Upload
lydiep
View
219
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP ASKETISME DALAM PANDANGAN ISLAM DAN
HINDU
(Studi Komperatif)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Perbandingan Agama
Oleh :
NANANG DWIJAYANTO NIM: 054311039
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010
ii
iii
MOTTO
$ ¨Βr&uρ ô⎯ tΒ t∃% s{ tΠ$ s)tΒ ⎯ÏμÎn/u‘ ‘ yγtΡuρ }§øΖ9$# Ç⎯ tã 3“uθoλ ù;$# ∩⊆⊃∪
¨β Î* sù sπ¨Ψpgø:$# }‘ Ïδ 3“uρ ù'yϑø9$# ∩⊆⊇∪
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
(Q.S An Nazi’at: 40-41)1
Orang bijak mengatakan:
“Kekayaan itu tidak terletak pada sesuatu yang tampak, tetapi
bagi orang yang merasa jiwanya kaya.”2
1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-Hikmah,
2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 584 2 Abu Thalib al-Makki (386 H/996 M), Quantum Qalbu Nutrisi Untuk Hati, Terj. Ija
Suntana, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008, Cetakan Pertama), Buku Kedua, hlm. 615
iv
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya tulis skripsi ini untuk orang-orang yang
telah memberi arti dalam perjalanan hidupku, Teruntuk orang-orang yang
selalu hadir menemaniku dan berharap keindahan-Nya khususnya buat :
BAPAK DAN IBUKU YANG TERCINTA (Bapak Muchawali dan Ibu
Mudiyanti). Ini adalah sebagian perjuangan dan cita-cita,
terimakasih banyak iringan doa dan restumu membuat Allah
membukakan rahmat-Nya hingga jerih payah dan usahanya telah
tampak dilihat mata, semoga tiada sia-sia.
KAKAK DAN ADIKKU TERSAYANG (mbak Iin, Nunung, mas
Subhan, keponakanku Dzikron & Syiham) yang selalu berdoa,
memberikanku dorongan, semangat dan selalu menghiburku untuk
mencapai kesuksesan, semoga kalian temukan istana kebahagiaan di
dunia serta akhirat, amin. Kini inilah awal kesuksesanku.
Orang terdekatku yang pernah singgah dalam hati dan relung
jiwaku, terimakasih kamu telah memberikan sesuatu yang sangat
berharga dalam hidupku ini dan membuat diriku bangkit dalam
meraih segala angan dan cita-cita. Sekali lagi terimakasih.
Untuk sahabatku teman-teman seperjuangan (Mahasiswa PA 2005:
Roni, Hakim, Zainal, Desi Agus, Desi Lina), teman tawaku: weduss,
mukri, genduet, madura family dan teman-teman kost yang tidak
bisa saya sebut satu persatu. Terimakasih banyak kalian selalu
memberikan motivasi kepadaku dan kita selalu bersama dalam canda
dan tawa yang mewarnai jalan kehidupanku.
v
Pada akhirnya semua itu punya arti karenanya, kupersembahkan
karya sederhana ini untuk segala ketulusan kalian semua. Semoga
semuanya selalu dalam pelukan kasih dan sayang Allah SWT.
Nanang Dwijayanto
vi
KATA PENGANTAR
ÉΟó¡Î0 «!$# Ç⎯≈ uΗ ÷q§9$# ÉΟŠÏm§9$#
Alhamdulillah wa syukrulillah segala puji bagi Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi agung Muhammad Saw.
Skripsi ini berjudul “Konsep Asketisme Dalam Pandangan Islam dan Hindu
(Studi Komperatif)”, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih sedalam-
dalamnya dan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor beserta civitas Akademika
IAIN Walisongo Semarang.
2. Dr. Nasihun Amin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., dan Drs. Tafsir, M. Ag., selaku
Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Parmudi, M. Ag., dan Syaefudin Zuhri, M. Ag., selaku Kajur dan Sekjur
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
5. Drs. Muchtarom, M. Ag., selaku Wali Studi penulis.
6. Bapak dan Ibu petugas Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan IAIN
Walisongo, dan Perpustakaan TKPS Ngaliyan yang telah memberikan ijin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
vii
7. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,
yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi.
8. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik moral
maupun materi dalam penyusunan skripsi.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umumnya. Hanya do’a yang senantiasa penulis panjatkan untuk membalas
budi baik dari berbagai pihak yang selama ini membantu dalam penyelesaian studi
ini, sehingga menjadi amal baik untuk dipetik di akhirat kelak. Amin.
Semarang, 29 November 2010
Penulis,
NANANG DWIJAYANTO
viii
ABSTRAKSI
Dalam era globalisasi yang sangat deras ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus informasi yang canggih saat ini, namun moral dan etika manusia mengalami krisis, mengakibatkan manusia dihadapkan pada berbagai dilema dan permasalahan dalam kehidupannya. Dalam hal ini manusia hidupnya tidak tenang, stress, depresi, kalut dan lain sebagainya.
Manusia terlalu mencintai dirinya sendiri, akibatnya timbul beberapa keadaan seperti mencari harta benda dan kekayaan, mencintai anak istri yang berlebihan, mencintai perhiasan dan pakaian yang indah dan megah, dan mencintai kedudukan yang tinggi yang akhirnya membawa kecintaan yang sangat pada dunia dan ingin hidup kekal abadi. Di antara carut marut kehidupan seperti ini, manusia sangat membutuhkan ketenangan jiwa. Rasa lelah setelah berhadapan dengan masalah pekerjaan, keluarga, atau sekitarnya, menuntut manusia untuk sejenak mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Kondisi seperti ini membuat manusia cepat lelah, baik secara fisik maupun mental.
Dari deskripsi singkat di atas tersimpul beberapa rumusan masalah yang meliputi: Bagaimanakah konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu. Apa implikasi konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu dikehidupan sekarang. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Sementara metode pengumpul data menggunakan library research dengan sumber data primer: Kitab suci agama Islam dan Hindu yaitu kitab suci al-Qur’an, al-Hadits, Weda, Upanishad dan Bhagawadgita. Sedangkan sebagai sumber data sekunder yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber lain yang relevan dengan kajian penelitian ini. Penulis juga menggunakan wawancara, dan metode analisis yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah: Metode Deskriptif, dan Komperatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka manusia harus belajar untuk mempraktekkan ajaran asketis dalam kehidupan sehari-hari. Secara praktis agama Islam dan Hindu mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, melalui ajaran (asketis) seperti mempraktekkan ajaran zuhud (Islam) dan yoga (Hindu). Ajaran ini mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Seorang yang menjalankan zuhud mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta padanya. Islam memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya. Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Selain itu juga meditasi di dalam yoga adalah salah satu cara agar manusia dapat memperoleh ketenangan yang diharapkan. Yoga akan memberikan kekuatan iman dan kesejahteraan hidup, sehingga manusia akan dapat meningkatkan disiplin hidup baik mental, pikiran, badan dan jiwa.
ix
TRANSLITERASI
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke
abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab
dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman transliterasi dalam
skripsi ini meliputi :
Huruf Arab
Nama Huruf Latin Keterangan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و اه ء ي
alif ba’ ta’ sa’ jim ha’ kha’ dal zal ra’ zai sin syin sad dad ta’ za’ ‘ain gain fa’ qaf kaf lam mim nun wau ha
hamzah
ya’
- b t s j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ g f q k l m n w h ´ y
Tidak dilambangkan - -
s dengan titik di atas -
h dengan titik di bawah - -
z dengan titik di atas - - - -
s dengan titik di bawah d dengan titik di bawah t dengan titik di bawah z dengan titik di bawah
koma terbalik - - - - - - - - -
Apostrof (lambang ini tidak digunakan untuk hamzah di awal
kata) -
x
a. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf /
transliterasinya berupa huruf dan tanda, contoh:
dibaca qa>la قال
dibaca qi>la قيل
dibaca yaqu>lu يقول
b. Ta’ Marbuthah
Translitrasinya menggunakan :
1. Ta marbuthah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya h.
Contoh : طلحة dibaca t}alhah
2. Sedangkan pada kata yang terakhir dengan ta marbuthah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah,
maka ta marbuthah itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh : روضة االطفال dibaca raud}ah al-at}fa>l
c. Kata Sandang
Transliterasi kata sandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Kata sandang diikuti huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang langsung
mengikuti kata sandang itu.
Contoh : الرحيم dibaca ar-Rahi>mu
2. Kata sandang diikuti huruf qamariah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya.
Contoh : الملك dibaca al-Maliku
xi
Namun demikian, dalam penulisan skripsi penulis menggunakan
model kedua, yaitu baik kata sandang diikuti oleh huruf syamsiah ataupun
huruf al-Qamariah tetap menggunakan al-Qamariah.
d. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun hurf, ditulis terpisah, hanya
kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazimnya
dirangkaikan dengan kata lain. Karena ada huruf atau harakat yang
dihilangkan, maka dalam translitarasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan
juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh :
dibaca Man istat}a>’a ilaihi sabi>la من استطاع اليه سبيال
dibaca Wa innalla>ha lahuwa khair al-ra>ziqi>n وان اهللا لهو خير الرازقين
xii
DAFTAR ISI halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
ABSTRAKSI ............................................................................................................ ix
TRANSLITERASI .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 11
E. Metode Penelitian .................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KONSEP ASKETISME
A. Pengertian Asketisme................................................................ 17
B. Faktor Munculnya Asketisme ................................................... 19
C. Ajaran dan Tujuan Asketisme ................................................... 22
D. Zuhud dan Yoga Sebagai Bentuk Asketisme............................ 26
BAB III KONSEP ASKETISME DALAM PANDANGAN ISLAM
DAN HINDU
A. Asketisme Dalam Islam
1. Pengertian Zuhud............................................................... 30
2. Dasar Perintah Zuhud ....................................................... 35
xiii
xiv
3. Faktor Munculnya Zuhud ................................................. 36
4. Ajaran dan Tujuan Pelaksanaan Zuhud ............................ 38
5. Macam-Macam Zuhud ..................................................... 41
B. Asketisme Dalam Hindu
1. Pengertian Yoga ................................................................ 42
2. Dasar Perintah Yoga.......................................................... 44
3. Faktor Munculnya Yoga ................................................... 46
4. Ajaran dan Tujuan Pelaksanaan Yoga .............................. 49
5. Macam-Macam Yoga …………………………………... 53
A. Jnana Yoga …………………………………………. 53
B. Bhakti Yoga ………………………………………… 55
C. Karma Yoga ………………………………………… 58
D. Raja Yoga …………………………………………… 62
BAB IV ANALISIS
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Asketisme Dalam Islam dan
Hindu ....................................................................................... 65
1. Persamaan Konsep Asketisme Dalam Islam dan Hindu ...... 66
2. Perbedaan Konsep Asketisme Dalam Islam dan Hindu ...... 72
B. Implikasi Konsep Asketisme Dalam Islam dan Hindu Dikehidupan
Sekarang ................................................................................. 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 86
B. Saran ........................................................................................ 87
C. Penutup..................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan di dunia ini, hampir semua manusia mempunyai
agama ataupun kepercayaan yang diyakini dan dipeluknya. Semua agama
di dunia ini pasti mengajarkan hal-hal yang bersifat rohaniah. Setiap
agama pasti mempunyai anjuran dan larangan untuk melakukan suatu
perbuatan.
Dan dalam agama anjuran melakukan sesuatu terbilang banyak,
misalnya pada ajaran tentang dunia, yakni bagaimana agama tertentu
menilai dunia ini. Masing-masing agama mempunyai penilaian berbeda-
beda. Mengenai pandangan ini sangat dipengaruhi oleh konsep teologi dan
kosmologi masing-masing.1
Kebanyakan para sufi meyakini bahwa terdapat kebenaran
mendasar dari seluruh agama. Agama-agama besar memiliki inti ajaran
yang sama. Beragam nabi dan guru spiritual bagaikan bola-bola lampu
yang menyinari sebuah ruangan. Bola lampu tersebut berbeda-beda,
namun sinarnya berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan.2
Sejarah tasawuf adalah peta yang menunjukkan beberapa
persinggahan di sepanjang jalan penafsiran ini, beberapa bentuk kenyataan
tunggal ini, beberapa cara berbeda-beda yang dipergunakan oleh para ahli
mistik untuk mencapai tujuannya, secara sendiri-sendiri atau bersama-
sama, melalui kearifan atau melalui cinta, dengan cara tapa brata atau
dengan cara latihan-latihan yang menuju kegairahan tak terhingga. Sejarah
luarnya merupakan sejarah gerakan-gerakan rohani, teologi, dan sastra
dalam Islam. Bersamaan dengan itu, karena berakar dari latihan ritual yang
1 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cetakan Pertama), hlm. 76 2Robert Frager (Syekh Ragib al-Jerahi), Hati,Diri,&Jiwa Psikologi Sufi untuk
transformasi, Terj. Hasmiyah Rauf, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003, Cetakan kedua), hlm. 12
1
2
diajarkan al-Quran, tasawuf mencerminkan pelbagai sikap kaum muslimin
terhadap “dunia”. Demikianlah, di antara para ahli mistik itu terdapat
pertapa yang membelakangi duniawi dan pejuang yang gigih
memperjuangkan keyakinannya, khatib tegas yang mengajak umatnya
bertobat dan pencipta nyanyian puji-pujian bagi cinta dan kebaikan Tuhan
yang abadi, dan penyusun sistem filsafat yang sangat rumit serta Pemuja
Keindahan Abadi.3
Tasawuf adalah jalan spiritual yang dapat mengantar kita menuju
persatuan dengan Yang Tak Terbatas, di mana pun kini kita berada.
Dikatakan, sesungguhnya ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak
jumlah manusia.4 Untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan
ini, menurut sejarah, semula tasawuf mengambil bentuk zuhud, dalam arti
sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi.5
Zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang
telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya
kemewahan itu dari tangannya.6 Dari uraian tersebut dapat diketahui
posisi zuhud sebagai maqam menuju ke hadirat-Nya, karena dunia
merupakan hijab. Namun yang perlu dicermati adalah bahwa zuhud tidak
harus ditampakkan dalam bentuk lahir, akan tetapi ia berada di hati.7
3 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Tirdaus, 1986,
Cetakan Pertama), hlm. 23 4 Robert Frager, op. cit., hlm. 44 5 Drs. H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa), (Semarang: CV. Aneka Ilmu bekerja sama dengan IAIN Walisongo Press, 1999, Cetakan Pertama), hlm. 100
6 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cetakan Ketiga), hlm. 3
7 Ibid., hlm. 89
3
Zuhud dalam tradisi sufi merupakan maqam8 yang paling inti.
Bahkan tasawuf sangat identik dengan kezuhudan. Maqam zuhud
merupakan kelanjutan dari maqam wara’. Setelah seorang sufi dengan
kewara’annya mampu meninggalkan hal-hal yang mendekatkan diri
mereka dari perilaku dosa, maka ia akan dengan sendirinya sampai pada
maqam zuhud. Yakni tiadanya ketergantungan pada hal-hal yang bersifat
duniawi. Hal-hal yang bersifat duniawi inilah yang dapat mengarahkan
seseorang pada perbuatan dosa.9
Para penyeru agama sengaja ataupun tidak sering kali menjadikan
umatnya tertipu oleh ajaran mereka tentang meraih kekayaan ruhani
dengan hidup sengsara.
Islam adalah agama yang rasional, ia tidak saja memberikan
bimbingan tetapi sekaligus memelihara fitrah manusia. Bahwa manusia
bukanlah binatang, tetapi juga bukan malaikat. Manusia tetaplah manusia
dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Bahkan adanya
kekurangan manusia itu menunjukkan kesempurnaan.
Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 77,
Allah mengingatkan kita semua:
8 Dalam upayanya menempuh perjalanan spiritual untuk meraih hakikat, seorang salik
(orang yang melakukan perjalanan spiritual) akan sampai pada kedudukan spiritual tertentu (maqam). Dalam terminology tasawuf maqam berarti ‘kedudukan atau kualitas spiritual’. Kedudukan atau kualitas spiritual menurut para ahli tasawuf diperoleh melalui upaya dan ketulusan dalam menempuh jalan spiritual. Dengan upaya yang dilakukan, seorang menempuh jalan spiritual akan memperoleh rahmat dan karunia dan kedudukan spiritual dari Allah. Kedudukan spiritual merupakan kualitas batiniah yang bersifat tetap. Hal ini berbeda dengan hal yang digunakan untuk menyebut kondisi kejiwaan yang bersifat sementara. Seorang yang memperoleh kualitas spiritual pada tingkat yang lebih tinggi tidak meninggalkan kualitas spiritual yang telah diraih sebelumnya. Semakin tinggi kualitas spiritual seseorang, maka semakin utuhlah kualitas spiritual yang dicapai (Amstrong, 1996: 175). Belum ada penjelasan mengenai tokoh yang pertama kali mencetuskan istilah maqam, namun beberapa ahli tasawuf telah membuat rumusan mengenai strata maqamat. Masing-masing ahli memiliki susunan yang berbeda satu sama lain. Al-Thusi menyebutkan bahwa di antara maqamat yang disebut oleh para ahli tasawuf yang paling banyak adalah; taubah, zuhd, wara’, shabr, tawakkal, dan ridla. (Kailani, 1979: 27) Menurut al-Qusyairi, seseorang tidak bisa beranjak pada maqam tertentu sebelum memenuhi persyaratan yang ada pada maqam tersebut (al-Qusyairi: 56-57).
9 Hasyim Muhammad, Ke-Zuhud-an Isa Al-Masih Dalam Kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq Karya Abdullah Ibn Mubarak dan al-Zuhd Karya Ahmad Ibn Hambal (Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2009), hlm. 20-21
4
Æ tGö/ $# uρ !$yϑ‹ Ïù š9 t?# u™ ª!$# u‘# ¤$!$# nοtÅzFψ$# ( Ÿωuρ š[Ψ s? y7t7ŠÅÁtΡ š∅ÏΒ $u‹÷Ρ‘‰9 $# (
⎯ Å¡ômr& uρ !$yϑŸ2 z⎯ |¡ôm r& ª!$# šø‹s9 Î) ( Ÿωuρ Æ ö7 s? yŠ$|¡x ø9 $# ’ Îû ÇÚ ö‘ F{ $# ( ¨βÎ) ©!$# Ÿω = Ït ä† t⎦⎪ωšø ßϑø9 $# ∩∠∠∪
Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Qashash: 77)10
Di dalam bukunya Sayyid Abdullah Al-Haddad yang berjudul
jalan para nabi menuju surga, Sayyidina Ali r.a. berkata : “Berbahagialah
orang-orang yang zuhud kepada dunia yang cinta kepada akhirat. Mereka
adalah kaum yang menjadikan bumi sebagai permadaninya, debu di
atasnya sebagai tikarnya dan airnya mewangi. Doa dan Al-Quran menjadi
kain yang menyelimuti.” Mereka membuang dunia dengan mengikuti jalan
yang ditempuh nabi Isa a.s. Mereka mengutarakan dalam syairnya:
Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang pintar
Mereka menalak dunia dan takut fitnah
Mereka melihat dunia ketika mereka mengerti
Ternyata dunia bukan tempat tinggal orang yang hidup
Mereka menjadikan dunia sebagai laut yang dalam dan
menjadikan amal saleh di dunia sebagai perahunya.11
Dalam konsep Islam, kehidupan dunia ini bukanlah untuk diludahi
karena kehidupan dunia bukanlah menjijikkan, bukan najis dan kotor.
Sebaliknya, kehidupan dunia adalah kudus, yang karenanya perlu
disucikan dengan produktivitas dan karya-karya besar. Kreativitas itu terus
10 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-
Hikmah, 2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 394 11 Sayyid Abdullah Al-Haddad, Jalan Para Nabi Menuju Surga, Terj. Drs. Ahmad
Nashirin, (Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah, 2003, Cetakan Pertama), hlm. 53
5
dikembangkan sehingga menjadi lebih semarak, indah dan makmur. Itulah
tugas kekhalifahan manusia di muka bumi.
Agama Islam diturunkan bukan untuk memberkati lapar dan putus
asa. Islam didatangkan di permukaan bumi sebagai landasan bagi manusia
agar berusaha sekuat daya dan kemampuannya, tidak mudah lelah dan
putus asa, berusaha, berkarya, dan menikmati kehidupan dunia yang lebih
baik.
Dengan Islam hendaknya kaum Muslimin bangkit dari
keterpurukannya, berangkat menuju kehidupan, berusaha dengan sungguh-
sungguh, berjuang dengan terus menerus untuk mendapatkan segala yang
terbaik di dunia ini. Dunia ini bukan disiapkan untuk orang-orang kafir
saja, tetapi terutama adalah untuk hamba-hamba-Nya yang shalih.12
Kata zuhud hanya disebut sekali dalam Al-Quran, yakni dalam ayat
yang berbunyi sebagai berikut:13
çν÷ρuŸ° uρ ¤∅yϑsV Î/ <§øƒ r2 zΝ Ïδ≡ u‘ yŠ ;οyŠρ߉÷è tΒ (#θçΡ% Ÿ2uρ ÏμŠ Ïù z⎯ ÏΒ š⎥⎪ωÏδ≡ ¨“9 $# ∩⊄⊃∪
Artinya:” Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah,
yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya”. (QS. Yusuf: 20)14
Namun sikap zuhud banyak disebut dalam berbagai ayat Al-Quran, antara
lain dalam surat al-Hadid ayat 20, dan surat an-Nisa ayat 77.
Sikap manusia terhadap dunia sebagaimana yang telah diharapkan
dan dituntun oleh Al-Quran itu, mempunyai nilai sangat positif dan
merupakan senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi
kehidupan, khususnya di abad modern ini yang syarat dengan problema
12 Hamim Thohari, Cara Baru Memandang Dunia (Jakarta: Pustaka Inti, 2003, Cetakan
Pertama), hlm. 69-72 13 Drs. Totok Sumantoro dan Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Tdk ada
kota: Penerbit Amzah, 2005, Cetakan Pertama), hlm. 297 14 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-
Hikmah, 2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 237
6
hidup. Zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dalam
menghadapi gemerlapnya materi.
Begitu juga dengan ajaran agama Hindu yang menyuruh umatnya
untuk menghilangkan segala keinginan yang berhubungan dengan dunia
ini. Dalam ajaran asketisme, agama Hindu lebih menekankan pada metode
yoga, yaitu suatu metode untuk menyatukan jiwa dengan Tuhan. Dalam
agama Hindu, untuk melawan tindakan yang merugikan, cara yang
semestinya adalah berbuat baik dan menghindari yang jahat. Untuk
menentang hasrat caranya adalah dengan mengawasi dan menaklukkan
nafsu seseorang, mengarahkan pada aktifitas yang tanpa pamrih lewat
praktek-praktek askesis dan atau untuk membersihkan dan mengatasi
semua hasrat dengan cinta yang mantap terarah pada Tuhan. Untuk
melawan ketidaktahuan, perlu diperoleh pengetahuan rohani tentang
kodrat sejati dari jati diri dan dari Tuhan.15
Dikatakan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi yang dapat
dirasakan manusia ialah apabila ia terbebas dari hukum karma dan
samsara, di mana Atman akan bersatu kembali dengan Brahman. Keadaan
ini disebut moksha dan inilah yang diidam-idamkan semua umat Hindu.
Dalam usaha mencapai moksha ini, kitab Bhagawatgita telah menjelaskan
bahwa jalan yang harus ditempuh ialah dengan melaksanakan Yoga.
Yoga dalam pengertiannya yang sederhana adalah usaha
mendisiplinkan diri. Yoga terdiri dari empat macam dan tiap orang boleh
memilih beberapa di antara yang empat itu sesuai dengan bakat dan
kemampuan masing-masing.16 Mengenai keempat jalan keselamatan itu
antara lain: jalan pengetahuan (jnana yoga), jalan cinta (bhakti yoga), jalan
karya (karma yoga), dan yang terakhir adalah jalan menuju Tuhan melalui
latihan psikologis (raja yoga).
