220
AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur Achmad Firman Obed Haba Nono Ahmad Romadhoni Surya Putra

AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Achmad Firman Obed Haba Nono

Ahmad Romadhoni Surya Putra

Page 2: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

i

AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Di susun oleh:

Achmad Firman Obed Haba Nono

Ahmad Romadhoni Surya Putra

Page 3: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

ii

Copyright@2020, Achmad Firman, Obed Haba Nono, Ahmad Romadhoni Surya Saputra

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi

buku tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan pertama, 2020 Diterbitkan oleh Unpad Press

Grha Kandaga, Perpustakaan Unpad Lt. IV Jl. Raya Bandung – Sumedang Km 21 Bandung 45363

e-mail: [email protected]/[email protected] http://press.unpad.ac.id

Editor :

Dr. Ir. Ahmad Dading Gunadi, MA

Reviewer: Dr. Ir. Linda Herlina, MS

Dr. Ir. Marina Sulistyati, MS Judul: AGRIBISNIS SAPI POTONG: DI INDONESIA DAN

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Penulis: Achmad Firman (Unpad), Obed Haba Nono (Undana), Ahmad Romadhoni Surya Saputra (UGM) Disain Cover: Achmad Firman

Ukuran 17 x 24 cm, 115 halaman

ISBN: 978-602-439-846-0

Page 4: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

iii

Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan, kesehatan, dan kelancaran kepada penulis sehingga buku ini dapat diselesaikan. Buku ini menggambungkan

pendekatan teori dan hasil penelitian penulis sehingga diharapkan bisa memberikan pendekatan yang komprehensif atas informasi yang disampaikan di buku ini. Penyusunan buku ini didasarkan pada keterbatasan ketersediaan buku manajemen agribisnis yang memadukan teori serta aplikasi agribisnis khususnya agribisnis sapi potong sebagai bahan referensi, baik bagi mahasiswa yang mengambil program studi peternakan ataupun agribisnis, dan khalayak umum. Aplikasi agribisnis sapi potong yang diuraikan di buku ini mengambil beberapa contoh kasus di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kasus agribisnis dengan ruang lingkup di Indonesia lebih ditekankan pada pengembangan sapi potong melalui peningkatan populasi yang disokong oleh kebijakan, regulasi, dan program-program pemerintah. Adapun Provinsi Nusa Tenggara Timur diambil sebagai bagian dari literatur di buku ini adalah untuk memberikan gambaran sistem agribisnis sapi potong di provinsi ini. Istilah ”Lumbung Sapi” yang disematkan pada provinsi ini harus diinformasikan secara luas supaya khalayak umum memahami bahwa upaya yang dilakukan NTT selama ini mensuplai sapi ke seluruh provinsi di Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan pangan asal ternak, khususnya daging sapi. Penulis sangat berterima kasih kepada Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan staf serta rekan-rekan yang telah memfasilitasi dan membantu penulis menyusun buku ini. Penulis juga menyadari betul bahwa buku ini masih belum mampu untuk mengungkap informasi secara detail terkait sistem agribisnis sapi potong di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, mudah-mudahan kekurangan yang ada di buku ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca untuk melengkapi apa yang telah kami tulis. Penulis, Achmad Firman Obed Haba Nono Ahmad Romadhoni Surya Saputra

Page 5: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

iv

Kata Sambutan Suatu penghormatan bagi saya untuk memberikan kata sambutan pada buku ”Agribisnis Sapi Potong: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur” yang ditulis oleh saudara Achmad Firman, Obed Haba Nono, dan Ahmad Romadhoni Surya Saputra. Dunia sapi potong masih banyak yang harus digali. Komoditas ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pertanian di Indonesia. Bahkan, komoditas ini memiliki peranan yang besar bagi masyarakat Indonesia, baik dari sisi produksi ataupun konsumsi. Oleh karena komoditas ini memiliki peran yang besar, pemerintah terus berupaya agar komoditas ini mampu memenuhi permintaan akan daging sapi dari produksi dalam negeri atau kalaupun tidak mampu mengurangi tingkat impor sapi dan daging sapi dari luar negeri yang masih cukup tinggi. Regulasi, kebijakan, dan program yang dikeluarkan pemerintah untuk menyeimbangkan supply dan demand sapi dan daging sapi di Indonesia. Hal yang cukup menarik disampaikan pada buku ini adalah selain menampilkan industri sapi potong secara umum yang ada di Indonesia, juga menampilkan salah satu provinsi yang menjadi andalan suplai sapi di Indonesia sejak dahulu, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini dikenal sebagai lumbung sapi nasional. Dengan dipublikasikannya buku ini, diharapkan dapat memberikan gambaran potensi dan sistem agribisnis sapi potong yang ada di Provinsi Nusa Tenggara. Selain itu, nuansa-nuansa baru hasil pemikiran dan penelitian yang dituangkan dalam bentuk buku diharapkan dapat berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia dan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya pengembangan sapi potong. Saya berpendapat bahwa buku ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya kepada mereka yang berperan dalam fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, dan para praktisi yang berminat mengembangkan peternakan sapi potong. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca. Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dr. Ir. Ahmad Dading Gunadi, MA

Page 6: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

v

Daftar Isi

Kata Pengantar -------------------------------------------------------------------- iii Kata Sambutan --------------------------------------------------------------------- iv Daftar Isi ------------------------------------------------------------------------------ v Daftar Tabel -------------------------------------------------------------------------- viii Daftar Gambar ---------------------------------------------------------------------- ix

BAGIAN 1 AGRIBISNIS SAPI POTONG DI INDONESIA ---------------------- 1 I. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------- 2

1.1. Latar Belakang ------------------------------------------------------ 2 1.2. Tujuan ----------------------------------------------------------------- 6 1.3. Ruang Lingkup ------------------------------------------------------ 7

II. KONSEP SISTEM AGRIBISNIS ------------------------------------- 8

2.1. Pengertian Sistem Agribisnis ------------------------------------ 8 2.2. Pendekatan Rantai dan Nilai Agribisnis ---------------------- 10 2.3. Peranan Sistem Agribisnis --------------------------------------- 11

III. AGRIBISNIS SAPI POTONG DI INDONESIA ------------------- 17

3.1. Gambaran Singkat Sapi Potong di Dunia -------------------- 17 3.2. Penawaran Daging Sapi di Indonesia ------------------------ 21 3.2.1. Produksi Sapi Potong ------------------------------------------- 23 3.2.2. Produsen Sapi Potong ------------------------------------------ 29

3.2.3. Produksi Daging Sapi ------------------------------------ 30 3.2.3.1. Istilah-istilah pada Bagian-Bagian Daging

Sapi -------------------------------------------------------- 30 3.2.3.2. Total Produksi Daging Sapi--------------------------- 32 3.3. Permintaan Daging Sapi -------------------------------------- 34 3.4. Kesetimbangan Supply Demand Daging Sapi di

Indonesia ------------------------------------------------------------- 37

3.5. Pembentukan Harga Sapi dan Daging Sapi Potong ------- 39 3.6. Distribusi Pemasaran Sapi dan Daging Sapi Potong ------ 48 3.6.1. Pemasaran Era Industri 4.0 atau Digital ------------------- 52 3.7. Permasalahan Agribisnis Sapi Potong di Indonesia ------- 54

Page 7: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

vi

IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI INDONESIA ---------------------------------------------------------------- 58 4.1. Kebijakan Supply dan Demand --------------------------------- 58

4.2. Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Sapi Potong ------------------------------------------------------------------ 59

4.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Supply dan Sapi Potong ---------------------------------------------------------- 61 4.4. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Pengembangan

Sapi Potong di Indonesia ---------------------------------------- 66 4.5. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan ------------------ 70

V. ANTARA FARM DAN FIRM USAHA SAPI POTONG --------- 78 5.1. Antara Farm dan Firm --------------------------------------------- 78 5.2. Family Farming dan Feedlot Sapi Potong -------------------- 79 5.2.1. Family Farming: Definisi dan Peranannya ----------------- 79 5.2.2. Firm Sapi Potong: Perusahaan Penggemukan Sapi Potong dan Perusahaan Daging Sapi ----------------------- 84 5.3. Kelembagaan dan Kemitraan Sapi Potong ------------------- 88 5.3.1. Kelembagaan Peternak Sapi Potong dan Permasalahannya ------------------------------------------------ 88 5.3.2. Kelembagaan Pengusaha Sapi dan Daging Sapi

serta Permasalahannya ------------------------------------------ 91

BAGIAN 2 AGRIBISNIS SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA TIMUR ---------------------------------------------- 95 VI. SEPINTAS KONDISI NUSA TENGGARA TIMUR ------------- 96

6.1. Kondisi Geografis dan Demografis ----------------------------- 96 6.2. Kondisi Perekonomian --------------------------------------------- 98 6.3. Gambaran Usaha Ternak Sapi Potong di Nusa

Tenggara Timur------------------------------------------------------ 100 VII. POTENSI USAHA SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR------------------------------------------------------ 104

7.1. Sumber Daya Potensial ------------------------------------------- 104 7.2. Komoditas Unggulan Ternak Ruminansia -------------------- 107 7.3. Kebijakan Pembangunan Peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur ----------------------------------------------------- 111 7.3.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan

Penentuan Kuota Pengeluaran Sapi ------------------------ 111

Page 8: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

vii

7.3.2. Sarana dan Prasarana ----------------------------------------- 115 7.3.3. Faktor Pendukung ------------------------------------------------ 120

VIII. SISTEM AGRIBISNIS SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA

TENGGARA TIMUR------------------------------------------------------ 121

8.1. Populasi Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur ------------- 121 8.2. Subsistem Input dan Sarana Produksi ------------------------ 124 8.3. Subsistem Budidaya ------------------------------------------------ 129 8.3.1. Peternak Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur---------- 129 8.3.2. Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur ---------------------------------------------------- 134 8.4. Subsistem Pengolahan -------------------------------------------- 136 8.4.1. Rumah Potong Hewan di Nusa Tenggara Timur--------- 136 8.4.2. Usaha-usaha Pengolahan Daging Sapi -------------------- 142 8.5. Subsistem Pemasaran --------------------------------------------- 143 8.5.1. Potensi Pasar Sapi Potong------------------------------------- 143 8.5.2. Fasilitasi Pendukung Distribusi Perdagangan Sapi antar Pulau --------------------------------------------------------- 152 8.6. Subsistem Pendukung Agribisnis Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur ----------------------------------------------------- 159 8.6.1. Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Sapi Potong -------------------------------------------------------- 160 8.6.2. Peran Koperasi Dalam Pengembangan Sapi Potong -- 161 8.6.3. Peran Asosiasi Pedagang Sapi Potong Bagi Pengembangan Sapi Potong ---------------------------------- 166 8.6.4. Peran Perbankan dalam Pengembangan Sapi

Potong --------------------------------------------------------------- 168 8.6.5. Permasalahan dan Solusi Agribisnis Sapi Potong di

Nusa Tenggara Timur ------------------------------------------- 186

DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------- 191 GLOSARIUM ------------------------------------------------------------------------ 199 INDEKS ------------------------------------------------------------------------------- 204

Page 9: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

viii

Daftar Tabel

Tabel Halaman

1. Perkembangan Total Suplai Sapi Potong di Indonesia Tahun 2017 – 2019 --------------------------------------------------------- 28 2. Perbedaan Peternak Sapi Potong Rakyat dan Perusahaan ----- 29 3. Jumlah Rumah Tangga dan Perusahaan yang Berusaha di

Komoditas Sapi Potong ---------------------------------------------------- 30 4. Perkembangan Total Supply Daging Sapi di Indonesia ----------- 34 5. Biaya Produksi dan Harga Jual Pedet Peranakan Ongole

(PO) Tujuan Pembesaran (1 ekor) -------------------------------------- 42 6. Biaya Produksi Penggemukan dan Harga Jualnya di Koperasi

Ternak Gunungrejo Makmur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur -------------------------------------------------------------------- 44

7. Biaya Produksi Penggemukan di Feedloter dan Harga Jualnya -------------------------------------------------------------------------- 46

8. Permasalahan Agribisnis Sapi Potong di Indonesia ---------------- 55 9. Kebijakan Pemerintah atas Pasokan dan Demand Sapi dan

Daging Sapi Tahun 2015 – 2019 ---------------------------------------- 62 10. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Komoditas Sapi dan

Daging Sapi -------------------------------------------------------------------- 67 11. Jumlah Semen Beku yang Didistribusikan ---------------------------- 75 12. Jumlah Sapi Betina Produktif yang menjadi Akseptor ------------- 75 13. Jumlah Sapi Betina Produktif yang Bunting -------------------------- 76 14. Service per Conception (S/C)--------------------------------------------- 76 15. Jumlah Pedet yang Lahir Hasil Program Upsus Siwab ------------ 77 16. Hasil Analisis Komoditas Unggulan untuk Ternak Besar dan

Kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur -------------------------------- 110 17. Catatan Kunjungan pada RPH Oeba dan Waingapu di

Provinsi NTT ------------------------------------------------------------------ 140 18. Pengeluran Sapi Potong dari Beberapa Pelabuhan di Provinsi

Nusa Tenggara Timur Tahun 2018 ------------------------------------- 154 19. Pengeluran Sapi Melalui Berbagai Pelabuhan di Nusa

Tenggara Timur sampai dengan Oktober 2019 --------------------- 156 20. Jumlah Perusahaan Pengirim Sapi ke Luar Provinsi NTT ------- 158 21. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Bali dengan Modal KUR --- 181 22. Dua Kelompok Peternak yang Mendapat Bantuan Modal dari

KUR-BRI ----------------------------------------------------------------------- 183 23. Permasalahan dan Pemecahan Masalah Agribisnis Sapi Potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur ----------------------------- 186

Page 10: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

ix

Daftar Gambar

Gambar Halaman 1. Tingkat Kepadatan Ternak di Berbagai Negara di Dunia --------- 19 2. Produksi dan Perdagangan Daging Sapi, Babi, dan Unggas ---- 20 3. Total Supply Sapi dan Daging Sapi di Indonesia-------------------- 22 4. Perkembangan Populasi Sapi di Indonesia dari Tahun

2011-2019 --------------------------------------------------------------------- 24 5. Target dan Realisasi Tingkat Kebuntingan Sapi Betina dan

Kelahiran Pedet Program Upsus Siwab dari 2017-2019 ---------- 25 6. Perkembangan Pemasukan Sapi ---------------------------------------- 26 7. Distribusi Sapi antar Wilayah Provinsi dan Australia --------------- 27 8. Persentase (%) Bagian-bagian Sapi yang Dipotong -------------- 31 9. Istilah-istilah Daging pada Bagian Karkas ---------------------------- 32 10. Perkembangan Produksi dan Impor Daging Sapi (Ton)----------- 33 11. Turunan Produk dari Satu Ekor Sapi yang Dipotong -------------- 34 12. Perhitungan Total Konsumsi Daging Sapi di Indonesia ----------- 35 13. Pengeluaran Sapi Potong (000 ekor) ----------------------------------- 36 14. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia -------------- 37 15. Suplai dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia dari Tahun

2105-2019 ---------------------------------------------------------------------- 38 16. Proses Pembentukan Harga sebagai Dampak dari Supply dan Demad -------------------------------------------------------------------- 39 17. Perkembangan Rataan Harga Sapi Hidup dan Daging Sapi ---- 41 18. Harga Daging Sapi Pada Setiap Bagian Karkas -------------------- 48 19. Tataniaga Pemasaran ----------------------------------------------------- 49 20. Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi -------------------------- 50 21. Pola Saluran Pemasaran Sapi Potong antar Negara dan

Provinsi di Indonesia -------------------------------------------------------- 51 22. Saluran Pemasaran Era Industri 4.0 ------------------------------------ 53 23. Periodisasi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan

Hewan di Indonesia --------------------------------------------------------- 60 24. Kebijakan Floor Price pada Harga Daging Sapi --------------------- 65 25. Kegagalan Demi Kegagalan dari Arah Pembangunan Sapi

Potong di Indonesia -------------------------------------------------------- 71 26. Anggaran yang Dikeluarkan Pemerintah untuk Program

Upsus Siwab dari Tahun 2017 – 2019 -------------------------------- 74 27. Prosentase Kemiskinan di Provinsi NTT ------------------------------ 98 28. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur ----------- 99

Page 11: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

x

29. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian terhadap PDRB Tahun 2018 di Provinsi Nusa Tenggara Timur ---------------------- 100

30. Perkembangan Populasi Ternak Besar di NTT ---------------------- 122 31. Sapi Sumba Ongole (1) dan Sapi Bali (2) di Provinsi NTT ------- 122 32. Subsistem Input dan Sarana Produksi --------------------------------- 124 33. (1) Situasi Padang Savana dan (2) Kelompok Setetes Madu

Peternak Sapi di Kabupaten Kupang ----------------------------------- 126 34. (1) Instalasi Wahibur Pembibitan Sapi Bali dan (2) Diskusi

Pengalaman Pedagang (HP2SKI) Sapi Bermitra dengan Peternak Sapi di Nusa Tenggara Timur ------------------------------- 128

35. Subsistem Budidaya Sapi Potong -------------------------------------- 129 36. Sistem Pemeliharaan Ekstensif di Provinsi NTT -------------------- 131 37. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif di Kabupaten Timor

Tengah Utara ------------------------------------------------------------------ 133 38. Sistem Pemeliharaan Intensif pada Penggemukan Sapi Bali

di Kabupaten Kupang ------------------------------------------------------- 134 39. Pembibitan Sapi Sumba Ongole di PT. Asiabeef, Kabupaten

Sumba Timur ------------------------------------------------------------------ 135 40. Subsistem Pengolahan pada Komoditas Sapi Potong ------------ 136 41. Proses Pemotongan Sapi di RPH Oeba, Kota Kupang ----------- 140 42. Subsistem Pemasaran pada Komoditas Sapi Potong ------------- 143 43. Pasar Demand Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur ------------- 144 44. Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi di Nusa Tenggara

Timur ---------------------------------------------------------------------------- 143 45. Kegiatan di Pasar Hewan Lili, Kabupaten Kupang, Provinsi

Nusa Tenggara Timur------------------------------------------------------- 150 46. Kuota dan Realisasi Pengeluaran Ternak Sapi Provinsi Nusa

Tenggara dari Tahun 2014 – Oktober 2019 -------------------------- 151 47. Tempat Penampungan Sapi di Balai Karantina Tenau (1) dan

Tol Laut CN3 (2) ------------------------------------------------------------- 153 48. Pengiriman Sapi Perbulan Keluar Provinsi NTT di Tahun

2018 ----------------------------------------------------------------------------- 155 49. Pengiriman Sapi perbulan sampai dengan Oktober 2019 -------- 157 50. Subsistem Kelembagaan Agribisnis ------------------------------------ 160 51. Pola Kemitraan PUSKUD dan Peternak ------------------------------- 165

Page 12: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

1

Bagian 1

AGRIBISNIS SAPI POTONG

DI INDONESIA

Page 13: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

2

Ringkasan

Bab ini berisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, serta ruang lingkup dari buku ini. Diharapkan dengan memberikan gambaran singkat dari bab ini, pembaca

bisa memahami outline dari buku ini dari awal hingga akhir

1.1. Latar Belakang

ndonesia merupakan negara yang cukup strategis karena menjadi penyangga Benua Asia dan Australia. Indonesia dikategorikan sebagai wilayah yang

berpenduduk terbanyak ke empat di dunia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia di dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kebutuhan sandang dan pangan, serta alat pemuas kebutuhan lainnya. Pembahasan hal-hal tersebut menjadi pembahasan rutin bagi pemerintah pusat dan daerah, khususnya pangan. Penyediaan pangan menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari norma kehidupan karena pangan sebagai sumber utama pemuas kebutuhan konsumsi manusia, terutama kebutuhan pangan pokok. Salah satu pangan pokok bagi masyarakat Indonesia adalah beras. Apabila beras terjadi kelangkaan di pasaran ataupun terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan, ataupun hal lainnya yang berkaitan dengan beras, maka masyarakat akan meresponnya dengan berbagai cara, seperti protes, mengkritik ataupun demo atas kondisi tersebut. Hal inilah yang menjadikan beras sebagai pangan politis. Oleh karena itu, pemerintah selalu menjaga stabilitas beras, baik dari sisi ketersediaan ataupun harga.

I

1

PENDAHULUAN

Page 14: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

3

Gambaran stabilisasi beras di atas merupakan ilustrasi betapa pentingnya pangan di dalam pembangunan Indonesia. Pembangunan pangan di Indoneisia tidak hanya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kalori ataupun karbohidrat saja, tetapi juga pemenuhan kebutuhan protein, seperti protein hewani asal ternak. Protein merupakan unsur yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Protein mengandung asam amino yang diperlukan oleh tubuh untuk membangun dan memperbaiki otot dan tulang serta membuat hormon dan enzime. Salah satu produksi protein hewani berasal adalah daging sapi. Daging sapi merupakan komoditas pangan asal ternak sapi yang dipotong yang diambil dagingnya untuk dikonsumsi. Beberapa tahun terakhir, perkembangan harga daging sapi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan harga daging sapi tersebut tidak serta merta memberikan gairah bagi peternak sapi potong karena konsumen merespon kenaikan harga tersebut dengan mengalihkan konsumsinya ke produk lainnya. Kondisi ini menyebabkan sisi demand dan supply tidak memberikan respon positif atas kenaikan harga daging sapi tersebut. Hal ini menjadi signal yang tidak baik bagi industri sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu agar kenaikan harga daging sapi tidak naik terus, pemerintah melakukan berbagai upaya, antara lain dengan meningkatkan populasi sapi potong di dalam negeri dan melakukan impor sapi dan daging sapi, khususnya daging kerbau dari India. Pembahasan apa dan mengapa mendatangkan daging kerbau dari India, padahal negara ini belum masuk dalam kategori bebas penyakit mulut dan kuku dibahas pada bab-bab berikutnya. Berdasarkan gambaran di atas, komoditas daging sapi merupakan komoditas yang mendapat perhatian besar dari pemerintah sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk meredam gejolak kenaikan harga daging sapi diredam dari dua sisi, yaitu sisi supply dan demand. Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan

Page 15: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

4

yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi atau budidaya sapi tetapi merangkai dari hulu sampai di hilir beserta kegiatan bisnis pendukungnya. Transformasi usaha sapi potong di Indonesia dari usaha tani yang bersifat tradisional (backyard farming), dangan skala pemeliharaan relatif sedikit 1-4 ekor, dan ternak dipelihara untuk diambil tenaganya, yaitu untuk membajak sawah, bertransformasi menjadi usaha pembiakan, penggemukan, dan penggabungan dari keduanya. Usaha pembiakan dilakukan karena ternak sapi tidak lagi diambil tenaganya untuk membajak sawah karena telah digantikan dengan sistem mekanisasi pertanian, yiatu traktor. Traktor menggantikan peran sapi dalam membajak sawah. Transformasi lainnya yang terjadi adalah adanya kerjasama inti dan plasma dalam usaha penggemukan. Peningkatan permintaan daging sapi direspon dengan bermunculannya usaha-usaha penggemukan sapi yang berasal dari impor. Banyak perusahaan yang menginvestasikan dananya untuk usaha penggemukan sapi potong ini. Perusahaan-perusahaan penggemukan sapi potong dikenal dengan feedloter. Perusahaan ini juga mengajak partisipasi peternak skala kecil untuk bermitra dalam usaha penggemukan sapi yang dikenal dengan istilah inti dan plasma. Peternak diberikan modal berupa sapi impor dan konsentrat serta diberi pengetahuan cara memelihara sapi impor. Disini terjadi alih teknologi pemeliharaan sapi potong dari tradisional ke usaha yang lebih efisien. Penentuan hasil usaha didasarkan pada kenaikan berat badan sapi tersebut selama 3 (tiga) bulan penggemukan. Berdasarkan Budiana (2016), awal tahun 1980-an, menjadi titik perkembangan bangkitnya industri peternakan sapi potong. Pengertian industri adalah suatu rangkaian kegiatan usaha yang ditangani dengan pendekatan efisiensi, penggunaan managerial skill, dan dilandasi dengan kaidah-kaidah ekonomi. Muncullah apa yang disebut dengan feedlotter atau perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan sapi potong. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan

Page 16: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

5

pemeliharaan sapi bakalan secara intensif, berskala besar, dipelihara dalam waktu 2–3 bulan, dan padat modal. Bibit sapi yang digunakan adalah sapi-sapi muda jantan atau bakalan yang masih dalam fase pertumbuhan sehingga dapat diperoleh pertambahan berat yang maksimum. Awalnya, sapi-sapi yang digemukkan adalah sapi-sapi lokal, tetapi perkembangannya tidak begitu menggembirakan. Akhirnya, para pengusaha penggemukan sapi potong mendatangkan sapi-sapi bakalan asal Australia. Kemudian, usaha feedlot mengalami booming dan merangsang para investor untuk terjun di bisnis penggemukan sapi potong di era tahun 1980-an. Awal, klasterisasi perusahaan penggemukan berada di wilayah Jawa Barat karena berdekatan dengan wilayah DKI Jakarta, akan tetapi pertumbuhan perusahaan penggemukan menyebar ke wilayah Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah serta beberapa provinsi lain. Keragaman budidaya sapi potong ini mencerminkan adanya variasi pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh peternak ataupun perusahaan. Tujuan semuanya adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Di Indonesia, terdapat beberapa provinsi yang menjadi andalan sebagai sumber suplai sapi potong, yaitu Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tipikal pemeliharaan sapi potong di NTT dengan cara digembalakan di padang pengembalaan (ekstensif) sedangkan di Jawa Timur dipelihara secara intensif. Perbedaan skala usaha sapi potong antara NTT dan Jawa Timur atau umumnya di Pulau Jawa menjadi hal yang mencolok karena umumnya peternak di NTT memelihara sapi minimal 20 ekor per peternak, sedangkan di Pulau Jawa antara 1 – 5 ekor per peternak. Harmonisasi supply demand daging sapi mulai terganggu saat Indonesia menerapkan kebijakan untuk membatasi impor bakalan dan daging sapi impor di tahun 2011. Kebijakan ini didasarkan pada capaian populasi sapi potong yang memperlihatkan trend meningkat, sehingga pembatasan impor dilakukan dikarenakan trend tersebut. Data BPS di tahun 2011,

Page 17: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

6

jumlah populasi sapi potong sebesar lebih dari 14 juta ekor, namun dengan adanya pembatasan impor bakalan dan daging sapi terjadi penurunan populasi di tahun 2013 menjadi 12 juta ekor. Inilah awal terjadinya kegoncangan supply demand di Indonesia. Kondisi tersebut diikuti dengan terjadinya kenaikan harga daging sapi yang melonjak di atas Rp 100 – 130 ribu dan bertahan sampai saat ini. Hal ini membuat pemerintah menjadi panik termasuk executive dan legislative turut merespon kejadian tersebut. Oleh karena itu, buku ini diberi judul “Agribisnis Sapi Potong: di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Hal ini dimaksudkan mengupas agribisnis sapi potong secara umum di Indonesia, serta di Provinsi Nusa Tenggara Timur karena provinsi ini menjadi sumber pemasok sapi potong ke seluruh Indonesia. Penekanan agribisnis sapi potong di Indonesia adalah lebih pada gambaran umum agribisnis serta kebijakan-kebijakan pemerintah atas dukungannya terhadap pengembangan sapi potong. Adapun aktivitas agribisnis sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur digambarkan dari subsistem hulu sampai dengan hilir agar pembaca dapat memahami secara utuh dan kongkris bisnis sapi potong di provinsi tersebut. 1.2. Tujuan Indonesia merupakan negara yang cukup luas dan sumber daya yang cukup melimpah. Di samping itu, keragaman budaya serta adat istiadat, dan sumber daya alam yang melimpah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara Indonesia. Buku ini merupakan sumbangan informasi yang mungkin besarnya setara dengan virus jika dibandingkan dengan luasnya Indonesia dan dunia ini. Buku ini adalah buku referensi nasional yang mencoba untuk menggambarkan atau mengilustrasikan perjuangan dari seluruh pelaku sapi potong Indonesia, seperti pemerintah, peternak, perusahaan, institusi perguruan tinggi, dan pelaku lainnya yang turut berpartisipasi

Page 18: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

7

dalam agribisnis sapi potong. Tidak ada harapan yang muluk-muluk dari publikasi buku ini, namun mudah-mudahan dapat menjadi sumber informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pembacanya, khususnya berkaitan dengan komoditas sapi potong. 1.3. Ruang Lingkup Pembahasan yang diuraikan di dalam buku ini menguraikan dengan singkat sistem agribisnis yang dijadikan sebagai pengantar saja. Setelah itu, menguraikan berbagai aktivitas agribisnis sapi potong di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pembatasan pembahasan ini diperlukan agar informasi yang disampaikan buku ini bisa dipahami secara menyeluruh. Mudah-mudahan tidak ada kata yang membuat pembaca salah memaknai apa yang dibaca sehingga dapat berakibat menjadi “gagal paham” apa yang hendak disampaikan. Guna meminimalisir kesalahan pengertian dari kata atau kalimat yang ditulis, pembaca dapat membaca indeks dihalaman belakang buku ini.

Page 19: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

8

Ringkasan Bab ini lebih menekankan pada landasan teori agribisnis secara umum untuk

mengantarkan pembaca sebelum membaca bagian berikutnya. Teori agribisnis sudah lama dimunculkan oleh pencetusnya Davis and Goldberg tahun 1957 dan

telah menyebar ke seluruh dunia serta banyak negara mengadopsi konsep dan teori ini. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam

aplikasinya disesuaikan dengan kondisi negaranya masing-masing.

2.1. Pengertian Sistem Agribisnis Agribisnis adalah industri dengan potensi luar biasa untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sepadan dengan masalah-masalah monumental dan konsekuensial yang harus dialaminya. Selama berabad-abad, produktivitas pertanian berasal dari penerapan dua sumber daya: tanah dan tenaga kerja. Namun demikian, saat ini sebagian besar peningkatan produktivitas pertanian bersumber dari penggunaan sumber daya lain seperti modal, terutama dalam bentuk perubahan teknologi termasuk bioteknologi, peningkatan produksi peternakan, mekanisasi budidaya dan pemanfaatan bahan kimia (Van Fleet et. al., 2014). Peningkatan di masa depan untuk sektor pertanian secara umum akan bersumber pada penerapan manajemen sumber daya yang efektif dan efisien. Agribisnis saat ini telah menjadi perpanjangan dari industri berbasis pengelolaan sumber daya menerapkan prinsip-prinsip bisnis. Pendekatan agribisnis sangat dibutuhkan untuk memindahkan produk yang mudah rusak dari lokasi produksi untuk diddistribusikan ke seluruh dunia. Rantai agribisnis melibatkan produksi, distribusi, konsumsi, pakaian, dan bahkan

2

KONSEP SISTEM AGRIBISNIS

Page 20: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

9

tempat berlindung yang merupakan kebutuhan manusia dalam memanfaatkan pangan dan serat (Barnard et. al., 2016). Cakupan agribisnis meliputi industri pasokan input, produksi pertanian, dan pasca panen, kegiatan pemprosesan komoditas, pengolahan makanan, dan distribusi makanan.

Agribisnis adalah salah satu industri yang terbesar di planet ini. Saat ini, banyak perusahaan agribisnis telah menjadi perusahaan multinasional besar. Mereka beroperasi pada perusahaan manufaktur makanan dan perusahaan pasokan input untuk memenuhi permintaan yang tinggi. Dengan demikian, sektor pertanian dan agribisnis saat ini telah menjadi sektor dengan angkatan kerja terbesar di negara ini. Konsep sistem agribisnis yang diaplikasikan di beberapa negara Asia merupakan konsep yang dikemukakan oleh Davis and Golberg yang ditulis pada Tahun 1957 (Gumbira dan Intan, 2004). Menurut Davis dan Golberg (1957) yang dikutip oleh Drillon (1971) menyebutkan bahwa “Agribusiness is the sum total of operations involved in the manufacturing and distribution of farm supplies, production activities on the farm, and the storage, processing, and distribution of farm commodities and items made from them”. Agribisnis adalah penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana pertanian, kegiatan yang dilakukan usahatani, serta penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian. Definisi lainnya menyebutkan bahwa agribisnis secara sempit atau tradisional hanya merujuk pada input produksi dan produsen. Sedangkan definisi agribisnis sekarang ini adalah sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh sektor input produksi, usahatani, pengolahan, penyebaran, dan penjualan produk ke konsumen akhir (Downey and Erickson, 1987). Soehardjo (1997) yang dikutip oleh Gumbira dan Intan (2004) mengatakan bahwa agribisnis adalah satu kesatuan sistem agribisnis yang terdiri atas beberapa subsistem, seperti subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi (SS 1), subsistem budidaya/

Page 21: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

10

produksi primer (SS 2), subsistem pengolahan (SS 3), subsistem pemasaran (SS 4), dan lembaga penunjang agribisnis. Dengan demikian, agribisnis merupakan kegiatan bisnis yang melibatkan (1) kegiatan input dan sarana produksi — benih, pupuk, pembiayaan, peralatan — yang digunakan dalam produksi; (2) kegiatan produksi (budidaya) — kegiatan produksi pertanian, seperti pembibitan, pembesaran, penggemukan; (3) kegiatan pengolahan — pemeringkatan, penyimpanan, pemrosesan, quality control, pengemasan; (4) kegiatan pemasaran — penetapan harga, distribusi; pemasaran; dan (5) kegiatan penunjang — penelitian dan pengembangan, sertifikasi produk, permodalan (Van Fleet et. al., 2014). Industri supply input, produksi pertanian, dan kegiatan bernilai tambah yang telah dianggap sebagai industri inti agribisnis. Industri inti ini menggunakan bahan dan layanan dari industri tambahan tertentu yang dianggap sebagai industri pendukung agribisnis. Budidaya pertanian dan peternakan adalah bagian inti agribisnis yang mewakili tahap proses produksinya.

2.2. Pendekatan Rantai dan Nilai Agribisnis Hubungan antara kegiatan industri agribisnis sering disebut sebagai rantai agribisnis. Rantai ini dapat disempurnakan lebih lanjut sebagai rantai nilai agribisnis. Ini dimulai dengan bahan baku dan komoditas yang nilainya relatif rendah; kemudian setiap langkah dalam rantai yang memodifikasi bahan atau komoditas tersebut kemudian menambah nilai pada produk. Misalnya, petani memanen buah-buahan atau sayuran mentah yang diangkut secara massal ke pengolah atau pedagang besar, di mana mereka memodifikasi atau mengemas kembali dan mengangkut ke rantai grosir dalam bentuk olahan atau dalam kemasan yang lebih kecil, dan akhirnya ke pedagang grosir lokal yang memajang dan menjual produk dengan ukuran yang sesuai permintaan konsumen.

Page 22: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

11

Cara pandang agribisnis sangatlah sederhana. Agribisnis melibatkan semua kegiatan rantai nilai yang biasanya terkait dengan bisnis atau industri dengan ketentuan tambahan bahwa sebagian besar bahan, komoditas, dan produk akhir mudah rusak (Van Fleet et. al., 2014). Sifat produk yang mudah rusak bersama dengan variasi seperti warna, tekstur, ukuran, dan bentuk, adalah karakteristik yang membedakan produk agribisnis dan industri dari bisnis lain. Aspek industri agribisnis yang ini jugalah yang menjadi faktor kunci dalam semua keputusan bisnis. Untuk alasan inilah maka kita bisa mengkategorikan bahwa, misalnya McDonald's adalah bagian dari sebuah perusahaan agribisnis. Hal ini disebabkan karena seluruh sistem bisnisnya melibatkan komoditas yang sangat mudah rusak seperti makanan hamburger, kentang goreng, milkshakes, dan lainya. Lebih jauh lagi, konsep agribisnis ini telah berkembang ke arah supply chain management (SCM), logistic chain management, cold chain, dan sebagainya. 2.3. Peranan Sistem Agribisnis Perkembangan teknologi transportasi massal dan teknologi komunikasi pada abad ke-19 merupakan ‘disrupting teknologi’ pada masa tersebut. Kedua teknologi ini menopang infrastruktur untuk menjalankan bisnis terutama untuk memfasilitasi produksi barang dan jasa untuk kegiatan masyarakat atau perusahaan. Teknologi tersebut merupakan infrastruktur yang mengubah definisi “pasar tradisional” menjadi lebih luas (Wilkinson, 2009). Pada saat itu, radius pemasaran untuk sebuah produk peternakan tidak lagi dibatasi oleh daya tahan kuda atau lembu namun lebih ditentukan pada jangkauan transportasi massal seperti kereta api. Harga pasar pada ditentukan oleh pasar yang terletak di ujung jalur trasnportasi dan komunikasi. Ketika transportasi membaik, para spesialis mulai menawarkan barang dan jasa mereka di daerah yang lebih luas, dan petani dapat menawarkan barang-barang yang lebih tahan lama.

Page 23: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

12

Kemajuan dalam komunikasi jarak jauh mulai menciptakan kemungkinan pertukaran pasar yang mendorong perkembangan pasar yang lebih jauh. Kemajuan ini mengarah pada perkembangan pembiayaan yang memungkinkan petani dan orang lain meminjam uang dan berinvestasi dengan cara meningkatkan produktivitas (Van Fleet et. al., 2014). Ini juga yang memunculkan persaingan yang lebih besar di dalam dan di antara wilayah produksi. Sifat musiman dari produk pertanian yang ditanam secara lokal dapat ditingkatkan melalui transportasi. Pisang yang ditanam di Karibia atau di Amerika Tengah dapat tersedia di tempat-tempat yang tidak dapat menanam pisang kecuali mungkin di rumah kaca. Peningkatan berkelanjutan dalam transportasi, komunikasi, dan pembiayaan ditambah dengan mesin yang lebih baik, pupuk dan pestisida yang lebih baik, dan varietas tanaman menghasilkan peningkatan produktivitas pertanian dan peternakan yang luar biasa. Peningkatan itu dirasakan di seluruh rantai agribisnis. Sistem agribisnis saat ini menjadi lebih besar dan lebih terfokus secara global sehingga tidak perlu lagi puas dengan sumber daya lahan negara asal yang terbatas. Perusahaan agribisnis mulai mencari celah kompetitif di tempat lain. Gelombang globalisasi pertama ini memungkinkan pengembangan salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia, seperti Nestlé SA. Perusahaan ini adalah perusahaan raksasa yang berpusat di Swiss, negara yang terkurung daratan tanpa akses ke laut, etos kerja nasional yang bersejarah dan luar biasa, dan sumber susu yang signifikan. Namun, keberhasilannya tidak didasarkan pada "coklat susu" seperti dulu, tetapi pada aspek agribisnis lain yang tidak mungkin terjadi di negara asalnya.

Hampir semua usaha agribisnis dimulai sebagai usaha keluarga sebuah orientasi yang tidak dimiliki oleh semua bisnis tradisional saat ini. Tidak ada yang salah dengan pendekatan bisnis keluarga yang tradisonal. Namun ada perbedaan antara agribisnis dan bisnis tradisional. Salah satu hal yang mendasari adalah jiwa kewirausahaan.

Page 24: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

13

Adanya jiwa kewirausaahan menyebabkan agribisnis menjadi unik karena mampu mengidentifikasi bahwa keterikatan dengan lokasi dan/atau komoditas mampu didesain menjadi keunggulan kompetitif (Van Fleet et. al., 2014). Pada agribisnis, keberadaan lokasi menentukan sifat bisnisnya. Agribisnis sangat terkait erat dengan komoditas pertanian. Semua orang bisa memproduksi komoditas pangan namun tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengangkat komoditas tersebut ke rantai nilai yang lebih untuk menghasilkan keuntungan besar. Perbedaan dalam kualitas, kuantitas, dan harga dapat terjadi antara komoditas biasa, unggulan maupun premium. Perusahaan agribisnis umumnya terikat pada lokasi dan memperluas keahlian mereka dalam suatu komoditas. Perusahaan agribisnis juga terikat pada komoditas dan mencari lokasi mereka secara internasional (Barnard et. al., 2016). Hal ini adalah dalam rangka membentuk keunggulan kompetitif yang signifikan dan berkelanjutan. Orientasi lokasi/komoditas suatu agribisnis menciptakan karakteristik manajemen risiko yang berbeda-beda. Manajemen risiko adalah pendekatan untuk mengendalikan ketidakpastian dan potensi bahaya dengan menilai faktor-faktor yang dapat berpengaruh atas ketidakpastian dan potensi bahaya, kemudian mengembangkan strategi dan taktik untuk mengurangi potensi kerugian (Barnard et. al., 2016; Porter, 1985). Semua perusahaan mempertimbangkan manajemen risiko atau mungkin lebih tepat, mitigasi risiko, sebuah masalah operasional yang penting. Seluruh industri agribisnis yang terikat dengan komoditas atau lokasi tertentu sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan bencana alam lainnya. Upaya untuk mengurangi risiko ini menjadi esensial pada perdagangan komoditas. Kebutuhan agribisnis untuk mitigasi risiko juga dapat menarik investor agar mau membeli atau “menanggung” risiko tersebut. Jika agribisnis tidak mengalami kerugian, “asuransinya” tidak diperlukan dan biaya ini menjadi

Page 25: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

14

keuntungan bagi investor. Namun, jika agribisnis benar-benar mengalami kerugian, maka “asuransinya” mencakup kerugian itu, dan kali ini investor berada di “ujung risiko yang salah.” Ini menjadi modal bagi pengembangan seluruh industri keuangan modern (Barnard et. al., 2016). Sebuah agribisnis seperti perusahan minuman dapat melindungi harga jagung karena kebutuhannya akan sirup jagung fruktosa tinggi sebagai bahan penting dalam produksi sirup. Perlindungan nilai ini, jika dilakukan dengan benar, dapat memberikan keunggulan kompetitif (Porter, 1985). Agribisnis umumnya memproduksi produk yang sifatnya personal. Produk agribisnis bersifat personal karena untuk menikmatinya maka harus dengan mengkonsumsi atau memakainya. Tidak ada yang lebih personal selain menelan suatu produk sehingga ini menjadikan agribisnis menjadi sangat personal. Seperti disebutkan sebelumnya, daya tahan bahan, komoditas, dan produk yang mudah rusak merupakan karakteristik dari banyak produk agribisnis. Industri yang bergerak di agribisnis ini menjadi berbeda dengan industri bisnis lainnya. Untuk mendapat untung, petani harus menggunakan atau menjual produknya dengan batasan waktu tertentu sebelum produk tersebut tidak dapat digunakan atau tidak layak untuk dijual. Aspek industri agribisnis ini adalah faktor kunci dalam semua keputusan bisnis. Tentu saja, semua produk memiliki siklus hidup, tetapi produk agribisnis pada dasarnya jauh lebih mudah rusak dan bervariasi dalam ukuran dan kualitas. Sebagai contoh, pada produk-produk pertanian atau peternakan terdapat istilah umur simpan. Istilah ini dikembangkan oleh industri agribisnis agar produk yang dihasilkan dapat digunakan atau aman. Selain itu, dicantumkannya label tanggal kadaluwarsa pada produknya dapat memberikan kenyamanan pada konsumen. Oleh karena itu, lima karakteristik agribisnis adalah orientasi/hasrat keluarga, berbasis lokasi/komoditas, manajemen risiko/mitigasi, produk yang dapat dikonsumsi/ dapat dipakai, dan daya tahan yang relatif tinggi. Kelima

Page 26: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

15

karakteristik agribisnis tersebut tidak semuanya ada tetapi pada umumnya ada pada setiap agribisnis. Sebelum gelombang globalisasi dimulai, hampir semua agribisnis mempunyai karakteristik ini terlepas dari negara asalnya (Van Fleet et. al., 2014). Perubahan dinamis pada agribisnis saat ini banyak terjadi seperti dinamika yang terjadi di tempat lain. Agribisnis saat ini telah berkembang menjadi industri yang melingkupi dunia dan bertanggung jawab untuk memberi makan dan memberi pakaian kepada manusia di seluruh dunia (Wilkinson, 2009). Lebih dari itu, agribisnis saat ini telah menyentuh pada isu-isu kesehatan, nutrisi, keselamatan, sains, dan politik. Agribisnis telah memperluas kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Pada awalnya dikaitkan dengan Kimia dan Biologi, kemudian sekarang dengan Bioteknologi dan Nanoteknologi. Agribisnis pada skala besar meliputi sektor pra-produksi yang telah menjadi pemimpin dalam kemajuan bioteknologi (Van Fleet et. al., 2014). Agribisnis pun telah menjadi sebuah industri yang melibatkan pembangunan dan evolusi struktur keuangan bisnis. Pada masa kini, agribisnis merupakan industri global dengan sebuah jangkar nasional yang seringkali dipengaruhi oleh tekanan-tekanan politik (Wilkinson, 2009). Meskipun kita telah menjadi saksi atas kemajuan yang yang luar biasa, ketahanan pangan nasional tetap menjadi sebuah isu yang signifikan. Hal ini telah lama menjadi tujuan industri ini untuk menghilangkan kesenjangan antara mereka yang memiliki akses terhadap sumber-sumber nutrisi dan mereka yang tidak memiliki akses (Barnard et. al., 2016). Namun, permasalahan yang mengganggu industri agribisnis adalah bahwa ketidakseimbangan akses ini jarang sekali yang sifatnya ilmiah, teknis, atau isu keuangan melainkan lebih banyak karena isu politik.

