Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKTIVITAS KATALIS Ni BERPENYANGGA TiO2 UNTUK
KONVERSI SITRAL MENJADI SITRONELAL
SKRIPSI
YUNIAR CANDRA PRATIWI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1441 H
AKTIVITAS KATALIS Ni BERPENYANGGA TiO2 UNTUK
KONVERSI SITRAL MENJADI SITRONELAL
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
YUNIAR CANDRA PRATIWI
NIM. 11140960000060
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1441 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, November 2019
Yuniar Candra Pratiwi
11140960000060
ABSTRAK
YUNIAR CANDRA PRATIWI. Aktivitas Katalis Ni Berpenyangga TiO2 untuk
Konversi Sitral Menjadi Sitronelal. Dibimbing oleh NANDA SARIDEWI dan
SILVESTER TURSILOADI.
Sereh dapur (Cymbopogon citratus) adalah salah satu tanaman penghasil minyak
atsiri yang sering digunakan di Indonesia. Kandungan utama minyak sereh dapur
adalah sitral. Penelitian ini bertujuan mengkonversi sitral menjadi sitronelal
melalui mekanisme reaksi hidrogenasi dengan bantuan katalis Ni/TiO2. Katalis
Ni/TiO2 disintesis menggunakan metode impregnasi, dimana kandungan logam
aktif Ni divariasikan menjadi 10 dan 20%berat terhadap katalis berpenyangga
TiO2. Reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal dilakukan dengan variasi suhu
reaksi 60, 80, dan 100 oC dan variasi rasio katalis terhadap reaktan sebesar 10, 20,
dan 30% pada tekanan 20 bar selama 3 jam. Karakterisasi katalis diuji
menggunakan beberapa alat instrumentasi, TGA/DTA untuk mengetahui stabilitas
termal katalis, XRD untuk mengetahui kristalinitas katalis, SAA (BET) untuk
mengetahui luas permukaan katalis, dan FTIR untuk mengetahui situs asam
Bronsted dan Lewis pada katalis, sedangkan produk hasil aktivitas katalis
dianalisis menggunakan GCMS. Hasil penelitian menunjukkan stabilitas termal
dengan TGA/DTA berada pada suhu 550 oC. Pola difraksi XRD memperlihatkan
intensitas puncak pada 2θ=25o yang menandakan TiO2 berfase anatase. Katalis
Ni/TiO2 10%berat memiliki luas permukaan 46,4906 m2/g sedangkan Ni/TiO2
20%berat memiliki luas permukaan 47,2741 m2/g. Spektrum FTIR menunjukkan
situs asam Bronsted pada bilangan gelombang 1639,49 cm-1
sedangkan situs asam
Lewis pada bilangan gelombang 1446,61 cm-1
. Aktivitas katalis Ni/TiO2
menunjukkan hasil terbaik pada suhu reaksi 100 oC dan rasio katalis 20% yang
menghasilkan sitronelal dengan nilai konversi sebesar 19,04% dan selektivitas
sebesar 90,99%.
Kata kunci: impregnasi, katalis Ni/TiO2, reaksi hidrogenasi, sitral, sitronelal.
ABSTRACT
YUNIAR CANDRA PRATIWI. Activity of TiO2-based Ni for Conversion of
Citral to Citronellal. Supervised by NANDA SARIDEWI and SILVESTER
TURSILOADI.
Lemongrass (Cymbopogon citratus) is one of the essential oil-producing plants
that are often used in Indonesia. The main ingredients of lemongrass oil are citral.
This research aims to convert citral to citronellal through the mechanism of
hydrogenation reactions with support of Ni/TiO2 catalysts. Ni/TiO2 catalysts were
synthesized by impregnation method, with Ni active metal content which is 10
wt% and 20 wt% against TiO2-supported catalysts. The hydrogenation reaction of
citral to citronellal was carried out with variations in reaction temperature of 60,
80, and 100 oC and variations in the ratio of catalysts to reactants by 10, 20, and
30% at a pressure of 20 bar at 3 hours. Characterization of the catalyst was carried
out by using several instrumentation, including: TGA/DTA for thermal stability of
catalyst, XRD for crystalinity of catalyst, SAA (BET) for surface area of catalyst,
and FTIR to know Bronsted and Lewis acid, while the product of the catalyst
activity test results were analyzed using GCMS. The results showed that thermal
stability with TGA/DTA at 550 oC. XRD diffraction pattern showed peak at
2θ=25o which indicated TiO2 had anatase phase. The Ni/TiO2 10wt% catalyst has
a surface area of 46.4906 m2/g while Ni/TiO2 20wt% has a surface area of
47.2741 m2/g. FTIR analysis results showed Bronsted acid site at wave number
1639.49 cm-1
while Lewis acid site at wave number 1446.61 cm-1
. Activity of
Ni/TiO2 catalyst shows the best results by use temperature of 100 oC and the ratio
of catalysts which is 20% which results citronellal with a conversion value of
19.04% and selectivity 90.99%.
Keywords: citral, citronellal, hydrogenation reaction, impregnation, Ni/TiO2.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul ―Aktivitas Katalis Ni Berpenyangga TiO2 untuk
Konversi Sitral Menjadi Sitronelal‖. Skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan
tanpa dukungan dari pihak-pihak yang selama ini telah banyak membantu dan
memberikan sumbangan pemikiran, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Nanda Saridewi, M.Si sebagai Pembimbing I yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pengararahan, nasihat, motivasi, dan membimbing dengan sabar
sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Silvester Tursiloadi, M.Eng sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan nasihat, pengetahuan, dan motivasi serta dukungannya kepada
penulis sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Sri Yadial Chalid, M.Si dan Dr. Siti Nurbayti, M.Si sebagai Penguji I dan
Penguji II yang telah memberi kritik, saran dan ilmu yang sangat bermanfaat
dari awal penelitian sampai tahap akhir penyusunan skripsi ini.
4. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si sebagai Ketua dan Nurhasni, M.Si sebagai
Sekretaris Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Sudiyarmanto, MT sebagai pembimbing lapangan yang memberikan
pengarahan selama berjalannya proses penelitian.
7. Bapak Sugito dan Ibu Sriyah selaku Orang Tua dan Kakak penulis (Ratna
Endah Sugiarti) serta keluarga tercinta yang senantiasa membantu penulis
dengan selalu memberikan do’a dan dukungan baik secara material maupun
moril.
ix
8. Teman-teman seperjuangan dalam riset di Laboratorium Katalis, Pusat
Penelitian Kimia, LIPI Serpong yang telah memberikan dukungan dan
bantuan kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan Lien, Titik, Widyaningsih, Lusi, Diah, Habibah,
Nurita yang selalu memberikan semangat serta keceriaan kepada penulis
selama masa kuliah untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kemajuan ilmu
dan teknologi, serta dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang
membutuhkan.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Jakarta, November 2019
Yuniar Candra Pratiwi
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
1.3 Hipotesis ......................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1 Sereh Dapur (Cymbopogon citratus) ............................................................ 6
2.2 Senyawa Sitral ................................................................................................ 7
2.3 Senyawa Sitronelal ....................................................................................... 10
2.4 Katalis .......................................................................................................... 11
2.5 Katalis Homogen .......................................................................................... 13
2.6 Katalis Heterogen ......................................................................................... 13
2.7 Komponen Katalis ........................................................................................ 14
2.8 Nikel ............................................................................................................ 17
2.9 Titanium Dioksida (TiO2) ............................................................................ 18
2.10 Impregnasi .................................................................................................... 20
2.11 TGA (Thermal Gravimetry Analyzer) .......................................................... 20
2.12 SAA (Surface Area Analyzer) ...................................................................... 22
2.13 XRD (X-Ray Diffraction) ............................................................................. 24
2.14 FTIR (Fourier Transform Infra Red) ........................................................... 25
2.15 GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) .................................... 27
xi
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................. 29
3.3 Diagram Alir Penelitian ............................................................................... 30
3.4 Prosedur Kerja .............................................................................................. 31
3.4.1 Sintesis Katalis Ni/TiO2 dengan Metode Impregnasi ...................... 31
3.4.2 Karakterisasi Katalis Ni/TiO2 ......................................................... 31
3.4.3 Uji Aktivitas Katalis Ni/TiO2 dalam Reaksi Hidrogenasi
Sitral menjadi Sitronelal .................................................................. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 34
4.1 Stabilitas Termal dengan TGA/DTA ........................................................... 34
4.2 Karakteristik Katalis Ni/TiO2 ....................................................................... 35
4.2.1 Kristalinitas dengan XRD ............................................................... 35
4.2.2 Luas Permukaan dengan SAA (BET) ............................................. 38
4.2.3 Situs Asam Bronsted dan Asam Lewis pada Katalis dengan
FTIR ................................................................................................ 39
4.3 Aktivitas Katalis Ni/TiO2 dalam Reaksi Hidrogenasi Sitral ........................ 41
4.3.1 Variasi Suhu Katalis ....................................................................... 42
4.3.2 Variasi Rasio Katalis terhadap Reaktan .......................................... 45
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 49
5.1 Simpulan ..................................................................................................... 49
5.2 Saran ............................................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 50
LAMPIRAN ......................................................................................................... 57
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur sitral trans (geranial) (a) dan sitral cis (neral) (b) ......................... 8
Gambar 2. Skema reaksi hidrogenasi sitral ........................................................... 9
Gambar 3. Struktur sitronelal .............................................................................. 10
Gambar 4. Struktur kristal TiO2 a)Anatase; b)Rutile ........................................... 19
Gambar 5. Skematis sistem kerja TGA ............................................................... 21
Gambar 6. Surface Area Analyzer (metode BET) ............................................... 23
Gambar 7. Skema alat difraksi sinar-X ............................................................... 25
Gambar 8. Prinsip kerja FTIR ............................................................................. 26
Gambar 9. Model proses pemisahan pada GCMS ............................................... 28
Gambar 10. Diagram alir penelitian .................................................................... 30
Gambar 11. Spektrum TGA/DTA katalis Ni/TiO2 .............................................. 34
Gambar 12. Pola difraksi katalis Ni/TiO2 10%berat dan 20%berat .................... 36
Gambar 13. Perbandingan pola difraksi katalis TiO2 dan Ni/TiO2 ..................... 37
Gambar 14. Spektrum FTIR katalis Ni/TiO2 ....................................................... 40
Gambar 15. Reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal .................................... 44
Gambar 16. Mekanisme reaksi hidrogenasi sitral ............................................... 47
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi komponen aktif katalis ......................................................... 15
Tabel 2. Klasifikai promotor ................................................................................ 16
Tabel 3. Ukuran kristal katalis TiO2 dan Ni/TiO2 ................................................ 38
Tabel 4. Karakteristik SAA katalis Ni/TiO2 ......................................................... 38
Tabel 5. Pengaruh suhu reaksi terhadap konversi sitral ....................................... 43
Tabel 6. Pengaruh rasio katalis terhadap konversi sitral ...................................... 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan bahan untuk impregnasi .............................................. 57
Lampiran 2. Poses sintesis katalis dan reaksi ...................................................... 59
Lampiran 3. Grafik hasil GCMS ......................................................................... 60
Lampiran 4. Hasil analisis GCMS ....................................................................... 62
Lampiran 5. Perhitungan % konversi dan selektivitas sitronelal ........................ 64
Lampiran 6. Perhitungan ukuran kristal katalis .................................................. 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman hayati
penghasil minyak atsiri, sehingga berpotensi besar sebagai negara produsen
minyak atsiri dunia. Indonesia memiliki sekitar 40 jenis dari 80 jenis tanaman
aromatik penghasil minyak atsiri yang diperdagangkan dunia (Agusta, 2000).
Tanaman sereh dapur merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang
sering digunakan di Indonesia, umumnya digunakan sebagai campuran bumbu
dapur dan rempah-rempah. Minyak atsiri dalam sereh dapur memiliki konstituen
utama berupa senyawa sitral. Komponen sitral pada minyak atsiri sereh dapur
memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku untuk industri kosmetik dan
sabun (Guenther, 1970).
Produksi minyak sereh dapur (Lemongrass oil) di dunia diperkirakan
mencapai 500 ton/tahun, dengan negara produsen utamanya India dan Guatemala,
namun Indonesia baru bisa memproduksi minyak ini dalam jumlah yang tidak
tetap dan ekspor hanya berkisar antara 2-3 ton minyak/tahun. Jumlah produksi ini
tidak sebanding dengan kebutuhan minyak sereh dapur (Harris, 1993).
Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Thaha ayat 53 yang berbunyi
sebagai berikut.
2
Artinya: ―Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah
menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air
hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang bermacam-macam.‖(QS. Thaha: 53)
Berdasarkan ayat diatas, Allah telah menciptakan bermacam-macam jenis
tumbuhan di muka bumi yang dapat memberikan banyak manfaat sebagai sumber
kehidupan. Sereh dapur merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan
kandungan senyawanya. Kita sebagai manusia perlu menemukan cara untuk
memanfaatkan keanekaragaman tumbuhan yang ada di bumi dan
mengembangkannya serta menjadikannya sebagai produk yang memiliki nilai jual
tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian.
