Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT KOTA (STUDI
FENOMENOLOGI PENDUDUK URBAN DI KELURUHAN
ANTANG MAKASSAR)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
NAMA : Rahmawati
NIM : 10538324015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
i
MOTTO
Keberhasilan adalah sebuah proses. Niatmu adalah awal keberhasilan. Peluh
keringatmu adalah penyedapnya. Tetesan air matamu adalah penawarnya. Doamu
dan doa orang-orang sekitarmu adalah bara api yang mematangkannya. Kegagalan
di setiap langkahmu adalah pengawetnya. Maka dari itu bersabarlah! Allah selalu
menyertai orang-orang yang penuh kesabaran dalam proses menuju keberhasilan.
Sesungguhnya kesabaran akan membuatmu mengerti bagaimana cara mensyukuri
arti sebuah keberhasilan.
Sungguh bersama kesukaran dan keringanan. Karna itu bila kau telah selesai
mengerjakan yang lain dan kepada Tuhan berharaplah (Q. S AI Insyirah : 6-8)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Karya kecil ini ku persembahkan untuk:
Bapak dan ibuku, yang memberiku motivasi dalam segala hal serta memberikan kasih sayang yang teramat besar yang tak mungkin bisa ku
balas dengan apapun
Suamiku, terima kasih telah sabar dengan sikapku dan selalu memberiku
semangat dalam situasi apapun
Kakak-kakak ku Anti, Hani yang selalu memberiku kasih sayang,dan menemaniku selama ini
ii
ABSTRAK
Makassar 07 Maret,2020. Akulturasi Budaya Masyarakat Kota (Studi
Fenomenologi Penduduk Urban di Kelurahan Antang Makassar).Dibimbing oleh
Risfaisal dan Eliza Melyani.
Adapun latar belakang masalah penelitian; (1) Bagaimana wujud akulturasi
budaya penduduk urban yang ada di kelurahan antang Makassar. (2) Bagaimana
strategi akulturasi budaya penduduk urban yang ada di kelurahan antang
makassar. (3) Bagaimana dampak akulturasi budaya yang terjadi pada penduduk
urban yang ada di kelurahan antang makassar. (4) Bagaimna faktor pendukung
dan penghambat akulturasi budaya yang ada di kelurahan antang makassar
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, strategi, dampak, serta
factor pendukung dan penghambat terjadinya akulturasi budaya yang terjadi di
Kelurahan Antang Kota Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan menggunakan ragam fenomenologi. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan
Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Peneliti merupakan instrument kunci dengan rancangan field research. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu; (1) teknik
studi pustaka, (2) teknik wawancara, (3) FGD, dan (4) teknik dokumentasi. Data
dianalis secara interaktif dengan prosedur reduksi data (data reduction), penyajian
data (data display), dan penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusiondrawing
and verifikasi).
Hasil penelitian ini yaitu; (1)Wujud akulturasi budaya yang terjadi antara
kebudayaan masyarakat urban dan masyarakat lokal di Kelurahan Antang Kota
Makassar sangat beragam. Bahasa, makanan, kesenian, merupakan aspek budaya
yang paling mudah diakulturasikan, sedangkan agama atau keyakinan serta
upacara adat tradisi adalah (2) Akulturasi budaya yang terjadi antara masyarakat
urban dan masyarakat lokal di Kelurahan Antang menggunakan dua macam
strategi yaitu integrasi dana similasi. Integrasi dinilai sebagai strategi yang tepat
lagi untuk melestarikan kebudayaan. Sedangkan asimilasi dinilai strategi yang
tidak tepat karena terindikasi upaya menghilangkan jati diri kebudayaan asli
sehingga mampu menimbulkan kepunahan budaya. (3) Akulturasi budaya
memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif akulturasi
seperti melestarikan budaya atau bahkan mengembangkan budaya. Selain itu,
menjadi alasan terbukanya wawasan masyarakat menuju pengetahuan yang lebih
luas. Adapun dampak buruknya adalah dapat mematikan kebudayaan asli. Selain
itu, mengubah tatacara pergaulan, mentalitas, rasa malu, dan kepiawaian
masyarakat. (4) Faktor pendukung akulturasi budaya di Kelurahan Antang, Kota
Makassar yaitu adanya polasikap dan polapikir terbuka, saling menghargai,dan
sikaptoleransi. Selain itu, agama atau keyakinan tertentu serta aturan perundang-
undangan yang mengatur tentang aspek social bermasyarakat dan berbudaya
menjadi pendukung utama kelancaran terjadinya akulturasi budaya. Adapun factor
penghambatnya adalah sikap apatis masyarakat khususnya generasi muda atau milenial terhadap keaslian budaya, atau sikap dominan atas budaya tertentu.
Kata kunci: Akulturasi, Budaya, Masyarakat Urban.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan
atas kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayahn-Nya penyusunan
skripsi yang berjudul “AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT
KOTA(STUDI FENOMENOLOGI PENDUDUK URBAN DI KELURAHAN
ANTANG MAKASSAR) ”ini dapat diselesaikan guna memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan (S1) pada jurusan Pendidikan
Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Makassar
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan
dari berbagai pihak baik moril maupun materil.. Oleh karena itu,penulis ingin
menyampaikan ucapan terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini:
1. Kedua orang tua. Yang telah memberikan dukungan serta doa yang tiada
henti-hentinya kepada penulis.
2. Kakak Hani dan Anti yang telah menyemangati dan membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Suami yang memberikan semangat setiap harinya dalam penyelesaian
skripsi ini.
4. Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph. D, serta para Wakil Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Bapak Drs. H. Nurdin, M.Si
dan Sekertaris Program Studi Pendidikan Sosiologi Bapak
Kaharuddin,S.Pd., M.Pd., Ph.D, beserta seluruh staffnya
6. Ibu Dr. Eliza Melyani. M.Si, sebagai pembimbing 1(satu) dan Bapak
Risfaisal, SPd. M.Pd selaku pembimbing II (dua) yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak dan ibu dosen program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberkan ilmunya kepada
penulis, Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat.
Makassar, Maret 2020
RAHMAWATI
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………...
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………...
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………
SURAT PERNYATAAN……………………………………………..
SURAT PERJANJIAN………………………………………………
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………... i
ABSTRAK…………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. iv
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
A. LatarBelakang……………………………………………….... 1
B. RumusanMasalah……………………………………………… 9
C. TujuanPenelitian………………………………………………. 9
D. ManfaatPenelitian…………………………………………....... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………... 12
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu………………………………... 12
B. Tinjauan Teori…………………………………………………. 15
1. Pengertian Budaya……………………………………….. 15
2. Pengertian Akulturasi……………………………………. 16
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Akulturasi…………... 18
4. Bentuk Kebudayaan Proses Akulturasi………………….. 20
5. Jenis-jenis Akulturasi …………………………………… 21
6. Kerangka Kerja Akulturasi………………………………. 21
7. Strategi Akulturasi……………………………………….. 23
8. Dampak Akulturasi………………………………………. 25
9. Unsur Budaya yang Diakulturasi………………………… 26
10. Hal-hal Penting Penelitian Akulturasi…………………… 31
11. Pengertian Urbanisasi……………………………………. 33
12. Sebab-sebab Urbanisasi…………………………………. 38
v
13. Dampak Urbanisasi Berlebih……………………………… 40
14. Konsep Perkotaan…………………………………………. 41
15. Teori Perkembangan Kota………………………………… 42
16. Struktur Perkotaan………………………………………… 45
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian………………………………………………….. 51
B. Pendekatan Penelitian…………………………………………… 51
C. Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 52
D. Fokus Penelitian…………………………………………………. 53
E. Data dan Sumber Data…………………………………………… 54
F. Instrumen Pengumpulan Data…………………………………… 55
G. Teknik Pengumpulan Data……………………………………… 56
H. Teknik Analisis Data……………………………………………. 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………. 60
1. Wujud Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang
Kota Makassar……………………………………………… 60
a. Akulturasi budaya aspek bahasa…………………… 61
b. Akulturasi budaya aspek makanan tradisional…….. 65
c. Akulturasi budaya aspek busana(pakaian)………… 67
2. Strategi Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang
Makassar…………………………………………………… 71
3. Dampak Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang
Makassar…………………………………………………… 75
4. Faktor Pendukung dan Penghambat Akulturasi Budaya Masyarakat
Urban di Kelurahan Antang Makassar…………………….. 78
B. Pembahasan…………………………………………………… 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………. 86
B. Saran…………………………………………………………… 87
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 89
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………… 92
RIWAYAT HIDUP…………………………………………………………… 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan IndonesiaberlandaskanPancasila yang merupakan ideologi
dasar bagi Negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua katadari bahasa Sansekerta:
Pancamemiliki arti lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila adalah
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia. Lambang Negara Indonesiaadalah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walau berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.Semboyan tersebut bermakna untuk mempererat perbedaan budaya yang ada
di Indonesia, yang merupakan Negara kepulauan dengan berbagai macam adat
istiadat dan budaya dari Sabang sampai Marauke memiliki keragamansukubudaya
yang berbeda-beda.
Indonesia adalah Negara yang terdiri dari beberapa suku yang masing-
masing memiliki budaya yang berbeda satu sama lain. Keberagaman itulah yang
menjadikan Indonesiamemiliki ciri khas dan keunggulan. Indonesiamenjadi unik
dengan ciri khas dan keberagamannya,salah satu contohnyaadalah interaksi antar
budaya yang berbeda-beda. Interaksi juga menjadi aspek yang paling penting dan
sangat mendasar dalam kehidupan proses belajar manusia. Manusia dibesarkan
diasuh dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat
sehingga akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakandengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya(Koentjaraningrat, 2016: 26). Dari definisi tersebut layak diamati bahwa
2
dalam kebudayaanitu ada gagasan, budi, dan karya manusia.Gagasan dan karya
manusia itu akan menjadi kebudayaan setelah sebelumnya dibiasakan belajar.
Memandang kebudayaan hanya dari segi hasil karyanya adalah tidak tepat.
Demikian juga melihat sesuatu hanya dari gagasanmanusia juga terlalu sempit.
Dengan kata lain, kebudayaan menemukan bentuknya jika dipahami secara
keseluruhan (Nurudin, 2014:50).
Dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak bisa melepaskan diri dari
aktifitas komunikasi. Apalagi masyarakat tersebut bertempat tinggal bersama dan
mendiami suatu daerah tempat tinggal. Dalam kaitan komunikasi antar budaya,
komunikasi antara masyarakat pen datang dengan masyarakat setempat sudah
tampak jelas memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi melibatkan dua
unsur budaya yang berbeda. Masyarakat pendatang dengan latar belakang budaya
dari daerah tempat asalnya dan masyarakat setempat dengan latar belakang
budaya daerah setempat.
Hidup bermasyarakat memaksa manusia untuk berkomunikasi baik dengan
anggota kelompok maupun dengan manusia di luar kelompok yang
dinaunginya.Komunikasi kelompok merupakan komunikasi di antara sejumlah
orang. Dalam kenyataannya, komunikasi kelompok bukanlah sekedar bertukar
pesan melainkan terjadi pula proses interaksi antarbudaya dari para anggota
kelompok (baik in group maupun out group) yang berbeda latar belakang
kebudayaan. Termasuk dalam pengertian konteks komunikasi kelompok adalah
operasi komunikasi antarbudaya di kalangan in group maupun antara anggota
sebuah in group dengan out group, atau bahkan antara berbagai kelompok
(Smokowski dkk, 2011:56).
3
Komunikasi yang terjadi dengan latar belakang budaya yang berbeda, tak
jarang hal ini menimbulkan kesalahpahaman dalam proses komunikasinya.
Berdasarkan pada pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa multietnik atau majemuk yang mengandung potensi
konflik tinggi, baik itu konflik kepentingan, konflik ideologis, konflik antar kelas
dan lain-lain.Dalam masyarakat majemuk ini akan ada kelompok minoritas yang
karena gangguan sosial dan kepentingannya akan menimbulkan suatu masalah
baru yang dapat berkembang ke permukaan.
Ketidakstabilan merupakan ciri khas yang melekat pada masyarakat
majemuk yang memiliki keanekaragaman budaya sehingga hal ini menjadi satu
bentuk adaptasi untuk melihat hubungan antar etnis.Dari perbedaan budaya, ada
banyak faktor yang dapat dilihat. Salah satunya adalah kebiasaan-kebiasaan
individu yang disebabkan oleh nilai-nilai dantradisi yang dibawanya. Hal tersebut
kemudian akan berakibat pada terbentuknya suatu pemikiran khusus mengenai
kultur tertentu. Untuk memahami latarbelakang budaya, ada beberapa faktor yang
perlu dipahami sehubungan dengan kebudayaan dalam konteks komunikasi. Hal
ini meliputi pola berpikir masing-masing individu, stereotipe, etnosentrisme,
tradisi, nilai , dan norma, serta sistem religi (Berry, 2010: 17-38).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, dalam berkomunikasi setiap anggota
etnis akan berpedoman pada norma-norma, kaidah-kaidah dan budaya etnisnya
yang dibawanya. Dalam masyarakat multietnik di Kabupaten Malang terdapat
berbagai macam nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, tradisi dan budaya
bawaan yang dijadikan pedoman berkomunikasi oleh masing-masing etnisyang
ada di dalamnya. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya benturan-
4
benturan dan gesekan-gesekan nilai, norma, kaidah, tradisi dan budaya dalam
komunikasi antaretnik yang terjadi sehingga dapat memicu dan menyebabkan
konflik antaretnik.
Kekuatan pembaruan yang selama ini menjadi momok masyarakat tetapi
tidak mungkin dihindari ialah sentuhan budaya (cultural encounters). Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatnya kebutuhan
ekonomi dan kemampuan mobilitas penduduk mendorong meningkatnya
intensitas kontak-kontak budaya. Apa lagi dengan adanya fenomena urbanisasi
atau perpindahan populasi masyarakat perdesaan menuju ke perkotaan. Kontak
budaya yang terjadi antara masyarakat perkotaan (lokal) dengan masyarakat urban
akan berdampak pada akulturasi.
Akulturasi merupakan perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang
berlangsung dengan damai dan serasi. Akulturasi atau Culture Contect, sebagai
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing dengan sedemikian rupa
yang lambat laun kebudayaan asing itu diterima dan diolah sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya keaslian budaya itu sendiri. Dalam artian yang lebih
lugas, bahwa akulturasi merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat
pendatang untuk menyesuaikan diri dengan memperoleh kebudayaan masyarakat
setempat.Masalah pembauran budaya merupakan masalah yang sangat kompleks,
sarat akan konflik, yang terkadang berakhir dengan tejadinya disintegrasi. Dimana
hambatan komunikasi antara dua budaya seringkali timbul dalam bentuk pebedaan
persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya,
system budaya serta masalah komunikasi.
5
Dengan bertemunya berbagai kelompok sosial, suku-suku bangsa pada suatu
wilayah dapat terjadi dua kemungkinan proses sosial (hubungan sosial atau
interaksi sosial), yaitu hubungan sosial yang positif dan negatif. Dampak positif
dari interaksi sosial masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat dapat
dilihat dalam hubungan mereka sesama petani, dimana mereka dapat meniru tata
cara ataupun nilai-nilai, bahkan inovasi baru dalam hal pengolahan lahan
pertanian dari masyarakat pendatang yang dapat meningkatkan produktifitas, dan
begitu pula sebaliknya. Dalam perkembangan selanjutnya, satu sama lain dapat
bertukar pengalaman dan pengetahuan diberbagai bidang kehidupan. Jika kontak-
kontak tersebut berlangsung secara terus menerus dalam waktu yang lama, tidak
menutup kemungkinan menciptakan akulturasi, bahkan membentuk budaya baru
yang mencerminkan sebuah budaya lokal dan budaya pendatang.
Makassar merupakan pusat kota Provinsi Sulawesi Selatan yang
menjanjikan peradaban atau kebudayaan yang lebih baik. Sehingga tidak heran
jika Kota Makassar menjadi prioritas masyarakat pedesaan sebagai sasaran
urbanisasi dengan berbagai tujuan seperti mencari pekerjaan, menempuh
pendidikan, kepentingan dinas, atau tujuan lainnya. Urbanisasi yang terjadi di
Kota Makassar tampak sangat jelas dengan meningkatknya populasi penduduk
kota yang semakin meningkat dari tahun ke tahun seperti data peta jumlah
penduduk empat tahun terakhir (2015-2018) yang disajikan oleh Dinas
Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil 2019) yaitu pada tahun 2015 jumlah
penduduk Kota Makassar berada diangka 1.653.386 jiwa. Angka tersebut
mengalami penambahan sebesar 5.117 ditahun 2016 menjadi 1.658.503 jiwa.
Sedang tahun 2017 angka ini kembali mengalami meningkatan yang cukup
6
signifikan sebesar 111.417. Sehingga, jumlah penduduk di Kota Makassar hingga
tahun 2017 mencapai 1.769.920. Selanjutnya, jumlah tersebut kembali meningkat
pada tahun 2018 menjadi 1.876.001 jiwa.
Masyarakat urban di Kota Makassar tersebar di beberapa wilayah kelurahan,
salah satunya adalah Kelurahan Antang. Di kelurahan ini tercatat 287 orang
penduduk urban yang bermukim dengan durasi waktu yang berbeda-beda. Ada
yang bermukim kurang dari setahun, bahkan ada yang lebih dari sepuluh tahun
(Data Kelurahan Antang, 2019). Peta budaya penduduk urban pun beragam, ada
yang berasal dari dalam Provinsi Sulawesi Selatan, dan ada juga dari luar
provinsi, seperti Jawa, Madura, Kalimantan, dan NTB, dan NTT. Meskipun
demikian majemuknya, kondisi sosial masyarakat di Kelurahan Antang
berlangsung secara harmonis dengan penuh toleransi dan saling menghargai
perbedaan.
Memasuki kondisi sosial yang baru, masyarakat urban sejatinya harus
mampu beradaptasi dengan kondisi sosial yang barunya. Kemampuan adaptasi
inilah yang mempertemukan kebudayaan masyarakat urban itu sendiri dengan
kebudayaan masyarakat asli dengan cara interaksi sosial. Dari interaksi tersebut,
sangat dimungkinkan terjadinya akulturasi budaya. Akulturasi budaya merupakan
suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri dan menjadi suatu kebudayaan baru. Jadi, antara masyarakat urban dan
penduduk asli Kelurahan Antang dimungkinkan terjadi penerimaan dan
pengelolaan antarbudaya ke dalam budaya masing-masing.