15 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Terj. Kelompok Studi Agama
“Driyarkara” (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, Cetakan Ketujuh), hlm. 301 16 Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996, Cetakan Kedua), hlm. 19-20
7
Yoga-yoga yang menjadi perhatian kita adalah yoga yang
dimaksudkan untuk menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan, yang
tersembunyi di lubuk yang paling dalam. “Karena semua latihan rohani
India (yang kita bedakan dari latihan jasmani) sungguh dimaksudkan
untuk mencapai tujuan praktis ini, bukan sekedar untuk kontemplasi
khayalan atau untuk mencapai gagasan yang hebat dan mendalam, latihan-
latihan tersebut boleh dianggap mewakili salah satu sistem pemikiran dan
sistem latihan yang paling realistis dan paling praktis yang pernah
diciptakan oleh pikiran manusia. Bagaimana caranya mencapai Brahman
dan hidup seperti Brahman; bagaimana caranya agar kita bisa mencapai
suatu taraf ilahi sambil tetap hidup di dunia ini, yaitu orang yang telah
diubah, dilahirkan kembali tanpa berubah sambil tetap tinggal di dunia ini.
Itulah upaya yang telah mengilhami dan mempertinggi alam rohani
manusia di India selama berabad-abad.”
Perjalanan rohani yang telah dirintis orang-orang Hindu untuk
mencapai tujuan ini ada empat. Titik berangkat seseorang ditentukan oleh
pribadi orang yang bersangkutan, yaitu himpunan bakat, minat, watak
yang membentuk kepribadian atau sifat kodrati ataupun watak dari orang
itu. Yang unik pada agama Hindu adalah besarnya perhatian yang telah
dicurahkan para rohaniwannya untuk mengenal dan menandai jalan-jalan
utama yang bisa dipilih orang.
Menurut analisis Hindu, pada umumnya ada empat macam pribadi
manusia. Beberapa orang pada dasarnya suka merenung. Yang lainnya
amat emosional. Yang lainnya lagi adalah tipe orang aktif. Akhirnya, ada
beberapa orang yang paling tepat dikategorikan sebagai orang yang lebih
suka akan pengalaman atau percobaan (empiricist). Masing-masing jenis
kepribadian ini diberi jenis yoga sendiri-sendiri. Tiap yoga itu
dimaksudkan untuk memanfaatkan bakat yang dimiliki orang yang
bersangkutan.
Keempat jalan tersebut dimulai dengan beberapa petunjuk awal
tentang kesusilaan. Oleh karena tujuan dari masing-masing jalan tersebut
8
adalah untuk menjernihkan permukaan diri kita, agar dapat terlihat unsur
keilahian yang ada di bawahnya, tentu saja pribadi tersebut pertama-tama
harus dibersihkan dari segala bentuk kotoran moral yang besar. Oleh
karena itu, sebagai langkah pertama untuk yoga mana pun juga, orang
yang ingin melakukan yoga haruslah memulai kebiasaan dan praktek
hidup seperti tidak menyakiti orang, jujur, tidak mencuri, mengendalikan
diri, bersih, menenangkan batin, disiplin diri, dan adanya suatu hasrat yang
sangat kuat untuk mencapai tujuan tersebut.17
Dalam kitab Mahanarayana Upanisad Swami Vimalananda,
menjelaskan sebagai berikut:
Wedanta wijnana winiscitartah samnyasa yoga dyatayah suddha sattwah,
te brahmaloke tu paranta kale paramrtat parimucyanti sarwe.
Setelah mencapai ke-Abadian yang mengandung identitas dengan Yang
Tertinggi, semua calon spiritual yang berusaha keras untuk mengendalikan
diri, yang secara berani menyimpulkan ajaran Wedanta melalui
pengetahuan langsung, dan yang telah mencapai pemurnian pikiran
melalui pelaksanaan disiplin yoga dan kemantapan dalam pengetahuan
Brahman yang didahului oleh penyangkalan, dapat membebaskan dirinya
sendiri masuk ke dalam wilayah Brahman pada saat penghancuran badan
terakhir mereka.
(Sloka ini dijelaskan oleh Sankaracarya dalam Mundaka Up.
III.2.6. dengan menggunakan pembacaan – Brahmalokesu – untuk kata
Brahmaloke tu dan Paramtah parimucyanti untuk kata Paramrtat
parimucyanti. Penjelasan dan penerjemahan yang diberikan di atas,
mengikuti otoritas ini. Menurut Sankaracarya, tujuan dari Wedanta adalah
Paramatmawijnana atau Realisasi Diri. Tema pokok dari sloka ini adalah
bahwa pengetahuan ini dicapai melalui pemurnian batin yang diperoleh
dengan melakukan samyasa dan yoga. Samnyasa di sini berkenaan dengan
17 Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Terj. Saafroedin Bahar, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), hlm 38-41
9
penanggalan kerja yang bersifat duniawi dan spiritual serta
mempersiapkan diri untuk senantiasa teguh pada kesadaran Brahman; dan
ini juga merupakan suatu yoga. Mereka yang berusaha keras untuk tetap
menjaga keadaan Spiritual ini disebut sebagai – yati18
Ajaran yoga merupakan ajaran untuk meningkatkan kedisiplinan
berfikir dan menghilangkan semua bentuk egoisme dalam mencapai
kebenaran, dengan melakukan penunggalan pikiran, akan dapat
ketenangan untuk menghayati dan mempelajari yoga, pertama kali
haruslah melatih diri untuk melaksanakan yama niyama, karena kehidupan
yang semula merupakan dasar persiapan untuk mencapai yoga. Dari yama
niyama diperoleh hubungan yang harmonis antara individu dengan
masyarakat, dengan makhluk lainnya dan dengan Tuhan. Sedangkan
asama pranayama dan pratyahara merupakan latihan untuk
mendisiplinkan badan jasmani, kekuatan vital dan indera.19 Ajaran ini
memberikan pandangan dan mengharapkan kepada semua manusia
khususnya umat Hindu untuk dapat melaksanakan dharma dengan suatu
tujuan untuk mencapai kelepasan yakni melepaskan diri dari benda-benda
duniawi. Dalam hidup ini manusia senantiasa berjuang untuk mencapai
tujuan hidupnya. Yoga memberikan kekuatan iman dan kesejahteraan
hidup.20
Dalam masalah pengalaman keagamaan kedekatan diri dengan
Tuhan ini sangat penting dan mengesankan dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini penulis melihat pada tiap-tiap ajaran agama memiliki konsep
dalam kedekatan diri kepada Tuhan, khususnya tentang ajaran yang
terkandung dalam ajaran yoga.
Dari sinilah, agama tidak dapat dilepaskan dengan ritual-ritual
rohani seperti ini, karena ritual dimaksudkan untuk menyatukan jiwa
18 Swami Vimalananda, Mahanarayana Upanisad, Terj. I Wayan Maswinara, (Surabaya:
Paramita, 1997, Cetakan Pertama), hlm. 100 19 Sami’an, Meditasi Dalam Perspektif Yoga, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2004, hlm. 7 20 Ibid., hlm. 16
10
manusia dengan Tuhan. Berangkat dari latar belakang inilah, penulis
bermaksud untuk membahas permasalahan ini dalam sebuah skripsi
dengan judul:
KONSEP ASKETISME DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HINDU
(STUDI KOMPERATIF).
B. Pokok Masalah
Pokok permasalahan skripsi ini dapat diketengahkan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu?
2. Apa implikasi konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu
dikehidupan sekarang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan Skripsi
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui konsep asketisme dalam pandangan Islam dan
Hindu.
b. Untuk mengetahui manfaat asketisme dalam kehidupan beragama
khususnya dalam agama Islam dan Hindu.
2. Manfaat Penulisan Skripsi
Manfaat yang ingin dapat diambil dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan atau wawasan tentang
asketisme dan mengembangkan potensi penulisan karya ilmiah,
sehingga dapat menjadi bekal pelajaran yang berguna bagi masa
yang akan datang.
b. Agar tercipta wacana dan informasi mengenai asketisme dalam
agama Islam dan Hindu.
11
D. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya telah banyak kajian seputar relasi Islam dan Hindu
yang dilakukan oleh para ahli dalam berbagai ragam bentuk. Untuk
mengkaji konsep asketisme dalam Islam dan Hindu, penulis tidak terlepas
dari karya-karya atau buku-buku yang membahas tentang kajian tersebut.
Di antara pustaka tersebut antara lain:
1. Buku karya Prof. Dr. H.M. Amin Syukur yang berjudul Zuhud di abad
Modern yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2004. Dalam buku ini
beliau mencoba menjelaskan bahwa dunia ini bukan menjadi tujuan
hidup dan tidak membuatnya mengingkari Tuhan, tetapi dunia
dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sehingga dalam mengarungi kehidupan dunia ini, manusia
diperintahkan untuk bekerja keras sebagai bekal kehidupan di dunia
dan apa yang diperolehnya diperuntukkan juga bagi kehidupan akhirat.
2. Buku karya Ram Dass (Dr. Richard Alpart) yang berjudul Jalan
menuju Tuhan Melaksanakan Gita Dalam Hidup Sehari-hari yang
diterbitkan oleh Media Hindu, 2007. Dalam buku ini berisi tentang
tema-tema atau seri renungan yang menyentuh dari Gita. Ini semua
adalah suatu upaya untuk mendekatkan diri dan juga berisi berbagai
jalan menuju persatuan dengan Tuhan. Buku ini banyak menjelaskan
tentang karma yoga, bhakti yoga dan jnana yoga. Semua ini
dimaksudkan untuk melihat bagaimana yoga-yoga itu bisa relevan
dengan kehidupan kita di jaman sekarang ini.
3. Buku karya Kirit Patel dan Vijay c. Amin yang berjudul Karma Yoga,
manfaat pelayanan tanpa pamrih, ajaran Bhagavan Sri Sathya Sai
Baba yang diterbitkan oleh Paramita, 2000. Di sini Baba mengatakan
bahwa pelayanan kasih sayang pada mereka yang membutuhkan
merupakan bentuk Bhakti yang paling menyenangkan kepada Yang
Ilahi. Dalam kehidupan di dunia ini, beliau mengajarkan kepada kita
untuk lebih mengutamakan perbuatan dan kasih sayang tanpa pamrih
kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti melayani orang-orang
12
miskin, membantu mereka yang terlantar. Semua ini merupakan suatu
kesempatan mulia. Tahtakanlah Tuhan dalam hatimu dan bersiaplah
untuk melayani-Nya.
4. Buku karya Imam al-Ghazali yang berjudul Ihya’ Ulumiddin, yang
diterbitkan oleh Pustaka Nasional, 1998. Buku ini menjelaskan bahwa
orang yang menggemari dunia dan panjang angan-angannya niscaya
dia akan dibutakan oleh Allah hatinya dan barang siapa zuhud terhadap
dunia niscaya dia diberikan ilmu dan kenikmatan oleh Allah. Dunia itu
diibaratkan sebagai salju yang terletak pada matahari, yang senantiasa
hancur sampai habis. Dan akhirat itu seperti mutiara yang tidak hancur
binasa.
5. Skripsi karya Sami’an, NIM: 4100104, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2004, yang berjudul Meditasi Dalam Perspektif
Yoga. Dalam skripsi ini berisi tentang beberapa jalan menuju Tuhan
yaitu di antaranya pendekatan melalui metode yoga, seperti
pembahasan tentang empat jalan mencapai kesempurnaan, yaitu Jnana
yoga, Karma yoga, Bhakti yoga dan Raja yoga.
6. Skripsi karya Ulfah, NIM: 4100015, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2005, yang berjudul Study Komperatif Konsep
Dunia Menurut Pandangan Bikkhu dan Zahid. Skripsi ini banyak
menjelaskan tentang kehidupan dunia yang menyesatkan, di sini
seseorang diharuskan menjauhkan dirinya dari hawa nafsu. Dengan
kata lain hendaklah dia membebaskan dirinya secara penuh dari segala
hal yang menghalangi kebebasannya. Sehingga kehidupan di dunia ini
hanyalah sekedar sarana bukan tujuan, hati tidak boleh terpikat
olehnya.
Dari buku-buku tersebut, maka jelas belum ada yang secara
spesifik membahas konsep asketisme dalam pandangan Islam maupun
Hindu, baik persamaan atau perbedaannya. Dari sinilah penulis ingin
mengetahui dan membandingkan konsep asketisme di dalam agama Islam
dan Hindu. Maka dari itu, suatu hal yang sangat menarik bagi penulis
13
untuk mengkajinya dalam bentuk skripsi. Jadi, perlu penulis tegaskan
bahwa kajian ini bukanlah berasal dari pemikiran penulis sendiri, tetapi
penulis mencoba menyusun dengan pemikiran beberapa telaah buku yang
berkaitan dengan konsep di atas.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang
dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah
ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan
penelitian dalam bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang
luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan data sekunder serta
menghindarkan duplikasi penelitian.21 Penilitian ini akan menjelaskan
tentang asketisme dalam Islam dan Hindu dengan membandingkan
persamaan dan perbedaan di antara konsep asketisme dalam dua agama
tersebut.
2. Sumber Data:
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
sehingga sumber data berupa literatur yang diperoleh dari
perpustakaan dan dikumpulkan serta diolah melalui telaah buku yang
relevan dengan permasalahan yang dikaji. Untuk mempermudah
penelitian, sumber data dalam kajian ini dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Sumber Primer:
Sumber primer adalah sumber data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukur, alat
21 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 70
14
pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi
yang dicari.22 Yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini
adalah kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits yang berkaitan dengan
asketisme, kemudian kitab suci Hindu yaitu: Weda, Upanishad dan
Bhagawadgita.
b. Sumber Sekunder:
Sumber data sekunder adalah data yang mengikuti dari
sumber lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh
dari sumber kedua atau ketiga.23 Dan yang menjadi sumber
sekunder ini adalah berupa buku-buku atau sumber-sumber lain
yang relevan dengan kajian penelitian ini.
3. Pengumpulan Data:
Selanjutnya data-data baik lisan maupun tulisan akan penulis
dapatkan dengan cara:
a. Penelitian ini menggunakan riset kepustakaan (library research)
yaitu membaca dan meneliti serta memakai buku-buku yang
berkaitan dengan tema tersebut.
b. Sebagai penguat data-data tersebut, penulis melakukan wawancara
langsung terhadap tokoh-tokoh agama baik itu dari pihak Islam
maupun Hindu.
4. Analisis Data:
Setelah data-data terkumpulkan semua, penulis kemudian
melakukan kegiatan analisis dengan menggunakan pendekatan analisis
data kualitatif yaitu menganalisis data yang dijelaskan dalam bentuk
uraian-uraian dan ungkapan-ungkapan sehingga menjadi jelas makna
22 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 91 23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 1996, Cetakan Kesepuluh), hlm. 80
15
yang terkandung dalam data tersebut. Metode analisis yang digunakan
oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:
a. Metode Deskriptif
Merupakan metode penelitian dalam rangka untuk
menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek
penelitian.24 Metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
yang diselidiki, mengenai konsep asketisme dalam Islam dan
Hindu.
b. Metode Komparasi
Metode komparasi adalah suatu metode penelitian yang
dapat digunakan untuk menemukan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan tentang benda, tentang orang, tentang
prosedur, kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok,
terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.25 Metode ini
digunakan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara
konsep asketisme dalam Islam dan Hindu.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Agar penulisan skripsi ini lebih mengarah, maka skripsi ini
disistematisir menjadi lima bab, yang setiap bab terdiri dari sub bab yang
isinya saling berkaitan antara satu dengan lainnya sehingga merupakan
satu-kesatuan yang umum.
Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama. Bab ini merupakan pendahuluan yang akan
mengantarkan pada bab-bab berikutnya. Bab ini berisi latar belakang
masalah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan skripsi,
24 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Perss, 1996), hlm. 116 25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 1998, Cetakan Kesebelas), hlm. 247
16
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk
memperoleh data secara lengkap dan teratur. Metode penelitian ini
diterapkan terhadap obyek penelitian yang kemudian akan
diimplementasikan dalam bab-bab berikutnya.
Bab kedua. Bab ini merupakan informasi tentang landasan teori
bagi obyek penelitian seperti terdapat pada judul skripsi. Berisi gambaran
umum tentang konsep asketisme. Pembahasan ini meliputi: pengertian
asketisme, faktor munculnya asketisme, ajaran dan tujuan asketisme, dan
bentuk asketisme dalam Islam dan Hindu.
Bab ketiga. Bab ini merupakan paparan atas data-data hasil
penelitian secara lengkap atas obyek yang menjadi kajian dan kemudian
diikuti pembahasan dalam bab berikutnya. Berisi gambaran global tentang
konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu. Pembahasan ini
meliputi: pengertian, dasar perintah, faktor munculnya, ajaran dan tujuan
pelaksanaan dan macam-macam asketisme dalam Islam dan Hindu.
Bab keempat. Bab ini merupakan pembahasan atas data-data yang
telah dituangkan dalam bab sebelumnya. Berisi analisis terhadap
Persamaan, Perbedaan dan Implikasi konsep asketisme dalam Islam dan
Hindu dikehidupan sekarang.
Bab kelima. Bab ini merupakan akhir dari proses penulisan atas
hasil penelitian yang berpijak pada bab-bab sebelumnya. Berisi
kesimpulan, saran-saran, dan penutup. Dengan memberikan kesimpulan
yang benar-benar lengkap dan dorongan agar benar-benar memahami
tentang konsep asketisme serta penutup sebagai akhir bab.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KONSEP ASKETISME
A. Pengertian Asketisme
Dalam pengertiannya asketisme (Ing: asceticism; Yun: asketikos =
seseorang yang menjalankan pertapaan). Sedangkan dalam filsafat, asketisme
diartikan sebagai prinsip tingkah laku bermati raga demi memperoleh
kebahagiaan, keluhuran moral dan idealisme kehidupan agama. Versi kuat=
sikap menolak semua keinginan tanpa terkecuali. Versi lemah= menolak
keinginan-keinginan tubuh dan dunia yang sifatnya dasariah, seperti nafsu
birahi, keinginan memiliki harta benda, kemasyhuran dan prestasi.1 Hanya
dengan cara ini seseorang dapat membebaskan jiwanya guna mencapai
kebaikan dan keselamatan. Asketisme dalam kedua pengertian tadi disamakan
dengan kerahiban, keketatan, kesederhanaan, ketaatan, kefakiran, puasa,
disiplin, penebusan dosa, perusakan anggota tubuh, hidup menyendiri dan
kontemplatif.2
Dan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia III, asketisme bermakna
"paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan
berkorban".3
Asceticisme artinya latihan berat. Dalam filsafat popular Stoa berarti
“melepaskan diri dari semua kecenderungan duniawi untuk mencapai
kebebasan yang tak tergoyahkan”. Di dalam dunia gereja dilakukan oleh para
rahib, dan di dalam tasawuf dan tarekat Islam hampir menyerupai wara’ untuk
selalu mendekatkan diri kepada Allah.4
Menurut Eddy Kristiyanto, askese ialah latihan yang ditempuh orang
Kristen di bawah bimbingan Roh Kudus untuk memurnikan diri dari dosa,
1 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2006, Cetakan Kelima), hlm. 74 2 Jalalludin Rahmat, Kamus Filsafat, 1995, hlm. 24 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cetakan Kedua), hlm. 94 4 Dr. Mochtar Effendy, “asceticisme”, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Penerbit
Universitas Sriwijaya, 2000), hlm. 313
17
18
menguasai diri dan memurnikan sikap hati di hadapan Allah, serta
menghilangkan berbagai penghalang untuk merasakan hadirat Tuhan.5
Askese yang benar akan membuahkan perkembangan dalam
kontemplasi dan cinta akan Allah yang tidak akan merugikan kematangan
pribadi dan tanggung jawab sosial.6 Definisi ini diberikannya untuk
menegaskan adanya kesalah pahaman banyak pihak dalam menilai asketisme.
Anggapan keliru yang didasarkan pada beberapa praksis asketis di Timur ialah
bahwa asketisme merupakan tindakan orang Kristen untuk melarikan diri dari
kegiatan dan tanggung jawab di dunia dengan cara bertapa di tempat-tempat
tersembunyi dan melakukan penyiksaan tubuh secara ekstrem.
Tharekat Syaziliyyah sebagai contoh, menetapkan pelepasan batin
bukan bentuk-bentuk lahir; tanpa keikutsertaan lahir atau cinta terhadap
sesama makhluk, namun juga tanpa mencari aib lahir untuk diri sendiri. Dalam
hal ini Ibn al-‘Arif menuliskan sebagai berikut:
Asketisme untuk kebanyakan orang yang berupa penghindaran kesenangan
nafsu, mengecam orang-orang yang kembali kepada kesenangan nafsu
yang telah dipisahkannya dan membuang pencarian sesuatu yang nisbi,
mencabut diri sendiri dari nafsu yang berlebihan, menghalangi segala
dorongan nafsu, mengabaikan segala sesuatu yang tidak menarik perhatian
bagi jiwa. Tetapi hal-hal tersebut belum sempurna untuk menuju jalan
yang dipilihnya. Karena itu tetaplah dipandang sangat penting keterlibatan
terhadap segala sesuatu di dunia ini, yakni untuk upaya pengosongan diri
dari penggunaan hal tersebut. Satu keterikatan lahir dapat mencabut
dirinya sendiri dari segala sesuatu di dunia ini, sementara dalam batin
keterlibatan terhadap hal-hal tersebut sangat terasakan.7
5 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th judul:
Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri) 6 Gerald O’collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta:
Kanisius, 1996, Cetakan Pertama), hlm. 34 7 Cyril Glasse, “Asketisme” Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hlm.
453
19
Adalah benar bahwa asketisme merupakan kehendak hati yang
bergairah terhadap Din (Allah) semata. Hal ini akan menempatkan jiwa dalam
Dia, yakni keinginan dan hasrat jiwa; mengikatkan diri secara unik dengan
Dia tanpa keasyikan apapun. Agar Dia (yang kepada-Nya segala pujian
diarahkan) dapat dijauhkan dari sebab-sebab tersebut.
Atau sebagaimana yang dikatakan al-Hujwiri: “Orang miskin bukanlah
orang yang tangannya kosong dari harta, melainkan mereka yang karakternya
kosong dari hasrat (kemauan).”8
B. Faktor Munculnya Asketisme
1. Faktor Internal
Asketisme pertama sekali dipakai di dalam filsafat Stoa. T.C. Hall
menguraikan bahwa dihampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide
dan praksis asketis. Misalnya, dalam kebudayaan kuno, terdapat latihan-
latihan untuk memasuki kehidupan pernikahan. Latihan-latihan diberikan
supaya orang yang dilatih tersebut dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
baru. Latihan-latihan tersebut diberi nama askese. Di dalam kebudayaan dan
agama India dan Persia, bentuk-bentuk asketisme telah lama diterima.
Bahkan di India, ide dan praksis askese telah lama dikenal dan sangat luas
diterapkan. Konsepsi dasar India tentang asketisme ialah keinginan
melepaskan diri dari samsara, suatu lingkaran yang menguasai kehidupan
manusia. Menurut Schaff, sistem askese adalah esensi dari Brahmanisme
dan Buddhisme, dua cabang agama India yang dalam banyak hal
berhubungan satu dengan yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa asketisme model India adalah asketisme ekstrem yang memandang
tubuh jahat dan harus dihancurkan.
Asketisme biasanya dikenakan kepada para atlet yang berlatih secara
sistematis untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan siap untuk bertanding.
Selanjutnya, kata ini mulai dinilai secara filosofis, rohani, dan etis: latihan
8 Cyril Glasse, loc. cit.
20
bukan hanya untuk fisik, tetapi juga untuk melatih kehendak, pikiran, dan
jiwa untuk mencapai kehidupan rohani yang lebih tinggi. Carl Wellman
mengatakan bahwa asketisme adalah ajaran yang mendorong setiap orang
Kristen untuk berlatih menyangkal diri dan menyangkal keinginan
dagingnya.9 Kata ini diadaptasi untuk merujuk pada disiplin moral dari
orang bijak yang belajar, melalui penguasaan diri, bagaimana untuk
bertindak secara bebas untuk memilih atau menolak objek yang diinginkan
atau tindakan fisik akan merasa senang dan bagaimana mengendalikan
emosi. Plato dan neo-Platonis filsuf juga menggunakan istilah ini dalam arti
penolakan "rendah" keinginan sensual untuk menumbuhkan "lebih tinggi"
sifat-sifat rohani.