Penelitian ini dilakukan konversi sitral yang merupakan konstituen utama
dalam minyak sereh dapur menjadi sitronelal melalui mekanisme reaksi
hidrogenasi, yaitu reaksi antara hidrogen dengan senyawa organik. Reaksi
hidrogenasi sitral dapat berlangsung menggunakan bantuan katalis (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Katalis heterogen lebih menguntungkan karena mudah
dipisahkan dari campuran produknya dan dapat dipakai beberapa kali (reusable)
dengan efisiensi yang hampir sama (Faba et al., 2012). Proses sintesis katalis
dalam penelitian ini menggunakan metode impregnasi, yaitu proses memasukkan
larutan garam logam komponen aktif ke dalam material penyangga (Wegener et
al., 2004).
Proses dalam reaksi hidrogenasi dapat dilakukan dengan menggunakan
logam-logam transisi sebagai komponen aktif katalis, seperti nikel (Ni), platina
(Pt), dan paladium (Pd) (Hansen dan Neurock, 2000). Pemilihan logam transisi
sebagai katalis berdasarkan kondisi proses hidrogenasi dan senyawa yang akan
dihidrogenasi (Suppes et al., 2004). Syunbayev et al., (2016) menyatakan bahwa
3
Ni memiliki selektivitas lebih tinggi dibandingkan dengan Pt dan Pd dalam reaksi
hidrogenasi sitral. Arvela et al., (2003) melaporkan bahwa katalis Ni selektif
terhadap pembentukkan sitronelal (<70%).
Penelitian mengenai hidrogenasi sitral telah banyak dilakukan diantaranya
oleh Aykac dan Yilmaz (2008) menggunakan bantuan katalis monometallic Ni
dan bimetallic Ni-Sn dengan penyangga zeolit Na-Y menghasilnya yield sitronelal
84,5% dan 44,5%. Syunbayev et al., (2016) telah melakukan reaksi hidrogenasi
sitral menjadi sitronelal dengan bantuan katalis Ni/Cr2O3 pada tekanan 20 bar dan
suhu 70 oC menggunakan pelarut isopropanol menghasilkan selektivitas terhadap
produk sitronelal sebesar 78%. Berdasarkan hasil tersebut maka pada penelitian
ini digunakan logam aktif Ni sebagai komponen aktif katalis dan isopropanol
sebagai pelarut. Variasi suhu reaksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 60,
80, dan 100 oC, dikarenakan suhu didih isopropanol adalah 82,5
oC, apabila suhu
reaksi terlalu jauh melampaui titik didih, maka isopropanol akan menguap dan
menurunkan kecepatan reaksi hidrogenasi.
Aktivitas dan selektivitas katalis dipengaruhi oleh karakteristik katalis,
sedangkan karakteristik katalis dipengaruhi oleh metode preparasi dan kandungan
logam aktifnya (Wegener et al., 2004). Penggunaan logam Ni sebagai komponen
aktif katalis dapat meningkatkan luas permukaan katalis ketika diimpregnasikan
ke dalam komponen penyangga. Suyati (2005) dalam penelitiannya mensintesis
katalis Ni/zeolit dengan metode impregnasi, dimana sebelum diimpregnasikan
dengan logam Ni luas permukaan zeolit sebesar 53,16 m2/g, dan setelah
diimpregnasikan dengan logam Ni luas permukaannya menjadi 75,66 m2/g.
4
Penelitian ini juga melakukan variasi rasio katalis, yaitu 10, 20, dan 30%.
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al., (2017) dalam mensintesis metil
ester dari minyak dedak padi menggunakan katalis K/ZAA (zeolit alam aktif)
dengan variasi rasio katalis sebesar 1; 2,5; 5; dan 10% memperoleh nilai biodiesel
secara berurutan sebesar 64,9; 72,7; 78,4 dan 81,6%. Variasi rasio katalis terhadap
reaktan belum pernah dilakukan pada reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal,
sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Rasio katalis yang terlalu banyak
mengakibatkan proses hidrogenasi menjadi tidak efisien, sedangkan apabila rasio
katalis terlalu sedikit akan menyebabkan proses hidrogenasi tidak terjadi dengan
baik.
Penyangga sebagai salah satu komponen terbesar dari katalis dapat
meningkatan kinerja katalis dengan memperbesar luas permukaan katalis (Sharidi,
2005). Bahan penyangga yang digunakan dalam penelitian ini yaitu TiO2 karena
bersifat inert, tidak mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi pada permukaan
katalis, dan tahan panas (Satterfield, 1980). Liu et al., (2010) telah melakukan
konversi sitral menjadi senyawa turunannya melalui mekanisme reaksi
hidrogenasi menggunakan logam aktif Pd yang diimpregnasikan ke dalam TiO2.
Penelitian tersebut dilakukan pada suhu 80 oC, dalam kondisi dibawah tekanan H2
sebesar 40 bar selama 4 jam. Produk yang dihasilkan yaitu senyawa sitronelal
dengan nilai konversi sebesar 8% dan selektivitas terhadap produk sebesar 67%.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan performa katalis Ni/TiO2
dalam mengkonversi sitral menjadi sitronelal melalui mekanisme reaksi
hidrogenasi serta dapat memanfaatkan minyak sitral sebagai sumber kehidupan.
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh logam Ni yang diimpregnasikan ke dalam TiO2
terhadap luas permukaan katalis?
2. Bagaimana aktivitas katalitik Ni/TiO2 terhadap konversi dan selektivitas
sitral menjadi sitronelal berdasarkan variasi suhu reaksi dan variasi rasio
katalis terhadap reaktan?
1.3 Hipotesis
1. Impregnasi logam Ni dalam penyangga TiO2 dapat meningkatkan luas
permukaan katalis.
2. Semakin tinggi suhu reaksi dan rasio katalis terhadap reaktan, dapat
meningkatkan nilai konversi dan selektivitas sitral menjadi sitronelal.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan luas permukaan katalis terhadap pengaruh impregnasi logam
Ni dalam penyangga TiO2.
2. Menentukan aktivitas katalitik Ni/TiO2 terhadap konversi dan selektivitas
sitral menjadi sitronelal berdasarkan variasi suhu reaksi dan variasi rasio
katalis terhadap reaktan.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
terbaik dalam reaksi hidrogenasi terkatalisis Ni/TiO2 dalam mengkonversi sitral
menjadi sitronelal dan dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sereh Dapur (Cymbopogon citratus)
Sereh dapur biasa tumbuh pada daerah dengan ketinggian 50-2.700 m di
atas permukaan laut. Sereh dapur dapat tumbuh secara alami, namun dapat juga
ditanam pada berbagai kondisi tanah di daerah tropis yang lembab, cukup sinar
matahari, dan curah hujan yang relatif tinggi. Tanaman ini banyak terdapat di
Jawa, terutama daerah dataran rendah (Prasetyono, 2014).
Tanaman sereh mampu tumbuh sampai 1-1,5 m, panjang daunnya mencapai
70-80 cm dan lebarnya 2-5 cm, berwarna hijau muda, kasar, dan mempunyai
aroma yang kuat (Wijayakusuma, 2005). Tanaman sereh dapur memiliki habitus
berupa tanaman tahunan yang hidup secara liar dan berbatang semu yang
membentuk rumpun tebal serta mempunyai aroma yang kuat dan wangi.
Morfologi akarnya berimpang pendek dan berwarna coklat muda (Sastrapradja,
1978). Perbanyakan sereh dapat dilakukan dengan menanam potongan rimpang
sereh dapur. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 0,5-1 m. Pemanenan dilakukan
bila tinggi tanaman telah mencapai 1-1,5 m. Pemotongan pertama dilakukan pada
umur 6-9 bulan. Pemanenan selanjutnya dilakukan selang 3-4 bulan (Prasetyono,
2014).
7
Menurut Muhlisah (1999), tanaman sereh dapur memiliki klasifikasi
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Liliopsida
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Cymbopogon
Species : Cymbopogon citratus (DC.) Stapf
Di Indonesia, masyarakat umumnya menggunakan sereh dapur sebagai
campuran bumbu dapur dan rempah-rempah karena mempunyai aroma khas
seperti lemon. Aroma ini diperoleh dari senyawa sitral yang terkandung dalam
minyak atsiri sereh dapur (Guenther, 1948). Sereh dapur mengandung kadar sitral
yang tinggi (75 sampai 85%) sehingga minyak sereh dapur dinamakan lemongrass
oil (Guenther, 1990).
Sereh dapur merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri.
Kandungan utama minyak sereh dapur adalah sitral dan mengandung senyawa
lain seperti metilheptan, n-desil aldehida, linalool, dan geraniol. Minyak sereh
dapur merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang memiliki banyak manfaat,
salah satunya untuk menghasilkan sitral yang merupakan kandungan utama dari
minyak sereh dapur. Minyak sereh dapur dapat digunakan sebagai bahan baku
dalam industri kosmetik dan sabun (Guenther, 1990). Leung dan Foster (1980)
mengutarakan bahwa minyak atsiri yang terkandung dalam sereh dapur memiliki
khasiat sebagai antijamur dan antibakteri.
2.2 Senyawa Sitral
Sitral adalah gabungan dari dua isomer aldehida monoterpene acylic.
Senyawa sitral dapat membentuk turunannya seperti sitronelal, sitronelol, dan
8
geraniol. Karakteristik dari senyawa sitral ini adalah berbau lemon, maka
sitral sangat penting dalam industri makanan dan penyedap rasa. Sitral juga dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat-obatan, parfum, dan industri
kosmetik (Aykac dan Yilmaz, 2008). Sitral berperan sebagai antimikroba,
antiinflamasi, mempunyai efek diuretik, dan menstimulasi aktivitas sistem saraf
pusat (Carbajal et al., 1989). Sitral juga diketahui sebagai antikanker dan
menghambat tumor kelenjar prostat pada tikus (Carlini et al., 1986) serta memiliki
efek mutagen terhadap induksi siklopospamida (Ress, 2003). Peran penting
lainnya adalah dalam rute sintesis senyawa ionon serta vitamin A, E, dan K (Sell,
2003). Struktur kimia sitral diperlihatkan pada Gambar 1.
(a) (b)
Gambar 1. Struktur sitral trans (geranial) (a) dan sitral cis (neral) (b)
Secara kimia, sitral merupakan campuran dua isomer aldehida (cis (neral)
dan trans (geranial)) yang memiliki rumus molekul sama tetapi struktur yang
berbeda (Gambar 1). Sitral memiliki tiga jalur hidrogenasi, yaitu ikatan konjugat
ganda C=C, gugus karbonil C=O dan ikatan ganda terisolasi. Gambar 2
menyajikan jalur reaksi yang dapat terjadi untuk membentuk senyawa antara
selama hidrogenasi sitral.
9
H2
Sitral, trans Geraniol
Sitral, cis Sitronelal Sitronelol
Nerol
Gambar 2. Skema reaksi hidrogenasi sitral
Hidrogenasi gugus fungsional C=O pada sitral membentuk alkohol tak
jenuh (cis dan trans) yaitu nerol dan geraniol (3,7-dimetil-2,6-oktadienol),
senyawa ini merupakan produk yang bermanfaat dan telah digunakan dalam
produksi rasa, wewangian, penolak serangga dan berperan dalam sintesis senyawa
lain seperti asetat dan turunan isobutirat. Sitronelal (3,7-dimetil-6-oktanal)
diperoleh melalui reakssi hidrogenasi selektif dari ikatan C=C dari sitral dan
sitronelol (3,7-dimetil-6-oktanol) dapat diperoleh melalui reaksi hidrogenasi
selektif dari ikatan C=O pada sitronelal atau dari ikatan C=C pada nerol dan
geraniol. Kedua senyawa ini (sitronelal dan sitronelol) biasanya digunakan dalam
pembuatan sabun, deterjen, parfum, dan penolak serangga (Kirk-Othmer, 1993).
10
2.3 Senyawa Sitronelal
Sitronelal merupakan monoterpen yang terbentuk dari metabolisme
sekunder tanaman. Sitronelal merupakan salah satu senyawa terpen yang paling
penting bersama dengan sitral, geranial, linalool dan sitronelol (Pybus dan Selli,
1999). Sitronelal bila direaksikan dengan berbagai senyawa yang bersifat asam
seperti anhidrida asetat dan sebagainya akan mengalami siklisasi menjadi
isopulegol dan sejumlah isomer (isopulegol sebagai produk utama) (Irna dan
Ernayenti, 2007). Struktur senyawa sitronelal diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur sitronelal
Sitronelal memiliki rumus molekul C10H18O dengan nama IUPAC 3,7-
dimetil-6-oktanal. Sitronelal termasuk senyawa minyak atsiri yang mudah
menguap pada suhu kamar, bersifat sedikit larut dalam air dan dapat larut dalam
alkohol dan ester (Ketaren, 1985). Struktur sitronelal memiliki dua gugus aktif
yaitu gugus karbonil dan ikatan rangkap C6=C7, serta satu atom C asimetris (kiral)
(Iftitah et al., 2010).