7
Akulturasi budaya bukanlah proses yang singkat. Dibutuhkan waktu yang
panjang untuk memahami dan mengolah kebudayaan baru menjadi bagian dari
kebudayaan sendiri. Demikian pula yang dialami oleh masyarakat urban di Kota
Makassar khususnya di Kelurahan Antang. Terkait akulturasi budaya, maka
semua komponen atau unsur kebudayaan dapat diakulturasi. Setidaknya, ada tujuh
komponen kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai objek akulturasi seperti (1)
bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup
dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi; dan (7)
kesenian (Koentjaraningrat, 2016: 66). Sebagai proses yang panjang akulturasi
dapat berlangsung di suatu kelompok sosial majemuk dengan berbagai strategi.
Strategi akulturasi yang digunakan biasanya dikondisikan dengan kebudayaan
baru yang dijumpai. Berry (2001) menyebutkan empat strategi yang digunakan
suatu kelompok masyarakat dalam mengakulturasi kebudayaannyaseperti strategi
integrasi, asimilasi, separasi, dan marginalisasi. Pemilihan strategi akulturasi
sangat ditentukan dengan kondisi dari kebudayaan yang saling berinteraksi. Hal
ini sebagaimana yang ditemukan Istighara (2017) dalam penelitiannya bahwa
akulturasi dari kebudayaan yang berbeda sangat ditentukan pada proses
pengenalan, pemahaman dan penyesusuai budaya oleh masyarakat yang akan
menerima budaya baru. Istiqhara menemukan bahwa Masyarakat Suku Bali dan
Suku Bugis (penduduk lokal) di Desa Tamuku berakulturasi budaya dengan
memanfaatkan strategi integrasi. Namun, karena perbedaan agama dari kedua
suku tersebut, aspek dan beberapa kebudayaan lain seperti makanan dan kebiasaan
tertentu tidak dapat diakulturasi.
8
Oleh karena itu akulturasi sebagai proses interaksi dan pencampuran budaya,
maka dampak yang ditimbulkan pun tidak dapat terelakkan, ada yang sifatnya
positif dan ada pula yang negatif. Dari dampak tersebutlah yang kemudian
menjadi faktor pendukung sekaligus dapat menjadi faktor penghambat akulturasi
suatu kebudayaan. Hal ini diyakini juga terjadi pada interaksi budaya yang
membentuk akulturasi antara masyarakat urban dengan masyarakat lokal di
Kelurahan Antang Makassar.
Berdasarkan fenomena interaksi budaya yang melahirkan akulturasi antara
masyarakat urban dan masyarakat lokal di Kelurahan Antang Makassar tersebut,
terdapat ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih mendalam mengenai wujud
akulturasi budaya yang terjadi, strategi akulturasi yang digunakan, dampak yang
ditimbulkan, serta faktor pendukung dan penghambat akulturasi yang terjadi.
Dengan demikian, penelitian ini dirumuskan dengan judul “Akulturasi Budaya
Masyarakat Kota (Studi Fenomenologi Penduduk Urban di Kelurahan Antang
Makassar)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah penelitian tersebut, rumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut;
1. Bagaimanakah wujud akultrasi budaya penduduk urban yang ada di Kelurahan
Antang Makassar?
2. Bagaimanakah strategi akulturasi budaya penduduk urban yang ada di
Kelurahan Antang Makassar?
3. Bagaimanakah dampak akulturasi budaya yang terjadi pada penduduk urban
yang ada di Kelurahan Antang Makassar?
9
4. Bagaimanakah faktor pendukung dan penghambat akulturasi budaya yang
terjadi pada penduduk urban yang ada di Kelurahan Antang Makassar?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang akan dicapai melalui
penelitian ini sebagai berikut;
1. Mendeskripsikan wujud akultrasi budaya penduduk urban yang ada di
Kelurahan Antang Makassar.
2. Mendeskripsikan strategi akulturasi budaya penduduk urban yang ada di
Kelurahan Antang Makassar.
3. Mendeskripsikan dampak akulturasi budaya yang terjadi pada penduduk urban
yang ada di Kelurahan Antang Makassar.
4. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat akulturasi budaya yang
terjadi pada penduduk urban yang ada di Kelurahan Antang Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun praktis
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan khasanah ilmu
pengetahuan khususnya pada pengembangan ilmu yang terkait dengan
komunikasi dan interaksi lintas budaya khususnya berkaitan dengan pola
komunikasi lintas budaya dan akulturasi budayaIndonesia. Penelitian ini juga
dapat dijadikan referensi ilmiah bagi peneliti berikutnya.
10
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya dan bagi seluruh
civitas akademika pada umumnya untuk bias memahami proses adaptasi jika
harus berinteraksi dengan budaya yang berbeda sehingga memunculkan
toleransi diantara partisipan komunikasi yang berbedabudaya.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Akulturasi budaya merupakan suatu wacana yang sangat menarik untuk
diteliti melihat kemajemukan dan perbedaan yang menyelimuti masyarakat
Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Hal tersebut dibuktikan dengan
berbagai penelitian yang mengusung akulturasi budaya sebagai objek kajiannya
seperti yang dilakukan beberapa peneliti berikut ini;
Wekke (2013) mengkaji pertemuan antara agama Islam dan budaya lokal
Bugis di Sulawesi Selatan dengan tinjauan akulturasi budaya. Menurut Wekke,
antara agama dan tradisi lokal di masyarakat bugis terjadi proses interaksi yang
harmonis sehingga dimungkinkan adanya akulturasi budaya. Hasil penelitian
Wekke menunjukkan bahwa ada sinergi antara keteguhan dalam adat dengan
ketaatan beragama. Dengan menjadikan ade’ (adat) dan sara’ (syariat) semuanya
sebagai struktur dalam panggaderang (undang-undang sosial), maka ini
menyatukan fungsi keduanya dalam mengatur kehidupan. selanjutnya, dalam
benayak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip ke-Islaman. Islam
diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan tetap pola yang ada
kemudian ditransformasi ke dalam esensi tauhid.Potensi lokal yang ada di
masyarakat Bugis digunakan sebagai strategi membangun spritualitas tanpa
karakter ke-Arab-an. Islam dalam dimensi masyarakat Bugis diinterpretasi sebagai
nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas masyarakat Bugis.Akhirnya,
12
perjumpaan adat dan agama dalam budaya masyarakat Bugis menunjukkan telah
terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal.
Junaid (2013) mengkaji secara kritis akulturasi Islam dan budaya lokal
dengan perspektif studi pustaka (literaturereview). Menurut Junaid, Islam
mengusung keuniversalan sehingga peruntukannya bukan hanya untuk etnis,
golongan, rasa, atau kebangsaan tertentu, melainkan diperuntukkan untuk semua
manusia tanpa memandang peta identitas tadi. Dengan demikian Islam memiliki
daya jangkau dan daya jelajah melampaui batas ruang dan waktu tertentu.Sebagai
konsekuensi dari karakteristiknya yang universal tersebut, Islam mempercayakan
sebuah kemampuan akulturatif terhadap lokalitas masyarakat dimanapun Islam
berada.Amat sulit dibayangkan ketika Islam hadir pada suatu komunitas lokal
tertentu, kemudian merombak semua tatanan nilai, kebiasan, budaya, dan tradisi
yang mereka anut.Harus ditegaskan bahwa arti akulturasi dalam kajian kritis
Junaid adalah bahwa tidaklah Islam dan budaya lokal dipandang sebagai dua
variabel yang benar-benar sejajar, tetapi harus dipandang sebagai hubungan yang
dinamis, dalam arti di dalamnya sangat memungkinkan terjadi pengoreksian.Hal
tersebut dapat terjadi jika bentuk-bentuk kearifan lokal tersebut benar-benar
bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam yang paling asasi.Namun, asumsi
sebaliknya tidak dapat berlaku bahwa nilai-nilai lokal dapat mengoreksi nilai-nilai
Islam.
Sahabuddin dan Surur (2018) telah melakukan kajian terkait akulturasi
budaya khususnya pada pola permukiman tradisional di Kampung Gantarang
Lalang Bata, Kabupaten Kepulauan Selayar. Menurut Sahabuddin dan Surur,
Kampung Gantarang Lalang Bata yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar telah
13
banyak melakukan komunukasi dan interaksi dengan masyarakat luar yang
berbeda kebudayaan, seperti Jawa, Melayu, dan orang-orang Eropa. Berdasarkan
fenomena tersebut, sangat dimungkinkan bahwa di Kampung Gantarang Lalang
Bata, Kabupaten Kepulauan Selayar telah terjadi sebuah akulturasi budaya.Salah
satu bentuk akulturasi budaya yang menjadi fokus kajian Sahabuddin dan Surur
adalah pola permukiman tradisionlanya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola
permukiman Gantarang Lalang Bata membentuk asosiasi antar unsur manusia dan
unsur alam.Sistem keragaman budaya yang berbeda antara Hindu, Jawa, Eropa
dan Arab memiliki pengaruh terhadap pembentukan lanskap. Budaya corak Hindu
yang mengarah pada tradisi pakammik, unsur Jawa merujuk pada bangunan
masjid, keberadaan meriam sebagai atribut unsur Eropa dan tradisi serta tata ruang
berasosiasi dengan pengaruh Arab. Pengaruh budaya Jawa-Islam menjadi sisiyang
paling dominan mempengaruhi pola permukiman dan membentuk mekka keke
sebagai sense of place dari kawasan Kampungtua Gantarang Lalang Bata.
Istiqhara (2017) dalam penelitian etnografinya mengkaji tentang
pencampuran budaya antara penduduk asli (Suku Masyarakat Bugis) dengan
penduduk migrasi (Suku Bali) yang ada di Desa Tamuku, Kecamatan Bone-Bone,
Kabupaten luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.Penelitian Istiqhara didasarkan
pada pengetahuan awal tentang harmonisasi interaksi yang terjadi antara
penduduk asli dan penduduk migrasi yang ada di desa tersebut.Sebeneranya, Desa
Tamuku adalah desa yang majemuk.Di desa tersebut tedapat beragam macam
suku seperti Bugis, Bali, Jawa, Madura, Plores, dan Toraja. Namun, Istiqhara
lebih memokuskan kajiannnya terhadap pencampuran budaya Suku Bali dan Suku
Asli (Bugis) di Desa tersebut dengan alasan bahwa kedua suku tersebut yang
14
paling dominan di Desa Tamuku. Hasil penelitian Istiqhara membuktikan bahwa
pencampuran Budaya yang terjadi antara kedua suku tersebut bersifat akulturasi.
Artinya, kedua suku menerima dengan proses adaptasi kebudayaan baru dari
masing-masing suku dan menjalankannya tanpa harus meninggalkan budaya asli.
Berdasarkan pemaparan empat hasil penelitian tersebut, belum dijumpai
adanya penelitian yang mengkaji akulturasi budaya di Sulawesi Selatan,
khususnya di Kota Makassar yang merambah pada lingkungan sosial yang lebih
kecil seperti kawasan kelurahan.Peneliti tertarik melakukan penelitian akulturasi
budaya di perkotaan dengan mengambil fokus studi di Kelurahan Antang
dikarenakan di kelurahan tersebut ditemukan kondisi interkasi masyarakat yang
majemuk namun tetap harmonis dan selaras. Kemajemukan terjadi akibat adanya
proses urbanisasi penduduk dari beberapa wilayah.
B. Tinjauan Teori
1. Pengertian Budaya
Budaya (culture) secara luas sebagai makna yang dimiliki bersama oleh
(sebagian besar) masyarakat dalam suatu kelompok sosial. Namun demikian,
karena budaya adalah nilai-nilai yang dirasakan bersama oleh suatu grup
masyarakat (berapa pun ukurannya), pemasar juga dapat menganalisis makna
budaya suatu sub budaya (geografis, usia, etnis, jenis kelamin, dan pendapatan)
atau kelas sosial (kelas atas, kelas menengah, kelas bawah).
Kotler dan Keller (2009: 294) mendefinisikan budaya sebagai berikut;
“culture is the fundamental determinant of a person’s wants and behaviors
acquired through socialization processes with family and other key institutions”
(Budaya adalah penentu fundamental dari keinginan seseorang dan perilaku yang
15
diperoleh melalui proses sosialisasi dengan keluarga dan lembaga penting
lainnya). Dari pendapat Kotler tersebut dapat diartikan bahwa budaya (culture)
merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling dasar dari
seseorang.Sedangkan Prasetijo dan Ihalauw (dalam Kartini, dkk. 2019)
berpendapat bahwa budaya adalah keyakinan, nilai-nilai, perilaku dan objek-objek
materi yang dianut dan digunakan oleh komunitas atau masyarakat tertentu.
Budaya merupakan cara hidup dari masyarakat secara turuntemurun, dan
masyarakat adalah sekelompok orang yang berinteraksi di dalam daerah yang
terbatas dan yang diarahkan oleh budaya mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan budaya adalah cara hidup
yang telah dikonvensi dan mencerminkan kebiasaan dan materi-materi yang
dianut dalam suatu masyarakat.
2. Pengertian Akulturasi
Menurut Suyono, dalam Rumondor (2015: 208) akulturasi merupakan
pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal
dari pertemuan dua atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan
atau saling bertemu. Berdasarkan defenisi ini tampak jelas dituntut adanya saling
pengertian antar kedua kebudayaan tersebut, sehingga akan terjadi proses
komunikasi antarbudaya. Selain itu Nardy (2012: 142) menjelaskan
“Akulturasi (acculturation atau culturecontact) adalah proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri”.
Selanjutnya Hasyim (2011: 34) menjelaskan bahwa akulturasi merupakan
perpaduan antara kedua budaya yang terjadi dalam kehidupan yang serasi dan
16
damai.Dapat disimpulkan bahwa akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan
atau lebih sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur
kebudayaan asli.Akulturasi menurut Organization for Migration (2004)
merupakan adaptasi progresif seseorang, kelompok, atau kelas dari suatu budaya
pada elemen-elemen budaya asing (ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku).
Proses akulturasi akan segera berlangsung saat seorang transmigran
memasuki budaya lokal. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama
transmigran mengadakan kontak langsung dengam sistem sosio-budaya lokal.
Semua kekuatan akulturatif-komunikasi persona dan sosial, lingkungan
komunikasi dan potensi akulturasi mungkin tidak akan berjalan lurus dan mulus,
tapi akan bergerak maju menuju asimilasi yang secara hipotesis merupakan
asimilasi yang sempurna.
Berdasarkan definisi akulturasi diatas kita dapat mengidentifikasi beberapa
elemen kunci seperti:
a. Dibutuhkan kontak atau interaksi antar budaya secara berkesinambungan.
b. Hasilnya merupakan sedikit perubahan pada fenomena budaya atau psikologis
antara orang-orang yang saling berinteraksi tersebut, biasanya berlanjut pada
generasi berikutnya.
c. Dengan adanya dua aspek sebelumnya, kita dapat membedakan antara proses
dan tahap; adanya aktivitas yang dinamis selama dan setelah kontak, dan
adanya hasil secara jangka panjang dari proses yang relatif stabil; hasil
akhirnya mungkin mencakup tidak hanya perubahan-perubahan pada
fenomena yang ada, tetapi juga pada fenomena baru yang dihasilkan oleh
proses interaksi budaya.
17
Berdasarkan beberapa defenisi akulturasi diatas maka dapat disimpulkan
bahwa akulturasi merupakan suatu cara yang dilakukan sejak pertama kali
melakukan kontak agar dapat beradaptasi dengan kebudayaan baru.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akulturasi
Menurut teori yang dikemukakan oleh Redfield (dalam Hasyim, 2011: 37),
terdapat tiga isu yang dapat diidentifikassi sebagai faktor yang mempengaruhi
akulturasi budaya, yaitu:
a. Kontak
Kontak merupakan hal yang penting dalam akulturasi dimana kontak
merupakan “pertemuan” antara setidaknya dua kelompok budaya atau
individu yang secara bersama-sama melakukan kontak secara
“berkesinambungan” dan “langsung”. Akulturasi dapat dikatakan nyata
apabila individu-individu atau kelompok melakukan “interaksi” pada tempat
dan waktu yang sama, bukan melalui pengalaman orang kedua (misalnya
pengalaman dari orang lain yang pernah mengalami kontak langsung dengan
budaya lain) atau kontak secara tidak langsung (misalnya melalui surat
menyurat dengan orang lain yang berbeda budaya).
b. Pengaruh timbal balik.
Berdasarkan teori Redfield pada kalimat “mengalami perubahan dalam
pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok tersebut” memuat maksud
adanya pengaruh timbale balik dimana pada teorinya kedua kelompok saling
mempengaruhi.
c. Perubahan
18
Perubahan merupakan salah satu aspek penting dalam kontak yang
meliputi proses yang dinamis, dan hasil yang mungkin relatif stabil. Hal ini
bermaksud bahwa mempelajari akulturasi kita dapat melihat prose situ sendiri,
seperti bagaimana perubahan dapat terjadi (pertanyaan mengenai proses), apa
yang berubah selama akukturasi (pertanyaan mengenai hasil).
Berkaitan dengan ilmu psikologi, faktor-faktor yang memperkuat potensi
akulturasi dalam taraf individu adalah faktor-faktor kepribadian seperti toleransi,
kesamaan nilai, mau mengambil resiko, keluesan kognitif, keterbukaan dan
sebagainya. Dua budaya yang mempunyai nilai-nilai yang sama akan lebih mudah
mengalami akulturasi dibandingkan dengan budaya yang berbeda nilai
4. BentukKontak Kebudayaan yang Menimbulkan Proses Akulturasi
Bentuk-bentuk kontak kebudayaan yang menimbulkan proses akulturasi
dijelaskan lebih rinci oleh Saebani (2012: 190-191) adalah sebagai berikut:
a. Kontak dapat terjadi antara seluruh masyarakat, antau antar bagian dari
masyarakat, dan terjadi semata-mata antara individu dari dua kelompok.
Namun, unsur-unsur kebudayaan asing yang saling dipresentasikan
bergantung pada jenis-jenis kelompok sosial dan status individu yang bertemu.
b. Kontak dapat diklasifikasikan antara golongan yang bersahabat dan golongan
yang bermusuhan. Dalam banyak kejadian, kontak antara bangsa dan suku
bangsa pada mulanya lebih bersifat pada permusuhan.
c. Kontak dapat timbul antara masyarakat yang dikuasai, baik secara politik
maupun ekonomi. Pada negara-negara jajahan bentuk kontak seperti ini terjadi
dalam suasana penindasan yang menimbulkan gerakan kontra akulturasi.