Kata itu kemudian disampaikan dari Yunani Kristen awal dalam
pengertian ini pengendalian diri atas keinginan fisik dan psikologis yang
mendukung cita-cita atau tujuan rohani. Asketisme telah datang untuk
berfungsi lintas-budaya untuk merujuk kepada seluruh kegiatan dalam
agama-agama dunia. Sebagian besar agama memiliki setidaknya beberapa
praktek yang dapat dianggap pertapa: puasa, selibat, pengasingan,
penderitaan, sukarela, rasa sakit, mutilasi, kesederhanaan, penolakan
terhadap barang-barang duniawi dan harta benda, dan dalam beberapa kasus,
bunuh diri agama. Asketisme dapat juga mencakup budidaya kualitas moral
yang memerlukan pengendalian diri dan disiplin diri, seperti kesabaran.10
Menurut F.D. Wellem, istilah asketisme pada mulanya dipakai untuk
menunjukkan praktik-praktik memerangi kejahatan dan usaha mengejar
keadilan. Pada zaman Gereja Lama, asketisme tampak dalam praktik
persiapan seorang Kristen menghadapi kemartiran dan perselibatan.
9 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th judul:
Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri) 10http://translate.google.com/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://science.jrank.org/p
ages/7504/Asceticism-Hindu-Buddhist-Asceticism.html
21
Clemens dari Aleksandria dan Origenes dari Aleksandria adalah bapa-bapa
gereja pertama yang memberi kerangka teoritis terhadap asketisme.11
2. Faktor Eksternal
Asketisme memang bukan khas Kristen karena ide dan praksis itu telah
ada sebelum kekristenan lahir dan bahkan terus ada bersamaan dengan
asketisme Kristen. Philip Schaff di dalam bukunya yang berjudul History of
the Christian Church menilai bahwa asketisme non-Kristen berdasarkan
pada gnostik-dualistik Yunani maupun manikeisme. Asketisme ini
membanggakan nilai roh dan kepuasan diri sendiri. Sasarannya ialah
pembinasaan tubuh dan kesenangan panteistik. Ide dan praksis puasa,
penyesalan diri, penyiksaan diri, dan larangan seks yang terdapat dalam
sebagian tradisi Yudaisme, tidak dapat disebut sebagai askese, karena hal itu
mereka lakukan bukan sebagai latihan yang dilakukan secara sadar untuk
mengendalikan tubuh dan jiwa, melainkan sebagai peraturan yang dilakukan
dengan keterpaksaan. Ide dan praksis askese dalam kehidupan umat Israel
timbul dalam perjumpaannya dengan agama Timur dan kebudayaan Yunani.
Tokoh yang memadukan Yudaisme dengan kebudayaan Yunani ialah Philo
dari Aleksandria. Philo memperkenalkan dualisme antara Tuhan dan dunia
yang dijembatani oleh Logos. Dualisme tubuh dan roh dijembatani dengan
hidup merenung, dan dengan itu roh akan dibebaskan dari tubuh dan naik ke
tingkat ilahi. Philo juga melaporkan tentang kaum Eseni yang menunjukkan
kehidupan askese, seperti tampak pada makanan dan pakaian Yohanes
Pembaptis.
Kekristenan yang dipengaruhi oleh Philo dan Yudaisme mulai
mengenal konsep dualisme. Di dalam konsep dualisme inilah mulai dikenal
konsep menjauhi dunia dan asketisme berkarakter Timur. Di Mesirlah
berkembang konsep menjauhi dunia. Di tempat ini berkembang praksis
askese. Akan tetapi, tidak pula dapat dikatakan bahwa asketisme Kristen
11 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri)
22
berasal dari Brahmanisme, Yudaisme, maupun Hellenisme. Oleh karena,
asketisme merupakan sentimen keagamaan yang sering muncul pada
periode-periode tertentu sebagai tanda keterasingan terhadap dunia ini.12
C. Ajaran dan Tujuan Asketisme
Asketisme adalah ajaran tentang latihan-latihan penyangkalan diri
untuk mendapatkan kemampuan dalam pengendalian diri. Praktek pertapa
terlibat dalam berbagai tujuan. Banyak tradisi asketisme yang telah ditetapkan
di dalam kalender keagamaan, hal ini bertujuan untuk pemurnian atau
persiapan untuk acara ritual yang signifikan. Puasa dan selibat secara khusus
digunakan untuk tujuan ini. Kebanyakan upacara atau ritus siklus kehidupan
juga memerlukan beberapa bentuk penyangkalan diri dan disiplin diri di pihak
orang yang menjalani ritual. Praktek pertapa sebagai bentuk penebusan dosa
juga sangat sering diresepkan untuk mendamaikan dosa atau kenajisan. Dalam
beberapa kasus, praktek-praktek asketis dipekerjakan sebagai semacam korban
kepada dewa atau kekuasaan seseorang yang berusaha mempengaruhi untuk
memperoleh pemenuhan permintaan, sementara di dalam asketisme ada
beberapa contoh lain di mana pelakuan mereka dilihat sebagai jasa pada
umumnya, yang dimaksudkan untuk mengarahkan atau menjamin kehidupan
di dunia ini dan pada kehidupan berikutnya dengan lebih baik.13
Menurut Sinclair B. Ferguson, dasar asketisme terdapat pada Alkitab.
Pencobaan yang dialami oleh Yesus di padang gurun adalah model yang
diteladani oleh para asket kemudian. Padang gurun adalah tempat yang dipilih
untuk menjalankan kehidupan asketis. Menjelang tahun 250 SM, sudah
banyak kaum asket yang bertapa di gua-gua di Mesir Tengah. Selanjutnya,
gerakan ini meluas menyeberangi dunia Laut Tengah yang dipopulerkan oleh
Basilius dari Kaisarea dan Hieronimus.
12 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri) 13http://translate.google.com/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://science.jrank.org/p
ages/7504/Asceticism-Hindu-Buddhist-Asceticism.html
23
Douglas Burton-Christie menjelaskan bahwa asketisme adalah cara
umum orang Kristen awal mengekspresikan kesalehan iman mereka. Dan
menurut F.D. Wellem, penyusun kerangka teoritis pertama asketisme ialah
Clemens dari Aleksandria dan Origenes dari Aleksandria. Akan tetapi, Carl
Wellman menilai bahwa dasar asketisme terletak pada teologi Athanasius,
Gregorius dari Nyssa, Ambrosius, dan Augustinus. Pendapat ini pada
prinsipnya tidak bertentangan, karena saling melengkapi satu dengan yang
lain. Apa yang dirumuskan oleh Clemens dan Origenes disempurnakan oleh
generasi berikutnya.
Untuk lebih jelasnya saya ingin membahas sedikit tentang kedua tokoh
pendiri dan tokoh penting asketisme di atas yaitu Clemens dan Origenes.
1. Clemens dari Aleksandria (150-215 M) adalah seorang filsuf Kristen yang
belajar dari seorang guru terkenal, Pantaenus di kelas katekisasi di
Aleksandria. Dia bersifat moderat dalam segala sesuatu. Dia memandang
manusia secara positif dan menolak dualisme Gnostik. Memang manusia
harus melatih dirinya untuk menjadi sempurna, tetapi bukan menganiaya
dan menghancurkannya. Dia menekankan perkawinan, membolehkan
minum anggur yang membuat hidup senang, membolehkan kekayaan, dan
tidak vegetarian. Baginya, Allah memberikan segala sesuatu untuk
dinikmati. Akan tetapi, semua hal itu harus dijadikan sarana untuk
memuliakan Allah.
Clemens dikenal sebagai pembentuk kerangka teoritis pertama mengenai
asketisme, karena dia menyusun satu sistem askese yang sangat baik.
Dalam bukunya yang berjudul Pædagogus atau Pendidik, dia memberikan
petunjuk praktis cara meningkatkan moral orang Kristen. Konsep yang
dipakainya bukan dualisme Yunani yang menganggap daging perlu
ditekan dan dihukum. Ada tiga bagian asketisme yang diajarkannya.
Pertama, suatu latihan untuk kepekaan jiwa. Kedua, suatu dorongan ke
arah kesederhanaan. Ketiga, merealisasikan kesatuan dengan Allah.
Baginya, semua ciptaan Allah adalah baik. Dia tidak menolak materi,
tetapi juga tidak mengidolakannya. Arah dan semua pemikirannya ialah
24
apatheia, ketiadaan keinginan menuju moralitas yang lebih sempurna.
Apatheia bukan ketiadaan kesadaran, melainkan kemampuan untuk
mengasihi dan membawa jiwa kepada kesatuan dengan kehendak Allah.
Dia meletakkan tekanan pada kesederhanaan sebagai aspek utama dari
pengalaman keilahian di dalam kehidupan.14
2. Origenes dari Aleksandria (185-254 M) adalah seorang sarjana Alkitab
yang istimewa dan seorang asketis. Karakternya berbeda dengan gurunya,
Clemens. Dia seorang yang fanatik dan intoleran. Dia menerapkan prinsip
askesenya secara harfiah dari Matius 19:12, suatu praksis selibat yang
tidak asing di antara orang Kristen Aleksandria pada masa itu.
Menurutnya, keperawanan adalah mulia, karena sesuai dengan tradisi
rasuli. Perempuan lebih rendah daripada laki-laki, akan tetapi mereka bisa
mendapatkan kebajikan bila mengabdikan hidup mereka kepada Tuhan.
Askese yang diterapkan oleh Origenes sangat keras. Dia secara radikal
mengendalikan dirinya dari segala godaan hawa nafsu laki-laki. Dia
menghindari kontak yang tidak perlu dengan perempuan, khususnya
murid-muridnya di kelas katekisasi. Dia sangat serius bekerja,
menghabiskan waktu malam dengan belajar Alkitab dan berdoa. Bila perlu
tidur, dia melakukannya di atas lantai. Dia sering berpuasa, makan hanya
sedikit makanan, berjalan tanpa alas kaki, dan banyak hal lain yang hampir
menghancurkan kesehatannya. Sewaktu mengajar di Kaisarea, dia hanya
mengambil sangat sedikit gaji untuk pekerjaannya.
Pikiran Origenes tentang asketisme sama dengan Clemens, khususnya
tentang kesatuan mistis. Origenes mengajarkan pentingnya peningkatan
rohani melalui pengendalian keinginan daging. Jiwa harus kembali
menyatu kepada logos. Itulah satu-satunya alasan dan keunikan asketisme
Kristen. Manusia telah tergoda dan jatuh ke dalam kemerosotan. Yesus
datang dari kesempurnaan untuk mengangkat manusia yang merosot
14 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri)
25
tersebut. Latihan askese akan mengangkat manusia itu kepada kesatuan
dengan Yesus yang sempurna.15
Eddy Kristiyanto juga menambahkan dalam upaya membela kebenaran
asketisme dia menjelaskan bahwa asketisme Kristen memiliki dasar yang kuat
pada kebenaran kitab suci dan motivasi iman yang tulus kepada Yesus Kristus.
Sebagaimana orang Kristen mula-mula dengan iman yang tulus menyerahkan
nyawanya sebagai martir dan menyerahkan hidupnya sebagai perawan bagi
pengantin Tuhan, begitulah juga para asket menyerahkan segenap hidupnya
sebagai persembahan yang kudus bagi kemuliaan Tuhan Yesus. Dasar Alkitab
asketisme terdapat pada perintah Yesus agar setiap murid-Nya menyangkal
diri (Matius. 16:24); perintah kepada orang kaya untuk menjual harta
bendanya guna mendapatkan kesempurnaan iman (Matius. 19:21); dan juga
kebiasaan Yesus mengundurkan diri ke tempat sunyi untuk berdoa (Lukas.
6:12). Beliau menyimpulkan bahwa hidup asketis merupakan mahkota
eksistensi kekristenan, bukan penyimpangan apalagi kemerosotan iman
sebagaimana yang dituduhkan oleh sekelompok orang.16
Carl Wellman membagi asketisme ke dalam beberapa tipe. Pertama
ialah tipe asketisme parsial. Asketisme parsial ialah teori tentang penolakan
keinginan yang lebih rendah, seperti pancaindera, tubuh, atau dunia yang
dikontraskan dengan kebajikan atau keinginan rohani. Misalnya tidak melihat
keindahan tubuh wanita, tidak mengumpulkan harta benda, tidak makan
daging dan makanan lezat lainnya, dan lain-lain.
Kedua ialah tipe asketisme total. Asketisme total ialah teori yang
mengharuskan penolakan semua keinginan tanpa kecuali. Misalnya, tidak
boleh makan daging, bersantai, memakai pakaian halus, dan lain-lain.
Ketiga ialah tipe asketisme moderat. Asketisme moderat ialah teori
yang mengharuskan menekan satu keinginan sejauh relevan dengan kebutuhan
15 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri) 16 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri)
26
hidup ini. Misalnya, minum anggur dibolehkan asalkan memang dibutuhkan
demi kesehatan tubuh.
Keempat ialah tipe asketisme ekstrem. Asketisme ekstrem ialah teori
yang menihilkan keinginan secara total. Tipe ini berkembang di Siria dengan
tokoh-tokoh yang menyiksa diri dengan cara yang mengerikan.
Tipe yang menonjol dan bertahan lama dalam kehidupan gereja ialah
tipe moderat. Tipe ini dirumuskan oleh Clemens dari Aleksandria, Origenes
dari Aleksandria, Augustinus, Antonius, Pakhomius, Basilius, Benediktus dan
lain-lain. Mereka melatih diri mereka dengan cara mengendalikan diri mereka,
sehingga diri mereka berguna bagi orang banyak dan bahkan menjadi garam
dan terang bagi masyarakat di sekitar mereka dan bahkan pada zaman mereka.
Mereka mengendalikan tubuh dan tidak menghancurkannya, mereka berada di
dunia dan tidak menjauhinya.17
Bos Kompas Jakob Oetama menegaskan, asketisme merupakan kunci
untuk kemajuan bangsa ini. Pribadi bersahaja karena mampu mengendalikan
hawa nafsunya, tentulah pribadi unggul. Oetama menyebut Mahatma Gandhi,
Jawaharlal Nehru, dan Manmohan Singh sebagai tokoh asketik, sedangkan di
Indonesia tokohnya adalah Bung Hatta, Moh. Natsir dan IJ Kasimo.18
D. Zuhud dan Yoga Sebagai Bentuk Asketisme
Menurut para ahli tasawuf, zuhud atau asketisme merupakan tradisi
yang mendahului tasawuf. Dengan kata lain, istilah zuhud lebih dahulu
muncul sebelum munculnya istilah tasawuf. Hanya saja zuhud atau asketisme
dalam Islam memiliki kekhasan yang membedakannya dengan asketisme itu
sendiri.19
17 http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th
judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri) 18 http://www.alazharpeduli.com/index.php?menu=berita&judul=is-not-enough-the-world 19 Hasyim Muhammad, Ke-Zuhud-an Isa Al-Masih Dalam Kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq
Karya Abdullah Ibn Mubarak dan al-Zuhd Karya Ahmad Ibn Hambal, (Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2009), hlm. 21-22
27
Menurut Al-Taftazani yang dikutip oleh Hasyim Muhammad
asketisme dalam tradisi asalnya adalah sikap kependetaan, atau memisahkan
diri dari kehidupan duniawi. Sementara asketisme dalam Islam merupakan
sikap hidup ruhani yang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan
duniawi. Para zahid (orang yang menjalani hidup zuhud) tetap menjalani
hidup duniawi, seperti bekerja dan berusaha, namun hatinya tidak terbelenggu
oleh kenikmatan duniawi yang diraihnya. Kehidupan duniawi tidak
menyebabkan seseorang mengingkari Tuhannya.
Di samping itu pula Al-Thusi yang juga dikutip oleh Hasyim
Muhammad berpendapat bahwa kehidupan zuhud dalam Islam tidak
mengharuskan seseorang meninggalkan duniawi atau hidup dalam
kemiskinan. Bahkan sebagian sahabat Nabi dan para sufi yang dikenal sebagai
zahid justru memiliki kekayaan yang melimpah.20 Oleh karenanya, para sufi
menjadikan para sahabat Nabi sebagai teladan kesufiannya.
Perilaku zuhud yang ditampilkan oleh para sahabat dan tabi’in serta
para ulama sesudahnya, tidak lain bersumber dari ajaran Islam sendiri, Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menginspirasi perilaku zuhud. Sementara Nabi Muhammad Saw. sendiri
merupakan figur utama yang menjadi sandaran asketisme dalam tradisi
Islam.21 Penghindaran diri terhadap kemudahan dari kenikmatan duniawi
semata karena dorongan keagamaan untuk membersihkan jiwa dari pengaruh
dunia. Seorang zahid sering melaksanakan puasa dan melaksanakan shalat dan
dzikir dalam kapasitas waktu yang lama di tengah malam. Tetapi hal-hal
20 Di antara sahabat nabi yang dikenal dengan kekayaan dan kedermawanannya adalah
Utsman Ibn Affan Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka berdua tidak segan-segan mensedekahkan sebagian besar kekayaannya untuk fakir miskin dan perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Tampilan sufi juga ditunjukkan dengan kesederhanaannya. Meskipun memiliki kekayaan yang banyak dan jabatan yang tinggi, namun tetap hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati. Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling zuhud, namun beliau memiliki sembilan istri. Nabi Sulaiman dan nabi Dawud as. Adalah orang paling zuhud pada zamannya, meski keduanya dilimpahi kekayaan dan kekuasaan (Ibn Qayyim, 1998: 149).
21 Ibid., hlm. 22-23
28
tersebut bukan merupakan aspek yang terpenting dalam tasawuf, melainkan
yang terpenting adalah keprihatinan sikap batin.22
Khusus dalam agama Islam yang disebut al-dunya ialah segala sesuatu
yang ada selain Allah SWT. (ma siwa Allah). Dan tasawuf sebagai bagian dari
aspek ajaran Islam memandang dunia ini sebagai hijab (penghalang)
sampainya seorang hamba kepada Tuhannya. Untuk itu dia harus
menghindarinya agar dia bisa ma’rifat dan bertemu dengan-Nya. Sikap
menghindari dunia ini disebut zuhud.23
Sedangkan asketisme dalam agama Hindu lebih ditekankan dalam
melaksanakan ajaran yoga. Sebenarnya tentang yoga telah sedikit dibahas di
bab pertama, yaitu pada halaman 5-7. Di situ dikatakan bahwa yang menjadi
pokok pembahasan yoga di sini adalah dalam segi spiritual bukan dalam
bentuk jasmaniah (kesehatan), karena semua ini dimaksudkan untuk
menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan-Nya.
Hinduisme mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan
perjalanan ziarah yang panjang melalui jalan samsara yang ribuan tahun
lamanya melalui siklus roda kehidupan (mandala) dan kelahiran kembali yang
disebut sebagai reinkarnasi atau transmigrasi jiwa. Melalui jalan bhakti
(devosi), jnana (pengetahuan), dan karma (perbuatan) manusia berusaha
melepaskan diri dari siklus karmanya menuju kelepasan yang disebut moksa.
Jalan ini juga biasa diisi dengan pertarakan (asketisme) dan penggunaan
mantra, dan kemudian setelah adanya Upanishad berkembanglah jalan Yoga.24
Untuk mencapai kesempurnaan hidup dan pencerahan dapat dicapai
melalui empat jalan yaitu jnana yoga, adalah jalan intelek melalui kegiatan
yang seimbang antara ilmu pengetahuan dan meditasi. Bhakti yoga merupakan
suatu jalan dengan melaksanakan cinta kasih, bhakti, penyerahan diri kepada
Tuhan. Karma yoga, merupakan jalan menuju Tuhan melalui kerja atau
22 Drs. Totok Sumantoro dan Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta:
Penerbit Amzah, 2005, Cetakan Pertama), hlm. 297 23 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, A. Choiran Marzuki (ed.), Menggugat Tasawuf
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cetakan Pertama), hlm. 77 24 http://www.sarapanpagi.org/perbandingan-agama-vt2431.html
29
perbuatan tanpa pamrih dan penuh dengan pengorbanan serta disiplin tinggi.
Jalan terakhir yaitu raja yoga, adalah jalan menuju Tuhan melalui latihan
psikologis.25
Orang-orang yang menjalankan yoga (yogi) mula-mula sekali harus
belajar mengendalikan diri dengan sempurna, juga di dalam hidupnya sehari-
hari yogi harus belajar menunaikan segala kebajikan, misalnya: memantang
kesenangan duniawi, berlaku jujur, tidak ceroboh, kemiskinan, kesucian,
belajar, dan lain sebagainya. Selanjutnya yogi harus menjauhkan diri dari
manusia, banyak, berpuasa, dan membuat badannya menjadi baik untuk
pemusatan pikiran.
Untuk itu ada diperintahkan bermacam-macam sikap duduk (asanas).
Sesudah itu ia harus berusaha menguasai dan mengatur jalannya napas. Dalam
hal itu ia harus meletakkan tangannya dalam sikap tertentu (mudra). Setelah
itu ia harus menunjukkan pikirannya kepada satu hal. Inilah yang disebut
meditasi atau perenungan (dhyana), di mana yogi masih selalu berfikir juga,
tetapi keadaan yang tertinggi ialah, di mana berfikir pun berhenti dan jiwanya
tenggelam di dalam obyek perenungan. Inilah yang disebut Samadhi. Karena
akhimya yogi itu berhasil melepaskan rohnya dari materi (zat), maka ia tidak
lagi terikat kepada hukum-hukum materi, sehingga ia dapat menjalankan
usaha-usaha yang luar biasa. Bagi beberapa orang memiliki kekuatan-
kekuatan luar biasa itu menjadi pokok tujuan mereka, tetapi sebenarnya di
dalam yoga itu yang menjadi tujuan ialah kelepasan.26
25 R. Soegoro, Meditasi Triloka Jalan Menuju Tuhan (Jakarta: Elekmedia Komputindo
Kelompok Gramedia, 2002), hlm. 131 26 http://www.sarapanpagi.org/perbandingan-agama-vt2431.html
BAB III
KONSEP ASKETISME DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HINDU
A. Asketisme Dalam Islam
1. Pengertian Zuhud
Lois Ma’luf menjelaskan bahwa arti zuhud berasal dari bahasa arab
zahada artinya raghaba ‘anhu wataraka (benci dan meninggalkan
sesuatu). Zahada fi-Ad-Dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad,
atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit.1
Abdul Halim Hasan dalam kitabnya At-Tasauf fi Asy-syi’ri Al-
Arabi, mengatakan: “Adapun zuhud menurut bahasa materinya tidak
berkepentingan. Dikatakan pada sesuatu apabila tidak tamak padanya.
Adapun sasarannya adalah dunia, dikatakan pada seseorang bila dia
menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan
menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Inilah makna agamis
dari pada zuhud.”2
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan
gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan
komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan
ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.3
Zuhud sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang
menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan
seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar
1 Drs. Totok Sumantoro dan Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta:
Penerbit Amzah, 2005, Cetakan Pertama), hlm. 296 2 Ibid., hlm. 298 3 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, Cetakan Ketiga), hlm. 1
30
31
kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan
duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan Allah.
Agar terbebas dari godaan dari pengaruh hawa nafsunya, manusia harus
bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu
meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh
materi.
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap
zuhud. Namun secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi
dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sampai di mana batas
pelepasan diri dari rasa ketergantungan itu? Para sufi berlainan pendapat
dalam menjawabnya. Di bawah ini adalah tokoh-tokoh Islam yang penulis
ambil dari beberapa pendapat mengenai zuhud di antaranya adalah:
1. Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rizki
yang diterimanya. Jika makmur, ia tidak merasa bangga dan gembira.
