29
Surey EuroPrevall Prevalesi dan Kebiasan yang Dilaporkan secara Mandiri Mengenai Efek merugikan Reaksi Makanan dan Alergi Makanan Pada Anak Sekolah Dasar Di Vilnius Lithuania ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi reaksi merugikan akibat makanan dan alergi makanan yang dilaporkan secara mandiri pada anak sekolah dasar di Vilnius Lithuania Bahan dan Metode: Universitas Vilnius bekerja sama dengan poyek Europrevall. Sebanyak 4334 anak anak dari 13 sekolah dasar berpartisipasi pada studi ini. Dari 4333 kuesinoer yang disitribusikan, 3084 kuesioner yang dikembalikan. Tahap skrining klinik diikuti oleh sampel untuk melihat analisis darah sampel sebagai penegakan diagnosis alergi makanan. Pada penelitian ini 186 sampel darah IgE dianalisis. Hasil: Setengah dari sampel mengalami penyakit dan gangguan yang disebabkan oleh makanan. Prevalensi dari reaksi negative terhadap makanan ditemukan meningkat pada usia 6-10 tahun. Alergi makanan terdeteksi pada 16,4% sampel. Sampel anak laki- laki lebih sering memiliki alergi makanan dibandingkan anak perempuan . Diare, muntah, ruam (bintik-bintik) dan kulit gatal adalah gejala umum yang paling sering disebutkan. Buah – buahan, berry, susu dan produk susu merupakan makanan yang

Alergi Rizal

  • Upload
    permadi

  • View
    289

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kk

Citation preview

Surey EuroPrevall Prevalesi dan Kebiasan yang Dilaporkan secara Mandiri Mengenai Efek merugikan Reaksi Makanan dan Alergi Makanan Pada Anak Sekolah Dasar Di Vilnius Lithuania

ABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi reaksi merugikan akibat makanan dan alergi makanan yang dilaporkan secara mandiri pada anak sekolah dasar di Vilnius LithuaniaBahan dan Metode: Universitas Vilnius bekerja sama dengan poyek Europrevall. Sebanyak 4334 anak anak dari 13 sekolah dasar berpartisipasi pada studi ini. Dari 4333 kuesinoer yang disitribusikan, 3084 kuesioner yang dikembalikan. Tahap skrining klinik diikuti oleh sampel untuk melihat analisis darah sampel sebagai penegakan diagnosis alergi makanan. Pada penelitian ini 186 sampel darah IgE dianalisis.Hasil: Setengah dari sampel mengalami penyakit dan gangguan yang disebabkan oleh makanan. Prevalensi dari reaksi negative terhadap makanan ditemukan meningkat pada usia 6-10 tahun. Alergi makanan terdeteksi pada 16,4% sampel. Sampel anak laki-laki lebih sering memiliki alergi makanan dibandingkan anak perempuan . Diare, muntah, ruam (bintik-bintik) dan kulit gatal adalah gejala umum yang paling sering disebutkan. Buah buahan, berry, susu dan produk susu merupakan makanan yang paling sering ditemukan pada reaksi yang merugikan. Makanan yang paling sering menimbulkan alergi makanan dengan media IgE adalah susu sapi dan hazelnutKesimpulan: Prevalensi hipersensitif makanan mencapai setengah dari populasi sampel yang dilaporkan secara mandiri pada anak anak sekolah dasar . Buah buahan , berry, susu dan produk susu merupaann penyebab sebagain besar alergi/ reaksi makanan yang merugikan pada anak sekolah dasar di Lithuania. Perbedaan prevalensi hipersensitifitas makanan dan IgE sebagai media alergi makanan berhubungan dengan jenis kelamin dan usia yang perlu di analisis secara mendalam untuk menetapkan perkembangan prognosis dan alat untuk mendiagnosa lebih lanjut.