Yaitu masyarakat yang dijajah berusaha memberikan penilaian yang lebih
19
tinggi kepada kebudayaan sendiri dan bergerak secara agresif.
mengembangkan kembali cara-cara hidup lama yang bersifat mengagungkan,
dan berusaha dengan jalan apaun untuk mengenyahkan penjajah.
d. Kontak kebudayaan dapat terjadi antara masyarakat yang sama besarnnya dan
berbeda besarnnya.
e. Kontak kebudayaan dapat terjadi antara aspek-aspek yang materil dan yang
non materil dari kebudayaan yang sederhana dengan kebudayaan yang
kompleks, dan antara kebudyaan yang kompleks dengan yang kompleks pula.
5. Jenis-Jenis Akulturasi
Menurut Bogardus (dalam Saebani, 2012: 145), terdapat 3 jenis dari
akulturasi, yaitu:
a. Blind acculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika orang-orang dengan
budaya yang berbedaa tinggal secara berdekatan satu sama lain dan pola-pola
budaya dipelajari secara tidak sengaja.
b. Imposedacculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika terdapat unsur
pemaksaan pada posisi suatu budaya oleh budaya lain.
c. Democraticacculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika representasi tiap
budaya menghormati budaya lainnya
6. Kerangka Kerja Akulturasi
Menurut Berry (2017: 272) akulturasi bekerja dengan karakteristiknya
sendiri. Akulturasi memiliki kerangka kerja yang dapat menjelaskan proses
kejadian dan luarannya. Kerangka kerja terus digambarkan sebagai berikut;
20
Gambar 2.1
Kerangka Kerja Akulturasi
Berdasarkan gambar tersebut, Berry (2017: 272) mengemukakan suatu
bentuk kerangka kerja yang mendasari serta menghubungkan akulturasi pada
tingkat kultural dan akulturasi pada tingkat psikologis.Akulturasi pada tingkat
kultural merupakan suatu bentuk akulturasi dimana perubahannya terjadi pada
tingkat kelompok.Perubahan-perubahan tersebut terlihat baik secara fisik,
biologis, politik, ekonomi, dan budaya.Pada tingkat kultural (sebelah kiri) kita
perlu memahami hal utama dari kedua kelompok budaya (A dan B) selama
periode mereka melakukan kontak, sifat hubungan antar keduanya, dan hasil dari
perubahan yang terjadi pada kedua kelompok tersebut.
Akulturasi pada tingkat psikologis merupakan suatu bentuk akulturasi
dimana perubahannya terjadi pada tingkat individu.Perubahan-perubahan tersebut
mencakup perubahan perasaan, perilaku, dan kognitif (Bery, 2001: 172).Pada
tingkat psikologis (sebelah kanan) kita harus mempertimbangkan perubahan
psikologis pada individu didalam suatu kelompok, dan akhirnya adaptasi mereka
21
terhadap situasi baru. Perubahan tersebut dapat terlihat pada perubahan perilaku
misalnya seperti perubahan gaya bicara, cara berpakaian, cara makan, dan pada
identitas budayanya, atau jika terjadi suatu permasalahan maka akan
menghasilkan stress akulturasi misalnya seperti ketidakpastian, kecemasan,
depresi, bahkan psikopatologi (Al-Issa & Tousignant, 1997:56). Adaptasi
utamanya dapat bersifat internal, psikologis, ataupun sosialbudaya, yang
menghubungkan individu dengan yang lainnya pada kelompok yang
baru.Adaptasi dijalankan dengan upaya saling memahami antara satu budaya
dengan budaya yang lainnya.
7. Strategi Akulturasi
Berry (2017: 281) menyatakan sebuah teori yang berhubungan dengan
kerangka kerja akulturasi, yaitu strategi akulturasi. Strategi-strategi ini terdiri dari
komponen sikap dan perilaku yang ditunjukkan dalam pertemuan antar budaya
dari hari ke hari.Konsep utama dari strategi akulturasi dapat diilustrasikan dengan
melihat setiap komponen dalam kerangka pikir akulturasi (Gambar2.1).Pada
tingkat budaya, kedua kelompok yang melakukan kontak biasanya bertujuan
untuk menggabungkan kedua budaya yang ada. Tujuan darimenggabungkan
budaya tersebut juga mempengaruhi strategi yang akan digunakan.
Pada tingkat individu, perubahan perilaku dan fenomena stres akulturasi
dilihat sebagai suatu fungsi yang digunakan oleh anggota kelompok untuk
penetapan strategi yang akan digunakan. Untuk lebih jelasnya berikut ringkasan
empat bentuk identifikasi strategi akulturasi yang dinyatakan oleh Berry (2017:
271), yang ditandai dengan HC (Home Culture atau Kebudayaan asli) dan DC
(Dominan culture atau kebudayaan yang dominan):
22
a. Integrasi
Integrasi terjadi ketika individu memiliki ketertarikan untuk
mempertahankan budaya aslinya (HC) dan pada saat yang sama
mengingkinkan adanya interaksi sehari-hari dengan kelompok lain (DC).
b. Asimilasi
Asimilasi terjadi ketika individu tidak ingin mempertahankan budaya
asli (HC) dan mencari interaksi sehari-hari dengan budaya lainnya
(DC).Kemudian budaya asli tersebut punah dan berganti dengan budaya baru
c. Separasi
Separasi terjadi ketika individu menetapkan nilai-nilai untuk
mempertahankan budaya asli (HC) dan pada saat yang sama berharap untuk
menghindari interaksi dengan orang lain (DC).
d. Marginalisasi
Marginalisai terjadi ketika individu hanya memiliki sedikit kemungkinan
atau keinginan untuk mempertahankan budaya aslinya (HC) dan disaatyang
bersamaan memiliki sedikit keinginan untuk membina hubungan dengan
orang lain (DC).
Untuk lebih mempermudah, berikut merupakan matriks strategi akulturasi
menurut Berry (2017: 285).
Tabel 2.1 Matriks Strategi Akulturasi
Conta
cct
&
Part
isip
ati
on Cultural Maintenance
Ya Tidak
Ya Integrasi (Akulturasi) Asimilasi
Tidak Separasi Marginalisasi
Sumber: Berry (2017: 285)
23
Strategi-strategi tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu sikap (pilihan
individu untuk berakulturasi) dan perilaku (aktifitas atau kegiatan nyata yang
dilakukan individu). Strategi mana yang akan digunakan individu bergantung
pada faktor-faktor tersebut dan terdapat beberapa konsekuensi dari strategi-
strategi tersebut.
8. Dampak Akulturasi
Saebani (2012:191) menguraikan akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh
akulturasi yakni sebagai berikut:
a. Terjadinya perubahan cara pandang tentang kehidupan bermasyarakat dari
cara lama kepada cara yang baru, misalnya silaturahmi kepada orang tua dan
kerabat yang dulu harus dilakukan secara berhadap-hadapan, kini silaturahmi
dapat dilakukan dalam jarak jauh, melalui telepon, pesan singkat, dan lain-
lain.
b. Terjadinya perubahan cara pergaulan serta semakin terbukanya hal-hal yang
awalnya dianggap tabu, misalnya hubungan antarremaja yang semakin
terbuka.
c. Terbukanya wawasan masyarakat menuju pengetahuan yang lebih luas,
misalnya masyarakat menikmati hasil-hasil penemuan baru dan dapat
menerapkan teknologi yang canggih.
d. Perubahan mentalitas, rasa malu, dan kepiawaian masyarakat. Misalnya
perempuan lebih aktif bekerja di luar rumah, berpolitik, menjadi penguasa dan
pengusaha, dan mampu mengendalikan perusahaan besar yang awalnya hanya
dikuasai oleh kaum laki-laki.
24
Saebani (2012:191) menambahkan bahwa dalam meneliti akulturasi, ada
lima golongan masalah mengenai akulturasi, yaitu:
a. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan
melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
b. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan asing apa yang mudah diterima,
dan unsur-unsur kebudayaan asing apa yang sukar diterima oleh masyarakat
penerima.
c. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau
diubah, dan unsur-unsur apa yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-
unsur kebudayaan asing.
d. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan
individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur
kebudayaan asing.
e. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul
sebagai akibat akulturasi.
9. Unsur Budaya yang Diakulturasi
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.Menurut Melville
dan Malinowski (1997: 158), segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Oleh sebab itu, maka perlu adanya pengkajian unsur-unsur
kebudayaan untuk mengetahui kebudayaan apa yang ada dan terjadi dalam suatu
masyarakat. Hal ini karena setiap tempat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya.
25
Koentjaraningrat (2014: 66) menjelaskan bahwa kebudayaan mempunyai
tujuh unsur, yaitu: (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4)
sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6)
sistem religi; dan (7) kesenian. Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari
kebudayaan masyarakat antara lain:
a. Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.Teknologi
menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,serta memelihara
segala peralatan dan perlengkapan.Teknologimuncul dalam cara-cara manusia
mengorganisasikan masyarakat,dalam cara-cara mengekspresikan rasa
keindahan, atau dalammemproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil
yang berpindahpindahatau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian
palingsedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut
jugasistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: (1) alat-alatproduktif;
(2) senjata; (3) wadah; (4) alat-alat menyalakan api;(5) makanan; (6) pakaian;
(7) tempat berlindung dan perumahan; dan(8) alat-alat transportasi
(Koentjaraningrat, 2016: 67).
b. Sistem mata pencaharian hidup
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada
masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: (1) berburu
dan meramu; (2) beternak; (3) bercocok tanam di ladang ; (4) menangkap
ikan. Padahal pada saat ini sistem mata pencaharian hidup manusia sangat
beragam dan terspesialisasi.Begitu beragam dan terspesialisasinya mata
26
pencaharian hidup manusia sehingga tidak mungkin untuk dituliskan atau
disebutkan di sini (Koentjaraningrat, 2016: 68).
c. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat pentingdalam
struktur sosial.Sistem kekerabatan suatu masyarakat dapatdipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakatyang
bersangkutan.Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiridari beberapa
keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubunganperkawinan.Anggota
kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,menantu, cucu, kakak, adik, paman,
bibi, kakek, nenek danseterusnya. Dalam kajian sosiologi antropologi, ada
beberapa macamkelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil
hingga besarseperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat
(Koentjaraningrat, 2016: 69).
Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain
seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan
bangsa dan negara.Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama,
manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang tidak dapat mereka capai sendiri (Koentjaraningrat, 2014: 72).
d. Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan,
27
ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati,
kehendak atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui
bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku,
tata karma masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan
segala bentuk masyarakat.Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi
menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah
sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi , dan alat untuk mengadakan
integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah
untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni
(sastra), mempelajari naskahnaskah kuna, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi (Koentjaraningrat, 2016: 71).
e. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yangberasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmatidengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai citarasa tinggi, manusia
menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dariyang sederhana hingga
perwujudan kesenian yang kompleks (Koentjaraningrat, 2016: 71).
f. Sistem kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisikmanusia
dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasiarahasiaalam
sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinanakan adanya penguasa
tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang jugamengendalikan manusia sebagai
salah satu bermasyarakat, manusiatidak dapat dilepaskan dari religi atau
sistem kepercayaan kepadapenguasa alam semesta. Agama dan sistem
28
kepercayaan lainnyaseringkali terintegrasi dengan kebudayaan.Agama
(religion), yangberasal dari bahasa Latin religare, yang berarti menambatkan),
adalahsebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat
manusia.Agama didefinisikan sebagai sebagaiajaran, sistem yang mengatur
tata keimanan, kepercayaan, danperibadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa
serta tata kaidah yangberhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
sertalingkungannya (KBBI, 2008).
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris)
yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang dibagi menjadi fungsi
umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat
untuk berekspresi, berkomunikasi , dan alat untuk mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk
mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni
(sastra), mempelajari naskah-naskah kuna, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
g. Sistem ilmu dan pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang
benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan.Pengetahuan dimiliki oleh semua
suku bangsa di dunia.Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman,
intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang
bersifat empiris (trial and error) (Koentjaraningrat, 2016: 73). Sistem
pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi: (1) pengetahuan tentang alam;
(2) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya; (3)
29
pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah
laku sesama manusia; dan (4) pengetahuan tentang ruang dan waktu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen atau unsur
kebudayaan yang dapat diakulturasi dari sebuah kontak budaya meliputi tujuh
unsur yaitu (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem
peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem
religi; dan (7) kesenian
10. Hal-Hal Penting Mengenai Penelitian Akulturasi
Berry (2017: 291) menyebutkan beberapa bagian yang sangat penting untuk
diperhatikan oleh seorang peneliti jika hendak mengkaji tentang akulturasi
budaya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai panduan riset akulturasi. Adapun
bagian penting tersebut sebagai berikut:
a. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan.
Bahan mengenai keadaan masyarakat penerima sebenarnya merupakan
bahan tentang sejarah dari masyarakat yang bersangkutan.Apabila ada
sumber-sumber tertulis, maka bahan itu dapat dikumpulkan dengan
menggunakan metode yang biasa dipakai oleh para ahli sejarah. Bila sumber
tertulis tidak ada, peneliti harus mengumpulkan bahan tentang keadaan
masyarakat penerima yang kembali sejauh mungkin dalam ruang waktu,
misalnya dengan proses wawancara. Dengan demikian, seorang peneliti dapat
mengetahui keadaan kebudayaan masyarakat penerima sebelum proses
akulturasi mulai berjalan. Saat inilah yang disebut “titik permulaan dari proses
akulturasi” atau base line of acculturation. Hal ini dapat memudahkan
peneliti dalam melihat dan menilai sejauh mana perubahan yang terjadi.
30
b. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur
kebudayaan asing.
Individu-individu ini disebut juga agents of acculturation. Pekerjaan dan
latar belakang dari agents of acculturation inilah yang akan menentukan corak
kebudayaan dan unsur-unsur apa saja yang akan masuk ke dalam suatu daerah.
Hal ini terjadi karena dalam suatu masyarakat, apalagi jika masyarakat itu
adalah masyarakat yang luas dan kompleks, warga hanya mengetahui sebagian
kecil dari kebudayaannya saja, biasanya yang berkaitan dengan profesi dan
latar belakang warga tersebut.
c. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk
ke dalam kebudayaan penerima.
Hal ini penting untuk mengetahui gambaran yang jelas dari suatu proses
akulturasi. Contohnya adalah apabila kita ingin mengetahui proses yang harus
dilalui oleh kebudayaan pusat untuk masuk ke dalam kebudayaan daerah,
maka saluran-salurannya adalah melalui sistem propaganda dari partai-partai
politik, pendidikan sekolah, garis hirarki pegawai pemerintah, dan lain-lain.
d. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur
kebudayaan asing tadi
Unsur-unsur kebudayaan asing yang diterima tiap golongan-golongan
dalam masyarakat berbeda-beda.Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
bagian-bagian mana dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-
unsur kebudayaan asing tersebut.
e. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.
Terbagi menjadi dua reaksi umum, yaitu reaksi “kolot” dan reaksi
“progresif”. Reaksi “kolot” adalah reaksi menolak unsur-unsur kebudayaan
asing, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengunduran diri pihaknya dari
31
kenyataan kehidupan masyarakat, kembali ke kehidupan mereka yang sudah
kuno. Reaksi “progresif” adalah reaksi yang berlawanan dengan”kolot”, reaksi
yang menerima unsur-unsur kebudayaan asing.
11. Pengertian Urbanisasi
Ningsih (2002: 43) mengemukakan bahwa dalam rangka menemukan
sebuah definisi atau konsepsi urbanisasidiperlukan beberapa pertimbangan,
dimana pertimbangan ini didasarkanatas sifat yang dimiliki arti dan istilah
urbanisasi, yaitu multi-sektoral dan kompleks.
a. Dari segi demografi, urbanisasi dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan
melalui perubahan penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Masalah-
masalah mengenai kepadatan penduduk berakibatlanjut terhadap masalah
perumahan dan masalah kelebihan tenaga kerja menjadi masalah yang sangat
merisaukan karena dapat menghambat pembangunan. Pemerintah secara
khusus menangani masalah perumahan dengan diadakannya Departemen
Perumahan.
b. Dari segi ekonomi, urbanisasi adalah perubahan struktural dalamsector mata
pencaharian. Ini dapat dilihat dari banyaknya pendudukdesa yang
meninggalkan pekerjaannya di bidang pertanian, beralihbekerja menjadi buruh
atau pekerja kasar yang sifatnya non agraris dikota. Masalah-masalah yang
menyangkut mata pencaharian sector informasi atau yang lebih dikenal
dengan istilah pedagang kaki lima.
c. Dalam pengertian sosiologi maka urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup
penduduk dalam lingkungan pedesaan yang mendapat pengaruh dari
kehidupan kota. Dalam hal ini apakah mereka dapat bertahan pada cara hidup
32
desa ataukah mereka mengikuti arus cara hidup orang kota yang belum
mereka kenal secara mendalam, sehingga akan dapat menimbulkan masalah-
masalah sosiologis yang baru. Dari segi sosiologi, urbanisasi dapat
menimbulkan lapisan social yang baru dan menjadi beban kota, karena
kebanyakan dari mereka yang tidak berhasil hidup layak di kota akan menjadi
penggelandang membentuk daerah slum atau daerah hunian liar.
d. Dari segi geografi, urbanisasi ini dilihat dari segi distribusi, difusi perubahan
dan pola menurut waktu dan tempat, hal ini tercermin dari pernyataan:
“Geography deals first and foremost with spatial aspects of urbanization,
it’s purpose being to reveal it’s forms geography variants and types and
the specific features of the particular course taken by urbanization under
the impact of different social, economic and natural conditions” (Marbun,
2011: 24)
Pernyataan di atas menyatakan jika ditinjau dari konsep keruangan dan
ekologis, urbanisasi merupakan gejala geografis karena adanya gerakan atau
perpindahan penduduk dari satu wilayah atau perpidahan penduduk ke luar
wilayahnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan alam
yang berbeda
Kata Urbanisasi atau urbanization didefinisikan oleh Munir (2000: 69)
sebagai bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang
disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota atau akibat dari perluasan
daerah kota. Urbanisasi dapat terjadi melalui dua cara yaitu; perpindahan
penduduk dari desa ke kota (rural urban migration) dan kedua karena berubahnya
daerah pedesaan yang karena beberapa faktor lambat laun menjadi daerah
perkotaan (Sinulingga, 2013: 61). Pada umunya di negara-negara maju tingkat
33
urbanisasi sangat tinggi dibanding di negara-negara berkembang. Urbanisasi
dipandang pula sebagai suatu proses dalam arti sebagai berikut:
a. Meningkatnya jumlah penduduk kota menjadi lebih banyak sebagai akibat dari
pertambahan penduduk, baik oleh hasil fertilitas penghuni kota maupun
karena adanya tambahan penduduk dari desa yang bermukim dan berkembang
di kota.
b. Bertambahnya jumlah kota dalam suatu negara atau wilayah sebagai akibat
dari perkembangan ekonomi, budaya dan teknologi yang baru.
c. Berubahnya kehidupan desa atau suasana desa menjadi kehidupan kota. Knox
(dalam Soetomo 2009: 38) menjelaskan pengertian urbanisasi sebagai suatu
proses perubahan: “Urbanization is a process of changes: size, densities and
composition of population, economic structure and human behavior”.