Namun apabila miskin, ia pun tidak bersedih karenanya.
2. Lain halnya dengan pendapat Hasan al-Bashri yang mengatakan bahwa
zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak
ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat
membunuh.4
3. Harun Nasution mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia
dan hidup kematerian, sebab dunia dipandang sebagai hijab
(penghalang) antara sufi dan Tuhan.
4. Sufyan Ats Tsauri mengartikan zuhud dengan pendeknya lamunan,
tidak sekedar makan yang tidak bergizi, dan berpakaian yang kumal,
tidak merasa berbangga terhadap kemewahan dunia yang telah ada di
tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan
tadi dari tangannya.5
4 Dr. M. Solihin dan Drs. Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002, Cetakan Pertama), 270 5 Drs. Totok Sumantoro dan Drs. Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 298
32
5. Berkaitan dengan zuhud, Diwan Abi Nuwas menjelaskannya dalam
bentuk puisi sebagaimana yang tertulis di bawah ini:
“Begitu kamu senang terhadap dunia ini maka hanya kepahitan
hidup yang kau dapatkan. Apakah kamu tidak tahu tentang hakikat
dunia yang awalnya bening dan akhirnya keruh (asin dan pahit)”.6
6. Al-Ghazali, misalnya, mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi
keterkaitan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh
kesadaran. Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara
kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan,
karena keakrabannya dengan Tuhan. Al-Ghazali menyebut tiga tanda
zuhud. Pertama, tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih
karena ada yang hilang. Kedua, sama saja baginya orang yang mencela
dan orang yang memujinya. Yang pertama adalah tanda zuhud dalam
harta, sedangkan yang kedua tanda zuhud dalam kedudukan. Ketiga,
hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh
lezatnya ketaatan dan cinta Allah.7
7. Dan yang terakhir ini adalah pendapat dari seorang zahid perempuan
yang sangat mencintai Tuhannya, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Ciri
kezuhudannya ialah al-mahabbah (cinta). Menurut para sufi, al-
mahabbah adalah suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf, karena
mahabbah yang sejati itu tidak mengenal pamrih. Hal ini telah
dibuktikan oleh Rabi’ah sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan
bukan karena takut neraka dan ingin sorga-Nya, akan tetapi semata-
mata cinta pada-Nya.8
Itulah beberapa pendapat dari para tokoh Islam, dan kendati pun
zuhud didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, tetapi inti dan tujuan
zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
6 Moh. Hanif Anwari, Nur Khalik Ridwan (ed.), Teologi Negatif Abu Nuwas Hasan Ibn
Hani (Yogyakarta: LKiS, 2005, Cetakan Pertama), hlm. 52 7 Asep Salahudin, Ziarah Sufistik Wacana Spiritualitas Kaum Santri (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001, Cetakan Pertama), hlm. 199 8 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, op.cit., hlm. 70-71
33
Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas
dan terkendali. Jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya
waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan
yang abadi di hadirat Ilahi.9
Dalam kamus besar ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa zuhud
merupakan tindakan meninggalkan sesuatu yang disayangi dan
kemewahan duniawi seraya mengarahkan diri kepada dunia spiritual dan
kebahagiaan akhirat.10 Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak
terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai
derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.11
Sedangkan menurut pendapat penulis sendiri bahwa zuhud itu
adalah sikap yang harus diambil dan wajib dipraktekkan oleh setiap
manusia yang beriman, sehingga dalam kehidupannya akan muncul sifat-
sifat yang terpuji. Dan perlu penulis ingatkan kembali bahwa hidup ini
hanyalah sebentar, jadi janganlah mengedepankan kehidupan duniawi
yang sifatnya fana ini. Jika hawa nafsu sudah dapat dikendalikan maka
kemudahan untuk mendekatkan diri kepada Allah akan dapat tercapai.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 77, yang berbunyi:
ö≅ è% ßì≈ tFtΒ $u‹÷Ρ‘‰9 $# ×≅‹ Î=s% äοtÅzFψ$# uρ ×ö yz Ç⎯ yϑÏj9 4’ s+ ¨?$# Ÿωuρ tβθßϑn=ôà è? ¸ξ‹ ÏGsù ∩∠∠∪
Artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Nisa’: 77)12
Karena itu, di dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern, M. Amin Syukur mengutip salah
9 Dr. M. Solihin dan Drs. Rosihon Anwar, op.cit., hlm 271 10 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2006, Cetakan Kelima), hlm. 1215 11 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cetakan Pertama), hlm. 14 12 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-
Hikmah, 2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 90
34
seorang tokoh sufi yang bernama Yahya bin Mu’adz, beliau menyatakan
bahwa sifat zuhud akan melahirkan kedermawanan.13 Zuhud digambarkan
oleh al-Qur’an, surat al-Hadid ayat 23
ŸξøŠs3Ïj9 (# öθy™ ù's? 4’ n?tã $tΒ öΝ ä3s?$sù Ÿωuρ (#θãmtø s? !$yϑÎ/ öΝ à69s?# u™ 3 ª!$# uρ Ÿω = Ïtä† ¨≅ ä.
5Α$tFøƒ èΧ A‘θã‚sù ∩⊄⊂∪
Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”14
Zuhud adalah instrumen terbaik dalam menyikapi dunia. Zuhud
tidak identik dengan melarat. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan,
bahwa orang yang berimanlah yang berhak memiliki dunia. “Zahid adalah
orang yang memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia,” demikian tegas Ali
bin Abi Thalib.
Yang kerap terjadi adalah kita dikontrol dunia, bukan kita yang
mengontrol dunia. Itulah yang dikecam Islam. Dan kita maklum, karena
perilaku demikianlah yang pada gilirannya bisa mengkondisikan orang
yang berwatak tamak, rakus, dan egois, sebagaimana disinyalir dalam Al-
Qur’an surat Al-Takatsur ayat 1-3.
Orang yang enggan menyunting zuhud dalam hidupnya,
hakikatnya telah menjadi budak hawa nafsunya. Padahal, “Hawa nafsu
adalah musuh akal,” ujar Imam Ja’far Al-Shadiq.
Salah satu kiat agar kita bisa hidup zuhud adalah dengan
melazimkan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi), di
samping selalu memagari diri dari serbuan hawa nafsu dunia yang datang
13 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, loc.cit. 14 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-
Hikmah, 2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 540
35
dari tiga penjuru: kesenangan (lahwun), permainan (la’bun), dan kesia-
siaan (‘abats).15
Muhasabah merupakan kunci bagi sejenis penahanan diri yang
dikemukakan oleh Hasan al-Basri, di mana orang yang beribadah berusaha
menghindari semua yang mungkin bertentangan dengan ajaran Allah
dalam bentuk kata-kata atau perbuatan dengan hati atau anggota-anggota
badan dan menolak segala hal yang mungkin mengakibatkan murka-
Nya.16
Asep Salahudin mengutip pendapatnya Al-Fudhail yang dilaporkan
berkata, “Allah memberikan segenap keburukan dalam sebuah rumah
tangga dan sebab utamanya adalah cinta dunia. Allah juga menjadikan
segenap kebaikan dalam sebuah rumah tangga dan sebab utamanya adalah
zuhud dari dunia.”17
2. Dasar Perintah Zuhud
Dasar kehidupan zuhud di dalam ajaran Islam ialah ayat Al-Qur’an
yang berbunyi:
(# þθßϑn=ôã$# $yϑΡr& äο4θu‹ysø9 $# $u‹÷Ρ‘‰9 $# Ò= Ïès9 ×θøλm; uρ ×π uΖƒ Ηuρ 7äz$x s?uρ öΝ ä3oΨ ÷ t/ ÖèO% s3s? uρ ’ Îû
ÉΑ≡ uθøΒF{ $# ω≈ s9 ÷ρF{ $# uρ ( È≅ sV yϑx. B] ø‹xî |= yfôãr& u‘$¤ ä3ø9 $# … çμ è?$t7 tΡ §Ν èO ßk‹Íκ u‰ çμ1 utIsù
# vx óÁãΒ §Ν èO ãβθä3 tƒ $Vϑ≈ sÜ ãm ( ’ Îûuρ ÍοtÅzFψ$# Ò># x‹tã Ó‰ƒ ωx© ×οtÏ øótΒ uρ z⎯ ÏiΒ «!$#
×β≡ uθôÊÍ‘ uρ 4 $tΒuρ äο4θu‹ysø9 $# !$u‹÷Ρ‘$!$# ωÎ) ßì≈ tFtΒ Í‘ρãäóø9 $# ∩⊄⊃∪
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah
15 Asep Salahudin, op.cit., hlm. 83-84 16 Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik (Jakarta: Pustaka irVan, 2007, Cetakan Kedua), hlm.
31 17 Asep Salahudin, loc. cit.
36
serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS. Al-Hadid: 20)18
Mengenai keutamaan zuhud, Nabi Muhammad Saw bersabda,
وجعل فقره بين عينيه امرهمن آا نت الدنيا همه فرق اهللا عليه
ومن آا نت اآلخرة نيته جمع اهللا ولم يأته من الدنيا إال ماآتب له
را غمةقلبه وأتته الدنيا وهىله أمره وجعل غتاه فى “Barang siapa yang memasuki waktu pagi dan memisahkan
pekerjaannya, dan menjadikan kefakiran berada di depan matanya, maka ia tidak diberi bagian di dunia kecuali yang telah ditetapkan baginya. Tetapi, barangsiapa yang memasuki waktu pagi dan niatnya adalah akhirat, maka Allah menghimpun baginya niatnya, menjaga untuknya pekerjaannya, menjadikan kekayaannya di hatinya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan tunduk kepadanya.” (H.R. Ibnu Majah: 4105)19 ازهد فى الدنيا يحبك اهللا وازهد فيما فى ايدى الناس يحبك الناس
“Berlaku zuhudlah engkau di dalam dunia, niscaya engkau disenangi Allah dan berlaku zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, niscaya engkau akan disenangi manusia.” (H.R. Ibnu Majah dari Sahl bin Salad r.a.)20
3. Faktor munculnya Zuhud
Harun Nasution menyebutkan adanya lima sebab kemunculan
zuhud, yaitu:
a. Dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen.
b. Dipengaruhi oleh Phytagoras yang mengharuskan meninggalkan
kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang
memengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
18 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-
Hikmah, 2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 540 19 Hadits Riwayat Ibnu Majah , Sunan Ibn Majah (207-275 H), hlm. 1375 20 Ibid., hlm. 1374
37
c. Dipengaruhi oleh ajaran Plotinos yang menyatakan bahwa dalam
rangka menyucikan roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu
dengan Tuhan harus meninggalkan dunia.
d. Pengaruh Buddha dengan paham nirwananya, bahwa untuk
mencapainya orang yang harus meninggalkan dunia dan memasuki
hidup kontemplasi.
e. Pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan
dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan
Atman dengan Brahman.
Sedangkan Abu Ala Afifi, yang dikutip oleh M. Amin Syukur
berpendapat bahwa faktor munculnya zuhud ada empat macam.
a. Berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia.
b. Berasal dari atau dipengaruhi oleh asketisme Nasrani.
c. Berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-
beda, kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
d. Berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor keempat ini lebih diperinci,
yaitu sebagai berikut:
1) Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua
sumbernya, Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber ini mendorong
untuk hidup wara’, taqwa, dan zuhud.
2) Reaksi rohaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosial politik dan
ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar
ke berbagai negara.
3) Reaksi terhadap fikih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa
memuaskan dalam pengalaman agama Islam.21
Menurut Amin Syukur bahwa zuhud dimotivasi oleh ajaran Islam
sendiri. Meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai
ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran
filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai
21 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, op.cit., hlm 5-6
38
ayat al-Quran maupun Hadist yang bernada merendahkan nilai dunia, dan
sebaliknya banyak dijumpai nas agama yang memberi motif beramal demi
memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka.22
4. Ajaran dan Tujuan Pelaksanaan Zuhud
Dalam sejarah perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat
dibedakan ke dalam beberapa periode, yang setiap periode mempunyai
karakteristik masing-masing. Periode tersebut adalah (1) abad pertama dan
kedua Hijriah (2) abad ketiga dan keempat Hijriah, (3) abad kelima Hijriah
dan (4) abad keenam dan seterusnya. Tetapi di sini penulis tidak akan
menjelaskan secara rinci terhadap masa periode-periode tersebut. Hanya
saja pada bagian ini akan diuraikan karekteristik umum ajaran kaum sufi
pada setiap periode tersebut.
Kalau dilihat dari uraian pada bab di atas, tampak bahwa ajaran
kaum sufi pada abad pertama dan kedua bercorak akhlaki, yakni
pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga
dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain, ajaran mereka
mengajak kaum muslimin untuk hidup zuhud sebagaimana yang diajarkan
dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat besar.
Dalam hubungan ini, Al-Taftazani, yang dikutip oleh seorang mahasiswa
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIP), mengatakan bahwa ajaran zuhud
pada masa ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Ajaran zuhud berdasarkan ide untuk menjauhi hal-hal duniawi demi
meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab mereka. Ide ini
berakar dari ajaran-ajaran Al-Quran dan As Sunnah serta terkena
dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam
masyarakat Islam ketika itu.
b. Ajaran zuhud bersifat praktis dan para pendirinya tidak menaruh
perhatian buat menyusun prinsip-prinsip teoritis atas ajarannya itu.
22 Ibid., hlm. 7-8
39
Sedang sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan
kesedarhanaan, sedikit makan dan minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah, merasa sangat berdosa, tunduk secara total kepada
kehendak Allah dan berserah diri kepada nya. Dengan demikian, ajaran
zuhud ini mengarah kepada pembinaan moral.
c. Motivasi lainnya hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut
yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Sedang pada akhir abad kedua Hijriah, di tangan Rabi’ah al-
Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa
takut terhadap azabnya maupun rasa harap terhadap pahalanya.
d. Ajaran zuhud yang disampaikan oleh sebagian kaum zuhud pada
periode terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabi’ah al
Adawiyah, ditandai kedalaman membuat analisis yang bisa dipandang
sebagai fase pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat
dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai para sufi dalam
pengertiannnya yang sempurna. Mereka lebih tepat dipandang sebagai
cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriah.23
Kalau membuka kembali lembaran sejarah ternyata bahwa sejak
abad ke 2 H ada ketegangan yang serius antara para zahid atau sufi yang
lazim disebut ulama batin dengan para ulama yang tidak menjalani
tasawuf, terutama dengan para fuqaha dan mutakalimin yang lazim disebut
ulama dzahir. Ketegangan-ketegangan ini, tampaknya disebabkan antara
lain:
a. Adanya orang yang berpura-pura bertasawuf. Hal ini mungkin untuk
mencari keuntungan pribadi.
b. Adanya orang-orang awam yang mungkin mengaku sebagai orang
yang bertasawuf, tapi mengabaikan kewajiban-kewajiban syari’at
agama.
23 http://staipi-tafsirhadist.blogspot.com/2010/04/tokoh-sufi-abad-pertama_20.html ditulis
oleh Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIP)
40
c. Adanya orang-orang yang menyembunyikan kesufian/kesucian dirinya
dengan melakukan perbuatan tidak terlarang, tapi rendah nilainya agar
mereka dicela orang.
d. Adanya pernyataan-pernyataan yang aneh kedengarannya yang muncul
dari lidah beberapa sufi terkemuka dan berpengaruh, seperti dari Abu
Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
e. Adanya anggapan ulama batin lebih utama dari ulama dzahir.24
Musa bin Thalhah berkata, “Zuhud terhadap dunia banyak
keuntungannya. Engkau tidak akan banyak mengeluh dan risau karena
kehilangan dan kekurangan harta. Engkau tidak akan banyak menguras
keringat jika rezekimu berkurang. Zuhud terhadap dunia dapat membawa
dirimu lebih santai, lebih tenteram, dan lebih beriman kepada Allah.
Kesalehan dan kedekatanmu kepada Allah akan membantu kezuhudanmu.
Zuhud adalah engkau tidak gandrung pada dunia. Zuhud adalah engkau
tidak sedih kehilangan dunia. Orang zuhud menyimpan harta di tangannya,
bukan di dalam hatinya. Jika meletakkan harta di dalam hati, engkau akan
menjadi budak harta. Sedangkan, jika meletakkan harta di tanganmu,
hartamu akan menjadi budakmu.”25
Syaikh Hammad berkata, “Jika engkau tidak bisa mengendalikan
harta, alangkah baiknya engkau tidak menjadi pengumpul harta. Sebab,
harta dapat membawa dirimu pada kekikiran, keras hati dan kedengkian.
Banyak harta membuatmu sibuk. Sedikit harta membuatmu santai.
Sungguh banyak orang yang sakit karena banyak harta. Itulah sifat harta.
Jika diletakkan di dalam hati, ia akan terus-menerus menjadi bebanmu
setiap saat.”26
24 http://staipi-tafsirhadist.blogspot.com/2010/04/tokoh-sufi-abad-pertama_20.html ditulis
oleh Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIP) 25 ‘Abd Al-Wahab Al-Sya’rani, 99 Akhlak Sufi Meniti Jalan Surga Bersama Orang-
Orang Suci (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 2004, Cetakan Pertama), hlm. 177 26 Ibid., hlm. 178
41
5. Macam-Macam Zuhud
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di
akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
Ketiga, (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena
berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada
tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak
mempunyai arti apa-apa.27
Imam Ahmad bin Hambal membagi zuhud dengan tiga macam:
، والثا نى عواملترك ا لحرام وهو زهد ا: على ثال ثة أوجه دها لز
ل ا لعبد ، والثا لث ترآه ما يشغضول وهو زهدا لخواصلفترك أ
. تعا لى وهو زهدا لعا رفينعن اهللا Artinya: Zuhud itu tiga macam:
a. Menjauhi harta yang haram. Inilah zuhud orang awam. b. Memalingkan muka dari harta yang halal yang berlebihan
dari kebutuhan. Inilah zuhud orang khawash. c. Meninggalkan sekalian harta benda dunia yang mengganggu
akhirnya. Inilah zuhud orang-orang yang arif. 28
Kehidupan dunia ini singkat saja tapi di akhirat nanti sangat lama
dan tiada batas akhir, kekal dan selama-lamanya. Tapi terlalu banyak
orang yang tidak sabar menunggu hari akhir ini, melepaskan keyakinannya
dan mencari jalan sesat yang dianggapnya jalan pintas itu yang bisa
menyelamatkan, padahal jalan pintas itu sangat dan terlalu membahayakan
itulah kemusyrikan-kemusyrikan yang nyata ataukah samar, sama saja
Allah Maha Mengetahui.
27 Dr. M. Solihin dan Drs. Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002, Cetakan Pertama), 271 28 H. Abdullah Masrur dkk, Waliyullah Dan Karomahnya (Gresik: Cv Bintang Pelajar,
tanpa tahun), hlm. 52-53
42
Untuk kita supaya berhati-hati sedikit ialah dengan cara ingat mati,
karena kematian itu adalah titik fitnah perhitungan baik buruk manusia
dihadapan Robbul Jalil. Rasulullah bersabda yang intinya begini: Jika
imanmu jadi lemah maka bangkitkanlah dengan mengingat mati. Ingat
mati ingat akhirat adalah merupakan penyadaran manusia di mana segala
apa yang dilakukan kebaikan maupun kedzaliman harus dipertanggung
jawabkan, kalau tidak ada keadilan di dunia ini maka di akhirat akan
mengerikan lagi. Makanya ingat mati adalah sumber tawaddu’ sumber
zuhud dan gemar taqorrub (mendekatkan diri pada Allah rabbul izzati).
Dunia ini sungguh hanya sebentar saja, hanya kesabaran yang lemahlah
yang menganggap bahwa hidup di dunia ini terasa masih lama dan harus
melupakan kampung akhirat yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan.29
Ciri-ciri asketisme dapat dilihat dari beberapa prinsipnya, yaitu :
a. Asketisme adalah bersifat praktis sehingga tidak ditemukan konsep-
konsep teoretis. Sarana-sarana praktisnya adalah kehidupan tenang dalam
ketenangan, banyak beribadah, selalu ingat Allah, sangat takut pada dosa
dan murka Allah.
b. Idenya berakar pada memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat dan
melupakan kenikmatan kehidupan duniawi.
c. Motivasinya karena takut kepada siksa Allah di satu sisi dan karena
cinta kepada Allah di sisi lain.
Inilah prinsip-prinsip asketisme yang menjadi landasan tumbuhnya
sufisme dengan karakteristiknya sendiri.
B. Asketisme Dalam Hindu
1. Pengertian Yoga
Sebelum membahas pengertian yoga, perlu dikaji terlebih dahulu
mengenai apa yang tersirat dalam ajaran yoga tersebut. Bahwa ajaran yoga
adalah suatu cara untuk sampai kepada pengalaman mistik. Buku
29 Ibid., hlm. 55-56
43
pegangan yoga adalah Yoga Sutra yang dikarang oleh Patanjali.30 Ajaran
ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menginsafi kenyataan
adanya roh sebagai azas yang bebas, dalam artian bebas dari indera dan
pikiran yang terbatas.
Kata yoga berasal dari akar kata yang sama dari bahasa Inggris
yoke. Istilah yoke mempunyai arti rangkap, pertama mempersatukan (yoke
together), dan kedua: melakukan disiplin atau berlatih (to bring under the
yoke, take my yoke upon you). Kedua arti ini ada dalam bahasa Sansekerta.
Oleh karena itu, jika dirumuskan secara umum, yoga adalah suatu metode
latihan yang direncanakan untuk mencapai integritas atau keutuhan. 31
Menurut pengertiannya yoga adalah berasal dari kata “yuj” yang
berarti hubungan, hubungan antara roh yang pribadi dan roh yang
universal yaitu yang tidak berpribadi. Tetapi Rsi Patanjali mengartikan
“Cittawwriti Nirodhah” “Cittawwriti Nirodhah” yaitu pengendalian
gerakan pikiran dalam alam pikiran.32
Secara umum pengertian yoga yaitu pengendalian diri serta disiplin
dalam pemikiran (citta) merupakan hasil pertama dalam prakerti, untuk
mendapatkan kebahagiaan yang dapat dirasakan oleh diri sendiri,
kesadaran dalam kehidupan sehari-hari yang akan menemukan kesadaran
sucinya.33
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, yoga bermakna sistem
filsafat Hindu yang bertujuan mengheningkan pikiran, bertafakur dan
menguasai diri.34
30 Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), hlm. 57 31 Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Terj. Saafroedin Bahar, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), hlm 38-39 32 I Gede Sura, Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Hindu (Denpasar: Hanoman
Sakti, 2001), hlm. 47 33 Ida Bagus Mantra, Bhagavadgita (Denpasar: Parisada Hindu Darma Pusat, 1989), hlm.
101 34 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cetakan Kedua), hlm. 1567
44
Sebenarnya ajaran ini merupakan suatu sistem latihan dengan
penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan
memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam mendekatkan diri dengan
Tuhan (Brahman), sehingga cara itu segala konsentrasi selalu tertuju
kepada-Nya.35
Di dalam ensiklopedi umum juga dijelaskan bahwa yoga
merupakan sistem ajaran gaib yang diperkembangkan Hinduisme dengan
maksud membebaskan orang dari dunia khayalan seperti yang dipahami
dengan panca indera. Pembebasan ini sukar dan mungkin memerlukan
beberapa kali umur hidup. Yogi (penganut yoga) yang percaya akan
pantheisme (kepercayaan bahwa dunia dengan segala isinya adalah Tuhan)
mencari persatuan dengan jiwa seluruh alam dunia. Penganut yoga yang
atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) mencari perasingan yang sempurna
dari segala jiwa-jiwa lainnya dan pengetahuan diri sendiri yang sempurna.
Kemuliaan terakhir yang dicari ialah kemuliaan penerangan sempurna.