Menurut Agustian et al., (2007), sitronelal merupakan bahan dasar sintesis
pembuatan fragrance seperti sitronelol, isopulegol, mentol dan ester-ester lainnya
yang mempunyai aroma yang khas. Penggunaan lain dari sitronelal adalah untuk
pembuatan hidroksi sitronelal, dimana hidroksi sitronelal ini merupakan salah satu
senyawa sintetik yang paling penting dalam wewangian. Senyawa tersebut
memiliki bau yang harum seperti floral-lily sehingga sejumlah orang
11
menyebutnya sebagai king of the parfumes (raja parfum). Hidroksi sitronelal
digunakan untuk pewangi sabun dan kosmetika, flavoring agent untuk aneka
makanan dan minuman, obat-obatan, repellent (obat pengusir/penolak nyamuk),
produk home care dan personal care karena bermanfaat untuk menenangkan,
antiseptik, membantu melemaskan otot, dan bau harumnya membangkitkan
gairah. Di Indonesia, pada umumnya hidroksi sitronelal digunakan untuk
detergen.
2.4 Katalis
Katalis merupakan substansi kimia yang dapat mempercepat reaksi untuk
mencapai kesetimbangan tanpa mengalami perubahan kimiawi diakhir reaksi.
Katalis berperan dalam menurunkan energi aktivasi dan tidak mengubah nilai
kesetimbangan. Penurunan energi aktivasi ini mengakibatkan energi yang
dibutuhkan untuk terjadinya tumbukan berkurang sehingga reaksi berjalan cepat
(Gates, 1991). Katalis pada umumnya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
aktivitas, stabilitas, selektivitas, umur, regenerasi dan kekuatan mekanik. Katalis
secara umum mempunyai 2 fungsi yaitu mempercepat reaksi menuju
kesetimbangan atau fungsi aktivitas dan meningkatkan hasil reaksi yang
dikehendaki atau fungsi selektivitas (Nasikin dan Susanto, 2010).
Katalis sebagai suatu substansi kimia mampu mempercepat laju reaksi
kimia yang secara termodinamika dapat berlangsung, hal ini disebabkan
kemampuannya mengadakan interaksi dengan paling sedikit satu molekul reaktan
untuk menghasilkan senyawa antara yang lebih aktif. Interaksi ini akan
meningkatkan ketepatan orientasi tumbukan, meningkatkan konsentrasi akibat
12
lokalisasi reaktan, sehingga meningkatkan jumlah tumbukan dan membuka alur
reaksi dengan energi pengaktifan yang lebih rendah (Gates, 1991).
Istadi (2011) menyatakan bahwa katalis dapat dibagi ke dalam 3
komponen yakni komponen aktif, penyangga (pengemban), dan promotor.
Komponen aktif dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban
atau dapat pula berasal dari pengemban itu sendiri. Logam-logam tersebut
umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau
elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga
terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).
Penyangga berperan dalam memodifikasi komponen aktif, menyediakan
permukaan yang luas, dan meningkatkan stabilitas katalis, sementara itu promotor
berperan dalam meningkatkan atau membatasi aktivitas katalis serta berperan
dalam struktur katalis (Istadi, 2011).
Menurut Setyawan dan Handoko (2003) dalam memilih suatu katalis,
terdapat beberapa parameter yang harus diperhatikan diantaranya:
a. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi
produk yang diinginkan.
b. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara
beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat diperoleh
dengan produk sampingan seminimal mungkin.
c. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas pada
keadaan semula.
d. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas
katalis seperti semula.
13
2.5 Katalis Homogen
Katalis homogen merupakan katalis yang fasanya sama dengan fasa
campuran reaksi. Campuran reaksi dan katalis umumnya berfasa cair. Katalis
homogen dapat berupa katalis asam-basa atau katalis senyawa logam transisi
(Gates, 1992). Katalis homogen sering digunakan dalam reaksi senyawa organik
seperti reaksi asetilasi gliserol. Beberapa katalis homogen yang pernah digunakan
adalah H2SO4, HCl, HNO3 dan H3PO4 (Khayoon dan Hameed, 2011).
Keuntungan dari penggunaan katalis homogen adalah kespesifikannya,
tidak dibutuhkannya tekanan yang tinggi dalam reaksi, dan keadaan awalnya
dapat dipelajari sebelum reaksi (Kazansky et al., 1983). Katalis homogen sering
dipakai pada skala industri untuk proses katalisis reaksi eksotermis karena mudah
menghilangkan panas dari sistem, akan tetapi katalis homogen memiliki
kelemahan yaitu sulit dipisahkan dari produk karena fasanya yang sama, kurang
stabil pada reaksi suhu tinggi, dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu, udara
dan kelembaban (Ertl dan Knözinger, 1991). Katalis homogen juga bersifat
korosif sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan (Hinze et al.,
2009). Penggunaan katalis homogen hanya dijumpai pada industri-industri
tertentu misalnya industri bahan kimia, obat-obatan, dan makanan. Industri
petrokimia seperti produksi asam asetat, alkilasi olefin, dan hidroforbilasi juga
menggunakan katalis homogen (Istadi, 2011).
2.6 Katalis Heterogen
Katalis heterogen adalah katalis yang dapat berlangsung lebih dari satu
fasa. Reaktan dan produk terdapat dalam fasa padat, gas, atau cairan, sedangkan
katalis yang digunakan dalam bentuk padatan. Reaksi antara katalis dengan
14
reaktan berlangsung di permukaan katalis yang memiliki sisi aktif (Gates, 1992).
Katalis heterogen memiliki keuntungan dibandingkan katalis homogen khususnya
dalam pemisahannya karena produk yang terlarut dalam medium reaksi dapat
dipisahkan dari katalisnya dengan penyaringan dan dapat diregenerasi sehingga
dapat digunakan kembali (Rispiandi, 2011). Katalis heterogen juga memiliki
stabilitas termal yang cukup tinggi, dan regenerasi katalis dapat dilakukan pada
suhu tinggi (Gates, 1992).
Syarat utama dalam katalis heterogen adalah bahwa pereaksi fasa gas atau
larutan diadsorpsi ke permukaan katalis. Permukaan atom tidak semuanya
memiliki tingkat efektivitas yang sama sebagai katalis. Katalis heterogen
mencakup (Supeno, 2009):
1. Reaktan akan terjerap (adsorpsi) pada permukaan aktif katalis.
2. Terjadi interaksi pada sepanjang permukaan katalis atau terjadi pelemahan
ikatan dari molekul yang terjerap.
3. Molekul hasil reaksi (produk) dilepas dari permukaan katalis tetelah reaksi
terjadi.
2.7 Komponen Katalis
2.7.1 Komponen Aktif
Komponen aktif merupakan tahap awal dalam desain katalis. Komponen
aktif dari katalis bisa menjadi tidak aktif (terdeaktivasi) saat digunakan karena
kehadiran kokas dan senyawa racun seperti CO, CO2, dan senyawa-senyawa
sulfur serta rusaknya struktur akibat temperatur operasi yang terlalu tinggi
(Triyono, 2011). Komponen aktif katalis dapat berupa logam, oksida atau sulfida
logam maupun bahan mineral sintetik dan semi sintetik. (Richardson, 1989).
15
Klasifikasi komponen aktif katalis dapat dibedakan berdasarkan kelasnya
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi komponen aktif katalis
Kelas Reaksi Contoh
Logam
Hidrogenasi
Hidrolisis
Oksidasi
Fe, Ni, Pt, Pd,
Cu, Ag
Oksida dan Sulfida
Hidrogenasi selektif
Hidrogenasi
Oksidasi
NiO, ZnO, CuO,
Cr2O3, MOS2
Oksida
Polimerisasi
Isomerisasi
Perengkahan
Dehidrasi
Al2O3.SiO2,MgO,
Al2O3.SiO2 zeolit
Sumber: Richardson, 1989
Komponen aktif katalis merupakan komponen yang paling berpengaruh
terhadap terjadinya reaksi. Pemilihan komponen aktif bergantung pada jenis
reaksi yang akan dilakukan (Hasibuan, 2009).
2.7.2 Komponen Penyangga
Komponen penyangga berfungsi sebagai tempat penebaran komponen
aktif dengan tujuan memperluas permukaan kontak antara fasa aktif dengan
reaktan, tanpa mengurangi aktivitas fasa itu sendiri. Selain itu, fungsi lainnya
adalah sebagai permukaan yang stabil dimana inti aktif terdispersi sedemikian
rupa sehingga sintering dapat dikurangi (Nasikin dan Susanto, 2010). Bahan
penyangga juga dapat berfungsi sebagai media perpindahan panas, saringan
molekuler dan peningkat sifat mekanik (Haerudin, 2005).
Penyangga harus tahan terhadap pertumbuhan kristal dikarenakan panas,
yang artinya harus memiliki titik lebur yang tinggi atau minimal lebih tinggi
daripada titik lebur senyawa aktif (Nasikin dan Susanto, 2010). Bahan penyangga
sebagian besar berupa oksida, mineral atau campuran keduanya. Bahan penyangga
16
yang dipilih selalu disesuaikan dengan kebutuhan reaksi katalitiknya agar reaksi
dapat berlangsung optimal, oleh karena itu dalam pemilihan suatu penyangga
harus memperhatikan beberapa hal berikut (Haerudin, 2005):
a. Luas permukaan spesifik katalis yang besar.
b. Memiliki porositas yang baik.
c. Inert terhadap reaksi yang tidak diinginkan.
d. Tahan terhadap panas dan stabil.
2.7.3 Promotor
Penambahan promotor pada katalis dimaksudkan untuk meningkatkan
kinerja katalis (aktivitas, selektivitas atau stabilitas). Lazimnya promotor
ditambahkan dalam jumlah kecil pada saat pembuatan katalis. Promotor sendiri
umumnya tidak aktif, tetapi jika ditambahkan pada katalis dapat memperbaiki
kinerja katalis (Nasikin dan Susanto, 2010). Klasifikasi promotor dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi promotor
Kelas Promotor Fungsi
Al2O3 SiO2, ZrO, P, K2O, HCl,
MgO
Memperbaiki stabilitas
termal, meracuni pusat
pembentukan,
meningkatkan keasaman,
menghambat sintering
SiO2-Al2O3 Pt Mempercepat oksidasi
CO
Zeolit Pd Mempercepat hidrogenasi
Pt/Al2O3 Re Menghambat hidrogenasi
dan sintering
MoO3 Ni, Co Mempercepat hidrogenasi
C-S dan C-N Sumber: Subagjo, 2010
Biasanya penggunaan promotor dilakukan pada penyangga yang
berbentuk senyawa oksida. Penyangga oksida terdalam dalam beberapa fasa yang
17
berbeda, yang mungkin tidak diinginkan. Dengan penambahan promotor ini akan
menyebabkan katalis dapat cukup terlindungi dari kerusakan dan perubahan
jangka panjang .Penambahan promotor juga bertujuan untuk mencegah aktivitas
yang tidak diinginkan seperti pembentukan deposit karbon. Deposit karbon ini
dapat dihilangkan dengan pemanasan yang memungkinkan terjadinya penurunan
aktivitas akibat sintering. Pemberian promotor pada komponen aktif dapat
dilakukan dengan cara perubahan struktur atau secara elektronik (Nasikin dan
Susanto, 2010).
2.8 Nikel
Logam transisi sering digunakan sebagai katalis heterogen. Logam transisi
tersebut bersifat asam dan berperan dalam reaksi perpindahan elektron. Logam
transisi yang digunakan sebagian besar adalah logam golongan VIII B (Tsani,
2011). Logam-logam transisi pada umumnya dapat digunakan sebagai katalis
karena logam transisi telah mengisi orbital 3d dan memiliki elektron tidak
berpasangan sehingga mudah berikatan dengan atom lain. Logam Ni yang
mempunyai konfigurasi elektron [Ar] 3d8 4s
2 yang banyak digunakan sebagai
katalis reaksi hidrogenasi alkena (Bakri dan Ridia, 2008).
28Ni : (Ar)
4s 3d
Logam nikel mempunyai orbital 3d yang belum penuh maka, sesuai aturan
Hund, terdapat elektron- elektron uang tidak berpasangan pada orbital d. Keadaan
ini menentukan sifat- sifat nikel yaitu sifat megnetik, struktur padatnya dan
kemampuan logam nikel membentuk senyawa komplek. Fenomena ini
menjadikan logam nikel mudah membentuk ikatan kovalen koordinat sehingga
18
pembentukan senyawa antara pada permukaan katalis menjadi lebih mudah
(Tsani, 2011).
Nikel telah banyak digunakan sebagai katalis dalam beberapa reaksi
sintesis senyawa organik, yaitu sebagai katalis heterogen (Cotton dan Wilkinson,
1989). Logam nikel dipergunakan secara luas sebagai katalis untuk proses
hidrogenasi. Proses hidrogenasi merupakan suatu proses industri yang bertujuan
untuk menjenuhkan ikatan rangkap (Ketaren, 1985). Katalis nikel paling banyak
digunakan karena reaktivitasnya yang besar setelah paladium (Pd>Ni>Co>Fe>Cu)
(Johnstone dan Johnstone, 1961).
2.9 Titanium dioksida (TiO2)
Titanium dioksida adalah senyawa dengan formula TiO2 yang berbentuk
bubuk, berwarna putih atau hitam tergantung dari kemurniannya. TiO2 merupakan
bentuk oksida dari titanium. TiO2 mempunyai berat molekul 79,90 g/mol,
memiliki densitas 4,26 g/cm3, dengan titik lebur 1885
oC (Cotton dan Wilkinson,
1988). Titanium dioksida dihasilkan dengan mereaksikan mineral ilimenit dengan
asam sulfat dan digunakan sebagai bahan pewarna putih dalam pembuatan cat,
kertas, keramik dan plastik (Basri, 2005). Peranan TiO2 dalam bidang industri
yaitu sebagai pigmen, adsorben, pendukung katalitik dan semikonduktor.