Knox (dalam Soetomo 2009: 41) menjelaskan urbanisasi sebagai proses
perubahan ukuran suatu kota, penambahan komposisi penduduk, dan perubahan
struktur ekonomi. Lebih lanjut, Knox merumuskan proses urbanisasi sebagai
proses yang dimotori oleh perubahan ekonomi yang mendorong dan di dorong
oleh faktor-faktor menusia, sumber daya alam dan teknologi (sumber daya buatan)
dan menghasilkan keluaran keadaan ekonomi, sosial dan fisik serta masalah-
masalah yang menjadi bahan yang harus di atasi dalam penentuan kebijakan
pembangunan kota. Model yang dikemukakan oleh Knox tersebut seperti yang
terlihat pada gambar 2.2 berikut ini;
34
Gambar 2.2
Proses Urbanisasi Paul Knox (dalam Soetomo, 2009: 43)
Gambar di atas terlihat tiga kelompok kejadian, yang pertama adalahproses
perubahan atau urbanisasi itu sendiri dan faktor ekonomi memotori Dalam
diagram terlihat tiga kelompok kejadian, yang pertama adalah proses perubahan
atau urbanisasi itu sendiri dan faktor ekonomi memotori yang mendorong
perubahan pada segala aspek: kependudukan, politik, budaya, sosial, teknologi,
sumber daya lingkungan, dan hasil-hasil sejarah. Dan yang ke dua adalah hasil
perubahan tersebut, dalam proses urbanisasi kearah internal dalam kota
menghasilkan produk-produk fisik lingkungan atau morfologi kota, interaksi
sosial atau ekologi sosial, pemanfaatan lahan, menciptakan kehidupan perkotaan
dalam segala aspek (sosial, politik,ekonomi, budaya) atau yang disebut juga
urbanism. Sedangkan ke arah eksternal menciptakan urban system dalam lingkup
sistem regional baik fisik maupun non fisik (sosial, ekonomi, budaya, politik atau
penguasaan wilayah). Proses urbanisasi dengan produk-produknya merupakan
hasil bentuk pembangunan itu sendiri dari seluruh aspek kehidupan dan fisik
lingkungan serta pada berbagai skala: dari lingkungan pemukiman, kota, regional,
nasional dan internasional.
35
12. Sebab- Sebab Urbanisasi
Lee (2014: 79) menyebutkan bahwa pada umumnya dapat dikemukakan tiga
sebab urbanisasi yaitu: (a) arus perpindahan penduduk dari desa ke kota, (b)
pertambahan penduduk secara alami, (c) tetariknya pemukiman pedesaan ke
dalam konteks kota.
a. Migrasi
Arus perpindahan dari desa ke kota biasanya dipandang sebagai salah
satu faktor penyebab utama yang menjadi dasar proses urbanisasi. Pada
umumnya perpindahan penduduk dari desa ke kota dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu; faktor pendorong, faktor penarik, dan faktor penghambat atau
penghalang.
1) Faktor pendorong utama adalah kondisi daerah asal
(pedesaan),diantaranya adalah tekanan ekonomi, jumlah keluarga yang
banyak,lapangan usaha, dan pekerjaan terbatas serta fasilitas hidup yang
terbataspula.
2) Faktor penarik merupakan faktor yang berasal dari kota yangmeliputi:
tersedianya bebagai fasilitas hidup yang lebih baik, terbukanyalapangan
usaha dan pekerjaan, tingkat upah dan gaji yang relatif lebihdaripada
penghasilan di desa. Semua faktor-faktor ini menyebabkantingkat sosial
ekonomi masyarakat perkotaan relatif lebih tinggidibandingkan
masyarakat pedesaan dan hal ini yang menjadi daya Tarik masyarakat desa
untuk pindah dari desa ke kota.
3) Faktor ketiga adalah faktor penghalang atau penghambat bagi para
pendatang yang antara lain meliputi: jarak antar kota dan desa cukup jauh
36
serta kurang tersedianya alat transportasi dan komunikasi di desa sehingga
kota sulit terjangkau serta pertimbangan-pertimbangan lain seperti ketidak
pastian untuk meraih kehidupan yang lebih baik di kota menjadi
pertimbangan bagi penduduk desa untuk pindah ke kota. Faktorpendorong
dan faktor penarik secara bersama-sama akan menimbulkanarus migrasi
(perpindahan) penduduk dari desa ke kota yang menjaditinggi bahkan
melebihi pertumbuhan daya serap kota dalam menampungjumlah
pendatang baru. Kondisi seperti ini disebut “over urbanization” atau
urbanisasi berlebih, dimana kondisi seperti ini dapat menimbulkan
berbagai dampak.
b. Pertumbuhan alamiah
Pertumbuhan penduduk alamiah adalah pertumbuhan penduduk yang
dipengaruhi oleh kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Fertilitas
adalah proses lahirnya seorang bayi dari rahim perempuan dengan adanya
tanda-tanda kehidupan seperti bernafas, menangis dan bergerak, sedangkan
mortalitas adalah peristiwa hilangnya semua tandatanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi tiap saat setelah kelahiran hidup (Junaidi, 2009).
Suatu wilayah dikatakan tengah mengalami pertumbuhan penduduk apabila
terdapat selisih positif antara kelahiran dan kematian. Pertambahan penduduk
melalui proses salami ini menjadi semakin besar karena adanya perbaikan-
perbaikan besar dalam pemeliharaan kesehatan.
c. Reklasifikasi wilayah
Pengertian reklasifikasi wilayah mencakup pengertian diubahnya status
suatu wilayah yang dahulunya desa menjadi bagian dari wilayah
37
perkotaan.Hal itu berarti penduduk yang tinggal di daerah yang mengalami
reklasifikasi akan dihitung sebagai penduduk kota.
13. Dampak Urbanisasi Berlebih
Urbanisasi berlebih di Indonesia menimbulkan dampak baik dampak positif
maupun dampak negatif (Graeme dalam Junaidi, 2009: 35).Dampak positif adalah
dampak yang dialami oleh daerah yang ditinggalkan (daerah
pedesaan)diantaranya adalah meningkatnya pendapatan, kesehatan,
kesejahteraan,perubahan sosial serta meningkatnya peran secara tradisional
(khususnyawanita).Sedangkan dampak negatifnya untuk daerah perkotaan
diantaranyaadalah meningkatnya pengangguran dan setengah pengangguran.
Pertambahan kesempatan kerja yang terbuka di kota tidak dapat
mengimbangi tenaga kerja pendatang dari desa. Penduduk pendatang dari desa
dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu: kelompok yang
berpendidikan serta memiliki ketrampilan atau keahlian dan kelompok yang tidak
berpendidikan serta tidak memiliki ketrampilan atau keahlian. Kelompok yang
berpendidikan berharap untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikan serta keahliannya di kota, sementara yang tidak berpendidikan
bersedia mendapatkan pekerjaan apa saja asalkan dapat memberikan penghasilan.
Kesenjangan antara jumlah pencari kerja dengan kesempatan kerja yang terbuka
di kota-kota menimbulkan masalah yang serius yaitu bertambahnya jumlah
pengangguran dan setengah pengangguran. Kondisi yang demikian ini
menciptakan dampak yaitu; (a) Tingkat kesejahteraan menurun (ditandai dengan
tidak sebandingnya pendapatan riil dengan pengeluaran riil); (b) Meningkatnya
persaingan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan; (c) Munculnya daerah kumuh
38
(tak layak huni); (d) Meningkatnya kriminalitas; (e) Banyaknya tuna wisma dan
tuna karya; (f) Meningkatnya tingkat kebisingan dan lain-lain yang menyebabkan
kota menjadi kurang nyaman.
14. Konsep Perkotaan
Istilah kota berasal dari sejarah perkotaan di Eropa kuno. Pada zaman
Yunani Kuno kota-kota yang padat pada saat itu dianggap sebagai republik kecil,
letaknya terpencar-pencar di wilayah pegunungan yang dinamakan “polis”. kota-
kota pada waktu itu berupa benteng pasukan pendudukan romawi di negeri-negeri
Eropa yang disebut “urbis” dan lahan di luar kota di atas parit-parit yang
mengelilingi benteng disebut “suburbis”. Dari istilah-istilah ini kemudian muncul
istilah “urban” dan “suburban”, sedangkan pedesaan di luar kota penduduknya
adalah petani disebut “Ru” dan dari sinilah timbul istilah “rural”. Sementara itu
suatu benteng dinamakan Kota apabila menjadi pusat perdagangan dan
pertukangan yang memungkinkan berfungsinya pasar dalam kota (Daldjoeni,
1986: 12).
Menurut Sullivan, A.O. (2003: 56) daerah urban (urban area) adalah suatu
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi daripada
daerah lain. Daerah urban dicirikan dengan kegiatan pemukiman yang dominan di
sektor non-agraris dan menjadi pusat kegiatan perekonomian (yaitu produksi,
distribusi dan konsumsi) baik untuk daerah itu sendiri maupun untuk daerah di
sekitarnya (hinterland).
Di Indonesia, jumlah penduduk merupakan ukuran besar kecilnya kota. Kota
kecil adalah kota yang mempunyai jumlah penduduk antara 5.000 sampai dengan
50.000 orang, kota sedang yaitu kota yang berpenduduk antara 50.000 orang
39
sampai dengan 500.000 orang, sedangkan kota besar adalah kota yang
berpenduduk 500.000 ke atas (Reksohadiprodjo, 2001: 24). Kota yang memiliki
penduduk lebih dari satu juta orang disebut kota Metropolitan, yaitu suatu wilayah
yang memiliki ciri sebagai suatu pusat perdagangan, industri, budaya dan
pemerintahan yang dikelilingi oleh daerah semi urban (suburban), kawasan
perumahan atau kota-kota kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal.
15. Teori Perkembangan Kota
Urbanisasi bukanlah fenomena kependudukan semata, namun juga terkait
dengan berbagai dimensi sosio-ekonomi.Terlebih lagi urbanisasi terkait dengan
perkembangan kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja
pertanian (Davis dalam Reksohadiprodjo,2001: 24).).Teori ini mengisyaratkan
terdapatnya kaitan antara industrialisasi dan perkembangan
perkotaan.Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi desa-kota yang
akhirnya mendorong lebih jauh ke arah urbanisasi.
Teori klasik, seperti central-place-theory yang dikemukakan oleh Christaller
mengilhami model perkembangan kota. Dari sudut pandang geografi, teori ini
memiliki dua konsep yaitu: threshold (jarak jangkauan minimal untuk dapat
bertahan) dan range (jarak jangkauan sesungguhnya yang dapat dicapai). Jika
dalam sebuah pasar threshold lebih besar dibanding range, maka ia akan mati, dan
sebaliknya jika range lebih besar daripada threshold, maka pasar itu akan
berkembang dan bahkan tumbuhmenjadi daerah perkotaan.
Teori klasik yang cukup banyak dianut di kalangan geografi ini sebenarnya
belum dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai urbanisasi
kontemporer.Teori klasik umumnya hanya melihat ke dalam ketika menjelaskan
40
faktor-faktor penyebab perkembangan perkotaan. Peran proses (ekonomi) global
yang memunculkan fenomena kota-kota global (global cities) tidak mendapat
perhatian. Padahal, internasionalisasi produksi, jasa dan kapital yang dimotori
oleh perusahaan transnasional amat besar peranannya dalam mempengaruhi
perkembangan kota-kota yang terlibat dalam proses tersebut. Menurut McGee dan
Douglas (1995 dalam Firman 1996: 78), proses urbanisasi yang terjadi di Asia
dewasa ini pada dasarnya mencerminkan integrasi kota-kota ke dalam sistem
ekonomi global, yang digerakan oleh akumulasi kapital pada skala dunia. Proses
ini disebut pula sebagai megaurbanization, yang tampaknya akan menjadi
kecenderungan (trends) urbanisasi di Asia, termasuk Indonesia.
Lebih jauh, Amstrong dan McGee (1985 dalam Chotib 2002: 73)
mengajukan teori tentang pembentukan kota-kota berdasarkan penelitiannya di
Asia dan Amerika Latin.Mereka mengemukakan bahwa kota-kota pada dasarnya
“teater dari akumulasi kapital” yang mengalami penetrasi ke negara-negara
berkembang. Meskipun urbanisasi yang terjadi di negara berkembang merupakan
bagian integrasi dari akumulasi kapital di negara maju, namun dalam proses
perkembangannya terdapat banyak perbedaan. Perbedaan ini bertitik tolak dari
kenyataan demografi dan ekonomi yang terjadi di negara berkembang. Itu sebabya
urbanisasi yang terjadi di negara berkembang dikatakan sebagai “pseudeo
urbanization”, dari pada “true urbanization” di negara maju.
Teori yang menekankan adanya interaksi antara sistem produksi dan regulasi
pada tingkat nasional, perspektif globalisasi dan modernisasi dikembangkan
dalam sebuah model perkembangan perkotaan yang lebih komprehensif, yaitu
teori regulasi (Prabatmodjo, 2000: 51).Model tersebut mencakup faktor-faktor
41
struktural pada tingkat internasional maupun nasional/regional serta faktor sosial-
demografi.Perkembangan perkotaan dan urbanisasi merupakan resultan
bekerjanya faktor-faktor tersebut.
Gambar 2.3
Model Perkembangan Kota(Prabatmojo, 2000: 45)
16. Struktur Perkotaan
Struktur perkotaan dalam suatu wilayah menentukan maju atautidaknya
pembangunan di wilayah bersangkutan.Struktur perkotaan adalahkondisi
perkotaan di suatu wilayah yang biasanya diidentifikasi berdasarkanjumlah
penduduk yang tinggal di perkotaan (tingkat urbanisasi) tersebut.Struktur
perkotaan di masing-masing wilayah juga berbeda, tergantung padafaktor-faktor
42
yang menarik di wilayah kota yang bersangkutan, seperti lapangan kerja yang
tersedia beserta besarnya upah dan juga infrastrukturyang tersedia di kota tersebut.
Daerah perkotaan yang memiliki faktorpenarik yang lebih banyak cenderung
diikuti oleh jumlah penduduk diperkotaan tersebut semakin besar. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ghalib(dalam Chotib 2006: 71) bahwa penduduk memerlukan
pekerjaan yangproduktif atau pekerjaan yang layak, sehingga banyak penduduk
yangmemilih tinggal di kota dari pada di desa.
Tumbuh berkembangnya sektor non-primer (proses industrialisasi) disuatu
daerah bisa merupakan akibat gagalnya sektor pertanian tetapi bisajuga akibat
berhasilnya sektor pertanian di suatu daerah.Sektor pertanianyang gagal
berkembang bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangmemadainya
teknologi yang diperlukan, rendahnya kualitas SDM atautenaga kerja dan
berpindahnya tenaga kerja di sektor tersebut ke sektor nonprimer.Akibatnya
produktivitas sektor pertanian tersebut menjadi rendahyang berakibat rendahnya
pendapatan.Rendahnya pendapatan inimenyebabkan penduduk yang bekerja di
sektor itu memiliki taraf hidupyang rendah. Didorong oleh keinginan untuk
memperbaiki taraf hidupnyamaka banyak pekerja di sektor primer tersebut pindah
ke sektor non primeryang dianggap mampu memberikan upah yang lebih besar,
dan ini sangatmenunjang berkembangnya proses industrialisasi di suatu daerah.
Berhasilnya pembangunan sektor pertanian juga menunjangtumbuhnya
industrialisasi di suatu daerah. Berkembangnya sektor pertaniandi suatu daerah
perlu ditunjang oleh ketersediaan peralatan maupun bahan bahan lain guna
meningkatkan produktivitas sektor pertanian tersebut. Hal ini mendorong
tumbuhnya industri untuk menghasilkan input bagi sector pertanian tersebut
43
seperti pupuk, penyediaan bibit maupun penyediaan mesin-mesin guna produksi
sektor pertanian tersebut. Selain itu apabila produksi hasil pertanian itu dapat
optimal dan berkualitas, maka hal ini akan mendororng tumbuhnya industri
pengolahan hasil pertanian. Tumbuhnya industri-industri ini baik industri
penyedia input pertanian maupun pengolahan hasil pertanian ini, akan mendorong
tumbuhnya proses industrialisasi lebih lanjut yang pada akhirnya akan
mempengaruhi proses urbanisasi di daerah yang bersangkutan.
C. Kerangka Pikir
Makassar merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan status
tersebut, Makassar menjadi kota tujuan banyak orang dengan berbagai
kepentingan di dalamnya, seperti menempuh pendidikan, kunjungan wisata,
kepentingan dinas, bahkan mencari pekerjaan dan bermukim atau menetap
sebagai warga ibukota, yang demikian itu disebut sebagai urbanisasi.
Urbanisasi merupakan proses perpindahan penduduk dari daerah perdesaan
ke perkotaan dengan cara-cara dimana setiap populasi tersebut berusaha
beradaptasi dengan kondisi yang baru.Masyarakat urban di Kota Makassar dapat
dijumpai di beberapa wilayah kelurahan, salah satunya di Kelurahan
Antang.Memasuki kondisi sosial yang baru, masyarakat urban sejatinya harus
mampu beradaptasi dengan kondisi sosial yang barunya. Kemampuan adaptasi
inilah yang mempertemukan kebudayaan masyarakat urban itu sendiri dengan
kebudayaan masyarakat asli dengan cara interaksi sosial. Dari interaksi tersebut,
sangat dimungkinkan terjadinya akulturasi budaya. Akulturasi budaya merupakan
suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
44
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri dan menjadi suatu kebudayaan baru. Jadi, antara masyarakat urban dan
penduduk asli Kelurahan Antang dimungkinkan terjadi penerimaan dan
pengelolaan antarbudaya ke dalam budaya masing-masing.