Para penganut yoga memakai disiplin jasmani untuk mencapai itu:
penyucian, kebersihan, samadi dan latihan.36
Itulah beberapa pendapat mengenai yoga, yang semuanya dilatar
belakangi oleh usaha mendisiplinkan diri untuk memperoleh ketenangan
jiwa. Sedangkan menurut pendapat penulis sendiri bahwa yoga itu adalah
suatu ajaran dalam agama Hindu yang menyuruh umatnya untuk
mengendalikan diri terhadap kenikmatan-kenikmatan duniawi, sehingga
tercapai apa yang dicita-citakan oleh semua umat Hindu yaitu bersatunya
roh pribadi (Atman) dan roh yang tidak berpribadi (Brahman).
2. Dasar Perintah Yoga
Untuk menaklukkan kekuatan-kekuatan jahat di dalam diri kita,
Bhagavadgita mengajarkan kita untuk melaksanakan yoga. Secara
sederhana yoga bisa diartikan ‘bersatu dengan Tuhan dengan
35 Ibid., hlm. 6 36 “Yoga” Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 1181
45
mendisiplinkan diri untuk mencapai-Nya’. Dan Bhagavadgita sendiri
merupakan buku petunjuk yang praktis untuk melaksanakan yoga.
Terpisahnya jiwa kita dari jiwa (Atman) yang langgeng dan terbatasnya
jiwa kita oleh badan jasmani yang memisahkan diri kita dari Tuhan
(Brahman) disebabkan oleh ketidaktahuan kita yang terbungkus rapat oleh
keakuan (hawa nafsu) kita sendiri. Hal ini harus kita sadari. Dan satu-
satunya jalan untuk mencapai kesadaran itu adalah dengan yoga.
Ya, kata yoga sebenarnya berarti jalan. Agama Hindu mengakui
segala jalan yang bisa ditempuh untuk manunggal dengan-Nya. Tetapi
jalan utama untuk mencapai-Nya adalah lewat yoga, yaitu jnana yoga
(jalan ilmu pengetahuan), karma yoga (jalan tindakan kerja), bhakti yoga
(jalan kebaktian, cinta dan kasih sayang) dan raja yoga (jalan meditasi).
Yoga akan membawa kita ke puncak tertinggi, seperti dikatakan Krishna:
“Dengan segera jiwanya dipenuhi kebenaran dan ia mencapai kedamaian
kekal abadi. Ketahuilah, wahai Kuntiputra, penganut-penganut-Ku tidak
akan termusnahkan.” (IX-31). Yoga akan mengantarkan orang ke tujuan
Tertinggi, yaitu manunggal dengan Tuhan.37
Sedangkan yoga dalam kenyataannya sehari-hari berarti kesatuan.
Kesatuan di sini sangat penting dan merupakan hal utama yang diajarkan
oleh banyak agama besar di dunia. Kesatuan di sini berarti penyerahan diri
dari diri yang lebih rendah kepada prinsip keutuhan yang lebih tinggi.
Dalam ajaran agama Islam, hal ini diungkapkan dalam Al-Quran “Tidak
Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”. Di
sini menyembah berarti bahwa kita harus tunduk dan patuh atas segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya tanpa terkecuali, inilah prinsip
dari keutuhan atau persatuan tersebut.
37 Nyoman S. Pendit, Bhagavadgita (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002,
Cetakan Kedua), hlm. xvii
46
Jadi yoga sebenarnya adalah sebuah sistem untuk menyadarkan
dan mengantarkan anda ke arah mutu pengembangan dari kesehatan lahir
dan batin untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.38
3. Faktor Munculnya Yoga
Sampai sekarang para sarjana India ataupun Barat hanya bisa
mengatakan bahwa yoga sudah ada semenjak 5000 tahun SM. Di mana
Patanjali telah menyusun yoga sutra sekaligus sebagai pendiri filsafat
yoga. Beliau diperkirakan pernah hidup di sekitar Kashmir walaupun tidak
ada bukti yang otentik menyebutkan hal tersebut dalam tulisan-tulisan.39
Patanjali adalah seorang yogi yang mensinkronisasikan konsep-
konsep yoga dan kemudian mendirikan sebuah filsafat. Akan tetapi
konsep-konsep Patanjali yang diperkenalkan seperti asana, pranayama,
dan meditasi kemudian hari dikembangkan masing-masing aliran atau
sekte yang pernah ada dalam sejarah India. Sehingga kemudian hari
sebagian yoga juga diikutsertakan dan dikembangkan oleh sekte-sekte
tersebut.
Dan sebagai hasilnya agama Hindupun mengadopsi yoga dalam
beberapa kehidupan sehari-hari. Sehingga yoga berkembang dalam 2 jalur.
Jalur pertama secara ilmiah, logika, dan filsafat kehidupan. Sedangkan
jalur kedua yoga juga diadopsi sebagian teknik-tekniknya oleh agama
Hindu sebagai praktik religious bagi umat Hindu. Sampai sekarang hal ini
bisa kita lihat bahwa perkembangan yoga di India di satu sisi masuk ke
dalam universitas. Bahkan telah didirikan universitas maupun institut-
institut yoga sejak kemerdekaan India.
Selain itu ashram-ashram yoga yang keberadaannya telah berusia
ribuan tahun sebagai contoh di suatu tempat di pegunungan Himalaya
Guru Sri Rama yaitu Vasishta pernah memberikan pelajaran yoga pada Sri
38 Rachman Sani, Yoga Untuk Kesehatan (Semarang: Dahara Prize, 2006, Cetakan
Ketujuh), hlm. 1-2 39 http://www.yogavoiceofbali.com/semua-untuk-yoga.asp
47
Rama (tokoh Ramayana) dan tempat itu masih utuh di gunung Himalaya
hingga kini. Sehingga beberapa universitas di India memiliki departemen
yoga yang mengeluarkan ijasah S1,S2, dan S3 serta diploma-diploma
lainnya. Jalur kedua, yoga masuk atau diadopsi oleh sekte-sekte agama
Hindu. Filsafat Patanjali bisa diadopsi oleh siapa saja karena bersifat
sangat universal karena bebas dari ritual-ritual agama tertentu.
Demikian juga keuniversalan yoga yang bisa terlihat dalam veda
tapi juga bisa dilihat dari perubahan konsep yoga dalam sekte-sekte agama
Hindu tertentu. Seperti contoh konsep yoga yang ada dalam veda sangat
dekat dengan keuniversalan. Pengaruh serta konsep yoga sangat
mempengaruhi bagi para Rsi juga dalam veda atau dalam perkembangan
agama Hindu di kemudian hari.40
Dan sebagai penyebar yoga dari guru kepada siswa konsep sistem
pemikiran individu mulai terbentuk. Jalan menuju kebebasan spiritual
adalah melalui pengabdian dengan pikiran yang tajam dan pengorbanan
ego. Ini dianggap sebagai jalan yoga. Yoga berikut disajikan secara
sistematis. Ini merupakan sumber daya penting untuk memahami yoga.
Rsi Patanjali menyampaikan bahwa setiap individu terdiri dari dua bagian
yaitu materi dan jiwa. Tujuan yoga adalah untuk membebaskan jiwa dari
dunia material.
Selanjutnya, yoga telah mengambil giliran yang berbeda di mana
dalam latihan yang berbeda telah dikembangkan terkait dengan nafas
dalam-dalam dan meditasi. Ini dikenal untuk membantu tubuh untuk terus
tetap muda dan memperpanjang hidup. Ini telah menciptakan hatha yoga
dan cabang-cabang lainnya. Yoga dalam bentuk hatha yoga telah menjadi
populer di barat, murni sebagai latihan fisik dan dipisahkan dari tujuan
aslinya.
40 http://www.yogavoiceofbali.com/yoga-filsafat.asp
48
Yoga telah mendapatkan popularitas di sebelah barat dan dengan
cepat tumbuh sebagai gerakan kesehatan karena orang-orang mencari
solusi untuk masalah-masalah sehari-hari mereka.41
Sebagai salah satu fenomena keagamaan yang berasal dari Timur,
yoga memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
a. Pertama, dualisme. Dalam agama-agama kuno di India dikenal konsep
yang dualistik antara jiwa (spiritual) dan tubuh (material). Tubuh
dianggap sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada jiwa. Tubuh
adalah sumber segala kejahatan. Apa yang tampak hanyalah sebuah
ilusi, sedangkan realita sebenarnya terletak pada hal-hal yang spiritual.
Tidak heran, para yogi pada zaman dahulu dikenal sebagai orang yang
telah mengambil sumpah untuk hidup dalam kemiskinan, kesucian,
gaya hidup selibat dan meditasi sepanjang hari. Para penganut yoga
juga cenderung melihat kehidupan fana di dunia sebagai kehidupan
yang rendah dan tidak layak dihidupi.
b. Kedua, pembebasan (liberation). Dilihat dari sisi istilah “yoga” yang
berarti “memasang kuk” atau “mengontrol”, manusia mungkin heran
bagaimana pembebasan dapat menjadi filosofi dasar dalam yoga.
Kebingungan ini akan hilang jika kita memahami apa yang dimaksud
dengan pembebasan dalam yoga. Pembebasan bukan berarti bebas
mengumbar hawa nafsu. Sebaliknya, pembebasan di sini berkaitan
dengan pembebasan dari diri sendiri. Diri sendiri bersifat kafir dan
menghalangi terjadinya pencerahan. Orang harus mendisiplinkan
pikiran, tubuh dan jiwanya supaya bisa terfokus pada Tuhan.
Sehubungan dengan prinsip ini, pengosongan pikiran, posisi tubuh
dalam pose tertentu dan meditasi sangat ditekankan dalam yoga.
Semua ini dipercaya akan memberikan kebebasan.
c. Ketiga, pencapaian pengetahuan/ hikmat yang tertinggi. Melalui yoga
orang yakin bahwa dia akan memperoleh pencerahan-pencerahan yang
41http://www.scumdoctor.com/Indonesian/alternative-medicine/yoga/History-Of-yoga.html
49
membuat dia menjadi lebih berhikmat. Meditasi dianggap sebagai
instrumen yang efektif untuk menumbuhkan pengetahuan rohani
seseorang. Dia akan semakin mengerti tentang hakekat manusia, alam
semesta dan alam. Dia akan dibebaskan dari kebodohan metafisik yang
dia alami selama ini, yaitu ketidaksadaran bahwa manusia (segala
sesuatu) adalah Ilahi.
d. Keempat, spiritisme. Dalam kasus-kasus tertentu, meditasi dalam yoga
mencakup pemanggilan berbagai roh ke dalam diri seseorang maupun
upaya seseorang masuk ke dalam dunia roh tersebut. Keterlibatan yang
“paling ringan” dalam hal ini adalah perenungan yang dalam tentang
suatu Tuhan yang berbeda dengan Tuhan dalam Alkitab.
e. Kelima, kesatuan dengan Tuhan. Dalam yoga seseorang tidak hanya
memikirkan tentang Tuhan, tetapi dia sendiri juga berusaha menyatu
dengan kekuatan Ilahi itu. Dia mencoba membebaskan “dirinya” dan
benar-benar menyatu secara hakekat dengan apa yang dia percayai
sebagai Tuhan. Ketika seseorang sudah mencapai tingkatan yoga yang
tertinggi, maka orang itu akan mengalami kesadaran dan pengalaman
sebagai Tuhan (Brahman).42
4. Ajaran dan Tujuan Pelaksanaan Yoga
Begitu luas dan padat ajaran yoga, maka sedikit tidaknya manusia
dalam menginsafi sebagian dari ajaran yoga tersebut, yang mengingatkan
semua umat Hindu untuk dapat mencapai “Mokhsartam Jagadhitaya Caiti
Darma” yaitu untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan
kebahagiaan rohani serta kelepasan hidup menuju kepada-Nya.43
Aliran yoga sebagai kelanjutan operasional dari aliran Sankhya,
dipelopori oleh pendeta Patanjali (sekitar tahun 450 M). aliran ini
menyatakan:
42 http://www.flobamor.com/forum/bina-rohani/38903-mengenal-yoga.html 43 I Wayan Maswinara, Bhagawat Gita, Dalam Bahasa Inggris dan Indonesia (Surabaya:
Penerbit Paramita, 1997, Cetakan Pertama), hlm. 40
50
Bahwa jalan kelepasan diperoleh tergantung pada diri manusia sendiri dalam
usahanya melepaskan diri dari segala keinginan pada barang-barang yang
tampak, sehingga tidak berminat sama sekali pada hal-hal duniawi
(wairagya).
Ada delapan tingkat yang harus dilalui untuk mencapai kelepasan
yang terdapat dalam aliran ini yaitu:
a. Ahimsa (jangan membenci, mencuri, berbuat mesum dan
sebagainya).
b. Membersihkan diri lahir batin semata-mata hanya untuk berbakti
kepada Tuhan.
c. Penguasaan nafas hidup.
d. Penguasaan gerak-gerik tubuh.
e. Perenungan diri sendiri.
f. Perenungan barang yang diamati.
g. Mematikan rangsangan dari luar.
h. Penghapusan identitas pribadi.
Dari persiapan yang bersifat etis, fisis, imaginatif dan Samadhi,
dimaksudkan untuk mencapai tujuan akhir dari manusia, yakni
berpisahnya pengaruh Prakerti dalam Purusa dengan Tuhan sebagai titik
sasaran renungan. Dari sini dapat dimengerti bahwa kelepasan yoga bukan
dalam bentuk persekutuan Tuhan seperti wedanta, bukan pula
pengingkaran terhadap peranan Tuhan seperti samkhya, melainkan Tuhan
diwujudkan secara simbolis dan bersifat pasif.44
Ajaran yoga merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan
umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran
Veda. Sastra Yogasutra yang ditulis oleh Maharsi Patanjali, yang terbagi
atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian
pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut:
44 Prof. Dr. H. Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia,
2007, Cetakan Pertama), hlm 164-165
51
Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir
disebut: Kailvalyapada.45
Ajaran filsafat yoga yang terpenting adalah citta (pikiran). Citta
dipandang sebagai hasil pertama dari prakerti. Di dalam citta ini purusa
dipantulkan dengan penerima pantulan purusa, citta yang disebut karana
citta. Tujuan yoga untuk mengembalikan citta dalam keadaan semula,
murni, tanpa perubahan, sehingga purusa dibebaskan dari belenggu badan.
Dalam kehidupan sehari-hari. Citta disamakan dengan writti, yaitu bentuk-
bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan bentuk
pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak,
bergirang dan menderita. Aktifitas citta menimbulkan kecenderungan-
kecenderungan yang terpendam, yang selanjutnya menimbulkan
kecenderungan yang lain. Demikian perputaran samsara berkembang, dan
manusia ditaklukkan oleh lima klesa atau godaan/siksaan yang asasi, yaitu:
ketidaktahuan (awidya), sangka diri (yakni rasa salah yang menyamakan
purusa dan citta), tubuh dan lain-lain (asnita), terikat pada nafsu (raga),
keengganan untuk menderita (dvesa) dan keinginan hidup (abhiniwesa)46
Menyadari pentingnya penyatuan diri dengan Brahman mendorong
setiap umat Hindu untuk melaksanakan ajaran dharma dengan tetap
memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh cinta dan
semangat yang menyala dan usaha yang tidak mengenal lelah demi
keselamatan dan keberhasilan dalam menjalani kehidupan ini. Dengan
adanya dharma maka manusia akan berfikir dan berperilaku baik, tekun
dan sabar. Ajaran yoga adalah suatu ajaran yang memberikan pandangan
dan mengharapkan kepada semua manusia khususnya umat Hindu untuk
dapat melaksanakan dharma dengan suatu tujuan untuk mencapai
kelepasan yakni melepaskan diri dari benda-benda duniawi. Dalam hidup
45 http://id.wikipedia.org/wiki/Yoga 46 I Gusti Md. Ngurah, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi
(Surabaya: Penerbit Paramita, 1998), hlm. 123
52
ini manusia senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan hidupnya. Yoga
memberikan kekuatan iman dan kesejahteraan hidup.47
Di dalam tujuan agama Hindu, yang berusaha mencapai
kebahagiaan yang sejati dan abadi yang dapat dirasakan manusia yaitu
apabila ia telah terbebas dari karma (perbuatan) dan samsara (kehidupan
kembali) di mana Atman (jiwa) akan bersatu dengan Brahman, yang
didambakan penganutnya.48 Inilah tujuan akhir penganut agama Hindu.
Apabila arwah manusia telah mencapai mokhsa, maka ia tidak akan lahir
kembali di muka bumi, karena tidak ada sesuatu pun yang mengikatnya. Ia
telah bersatu dengan “Paramatya” yaitu Atman yang Tertinggi.49
Menurut yoga jalan pertama yang harus ditempuh orang yang
hendak mencari kebebasan ialah: ia harus menguasai diri sendiri, ia harus
mengalahkan segala hawa nafsunya dengan hidup yang sederhana dan
murni. Setelah itu barulah latihan yoga yang sebenarnya dapat dimulai:
maka duduklah orang dengan sikap yang baik dan tertentukan: diaturnya
jalan nafasnya dengan ketertiban yang mengagumkan. Setelah latihan
nafas ini berikutlah latihan indera kelima: semua indera ditutup dan
dilakukan pemusatan renungan kepada buku suci. Pemusatan renungan ini,
disebut dhyana. Jika ia sudah melewati dhyana ini maka akan sampailah ia
kepada samadhi, yaitu masuk dan bersatu dengan yang Tertinggi
(Brahman).50
Mengutip dari Bhagavan Patanjali dalam “Yoga Sutra”
menyebutkan tujuan yoga adalah Samadhi, dan Samadhi itu adalah suatu
tingkat kesadaran di mana yang memperhatikan dan diperhatikan itu
sendiri melebur jadi satu. Pada tingkat kesadaran “samadhi”, seseorang
47 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Bagian I (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 171 48 Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
hlm. 19 49 H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Bagian I (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 169 50 Prof. I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005, Cetakan keduabelas), hlm. 69
53
yang sedang bersamadhi akan bersatu dengan Samadhi itu sendiri. Rasa
kedamaian, ketentraman dan ketenangan yang diperoleh dalam tingkat
kesadaran samadhi tidak dapat dinaikkan dengan menggunakan perantara
tata bahasa yang ada.51
Di sini tujuannya adalah menggabungkan disiplin mental atas dasar
ajaran dari Yoga Sutra dan Patanjali, tujuan pokok dari ajaran yoga adalah
meningkatkan kesadaran yang biasa ke arah kesadaran yang lebih tinggi
sampai persatuan dengan Tuhan. Untuk mendapatkan sabda,
mendengarkan suara yang sunyi, orang harus membersihkan dan hidup
bebas dari kehidupan bentuk luar sebagai mesin.52
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan tentang tujuan yoga yang
umum, sebagai pandangan hidup pada masa sekarang ini, bahwasannya
yoga itu bertujuan untuk dapat meningkatkan disiplin hidup baik mental,
pikiran, badan dan jiwa. Yang berusaha mencapai kebebasan yang suci
murni dari Tuhan dan dapat membebaskan diri dari ikatan duniawi untuk
menuju kepada-Nya.
Jadi tujuan yoga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir
batin, bebas dari kesengsaraan dan dapat menikmati kebahagiaan yang
abadi untuk bersatu dengan Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari yoga
memberikan tujuan hidup pada kesejahteraan jasmani maupun rohani,
serta dapat menyinari upaya hidup yang damai untuk lebih dekat kepada
Ida Sang Hyang Widhiwasa.53
5. Macam-Macam Yoga
a. Jnana Yoga
Melalui ilmu pengetahuan kerohanian, seorang Jnanin (seorang
yang mendekati-Nya melalui ilmu pengetahuan kerohanian) dapat
51 Irmansyah Effendi, Kesadaran Jiwa Tekhnik Efektif Untuk Mencapai Kesadaran Yang
Lebih Tinggi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 7 52 Ibid., hlm. 51 53 Sami’an, Meditasi Dalam Perspektif Yoga, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2004), hlm. 20
54
mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pada jalan ini
yang dimohon adalah kecerdasan akal budhi, intelektualitas,
pengetahuan spiritual, kecermatan, cahaya yang terang dan sebagainya.
Seseorang dengan memiiki ilmu pengetahuan (jnana) akan
memperoleh kesejahteraan, ketenangan dan kebahagiaan. Ilmu
pengetahuan memberikan bimbingan, pertimbangan terhadap yang
baik dan buruk. Menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk karena
kegelapan senantiasa diamanatkan di dalam Veda. Pengetahuan
kerohanian, seperti halnya pengetahuan umumnya hanya dapat
diperoleh melalui pendidikan.54
Di dalam Bhagavadgita dijelaskan sebagai berikut:
Sreyan drawya-mayad yajnaj jnana-yajnah parantapa, Sarwam karmakhilam partha jnane perisamapyate.
Artinya: “Ilmu pengetahuan sebagai yajna, lebih unggul dari
pada yajna material apapun, wahai Paramtapa (Arjuna), karena segala kegiatan kerja tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan, wahai Partha (Arjuna)”.
Tujuan ilmu pengetahuan adalah kebijaksanaan hidup yang
memberikan kebebasan dari kegiatan kerja dan kelepasan dari
belenggu kerja.55
Sraddhawal labhate jnanam tat-parah samyatendriyah, Jnanam labdhwa param santim acirenadhigacchati.
Artinya: “Ia yang memiliki keyakinan, yang terserap di dalam
kebijaksanaan dan yang telah menundukkan indera-inderanya, akan memperoleh kebijaksanaan dan setelah memperoleh kebijaksanaan, dengan cepat ia akan mendapatkan kedamaian tertinggi”.
Kembali di sini dinyatakan bahwa keyakinan (sraddha) sangat
diperlukan dalam mencapai kebijaksanaan. Keyakinan di sini bukanlah
54 I Made Titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan (Surabaya: Paramita,
1998, Cetakan Ketiga), hlm. 248 55 I Wayan Maswinara, op.cit., hlm. 206
55
kepercayaan membabi buta, tetapi aspirasi sang jiwa untuk
mendapatkan kebijaksanaan. Itu juga merupakan refleksi dalam sang
diri empiris dari kebijaksanaan yang bersemayam ditingkat terdalam
dari keberadaan kita. Bila keyakinan mantap, ia akan membawa kita
menuju realisasi kebijaksanaan. Jnana sebagai kebijaksanaan terbebas
dari keragu-raguan, sementara pengetahuan kecerdasan yang
bergantung pada data-data indera dan penetapan logis, mungkin
meragukan dan menimbulkan skeptisisme. Kebijaksanaan tidak
diperoleh dengan cara demikian. Kita harus menjalani kehidupan yang
mengarah ke dalam diri dan tumbuh berkembang ke dalam realitasnya.
Jalan untuk itu adalah melalui keyakinan dan pengendalian diri.56
b. Bhakti Yoga
Dalam perjalanan manusia yang melalui banyak hal dan berbagai
jalan menuju Brahman, sekarang sampailah kepada jalan bhakti yoga,
atau pengabdian yang berarti kita akan membicarakan antara lain
mengenai guru.