Senyawa ini banyak digunakan dalam industri karena mempunyai banyak
kelebihan yaitu non toksik, stabil, non korosif, tidak larut dalam air dan ramah
lingkungan (Ahmed, 2010).
TiO2 memiliki tiga fase struktur kristal yaitu anatase, rutile, dan brukit.
Rutile dan anatase merupakan bentuk yang paling banyak di alam, keduanya
memiliki struktur kristal tetrahedral sedangkan brukit memiliki struktur kristal
19
orthorombik (Carp et al., 2004). Struktur kristal yang berbeda ini mempengaruhi
luas permukaan dan sisi aktif TiO2 (Arutanti et al., 2009). Struktur TiO2 anatase
dan rutile ditampilkan pada Gambar 4.
a b Gambar 4. Struktur kristal TiO2 a)Anatase; b)Rutil
(Rahmawati, 2011)
Secara termodinamik anatase kurang stabil bila dibandingkan dengan
rutile, pembentukan kristal anatase lebih sering digunakan karena berada pada
temperatur rendah, sedangkan brukit sulit ditemukan biasanya terdapat dalam
mineral dan sulit dimurnikan. Bentuk kristal anatase terjadi pada pemanasan suhu
rendah (100-700 oC), sedangkan pada rutile terbentuk pada suhu tinggi (700-1000
oC) dan pada suhu tersebut anatase dapat mengalami transformasi menjadi rutile
(Fujishima et al., 2005).
TiO2 adalah tetragonal dan dapat digambarkan sebagai rantai oktahedron
TiO6. Perbedaan keduanya terdapat pada distorsi oktahedral dan pola susunan
rantai oktahedralnya sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4. Masing-masing
ion Ti4+
dikelilingi oleh enam ion O2-
. Oktahedral pada struktur rutile mengalami
sedikit distorsi ortorombik, sedangkan pada anatase distorsi ortorombiknya cukup
besar sehingga relatif tidak simetri. Jarak antara Ti-Ti anatase lebih besar
dibandingkan dengan rutile (3,79 dan 3,04 Å dengan 3,57 dan 3,96 Å) sedangkan
jarak Ti-O anatase lebih kecil dibanding dengan rutile (1,934 dan 1,980 Å dengan
1,949 dan 1,980 Å). Setiap oktahedron pada struktur rutile dikelilingi oleh
20
sepuluh oktahedron tetangga, sedangkan pada struktur anatase setiap oktahedron
hanya dikelilingi delapan oktahedron tetangga. Distorsi ortorombik menyebabkan
terjadinya perbedaan luasan aktif, anatase memiliki simetri geometris yang lebih
mendukung untuk mengabsorbsi cahaya karena luasan aktifnya lebih besar
daripada rutile (Linsebigler et al., 1995).
2.10 Impregnasi
Impregnasi didefinisikan sebagai salah satu metode dalam preparasi katalis
yang paling sederhana. Metode ini sering digunakan untuk mensintesis katalis.
Metode ini bertujuan untuk mengisi pori-pori penyangga dengan larutan logam
aktif melalui adsorpsi logam, yaitu dengan merendam penyangga dalam larutan
yang mengandung logam aktif. Penyangga memiliki fungsi sebagai penyedia
permukaan yang luas agar lebih mudah menebarkan situs aktif, sehingga
permukaan kontaknya lebih luas dan efisien. Bahan penyangga yang sering
digunakan sebagai pengemban katalis adalah alumina (Al2O3), TiO2, silika-
alumina, silika, zeolit dan magnesia (Topsoe et al., 1996).
Metode impregnasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu peralatan yang
digunakan relatif sedikit karena tidak ada langkah pencucian dan penyaringan.
Metode impregnasi juga sangat cocok untuk sintesis katalis dengan persen berat
komponen aktif katalis yang kecil, yaitu komponen aktif yang termasuk logam
mulia dan diinginkan terdistribusi sempurna sehingga diperoleh luas permukaan
komponen aktif yang besar (Satterfield, 1980).
2.11 TGA (Thermal Gravimetry Analyzer)
Analisis TGA adalah salah satu metode karakterisasi katalis berdasarkan
proses hilangnya berat katalis melalui pengukuran secara kontinyu sebagai fungsi
21
suhu pada kecepatan tetap atau sebagai fungsi waktu. Metode analisis ini
bertujuan untuk mengukur dan mempelajari kemurnian, kinetika kimia dan
degradasi termal suatu material. TGA juga memberikan informasi tentang produk
akhir dan menentukan perbedaan komposisi awal dan akhir suatu material
(Smallman dan Bishop, 1995).
Analisis kuantitatif dengan TGA dapat digunakan pada bahan atau
material yang mudah menguap. Hasil pengukuran berupa termogram massa
sebagai fungsi suhu. Pengukuran dengan TGA menggunakan gas inert seperti gas
helium, argon dan nitrogen. Prinsip kerja TGA adalah memanaskan sampel pada
suhu tinggi dan mengukur berat sampel yang terdekomposisi seiring dengan
meningkatnya suhu (Smallman dan Bishop, 1995). Skematis sistem kerja TGA
diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Skematis sistem kerja TGA (Arianti, 2011)
TGA terdiri dari sebuah sample pan yang didukung oleh sebuah precision
balance. Pan tersebut ditempatkan dalam suatu furnace dan dipanaskan atau
didinginkan selama eksperimen. Massa dari sampel dipantau selama eksperimen.
Sampel dialiri oleh suatu gas untuk mengontrol lingkungan sampel. Gas yang
Microbalance
Computer
Temperature
Programmer
22
digunakan dapat berupa gas inert atau gas reaktif yang mengalir melalui sampel
dan keluar melalui exhaust (Beri dan Sanjaya, 2012). Selisih massa sampel dan
massa blanko (dikondisikan nol) direkam dan hasilnya diplot dalam sebentuk
grafik fungsi massa terhadap temperatur. Hasil rekamannya dinamakan
thermogram. Berbagai proses dapat dilakukan dengan mengubah-ubah variabel
sesuai kebutuhan, seperti kenaikan dengan laju pemanasan yang tetap,
mengkondisikan sampel pada temperatur tetap tententu, atau penurunan
temperatur. Perubahan massa sampel dapat terjadi karena adanya dekomposisi,
evaporasi, adsorpsi, atau reaksi dengan atmosfer (gas) yang digunakan untuk
proses pengurangan massa (misalnya karena dekomposisi atau reaksi yang
menghasilkan gas) (Smallman dan Bishop, 1995).
2.12 SAA (Surface Area Analyzer)
SAA merupakan salah satu instrumen utama dalam karakterisasi material
yang memerlukan sampel dalam jumlah kecil biasanya berkisar 0,1 sampai 0,01
gram. Alat ini khususnya berfungsi untuk menentukan luas permukaan material,
distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan
(Gregg dan Sing, 1982). Alat ini terdiri dari dua bagian utama yaitu Degasser dan
Analyzer (Sasongko, 1988).
Luas permukaan (surface area) merupakan sifat yang penting dalam
aplikasi katalis. Luas permukaan merupakan luasan yang ditempati satu molekul
adsorbat/zat terlarut yang merupakan fungsi langsung dari luas permukaan
sampel, sehingga dapat dikatakan bahwa luas permukaan merupakan jumlah pori
di setiap satuan luas dari sampel dan luas permukaan spesifiknya merupakan luas
permukaan per gram. Luas permukaan (surface area, m2/g) merupakan parameter
23
yang paling penting kaitannya dengan permukaan katalis di dalam katalis
heterogen. Luas permukaan total merupakan kriteria krusial untuk katalis padat
karena sangat menentukan jumlah situs aktif di dalam katalis kaitanya dengan
aktivitas katalis (Istadi, 2006).
Luas permukaan dipengaruhi oleh ukuran pori, bentuk pori dan susunan
pori dalam partikel (Martin et al., 1993). Alat surface area secara garis besar
dapat dikatakan bekerja berdasarkan metode BET (Brunauer-Emmett-Teller) yaitu
adsorpsi dan desorpsi isothermis gas nitrogen (N2) oleh sampel padatan pada
kondisi temperatur nitrogen cair sebagai lapisan tunggal (monolayer) (Rianto
et al., 2007). Alat Surface Area Analyzer diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Surface Area Analyzer (metode BET)
Prinsip kerja SAA didasarkan pada siklus adsorpsi dan desorpsi isothermis
gas N2 oleh sampel serbuk pada suhu nitrogen cair. Proses adsorpsi digambarkan
sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara
energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat
permukaan. Proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang
24
diadsorbsi pada sisi dasar adsorbsi pada permukaan). Lapisan pertama molekul
yang diadsorbsi memiliki energi interaksi dengan medan adsorbs (Ea0) dan
interaksi vertikal antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap
panas adsorbat dan molekul yang diadsorbsi tidak berinteraksi secara
menyamping (Martin et al., 1993)
2.13 XRD (X-Ray Diffraction)
Metode analisis difraksi sinar-X dikenal dengan sebutan X-Ray Diffraction
(XRD) ini digunakan untuk mengetahui fasa kristalin. Difraksi sinar-X dalam
analisis padatan kristalin memegang peranan penting untuk meneliti parameter
kisi dan tipe struktur, selain itu dimanfaatkan untuk mempelajari cacat pada kristal
individu dengan mendeteksi perbedaan intensitas difraksi di daerah kristal dekat
dislokasi dan daerah kristal yang mendekati kesempurnaan (Cullity, 1978).
Katalis pada umumnya berbentuk padatan kristal seperti oksida logam,
zeolit, dan logam berpenyangga. XRD menjadi teknik yang mendasar untuk
mengevaluasi sifat-sifat kristal dan ukuran kristal. Ukuran kristal dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan Scherrer, FWHM (Full Widht of Half
Maximum) (Cullity, 1978):
D adalah diameter (ukuran kristal), λ adalah panjang gelombang sinar-X
yang digunakan, θ adalah sudut Bragg, adalah FWHM satu puncak yang dipilih,
dan k adalah konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang
umumnya dipakai untuk k adalah 0,9 (Cullity, 1978). Skema alat XRD
diperlihatkan pada Gambar 7.
25
Gambar 7. Skema alat difraksi sinar-X (Connolly, 2007).
Prinsip kerja alat XRD adalah penembakan elektron berenergi tinggi
(anoda) atau berkas elektron (electron beam) yang berasal dari tabung sinar-X.
Tabung sinar-X terdiri dari tabung gelas yang telah divakumkan dan filamen yang
dipanaskan menghasilkan elektron-elektron yang kemudian ditembakkan ke
logam target (katoda), sehingga elektron yang bertumbukan dengan logam akan
menghasilkan radiasi yang keluar melalui jendela tipis berilium dan membentuk
sudut θ. Lapisan berilium ini disebut juga dengan slit. Slit berfungsi membuat
spektrum sinar-X sejajar dan mengenai sampel. Berkas yang keluar dari berilium
disebut dengan sinar-X, hal ini sesuai dengan hukum Bragg ketika sinar-X
diposisikan sedemikian rupa dan mengenai sampel, maka atom sampel akan
mendifraksikan sinar-X dan seterusnya ditangkap oleh detektor (Connolly, 2007).
2.14 FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Spektrofotometer FTIR adalah instrumen analisis kimia yang digunakan
untuk konversi spektrum waktu ke spektrum frekuensi. Spektrofotometer IR
memberikan analisis secara kualitatif dengan mengidentifikasi macam gugus
26
fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Suatu senyawa akan memancarkan
energi yang kemudian akan diserap oleh alat dengan spektra. Spektrofotometer IR
menyajikan grafik dari presentasi transmitasi dengan kenaikan panjang
gelombang atau penurunan frekuensi (Fessenden dan Fessenden, 1986). Prinsip
kerja alat FTIR diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Prinsip kerja FTIR (Giwangkara, 2006)
Mekanisme yang terjadi pada alat FTIR dapat dijelaskan sebagai berikut,
sinar yang datang dari sumber sinar akan diteruskan, kemudian akan dipecahkan
oleh pemecah sinar menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini
kemudian dipantulkan oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak.
Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecahan
sinar untuk saling berinteraksi. Pemecahan sinar menyebabkan sebagian sinar
akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian menuju sumber. Gerakan cermin
yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai ke detektor akan
berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak
yang sama terhadap detektor, dan akan saling melemahkan jika kedua cermin
27
memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar yang sampai pada detektor ini akan
menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram ini
akan diubah menjadi spektra IR dengan bantuan komputer berdasarkan operasi
matematika (Stuart, 2004).
2.15 GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry)
Kromatografi Gas Spektroskopi Massa atau sering disebut GCMS (Gas
Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang
menggabungkan dua metode analisis, yaitu kromatografi gas dan spektroskopi
massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan
secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan
dapat dilihat berupa kromatogram), sedangkan spektroskopi massa adalah metode
analisis, dimana sample yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gas-nya, dan
massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa
spektrum massa. Kromatografi gas hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan
komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan spektrum massa
(berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut,
karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga
terdapat LIBRARY (reference) pada software (Hermanto, 2009). Model proses
pemisahan GCMS diperlihatkan pada Gambar 9.