Akulturasi budaya bukanlah proses yang singkat. Dibutuhkan waktu yang
panjang untuk memahami dan mengolah kebudayaan baru menjadi bagian dari
kebudayaan sendiri.Demikian pula yang dialami oleh masyarakat urban di Kota
Makassar khususnya di Kelurahan Antang.Terkait akulturasi budaya, maka semua
komponen atau unsur kebudayaan dapat diakulturasi. Setidaknya, ada tujuh
komponen kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai objek akulturasi seperti (1)
bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup
dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi; dan (7)
kesenian. Sebagai proses yang panjang akulturasi dapat berlangsung di suatu
kelompok sosial majemuk dengan berbagai strategi seperti integrasi, asimilasi,
separasi, dan marginalisasi.
Oleh karena akulturasi sebagai proses interaksi dan pencampuran budaya,
maka dampak yang ditimbulkan pun tidak dapat terelakkan, ada yang sifatnya
positif dan ada pula yang negatif. Dari dampak tersebutlah yang kemudian
menjadi faktor pendukung sekaligus dapat menjadi faktor penghambat akulturasi
suatu kebudayaan.
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi secara objektif fenomana akulturasi
budaya masyarakat urban di Kelurahan Antang Makassar.Fokus penelitian ini
pada penggambaran realitas wujud akulturasi budaya yang terjadi, strategi
45
akulturasi yang digunakan, dampak akulturasi yang terjadi, serta faktor
pendukung dan penghambat akulturasi.
Penjelasan mengenai kerangka pikir penelitian di atas dapat disajikan dalam
gambar kerangka pikir berikut;
Gambar 2.4
Bagan Kerangka Pikir
Penduduk Asli
Masyarakat Kelurahan
Antang Makassar
Strategi
Akulturasi
Budaya
Proses Akulturasi
Budaya
Wujud
Akulturasi
Budaya
Penduduk Urban
Kontak Budaya
Faktor Pendukung &
Penghambat
Akulturasi
Dampak
Akulturasi
Budaya
Analisis
Temuan
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Ditinjau dari ketelibatan peneliti selama penelitian berlangsung, jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dalah penelitian lapangan atau
Field Research. Penelitian jenis ini menghendaki peneliti secaran langsung
kelokasi dan sekaligus peneliti terlibat langsung dengan objek yang diteliti.
Ditinjau dari tingkat eksplanasinya, jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memahami
fenomena atau peristiwa mengenai akulturasi budaya yang terjadi di suatu
kelompok masyarakat yang selanjutnya menghasilkan data atau informasi yang
disajikan dalam bentuk deskripsi.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena
akulturasi budaya yang terjadi di Kelurahan Antang Makassar dibedakan menjadi
tiga yaitu; (1) pendekatan sejarah; (2) pendekatan antropologi; dan (3) pendekatan
sosiologi. Kegunaan ketiga pendekatan tersebut diuraikan sebagai berikut;
1. Pendekatan sejarah digunakan sebagai acuan dasar dalam menandai dan
menginterpretasi budaya yang merupakan produk akulturasi. Sebab, untuk
mengetahui suatu kebudayaan masa kini sebagai sebuah kebudayaan asli atau
kebudayaan hasil akulturasi, maka sangat penting dilakukan penelusuran dan
telaah mendalam terkait asal-usul atau sejarah terbentuknya kebudayaan itu
sendiri.
47
2. Pendekatan antropologi digunakan sebagai acuan dasar dalam menandai dan
menginterpretasi manusia dan kebudayaannya. Dengan pendekatan ini,
peneliti dapat memperoleh informasi terkait pemetaan variasi kebudayaan di
dalam dua kelompok budaya yang berbeda yaitu penduduk lokal dan
penduduk urban. Untuk memahami suatu akulturasi budaya, tentu seorang
peneliti terlebih dahulu memiliki informasi yang akurat tentang peta budaya
dari kelompok budaya yang berbeda. Dari pengetahuan tersebut, peneliti dapat
dengan jelas mengidentifikasi budaya hasil akulturasi dari kedua kelompok
sebagai peta budaya baru.
3. Pendekatan sosiologi digunakan sebagai acuan dalam menandai dan
menginterpretasi manusia dalam berbagai seluk beluk interaksinya dengan
manusia yang lain. Pendekatan ini digunakan oleh peneliti sebagai acuan dasar
dalam melihat interaksi budaya dalam satuan individu atau kelompok antar
budaya yang berbeda. Jadi, dengan pendekatan ini, peneliti dapat melihat
inyerkasi yang terjadi antarbudaya sehingga melahirkan budaya baru sebagai
hasil akulturasi.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala,
Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan lokasi ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa Kelurahan Antang merupakan salah satu kelurahan yang
paling banyak mendapatkan tujuan urbanisasi dari masyarakat luar kota. Dari
intensitas tujuan urbanisasi tersebut, ditemukan adanya realitas interaksi budaya
yang harmonis.Dari temuan tersebut, sangat dimungkinkan bahwa antara
48
masyarakat urban dan masyarakat lokal terjadi interaksi budaya yang melahirkan
kebudayaan baru yang selanjutnya disebut sebagai akulturasi
budaya.Pertimbangan lainnya, lokasi tersebut juga sangat strategi bagi peneliti
dalam hal jangkauan lokasi dan masyarakatnya yang sangat kooperatif.
2. Waktu Penelitian
Mempertimbangkan karakteristik penelitian, kondisi masyarakat, dan
kalender akademik, maka waktu penelitian ini ditetapkan pada bulan Juni 2019
sampai dengan Agustus 2019. Gambaran waktu penelitian beserta kegiatannya
disajikan dalam tabel berikut;
Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Penelitian
No. Kegiatan Bulan
Juni Juli Agustus
1 Persuratan
2 Pengumpulan Data
3 Analisis Data
4 Penyusunan Laporan
5 Skripsi
D. Fokus Penelitian
Penelitian akulturasi budaya masyarakat perkotaan ini difokuskan pada
masyarakat urban yang ada di Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Kota
Makassar. Adapun aspek akulturasi yang akan diteliti meliputi; (1) wujud atau
bentuk akulturasi budaya yang terjadi dari interaksi budaya penduduk asli
Kelurahan Antang dengan penduduk urban; (2) strategi akulturasi yang
digunakan; (3) dampak yang terjadi dari interaksi budaya yang melahirkan
49
akulturasi antara penduduk asli Kelurahan Antang dengan penduduk urban; dan
(4) faktor pendukung dan penghambat akulturasi.
E. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini adalah semua informasi terkait akulturasi budaya
yang terjadi di Keluarahan Antang Makassar.Data dibedakan menjadi dua yaitu
data primer dan data sekunder. Penjelasan terkait kedua jenis data tersebut sebagai
berikut;
a. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh langsung oleh peneliti dari
narasumber atau informan. Data ini berupa; (1) informasi wujud asli
kebudayaan dari kedua kelompok masyarakat, (2) informasi wujud baru
kebudayaan hasil akulturasi budaya dari kedua kelompok masyarakat, (3)
informasi strategi akulturasi budaya, (4) informasi dampak yang terjadi dari
peristiwa akulturasi budaya, dan (5) faktor pendukung dan penghambat
akulturasi budaya antar kedua kelompok masyarakat.
b. Data sekunder merupakan data yang diperoleh tidak secara langsung oleh
peneliti melainkan telah tersedia dalam bentuk dokumen seperti gambar (foto),
rekaman video, atau dokumen tertulis seperti buku atau jurnal. Data sekunder
ini digunakan untuk melengkapi data primer.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga yaitu sumber data
kepustakaan, informan atau narasumber, dan dokumentasi. Ketiga jenis sumber
data tersebut dijelaskan sebagai berikut;
50
a. Sumber data kepustakaan diperoleh melalui telaah atau kajian pustaka seperti
buku, jurnal, majalah, atau sumber kepustakaan lainnya yang menyajikan
informasi terkait teori akulturasi budaya, urbanisasi, atau laporan terkait
budaya yang akan diteliti. Sumber data kepustkaan ini sangat penting
digunakan pada tahap studi pendahuluan.
b. Sumber data informan atau narasumber merupakan orang yang dipilih untuk
dimintai keterangan atau informasi terkait fokus penelitian. Informan atau
narasumber dipilih dengan kriteria; (a) bersikap kooperatif dan bersedia
memberikan informasi secara objektif; (b) memahami dan memiliki
pengetahuan yang luas terkait akulturasi budaya; serta (c) penduduk atau
masyarakat asli maupun urban yang tinggal di Kelurahan Antang Makassar
kurang dari sepuluh tahun. Penetapan sumber data informan atau narasumber
bersifat purposive. Artinya, penetapan informan atau narasumber dikendalikan
langsung oleh peneliti sesuai dengan kebutuhannya kecukupan data.
F. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data dalam peneliti ini adalah peneliti itu sendiri
yang menjadi instrumen kunci (human instrumental).Artinya, peneliti
memosisikan diri terlibat secara langsung mengumpulkan data di
lapangan.Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian jenis penelitian bahwa
penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fieldresearch), dengan demikian
peneliti harus terlibat secara langsung dalam mengamati lapangan dan
mengumpulkan data. Meskipun peneliti merupakan instrumen kunci, dalam
pelaksanaannya peneliti tetap menggunakan beberapa alat bantu seperti pedoman
wawancara, kamera, dan alat rekam audio.
51
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat
yaitu; (1) teknik studi pustaka, (2) teknik wawancara, (3) FGD, dan (4) teknik
dokumentasi. Ketiga teknik tersebut diuraikan sebagai berikut;
1. Teknik studi pustaka digunakan untuk menelaah atau mengkaji berbagai
kepustakaan yang terkait dengan fokus penelitian ini, seperti buku atau
literatur, jurnal, majalah, atau kepustakaan lainnya. Teknik studi pustaka ini
sangat penting dilakukan pada tahapan studi pendahuluan. Selanjutnya, hasil
studi pustaka tersebut nantinya dimanfaatkan untuk membahas dan
menginterpretasi hasil penelitian.
2. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh informasi atau data secara
langsung dari informan atau narasumber yang dipilih secara purposif dengan
kriteria tertentu. Teknik ini dilakukan dengan kegiatan tanya jawab secara
langsung oleh peneliti kepada narasumber. Jenis wawancara yang digunakan
adalah bebas terpimpin. Artinya, peneliti menyediakan pedoman wawancara,
namun dalam pelaksanaannya peneliti dapat mengembangkan atau
mengeksplor pedoman tersebut sesuai dengan kondisi informan.
3. Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang
umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan
makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini
digunakan untuk mengungkap permaknaan dari suatu kelompok berdasarkan
hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga
dimaksudkan untuk menghindari permaknaan yang salah dari seorang peneliti
terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. FGD dalam penelitian ini
52
melibatkan peneliti sebagai moderator, kepala desa, kepala RT/RW, dan tokoh
masyarakat.
4. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data informasi bukan
dari narasumber melainkan dari dokumen baik yang telah tersedia dalam
bentuk gambar, rekaman video, dan tulisan, ataupu yang diperoleh oleh
peneliti dari realitas yang terjadi di masyarakat yang direkam atau diabadikan
dalam bentuk gambar atau video.
H. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2010: 156)analisis data dalam penelitian kualitatif
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri
sendiri maupun orang lain.
Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010: 152) aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus
sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”.Aktivitas interaktif dalam
analisisdata yang dimaksud oleh Miles dan Huberman tersebut yaitu reduksi data
(data reduction), penyajian data(data display), dan penarikan kesimpulan dan
verifikasi(conclusiondrawingandverifikasi).Aktivitas interaktif dalam analisis data
tersebutlah yang diadaptasi oleh peneliti untuk digunakan sebagai pedoman
analisis data penelitian ini. Ketiga aktivitas interaktif analisis tersebut dijelaskan
sebagai berikut;
53
1. Reduksi Data (DataReduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, menfokuskan
pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan.
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data yang baik merupakan cara yang pokok bagi analisis
kualitatif yang valid. Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data.Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan
sejenisnya.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi(Conclusion &Verification)
Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.Secara
sederhana, makna-makna yang muncul dari data yang muncul harus diuji
kebenaran, kekuatan, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya.Setelah data terkumpul, kemudian penulis menganalisa untuk
mendapatkan kesimpulan yang digunakan sebagai bukti terhadap kebenaran
hipotesis yang penulis ajukan.Adapun untuk menganalisa data tersebut penulis
menggunakan metode induktif atau Analisa sistensik yang bertitik tolak dari fakta
yang bersifat khusus untuk ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan ini merupakan bagian dari
bab V yang didalamnya membahas secara terpisah antara hasil penelitian dan
pembahasan. Untuk lebih jelasnya akan di jelaskan dua pembahasan tersebut
beserta contoh dalam penulisan hasil penelitian dan pembahasan.
A. Hasil Penelitian
1. Wujud Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang Kota
Makassar
Antang merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan
Manggala di Kota Makassar.Kelurahan ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Gowa. Sebagai salah satu kelurahan di Kota Makassar, Antang banyak
menjadi sasaran bermukim bagi penduduk urban dari berbagai daerah di
Indonesia, seperti Jawa, NTB, Papua, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan sendiri seperti Palopo, Luwu
Timur, Bone, Sengkang, Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, dan
Wajo (hasil wawancara dengan Kepala Kelurahan Antang, Kota Makassar, 11
Oktober 2019).
Beragamnya asal penduduk di Kelurahan Antang juga menandai kejadian
beragamnya kebudayaan.Masyarakat asli (Makassar) di Kelurahan Antang
menjalankan kebudayaannya, begitu pula masyarakat urban dengan budayanya
masing-masing.Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan bersama
tokoh masyarakat, kepala kelurahan, dan tentunya peneliti sendiri membenarkan
bahwa kondisi tersebut memaksa terjadinya kontak budaya, interaksi budaya,
55
pencampuran budaya, hingga terjadinya keadaan yang disebut akulturasi budaya
(FGD, 15 Oktober 2019).Peserta FGD memaparkan beberapa bukti bahwa telah
terjadi akulturasi budaya antara masyarakat asli (Makassar) dengan masyarakat
urban.Beberapa aspek budaya yang menjadi fokus penelitian ini berupa bahasa,
makanan tradisional, pakaian, tarian, kebiasaan hidup, dan perlengkapan hidup.
a. Akulturasi budaya aspek bahasa
Akulturasi budaya aspek bahasa dicontohkan oleh peserta FGD sebagaimana
masyarakat asli (Makassar) yang telah mampu menuturkan bahasa Jawa,
Bugis, Madura, atau bahasa dari daerah lain. Begitu pula sebaliknya, para
penutur bahasa dari daerah lain telah mampu menuturkan bahasa Makassar
atau bahasa dari daerah lainnya. Hasil wawancara dengan beberapa
masyarakat asli (Makassar) dan masyarakat urban dari berbagai wilayah
membuktikan bahwa hal yang diungkapkan oleh peserta FGD benar adanya.
“Saya orang Makassar, karena disekit sini banya suku lain yang
bahasanya berbeda seperti Jawa, Bugis, dan lain-lain, maka sedikit
sedikit saya bisa berbahasa jawa, kalau bahasa Bugis bisa dibilang
cukup baik. Kalau bahasa lainnya seperti Madura, Toraja dan lain-
lainnya kurang mampu mengucapkan tapi bisa memahami artinya”
(Narasumber DGBS, Laki-Laki, 43 Tahun, 16 Oktober 2019)
Data hasil wawancara di atas diperoleh dari narasumber DGBS (Laki-
laki, 43 tahun).Narasumber merupakan masyarakat asli Makassar. Narasumber
mengakui bahwa dirinya telah mampu memakai bahasa dari bahasa daerah
lain seperti Bugis dan Jawa, sedangkan bahasa lainnya masih kurang mampu.
Hal ini disebabkan karena interaksi dengan masyarakat urban bahasa tersebut
tidak seintens dengan suku Jawa dan Bugis.Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa narasumber DGBS telah mengalami akulturasi budaya untuk aspek
56
bahasa.Akuturasi yang dimaksud disini adalah berbaurnya antara bahasa
Makasar-Bugis-Jawa, dan bahasa lainnya.
“Saya asli Madura, saya di Makassar sudah lebih enam tahun, jelas
saya sudah bisa berbicara bahasa Makassar dengan lancar.Selain
bahasa Makassar, bahasa Bugis juga saya bisa. Intinya kalau kita
sering berbaur sama orang asli di sini atau dari daerah lain, akan kita
tahu itu bahasanya mereka. Perlahan-perlahan akan bisa kita gunakan ”
(Narasumber STY, Perempuan, 49 tahun, 16 Oktober 2019)
Data hasil wawancara di atas diperoleh dari narasumber STY
(Perempuan, 49 tahun).Narasumber merupakan urban asal Madura yang
memilih mencari penghidupan di Kota Makassar. Narasumber mengakui
bahwa dirinya telah mampu memakai bahasa dari bahasa daerah
lainkhususnya bahasa penduduk Asli yaitu Makassar. Selain itu, narasumber
juga mengaku mampu menggunakan bahasa Bugis.Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa narasumber STY telah mengalami akulturasi budaya untuk
aspek bahasa.
“Bah, kalau yang begitu jangan mi ditanya, ka sering ki berbaur sama
maka sering tongki dengar bahasanya, lambat laun bisa maki juga
berbahasa seperti mereka. Saya datang disini baru sekitar tiga tahun,
tapi cukup banyak mi bahasa Makassar saya tahu. Di sini bukan cuma
orang Makassar, banyak juga orang Jawa, Toraja, Madura, atau orang
Bima atau Flores, tapi karena yang paling sering saya temani bicara
orang Makassar, maka bahasanya mereka yang paling bisa saya pakai,
kalau yang lain masih sedikit-sedikit, tapi banyak saya pahami. Cuma
kurang bisa berbicara”
(Narasumber HRF, Laki-Laki, 51 tahun, 16 Oktober 2019)
Data hasil wawancara di atas diperoleh dari narasumber HRF (Laki-
laki, 51 tahun).Narasumber merupakan masyarakat urban dari daerah
Kalimantan dan menegaskan bahwa dirinya berbahasa Bugis.Narasumber
mengakui bahwa dirinya telah mampu memakai bahasa masyarakat asli yaitu
Makassar meskipun baru sekitar tiga tahun dirinya berbaur dengan masyarakat
57
asli. Narasumber juga mengakui bahwa dirinya mampu memaknai bahasa dari
daerah lain namun masih kesulitan untuk menggunakannya secara langsung.