BAB IPENDAHULUAN

Pada beberapa tahun terkahir prevalensi penyakit yang disebabkan alergi makanan semakin meningkat. Menjadi masalah kesehatan yang sangat penting (1). Beberapa faktor risiko dapat menyebabkan alergi makanan yaitu riwayat genetik, paparan allergen, polusi lingkungan dan rendahnya imunitas seseoang pada periode perkembangan yang kritis.Selain itu alergi dapat menjadi penyakit pada masyarakat modern (2).Produk makanan dapat menyebabkan berbagai reaksi contohnya hipersensitivitas terhadap makanan. Salah satu efek sampingnya adalah alergi terhadap makanan. Akademi EropaAlergi dan Imunologi Klinik (EAACI) yang mengusulkan adanya nomeklatur baru untuk penyakit alergi, sesuai dengan alergi makanan yang disebabkan oleh hipersensitfitas terhadap makanan dengan gejalan munculnya immunoglobulinE (IgE) atau non-IgE, termasuk hypersensitifitas non alergi atau yang disebut intoleransi makanan(3).Alergi terhadap makanan dan bahan-bahan alami atau buatan menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, ini merupakan masalah yag serius tidak hanya untuk anak-anak dan orang tua, tetapi juga para staf medis dan masyarakat setempat. Beban financial dan beban sosial berhubungan dengan penyakit ini akan meningkat (4). Diperkirakan jumlah makanan yang dapat menyebabkan reaksi alergi akan berkembag, dan jumlah reaksi alergi yang serius meningkat, tetapi informasi yang dapat dipercaya tentang prevalensi yang tepat pada masalah ini tidak diketahui. Prevalensi alergi makanan pada anak-anak, terutama di usia muda menjadi perhatian utama, karena sejumlah studi menunjukkan bahwa kejadianya lebih tinggi daripada usia dewasa. Seiring dengan semua implikasi sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya maka pencegahan dan pengobatan reaksi alergi terhadap makanan menjadi tantangan para ilmuwan, dokter, politisi, dan masyarakat (5).

BAB IITINJAUAN PUSTAKAI. DEFINISI ALERGI MAKANANTidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologis atau non imunologis. Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang bersifat imunologi, farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta neuropsikologis terhadap makanan. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan dan zat aditif makanan, sekitar 20% disebabkan karena alergi makanan. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and Immunology dan The National Institute of Allergy and Infections Disease, dapat dilihat pada bagan di bawah. (Gambar 1)(31,33,34)

Gambar 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan menurut American Academy of Allergy and Immunology