Page 27: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

16

Sementara negara-negara dengan perekonomian maju (misalnya Amerika Serikat dan Inggris) memiliki industri agribisnis yang besar dan produktif. Di samping itu, mereka juga memiliki sektor produksi yang sangat efisien dan dikelola oleh individu dengan jumlah persentase yang menurun (Wilkinson, 2009). Kebalikannya, ada juga negara-negara dengan komponen agribisnis kecil maupun sangat besar tetapi sektor produksinya sangat tidak efisien. Selanjutnya, ada juga negara-negara yang mengeluarkan porsi yang signifikan dari sumber perekonomian mereka hanya untuk mengamankan suplai pangan secukupnya (Wilkinson, 2009). Bagaimanapun agribisnis merupakan sebuah industri yang akan tetap terikat dengan sumber-sumber daya alam.

Page 28: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

17

Ringkasan Bab ini lebih menekankan pada landasan teori agribisnis secara umum untuk

mengantarkan pembaca sebelum membaca bagian berikutnya. Teori agribisnis sudah lama dimunculkan oleh pencetusnya Davis and Goldberg tahun 1957 telah

berkembangbiak ke seluruh dunia dan banyak negara mengadopsi konsep dan teori ini. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Pada bab ini yang ibahas adalah agribisnis sapi dan daging sapi di Indonesia, di mana di

awali dengan supply dan demand sapi dan daging sapi dan seterusnya

3.1. Gambaran Singkat Sapi Potong di Dunia

ebelum menguraikan sistem agribisnis sapi potong di Indonesia, disampaikan terlebih dahulu bagaimana kondisi suplai dan permintaan sapi serta daging sapi di

dunia. Sektor peternakan masih merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam penyediaan sumber protein hewani. Berdasarkan International Fund for Agriculture Development (IFAD) (2015) menyatakan bahwa dalam mengantisipasi perkembangan pertumbuhan populasi manusia yang diperkirakan akan mencapai 9 milyar, dibutuhkan produktivitas pangan dari 50% sampai 70%. Produktivitas pangan tersebut disumbang oleh: 1. Ternak ruminansia memberikan 26% konsumsi protein

manusia dan 13% dari total kalori. Diperkirakan permintaan produk ternak akan mencapai dua kali lipat pada 20 tahun ke depan sebagai hasil dari urbanisasi, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola konsumsi di negara-negara berkembang

2. Sektor ternak ruminansia melibatkan hampir 1 milyar peternak di negara-negara berkembang, di mana 40%

S

3

AGRIBISNIS SAPI POTONG DI INDONESIA

Page 29: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

18

berkontribusi pada PDB, dan 2%-33% berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

3. Produsen ternak ruminansia didominasi oleh skala rumah tangga dan ini menjadi kunci bagi matapencaharian orang-orang miskin di desa, ketahanan pangan, dan penciptaan lapangan kerja. Ternak ruminansia memberikan pangan bagi konsumsi rumah tangga, produknya digunakan untuk memperoleh pendapatan dan uang tunai cepat ketika keadaan darurat dan guncangan eksternal, seperti kondisi iklim, penyakit, fluktuasi harga, dan sebagainya. Ternak merupakan aset penting bagi beberapa petani karena selain mendapatkan produk utama juga dimanfaatkan untuk pupuk kandang, sebagai alat, pengangkut, juga memiliki nilai budaya dan spiritual.

Dengan demikian, ternak telah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari para petani di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk meningkatkan petani kecil dengan langkah-langkah sebagai berikut (IFAD, 2015): 1. Meningkatkan akses dan untuk pengelolaan keberlanjutan

sumber daya, seperti lahan dan air, khususnya untuk dukungan pastura dengan penekanan peran wanita dan pemuda didalamnya

2. Meningkatkan akses terhadap layanan, seperti penyuluhan dan pelatihan, kesehatan khususnya kesehatan hewan, breeding seperti IB, input produksi, dan kredit di wilayah-wilayah miskin

3. Peningkatan kapasitas petani kecil dan lembaga pasturalis 4. Akses terhadap pasar dan nilai rantai untuk organisasi

petani dan asosiasi diatasnya. 5. Memfasilitasi inovasi untuk meberikan ruang bagi pelaku

rantai nilai untuk berinteraksi, berkomunikasi melalui penerapan kebijakan rantai nilai.

Sapi potong merupakan ternak yang menghasilkan daging dan sebagai sumber protein hewani asal ternak. Negara-negara yang memiliki populasi sapi potong yang cukup besar

Page 30: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

19

diperlihatkan pada Gambar 1. Jika dilihat dari gambar di bawah menunjukkan bahwa populasi sapi potong hampir menyebar di seluruh negara di dunia. Negara dengan populasi sapi potong dari padat sampai terpadat terdapat di India, Korea Utara, German, Perancis, Sudan, Ethiopia, USA, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan Argentina.

Gambar 1

Tingkat Kepadatan Ternak di Berbagai Negara di Dunia Tahun 2005 (Sumber: FAO, 2005)

Data statistik FAO (Food Agriculture Organization) memperlihatkan perdagangan dari daging sapi, babi, dan unggas seperti pada Gambar 2. Berdasarkan data statistik dan ramalan produksi dan perdagangan daging di dunia, produksi daging sapi, babi, dan unggas mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2000 – 2014 dan trend peningkatan produksi daging tersebut diperkirakan akan terus meningkat sampai dengan tahun 2018, sedangkan produksi daging unggas akan mencapai produksi sebanyak 250 juta metric ton, produksi daging babi sebanyak 200 juta metric ton, dan produksi daging unggas sebanyak 60 juta metric ton. Daging unggas dan babi masih mendominasi produksi daging di dunia.

Page 31: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

20

Perkembangan perdagangan daging sapi, babi, dan unggas seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan adanya persaingan perdagangan antara daging sapid an unggas antara tahun 2003 – 2008. Pada tahun 2004 – 2006, jumlah daging sapi yang diperdagangkan melebihi dari daging unggas. Namun, di tahun 2008 kondisi tersebut terbalik dan perdagangan daging unggas lebih banyak dibandingkan daging sapi dan babi. Selanjutnya, perdagangan daging dari ketiga komoditas tersebut dari tahun 2008 – 2018 diperkirakan meningkat mengikuti garis linear, di mana posisinya adalah perdagangan daging unggas melebihi daging sapi dan babi.

Gambar 2

Produksi dan Perdagangan Daging Sapi, Babi, dan Unggas (Sumber: http://faostat3.fao.org/home/E)

Gambaran tingkat kepadatan populasi sapi potong dan produksi serta perdagangan daging sapi, unggas, dan babi menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani asal ternak diperkirakan akan terus tumbuh. Peningkatan perdagangan daging sapi, babi, dan unggas tersebut didominasi oleh permintaan dari wilayah Asia atau negara-negara yang sedang berkembang (Cheeke, 2009). Selanjutnya disebutkan bahwa

Page 32: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

21

telah terjadi perubahan pola konsumsi dari daging ke vegetarian di wilayah USA dan Eropa. Perubahan ini sebagai akibat dari isu kesejahteraan hewan (animal welfare) dan hak-hak hewan (animal right). 3.2. Penawaran Daging Sapi di Indonesia Komoditas sapi potong adalah komoditas peternakan yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Kenaikan harga komoditas ini bisa mendapatkan respon negatif dari masyarakat, sehingga pemerintah ikut campur tangan atas kenaikan harga komoditas sapi ini, terutama dagingnya. Terbentuknya harga daging sapi sebagai akibat adanya supply dan demand daging sapi. Komoditas yang diuraikan di sub bab ini adalah komoditas sapi dan daging sapi. Daging sapi merupakan turunan dari hasil pemotongan sapi. Adapun komoditas sapi potong adalah sapi yang diperjualbelikan dalam keadaan hidup. Bagaimana supply dan demand sapi dan daging sapi terjadi diuraikan di bawah ini. Penawaran merupakan sejumlah barang dan jasa yang ditawarkan dalam berbagai kemungkinan harga yang berlaku di pasar pada satu periode tertentu (Ahmad dan Rohmana, 2009). Menurut Rahardja dan Manurung (2002), yang dimaksud dengan penawaran adalah jumlah barang yang ingin produsen tawarkan (jual) pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Berdasarkan definisi-defini tersebut, ada dua hal yang berperan dalam penawaran, yaitu adanya sejumlah barang/jasa yang ditawarkan dan harga. Adanya sejumlah barang yang ditawarkan berarti tidak hanya barang yang dijual saja melainkan adanya barang yang disimpan (stok) dan juga barang impor. Dengan demikian, perhitungan total penawaran barang adalah total produksi ditambah dengan stok produksi, dan jumlah barang diimpor untuk satu jenis barang.

Page 33: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

22

Apabila dikaitkan dengan komoditas sapi dan daging sapi, total penawaran sapi dan daging sapi adalah total produksi sapi dan daging sapi ditambah dengan stok sapi dan daging sapi, serta jumlah sapi dan daging sapi yang diimpor. Atas dasar hal tersebut maka dapat dipetakan jumlah suplai sapi dan daging sapi, seperti pada Gambar 3. Akan tetapi, produk akhir yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat adalah daging sapi. Oleh karena itu, gambar di bawah ini menggambar suplai sapi dan daging sapi terbentuk. Berdasarkan gambar tersebut, perbedaan supply/penawaran sangat tergantung pada jenis produknya itu sendiri. Akan tetapi, ujung dari komoditas sapi potong adalah daging sapi. Kesetimbangan supply dan demand difokuskan pada produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia.

Total Penawaran Sapi dan Daging Sapi di Indonesia

Produksi Sapi

Produksi Pedet

Jumlah Populasi Sapi tahun

sebelumnya (Stok)

Pemasukan Sapi dari impor

Produksi Daging Sapi

Produksi Daging Sapi Hasil

Pemotongan

Jumlah Pemasukan Daging Sapi berasal

dari impor

Pengeluaran Sapi

Stock Daging Sapi

Gambar 3

Total Supply Sapi dan Daging Sapi di Indonesia

Page 34: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

23

3.2.1. Produksi Sapi Potong Produksi sapi potong lebih cenderung dikaitkan dengan jumlah populasi dalam satuan ekor atau satuan ternak (ST). Umumnya, produksi sapi lebih dititikberatkan pada jumlah pedet (anak sapi) yang dilahirkan pada kurun waktu tertentu. Kelahiran sejumlah pedet ini sebagai penambahan populasi sapi dari populasi sapi sebelumnya. Di samping itu, produksi sapi juga berasal pemasukan sapi dari luar wilayah Indonesia, khususnya sapi bakalan impor. Sebelum ada program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Siap Bunting), belum ada instansi peternakan yang mampu memberikan informasi terkait dengan jumlah pedet yang lahir tiap tahunnya. Data yang ada hanyalah data perkiraan kelahiran yang tingkat keakuratannya belum bisa dibuktikan. Padahal dengan adanya data kelahiran pedet ini, kita dapat memperkirakan tambahan populasi sapi pada periode tertentu. Dengan adanya program Upsus Siwab, data akseptor yang di inseminasi buatan, jumlah kebuntingan, dan jumlah kelahiran perhari dilaporkan oleh seluruh instansi pemerintah di daerah yang mendapatkan program Upsus Siwab. Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan populasi sapi potong mengalami penurunan di tahun 2013 sebanyak lebih dari 2 juta ekor dibandingkan dengan tahun 2011. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang melakukan pengetatan impor sapi bakalan dan daging beku di tahun 2011. Kondisi ini menyebabkan banyak sapi potong dan sapi perah yang dieksploitasi atau dipotong guna memenuhi permintaan dalam negeri. Namun demikian, perkembangan populasi sapi potong terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya.

Page 35: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

24

14

,84

2

15

,98

1

12

,68

6

14

,72

7

15

,42

0

15

,99

7

16

,42

9

16

,43

3

17

,11

9

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

00

0 e

kor

Gambar 4

Perkembangan Populasi Sapi di Indonesia dari Tahun 2011-2019

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015 dan 2019)

Produksi Pedet Produksi pedet merupakan sejumlah kelahiran pedet yang dihasilkan dari sejumlah sapi betina yang bunting. Dengan adanya sejumlah pedet yang lahir, secara otomatis jumlah populasi sapi akan bertambah. Data dan informasi yang paling lengkap tentang produksi pedet berasal dari program UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Program ini dirancang untuk mengoptimalisasi aktivitas reproduksi sapi sehingga mampu menghasilkan sapi-sapi betina produktif yang bunting dan sekaligus bisa menghasilkan sejumlah kelahiran pedet. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan-Kementerian Pertanian, selama 3 tahun program UPSUS SIWAB dijalankan mampu melahirkan sejumlah pedet sebanyak 4.739.423 ekor. Hal ini secara otomatis dapat meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Adapun tingkat kebuntingan sapi betina dan kelahiran pedet dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 36: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

25

Gambar 5 Target dan Realisasi Tingkat Kebuntingan Sapi Betina dan Kelahiran Pedet Program UPSUS SIWAB dari 2017 - 2019

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Pemasukan Sapi Total supply juga dipenuhi dari pemasukan sapi. Pemasukan sapi adalah masuknya sapi dari luar wilayah provinsi ataupun luar negeri (misalnya Australia). Pemasukan sapi ini bisa berasal dari impor ataupun sapi lokal dari satu provinsi migrasi ke provinsi lainnya. Wilayah-wilayah yang menjadi sentra impor sapi bakalan dari luar negeri adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Adapun provinsi-provinsi yang biasanya memasok sapi bakalan dan siap potong adalah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Adapun perkembangan pemasukan sapi dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

Page 37: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

26

Gambar 6

Perkembangan Pemasukan Sapi (Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2015 dan 2019) Pada Gambar 7 ditunjukkan aliran suplai sapi hidup dari Provinsi NTT dan Jawa Timur (garis tipis lurus warna hitam) dan Australia (garis lurus terputus-putus dan lurus hitam tebal). Australia merupakan negara pengekspor sapi hidup dan daging sapi ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar bagi sapi bakalan dan daging sapi dari Australia. Catatan dari detiknews tanggal 21 Januari 2020 (m.detik.com) menyatakan bahwa ekspor sapi ke Indonesia pada tahun 2019 mencapai 675.874 ekor dan merupakan ekspor terbesar dibandingkan dengan ke negara lainnya. Pada tahun 2020, Australia membatasi ekspor sapi hidup ke seluruh dunia di bawah angka 1 juta ekor yang disebabkan terjadinya kekeringan di wilayah produksi sapi di Australia. Indonesia merupakan pangsa pasar sapi hidup dan daging sapi yang cukup besar. Berita online tersebut menyatakan pula bahwa kebutuhan daging sapi di Indonesia untuk tahun 2020 adalah 600.000 ton dan angka ini sama dengan tahun 2019.

Page 38: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

27

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi tersebut, Indonesia membuka kuota daging sapi impor sebanyak 60.000 ton daging (sapi dan kerbau) untuk kebutuhan konsumsi dan 129.000 ton untuk kebutuhan industri. Adapun kuota untuk sapi hidup adalah 550.000 ekor di tahun 2020. Salah satu provinsi di Indonesia yang turut mengambil bagian dalam bisnis sapi hidup adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini sudah lama menjadi wilayah pensuplai sapi bagi provinsi lain dan bahkan pernah melakukan ekspor ke Hongkong di tahun 1970-an. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena Pemerintah Pusat menyarankan untuk mensuplai sapi-sapi hidup di wilayah Indonesia saja karena permintaan sapi hidup masih tinggi. Uraian lebih jauh peran suplai sapi hidup dari provinsi ini diuraikan lebih detail di bab-bab berikutnya.

Gambar 7 Distribusi Sapi antar Wilayah Provinsi dan Australia

Midle

East

Page 39: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

28

Total Supply Sapi Potong Total suplai sapi potong dapat dihitung dari populasi sapi tahun sebelumnya (stok), produksi pedet, pemasukan sapi dan pengeluaran sapi diperoleh dari data-data di atas. Sebenarnya, angka stok sapi diperoleh dari populasi akhir pada setiap akhir tahun. Berdasarkan tabel dan gambar yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disusun total suplai sapi potong dalam bentuk hidup seperti pada Tabel 1. Tabel tersebut sebagai ilustrasi jumlah suplai sapi potong yang terdapat di Indonesia berdasarkan hasil perhitungan dan data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tabel 1. Perkembangan Total Suplai Sapi Potong di

Indonesia Tahun 2017-2019

Total Populasi Sapi (000 ekor)

2017 2018 2019

Hasil Hitungan

Data Ditjen

Hasil Hitungan

Data Ditjen

Hasil Hitungan

Data Ditjen

Populasi Sapi (thn sebelumnya)

15,997

15,267

16,087

Pemasukan Sapi 482

1,020

676

Pemotongan sapi 1,956

2,032

2,039

Pedet Lahir 744

1,832

1,996

Total 15,267 16,429 16,087 16,433 16,720 17,119

Keterangan: Basis data hasil hitungan dari data Ditjen PKH yaitu statistik peternakan Indonesia dan data Upsus Siwab

Berdasarkan Tabel 1, perkembangan total suplai atau persediaan sapi potong yang ada di Indonesia dari tahun 2017 – 2019 mengalami peningkatan, namun data hasil hitungan tidak sesuai dengan data populasi dari Ditjen PKH. Pengambilan data tahun 2017 – 2019 tersebut didasarkan pada adanya program Upsus Siwab oleh pemerintah saat itu di akhir tahun 2016. Ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah perbedaan variabel yang digunakan dalam perhitungan populasi. Tabel 1 di atas merupakan ilustrasi perkembangan populasi sapi didasarkan pada variabel-variabel populasi sapi tahun

Page 40: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

29

sebelumnya, pemasukan sapi, pemotongan sapi (Gambar 13), dan jumlah pedet yang lahir. Namun demikian, perbedaan hasil antara hasil perhitungan dan data dari Ditjen PKH yang ditampilkan pada Tabel 1 tersebut perlu dimaknai bahwa perbedaan pengukuran dapat menyebabkan perbedaan dari hasil yang diperoleh. 3.2.2. Produsen Sapi Potong Ada dua tipe pelaku usaha sapi potong di Indonesia, yaitu peternak rakyat (farmer) dan perusahaan (firm). Sudah sejak lama, para petani padi di Indonesia memelihara sapi potong karena sapi dapat membantu petani dalam membajak sawah. Namun, seiring dengan perkembangan mekanisasi pertanian, khususnya adanya traktor, peran sapi potong pun mulai digeser perannya oleh mesin tersebut. Pada akhirnya, sapi potong dipelihara petani untuk dibiakkan. Umumnya, motif usaha peternak sapi potong rakyat adalah usaha sambilan. Namun ada juga peternak yang membudidayakan sapi potong dengan cara menggemukan. Tabel 2. Perbedaan Peternak Sapi Potong Rakyat dan

Perusahaan

Aspek-aspek Perbedaan

Peternak Perusahaan

Pekerjaan Sambilan Utama

Orientasi Usaha Tabungan Profit

Kepemilikan Kecil Besar

Sistem Budidaya Pembiakan dan Penggemukan

Penggemukan

Sistem Usaha Tradisional dan

tidak efisien Mengutamakan

teknologi dan Efisiensi

Orientasi Pasar Pasar Idul Adha Pasar Harian

Pada umumnya, peternak rakyat memelihara sapi dalam skala kecil karena keterbatasan modal dan lahan. Adapun perbedaan antara peternak sapi potong rakyat dan perusahaan dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan demikian sangat jelas

Page 41: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

30

perbedaannya dengan tujuan usaha yang diciptakan dari usaha sapi potong yang dikelolanya. Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Perusahaan yang

Berusaha di Komoditas Sapi Potong

Unit Usaha Jumlah Usaha

Rumah Tangga Usaha 5.074.933

Perusahaan 155

Lainnya 1.957

Sumber: BPS, 2014

Badan Pusat Statistik telah merilis data mengenai jumlah peternak sapi potong skala rumah tangga dan perusahaan di tahun 2014 (lihat Tabel 3). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga yang membudidayakan sapi potong sebanyak lebih dari 5 juta peternak, sedangkan perusahaan yang juga melakukan usaha di sapi potong sebanyak 155 perusahaan. Kemungkinan data-data tersebut dapat terkoreksi mengingat akhir-akhir ini dengan adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan industri sapi potong. 3.2.3. Produksi Daging Sapi 3.2.3.1. Istilah-istilah pada Bagian-Bagian Daging Sapi

Daging sapi merupakan produk utama hasil dari pemotongan ternak sapi. Produk yang dihasilkan dari pemotongan sapi, tidak hanya daging saja, melainkan beragam produk ikutannya, yaitu tulang, jeroan, kaki, ekor, kepala, dan kulit. Produk ikutan tersebut bisa mendatangkan pendapatan tambahan dari hasil pemotongan ternak. Perlu diketahui bahwa terdapat penamaan istilah daging dalam satu ukuran karkas sapi, namun kebanyakan orang awam tidak begitu memahami mengenai bagian-bagian dari daging (part of meat) tersebut. Tiap-tiap bagian daging memiliki ciri khas tersendiri dan juga

Page 42: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

31

menentukan tingkat harganya. Apabila digambarkan, bagian dari sapi yang dipotong dapat dipetakan persentase dari masing-masing bagian karkas sapi, seperti pada Gambar 8. Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa bagian terbesar dari karkas sapi adalah hind quarter (belakang) dan fore quarter (depan), sisanya adalah produk hasil ikutan.

Gambar 8

Persentase (%) Bagian-bagian Sapi yang Dipotong (Sumber: Noor, 2016)

Selanjutnya, pada karkas utuh jika dibagi lagi, terdapat beberapa istilah daging pada bagian karkas tersebut, seperti pada Gambar 9. Istilah daging yang dimulai dari lamusir, paha depan, tulang iga, daging iga termasuk dalam Fore Quarter, sedangkan bagian lainnya adalah loin, akas-paha lainnya, pentul kepala, shanckle, dan ganding masuk dalam kategori Hind Quarter. Masing-masing bagian daging tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga pengetahuan ini penting guna menentukan masakan apa yang akan dibuat dari bagian daging tersebut.

Page 43: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

32

Gambar 9. Istilah-istilah Daging pada Bagian Karkas

(Sumber: Noor, 2016)

3.2.3.2. Total Produksi Daging Sapi Produksi daging sapi nasional diperoleh dari hasil pemotongan ternak sapi di RPH/TPH yang ada di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan memperlihatkan perkembangan produksi daging sapi nasional dari tahun 2015 – 2019 (lihat Gambar 10). Gambar tersebut memperlihatkan trend peningkatan produksi daging sapi, khususnya daging sapi impor. Selain produksi daging sapi nasional, kekurangan daging dipasok dari luar negeri. Permintaan daging sapi dalam negeri masih cukup besar dibandingkan dengan pasokannya. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari guna memenuhi permintaan tersebut pemerintah melakukan impor daging dari luar negeri. Salah satu negara yang menjadi pengekspor daging beku yang terbanyak adalah Australia. Seiring dengan diperbolehkannya

Page 44: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

33

impor dari zona base, maka Indonesia mengimpor daging sapi/kerbau dari India. India masih masuk kategori negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), namun impor daging beku berasal dari wilayah India yang bebas PMK. Dengan demikian, impor daging tersebut harus diawasi dengan seksama oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2017, pemerintah melakukan impor daging kerbau sebanyak 70.000 ton dari India. Hal ini mempertegas bahwa pemerintah berupaya untuk menurunkan harga daging sapi di Indonesia.

Gambar 10 Perkembangan Produksi dan Impor Daging Sapi (Ton) (Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2015 dan 2019) Berdasarkan data jumlah produksi daging sapi nasional dan impor, maka dapat dihitung total suplai daging sapi di Indonesia, seperti pada Tabel 4. Tabel tersebut memperlihatkan total suplai daging sapi dari tahun 2015-2019. Suplai daging sapi rata-rata di atas 500 ribu ton yang dapat disediakan oleh produksi dalam negeri dan impor. Akan tetapi, trend produksi daging sapi dalam negeri mengalami penurunan sedangkan trend impor daging terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Artinya, ada penggantian peran daging

Page 45: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

34

sapi dalam negeri oleh daging sapi impor guna mencukupi kebutuhan permintaan. Tabel 4. Perkembangan Total Supply Daging Sapi di

Indonesia

Supply Daging Sapi 2015 2016 2017 2018 2019

………………………...(Ton)……………………….

Produksi Daging 506,661 524,109 531,757 497,972 490,421

Impor Daging 50,309 116,761 118,647 160,700 189,000

Total 556,970 640,870 650,404 658,672 679,421

Keterangan: Data hasil olahan dari Ditjen PKH, 2015 dan 2019

3.3. Permintaan Daging Sapi Kebutuhan daging sapi adalah tingkat permintaan daging sapi yang akan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging sapi merupakan produk turunan dari hasil pemotongan sapi. Banyaknya sapi yang dipotong akan setara dengan jumlah daging sapi yang dihasilkan. Berikut ini adalah ilustrasi dari produksi daging sapi dari seekor sapi.

±±5500%%

±±2255%%

±±2255%%

±±5500%% DDAAGGIINNGG

±±5500%% TTUULLAANNGG OOFFFFAALL//JJEERROOAANN,,

KKEEPPAALLAA,, KKAAKKII,, KKUULLIITT

DDAARRAAHH,, KKOOTTOORRAANN,,

LLAAIINNNNYYAA

Gambar 11

Turunan Produk dari Satu Ekor Sapi yang Dipotong (Sumber: Noor, 2016)

Gambar di atas mengilustrasikan bagian-bagian dari hasil pemotongan sapi beserta prosentasenya. Khusus untuk sapi-

Page 46: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

35

sapi penggemukan hasil impor, rata-rata besarnya karkas mampu mencapai 50% sedangkan untuk sapi-sapi hasil pembiakan di masyarakat, besaran karkas antara 45% - 49%. Berdasarkan gambar di atas dapat ditentukan berapa banyak daging yang dapat diperoleh dari seekor sapi. Contoh seekor sapi penggemukan asal impor berat siap potongnya adalah 500 kg/ekor, maka besar karkasnya adalah 250 kg dan daging yang diperoleh adalah 125 kg. Adapun perkiraan perhitungan konsumsi daging masyarakat Indonesia bisa diperoleh dari hasil perkalian antara konsumsi daging kg/orang/tahun dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia (orang), seperti di gambar di bawah ini.

Total Konsumsi Daging Sapi

Indonesia (kg/tahun)

Rata-rata Konsumsi Daging Sapi

Perkapita/Tahun (kg/orang/tahun)

Total Penduduk Pertahun (orang) X

Gambar 12 Perhitungan Total Konsumsi Daging Sapi di Indonesia

Berdasarkan Gambar 12 bisa diperkirakan jumlah kebutuhan daging sapi di Indonesia setiap tahunnya. Data rata-rata konsumsi daging sapi dapat diperoleh dari Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dipublikasi oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian setiap tahunya. Data tersebut bisa diperoleh secara gratis dari websitenya. Selanjutnya, data jumlah penduduk dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik secara gratis melalui websitenya. Data pengeluaran sapi potong telah tersedia di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH). Adapun permintaan daging sapi adalah sejumlah daging yang dibutuhkan atau dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging sapi dibutuhkan oleh masyarakat, industri, dan restoran. Pendekatan minimal yang dapat dilakukan adalah mengkonversi konsumsi daging sapi perkapita pertahun.

Page 47: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

36

Data perkembangan pengeluaran sapi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan gambar tersebut diperlihatkan jumlah pemotongan sapi di Indonesia. Tahun 2015, jumlah sapi yang dipotong lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun setelahnya. Pada tahun tersebut jumlah tahun 2015 sebanyak 2,2 juta ekor. Tahun 2017 menjadi tahun yang jumlah pemotongan sapinya paling terendah, yaitu 1,96 juta ekor. Dugaan dari rendahnya tingkat pemotongan sapi di tahun 2017 disebabkan oleh masyarakat tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging sapi karena mengalihkan konsumsi protein hewaninya ke sumber makanan pengganti (subtitusi) lainnya, seperti daging ayam, telur, ataupun ikan. Pengalihan konsumsi tersebut disebabkan oleh harga daging yang masih relatif mahal untuk dijangkau sebagian masyarakat Indonesia.

Gambar 13 Pengeluaran Sapi Potong (000 ekor)

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015 dan 2019)

Daging sapi diartikan sebagai produk utama dari hasil pemotongan sapi. Produk utama inilah yang menjadi konsumsi protein hewani oleh masyarakat. Angka tingkat kebutuhan daging sapi merupakan hasil perkalian dari rata-rata konsumsi daging sapi kg/kapita/tahun dikalikan dengan jumlah penduduk, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pada Gambar 14 diperlihatkan tingkat kebutuhan daging sapi di Indonesia dari

Page 48: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

37

tahun 2015 - 2019. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat angka kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Hal ini sejalan degan perkiraan proyeksi oleh FAO (Food Agriculture Organization) yang menyatakan bahwa permintaan konsumsi daging sapi akan terus meningkat di dunia.

Gambar 14 Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia

(Sumber: Direktoratn Jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan, 2019 dan Badan Pusat Statistik, 2019)

3.4. Kesetimbangan Supply Demand Daging Sapi di

Indonesia Hasil perhitungan supply demand daging sapi yang telah dikemukakan di atas bisa dijadikan dasar untuk menghitung kesetimbangan sapi dan daging sapi di Indonesia. Atas dasar perhitungan produksi daging sapi dan permintaan kebutuhan daging sapi dapat dideteksi gap/ekses antara suplai dan permintaan daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data yang telah disajikan di atas, basis data produksi dan permintaan daging sapi dari tahun 2015 – 2019 telah disajikan di atas. Oleh karena itu, Gambar 15 mengilustrasikan data produksi

Page 49: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

38

dan permintaan daging sapi di Indonesia. Pada gambar tersebut terlihat bahwa ternyata ada kekurangan suplai daging sapi di Indonesia dari tahun 2015 – 2019. Ekses demand daging sapi ini menjadi indikator tingkat kekurangan suplai daging sapi di Indonesia. Jika dilihat data pada gambar tersebut, pergerakan permintaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daging sapi (yang sudah menyertakan daging sapi asal impor).

Gambar 15 Suplai dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia dari

Tahun 2105-2019 Dengan demikian, kekurangan suplai tersebut dapat dijadikan sebagai peluang bisnis, khususnya peluang bisnis pada usaha daging sapi. Apabila dikerucutkan lagi per regional, permintaan daging sapi tertinggi terdapat di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kebutuhan daging sapi di DKI Jakarta bisa mencapai 70% dari total permintaan di seluruh Indonesia dan menjadikan wilayah

Page 50: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

39

ini sebagai wilayah dengan konsumsi daging sapi tertinggi di Indonesia (Tim MB-IPB, 2013). 3.5. Pembentukan Harga Sapi dan Daging Sapi Potong Gambaran produksi, konsumsi dan tingkat harga komoditas daging sapi sebagai hasil cerminan dari fungsi penawaran dan permintaan. Prinsip dari fungsi penawaran dan permintaan adalah kesetimbangan. Kesetimbangan fungsi penawaran dan permintaan dicerminkan dengan perpotongan antara titik harga dan kuantitas suatu barang pada satu titik, misalnya titik E (equilibrium). Kondisi kesetimbangan tidak selamanya tetap namun dapat berubah dari satu titik ke titik yang lain tergantung dari pergeseran (shift) di sepanjang kurva atau pergerakan (movement) dari kurva permintaan atau kurva penawaran tersebut. Gambar di bawah ini secara singkat menggambarkan pembentukan harga pasar atas kesetimbangan supply dan demand.

P

0 Q

S

D

Q1

P1 E

Gambar 16

Proses Pembentukan Harga sebagai Dampak dari Supply dan Demad

Berdasarkan ilustrasi di atas, proses pembentukan harga dibangun atas dasar kesetimbangan permintaan dan penawaran. Kesetimbangan terjadi sebagai akibat pertemuan

Page 51: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

40

kurva supply dan demand. Titik pertemuan tersebut adalah (P1, Q1), dimana harga P1 dan jumlah kuantitasnya Q1. Berarti nilai transaksinya adalah P1 x Q1. Dengan demikian, nilai transaksi dari P1 dan Q1 dapat diketahui besarannya. Gambaran di atas adalah ilustrasi singkat kesetimbangan permintaan dan penawaran suatu komoditas. Pergeseran dan pergerakan kurva permintaan dan penawaran dapat mengubah tingkat kestimbangan yang sebelumnya terjadi. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurva supply dan demand, yaitu (Rahardja dan Manurung, 2002): 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurva permintaan adalah

(a) harga barang itu sendiri, (b) harga barang lain yang terkait, (c) tingkat pendapatan perkapita, (d) selera atau kebiasaan, (e) jumlah penduduk, (f) perkiraan harga di masa depan, (g) distribusi pendapatan, (h) usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurva penawaran adalah (a) harga barang itu sendiri, (b) harga barang lain yang terkait,(c) harga faktor produksi, (d) teknologi produksi, (e) jumlah pedagang/penjual, (f) tujuan perusahaan, dan (g) kebijakan pemerintah

Dengan demikian, proses pembentukan harga merupakan proses yang berlangsung terus menerus, khususnya pada pasar kompetitif. Adapun aplikasi dari proses pembentukan di komoditas sapi dan daging sapi diuraikan di bawah ini. Harga merupakan patokan baik bagi produsen maupun konsumen dalam menentukan jumlah barang yang akan dipasok ataupun diminta. Begitu pula dengan usaha sapi potong dimana para pelaku usaha ini terdiri dari peternak rakyat dan perusahaan. Penentuan harga di tingkat pertanian (farm gate price) ditentukan berapa besar biaya produksi yang dikeluarkan untuk memelihara sapi potong. Sebelumnya telah diuraikan terlebih dahulu mengenai harga pasar yang terjadi pada harga jual sapi hidup dan daging sapi di Indonesia. Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa baik harga daging ataupun sapi hidup semuanya meningkat. Harga-harga sapi

Page 52: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

41

hidup dan daging sapi di tahun 2017 lebih tinggi dibandingkan tahun 2010. Akan tetapi, perkembangan harga di tahun 2017 – 2019 tidak mengalami kenaikan dan cenderung stagnan atau stabil. Dugaan yang diberikan atas stagnasi harga daging sapi adalah adanya importasi daging sapi dari negara-negara yang lebih murah harganya, seperti Brazil dan India. Bahkan, Indonesia pun mengimpor daging kerbau dari India sebagai upaya penstabilan harga daging sapi agar tidak terus naik.

Gambar 17 Perkembangan Rataan Harga Sapi Hidup dan Daging Sapi (Sumber: Kamar Dagang dan Industri, 2017 dan informasi dari

pelaku usaha, 2020) Berdasarkan Gambar 17 sebenarnya bagaimana pembentukan harga sapi dan daging sapi di tingkat peternak? Hal ini menjadi bagian dari buku ini. Di bagian ini akan diilustrasikan biaya produksi usaha budidaya sapi potong dengan berbagai tujuan usaha, yaitu usaha pembesaran dan usaha penggemukan. Usaha pembesaran biasanya dilakukan oleh para peternak (smallholder producers), sedangkan usaha penggemukan atas sapi-sapi ex-import dilakukan oleh perusahaan penggemukan

Page 53: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

42

(Feedloter) ataupun koperasi. Adapun harga produksi dari usaha budidaya sapi potong tersebut adalah sebagai berikut: 1. Usaha Pembesaran di Tingkat Peternak Asumsi yang digunakan dalam perhitungan di sini adalah (1) pedet yang dibeli adalah umur 4 bulan, (2) lama pembesaran 20 bulan, (3) bangsa pedet sapi yang dibeli adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Apabila sapi yang dibeli adalah bangsa limosine dan Simental, harga pedet pun lebih mahal dibandingkan dengan sapi PO. Tabel 5. Biaya Produksi dan Harga Jual Pedet Peranakan

Ongole (PO) dengan Tujuan Pembesaran (1 ekor)

Asumsi Tahun 2018 Satuan Harga dan Kebutuhan

Harga Konsentrat Rp/Kg 2,800

Hijauan Rp/Kg 400

Kebutuhan Konsentrat dari 4 - 24 bln kg 1,980

Kebutuhan Hijauan dari 4 - 24 bln kg 9,900

Biaya Konsentrat dari 4 - 24 bln Rp 5,544,000

Biaya Hijauan dari 4 - 24 bln Rp 3,960,000

Harga Pedet 4 bulan Rp 4,500,000

Berat Akhir 250 kg 14,004,000

Harga Berat Hidup (Hijauan dihitung) Rp/Kg 56,016

Harga Berat Hidup (Hijauan tidak dihitung) Rp/Kg 40.176

Biaya produksi di tingkat peternak yang melakukan pembesaran dari mulai pedet umur 4 bulan sampai dengan 24 bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan tabel di atas dapat diterangkan bahwa asumsi harga konsentrat rata-rata Rp 2.800/kg, sedangkan hijauan dihitung sebesar Rp 400/kg. Biaya hijauan biasanya tidak pernah dihitung sebagai biaya oleh peternak karena mereka sendiri yang menyabit rumput. Oleh karena itu, biaya hijauan ini dimasukkan sebagai keuntungan yang nantinya akan dinikmati peternak. Sampai

Page 54: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

43

dengan umur 24 bulan diperkirakan pedet sapi PO yang dipeliraha tersebut dapat mencapai berat 250 kg. Harga jual di peternak, jika memasukkan ongkos hijauan di dalam biaya operasional adalah sebesar Rp 56.016/kg bobot hidup, sedangkan jika biaya hijauan tidak dimasukkan di dalam perhitungan biaya operasional, maka nilai sapi sebesar Rp 40.176/kg bobot hidup. Berdasarkan hasil hitungan tersebut, maka harga bobot hidup di tingkat peternak masih lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar sapi hidup, yaitu Rp 44.000/kg. Namun, jika hijauan tidak dimasukkan dalam perhitungan, harga di tingkat petani memiliki harga sebanding dengan harga pasaran. Dengan demikian, uraian biaya produksi untuk membesarkan pedet dari umur 4 – 21 bulan memakan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu, sapi-sapi lokal yang dipelihara oleh peternak tidak akan mampu bersaing dengan harga sapi dengan tingkat harga rendah. Peternak lebih memelihara sapi untuk dijual di hari Raya Idul Adha karena lebih menguntungkan dibandingkan dijual untuk pemotongan harian. 2. Usaha Penggemukan yang Dilakukan oleh Koperasi

Peternak Sapi Potong Usaha penggemukan sapi potong pun dapat dilakukan oleh institusi koperasi. Bakalan-bakalan yang digemukan berasal dari bakalan persilangan, terutama bakalan keturunan Limosine atau Simental. Kedua bangsa ini sangat diminati oleh para peternak karena pertumbuhan bobot badanya yang relatif cepat. Asumsi biaya produksi dan harga jual sapi potong penggemukan diperoleh dari salah satu koperasi peternakan sapi potong, yaitu Koperasi Ternak Gunungrejo Makmur di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Koperasi ini membeli bakalan-bakalan sapi potong hasil persilangan dari peternak dengan berat rata-rata 300 kg dengan umur 2 tahun. Adapun

Page 55: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

44

rincian dari biaya produksi dan harga jual ternak di tingkat koperasi adalah seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Biaya Produksi Penggemukan dan Harga Jualnya

di Koperasi Ternak Gunungrejo Makmur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

Asumsi Tahun 2018 Satuan Harga dan Kebutuhan

Sewa kandang (1 unit x 3 bulan) Rp 22,500

Sapi Bakalan (@ 300 kg/ekor, harga Rp 42.000/kg)

Rp 12,600,000

Biaya Pakan:

a. Konsentrat (@ 6 kg/ekor/hari x 3 bulan x Rp 3000/kg)

Rp 1,620,000

b. Hijauan (@ 25 kg/ekor/hari x 3 bulan x Rp 450/kg)

Rp 1,012,500

Tenaga Kerja (@ Rp 100000/ekor/bulan x 3 bulan)

Rp 300,000

Air dan Listrik (selama 3 bulan) Rp 25,000

Obat-obatan/vitamin Rp 150,000

Total Biaya Rp 15,730,000

Average Daily Gain Kg/hari 1.1

Berat siap jual Kg 400

Harga Jual Berat Hidup Rp/Kg 43,000

Penjualan Sapi Hasil Penggemukan Rp 17,200,000

Keuntungan Rp 1.470.000

Berdasarkan Tabel 6, usaha tersebut sangat ditentukan oleh tingkat pertambahan berat badan (average daily gain) perharinya. Hal ini sangat tergantung dari pakan yang diberikan kepada ternak. Pihak Koperasi Ternak Gunungrejo Makmur menyusun formula ransum untuk konsentrat sendiri. Dengan demikian, mereka bisa menghemat biaya pakan konsentrat. Sumber-sumber bahan baku pakan konsentrat berasal dari wilayah Lamongan sehingga pasokan tidak kekurangan. Disamping itu, pakan hijauan diperoleh dari lahan milik koperasi dan di sekitarnya karena daerah tempat penggemukan tersebut adalah wilayah pertanian. Teknologi

Page 56: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

45

silase jerami padi digunakan untuk membuat stok hijauan dalam kurun waktu 1 bulan ke depan. Tabel 6 juga dapat menjelaskan juga bahwa keuntungan yang diperoleh dari 1 ekor sapi bakalan yang digemukan dari bakalan persilangan lokal adalah Rp 1,47 juta selama 3 bulan. Prinsip yang dianut oleh koperasi ini, para peternak yang menjadi anggota harus memiliki minimal 15 ekor sapi penggemukan sehingga keuntungan yang diperoleh bisa maksimal.