Hal ini disebabkan karena interaksi dengan masyarakat urban bahasa tersebut
tidak seintens dengan suku Makassar yang bermukim disekitarnya.Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa narasumber HRF telah mengalami akulturasi
budaya untuk aspek bahasa.Akuturasi yang dimaksud disini adalah berbaurnya
antara bahasa Makasar-Bugis-Jawa, dan bahasa lainnya.
Selain data atau keterangan dari narasumber yang berasal dari
Makassar, Madura, dan Kalimantan, peneliti juga telah mengkonfirmasi
bahwa masyarakat urban lainnya juga mengalami keadaan tersebut, seperti
yang berasal dari Jawa, NTB, Papua, Sumatera, Maluku, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan sendiri seperti Palopo, Luwu Timur,
Bone, Sengkang, Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, dan Wajo.
Namun, hasil wawancara juga menunjukkan bahwa intensitas akulturasi
budaya yang terjadi sangat ditentukan oleh lamanya masyarakat urban tersebut
berbaur dengan masyarakat lainnya.
Hasil Focus Group Discussion (FGD) menjelaskan bahwa akulturasi
antar masyarakat yang berbeda budaya tidak terjadi begitu saja atau dalam
waktu yang singkat.Di antara masyarakat itu harus melakukan interaksi dan
bauran budaya yang cukup lama untuk saling mengenal, mehamami, dan
menggunakan kebudaan dari masyarakat lainnya.Bahkan untuk mengenal
kebuyaaan satu dengan kebudayaan yang lainnya, peserta FGD menyakini
bahwa hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.Jika tahapan
mengenal telah dilalui, maka tahapan selanjutnya adalah tahapan saling
58
memahami dan saling menggunakan kebudayaan.Orang Jawa menggunakan
budaya orang Makassar, begitu pun sebaliknya, orang Makassar menggunakan
kebudayaan orang Jawa.Hal tersebut juga berlaku dengan kebudayaan
masyarakat urban lainnya.Keberhasilan akuturasi budaya sangat ditentukan
pada tahapan mengenal dan memahami.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui kegiatan wawancara dan
FGD, diketahui bahwa masyarakat asli (Makassar) memberikan dominasi
pengaruh budaya yang dominan terhadap kebudayaan masyarakat
Urban.Artinya, masyarakat urban yang banyak menerapkan kebudayaan
asli.Sedangkan kebudayaan asli hanya sekadar menerima dan memahami saja.
Sebagai pendatang, wajar bagi masyarakat urban untuk memahami dengan
baik kebudayaan masyarakat asli sebab akan menjadi syarat bagi mereka
untuk diterima di masyarakat asli untuk memahami budaya masyarakat asli.
Pakemnya, masyarakat asli memiliki kekuasaan budaya yang kuat akibat dari
statusnya sebagai penduduk asli.
b. Akulturasi budaya aspek makanan tradisional
Salah satu aspek yang menandai perbedaan budaya antara masyarakat
asli dengan masyarakat urban di Kota Makassar adalah makanan
tradisional.Setiap daerah memiliki ciri dan karakteristik makanan tradisional,
baik itu bentuk, warna, dan cita rasa. Sebagai contoh, cita rasa masakan
tradisional masyarakat asli (Makassar) yang umumnya gurih, berbeda dengan
makanan tradisional Jawa yang umumnya manis gurih, atau makanan yang
berasal dari Kalimantan yang banyak-banyak bercita rasa gurih dan pedis
(FGD, 15 Oktober 2019).
59
Karena adanya kontak dan interaksi budaya khususnya pada aspek
makanan tradisional, masyarakat urban dan penduduk asli Makassar di
Kelurahan Antang telah membentuk suatu akulturasi budaya.Dokumentasi
penelitian ini membuktikan bahwa di kelurahan Antang, cukup banyak kita
jumpai masyarakat suku Jawa yang berjualan makanan di tepi jalan atau
dijajakan dari rumah ke rumah. Misalnya, penjual Bakso, Sari Laut, Sate
Madura, Warung Tegal (Warteg), Coto Maros, Sop Saudara, dan Mie
Titi.Bukti bahwa telah terjadi akulturasi kebudayaan untuk aspek makanan
tradisional ini adalah ketika yang menjajakan makanan atau berjualan
makanan berupa Coto adalah orang Jawa atau orang Bugis.Atau sebaliknya,
ada juga dijumpai masyarakat Bugis atau masyarakat Makassar yang berjualan
Sate ataupun Sari Laut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan data hasil wawancara
berikut;
“Saya sudah berjulana coto hampir tiga tahun.Saya memang orang
Jawa tapi suami saya orang Makassar.Keluarganya hebat-hebat
membuat Coto, makanya saya belajar dan Alhamdulillah saya
bisa.Rasanya pun tidak kalah dengan orang asli Makassar. Dari situlah
saya mau membuka warung makan Coto Makassar ini, dan
Alhamdulillah, sampai sekarang warung ku ini masih buka dan lancar
pelanggannya”
(Narasumber FN, perempuan, 38 tahun, 17 Oktober 2019)
Berdasarkan data hasil wawancara di atas, dapat dijelaskan bahwa
narasumber FN merupakan perempuan Jawa berusia 38 tahun.Hampir tiga
tahun FN telah membuka usaha berupa warung Coto.Meskipun orang Jawa,
FN merasa bahwa dirinya telah memiliki kemampuan menguasai masakan
Coto sehingga masakannya tidak kalah enak dengan masakan masyarakat
Makassar.Ini berarti FN telah berakulturasi budaya pada aspek masakan
60
tradisional atas dirinya yang berbudaya Jawa dengan kebudayaan masyarakat
Makassar.
“Jualan Sate Madura baru hampir satu tahun, belum lama.Saya datang
ke Makassar dan tinggal di daerah ini juga belum lama.Kenapa saya
jual Sate Madura?Karena awalnya saya penikmat makanan ini.Hampir
setiap malam saya pesan.Saya suka sekali aroma dagingnya serta saus
kacangnya.Suami dan anakku juga suka sekali.Suamiku orang Toraja
campuran Enrekang, saya sendiri adalah orang Bugis Bone.Karena itu
belajar ma dan akhirnya saya bisa. Buka ma warung”
(Narasumber AND, perempuan, 41 tahun, 17 Oktober 2019)
Berdasarkan data di atas, dapat dijelaskan bahwa narasumber
merupakan masyarakat urban yang berasal dari luar Kota
Makassar.Narasumber berasal dari Kabupaten Bone, sedangkan suaminya
berasal dari Toraja.Narasumber mengaku bahwa dirinya menjual makanan
tradisional Jawa tersebut dikarenakan ketertarikan dirinya dan keluarganya
terhadap kenikmatan Sate Madura.Hal itu mendorong dirinya belajar
mengolah makanan tersebut hingga merasa sanggup, lalu membuka warung
sendiri. Ini bertanda bahwa AND telah mempelajari kebudayaan masyarakat
lain, sehingga terjadi fenomena akulturasi budaya.
Bukti lain bahwa telah terjadi akulturasi budaya antara masyarakat
urban dengan masyarakat asli (Makassar) di Kelurahan Antang ketika
berbagai makanan tradisional tersebut (Bakso, Sari Laut, Sate Madura,
Warung Tegal (Warteg), Coto Maros, Sop Saudara, dan Mie Titi) sama-sama
memiliki tempat dan perhatian yang sama di hati masyarakat. Orang Jawa
menyukai dan menikmati Coto, orang Makassar sangat menyukai Sate dan cita
rasanya yang gurih dan manis. Begitu pula dengan jenis makanan lainnya dan
masyarakat dari daerah lainnya yang menyukainya.
61
Hasil Focus Group Discussion (FGD) terkait akulturasi budaya untuk
aspek makanan tradisional ini ditemukan satu kesepahaman bahwa masyarakat
urban dan masyarakat Makassar yang ada di Kelurahan Antang telah
mengalami akuturasi budaya.Hal ini dicapai atas fenomena yang dijabarkan
pada saat FGD dimana antar kebudayaan telah saling mengenal, berinteraksi,
dan berujung pada keadaan akulturasi kebudayaan antara masyarakat urban
dan masyarakat asli (Makassar) di Kelurahan Antang.
c. Akulturasi budaya aspek busana (pakaian)
Busana (fashion) atau pakaian adalah salah satu unsur kebudayaan
yang cukup besar kemungkinannya mendapatkan perhatian dari kebudayaan
lain. Dengan demikian, busana atau pakaian cenderung lebih cepat dan lebih
mudah diadaptasi oleh kebudayaan lain atau mengalami proses akulturasi
budaya. Hal ini terbukti sebagaimana kondisi yang terjadi di Kelurahan
Antang, Kota Makassar yaitu antara masyarakat asli di kelurahan tersebut
yaitu suku Makassar dengan masyarakat urban Jawa, NTB, Papua, Sumatera,
Kalimantan, Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan
sendiri seperti Palopo, Luwu Timur, Bone, Sengkang, Toraja, Bulukumba,
Bantaeng, Sidrap, Pinrang, dan Wajo.
Sebagai ilustrasi sederhana, ketika busana tradisional Batik
digandrungi hampir seluruh masyarakat Indonesia.Sesunghunya, hal tersebut
bagian dari akulturasi budaya. Batik Jawa dipadukan dengan kain Songket
Toraja, atau Baju Bodo dipadukan dengan Tenun Sumatera, atau Baju Bodo
yang dipadupadankan dengan renda dan motif Batik. Hasil FGD
menyimpulkan bahwa masalah busana atau fashion adalah aspek budaya yang
62
paling mudah terakulturasi dengan kebudayaan lainnya. Sebab, perpaduan
gaya atau style dari satu fashion tertentu dengan fashion lainya sekarang ini
menjadi sangat popular. Bahkan menjadi trending fashion nasional, bahkan
dunia.Lihat saja bagaimana perancang busana kenamaan Anne Avantie
memadupadankan hampir kseluruhan kain tenun tradisional di Indonesia
menjadi sebuah busana perpaduan tradisoonal-modern yang anggun dan
eksotis.
Sebagai bukti, berikut ini beberapa contoh dokumen berupa foto yang
menampilkan akulturasi budaya berupa fhasion atau pakaian di beberapa acara
di Kelurahan Antang, Kota Makassar;
(wajah ditutup berdasarkan permintaan orang yang ada dalam foto)
Gambar 4.1 Dokumentasi Akulturasi Budaya di Kelurahan Antang
Gambar di atas memperlihatkan seorang ibu yang menggunakan Batik
berwarnah hijau dengan motif Ulop Doyo Kalimantan meskipun dirinya
sendiri merupakan orang Makassar asli yang bermukim di Kelurahan Antang.
Hasil wawancara dengan ibu tersebut adalah sebagai berikut;
63
“Saya kerja di salah satu lembaga pemerintah di Kota Makassar.Saya
seorang pegawai non-PNS.Karena itu, kita mesti punya banyak
persediaan batik. Ada yang memang dirancang karena ketetapan
kantor, ada juga yang saya beli sendiri. Saya punya banyak motif batik,
ada yang motif Toraja, Jawa, dan Kalimantan seperti yang saya pake
sekarang.Batik sekarang ini sudah seperti pakaian nasional, meskipun
memang berasal dari daerah tertentu. Tapi karena motif atau coraknya
yang indah, makanya banyak orang yang suka pake, termasuk juga
saya”
(Narasumber NHYT, perempuan, 35 tahun, 17 Oktober 2019)
Berdasarkan gambar dan data wawancara di atas, terlihat dengan jelas
bagaimana akulturasi budaya dalam bidang fashion terjadi.
Beberapa dokumen foto berikut ini sebagai wujud atau bukti akulturasi
budaya yang terjadi di masyarakat di Kota Makassar, khususnya di Kelurahan
Antang.
Gambar 4.2 Dokuemntasi Akulturasi Budaya
(Baju Bodo-Batik Motif Kalimantan
64
Gambar 4.4 Akulturasi Budaya
(Baju Bodo Modern-Batik Jawa)
Gambar di atas memperlihatkan perempuan yang memadupadankan
baju bodo dengan bawahan berupa rok yang bermotif Batik Kalimantan dan
digunakan pada saat acara pesta.Dua dokumen di atas merupakan bukti bahwa
telah terjadi akulturasi budaya dalam bidang fashion dimana masyarakat Kota
Makassar khususnya di Kelurahan Antang telah memadupadankan fashion-
nya dari berbagai ragam budaya.
2. Strategi Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang
Makassar
Peneliti menyadari bahwa akulturasi budaya hanya akan dapat terjadi
jika dua atau lebih kebudayaan berbeda saling bertemu dan berinteraksi antara
satu dengan lainnya. Bentuk interaksi yang peneliti maksudkan adalah segala
macam cara yang mempertemukan antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain. Sebab, terjadi pergeseran konsep akulturasi yang
terdahulu dengan konsep akulturasi yang sekrang. Jika dahulu akulturasi
diartikan sebagai proses pencampuran dua budaya berbeda karena saling
65
bertemu dan berinteraksi, maka akulturasi saat ini di definisikan lebih dinamis
yaitu segala bentuk penerimaan pengetanhuan pesan dan pertemuan dua atau
lebih kebudayaan melalui media apapun baik secara langsung atau melalui
teknologi modern seperti internet dan lain-lain sebagainya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti berusaha memperoleh
informasi untuk mendapatkan gambaran strategi akulturasi yang terjadi antara
masyarakat urban dengan masyarakat lokal di Kelurahan Antang, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan melalui tindakan wawancara dengan masyarakat
lokal dan juga masyarakat urban itu sendiri. Berdasarkan data yang terhimpun
diketahui bahwa proses akulturasi antara masyarakat urban dan masyarakat
lokal di Kelurahan Antang terjadi karena dua alasan; pertama masyarakat
menyadari bahwa hidup berdampingan dalam suatu wilayah tertentu dengan
membawa perbedaan budaya tentu akan mengantarkan pada proses untuk
saling mengenal dan berinteraksi yang pada akhirnya bermuara pada situasi
saling memahmi dan mencoba untuk merasakan dan membiasakan budaya
satu sama lainnya yang dianggap relevan atau bermanfaat bagi masyarakat
penerima budaya baru itu sendiri; kedua akulturasi terjadi karena alasan
tolerasni, saling menghargai dan menghormati antar pemiliki budaya berbeda.
Masyarakat urban yang dapat di Kelurahan Antang tentu membawa nilai-nilai
budaya mereka sendiri untuk tetap menghargai dan menghormati budaya
masyarakat lokal.Tentu hal ini menjadi suatu keharusan bagi mereka
sebagaimana kedudukannya sebagai pendatang.Sebaliknya, keluhuruan
budaya masyarakat lokal yang ada di Kelurahan Antang juga tetap berusaha
sebaik mungkin untuk menghargai, menghormati dan menjaga toleransi
66
budaya antara kebudayaan masyarakat urban dengan kebudayaan mereka
sendiri. Kedua proses inilah yang menjadi penanda terjadinya akulturasi
budaya di Kelurahan Antang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti melakukan telaah lebih jauh
terkait dengan startegi yang digunakan dalam berakulturasi antara kebudayaan
yang dibawah oleh masyarakat urban dengan kebudayaan asli milik
masyarakat lokal dengan mengacu pada data-data hasil wawancara.Memahami
strategi akulturasi pada hakikatnya memahami dua komponen utama yaitu
sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat pemiliki dua
kebudayaan berbeda selama berinteraksi.Sasaran akuturasi dibedakan menjadi
dua yaitu individu dan kelompok.Akulturasi individu adalah kondisi
bercampurnya dua kebudayaan atau kebiasaan yang dimiliki oleh masing-
masing person dan diterima dan dimainkan oleh person itu sendiri dari
kebudayaan yang berbeda.Misalnya, narasumber Pak Nurdin (Makassar) yang
merupakan masyarakat lokal menerima dan menjalankan kebudayaan dari
tetangganya yang merupakan masyarakat urban (Jawa) seperti tradisi
Ngliwetyang pada kasus ini hanya pak nurdin dan keluarga saja yang
menyukai dan menjalankannya sedangkan masyarakat lokal lainnya tidak
karena alasan tertentu. Sasaran kedua yaitu kelompok, artinya proses
akulturasi budaya yang melibatkan kelompok yang terlibat dalam
pencampuran budaya. Misalnya, hampir seluruh masyarakat urban baik Jawa,
Madura, Bugis, Bali, dan lain-lain telah menerima kebudayaan masyarakat
lokal seperti mengkomsumsi Coto, Pallubasa, serta kuliner masyarakat lokal
67
lainnya. Tidak hanya kuliner, bahasa juga merupakan contoh yang paling
mudah dijumpai untuk membuktikan terjadinya akulturasi kelompok.
Ditinjau dari data karakteristik akulturasi budaya yang terjadi di
Kelurahan Antang peneliti dapat menjelaskan dua kondisi yang sangat
menarik untuk dipahami.Pertama, pada sebagian besar masyarakat, baik
masyarakat urban ataupun masyarakat lokal menghendaki dengan penuh
keyakinan disertasi usaha untuk mempertahankan kebudayaan asli masing-
masing, namun tetap menghendaki adanya interaksi budaya yang positif antara
masyarakat lokal dengan masyarakat urban.Ini berarti bahwa antara
masyarakat urban dan masyarakat lokal memiliki kesadaran bahwa
kebudayaan asli dimaknai sebagai budaya yang sangat penting untuk
dilestarikan sebagaimana pemahaman bahwa budaya adalah penanda identitas
sosial.Jadi, jika ingin dikatakan sebagai masyarakat atau orang Makassar maka
budaya atau kebiasaan orang-orang Makassar harus diketahui dengan baik dan
dijalankan.Namun, kondisi tersebut ridak menghalangi pemilik budaya
tertentu untuk berinteraksi dengan budaya berbeda dan mehamai budaya
tersebut. Jadi, ada keterbukaan pola sikap dan pikir antara masyarakat urban
dengan masyarakat lokal untuk menjaga dan melestarikan keaslian budaya
masing-masing disamping tetap berinteraksi dengan budaya lain.