28
Gambar 9. Model proses pemisahan pada GCMS (Hermanto, 2009)
Pemisahan komponen senyawa dalam GCMS terjadi didalam kolom
(kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam adalah zat yang ada didalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas
pembawa (helium ataupun hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu 99,995%).
Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap
molekul didalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada didalam kolom. Komponen-
komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang
berfungsi sebagai detektor, dimana secara intrumentasi MS adalah detektor bagi
GC (Hermanto, 2009).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2018 hingga Januari 2019.
Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Laboratorium Katalis, Pusat
Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kompleks
Puspitek Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan analitik,
peralatan gelas, magnetic stirrer, spatula, alu, lumping, hotplate, thermometer,
oven, peralatan refluks, XRD (MAC Science MXP3 V), TGA/DTA (Linseis STA
PT 1600), GCMS (Agilent 19091S), SAA (Micromeritics Tristar II 3020), FTIR
(Shimadzu Prestige-21), Hydrogen treatment (Tube furnace 21100), furnace 6000
(Thermolyne).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi minyak sitral (Merck),
akuades, isopropanol (Merck), garam nikel (II) nitrat heksahidrat (Merck),
titanium dioksida.
30
3.3 Diagram Alir Penelitian
Gambar 10. Diagram alir penelitian
Karakterisasi
Ni(NO3)2.6H2O +
akuades + TiO2
XRD
(kristalinitas)
SAA (luas
permukaan)
FTIR (situs asam
Bronsted dan
Lewis)
GCMS (%
konversi dan
selektivitas)
Refluks diatas hotplate (T=80 °C)
+ diaduk dengan magnetic stirrer
Dikeringkan dengan
oven (T=100 °C)
TGA/DTA
(stabilitas
termal) Kalsinasi
dan reduksi
Variasi rasio katalis
terhadap reaktan
(10, 20, dan 30) %
Variasi suhu
reaksi (60, 80,
dan 100) °C
Katalis
Ni/TiO2
sitral
Pasta
Reaksi hidrogenasi
sitral
asta dikeringkan
dengan oven (T=100
°C)
Campuran sitral,
isopropanol, dan
Ni/TiO2
31
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Sintesis Katalis Ni/TiO2 dengan Metode Impregnasi (Savitri et al., 2016)
Ni(NO3)2.6H2O ditimbang sebanyak 0,2 gram, dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 70 mL akuades. TiO2 sebanyak 4 gram
ditambahkan ke erlenmeyer dan direfluks di atas hotplate pada temperatur 80 ºC
sambil diaduk dengan magnetic stirrer dan ditunggu semalaman sehingga didapat
pasta. Pasta diangkat dan dikeringkan di dalam oven pada temperatur 100 ºC
selama semalaman. Katalis yang telah kering dilakukan uji TGA/DTA untuk
mengetahui stabilitas termal, lalu dilakukan proses kalsinasi pada suhu 550 oC dan
dilakukan proses reduksi pada suhu 475 oC menghasilkan katalis Ni/TiO2. Katalis
Ni/TiO2 dikarakterisasi menggunakan SAA untuk mengetahui luas permukaan,
XRD untuk mengetahui kristalinitas katalis, dan FTIR untuk mengetahui situs
asam Bronsted dan Lewis pada katalis.
3.4.2 Karakterisasi Ni/TiO2
3.4.2.1 Analisis Luas Permukaan dengan SAA (ASTM C 1069-09)
Tabung sampel ditimbang sebagai bobot kosong, kemudian 0,5 gram
katalis Ni/TiO2 dimasukkan ke dalam tabung. Tabung ditempelkan pada port
degasser. Proses degassing dilakukan dengan menggunakan gas nitrogen pada
suhu 200 oC selama 3 jam, kemudian tabung tersebut ditimbang kembali sebagai
massa setelah degassing. Katalis dimasukkan pada port micromeritics dan
dilakukan analisis dalam kondisi suhu nitrogen cair serta dialirkan gas N2 dan H2.
3.4.2.2 Analisis Kristalinitas dengan XRD (ASTM D4294)
Katalis Ni/TiO2 dihaluskan dengan grinding lalu dimasukkan ke dalam
plat hingga permukaan plat dengan sampel katalis sama rata dan datar. Alat XRD
32
dinyalakan. Pengujian ini menggunakan tegangan listrik dan kuat arus listrik
sebesar 40 mV dan 25 mA. Sudut yang digunakan yaitu 5-90o, lalu diuji
menggunakan XRD.
3.4.2.3 Analisis Situs Asam dengan FTIR (ASTM, 2005)
0,25 gram katalis Ni/TiO2 dimasukkan ke dalam botol kaca, lalu
dimasukkan dalam desikator yang telah divakum bersama dengan basa piridin.
Desikator ditutup selama 24 jam untuk katalis mengabsorpsi basa piridin, setelah
itu dikeluarkan dan didiamkan selama 2 jam. Sejumlah serbuk katalis Ni/TiO2
hasil adsorbsi piridin dicampur dengan KBr dengan perbandingan 1:200,
selanjutnya diuji spektrum FTIR pada panjang gelombang 400-4000 cm-1
.
3.4.3 Uji Aktivitas Katalis Ni/TiO2 dalam Reaksi Hidrogenasi Sitral menjadi
Sitronelal
3.4.3.1 Variasi Suhu Katalis (ASTM E 1618‐10)
0,3 gram minyak sitral dimasukkan ke dalam reaktor yang telah terlebih
dahulu dimasukkan katalis Ni/TiO2 dan ditambahkan isopropanol sebanyak 19,7
mL. Campuran dipanaskan dengan variasi suhu 60, 80, dan 100 °C pada tekanan
20 bar selama 3 jam dalam suasana gas H2. Campuran yang dihasilkan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan GCMS.
3.4.3.2 Variasi Rasio Katalis Terhadap Reaktan (ASTM E 1618‐10)
Minyak sitral sebanyak 0,3 gram dimasukkan ke dalam reaktor yang telah
terlebih dahulu dimasukkan katalis Ni/TiO2 dengan variasi rasio katalis yang
digunakan sebesar 10, 20, dan 30%, lalu ditambahkan 19,7 mL isopropanol,
kemudian dipanaskan pada suhu 100 °C selama 3 jam dengan tekanan 20 bar
dalam suasana gas H2.
33
Hasil reaksi hidrogenasi dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan
GCMS untuk menentukan konsentrasi produk dan sitral yang tersisa, sehingga
aktivitas katalis dapat diketahui melalui perhitungan konversi sitral. Persentase
aktivitas atau konversi dan selektivitas katalis dapat ditentukan melalui
perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
% Konversi = x 100% …...………………………...(2)
% Selektivitas = x 100% ……..………………………...(3)
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Stabilitas Termal dengan TGA/DTA
Analisis TGA/DTA digunakan untuk memprediksi stabilitas termal suatu
katalis dan ditentukan sebagai temperatur kalsinasi katalis. Data yang dihasilkan
berupa kurva berat terhadap temperatur (Prasetyoko et al., 2016). Hasil
pengukuran menggunakan TGA/DTA menunjukkan perubahan transisi fase pada
suhu-suhu tertentu disertai dengan perubahan berat sebagai fungsi dari temperatur
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Spektrum TGA/DTA katalis Ni/TiO2
Berdasarkan spektrum TGA/DTA pada siklus pemanasan suhu (25-1000)
°C dengan laju pemanasan 10o/Min dapat dikatakan bahwa produk akhir yang
terbentuk pada suhu konstan dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan
35
komposisi berat sampel akhir dan awal sebagai fungsi dari temperatur, dimana
produk tersebut telah melewati proses pengeluaran pelarut, air dan gas akibat
pembakaran pada suhu tinggi (Schubert, 2000).
Spektrum TGA/DTA katalis Ni/TiO2 pada Gambar 11 dapat dikatakan
terdapat penurunan bobot sekitar 3% pada suhu 100-300 °C disertai dengan reaksi
eksotermik yang menunjukkan terjadinya pelepasan pelarut air. Penurunan bobot
terjadi kembali pada suhu 300-550 °C sekitar 1% disertai dengan reaksi
eksotermik yang dikaitkan dengan terjadinya pelepasan pengotor/prekursor. Hasil
ini sesuai dengan penelitian Tursiloadi (2010) dimana penurunan bobot pada
spektrum TGA/DTA (%) menunjukkan terjadinya pelepasan pelarut air serta
puncak eksotermik yang muncul di antara suhu 200-600 oC dan diikuti penurunan
bobot menunjukkan terjadinya pelepasan sisa-sisa prekursor. Hasil analisis
TGA/DTA Ni/TiO2 pada Gambar 11 dapat dikatakan tidak adanya perubahan
termal yang berarti dan penurunan berat bahan ketika sampel dipanaskan di atas
550 °C dan dianggap sebagai suhu kalsinasi katalis (Sembiring et al., 2015).
4.2 Karakteristik Katalis Ni/TiO2
4.2.1 Kristalinitas dengan XRD
Analisis menggunakan XRD dimaksudkan untuk mengidentifikasi fasa
kristalin dalam material dan menentukan sifat kristal atau kristalinitas dari suatu
katalis. Analisis XRD pada penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
keberhasilan dari preparasi katalis nikel yang diimpregnasikan pada TiO2. Semua
bahan yang mengandung kristal tertentu ketika dianalisis menggunakan XRD
akan memunculkan puncak-puncak yang spesifik. Pola difraksi katalis Ni/TiO2
diperlihatkan pada Gambar 12.
36
Gambar 12. Pola difraksi katalis Ni/TiO2 10%berat dan 20%berat
Pola difraksi dari kedua sampel katalis hasil impregnasi, yaitu katalis
Ni/TiO2 10%berat dan Ni/TiO2 20%berat (logam aktif) menghasilkan intensitas
puncak yang berbeda. Intensitas puncak Ni/TiO2 20%berat lebih tinggi ketika
konsentrasi Ni dinaikkan, hal ini menandakan bahwa kandungan logam aktif
berpengaruh terhadap kristalinitas katalis. Peningkatan konsentrasi logam nikel
mengakibatkan semakin tingginya intensitas puncak yang dihasilkan, dan dapat
dikatakan bahwa bertambahnya logam nikel dapat meningkatkan kristalinitas
Ni/TiO2 (Galuh dan Wuryaningsih, 2010).
Pola difraksi Ni/TiO2 pada Gambar 12 menghasilkan beberapa puncak
tajam yang menandakan terdapatnya fase kristal pada matriks. Pola difraksi
katalis Ni/TiO2 menghasilkan puncak-puncak pada intensitas 2θ= 25°, 37,7°,
48,07°, dan 53,9°. Berdasarkan JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction
Standars) No. 21-1272 puncak-puncak tersebut mengindikasikan bahwa TiO2
yang digunakan memiliki struktur anatase. Perbandingan pola difraksi katalis
TiO2 dan Ni/TiO2 diperlihatkan pada Gambar 13.
37
20 25 30 35 40 45 50 55 60
0
500
1000
1500
2000
2500
Inte
nsity
2Theta
Ni/TiO2
TiO2
Gambar 13. Perbandingan pola difraksi katalis TiO2 dan Ni/TiO2
Pola difraksi katalis Ni/TiO2 pada Gambar 13 tidak memperlihatkan
adanya puncak khas Ni, namun hanya menghasilkan puncak difraksi yang sesuai
dengan penyangga. Kesesuaian pola difraksi tersebut mengindikasikan bahwa
penambahan Ni pada TiO2 tidak merubah struktur kristal TiO2. Puncak khas Ni
biasanya muncul pada 2θ = 44,80 dan 51,86 (Syukri et al., 2003). Puncak khas Ni
yang tidak terbentuk kemungkinan disebabkan oleh dispersi Ni yang kurang
merata pada TiO2, namun bila dilihat dari ukuran kristal katalis menunjukkan
bahwa logam nikel telah berhasil terimpregnasi ke dalam penyangga TiO2 (Galuh
dan Wuryaningsih, 2010).
Ukuran kristal dari TiO2 dapat dihitung untuk memastikan terdispersinya
logam nikel didalam penyangga tersebut ditandai dengan naiknya ukuran kristal
TiO2 sebelum dan sesudah diimpregnasi menggunakan logam nikel. Ukuran
kristal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan Scherrer, FWHM (Full
38
Widht of Half Maximum) (Cullity, 1978). Puncak yang terbentuknya semakin
sempit atau tajam menandakan bahwa ukuran kristal semakin besar (Violet et al.,
2004). Perbedaan ukuran kristal TiO2 dan katalis Ni/TiO2 diperlihatkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Ukuran kristal katalis TiO2 dan Ni/TiO2
No. Katalis Ukuran Kristal
(nm)
1.
2.
TiO2
Ni/TiO2
48,4
50,2
Berdasarkan hasil perhitungan ukuran kristal TiO2 sebelum diimpregnasi
dengan logam nikel adalah 48,4 nm, namun setelah diimpregnasikan dengan
logam nikel ukuran kristalnya menjadi lebih besar yaitu 50,2 nm. Naiknya ukuran
kristal pada TiO2 pada saat sebelum dan sesudah impregnasi menandakan bahwa
logam nikel telah terdispersi dengan baik ke dalam penyangga TiO2 (Tsani, 2011).