3. Biaya Produksi Sapi Potong di Tingkat Feedlotter Perusahaan penggemukan sapi lebih memfokuskan pada usaha penggemukan sapi-sapi bakalan impor. Usaha penggemukan sangat berkembang di wilayah Jawa Barat dan Lampung, khususnya wilayah-wilayah yang berdekatan DKI Jakarta karena tujuan pasokan sapi hasil penggemukan tersebut untuk konsumsi wilayah DKI Jakarta. Usaha penggemukan ini sudah lama berkembang di wilayah penyangga tersebut karena ada profit yang bisa diperoleh dari hasil penggemukan bakalan tersebut. Waktu penggemukan maksimal selama 3 bulan. Apabila melebihi tiga bulan, maka biaya pemeliharaan akan semakin besar dan pertumbungan berat badan perhari pun tidak maksimal. Di bawah ini diuraikan biaya produksi dan harga jual pada kasus di salah satu perusahaan penggemukan yang ada di Jawa Barat, yaitu PT. Citra Agro Buana Semesta. Adapun uraian dari biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, kunci utama dari perusahaan penggemukan adalah harga dasar bakalan dari luar negeri dan pertambahan berat badan (pbb) perhari. Harga bakalan sapi di Australia di tahun 2017 adalah AU$ 2,96. Selain itu, peningkatan berat badan perhari menjadi faktor berikutnya untuk mendapatkan margin dari usaha penggemukan. Kunci dari pertambahan berat badan perhari adalah pakan konsentrat. Apabila kualitas konsentratnya baik, maka hasil yang dicapai akan maksimal. Tabel 7 menunjukkan bahwa ada dua faktor yang sangat mempengaruhi harga sapi, yaitu harga

Page 57: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

46

sapi bakalan dan pertambahan berat badan perhari. Jika harga sapi bakalan di Australia meningkat bisa berpengaruh pada harga jual sapi hidup di Indonesia. Di samping itu, jika pertambahan berat badan perhari di bawah 1 kg/hari bisa berdampak pada penurunan penerimaan. Tabel 7. Biaya Produksi Penggemukan di Feedloter dan

Harga Jualnya

Asumsi Satuan Harga dan Kebutuhan

Harga Konsentrat Rp/Kg 3,000

Penggunaan Konsentrat Kg/Ekor/hari 9

Hijauan Rp/Kg 500

Penggunaan hijauan Kg/Ekor/hari 21

Tenaga Kerja Rp/hari 30,000

Harga Sapi Bakalan (CIF) AU$/kg 2.96

Biaya Loading dan Unloading Rp/ekor 70,000

Biaya karantina Rp/ekor/hari 1,000

Kurs Rp terhadap AUD Rp/AU$ 9,800

Berat Rata-rata awal Kg 400

Average Daily Gain (ADG) Kg/hari 1.5

Lama penggemukan Hari 90

Lama karantina Hari 14

Berat akhir hasil penggemukan Kg 535

Kebutuhan Konsentrat 3 bulan kg 810

Kebutuhan Hijauan 3 bulan kg 1,890

Biaya Konsentrat 3 bulan Rp 2,430,000

Biaya Hijauan 3 bln Rp 945,000

Biaya Sapi Impor (CIF) Rp/ekor 11,603,200

Biaya Loading dan Unloading Rp/ekor 70,000

Biaya karantina Rp/ekor 14,000

Tenaga Kerja Rp/ekor 54,000

Biaya Operasional Rp/ekor 15,116,200

Biaya Lainnya 10% (PPN) Rp/ekor 1,511,620

A. Total Biaya (Farm Gate Price) Rp/ekor 16,627,820

Harga Bobot Hidup Rp/Kg 41,570

B. Penerimaan (@ Rp 43.000/kg Bobot Hidup) Rp/ekor 23,005,000

C. Selisih Rp/ekor 6,377,180

Sumber: PT. Citra Buana Agro Semesta, 2017 (Referensi harga tahun 2017)

Page 58: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

47

Ilustrasi harga sapi hidup dari ketiga usaha di atas bisa menggambarkan bahwa usaha budidaya yang dilakukan oleh peternak tidak akan mampu bersaing dengan usaha penggemukan oleh koperasi ataupun perusahaan. Harga pasaran sapi hidup adalah Rp 43.000/kg tidak dapat diikuti oleh harga jual di tingkat peternak yang mencapai Rp 56.000/kg. Oleh karena itu, umumnya para peternak menjual sapi untuk kepentingan pasar qurban. Pada saat qurban, harga yang terjadi tidak didasarkan pada harga pasar tetapi pasar sugesti, yaitu harga didasarkan pada adu tawar antara penjual dan pembeli dengan motif hari raya qurban. Umumnya, nilai sapi untuk qurban relatif lebih mahal dibanding hari-hari biasanya. Tetapi, bagi para pedagang yang memiliki timbagan untuk sapi, mematok harga sapi untuk qurban adalah Rp 65.000 – 67.000/kg berat hidup. Bagaimana harga daging sapi terbentuk? Ada perhitungan yang sudah umum terjadi di lapangan bahwa apabila harga sapi hidupnya adalah Rp 43.000/kg, maka harga jual karkasnya adalah Rp 86.000/kg (atau dua kali lipat harga berat hidup. Adapun harga jual daging sapi biasanya rata-rata 3 kali lipat dari harga berat hidup atau Rp 129.000/kg. Namun harga jual daging ini sangat dipengaruhi oleh kran impor daging dan harga daging sapi tiap bagiannya. Berdasarkan Gambar 18, sudah tiga tahun tidak mengalami peningkatan dari tahun 2016 – 2019, yaitu Rp 115.000/kg – 120.000/kg. Pada Gambar 18 ditampilkan beberapa bagian daging sapi yang dijual dipasaran dengan tingkat harga yang berbeda untuk setiap bagian sapinya. Data harga ini didasarkan pada data tahun 2016, namun ini bisa dijadikan ilustrasi bahwa terjadi perbedaan harga untuk setiap bagian dari karkas sapi.

Page 59: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

48

Gambar 18 Harga Daging Sapi Pada Setiap Bagian Karkas

(Sumber: Noor, 2016) 3.6. Distribusi Pemasaran Sapi dan Daging Sapi Potong Pada Gambar 4 sebelumnya telah diberikan gambaran singkat terkait distribusi sapi potong di Indonesia. Namun, sebelum menguraikan lebih jauh terkait dengan distribusi pemasaran sapi dan daging sapi, akan diuraikan terlebih dahulu teori singkat berkaitan dengan pemasaran. Pemasaran adalah sejumlah aktivitas bisnis yang dimaksudkan untuk memberi tingkat kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan kepada konsumen atau pengguna (Kotler, 1997). Berdasarkan definisi tersebut sangat jelas diterangkan bahwa ketika barang akan disampaikan dari produsen ke konsumen harus memberikan tingkat kepuasan. Limbong dan Sitorus (1987) mendefinisikan pemasaran hasil pertanian adalah segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen termasuk didalamnya kegiatan yang menghasilkan perubahan bentuk barang untuk mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan

Page 60: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

49

yang lebih tinggi kepada konsumen. Hal ini berarti dalam pemasaran komoditas pertanian terjadi perpindahan fisik dan hak milik dari penjual ke pembeli serta harus memberikan kepuasan kepada pembelinya. Menurut Kohl dan Uhl (1990), pemasaran itu mengandung tiga fungsi, yaitu fungsi pertukaran (barang dari produsen ke konsumen), fungsi fisik (pengolahan, penyimpanan, dan transportasi), dan fungsi fasilitas pemasaran (standarisasi dan penggolongan produk, usaha pembiayaan, penanggungan resiko, dan intelejen/informasi pasar). Dengan demikian, perpindahan barang dari produsen ke konsumen tidak serta merta berpindah dengan sendirinya, melainkan melalui saluran pemasaran. Saluran pemasaran adalah arus barang dan jasa melalui lembaga-lembaga yang menjadi perantara (Firman dan Tawaf, 2008). Lembaga-lembaga pemasaran inilah yang mengalirkan barang dari produsen ke konsumen, seperti dilihat pada Gambar 19.

Produsen Pedagang Pengumpul

Retali Konsumen

Gambar 19

Tataniaga Pemasaran Peran pelaku pemasaran sangat penting di dalam saluran pemasaran karena melalui merekalah barang dari produsen bisa sampai dengan cepat. Namun, semakin panjang saluran pemasaran, maka harga yang diterima konsumen akan semakin tinggi. Oleh karena itu, mereduksi saluran pemasaran menjadi lebih singkat bisa menguntungkan produsen dan konsumen. Selanjutnya bahasan mereduksi saluran pemasaran dibahas berikutnya. Teori-teori pemasaran di atas adalah sebagai pengantar untuk menjelaskan bagaimana distribusi sapi dan daging sapi di Indonesia. Saluran pemasaran setiap komoditas sangat ditentukan oleh karakteristik komoditas itu sendiri. Khusus untuk produk-produk pertanian atau peternakan memiliki

Page 61: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

50

keunikan tersendiri, yaitu volumenous (memakan ruang), bulk (jumlah besar), dan mudah rusak. Ketiga karakteristik inilah yang harus menjadi pegangan bagi para pelaku pemasaran ketika memasarkan produk-produk hasil pertanian.

Impor Sapi

Bakalan

Inti

(Perusahaan) Plasma

Pasar Sapi

Bakalan Lokal

Pedagang Desa

Peternakan

Rakyat Pedagang

Lokal

Pedagang/

Jagal Lokal

Konsumen

Lokal

Impor Daging

Sapi

Rumah

Potong Hewan

Pedagang

antar daerah Pedagang/

Jagal Besar Pengecer/

Pasar Besar

Rumah Potong Hewan

Pengecer/ Pasar

Lokal

Gambar 20

Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi (Sumber: Ilham, 1998 dikutip Firman dan Tawaf, 2008)

Keterangan: : Sapi Potong : Daging Sapi

Pada pemasaran sapi dan daging sapi, tentunya penanganan pemasaran ke dua produk tersebut akan berbeda. Sapi dijual dalam keadaan masih hidup, sedangkan daging sapi sudah berupa komoditas setengah jadi namun cepat rusak kalau tidak ada penanganan dalam distribusi pemasaran. Adapun pola saluran pemasaran sapi dan daging sapi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 20. Pola pemasaran sapi potong di Indonesia ada dua tipe, yaitu impor sapi bakalan yang

Page 62: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

51

digemukkan oleh perusahaan dan pola budidaya oleh peternak sapi. Pola saluran sapi penggemukan dari perusahaan dijual ke jagal/pedagang besar masih dalam bentuk sapi hidup. Setelah itu, pedagang besar memotong sapi tersebut di Rumah Potong Hewan (RPH), lalu hasil pemotongan sapi dijual ke pedagang kecil atau retail yang ada di pasar, dan produk itu dijual ke konsumen.

Pola pemasaran sapi dari peternakan rakyat biasanya dijual ke pedagang lokal, kemudian dijual ke pedagang antar daerah dan ke pedagang besar yang selanjutnya sapi dipotong oleh pedagang besar yang hasil pemotongannya didistribusikan ke pedagang pengecer/retail daging di pasar. Adapun pola pemasaran daging sapi dimulai dari pedagang besar, baik itu daging segar ataupun daging beku impor yang selanjutnya dialirkan ke pedagang pengecer/retail. Oleh karena itu, Gambar 21 adalah gambaran umum pola saluran pemasaran sapi dan daging sapi di Indonesia.

Gambar 21 Pola Saluran Pemasaran Sapi Potong antar Negara dan

Provinsi di Indonesia Pada prakteknya, sumber-sumber suplai sapi potong bagi Indonesia adalah Australia, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur (Gambar 21). Sapi-sapi tersebut mengalir ke

Page 63: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

52

wilayah Barat khususnya ke wilayah dengan permintaan daging sapi yang tinggi, seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Kalimantan. Peternak di wilayah sumber sapi tersebut melalui pedagang perantara mengantarkan sapi tersebut dengan berbagai tujuan, seperti untuk digemukkan, dibudidayakan, ataupun langsung dipotong untuk keperluan konsumsi. 3.6.1. Pemasaran Era Industri 4.0 atau Digital Era digital sudah dimulai pada tahun 2000-an. Era digital ini dimulai saat internet sudah terkoneksi dengan mobilephone atau handphone. Setelah perangkat lunak ini mewarnai atau bahkan mendominasi seluruh aplikasi di handphone, disanalah mulai terjadinya era digitalisasi. Melalui prangkat lunak inilah, semua orang dapat berinteraksi secara virtual (dunia maya) dimana pun mereka berada. Saat ini dan kedepannya, aplikasi-aplikasi yang disusun oleh programmer dimaksudkan untuk mempermudah pengguna handphone untuk berinteraksi lebih cepat lagi karena kecepatan informasi menjadi salah satu icon di era digital ini atau life in hand. Terkait dengan sistem pemasaran yang telah diuraikan di atas, sistem pemasaran yang digambarkan oleh Kotler merupakan sistem pemasaran yang terjadi pada umumnya. Namun dengan adanya perangkat handphone yang terkoneksi dengan internet, terjadi disrupsi fungsi-fungsi pemasaran dengan adanya pengalihan pelaku pemasaran dan tidak menggunakan saluran pemasaran pada umumnya. Fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitasi (Kohls dan Uhl, 1990). Produsen tidak lagi tergantung pada peran beberapa pelaku pemasaran tetapi mampu menjual produknya ke pasar. Inilah yang menjadi tujuan dari Food Agriculture Organization (FAO) dalam beberapa literaturnya dengan mengusung istilah “ Linking Farmers to Markets”. Diera digital ini atau lebih dikenal dengan Era Industri 4.0, sangat memungkinkan produsen dapat menjual produknya langsung ke pasar atau konsumen.

Page 64: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

53

Produsen dapat mempromosi produknya melalui media sosial, internet, ataupun media lainnya. Para konsumen bisa mengakses informasi-informasi itu dengan mudah. Apalagi sekarang ini handphone telah menyediakan beberapa perangkat lunak yang cukup lengkap untuk dimanfaatkan secara maksimal. Jadi, hanya dengan bermodalkan handphone yang telah terhubung dengan internet, semua bisa dengan mudah mengakses informasi-informasi. Dengan demikian, pada era digital ini, saluran pemasarannya menjadi berubah seperti terlihat pada Gambar 22.

Produsen Daring/

Online

Bank/ Asuransi

Jasa Pengiriman

Konsumen Order and

payment Promotion

Delivery and payment

Delivery Order

Fungsi Pertukaran dan Fisik Pemasaran

Fungsi Fasilitasi Pemasaran

Gambar 22

Saluran Pemasaran Era Industri 4.0 Gambar 22 mangilustrasikan saluran pemasaran yang saat ini terjadi. Melalui bantuan digital, produsen bisa menawarkan produknya secara daring atau online kepada teman, sahabat, atau koleganya yang bisa dijadikan sebagai target pasar. Melalui promosi daring/online tersebut, konsumen bisa memesan barang yang diinginkan dengan mengkilk tombol order dan membayarnya sesuai dengan harga barang yang dipesan melalui pilihan bank yang telah disediakan oleh pihak produsen. Produsen akan langsung merespon pesanan dari pelanggan tersebut dan membalasnya dengan kiriman barang

Page 65: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

54

akan disampaikan dalam waktu tertentu, misalnya 2 jam atau 1 hari atau seminggu tergantung ketersediaan barang dan jarak yang akan ditempuh. Di samping itu, pihak produsen akan memberitahukan jasa pengiriman yang digunakan untuk mengirim barang tersebut ke konsumen. Dengan sistem ini, dekat atau jauhnya produsen atau konsumen tidak menjadi masalah untuk mendistribusikan barang. Semakin jauh jarak yang ditempuh dan berat barang yang dikirim akan berkolerasi positif dengan waktu sampai barang dan biaya/ongkos kirimnya. Jasa pengiriman juga bisa ditelusuri jejaknya oleh pihak konsumen untuk memastikan kapan barang itu sampai melalui aplikasi yang disediakan oleh jasa pengiriman. Di samping itu, biasanya pihak produsen juga menggandeng pihak asuransi untuk menjamin barang yang dikirimnya aman atau jika terjadi kerusakan pada barang kiriman bisa diganti oleh pihak asuransi. Berdasarkan Gambar 20 tersebut, hanya ada 3 pelaku pemasaran dalam era digital ini, yaitu produsen, kelembagaan pendukung (penyedia fasilitas online, jasa perbankan, jasa pengiriman dan transportasi, dan jasa asuransi) dan konsumen. 3.7. Permasalahan Agribisnis Sapi Potong di Indonesia Dalam tatanan agribisnis yang merupakan suatu sistem yang tidak terpisahkan dari hulu sampai hilir, tidak luput dari berbagai permasalahan yang terjadi. Apabila kita pecah permasalahan permasing-masing subsistem agribisnis, dapat terpetakan kendala-kendala yang menghambat kemajuan agribisnis sapi potong di Indonesia. Adapun permasalahan agribisnis sapi potong secara umum di Indonesia adalah seperti dapat dilihat pada Tabel 8.

Page 66: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

55

Tabel 8. Permasalahan Agribisnis Sapi Potong di Indonesia

No Subsistem Agribisnis

Permasalahan

1 Input Produksi

- Penyediaan Bibit Unggul: Balai-balai penyediaan bibit unggul sapi potong telah banyak di bangun, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun pemanfaatannya masih belum maksimal padahal permintaan bibit unggul cukup tinggi

- Hijauan: Permasalah hijauan sepanjang tahun adalah ketersediaan. Di musim kemarau, ketersediaan hijauan sangat terbatas. Teknologi pengawetan hijauan belum semua peternak mampu mengaplikasikannya

- Konsentrat: Tidak semua peternak kecil mampu membeli konsentrat untuk budidaya sapinya. Hanya perusahaan penggemukan dan peternak besar saja yang mampu membeli konsentrat.

- Alat dan Mesin: Peternak kecil hanya menggunakan peralatan sederhana untuk digunakan dalam budidaya sapinya. Namun diperusahaan besar sudah menggunakan mesin untuk memudahkan usahanya, seperti mesin chopper atau pemotong rumput

2 Subsistem Budidaya

- Budidaya Pembiakan: permasalahan pada peternak kecil adalah skala usaha, modal terbatas, peralatan sederhana, usaha sampingan, menggunakan tenaga kerja keluarga, dan sapi dimanfaatkan sebagai tabungan atau bukan orientasi bisnis.

Page 67: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

56

No Subsistem Agribisnis

Permasalahan

- Budidaya Penggemukan: umumnya perusahaan yang mengaplikasikan budidaya ini, tetapi perusahaan penggemukan ini sangat tergantung pasokan sapi bakalannya dari impor

3 Pengolahan - Rumah Potong Hewan (RPH): Hasil beberapa studi RPH menunjukkan bahwa banyak RPH yang tidak memenuhi standar atau hanya sedikit yang memenuhi NKV (Nomor Kontrol Veteriner). Nomor Kontrol Veteriner adalah sebuah sertifikat yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan (Permentan No 381/Kpts/OT.140/10/2005)

- Rumah Potong Hewan (RPH): masih banyak RPH yang memotong ternak sapi betina produktif padahal sudah ada ketentuan pelarangan dan sanksi atas pelanggaran tersebut.

- Usaha Pengolahan Daging Skala Rumah Tangga: Usaha ini cenderung tingkat pengawasannya masih sangat rendah karena banyaknya usaha skala ini yang tidak terdaftar di Dinas Perdagangan/Perindustrian.

- Usaha Pengolahan Daging Skala Menengah dan Besar: Perlu dilakukan pengawasan pada pelaku usaha ini agar menerapkan standar higienis yang sesuai dengan peraturan yang berlaku

4 Pemasaran - Rantai Pemasaran: Panjangnya

Page 68: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

57

No Subsistem Agribisnis

Permasalahan

rantai pemasaran dari bisnis sapi dan daging sapi menyebabkan harga yang diterima konsumen menjadi tinggi

5 Kelembagaan - Perbankan: bantuan kredit murah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) belum mampu diakses oleh para peternak kecil

- Teknologi Pengawetan Pakan: belum semua peternak kecil mendapatkan informasi teknologi pengawetan pakan

- Inovasi Teknologi: penyebaran inovasi teknologi budidaya sapi potong belum mampu menjangkau masyarakat peternak sapi secara luas.

Page 69: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

58

Ringkasan Pada bab ini, peran subsistem kelembagaan dalam sistem agribisni adalah

mendukung dan mendorong berjalannya sistem agribisnis. Pemerintah memiliki peran yang penting di dalam mendukung sistem agribisnis sapi potong di Indonesia. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah berupa

peraturan perundangan dan penyediaan balai-balai pembibitan yang sangat membantu dalam berjalannya sistem agribisnis sapi potong.

4.1. Kebijakan Supply dan Demand

emerintah memiliki peran yang cukup penting dalam mengatur tatanan kehidupan di suatu negara, termasuk memberikan dukungan dalam sistem agribisnis sapi potong di Indonesia. Sejak terjadi lonjakan harga

daging sapi yang cukup signifikan sebelum tahun 2017, pemerintah sangat fokus agar harga daging sapi tidak terus-terusan naik setiap tahunnya sehingga masyarakat menengah ke bawah masih bisa menikmati mengkonsumsi daging sapi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah meliputi kebijakan dari sisi suplai dan permintaan. Peran kedua kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung berjalannya sistem agribisnis sapi potong dengan baik, khususnya meningkatkan kapasitas peternak skala kecil. Sebagaimana diketahui bahwa peternak sapi potong skala kecil mendominasi usaha sapi potong di Indonesia. Adapun peran pelaku lainnya dalam agribisnis sapi potong, seperti perusahaan dihadapkan dapat mendorong kemampuan para peternak skala kecil

P

4

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI INDONESIA

Page 70: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

59

melalui kerjasama inti – plasma yang saling menguntungkan. Namun, tidak sertamerta kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dapat mengubah secara drastis agribisnis sapi potong yang telah eksis. Hal ini disebabkan agribisnis sapi potong mengadopsi kebijakan pasar bebas, yaitu pelaku pasarlah yang menjadi keputusan tertinggi dalam menentukan harga. Kebijakan pemerintah hanya sebatas menopang agar agribisnis berjalan secara kompetitif dan tidak merugikan para peternak dan konsumen. Oleh karena itu, apa saja kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam medukung agribisnis sapi potong diuraikan di bawah ini. 4.2. Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Sapi

Potong Pada pasar persaingan sempurna, penentuan barang dan jasa ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran. Artinya, campur tangan pemerintah dalam pasar persaingan sempurna relative rendah. Bagaimana halnya dengan komoditas daging sapi di Indonesia? Sebelum tahun 2016, pemerintah tidak pernah ikut campur tangan dalam bisnis daging sapi, hanya memberi bantuan penguatan kepada peternak rakyat. Akan tetapi semenjak tahun 2016, pemerintah melihat kenaikan harga daging yang terus meningkat dapat menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia tidak mampu membeli daging sapi. Sejak saat itulah, pemerintah memutuskan kebijakan untuk menurunkan harga daging sapi pada harga Rp 80 ribu/kg nya. Dengan demikian, pemerintah telah melakukan campur tangan terhadap pasar daging sapi di Indonesia. Paragraf di atas hanya sebagai prolog awal dalam menguraikan kebijakan pemerintah dan dampaknya atas pasar sapi dan daging sapi di Indonesia. Materi yang perlu dibahas awal adalah pijakan hukum dasar yang nantinya bisa menjadi pijakan bagi peraturan-peraturan turunannya dengan adanya hukum dasar tersebut, yaitu Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Adapun periodisasi dari perundang-

Page 71: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

60

undangan peternakan dan kesehatan hewan dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Periodisasi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan

Hewan di Indonesia Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk pertama kalinya direvisi pada tahun 2009 karena undang-undang pertama diterbitkan pada Tahun 1967 (UU No. 6 Tahun 1967) atau sudah 42 tahun sebelum diadakan perubahan. Berdasarkan gejolak yang ada, khususnya berkaitan dengan importasi ternak dan produk ternak dari wilayah yang aman dari penyakit. Namun, tahun 2014 diadakan perubahan kembali menjadi UU No. 41 Tahun 2014. Ada 14 pasal yang mengalami perubahan. Undang-undang No. 41 Tahun 2014 mendapatkan kritikan dari para pelaku peternakan dan kritikan tersebut disampaikan ke Mahkamah Institusi (MK). Akhirnya, pada tahun 2016 MK mengesahkan UU No. 41 Tahun 2014 tapi dengan catatan pemerintah harus membangun Otoritas Veteriner agar tidak terjadi outbreak pandemi penyakit.

Page 72: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

61

Atas dasar Gambar 23, saat ini pemerintah dapat melakukan importasi ternak dan produk ternak pada wilayah/zona (bebas PMK) dalam suatu negara yang belum bebas penyakit PMK asalkan pemerintah sudah membangun Otoritas Veteriner sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2016 pemerintah melalui Badan Urusan Logistik melakukan impor daging sapi/kerbau dari India. Sebagaimana diketahui bahwa India sampai saat ini masih menjadi endemis penyakit mulut dan kuku (PMK). Namun, importasi daging sapi/kerbau berasal dari wilayah/zona di India yang bebas PMK. 4.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Supply dan Demand

Sapi Potong Peraturan perundangan dikeluarkan dalam rangka mengatur harmonisasi masyarakat dalam tatanan kenegaraan. Begitu pula dengan dikeluarkannya peraturan perundangan mengenai sapi dan daging sapi ditujukkan dalam rangka mengatur harmonisasi tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait sapi dan daging sapi dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kebijakan terhadap supply dan kebijakan terhadap demand. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengenai peternakan dan kesehatan hewan dalam rangka mendorong peternak untuk meningkatkan populasi ternak, termasuk sapi potong. Pada pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015 – 2019, ada beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pasokan/supply sapi dan daging sapi, seperti pada Tabel 9.

Page 73: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

62

Tabel 9. Kebijakan Pemerintah atas Pasokan dan Demand Sapi dan Daging Sapi Tahun 2015 – 2019

No. Peraturan Perundangan Bahasan Pasal-pasal terkait

A Kategori Kebijakan Supply Sapi

1. Peraturan Menteri Pertanian No. 02 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49/Permentan/Pk.440/10/2016 Tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

a. Rasio Impor Induk dan bakalan (1:5)

- Pasal 7 (1) a jumlah Indukan dan Bakalan minimal 1:5 ekor, bagi Pelaku Usaha

- Pasal 7 (1) b jumlah Indukan dan Bakalan minimal 1:10 ekor, bagi Koperasi Peternak dan Kelompok Peternak

b. Perubahan besaran berat rata-rata bakalan impor dari 350 kg menjadi 450 kg. Umur maksimal dari 2 tahun menjadi 4 tahun. Waktu Penggemukan paling cepat 4 bulan

- Pasal 15 (1) a. berat badan rata-rata maksimal 450 kilogram berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB)

- Pasal 15 (1) b. berumur maksimal 48 (empat puluh delapan) bulan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Negara Asal

- Pasal 15 (2) Bakalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digemukkan dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak selesai dilakukan tindakan karantina hewan

2 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.

Peningkatan populasi

Page 74: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

63

No. Peraturan Perundangan Bahasan Pasal-pasal terkait

48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting

dengan Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting)

B Kebijakan Supply Daging Sapi/Kerbau

1. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Dan/Atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu Yang Berasal Dari Negara Atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan

Pemasukan produk ternak/daging dari negara atau zona dalam suatu negara yang belum bebas penyakit endemis, seperti PMK, dalam hal tertentu (bencana, kurangnya ketersediaan daging; dan/atau tingginya harga daging yang memicu inflasi dan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional)

Pasal 6 (1) c negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku dan telah memiliki program pengendalian resmi penyakit mulut dan kuku yang diakui oleh badan kesehatan Hewan dunia

2. Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/PK.450/5/2016 Tentang Pemasukan Daging Tanpa Tulang Dalam Hal Tertentu Yang Berasal Dari Negara Atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan Kontra dengan Permentan

Pasal 2 (1) Dalam Hal Tertentu, dapat dilakukan pemasukan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang berasal dari negara atau Zona Dalam Suatu Negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata

Page 75: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

64

No. Peraturan Perundangan Bahasan Pasal-pasal terkait

No. 34/Permentan/PK.210/7/2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, pada pasal 9 pemasukan harus dari negara asal yang bebas dari penyakit zoonosis dan penyakit menular. Permentan ini tidak menyebutkan zona dari suatu negara

cara Pemasukan Produk Hewan.

3. Peraturan Menteri Perdagangan No. 59/M-DAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan Kontra dengan Permentan 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, pada pasal 32 (2) Tujuan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf j terhadap karkas dan/atau daging dari jenis selain lembu, serta produk daging olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk hotel, restoran, katering, industri, keperluan khusus lainnya, dan pasar modern

Daging beku dapat masuk ke pasar, termasuk pasar tradisional, yang memiliki fasilitas rantai dingin

Pasal 19 produk hewan yang diimpor untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi industry, hotel, restoran, catering, pasar yang memiliki fasilitas rantai dingin, dan keperluan khusus lainnya

Kebijakan pemerintah dari sisi demand lebih mengedepankan kepada kebijakan penurunan harga daging sapi menjadi Rp 80 ribu/kg. Kebijakan ini sering dikenal dengan istilah kebijakan floor price daging sapi. Tahun 2016, Presiden Jokowi

Page 76: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

65

memerintahkan kepada jajaran menterinya, terutama Menteri Pertanian untuk mampu meredam gejolak harga daging sapi yang terus meningkat sebelum hari Raya Idul Fitri. Presiden menetapkan agar daging sapi berada di harga Rp 80 ribu/kg. Kegiatan turunan dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan pemerintah melakukan Operasi Pasar yang dimotori oleh Bulog. Pada tahun itu juga pemerintah menunjuk Bulog untuk mengimpor daging beku dari India. Kemudian dilanjutkan dengan mengimpor daging kerbau beku dari India sebanyak 70 ribu ton karena daging kerbau lebih murah dibandingkan dengan daging sapi. Namun, kebijakan tersebut belum mampu menurunkan harga daging sapi di pasaran yang masih di atas Rp 110.000/kg.

P0

Pd

D

S

P

Q Q0 Q1 Q2

120 ribu

80 ribu

DWL

Shortage Supply

P1

Gambar 24

Kebijakan Floor Price pada Harga Daging Sapi Berdasarkan teori supply demand, apabila pemerintah melakukan kebijakan floor price atau penetapan harga dasar untuk suatu komoditas, maka kondisi supply demandnya dapat dilihat pada Gambar 24 Berdasarkan Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa harga daging sapi yang terjadi sekarang ini adalah Rp 120 ribu per kg. Pemerintah melakukan kebijakan

Page 77: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

66

floor price (Pd) dengan cara menurunkan harga daging sapi di harga Rp 80 ribu/kg, maka: • Produsen hanya mampu memproduksi daging sapi di Q1,

jika harga diturunkan • Sementara itu, konsumen mengingikan daging sapi di Q2 • Dengan demikian, terjadilah apa yang disebut dengan

shortage supply, yaitu di mana pemerintah harus mampu menyediakan supply daging sapi sampai di titik Q2 sebagai konsekuensi dari penetapan kebijakan tersebut.

• Dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut adalah: a. Terjadi kehilangan ekonomi (death weight lost = DWL)

sebesar sebesar ¼* (P1-Pd)*(Q2-Q1) b. Pemerintah harus mampu menutup kebutuhan demand

yang cukup besar. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah melakukan operasi pasar dan impor daging sapi besar-besaran.

Sebenarnya, pemerintah telah memiliki perangkat peraturan dalam menjaga stabilitas harga daging sapi. Perangkat peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang Stabilitas Harga Daging Sapi. Pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka stabilitas harga daging sapi perlu menjaga ketersediaan daging sapi di seluruh Indonesia, perlu menambah pasokan sapi dengan mengimpor sapi dalam jumlah yang cukup dan dilakukan secara bertahap. Inilah solusi yang dilakukan pemerintah sebelumnya dalam meredam tingginya daging sapi. 4.4. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Pengembangan

Sapi Potong di Indonesia Setelah uraian atas kebijakan pemerintah terhadap sapi dan daging sapi, yang perlu dilihat dari kebijakan tersebut adalah sisi positif ataupun negatif dari suatu kebijakan. Dampak positif dan negatif sangat tergantung dari hasil pengamatan, penelitian, observasi, dan parameter lainnya. Oleh karena itu,

Page 78: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

67

pada Tabel 10 ini diuraikan satu persatu dari kebijakan tersebut di atas. Tabel 10. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Komoditas

Sapi dan Daging Sapi No Bahasan Peraturan

Perundangan Dampak

Positif Negatif

1. Rasio impor indukan dan bakalan

Peraturan Menteri Pertanian No. 02 Tahun 2017, Pasal 7 (1) a

Dari sisi pasokan akan menambah jumlah populasi dari betina impor bunting

Kebijakan ini memberatkan para pengusaha di bidang penggemukan sapi impor yang tergabung dalam Gapuspindo. Menurut Ketua Gapuspindo, Joni Liano, perusahan harus menaikkan harga jual daging sapi penggemukan Rp 2000/kg untuk membiayai indukan bunting impor tersebut. Selain itu, pihak perusahaan tidak mendisain kandang untuk kandang pembiakan. Apabila kebijakan ini dilaksanakan, maka dalam kuartal ke tiga semua, kandang akan dipenuhi oleh kandang induk, padahal hidupnya perusahaan berasal dari penggemukan. Di sisi lain, para pengusaha harus mampu menjual daging dengan harga Rp 80 ribu/kgnya. Hal ini sangat antagonis dengan kebijakan rasio ini. Ada 7 perusahaan yang tergabung dalam Gapuspindo sudah tidak melakukan impor bakalan lagi karena menunggu kebijakan rasio tersebut dicabut. Hal ini juga senada dengan Ketua Koperasi Ternak Gunungrejo Makmur (Juara I Kelompok Usaha Ternak Nasional) yang menyatakan bahwa harga rata-rata jual sapi hidup adalah Rp 43 ribu, sehingga jika menjual karkasnya seharga Rp 86 ribu, dan jika dijual dagingnya bisa mencapai Rp 93 ribu/kg (dengan prosentase daging 70% dari karkasnya). Jadi kondisi ini tidak memungkinkan untuk menjual daging Rp 80.000/kg

Page 79: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

68

No Bahasan Peraturan Perundangan

Dampak

Positif Negatif

2. Perubahan besaran berat rata-rata bakalan impor dari 350 kg menjadi 450 kg. umur maksimal dari 2 tahun menjadi 4 tahun. Waktu Penggemukan paling cepat 4 bulan

Peraturan Menteri Pertanian No. 02 Tahun 2017, Pasal 15 (1) dan (2)

- Bisa mengimpor sapi maksimal 450 dan kesempatan umur maksimal 4 thn

- Impor bakalan maksimal 450 kg dengan umur 4 tahun sangatlah tidak pro terhadap penggemukan karena penggemukan itu bertujuan untuk pembentukan daging bukan lemak. Bahkan kebijakan ini akan menurunkan nilai tambah optimal penggemukan di mana umur 2 terbaik untuk penggemukan

- Penggemukan paling cepat 4 bulan sangat kontradiktif dengan teknologi pakan saat ini, yang dapat memaksimalkan bobot badan kurang dari 4 bulan. Lamanya penggemukan juga berpengaruh terhadap biaya produksi.

3. Peningkatan Populasi dengan Upsus Siwab

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting

- Program ini merupakan program peningkatan populasi yang terbaik yang ada selama ini karena mengintegrasikan seluruh komponen dengan menyedot anggaran sebesar Rp 1,1 Triliun

- Berdasarkan data Seknas Pokja Upsus Siwab, Januari 2018, dari 4 juga semen beku yang ditargetkan dikawin suntikkan tercapai 3,92 juta semen yang berhasil disuntikkan. Yang berhasil bunting sebanyak 1,82 juta sapi/kerbau dan yang berhasil lahir 744

Anggaran yang dikeluarkan pemerintah cukup besar

Page 80: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

69

No Bahasan Peraturan Perundangan

Dampak

Positif Negatif

ribu ekor pedet. - Nilai potensial

ekonomi yang dapat dihasilkan dari pedet tersebut adalah Rp 2,6 Triliun (jika harga pedet sebesar 3,5 juta/ekor)

4. Pemasukan produk ternak/daging dari negara atau zona dalam suatu negara yang belum bebas penyakit endemis, seperti PMK, dalam hal tertentu (bencana, kurangnya ketersediaan daging; dan/atau tingginya harga daging yang memicu inflasi dan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional)

- Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2016, pasal 6 (1) c

- Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/PK.450/5/2016

Ada pilihan sumber pasokan sapi dan daging sapi dari luar negeri tidak hanya Australia

- Impor sapi atau daging sapi dari zona dari suatu negara yang belum bebas penyakit zoonosis ataupun penyakit menular sangatlah riskan karena dalam perjalannya menuju pelabuhan harus melalui zona-zona yang tidak aman

- Dalam jangka dekat mungkin bisa mengantisipasi kekurangan pasokan daging sapi, tapi dalam jangka panjang bisa terjadi outbreak atas penyakit zoonosis ataupun penyakit menular, misalnya PMK

- Pemerintah sampai saat ini belum membentuk otoritas veteriner sesuai yang diamanahkan oleh undang-undang

- Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/PK.450/5/2016

- Kontra dengan Permentan No. 34/Permentan/PK.210/7/2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, pada pasal 9 pemasukan harus dari negara asal yang bebas dari penyakit zoonosis dan penyakit menular. Permentan ini tidak menyebutkan zona dari suatu negara

Daging beku dapat masuk ke pasar,

Peraturan Menteri Perdagangan

Dalam jangka pendek dapat meningkatkan

- Diperbolehkannya daging beku impor masuk ke pasar tradisional akan mematikan

Page 81: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

70

No Bahasan Peraturan Perundangan

Dampak

Positif Negatif

termasuk pasar tradisional, yang memiliki fasilitas rantai dingin

No. 59/M-DAG/PER/8/2016

pasokan daging usaha budidaya sapi oleh peternak karena harga tidak bisa bersaing

- Ditambah dengan masuknya daging kerbau India yang harganya murah telah masuk ke pasar-pasar tradisional terutama di wilayah Jabodetabek

- Masuknya impor daging kerbau India telah merambah pasar-pasar tradisional ke Jawa Timur. Padahal Pemda Jatim melalui Keputusan Gubernur Jatim melarang masuknya sapi dan daging sapi impor

- Oleh karena masyarakat tidak menyukai daging kerbau, maka daging ini sebagai oplosan untuk mendapatkan margin profit yang besar oleh para pedagang. Kondisi ini berdampak pada penurunan penjualan sapi oleh peternak/perusahaan penggemukan di Kabupaten Mojokerto dan Lamongan, baik di Pasar Surabaya maupun ke Jawa Barat

- Masuknya impor daging kerbau India (masih endemis PMK) sangatlah bisa berdampak pada penyebaran penyakit PMK di Indonesia yang sudah bebas sejak tahun 1990

4.5. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Pemerintah telah mengembangkan arah pembangunan sapi potong di Indonesi. Arah pengembangan tersebut telah dimulai sejak tahun 2001. Misi yang hendak dicapai dari arah pembangunan ini adalah kecukupan ataupun swasembada daging sapi. Adapun runtutan arah pengembangan sapi potong dapat dilihat pada ilustrasi pada Gambar 25.

Page 82: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

71

Gambar 25

Kegagalan Demi Kegagalan dari Arah Pembangunan Sapi Potong di Indonesia

Berdasarkan ilustrasi di atas, jelas bahwa kegagalan demi kegagalan tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah menjadi bukti bahwa pengembangan sapi potong di Indonesia sangat unik dan spesifik dan tidak dapat digeneralir antara wilayah yang satu dengan yang lainya. Oleh keren itu, pada Renstra Kementan Tahun 2015-2019 tidak dicanangkan kembali program kecukupan ataupun swasembada daging. Arah kebijakan pembangunan peternakan Tahun 2015-2019 Adapun arah pembangunan pengembangan sapi potong pada Rencana Strategis Kementan Tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut (Ditjen PKH, 2016): 1. Peningkatan produksi daging 2. Peningkatan Komoditas Peternakan yang bernilai Tambah

dan Berdaya Saing Berdasarkan Renstra tersebut, pemerintah tidak lagi memberikan target untuk pengembangan sapi potong. Pemerintah hanya menekankan pengembangan Sentra Peternakan Rakyat (SPR). Akan tetapi, program SPR tidak

Page 83: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

72

berjalan sebagaimana rencana yang telah ditetapkan karena pihak Legilasi/Perlemen tidak menyetujui anggarannya. Di akhir tahun 2016, Kementerian Pertanian mencanangkan program baru dalam rangka peningkatan populasi sapi dan kerbau, yaitu Program Upsus Siwab atau Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting. Acara seremoni pencanangan Upsus Siwab dilaksanakan di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 8 Oktober 2016. Kabupaten Lamongan, merupakan kabupaten yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai tuan rumah “Panen Pedet atau Anak Sapi” secara Nasional. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Waduk Gondang, Kecamatan Sugio, hari Sabtu tanggal 8 Oktober 2016. Pada kegiatan tersebut didatangkan anak sapi sebanyak 5.000 ekor dengan rinciain 2000 ekor pedet dari peternak Lamongan, dan sisanya berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur. Berdasarkan catatan dari Pemda Lamongan, kabupaten ini memiliki populasi sapi sebanyak 100.397 ekor sampai dengan Juli 2016. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Bupati Lamongan, Gubernur Jawa Timur, dan 4 Menteri, yaitu Menteri Pertanian, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Perdagangan, dan Menteri Koperasi dan UKM. Turut hadir Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi dan Asisiten Teritorial (Aster) Kasad, Mayjen TNI Komarudin Simanjutak bersama kepala daerah se-Jawa Timur juga hadir dalam acara ini. Pada acara tersebut juga sekaligus diberikan juga berbagai penghargaan terutama pada kelompok-kelompok peternak tingkat nasional yang berhasil di dalam lomba kelompok berdasarkan kategori komoditas, seperti sapi potong, sapi perah, kambing, domba dan sebagainya. Selain itu juga, Menteri Pertanian mencanangkan program sebagai berikut: 1. Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab)

Tahun 2017. Pelaksanaan program Upsus Siwab ini dilakukan sebagai upaya agar Indonesia bisa swasembada

Page 84: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

73

ternak. Program Upsus Siwab ini dilakukan untuk mencanangkan kebuntingan ternak sapi pada tahun 2017 mendatang

2. Pencanangan produksi semen beku sebanyak 4 juta semen. Semen tersebut akan dibagikan secara gratis kepada peternak dalam rangka peningkatan populasi sapi potong di Indonesia.

3. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 1 triliun untuk inseminasi buatan bagi para peternak.