Bhakti, menurut sifatnya, bukanlah praktek di mana kita dapat
duduk dan merenung secara intelektual. Pengabdian harus dilakukan
dengan hati, dan terdapat sesuatu yang agak tidak masuk akal dalam
berfikir mengenai perjalanan hati. Pengabdian adalah sesuatu yang
dialami dalam alam yang tidak perlu menurut konsep dan tidak mudah
untuk mengungkapkan dengan kata-kata. Hafez, seorang penyair,
berkata, “O engkau yang mencoba mempelajari keajaiban cinta dari
buku akal, saya sangat takut bahwa anda tidak akan menemukan apa
yang dimaksud”1. Dia sedang memberitahu kita bahwa dalam hal kita
mencoba memikirkan mengenai jalan kita melalui pengabdian, kita
tidak berjalan terlalu jauh sebab pengabdian bukanlah untuk dipikirkan
tetapi dirasakan. Dan untuk merasakannya, kita harus mengalaminya
56 Ibid., hlm. 210-211
56
secara langsung: dengan melakukan japa, dengan menyaksikan kirtan,
melalui ritual dan mantra dan doa atau sembahyang, dengan mengingat
– melalui semua praktek untuk bergabung dalam kasih sayang, dan
membiarkan cinta terjadi pada masing-masing dari kita. Itulah satu-
satunya cara kita mengetahui praktek-praktek bhakti.57 Di dalam
ajaran Bhagavan Sri Satya Sai Baba yang berjudul karma yoga, dia
menjelaskan bahwa pelayanan kasih yang pada mereka yang
membutuhkan merupakan bentuk bhakti yang paling menyenangkan
Yang Ilahi. Sebenarnya Sai Baba mengajarkan bahwa apabila kita
mengasihi Tuhan, maka Dia langsung ada di muka kita sebagai realitas
batin dari sesama manusia. Pelayanan kasih sayang kepada mereka
yang sedih merupakan ungkapan luhur dari bhakti kepada Tuhan.58
Orang yang berbakti menyembah Yang Kekal Abadi, Yang Tak
Nyata, Yang Tak Terumuskan, Yang Melingkupi, Yang Tak
Terpikirkan, Yang Tak Berubah-ubah, Yang Tak Bergerak, Yang
Langgeng dan Yang Abstrak lebih sukar, sebab Yang Tak Berwujud
sukar dicapai.
Oleh karena itu banyak cara untuk berbakti menyembah wujud
Brahman, antara lain dengan jalan yoga biasa, dengan jalan ilmu
pengetahuan, dengan jalan meditasi, dengan jalan kerja tanpa
mengharapkan pahala, dan dengan jalan kedamaian hati.
Bersikap sama terhadap kawan dan lawan, terhadap suka dan
duka, terhadap panas dan dingin, terhadap puji dan maki, pasrah dan
berbakti menyembah Brahman.59
Hal ini, secara khusus tidak dapat disalahkan, tetapi itu semua
harus dilihat hanya sebagai askesis, seperti praktek yoga yang pada
57 Ram Dass (Dr. Richard Alpart), Ngakan Made Madrasuta (ed.), Jalan Menuju Tuhan
Melaksanakan Gita Dalam Hidup Sehari-Hari, Terj. Sang Ayu Putu Renny, Putu Edy, (Jakarta:
Media Hindu, 2007, Cetakan Pertama), hlm. 218-219 58 Kirit Patel dan Vijay C. Amin, Karma Yoga Manfaat Pelayanan Tanpa Pamrih Ajaran
Bhagavan Sri Satya Sai Baba (Surabaya: Paramita, 2000, Cetakan Pertama), hlm. 9 59 Nyoman S. Pendit, op.cit., hlm. 235
57
tingkat tertentu akan membantu jiwa dari perkembangannya untuk
melukiskan lebih dekat pada tujuan akhirnya, yaitu mewujudkan
dirinya di dalam kesatuan absolut dari keabadian sendiri.60
Dalam Bab V dan VI Krishna menjelaskan bagaimana seorang
Yogi dan Sannyasin mencapai kebebasan yang mencakup dalam
perwujudan jiwa terdalam dari diri seseorang sebagai wujud abadi,
brahma-bhuta, yakni eksis di luar waktu. Tapa terhadap Tuhan sebagai
Wujud Abadi berguna untuk memperoleh hasil ini, tetapi ia tidak perlu
membawa kamu lebih dekat lagi kepada Tuhan itu sendiri. Dalam bab-
bab berikutnya hubungan manusia dengan Tuhan hanya dibahas sedikit
pada bagian akhir kitab.
Seluruh doktrin secara jelas tertera pada akhir bab kedelapan
belas, ‘menjadi Brahman’ hanyalah salah satu langkah awal jalan
menuju Tuhan.
Dengan kesadaran yang disucikan (ia berkata), persatuan, mengendalikan dirinya dengan sepenuh hati, meninggalkan objek-objek indera, suara-suara, dan yang lain, menghalau bisikan nafsu dan kebencian, mengolah keheningan, sedikit makan, mengendalikan mulut, tubuh, dan pikiran, secara sungguh-sungguh melakukan meditasi yoga, mengatasi pengaruh nafsu, mengendalikan ego, kekuatan, dan kesombongan, nafsu, amarah, dan rasa kepemilikan yang melampaui batas, tidak memandang sesuatu sebagai miliknya, sehingga dia layak menjadi Brahman. Setelah menjadi Brahman, jiwanya tenang; dia tidak mengalami kesedihan dan nafsu. Berbeda dengan segala wujud, dia menerima kepatuhan tertinggi kepadaku. Melalui kepatuhan dia menjadi mengetahui aku, siapa dan betapa besarnya aku dalam esensi terdalamku. Kemudian mengetahuiku dalam esensiku, dia dengan segera masuk ke dalam diriku. Meskipun dia terlihat dalam perbuatan-perbuatan (-ku), dia menyandarkan diri terhadap aku, dia mencapai tingkat kekekalan abadi melalui anugerahku.
Seorang Yogi, kemudian dapat mencapai suasana Brahman
(condition of Brahman) secara menyeluruh dengan usaha-usahanya
sendiri: mensucikan jiwanya dari seluruh kotoran, dia mewujudkannya
60 R.C. Zaehner, Mistisisme Hindu Muslim, Terj. Suhadi, (Yogyakarta: LKiS, 2004,
Cetakan Pertama), hlm. 41
58
sebagai keabadian. Hal ini membutuhkan syarat guna memperoleh
anugerah ketuhanan yang akan mengantarkan, untuk yang pertama
kalinya, pada suatu pengetahuan tentang Tuhan, dan kemudian
bergabung dengan Dia.61
c. Karma Yoga
Sribhagawan uwaca: Loke ‘smin dwi-widha nistha pura prokta mayanagha, Jnana-yogena sankhyanam karma-yogena yoginam.
Artinya: Sri Bhagawan bersabda:
“Wahai Anagha (Arjuna), di dunia ini sejak dahulu telah Ku-ajarkan dua macam jalan dalam kehidupan ini, yaitu: jalan pengetahuan bagi mereka yang suka melakukan perenungan dan jalan kegiatan kerja bagi mereka yang semangat untuk bekerja”.
Seperti yang dilakukan kaum psikologis modern, di sini sang
guru membedakan dua kelompok utama para pencari spiritual, yakni
kaum introvert yang kecenderungan alamiahnya mengusahakan jiwa
kehidupan batin dan kaum ekstrovert, yang kecenderungan alamiahnya
adalah bekerja di dunia material ini. Tetapi, pembagian ini bukanlah
bersifat kaku, namun juga ditentukan oleh tahap kematangan spiritual
dari setiap pribadi.
Bagi Bhagawatgita, jalan kegiatan kerja sebagai cara untuk
mencapai kebebasan sama ampuhnya dengan jalan pengetahuan,
sehingga kedua jalan ini tidak saling bertentangan, tetapi saling
melengkapi satu dengan yang lainnya.62
Na hi kascit ksanam api jatu tisthaty akarma-krt, Karyate hy awasah karma sarwah prakrti-jair gunaih.
Artinya: “Tak seorangpun dapat tetap tanpa melakukan kegiatan kerja walau sesaat saja, karena setiap orang dibuat tak berdaya oleh kecenderungan-kecenderungan alam untuk melakukan kegiatan kerja”.
61 Ibid., hlm. 90-91 62 I Wayan Maswinara, op.cit., hlm. 163
59
Selama manusia menjalani kehidupan duniawi ini, mereka tidak
dapat melepaskan dirinya dari kegiatan kerja; karena tanpa kerja
kehidupan tak dapat berlangsung.
Kehidupan itu sendiri adalah kegiatan kerja dan masing-masing
kegiatan kerja itu menimbulkan akibat yang berbeda-beda. Bagi
mereka yang dikatakan telah terbebaskan, segala kegiatan kerja yang
dilakukan bukan dimaksudkan untuk keperluan badan ataupun
terhadap hasil dari kegiatan kerja tersebut, tetapi kegiatannya itu
sebagai kegiatan Tuhan semata.
Karmendriyani samyamya ya aste manasa smaran, Indriyarthan wimudhatma mithyacarah sa ucyate.
Artinya: “Mereka yang menahan organ-organ kegiatannya, namun masih tetap membayangkan segala kenikmatan indera-indera dalam pikirannya, yang terbingungkan seperti itu dikatakan sebagai orang munafik”.
Kita dapat saja mengendalikan secara luar segala aktifitas kita.
Tetapi, apabila kita tidak menahan segala keinginan yang
mendorongnya, maka kita telah gagal untuk memahami makna
penahanan diri tersebut.63
Yadrccha-labha-samtusto dwandwatito wimatsarah, Samah siddhau asiddhau ca krtwapi na nibadhyate.
Artinya: “Ia yang senantiasa puas dengan apapun yang ada, yang telah mengatasi dualitas (dari rasa senang dan susah), yang terbebas dari rasa iri dan dengki serta tetap tenang dalam keberhasilan maupun kegagalan, walaupun ia bekerja namun tak akan terbelenggu”.
Di sini Sri Krsna mulai menunjukkan bahwa si pelaku, kegiatan
dan hasil kegiatan semuanya adalah manifestasi yang berbeda-beda
dari Yang Tertinggi dan kegiatan yang dipersembahkan sebagai yajna
kepada-Nya tak akan membelenggu.
Kegiatan itu sendiri tidaklah mengikat. Bila ia mengikat, maka
kita akan mengikatkan diri pada dualisme kasar antara Tuhan dan alam
dunia, dan dunia itu sendiri akan menjadi kesalahan kosmis terbesar.
63 Ibid., hlm. 164-165
60
Kosmos adalah manifestasi Tuhan dan yang membelenggu bukanlah
kegiatan tetapi sikap pamrih dari kegiatan itu, yang berasal dari
kebodohan yang membuat kita membayangkan bahwa kita merupakan
pribadi-pribadi yang terpisah dengan rasa senang dan rasa benci kita
yang khusus.64
Ajaran Yoga atau tepatnya karma yoga menguraikan tentang
Atman yang tidak dapat dimusnahkan dan kekal abadi. Ajaran ini
harus dilaksanakan dan ditunjukkan dengan sikap tindakan dan kerja
nyata untuk membebaskanNya dari ikatan kelahiran dan kematian.
Tetapi, sikap, tindakan, dan kerja yang bagaimana? Yang dimaksud
adalah sikap, tindakan dan kerja yang tidak didasarkan pada
kepentingan pribadi dan tidak mengharapkan hasil.65
Manusia harus bekerja dengan penuh bakti dan pengabdian
kepada Brahman tanpa mengharapkan keuntungan pribadi demi
kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Dan lebih baik
melakukan kewajiban kerja sendiri walaupun belum sempurna,
daripada melakukan kewajiban orang lain sekalipun dikerjakan dengan
sempurna.
Tindakan kerja atau digerakkan oleh hukum alam, bukan oleh
jiwa yang ada di dalam badan jasmani. Sifat alam menimbulkan
amarah dan nafsu yang dapat menyelubungi jiwa, bagaikan api yang
diselubungi asap, yang dapat membuat orang terikat oleh keinginan
akan pahala kerja.
Karena itu, janganlah sampai tertipu oleh sifat alam. Berhenti
bekerja berarti melawan hukum alam dan dunia akan hancur.
Tujukanlah segala tindakan atau kerja kepada Brahman. Bebaskan diri
dari nafsu dan keakuan.66
64 Ibid., hlm. 200 65 Nyoman S. Pendit, op.cit., hlm. 43 66 Ibid., hlm. 60
61
Argumen Krishna tentang melaksanakan dharma dan memainkan
bagian anda adalah kerangka kerja bagi satu dari thema-thema utama
Gita: praktek yang disebut karma yoga. Sampai sekarang, Krishna
telah membujuk Arjuna, memberi tahu dia mengapa ia harus
bertempur dalam peperangan ini. Sekarang ia akan mulai menjelaskan
kepadanya tentang cara yang harus dia tempuh untuk
melaksanakannya yaitu, konteks dari mana ia harus mendekati
peperangan itu. Sesungguhnya, ia akan mendefinisikan teknik melalui
mana kita mentransformasi tindakan-tindakan kita, dan membuatnya
selaras dengan dharma kita.
Inilah beberapa sloka yang memasukkan thema ini ke dalam
benak kita.
“Tetapi agunglah manusia yang, bebas dari keterikatan dan
dengan satu benak memerintah kekuatannya dalam selaras, bekerja di
atas karma yoga.”
“Di dalam kebebasan dari ikatan kemelekatan, engkau lakukan
kerja untuk dilaksanakan, bagi orang yang kerjanya adalah murni
sesungguhnya mencapai yang Tertinggi.”
“Laksanakan kerjamu, tapi lakukan itu tanpa kemelekatan.” Itu
mewakili bagian pertama dari rumus itu. Kita belum diberitahu
bagaimana berhenti terikat, tapi kita diberi tahu bahwa itulah tujuannya
– bekerja tanpa ikatan, yang beraarti bertindak tanpa mencemaskan
hasilnya. “jangan terikat kepada hasil dari tindakan” adalah satu dari
perintah pokok di dalam karma yoga. “taruhlah hatimu di atas kerjamu,
tapi tidak atas hasilnya. Janganlah bekerja untuk hadiah, tapi jangan
pernah berhenti melakukan kerjamu.”
Mahatma Gandhi memberitahu kita bagaimana itu tampak di
dalam praktek; dia berkata, “berkaitan dengan setiap tindakan,
seseorang harus tahu hasil yang diharapkan mengikuti, caranya ke
sana, dan kemampuan untuk itu. Dia yang diperlengkapi seperti itu
adalah tanpa keinginan akan hasil, dan tetap secara penuh terlibat di
62
dalam pemenuhan dari tugas di depannya, orang seperti itu dikatakan
telah membuang buah-buah dari tindakannya.”67
d. Raja Yoga
Raja yoga adalah jalan atau cara untuk mencapai Tuhan dengan
melakukan Samadhi yang sebenar-benarnya. Yoga dan Samadhi
adalah latihan untuk menghubungkan dan menyatukan Atman dengan
Brahman. Orang telah dapat menumbuhkan kesadaran diri serta
mengabdikan diri sepenuhnya kepada Sang Hyang Widhiwasa akan
mengetahui hakikat kebesaran Brahman. Orang yang seperti itu yang
disebut raja yoga.
Raja yoga adalah raja dari semua yoga. Ia secara langsung
berurusan dengan batin. Dalam Yoga ini tidak ada perjuangan dengan
Prana maupun jasmani (Apana). Tidak diperlukan lagi kriya-kriya dari
Hatha Yoga. Sang yogi duduk dengan sederhana, memperhatikan dan
mententeramkan gelembung-gelembung pemikirannya. Beliau
mengheningkan cipta, menjinakkan gelombang pikiran dan memasuki
kondisi tanpa pemikiran atau Asamprajñata Samadhi; itulah Raja
Yoga.
Walaupun raja yoga merupakan suatu falsafah dualistika yang
mengolah Prakriti dan Purusha, ia membantu siswa Advaitik untuk
merealisasikan penunggalannya. Walaupun diingatkan tentang
keberadaan Purusha, pada puncaknya Purusha menjadi identik dengan
Purusha Tertinggi (Parama Purusha) atau Brahman, seperti yang
disebutkan dalam Upanishad-upanishad. Raja Yoga mendorong siswa
untuk mencapai tingkatan tertinggi di tangga spritual, yakni
Brahman.68
Langkah-langkah untuk menjalankan yoga ada delapan tahap
yang disebut Astanga Yoga yaitu: pengekangan diri (yama),
67 Ram Dass (Dr. Richard Alpart), Ngakan Made Madrasuta (ed.), op.cit.,hlm. 77-78 68http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=322&Itemid=93
63
pengamatan (niyama), sikap tubuh (asana), pengaturan nafas
(pranayama), penarikan obyek-obyeknya (pratahara), pemusatan
perhatian (dharana), perenungan atau meditasi (dhyana) dan
pemusatang yang sempurna (Samadhi).69
Delapan anggota yoga ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian
yang besar, yaitu mulai pengekangan diri (yama) sampai penarikan
indera dari obyek-obyeknya (pratahara), yang disebut pertolongan
tidak langsung dari luar (bahiranga) dan mulai pemusatan perhatian
(dharana), sampai pemusatan yang sempurna (Samadhi), yang disebut
pertolongan-pertolongan dari dalam (antaranga). Bagian pertama
dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu: persiapan etis, yang terdiri
dari pengekangan diri (yama), pengamatan (niyama) dan persiapan
badan yang terdiri dari sikap tubuh (asana), pengaturan nafas
(pranayana), penarikan obyek-obyeknya (pratyahara). Bagian kedua
dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu perenungan atau meditasi
(dhyana) dan pemusatan yang terdiri dari Samadhi.
Dari bagian di atas bahwa cukup jalan untuk mewujudkan azas
etis yoga yang lima tingkatan, pertama bersifat amal-amal lahiriah dan
yang kedua bersifat amal-amal batiniah, yang semua tingkatan itu
mempunyai peraturan-peraturan yaitu:
1) Yama
Yama merupakan pengendalian diri dalam tahap pertama
(permulaan) untuk tidak melakukan perbuatan yang bersifat
negative atau dosa seperti membunuh, mencuri, berzina, dengki,
riya’, tamak, dan segala jenis perbuatan yang dipandang dosa.
2) Niyama
Niyama adalah latihan berbuat kebaikan dengan jalan
melakukan azas-azas kebaikan seperti pemurnian, kesucian,
69 Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India (Jakarta: Gunung Mulia, 1998), hlm. 73
64
keteguhan, selalu giat belajar, kebaktian kepada Syang Hyang
Widhi.
3) Asana
Asana adalah latihan melakukan berbagai sikap beda untuk
meditasi atau oleh raga batin. Jika sikap badan disiplin, mantap dan
reflek, pikiran dapat ditenangkan.
4) Pranayama
Pranayama yaitu mengontrol pernapasan dibuat teratur,
pikiran mudah dikontrol. Proses pengaturan dan pengekangan
nafas ada tiga macam, yaitu: penghiasan nafas, pengeluaran nafas
dan penghentian nafas.
5) Pratyahara
Pratyahara yaitu penarikan indriya dan obyek.
Ketidakterikatan indria pada obyek yang sempurna, hanya bisa
dilakukan bila pikiran telah dapat dikontrol sepenuhnya. Tujuannya
untuk meredam pikiran.
6) Dharana
Dharana yaitu konsentrasi pikiran pada suatu obyek
(diperlukan konsentrasi yang mantap).
7) Dhyana
Dhyana merupakan perenungan pada suatu obyek.
8) Samadhi
Samadhi merupakan meditasi taraf tinggi, sehingga pada saat itu
bersatulah Atman dengan Brahman.70
70 Joesoep Su’aib, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), hlm.
55-56
BAB IV
ANALISIS
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Asketisme dalam Pandangan Islam
dan Hindu
Kehidupan di dunia ini adalah kehidupan sementara yang
memperdayakan manusia apabila dibandingkan dengan kehidupan di akhirat
yang kekal nanti. Demikian pula dengan kesenangan serta segala kenikmatan
di dunia ini sifatnya sementara sedangkan kesenangan serta kenikmatan di
akhirat adalah abadi. Oleh kerena itu setiap agama memerintahkan kepada
setiap umatnya untuk membina keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
antara dunia dan akhirat, berbuat baik untuk diri sendiri maupun orang lain
serta kewajiban memelihara lingkungan, dan mencegah kerusakan di bumi ini.
Hal ini terangkum dalam konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu
yang secara panjang lebar telah diuraikan di bab ketiga, yaitu diterangkan
bagaimana menyikapi hidup di dunia ini yang penuh dengan nafsu kehinaan
dan kenistaan.
“Selagi masih hidup bekerjalah seakan-akan kamu hidup selamanya,
dan beribadahlah sebanyak-banyaknya untuk akhirat seakan-akan kamu mati
besok.” Petikan hadits ini seharusnya dijadikan pedoman bagi setiap manusia
yang masih hidup di dunia ini. Itulah seharusnya prinsip manusia yang sejati.
Dunia itu bisa dikatakan suatu yang akan menjerumuskan manusia, tetapi
alangkah indahnya jika dunia ini kita sikapi dengan semestinya. Maksudnya,
kita sebagai manusia yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi khalifah
seharusnya memberikan contoh yang baik. Dunia ini adalah tempat di mana
kita hidup dan mati, dan yang paling penting adalah bagaimanakah kita
memposisikan dan mempersiapkan diri untuk menuju kekehidupan yang abadi
yaitu akhirat. Jika kita bisa menyikapi dunia ini dengan bijak, maka tentu saja
kenikmatan dunia dan akhirat akan kita peroleh.
Orang mukmin menyadari bahwa cinta dunia adalah induk segala
kesalahan. Mereka mengetahui bahwa dunia ini adalah penyihir yang banyak
65
66
menyihir hati dan penipu yang banyak menipu orang. Bila iman sudah benar,
maka dunia adalah kecil di mata dan di hati orang mukmin. Ia akan zuhud di
dunia. Zuhud bukan berarti ia meninggalkan dunianya atau tidak mau bekerja
makan dan lain-lain demi menjalankan akhirat dan ibadahnya, akan tetapi ia
menjaga dirinya agar tidak mengedepankan dunia atau hidup materialistik di
atas segala-galanya, karena dunia itu hanya suatu permainan yang fana. Apa
yang ditekankan dalam kehidupan zuhud adalah melepaskan diri atau
mengosongkan hati dari pengaruh dunia yang dapat membuat orang lupa
kepada Tuhan. Kehidupan dunia jangan sampai melupakan akhirat dan ibadah
kepada Tuhan. Di samping itu agar jangan sampai kehidupan seseorang sangat
tergantung kepada materi, sehingga berduka cita terhadap harta dan sangat
gembira terhadap apa yang diperolehnya.
Dalam ajaran agama Islam dan Hindu mengajarkan tentang konsep
asketisme, kadang istilahnya berbeda akan tetapi maknanya mengarahkan
pada kesamaan, sehingga ada hal-hal yang berbeda pula baik itu bersifat
prinsipil maupun tidak seperti terlihat jelas dari sumber yang dipakai dalam
ajaran ini. Maka dari itu dalam hal ini akan diuraikan letak persamaan dan
perbedaan konsep asketisme tersebut.
1. Persamaan Konsep Asketisme dalam Pandangan Islam dan Hindu
Persamaan konsep asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu
merupakan ajaran yang dilatar belakangi dengan memerintahkan untuk
meninggalkan kehidupan duniawi. Karena hidup di dunia diartikan
sebagai hidup yang dekat dengan kehinaan dan kematian untuk menuju
keabadian di akhirat. Meskipun demikian banyak orang tidak mengerti,
terlena, dan lupa semasa di dunia. Dunia ini dibuatnya untuk kesenangan,
melupakan tugas yang diemban yang telah ditetapkan sewaktu di alam
arwah agar dunia ini dijadikan ajang untuk mengumpulkan bekal
mempersiapkan diri menuju ke alam keabadian. Oleh karena itu untuk
lebih jelasnya dapat dilihat letak persamaan konsep asketisme dalam
pandangan Islam dan Hindu.
67
a. Persamaan pertama yaitu berpantang pada kesenangan dan kepuasaan
terhadap dunia
Dalam Islam asketisme bukanlah terputusnya kehidupan
duniawi melainkan hikmah pemahaman tentang pandangan khusus
terhadap kehidupan dunia di mana mereka tetap bekerja dan berusaha,
akan tetapi kehidupan itu tidak menguasai kecenderungan hati mereka,
serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Bahkan dengan
asketisme ini membuat mereka mampu menghadapi kehidupan
masyarakat serta tidak diperbudak harta kekuasaan ataupun hawa
nafsu sehingga mereka dapat melaksanakan dan menjalankan apa yang
diperintahkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebenarnya dunia itu diciptakan untuk manusia, semuanya itu
disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
oleh karena itu manusia mempunyai tugas untuk mengelola dunia ini
dengan sebaik-baiknya. Di samping itu manusia diperintahkan untuk
mengendalikan diri terhadap kenikmatan yang terdapat pada dunia ini.