Sari et al., (2018) juga menemukan hal yang sama ketika ukuran kristalnya naik
mengindikasikan bahwa logam aktif sudah terimpregnasi ke dalam penyangga.
4.2.2 Luas Permukaan dengan SAA
Identifikasi luas permukan katalis dalam penelitian ini menggunakan
metode BET (Brunauer-Emmett-Teller) dimana menggunakan gas sebagai
instrumennya. Gas yang digunakan adalah nitrogen karena bersifat inert sehingga
tidak mengganggu kondisi katalis. Karakteristik luas permukaan katalis Ni/TiO2
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik SAA katalis Ni/TiO2
No. Nama Senyawa Luas Permukaan
(m2/g)
1.
2.
3.
TiO2
Ni/TiO2 10%berat
Ni/TiO2 20%berat
46,2183
46,4906
47,2741
39
Luas permukaan penyangga TiO2 sebelum impregnasi sebesar 46,2183
m2/g, sedangkan setelah diimpregnasi dengan logam Ni 10%berat terjadi
peningkatan luas permukaan katalis menjadi 46,4906 m2/g dan setelah
diimpregnasi dengan logam Ni 20%berat terjadi peningkatan luas permukaan
kembali sehingga diperoleh luas permukaan sebesar 47,2741 m2/g. Penambahan
logam nikel yang semakin banyak pada permukaan padatan TiO2 akan bepengaruh
pada meningkatnya luas permukaan spesifik dari katalis tersebut. Konsentrasi
nikel yang semakin tinggi akan menyebabkan pendispersian nikel pada
permukaan TiO2 semakin banyak, sehingga menyebabkan tertutupinya pori pada
permukaan TiO2 (Trisunaryanti et al., 2005).
Perlakuan terhadap katalis seperti pengeringan, kalsinasi, dan reduksi juga
berpengaruh terhadap luas permukaan katalis (Satterfield, 1991). Luas permukaan
pada katalis heterogen menjadi faktor yang menentukan walaupun tidak selalu
sebanding dengan aktivitas katalis. Luas permukaan katalis yang tinggi akan
memberikan luas kontak yang besar antara molekul reaktan dengan katalis.
Besarnya kontak tersebut secara langsung akan mempengaruhi proses katalisis
secara keseluruhan. Molekul reaktan akan bergerak bebas sebelum mengalami
adsorpsi pada permukaan katalis kemudian teraktivasi dan bereaksi menghasilkan
produk (Rodiansono et al., 2007). Hasil analisis luas permukaan katalis yang
diperoleh ini mendukung data XRD bahwa logam nikel telah berhasil
terimpregnasi ke dalam TiO2.
4.2.3 Situs Asam Bronsetd dan Asam Lewis pada Katalis dengan FTIR
Penentuan situs asam pada permukaan material yang diindikasikan dalam
situs asam Lewis dan asam Bronsted merupakan syarat utama untuk mengetahui
40
potensi penyerapan dan aplikasinya sebagai katalis (Zaki et al., 2001). Keasaman
material hasil sintesis dapat diketahui melalui metode penyerapan menggunakan
piridin sebagai basa adsorbatnya. Jenis situs asam (Bronsted atau Lewis) yang
terdapat pada katalis dapat diketahui melalui puncak-puncak serapan yang
dihasilkan dari interaksi basa adsorbat dengan situs-situs asam tersebut. Hasil
karakteristik FTIR diperlihatkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Spektrum FTIR katalis Ni/TiO2
Katalis Ni/TiO2 memiliki puncak serapan bilangan gelombang yang
menunjukkan adanya ikatan antara piridin dengan sisi asam Lewis mupun sisi
asam Bronsted sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 14. Berdasarkan
spektrum FTIR Ni/TiO2 yang diperoleh menunjukkan interaksi piridin dengan
asam Bronsted yaitu berada pada daerah bilangan gelombang sekitar 1639,49 cm-1
sedangkan interaksi piridin dengan asam Lewis berada pada daerah bilangan
Asam
Bronsted
Asam
Lewis
41
gelombang sekitar 1446,61 cm-1
. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fatimah et al.,
(2014) yang menyatakan interaksi piridin dengan situs asam Bronsted, akan
ditandai dengan molekul piridin yang terprotonasi dan teradsorpsi pada bilangan
gelombang spesifik sekitar 1630-1640 cm-1
. Interaksi piridin dengan sisi situs
asam lewis ditandai dengan pembentukan kompleks ikatan koordinasi antara
pasangan elektron bebas dari molekul piridin dengan orbital kosong dari
permukaan padatan TiO2 dan teradsorpsi pada bilangan gelombang spesifik
sekitar 1440 cm-1
-1455 cm-1
(Fatimah et al., 2014).
Hasil ini sesuai juga dengan pendapat Tanabe (1981) yang menyatakan
interaksi molekul piridin akan terprotonasi dan teradsorpsi pada bilangan
gelombang infra merah spesifik dengan situs asam Bronsted berada pada daerah
bilangan gelombang sekitar 1485-1500, 1540, 1630-1650 cm-1
. Interaksi molekul
piridin dengan situs asam Lewis akan muncul pada daerah bilangan gelombang
sekitar 1435-1460, 1488-1503, 1580, dan 1600-1633 cm-1
. Terdapat literatur lain
yang mengatakan bahwa situs asam Lewis dan Bronsted dapat diketahui jika
muncul puncak serapan pada bilangan gelombang antara 1440-1460 cm-1
dan
1545-1640 cm-1
(Selli dan Forni, 1999). Layman et al., (2003) juga menyatakan
pita adsorpsi asam Lewis berada pada bilangan gelombang 1440-1460 cm-1
,
sedangkan asam Bronsted pada bilangan gelombang 1550-1545 dan 1640 cm-1
.
4.3 Aktivitas Katalis Ni/TiO2 dalam Reaksi Hidrogenasi Sitral
Reaksi hidrogenasi sitral dapat berlangsung jika menggunakan bantuan
katalis. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini adalah logam nikel yang
diimpregnasikan pada TiO2. Nikel merupakan logam transisi yang umum
digunakan sebagai katalis karena sifatnya yang fleksibel dan mempunyai
42
karakteristik-karakteristik yang unik seperti tidak berubah sifatnya bila terkena
udara, ketahanannya terhadap oksidasi dan kemampuannya untuk
mempertahankan sifat-sifat aslinya di bawah suhu yang ekstrim (Welasih, 2007).
Reaksi dilakukan dalam reaktor yang dialiri dengan gas H2. Katalis
Ni/TiO2 dimasukkan dalam reaktor lalu ditambahkan sitral dan isopropanol,
kemudian dipanaskan selama 3 jam pada tekanan 20 bar dan dilakukan
berdasarkan variasi suhu reaksi dan variasi rasio katalis terhadap reaktan. Sampel
diuji menggunakan GCMS untuk melihat kadar produk reaksi hidrogenasi sitral
yang terbentuk.
4.3.1 Variasi Suhu Katalis
Aktivitas katalis Ni/TiO2 menggunakan batch reactor dilakukan dengan
mengetahui pengaruh suhu reaksi terhadap hasil reaksi hidrogenasi sitral. Dalam
reaksi adsorpsi reaktan pada katalis, suhu memegang peranan penting dalam
proses interaksi molekul yang terserap. Pada umumnya laju reaksi hidrogenasi
akan meningkat sebanding dengan peningkatan suhu seperti yang dilansir pada
reaksi hidrogenasi sitral (Alcom dan Sullivan, 1984).
Pengaruh suhu reaksi terhadap hasil sintesis dipelajari dengan
menggunakan variabel tetap yaitu tekanan sebesar 20 bar selama 3 jam dalam
suasana gas H2. Variasi suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah 60 ºC, 80
ºC, dan 100 ºC. Hasil sintesis sitronelal dari sitral dengan variasi suhu dapat
dilihat pada Tabel 5.
43
Tabel 5. Pengaruh suhu reaksi terhadap konversi sitral
Katalis
Suhu Reaksi (oC)
Ni/TiO2 20%berat
60 80 100
Konversi (%)
Selektivitas (%)
0
0
0
0
19,04
90,99
Katalis Ni/TiO2 yang digunakan dalam reaksi hidrogenasi sitral
menghasilkan senyawa turunan sitral yaitu senyawa sitronelal, sebagaimana pada
Tabel 5 diperlihatkan pengaruh suhu terhadap konversi sitral menjadi sitronelal
serta selektivitasnya terhadap produk sitronelal yang dihasilkan. Berdasarkan
perhitungan konversi dan selektivitas sitral pada lampiran 5, suhu 60 oC
menunjukkan sitral belum mampu terkonversi menjadi sitronelal, sama halnya
pada suhu 80 oC tidak memperlihatkan adanya sitral yang terkonversi. Hasil ini
kemungkinan dikarenakan suhu terlalu rendah, sehingga tidak terjadi tumbukan
antar molekul yang dapat memecahkan ikatan, namun dapat dikatakan bahwa
konversi sitral meningkat secara signifikan ketika suhu dinaikkan dari 80 oC
menjadi 100 oC. Suhu yang semakin tinggi cenderung meningkatkan aktivitas
katalitik dalam reaksi, selanjutnya laju proses hidrogenasi lebih cepat (Chenga et
al., 2010).
Suhu yang semakin meningkat menyebabkan molekul-molekul pereaktan
memperoleh tambahan energi. Tambahan energi yang diterima digunakan untuk
menaikkan energi kinetik dalam bentuk gerakan molekul, sehingga menyebabkan
tumbukan antar molekul menjadi lebih sering. Tumbukan energi yang terjadi
sebagian digunakan untuk memecahkan ikatan yang telah ada dan membentuk
ikatan baru. Fenomena ini mendorong terjadinya reaksi kimia, di mana semakin
banyak terjadinya tumbukan meningkatkan kecepatan reaksi (Hidayat et al.,
44
2017). Suhu reaksi dibatasi pada suhu 100 oC, hal ini dikarenakan suhu didih
isopropanol adalah 82,5 oC, apabila suhu reaksi terlalu jauh melampaui titik didih,
maka konsentrasi isopropanol pada fase cair berkurang sehingga menurunkan
kecepatan reaksi hidrogenasi.
Reaksi hidrogenasi pada suhu 100 oC menunjukkan keberhasilan dalam
mengkonversi sitral menjadi sitronelal. Nilai konversi yang dihasilkan sebesar
19,04%. Selektivitas pembentukan sitronelal hasil reaksi hidrogenasi sitral
menggunakan katalis Ni/TiO2 menunjukkan bahwa pada suhu 100 oC diperoleh
selektivitas sebesar 90,99%. Suhu reaksi ini ikut berperan dalam mempercepat
proses hidrogenasi di mana terjadi reaksi pemutusan ikatan rangkap (C=C)
menjadi ikatan tunggal (C—C) (Fessenden dan Fessenden, 1986). Reaksi
hidrogenasi sitral menjadi sitronelal diperlihatkan pada Gambar 15 berikut ini.
Gambar 15. Reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal
Terdapat produk lain yang dihasilkan dalam reaksi hidrogenasi sitral selain
sitronelal, yaitu isoneral dan heksadekana. Senyawa isoneral kemungkinan
terdeteksi oleh GCMS sebelum akhirnya mengalami reaksi hidrogenasi menjadi
sitronelal, sedangkan heksadekana kemungkinan terbentuk dari sisa-sisa pelarut
karena muncul pada waktu retensi paling akhir. Analisis GCMS dengan
menggunakan teknik MIM (Multiple Ion Monitoring) memerlukan senyawa yang
memiliki kadar kemiripan dengan data standar SRM (Standar Reference Material)
45
relatif besar. Suatu senyawa dinyatakan identik apabila memiliki persen kemiripan
diatas 90%. Sehingga senyawa yang terbentuk dan terdapat dalam spektrum
GCMS hasil analisis pada penelitian ini yang memikili persen quality kurang dari
90% tidak dapat diidentifikasi sebagai senyawa atau produk dari sampel yang
diuji (Kashyap et al., 2005).
4.3.2 Variasi rasio katalis terhadap reaktan
Uji aktivitas katalis Ni/TiO2 menggunakan batch reactor dilakukan
dengan mengetahui pengaruh rasio katalis terhadap reaktan dalam hasil reaksi
hidrogenasi sitral. Suhu terbaik yang telah diperoleh selanjutnya digunakan untuk
menentukan rasio katalis terbaik pada rekasi hidrogenasi sitral.
Pengaruh rasio katalis terhadap terhadap hasil sintesis dipelajari dengan
menggunakan variabel tetap yaitu tekanan sebesar 20 bar selama 3 jam dalam
suasana gas H2. Variasi rasio katalis yang digunakan pada penelitian ini adalah
10%, 20%, dan 30%. Hasil sintesis sitronelal dari sitral dengan variasi rasio
katalis dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Pengaruh rasio katalis terhadap konversi sitral
Katalis
Rasio katalis (%)
Ni/TiO2 20%berat
10 20 30
Konversi (%)
Selektivitas (%)
0
0
19,04
90,99
0,78
38,6
Ket: T= 100 oC
Pengaruh rasio katalis Ni/TiO2 terhadap konversi sitral menjadi sitronelal
serta selektivitasnya terhadap produk sitronelal ditampilkan pada Tabel 6.