Kegiatan panen pedet ini menjadi sinyal bagi Kementerian Pertanian untuk meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia. Indonesia memiliki sarana dan prasarana untuk memproduksi sapi dalam negeri. Oleh karena itu, maksimilisasi produksi menjadi target utama Kementerian Pertanian di tahun depan sehingga produksi sapi dalam negeri mampu mengurangi jumlah impor sapi yang tiap tahun terus meningkat. Pada acara panen pedet tersebut juga dilakukan temu wicara dengan para peternak sapi potong dan melakukan diskusi dalam rangka peningkatan kedekatan kementerian dengan para peternak. Menteri Pertanian menegaskan bahwa dirinya dan jajarannya berkomitmen untuk memajukan para peternak Indonesia dengan sokongan pendanaan dan program. Program Upsus Siwab Menurut pandangan penulis, program ini merupakan program yang paling sukses dari program kecukupan daging sapi ataupun program swasembada daging yang sebelumnya telah dilaksanakan. Inti dari program ini adalah meningkatkan populasi sapi potong dan kerbau melalui induk betina produktif karena induk produktif adalah pabrik pedet. Program ini lebih mengoptimalkan aktivitas reproduksi ternak sapi dan kerbau dengan berbagai pelayanan seperti (Ditjen PKH, 2019):

Page 85: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

74

1. Pakan: (a) Hijauan Pakan Ternak seluas 1,586 Ha, (b) Pakan Olahan dan Bahan Pakan sebanyak 8.193 ton

2. Keswan Penanganan Gangrep: 105.000 ekor 3. Benih, Bibit dan Peningkatan Produksi (a) Semen Beku

sebanyak 4.764.089 dosis dan (b) N2 Cair sebanyak 1.241.425 liter

4. Distribusi dan Ketersediaan Semen Beku, N2 Cair dan Kontainer

5. Kesmavet Pengendalian Pemotongan Betina Produktif di 31 Provinsi

6. Inseminasi Buatan sebanyak 3 Juta Akseptor 7. Sistem Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Adapun hasil capaian program Upsus Siwab selama 3 tahun berdasarkan indikator performa produksi adalah sebagai berikut: 1. Input Program. Input program adalah anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk program ini. Adapun anggaran yang dikeluarkan pemerintah selama 3 tahun untuk program Upsus Siwab adalah Rp 3,5 Triliun, seperti yang dapat dilihat pada ilustrasi di bawah.

Gambar 26 Anggaran yang Dikeluarkan Pemerintah untuk Program

Upsus Siwab dari Tahun 2017 – 2019 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Page 86: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

75

2. Output Program. Output program yang menjadi target adalah jumlah sapi betina produktif yang menjadi akseptor dan jumlah semen beku yang didistribusikan untuk diinseminasikan. Adapun target dan capaiannya dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Tabel 11. Jumlah Semen Beku yang Didistribusikan

Tahun Jumlah Semen Beku (Straw)

% Target Realisasi

2017 4,500,000 4,000,000 88.89

2018 3,000,000 4,350,206 145.01

2019 3,000,000 4,392,171 146.41 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Tabel 12. Jumlah Sapi Betina Produktif yang menjadi Akseptor

Years Jumlah Sapi Betina Produktif (ekor)

% Target Realisasi

2017 4,000,000 3,967,600 99.19

2018 3,000,000 3.987.661 139.92

2019 3,000,000 3.586.374 119.56 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

3. Outcome Program. Adapun outcome program yang menjadi sasaran utama untuk program ini adalah jumlah sapi betina produktif yang bunting sebagai hasil dari kawin alam atau inseminasi buatan. Hasilnya menunjukkan bahwa program ini mampu menghasilkan jumlah sapi betina yang bunting rata-rata sebanyak 2 juta ekor (Tabel 13).

Page 87: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

76

Tabel 13. Jumlah Sapi Betina Produktif yang Bunting

Tahun Jumlah Sapi Betina Bunting

% Target Realisasi

2017 3,000,000 1,851,900 61.73

2018 2,100,000 2,051,108 97.67

2019 2,100,000 2,334,474 111.17 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Berdasarkan data pada Tabel 11 dan 13, dapat diperoleh angka service per conception (S/C) atau jumlah perkawinan yang menghasilkan kebuntingan. Angka ini dapat memberikan informasi terkait dengan kemampuan atau respon dari sapi betina terhadap perkawinan alam atau inseminasi buatan yang menghasilkan kebuntingan. Informasi ini juga dapat memberikan gambaran faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tidak terjadinya kebuntingan pada satu kali perkawinan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Service per Conception (S/C)

Tahun Jumlah

Pelayanan IB (Straw)

Jumlah Sapi Betina Bunting

(Ekor)

Service per conception

(S/C)

2017 4,000,000 1,851,900 2.14

2018 4,350,206 2,051,108 2.12

2019 4,392,171 2,334,474 1.88 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

4. Benefit Program. Keuntungan program atau benefit program dalam konteks ini adalah adanya sejumlah kelahiran pedet dari sejumlah sapi betina bunting. Jumlah kelahiran pedet ini dapat memberikan tambahan peningkatan jumlah populasi sapi di Indonesia. Adapun uraiannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 88: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

77

Tabel 15 Jumlah Pedet yang Lahir Hasil Program Upsus

Siwab

Tahun Jumlah Pedet yang Lahir (ekor)

% Target Realisasi

2017 2,000,000 911,128 45.56

2018 1,680,000 1,832,767 109.09

2019 1,680,000 1,995,528 118.78 (Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Berdasarkan uraian dari program Upsus Siwab di atas, keuntungan/benefit secara tidak langsung mampu memberikan tambahan populasi sapi bagi Indonesia. Di samping itu, benefit langsung yang dapat diberikan dari kelahiran pedet adalah memberikan manfaat bagi peternak yang memiliki pedet karena ada nilai ekonominya.

Page 89: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

78

Ringkasan Bab ini membahas tentang usaha peternakan keluarga (family farming) dan usaha penggemukan (Feedlot atau diistilahkan dengan Firm=perusahaan)

oleh perusahaan. Kedua pelaku ini memiliki peranan besar dalam penyediaan daging sapi bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,

pembahasan mengenai kedua pelaku ini di industri sapi potong sangat penting untuk mengungkap peranan apa yang dikontribusikan oleh kedua

pelaku tersebut.

5.1. Antara Farm dan Firm

ara pelaku agribisnis sapi potong di Indonesia cukup banyak mulai dari hulu sampai hilir. Hal ini menunjukkan bahwa usaha sapi potong mampu menyerap tenaga kerja. Usaha sapi potong di hulu

berupa usaha pembibitan, usaha pakan, usaha alat dan mesin peternakan (Alsin), serta usaha-usaha lainnya yang mendukung agribisnis sapi potong di subsistem hulu. Para pelaku usaha pada subsistem hulu biasanya adalah perusahaan dan lembaga pemerintah. Adapun di subsistem budidaya atau on farm lebih fokus pada usaha pembesaran, penggemukan dan pembiakan sapi. Para pelaku pada subsistem budidaya adalah para peternak sapi dan perusahaan. Subsistem pengolahan adalah subsistem yang bekerja pada usaha pengolahan daging sapi. Ratai dari subsistem ini dimulai dari pemotongan sapi, seperti Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sampai pada pengolahan daging yang siap untuk di masak (ready to cook). Para pelaku pada subsistem ini adalah umumnya adalah usaha individu ataupun

P

5

ANTARA FARM DAN FIRM USAHA SAPI POTONG

Page 90: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

79

perusahaan. Subsistem pemasaran merupakan subsistem yang memindahkan barang dari produsen/pengolah ke konsumen dalam bentuk transaksi. Subsistem ini bisa diintegrasikan dengan subsistem hulu atau subsistem budidaya atau subsistem pengolahan karena barang dan jasa yang dihasilkan bisa langsung dipasarkan oleh masing-masing subsistem tersebut. Terakhir, subsistem kelembagaan adalah subsistem tambahan yang dibentuk oleh pemikir-pemikir setelah Davis and Goldberg sebagai pencetusnya “Sistem Agribisnis”. Subsistem ini memiliki tujuan mendukung seluruh subsistem yang ada agar bisa berjalan dengan baik. Pada bab ini secara khusus dibahas peternak sapi skala keluarga atau skala kecil dan perusahaan penggemukan sapi potong. Pembahasan lebih difokuskan pada perannya masing-masing dan kendala yang dihadapi para pelaku tersebut di industri sapi potong. Istilah Farm dan Firm menjadi simbol dari judul di bab ini. Farm mewakili istilah para peternak skala kecil pada usaha sapi potong, sedangkan Firm mewakili istilah para peternak skala perusahaan atau skal besar. Di samping itu, bagaimana peternak skala kecil berkolaborasi dengan peternak skala besar sehingga menjadi satu mitra usaha. 5.2. Family Farming dan Feedlot Sapi Potong 5.2.1. Family Farming: Definisi dan Peranannya Pertanian keluarga (family farming) atau petani keluarga (family farmer) merupakan usaha di bidang pertanian yang dikelola oleh keluarga. Hampir semua anggota keluarga dilibatkan dalam usaha pertanian tersebut. Bahkan dalam konteks lainnya, pertanian keluarga mampu dialihkan kepada anak-anaknya, dengan kata lain mampu menyediakan lapangan kerja bagi anaknya atau terjadi alih regenerasi. Dalam beberapa artikel internasional, petani keluarga merupakan faktor kunci di masa depan dalam konteks ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan kelestarian

Page 91: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

80

lingkungan jika didukung oleh kebijakan yang tepat dalam lingkungan (FAO, 2018). Mendukung petani keluarga berarti memberikan kesempatan yang sangat unik untuk memenuhi kebutuhan generasi masa depan serta memastikan tidak ada yang kehilangan kesempatannya. Pertani keluarga lebih cenderung dikaitkan dengan petani skala kecil (smallholder producer) dengan segala keterbatasannya. Pada dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dalam sektor pertanian yang secara langsung atau tidak langsung telah memengaruhi pertanian keluarga, khususnya dalam mengakses ke sumber daya. Berdasarkan Garner dan Campos (2014), yaitu: 1. Pertanian tidak hanya menghasilkan tujuan tradisional dari

produksi makanan tetapi juga banyak tanaman pangan yang digunakan untuk biofuel di berbagai negara.

2. Produksi pertanian difokuskan ketahanan pangan keluarga atau nasional. Peristiwa ini meningkatkan kekhawatiran beberapa negara untuk mengamankan makanan di pasar harga global, yang menyebabkan tekanan lebih tinggi pada lahan subur.

3. Telah terjadi peningkatan permintaan agar lahan dikelola dengan baik jangan sampai terjadi lahan tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kekhawatiran terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Misalnya, lahan padi setelah panen di mana sisa jeraminya dibakar.

Berdasarkan laporan Bank Dunia (2016) dan FAO (2018) disebutkan bahwa terdapat 2,1 milyar orang miskin di dunia dan 767 juta orang hidup pada kemiskinan yang absolut sedangkan 821 juta orang berada pada kondisi kelaparan kronis (FAO, 2018). Hal ini mengindikasikan masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan terutama mengurangi kemiskinan dan kelaparan di muka bumi. Pertanian merupakan salah satu kunci menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelaparan. Petani keluarga bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penyelesaian kemiskinan dan kelaparan. Mereka mampu menghasilkan sekitar 80% dari nilai pangan

Page 92: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

81

dunia tetapi, secara paradoks, umumnya miskin dan rentan terhadap pangan. Apabila terjadi kegagalan panen ataupun terjadi penurunan harga pertanian, hal tersebut dapat mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Kontribusi lainnya yang diberikan oleh petani keluarga adalah memiliki sumber pekerjaan, yaitu pertanian dan sebagian besar pendapatan mereka dibelanjakan di desa sehingga bisa berkontribusi terhadap perekonomian perdesaan. Permasalahan yang dihadapi petani keluarga di era globalisasi adalah sistem penanganan pertanian yang kurang standar sehingga sulit untuk bergabung dengan pasar global dan rantai nilai. Rantai nilai sangat memperhatikan proses makanan dari mulai menanam, pengembangan teknologi, dan pemasaran yang didominasi oleh segelintir aktor internasional yang menetapkan aturan main. Oleh karena itu, sangat sulit bagi petani keluarga yang tergolong skala kecil bisa bersaing dengan perusahaan pertanian yang memiliki standard dan kualitas yang telah ditentukan. Namun demikian, peran pertanian keluarga cukup besar dalam menopang kehidupan keluarga mereka sendiri dan bisa menyediakan pekerjaan bagi generasi muda berikutnya. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan petani keluarga atau pertanian keluarga? Definisi terkait dengan pertanian keluarga sangat luas, salah satunya tergantung negara, seperti negara-negara berkembang dan maju. Pada konteks tulisan ini, petani/peternak keluarga lebih difokuskan pada kategori negara-negara berkembang. Pertanian keluarga adalah pertanian yang dikelola, dikontrol, dan dimiliki oleh keluarga petani dan diturunkan ke dalam keluarga (Gasson dan Errington 1993 dikutip oleh Lobley 2010). Senada dengan definisi yang diungkapkan Gasson dan Errington (1993), definisi yang disampaikan oleh CEPAL (1982), Lipton (2005), and the World Bank (2007) yang dikutip oleh Garner dan Campos (2014) menyebutkan bahwa pertanian keluarga ditandai dengan pertanian skala kecil yang dioperasikan oleh keluarga dan tidak menggunakan atau membatasi penggunaan

Page 93: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

82

tenaga kerja luar keluarga. Tipikal pertanian keluarga di dunia berbeda, terutama dalam kepemilikan aset. Mayoritas pertanian keluarga di negara berkembang didominasi oleh petani kecil (Rapsomanikis 2015), namun petani skala besar mendominasi pertanian keluarga di negara maju. Berdasarkan uraian di atas, petani keluarga pada negara-negara berkembang lebih diidentikkan dengan petani skala kecil (smallholder producer/farmer). Oleh karena itu, definisi secara umum dari petani skala kecil adalah petani yang memiliki sebidang tanah berbasis skala terbatas tempat mereka menanam tanaman subsisten dan satu atau dua tanaman komersial yang bergantung hampir secara eksklusif pada tenaga kerja keluarga (Directorate Co-operative and Enterprise, 2012). Salah satu karakteristik utama dari sistem produksi petani kecil adalah teknologi yang sederhana dan ketinggalan jaman, hasil pertanian yang rendah, dan perempuan memainkan peran penting dalam produksi. Petani kecil dibedakan luasan lahan pertanian, sumber daya yang dimiliki seperti tanaman pangan dan tanaman keras, ternak dan kegiatan di luar pertanian, penggunaan input eksternal dan tenaga kerja upahan, proporsi penjualan tanaman pangan dan pola pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa petani keluarga atau petani skala kecil adalah yang memiliki lahan terbatas, skala usaha kecil, peralatan sederhana, pemanfaatan tenaga kerja keluarga, modal terbatas, dan akses juga terbatas. Adapun apabila dikaitkan dengan peternak sapi potong skala kecil, maka karakteristik peternak sapi potong skala kecil adalah memiliki satu hingga lima ekor sapi, hanya sebagai usaha sambilan, lahan terbatas, kandang semi permanen, pengelolaan sapi secara sederhana, pekerja berbasis keluarga, miskin dan rawan pangan, memiliki banyak kegiatan ekonomi, kekurangan modal dan aset untuk memelihara sapi terbatas (Daud et al 2015; Asmara et al 2017; Firman et al 2018; Rapsomanikis 2015). Dengan demikian,

Page 94: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

83

karakteristik yang dimiliki para peternak sapi potong skala kecil tidak jauh berbeda dengan definisi-definisi di atas. Pada umumnya, usaha budidaya sapi potong di Indonesia adalah usaha sampingan bukan sebagai usaha pokok karena pendapatan yang diperoleh dari usaha sapi tersebut tidak dapat dinikmati tiap bulan atau harian atau bukan sebagai andalan pendapatan rumah tangga. Pendapatan dari usaha sapi baru dinikmati beberapa bulan kemudian, misalnya menghasilkan anak sapi butuh waktu 9-10 bulan, sedangkan usaha penggemukan butuh waktu 4-6 bulan. Adapun usaha peternakan sapi potong berskala kecil – menengah lebih mengarah pada usaha budidaya pembiakan dan penggemukan. Budidaya pembiakan adalah pemeliharaan sapi betina agar menghasilkan anak sapi, sedangkan budidaya penggemukan adalah pemeliharaan sapi untuk dibesarkan atau digemukkan dalam kurun waktu tertentu. Kedua pola budidaya ini sangat lazim terjadi di peternak sapi potong di Indonesia. Sebaran usaha budidaya pembiakan tersebar di Provinsi NTT, NTB, Bali, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Tengah, serta di wilayah Selatan Pulau Jawa. Adapun sebaran usaha penggemukan sapi potong oleh para peternak adalah di Provinsi Jawa Barat, sebagian wilayah Jawa Tengah, dan Lampung, di mana ketiga wilayah mendekati sumber pasar sapi, yaitu DKI Jakarta. Oleh karena itu, sangat jelas peran dari masing-masing peternak sapi tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia. Fungsi sapi potong bagi masyarakat peternakan/pertanian adalah sebagai tabungan, penghasil daging, sarana ritual keagamaan, status sosial masyarakat dan sebagai bagian dari budaya wilayah setempat (misalnya, jika tidak memiliki sapi berarti bukan bagian dari masyarakat setempat). Melihat dari fungsi-fungsi tersebut, hal ini menunjukkan bahwa ternak sapi sudah menjadi bagian koheren dari kehidupan masyarakat pertanian/peternakan. Walaupun beberapa decade terakhir

Page 95: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

84

ataupun setelah diperkenalkan alat dan mesin pertanian terutama traktor untuk membajak sawah, fungsi sapi sebagai ternak kerja sudah mulai dikesampingkan. Tetapi di sebagian kecil wilayah masih ada yang menggunakan sapi sebagai ternak kerja. 5.2.2. Firm Sapi Potong: Perusahaan Penggemukan Sapi

Potong dan Perusahaan Daging Sapi Keberadaan perusahaan sapi potong sebagai respon atas permintaan daging sapi yang cukup tinggi di Indonesia. Perusahaan tersebut melihat peluang bisnis yang cukup menguntungkan untuk berusaha di industri persapipotongan. Industri sapi potong merupakan bagian dari rangkaian sistem agribisnis. Pelaku perusahaan dapat berbisnis pada rangkaian sistem agribisnis sapi potong, yaitu pada subsistem hulu, onfarm, ataupun hilir (offarm) dan mengikuti aturan main atau peraturan perundangan yang berlaku dalam pendiriannya. Peran pelaku usaha swata dalam industri sapi potong adalah mensuplai kebutuhan daging sapi, penyerapan tenaga kerja, penyerapan sumber daya lokal (seperti pakan, alat dan mesin peternakan), peningkatan ekonomi wilayah, dan menumbuhkan sektor-sektor pendukung lainnya. Investasi yang dilakukan perusahaan terhadap industri sapi potong memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan sehingga mampu menopang kehidupan pelaku lainnya di industri ini. Perusahaan Penggemukan Sapi Potong Pekembangan industri sapi potong berbasis teknologi, manajerial yang baik, serta berbasis efisiensi yang mengutamakan keuntungan telah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan berinvestasi pada usaha penggemukan sapi potong. Lokasi perusahaan penggemukan sapi potong berada di wilayah Jawa Barat atau di wilayah-wilayah penyangga DKI Jakarta, seperti

Page 96: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

85

Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Subang. Usaha penggemukan sapi potong merupakan usaha padat modal karena harus berinvestasi lahan, kandang, serta modal kerja. Namun, usaha ini mampu menyerap tenaga kerja dan sumber daya lokal, seperti pakan konsentrat sehingga investasi ini mampu memberikan nilai manfaat bagi wilayah sekitar. Usaha ini mengandalkan impor bakalan dari luar negeri, terutama Australia, untuk digemukkan dalam kurun waktu 2-3 bulan dengan sistem intensif dan berskala besar. Hitungan waktu penggemukan dan kenaikan berat badan menjadi skala ukuran perusahaan. Apabila pakan yang diberikan pakan yang diberikan mampu memberikan mampu meningkatkan kenaikan berat badan perharinya (average daily gain (ADG)) lebih dari 1 kg, maka waktu penggemukan dapat diperpendek. Waktu penggemukan yang pendek dan ADG yang baik bisa mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Usaha penggemukan sapi potong atau feedlot mulai pesat di akhir tahun 1980 dan mulai menyebar tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga di Provinsi Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ada pula lokasi perusahaan penggemukan sapi potong di Provinsi Lampung karena jaraknya lebih dekat ke DKI Jakarta dan pengiriman sapi dapat melalui Selat Sunda menggunakan kapal laut. Pada tahun 1997, krisis ekonomi melanda Indonesia yang dimulai dari penurunan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Perusahaan feedloter mulai mengalami keterpurukan sebagai akibat dari nilai tukar tersebut karena mereka harus membayar sapi bakalan impor dengan US Dollar sedangkan penjualan di Indonesia dengan harga rupiah. Adapun transaksi yang terjadi antara perusahaan penggemukan degnan perusahaan pensuplai sapi bakalan dari Australia menggunakan Letter of Credit (L/C), yaitu pembayaran ke pihak perusahaan Australia dapat dilakukan selama 6 bulan ke depan padahal harga dollar terus meningkat. Hal inilah yang menyebablam lebih dari 50

Page 97: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

86

perusahaan feedloter itu mengalami kebangkrutan. Akan tetapi, setelah diguncang badai krisis, tahun 2001 perusahaan feedloter mulai berkembang kembali karena fundamental ekonomi Indonesia telah kembali kuat. Sampai saat ini, perusahaan feedloter hanya menjual sapi dalam bentuk hidup, namun ada beberapa perusahaan yang mulai merambah pada penjualan daging segar dan daging olahan. Umumnya, sapi-sapi dari feedloter masuk Rumah Potong Hewan (RPH) dan didistribusikan ke pasar tradisional. Konsumen terbesar untuk pasar daging dari feedloter adalah konsumen rumah tangga dan industri pengolahan baso. Pada Tahun 2011, pemerintah melakukan kebijakan pengetatan impor sapi dan daging sapi dari luar negeri. Hal ini berdampak pada pengurangan kuota impor untuk sapi dan daging sapi. Perusahaan feedloter mengalami kesulitan dalam pengadaan sapi impor karena ada pembatasan kuota. Akhirnya, ada beberapa perusahaan yang tidak beroperasi terlebih dulu menunggu kebijakan lainnya. Di lain pihak, ada juga perusahaan yang tetap melakukan operasionalnya dengan mengganti sapi bakalan impor ke sapi bakalan lokal. Bahkan, dengan adanya pengetatan tersebut, sapi-sapi lokal banyak dieksploitasi termasuk sapi perah betina karena kekurangan pasokan daging sapi. Akhirnya, kebijakan ini dicabut di tahun 2014 dan impor sapi bakalan dan daging sapi kembali normal. Pada Tahun 2017, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengeluarkan Permentan No. No. 02/2017 pasal 7 dimana para feedloter wajib mengimpor sapi indukan disamping sapi bakalan dengan rasio 1 : 5 atau 20% sapi induk betina dari sejumlah sapi bakalan yang diimpor. Peraturan ini direspon sangat memberatkan perusahaan penggemukan sapi potong karena model dan disain kandang penggemukan tidak disetting untuk model kandang pembibitan. Di samping itu, dalam jangka panjang kandang penggemukan akan dipenuhi oleh indukan betina yang sebenarnya bukan core business dari usaha

Page 98: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

87

penggemukan. Akhirnya, kebijakan ini dievaluasi kembali setelah hasil analisis atas kelayakan usaha dengan adanya kebijakan 1 : 5, banyak merugikan perusahaan. Di samping itu juga, sapi-sapi betina bunting yang menjadi bagian dalam pengiriman sapi bakalan adalah sapi-sapi betina yang kualitasnya tidak baik. Beberapa kejadian yang timbul dari pengiriman sapi betina bunting impor adalah ada beberapa kejadian kelahiran prematur saat dikapal, kejadian aborsi, sapi dapat dilahirkan di kandang feedloter namun tidak dapat bunting lagi, dan masalah lainnya. Oleh karena itu, kebijakan tersebut kembali dievaluasi agar perusahaan feedloter mampu menjalankan usahanya dengan baik di bidang penggemukan. Perusahaan Daging Sapi Salah satu peluang bisnis di industri sapi potong adalah perdagangan daging sapi. Oleh karena permintaan daging masih cukup tinggi, pemerintah memberikan peluang kuota impor daging beku dari luar negeri. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih 260 juta orang, Indonesia menjadi pangsa pasar daging terbesar di Asia Tenggara. Kebutuhan daging sapi kurang lebih 680 ribu ton pertahun yang dipenuhi dari produksi sapi lokal sekitar 430 ribu ton, dan sisanya dipenuhi impor daging sapi sebanyak 250 ribu ton. Peluang ini ditangkap oleh beberapa perusahaan untuk mengambil kesempatan bisnis tersebut. Perusahaan-perusahaan pengimpor daging sapi mengajukan kuota impor daging ke Kementerian Perdaganan dan Kementerian Pertanian. Impor daging beku dari luar negeri harus memenuhi ketentuan dan persyaratan dari pemerintah, salah satunya adalah daging beku yang diimpor adalah halal, aman, utuh dan sehat. Oleh karena itu, perusahaan pengimpor daging sapi meramaikan bisnis daging sapi di Indonesia karena peluangnya masih cukup besar untuk berbisnis daging sapi di Indonesia.

Page 99: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

88

5.3. Kelembagaan dan Kemitraan Sapi Potong 5.3.1. Kelembagaan Peternak Sapi Potong dan

Permasalahannya Kelompok peternak sapi potong merupakan kelembagaan yang paling dasar (grass root) yang ada di masyarakat. Kelembagaan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari industri sapi potong di Indonesia. Kelompok peternak sapi potong merupakan ujung tombak pengembangan sapi potong. Pembinaan oleh pemerintah ataupun lembaga lainnya dapat dilakukan dengan mudah melalui kelompok. Ada beberapa istilah terkait kelembagaan peternak sapi potong, yaitu (Rahayu et.al, 2006; Firman, 2009): 1. Kelembagaan agribisnis sapi potong adalah institusi

yang mendukung agribisnis sapi potong yang dimulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem pengolahan, dan subsistem pemasaran. Contoh dari kelembagaan ini adalah lembaga pemerintah, koperasi, lermbaga penelitian, dan sebagainya.

2. Peternak sapi potong adalah pelaku usaha agribisnis sapi potong yang berada di subsistem budidaya bisa bersifat usaha monokultur (budidaya sapi potong saja) ataupun polikultur (terpadu dengan usaha lainnya).

3. Kelembagaan peternak adalah kelembagaan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk anggotanya itu sendiri atau kelompok hasil bentukan instusi yang didasarkan atas kesamaan kepentingan dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara tertulis. Contohnya adalah kelompok peternak atau gabungan kelompok peternak.

Pembangunan institusi peternak dimaksudkan agar kelembagaan tersebut bisa mandirin dan tangguh dan mampu mengangkat perekonomian desa. Sumber daya kelembagaan peternak, seperti modal, keterampilan, dan lainnya, berasal dari anggotanya, ataupun jika ada tambahan modal seperti dari pemerintah atau lembaga non pemerintah, ditujukkan untuk

Page 100: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

89

penguatan modal kelompok. Hal yang paling penting dilakukan pada kelembagaan peternak adalah pemberdayaannya. Pemberdayaan kelembagaan peternak berarti membina peternak agar mampu secara mandiri dan mampu bekerjasama dengan kelembagaan lainnya untuk meningkatkan ekonomi kelompok. Saling mempercayai dan tolong menolong merupakan modal dasar penguatan kelompok. Pengembangan kelembagaan peternak tidak hanya untuk pengembangan ekonomi saja, tetapi juga meningkatnya hubungan sosial diantara kelembagaan. Nilai tambah yang diperoleh dari kerjasama antar kelembagaan ini adalah membangun solidaritas, kepercayaan, dan peningkatan taraf hidup peternak. Seperti telah diketahui bersama bahwa kelembagaan peternak sapi potong masih bersifat tradisional. Mereka jarang sekali memperhatikan sistem administrasi, kalaupun ada, tetapi tidak pernah di update. Begitu pula dengan sistem pertemuan yang dibangun. Biasanya pertemuan yang mereka lakukan tidak pernah rutin dilakukan, mereka lebih sering berdiskusi secara tidak formal saat bekerja di sawah atau selepas maghrib untuk menyebarkan informasi dari peternak lainnya ataupun dari pemerintah. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) telah ditempuh melalui peningkatan Perilaku Sikap dan Keterampilan (PSK) melalui pelatihan, penyuluhan, dan pembuatan demplot melalui pendekatan kelembagaan/ kelompok. Salah satu kendala yang dihadapi dalam rangka efektivitas program/kegiatan pengembangan SDM peternakan adalah terbatasnya informasi kelembagaan kelompok peternak terutama di tingkat peternak. Informasi kelembagaan tersebut antara lain :

Belum jelasnya jumlah kelompok peternak yang eksis di lapangan baik berdasarkan tingkatan kelompok (pemula, lanjut, madya, utama) maupun klasifikasi peternak

Page 101: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

90

berdasarkan tipologi usahanya (sambilan, cabang usaha, usaha pokok, industri).

Belum terdatanya kelompok yang kegiatannya mendukung budidaya ternak di lapangan (kelompok usaha jasa alsin (alat dan mesin), kelompok pengolah hasil peternakan dan sebagainya).

Belum terdatanya pelaku usaha peternakan berskala industri, yang dilakukan swasta maupun pemerintah (BUMN) khususnya terkait dengan penggunaan tenaga kerja.

Dengan demikian, informasi kelembagaan peternak yang lengkap menjadi bahan bagi pengambilan kebijakan untuk mengidentifikasi kelembagaan-kelembagaan peternak yang mana yang perlu mendapat bantuan dan pembinaan dari pemerintah ataupun lembaga non pemerintah. Ada 2 proses pembentukan kelembagaan peternak, yaitu mandiri dan bentukan (Rahayu et.al, 2006). Kelembagaan mandiri adalah kelompok peternak yang dibentuk atas keinginan bersama, adapun kelembagaan bentukan adalah kelembagaan yang diinisasi dan dibentuk oleh lembaga pemerintah ataupun non pemerintah dalam rangka program. Akan tetapi, baik itu kelembagaan mandiri ataupun bentukan memiliki nilai positif, yaitu (Rahayu et.al, 2006): 1. Informasi dan inovasi teknologi bisa menyebar ke seluruh

anggota 2. Pembinaan dan penyuluhan bisa dikoordinasikan dengan

baik dengan sesama anggota 3. Mudah mengakses berbagai informasi dari pemerintah 4. Akses ke kelembagaan keuangan 5. Melestarikan berbagai sarana dan prasarana yang

dibangun kelompok. Seperti yang telah diuraikan di atas, pembentukan kelompok pada kelompok peternak sapi potong tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan di atas. Kelompok peternak tersebut ada yang dibentuk karena adanya program, baik dari pemerintah ataupun lembaga bantuan lainnya, dan ada juga

Page 102: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

91

yang dibentuk karena kesamaan kepentingan atau dibentuk secara mandiri oleh anggotanya. Apapun proses cara pembentukannya, keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu meningkatkan kesejahteraan peternak itu sendiri. 5.3.2. Kelembagaan Pengusaha Sapi dan Daging Sapi

serta Permasalahannya Usaha feedlot telah berkembang dengan cepat seiring dengan meningkatnya permintaan daging sapi yang terus meningkat. Salah satu faktor yang mendorong berkembangnya korporasi penggemukan sapi potong tersebut selain permintaan daging sapi yang terus meningkat adalah murahnya harga bahan baku pakan. Pada awal pertumbuhan perusahaan, sapi bakalan didatangkan dari para peternak di Jawa Timur, akan tetapi karena kesulitan bahan baku perusahaan mulai melakukan impor sapi dari Australia pada tahun 1990-an (Tawaf, 2019). Pada tahun 1992 dibentuklah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO). Jumlah anggota dari asosiasi ini tercatat sekitar 65 perusahaan feedlot. Dengan demikian, asosiasi ini menjadi wadah bagi perusahaan penggemukan sapi untuk saling berbagi data dan informasi berkaitan dengan impor sapi bakalan, pengadaan bahan baku pakan, dan sebagainya. Di era krisis ekonomi tercatat jumlah perusahaan feedlot yang masih bertahan hanya 30 perusahaan saja karena yang lainnya tidak mampu membayar hutang ke perbankan dan perusahaan di Australia. Tetapi tahun 2000-an, perusahaan feedlot kembali bergairah setelah fundamental perekonomian dalam negeri telah kembali berdiri kokoh. Pada tahun 2015, APFINDO berubah nama menjadi GAPUSPINDO (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia). Organisasi ini adalah organisasi pelaku usaha peternakan sapi potong atas dasar kesamaan usaha, kegiatan dan profesi di bidang industri usaha sapi potong berbentuk kesatuan dengan ruang lingkup kegiatan nasional.

Page 103: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

92

Perubahan ini didasarkan pada hasil keputuskan Munaslub (Munas Luar Biasa) APFINDO yang dilaksanakan pada tanggal 5 Nopember 2015 di Hotel Santika Premier Bintaro, Tangerang Selatan. Perubahan ini didasarkan pada perubahan fundamental organisasi yang dulunya hanya beranggotakan perusahaan feedlot saj, sekarang seluruh pelaku usaha penggemukan sapi lokal bisa menjadi anggota GAPUSPINDO. Adapun jumlah anggota GAPUSPINDO yang tercatat di website GAPUSPINDO ada sebanyak 37 anggota, sebagai berikut: 1. PT. Agrisatwa Jaya Kencana 2. PT. Andini Agro Loka 3. PT. Andini Persada Sejahtera 4. PT. Andini Karya Makmur 5. PT. Austasia Stockfeed 6. PT. Bina Mentari Tunggal 7. PT. Brahman Perkasa Sentosa 8. PT. Catur Mitra Taruma 9. PT. Citra Agro Buana Semesta 10. PT. Elders Indonesia 11. PT. Eldira Fauna Asahan 12. PT. Fortuna Megah Perkasa 13. PT. Great Giant Livestock Co 14. PT. Hade Dinamis Sejahtera 15. PT. Indah Gemilang Perkasa 16. PT. Indofarm Sukses Makmur 17. PT. Indo Prima Beef 18. PT. Juang Jaya Abdi Alam 19. PT. Kadila Lestari Jaya 20. PT. Kariyana Gita Utama 21. PT. Karunia Alam Sentosa Abadi 22. PT. Legok Makmur Lestari 23. PT. Lembu Andalas Langkat 24. PT. Lembu Jantan Perkasa 25. PT. Mitra Agro Mandiri Abadi 26. CV. Mitra Agro Sangkuriang 27. CV. Mitra Agro Sampurna

Page 104: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

93

28. PT. Nusantara Tropical Farm 29. PT. Pasir Tengah 30. PT. Rumpinary Agro Industry 31. PT. Sadajiwa Niaga Indonesia 32. PT. Santosa Agrindo 33. PT. Septia Anugerah 34. PT. Sukses Ganda Lestari 35. PT. Sumber Cipta Kencana 36. PT. Tanjung Unggul Mandiri 37. PT. Widodo Makmur Perkasa Kemitraan bisnis antara perusahaan penggemukan sapi potong dengan peternak sapi potong telah terjalin cukup lama, atau lebih dikenal dengan kerjamasam Inti dan Plasma. Pihak perusahaan memberikan sapi bakalan untuk digemukkan dan bantuan konsentrat. Setelah 3-4 bulan digemukkan, bagi hasil dilakukan antara peternak dengan perusahaan dengan cara ditimbang antara berat sapi bakalan awal dan sapi potong yang akan dipanen atau setelah 3-4 bulan. Sebelum dilakukan kerjasama kemitraan, pihak perusahaan memberikan pelatihan terlebih dahulu kepada peternak yang menjadi mitra tentang penanganan sapi bakalan impor sebab sap-sapi bakalan impor tidak sama seperti sapi lokal karena hidupnya liar sehingga disain kandangpun akan berbeda. Disinilah terjadi transfer pengetahuan dan teknologi dari perusahaan kepada peternak. Di samping itu, pihak perusahaan mengirim teknical service kepada peternak-peternak jika terjadi kesulitan atau permasalahan dalam penanganan ternak sapi bakalan. Uraian di atas merupakan gambaran yang sangat umum para pelaku sapi potong di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para peternak skala kecil ataupun skala perusahaan. Para pelaku tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing, namun seluruhnya memiliki peran yang sama dalam penyediaan daging sapi bagi masyarakat Indonesia. Farm yang diidentikkan dengan para peternak sapi potong berusaha memelirahara sapi potong dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Firm diidentikkan dengan

Page 105: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

94

perusahaan yang memelihara ternak sapi potong dalam skala besar dalam rangka mencari keuntungan dari apa yang mereka pelihara dan usahakan. Oleh karena itu, Farm dan Firm sama-sama memiliki tujuan yang sama dalam memelihara sapi potong, yaitu mendapatkan sesuatu yang memiliki nilai manfaat dari apa yang mereka usahakan.

Page 106: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

95

Bagian 2

AGRIBISNIS SAPI POTONG

DI NUSA TENGGARA TIMUR

Page 107: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

96

Ringkasan Bab ini menguraikan secara singkat kondisi geografis, demografis, dan

perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur .

6.1. Kondisi Geografis dan Demografis

erdasarkan BPS Provinsi NTT (2018), Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang terletak di bagian Timur Indonesia yang berada antara 80-120 LS dan 1180-1250 BT. Provinsi ini terkenal sebagai provinsi

kepulauan karena terdiri dari berbagai pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.931,54 km2 yang tersebar di 1.192 pulau (43 pulau dihuni dan 1.149 pulau tidak dihuni). Wilayah daratan didominasi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit dan sebagian kecil adalah dataran rendah. Sebanyak 40 sungai yang melintasi daratan dengan rentang panjang antara 25 – 118 kilometer. Oleh karena itu, mobilitas atau pergerakan manusia dan barang lebih didominasi oleh angkutan laut dan udara untuk hubungan antar pulau, sedangkan transportasi darat mendominasi hubungan antar wilayah dalam satu kepulauan. Secara administrasi, provinsi ini terdapat 22 kabupaten/kota, 306 kecamatan, 318 kelurahan dan 3.026 desa. Kabupaten/Kota yang memiliki lahan terluas adalah Kabupaten Sumba Timur seluas 7.000 km2 dan Kabupaten Kupang seluas 5.895.3 km2. Kedua kabupaten ini menjadi salah satu pusat perekonomian di Provinsi NTT.

B

6

SEPINTAS KONDISI NUSA TENGGARA TIMUR

Page 108: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

97

Seperti wilayah lainnya di Indonesia, jumlah musim yang ada di Provinsi NTT ada dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya, musim kemarau terjadi pada bulan Juni - September sedangkan musim hujan terjadi dari bulan Desember - Maret. Kondisi ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati musim peralihan pada bulan April - Mei dan Oktober - Nopember. Provinsi Nusa Tenggara Timur cukup dekat dengan Australia sehingga peralihan musim sangat dipengaruhi oleh arus angin yang berasal dari Australia. Provinsi NTT sebagai wilayah yang tergolong kering dimana hanya empat bulan (Januari - Maret dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan delapan bulan sisanya relatif kering (BPS Provinsi NTT, 2019). Berdasarkan BPS Provinsi NTT (2019), jumlah penduduk NTT adalah 5,42 juta jiwa yang terdiri dari 2,69 juta laki-laki dan 2,73 juta perempuan. Artinya jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Sebagian besar penduduk NTT berdomisili di Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, serta gugusan Kepulauan Lembata, Alor, Rote dan Sabu. Berdasarkan BPS Provinsi NTT (2018), tingkat kemiskinan di Provinsi NTT dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Secara umum, angka kemiskinan di provinsi ini masih di atas 20% (Gambar 27). Tingginya tingkat kemiskinan di provinsi ini salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi alam yang cukup ekstrem. Oleh karena itu, prioritas utama pembangunan di Provinsi NTT adalah penurunan angka kemiskinan melalui berbagai program, terutama sektor ekonomi.

Page 109: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

98

Gambar 27

Prosentase Kemiskinan di Provinsi NTT (Sumber: BPS Provinsi NTT, 2019)

Pada Tahun 2018, Kabupaten Sumba Tengah memiliki tingkat kemiskinan tertinggi (34,85%) di Provinsi NTT, disusul oleh Kabupaten Sumba Timur (30.13%). Sejak tahun 2015-2018, tingkat kemiskinan di kedua kabupaten ini belum mampu diturunkan di bawah angkat 30% 6.2. Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian Provinsi NTT, salah satunya dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi provinsi ini sangat berfluktuasi dari tahun 2010 sampai 2018 (Gambar 28). Berdasarkan gambar tersebut, tahun 2011 merupakan puncak dari pertumbuhan ekonomi, yaitu mencapai 5,61%, akan tetapi angka pertumbuhan ekonomi tersebut tidak mampu lagi dicapai di tahun-tahun berikutnya, bahkan kecenderungan terjadi penurunan. Angka pertumbuhan ekonomi terendah direntang tahun 2010-2018 adalah 4,92% di tahun 2015. Faktor terjadinya penurunan tersebut bisa disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah penurunan kontribusi sektor pertanian yang disebabkan terjadinya kekeringan yang cukup panjang diantara tahun 2015-2016.

Page 110: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

99

Gambar 28 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur

(BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbagai tahun)

Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak lepas dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kontribusi sektor-sektor ekonomi inilah yang mendorong pendapatan wilayah. Adapun kontribusi ekonomi dari masing-masing sektor dapat dilihat pada Gambar 29. Berdasarkan ilustrasi tersebut, sektor pertanian memberikan kontribusi pendapatan yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Sektor pertanian dapat dikatakan sebagai sektor unggulan di Nusa Tenggara Timur.