Untuk itu manusia harus menghindari dunia agar dia bisa berma’rifat
dan bertemu dengan Allah. Dalam agama Islam sikap ketidakpedulian
terhadap dunia disebut zuhud. Sedangkan orang yang tidak ingin atau
tidak tertarik kepada kenikmatan dunia, disebut zahid.
Kenikmatan duniawi merupakan ujian dari Allah untuk
mengukur kadar ketakwaan seseorang. Kenikmatan duniawi adalah
jalan untuk meraih kehidupan ukhrawi. Seorang zahid akan
mendahulukan kehidupan ukhrawi dari pada duniawi dan menjadikan
kehidupan duniawi sebagai sarana untuk meraih kenikmatan ukhrawi.
Seorang zahid tidak akan pernah terlena dengan gemerlapnya
dunia, dunia dengan segala keindahannya tidaklah menjadi tujuan
hidupnya sehingga cara pandangnya terhadap dunia ini merupakan
suatu hal yang tidak penting dan tidak berharga, semua itu hanya
dalam usaha menghindarkan diri daripada kehidupan duniawi. Oleh
karena itu, orang yang zuhud terhadap keduniaan adalah kekasih
68
Tuhannya. Sebaliknya, orang mencintai keabadian semu (keduniaan)
adalah termasuk orang munafik terhadap agama Tuhannya, Zat Yang
Mahatinggi. Mereka menganggap bahwa kenikmatan dunia itu
hanyalah titipan yang suatu saat akan hilang. Maka dari itu orang yang
zuhud tidak mau berlebih-lebihan dalam kehidupannya, disaat
berpakaian menggunakan pakaian yang sederhana, tidak berlebih-
lebihan dalam makanan, tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan
yang pada dasarnya tidak diperbolehkan dalam ajaran agama.
Dengan demikian zuhud memperoleh pengertian yang sama
dengan asketisme yaitu mengasingkan diri dari kehidupan dunia untuk
tekun beribadah dan menjalankan latihan spiritual, berperang melawan
hawa nafsu di dalam pengasingan, berpuasa, dan memperbanyak
dzikir.
Dalam agama Hindu, misalnya dalam Bhagawatgita, memang
ada pengakuan jelas bahwa tindakan dunia perlu dilakukan. Tetapi,
pekerjaan tersebut seharusnya dilakukan tanpa keinginan menikmati
buah pekerjaan itu. Kita semua didorong untuk bertindak, tetapi
semestinya kita bertindak dengan kontrol diri, dan hasil dari pekerjaan
itu seharusnya ditinggalkan.1
Umat Hindu telah menganalisa bahwa pada umumnya ada
empat macam pribadi manusia. Beberapa orang pada dasarnya suka
berfikir dan merenung. Yang lainnya amat emosional. Yang lainnya
lagi adalah tipe orang aktif. Akhirnya, ada beberapa orang yang paling
tepat dikategorikan sebagai orang yang lebih suka akan pengalaman
atau percobaan. Masing-masing jenis kepribadian ini diberi jenis yoga
sendiri-sendiri. Tiap yoga itu dimaksudkan untuk memanfaatkan bakat
yang dimiliki orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai
langkah pertama untuk yoga mana pun juga, orang yang melakukan
1 Dr H.J. Witteveen, Tasawuf in Action Spiritual Diri di Dunia Yang Tak Lagi Ramah
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 65
69
yoga harus mempraktekkan hidup seperti tidak menyakiti orang,
sederhana, memantang kesenangan duniawi, jujur, rela berkorban,
tidak mencuri, mengendalikan dirinya, disiplin diri, menenangkan
batin dan adanya suatu hasrat untuk mencapai tujuan tersebut.
Yoga sebenarnya merupakan salah satu jalan keselamatan dalam
agama Hindu, yaitu suatu cara untuk mencapai kelepasan atau
Mokhsa. Semua ini bertujuan sebagai usaha mendisiplinkan diri untuk
merealisasikan kehadiran Tuhan dalam diri. Menurut umat Hindu
satu-satunya keinginan yang sangat berapi-api dalam hati mereka
adalah melepaskan diri dari dunia dan hanya berfikir untuk menyatu
dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Sekalipun dalam agama
Hindu membangun keluarga dan menikmati kesejahteraan duniawi
dibolehkan, tetapi semua itu semata hanya sebagai penyambung
kehidupan. Makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya adalah
sumber penyambung hidup. Seorang yogi tidak akan terlena dengan
kemewahan duniawi.
Dalam agama-agama kuno di India dikenal konsep yang
dualistik antara jiwa (spiritual) dan tubuh (material). Tubuh dianggap
sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada jiwa. Tubuh adalah
sumber segala kejahatan. Apa yang tampak hanyalah sebuah ilusi,
sedangkan realita sebenarnya terletak pada hal-hal yang spiritual.
Tidak heran, para yogi pada zaman dahulu dikenal sebagai orang yang
telah mengambil sumpah untuk hidup dalam kemiskinan, kesucian,
gaya hidup selibat dan meditasi sepanjang hari. Para penganut yoga
juga cenderung melihat kehidupan fana di dunia sebagai kehidupan
yang rendah dan tidak layak untuk dihidupi.
b. Persamaan kedua yaitu dapat dilihat dari macam-macam ikatan yang
mempengaruhi kehidupan di dunia
Allah menghendaki keberadaan makhluk-makhluk-Nya seperti
manusia, jin, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, asalkan dunia ini harus
dijaga, dirawat dan jangan sampai manusia membuat bencana dan
70
melakukan kerusakan. Dunia diciptakan bukan sekedar sebagai tempat
bersenang-senang akan tetapi dunia itu diciptakan sebagai ladang
untuk menuju akhirat. Maka dari itu hendaklah kita semua memelihara
dan menjaga diri kita agar jangan sampai terjerumus ke dalam
kenistaan dan kehinaan dunia. Seseorang yang sudah dihinggapi cinta
dunia, dia pasti lupa akan kewajibannya. Maka jangan sampai
kesibukanmu mengakibatkan hatimu tertutup untuk selalu beribadah
kepada Allah. Oleh karena itu Allah tidak memandang dunia ini
sebagai sesuatu yang berharga sejak Dia menciptakannya.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 77:
ö≅ è% ßì≈ tFtΒ $u‹÷Ρ‘‰9 $# ×≅‹ Î=s% äοtÅzFψ$# uρ ×ö yz Ç⎯ yϑÏj9 4’ s+ ¨?$# Ÿωuρ tβθßϑn=ôà è? ¸ξ‹ ÏGsù ∩∠∠∪
Artinya: Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”. (Q.S an-Nisa’: 77)2
Dalam kaitan ayat di atas Allah Swt. sebenarnya tidak melarang
manusia untuk memiliki dan mencintai segala sesuatu yang ada di
dunia ini sebagai sarana untuk menjalankan kehidupan yang layak,
tetapi janganlah semuanya itu menjadikan dirinya terbelenggu dan
terikat oleh kenikmatan dunia sehingga lupa mengingat Allah. Untuk
mensolusikan hal ini, maka al-Qur’an menganjurkan kepada manusia
untuk mengasingkan diri dari dunia, artinya bukan menjauhkan diri
dari dunia tetapi mengurangi kecintaan yang berlebihan terhadap
dunia.
Secara lahiriah amal yang dikerjakan oleh orang yang tamak
kepada dunia sangat kecil nilainya di sisi Allah. Sebab amal perbuatan
tersebut keluar dari hati nurani yang kotor masih dibelenggu oleh
kehendak hawa nafsu dunia, misalnya ujub, sombong, serta hatinya
2 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro Al-Hikmah,
2007, Cetakan Kesepuluh), hlm. 90
71
sangat cenderung kepada masalah duniawi (berpaling dari Allah).
Ujub adalah sifat mengagumi atau membanggakan dirinya sendiri
dalam semua prestasi yang telah dicapainya. Orang yang sombong
akan merasa dirinya serba lebih daripada orang lain, dan mereka
menganggap semua orang dipandang remeh, kecil, dan tidak berharga.
Selanjutnya, kebakhilan menjadi penyakit jiwa yang dengan
kerakusan itu. Setiap manusia, berpotensi untuk kemaruk harta. Tapi,
kalau nafsu itu dituruti, niscaya terjerumuslah manusia kelembah hina
dina, yang bahkan lebih nista dari pada binatang. Sifat-sifat tersebut
dapat merusak dan menjerumuskan seseorang sehingga lupa kepada
tugas utamanya, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang
berhubungan dengan sesama makhluk-Nya.
Jadi pada hakikatnya orang yang mengurangi kecintaan
terhadap dunia tersebut akan mendapat panggilan untuk mendekatkan
diri kepada Allah sehingga mereka akan memperoleh kesempurnaan
dan kejernihan lahir dan batin.
Nilai-nilai duniawi yang keliru ini membawa orang tersesat dan
membuat mereka menderita. Sementara orang yang pikirannya diliputi
pandangan salah akan tertipu oleh dunia, sedangkan orang dengan
pandangan benar akan menyadari kehampaan nilai-nilai duniawi itu.
Dalam agama Hindu dianjurkan untuk meninggalkan duniawi seperti
dalam pencarian dan pemakaian, penjagaan dan penumpukan,
ketamakan, nafsu, kedengkian dan kebanggaan. Pencarian dan
pemakaian berasal dari diri kita sendiri yang terpengaruh oleh
gemerlapnya dunia sehingga mementingkan pekerjaan keduniawian
dari pada ibadah spiritual. Penjagaan dan penumpukan berasal dari
nafsu kemaruk yang ada pada diri seseorang yang mana hati mereka
tidak pernah puas atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan. Ketamakan
berasal dari pemikiran yang salah mengenai apa yang dapat
memberikan kepuasan, tetapi semua ini tidak akan membuat puas
orang tersebut. Nafsu berasal dari pikiran yang keliru tentang apa yang
72
tidak dapat memuaskan seseorang akan harta yang dimilikinya.
Kedengkian dan kebanggaan berasal dari perasaan seseorang yang
membanggakan dirinya atas semua prestasi kerja, dan yang lebih
berbahaya lagi mereka juga membenci dan suka menyakiti sesama
manusia.
Jadi siapa pun yang bisa mengendalikan diri terhadap
kenikmatan duniawi, dengan tidak melakukan sifat-sifat buruk di atas
dan menjalankan yoga, maka pasti hidupnya akan memperoleh masa
depan yang cemerlang. Jika semua orang memahami hukum ini
dengan benar dan melaksanakan tugas-tugas sehari-hari dengan hati-
hati, mereka akan naik ke tangga spiritualitas. Mereka dapat
menanggung beban samsara dengan kesabaran, ketahanan dan
kekuatan pikiran. Tidak akan ada ruang bagi keluhan apapun ketika
mereka melihat ketidaksetaraan dalam kelahiran, keberuntungan,
kecerdasan, dan dalam kehidupan.
Demikian perputaran samsara berkembang, dan manusia
ditaklukkan oleh lima klesa atau godaan/siksaan yang asasi, yaitu:
ketidaktahuan sangka diri yakni rasa salah yang menyamakan dan
tubuh dan lain-lain terikat pada nafsu, keengganan untuk menderita
dan keinginan hidup. Dengan memiliki kekayaan yang lebih,
kekuasaan, segala macam keadaan duniawi, kita tidak akan mencapai
kepuasan sesungguhnya. Tetapi dengan kedamaian pikiran dan
kebahagiaan abadi, seseorang dapat menenangkan pikiran dan
membasmi noda-noda yang membelenggu kita supaya bebas dari
nafsu duniawi.
2. Perbedaan Konsep Asketisme dalam Pandangan Islam dan Hindu
Berbagai macam persamaan yang ada dalam konsep asketisme
dalam pandangan Islam dan Hindu di sisi lain juga terdapat perbedaan
yang merupakan bagian dari karakteristik agama Islam maupun agama
Hindu. Perbedaan tersebut di antaranya:
73
a. Perbedaan yang pertama yaitu dapat dilihat dari pandangan terhadap
kehidupan dunia.
Menurut agama Islam, dunia itu hanya sebagai sarana untuk
mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk menuju di
kehidupan yang akan datang yaitu akhirat. Untuk itu manusia
berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan apa yang dicita-citakan
selama ini yaitu bisa bertemu dengan Sang Khalik.
Kehidupan ini tak ubahnya seperti berlayar dengan perahu kecil
yang akan mengantarkan kita ke suatu tempat yang akan kita tuju. Jika
kita tidak berhati-hati dalam menjalankan perahu itu, maka resiko
yang akan kita dapati adalah tenggelam. Jadi bisa dikatakan bahwa
dunia ini adalah suatu yang dapat mencelakakan kita apabila dalam
menyikapinya tidak pada tempatnya. Kesimpulannya, orang yang
melakukan perbuatan baik akan memeperoleh pahala kebaikan, dan
sebaliknya kepada orang yang melakukan perbuatan buruk pasti akan
mendapatkan dosa. Dalam agama Islam kematian adalah akhir dari
seluruh kehidupan di dunia, amal perbuatanya telah terputus di sini.
Celakalah bagi manusia yang tidak mau bertobat sebelum ajal
menjemput, karena dihari perhitungan nanti semuanya akan
menentukan nasibnya sendiri-sendiri, tidak akan ada lagi yang bisa
membantu kecuali amal baik yang diperoleh pada saat di dunia.
Kehidupan dunia ini singkat saja tapi di akhirat nanti sangat
lama dan tiada batas akhir, kekal dan selama-lamanya. Segala apa
yang dilakukan kebaikan maupun kedzaliman di dunia harus
dipertanggung jawabkan, kalau tidak ada keadilan di dunia ini maka di
akhirat keadilan akan lebih mengerikan lagi maka dari itu ingat mati
adalah sumber tawaddu’ sumber zuhud dan gemar taqorrub
(mendekatkan diri pada Allah rabbul izzati). Dunia ini sungguh hanya
sebentar saja, hanya kesabaran yang lemahlah yang menganggap
bahwa hidup di dunia ini terasa masih lama dan harus melupakan
kampung akhirat yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan.
74
Banyak ajaran yang mengandung nilai-nilai moralitas yang
tinggi dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu
lainnya, yang intinya menuntun manusia untuk mencapai tujuan
tertinggi (mokhsa) dan kesejahteraan hidup (jagadhita) di dunia ini.
Bila seseorang menyadari bahwa setiap perbuatan akan menghasilkan
pahala baik atau buruk, maka dengan pertimbangan yang mendalam
tentunya manusia akan memilih perbuatan atau karma yang baik,
karena pahalanya pasti kebajikan dan hal ini tidak dibantah lagi.3
Dalam agama Hindu seseorang tidak hanya memikirkan tentang
Tuhan saja, tetapi dia sendiri juga berusaha menyatu dengan kekuatan
Ilahi tersebut. Dia mencoba membebaskan dirinya dan benar-benar
menyatu secara hakekat dengan apa yang dia percayai sebagai Tuhan.
Ketika seseorang sudah mencapai tingkatan yoga yang tertinggi, maka
orang itu akan mengalami kesadaran dan pengalaman sebagai
Brahman.
Dikatakan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi yang dapat
dirasakan manusia ialah apabila ia terbebas dari hukum karma
(perbuatan) dan samsara (kelahiran kembali), di mana Atman (jiwa)
akan bersatu kembali dengan Brahman. Keadaan ini disebut moksha
dan inilah tujuan akhir penganut agama Hindu yang selalu diidam-
idamkan oleh semua umatnya. Apabila arwah manusia telah mencapai
mokhsa, maka ia tidak akan lahir kembali di muka bumi, karena tidak
ada sesuatu pun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan
“Paramatya” yaitu Atman yang Tertinggi.
Masa pembebasan Jiwatma dari Punarbhawa/samsara atau
perputaran roda Samsara, tergantung kepada segala macam perbuatan
lahir batin kita pada masa yang lalu (Atita), masa sekarang
(Wartamana) dan masa yang akan datang (Nagata). Karma yang
3 Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Dr. Muhaimin AG
(ed.), Damai di Dunia Damai untuk Semua Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004), hlm. 37
75
meliputi pikiran, kata-kata, perbuatan jasmani, yang digerakkan oleh
kehendak (keinginan). Atma maupun jiwatma itu senantiasa akan
mengalami kelahiran yang berulang-ulang, jika masih diliputi oleh
kemauan yang berhubungan dengan keduniaan.4 Jika jiwatma dapat
membersihkan dirinya atau menyucikan dirinya sehingga sama dengan
Brahman, maka kala itu jiwatma akan bebas dari samsara, bahkan
dapat bersatu kembali dengan Parama Atma (Brahman, Sang Hyang
Widhi).
b. Perbedaan yang kedua yaitu jalan yang dilakukan untuk mencapai
tujuan hidup
Ketahuilah bahwa zuhud dalam dunia itu suatu kedudukan
(maqam) yang mulia, dari maqam-maqam orang salik (orang yang
menjalani jalan Allah).5 Dijadikan zuhud sebab bagi kecintaan, maka
siapa yang dicintai oleh Allah niscaya ia pada derajat yang tertinggi.
Oleh karena itu salah satu kiat agar kita bisa hidup zuhud adalah
dengan melazimkan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah
(introspeksi), di samping selalu memagari diri dari serbuan hawa
nafsu dunia yang datang dari tiga pelosok: kesenangan (lahwun),
permainan (la’bun), dan kesia-siaan (‘abats).
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada
Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan
semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan
kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi
seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah.
Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci
oleh Allah akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam
perkara yang diharamkan.
4 Panitia Tujuh Belas, Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa
Pembangunan (Jakarta: Yayasan Mertasari, 1986), hlm. 78 5 Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Terj. Prof. TK. H. Ismail Yakub, (Singapura: Pustaka
Nasional, 1998, Cetakan Keempat), Jilid 4, hlm. 208
76
Di dalam bukunya Sayyid Abdullah Al-Haddad, Rasulullah
Saw. bersabda, “jadilah hidup di dunia seakan-akan kamu menjadi
orang asing atau orang yang menelusuri jalan, dan perhitungkanlah
dirimu termasuk dari ahli kubur. Zuhudlah kepada dunia niscaya Allah
akan mencintai kamu, dan zuhudlah pada sesuatu yang ada di sisi
manusia niscaya kamu akan dicintai manusia”.6
Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia menjalankan hidup
zuhud, tidak rakus kepada dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap
mayapada. Apapun yang dapat mengganggu ibadahnya ia singkirkan
jauh-jauh. Pada prinsipnya hakekat zuhud itu berada di dalam hati,
yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari
hati seorang hamba. Ia jadikan dunia hanya di tangannya saja,
sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat
menjadi tujuan hidupnya. Saya ingatkan kembali bahwa zuhud itu
bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta yang
dimiliki, akan tetapi zuhud di dunia adalah kita lebih mempercayai apa
yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangan kita sendiri.
Menurut umat Hindu tujuan hidup di dunia ini adalah mencapai
mokhsa dan mencari kesejahteraan manusia. Yang dimaksud dengan
mokhsa adalah kebebasan dari segala ikatan duniawi, bebas dari
karma, dan bebas dari samsara.
Mokhsa dapat dicapai semasa orang masih hidup, namun sudah
bebas dari segala ikatan duniawi (jiwanmukti). Tetapi mokhsa dapat
juga dicapai sesudah orang mati. Jalan kelepasan ada empat, yaitu:
1. Jnana Yoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi
dengan cara mengabdikan pengetahuan (jnana). Yoga ini
mencoba untuk melewati batas dengan menggabungkan
kepandaian dan kebijaksanaan.
6 Sayyid Abdullah Al-Haddad, Jalan Para Nabi Menuju Surga, Terj. Drs. Ahmad
Nashirin, (Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah, 2003, Cetakan Pertama), hlm. 49-50
77
2. Bhakti Yoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi
dengan cara melakukan sujud yang tulus ikhlas (bhakti). Yoga
ini menuntun seseorang menjadi lebih pengasih, toleransi, dan
menerima sesama juga lingkungan sekitar. Bhakti Yoga
mengajarkan seseorang untuk beriman pada Tuhan dan
mencintai semua ciptaanNya.
3. Karma Yoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi
dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan mulia atau amal-
amal (karma) tanpa pamrih. Karma Yoga percaya apa yang
terjadi di kehidupan Anda sekarang adalah hasil bagaimana
kehidupan di masa sebelumnya. Yoga ini menuntun Anda
untuk menjadi tidak egois. Yoga ini adalah jalan ke tingkah
laku anda. Bagaimana anda bersikap sekarang adalah karma
dari bagaimana anda di kehidupan sebelumnya.
4. Raja Yoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi
dengan cara melakukan tapa brata, yoga sampai semadi (raja).
Yoga ini memfokuskan pada meditasi dan kontemplasi. Yoga
ini mefokuskan diri sebagai pusat, yang akan mengacu pada
penghargaan terhadap diri sendiri dan kepada semua mahluk
ciptaan dengan cara penguasaan diri.
Keempat jalan ini disesuaikan dengan kepribadian, watak serta
kesanggupan manusia. Masing-masing boleh memilih salah satu jalan
itu yang sesuai dengan kecakapannya.7
Mengenai ajaran ini Krishna menyatakan bahwa Tuhan pasti
akan menyambut umat-Nya selama mereka berusaha mencari Tuhan
dengan jalan apapun. Menurut Bhagawadgita, tidak ada filsafat,
dogma, agama dan cara sembahyang tertentu untuk mencapai Tuhan,
melainkan ada berbagai jalan untuk mencapai Tuhan. Jadi
menurutnya, Tuhan menerima semua jalan yang ditempuh oleh
7 Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia, 2009,
Cetakan Keenambelas), hlm. 174
78
umatnya selama jalan tersebut mengajarkan kebaikan agar menuju
kepada-Nya. Ajaran ini mencerminkan sikap toleransi antar umat
beragama yang tinggi.
Selain keseluruhan persamaan dan perbedaan konsep asketisme
dalam pandangan Islam dan Hindu itu dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Persamaan Konsep Asketisme Dalam Pandangan Islam dan Hindu
No. ASPEK PERSAMAAN
1.
2.
Berpantang
pada
kesenangan dan
kepuasaan
terhadap dunia
Macam-macam
ikatan yang
mempengaruhi
kehidupan di
dunia
Kenikmatan duniawi merupakan ujian dari Allah untuk
mengukur kadar ketakwaan seseorang. Seorang zahid
akan mendahulukan kehidupan ukhrawi dari pada
duniawi dan menjadikan kehidupan duniawi sebagai
sarana untuk meraih kenikmatan ukhrawi. Manusia
didorong untuk bertindak, tetapi semestinya kita
bertindak dengan kontrol diri, dan hasil dari pekerjaan
itu seharusnya ditinggalkan. Para penganut yoga juga
cenderung melihat kehidupan fana di dunia sebagai
kehidupan yang rendah dan tidak layak untuk dihidupi.
Kebakhilan menjadi penyakit jiwa yang dengan
kerakusan yang dimiliki, setiap manusia berpotensi
untuk kemaruk harta. Tapi, kalau nafsu itu dituruti,
niscaya terjerumuslah manusia kelembah hina dina,
yang bahkan lebih nista dari pada binatang. Orang yang
demikian itu akan terjatuh dalam jurang kehinaan dunia
dan hidup dalam lingkaran samsara.
79
Perbedaan Konsep Asketisme Dalam Pandangan Islam dan Hindu
No. ASPEK PERBEDAAN
1.
2.
Pandangan
terhadap
kehidupan
dunia.
Jalan yang
dilakukan untuk
mencapai tujuan
hidup
- Kehidupan di dunia ini singkat saja tapi di akhirat nanti
sangat lama dan tiada batas akhir, kekal dan selama-
lamanya. Segala apa yang dilakukan kebaikan maupun
kedzaliman di dunia harus dipertanggung jawabkan di
akhirat, tidak ada lagi kehidupan kembali. Bagi manusia
yang tidak mau bertobat sebelum ajal menjemput, maka
celakalah mereka.