Berdasarkan perhitungan yang terdapat pada lampiran 5, dapat dikatakan bahwa
pada penggunaan rasio katalis 10% memperlihatkan sitral belum mampu
terkonversi menjadi sitronelal, kemungkinan dikarenakan jumlah katalis yang
46
digunakan terlalu sedikit, sehingga tidak mampu mengadsorbsi ikatan rangkap
pada sitral, kemudian sebagian besar molekul substrat tertinggal di dalam larutan,
sehingga menyebabkan nilai konversi yang rendah (Rojas et al., 2013). Hasil
konversi sitral dapat ditunjukkan pada rasio katalis 20% dan 30%. Rasio katalis
20% menunjukkan nilai konversi sebesar 19,04%, nilai konversi ini lebih tinggi
dari yang didapat Liu et al., (2010) pada penelitiannya yg menghasilkan sitronelal
sebesar 8%. Konversi tersebut mengalami penurunan pada penggunaan rasio
katalis 30% dimana hasil konversinya menjadi 0,78%.
Selektivitas pembentukan sitronelal hasil reaksi hidrogenasi sitral
menggunakan katalis Ni/TiO2 menunjukkan bahwa pada rasio katalis 20%
diperoleh selektivitas sitronelal tertinggi sebesar 90,99%. Selektivitas yang
dihasilkan dalam penelitian ini lebih tinggi dari yang dilakukan Syunbayev et al.,
(2016) yang melakukan reaksi hidrogenasi sitral menggunakan katalis Ni/TiO2
dengan selektivitas yang didapat sebesar 86,4%. Rasio katalis 30% mengalami
penurunan selektivitas sitronelal secara signifikan menjadi 38,6%.
Nilai konversi dan selektivitas yang menurun kemungkinan dikarenakan
pada berat katalis 30% tidak terjadi pencampuran yang sempurna yang disebabkan
karena kerapatan padatan katalis di dalam larutan cukup besar sehingga
mengurangi bidang kontak antara katalis dan reaktan. Tingginya konsentrasi
padatan dalam larutan memungkinkan terjadinya dead zone di dalam reaktor
(Lucky et al., 2017). Hasil terbaik dari variasi rasio katalis dalam reaksi
hidrogenasi sitral menggunakan katalis Ni/TiO2 pada temperatur reaksi 100 ºC
adalah rasio 20%, dimana diperoleh produk sitronelal sebesar 19,04% dengan
selektivitas 90,99%.
47
Hasil analisis GCMS menunjukkan bahwa sitral dapat terkonversi menjadi
senyawa turunannya, yaitu sitronelal melalui reaksi hidrogenasi dengan bantuan
katalis Ni/TiO2. Reaksi hidrogenasi merupakan reaksi antara hidrogen dengan
senyawa organik. Reaksi ini terjadi dengan penambahan hidrogen secara langsung
pada ikatan rangkap dari molekul tidak jenuh sehingga dihasilkan senyawa jenuh
(Welasih, 2007). Ikatan pi suatu alkena dapat mengalami hidrogenasi katalitik.
Hidrogenasi alkena biasanya diperlukan kalor dan tekanan (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Mekanisme reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal dengan
bantuan katalis Ni/TiO2 diperlihatkan pada Gambar 16.
+ H2 H H
H H H
H
Gambar 16. Mekanisme reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal dengan
katalis Ni/TiO2
48
Hidrogenasi merupakan reaksi kimia yang dihasilkan ke molekul, dalam
hal ini molekul sitral bereaksi dengan hidrogen dan dibantu oleh nikel sebagai
katalisator. Molekul sitral diserap ke permukaan katalis nikel sehingga rantai
rangkap antara atom karbon rusak dan elektron tersebut digunakan untuk
berikatan dengan permukaan nikel. Molekul hidrogen dipecah menjadi atom
hidrogen, kemudian katalis nikel menyerap atom hidrogen ke permukaan nikel.
Atom-atom hidrogen yang tersebar di permukaan katalis nikel bereaksi dengan
ikatan karbon, sehingga ikatan antara katalis nikel dengan karbon lepas.
(Nurisman, 2009).
49
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Impregnasi logam aktif Ni ke dalam penyangga TiO2 dapat mempengaruhi
luas permukaan katalis, dimana sebelum diimpregnasikan dengan logam
Ni luas permukaan katalis sebesar 46,2183 m2/g sedangkan setelah
diimpregnasikan dengan logam Ni 10%berat menjadi 46,4906 m2/g dan
dengan Ni 20%berat menjadi 47,2741 m2/g.
2. Aktivitas katalitik Ni/TiO2 pada reaksi hidrogenasi sitral menjadi sitronelal
menunjukkan kondisi terbaik pada suhu 100 oC dan rasio katalis 20%
dengan nilai konversi 19,04% dan selektivitas 90,99%.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini diperlukan adanya penelitian lebih
lanjut mengenai optimasi katalis seperti logam aktif dan penyangga yang
digunakan dan optimasi kondisi proses seperti suhu, waktu, dan tekanan
agar dapat meningkatkan persen sitronelal yang dihasilkan. Sitronelal
merupakan senyawa volatil sehingga harus segera dianalisa agar tidak
terjadi penguapan.
.
.
50
DAFTAR PUSTAKA
Agusta A. (2000). Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: ITB
Press.
Agustian E, Sulaswatty A, Tasrif, Laksmon JA, Adilina BI. (2007). Pemisahan
Sitronelal dari Minyak Sereh Wangi Menggunakan Unit Fraksionasi Skala
Bench. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 17(2): 49-53.
Ahmed S, Rasul MG, Martens WN, Brown R, Hashib MA. (2010). Advances in
Heterogeneous Photocatalytic Degradation of Phenols and Dyes in
Wastewater: A Review, Water Air Soil Pollut.
Alcom WR dan Sullivan TJ. (1984). Chemical Indonesia Catalyst Organic
Reaction, 18(221).
Arianti M. (2011). Slide Thermal Analysis, Karakterisasi Material 2. Depok:
Departemen Metalurgi UI.
Arutanti O, Abdullah M, Kairurrijal, Mahfudz H. (2009). Penjernihan Air dari
Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis pada Permukaan Titanium
Dioksida (TiO2). Jurnal Nanosains & Nanoteknologi, 23(2): 67-75.
Arvela PM, Tiainen L, Lindblad M, Demirkan K, Kumar N, Sjoholm R,
Ollonqvist T, Vayrynen J, Salmi T, Murzin DY. (2003). Chemoselective
hydrogenation of carbonyl compounds over heterogeneous catalysts. Applied
Catalyst A: General, 241,271-288.
Aykac H dan Yilmaz S. (2008). Hydrogenation of Citral over Ni and Ni-Sn
Catalysts. Turkey Journal Chemistry, 32(2008): 636-636.
Bakri H dan Ridia S. (2008). Kaoline Sebagai Sumber SiO2 Untuk Pembuatan
Katalis Ni/SiO2:Karakterisasi dan Uji Katalis Pada Hidrogenasi Benzena
Menjadi Sikloheksana. Makara Sains, 12(1): 37-43.
Basri S. (2005). Kamus Kimia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Beri D dan Sanjaya H. (2012). Analisis Instrumen 2: XRD, XRF, SEM, DTA, TGA,
dan DSC. Padang: Universitas Negeri Padang.
Campbell IM. (1988). Catalysis at Surface. New York: Chapman and Hall Ltd.
Carbajal D, Casaco A, Arruzazabala L, Gonzalez R, Tolon Z. (1989).
Pharmacological Study of Cymbopogon citratus Leaves. Journal
Enthnopharmacol, 25(1):1-11.
Carlini EA, Contar J de DP, Siva-Filho AR, Dasilveira-Filho NG, Frochtengarten.
(1986). Pharmacology of lemongrass (Cymbopogon citratus stapf) effects of
teas prepared from the leaves on laboratory animals. Journal
Ethnopharmacol, 17:37-64.
Carp O, Huisman CL, Ani R. (2004). Photoinduced Reactivity of Titanium
Dioxide. Progress in Solid State Chemistry, 32(1-2), 32: 33-37.
51
Chenga H, Liua R, Haoa J, Wanga Q, Yua Y, Cai S, Zhao F. (2010). Application
Organometal. Journal Chemistry, 24:763-766.
Connolly, JR. (2007). Introduction to X-ray Powder Diffraction. Spring, 1-9.
Cotton FA dan Wilkinson G. (1988). Advance Inorganic Chemistry. New York:
John Wiley and Sons..
Cotton FA dan Wilkinson G. (1989). Kimia Anorganik Dasar. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Cullity BD. (1978). Elements of X-Ray Diffraction (2nd ed.). California: Addison
Wesley.
Ertl G dan Knözinger H. (1991). Handbook of Heterogeneous Catalysis. New
York: John Wiley-VCH.
Faba L, Diaz E, Ordonez S. (2012), Aquous-phase furfural-acetone aldol
condensation over basic mixed oxides. Applied Catalysis B: Environmental,
113- 114, 201-211.
Fatimah I, Rubiyanto D, Huda T. (2014). Effect of Sulfatation on Zirconia-
Pillared Montmorillonite to the Catalytic Activity in Microwave-Assisted
Citronellal Conversion. International Journal of Chemical Engineering,
2014:1-7.
Fessenden RJ dan Fessenden JS. (1986). Kimia Organik Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Fujishima A, Kazuhito H, Hiroshi I, (2005). TiO2 Photocatalysis A Historical
Overview and Future Prospects. Japanese Journal of Applied Phisics, 44:12.
Galuh W dan Wuryaningsih SR. (2010). Pengaruh Metode Preparasi dan
Kandungan Logam Aktif terhadap Aktivitas Katalis Ni/Kieselguhr. Jurnal
Sains Materi Indonesia, 11(2): 1-5.
Gates BC. (1991). Catalytic Chemistry. New York: John Wiley and Sons.
Gates BC. (1992). Catalytic Chemistry. New York: John Wiley and Sons.
Giwangkara SEG. (2006). Aplikasi Logika Syaraf Fuzzy Pada Analisis Sidik Jari
Minyak Bumi Menggunakan Spetrofotometer Infra Merah-Transformasi
Fourier (FTIR). Cepu: Sekolah Tinggi Energi dan Mineral.
Gregg SJ dan Sing KSW. (1982). Adsorption, Surface Area,and Porosity.
London: Academic Press.
Guenther E. (1948). Minyak Atsiri. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Guenther E. (1970). Minyak Atsiri. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Guenther E. (1990). Minyak Atsiri. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Haerudin H. (2005). Katalis dan Bahan Penyusunnya dalam Penyediaan Sumber
Energi. Jurnal Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai
(Puspitek), 1-3.
52
Hansen EW dan Neurock M. (2000). First-Principles-based Monte Carlo
Simulation of Ethylene Hidrogenation Kinetics on Pd. Journal of Catalysis,
196(2):241-252
Harris R. (1993). Tanaman Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hasibuan HA. (2009). Perolehan Kembali Nikel dari Katalis Nikel Terpakai
(Spent Catalyst) Pasca Proses Hidrogenasi Minyak Sawit dengan Proses
Pelindian (Leaching) Asam Sulfat. Tesis. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Hermanto S. (2009). Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan
Spektroskopi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Hidayat A, Faizah SC, Trisnaningtyas R. (2017). Sintesis Metil Ester dari Minyak
Dedak Padi Menggunakan Katalis Kalium dengan Pengemban Zeolit Alam.
Teknoin, 1(23):19-28.
Hinze R, Laufer MC, Hölderich WF, Bonrath W, Netscher T. (2009). The Use of
Nafion/Silica Composite Catalysts for Synthesis of Fine Chemicals. Catalysis
Today, 140:105-111.
Iftitah ED, Muchalal M, Trisunaryanti W, Armunanto R. (2010). Cyclization and
Hydrogenation of (+)-Citronellal to Menthols over ZnBr2 and Ni Catalysts
Supported on γ-Al2O3. Indonesia Journal Chemistry, 10(2): 208–13.
Irna SI dan Ernayenti. (2007). Pengenalan Geraniol Dan Sitronelol. Journal
Plantus.
Istadi. (2006) Teknologi Katalis untuk Konversi Energi: Fundamental dan
Aplikasi. Yogyakarta: Teknik Kimia, Universitas Diponegoro.
Istadi. (2011). Teknologi Katalis untuk Konversi Energi: Fundamental dan
Aplikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Johnstone SJ dan Johnstone MG. (1961). Mineral for the Chemical and Allied
Industries. London: Chapman and Hall.
Kashyap M, Girish H, Sudheer D, Vivek K. (2005). QA/QC Aspecs of GCMS
Analytical Instrument for Environmental Analysis. Indian Journal of
Chemical Technology, 12(1): 477–478.
Kazansky VB, Elev IV, Shelimov BN. (1983). Preparation of Monovalent Nickel
Surface Complexes by Selective Hydrogen Photoreduction of Supported
Nickel(II) Ions: Their Activity in Acetylene Cyclotrimerization and Ethylene
Oligomerization. Journal of Molecular Catalysis, 21: 265-274.
Khayoon MS dan Hameed BH. (2011). Acetylation of Glycerol to Biofuel
Additives over Sulfated Activated Carbon Catalyst. Bioresource Technology,
102: 9229–9235.
Ketaren S. (1985). Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: PN Balai Pustaka.
53
Kirk-Othmer. (1993). Encyclopedia of Chemical Thecnology. New York: John
Wiley and Sons.
Layman KA, Ivey MM, Hemminger JC. (2003). Pyridine Adsorption and
Acid/Base Complex Formation on Ultrathin Films of γ-Al2O3 on NiAl(100).
Journal Phys Chem B, 107: 8538-8546.
Leung AY dan Foster S. (1980). Encyclopedia of Common Natural Ingredients.
New York: John Willey & Sons.
Linsebigler AL, Lu G, dan Yates JT. (1995). Photocatalysis on TiO2 Surface:
Principles, Mechanism and Selected Results. Chem. Review, 95: 735-758.
Liu R, Yu Y, Yoshida K. (2010). Physically and chemically mixed TiO2-
supported Pd and Au catalysts: Unexpected synergistic effects on selective
hydrogenation of citral in supercritical CO2. Journal of Catalysis,
269(1):191-200.
Lucky WNS, Umi MR, Risky A. (2017). Pengaruh Konsentrasi Katalis dan
Reusability Katalis pada Sintesis Triasetin dengan Katalisator Lewatit.
Teknoin, 23(1): 56-62.
Martin A, Swarbrick J, Cammarata A. (1993). Farmasi Fisik: Dasar-Dasar
Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Muhlisah F. (1999). Tanaman Obat Keluarga. Jakarta:Swadaya.
Murthy RS. (1996). In Proceeding of AOCS World Congress on Lauric Oils.
Manila.
Nasikin M dan Susanto B. (2010). Katalis Heterogen. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Nurisman A. (2009). Sintesa Mentol dari Sitronelal dalam Proses Satu Tahap
dengan Katalis Dwifungsi. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Prasetyoko D, Fansuri H, Ni’mah YL, Fadlan A. (2016). Karakterisasi Struktur
Padatan. Yogyakarta: Deepublish.
Prasetyono DS. (2014). A Z Daftar Tanaman Obat Ampuh di Sekitar Kita.
Yogyakarta: Diva Press.
Pybus D dan Selli C. (1999). The Chemistry of Fragrances. United Kingdom:
RSC Paperbacks, Quest International, Ashford, Kent.
PubChem. (2005). Citronellal. Retrieved Maret 21, 2019, from
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/7794
Rahmawati AS. (2011). Pembuatan dan Karakterisasi Sel Surya Titanium
Dioksida Sensitisasi Dye Antosianin dari Ekstrak Buah Strawberry. Skripsi.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
54
Ress NB. (2003). Toxicology and Carcinogenesis Studies of Microencapsulated
Citral in Rats and Mice. Toxicology Science 71(2):198-206.
Richardson JT. (1989). Principles of Catalyst Development. New York and
London: Plenum Press.
Rianto LB, Amalia S, Khalifah SN. (2007). Pengaruh Impregnasi Logam
Titanium pada Zeolit Alam Malang terhadap Luas Permukaan Zeolit.
Alchemy, 2(1): 58-67
Rispiandi. (2011). Preparasi dan Karakterisasi Katalis Heterogen Arang Aktif
Tersulfonasi untuk Proses Hidrolisis Selulosa Menjadi Glukosa. Jurnal
Fluida, 1:1-11.
Rodiansono, Trisunaryanti W, Triyono. (2007). Pengaruh pengemban logam Ni
dan Nb2O5 pada karakter katalis Ni/Zeolit dan Ni/Zeolit-Nb2O5. Sains dan
Terapan Kimia, 1(1) : 20-28.
Rojas H, Díaz G, Martínez JJ, Castañeda C, Gómez-Cortés A. (2013).
Hydrogenation of α, β-unsaturated carbonyl compounds over Au and Ir
supported on SiO2. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 363, 122-
128.
Sari N, Dwiatmoko AA, Sudiyarmanto, Saridewi N, Aulia F, Rinaldi N. (2018). A
Preliminary Study on Ru/TiO2 as Heterogeneous Catalyst for The
Depolymerization of Empty Fruit Bunch-Derived Organosolv Lignin. AIP
Conference Proceedings 2026(1)
Sasongko H. (1988). Petunjuk Pelaksanaan Sorptomatic Seri 1800. Jakarta: Pusat
Elemen Bakar Nuklir, BATAN.
Sastrapradja S. (1978). Tanaman Industri. Jakarta: LIPI.
Satterfield CN. (1980). Heterogenous Catalyst in Industrial Practice. New York:
MC. Graw-Hill Book Company.
Satterfield CN. (1991). Heterogenous Catalyst in Industrial Practice. New York:
MC. Graw-Hill Book Company.
Savitri, Nugraha AS, Aziz I. (2016). Pembuatan Katalis Asam (Ni/γ-Al2O3) dan
Katalis Basa (Mg/γ-Al2O3) untuk Aplikasi Pembuatan Biodiesel dari Bahan
Baku Minyak Jelantah. Jurnal Kimia Valensi: Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Kimia, 2(1): 1-10.
Schubert U dan Husing N. (2000). Synthesis of Inorganic Material. Jerman:
Willey-VCH.
Sell CS. (2003). A Fragrant Introduction to Terpenoid Chemistry. United
Kingdom: Royal Society of Chemistry.
Selli E dan Forni L. (1999). Comparison Between the Surface Acidity of Solid
Catalyst Determined by TPD and FTIR Analysis of Pre-Adsorbed. Elsevier,
Microporous and Mesoporous Materials, 31(19):129-140.
55
Sembiring KC, Kristiani A, Aulia F, Hidayati LN, Tursiloadi S. (2015). Precious
Metals Supported on Alumina and Their Application for Catalytic Aqueous
Phase Reforming of Glycerol. Indonesia Journal Chemistry, 15(3):269-273.
Setyawan D dan Handoko P. (2003). Aktivitas Katalis Cr/Zeolit dalam Reaksi
Konversi Katalitik Fenol dan Metil Isobutik Keton. Journal Ilmu dasar,
4(2):70-76.
Sharidi F. (2005). Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. New York: John Wiley
and Sons.
Smallman RE dan Bishop RJ. (1995). Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material. Jakarta:Erlangga.
Stuart B. (2004) Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications.
Chichester, United Kingdom: John Wiley and Sons.
Subagjo. (2010). Katalis Heterogen. Bangdung: Fakultas Teknologi Industri ITB.
Supeno M. (2009). Interaksi Asam Basa: Kimia Anorganik. Medan: USU Press.
Suppes GJ, Dasari MA, Doskocil EJ, Mankidy PJ, Goff MJ. (2004).
Transesterification of Soybean Oil with Zeolite and Metal Catalysts. Applied
Catalysis A: General, 257(2): 213-223.
Suyati, L. (2005). Pembuatan dan Karakterisasi Katalis Nikel/Zeolit pada Pirolisis
Tir Batubara. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi, 8(2):39-42.
Syukri TB, Ohya Y, Takahashi Y. (2003). A Simple Synthesis of Metallic Ni and
Ni-Co Alloy Fine Powders from a Mixed-metal Acetate Precursor. Material
Chemistry Physic, 17: 645-649.
Syunbayev U, Churina DK, Yergaziyeva GY, Assanov NA, Kalihanov KK.
(2016). The Liquid-Phase Hydrogenation of Citral to Citronellal at Hydrogen
Pressure. International Journal of Chemical Engineering and Applications,
7(2):133–137.
Tanabe K. (1981). Solid Acid and Base Catalyst in Catalysis Science and
Technology. Springer-Link Berlin, 2: 231-273.
Topsoe H. (1996). Novel Hydrotreating Technology for Production of Green
Diesel, Denmark: Springer-Verlag.
Trisunaryanti W, Triwahyuni E, Sudiono S. (2005). Preparation,
Characterizations, and Modification of Ni-Pd/Natural Zeolite Catalysts.
Indonesia Journal Chemistry, 5:48-53.
Triyono. (2011). Menuju Indonesia sebagai Negara Mandiri Katalis. Pidato
Pengukuhan dan Jabatan Guru Besar Universitas Gajah Mada, 4-11.
Tsani F. (2011). Preparasi dan Karakterisasi Katalis NiMo/γ-Al2O3 untuk sintesis
Bahan Bakar Bio dari Minyak Jarak melalui Pirolisis Berkatalis. Skripsi:
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Tursiloadi S. (2010). Mesoporous Oxide Materials Based On The Sol-Gel
Method. Berlin: Lambert Academic Publishing AG & Co.
56
Wegener G, Zechlin J, Warlimont H. (2004). Process for the production of Raney
nickel catalysts and their use in the hydrogenation of organic compounds.
USPatent7517829.
Welasih, T. (2007). Hidrogenasi glukosa menjadi sorbitol menggunakan katalis
nikel dalam reaktor berpengaduk dan bertekanan tinggi. Surabaya: ITS-
digital library.
Wijayakusuma. (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Violet S, Muthukumar P, Gaikwad SP. (2004). Synthesis of Mesoporous Rutile.
Journal mater science lett 58:2514-2516.
Zaki MI, Hasan MA, Al-Sagheer FA, Pasupulety L. (2001). In situ FTIR spectra
of pyridine adsorbed on SiO2–Al2O3, TiO2, ZrO2 and CeO2: general
considerations for the identification of acid sites on surfaces of finely divided
metal oxides. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering
Aspects, 190(3): 261-274.
57
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan bahan untuk impregnasi
a. Bobot Ni(NO3)2.6H2O
20% bobot dari TiO2
Massa TiO2 =
Mr. Ni(NO3)2.6H2O = 290,81 g/mol
Ar Ni = 58,71 g/mol
Bobot Ni(NO3)2.6H2O
Bobot TiO2 yang ditimbang= 4 gram
58
b. Bobot Ni(NO3)2.6H2O
10% bobot dari TiO2
Massa TiO2 =
Mr. Ni(NO3)2.6H2O = 290,81 g/mol
Ar Ni = 58,71 g/mol
Bobot Ni(NO3)2.6H2O
Bobot TiO2 yang ditimbang= 4,5 gram
59
Lampiran 2. Proses sintesis dan reaksi katalis
1. Proses impregnasi katalis
2. Proses reduksi katalis
3. Hasil reaksi turunan minyak sitral
60
Lampiran 3. Grafik hasil GCMS
a. Grafik Hasil GCMS (loading Ni 20%berat, T= 100 oC, rasio 20%, P=20 bar, t=
3 jam)
Sitronelal
Sitral
61
b. Grafik Hasil GCMS (loading Ni 20%berat, T= 100 oC, rasio 30%, P=20 bar, t=
3 jam)
sitral
Sitronelal
62
Lampiran 4. Hasil Analisis GCMS
a. Hasil GCMS (loading Ni 20%berat, T= 100 oC, rasio 20%, P=20 bar, t= 3
jam)
63
b. Hasil GCMS (loading Ni 20%berat, T= 100 oC, rasio 30%, P=20 bar, t= 3
jam)
64
Lampiran 5. Perhitungan % konversi dan selektivitas sitronelal
%Konversi
% Selektivitas
a. Loading Ni 20%berat katalis, T=100 oC, rasio katalis 20%
% Konversi
% Selektivitas
b. Loading Ni 20%berat katalis, T=100 oC, rasio katalis 30%
% Konversi
% Selektivitas
65
Lampiran 6. Perhitungan ukuran kristal katalis
Ukuran kristal TiO2 dan Ni/TiO2 dihitung menggunakan persamaan Scherrer
sebagai berikut :
D =
Dimana :
D = Ukuran kristal
= Panjang gelombang radiasi (1,5496)
ß = Full Width at Half Maximum (rad)
θ = Sudut Bragg (ᶿ)
Diketahui besar nilai k yaitu konstanta 0,9 dan 𝜆 sebesar 1,5496,
sedangkan untuk FWHM dan Xc didapatkan dengan menggunakan origin.
25
0
200
400
600
800
1000
Inte
nsity
2 theta (degree)
TiO2
Gaussian Fit of Sheet1 B
Model Gaussian
Equationy = y0 + A/(w*sqrt(pi/(4*ln(2)))) * exp(-4*ln(
2)*(x-xc)^2/w^2)
Plot B
y0 12,15212 ± 0,36577
xc 25,35703 ± 6,49334E-4
A 182,13373 ± 1,43082
w 0,16937 ± 0,00153
Reduced Chi-Sqr 530,1688
R-Square (COD) 0,85916
Adj. R-Square 0,85906
66
D =
=
=
=
=
= nm
D =
=
=
=
=
= nm
20 25 30 35 40 45 50 55 60
0
200
400
600
800
1000
1200
Off
set
Y v
alu
es
A
NiTiO2
Gaussian Fit of Sheet1 B
Model Gaussian
Equationy = y0 + A/(w*sqrt(pi/(4*ln(2))))
* exp(-4*ln(2)*(x-xc)^2/w^2)
Plot B
y0 12,8863 ± 0,38635
xc 25,33787 ± 6,35909E-4
A 185,83931 ± 1,48354
w 0,1632 ± 0,0015
Reduced Chi-Sqr 591,70915
R-Square (COD) 0,85522
Adj. R-Square 0,85511