Page 111: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

100

Gambar 29 Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian (%) terhadap PDRB Tahun 2018 di Provinsi Nusa Tenggara Timur (BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbagai tahun)

Besarnya sumbangan pendapatan yang diberikan sektor pertanian, tidak lepas dari sub sektor-sub sektor yang ada dibawah sektor ini, yaitu tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Khusus di Provinsi NTT, sub sektor pertanian yang memberikan sumbangan besar bagi sektor pertanian adalah sub sektor peternakan dan perikanan. Walaupun memiliki geografis yang berbeda antar pulau atau kabupaten/kota, potensi ekonomi yang menjadi unggulan dari provinsi ini adalah sektor pertanian. Sumbangan atau kontribusi pendapatan dari sektor pertanian melebihi sektor-sektor ekonomi lainnya, yaitu lebih dari 28%. Subsektor pertanian yang mendominasi sektor pertanian adalah tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan. Subsektor-subsektor tersebut, selain menjadi sumber andalan

Page 112: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

101

pendapatan bagi wilayah masyarakat NTT, baik berupa pangan hayati dan hewani. Secara umum dapat digambarkan potensi sumber daya yang di miliki oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebagai berikut (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2013): 1. Potensi pertanian lahan kering 1.528.308 Ha dengan tingkat

pemanfaatan 54,62 % 2. Lahan tidak diusahakan 751.185 Ha 3. Potensi perkebunan luas 888.931 Ha dengan tingkat

pemanfaatan 35,45 % 4. Padang penggembalaan untuk peternakan sapi, kuda,

kerbau dan kambing 832.228 Ha Sektor jasa pemerintah menempati urutan ke dua yang berkontribusi besar terhadap PDRB Provinsi NTT. Artinya aktivitas pemerintah memberikan peran yang cukup besar juga terhadap perekonomian dari Provinsi NTT. Sektor perdagangan dan kontruksi berturut menempati urutan ke 3 dan 4 dalam hal kontribusi pendapatan terhadap PDRB Provinsi NTT. 6.3. Gambaran Usaha Ternak Sapi Potong di Nusa

Tenggara Timur Tujuan pembangunan pertanian di Provinsi Nusa pertanian provinsi NTT yaitu provinsi berbasis lahan kering menuju Provinsi: penghasil ternak, penghasil jagung, penghasil cendana dan koperasi. Target provinsi tersebut merupakan adaptasi dari karakteristik usaha tani ternak di NTT dengan sisitem produksi yang khas di setiap wilayah yang lebih kecil, khususnya pemanfaatan lahan kering yang cukup luas. Sistem produksi ditentukan sejumlah aspek seperti: faktor internal wilayah meliputi (1) budaya terutama di masyarakat agraris yang masih kental sebagai komunitas tradisional dalam berbagai aras agroekosistemnya; (2) Sumber Daya Manusia

Page 113: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

102

yang meliputi kapasitas dan kualitasnya, (3) daya dukung wilayah, seperti lahan, ketersediaan air, pakan ternak dan sebagainya. Fenomena tersebut sangat determinsitik terlihat pada sistem produksi ternak sapi potong seperti di NTT. Sementara itu, program pokok pemerintah yaitu menjadikan NTT sebagai provinsi ternak dan koperasi, hal ini menjadi tantangan bagaimana mewujudnya. Adapun pola distribusi populasi ternak sapi terutama terdapat di daratan timor dan sumba yang terkonsentrasi pada lahan kering. Sejumlah kajian yang dilakukan Nono (penulis buku ini), baik riset sendiri atau dengan tim (1998 s/d 2019), menunjukkan bahwa sistem produksi pertanian dengan menempatkan sapi potong sebagai komoditas andalan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak. Dikatakan demikian karena peran dari ternak sapi memiliki spectrum yang luas yaitu meliputi aspek sosial ekonomi budaya. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi pendapatan dari usaha ternak sapi mencapai 44,5 - 74,8 persen dari total pendapatan keluarga petani dalam setahun. Oleh karena itu, pola usaha taninya dicirikan oleh diversifikasi, aneka usahatani ternak. Peran ternak sapi dari aspek ekonomi adalah dalam memenuhi kebutuhan uang tunai yang relatif besar seperti untuk kebukutuhan pendidikan (membayar uang kuliah), membangun atau merenovasi rumah, biaya kesehatan dan sebagainya. Peran ternak sapi dari sisi keagamaan digunakan untuk peribadatan, khususnya saat Idul Adha. Adapun peran ternak sapi dari aspek sosial budaya adalah untuk biaya pernikahan terutama untuk mahar dan pesta, upacara kematian khususnya di daratan Timor, banyaknya sapi yang dimiliki dipercaya dapat memiliki social standing atau kedudukan yang tinggi di masyarakat sekitar, dan sebagainya. Di samping itu, fungsi ternak sapi dapat digunakan fungsi cadangan keuangan keluarga karena dalam kondisi darurat seperti pada saat musim paceklik karena kemarau atau gagal panen, peran ternak sapi potong sering diistilahkan oleh

Page 114: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

103

masyarakat petani peternak sebagai “back” atau pertahananan terakhir bagi setiap keluarga petani peternak. Maksudnya adalah ternak sapi sabagai cadangan terakhir keluarga untuk menopang kebutuhan dasarnya, termasuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Dengan kata lain, usaha ternak sapi potong merupakan bagian integral dari strategi pencukupan aneka kebutuhan keluarga yang meliputi: pangan, pendidikan, papan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan urusan sosial budaya, kegiatan keagamaan, dan pertahanan keluarga.

Page 115: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

104

Ringkasan Bab ini menguraikan secara singkat sumber daya potensial yang

mendukung sumber daya peternakan. Di samping itu, diuraikan juga ternak yang mejadi unggulan di provinsi ini serta kebijakan dan program

pemerintah NTT dalam mendukung pembangunan peternakan sapi potong di NTT

7.1. Sumber Daya Potensial Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa provinsi ini dikenal sebagai provinsi kepulauan karena provinsi ini terdiri dari banyak pulau. Laut dan udara menjadi transportasi utama penghubung antar pulau. Di samping itu, hambatan utama di Provinsi NTT adalah faktor musim, yaitu memiliki musim kemarau yang relatif cukup panjang dibandingkan dengan provinsi lainnya. Walaupun memiliki musim ekstrem, namun dibalik itu semua, Provinsi NTT memiliki sumber daya yang potensial yang bisa dikembangkan untuk pembangunan provinsi ini. Sumber Daya Lahan Pertanian yang Luas Musim kering yang ekstrem bukan berarti lahan-lahannya tidak dapat dimanfaatkan, melainkan sebaliknya mampu dimaksimalkan untuk aktivitas pertanian. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, potensi lahan yang sudah dan belum termanfaatkan masih cukup luas. Berdasarkan data sebelumnya, lahan yang sudah dapat dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering, perkebunan, dan ladang pengembalaan adalah seluas 1.987.923 Ha, sedangkan yang belum

7

POTENSI USAHA SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Page 116: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

105

termanfaatkan seluas 2.012.729 Ha. Dengan demikian, masih ada lahan yang cukup luas yang potensial untuk dimanfaatkan. Saat ini, Dinas Pertanian Provinsi NTT membuka kesempatan kepada investor untuk membuka lahan-lahan yang potensial tersebut (Dinas Pertanian Provinsi NTT, 2013). Saat ini ada proyek pembangunan penanaman dan pembukaan lahan-lahan untuk perkebunan tebu di lahan kering oleh perusahaan besar dalam negeri. Lahan yang digarap untuk perkebunan tebu ini cukup luas sekali. Salah satu potensi NTT yang menjadi kekayaan bagi Indonesia adalah sebagai ternak sapi. Sudah sejak lama, NTT menjadi propinsi surplus terhadap ternak sapi sehingga mampu mengirim sapi ke berbagai di wilayah Indonesia. Bahkan di era tahun 1970-an, provinsi ini mampu mengekspor sapi hidup ke Hongkong. Akan tetapi, perdagangan ini tidak terlalu lama dilakukan karena Pemerintah Pusat meminta Pemerintah Daerah NTT untuk memprioritaskan perdagangan sapi hidup di Indonesia saja karena masih kekurangan. Daerah yang banyak mengusahakan ternak di NTT terdapat di Pulau Timor, Flores, Sumba dan Alor yang memiliki lahan bahan pakan ternak berupa padang savanna luas , serta terdapat berbagai jenis rumput yang bergizi tinggi. Kondisi ini merupakan potensi NTT untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan yang berbasis sumber daya lokal serta meningkatkan ketahanan pangan. Prospek pengembangan peternakan sapi di NTT cukup baik dengan ditunjang populasi yang besar, ketersediaan lahan dan pakan ternak, budaya masyarakat, serta potensi pasar yang masih terbuka. Pertumbuhan populasi ternak besar di NTT adalah sapi, kerbau, dan kuda namun produksi daging terbesar adalah daging babi, sapi, dan kerbau. Di tingkat nasional NTT menjadi salah satu daerah sumber ternak bibit dan ternak potong nasional. Pengembangan komoditas sapi di daerah NTT diharapkan menjadi salah satu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan komoditas ini juga membuka peluang bagi pelaku usaha dengan berbagai

Page 117: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

106

alternatif investasi diantaranya usaha perbibitan sapi, usaha penggemukan sapi, usaha campuran dan pembibitan, dan usaha peternakan hilir. Sumber Daya Laut Sumber daya laut menjadi salah satu andalan dari Provinsi NTT. Potensi yang cukup besar di sektor laut ini menjadikan sumber daya laut menjadi salah satu matapencaharian bagi masyarakat NTT. Berdasarkan data BPS Provinsi NTT (2018), produksi perikanan tangkap adalah sebesar 138.268 ton pada tahun 2017, sedangkan produksi budidaya ikan laut sebesar 1.941.708 ton, tambak sebesar 8.531 ton, dan kolam sebesar 2.893 ton. Perkembangan perikanan didukung potensi panjang garis pantai ± 5.700 Km dan luas laut mencapai 15.141.773,10 hektar. Potensi dukungan lainnya adalah potensi hutan mangrove seluas 51.854,83 hektar (11 Spesies), terumbu karang sebanyak 160 jenis dari 17 famili, 42.685 rumah tangga perikanan, 808 desa dan kelurahan pantai, jumlah 1.105,438 jiwa penduduk pantai, 194,684 orang nelayan (9,9 % dari jumlah Penduduk Desa Pantai). Sumber Daya Perkebunan Perkebunan yang banyak terdapat di Provinsi NTT adalah kelapa, kakao, kopi robusta, tebu dan kopi arabika. Berdasarkan data BPS Provinsi NTT (2018), jumlah produksi kelapa pada tahun 2017 adalah sebanyak 68.762 ton, kakao sebanyak 19.290 ton, sedangkan 15.591 ton untuk produksi kopi robusta dan 5.768 kopi arabika. Saat ini ada beberapa investor yang akan menanamkan investasinya di bidang perkebunan, salah satunya adalah investasi di tebu. Sumber Daya Energi Surya Sumber energi alternatif menjadi sumber daya yang potensial untuk dikembagkan karena sumber daya possile sangat sedikit ditemukan di provinsi NTT. Sumber daya energi alternatif ini dikenal dengan sumber energi terbarukan (renewable energy). Sumber energi terbarukan ini cukup besar di Nusa Tenggara Timur, seperti sinar surya, angin, air, gelombang laut,

Page 118: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

107

biomassa (limbah), panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), dan sebagainya. Beberapa upaya pemanfaatan sumber daya ini dilakukan seperti potensi sumber kelistrikan di NTT antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Bayu yang terletak di tiga lokasi, meliputi Desa Aeu’ut Pulau Timor Kabupaten Timor Tengah Selatan, Desa Wini Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Humbapraing Waingapu Pulau Sumba. Sumber energi lainnya belum banyak dimanfaatkan secara maksimal. Informasi sumber daya di atas menjadi penting bagi pengembangan agribisnis sapi potong di NTT. Dukungan sumber daya dapat memberi manfaat bagi budidaya sapi potong yang dijalankan secara alami atau alam yang mengurus sapi. Maksudnya adalah para peternak sapi di NTT lebih banyak yang melepas sapi-sapinya diladang pengembalaan tanpa banyak campur tangan terhadap pengelolaannya. Pengelolaannya lebih cenderung berharap pada keramahan lingkungan alam sekitarnya. 7.2. Komoditas Unggulan Ternak Ruminansia Sektor pertanian adalah sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian wilayah di NTT (Basuna, 2004). Sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor unggulan bagi pembangunan regional. Salah satu subsektor pertanian yang memberikan sumbangan terhadap sektor pertanian adalah subsektor peternakan. Subsektor peternakan menjadi salah satu subsektor unggulan di sektor pertanian karena subsektor ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat NTT. Ternak bagi masyarakat NTT adalah sebagai bagian dari budaya, bagian dari keagamaan, tabungan, dan penghasilan tambahan bagi keluarga petani. Ternak yang dipeliharan masyarakat NTT adalah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, dan kambing), ternak monogastrik (babi), dan unggas (ayam dan itik). Ternak ruminansia adalah kelompok ternak yang memamah biak

Page 119: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

108

dalam proses mencernanya. Ada dua proses mencerna dari ternak ini, yaitu menelan hijauan ke dalam perut (rumen) kemudian mengeluarkan hijauan dari rumen yang sudah setengah dicerna kembali ke mulut untuk dikunyah kembali. Selain itu, ciri khas lainnya dari ternak ruminansia ini memiliki 4 lambung, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Ternak ruminansia yang telah didomestikasi dan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu ternak ruminansia besar dan kecil. Contoh dari ternak ruminansia besar adalah sapi potong, sapi perah, kuda, dan kerbau, sedangkan contoh ternak ruminansia kecil adalah kambing dan domba. Adapun ternak babi (monogastrik) bukan termasuk dalam golongan ternak ruminansia, akan tetapi ternak ini telah menjadi bagian dari adat dan budaya masyarakat NTT. Unggas terutama ayam kampung dan itik banyak dipeliharan oleh sebagian masyarakat pertanian di NTT karena ternak unggas ini bagian dari ketahanan pangan keluarga. Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya ternak apa yang menjadi unggulan di Provinsi NTT, khususnya untuk ternak besar dan ternak kecil. Hal inilah yang akan dibahas pada sub bab ini. Penentuan komoditas unggulan menjadi bagian penting dalam perencanaan pembangunan. Teori yang berkaitan dengan penentuan wilayah ataupun komoditas unggulan menjadi ranahnya ekonomi pembangunan. Berdasarkan teori ekonomi pembangunan, ada beberapa pendekatan analisis yang dapat digunakan untuk menentukan komoditas unggulan di suatu wilayah, seperti Location Quotien (LQ), Shift Share (SS) dan Tipologi Klassen. Analisis Location Quotient (LQ), yaitu analisis yang digunakan untuk menentukan ekonomi basis (Sapriadi dan Hasbullah, 2015). Sektor ekonomi unggulan berperan dalam menggerakkan sektor-sektor lainnya di pertumbuhan wilayah karena berkorelasi dengan permintaan barang dan jasa di luar wilayah (Adisasmita, 2005; Arsyad, 2005). Analisis LQ ini dimanfaatkan juga untuk menentukan keungulan komparatif

Page 120: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

109

(comparative advantage). Analisis berikutnya adalah Shift Share (SS) analysis, yaitu sebagai model untuk menentukan perubahan dan pergeseran sektor pada perekonomian wilayah (Adisasmita, 2005; Arsyad, 2005). Selanjutnya disebutkan pula bahwa adanya perubahan produksi ataupun tenaga kerja pada suatu wilayah dibagi ke dalam tiga hal, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengaruh pergeseran proporsional, dan pergeseran diferensial atau keunggulan kompetitif yang semuanya dibandingkan antara wilayah dengan wilayah dengan perekonomian yang lebih besar. Adapun Tipologi Klassen adalah metode analisis ekonomi wilayah yang menggabungkan dua analisis sebelumnya, yaitu LQ dan SS (Syafrizal, 2008 dalam Widjaya, 2012). Dengan dua pendekatan tersebut, Klassen membaginya menjadi 4 kuadran, yaitu jika sektor itu maju dan tumbuh cepat (Kuadran I); sektor itu maju namun tertekan (Kuadran II); sektor potensial (Kuadran III); dan sektor relatif tertinggal (Kuadran IV) Ukuran yang digunakan untuk penentuan unggulan dari masing-masing model ekonomi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nilai LQ = 0 berarti ternak tersebut di suatu daerah sama

dengan wilayah lainnya, nilai LQ > 1 berarti ternak tersebut di suatu daerah merupakan ternak unggulan, sedangkan nilai LQ < 1 berarti ternak besar di suatu daerah bukan merupakan ternak basis/unggulan.

2. Nilai SS terbagi atas dua, yaitu SS (+) berarti ternak potensial di suatu wilayah, sedangkan SS (-) berarti ternak tidak potensial di suatu wilayah.

3. Tipologi Klassen dibagi 4 kuadran, yaitu: a. Kuadran I: komoditas itu maju dan tumbuh pesat

ditandai dengan nilai LQ > 1 dan SS + b. Kuadran II: komoditas itu maju tapi tertekan yang

ditandai dengan LQ < 1 dan SS + c. Kuadran III: komoditas itu potensial untuk dikembangkan

yang ditandai dengan LQ > 1 dan SS – d. Kuadran IV: komoditas itu tertinggal dari wilayah lainnya

yang ditandai dengan LQ < 1 dan SS -

Page 121: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

110

Penentuan ternak unggulan di Provinsi NTT ditentukan dengan analisis Tipologi Klassen karena menggabungkan LQ dan SS. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 16. Hasil Analisis Komoditas Unggulan untuk Ternak

Besar dan Kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur

No Komoditas

Ternak Nilai LQ

Nilai SS

Tipologi Klassen

(kuadran)

1 Sapi Potong 0.92 0.08 II

2 Kuda 1.20 0.20 I

3 Kerbau 3.67 (0.03) III

4 Kambing 0.56 (0.02) IV

5 Domba 0.06 (0.05) IV

6 Babi 3.89 0.05 I

Berdasarkan tabel di atas, hanya ada dua komoditas ternak yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, yaitu kuda dan babi. Adapun untuk komoditas sapi potong memiliki daya kompetisi, namun tidak memiliki kekuatan komparatif. Artinya, pemerintah setempat harus mampu meningkatkan berbagai faktor produksi agar ternak sapi memiliki daya komparatif. Khusus ternak kambing dan domba, kedua komoditas tersebut tidak memiliki daya komparatif ataupun kompetitif. Khusus untuk ternak sapi potong, berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa ternak sapi potong produksi NTT memiliki daya saing dengan wilayah lainnya. Daya saing sapi potong produksi NTT diperlihatkan dari sisi harga. Harga sapi hidup relatif lebih murah dibandingkan dengan wilayah lain karena sistem pemeliharaan yang diserahkan kepada alam. Maksudnya adalah sistem pemeliharaan dengan sistem pengembalaan/rach yaitu sapi melakukan grazing dari pakan yang tersedia di alam. Dengan sistem ini juga membuat ternak sapi potong menjadi ternak liar atau tidak jinak.

Page 122: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

111

7.3. Kebijakan Pembangunan Peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

7.3.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Penentuan Kuota Pengeluaran Sapi

Pembangunan Peternakan di Nusa Tenggara Timur sebagai bagian pembangunan daerah dan sektor pertanian, mengacu pada strategi pembangunan daerah yang diarahkan pada upaya pemanfaatan potensi peternakan secara optimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan, peningkatan pertumbuhan ekonomi serta menjaga kelestariannya untuk kepentingan jangka panjang serta arahan fungsional pembangunan pertanian nasional yaitu sistem agribisnis dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi. Konsekwensinya adalah bahwa kegiatan operasional ada di wilayah Kabupaten/ Kota, sedangkan koordinasi, kerja sama, kemitraan serta pembinaan dan pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi sesuai dengan tuntutan UU 23 tahun 2014, PP 25 tahun 2000 dan PP 20 tahun 2001. Semua ini perlu ditingkatkan dalam rangka mendukung tekad pemerintah untuk mengembalikan Nusa Tenggara Timur sebagai Provinsi Ternak yang tertuang dalam spirit ”ANGGUR MERAH” (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota merupakan pemangku kepentingan dan kebijakan yang ada di wilayah Provinsi NTT. Demikian juga dengan kebijakan pembangunan peternakan berada di tangan pemerintah daerah. Dinas Peternakan Provinsi NTT merupakan organisasi perangkat daerah (OPD) yang diberikan tugas untuk membangun peternakan di Provinsi NTT. Seiring dengan kebijakan pembagunan daerah, Dinas Peternakan Provinsi NTT memiliki Visi dan Misi sebagai berikut: A. Visi : Terwujudnya masyarakat Nusa Tenggara Timur yang

berkualitas dan sejahtera melalui pembangunan peternakan

Page 123: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

112

yang berdayasaing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal

B. Misi: 1. Peningkatan profesionalisme aparatur serta peningkatan

kualitas sumberdaya manusia peternak dan pelaku usaha bidang peternakan;

2. Peningkatan populasi ternak serta produksi ternak dan hasil ternak;

3. Peningkatan pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis;

4. Peningkatan ketersediaan pangan asal ternak yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH);

5. Peningkatan kualitas dan ketersediaan sarana prasarana input produksi, teknologi, pembiayaan, koordinasi dan kerjasama serta data dan informasi penunjang pembangunan peternakan;

6. Peningkatan skala kepemilikan ternak, usahataniternak serta usaha pengolahan dan pemasaran hasil ternak / hasil ikutan.

Adapun sasaran yang ingin dicapai Dinas Peternakan NTT sesuai dengan rencana strategis (RENSTRA) Dinas Peternakan Provinsi NTT Tahun 2013-2018 adalah sebagai berikut: 1. Tercapainya peningkatan populasi dan produktivitas ternak

10%/tahun. 2. Tercapainya peningkatan kesehatan ternak dan kesehatan

masyarakat veteriner 10%/tahun. 3. Tercapainya peningkatan kualitas sumberdaya manusia

peternakan 10%/tahun.

Berdasarkan sasaran Renstra tersebut, sasaran peningkatan populasi ternak yang hendak dicapai adalah 10% pertahun, akan tetapi tidak ada penjelasan rinci dari capaian tersebut. Informasi dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018, program kegiatan yang mengarah pada peningkatan populasi ternak adalah:

Page 124: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

113

1. Program peningkatan produksi hasil peternakan dengan rincian kegiatan sebagai berikut: a. Pengadaan dan pendistribusian vaksin dan pakan

ternak b. Peningkatan populasi dan produktifitas ternak melalui

pengadaan ternak sapi, kambing lokal, kambing PE, dan babi.

2. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak a. Pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit

menular ternak b. Peningkatan kualitas kader kesehatan hewan dalam

pelayanan vaksinasi dan pengobatan 3. Program dukungan dan manejemen pembangunan

peternakan a. Peningkatan surveilance penyakit, pelayanan

laboratorium, pelayanan vaksinasi dan pengobatan b. Pengawasan perdagangan ternak antar daerah c. Penyuluhan penerapan teknologi peternakan tepat

guna. Khusus kebijakan sapi potong, Provinsi NTT sudah sejak lama diberi julukan sebagai lumbung sapi nasional karena mampu mengeluarkan sapi ke luar daerah. Kemampuan inilah yang menjadi titik tolak dari perputaran ekonomi dari usaha peternakan sapi di NTT. Banyak diminatinya Sapi Bali dan Sumba Ongole oleh para pedagang menjadi sumber pasar bagi para peternak sapi di NTT. Sejalan dengan eksploitasi sapi secara terus menerus, baik untuk kebutuhan konsumsi domestik ataupun untuk luar daerah, Gubernur NTT mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 78 Tahun 2019 tentang Pengendalian Terhadap Pemasukan, Pengeluaran Dan Peredaran Ternak, Produk Hewan Dan Hasil Ikutannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Beberapa hal penting yang dapat ditarik dari peraturan ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan dari peraturan ini adalah (1) melindungi plasma

nutfah sapi potong dari eksploitasi demand pasar domestik

Page 125: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

114

dan luar provinsi; (2) perlindungan peternak dan pengusaha lokal; (3) kepastian hukum usaha; (4) penyerapan tenaga kerja

2. Kewajiban Pengusaha Besar Pengirim Ternak Besar harus menginvestasikan usaha di daerah dengan pola kemitraan

3. Investasi oleh Pengusaha Besar Pengirim Ternak Besar yang dimaksud adalah: a. memiliki Ranch dengan luasan lahan paling rendah 50

Ha (lima puluh hektar); b. memiliki kandang dengan kapasitas tampung sampai

dengan 1.000 (seribu) ekor; c. menyiapkan fasilitas pemeriksaan kesehatan hewan

dan d. tenaga kesehatan hewan; e. memiliki indukan betina produktif paling rendah 10

(sepuluh) persen dari total Ternak Besar Potong yang dikeluarkan; dan

f. menggunakan tenaga kerja yang berasal dari Daerah. 4. Ternak besar yang bisa dikeluarkan dari NTT adalah

a. Ternak jantan siap potong dengan berat, sebagai berikut: Sapi Bali 275 kg, Sumba Ongole/ Sapi Rote 325 kg, kerbau 375 kg, dan kuda 150 kg.

b. Ternak besar jantan bibit tidak diperbolehkan untuk dikirim keluar Daerah.

c. Ternak besar betina bibit maupun bukan bibit tidak diperbolehkan untuk dikirim keluar Daerah

Ke empat poin di atas menjadi sangat krusial bagi pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil survey ke para pengusaha pengirim sapi yang terhimpun dalam HP2SKI menunjukkan bahwa belum secara luas mereka mendapatkan informasi terkait dengan peraturan gubernur tersebut. Beberapa pengusaha tersebut sangat keberatan dengan pasal 5 ayat 1-3 terkait dengan investasi yang diwajibkan ke para pengusaha. Disarankan untuk mensosialisasikan peraturan gubernur terebut beserta petunjuk teknisnya agar aturan yang disusun tidak multi tafsir dari beberapa pasal yang menjadi keberatan tersebut.

Page 126: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

115

7.3.2. Sarana dan Prasarana Pengembangan ternak sapi di Provinsi NTT sangat didukung oleh sarana dan prasarana infrastruktur, berupa jalan, telekomunikasi, listrik, pelabuhan laut, dan bandar udara. Prasarana jalan yang ada di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Sumba Timur relatif cukup baik. Berdasarkan data BPS Provinsi NTT (2018) total panjang prasarna jalan provinsi adalah 2.471,66 km dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki prasarana jalan provinsi yang terpanjang, yaitu 306,34 km, sedangkan Kota Kupang memiliki jalan provinsi yang terpendek, yaitu 20,88 km. Berdasarkan data jalan provinsi tersebut, 94,3% telah beraspal dan sisanya 5,7% tidak diaspal. Adapun yang kodisinya baik ada 53,13%, yang sedang 11,31%, jalan yang rusak 12.5% dan jalan yang rusak berat terdapat 23,1%. Dengan kata lain, total jalan yang rusak dan rusak berat terdapat 35,6%. Artinya, kerusakan jalan provinsi yang ada di NTT relatif cukup banyak. Apabila tidak ada perbaikan dari pemerintah setempat, hal ini dapat menimbulkan terhambatnya distribusi barang dan orang melalui darat. Selain transportasi darat, di NTT juga menggunakan jenis transportasi lainnya karena NTT merupakan provinsi kepulauan. Transportasi lain yang digunakan adalah tranportasi laut dan penyeberangan, ataupun transportasi udara. Dari 22 kabupaten/kota yang ada di NTT, sudah tersedia 14 pelabuhan udara dengan lebih dari 30 ribu penerbangan pada tahun 2017. Untuk transportasi laut tersedia ferry 24 lintasan penyeberangan komersil dan 77 lintasan perintis. Telekomunikasi sangat penting di dalam menunjang pengembagan sapi potong di NTT karena alat komunikasi dapat mempercepat komunikasi dan transaksi. Prasarana dan sarana telekomunikasi telah masuk ke provinsi NTT, khususnya yang nir kabel. Akan tetapi, jaringannya masih

Page 127: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

116

sangat terbatas di area perkotaan kabupaten/kota. Apabila handphonenya dibawa ke wilayah pelosok pedesaan, sinyalnya tidak ada. Berdasarkan data BPS Provinsi NTT, rumah tangga yang baru mendapatkan akses penerangan listrik dari PLN sebanyak 66,02%. Adapun yang mendapatkan penerangan listrik dari Non-PLN sebanyak 11,34% dan penerangan dari bukan listrik (seperti dari kayu bakar, bahan bakar minyak) sebanyak 22,64%. Dengan demikian, ada beberapa rumah tangga yang belum mendapatkan akses listrik dari PLN. Salah satunya adalah PT. Asian Beef dan PTPN VIII di mana kedua perusahaan ini mengembangkan pembibitan sapi potong. Listrik belum masuk ke wilayah atau area pembibitan tersebut. Guna memenuhi kebutuhan akan listrik, masing-masing memiliki alat penerangan sendiri, yaitu PT. Asian Beef menggunakan solar cell sebagai sumber listrik, sedangkan PTPN VIII menggunakan generator untuk sarana penerangannya. Berkaitan dengan pembahasan aset, pada bagian ini yang dibahas adalah aset yang dimiliki oleh pemerintah dalam menunjang kegiatan pengembangan sapi potong. Aset-aset yang dimiliki Pemda sebagaian besar didanai dari APBN ataupun APBD. Aset Pemda yang dimaksud adalah aset Dinas Peternakan Provinsi NTT, Dinas Kabupaten Kupang, Dinas Pertanian Kota Kupang, dan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur. Penyediaan atau ketersediaan aset telah menjadi rencana pemerintah untuk diadakan aset tersebut di dalam anggaran belanja masing-masing dinas. Aset yang dimiliki Dinas Peternakan Provinsi NTT berupa instalasi-instalasi yang berada dibawah tanggung jawab UPT Perbibitan Ternak dan Produksi Pakan Ternak. Instalasi ini mengembangkan sapi potong dan juga berbagai jenis ternak besar dan kecil lainnya. Adapun instalasi-instalasi tersebut adalah sebagai berikut:

Page 128: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

117

1. Instalasi Lili di Kabupaten Kupang sebagai lokasi

pengembangan ternak sapi Bali dalam pedok dan

pengembangan dengan petani mitra serta pengembangan

hijauan pakan ternak.

2. Instalasi Tarus di Kabupaten Kupang merupakan lokasi

pengembangan bibit babi dan pelayanan IB pada ternak

babi dengan semen cair.

3. Instalasi Sumlili di Kabupaten Kupang merupakan lokasi

pengembangan bibit kambing Peranakan Etawah (PE) dan

pengembangan Hijauan pakan Ternak.

4. Instalasi Besipae di Kabupaten TTS adalah sebagai lokasi

pengembangan sapi Bali, dengan pola pedok dan

pengembangan dengan petani mitra serta pengembangan

hijauan pakan ternak.

5. Instalasi Kabaru di Kabupaten Sumba Timur merupakan

lokasi pengembangan sapi Ongole dengan pola pedok dan

pengembangan dengan petani mitra serta pengembangan

Hijauan pakan Ternak.

6. Instalasi Waihibur/Kondamaloba di Kabupaten Sumba

Tengah merupakan lokasi pengembangan Hijauan Pakan

Ternak dan sapi peranakan Ongole dalam pedok dan

pengembangan dengan petani mitra.

7. Instalasi Boawae di Kabupaten Nagekeo merupakan lokasi

pembibitan ternak sapi Bali dalam pedok dan

pengembangan dengan Petani Mitra serta pengembangan

Hijauan Pakan Ternak serta pembibitan ternak dan Ternak

Babi.

8. Instalasi Laura di Kabupaten Sumba Barat Daya

merupakan lokasi pembibitan ternak Kerbau dalam pedok

serta pengembangan hijauan pakan ternak jenis Lamtoro

Taramba.

Berdasarkan uraian instalasi di atas, ada 4 instalasi yang memfokuskan diri pada pembibitan sapi potong, khususnya sapi Bali dan Peranakan Ongole/Sumba Ongole (PO/SO). Akan tetapi, hasil survey menunjukkan bahwa pengembangan

Page 129: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

118

instalasi ini masih belum maksimal sebagai tempat produksi bibit sapi Bali dan PO/SO. Hasil diskusi dengan pimpinan UPT Pembibitan Ternak dan Produksi Pakan Ternak, saat ini masih dilakukan pembenahan terhadap seluruh instalasi yang ada untuk memaksimalkan produksi bibit ternak sapi. Pembenahan yang dilakukan terhadap SDM maupun fasilitas instalasi agar instalasi dapat memaksimalkan tupoksinya, yaitu produksi bibit ternak sapi. Aset Dinas Peternakan Kabupaten Kupang yang berkaitan dengan pengembangan usaha sapi potong adalah Pasar Hewan Lili. Pasar hewan ini menjadi tempat berkumpulnya peternak dan pedagang sapi. Hari pasar di pasar hewan ini adalah Rabu dan Kamis. Fasilitas yang disediakan berupan tempat istirahat sapi, kandang tempat penjualan, tempat loading untuk ternak sapi, fasilitas air, dan perkantoran. Pemerintah Kabupaten Kupang menyediakan pasar hewan ini agar para peternak tidak kesulitan menjual sapinya karena mereka dapat bertransaksi langsung dengan para pedagang. Hasil transaksi perhari untuk penjualan sapi adalah 500- 700 ekor perhari. Dinas Pertanian Kota Kupang memiliki aset berupa Rumah Potong Hewan (RPH). Rumah potong ini sudah sejak jaman kolonial Belanda berdirinya. Jumlah sapi yang dipotong perharinya antara 40 – 60 ekor perhari. Ada beberapa catatan terkait RPH Oeba ini didasarkan hasil survey, yaitu: 1. Walaupun telah dipasang pelarangan pemotongan ternak

betina di RPH tersebut, namun lebih dari 90% yang dipotong di RPH tersebut adalah ternak betina (baik produktif maupun non produktif). Para pedagang sapi yang memotong ternaknya di RPH tersebut berdalih bahwa saat ini sangat langka mendapatkan bakalan sapi untuk dipotong. Selain itu, harga ternak sapi betina lebih murah dibandingkan dengan ternak sapi jantan.

2. Sarana dan prasarana RPH masih belum memadai, padahal tingkat pemotongan di sana cukup banyak, misalnya kurang memadainya tempat istirahat sapi, tidak

Page 130: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

119

ada tempat potong sapi (restaning box), tempat perecahan sapi tidak higienis karena bisa direcah dimanapun, dan tidak ada fasilitas untuk penggerek karkas. Akan tetapi, untuk fasilitas air cukup memadai.

3. Teknik penjatuhan ternak sapi tidak memperhatikan kesejahteraan hewan karena ternak yang akan diipotong dipaksa untuk jatuh dengan tekni menjatuhkan ternak yang sangat kasar

4. Tidak terlihat adanya pemeriksaan anthe mortem dan post mortem.

Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur memiliki aset yang berhubungan dengan pengembangan sapi adalah fasilitas RPH Waingapu. Aktivitas RPH ini tidak sesibuk RPH Oeba di Kota Kupang. Tingkat pemotongan ternaknya hanya 2-4 ekor perhari. Adapun catatan dari hasil kunjungan ke RPH Waingapu adalah sebagai berikut: 1. Fasilitas RPH masih sangat sederhana, namun

ketersediaan air cukup memadai. 2. Walaupun tidak memiliki restaining box, teknik penjatuhan

sapi sebelum dipotong lebih baik dibandingkan dengan yang di RPH Oeba Kota Kupang. Teknis penjatuhannya dengan menggunakan ring yang telah tersedia di lantai RPH, kemudian tali yang mengikat kepala sapi dimasukkan ke ring tersebut sehingga kepala sapi menunduk ke bawah dan kaki belakang diikat untuk dijatuhkan.

3. Sapi yang dipotong adalah ternak jantan dan betina karena tergantung pada permintaan pedagang

4. Perecahan daging sapi langsung dilakukan di RPH, namun tidak ada fasilitas penggerek karkas, yang ada hanya untuk menggantungkan bagian sapi yang sudah dipotong yang akan diambil dagingnya, misalnya menggatungkan paha atas sapi.

5. Oleh karena daging dan jeroan yang akan dijual, tulangnya tidak dimanfaatkan sehingga di RPH tersebut terdapat tumpukan tulang sapi yang tidak dimanfaatkan.

Page 131: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

120

7.3.3. Faktor Pendukung Faktor-faktor pendukung lainnya dalam pengembangan sapi potong di NTT adalah: 1. Keberlanjutan usaha sapi potong masih dapat

dipertahankan karena masyarakat pertanian di Provinsi NTT memiliki budaya bahwa semakin banyak sapi yang dipeliharan berarti akan semakin dipandang di masyarakatnya. Pada beberapa wilayah tertentu, sapi dijadikan mahar untuk perkawinan dan biasanya orang tuanya memberikan sapi kepada anaknya yang sudah menikah untuk dipelihara.

2. Sapi Bali dan Peranakan Ongole/Sumba Ongole memiliki daya adaptasi terhadap iklim yang ekstrem di NTT dan mampu mengkonversi pakan yang nilai gizinya rendah menjadi daging. Di samping itu, kedua jenis sapi ini lebih tahan terhadap penyakit.

3. Banyaknya lahan-lahan pengembalaan, memungkinkan peternak untuk memelihara sapi dengan cara diabur atau tidak dikandangkan. Sapi dibiarkan hidup liar dan seluruh pemeliharaan diserahkan kepada alam itu sendiri. Oleh karena itu, harga sapi di NTT lebih murah dibandingka dengan wilayah lain karena biaya produksi rendah.

4. Peran pemerintah dalam pengembangan sapi potong di NTT cukup besar yang diimplementasikan di dalam kebijakan dan program.

Page 132: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

121

Ringkasan Bab ini menguraikan sistem agribisnis sapi potong di Provinsi NTT yang

dimulai dari subsistem input produksi, budidaya, pengolahan, pemasaran, serta kelembagaan pendudukung usaha sapi potong.

8.1. Populasi Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur

rovinsi Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai gudang sapi. Pada tahun 1970-an pernah melakukan ekspor sapi ke Hongkong berdasarkan informasi dari pelaku usaha sapi potong di NTT. Sampai saat ini, Provinsi

NTT masih sebagai wilayah sumber produksi sapi potong bagi Indonesia. Jumlah sapi yang keluar dari NTT diatur oleh pemerintah daerah, khususnya oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT. Sistem kuota diterapkan untuk mengatur lalu lintas sapi yang keluar dari provinsi karena untuk mempertahankan sumber daya yang ada, jangan sampai sumber daya yang ada dieksploitasi sehingga sapi potong di NTT berkurang. Adapun jumlah populasi ternak besar di Provinsi NTT dapat dilihat pada Gambar 30. Berdasarkan gambar tersebut jumlah sapi potong lebih banyak dibandingkan dengan populasi kerbau dan kuda. Jumlah populasi sapi potong melebihi angka 1 juta ekor. Sedangkan angka populasi kerbau dan kuda berada di bawah angka 200 ribu ekor. Hal ini menjukkan bahwa Provinsi NTT layak dijadikan sebagai lumbung sapi.

P

8

SISTEM AGRIBISNIS SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Page 133: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

122

Gambar 30 Perkembangan Populasi Ternak Besar di NTT

(Sumber: BPS Provinsi NTT dan Dinas Peternakan Provinsi NTT)

Hasil identifikasi jenis sapi yang sering menjadi komoditas perdagangan antar pulau adalah Sapi Bali dan Sapi Sumba Ongole (Sapi SO). Kedua jenis sapi ini sangat adaptif dengan iklim di NTT yang ekstrem yaitu tingkat kekeringannya lebih panjang dibandingkan dengan tingkat basahnya. Di samping itu, sapi-sapi ini sangat tahan terhadap beberapa penyakit (lihat Gambar 31).

(1)

(2)

Gambar 31 (1) Sapi Sumba Ongole dan (2) Sapi Bali di Provinsi NTT

Page 134: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

123

Hasil identifikasi pelaku usaha sapi yang dimulai dari peternak sampai pada konsumen perantara dan akhir, dapat diidentifiksasi sebagai berikut: 1. Kualitas Sapi. Hasil survey memperlihatkan bahwa sapi-

sapi yang berada di Pulau Timor, khususnya di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang yang banyak dipelihara adalah Sapi Bali. Sapi-sapi Bali hasil peliharaan peternak memperlihatkan kualitas sapi dengan rata-rata nilai BCS = 3 atau cukup baik, sedangkan di Kabupaten Sumba Timur dengan tingkat kekeringan yang ekstrem dengan kondisi pakan hijauan yang sangat minimal, kualitas sapi dengan nilai BCS = 2 – 3 atau kurus dan cukup (Body Condition Score = BCS).

2. Peternak. Peternak sapi di kedua provinsi ini memiliki sifat pemeliharaan yang sama, yaitu dengan sistem pengembalaan. Akan tetapi di wilayah Kabupaten Kupang, sudah mulai memelihara sapi dengan sistem penggemukan, yaitu pemeliharaan intensif dengan cara diikat di kandang. Pakan disediakan oleh peternak. Pada kondisi kekurangan rumput, daun lamtoro, gamal dan limbah pertanian menjadi alternatif pakan di musim kemarau.

3. Pedagang. Para pedagang sapi di Pronisi NTT terdiri dari pedagang pengumpul tingkat desa sampai ke pedagang besar. Para pedagang besar di NTT dikuasai oleh para pedagang besar dari Jakarta

4. Pasar Hewan. Pasar Hewan Lili yang berada di Kabupaten Kupang merupakan pasar hewan terbesar di Pulau Timor karena mampu menjual sapi antara 500 – 700 ekor/hari. Hari pasarnya adalah hari Rabu dan Kamis

5. Rumah Potong Hewan (RPH). RPH Oeba berlokasi di Kota Kupang dan mampu memotong perhari antara 40 – 60 ekor/hari. Kebanyakan sapi yang dipotong di sana adalah sapi betina. Walaupun sudah ada aturan tidak memotong sapi betina, namun para pemotong berasalan sulitnya mendapatkan bakalan jantan karena di kirim keluar. Sedangkan di RPH Waingapu Kabupaten Sumba Timur,

Page 135: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

124

jumlah pemotongan sapinya adalah 2 – 4 ekor perhari dengan konsumen terbesar adalah tukang baso.

6. Pelabuhan Laut. Pelabuhan laut yang digunakan untuk mengirim sapi-sapi dari Provinsi NTT dilakukan pada tiga pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Wini (Kabupaten Timor Tengah Utara), Pelabuhan Tenau (Kabupaten Kupang), dan Pelabuhan Waingapu (Kabupaten Sumba Timur). Transportasi laut yang digunakan untuk pengangkutan sapi adalah 5 kapal Camaran Nusantara (CN).

8.2. Subsistem Input dan Sarana Produksi

Subsistem input produksi atau dikenal subsistem ke 1 adalah salah satu subsistem yang berperan dalam mensuplai kebutuhan input dan sarana produksi, baik yang dibutuhkan oleh budidaya sapi potong ataupun subsistem pengolahan (Gambar 32). Untuk mempermudah pemahaman tentang subsistem ini dan prakteknya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dibawah ini diilustrasikan apa saja yang menjadi input dan sarana produksi yang menjadi bagian dari pengembangan sapi potong di NTT.

Subsistem Input

dan Sarana

Produksi:

Hijauan,

Konsentrat,

Keswan dan IB,

Alat dan Mesin,

dan Bibit ternak

Subsistem

Budidaya

Sapi Potong

Subsistem

Pengolahan: Pemotongan sapi di

RPH, Pengolahan

daging menjadi produk-

produk ready to cook

and eat

Subsistem

Pemasaran:

Pemasaran sapi

bakalan dan daging

sapi ke konsumen

Subsistem Lembaga Penunjang:

Lembaga Penelitian, Bank, Pemerintah,

Koperasi, Lembaga Pelatihan, dsb

Gambar 32 Subsistem Input dan Sarana Produksi

Page 136: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

125

Pakan Pakan merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi pemeliharaan ternak. Pakan menjadi bagian dari subsistem ini karena memberikan dukungan terhadap budidaya sapi potong. Pakan untuk sapi terbagi atas dua, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan pakan pokok utama dari ternak ruminansia, seperti sapi. Hijauan terbagi atas dua, yaitu rumput dan kacang-kacangan (leguminosa). Hasil identifikasi yang dilakukan di Pulau Timor dan Sumba di Provinsi NTT, rumput yang tumbuh di kedua pulau ini adalah sejenis rumput lapang, misalnya alang-alang dan rumput liar lainnya. Tidak ada yang secara khusus menanam rumput gajah atau sejenisnya. Rumput-rumput tersebut terhampar luas di padang savana yang luas, khususnya di Pulau Sumba dan dibeberapa wilayah di Pulau Timor. Rumput lapang dikonsumsi ternak sapi di lapang pengembalaan karena kebiasaan peternak sapi potong di NTT adalah melepas sapinya di ladang pengembalaan. Di samping itu, ada peternak sapi yang jarang sekali melihat ternak miliknya dan mempercayakan kehidupan mereka kepada alam. Namun, peternak mampu mengenali sapinya dari cap kepemilikan pada sapi tersebut. Selain rumput, jenis hijauan lainnya adalah leguminosa atau kacang-kacangan. Adapun jenis-jenis leguminosa yang tumbuh hidup liar ataupun ditanam secara sengaja, antara lain Gamal (Gliricidia sepium), Lamtoro (Leucaena glauca), Caliandra (Calliandra calothyrsus), Sesbania/Turi (Sesbania grandiflora), Sentro (Centrosema pubescens), Calopo (Calopogonium mucunoides), dan sebagainya. Oleh karena di Provinsi NTT lebih banyak wilayah savana sehingga memungkinkan jenis-jenis legum banyak tumbuh di savana. Hasil observasi dilapangan, jenis legum yang cocok dengan iklim di Nusa Tenggara Timur adalah lamtoro, gamal, dan turi. Pada kondisi lingkungan panas dan kering, tanaman-tanaman tersebut masih dapat menghasilkan daun yang cukup untuk pakan

Page 137: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

126

ternak. Di samping itu, tumbuh juga tanaman yang daunnya dapat dijadikan pakan ternak dan juga naungan bagi ternak seperti kapuk, beringin, kedongdong hutan, pohon asam, kabesak dan sebagainya. Konsentrat sangat lazim digunakan untuk usaha penggemukan sapi. Umumnya, perusahaan penggemukan (feedloter) menggunakan konsentrat untuk meningkatkan average daily gain (ADG). Hasil pengamatan di lapangan, jarang sekali para peternak sapi di NTT menggunakan konsentrat sebagai pakan tambahan. Para peternak lebih menyerahkan pemeliharaan sapi potongnya ke lingkungannya. Ternak sapi secara mandiri mencari pakan yang ada dilahan pengembalaan atau savana. Oleh karena itu, permasalahan yang terjadi pada pakan ternak di NTT adalah teknologi pakan tidak berkembangan karena peternak lebih mengandalkan pada kondisi lingkungan sekitar, baik di Pulau Sumba ataupun Timor. Adapun para peternak yang menggemukkan sapinya, khususnya di Pulau Timor, cenderung memberikan pakan legum dan limbah pertanian.