Jika sebagian besar masyarakat menghendaki adanya upaya
mempertahankan budaya asli namun tetap menjalin interaksi dengan budaya
berbeda, peneliti juga menemukan fakta baru bahwa ada pula sekelompok
masyarakat lokal maupun masyarakat urban yang acuh dengan kebudayaan
asli masing-masing namun tetap menghendaki interaksi dengan kebudayaan
68
berbeda sebagai bentuk toleransi namun dengan tujuan bahwa kebudayaan asli
tersebut dihilangkan kemudian memunculkan kebudayaan baru yang relevan
dengan kehidupan. Kondisi ini lebih banyak dijumpai pada masyarakat
milenial yang menetang aturan atau tata nilai yang dianggap using atau tidak
relevan dengan zaman sekarang ini.Misalnya penetangan terhadap budaya
pamali, pertunangan yang tidak lagi relevan dengan zaman, barasanji, dan
kebudayaan-kebudayaan tradisi lainnya.Bagi masyarakat milenial di
Kelurahan Antang, hal tersebut tidak lagi relevan dengan keadaan masyarakat
sekarang ini sehingga kebudayaan “norak” (istilah yang disematkan kaum
milenial terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang ditentangnya) menjadi
wajar atau keharusan untuk dihapus atau dihilangkan.Mereka yang menganut
paham ini (kaum milenial) menganggap bahwa masih banyak kebudayaan
yang lebih masuk akal atau logis untuk diteraokan daripada kebudayaan
tersebut.
3. Dampak Akulturasi Budaya Masyarakat Urban di Kelurahan Antang
Makassar
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap terjadinya akuturasi budaya akan
membawa dampak bagi pemilik budaya itu sendiri. Dampak tersebut mulai
yang terindikasi positif hingga yang berakibat fatal bagi kelangsungan budaya
itu sendiri.Hal inilah yang menjadi temuan peneliti atas fenomena akulturasi
budaya yang terjadi antara masyarakat urban dengan masyarakat lokal yang
ada di Kelurahan Antang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Data menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh fenomena
akuturasi budayaantara masyarakat urban dengan masyarakat lokal yang ada
di Kelurahan Antangyaitu terjadinya perubahan cara pandang tentang
69
kehidupan bermasyarakat dari cara lama kepada cara yang baru, misalnya
silaturahmi kepada orang tua dan kerabat yang dulu harus dilakukan secara
berhadap-hadapan, kini silaturahmi dapat dilakukan dalam jarak jauh, melalui
telepon, pesan singkat, dan lain-lain. Terjadinya perubahan tata cara pergaulan
serta semakin terbukanya hal-hal yang awalnya dianggap tabu, misalnya
hubungan antarremaja yang semakin terbuka. Terbukanya wawasan
masyarakat menuju pengetahuan yang lebih luas, misalnya masyarakat
menikmati hasil-hasil penemuan baru dan dapat menerapkan teknologi yang
canggih.Perubahan mentalitas, rasa malu, dan kepiawaian
masyarakat.Misalnya perempuan lebih aktif bekerja di luar rumah, berpolitik,
menjadi penguasa dan pengusaha, dan mampu mengendalikan perusahaan
besar yang awalnya hanya dikuasai oleh kaum laki-laki.Kesemuanya itu dapat
kita jumpai pada masyarakat di Kelurahan Antang, Kota Makassar.
Berbicara mengenai dampak akulturasi, ada lima poin yang peneliti
temukan selama dilapangan. Pertama, aspek bahasa, perlengkapan hidup,
makanan, dan pakaian pakaian merupakan unsur budaya yang paling mudah
diterima antar kebudayaan.Sedangkan aspek budaya yang sulit untuk diterima
seperti upacara tradisi dan kepercayaan.Kedua, jika dilihat dari segi
pemertahanan budaya, aspek yang paling mudah untuk berganti atau
terasimilasi dengan budaya lainnya adalah bahasa, makanan, dan pakaian.Hal
ini peneliti temukan khusus bagi generasi milenial sebab kebanyak dari
mereka acuh terhadap pemertahanan budaya asli, sehingga kemungkinan
untuk dihilangkan menjadi sangat besar.Terlebih lagi dengan budaya traidisi
yang memang bagi generasi milenial adalah sesuatu yang sangat tabuh dan
70
ditentang dengan sangat keras maka aspek budaya tradisi menjadi sangat
rentang untuk dhilangkan atau terganti dengan kebudayaan baru.Selanjutnya,
keyakinan atau agama adalah aspek budaya yang paling sulit untuk
dihilangkan.
Interaksi dua atau lebih kebudayaan berbeda bukanlah suatu proses
yang mudah terjadi. Perbedaan adalah suatu kondisi yang dapat menjadi
pemantik ketegangan-ketegangan tertentu atau krisis sosial dari pemilik
budaya yang berbeda.Di Kelurahan Antang sendiri, peneliti menemukan data
dari beberapa informan bahwa terjadinya konflik antara dua kebudayaan
berbeda menjadi suatu kondisi yang mewarnai akuturasi budaya di tempat
tersebut.Para informan mengisahkan bahwa konflik atau ketersinggungan
sosial sudah sering terjadi, terutama bagi kalangan muda.Bahkan, dari
masyarakat urban minoritas menilai bahwa terjadi diskriminasi atas mereka
oleh masyarakat asli ataupun masyarakat urban yang menduduki posisi
mayoritas di lokasi penelitian. Sebagai contoh masyarakat urban Bima dan
Papua yang memberikan informasi bahwa kedatangan mereka di kelurahan
tersebut masih sering mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan,
perlakuan ini tidak dalam bentuk fisik melainkan psikologi seperti cercaan,
hinaan, makian atas dasar kondisi fisik seperti warna kulit, gaya rambut, gaya
berpakaian, hingga masalaha bau badan yang sering kali mereka peroleh
dalam bentuk perlakuan tidak menyenangkan.
4. Faktor Pendukung dan Penghambat Akulturasi Budaya Masyarakat
Urban di Kelurahan Antang Makassar
Peneliti meyakini bahwa setiap perkara yang berlaku tentunya
mendapatkan dua keadaan yaitu dukungan dan hambatan.Begitu pula dengan
71
kondisi akulturasi budaya yang terjadi di Kelurahan Antang, Kota
Makassar.Adapun contoh factor pendukung dan penghambat; Contoh factor
pendukung,kontak dengan kebudayaan lain sehingga dapat mengalami
perubahan yang cepat dan menghargai kebudayaan-kebudayaan
lainnya.Contoh factor penghambat,kurang berhubungan dengan masyarakat
lain,masyarakat yang kurang memiliki hubungan dengan masyarakat
lain,dengan ini mereka tidak mengetahui perkembangan-perkembangan yang
terjadi di masyarakat lain.Informasi yang diperoleh bahwa masyarakat lokal di
Kelurahan Antang pada hakikatnya memiliki sikap terbuka, toleransi, dan
menghargai.Namun, seringkali kondisi menciptakan sensitivitas tertentu
sehingga sikap yang disebutkan tadi menjadi kabur atau tidak
terpakai.Demikian halnya ketika terjadi interaksi dua kebudayaan yang
berbeda dengan membawa identitas masing-masing juga terkadang
minimbulkan krisis tertentu.Perbedaan adalah kondisi yang unik, jika kondisi
ini tidak dibina dengan baik maka perbedaan adalah penghambat dari
akuturasi itu sendiri.Namun, dibalik perbedaan itu, sikap dan perilaku menjadi
penentu keberhasilan akuturasi.Lalu, sikap yang dimaksud menjadi
pendukung terjadinya akulturasi budaya di Kelurahan Antang oleh para
informan dibedakan menjadi empat yaitu terbuka, logis, toleransi, hormat-
menghormati, serta saling menghargai.Oleh masyarakat di lokasi penelitian,
sikap-sikap tersebut menjadi daya dukung terjadinya kelanggengan akuturasi
budaya.
Kesesuaian Teori dengan hasil penelitian:
a) Teori klasik yang di kemukakan oleh Christaller mengilhami model perkembangan
kota dari sudut pandang geografi,teori ini memiliki 2 konsep yaitu jarak jangkauan
72
minimal untuk bertahan dan jarak jangkauan sesungguhnya yang ingin dicapai.
Kelurahan Antang merupakan salah satu kelurahan yang paling banyak mendapatkan
tujuan urbanisasi dari Masyarakat luar kota dari insentitas tujuan urbanisasi tersebut
,di temukan adanya realitas interaksi budaya yang harmonis.
b) Teori Regulasi mencakup 2 faktor structural pada tingkat Internasional maupun
Nasional/ Regional serta faktor
Selain itu, studi yang peneliti lakukan terhadap beberapa dokumen perundang-
undangan di Indonesia juga menjadi daya dukung terjadinya proses akulturasi budaya
yang baik. Selain produk perundang-undangan, tata nilai budaya luhur yang dipahami
oleh masing-masing kebudayaan juga menjadi faktor pendukung terjadinya akulturasi
budaya.Terakhir, poin utama yang menjadi pendukung akulturasi budaya di Kelurahan
Antang adalah nilai atau ajaran dari keyakinan yang dianut oleh masyarakat. Misalnya,
masyarakat penganut Agama Islam menyakini bahwa setiap manusia sama kedudukannya
di sisi Tuhan Yang Maha Esa, hanya amalan ibadah yang membedakan
B. Pembahasan
Bagi bangsa Indonesia persatuan dan kesatuan adalah harga mati yang
harus senantiasa dipertahankan dan diperjuangkan.Sebab, ujian terberat bangsa ini
adalah kebinekaan yang kuat meliputi seluruh sendi kehidupan berbangsa seperti
bahasa, suku, agama, ras, budaya, dan adat istidata. Namun, ujian terberat itu
sendiri menjadi berkah yang luar biasa bagi kelangsungan kejayaan bangsa
Indonesia itu sendiri di mata dunia jika mampu menjaga keutuhan, kesatuan, dan
persatuan di atas rona perbedaan berbangsa sebagaimana yang menjadi semboyan
bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda namun tetap satu.
Dibalik kebhinekaan tersebut, hal yang tidak dapat dipungkiri untuk terjadi
adalah interaksi dari aspek yang berbeda tersebut.Interaksi tersebutlah yang
kemudian menciptakan sebuah fenomena pencampuran budaya yang kemudian
73
dikenal dengan akulturasi budaya.Suyono dalam Rumondor (2015) menjelaskan
bahwa akulturasi merupakan pertemuan dua atau lebih budaya yang saling
bertinteraksi kemudian menciptakan suatu kondisi menerima atau menolak
budaya yang berbeda.Nardy (2012) menjelaskan bahwa akulturasi merupakan
gejala sosial yang menarik untuk dipahami (diteliti) sebab memberikan pengajaran
sosial mengenai arti penting eksistensi setiap individu dan kelompok
sosialnya.Hal inilah yang menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan studi atau
penelitian terkait akuturasi budaya khusunya yang terjadi di Kelurahan Antang,
Kota Makassar. Menariknya, Kelurahan Antang dipilih oleh peneliti sebagai
lokasi penelitian disebabkan kondisi masyarakat yang majemuk sebab menjadi
sasaran bermukim bagi penduduk urban dari berbagai daerah di Indonesia, seperti
Jawa, NTB, Papua, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, dan Sulawesi Selatan sendiri seperti Palopo, Luwu Timur, Bone, Sengkang,
Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, dan Wajo. Berbagai realitas atas
kemajemukan tersebut juga menjadi daya dukung tersendiri bagi peneliti untuk
melakukan penelitian di sana. Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan
bentuk, strategi, dampak, faktor pendukung dan penghambat akultrasi budaya
penduduk urban yang ada di Kelurahan Antang Makassar.
Berdasarkan data yang tersaji, bahasa, makanan, dan pakaian merupakan
tiga aspek budaya yang terakulturasi dengan baik.Artinya, ketiga aspek budaya
tersebut dapat diterima dengan baik oleh masing-masing pemilik budaya.Hal ini
menandakan bahwa bahasa, makanan, dan pakaian merupakan aspek budaya yang
paling mudah untuk terakulturasi di Kelurahan Antang. Hal ini perlu untuk
dipahami, sebab menurut Saebani (2012) ketika hendak melakukan penelitian
74
tentang akulturasi budaya, maka satu dari lima aspek yang harus dijawab adalah
unsur budaya apa yang paling mudah dan paling sulit untuk diakulturasi? Dari
data yang diperoleh, hal yang dipertanyakan oleh Saebani telah
terjawab.Selanjutnya, unsur budaya yang paling sulit untuk diakuturasi adalah
budaya tradisi dan keyakinan. Hal ini memang benar adanya sebagaimana yang
diungkapkan oleh Malinowski (1997) bahwa upacara atau ritual tradisi serta
keyakinan tertentu akan Tuhan atau hal lainnya adalah dua hal yang paling sulit
untuk dimasukkan atau diakuturasikan dalam sistem sosial budaya dari
masyarakat tertentu. Hal ini disebabkan karena kedua aspek tersebut terbentuk
atas dasar keyakinan yang dibawah secara turun temurun.
Berdasarkan data yang diperoleh, akulturasi budaya yang terjadi di
Kelurahan Antang dibedakan menjadi dua keadaan, pertama terjadi ketika orang-
orang dengan budaya yang berbedaa tinggal secara berdekatan satu sama lain dan
pola-pola budaya dipelajari secara tidak sengaja, kedua terjadi ketika representasi
tiap budaya menghormati budaya lainnya. Dua kondisi akulturasi budaya yang
menandai interaksi antara masyarakat urban dan masyarakat lokal di Kelurahan
antang ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Bogardus (dalam Saebani, 2012)
bahwa sedikitnya ada tiga jenis kondisi akulturasi yaitu blind
acculturation,democraticacculturation, dan imposed acculturation.Dan ternyata,
dari tiga konsep yang dikemukakan oleh Bogardus, dua diantaranya menjadi
penanda terjadinya akulturasi budaya di Kelurahan Antang, Kota Makassar yaitu
blind acculturation,democraticacculturation.
Jika merujuk pada data strategi akulturasi yang digunakan di Kelurahan
Antang, peneliti mengulasnya dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh
75
Berry (2017: 271), yang ditandai dengan HC (Home Culture atau Kebudayaan
asli) dan DC (Dominan culture atau kebudayaan yang dominan).Antara
masyarakat lokal dan masyarakat urban di Kelurahan Antang menggunakan
strategi akulturasi berupa integrasi dan asimilasi. Integrasi oleh Berry (2017)
dijelaskan sebagai strategi akulturasi dengan berupaya mempertahankan
kebudayaan asli namun tetap menjalin interkasi dengan kebudayaan lain tanpa
menutup diri untuk kemungkinan menerima dan menolak kebudayaan baru
tersebut. Hal inilah yang oleh sebagian besar masyarakat di Kelurahan Antang
gunakan selama menjalin interaksi budaya hingga terbentuk keadaan
akulturasi.Selanjutnya, Berry (2017) menjelaskan bahwa asimilasi merupakan
kondisi pemilik budaya yang tidak memiliki ketertarikan atau upaya untuk
mempertahankan kebudayaan asli disamping menolak kebudayaan asing dan
berupaya menciptakan budaya baru.Strategi akulturasi budaya ini juga diterapkan
di Kelurahan Antang.Hanya saja yang menerapkannya lebih kepada kaum
milenial atau kaum generasi muda. Jika ini dibiarkan terus terjadi, peneliti
meyakini bahwa lima atau sepuluh tahun yang akan datang kebudayaan asli baik
milik masyarakat lokal atau masyarakat urban akan punah atau hilang. Dengan
demikian, menjadi sangat urgen untuk menanggulangi permasalahan strategi
akulturasi budaya yang digunakan oleh kaum milenial di Kelurahan
Antang.Mereka perlu untuk diedukasi mengenai pentingnya melestarikan budaya
asli.
Menyikapi perbedaan budaya bukanlah perkara muda, banyak hambatan
yang perlu untuk dilalui.Namun, tidak sedikit pula daya dukung ketika terjadi
perbedaan budaya.Berdasarkan data yang dihimpun, yang menjadi daya dukung
76
terjadinya akulturasi budaya di Kelurahan Antang adalah sikap terbuka, toleransi,
dan menghargai.Terbuka dalam hal ini adalah sikap untuk mampu berpikir secara
logis dan menelaah baik buruk yang dapat diterima dari suatu interaksi atas
budaya yang berbeda.Terbuka bukan berarti menerima segala hal yang masuk
pada suatu entitas tertentu tetapi lebih kepada pola pikir lebih maju untuk melihat
segala kondisi secara logis sebelum mengambil suatu keputusan.Toleransi dan
meghargai sejatinya karakter bangsa Indonesia yang telah mendarah daging di
dalam hati dan sanubari setiap masyarakat Indonesia.Segala bentuk perbedaan
harus mampu dihargai dan ditoleris berdasarkan batas-batas nilai dan moral yang
berlaku.
Secara umum, produk perundang-undangan dan nilai-nilai keagaamaan
yang dianut oleh masyarakat Indonesia merupakan faktor pendukung untuk untuk
melancarkan proses akulturasi budaya. Hal tersebut sebagaimana yang
diungkapkan oleh Al-Issa, Ihsan & Michel Tousignant(1997) bahwa UU dan
ajaran agama adalah aturan mengikat yang memaksa masyarakat secara sukarela
untuk menjalankan akulturasi menurut standar yang diberlakukan. Adapun yang
dapat menjadi penghambat akulturasi budaya di Kelurahan Antang berdasarkan
data yang diperoleh adalah sikap negatif dari pada generasi milenial yang
cenderung apatis terhadap eksistensi budaya asli itu sendiri. Jika kondisi terus
terjadi, maka akulturasi bisa saja terjadi namun keaslian atau keberadaan budaya
asli masyarakat akan terancam punah.
