghanistan sudah cukup matang untuk memilih
pemimpin yang tepat?
Pak Patrice : Baik, jika kamu mengatakan bahwa banyak pengamat
yang meyakini hal tersebut, menurut saya sebagai seorang
akademisi, pernyataan itu tentu harus berdasarkan teoritis.
Karena kita dituntut demikian. Teoritisnya, apa itu
demokrasi? Sebab dalam konteks fenomena
perkembangan, untuk dikatakan murni demokrasi, terdapat
beberapa kriteria yang harus dimiliki sebuah negara
sehingga dikatakan demokratis. Kalau hanya dengan
pemilihan umum saja seperti yang kamu sampaikan tadi,
tentu hal itu masih diragukan. Memang benar, bahwa
pemilihan umum menjadi indikator negara mampu
dikatakan demokratis. Namun, di sisi lain masih banyak
faktor-faktor pendukung lainnya yang mesti harus
dimiliki. Karena apabila meminjam pengertian demokrasi
versi Amerika, yang paling pokok adalah the will of the
people is supreme. Pertanyaannya adalah apakah hal
tersebut ada di negara Afghanistan? Kembali lagi apakah
Ashraf Ghani memang benar-benar seorang pemimpin
yang lahir dari bawah dan dipilih berdasarkan keinginan
masyarakat Afghanistan sendiri, ataukah ia dropped from
America (Boneka Amerika)? Sepenglihatan saya
123
mengenai fenomena tersebut, masyarakat Afghanistan
sepertinya belum memahami betul makna dari demokrasi,
meskipun realitanya mereka sudah memillih dan ikut
berpatisipasi. Apa yang diinginan oleh mereka adalah
perubahan ke arah yang lebih baik. Apabila demokrasi
tersebut mampu mengantarkan Afghanistan menuju
pemerintahan yang baik, mereka menerimanya.
Yasmin : Artinya untuk konteks Afghanistan, hal ini masih jauh
dari stabil?
Pak Patrice : Iya benar. Afghanistan masih harus belajar dari negara-
negara dengan sistem demokrasi yang sudah mapan,
seperti misalnya Amerika Serikat. Ia masih harus belajar
bagaimana menjaga keamanan di negara sendiri dengan
mengurusi masalah Taliban, terlepas ia sudah
menuntaskan transisi menuju demokrasi dengan
melakukan 3 kali pemilu.
Yasmin : Baik pak. Apakah dari yang bapak amati, upaya yang
dilakukan Ashraf Ghani kurang efektif dalam
memberantas kelompok Islam radikal seperti Taliban?
Pak Patrice : Bukan saya mengatakan tidak efektif, tetapi memang
saya melihat kelompok Taliban ini merupakan organisasi
yang kuat sehingga sulit untuk dihilangkan. Upaya yang
124
dilakukan oleh Mohammad Ashraf Ghani dan dibantu oleh
Amerika hanya mengatasi luarnya saja, yaitu dengan cara-
cara kekerasan, sedangkan pemikiran dari kelompok ini
yang sebenarnya harus dihentikan penyebarannya.
Yasmin : Bagaimana dengan pemberantasan korupsi di
Afghanistan?
Pak Patrice : Saya jelaskan dulu. Korupsi di Afghanistan sudah
berlangsung sejak beberapa tahun lamanya, yang mana
uang tersebut berasal dari dana bantuan negara-negara
asing seperti Amerika. Petinggi-petinggi Afghanistan
belum mampu saat itu mengelola keuangan dengan baik,
sehingga wajar apabila mereka menganggap bahwa
bantuan tersebut dijadikan kepemilikan pribadi setelah
mengalami peperangan yang panjang. Saya katakan
korupsi di Afghanistan juga masih sulit untuk diselesaikan
oleh Ashraf Ghani. Sebab ya itu tadi.
Yasmin : Seperti apa yang tadi bapak sampaikan, Amerika Serikat
memiliki kemitraan dengan Afghanistan. Sebab, Amerika
mendorong sistem demokrasi di Afghanistan, ia juga
melakukan bantuan-bantuan yang ditujukan unntuk
menjaga stabilitas dan keamanan di Afghanistan.
Pertanyaan saya, apakah kemitraan Amerika Serikat
125
dengan Afghanistan akan terus berlanjut di masa
mendatang?
Pak Patrice : Hal ini tergantung apakah Afghanistan masih
membutuhkan bantuan dengan Amerika Serikat. Tetapi
dari yang saya lihat, perhatian Amerika masih tetap ada di
Afghanistan.
Yasmin : Baik pak, terima kasih banyak atas partisipasinya.
Pak Patrice : Iya. Salam.
126
Lampiran 4
127
Lampiran 5