(1)

(2)

Gambar 33 (1) Situasi Padang Savana dan (2) Kelompok Setetes Madu

Peternak Sapi di Kabupaten Kupang

Page 138: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

127

Pembibitan Sapi Potong Salah satu hal penting dalam peningkatan populasi sapi adalah pembibitan sapi. Bibit sapi sangat diperlukan dalam keberlangsungan dan keberlanjutan usaha sapi. Bibit sapi yang baik dihasilkan dari pejantan dan betina unggul. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki instalasi pembibitan untuk Sapi ongole dan Sapi Bali. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, instalasi pembibitan Sapi Ongole ada di Instalasi Kabaru di Kabupaten Sumba Timur dan Instalasi Wahibur di Kabupaten Sumba Tengah. Adapun pengembangan instalasi pembibitan Sapi Bali ada di Instalasi Lili di Kabupaten Kupang, Instalasi Besipae di Kabupaten TTS, dan Instalasi Boawae di Kabupaten Nagekeo (lihat Gambar 34). Berdasarkan hasil survey ke salah satu instalasi pembibitan sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum dimanfaatkan secara maksimal. Pembibitan sapi juga dilakukan secara mandiri oleh para peternak. Oleh karena sapi dipelihara secara ekstensif, pembiakan sapi dilakukan secara alami. Apabila kondisi ini berlangsung secara lama, maka ada kemungkinan terjadi in-breeding di antara kelompok sapi tersebut. Manfaat in-breeding di satu sisi adalah adanya pemurnian genetik (Sapi Bali dan Sapi Ongole), di sisi lain ternak sapi yang dipelihara semakin kecil badannya. Hal ini diungkapkan oleh para pedagang sapi yang tergabung dalam HP2SKI (Himpunan Peternak dan Pedagang Sapi dan Kerbau Indonesia) yang kesulitan untuk mendapatkan Sapi Bali dengan ukuran di 275 kg ke atas (lihat Gambar 34).

Page 139: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

128

(1)

(2)

Gambar 34

(1) Instalasi Wahibur Pembibitan Sapi Bali dan (2) Diskusi Pengalaman Pedagang (HP2SKI) Sapi Bermitra dengan

Peternak Sapi di Nusa Tenggara Timur Sarana Produksi (Alat dan Mesin Peternakan) Alat dan mesin peternakan dimanfaatkan untuk mempermudah usaha budidaya sapi potong. Tidak hanya itu, alat dan mesin peternakan juga dapat dimanfaatkan oleh subsistem pengolahan. Berbagai alat dan mesin peternakan yang dapat digunakan pada usaha budidaya sapi potong, seperti cankul, sekop, slang, clurit, golok, gerobak, chopper, insemination gun, eartag, tang burdizo, dan banyak lagi. Alat dan mesin (Alsin) peternakan diproduksi oleh perusahaan baik dalam maupun luar negeri. Pada usaha sapi potong di Provinsi NTT, penggunakan alat dan mesin peternakan hanya terbatas pada peralatan yang sangat sederhana saja, yaitu golok, cangkul, pisau, dan peralatan sederhana lainnya. Peralatan tersebut hanya digunakan untuk memotong tangkai pohon turi dimana daunnya disimpan ditanah untuk jadi pakan sapi, sedangkan batangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Oleh karena penggunakan peralatan yang sangat sederhana, biaya produksi untuk pembelian peralatan relatif lebih murah. Hal ini

Page 140: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

129

berdampak pada penurunan biaya produksi dari usaha budidaya sapi potong di NTT. 8.3. Subsistem Budidaya Subsistem budidaya atau usahatani merupakan subsistem yang langsung berhubungan dengan pengelolaan peternakan dan juga pertanian, baik untuk tujuan pembibitan, pembesaran, pembiakan, penggemukan, dan lainnya yang berkaitan dengan budidaya (Gambar 35). Hasil budidaya peternakan akan dimanfaatkan oleh subsistem pengolahan dan pemasaran.

Subsistem Input

dan Sarana

Produksi:

Hijauan,

Konsentrat,

Keswan dan IB,

Alat dan Mesin,

dan Bibit ternak

Subsistem

Budidaya

Sapi Potong

Subsistem

Pengolahan: Pemotongan sapi di

RPH, Pengolahan

daging menjadi produk-

produk ready to cook

and eat

Subsistem

Pemasaran:

Pemasaran sapi

bakalan dan daging

sapi ke konsumen

Subsistem Lembaga Penunjang:

Lembaga Penelitian, Bank, Pemerintah,

Koperasi, Lembaga Pelatihan, dsb

Gambar 35

Subsistem Budidaya Sapi Potong 8.3.1. Peternak Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berpredikat sebagai provinsi gudang sapi bagi Indonesia. Hal ini berkaitan dengan supply sapi yang cukup mumpuni yang telah dilakukan provinsi ini sejak lama. Provinsi NTT telah mampu menyebar sapi Bali dan Sumba Ongole ke setiap wilayah di Indonesia, bahkan

Page 141: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

130

pernah melakukan ekspor sapi ke wilayah Hongkong di tahun 1970-an. Jadi, istilah gudang sapi menjadi pantas disematkan ke provinsi ini. Provinsi NTT memiliki tiga pulau utama yaitu Pulau Sumba, Flores, dan Timor. Ternak sapi potong di NTT terpusat di dua pulau yaitu Timor dan Sumba. Saat ini, Pulau Sumba telah ditetapkan menjadi daerah sumber bibit Sapi Sumba Ongole (SO). Oleh karena itu, populasi sapi potong di pulau ini didominasi sapi jenis SO dan berdasarkan kebijakan provinsi bahwa untuk sementara Pulau Sumba tidak boleh dimasuki oleh jenis sapi lainnya, seperti simental, limousin atau lainnya. Adapun di Pulau Timor, populasi sapi potong didominasi oleh sapi jenis Sapi Bali (SB). Kebijakan pengetatan terhadap pemurnian Sapi Ongole di Pulau Sumba melalui pelarangan masuknya jenis sapi lainnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi positifnya adalah sapi ongole memiliki darah murni, akan tetapi sisi negatifnya adalah kejadian in-breeding tidak dapat dielakkan dan hal ini berdampak pada bentuk kondisi tubuh ternak sapi yang akan lebih kecil dari sebelumnya. Pada awal buku telah dijelaskan secara singkat bahwa budidaya sapi di NTT secara umum masih didominasi dengan sistem ekstensif (mengembalakan ternak sapi sepenuhnya pada lingkungan). Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, sistem pemeliharaan sapi di NTT terbagi atas 3, yaitu sistem ekstensif, semi ekstensif, dan intensif. Adapun uraian dari masing-masing sistem pemeliharaan adalah sebagai berikut: 1. Sistem Pemeliharaan Ekstensif. Sistem pemeliharaan

sapi yang digembalakan diladang pengembalaan selama dipelihara (Hernowo, 2006). Peternak tidak memiliki beban untuk membangun kandang. Peternak sepenuhnya menyerahkan pada lingkungan dalam pemeliharaannya. Hal inilah yang dilakukan oleh sebagian besar para peternak sapi potong di NTT. Mereka mengembalakan sapinya diladang pengembalaan berupa savana ataupun di kawasan hutan. Para peternak rakyat di NTT berbeda dengan peternak sapi rakyat di Pulau Jawa, terutama dalam

Page 142: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

131

hal kepemilikan ternak. Umumnya, para peternak sapi di NTT memiliki ternak minimal 20 ekor per keluarga, sedangkan para peternak sapi di Pulau Jawa diddominasi oleh peternak skala kecil, yaitu 1-3 ekor per keluarga. Sistem pemeliharaan ekstensif yang dilakukan oleh para peternak di NTT relatif rawan terhadap pencurian karena peternak tidak mengawasi sapi tiap hari. Yang banyak adalah terjadi perpindahan sapi dari milik keluarga yang satu ke keluarga yang lain, khususnya sapi yang belum diberi cap keluarga pada pahanya.

Gambar 36

Sistem Pemeliharaan Ekstensif di Provinsi NTT Tujuan pemeliharan ekstensif adalah pembibitan. Peternak membiarkan ternak sapinya hidup secara alamiah. Kecenderungan ekstensif adalah melepas seluruh ternak (induk, bakalan, dan pedet) dilepas dipadang pengembalaan bersama kelompok sapi lainnya. Peternak hanya memberi tanda pada bagian paha sapi sebagai tanda kepemilikan. Keuntungan dari pemeliharaan ekstensif adalah jantan dapat mengawini betina kapan pun, tentunya sapi betina yang mengalami estrus. Disamping itu juga, kelahiran sapi betina tidak dibantu oleh peternak melainkan lahir secara alami. Umumnya, sapi betina yang akan melahirkan menjauh dari kelompoknya dan mengasuh anaknya sampai secara mandiri dan setelah itu bergabung kembali dengan kelompoknya. Keuntungan lainnya adalah

Page 143: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

132

peternak tidak kerepotan untuk mencari rumput karena pemeliharaan diserahkan kepada alam dan lingkungan sekitarnya. Adapun kelemahannya adalah penyapihan pedet oleh induknya bisa berlangsung lama, yaitu 6 bulan lebih, bahkan ada yang umurnya satu tahun masih menyusui pada induknya. Kondisi ini dapat menyebabkan calving interval menjadi sangat panjang. Di samping itu, tingkat in breeding sangat tinggi.

2. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif Sistem pemeliharaan semi intensif adalah sistem pemeliharaan yang dilakukan dengan melepas ternak sapinya pada pagi hari hingga sore hari dan malam hari dikandangkan (Hernowo, 2006). Pada sistem pemeliharaan ini terdapat campur tangan peternak di mana peternak membuka kandang sapinya dan melepaskannya, setelah sore hari peternak mengumpulkan kembali sapi-sapinya ke kandang, tetapi terkadang juga para peternak turut menggembalakan sapi-sapinya hingga sore hari. Sistem tersebut banyak dilakukan oleh para peternak sapi di NTT. Namun, umumnya mereka tidak turut mengembalakan ternak sapinya pada saat mengembala di padang pengembalaan, demikian juga pada sore hari, sapi-sapinya kembali ke kandangnya secara mandiri. Sistem pemeliharaan seperti ini masih relatif aman dari pencurian. Adapun tujuan dari sistem pemeliharaan ini adalah pembiakan. Tujuan pembibitan adalah menghasilkan anak. Namun sistem pemeliharaan seperti ini juga sangat rentan terhadap kasus in-breeding. Sistem ini memberikan kesempatan kepada peternak untuk mendapatkan pedet dari sapi betina yang dipeliharanya.

Page 144: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

133

Gambar 37 Sistem Pemeliharaan Semi Intensif di Kabupaten

Timor Tengah Utara

3. Sistem Intensif Sistem pemeliharaan intensif adalah ternak sapi dikandangkan secara terus menerus, baik untuk tujuan pembibitan ataupun penggemukan (Hernowo, 2006) Sistem pemeliharaan ini sudah mulai introdusir ke para peternak di Nusa Tenggara Timur, khususnya untuk tujuan penggemukan. Sosialisasi sistem pemeliharaan intensif ini memerlukan waktu yang cukup panjang karena kebiasaan peternak tidak memelihara sapi dikandangkan atau diikat dibawah pohon. Oleh karena itu, sapi-sapi yang dikandangkan adalah sapi-sapi bakalan dengan tujuan penggemukan karena sapi-sapi bakalan jantan sangat laku dijual untuk keperluan permintaan luar wilayah NTT. Lama pemeliharaan sapi yang dikandangkan atau diikat dibawah pohon adalah 6 – 12 bulan atau telah mencapai bobot 275 kg untuk sapi Bali dan 375 kg untuk Sumba Ongole. Saat ini, sistem penggemukan sapi sudah menjadi trend di beberapa peternak, khususnya di Kabupaten Kupang. Sebagian peternak sudah mencoba untuk melakukan penggemukan dan dibantu oleh pihak Dinas Peternakan

Page 145: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

134

setempat, termasuk penguatan modal dengan menggunakan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat). Adapun penilaian terhadap kondisi tubuh ternak sapi dengan menggunakan nilai Body Conditon Score (BCS) adalah pada nilai 3 dan 4 untuk sapi Bali yang ada di Kabupaten Kupang, sedangkan untuk sapi-sapi Sumba Ongle memiliki nilai BCS antara 2 – 3 di Kabupaten Sumba Timur. Hal ini disebabkan tingkat kekeringan di Kabupaten Sumba Timur lebih ekstrem dibandingkan dengan Kabupaten Kupang.

(1)

(2)

Gambar 38

Sistem Pemeliharaan Intensif pada Penggemukan Sapi Bali di Kabupaten Kupang

8.3.2. Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Nusa

Tenggara Timur Usaha pembibitan sapi potong tidak hanya dilakukan oleh peternak, tetapi juga ada perusahaan yang turut berinvestasi di bidang perbibitan sapi potong. Salah satu perusahaan yang turut bagian dalam pembibitan sapi adalah PT. Asiabeef. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 2014 dengan nilai investasi sebesar Rp 27,8 milyar (Sumber Media Masa: Mesia Poros

Page 146: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

135

Nusantara, Kupang). Usaha pembibitan sapi potong di perusahaan tersebut menempati luas 978 hektar di Desa Lai Lanjang, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sapi yang dikembangkan di PT. Asiabeef adalah sapi Sumba Ongole. Perusahaan ini melakukan land clearing dilahan yang dijadikan usaha pembibitan. Tenaga ahlinya langsung didatangkan dari Brazil (Carlos) dan diberi tanggung jawab dalam pengelolaan pembibitan sapi Sumba Ongole di lahan tersebut. Rumput yang digunakan untuk lahan grazingnya langsung didatangkan dari Brazil karena tahan terhadap panas. Berdasarkan hasil kunjungan ke PT. Asiabeef pada bulan Oktober 2019, sudah lebih dari 1800 ekor sapi yang dimiliki perusahaan tersebut dari yang asalnya sebanyak 700-an ekor. Sampai saat kunjungan, belum ada penjualan sapi dari pihak perusahaan karena masih fokus pada pembibitan. Rencananya di akhir 2020, direncanakan ada penjualan sapi bakalan Sumba Ongole dengan kriteria berat sesuai yang ditetapkan Pemda NTT, yaitu minimal 350 kg. Gambar berikut adalah kegiatan pembibitan di PT. Asiabeef.

Gambar 39 Pembibitan Sapi Sumba Ongole di PT. Asiabeef,

Kabupaten Sumba Timur

Page 147: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

136

8.4. Subsistem Pengolahan

Rangkaian subsistem ketiga dalam sistem agribisnis adalah subsistem pengolahanm (Gambar 40). Subsistem pengolahan merupakan subsistem yang berperan dalam pengolahan baku (raw material) menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi (ready to use, ready to cook, atau ready to eat). Khusus pada usaha sapi potong, sebelum sapi tersebut bisa dikonsumsi harus melalui proses pemotongan terlebih dahulu.

Subsistem Input

dan Sarana

Produksi:

Hijauan,

Konsentrat,

Keswan dan IB,

Alat dan Mesin,

dan Bibit ternak

Subsistem

Budidaya

Sapi Potong

Subsistem

Pengolahan: Pemotongan sapi di

RPH, Pengolahan

daging menjadi produk-

produk ready to cook

and eat

Subsistem

Pemasaran:

Pemasaran sapi

bakalan dan daging

sapi ke konsumen

Subsistem Lembaga Penunjang:

Lembaga Penelitian, Bank, Pemerintah,

Koperasi, Lembaga Pelatihan, dsb

Gambar 40 Subsistem Pengolahan pada Komoditas Sapi Potong

Subsistem pengolahan yang menjadi bagian dari sistem agribisnis yang terdapat di Provinsi NTT adalah Rumah Pemotongan Hewan dan industri pengolahan daging, baik yang dilakukan oleh skala rumah tangga ataupun swasta. Uraian dari subsistem pengolahan komoditas sapi potong di Nusa Tenggara Timur dijelaskan di bawah ini. 8.4.1. Rumah Potong Hewan di Nusa Tenggara Timur Rumah potong hewan (RPH) atau tempat potong hewan (TPH) adalah fasilitas yang disediakan, baik oleh pemerintah ataupun

Page 148: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

137

swasta, untuk menyediakan pelayanan pemotongan hewan. Fasilitas ini harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan karena akan menghasilkan produk yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Sebelum membahas lebih jauh terkait RPH di Provinsi Nusa Tenggara Timur, alangkah lebih baiknya dikenalkan terlebih dahulu pengertian dari Rumah Potong Hewan. Pemerintah telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk Rumah Potong Hewan dengan Nomor SNI-01-6159-1999. Standar ini harus diikuti oleh setiap pelaku yang akan mendirikan RPH yang sesuai dengan standar Indonesia. Ada beberapa istilah yang sering digunakan di pemotongan hewan. Oleh karena itu, dibawah ini disampaikan beberapa istilah yang diharapkan dapat membantu memahami tentang istilah pemotongan hewan, yaitu: 1. Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan bangunan yang

didisain dan konstruksi khusus serta harus memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu dan digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (SNI No. 01-6159-1999). Adapun berdasarkan kamus Cambridge, yang dimaksud dengan RPH (Slaughterhouse atau Abbatoir) adalah tempat dimana hewan dipotong untuk diambil dagingnya. Berdasarkan FAO dan WHO (1985) yang dikutip oleh Rahayu et.al (2006) disebutkan bahwa RPH merupakan tempat yang ditunjuk dan diakui untuk mengawasi proses pemotongan hewan/ternak yang akan digunakan untuk konsumsi manusia. Definisi lainnya. RPH adalah unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat (SK Menteri Pertanian No. 555/KPts/TN.240/9/1986). Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No. 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa RPH merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.

Page 149: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

138

2. Hewan yang dimaksud adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, burung unta dan hewan lain yang dagingnya lazim dan layak dimakan manusia (SNI No. 01-6159-1999).

3. Karkas adalah seluruh, setengah atau seperempat bagian dari hewan potong yang telah disembelih setelah pemisahan kepala, kaki sampai karpus dan tarsus serta ekor, pengulitan, pada babi pengerokan bulu serta setelah pengeluaran isi rongga perut dan dada (SNI No. 01-6159-1999).

4. Jeroan adalah isi rongga dada dan rongga perut dari hewan potong sehat yang disembelih yang lazim dan layak dimakan manusia (SNI No. 01-6159-1999).

5. Daging adalah bagian-bagian hewan yang disembelih serta lazim dan layak dimakan manusia (SNI No. 01-6159-1999).

6. Daging segar adalah daging yang baru disembelih tanpa mengalami perlakuan apapun. Daging beku adalah daging yang mengalami proses pembekuan pada suhu di bawah -1,5 oC (SNI No. 01-6159-1999).

7. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan, kepala dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang (SNI No. 01-6159-1999).

8. Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat yang bisa dijadikan bukti tertulis yang sah atas terpenuhinya berbagai syarat higiene-sanitasi terhadap jaminan kelayakan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.

Adapun hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam RPH berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 13 tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan

telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.

Page 150: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

139

2. Pemotongan hewan harus dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan atau Tempat Pemotongan Hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.

3. Pemotongan hewan untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan diluar RPH tetapi harus dengan mendapatkan izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya.

4. Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan, pekerja, cara pemeriksaan kesehatan, pelaksanaan pemotongan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan diperundangkan.

Uraian singkat tentang RPH di atas adalah sebagai pengantar untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan pemotongan di RPH. Hal yang sangat penting di RPH adalah menghasilkan produk yang ASUH yang dihasilkan oleh RPH sehingga dapat memberikan kenyamanan kepada konsumen. Fasilitas pelayanan pemotongan ternak atau RPH di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimiliki oleh dua lembaga, yaitu milik pemerintah dan swasta. Salah satu RPH yang dimiliki pemerintah adalah RPH Oeba (Gambar 41). Rumah potong ini terletak di Kota Kupang dan menjadi satu-satunya RPH dengan tingkat pemotongan yang tertinggi di NTT. Jumlah pemotongan sapi perhari antar 40-60 ekor atau 18.250 ekor pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan daging lokal relatif tinggi. Adapun RPH pemerintah lainnya terletak di Kabupaten Sumba Timur yang bernama RPH Waingapu. Jumlah pemotongan sapi perhari sebanyak 2-4 ekor perhari atau 1.095 ekor sapi perhari.

Page 151: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

140

Gambar 41 Proses Pemotongan Sapi di RPH Oeba, Kota Kupang

Hasil kunjungan dan pemantauan pada kedua RPH tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan yang menarik dari survey tersebut, seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Catatan Kunjungan pada RPH Oeba dan

Waingapu di Provinsi NTT

No Catatan

Kunjungan RPH Oeba RPH Waingapu

1 Pelarangan Pemotongan Ternak Sapi Betina

Hampir 90% ternak yang dipotong di RPH ini adalah sapi betina. Pengelola RPH kesulitan melarang sapi betina dipotong karena berbagai faktor, yaitu: para pemotong kesulitan mendapatkan ternak sapi jantan karena sapi-sapi tersebut banyak dikirim keluar NTT dan sapi betina yang dipotong sudah tidak produktif ataupun cacat. Padahal alasan utamanya adalah harga sapi betina jauh

Pada umumnya ternak sapi yang dipotong adalah jantan, namun ada juga ternak sapi betina jika dalam keadaan terpaksa, seperti cacat, kecelakaan, sudah tidak produktif, ataupun kondisi lainnya.

Page 152: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

141

No Catatan

Kunjungan RPH Oeba RPH Waingapu

lebih murah dibandingkan harga sapi jantan

2 Sarana dan prasarana

- Fasilitas air tersedia banyak

- Fasilitas limbah ternak potong, khususnya darah, langsung dialirkan ke sungai tanpa diolah terlebih dulu

- Lantai RPH sudah banyak yang rusak

- Tempat sapi istirahat hanya ditempatkan pada tempat-tempat yang tersedia disekitar Rumah Potongnya, tidak ada tempat khusus sapi istirahat

- Fasilitas air cukup tersedia untuk ukuran pemotongan maksimal 4 ekor perhari

- Fasilitas limbah ternak potong tidak tersedia sehingga banyak tumpukan tulang sapi di sekitar RPH

- Lantai RPH sebagian ada yang rusak

- Tempat sapi istirahat hanya ditempatkan pada tempat-tempat yang tersedia disekitar Rumah Potongnya, tidak ada tempat khusus sapi istirahat

3 Sistem Pemotongan Ternak

- Teknik penjatuhan ternak sapi tidak memperhatikan kesejahteraan hewan

- Pemotongan dilakukan secara tradisional tetapi tidak memperhatikan animal welfare

- Teknik penjatuhan sapi masih memperhatikan kesejahteraan hewan

- Pemotongan dilakukan secara tradisional dan masih memperhatikan animal welfare

4 Pemeriksaan ante dan post mortem

Tidak terlihat pemeriksaan ante dan post mortem

Tidak terlihat pemeriksaan ante dan post mortem

Selain RPH milik pemerintah, ada juga RPH milik pihak swasta yang digunakan sendiri untuk kepentingan usahanya. PT. Sagaru Bahari Oben di Kabupaten Kupang adalah perusahaan

Page 153: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

142

yang memiliki RPH sendiri dan pada tahun 2018 telah memiliki No. NKV RPH: 53030410-004 dengan kategori baik. Dengan demikian, RPH swasta tersebut layak untuk menjalankan operasi RPH untuk kepentingan usahanya. 8.4.2. Usaha-usaha Pengolahan Daging Sapi Sapi-sapi hasil pemotongan di RPH, selanjutnya disebar ke jongko-jongko yang ada di pasar tradisional. Berbagai produk hasil pemotongan daging dapat dikategorisasi sebagai berikut: 1. Daging. Umumnya, daging sapi diolah menjadi bakso,

dendeng sei, ataupun abon. Konsumen daging sapi yang ada di Pulau Timor dan Pulau Sumba didominasi oleh usaha bakso, rumah makan, usaha pengolahan daging tradisional, konsumen rumah tangga, dan konsumen lainnya.

2. Jeroan. Jeroan diolah menjadi makanan siap saji dan konsumen jeroan adalah konsumen rumah tangga, konsumen rumah makan, dan lainnya

3. Kulit dan Tulang. Kulit dan tulang harus diolah lebih lanjut untuk kepentingan usaha berbahan kulit ataupun tulang. Umumnya, produk kulit dan tulang dijual ke luar NTT, seperti ke Pulau Jawa dan Provinsi Sulawesi Selatan.

Para pelaku pengolahan produk asal sapi yang telah dipotong adalah para UMKN, seperti tukang baso, usaha pengolahan daging sapi skala rumah tangga, rumah makan, dan usaha kecil lainnya. Sedangkan dari pihak swasta para pelakunya adalah usaha meat shop (bakso, dendeng sei, abon, daging beku, dan lainnya), usaha gudang pendinginan daging sapi, dan usaha lainnya. Salah satu perusahaan pengolahan daging sapi, yaitu CV Aldia di Kota Kupang sampai dengan tahun 2018 belum lolos mendapatkan No. NKV.

Page 154: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

143

8.5. Subsistem Pemasaran Subsistem pemasaran adalah subsistem ke 4 dalam rangkaian sistem agribisnis (Gambar 42). Subsistem ini menjadi penghubung antara produsen dan konsumen melalui produk yang dijualnya. Peran subsistem ini adalah memasarkan produk dari subsistem input dan sarana produksi, subsistem budidaya, dan subsistem pengolahan.

Subsistem Input

dan Sarana

Produksi:

Hijauan,

Konsentrat,

Keswan dan IB,

Alat dan Mesin,

dan Bibit ternak

Subsistem

Budidaya

Sapi Potong

Subsistem

Pengolahan: Pemotongan sapi di

RPH, Pengolahan

daging menjadi produk-

produk ready to cook

and eat

Subsistem

Pemasaran:

Pemasaran sapi

bakalan dan daging

sapi ke konsumen

Subsistem Lembaga Penunjang:

Lembaga Penelitian, Bank, Pemerintah,

Koperasi, Lembaga Pelatihan, dsb

Gambar 42 Subsistem Pemasaran pada Komoditas Sapi Potong

8.5.1. Potensi Pasar Sapi Potong Potensi pasar sapi potong di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi dua, yaitu pasar domestik dan pasar di luar NTT. Permintaan sapi potong di Nusa Tenggara Timur relatif cukup besar, yatu di atas 68 ribu ekor pemotongan per tahun (Gambar 43). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi menjadi salah satu prioritas konsumsi bagi masyarakat di NTT, selain daging babi dan ikan laut. Sayangnya, 60% - 80% pemotongan sapi untuk skala domestik didominasi oleh sapi betina, padahal pemerintah setempat sudah memasang pemberitahuan di setiap RPH secara tertulis pelarangan

Page 155: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

144

pemotongan ternak betina produktif serta sanksi yang akan diberikan. Akan tetapi, pemberitahuan tersebut tidak menurunkan minat untuk tetap memotong sapi betina dengan berbagai alasan. Apabila kondisi ini terus dibiarkan dapat menjadi kontra produktif terhadap pengembangan sapi potong di NTT karena pabrik sapi potong terus mengalami penurunan. Oleh karena itu, harus ada upaya khusus mencegah banyaknya pemotongan sapi betina produktif secara tegas.

Gambar 43 Pasar Demand Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur

(Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019; BPS Provinsi NTT, 2018)

Adapun potensi pasar kedua adalah pasar sapi potong antar pulau. Sebagai provinsi yang sudah terkenal sebagai lumbung sapi di Indonesia, Provinsi NTT telah sejak lama mengeluarkan sapi potong ke luar NTT, baik untuk keperluan antar provinsi ataupun antar negara. Hal ini menjadi bukti bahwa provinsi ini telah menjadi lumbung sapi nasional. Adapun potensi pasar sapi potong ke luar NTT dapat dilihat pada Gambar 43. Berdasarkan gambar tersebut, jumlah pengeluaran sapi potong dari tahun 2015 – 2018 mengalami

Page 156: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

145

peningkatan. Hal ini menunjukkan minat konsumen di luar Provinsi NTT atas sapi-sapi dari NTT (Sapi Bali dan Sapi Sumba Ongole) cukup besar, baik untuk digemukkan kembali, dibiakan, ataupun untuk keperluan ibadah qurban. Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi Secara umum dapat digambarkan subsistem pemasaran sapi dan daging sapi di Provinsi NTT (Gambar 44). Pada gambar tersebut terlihat pola saluran pemasaran sapi potong dan daging sapi di NTT. Ada dua saluran pemasaran untuk pemasaran sapi potong, sedangkan untuk daging sapi ada tiga saluran pemasaran.

Gambar 44 Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi di

Nusa Tenggara Timur Secara garis besar, saluran tataniaga sapi potong diperuntukkan bagi perdagangan ke luar Provinsi NTT, sedangkan untuk pasar lokal cenderung ke saluran tataniaga

Page 157: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

146

daging sapi. Penjelasan rinci dari Gambar 44 adalah sebagai berikut: 1. Saluran Tataniaga Sapi Hidup. Saluran ini lebih

dikhususkan pada perdagangan sapi hidup untuk kebutuhan luar provinsi. Ada dua saluran tataniaga dalam perdagangan sapi hidup, yaitu saluran 3 tingkat dan 4 tingkat. a. Peternak sapi tidak terlalu kesulitan untuk menjual

sapinya. Para pedagang sapi sudah terdapat disetiap kabupaten/kota. Motif penjualan sapi bagi para peternak lebih dari pada untuk mempertahankan hidup dan sebagai tabungan. Harga sapi Bali dan Sumba Ongole dalam bentuk hidup adalah Rp 29.000 – 30.000/kg perberat hidup, akan tetapi harga tersebut bisa turun jika peternak menjual sapinya dalam kondisi ada kebutuhan mendesak, harga mencapai 26.000 – 28.000/kg/berat hidup.

b. Pedagang kecil, yaitu pedagang sapi tingkat desa atau kecamatan yang memiliki kerjasama secara tidak tertulis dengan pedagang besar di tingkat kabupaten/kota. Para pedagang kecil ini mampu mengumpulkan sapi 2 – 10 ekor sapi bakalan dari peternak yang dibayar dengan tunai. Para pedagang kecil ini membeli sapi dari para peternak dengan cara taksiran. Pembelian sapi dilakukan oleh pedagang kecil ini apabila dapat order dari pedagang besar untuk kiriman ke luar provinsi.

c. Pedagang Besar di NTT merupakan pedagang yang memiliki akses ke pedagang besar di luar Provinsi NTT. Umumnya, mereka masih memiliki hubungan yang kuat dengan para pedagang besar di luar Provinsi NTT karena permodalan dari pedagang besar di NTT dipasok dari pedagang besar di luar NTT. Harga sapi yang diterima di pedagang besar NTT dari penjualan sapi dari pedagang kecil adalah Rp 32.000 – 33.000/kg/berat hidup dengan cara di timbang. Jadi, apabila pedagang kecil tersebut terdapat kesalahan taksiran di tingkat peternak terhadap berat sapi yang

Page 158: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

147

dibeli adalah resiko yang harus ditanggung oleh pedagang kecil tersebut. Para pedagang besar di NTT memiliki asosiasi, yaitu HP2SKI (Himpunan Peternak dan Pedagang Sapi dan Kerbau Indonesia). Para pedagang besar ini harus memiliki perusahaan agar dapat mengajukan kuota ke pemerintah kabupaten/kota karena ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kuota sapi dari pemerintah daerah. Para pedagang besar di NTT ini disebut sebagai perusahaan pengirim sapi oleh pemerintah daerah.

d. Pedagang Besar di luar Provinsi NTT. Pedagang ini merupakan pembeli sapi yang posisinya berada di luar Provinsi NTT. Umumnya, para pedagang ini sebagai pemasok modal bagi para pedagang besar di NTT. Para pedagang besar ini menerima sapi di pelabuhan-pelabuhan tujuan dari kapal tol laut Camara Nusantara (CN). Selanjutnya, sapi-sapi yang dikirim dari NTT tersebut ada yang langsung dijual untuk dipotong dan ada juga yang digemukkan terlebih dahulu sebelum di jual. Harga jual sapi di tingkat pedagang ini adalah Rp 44.000 – 45.000/kg/berat hidup.

e. Pasar Lili adalah pasar hewan di mana para peternak bisa menjual langsung ternak sapi di pasar tersebut. Konsumen yang datang ke pasar hewan tersebut adalah pedagang kecil ataupun pedagang besar.

f. Konsumen atau end users untuk sapi-sapi dari NTT adalah para pedagang daging sapi yang ada di kota-kota besar.

2. Saluran tataniaga daging sapi. Saluran ini sebenarnya mencerminkan perdagangan sapi di tingkat domestik NTT. Apabila dipetakan, ada dua saluran pemasaran yang ada di tataniaga daging sapi, yaitu: a. Saluran satu tingkat adalah di mana pedagang daging

langsung membeli sapi dari peternak dengan cara ditaksir. Umumnya, harga yang diterima para pedagang daging tersebut dalam bentuk sapi hidup adalah Rp 30.000/kg. Kesalahan taksiran dapat berakibat pada hasil daging sapi yang diperoleh. Selanjutnya, sapi yang

Page 159: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

148

dibeli dari peternak tersebut di potong di RPH. Khusus di RPH Oeba Kota Kupang, sapi-sapi yang dipotong kebanyakan sapi betina. Beberapa alasan yang diberikan oleh para pedagang daging tersebut adalah bahwa saat ini kesulitan mendapatkan sapi bakalan karena kebanyakan bakalan dijual ke luar provinsi dan mereka berdalih bahwa sapi betina yang dipotong non produktif sehingga harganya lebih murah, yaitu Rp 27.000 – 28.000/kg/berat hidup. Namun, hasil survey juga memperlihatkan terdapat beberapa sapi produktif yang dipotong di RPH tersebut. Harga jual daging di RPH adalah rata-rata Rp 100.000/kg.

b. Saluran dua tingkat, yaitu para pedagang sapi membeli sapi dari peternak, kemudian menjualnya ke pedagang daging yang langsung di potong di RPH dan selanjutnya daging dari hasil pemotongan di jual di pasar. Biasanya, pedagang daging membeli sapi dari pedagang sapi dengan harga lebih mahal dibandingkan dengan pedagang daging membelinya langsung ke peternak. Di samping itu, ada juga pedagang daging yang membeli sapi di Pasar Hewan, khususnya di pasar hewan Lili di Kabupaten Kupang.

c. Saluran 3 tingkat adalah dari pedagang sapi hidup didistribusikan sapi ke pedagang daging untuk di potong di RPH yang kemudian dagingnya dijual ke industri pengolahan daging, seperti baso, lalu hasil produksi baso dijual ke konsumen.

Tambahan catatan untuk perdagangan sapi hidup, didasarkan pada hasil survey menunjukkan bahwa perdagangan ternak sapi meliputi berbagai macam tipe ternak dan atau periode tumbuh sebagai berikut: 1. Penjualan sapi muda atau bakalan. Umumnya sapi muda

atau bakalan induk atau penggemukkan memiliki mobiltas yang tinggi. Penjuala untuk sapi pada tipe ini dapat dijual kapan saja dan ditukar tambah dengan milik tetangga atau pedagang.

Page 160: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

149

2. Jantan dewasa. Saluran pemasaran untuk sapi jantan bakalan realtfi tidak berubah, yaitu mulai dari peternak, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten/antar pulau seterusnya ke luar NTT. Disamping itu, untuk pasar local (konsumen akhir) umumnya hanya pada hari raya kurban serta untuk kebutuhan seremonial adat, serta pada saat kasus /kondisi tertentu seperti ternak jantan yang cacat maka dipotong RPH lokal.

3. Ternak sapi betina. Pemotongan sapi betina menjadi isu penting di NTT karena sapi betina banyak di potong RPH. Alasan para pelaku memotong sapi betina karena kekurangan ternak jantan. Sapi jantan lebih banyak dipasarkan keluar Provinsi NTT. Para pemotong sapi betina, biasanya mendapatkan sapi betina dari peternak langsung atau dari pasar hewan. Oleh karena itu, pemotongan betina produktif menjadi isu penting di wilayah NTT terutama di Pulau Timor.

Pasar Hewan Lili Salah satu fasilitas peternakan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang, Provinsi NTT adalah pasar hewan. Pasar hewan ini menjadi salah satu pusat pemasaran ternak sapi, kuda, dan kerbau terbesar yang ada di Kabupaten Kupang atau bahkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Para pelaku di pasar hewan ini terdiri dari peternak dan para pelaku perdagangan, seperti pedagang kecil ataupun pedagang besar dan pedagang antar pulau. Berbagai jenis ternak besar yang dijual, baik ternak betina, anak, bakalan, dan jantan sehingga memberikan banyak variasi pilihan kepada para pelaku tataniaga. Hasil survey ke Pasar Hewan Lili menunjukkan bahwa tingkat penjualan sapi di pasar hewan berkisar antara 500 ekor – 700 ekor perhari pada setiap hari pasar, yaitu hari Rabu dan Kamis. Hasil penjualan dari pasar ini dengan berbagai tujuan, yaitu untuk dipotong di RPH, digemukkan, pembiakan, ataupun untuk penjualan ke luar wilayah NTT. Retribusi yang dikenakan

Page 161: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

150

atas fasilitas pemerintah ini adalah Rp 1.000/ekor sapi. Oleh karena itu, pasar hwan ini memberikan sumbangan pendapatan bagi Pemda Kabupaten Kupang. Adapun aktivitas di Pasar Hewan Lili dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 45 Kegiatan di Pasar Hewan Lili, Kabupaten Kupang,

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Pasar Antar Pulau Nusa Tenggara Timur sudah terkenal sebagai suplier sapi hidup ke berbagai provinsi di Indonesia. Sebagai salah satu produsen sapi bagi pulau lainnya, provinsi ini terus meningkatkan populasi ternak Sapi Bali dan Sumba Ongole. Peternak rakyat mendominasi usaha sapi di provinsi ini dan hanya sedikit perusahaan yang bergerak di investasi sapi potong. Didukung dengan sumber daya alam yang memadai, usaha pembibitan sapi yang dikelola oleh para peternak

Page 162: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

151

mampu memberikan kehidupan bagi keluarga peternak. Oleh karena itu, untuk menjaga agar populasi sapi potong di NTT tidak menyusut, pemerintah daerah melakukan pembatasan pengeluaran (kuota) sapi antar pulau. Pemerintah daerah melalui Dinas Peternakan Provinsi NTT melakukan pembatasan pengeluaran sapi perkabupatennya. Dasar penetapan kuota adalah ajuan dari tiap kabupaten/kota yang selanjutnya direkapitulasi di tingkat provinsi. Tiap-tiap perusahaan diberi kesempatan untuk mengajukkan permintaan kuota sapi untuk satu tahun pengiriman. Pengajuan tersebut disampaikan ke Dinas Peternakan atau instansi yang memiliki fungsi di bidang peternakan tiap-tiap kabupaten/kota. Rekomendasi kuota ditetapkan melalui peraturan Gubernur NTT setiap Januari atau Februari. Adapun kuota dan realisasinya untuk pengeluaran sapi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 46 Kuota dan Realisasi Pengeluaran Ternak Sapi Provinsi Nusa Tenggara Timur dari Tahun 2014 – Oktober 2019

(Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019) Pada Gambar 46 diperlihatkan kuota dan realisasi pengeluaran sapi dari tahun 2014 – Oktober 2019. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa hanya di tahun 2015 saja realisasi

Page 163: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

152

pengeluaran sapi melebihi dari kuota yang ditetapkan. Selain itu, jumlah kuota yang disiapkan tiap tahun tersebut tidak mampu dicapai. Persaingan yang ketat antara penjualan sapi lokal dan impor di wilayah-wilayah konsumen, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi titik tolak pengiriman sapi. Khususnya Jawa Barat, wilayah ini merupakan wilayah terbesar penerima sapi asal NTT terutama di musim hari raya qurban.

Adapun pasar sapi potong ke luar Provinsi NTT dari tahun ke tahun realisasi kuotanya cukup meningkat. Pada tahun 2015, realisasi kuota sapi potong untuk permintaan ke luar provinsi adalah 52.811 ekor per tahun, akan tetapi pada tahun 2018 meningkat menjadi 67.454 ekor. Sebenarnya, pada tahun 2018 pemerintah NTT melalui Dinas Peternakan memberikan kuota sebesar 69.850 ribu ekor, namun realisasinya hanya 67 ribuan ekor. Sampai dengan bulan Oktober 2019, realisasi penjualan sapi ke luar provinsi adalah 61.213 ekor dari kuota sebesar 69.650 ekor pertahun (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019). Pada tahun 2015, realisasi penjualan sapi keluar provinsi melebihi dari target yang ditentukan, sedangkan dari tahun 2016-2018 penjualan sapi tidak mampu mencapai kuota yang diberikan. 8.5.2. Fasilitasi Pendukung Distribusi Perdagangan Sapi

antar Pulau Jalur laut merupakan satu-satunya alat transportasi untuk mengangkut sapi pada perdagangan antar pulau. Awalnya, perdagangan sapi antar pulau menggunakan pelayaran rakyat dengan kapal angkut yang terbuat dari kayu. Sapi-sapi dari pelabuhan diangkut melalui tali pengangkat dari kapal rakyat tersebut, kemudian diletakkan di atas kapal. Ada juga pengangkutan sapi dengan cara sapinya direnangkan menuju kapal pengangkut lalu ditarik ke kapal rakyat. Metode-metode tersebut sudah sangat lama digunakan dalam perdagangan sapi antar pulau. Akan tetapi, sejak pemerintah menetapkan

Page 164: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

153

Tol Laut, pemerintah memberikan fasilitas kapal tol laut yang lebih layak dibandingkan dengan pengapalan sapi sebelumnya (Gambar 47).