Jika dilihat dari hasil penelitian ini, peneliti menemukan adanya kesamaan
antara hasil penelitian yang dilakukan oleh Wekke (2013), Junaid (2013),
Sahabuddin dan Surur (2018), dan Istiqhara (2017) meskipun objek kajiannya
77
berbeda dimana proses akulturasi berjalan dengan harmonis meskipun terjadi
beberapa krisis sosial yang menandai akulturasi budaya tersebut.Dari kesamaan
ini, peneliti dapat menarik sebuah benang merah bahwa pencampuran budaya
pada satu wilayah tertentu sulit untuk menghindari terjadinya akulturasi.Apa lagi
jika interaksi antar budaya telah berlangsung sudah cukup lama maka akulturasi
menjadi sulit untuk dihindari. Namun, akulturasi bukanlah perkara buruk, hanya
strateginya saja yang harus diperhatikan.Integrasi menjadi sesuatu yang baik,
sedangkan asimilasi bisa saja menjadi strategi yang dapat mematikan dua atau
lebih kebudayaan yang saling bertintegrasi.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Mengacu pada data temuan, hasil analisis, serta pembahasanya,
kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut;
1. Wujud akulturasi budaya yang terjadi antara kebudayaan masyarakat urban
dan masyarakat lokal di Kelurahan Antang Kota Makassar sangat beragam.
Bahasa, makanan, kesenian, hingga pakaian merupakan aspek budaya yang
paling mudah diakulturasikan, sedangkan agama atau keyakinan serta upacara
adat tradisi adalah yang paling sulit atau bahkan tidak bisa diakulturasi.
2. Akulturasi budaya yang terjadi antara masyarakat urban dan masyarakat lokal
di Kelurahan Antang menggunakan dua macam strategi yaitu integrasi dan
asimilasi. Integrasi dinilai sebagai strategi yang tepat lagi baik untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan. Sedangkan asimilasi dinilai
strategi yang tidak tepat karena terindikasi upaya menghilangkan jati diri
kebudayaan asli sehingga mampu menimbulkan kepunahan budaya.
3. Akulturasi budaya memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif akulturasi seperti melestarikan budaya atau bahkan mengembangkan
budaya. Selain itu, menjadi alasan terbukanya wawasan masyarakat menuju
pengetahuan yang lebih luas. Adapun dampak buruknya adalah dapat
mematikan kebudayaan asli jika salah dalam memilih strategi akulturasi.
Selain itu, mengubah tata cara pergaulan, mentalitas, rasa malu, dan
kepiawaian masyarakat.
79
4. Faktor pendukung akulturasi budaya di Kelurahan Antang, Kota Makassar
yaitu adanya pola sikap dan pola pikir terbuka, saling menghargai,
menghormati, dan sikap toleransi. Selain itu, agama atau keyakinan tertentu
serta aturan perundang-undangan yang mengatur tentang aspek sosial
bermasyarakat dan berbudaya menjadi pendukung utama kelancaran
terjadinya akulturasi budaya. Adapun faktor penghambatnya adalah sikap
apatis masyarakat khususnya generasi muda atau milenial terhadap keaslian
budaya, atau sikap dominan atas budaya tertentu yang mendeskriminasi
kebudayaan lain.
B. Saran
Setelah melihat hasil penelitian ini, beberapa hal menjadi sangat penting
untuk peneliti sarankan bagi beberapa pihak berikut ini;
1. Masyarakat urban ataupun masyarakat lokal di Kelurahan Antang harus
senantiasa mencintai, menghargai, menjaga, dan berusaha melestarikan
kebudayaan asli masing-masing, namun tetap bersikap terbuka untuk
berkembang.
2. Generasi muda (milenial) diharapkan memiliki kesadaran akan pentingnya
kebudayaan asli sebagai penanda identitas sosial. Strategi akulturasi yang
digunakan oleh generasi muda sebaiknya dikaji ulang dan diganti dengan
strategi yang positif membangun peradaban yang lebih baik dengan tetap
mempertahankan keaslian budaya.
80
DAFTAR PUSTAKA
SSAl-Issa, Ihsan& Michel Tousignant, 1997.Ethnicity, Immigration,
and Psychopathology. New York: Plenum Press.
Berry, John W. 2017. Lead Article: Immigration, Aculturation, and Adaptation.
Canada: Queeens University.
Berry, John W. 2001. Cross-Cultural Psychology. 2ndEd. New York: Cambridge
University Press.
Berry, Jhon W. 2010. Conceptual Approaches to Acculturation (Chapter Book)
Acculturation, Advanches in Theory, Measurement, and Applied
Research.Wasingto, DC: Decade of Behavior
Chotib. 2002. “KrisisEkonomi Dan MobilitasPenduduk Indonesia”. Jurnal Media
Ekonomi.Volume 6 Nomor 2.
Daldjoeni, N. 2012. Geografi Kota danDesa (EdisiRevisiCetakan 4). Bandung:
Penerbit Alumni.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia.Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Firman. Tommy. 1996. “Urban Development in Bandung Metropolitan Region: A
Transformation to ADesa-Kota Region. Journal of Third World Planning
Review.Volume 18 Nomor 1.
Hasyim, Umar. 2011. Sosok Akulturasi Kebudayaan Asli Hindu-Budhadan
Islam.Bandung: RemajaRosdakarya.
International Organization for Migration.2004. Migrasi Tenaga Kerja dari
Indonesia. Jakarta: IOM.
Istiqhara, Andi. 2017. “Pencampuran Budaya Masyarakat Suku Bugis dan Suku
Bali di Desa Tamuku Kecamatan Bone-Bone Kabupaten LuwuUatara.”.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Makassar.
Junaid, Hamzah. 2013. “KajianKritisAkulturasi Islam denganBudayaLokal”.
Sulesana.Volume 8 Nomor 1, Halaman 1-14.
Junaidi, Edy.2009. “Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Penelolaan DASC
isadane Menggunakan Model SWAT”. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
81
Kartini, AchmadTolla, Jasruddin, dan Juanda. 2019. “The Design of Local
Culture-based Indonesian Language Teaching Materials”. Journal of
Language Teaching and Research.Volume 10 Nomor 2.Halaman 363-371.
Koentjaraningrat.2014. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori Antropologi (Edisi Revisi Cetakan ke 20).
Universitas Indraprasta Jakarta
Koentjaraningrat. 2016. Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Edisi Revisi
Cetakan ke 22). Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kotler, Philip & Kevin Lane Keller. 2008. Manajemen Pemasaran. Jakarta:
Indeks.
Lee. E. S. 2014. Suatu Teori Migrasi, (Terjemahan). Yogyakarta: Pusat Penelitian
dan Studi Kependudukan UGM.
Marbun, B.N. 2011.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Melville J. Herskovits &Bronislaw Malinowski, 1997.The Symbolic Construction
of Community. Routledge: New York.
Munir, Rozy.2000. MigrasiDalamDasar-Dasar Demografi Disunting Oleh
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Nardy, Hasyim. 2012. Persatuan Dua Budaya. Jakarta: Permana Ofsett.
Ningsih, S. 2002. “Urbanisasi dan Kaitannya dengan Hukum dan Pendidikan”.
Artikel [dalam jaringan] diakses pada www.repository.usu.ac.id.
Nurudin, B. 2014.Antropologi Kebudayaan Manusia, Suatu Pengantar. Bandung:
Alfabeta.
Prabatmodjo, Hastu. 2000. “Perkotaan Indonesia Pada Abad Ke-21: Menuju
Urbanisasi Menyebar”. Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Volume 11.
Nomor 1.
Reksohadiprojo, Sukanto. 2000. Dasar-DasarManajemen. Yogyakarta: BPFE.
Rumondor, Alex H. 2015. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia.
82
Sahabuddin, Washilah dan Fadhil Surur. 2018. “Akulturasi Budaya pada Pola
Permukiman Tradisional di Kampung Gantarang Lalang Bata Kabupaten
Kepulauan Selayar”. Tata Loka.Volume 20 Nomor 4.Halaman 373-383.
Sinulingga, Budi D. 2013. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Smokowski, dkk. 2011. The Releationship Between Acculturation and Violence in
Minority Adolecence (Chapter Book) Acculturation, Implications for
Individuals, Families, and Society. New York: Nova Science Publishers,
Inc.
Soetomo, Sugiono. 2009. Urbanisasi & Morfologi Proses Perkembangan
Peradaban Dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang Yang Manusiawi (Edisi
1). Yogyakarta: GrahaIlmu.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sullivan, A.O. 2003.Urban Economics.5st edition.New York: McGraw Hill.
Wekke, Ismail Suwardi. 2013. “Islam danAdat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan
Agama dalam Masyarakat Bugis”. Analisis: Jurnal Studi KeIslaman.
Volume 13 Nomor 1.Halaman 27-56.
83
LAMPIRAN-LAMPIRAN
84
85
.
86
Lampiran 1
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia
menjadi informan dalam penelitian yang dilakukan oleh saudari
Rahmawati yang berjudul Akulturasi Budaya Masyarakat Kota
(Studi Fenomenologi Penduduk Urban Di Kelurahan Antang
Makassar).
Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat
negatifterhadap diri saya dan akan di jaga kerahasiaannya oleh peneliti
serta hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Oleh karena itu
saya bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk digunakan
sebagaimana mestinya.
Makassar,………..2019
Tertanda
(……………)
87
Lampiran 2
PERMOHONAN MENJADI INFORMAN
Kepada Yth:
Bapak/Ibu Calon Informan Penelitian
Di Kelurahan Antang Makassar
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Rahmawati
NIM : 10538324015
Adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan yang sedang melakukan
penelitian dengan judul Akulturasi Budaya Masysrakat Kota (Studi
Fenomenologi Penduduk Urban Di Kelurahan Antang Makassar).
Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan
Bpak/Ibu sebagai informan dan kerahasiaan informasi yang diberikan
akan dijaga serta hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila Bapak/Ibu menyetujui, maka saya mohon kesediaannya untuk
menendatangani persetujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan peneliti. Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu
informan, saya ucapkan terima kasih.
Makassar, 2019
Peneliti
(Rahmawati)
88
Lampiran 3
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT KOTA (STUDI
FENOMENOLOGI PENDUDUK URBAN DI KELURAHAN
ANTANG MAKASSAR)
A. Identitas Informan
1. Nama Inisial :
2. Usia :
3. Pendidikan :
4. Pekerjaan :
5. Agama :
6. Alamat :
B. Orientasi
1. Memperkenalkan diri.
2. Menjelaskan maksud dan tujuan wawancara disertai dengan
manfaat penelitian dan menjelaskan kerahasiaan informan
terjamin
3. Meminta calon informan menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi informan
4. Melakukan kontrak wawancara, menawarkan waktu
wawancara 10-15 menit
C. Inti
Setelah calon informan menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi informan, selanjutnya peneliti mewawancarai
informan dengan merekam isi pembicaraan dengan alat perekam.
89
Lampiran 4
TRIANGULASI
AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT KOTA(STUDI
FENOMENOLOGI PENDUDUK URBAN DI KELURAHAN
ANTANG MAKASSAR)
A. Identitas Informan
1. Nama Inisial :
B. Orientasi
1. Memperkenalkan diri
2. Menjelaskan maksud dan tujuan wawancara di sertai dengan
manfaat penelitian dan menjelaskan kerahasiaan informan
terjamin
3. Meminta calon informan menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi informan
4. Menjelaskan kontrak wawancara,menawarkan waktu
wawancara 10-15 menit
C. Inti
Setelah calon informan menandatangani surat bpernyataan
kesediaan menjadi informan , selanjutnya peneliti
mewawancarai informan dengan menulis apa yang di
sampaikan oleh informan sesuai dengan pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti
Pertanyaan yang akan disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Dari mana asal anda?
2. Sudah berapa lama anda menetap di Kelurahan Antang
Makassar
3. Pengaruh apa yang bisa anda rasakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar
4. Bahasa apa saja yang bisa anda gunakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar
5. Mengapa anda memilih melakukan urbanisasi?
Dibandingkan tetap tinggal di kota asal anda?
90
6. Apa yang membuat anda lebih memilih melakukan
urbanisasi? Sedangkan di perkampungan kaya akan
sayuran,buah,dll?
7. Apakah anda sudah bisa dengan lancer mengucapkan bahasa
Massar itu sendiri maupun bahasa lainnya yang ada di sekitar
anda?
D. Terminasi
1. Menyimpulkan hasil wawancara
2. Menyampaikan terima kasih
3. Mengakhiri wawancara
91
Lampiran 5
Informan 1
A. Identitas Informan
1. Nama : Dian
2. Umur : 28
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Wiraswasta
B. Hasil wawancara dengan Informan
1. Dari mana asal anda?
Toraja
2. Sudah berapa lama anda menetap di Kelurahan Antang?
Iye,lama sekalimi kah waktukuji mau masuk sekolah SMP,
disini memang meka sekolah SMP sama SMA sudah itu
kerja meka.
3. Apa pengaruh yang bisa anda rasakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Banyak pengaruhnya karena kalau di kampungka susah ka
kalau mau kesekolah karena jauh rumahku dari sekolah-
sekolah. Baru disini juga kerja ka
4. Bahasa apa saja yang bisa anda gunakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Bahasa Makassar tonji,karena nda terlalu bergabungka
sama tetangga-tetanggaku karena pagi pergima
kerja,malampi seng baru pulangka
92
5. Mengapa anda memilih untuk melakukan urban ? sedangkan
di perkampungan kaya akan sayuran,buah,dll?
Iye memang kalau di Makassar serba di bellipi sayur apa
semua di bellipi tapi maumi di apa kalau di sini jeki bisa
cari uang
6. Mengapa anda lebih memilih melakukan urbanisasi di
bandingkan dengan tinggal di kota asal anda?
Karena kalau di kampungku jeka nda bisaka kerja,mungkin
di kebunnya ka saja bapakku petik-petik sayur
7. Apakah anda sudah bisa berbahasa Makassar dengan baik?
Belum terlalupi iya,kalau yang bahasa mangkasara itu.
93
Informan 2
A. Identitas Informan
1 Nama : Cullang
2 Umur : 31
3 Jenis Kelamin : Laki-laki
4 Pekerjaan : Wiraswasta
B. Hasil wawancara dengan Informan
1. Dari mana asal anda?
Enrekang
2. Sudah berapa lama anda menetap di Kelurahan Antang?
Maumi kayaknya 7 tahun
3. Apa pengaruh yang bisa anda rasakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Pengarunya itu bisakah sampai sekolah tinggi,setidaknya
samapi S1 ji
4. Bahasa apa saja yang bisa anda gunakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Bisaka bahasa mangkasara,bisaka juga bahasa bugis
karena ada tetanggaku orang bugis seringka sama-sama
jadi otomatis bisa ka juga bahasa bugis
5. Mengapa anda memilih untuk melakukan urban ? sedangkan
di perkampungan kaya akan sayuran,buah,dll?
Karena kalau di enrekang teruska tidak bisa ka kuliah
karena tidak ada dulu universitas disana,iya kalau sayuran
94
sama buah buahan memang di kampungku banyak tapi
begitumi kalau di Makassar ji bisa kuliah orang
6. Mengapa anda lebih memilih melakukan urbanisasi di
bandingkan dengan tinggal di kota asal anda?
Karena kalau di enrekang teruska tidak kuliah ka
7. Apakah anda sudah bisa berbahasa Makassar dengan baik?
Nassami iya
95
Informan 3
A. Identitas Informan
1. Nama : Hasby
2. Umur : 41
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Wiraswasta
B. Hasil wawancara dengan Informan
1. Dari mana asal anda?
Jawa
2. Sudah berapa lama anda menetap di Kelurahan Antang?
Sudah lamami sebelum menikah,sudah 20 tahun kalau tidak
salah
3. Apa pengaruh yang bisa anda rasakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Saya bisa berjualan agak laris disini di banding disana di
jawa karena lebih banyak warganya disana dan yang
menjual juga banyak sekali jadi terlalu banyak saingan
4. Bahasa apa saja yang bisa anda gunakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Bisaka bahasa mangkasara,bisaka juga bahasa bugis
karena ada tetanggaku orang bugis seringka sama-sama
jadi otomatis bisa ka juga bahasa bugis
5. Mengapa anda memilih untuk melakukan urban ? sedangkan
di perkampungan kaya akan sayuran,buah,dll?
96
Karena kalau di enrekang teruska tidak bisa ka kuliah
karena tidak ada dulu universitas disana,iya kalau sayuran
sama buah buahan memang di kampungku banyak tapi
begitumi kalau di Makassar ji bisa kuliah orang
6. Mengapa anda lebih memilih melakukan urbanisasi di
bandingkan dengan tinggal di kota asal anda?
Karena kalau di enrekang teruska tidak kuliah ka
7. Apakah anda sudah bisa berbahasa Makassar dengan baik?
Nassami iya
97
Informan 4
A. Identitas Informan
1. Nama : Hariani
2. Umur : 54
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : IRT
B. Hasil wawancara dengan Informan
1. Dari mana asal anda?
Bone
2. Sudah berapa lama anda menetap di Kelurahan Antang?
Adami 29 tahu n
3. Apa pengaruh yang bisa anda rasakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Bisaka kodong kasih sekolah anakku,karena kalau di
kampung tidak ada penghasilannya suamiku,kalau disini
banyakji bisa di kerja supaya menghasilkan uang
4. Bahasa apa saja yang bisa anda gunakan selama berada di
Kelurahan Antang Makassar?
Biasa sekali kali bahasa Makassar seperti kalau belanja di
penjual sayur
5. Mengapa anda memilih untuk melakukan urban ? sedangkan
di perkampungan kaya akan sayuran,buah,dll?
98
Ituji kalau banyak kebunnya orang,saya kodong kah nda ada
kebunku,kebunnyaji saudara tapi tidak enak kalau pergiki
terus ambil di kebunnya
6. Mengapa anda lebih memilih melakukan urbanisasi di
bandingkan dengan tinggal di kota asal anda?
Sudah terbiasa memang tinggal di kota
7. Apakah anda sudah bisa berbahasa Makassar dengan baik?
Iya bisama
99
SURAT IZIN PENELITIAN
100
101
RIWAYAT HIDUP
Rahmawati. Lahir pada tanggal 09 September 1997, di Makassar
Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis merupakan Putri ke Tiga dari
tiga bersaudara oleh pasangan Ayahanda Halang dan Ibunda
Nurhaeda. Penulis pertama kali masuk pendidikan Formal di
SDN 296 Bana padatahun 2003 dan tamat padatahun 2009.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN
5 Bontocani dan tamat pada tahun 2009. Setelah tamat di SMP, Penulis
melanjutkan ke SMK Negeri 7 Makassar dan tamat pada tahun 2015. Dan pada
tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswi di Universitas
Muhammadiyah Makassar , Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Jurusan
Pendidikan Sosiologi melalui SeleksiPenerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).