Reaksi simpang makanan (adverse food reactions) adalah istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang dikonsumsi. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan. Alergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang menyimpang karena masuknya bahan penyebab alergi ke dalam tubuh, mekanisme reaksi ini dapat dimediasi oleh IgE atau non-IgE. Intoleransi makanan adalah reaksi makanan non imunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Ada berbagai variasi tipe intoleransi makanan, seperti keracunan makanan (food poisoning), reaksi metabolik terhadap makanan dan beberapa penyebab yang tidak jelas dari reaksi simpang makanan, seperti reaksi idiosinkrasi. Keracunan makanan terjadi ketika makanan yang mengandung toksin dikonsumsi. Pada beberapa situasi, keracunan makanan dapat mirip dengan reaksi alergi. Contohnya pada keracunan ikan scromboid, tuna, atau ikan lain yang mengandung banyak histamin yang diproduksi oleh bakteri yang mengkontaminasi. Ketika ikan scromboid dikonsumsi, gejala yang timbul sangat mirip menyerupai reaksi alergi terhadap makanan. Pada reaksi metabolik terhadap makanan, tubuh tidak mampu mencerna secara adekuat zat yang terkandung pada makanan penyebab. Contohnya pada orang dengan intoleransi laktosa, memiliki defisiensi enzim laktase di usus yang diperlukan untuk mencerna gula susu, laktosa. Ketika susu atau produk-produk susu lainnya dikonsumsi, pada individu ini akan timbul gejala mual, produksi gas berlebihan, dan, diare.(31,34,35)Reaksi makanan tipe lain disebut idiosinkrasi makanan (food idiosyncrasy). Idiosinkrasi makanan adalah respon abnormal terhadap makanan atau substansi makanan. Reaksinya dapat menyerupai atau berbeda dari gejala alergi makanan yang sebenarnya. Reaksi idiosinkrasi terhadap makanan merupakan respon abnormal kuantitatif terhadap substansi makanan atau zat tambahannya yang berbeda dalam efek fisiologik atau farmakologiknya. Respon tipe ini menyerupai reaksi hipersensitif tapi tidak melibatkan sistem imun seperti yang terlihat pada reaksi alergi makanan. Sensitifitas sulfit atau sulfit yang menginduksi asma (sulfite-induced asthma) adalah contoh idiosinkrasi makanan yang menyerang sejumlah kecil individu dalam populasi. Sulfite-induced asthma dapat berpotensi mengancam nyawa.(31,34,35)Reaksi makanan non alergi dapat juga terjadi akibat masalah kesehatan lainnya, seperti pada anak-anak dengan gastroenteritis viral kemudian berkembang menjadi intoleransi laktosa. Pada beberapa kejadian, mekanisme terjadinya reaksi ini tidak diketahui. Faktor psikologis mungkin memainkan peran penting pada kasus-kasus lainnya(35).II. PENYEBAB DAN PENCETUS ALERGI MAKANANPenyebab alergi makanan adalah alergen, merupakan bagian dari makanan yang menimbulkan stimulasi sistem imun pada individu yang alergi makanan. Sensitisasi terhadap alergen makanan terjadi pada traktus gastrointestinal, namun juga dapat terjadi melalui sensitisasi melalui alergen inhalan. Sebagian besar alergen makanan dikenal sebagai alergen klas I, berupa glikoprotein dengan berat molekul antara 10 sampai 70 kilodalton, tahan terhadap panas, asam, dan enzim proteolitik. Dengan semakin banyaknya alergen yang teridentifikasi, diisolasi, dan dikenali, telah jelas bahwa protein hewan dan tumbuhan merupakan tipe yang sama dengan protein yang menyusun alergen makanan. Alergen makanan lain adalah alergen klas II, yang berupa bentuk epitope, sangat labil pada suhu tinggi, rentan terhadap enzim degradasi, dan sulit untuk diisolasi. Alergen klas II ini mungkin yang berperan dalam sensitisasi melalui inhalan. Karena sifatnya yang labil dan sulit diisolasi, belum banyak penelitian yang mengungkap alergen jenis ini, dan pembuatan ekstrak alergen ini untuk diagnosis masih belum memuaskan (31,32)Pada pemurnian kacang tanah ditemukan alergen yang disebut sebagai Peanut-1, suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton. Protein kacang tanah sebagai alergen lainnya adalah arachin dan conarachi. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan walau jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada telur. Pada susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG), Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama pada gandum. Diantara alergen tersebut di atas, BLG adalah alergen yang paling kuat sebagai penyebab alergi makanan (31,32)Kebiasaan diet di suatu daerah dan cara memasak atau menyiapkan makanan berhubungan dengan prevalensi alergi makanan tertentu pada beberapa makanan. Sebagai contoh, konsumsi kacang tanah per kapita di Cina dan Amerika Serikat secara umum sama, namun hampir tidak ada laporan alergi kacang tanah di Cina. Orang Cina biasanya merebus atau menggoreng kacang tanah, sedangkan orang Amerika memakan kacang tanah yang dipanggang kering. Panas yang lebih tinggi pada pemanggangan (1800C), dan proses pemasakan dan pemanggangan telah meningkatkan sifat alergenik dari protein kacang tanah.1Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu (32,5)Tabel berikut merupakan sebagian alergen yang telah dikenali pada beberapa makanan.No.Produk makananAlergen

1.Susu Casein, lactoglobulins, lactoalbumins

2.Telur Ovalbumin, conalbumin, lipoprotein

3.Kacang tanahArachin, lectin-reactive glycoprotein, Peanut I, conarachi

4.Kacang kedelaiGlycinin

5.Minyak ikan lautAllergen M

6.Kacang hijauAlbumin

7.Beras Glutelin/globulins

8.Tomat Glycoproteins

Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul (35).Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar (35).

III. PATOGENESIS ALERGI MAKANANAlergi makanan merupakan respon abnormal dari sistem imun mukosa terhadap antigen yang masuk melewati rute oral. Tidak seperti sistem imun sistemik yang relatif lebih sedikit terpapar antigen dan mengembangkan respon inflamasi yang sesuai, sistem imun mukosa terpapar berbagai macam antigen sehari-hari dan secara umum menekan reaktifitas sistem imun terhadap antigen asing yang berbahaya, dan hal tersebut berfungsi sepenuhnya menyusun respon protektif yang sesuai terhadap patogen yang berbahaya. Barier mukosa gastrintestinal merupakan struktur kompleks yang tersusun atas permukaan yang luas untuk pemrosesan dan penyerapan makanan yang dikonsumsi dan mengeluarkan produk sisanya. Barier ini memiliki faktor fisikokimia dan faktor seluler untuk mencegah masuknya antigen asing. Barier fisik terdiri atas sel epitelial yang tersusun rapat dan dilapisi lapisan mukosa tebal yang menangkap partikel, virus, dan bakteri; enzim di lambung dan usus, cairan empedu, dan pH yang ekstrim; yang semuanya berfungsi menghancurkan patogen dan menjadikan antigen bersifat non imunogenik. Respon sistem imun bawaan/innate immune (sel NK, lekosit PMN, makrofag, sel epitel, dan toll-like receptors) dan adaptif/adaptive immune (limfosit intraepitel dan lamina propria, patch Peyeri, sIgA, dan sitokin) memberikan barier aktif terhadap antigen asing. Namun adanya imaturitas berbagai komponen barier usus dan sistem imun menurunkan efisiensi barier mukosa pada bayi. Contohnya, aktifitas enzim masih suboptimal pada periode setelah dilahirkan (newborn), dan sistem sIgA belum sepenuhnya matang sampai umur 4 tahun. Konsekuensinya, keadaan imaturitas pada barier mukosa berperan pada tingginya prevalensi infeksi gastrointestinal dan alergi makanan pada tahun-tahun pertama kelahiran (31,36,37)Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan epitel (dinding usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil, patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen yang sama. Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja untuk mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus) (31,36,37).

Gambar 2. Sistem pertahanan pada saluran cerna.Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel intestinal memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch Peyeri) dengan hasil terjadi imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebut terletak di limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia (31,36,37).Selanjutnya alergi yang diperantarai IgE berkembang dalam 2 tahap (37):1. Tahap pertama dikenal sebagai sensitisasi dan terjadi ketika antigen (hampir selalu sebagai protein) ditangkap oleh sel, yang disebut limfosit B progenitor, mampu mematangkan menjadi sel pemroduksi antibodi (antibody-producing cells). Sel ini memecah antigen dan menghasilkan fragmen peptida yang terikat secara selektif pada molekul major histocompatibility complex (MHC) class II dan diangkut ke permukaan sel. Kompleks molekul MHC dan peptida asing pada permukaan limfosit B akan dikenali oleh reseptor sel T dari sel T helper CD4+. Kejadian ini merangsang berbagai perubahan, termasuk maturasi sel B sehingga dapat mengeluarkan antibodi. Pada tubuh yang fungsinya normal, akan memproduksi IgG dan IgA terhadap protein makanan, namun pada individu yang memiliki predisposisi, hasil respon imun akan membentuk Th2 yang memulai produksi IgE spesifik. Antibodi tipe ini biasanya hanya diproduksi pada respon terhadap infeksi parasit, seperti malaria.2. Tahap kedua merupakan tahap elisitasi terhadap reaksi alergi. IgE berhubungan dengan reseptor IgE spesifik di permukaan basofil atau sel mast, yang sudah mengandung mediator inflamasi seperti histamin. Pada paparan berikutnya terhadap agen yang telah tersensitisasi, sel yang berikatan dengan IgE akan saling terikat dengan agen, menyebabkan sel mast melepaskan mediator inflamasi. Mediator tersebut akan merangsang perubahan fisiologis yang menimbulkan manifestasi yang disebut gejala reaksi alergi. Gejala tersebut biasanya timbul cepat (dalam beberapa menit) setelah paparan dengan alergen dan bervariasi, meliputi gejala respiratorik, gastrointestinal, dan reaksi kulit.

BAB IIIHASIL DAN PEMBAHASAN JURNAL

A. HASIL

Pada tabel diatas dapat dilihat, dari 4333 anak anak yang dikirimkan kuesioner alergi makanan dan screening alergi, hanya 3084 yang mengembalikan kuesioner.

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pada populasi anak sekolah yang melaporkan terkena penyakit atau gangguan yang disebabkan oleh konsumsi makanan.Dari total sampel 3084 siswa, hampir separuh anak sekolah (n=1445; 46,9%) mengalami masalah tersebut sedangkan 1649 (53,1%) anak sekolah tidak mengalaminya. Distibusi jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2 di atas.

Pada tabel 3 dapat dilihat jumlah anak sekolah dan prevalensi yang terkena penyakit atau gangguan makan atau makanan berdaarkan umur anak sekolah. Dapat dilihast semakin bertambah umur anak sekolah maka prevalensi terkena penyakit atau gangguan makan semakin meningkat.

Pada tabel 4 dapat dilihat prevalensi anak sekolah yang di diagnosa oleh dokter mengalami alergi makanan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.

Pada tabel 6 dapat dilihat dengan menggunakan analisis IgE dapat dilihat IgE sebagai media dari alaegi makanan lebih banyak ditemukan pada sampel anak laki-laki(26,2%) dibandingkan dengan anak peremuan (17%).

Pada tabel diatas dapat dilihat ringkasan penyeabab dari alergi makanan. Susu sapi menjadi penyebab terbanyak yang menimbulkan alergi makanan.

Pada figure diatas dapat dilihat gejala yang paling muncul akibat makanan yaitu mual muntah dan diare.Prevalensi alergi makanan tergantung pada usia,,dan secara signifikan berbeda antara anak-anak dan orang dewasa. Gejala klinis alergi makanan sering disebut March Atopi.

Pada figure 2 dapat dilihat distrubusi makanan yang menjadi penyebab gejala gangguan makanan, yang paling tinggi disebabkan oleh buah-buahan dan berrie sedangkan yang terendah disebabkan oleh krustasea (udang.kepiting dll).

B.PEMBAHASAN

Reaksi makanan dan alergi makanan terjadi hampir terjadi pada sebagian besar anak sekkolah di Lithunia (46,9%). Hasil ini hampir sama pada penelitian yang dilakukan di Polandia tepatnya di kota Lodz anak-anak yang mengalami reaksi terhadap makanan sebesar 41,6% (9). Pada penelitian yang lain prevalensi hipersensitifits makanan pada anak-anak di Italia (10) cukup rendah yaitu 10,5 % dan di United Aras Emirates (11) yaitu 8%. Para peneliti setuju karena adanya perbedaan konsep mengenai alergi makanan dan gangguan makanan atau yang disebut intoleransi makanan dan intoksifikasi makanan (12)Poporsi alergi makanan yang didagnosa oleh dokter cukup kecil yaitu (16,4%), sedangkan di Polandia proporsi ini lebih besar yaitu 27,7% (9)Prevalensi alergi makanan tergantung pada usia,,dan secara signifikan berbeda antara anak-anak dan orang dewasa. Gejala klinis alergi makanan sering disebut March Atopi.Alergi makanan lebih banyak disebabka oleh susu dan telur (85%), kedelai (13,6%) dan kacang tanah (20%) (13-16). Penelitian terkini menyatakan prevalensi hypersensifitas makanan berdasarkan usia cenderung mengalami peningkatan, selain itu terdapat hubungan antara jenis kelamin laki-laki dengan alergi makanan(17-18). Peningkatah prevakensi gejala dan diagnisa asma bronchial, retinitis alerfi dan dermatitis atopic pada anak laki-laki telah diidentifikasi oleh ilmuwan Lithuania(19). Penelitian lainnya yang dilakukan di Lithuania melaporkan prevalensi alergi makanan menjadi rendah (12,8%) pada anak sekolah usia diatas 15 -19 tahun(20). Hal ini menunjukkan prevalensi reaksi terhadap makanan menigkat sampai usia 10 tahun kemudia mulai berkurang setelah usia 10 tahun, namun pada sebagian anak-anak prevalensi ini semakin meningkat. Efek samping dari makanan dan alergi makanan menimbulkan berbagai gejala dan penyakit, biasanya akan mempengaruhi sistem pernafasan dan kulit (21,22). Dalam penelitian ini gejala diare, mual, muntah, ruam,dan kulit gatal menjadi gejala yang paling sering muncul.Gejala ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnta (9, 20, 23, 24).Terdapat heterogenitas dalam prevalensi IgE pada alergi makanan dan reaksi negative terhadap makanan pada jenis dan keompok makanan yang berbeda. Alergen yang disebabkan oleh makanan perbedan antar wilayah. Hal ini erat hubungannya engan kebiasaan dan tradisi atau budaya serta gizi, globalisasi dan insutrial memiliki dampat yang sangat besar. Contohnya alergi ikan paling sering ditemui di Skandinavia; kedelai di Jepang; kacang tanah di Amerika dan Inggris; buah-bahan di Asia Tenggara; dan makanan laut di Negara Mediterania(1)Sebagian besar penduduk di Eropa melaporkan reaksi negatif terhadap makanan. Termasuk yan dilaporkan pada European Community Respiratory Health Survey (ECRHS), 19% dari populasimelaporkan suatu penyakit atau gangguan yang disebabkan oleh makanmakanan tertentu, dan 12,2% melaporkan bahwa mereka hampir selalu mengalami penyakit tersebut setelah mengkonsumsi makanan tertentu. Ada perbedaan signifikan prevalensi penyakit yang berhubungan dengan makanan antara berbagai negara mulai dari 4,6% di Spanyol untuk 18% di Swedia dan 19,1% di Australia.Kemungkinan besar, beberapa keluhan ini merupakan akibat respon IgE (8, 25, 26). Hasil dari peneltian ini sesuai dengan penelitian lain, misalnya menurut data dari ilmuwan Jerman, gejala yang berhubungan dengan makanan umum terjadi di antara anak-anak dan remaja. Laporan secara mandiri terbukti pada 1 dari 10 orang yang mengalami gejala tersebut, dan sebesar 4,2 % mengalami gejala klinis (27). Peneliti Belanda membandingkan hasil hipersensitivitas makanan dandiagnosis alergi makanan dan menemukan bahwa hanya0,8% orang memiliki alergi makanan, sementara 12,4% memilikikeluhan dan dilaporkan memiliki hipersensitivitas makanan(28). Orang cenderung melebih-lebihkan alergi makanan. Karena persepsi alergi makanan yang berbeda beda.Orang bingung membedakan alergi makanan dengan intoleransi makanan atau bahkan dengan kasus keracunan makanan ringan(12). Reaksi maknan yang dilaporkan sendiri memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan diagnosis hipersensitivitas dengan pedoman diagnostik berbasis bukti. Pada anak-anak, reaksi alergi makanan lebih umum terjadi dibandingkan dengan rekasi hipersensitivitas non alergi makanan reaksi, dan 90% yang disebabkan oleh 8n alergen makanan yaitu: susu sapi, kedelai, telur, ikan, kerang, kacang tanah, kacang pohon, dan gluten. Diagnosis harus didasarkan pada potensi alergi makanan. Mengenai prosedur diagnosa hasil yang negatif pada test serologi dan tes kulit termasuk IgE yang ditimbulkan oleh alergi makanan dan jika hasil tes positif, tidak cukup untuk mendiagnosis alergi makanan (29).

BAB IVKESIMPULAN

Prevalensi hipersensitif makanan mencapai setengah dari populasi sampel yang dilaporkan secara mandiri pada anak anak sekolah dasar . Buah buahan , berry, susu dan produk susu merupaann penyebab sebagain besar alergi/ reaksi makanan yang merugikan pada anak sekolah dasar di Lithuania. Perbedaan prevalensi hipersensitifitas makanan dan IgE sebagai media alergi makanan berhubungan dengan jenis kelamin dan usia yang perlu di analisis secara mendalam untuk menetapkan perkembangan prognosis dan alat untuk mendiagnosa lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rudzeviien O. Alergija maistui. Vilnius: Vilniaus universiteto leidykla; 2009.2. Kanceljak-Macan B. (Current views on allergic diseases.) Arh Hig Rada Toksikol 2004;55(2-3):123-34.3. Johansson SG, Hourihane JO, Bousquet J, Bruijnzeel-Koomen C, Dreborg S, Haahtela T, et al. A revised nomenclaturefor allergy. An EAACI position statement from theEAACI nomenclature task force. Allergy 2001;56(9):813-24.4. Berni CR, Ruotolo S, Discepolo V, Troncone R. The diagnosisof food allergy in children. Curr Opin Pediatr 2008;20(5):584-9.5. Mills EN, Mackie AR, Burney P, Beyer K, Frewer L, MadsenC, et al. The prevalence, cost and basis of food allergyacross Europe. Allergy 2007;62(7):717-22.6. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol2010;125(2 Suppl 2):S116-25.7. Rona RJ, Keil T, Summers C, Gislason D, Zuidmeer L,Sodergren E, et al. The prevalence of food allergy: a metaanalysis.J Allergy Clin Immunol 2007;120(3):638-46.8. Kummeling I, Mills EN, Clausen M, Dubakiene R, PerezCF, Fernandez-Rivas M, et al. The EuroPrevall surveyson the prevalence of food allergies in children and adults:background and study methodology. Allergy 2009;64(10):1493-7.9. Majkowska-Wojciechowska B, Wardzynska A, LuczynskaM, Kowalski MK, Makowska J, Kowalski ML. Food hypersensitivityin the population of school children in Lodz results of the EuroPrevall surveys. Alergia Astma Immunologia2009;14(1):35-44.10. Caffarelli C, Coscia A, Ridolo E, Povesi DC, Gelmetti C, Raggi V, et al. Parents estimate of food allergy prevalence and management in Italian school-aged children. Pediatr Int 2011;53(4):505-10.11. Al-Hammadi S, Al-Maskari F, Bernsen R. Prevalence offood allergy among children in Al-Ain city, United ArabEmirates. Int Arch Allergy Immunol 2010;151(4):336-42.12. Venter C, Pereira B, Grundy J, Clayton CB, Arshad SH,Dean T. Prevalence of sensitization reported and objectivelyassessed food hypersensitivity amongst six-year-old children:a population-based study. Pediatr Allergy Immunol 2006;17(5):356-63.13. Savage JH, Matsui EC, Skripak JM, Wood RA. The natura history of egg allergy. J Allergy Clin Immunol 2007;120(6):1413-7.14. Savage JH, Kaeding AJ, Matsui EC, Wood RA. The naturalhistory of soy allergy. J Allergy Clin Immunol 2010;125(3):683-6.15. Skolnick HS, Conover-Walker MK, Koerner CB, SampsonHA, Burks W, Wood RA. The natural history of peanut allergy.J Allergy Clin Immunol 2001;107(2):367-74.16. Skripak JM, Matsui EC, Mudd K, Wood RA. The natural history of IgE-mediated cows milk allergy. J Allergy ClinImmunol 2007;120(5):1172-7.17. Nicolai T, Pereszlenyiova-Bliznakova L, Illi S, Reinhardt D, von ME. Longitudinal follow-up of the changing gender ratio in asthma from childhood to adulthood: role of delayed manifestation in girls. Pediatr Allergy Immunol 2003; 14(4):280-3.18. Schatz M, Clark S, Camargo CA Jr. Sex differences in the presentation and course of asthma hospitalizations. Chest 2006;129(1):50-5.19. Kudzyt J, Grika E, Bojarskas J. Time trends in the prevalence of asthma and allergy among 6-7-year-old children. Results from ISAAC phase I and III studies in Kaunas, Lithuania. Medicina (Kaunas) 2008;44(12):944-52.20. Dubakien R, urkien G, Stukas R, Pirmaityt-Vilesko J, Kavalinas A. Food allergies among 5th-9th grade schoolchildren in Vilnius (Lithuania). Ekologija 2008;54(1):1-4.21. Gotua M, Lomidze N, Dolidze N, Gotua T. IgE-mediated food hypersensitivity disorders. Georgian Med News 200822. Vigi V, Fanaro S. (Food allergies in early childhood. 1. General concepts, etiopathogenesis, and main clinical features.) Minerva Pediatr 2000;52(4):215-25.23. Eriksson NE, Moller C, Werner S, Magnusson J, Bengtsson U, Zolubas M. Self-reported food hypersensitivity in Sweden, Denmark, Estonia, Lithuania, and Russia. J Investig Allergol Clin Immunol 2004;14(1):70-9.24. Rance F, Grandmottet X, Grandjean H. Prevalence and main characteristics of schoolchildren diagnosed with food allergies in France. Clin Exp Allergy 2005;35(2):167-72.25. Burney PG, Luczynska C, Chinn S, Jarvis D. The European Community Respiratory Health Survey. Eur Respir J 1994; 7(5):954-60.26. Woods RK, Abramson M, Bailey M, Walters EH. International prevalences of reported food allergies and intolerances. Comparisons arising from the European Community Respiratory Health Survey (ECRHS) 1991-1994. Eur J Clin Nutr 2001;55(4):298-304.27. Roehr CC, Edenharter G, Reimann S, Ehlers I, Worm M, Zuberbier T, et al. Food allergy and non-allergic food hypersensitivity in children and adolescents. Clin Exp Allergy 2004;34(10):1534-41.28. Jansen JJ, Kardinaal AF, Huijbers G, Vlieg-Boerstra BJ, Martens BP, Ockhuizen T. Prevalence of food allergy and intolerance in the adult Dutch population. J Allergy Clin Immunol 1994;93(2):446-5629. Kolacek S. (Food hypersensitivity in children.) Acta Med Croatica 2011;65(2):155-6130. Kavalinas Andrius, Gen urkien et al. EuroPrevall Survey on Prevalence and Pattern of Self-ReportedAdverse Reactions to Food and Food Allergies Among PrimarySchoolchildren in Vilnius, Lithuania. Medicina (Kaunas) 2012;48(5):265-7131. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113: 805 1932. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 717 2833. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-2534. Furukawa CT. Nonimmunologic food reactions that can be confused with allergy. In: Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america. Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 815 27 35. Understanding food allergy. International Food Information Council Foundation. Washington. 200136. Sampson HA. Immunologic mechanisms in adverse reactions to foods. In: Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america. Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 701 12 37. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology: functions and disorders of the immune system. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004; 11: 193 201