(1)

(2)

Gambar 47

(1) Tempat Penampungan Sapi di Balai Karantina Tenau dan (2) Tol Laut Cemara Nusantara 3

Sebagai tindak lanjut dari program pemerintah, Pemerintah Pusat memberikan fasilitasi Tol Laut untuk angkutan kapal ternak yang diberi nama Camara Nusantara (CN). Pada tahun 2018, terdapat 5 unit Kapal Ternak Camara Nusantara (CN) yakni : CN1, CN2, CN3, CN5 dan CN6 melayani pemuatan ternak sapi potong dari NTT ke DKI Jakarta, Samarinda dan Banjarmasin, dengan rute pelayaran yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan sebagai berikut : 1. Kapal Ternak CN1: Kupang (Pelabuhan Tenau) –

Waingapu – Tanjung Priok – Cirebon – Kupang (Pelabuhan Tenau), dioperasikan oleh PT. PELNI.

2. Kapal Ternak CN2 : Kupang (Pelabuhan Tenau) – Wini – Atapupu – Tanjung Priok – Kupang (Pelabuhan Tenau), dioperasikan oleh PT. ASDP.

3. Kapal Ternak CN3 : Kupang (Pelabuhan Tenau) – Waingapu – Tanjung Priok – Cirebon – Surabaya – Dumai – Cirebon – Kupang (Pelabuhan Tenau). Dioperasikan oleh PT. PELNI.

Page 165: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

154

4. Kapal Ternak CN5 : Celukan Bawan – Tanjung Priok - Kupang – Wini Atapupu – Samarinda – Celukan Bawang, dioperasikan oleh PT. ASDP.

5. Kapal Ternak CN6 : Bima/Kupang – Waingapu – Tanjung Priok – Bima/Kupang – Banjarmasin – Bima/Kupang, dioperasikan oleh PT. Luas Line Surabaya.

Tabel 18. Pengeluran Sapi Potong dari Beberapa

Pelabuhan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018

No Pelabuhan Pengeluaran Total KalSel KalTeng KalTim Jakarta Banten Jateng NTB Jabar Bengkulu Sumbar SumSel Sulsel

1 Tenau, Kupang 38,379 2,025 3,350 3,240 1,000 28,734 30

2 Wini, Kefa 7,346 6,000 500 846

3 Atapupu, Belu 10,100 9,850 250

4 Waingapu, Sumba Timur 3,781 15 3,766

5 Labuan Bajo 313 70 232 11

6 Reo 3,159 1,427 30 210 1,492

7 Maropokot Nagekeo 3,580 1,375 70 95 2,040

8 Ende 400 280 120

9 Waikelo, Sbd -

10 Sabu Raijua -

11 Ba'a, Rote Ndao 242 242

12 Riung, Ngada 90 90

13 Lembata -

14 Maumere 64 64

Jumlah 67,454 4,897 3,350 19,090 1,262 - 15 70 33,835 - 30 - 4,905

Quota 69,950

Realisasi (% ) 96.43 Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019

Berdasarkan laporan dari Dinas Peternakan Provinsi NTT (2019) bahwa pengeluaran sapi dari beberapa pelabuhan tahun 2018 dan sampai Oktober 2019 dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 48. Pada Tabel 18 diperlihatkan bahwa selama tahun 2018 pengiriman sapi ke luar Provinsi NTT di dominasi oleh Pelabuhan Tenau Kupang yang diikuti oleh Pelabuhan Atapupu, dan Wini. Ketiga pelabuhan ini menjadi pelabuhan yang terbesar pengeluaran sapi dari NTT. Adapun wilayah tujuan dari pengiriman sapi potong dari NTT ada 12 provinsi. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang paling banyak menerima sapi dari NTT, yaitu sebanyak 33.835 ekor dalam tahun 2018. Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah mengikuti

Page 166: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

155

Provinsi Jawa Barat dalam penerimaan sapi dari NTT, yaitu 19.090 ekor, 4.905 ekor, 4.897 ekor, dan 3.350 ekor. Dengan demikian, Jawa Barat adalah provinsi yang terbanyak membutuhkan sapi dari NTT.

Gambar 48 Pengiriman Sapi Perbulan Keluar Provinsi NTT

di Tahun 2018 (Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019)

Apabila dipetakan pengeluaran sapi perbulannya, selama tahun 2018 pengiriman sapi dimulai di bulan Februari sampai dengan Desember 2018 (Gambar 48). Pengiriman sapi terus meningkat dari bulan Februari sampai dengan bulan Juli. Puncak pengiriman terjadi di bulan Juli karena hal ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sapi potong yang berasal dari NTT cukup diminati oleh para pedagang untuk ibadah qurban karena harga relatif lebih murah dibandingkan dengan sapi-sapi yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Madura sehingga margin yang dapat diperoleh oleh para pedagang tersebut lebih besar. Umumnya, para pedagang musiman untuk sapi kurban melakukan pembelian sapi 3 bulan sebelum Hari Raya Idul Adha. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan berat badan sehingga sapi yang dijual memiliki bobot yang maksimal. Di samping itu, para pedagang

Page 167: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

156

melakukan pembelian sapi dari NTT dalam rangka bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Satu hal yang sangat krusial diminatinya sapi dari NTT adalah karena harganya yang lebih murah. Tabel 19. Pengeluran Sapi Melalui Berbagai Pelabuhan di

Nusa Tenggara Timur sampai dengan Oktober 2019

No Pelabuhan Pengeluaran Total Kalsel Kalteng Kaltim DKI Jakarta Banten Jateng NTB Jabar Bengkulu Sumbar Sumsel Sulsel

1 Tenau, Kupang 37,460 8,800 1,400 6,475 700 20,085

2 Wini, Kefa 6,377 5,400 150 827

3 Atapupu, Belu 8,350 7,350 1,000

4 Waingapu, Sumba Timur 2,724 57 2,667

5 Labuan Bajo 1,827 580 660 275 170 142

6 Reo 2,285 830 95 110 1,250

7 Maropokot Nagekeo 1,000 360 640

8 Ende 453 265 188

9 Waikelo, Sumba Barat Daya -

10 Sabu Raijua -

11 Ba'a, Rote Ndao 194 194

12 Riung, Ngada 520 520

13 Lembata -

14 Maumere 23 23

Jumlah 61,213 10,570 1,400 19,225 1,512 275 - - 24,337 - - 110 3,784

Quota 68,650

Realisasi (% ) 89.17 Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019

Selanjutnya, data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT menginformasikan bahwa sampai dengan Oktober 2019, pengeluaran sapi dari NTT ke luar provinsi dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan tabel tersebut jumlah sapi yang keluar baru mencapai 89,17% dari total kuota yang disiapkan oleh pemerintah daerah NTT. Pengiriman sapi ke Jawa Barat tetap mendominasi pengeluaran sapi di NTT karena sampai dengan Oktober 2019 sudah mencapai 34,9% dari total kuota yang disiapkan, disusul oleh Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Umumnya, sapi-sapi yang

Page 168: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

157

dikirim ke Kalimantan Selatan (Kalsel) adalah Sapi Bali karena sapi ini cocok dengan iklim di sana. Di samping itu, sapi Bali memiliki adaptasi yang cepat dengan lingkungannya. Dengan demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan pengiriman sapi tahun 2019 dengan tahun 2018, yaitu memiliki pola pengiriman yang hampir sama. Adapun pengiriman sapi selama tahun 2019 sampai dengan bulan Oktober dapat dilihat pada Gambar 49. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pengiriman untuk edisi kuota 2019 baru dimulai pada bulan Maret. Puncak pengiriman sapi terjadi di bulan Mei 2019. Hampir sama dengan kondisi tahun 2018, pengiriman sapi tersebut dalam rangka persiapan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pola penjualan sapi antar pulau dan provinsi tersebut, umumnya hampir sama setiap tahunnya. Oleh karena itu, para pedagang sapi di NTT mempersiapkan pengadaan sapi untuk hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha jauh-jauh sebelumnya.

Gambar 49

Pengiriman Sapi perbulan sampai dengan Oktober 2019 (Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019)

Page 169: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

158

Jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam pengiriman sapi potong dari NTT ke luar provinsi sebanyak 115 perusahaan di tahun 2018 (Tabel 20). Pada tabel 20, perusahaan-perusahaan diklasifikasikan berdasarkan jumlah angkutan sapinya. Ada sebanyak 15 perusahaan yang mengirim sapi kurang dari 100, sedangkan 59 perusahaan mampu mengirim sapi dari 100 – 500 ekor dan merupakan yang terbanyak. Adapun jumlah perusahaan dengan kapasitas kirim antara 5001 – 1.000 ekor terdapat 15 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan dengan kapasitas angkut antara 1.001 – 1.500 sebanyak 17 perusahaan. Adapun jumlah perusahaan dengan kapasitas kirim > 1.500 ekor terdapat 9 perusahaan. Hanya ada 4 perusahaan dengan kapasitas angkut > 2.000 ekor, yaitu CV. Garuda Indah, CV. Murrimadda, CV. Sinar Pelangi, dan UD. Terobos. UD Terobos adalah satu-satunya perusahaan yang mampu mengirim sapi potong dari NTT dengan jumlah lebih dari 3.000 ekor. Jumlah pengiriman sapi terbesar dari perusahaan ini adalah ke wilayah Jawa Barat. Tabel 20. Jumlah Perusahaan Pengirim Sapi ke Luar

Provinsi NTT

No Jumlah

Sapi yang Dikirim

Jumlah Perusahaan

Keterangan Nama Perusahaan dengan Pengiriman Sapi 2000

ekor ke atas (ekor)

1 < 100 15 CV. Garuda Indah 2.000

2 100 - 500 59 CV. Murrimadda 2.000

3 501 - 1000 15 CV. Sinar Pelangi 2.502

4 1001 - 1500 17 UD. Terobos 3.375

5 1501 - 3375 9

Jumlah 115

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2019

Page 170: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

159

8.6. Subsistem Pendukung Agribisnis Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur

Pengembangan agribisnis berbasis peternakan di Indonesia sudah mengakomodir lokal spesifik dengan menggerakkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha. Kelembagaan menjadi wadah yang penting bagi para pelaku usaha di bidang peternakan untuk pengembangan usahanya. Kelembagaan menjadi sarana bagi anggotanya untuk meningkatkan peran masing-masing di dalam fungsi-fungsi kelembagaan. Istilah kelembagaan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sektor pertanian. Kelembagaan didefinisikan sebagai sistem organisasi dari hubungan sosial yang terwujud dari beberapa nilai umum dan cara dalam menyatukan beberapa kebutuhan dasar masyarakat (Horton, 1964 yang dikutip dari Munandar, 2008). Berdasarkan Arifin (2005), batasan dari kelembagaan mencakup dua demarkasi penting, yaitu: (1) norma dan konvensi (norms and conventions), dan (2) aturan main (rule of the game). Dengan demikian, kelembagaan adalah sebagai wadah berkumpulnya orang-orang untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, dan juga sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan tujuan bersama didasarkan pada norma atau aturan main. Bahkan Esman (1971) yang dikutip Munandar (2008) menyatakan bahwa kelembagaan adalah suatu standar untuk menilai keberhasilan dari usaha-usaha pembangunan lembaga. Adapun kelembagaan agribisnis adalah lembaga-lembaga yang mendukung kegiatan agribisnis yang dimulai dari subsistem input dan sarana produksi, subsistem budidaya, subsistem pengolahan, dan subsistem pemasaran. Misalnya, lembaga pemerintah, koperasi, lermbaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga transportasi, lembaga pemasaran, lembaga sertifikasi, dan sebagainya (Firman dan Tawaf, 2008; Firman, 2009). Kelembagaan peternak adalah organisasi yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri yang didasari atas kesamaan kepentingan di bidang peternakan dan memiliki

Page 171: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

160

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara tertulis (Firman dan Tawaf, 2008). Secara sistem agribisnis, kelembagaan menjadi subsistem ke lima dari sistem agribisnis (Gambar 50). Subsistem kelembagaan ini tidak terdapat didalam definisi Davis dan Golberg sebagai bapak dari agribisnis.

Subsistem Input

dan Sarana

Produksi:

Hijauan,

Konsentrat,

Keswan dan IB,

Alat dan Mesin,

dan Bibit ternak

Subsistem

Budidaya

Sapi Potong

Subsistem

Pengolahan: Pemotongan sapi di

RPH, Pengolahan

daging menjadi produk-

produk ready to cook

and eat

Subsistem

Pemasaran:

Pemasaran sapi

bakalan dan daging

sapi ke konsumen

Subsistem Lembaga Penunjang:

Lembaga Penelitian, Bank, Pemerintah,

Koperasi, Lembaga Pelatihan, dsb

Gambar 50 Subsistem Kelembagaan Agribisnis

8.6.1. Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan

Sapi Potong Pemerintah sebagai lembaga satu-satunya yang memiliki kewenangan yang luas di negara demokrasi ini, memiliki peranan yang cukup besar dalam mengembangkan usaha sapi potong di NTT. Pemerintah Daerah Provinsi NTT berperan di dalam mengatur stabilitasi sumber daya yang dimiliki NTT melalui regulasi-regulasi, seperti halnya pada komoditas sapi potong. Di awal bagian agribisnis sapi potong di NTT telah diuraikan apa dan bagaimana peran pemerintah NTT di dalam mengatur dan mengembangkan sapi potong di NTT. Pengadaan bibit sapi unggul, khususnya sapi Bali dan Sumba Ongole menjadi

Page 172: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

161

bagian yang tidak terpisahkan dari tugas dan fungsi Dinas Peternakan Provinsi NTT karena pengadaan bibit yang nantinya diintrodusir ke para peternak dapat menurunkan tingkat in-breeding pada kedua jenis sapi tersebut. Meningkatkan akses para peternak ke mitra dagang serta ke perbankan juga menjadi bagian dari tugas pemerintah daerah. Fasilitas kemitraan antara para peternak dengan mitra dagang sapi dapat memberi kepastian pasar bagi peternak atas sapi potong yang mereka pelihara. Adapun fasilitas akses ke perbankan adalah untuk memberikan penguatan modal melalui pinjaman lunak dari pemerintah berupa program Kredit Usaha Rakyat (KUR). 8.6.2. Peran Koperasi Dalam Pengembangan Sapi Potong Peran koperasi di dalam pengembangan sapi potong telah dilakukan oleh Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Provinsi Nusa Tenggara Timur. PUSKUD merupakan koperasi sekunder yang memilki unit usaha yang salah satunya adalah bidang peternakan. Bidang peternakan telah dimulai sejak awal didirikannya dan mulai diselenggarakan secara efektif pada tahun 1987. Berdasarkan hasil diskusi dengan Sekretaris PUSKUD NTT dijelaskan bahwa sejak tahun 1987 hingga 2001, PUSKUD lebih banyak melakukan perdagangan sapi potong dibandingkan dengan usaha budidyanya. PUSKUD juga telah mencoba melakujkan penjajagan kerjasama dengan para peternak, namun bentuk kemitraan belum mapan dan usaha petenakan sapi potong belum efektif. Pada tahun 2002, PUSKUD mulai mengembangakan pola kemitraan yang lebih strategis dengan peternak. Kerjasama yang dilakukan dengan peternak mengarah pada pola contract farming dengan tujuan usahanya adalah usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong, khususnya dengan peternak yang ada di Pulau Timor (meliputi beberapa kabupaten/kota, seperti Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah

Page 173: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

162

Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan sebagainya). Sejarah berkembangnya pola kemitraan secara formal di NTT ini merupakan respon dari lepasnya Provinsi Timor Timur menjadi sebuah Negara di tahun 1999. Respon tersebut dilakukan dengan berusaha memberdayakan petani di Daratan Timor agar terjadi peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan adanya peningkatan pendapatan untuk masyarakat maka diharapkan dapat mengurangi kemiskinan khususnya rumah tangga petani. “Kita berfikir bahwa akan terjadi ketimpangan antara Timor Leste dan Timor Barat. Hal tersebut yang mendasari mulai dari tahun 2002, kita melakukan kerjasama, awalnya dengan petani kemudian petani tersebut kita fasilitasi untuk membentuk koperasi sehingga otomatis anggota-anggota yang menjadi binaan kami adalah anggota koperasi, dan koperasi tersebut adalah anggota PUSKUD.” (Wawancara dengan Sekretaris PUSKUD NTT, 2019) Pola kerjasama yang dibangun diantaranya adalah dengan memberikan Sapi Bali bakalan yang kemudian dipelihara petani untuk digemukkan selama beberapa bulan. Standar yang ditetapkan oleh PUSKUD sebagai inti adalah pada saat berat sapi sudah mencapai 275 kg, sapi tersebut akan dijual ke PUSKUD karena juga bertindak sebagai off-taker bagi peternak. Peran yang dilakukan PUSKUD adalah menjamin bahwa sapi potong yang dipelihara peternak akan terjual dan peternak akan mendapatkan pendapatan pada saat waktu yang sudah ditetapkan. Pola kemitraan yang dibangun oleh PUSKUD sebenarnya tidak hanya diterapkan pada usaha penggemukan saja. Model kemitraan tersebut juga diterapkan pada usaha pembibitan. Namun demikian, pada usaha pembibitan belum memiliki jaminan keberlanjutan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik usaha pembibitan membutuhkan investasi jangka panjang dan turn-over rate-nya cukup lama sehingga kebuthan modal sangat tinggi. Kebutuhan akan modal ini tidak didukung oleh

Page 174: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

163

lembaga keuangan karena resiko usaha pembibitan sangat tinggi. PUSKUD berpendapat bahwa: “… usaha pembibitan sebenarnya harus dikerjakan oleh pemerintah karena turnover-nya terlalu panjang, sehingga kita lebih fokus kepada penggemukan saja.” (Wawancara dengan Sekretaris PUSKUD NTT, 2019) Model kemitraan antara PUSKUD dan Peternak merupakan salah satu model kemitraan di NTT yang telah menerapkan kontrak secara formal dengan peternak sapi potong. Isi kontrak mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Secara umum pihak peternak berkewajiban untuk memelihara dengan baik, menyediakan lahan hijauan, perkandangan, dan menginformasikan jika terjadi sesuatu pada ternak seperti sakit atau mati. Pihak inti yaitu PUSKUD berkewajiban untuk menyediakan bakalan sesuai kebutuhan peternak, pendampingan teknis budidaya, dan menyediakan pasar untuk hasil panen ketika bobot sapi telah mencapai minimal 275 kg. Pada pola kemitraan ini, calon plasma yang mengajukan diri untuk bermitra dengan inti harus mengajukan aplikasi dengan persyaratan memiliki lahan untuk pakan dan kandang. Selanjutnya calon plasma akan diseleksi oleh PUSKUD sebagai inti khususnya terkait dengan sumberdaya lahan yang dimiliki, perkandangan, dan rekam jejak pada pemeliharan sapi potong. Setelah calon plasma terpilih sebagai plasma maka tahapan selanjutnya adalah pemilihan sapi bakalan yang nanti siap dipelihara oleh plasma. Sapi bakalan yang siap digemukkan didapatkan dari pasar hewan lokal di Kota Kupang. Para peternak sebagai calon plasma bersama dengan pihak inti secara bersama-sama memilih calon bakalan di pasar hewan sesuai dengan standar bakalan. Selain itu, sapi bakalan juga bisa didapatkan dari peternak yang ingin menjual sapi bakalan kepada PUSKUD. Standar sapi bakalan yang akan dipelihara sangat bervariasi. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan sapi bakalan di

Page 175: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

164

pasaran yang saat ini ketersediannya sangat terbatas. Pihak inti dan plasma bersepakat bahwa sapi bakalan yang akan dipelihara memiliki bobot badan antara 140 kg hingga 200 kg. Berat badan sapi bakalan ditimbang dan dicatat sebagai bobot badan awal yang tercantum di dalam kontrak antara inti dan plasma. Proses penimbangan disaksikan oleh para pengurus koperasi primer dan dilakukan secara terbuka sehingga kedua belah pihak mengetahui. Bobot badan awal untuk sapi bakalan tersebut akan mempengaruhi lama pemeliharaan. Hal ini harus dipahami oleh kedua belah pihak sebab standar penjualan oleh off-taker adalah 275 kg berat hidup. Akibatnya, semakin rendah bobot badan sapi bakalan maka cenderung semakin lama dipelihara oleh peternak. Lama pemeliharaan tentu saja juga berdampak pada meningkatnya kebutuhan input-input lain seperti pendampingan teknis, pakan, obat-obatan hingga tantangan iklim yang sangat ekstrem di NTT. Kondisi iklim dan cuaca di NTT yang sangat esktrim khususnya terkait pada ketersediaan air dan hijauan menjadi tantangan yang sangat serius dalam mengembangkan pola kemitraan yang berkelanjutan. “… berat 200 kg sekitar 6 bulan, 120 kg sekitar 1 sampai 2 tahun, berarti total pemeliharaan per petani 6 bulan sampai 2 tahun.” (Wawancara dengan PUSKUD, 2019) Pengalaman yang dilakukan oleh PUSKUD selaku inti dalam pola kemitraan ini mengundang ketertarikan lembaga keuangan baik nasional maupun internasional untuk mendanai model kemitraan ini. Salah pemodal untuk usaha penggemukan sapi potong ini adalah National Cooperative Business Association (NCBA) dari Amerika Serikat yang tertarik mendanai proyek yang dilakukan PUSKUD NTT tersebut. Namun demikian, lembaga keuangan dalam konteks pola kemitraan ini lebih banyak berhubungan dengan PUSKUD selaku inti belum berhubungan dengan peternak. Dukungan lembaga keuangan kepada peternak diperlukan dalam

Page 176: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

165

kaitannya dengan penyediaan input selama proses pemeliharaan. Gambar 51 menunjukkan bahwa peran PUSKUD belum menjadi avalist bagi peternak karena lembaga keuangan masih terbatas berhubungan dengan inti. Peran PUSKUD sebagai inti akan sangat bergantung pada dukungan lembaga keuangan. Jika tidak ada dukungan dari lembaga keuangan maka contract farming tidak akan berjalan dengan baik. Inti akan mengalami keterbatasan modal dan berdampak pada peternak yang tidak akan lagi mendapatkan akses pasar dari PUSKUD.

Gambar 51 Pola Kemitraan PUSKUD dan Peternak

(Sumber: Priyono dan Priyatno, 2018) Saat ini, pola kemitraan usaha peternakan sapi potong tidak hanya terbatas pada sebatas contract farming antara PUSKUD dan peternak. Desain kemitraan telah berkembang secara kelembagaan koperasi yang terstruktur dari PUSKUD, KUD dan Koperasi Peternak (KOPNAK). Struktur kelembagaan koperasi ini terus berkembang salah satunya dengan adanya pola kemitraan usaha sapi potong sejak tahun 2002. Model contract farming yang diterapkan oleh PUSKUD kemudian menjadi aktivitas utama dalam kerangka koperasi. Dengan demikian proses budidaya tidak saja hanya menjamin pasar

Page 177: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

166

bagi peternak, tetapi juga menjamin kualitas produk bagi aktor di rantai pasokan. PUSKUD saat ini memiliki anggota sejumlah 79 koperasi primer yang berupa KUD dan KOPNAK. Perkembangan KOPNAK cukup pesat dengan adanya program contract farming tersebut. “Yang memelihara sapi kami arahkan untuk membentuk koperasi peternakan yang sampai dengan hari ini ada 45 koperasi peternakan yang tersebar di Daratan Timor dan ada juga di Flores. Dari 45 koperasi, 44 nya ada di Pulau Timor (Tidak termasuk kota kupang). Sejak tahun 2002, kami sudah memberikan mitra kepada petani, kumulatifnya sudah sekitar 59.000 ekor.” (Wawancara dengan PUSKUD, 2019) Hasil diskusi dengan Sekretaris PUSKUS NTT di tahun 2019 tersebut juga menyebutkan bahwa jumlah peternak yang bermitra sapi potong dengan PUSKUD tinggal sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. NCBA yang telah bekerjasama dengan PUSKUD NTT sejak

tahun 1992 – 2005 berdampak pada pengurangan modal kerjasama, padahal modal dari NCBA bisa untuk mendanai input produksi kepada peternak

2. Tidak adanya kepastian kuota sapi yang diberikan pihak Dinas Peternakan Provinsi NTT padahal kuota sapi ini bisa memberikan kepastian adanya jaminan pasar bagi PUSKUD untuk menjual sapi hasil penggemukan oleh peternak.

3. Ada beberapa miss-management di dalam pengelolaan kemitraan

8.6.3. Peran Asosiasi Pedagang Sapi Potong Bagi

Pengembangan Sapi Potong Peran kelembagaan atau asosiasi para pedagang sapi sangat menguntungkan bagi para peternak. Asosiasi para pedagang sapi tersebut diberi nama Himpunan Peternak dan Pedagang

Page 178: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

167

Sapi dan Kerbau Indonesia (HP2SKI). Kelembagaan ini sudah sejak lama bekerjasama dengan para peternak. Masing-masing anggota dan HP2SKI memiliki mitranya masing-masing dengan para peternak mitranya. Kemitraan peternak dengan para anggota HP2SKI telah berlangsung cukup lama, bahkan tidak ada kontrak tertulis. Kontrak yang mereka bangun adalah kontrak kepercayaan satu sama lainnya. Salah satu keterikatan antara peternak dengan para pedagang adalah peternak dapat meminjam uang kepada mitra pedagang tersebut dan dibayar setelah sapinya dijual kepada pedagang dengan mengurangi hutang yang peternak pinjam. Hasil diskusi dengan ketua dan anggota HP2SKI yang ada di Pulau Timor dan Sumba pada tahun 2019, ada beberapa catatan penting sebagai berikut: 1. Kemitraan peternak sapi dengan HP2SKI telah berlangsung

dan sampai saat ini tidak ada masalah. Permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah

2. Kemitraan yang dibangun atas dasar kepercayaan, tidak ada kontrak tertulis yang dituangkan di antara mereka.

3. Peraturan daerah menetapkan bahwa sapi Bali yang dapat dijual adalah 275 kg ke atas dan sapi Sumba Ongole 375 kg ke atas, namun saat ini para pedagang sapi sangat kesulitan untuk mendapatkan berat sapi dengan kriteria tersebut. Salah satu faktornya adalah kemungkinan sudah terjadinya in-breeding di antara kelompok sapi-sapi tersebut.

5. HP2SKI sangat keberatan terhadap Peraturan Gubernur No. 78 Tahun 2019 tentang Pengendalian Terhadap Pemasukan, Pengeluaran Dan Peredaran Ternak, Produk Hewan Dan Hasil Ikutannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur terutama pasal yang menyebutkan bahwa Pengusaha Besar Pengirim Ternak Besar harus:

memiliki Ranch dengan luasan lahan paling rendah 50 Ha (lima puluh hektar);

Page 179: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

168

memiliki kandang dengan kapasitas tampung sampai dengan 1.000 (seribu) ekor;

menyiapkan fasilitas pemeriksaan kesehatan hewan dan

tenaga kesehatan hewan;

memiliki indukan betina produktif paling rendah 10 (sepuluh) persen dari total Ternak Besar Potong yang dikeluarkan; dan

menggunakan tenaga kerja yang berasal dari Daerah. Kesulitan atas pasal tersebut karena tidak setiap anggota HP2SKI memiliki lahan seluas yang diminta dan juga memiliki dana yang besar untuk membangun kandang dengan kapasitas 1000 ekor. Oleh karena itu, mereka mengharapkan adanya audensi antara himpunan dengan pemerintah atas Pergub tersebut.

8.6.4. Peran Perbankan dalam Pengembangan Sapi

Potong Sektor pertanian masih menjadi tumpuan pembangunan bagi Indonesia. Akan tetapi, perkembangan di sektor ini tidak mengalami peningkatan yang berarti karena skala usaha kecil, kepemilikan lahan terbatas (khususnya di Pulau Jawa), dan banyaknya petani gurem yang mengelola usaha pertanian. Dari tahun ke tahun pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk sektor pertanian, salah satunya adalah program kredit pertanian. Lemahnya permodalan menjadi salah satu kendala di sektor ini. Untuk mengatasi hal tersebut, selama lebih dari empat dekade pemerintah telah memberikan bantuan permodalan pertanian dengan berbagai skim, seperti bantuan bergulir, penguatan modal, subsidi bunga, ataupun program yang mengarah pada kredit komersial. Hasil dari program tersebut ada yang berhasil ada pula yang tidak berhasil. Kecenderungan dari berbagai hasil penelitian menunjukkan hanya kurang dari 10% petani yang berhasil memanfaat program pemerintah tersebut, selebihnya gagal. Banyak faktor

Page 180: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

169

yang menyebabkan terjadinya kegagalan tersebut, salah satunya adalah masih kuatnya ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah sehingga bantuan modal pinjaman pun masih dianggap sebagai bantuan, padahal modal pinjaman tersebut harus dikembalikan. Akar pemasalahan dari pembiayaan kredit adalah apakah sudah tepat memberikan kredit pertanian dengan sistem perbankan pada petani gurem. Jika ditinjau dari tingkatan petani, sebenarnya ada tiga posisi petani yang bisa dikelompokkan, yaitu: 1. Petani Gurem adalah petani dengan status sebagai buruh

ataupun kepemilikan lahan terbatas 2. Petani Setengah Komersil, yaitu para petani yang telah

mampu menghidupi keluarganya dari hasil budidaya pertanian

3. Petani Komersil adalah para petani yang telah mampu menjual hasil usaha pertanian dalam skala besar.

Berdasarkan hal tersebut, maka para petani gurem seharusnya jangan dipaksa untuk mengikuti program kredit komersial karena petani ini tidak memiliki aset ataupun kemampuan untuk membayar cicilan, bahkan untuk hidupnya nya pun masih berada di rentang kemiskinan. Oleh karena itu, tipe petani ini masih menjadi ranahnya pemerintah untuk dibina dan difasilitasi untuk meningkatkan level usahanya. Sedangkan petani setengah komersil dan komersil dapat difasilitasi dengan program kredit dari pemerintah karena mereka memiliki kemampuan untuk membayar cicilan kredit dari hasil usahataninya. Modal usahatani dibagi atas dua, yaitu modal sendiri dan modal pinjaman. Modal pinjaman bisa dari berbagai sumber, seperti keluarga, tetangga, teman, rentenir, ataupun lembaga finansial. Dengan adanya peminjaman tersebut, maka akan ada transaksi dan perjanjian hutang piutang antara peminjam dan kreditor. Hal ini senada dengan pengertian kredit menurut Undang-undang No. 10/1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

Page 181: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

170

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dengan demikian, pembiayaan menjadi salah satu alternatif dalam membiayai operasional suatu kegiatan disamping modal sendiri. Ada tiga komponen penting dalam pembiayaan, yaitu peminjam, pemberi pinjaman, dan uang atau barang yang dipinjamkan. Peminjam dan pemberi pinjaman bisa dilakukan secara individu, kelompok ataupun institusi. Peminjam adalah orang atau kelompok ataupun institusi yang memerlukan pembiayaan untuk membiayai berbagai kegiatan mereka, sedangkan yang memberi pinjaman adalah orang atau kelompok ataupun institusi yang memberikan bantuan pinjaman modal dengan imbalan jasa dan waktu yang ditetapkan. Kehadiran pasar uang dan lembaga keuangan adalah untuk mengurangi friksi pasar yang disebabkan terjadi informasi yang asimetris dan biaya transaksi (Beck and Kunt, 2008). Beberapa teori menegaskan bahwa kegiatan pembiayaan sebagai penghambat pembangunan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa model menunjukkan bahwa kegiatan finansial tidak menyentuh masyarakat miskin yang juga menghasilkan ketidakmerataan pendapatan (Banerjee and Newman, 1993). Kebanyakan ahli ekonomi pembangunan mengatakan bahwa friksi keuangan itu lebih disebabkan karena fokus pada redistribusi fiskal untuk mengurangi ketidakmerataan pendapatan dan pertumbuhan. Sedangkan kekurangan akses terhadap keuangan mempunyai dampak berlanjut atas ketidakmerataan pendapatan, yakni mempunyai dampak negatif terhadap insentif untuk menabung dan kerja (Beck and Kunt, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beck, Demirguc-Kunt and Levine (2007) memperlihatkan bahwa negara-negara yang pengembangan sistem keuangannya lebih baik dapat mempercepat peningkatan distribusi pendapatan

Page 182: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

171

terhadap masyarakat miskin dan mengurani ketidakmerataan pendapatan, diukur melalui gini rasio dari tahun 1960 – 2005. Hal ini berarti bahwa lembaga keuangan mempunyai peran di dalam pembangunan ekonomi nasional. Selama tahun 1960 – 1970, Bank Dunia mencatat bahwa proyek-proyek pendanaan multirateral ataupun bilateral di perdesaan umumnya didukung oleh kredit untuk pengembangan pertanian (World Bank, 2003). Walaupun intervensi ini bisa memperbaiki produksi pertanian dalam jangka pendek, tetapi menyebabkan tingginya biaya terutama tidak bekerlanjutan dalam jangka panjang dan gagal dalam mencapai kebanyakan petani. Akan tetapi, di tahun 1980-an membuktikan beberapa contoh bantuan pendanaan yang sukses dengan merestrukturisasi bank untuk pendanaan pertanian melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Perdesaan, seperti di Indonesia dan Thailand berdasarkan jumlah klien dan keuntungan (Committee of Donor Agencies 1995). Pada saat yang bersamaan, para donor membantu untuk memperbaiki lembaga keuangan mikro dan kondisi kebijakan untuk LKM melalui program secara struktural dan mendukung pertumbuhan NGO, lembaga simpan pinjam, dan LKM lainnya untuk mencapai perbaikan secara substansial dalam konteks capaian jangka panjang dan kemandirian. Dengan demikian, Bank Dunia dan donor lainnya telah mendukung sistem perbaikan keuangan khususnya pendanaan bagi sektor pertanian di perdesaan melalui LKM. Lembaga keuangan mikro inilah yang membantu petani di desa yang memerlukan modal usaha dalam skala kecil. Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya (lebih dari 40 juta) bermatapencaharian di bidang pertanian, menjadi hal yang sangat strategis untuk mendorong sektor pertanian menjadi sektor unggulan dan menjadi penopang hidup bagi kebanyakan petani di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan pembiayaan pertanian melalui subsidi dan program pembiayaan yang

Page 183: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

172

mudah di akses oleh petani. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, kebijakan intervensi pemerintah dalam kegiatan pertanian melalui berbagai program pertanian, termasuk pembiayaan, seringkali banyak yang tidak berhasil. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) program tidak sesuai dengan kondisi petani ataupun kelompok tani, (2) program dilakukan secara top down dan dilaksanakan secara luas dan tidak memperhatikan karakteristik wilayah, (3) program hanya berjalan sampai kegiatan proyek tersebut selesai, dan tidak berkelanjutan. Dampak lainnya adalah semakin tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap program, bukan mendorong mereka untuk lebih mandiri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang baik akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah (Nurmanaf, 2007). Tindakan ini mengakibatkan beberapa hal sebagai berikut: (1) melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat dalam pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian; (2) melemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan; dan (3) menciptakan kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok masyarakat lainnya (Sudaryanto dan Syukur, 2000; Syukur et al., 2003; dan Syukur dan Windarti, 2001). Hal ini membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya. Sebenarnya, intervensi pemerintah melalui program-program pertanian tidak semuanya mengalami kegagalan, namun ada juga yang berhasil dilakukan. Banyak kelompok-kelompok pertanian yang sukses melaksanakan program pertanian pemerintah. Kesuksesan mereka terletak pada kesungguhan mereka melaksanakan kegiatan dan program yang diintrodusir

Page 184: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

173

pemerintah sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan demikian, semakin jelas bahwa program-program yang dirancang oleh pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: (1) kebutuhan apa yang diperlukan masyarakat; (2) lokalitas atau spesifikasi wilayah; (3) sharing pendanaan antara pemerintah dan petani/kelompok tani; dan (4) norma-norma yang terdapat di masyarakat pertanian di suatu wilayah. Hal ini ditujukkan agar program yang dilakukan pemerintah bisa berlangsung secara berkelanjutan (sustainable) walaupun umur program tersebut telah habis. Lebih jauh lagi, program-program pertanian yang dilakukan pemerintah bisa meningkatkan pendapatan bagi rumah tangga pertanian. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat dua jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan di wilayah pedesaan (Syukur et al., 2003), yaitu pasar pembiayaan formal dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal (khususnya untuk kegiatan non program) beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial dan dilayani oleh lembaga formal. Beberapa contoh lembaga pembiayaan formal, baik skala besar ataupun kecil seperti Bank BRI, BNI, BCA, Bank Mandiri, bank-bank Syariah (Bank Muamalat, Bank Mandiri Syariah, dan sebagainya) Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Lembaga pembiayaan informal juga beroperasi dalam perekonomian masyarakat termasuk masyarakat pertanian. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) termasuk lembaga pembiayaan informal merupakan langkah yang tepat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pengembangan ekonomi rakyat (World Bank, 2003). Sebagai penyedia dana bagi petani, lembaga informal dinilai sangat fleksibel dan relatif mudah diakses karena tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit seperti halnya

Page 185: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

174

lembaga pembiayaan formal. Beberapa contoh LKM yang bergerak di masyarakat pertanian adalah koperasi, rentenir, pengijon, para pedagang di sektor input pertanian atau pedagang di sektor output, dan sebagainya. Selain itu apa yang telah diuraikan di atas, masih banyak lagi program-program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian di pedesaan yang telah diimplementasikan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, perguruan tinggi, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam pelaksanaan program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yang dihadapi terutama penyediaan jaminan oleh peminjam yang lebih banyak disyaratkan oleh lembaga keuangan formal, rendahnya akses petani terhadap lembaga keuangan formal karena ketakutan kehilangan aset lahan, kekhawatiran akan terlilit hutang, dan banyak lagi. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis di Indonesia. Meskipun perannya yang cukup strategis, sektor pertanian masih menghadapi beberapa kendala, salah satunya adalah keterbatasan permodalan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya. Kebutuhan modal pertanian akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya skala usaha dan melonjaknya harga input pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja. Dengan kondisi tersebut, maka lembaga pembiayaan mempunyai peran strategis di dalam membantu meningkatkan modal pertanian. Bank Dunia telah melakukan pengembangan strategi baru untuk perdesaan melalui perluasan akses masyarakat miskin terhadap lembaga keuangan dan pengembangan aneka ragam produk-produk pertanian. Peningkatan akses terhadap lembaga keuangan dan pengembangan variasi produk ditujukkan untuk peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, khususnya petani (World Bank, 2007). Khusus pembiayaan pertanian, Bank Dunia memfokuskan pengembangan pada kemudahan persyaratan jasa keuangan,

Page 186: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

175

efisiensi, perkembangan lembaga keuangan dan produk-produknya, dan pengembangan investasi infrastruktur sosial dan ekonomi. Jadi jelas bahwa tujuan dari pengembangan keuangan di perdesaan adalah mendorong masyarakat miskin bisa mengakses lembaga keuangan, khususnya petani, dalam memperoleh pembiayaan. Akan tetapi, konsep ini bisa menjadi perangkap bagi orang miskin atau petani skala kecil yang mendapatkan pembiayaan dari lembaga perbankan. Maksudnya, jika petani tidak mampu membayar hutang pinjaman, maka aset lahan yang menjadi salah satu aset bagi petani akan tergadaikan. Walaupun demikian, pembiayaan pertanian menjadi salah satu opsi untuk mendorong operasionalisasi produksi pertanian di perdesaan. Modal bagi petani menjadi salah satu faktor produksi penting dalam usahataninya sehingga mereka bisa membeli input dan sarana produksi untuk aktivitas usahanya. Berbagai studi literatur menunjukkan bahwa petani mempunyai akses yang lemah atau keterbatasan terhadap lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan informal. Selama ini, petani dalam mengelola usahataninya lebih memanfaatkan modal sendiri, atau keluarganya, atau para pelepas uang dengan modal tinggi tapi mudah mengaksesnya. Di samping itu, petani yang berlahan luas lebih mudah mengakses lembaga keuangan baik formal mauupun informal dibandingkan petani dengan luas lahan yang sempit. Hal ini terkait dengan kepemilikan aset lahan, di mana para pemberi pinjaman (lender) lebih menyukai petani yang berlahan luas karena ada jaminan lahan jika petani tidak mampu mengembalikan pinjaman. Oleh karena itu, jika petani sulit mendapatkan permodalan, maka pengelolaan usahatani pun akan mendapatkan kesulitan. Dengan demikian, modal menjadi salah satu faktor penting dalam usahatani. Saat ini, petani dapat mengakses permodalan dalam beberapa skema penyaluran kredit, baik program pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah, kerjasama pemerintah dengan perbankan, perbankan, dan lembaga keuangan informal.

Page 187: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

176

Skema penyaluran kredit ini diupayakan agar petani bisa memilih sistem kredit yang sesuai dengan kemampuannya. Berbagai kendala dan hambatan yang dihadapi petani dalam mengakses pembiayaan pada lembaga keuangan komersil, yaitu (Ratnawati, 2009):

1. Permasalahan collateral (jaminan) sebagai salah satu persyaratan peminjaman di bank komersil.

2. Kurang pemahaman atas persyaratan administrasi perbankan

3. Tingginya biaya transaksi dan cara pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang bersifat musiman.

Secara umum, perbankan komersial bisa menyalurkan kredit permodalan kepada petani. Akan tetapi, dalam penyaluran kreditnya selalu mengalami distorsi sebagai akibat dari asymetric information. Pihak perbankan komersial lebih cenderung memilih peminjam yang mempunyai aset yang lebih baik karena pihak perbankan menerapkan sistem kehati-hatian (prudent) guna mengurangi resiko kegagalan. Oleh karena itu, kondisi inilah yang menyebabkan kurang optimalnya penyaluran kredit oleh perbankan di sektor pertanian walaupun pemerintah telah memberikan subsidi bunga pada kredit pertanian. Kredit Usaha Rakyat merupakan program pembiayaan yang telah menjadi satu-satunya program pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Program ini dipilih sebagai benchmark karena keberhasilannya di dalam mengelola pembiayaan yang di program oleh pemerintah. Oleh karena itu, beberapa program pembiayaan pemerintah yang hampir bersamaan munculnya, yaitu pada tahun 2007 dilebur menjadi satu program pembiayaan, yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) di tahun 2015. Pada bagian ini dijelaskan beberapa hasil kajian yang berkaitan dengan kinerja kredit KUR dari berbagai sudut

Page 188: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

177

pandang kajian masing-masing. Adapun hasil-hasil studi adalah sebagai berikut: 1. Kategori KUR Lama. Penelitian yang dilakukan oleh

Anggraeni (2013) atas peranan kredit usaha rakyat (kur) bagi pengembangan umkm di kota medan (studi kasus Bank BRI) menunjukkan hasil bahwa penambahan modal KUR berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan usaha. Adapun faktor-faktor yang mendorong untuk mengambil kredit KUR, yaitu: a. Disarankan teman/keluarga sebanyak 20 orang

(29.85%) b. Suku bunga kredit lebih rendah sebanyak 25 orang

(37.31%) c. Administrasinya mudah sebanyak 12 orang (17.91%) d. Jangka waktu pelunasan lebih lama sebanyak 5 orang

(7.46%) e. Pelayanan yang baik sebanyak 5 orang (7.46%)

2. Kategori KUR Baru. Penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2017) mengenai Efektivitas Penyaluran KUR dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Kinerja Usaha Mikro Kecil (kasus BRI Kelurahan Jatimulyo). Hasil penelitian menunjukkan penyaluran KUR di wilayah tersebut telah dilakukan secara efektif yang diukur dari aspek ketepatan sasaran, ketepatan waktu pencairan, ketepatan jumlah kredit, ketepatan beban kredit, dan ketepatan prosedur.