- Kebahagiaan yang sejati dan abadi yang dapat
dirasakan umat Hindu ialah apabila ia terbebas dari
hukum karma (perbuatan) dan samsara (kelahiran
kembali) dan mencapai mokhsa (bersatu dengan
Brahman). Apabila jiwa manusia masih diliputi oleh
kemauan atau keinginan yang berhubungan dengan
keduniaan, maka manusia senantiasa akan mengalami
kelahiran yang berulang-ulang.
- Agama Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan
kehidupan zuhud, tidak terkelabuhi oleh gemerlapnya
duniawi. Oleh karena itu salah satu kiat agar kita bisa
hidup zuhud adalah dengan melazimkan muraqabah
(mawas diri) dan muhasabah (introspeksi), di samping
selalu memagari diri dari serbuan hawa nafsu dunia.
Dan ketahuilah bahwa zuhud dalam dunia itu suatu
kedudukan (maqam) yang mulia.
- Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk
membebaskan diri dari segala ikatan duniawi. Semua
jalan ini disesuaikan dengan kepribadian, watak serta
kesanggupan manusia. Masing-masing boleh memilih
salah satu jalan itu yang sesuai dengan kecakapannya.
80
Mengenai keempat jalan keselamatan itu antara lain:
1. Jnana Yoga ialah mendekatkan diri dengan jalan
pengetahuan.
2. Bhakti Yoga ialah mendekatkan diri dengan jalan
cinta.
3. Karma Yoga ialah mendekatkan diri dengan jalan
karya (perbuatan).
4. Raja Yoga ialah mendekatkan diri dengan jalan
melakukan tapa brata, yoga, dan samadi.
B. Implikasi Konsep Asketisme dalam Pandangan Islam dan Hindu
Dikehidupan Sekarang
Setiap hamba sesungguhnya memiliki hasrat untuk mendapatkan
keduniaan sesuai dorongan hawa nafsunya dan keinginan untuk memperoleh
kesenangan berdasarkan bisikan hatinya yang dikendalikan syahwat. Jika
seseorang dapat bersikap zuhud tehadap hasratnya dan bisa melepaskan diri
dari jeratan hawa nafsunya yang tercela tersebut, maka itulah zuhud yang
telah difardhukan. Sementara itu, orang yang dapat bersikap zuhud dari
hasratnya terhadap perkara yang dibolehkan, tidak melebihi kebutuhannya
dalam setiap perkara, maka itulah zuhud yang utama. Hal itu sangat
bergantung pada pengendalian anggota badannya yang merupakan pintu
keduniaan, dan jalan yang akan menjerumuskan seseorang pada keduniaan
tersebut.8
Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, manusia juga
semakin bertambah, dan kebutuhan terus meningkat. Keadaan ini akan
menimbulkan corak baru dalam kehidupan manusia. Kemajuan yang dicapai
dalam setiap kehidupan bukan menambah ketenteraman hidup, tetapi malah
sebaliknya yaitu mengakibatkan persaingan bahkan pertentangan antara
sesama manusia. Sesungguhnya pada hakikatnya manusia merupakan
8 Abu Thalib al-Makki (386 H/996 M), Quantum Qalbu Nutrisi Untuk Hati, Terj. Ija
Suntana, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008, Cetakan Pertama), Buku Kedua, hlm. 671-672
81
makhluk sosial yang lama-kelamaan menjadi makhluk yang egois dan
mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Ini terjadi karena pengaruh
dunia yang semakin maju dan berkembang, sehingga mereka berlomba
mencari kekayaan sebanyak mungkin. Keadaan seperti ini merupakan ciri
khas dari kehidupan alam materialistis, yaitu suatu corak kehidupan yang
hanya mementingkan materi, harta, tahta, kebendaan di atas segala-galanya,
sehingga waktu hidupnya hanya digunakan untuk mencari dan mengumpulkan
uang, makan, tidur, dan bersenang-senang.
Manusia terlalu mencintai dirinya sendiri, akibatnya timbul beberapa
keadaan seperti mencari harta benda dan kekayaan, mencintai anak istri yang
berlebihan, mencintai perhiasan dan pakaian yang indah dan megah, dan
mencintai kedudukan yang tinggi yang akhirnya membawa kecintaan yang
sangat pada dunia dan ingin hidup kekal abadi.
Masyarakat modern yang seperti ini ialah masyarakat yang cenderung
sekuler. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan
dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain ialah penghilangan nilai-nilai sakral
terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah,
dan penisbian nilai-nilai.
Masyarakat modern yang memiliki sifat-sifat tersebut, ternyata
menyimpan problema hidup yang sulit dipecahkan. Rasionalisme,
sekulerisme, dan materialisme ternyata tidak menambah kebahagiaan dan
ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya menimbulkan kegelisahan
hidup ini.
Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang kehilangan visi
keilahian, semua ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala gangguan
psikologis, yaitu adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia
dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa
digali dari sumber wahyu illahi. Akibat dari itu maka tidak heran kalau akhir-
akhir ini banyak orang stres, resah, bingung, gelisah, gundah-gulana dan
82
setumpuk penyakit kejiwaan yang lainnya, akibat tidak mempunyai pegangan
dalam hidup ini.9
Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara
praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan
pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan
akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf memberikan jawaban-jawaban yang
terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap
selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.
Dalam tasawuf dikenal zuhud sebagai satu station (maqam) untuk
menuju jenjang kehidupan tasawuf, namun di sisi lain ia merupakan moral
Islam. Dalam posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan
dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan
nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan menegakkannya saat menghadapi
problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik, dan berusaha
merealisasikan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan
menghadapinya dengan sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana,
bukan tujuan. Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak
terjerat cinta padanya.
Kehidupan seperti yang sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat
yang kurang dan tidak tepuji, terutama dalam menghadapi materi yang
gemerlap ini. Antara lain sifat tamak, yaitu sifat keinginan yang berlebih-
lebihan terhadap materi.
Memang diakui bahwa manusia dalam kehidupannya selalu
berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar
posisi seseorang dapat terbalik, yakni hawa nafsunya dikuasai oleh akal yang
telah mendapatkan bimbingan wahyu, dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai
cara, seperti riyadah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam
9 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, Cetakan Ketiga), hlm. 177-178
83
melawan hawa nafsunya tadi. Dengan jalan ini diharapkan seseorang
mendapatkan jalan yang diridai oleh Allah SWT.10
Zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk
kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja
aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial
dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan
harta dalam masyarakat.11 Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng
untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi
gemerlapnya materi.12
Sedangkan menurut agama Hindu, dalam era globalisasi yang sangat
deras ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus
informasi yang canggih saat ini seperti melepaskan manusia dari kungkungan
etnis, bangsa dan negara. Dengan teknologi dan komunikasi yang sangat
canggih, kini nampaknya tidak ada batas-batas budaya antara kelompok-
kelompok masyarakat manusia di dunia ini.
Dalam kesibukan sehari-hari manusia sering lupa untuk merenungkan
jati diri dan misi kehidupan kita. Setiap orang dilahirkan sebagai manusia
dibelenggu oleh enam hal, yakni: Janma-mrityu-jara-vyadhi-duhkha-dosa
(Bhagavadgita XIII.9) berupa: kelahiran, kematian, umur, penyakit,
penderitaan dan dosa-dosa. Setiap makhluk yang lahir dan hidup pasti
mengalami kematian, setiap yang hidup dapat meniti kehidupan berumur
panjang atau pendek, dan setiap yang berumur panjang senantiasa mengalami
penyakit, di samping memperoleh kesukaan atau kesenangan juga kesedihan.
Keenam hal tersebut dinyatakan sebagai bayangan (anudarsana) yang
membelenggu kehidupan.13
Di samping dibelenggu oleh enam hal tersebut di atas, manusia
menghadapi tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal
10 Ibid., hlm. 179-181 11 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 100 12 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, op.cit., hlm. 182 13 Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Dr. Muhaimin AG
(ed.), op.cit., hlm. 32-33
84
tersebut meliputi berbagai keinginan, harapan atau cita-cita yang
diperjuangkan dalam hidupnya. Tantangan dapat merupakan motivasi menuju
ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih berdaya guna, atau sebaliknya dapat
menjerumuskan manusia ke dalam jurang penderitaan.14
Di dunia Barat ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal
tersebut. Faktor utama adalah kehidupan di Barat yang serba cepat dan
menekan. Kondisi seperti ini membuat manusia cepat lelah, baik secara fisik
maupun mental. Dan di sini yoga berhasil menawarkan dua macam kelegaan
itu sekaligus.
Faktor lain adalah kekecewaan terhadap materialisme. Di dunia Barat
kelimpahan secara materi merupakan sesuatu yang sudah biasa. Mereka
mudah mendapatkan segala macam materi yang mereka inginkan. Semua ini
ternyata tidak memberikan kepuasan bagi mereka. Mereka membutuhkan hal-
hal lain yang non-material. Mereka menginginkan kepuasan psikologis,
mental dan kerohanian. Semua ini juga ditawarkan oleh yoga.
Di antara carut marut kehidupan, manusia sangat membutuhkan
ketenangan jiwa. Rasa lelah setelah berhadapan dengan masalah pekerjaan,
keluarga, atau sekitarnya, menuntut manusia untuk sejenak mengistirahatkan
tubuh dan pikirannya. Meditasi di dalam yoga adalah salah satu cara agar
manusia dapat memperoleh ketenangan yang diharapkan.
Tugas hidup sehari-hari dan berbagai kesibukan lainnya, pikiran
terarah untuk hal-hal yang bersifat rutin, kita sepertinya tidak sempat
merenungkan diri kita untuk apa kita menjelma sebagai manusia, kenapa kita
menderita, mengapa harus bersedih, stress, frustasi dan sebagainya, bukankah
segala sesuatunya tergantung pada karma di masa yang lalu dan usaha kita
kini yang mengatur kita. Kewajiban kita adalah untuk menjadi pemain-
pemain drama terbaik dari Sang Sutradara, Tuhan Yang Maha Esa (Vaidika
paurusam).
Makna penjelmaan di dunia ini adalah untuk melaksanakan misi suci
di medan Dharma (dharmaksetra) untuk melaksanakan pengabdian dan
14 Ibid., hlm. 33
85
kebhaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengembangkan kasih sayang
yang sejati (parama prema) kepada seluruh ciptaan-Nya serta menegakkan
Dharma dalam rangka memperbaiki diri untuk kehidupan yang lebih baik,
lebih mulia dan lebih sempurna.
Permasalahan hidup dan kehidupan tidak hanya datangnya dari diri
sendiri tetapi juga datangnya dari luar diri sendiri, untuk itu umat manusia
diamanatkan untuk membina hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang
Maha Esa, dengan mengikuti ajaran-Nya, dengan sesama manusia dan
makhluk hidup lainnya serta dengan alam semesta, utamanya di mana bumi
dipijak, di sanalah langit dijunjung. Membina hubungan yang harmonis
terhadap tiga hal yang memberikan kedamaian dan kebahagiaan disebut
trihita karana, yakni merupakan landasan bagi umat manusia menjalin
kerjasama, berinteraksi dan berinterelasi.15
15 Ibid., hlm.39
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui pembahasan yang sedemikian rupa tentang konsep
asketisme dalam pandangan Islam dan Hindu, maka sampailah pada
kesimpulan atau jawaban yang merupakan hasil dari pokok permasalahan di
antaranya:
1. Arti asketisme sendiri adalah ajaran tentang pentingnya latihan-latihan
rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa, sehingga tercapai
kebajikan-kebajikan rohani. Sedangkan asketisme dalam Islam dikenal
dengan nama zuhud yang artinya sikap hidup rohani yang memiliki
pandangan khusus terhadap duniawi yang bertujuan untuk berpaling dari
sesuatu dalam membebaskan diri dari ketergantungan duniawi. Para
zahid (orang yang menjalani hidup zuhud) tetap menjalani hidup
duniawi, seperti bekerja dan berusaha, namun hatinya tidak terbelenggu
oleh kenikmatan duniawi yang diraihnya. Kehidupan duniawi tidak
menyebabkan seseorang mengingkari Tuhannya. Kehidupan zuhud
dalam Islam tidak mengharuskan seseorang meninggalkan duniawi atau
hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki
dengan sikap tertentu, yakni semuanya dijadikan sarana beribadah
kepada Allah Swt. Sedangkan asketisme dalam Hindu dikenal dengan
ajaran yoga. Yoga bermakna sistem filsafat Hindu yang bertujuan
mengheningkan pikiran, bertafakur dan menguasai diri. Sebenarnya
ajaran ini merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan
untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai
kerohanian dalam mendekatkan diri dengan Tuhan (Brahman), sehingga
cara itu segala konsentrasi selalu tertuju kepada-Nya. Jadi yoga
sebenarnya adalah sebuah sistem untuk menyadarkan dan mengantarkan
manusia ke arah mutu pengembangan dari kesehatan lahir dan batin
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
86
87
2. Asketisme relevan untuk kehidupan beragama di dunia pada masa kini
yang sedang menghadapi modernisme dan materialisme. Di tengah-
tengah negeri dengan pola keberagamaan yang menekankan ritualistik
dan humanistik lebih daripada teologi menjadikan asketisme lebih
relevan dan perlu diterapkan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan
problema masyarakat modern sekarang ini, maka agama Islam
menawarkan jalan spiritual melalui zuhud. Sikap ini menekankan
manusia untuk melepaskan diri atau mengosongkan hati dari pengaruh
duniawi yang dapat membuat orang lupa kepada Tuhan. Sehingga orang
yang menjalankan zuhud hidupnya akan terasa tenang karena di dalam
hatinya selalu dekat dengan Tuhan. Engkau tidak akan banyak mengeluh
dan risau karena kehilangan dan kekurangan harta. Zuhud terhadap dunia
dapat membawa dirimu lebih santai, lebih tenteram, dan lebih beriman
kepada Allah. Oleh karena itu agama Hindu juga menganjurkan umatnya
untuk menjalankan yoga. Di antara carut marut kehidupan ini, manusia
sangat membutuhkan ketenangan jiwa untuk bisa mendekatkan diri
kepada-Nya. Rasa lelah setelah berhadapan dengan masalah pekerjaan,
keluarga, atau lingkungan sekitarnya, menuntut manusia untuk sejenak
mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Meditasi di dalam yoga adalah
salah satu cara agar manusia dapat memperoleh ketenangan yang
diharapkan. Yoga akan memberikan kekuatan iman dan kesejahteraan
hidup, sehingga manusia akan dapat meningkatkan disiplin hidup baik
mental, pikiran, badan dan jiwa. Yang berusaha mencapai kebebasan
yang suci murni dari Tuhan dan dapat membebaskan diri dari ikatan
duniawi untuk menuju kepada-Nya.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan di atas tentang konsep asketisme dalam
pandangan Islam dan Hindu, maka penulis mempunyai gagasan yang berupa
saran-saran sebagai berikut:
88
1. Penulis hanya ingin mengatakan bahwa dunia ini memang menggiurkan
mata kita, banyak hal yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kotoran
duniawi ini. Banyak-banyaklah mendekatkan diri kepada Tuhan,
tingkatkanlah Iman, Islam dan Ikhsan kita. Jangan biarkan diri kita
terpeleset hanya karena masalah keduniawian. Praktekkanlah hidup
zuhud!. Maka kehidupan kita pasti akan lebih baik lagi. Insyaallah.
2. Yang kedua penulis ingin mengatakan kepada pembaca dan khususnya
kepada diri penulis sendiri, marilah kita mencari apa yang telah
dianugerahkan Allah kebahagiaan negeri akhirat, tetapi janganlah
melupakan bagian dari duniawi, yakni kita harus menyiasati agar dunia
dan materi itu menjadi bernilai akhirat, semuanya dijadikan sarana
beribadah kepada Allah SWT. Karena seorang muslim yang hidup di
dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan, yang
berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang
meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam
menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan
berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik dari keadaannya yang
sekarang.
3. Dan yang terakhir, penulis mengingatkan kepada mahasiswa jurusan
Perbandingan Agama agar tertarik untuk mengkaji agama lain, maka dari
itu hendaklah membekali diri kita dengan iman dan takwa.
Sesungguhnya masyarakat kita sangat beraneka ragam, oleh karena itu
saling hormat-menghormati dan hidup bertoleransi adalah kunci agar
hidup kita di dunia ini terasa nyaman dan damai.
C. Penutup
Alhamdulillahirobbil alamin, dengan mengucapkan rasa syukur yang se
dalam-dalamnya kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dan ketidaksempurnaan dari
penyusunan skripsi ini. Apabila masih banyak kekurangan maka kelemahan
89
tersebut semata-mata karena keterbatasan dari sang penulis. Oleh karena itu
masukan dan himbauan dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan.
Semoga penulis dapat mengambil pelajaran untuk lebih meningkatkan
diri di masa sekarang dan di masa yang akan datang demi mencapai sebuah
kebenaran dan penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat
khususnya pada diri penulis sendiri dan umumnya kepada pembaca sekalian.
Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada kedua orang
tuaku yang telah memberikan dukungan, baik moril maupun materiil dan doa
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt penulis dapat berserah diri dengan
harapan mudah-mudahan akan mendapatkan hidayah dan taufik-Nya. Amin3X
Ya Rabbal alamin…..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Diponegoro Al-Hikmah Bandung, 2007.
Al-Wahab, ‘Abd Al-Sya’rani, 99 Akhlak Sufi Meniti Jalan Surga Bersama Orang-Orang Suci, Penerbit Al-Bayan, Bandung, 2004.
Abdul Manaf, Mudjahid, Sejarah Agama-Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.
Ali, Abdullah, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Al-Haddad, Sayyid Abdullah, Jalan Para Nabi Menuju Surga, Terj. Drs. Ahmad Nashirin, Penerbit Hikmah, Jakarta Selatan, 2003.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1996.
________, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1998.
Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
Dagun, M. Save, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), Jakarta, 2006.
Dass, Ram (Dr. Richard Alpart), Ngakan Made Madrasuta (ed.), Jalan Menuju Tuhan Melaksanakan Gita Dalam Hidup Sehari-Hari, Terj. Sang Ayu Putu Renny, Putu Edy, Media Hindu, Jakarta, 2007.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Terj. Kelompok Studi Agama “Driyarkara” Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Effendi, Irmansyah, Kesadaran Jiwa Tekhnik Efektif Untuk Mencapai Kesadaran Yang Lebih Tinggi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Effendy, Mochtar, “asceticisme”, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2000.
Frager, Robert (Syekh Ragib al-Jerahi), Hati, Diri, & Jiwa Psikologi Sufi untuk transformasi, Terj. Hasmiyah Rauf, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003.
Glasse, Cyril, “Asketisme” Ensiklopedi Islam, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2002.
90
91
Hadikusumo, Hilman, Antropologi Agama, Bagian I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
________, Antropologi Agama, Bagian I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Hadits Riwayat Ibnu Majah , Sunan Ibn Majah (207-275 H).
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India, Gunung Mulia, Jakarta, 1998.
Hanif Anwari, Moh. Nur Khalik Ridwan (ed.), Teologi Negatif Abu Nuwas Hasan Ibn Hani, LKiS, Yogyakarta, 2005.
Manaf, Abdul, Sejarah Agama-Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Mantra, Ida Bagus, Bhagavadgita, Parisada Hindu Darma Pusat, Denpasar, 1989.
Masrur, Abdullah dkk, Waliyullah Dan Karomahnya, Cv Bintang Pelajar, Gresik, t.th.
Maswinara, I Wayan, Bhagawat Gita, Dalam Bahasa Inggris dan Indonesia, Surabaya, Penerbit Paramita, 1997.
Muhammad, Hasyim, Ke-Zuhud-an Isa Al-Masih Dalam Kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq Karya Abdullah Ibn Mubarak dan al-Zuhd Karya Ahmad Ibn Hambal, IAIN Walisongo Semarang, 2009.
Ngurah, I Gusti Md., Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Penerbit Paramita, Surabaya, 1998.
O’collins, Gerald, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996.
Patel, Kirit dan Vijay C. Amin, Karma Yoga Manfaat Pelayanan Tanpa Pamrih Ajaran Bhagavan Sri Satya Sai Baba, Paramita, Surabaya, 2000.
Pendit, S. Nyoman, Bhagavadgita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Poedjawijatna, R. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Rahmat, Jalalludin, Kamus Filsafat, 1995.
Rasjidi, M. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Salahudin, Asep, Ziarah Sufistik Wacana Spiritualitas Kaum Santri, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
92
Sami’an, Meditasi Dalam Perspektif Yoga, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2004.
Sani, Rachman, Yoga Untuk Kesehatan, Dahara Prize, Semarang, 2006.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Tirdaus, Jakarta, 1986.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1982.
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, Terj. Saafroedin Bahar, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001.
Soegoro, R, Meditasi Triloka Jalan Menuju Tuhan, Elekmedia Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2002.
Sofwan, Ridin, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa), CV. Aneka Ilmu bekerjasama dengan IAIN Walisongo Press, Semarang, 1999.
Solihin, M. dan Drs. Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Rajawali Perss, Jakarta, 1996.
Sumantoro, Totok dan Munir, Samsul Amin, Kamus Ilmu Tasawuf , Penerbit Amzah, Tdk ada kota, 2005.
Sura, I Gede, Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Hindu, Hanoman Sakti, Denpasar, 2001.
Su’aib, Joesoep, Agama-Agama Besar di Dunia, Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996. Syukur, M. Amin, Zuhud Di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
________, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
________, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Tebba, Sudirman, Meditasi Sufistik, Pustaka irVan, Jakarta, 2007.
Thohari, Hamim, Cara Baru Memandang Dunia, Pustaka Inti, Jakarta, 2003.
Titib, I Made, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya, 1998.
93
Vimalananda, Swami, Mahanarayana Upanisad, Terj. I Wayan Maswinara, Paramita, Surabaya, 1997.
Zaehner, R.C. Mistisisme Hindu Muslim, Terj. Suhadi, LKiS, Yogyakarta, 2004.
“Yoga” Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1991.
http://id.wikipedia.org/wiki/Yoga.
http://staipi-tafsirhadist.blogspot.com/2010/04/tokoh-sufi-abad-pertama_20.html ditulis oleh Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIP).
http://translate.google.com/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://science.jrank.org/pages/7504/Asceticism-Hindu-Buddhist-Asceticism.html.
http://www.alazharpeduli.com/index.php?menu=berita&judul=is-not-enough-the-world.
http://www.flobamor.com/forum/bina-rohani/38903-mengenal-yoga.html.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=322&Itemid=93.
http://www.sarapanpagi.org/perbandingan-agama-vt2431.html.
http://www.scumdoctor.com/Indonesian/alternative-medicine/yoga/History-Of-yoga.html.
http://www.tiranus.net/2007/asketisme.php (ditulis oleh Edi Surant Ginting, M.Th judul: Berkenalan Dengan Asketisme Teologi Penyangkalan Diri).
http://www.yogavoiceofbali.com/semua-untuk-yoga.asp.
http://www.yogavoiceofbali.com/yoga-filsafat.asp.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Profil
Nama : Nanang Dwijayanto Tempat, tanggal lahir : Temanggung, 15 Juni 1986 Agama : Islam Jenis kelamin : Pria Status : Belum Kawin Warganegara : Indonesia
Alamat Rumah : Dusun Dukuh, Desa Mergowati, RT 02/RW II, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.
Phone/ HP : 0821 330 330 13 E-mail : [email protected]
Pendidikan Formal : - SD Negeri I Mergowati Kedu Temanggung (Lulus 1999) - MTs Negeri Model Parakan Temanggung (Lulus 2002) - SMU Muhammadiyah I Temanggung (Lulus 2005) - S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang 2005 - sekarang
Pengalaman Organisasi : - Pengurus BEM Jurusan Perbandingan Agama Tahun 2006-2009 - Pengurus Radio RGM one FM Walisongo Tahun 2006-2009 - Pengurus UKM Musik Fakultas Ushuludin Walisongo Tahun 2006-2009 - Pengurus UKM Teater Metafisis Fakultas Ushuludin Tahun 2006-2009 Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Semarang, 02 Desember 2010
Nanang Dwijayanto NIM. 054311039