3. Kategori KUR Lama. Penelitian yang dilakukan oleh Deckyanto (2013) di Kabupaten Madiun dimana lembaga perbankannya adalah BRI. Fokus penelitian adalah efektivitas kebijakan pemberian KUR Mikro oleh pemerintah. Kebijakan perubahan yang terjadi pada KUR belum serta merta sampai kepada pelaku UMKN yang menjadi nasabah bank karena tidak semua nasabah dapat mengakses atau mendapatkan informasi perubahan atas kebijakan KUR. Hambatan non teknis yang terjadi pada pembiayaan KUR Mikro adalah (1) debitur tidak memberikan informasi yang benar dan terperinci tentang keadaan usahanya; (2) calon nasabah terkadang mengalokasikan kredit tersebut semuanya untuk

Page 189: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

178

kepentingan usahanya tetapi terkadang juga digunakan untuk hal lain dan hal inilah yang memicu terjadinya kredit macet (3) debitur perorangan menggunakan kredit tidak sesuai dengan tujuan yang diajukan dalam permohonan kredit (4) kesalahan pengelolaan usaha debitur (5) kesalahan pemasaran, kesalahan strategi usaha pemasaran debitur/nasabah (6) lemahnya pengawasan keuangan debitur, debitur perorangan seringkali tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan pengeluarannya.

4. Kategori KUR Lama. Penelitian yang dilakukan oleh Marantika (2013) mengenai Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelancaran Pengembalian Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro yang dilaksanakan di BRI Kabupaten Sukoharjo Proviinsi Jawa Tengah. Hasil pengolahan data menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa faktor jumlah tanggungan keluarga dan omzet usaha yang berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian KUR Mikro. Sedangkan variabel usia, tingkat pendidikan, jumlah pinjaman, dan pengalaman usaha tidak berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian KUR Mikro.

5. Kategori KUR Lama. Penelitian yang dilakukan oleh Amanda (2015) yang meneliti tentang Kajian Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pertanian Pada Bank BRI Kantor Cabang Tondano di Kabupaten Minahasa menunjukan peningkatan yag sangat baik, namun sosialisasi mengenai pembiayaan KUR kepada petani di daerah pedalaman masih sangat kurang, sehingga masih banyak petani yang kurang paham dengan pembiayaan yang di programkan Pemerintah sejak Tahun 2007.

6. Kategori KUR Lama. Penelitian yang dilakukan oleh Gusti

(2016) mengenai Pengaruh Pemberian Kredit Usaha Rakyat Terhadap Pendapatan Masyarakat Ladang Panjang Kecamatan Tigo Nagari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menunjukkan hasil perhitungan koefisien regresi adalah besarnya pengaruh variabel bebas X1 (KUR) terhadap pendapatan Masyarakat yang memiliki Usaha Kecil dan Menengah (UKM)l, pengaruh ini bernilai positif atau dapat dikatakan bahwa semakin bertamabah

Page 190: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

179

modal yang digunakan masyarakat dalam usahanya maka semakin meningkat pendapatan mereka. Dimana setiap kenaikan KUR yang mereka dapatkan (X1) pendapatan masyarakat yang memiliki Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga akan meningkat.

Pemanfaatan Fasilitas Kredit Usaha Rakyat pada Peternak Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur Kelembagaan perbankan turut memainkan peranan penting dalam pengembangan agribisnis sapi potong di NTT. Kelembagaan perbankan memberikan fasilitas permodalan bagi para peternak yang akan meningkatkan modal usahanya. Pemerintah sangat menyadari bahwa kesulitan permodalan menjadi salah satu faktor terhambatnya para pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang. Berkaitan dengan permodalan, umumnya petani hanya memiliki lahan yang kecil sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi modal. Hal inilah yang menyebabkan banyak petani yang kesulitan pengembalian modal pinjaman ke lembaga finansial formal ataupun non formal. Oleh karena pengahasilan dari pertanian hanya mampu untuk menghidupi keluarga atau rumah tangganya, maka mereka akan kesulitan untuk mengembalikan pinjaman yang mereka pinjam. Pada akhinya, mereka akan terjebak dengan pinjaman tersebut dan mereka dipaksa untuk menjual tanahnya yang menjadi asset dasar pertanian. Para petani tidak memiliki lahan lagi karena telah dijual untuk membayar pinjaman, akhirnya mereka menjadi buruh di lahan-lahan mereka itu sendiri. Memang sangat ironis jika melihat kondisi di atas. Dampak peminjaman modal oleh petani ke lembaga-lembaga keuangan dapat menyengsarakan mereka itu sendiri jika mereka tidak mampu melakukan pembayaran hutang-hutangnya. Pemerintah Indonesia sangat memahami kondisi kekurangan permodalan tersebut, oleh karena itu telah banyak mengelurakan program-program bantuan permodalan

Page 191: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

180

pertanian. Pemerintah berupaya membantu meringankan beban petani dengan menetapkan berbagai skim pembiayaan bagi petani kecil yang lebih mudah diakses oleh petani kecil. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan usahatani petani kecil di Indonesia. Jenis-jenis kredit program untuk pembiayaan pertanian yang pernah diluncurkan adalah Kredit Usaha Tani, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP). Selanjutnya, pemerintah melakukan evaluasi atas keberhasilan dan kegagalan dari program-program bantuan permodalan tersebut. Hasilnya, beberapa program kredit pemerintah tidak menghasilkan output sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah. Salah satu program kredit yang dianggap berhasil oleh pemerintah adalah program KUR. Program ini menjadi benchmarking atas keberhasilan program pemerintah dalam membantu usaha kecil dan menengah dalam mengatasi kekurangan modal melalui sistem perbankan. Pada tahun 2015 – saat ini, pemerintah hanya meluncurkan satu program pembiayaan yang melalui perbankan, yaitu KUR. Adapun Program-program kredit yang sebelumnya sudah diluncurkan, seperti KKPE, KPEN-RP, dan KUPS terus dilanjutkan sampai kewajiban-kewajiban dari debitur terhadap pembayaran pokok dan bunganya diselesaikan. Jika, para debitur tersebut telah menyelesaikan segenap kewajibannya, maka mereka bisa mengajukan pembiayaan ke KUR. Sejak digulirkannya program KUR baru tersebut di pertengahan tahun 2015 yang secara sistem tidak jauh berbeda dengan program KUR sebelumnya, apakah program KUR ini dapat menjadi solusi bagi pendanaan sektor pertanian.

Page 192: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

181

Tabel 21. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Bali dengan Modal KUR

A. Biaya Produksi

No

A. Biaya Produksi

1 Biaya Variabel (6 bulan pemeliharaan)

1. Sapi jantan bakalan ( kg Berat Hidup awal) 200 Kg/ekor 32,000 6,400,000

2. Asuransi/6 bulan 1 ekor 84,000 84,000

3. Tali 4 meter 5,000 20,000

4. Ear Tag ( No. Telinga) 1 Buah 5,000 5,000

5. Biaya Angkut sapi 1 ekor 100,000 100,000

6. Obat-Obatan (selama 1 periode/6 bulan)

a. Antibiotik, 1 unit 15,000 15,000

b. Vitamin 1 Unit 15,000 20,000

c. Listrik 6 Bulan 5,000 30,000

TOTAL BIAYA PRODUKSI 6,674,000

2 Penerimaan: / Periode 6 Bulana. Berat badan awal dan akhir ternak sapi

a. Berat badan awal (kg.berat hidup) 1 ekor 200 200

b. Pertambahann BB harian (6 bulan) 0.5 Kg/ekor/hari 180 90

c. Berat badan akhir (BB awal + PBB/6bln) 290

b. Harga jual /kg berat hidup 34,000 per ekor 290 9,860,000

c. Keuntungan/ekor 3,186,000

1 Nilai PROFIT per Periode / 6 bulan / Anggota

R / C 1.48

Nilai PROFIT/ bulan / Anggota 6 1,643,333

Item Belanja VOLUME Harga Satuan

Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Kupang-NTT, 2017

Program KUR juga dimanfaatkan oleh para peternak di NTT. Pemerintah daerah memfasilitas kelompok-kelompok yang akan meningkatkan usaha peternakan sapinya dengan membantu menbuat analisa usaha (Tabel 21). Umumnya, kelompok usaha ternak sapi yang mengajukkan permodalan dititikberatkan pada usaha penggemukan sapi potong. Salah satu kasus usaha KUR yang telah dilakukan pada beberapa kelompok peternak adalah di Kabupaten Kupang. Dinas Peternakan Kabupaten Kupang memfasilitasi beberapa kelompok peternak sapi potong untuk mendapatkan bantuan KUR khususnya dari BRI. Pola pengajuan KUR dibantu oleh pihak dinas terutama dalam penyusunan analisis usaha penggemukan sapi Bali. Persyaratan yang diberikan kepada para peternak yang mengajukkan permodalan melalui KUR-BRI adalah sebagai berikut:

Page 193: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

182

1. Semua Sapi ditempatkan dalam 1 kandang koloni (kandang kelompok).

2. Semua Ternak di asuransikan. 3. Penimbangan ternak dilakukan setiap 14 hari (konsumsi

pakan 30 kg/hari). 4. Ternak di beri makan 1x24jam ( pakai pos jaga) dan yang

jaga malam bertugas memberi makan semua sapi yang ada (1 orang kawal 8 ekor).

5. Data perkembangan ternak (data timbang dan kondisi ternak) dibuatkan laporan bulanan oleh Tim teknis pendamping (UPT Pembibitan Ternak dan Produksi Pakan Ternak Prov. NTT) kepada Perbankan pemilik modal.

6. Pengadaan harus didampingi tim teknis (untuk spesifikasi ternak).

7. Penanganan Kesehatan hewan, Reproduksi dan pembinaan/pendampingan kelompok dilakukan oleh Tim UPT Pembibitan Ternak dan Produksi Pakan Ternak Provinsi NTT sampai dengan ternak terjual dan penyelesaian hutang Bank.

8. Semua ternak diberi identitas nomor telinga 9. Ada aturan internal kelompok yang mengikat semua

anggota kelompok untuk taat dan tunduk pada semua aturan kelompok sampai dengan sanksi yang akan diberikan.

10. Pemasaran akan difasilitasi oleh UPT Pembibitan Ternak dan Produksi Pakan Ternak Prov. NTT dengan menghadirkan langsung pengusaha Jakarta/Kalimantan/ Banjarmasin untuk kontrak kerja dengan kelompok penerima dana KUR dengan sistim bayar cash langsung pada kelompok dengan transaksi keuangannya ditangani oleh perbankan pemilik dana KUR.

11. Setiap peternak minimal menerima 2 (dua ekor) jantan bakalan untuk digemukan dari penggunaan Dana KUR.

12. Hasil keuntungan peternak tidak boleh digunakan sebelum di belikan 1 ekor betina produktif dan kelebihan hasil pembelian sapi betina produktif boleh digunakan (peternak membawa pulang 1 ekor indukan dan uang sisa hasil pembelian).

Page 194: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

183

Adapun dibawah ini adalah 2 kelompok peternak di Kabupaten Kupang yang telah mendapatkan bantuan permodalan dari KUR dengan rincian seperti pada Tabel 22. Tabel 22. Dua Kelompok Peternak yang Mendapat Bantuan

Modal dari KUR-BRI

Nama Kelompok

Alamat Jumlah Anggota

Jumlah Sapi

Keterangan

Kelompok Fajar Pagi

Desa Raknamo, Kecamatan Amabioejeto, Kab Kupang

150 orang

420 ekor • Ketua Kelompok adalah Maxi Bira

• Kepemilikan tanah 1-5 ha per petani

• Jenis Sapi yang dipelihara adalah Sapi Bali

• Rata-rata usaha pokok petani adalah pertanian (jagung dan ubi kayu dan peternakan (sapi potong)

• Usaha sapi potong adalah penggemukan (dikandangkan dengan cara ditali lehernya) dan pembibitan (induk-induk betina dilepas di padang pengembalaan)

• Bantuan permodalan dari KUR-BRI

• Sistem pembayarannya adalah dibayar setelah panen (pokok dan bunganya)

Page 195: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

184

Nama Kelompok

Alamat Jumlah Anggota

Jumlah Sapi

Keterangan

Kelompok Setetes Madu

Dusun I, Desa Camplong II, Kab. Kupang

20 orang 54 ekor • Ketua Kelompok adalah Derum Utam

• Kepemilikan tanah total kelompok 120 ha

• Jenis Sapi yang dipelihara adalah Sapi Bali

• Rata-rata usaha pokok petani adalah perkebunan (jambu mete dan lamtoro) dan peternakan (sapi potong)

• Usaha sapi potong adalah penggemukan (dikandangkan dengan cara ditali lehernya) dan pembibitan (induk-induk betina dilepas di padang pengembalaan)

• Bantuan permodalan dari KUR-BRI

• Sistem pembayarannya adalah dibayar setelah panen (pokok dan bunganya)

Informasi terkait dengan keberhasilan pelaksanaan KUR pada kedua kelompok tersebut belum bisa diungkapkan di buku ini karena pada saat kunjungan Oktober 2019 mereka baru mendapatkan fasilitas kredit tersebut. Akan tetapi, sistem

Page 196: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

185

pembayaran yang dilakukan adalah berdasarkan sistem “yarnen” atau bayar setelah panen. Lama penggemukan yang diberlakukan oleh pihak Dinas Peternakan Kabupaten Kupang adalah selama 6 bulan. Penjualan sapi hasil penggemukan tidak terlalu sulit karena permintaan pasar untuk pasar sapi asal NTT cukup besar. Penggemukan sapi potong menjadi target dari Dinas Peternakan Kabupaten Kupang untuk diintrodusir kepada para peternak di NTT karena sapi-sapi yang akan dijual keluar provinsi harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti sapi yang akan dijual adalah sapi jantan, ukuran berat untuk Sapi Bali adalah 275 kg dan sapi Sumba Ongole adalah 375 kg. Dengan persyaratan tersebut, para pedagang sapi akan membeli sapi-sapi dengan ukuran yang dipersyaratkan tersebut. Apabila dibawah standar, akan dikeluarkan di dalam penjualan ke luar NTT. Upaya ini dilakukan oleh pemerintah NTT untuk menjaga stabilitas populasi antara pengeluaran dengan pemasukan sapi, khususnya dari kelahiran. Di samping itu juga, pemerintah NTT melarang perdagangan sapi-sapi betina produktif di jual ke luar NTT dalam upaya stabilisai populasi sapi di NTT. Sistem penggemukan sapi potong di NTT merupakan hal yang baru dilakukan oleh peternak karena pada umumnya, mereka lebih cenderung menggunakan sistem pemeliharaan ekstensif. Para peternak jarang sekali memberi makan ternak sapinya, semuanya diserahkan kepada alam disekitarnya. Namun dengan adanya introdusir inovasi baru, yaitu penggemukan sapi, otomatis hal ini merubah prilaku peternak dari pemeliharaan ekstensif menjadi intensif. Mengubah pola budaya yang sudah mengakar sejak lama akan sangat sulit dilakukan pada kelompok masyarakat yang sudah nyaman dengan pola lama. Mereka akan cenderung untuk menolak inovasi dari inovator yang akan membawa perubahan. Oleh karena itu, seleksi kelompok yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten Kupang terhadap kelompok yang akan ikut program KUR dilakukan sangat selektif. Tidak semua kelompok

Page 197: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

186

diluluskan untuk mendapatkan fasilitas KUR karena berbagai faktor, salah satunya adalah keinginan untuk mengubah pola pemeliharaan dari ekstensif menjadi intensif di mana peternak harus memberikan banyak waktu untuk memelihara sapinya. Keberhasilan KUR yang diterapkan pada kelompok ternak sapi terpilih diharapkan bisa menjadi acuan bagi kelompok lainnya untuk meniru keberhasilan kelompok tersebut. Keberhasilan dari program ini sangat tergantung pada kerjasama yang baik antara peternak, instansi terkait dan pihak perbankan. 8.7. Permasalahan dan Solusi Agribisnis Sapi Potong di

Nusa Tenggara Timur Uraian sebelumnya telah diceritakan sistem agribisnis sapi potong di Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan agribisnis sapi potong yang dapat diidentifikasi Tabel 23. Permasalahan agribisnis sapi potong yang diuraikan di bawah ini merupakan uraian sejumlah permasalahan khususnya di daerah sentra produksi ternak sapi yang didominasi lahan kering yang lokasinya jauh dari titik konsumen akhir. Di samping itu, pada setiap permasalahan agribisnis sertai dengan pemecahan masalah yang mungkin bisa menjadi salah satu solusi perbaikan agribisnis sapi potong di NTT. Tabel 23. Permasalahan dan Pemecahan Masalah

Agribisnis Sapi Potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur

No Subsistem Masalah Pemecahan Masalah

1 Subsistem Input dan Sarana Produksi

• Kurangnya ketersediaan bakalan dalam jumlah dan mutu

• pakan konsentrat (Tidak tersedia, kalaupun ada tidak digunakan karena

• Upaya pembibitan sapi Bali ataupun sapi Sumba Ongole wajib dilakukan dalam upaya penyediaan bibit unggul

• Antisipasi kondisi in-

Page 198: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

187

No Subsistem Masalah Pemecahan Masalah

mahal • Ketersediaan semen

yang berdarah bos Taurus sangat minim akibatnya program peningkatan mutu genetis terhambat

• Keterbatasan modal usaha

breeding pada sapi Bali dan Sumba Ongole melalui penyediaan sumber bibit sapi Bali dan Sumba Ongole

• Penelitian rumput yang tahan terhadap musim kemarau bisa menjadi salah satu solusi

• Pemanfaatan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) bisa menjadi solusi pengembangan usaha sapi potong dan hal KUR ini sudah terdapat beberapa peternak yang melakukan peminjaman KUR melalui bantuan Dinas Peternakan Kabupaten Kupang

2 Subsistem Produksi/ budidaya

• Rendahnya pertambahan bobot badan masih sekitar 0,35 kg/hari karena sistem pemeliharaan sepenuhnya diserahkan ke alam

• Keterbatasan air minum untuk ternak sapi karena ketersediaannya terbatas

• Rendahnya kesadaran peternak untuk menanam pakan yang tahan di musim kemarau, seperti lamtoro dan turi

• Pemanfaatan teknologi

• Mengubah prilaku dari sistem pemeliharaan ekstensif ke sistem semi intensif atau intensif memerlukan waktu yang cukup lama, namun sistem ekstif juga dapat ditingkatkan kualitasnya melalui introdusir bibit sapi jantan dan betina berkualitas agar tidak terjadi in-breeding dan penanaman tanaman legum yang tahan terhadap

Page 199: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

188

No Subsistem Masalah Pemecahan Masalah

pengolahan/pengawetan pakan tidak berkembang dengan baik karena sistem pemeliharaan ekstensif

• Teknologi Inseminasi Buatan tidak berkembang dengan baik karena cenderung menggunakan kawin alam

• Kemitraan peternak dengan pedagang masih belum optimal dan cenderung lebih merugikan peternak

panas • Memfasilitasi

peternak dan mitranya, seperti pedagang sapi, untuk melakukan kontrak tertulis agar bisa mengikat keduanya.

3 Subsistem pengolahan

• Belum ketatnya sanksi pada pelaku pemotongan sapi betina produktif di RPH padahal sudah ada informasi yang ditempelkan di RPH tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif beserta sanksinya

• Pemotongan betina produktif juga terjadi pada sejumlah sentra produksi terutama dalam kegiatan sosial budaya (urusan adat, mahar perkawinan dan acara kematian) (Nono dan Agus, 2015)

• Beberapa RPH Pemerintah belum mendapatkan No. NKV

• Fasilitas RPH masih belum memadai terutama dalam menghasilkan daging yang terstandar

• Penegakkan aturan oleh Pemda terhadap pejagal yang memotong sapi betina produktif perlu dilakukan agar ada efek jera terhadap pelaku usaha tersebut

• Sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak memotong sapi betina produktif untuk kegiatan keagamaan, adat, ataupun kematian perlu dilakukan karena sapi betina produktif adalah sebagai pabrik sapi

• Perlu dilakukan perbaikan terhadap bagunan RPH, khususnya milik pemerintah, karena belum memenuhi persyaratan RPH

• Perlu dilakukan

Page 200: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

189

No Subsistem Masalah Pemecahan Masalah

higieninsya, termasuk pengolahan limbah RPH

• Khusus di RPH Waingapu, banyak tulang yang menjadi limbah di RPH karena tulang tidak dimanfaatkan

• Kurangnya pembinaan dan pengawasan terhadap pelaku usaha pengolahan daging, baik perusahaan ataupun usaha rumah tangga

peningkatan kapasitas peralatan di RPH untuk memperlancar proses pemotongan di RPH

• Dilakukan pembinaan terhadap para pemotong sapi di RPH untuk tidak melakukan pemotongan sapi betina walaupun dengan berbagai alasan

• Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha pengolahan daging, khususnya usaha rumah tangga

4 Subsistem Pemasaran

• Sistem pembayaran di tunggak atau tenggang waktu 3-4 minggu dari usaha bakso ke pejagal sapi sangat menyulitkan para pejagal, kasus di Sumba Timur

• Peternak ataupun pedagang sapi antar provinsi kesulitan menjual sapi kepada para pedagang karena keterbatasan kuota. Kesulitan ini terjadi di akhir November karena kuota bulan tersebut terakhir penghabisan kuota. Kuota dimulai kembali pada bulan Maret tahun.

• Usaha penggemukan sapi di tingkat

• Pembayaran tunai menjadi solusi terbaik dari pejagal ke pengusaha baso

• Pada masa tunggu penjualan sapi antar provinsi, peternak dapat menjual sapinya ke pedagang lokal, pasar hewan, ataupun peternak lagi

• Masa penggemukan dapat dipercepat dengan penggunaan pakan konsentrat, tetapi konsekuensi logisnya adalah penggunaan biaya pakan menjadi tinggi

• Konsekuensi logis dari jauhnya jarak peternakan ke pasar

Page 201: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

190

No Subsistem Masalah Pemecahan Masalah

peternak membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk menghasilkan berat sapi Bali sebesar 275 kg dan sapi Sumba Ongole 350 kg karena hanya mengandalkan hijauan, lamtoro, turi dan limbah pertanian

• Panjangnya saluran pemasaran ternak sapi hidup yang disebabkan lokasi peternakan yang cukup jauh dengan pelabuhan

• Asimetris terhadap harga pasar sapi yang cenderung dikuasai oleh para pedagang sapi.

• Sistem taksiran oleh pedagang merugikan peternak

berdampak pada biaya transportasi. Pendistribusian penjualan sapi ke wilayah pasar dengan menggunakan truk agar biaya transportasi per satuan ekor menjadi muran

• Kontrak harga antara peternak dan pedagang menjadi solusi agar tidak terjadi asimentris harga sapi

• Perlu dilakukan penyuluhan penentuan bobot sapi dengan ukuran lingkar dada dan panjang badan sapi

5 Subsistem Kelembagaan Penunjang

• Rendahnya akses informasi para peternak terhadap kredit murah dari perbankan

• Rendahnya akses informasi para peternak terhadap program-program bantuan pemerintah

• Sosialisasi informasi kredit usaha dan program-program pemerintah kepada peternak perlu diperluas sehingga para peternak diberi kesempatan untuk memanfaatkan informasi tersebut

Page 202: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

191

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R (2005). Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

Ahmad, E dan Rohmana, Y (2009). Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Amanda, P (2015). Kajian Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pertanian Pada Bank BRI Kantor Cabang Tondano. Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi. Manado

Anggraeni, D (2013). Peranan Kredit Usaha Rakyat (Kur) Bagi Pengembangan Umkm Di Kota Medan (Studi Kasus Bank BRI). Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol. 1, No. 3, Februari 2013.

Arifin, B (2005). Ekonomi Kelembagaan Pertanian . Penerbit Pustaka LP3ES. Jakarta

Arsyad, L (2005) Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Edisi Kedua. Yogyakarta : BPFE.

Aulia, E (2017). Efektivitas Penyaluran KUR dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Kinerja Usaha Mikro Kecil. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Asmara A, Purnamadewia Y L, and Lubis D (2017). The relationship analysis between service performances of milk producer cooperative with the dairy farm performance of members. Media Peternakan, 40(2):143-150. DOI: https://doi.org/10.5398/medpet.2017.40.2.143

Badan Pusat Statistik Provinsi NTT (2018). Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka Tahun 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Kupang

Page 203: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

192

Badan Pusat Statistik Provinsi NTT (2019). Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka Tahun 2019. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Kupang.

Badan Pusat Statistik (2019). www.bps.go.id

Barnard, F.L., Foltz, J. and Yeager, E.A. (2016). Agribusiness management. Routledge.

Basuna, E (2004). Mengembalikan Status Wilayah Nusa Tenggara Sebagai Gudang Ternak. AKP. Volume 2 No. 4: 354-368.

Banerjee, A. and Newman, A (1993). Occupational Choice and the Process of Development. Journal of Political Economy 101, 274-98.

Beck, T., and Demirguc-Kunt, A (2008). Access to Finance – An Unfinished Agenda. Tilburg University and World Bank. Washington, DC

Beck, T., Demirguc-Kunt, A. and Levine, R., (2007). Finance, Inequality and Poverty: Cross-Country Evidence. Journal of Economic Growth, forthcoming World Bank. 2007. Access to Finance. A Conference co-sponsored by the Finance and Private Sektor Development Team of the World Bank’s Development Research Group and the World Bank Economic Review, March 15 and 16, 2007 in Washington, DC

Budiana, T (2016). Sekilas tentang Peternakan Sapi Potong di Indonesia. Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia. Jakarta

Cheeke, Peter R (2009). Contemporary Issues in Animal Agriculture. Third Edition, Department of Animal Science, Oregon State University, Pearson Prentice Hall.

Page 204: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

193

Committee of Donor Agencies (1995). Micro and Small Enterprise Finance: Guiding Principles for Selecting and Supporting Intermediaries. Committee Secretariat c/o World Bank, Washington, D.C.

Daud A.R, Putro U.S, and Basri M.H (2015). Risks in milk supply chain; a preliminary analysis on smallholder dairy production. Livestock Research for Rural Development. Volume 27, Article #137.

Deckyanto, F (2013). Efektifitas Kebijakan Pemberian Kredit Usaha Rakyat (Kur) Mikro Berdasarkan Surat Edaran Direksi NOSE: S.09c – DIR/ADK/03/2010 Atas Ketentuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro. Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. Malang

Dinas Pertanian Provinsi NTT (2013). Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi NTT. Kota Kupang.

Directorate Co-operative and Enterprise Development (2012). A framework for the development of smallholder farmers through cooperatives development. Directorate Co-operative and Enterprise Development, Department of Agriculture, Forestry and Fisheries. Pretoria

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (2017). Laporan Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) Tahun 2017. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (2018). Laporan Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) Tahun 2018. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (2019). Laporan Upaya Khusus Percepatan Peningkatan

Page 205: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

194

Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) Tahun 2019. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (2015). Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (2019). Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2019. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Downey, W. David and Steven P. Erickson (1987). Manajemen Agribisnis. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Drillon, Jr (1971). Introduction of Agribusiness Management. Agribusiness Management Resource Materials (Vol. 1). Asian Productivity Management. Tokyo.

FAO (2018). FAO's work on family farming: Preparing for the Decade of Family Farming (2019–2028) to achieve the SDGs. Food Agriculture and Organization. Rome.

Firman A, Budimulati L, Paturochman M, and Munandar M (2018). Succession models on smallholder dairy farms in Indonesia. Livestock Research for Rural Development. Volume 30, Article #176.

Firman A (2009). Kajian Kelembagaan Dinas/Subdinas Peternakan di Jawa Barat bagian Timur. Universitas Padjadjaran. Bandung

Firman, A dan Tawaf, R (2008). Manajemen Agribisnis Peternakan: Teori dan Contoh Kasus. Penerbit Unpad Press. Bandung.

Gumbira, E. S dan Intan, A. H (2004). Manajemen Agribisnis. Edisi Kedua. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Page 206: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

195

Gusti, R (2016). Pengaruh Pemberian Kredit Usaha Rakyat Terhadap Pendapatan Masyarakat Ladang Panjang Kecamatan Tigo Nagari Kabupaten Pasaman. e-Jurnal Apresiasi Ekonomi Volume 4, Nomor 2, Maret 2016 : 107 - 115

Hernowo, B (2006). Prospek pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

International Fund for Agriculture Development (2015). Smallholders Livestock Development. International Fund for Agriculture Development.

Kohls, R.L, dan J.N. Uhl (1990). Marketing of Agriculture Product. 7th Edition. MacMillan Publishing Company. New York

Kotler, P (1997). Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. 9th Edition. Englewood Cliffs, New Jersey.

Limbong, W.H, dan Sitorus, P (1987). Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lobley M (2010). Successionin the family farm business. Journal of Farm Management 13(12): 839 -851.

Marantika, CR (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelancaran Pengembalian Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro. Semarang

Munandar, M S (2008). Restrukturasi Kelembagaan Persusuan Menuju Partisipatif Dan Kesetaraan Posisi Tawar Peternak. Prosiding Fokus Group Discussion Arah

Page 207: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

196

Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang, tanggal 18-19 Januari 2008. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Bandung.

Nono, O.H., dan Agus R.R (2015). Dinamika Sistem Bagi Hasil Dalam Usaha Ternak Sapi Potong di NTT Dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan. Laporan Penelitian Fundamental. Lembaga Penelitian Undana Kupang.

Noor, Y G (2016). Analisis Potongan Daging Sapi. Diskusi Terfokus Perhimpunan Ilmuan Sosial Ekonomi Peternakan Seluruh Indonesia (PERSEPSI) Komisariat Jawa Barat. Kota Bandung.

Nurmanaf, A.R (2007). Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat Dengan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 99-109.

Porter, M.E. (1985). Competitive advantage of nations: creating and sustaining superior performance. The Free Press, New York, USA.

Priyono, P., dan Priyanto, D (2018). Partnership Program on Bali Cattle Fattening Based on Local Resources in the Suboptimal Land Area of Nusa Tenggara Timur. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 28(2), 61-68.

Ratnawati, A (2009). Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian. Makalah disampaikan pada acara Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian. Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Departemen Agribisnis, FEM-IPB. Jakarta 16 April 2009.

Rahardja, P dan Manurung, M (2002). Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 208: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

197

Rahayu S, Kuswaryan S, Firman A, Firmansyah C, dan Fitriani A (2006). Pendataan Penyusunan Data Base Kelembagaan Peternakan di Jawa Barat Pasca Otonomi Daerah. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Padjadajaran dengan Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat. Bandung

Rahayu S, Kuswaryan S, Firman A, dan Firmansyah C (2006). Pembangunan Rumah Potong Hewan dan Pasar Hewan di Kabupaten Sumedang. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Padjadajaran dengan Dinas Peternakan Kabupaten Sumedang. Bandung

Rapsomanikis G (2015). The economic lives of smallholder farmers: An analysis based on household data from nine countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations: 1-39.

Standar Nasional Indonesia (1999). Standar Nasional Indonesia: Rumah Potong Hewan. SNI-01-6159-1999

Sapriadi dan Hasbullah (2015). Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Kabupaten Bulukumba. Jurnal Iqtisaduna, 1 (1), 71-86.

Sudaryanto, T. dan Syukur, M (2000). Pengembangan Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Mimeo. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Syukur, M. dan Windarti, H (2001). Karya Usaha Mandiri: Sebuah Skim Pembiayaan Mikro Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Mimeo. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Tawaf R (2019). Sandekala Bisnis Feedlot. Majalah Infovet: Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Page 209: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

198

Tim MB-IPB. 2013. Supply Chain Ternak Sapi di Indonesia. Workshop Solusi Alternatif Permasalahan Daging Sapi Nasional. MB-IPB. Bogor

Van Fleet, D., Van Fleet, E. and Seperich, G.J., (2014). Agribusiness: Principles of Management. Cengage Learning.

Widjaya, DSM (2012) Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten Ngawi. Tesis Program Pascasarjana Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Wilkinson J (2009). The Globalization of Agribusiness and Developing World Food Sistems.

World Bank (2003). Rural Financial Services: Implementing The Bank’s Strategy To Reach The Rural Poor. The International Bank for Reconstruction and Development. Agriculture & Rural Development Department, Washington, DC 20433

Page 210: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

199

GLOSARIUM Agribisnis : Satu kesatuan dari subsitem yang

berada dalam satu sistem agribisnis yang dimulai dari kegiatan hulu atau input produksi (off farm 1), budidaya (on farm), produksi (off farm 2), dan distribusi

Budaya : Norma atau aturan atau adat istiadat yang telah melekat di suatu masyarakat 5 9 73 79 94 95 107 146

Bulk : Jumlah besar

Digital : Penggambaran dari suatu keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1 atau off dan on

Demand : Permintaan atas suatu barang dan jasa

Ekspor : Pengeluaran barang dari dalam negeri ke luar negeri

Family farming : Usaha di bidang pertanian yang dikelola oleh keluarga

Fluktuasi harga : Naik dan turunnya harga suatu barang dan jasa

Floor price : Kebijakan harga dasar

Feedloter : Perusahaan penggemukan sapi

Grazing : Sistem pengembalaan di padang rumput

Page 211: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

200

Input Produksi : input yang habis penggunaannya dalam satu kali proses produksi

Karkas : Seluruh, setengah atau seperempat bagian dari hewan potong yang telah disembelih setelah pemisahan kepala, kaki sampai karpus dan tarsus serta ekor, pengulitan, pada babi pengerokan bulu serta setelah pengeluaran isi rongga perut dan dada

Konsentrat : Campuran bahan pakan ternak yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi terutama protein, untuk meningkatkan pertumbuhan bobot badan, produksi telur, produksi susu dan sebagainya.

Kredit : Pinjaman modal dari lembaga keuangan atau perbankan

Kesejahteraan hewan : Segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut aturan prilaku

Kuota : Pembatasan jumlah barang yang diperdagangkan

Letter of Credit (L/C), : Jaminan pembayaran oleh pihak bank yang ada di dalam negeri untuk pembayaran ke perusahaan yang ada di Luar Negeri dan biasanya dilakukan dalam tempo 6 bulan ke depan

Location Quotient (LQ)

: Analisis yang digunakan untuk menentukan ekonomi basis

Manajemen : Seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan,

Page 212: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

201

pengarahan, dan pengawasan daripada sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

Misi : Tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mencapai Visi

Off farm : Kegiatan di luar subsistem budidaya, misalnya kegiatan subsistem input dan sarana produksi atau kegiatan pengolahan

On farm : Kegiatan di dalam subsistem budidaya

Pakan : Faktor produksi yang sangat penting bagi pemeliharaan ternak, seperti hijauan dan konsentrat

Pembibitan ternak : Upaya menghasilkan bibit ternak yang memiliki genetik yang berkualitas

Pemeliharan ekstensif : melepas seluruh ternak (induk, bakalan, dan pedet) dilepas dipadang pengembalaan bersama kelompok sapi lainnya

Pemeliharaan semi intensif

: sistem pemeliharaan yang dilakukan dengan melepas ternak sapinya pada pagi hari hingga sore hari dan malam hari dikandangkan

Pemeliharaan intensif : ternak sapi dikandangkan secara terus menerus, baik untuk tujuan pembibitan ataupun penggemukan

Pemasaran : Sejumlah aktivitas bisnis yang dimaksudkan untuk memberi tingkat kepuasan dari barang atau jasa yang

Page 213: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

202

dipertukarkan kepada konsumen atau pengguna

Peternak rakyat : Usaha peternakan yang dikelola oleh rumah tangga petani dalam skala kecil

Penawaran : sejumlah barang dan jasa yang ditawarkan dalam berbagai kemungkinan harga yang berlaku di pasar pada satu periode tertentu

Pemasukan sapi : masuknya sapi dari luar wilayah provinsi ataupun luar negeri, seperti dari Australia

Ruminansia : kelompok ternak yang memamah biak dalam proses mencernanya

Ranch : Hamparan lahan pertanian

Restaning box : Suatu tempat berbentuk kotak yang dapat menjepit sapi dan alat tersebut mampu digerakkan sehingga sapi mudah direbahkan dan siap untuk dipotong

Spiritual : Nilai-nilai agama yang dianut

Supply : Pasokan atas suatu barang dan jasa

Saluran pemasaran : Rangkaian dari lembaga pemasaran yang saling terkait yang berfungsi mengirim produk dari produsen ke konsumen atau ke industri pengolahan

Sarana Produksi : Alat dan mesin yang digunakan dalam proses produksi dan biasnya

Page 214: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

203

merupakan input tetap

Sektor hilir : Sektor-sektor yang menyediakan input atau sarana produksi bagi suatu sektor

Sektor hulu : Sektor-sektor yang menggunakan output dari suatu sektor

Service per conception (S/C)

: jumlah perkawinan yang menghasilkan kebuntingan

Shift Share (SS) : Sebagai model untuk menentukan perubahan dan pergeseran sektor pada perekonomian wilayah

Skala usaha : Nilai kepemilikan komoditas dan atau nilai asset dari komoditas yang dimiliki oleh pelaku usaha (petani, pengusaha, dan sebagainya)

Volumenous : Memakan ruang

Visi : Tujuan masa depan sebuah instansi atau organisasi

Page 215: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

204

INDEKS Agribisnis: 2, 5,6,7,8, 45,48, 49, 68, 69, 98

Letter of Credit: 75

Budidaya: 5,9,73,79,94,95,107, 146 Location Quotient: 95

Bulk: 41, 56, 102 Manajemen: 2,162

Digital: 43,44 Pembibitan ternak: 104,105,158

Demand: 2,4,7,8, 51,55,56, 100,131 Pemeliharan ekstensif: 118

Ekspor: 17,18,23,54,92,108,117 Pemeliharaan semi intensif: 119,120

Family farming: 69,69,162 Pemeliharaan intensif: 110,120, 121

Fluktuasi harga: 9 Peternak rakyat: 20,31,49,117,137

Floor price: 54.55.56 Pemasukan sapi: 14,16,17,20

Feedloter: 3,32,37,75,76,77,113 Ranch: 101,154

Grazing: 97,122 Restaning box: 105

Input Produksi: 99,108,111,153,165 Spiritual: 9

Konsentrat: 3,33,35,36,37,75, 86,113

Saluran pemasaran: 40,41,42, 43,44,45,132.134,136

Kredit: 9,47,121,148,156 Sarana Produksi: 111,130.146

Kesejahteraan hewan: 12, 106, 128 Service per conception: 66

Kuota: 18,76,77,98,108,138, 139,153

Shift Share: 95,96

Page 216: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

205

Skala usaha: 46,72 Visi: 98

Volumenous: 41

Page 217: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

206

Achmad Firman menamatkan S1-nya di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tahun 1996, menamatkan S2 di Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003, dan menyelesaikan program S3 di Program Pascasarjana Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tahun 2019. Pernah mengenyang pendidikan di Michigan State University, USA pada program Agricultural Economics selama satu

bulan pada tahun 2010. Dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi, selain mengajar penulis aktif melakukan penelitian, baik yang didanai Kementerian Pendidikan Tinggi (DIKTI)-Depdiknas, Direktorat Jenderal Peternakan-Kementerian Pertanian, Dinas Peternakan baik tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota, Dinas Koperasi Jawa Barat, Direktorat Pertanian dan Pangan-Bappenas, serta penelitian bersifat international, yaitu pernah melakukan kerjasama penelitian dengan Agricultural and Food Marketing Association (AFMA) for Asia and the Pacific, Bangkok – Thailand tahun 2008 dan Food Agriculture Organization (FAO) United Nation Regional Asia and the Pacific tahun 2008-2009, dan ASEAN Foundation tahun 2018-2019. Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain: Kebijakan dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Sosial Dasar Bagi Masyarkat Miskin tahun 2004 (Bappenas), Performance of Dairy Cattle Industry in Indonesia tahun 2005 (Kementerian Pertanian), Manajemen Agribisnis Peternakan: Teori dan Contoh Kasus tahun 2008 (Unpad Press), Profil Usaha Sapi Perah di Indonesia tahun 2009 (LIPI Press), Agribisnis Sapi Perah: Bisnis Sapi Perah dari Hulu sampai Hilir tahun 2010 (PT. Widya Padjadjaran), dan Penyusunan Strategi Perlindungan dan Dukungan Kepada Petani tahun 2011 (Bappenas). Selain itu, aktif sebagai penulis di beberapa jurnal nasional maupun internasional dan juga sebagai reviewer jurnal ilmiah nasional.

Page 218: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

207

Obed Haba Nono Meraih gelar Sarjana Peternakan (Ir) dari Fakultas Peternakan UNDANA Kupang pada tahun 1985, Lalu melanjutkan Studi pada Polythechnic Education Development Centre for Agriculture (PEDCA) Universitas Padjadjaran (UNPAD) dengan Kajian Utama Dryland Farming Management (selama 2 tahun - Lulus tahun 1988), meraih gelar Magister Pertanian (S2) Program Pascasarjana Univeristas

Padjadjaran dalam Bidang Kajian Utama Ilmu Ekonomi Perusahaan Pertanian pada tahun 1996, dan menyelesaikan program doktor (S3) Bidang Ilmu Pertanian dengan fokus kajian Ekonomi Kelembagaan pada Program Pascasarjana UNPAD Bandung pada awal tahun 2010. Dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi, selain mengajar di program S1,S2,S3 Prodi peternakan Undana, juga aktif melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dananya bersumber dari : Depdiknas, DEPKOP UMKM, Bank Indonesia dan sejumlah OPD dan NGO di aras lokal, nasional, dan internasional. Sejumlah jabatan penulis antara lain: sebagai bagian kemahasiswaan, Sekretaris Jurusan di Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang, dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat di UNDANA. Dalam pada itu, penulis pernah sebagai Anggota Pokja Irigasi Provinsi NTT, Anggota Komite Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi NTT, Ketua Tim Konsultan Pengembangan Daerah Irigasi Kerjasama Pemda Provinsi NTT dengan UNDANA, Ketua Tim Konsultan Wirausaha kerja sama Dikmenjur DepDiknas Jakarta dengan LPPM UNDANA , Kapus Informasi kesempatan kerja dan pengembangan karir Undana dan aktif di sejumlah LSM lokal. Buku yang pernah diterbitkan “Ekonomi Kelembagaan Pada Usahatani Ternak” UNPAD PRESS.

Page 219: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

208

Ahmad Romadhoni Surya Putra menamatkan S3-nya di bidang Agricultural Economics dari Department of Food and Resource Economics, Faculty of Science, University of Copenhagen, Denmark pada tahun 2016. Saat ini merupakan salah satu staf pengajar di yaitu di Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UGM sejak 2005. Selain mengajar berbagai macam pengalaman penelitian telah

dilakukan dengan bekerjasama oleh berbagai Kementrian, Dinas, Swasta maupun Lembaga-lembaga lain. Pada tahun 2012, sempat menjadi peneliti magang selama 3 (tiga) bulan di The Ohio State University, Amerika Serikat dalam program Nourman Bourlag Fellowship yang diselenggarakan oleh United States Department of Agriculture (USDA). Aktif sebagai penulis di beberapa jurnal nasional maupun internasional sekaligus reviewer di Land Use Policy Journal, Renewable and Sustainable Energy Reviews, Asian Journal of Agricultural Development, Journal and Rural Community Development, Buletin Peternakan dan beberapa jurnal ilmiah lain.

Page 220: AGRIBISNIS SAPI POTONG - Universitas Padjadjaran

AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur