Upload
nitamardiana
View
57
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
KTI Hipertensi
Citation preview
i
STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI SALAH SATU
APOTEK SWASTA KOTA BANDUNG
ABSTRAK
Hipertensi adalah faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan penyakit
kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% dari
populasi pada usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
tentang pengobatan penyakit hipertensi, mengetahui jumlah dan jenis obat yang sering
diresepkan dan mengetahui terapi pengobatan antihipertensi yang paling banyak digunakan.
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis penggunaan obat antihipertensi dengan
sumber data dari resep dokter yang diambil secara retrospektif (pengambilan data yang sudah
ada) selama bulan februari sampai juli 2015. Dari hasil penelitian didapat bahwa yang banyak
mendapatkan obat antihipertensi berjenis kelamin wanita (60%), penggunaan obat
antihipertensi berdasarkan usia paling banyak >65 tahun (12,31%), berdasarkan golongan
obat dan nama obat yang paling banyak di resep yaitu antihipertensi golongan diuretik
(26,59%) dengan obatnya furosemide (14,89%);golongan ARB (21,28%) dengan obat
candesartan (7,45%);golongan CCB atau antagonis kalsium (39,36%) dengan obatnya
amlodipine (38,29%), monoterapi atau terapi tunggal lebih dominan (60%) dibanding terapi
kombinasi (40%), terapi kombinasi yang banyak diresepkan antara antagonis kalsium dengan
antagonis angiotensin II receptor blocker sebanyak 10,79% juga terapi kombinasi antagonis
kalsium dengan diuretik sebanyak 9,23%. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita
hipertensi terbanyak terdapat pada lansia dengan prevalensi wanita tertinggi, penggunaan
terapi tunggal paling dominan dibanding terapi kombinasi. Penggunaan obat antihipertensi
yang sering diresepkan dari golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Terapi kombinasi
yang sering ditemukan yaitu antagonis kalsium dengan antagonis angiotensin II receptor
blocker yang menghasilkan efek sinergis.
Kata Kunci : Hipertensi, Obat, Antihipertensi
ii
STUDY OF ANTIHYPERTESION USAGE ON PRIVATE DRUGSTORE
IN BANDUNG
ABSTRACT
Hypertension is the main risk factor of cardiovascular disease which is the highest death in
Indonesia. The prevalence of hypertension in Indonesia about 25,8% of the population at the
age of 18 or above. This study aimed to find an overview of the treatment of hypertension,
knowing amount and types of medicine commonly prescribed antihypertensive medication
therapy and determine the most widely used. The method used to analyze the utilizing of
antihypertensive medicine the data sources from a prescription taken retrospectively (retrieval
of data that already exists) during February to July 2015. The research found that group who
get more anti hypertension prescription is female (60%), use of antihypertensive of medicine
most widely by age> 65 years (12.31%), based on classes of medicine and names that are the
most widely prescribed antihypertensive diuretics (26.59%) of the medicine furosemide
(56%); group ARB (21.28%) with the medicine candesartan (35%); group CCB or calcium
antagonists (39.36%) with the medicine amlodipine (97,29%), monotherapy or single therapy
is dominant (60%) than the therapy combination (40%), which is widely prescribed
combination therapy between calcium antagonists with antagonists angiotensin II receptor
blocker as well as 10.79% as long as calcium antagonist combination therapy with a diuretic
as much as 9.23%. It can be concluded that the majority of hypertensive patients are the
elderly with the highest prevalence of women, single therapy most dominant compared to
combination therapy. The use of commonly prescribed antihypertensive drugs from the class
of calcium antagonists, namely amlodipine. Combination therapy is often found that calcium
antagonists with antagonists angiotensin II receptor blocker which produce a synergistic
effect.
Keyword : Hypertension, medicine, antihypertension
iii
Dipersembahkan kepada Ayah tercinta Alm Budi Mulyono, Ibuku tersayang Nani Rohani,
Kekasih Mochamad Slamet Adi Putra dan sahabat-sahabatku Perra Yulyani, Merriza Firly,
Dini Arianty, Anis Siti Nurjanah...
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Karya Tulis Ilmiah (KTI) , sebagai salah satu syarat kelulusan dari program D3 Farmasi di
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung. Adapun judul dari Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Studi
Penggunaan Obat Antihipertensi di Salah Satu Apotek Swasta Kota Bandung”.
Karya Tulis ilmiah ini selesai tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan penghargaan dan
terimakasih kepada :
1. Ibu Dr.Patonah,M,Si.,Apt selaku Pembimbing I yang memberikan pengarahan dan
bimbingannya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
2. Ibu Ani.Anggriani,M,Si.,Apt selaku Pembimbing II yang memberikan dukungan dan
motivasi dalam membimbing penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
3. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta do’a nya.
4. Seluruh Staf Dosen Studi Program D3 Farmasi atas perkuliahan yang telah
diselenggarakan.
5. Semua pihak yang terkait dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih sangat jauh dari
sempurna. Karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun
sangatlah penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya, semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
untuk pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Agustus 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .................................................................................... i
HALAMAN PERUNTUKAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI .................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang .................................................................. 1
I.2 Perumusan Masalah .......................................................... 2
I.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 2
I.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 2
I.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 2
I.4 Waktu dan Tempat Pnelitian ............................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pelayanan Kefarmasian .................................................... 4
II.1.1 Apotek ..................................................................... 4
II.1.2 Pelayanan Kefarmasian di Apotek .......................... 5
II.1.3 Penggunaan Obat yang Rasional ............................ 5
II.2 Deskripsi Hipertensi ......................................................... 6
II.2.1 Definisi Hipertensi .................................................. 6
II.2.2 Patofisiologi ............................................................ 7
II.2.3 Manifestasi Klinik ................................................... 7
II.2.4 Etiologi .................................................................... 7
II.2.5 Gejala Hipertensi .................................................... 8
II.2.6 Faktor Penyebab Hipertensi .................................... 8
II.2.7 Komplikasi Hipertensi ............................................ 9
II.2.8 Tujuan Terapi .......................................................... 9
II.3 Terapi Hipertensi .............................................................. 9
II.3.1 Terapi Farmakologi ................................................. 10
II.3.2 Kombinasi antara Berbagai Obat Antihipertensi .... 16
II.3.3 Pemilihan Obat Antihipertensi ................................ 17
vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 21
BAB IV DESAIN PENELITIAN .............................................................. 22
IV.1 Penetapan Kriteria Pasien ................................................. 22
IV.2 Penetapan Kriteria Obat.................................................... 22
IV.3 Sumber Data ..................................................................... 22
IV.4 Analisa Data ..................................................................... 22
IV.5 Pengambilan Kesimpulan ................................................. 23
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 24
BAB VI KESIMPULAN
VI.1 Kesimpulan ....................................................................... 32
V1.2 Saran ................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.3 Algoritma Penanganan Hipertesi Secara Farmakologi ....... 17
Gambar V.2 Penggunaan Obat berdasarkan Jenis Kelamin .................... 25
Gambar V.6 Terapi Kombinasi menurut ESH
(European Society of Hypertension)................................... 30
viii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Penggunaan Obat yang Rasional .............................................. 6
Tabel II.2 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC 7) ................. 6
Tabel II.3 Penanganan Tekanan Darah Tinggi .......................................... 10
Tabel II.4 Kombinasi Antar Berbagai Antihipertensi ............................... 16
Tabel II.5 Penyakit Penyerta dalam Hipertensi ......................................... 18
Tabel II.6 Antihipertensi Lini Pertama ...................................................... 19
Tabel II.7 Anti Hipertensi Lini Kedua....................................................... 20
Tabel II.8 Sebab Sebab Kegagalan Terapi Antihipertensi ........................ 20
Tabel V.1 Distribusi Resep Obat Antihipertensi selama 6 bulan .............. 24
Tabel V.2 Penggunaan Obat berdasarkan jenis kelamin ........................... 24
Tabel V.3 Penggunaan Obat berdasarkan usia .......................................... 26
Tabel V.4 Penggunaan Obat berdasarkan golongan obat dan nama obat
Antihipertensi ........................................................................... 26
Tabel V.5 Penggunaan Obat berdasarkan terapi obat antihipertensi ......... 28
Tabel V.6 Penggunaan Obat berdasarkan terapi kombinasi antihipertensi 29
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Gaya hidup serba instan dan serba cepat ternyata menyimpan risiko bahaya yang tidak
terduga dan siap mengancam siapa saja. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji
misalnya, terbukti tidak baik bagi kesehatan karena mengandung kalori, lemak, protein, dan
garam tinggi, tetapi rendah serat pangan dan vitamin yang bisa mengakibatkan obesitas. Bila
dibiarkan, obesitas ini bisa memicu munculnya berbagai penyakit metabolik dan degeneratif
mulai dari penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, kanker hingga hipertensi (Sudarmoko,
2015).
Hipertensi menyebabkan 62% penyakit kardiovaskular dan 49% penyakit jantung.
Penyakit ini telah membunuh 9,4 juta warga dunia setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan jumlah hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah
penduduk yang membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% atau sekitar 1,6
miliar orang di seluruh dunia mengalami hipertensi (Tedjasukmana, 2012).
Hipertensi adalah faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan
penyakit kematian tertinggi di Indonesia. Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya
peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh,
antara lain otak dapat menyebabkan stroke, mata dapat menyebabkan retinopati hipertensi
atau kebutaan, jantung dapat menyebabkan penyakit jantung koroner termasuk infark jantung
dan gagal jantung, ginjal dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik dan gagal ginjal
terminal (Novyanti, 2015).
Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% dari pupulasi pada usia 18 tahun
keatas. Dari jumlah itu 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke, sedangkan sisanya
pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran
darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal yaitu melebihi 140/90
mmHg. Hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis,
jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia
(Riskesdas, 2013).
Obat-obat anti hipertensi pada saat ini dikenal 5 kelompok lini pertama yang lazim
digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, antara lain dalam beberapa golongan : Diuretik,
penyekat reseptor beta adrenergik (ß-Blocker), penghambat Angiotensin converting enzyme
(ACE-Inhibitor), penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II receptor blocker),
2
antagonis kalsium (Calcium chanel blocker). Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang
dianggap sebagai lini kedua yaitu : penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral, dan
vasodilator (Syarief, 2012).
Studi penggunaan obat atau drug utilization study (DUS) menurut World Health
Organization (WHO) adalah peresepan dan penggunaan obat yang mencakup pemasaran dan
distribusi pada masyarakat yang dititikberatkan khususnya pada konsekuensi ekonomis,
sosial, dan kesehatan. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa fokus dari studi penggunaan
obat adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan terlibat dalam peresepan,
peracikan, pemberian, dan penggunaan obat. Tujuan umum dari studi penggunaan obat adalah
mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan pengambilan keputusan
dalam pengobatan. Pendekatan ini sebaiknya didasarkan pada tujuan dan kebutuhan penderita.
Studi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif
digunakan untuk mengevaluasikan ketepatan penggunaan obat dengan cara mencari hubungan
antara data peresepan dan alasan pemberian terapi. Sedangkan secara kuantitatif, dilakukan
dengan cara mengumpulkan secara rutin data statistik dari penggunaan obat yang dapat
digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat pada suatu populasi berdasarkan usia,
kelas sosial, morbiditas, dan karakteristik lainnya serta untuk mengidentifikasi adanya
kemungkinan overutilization atau underutilization.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis pada penelitian ini
mengambil judul “Studi Penggunaan Obat Antihipertensi di Salah Satu Apotek Swasta
di Kota Bandung”.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi masalah
mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien di salah satu apotek swasta kota
Bandung periode Februari-Juli 2015.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui peresepan obat antihipertensi pada pasien di salah satu apotek swasta kota
Bandung pada periode Februari-Juli 2015.
I.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui jumlah presentase obat antihipertensi berdasarkan :
1. Distribusi Obat antihipertensi terbanyak
2. Jenis kelamin
3
3. Usia
4. Golongan obat dan nama obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan
5. Terapi obat antihipertensi
6. Kombinasi obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 3 Juli sampai dengan 12 Juli 2015 di salah
satu apotek swasta kota Bandung.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi
apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI,
2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian berupa:
a. Apotek
b. Instalasi farmasi rumah sakit
c. Puskesmas
d. Klinik
e. Toko obat
f. Praktek bersama
II.1.1 Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik
kefarmasian oleh apoteker (Permenkes RI No 35, 2014).
Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan
farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.922/Menkes/Per/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek
yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan
kefarmasian, penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.
5
II.1.2 Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian di apotek sesuai dengan Permenkes RI No.35 Tahun 2014
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, terdiri dari pelayanan farmasi klinik dan
non-klinik. Pelayanan farmasi klinik meliputi :
1. Pengkajian Resep
2. Dispensing
3. Pelayanan Informasi Obat
4. Konseling
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Pelayanan farmasi non-klinik meliputi :
1. Perencanaan
2. Pengadaan
3. Penerimaan
4. Penyimpanan
5. Pemusnahan
6. Pengendalian
7. Pencatatan dan Pelaporan
II.1.3 Penggunaan Obat yang Rasional
Penggunaan obat rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang
sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan
empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, POR
merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
Kriteria terapi obat yang rasional menurut WHO adalah sesuai indikasi, tepat dosis,
tepat cara dan interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, obat efektif, mutu terjamin
dan aman serta tersedia dan harganya terjangkau.
Penggunaan obat yang rasional (POR) adalah jika pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode yang adekuat dengan harga yang terjangkau untuk
pasien dan masyarakat (WHO, 1985).
6
Tabel II.1
Pengunaan Obat yang Rasional
No Implementasi
1 Tepat diagnosis
2 Tepat indikasi
3 Tepat pemilihan obat
4 Tepat dosis
5 Tepat cara pemberian
6 Tepat pasien
7 Tepat informasi
8 Waspada terhadap efek samping
9 Cost effectiveness
II.2 Deskripsi Hipertensi
II.2.1 Definisi Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis ketika seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yang lama).
Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah
sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Sudarmoko, 2015).
Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari
140/90 mmHg, sedangkan bila lebih dari 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi, dan
diantara nilai tersebut dikatakan sebagai normal-tinggi (batasan tersebut diperuntukan bagi
individu dewasa diatas 18 tahun). The Seventh Joint National Committee (JNC7)
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti tertera pada tabel berikut :
Tabel II.2
Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC 7)
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Tahap 1 Hipertensi 140-159 Atau 90-99
Tahap 2 Hipertensi ≥160 Atau ≥100
7
Penderita dengan Tekanan Darah Diastolik (TDD) kurang dari 90 mmHg dan Tekanan
Darah Sistolik (TDS) lebih besar sama dengan 140 mmHg mengalami hipertensi sistolik
terisolasi (Sukandar dkk, 2013).
II.2.2 Patofisiologi
Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang
spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya
(hipertensi primer/essensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10 % kasus hipertensi,
pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovaskular.
Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder antara lain pheochromocytoma,
sindrom cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosterone primer, kehamilan, obstruktif sleep,
apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah
kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amphetamine, sibutramin,
siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine (Sukandar dkk, 2013)
II.2.3 Manifestasi Klinik
Penderita hipertensi primer sederhana yang umumnya tidak disertai gejala. Penderita
feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,berkeringat,takikardia,palpitasi,
dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer yang mungkin terjadi adalah
hypokalemia, keram otot dan kelelahan. Penderita hipertesi sekunder pada sindrom cushing
dapat terjadi peningkatan berat badan, polyuria, edema, irregular, menstruasi, jerawat, atau
kelelahan otot (Sukandar dkk, 2013).
II.2.4 Etiologi
Hipertensi dibagi menjadi dua macam :
1. Hipertensi Essensial
Hipertensi essensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan
dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab
multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor
lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress, emosi, obesitas, dan lain-lain
(Syarief, 2012).
8
2. Hipertensi Sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi
akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, oba-
obatan dan lain-lain (Syarief, 2012).
II.2.5 Gejala Hipertensi
Penyakit hipertensi datangnya secara diam-diam dan tidak menunjukan adanya gejala-
gejala tertentu yang bisa dilihat dari luar sehingga disebut sebagai the silent disease. Ketika
tekanan darah naik dengan sangat cepat sehingga tekanan sistolnya lebih besar dari 140
mmHg, biasanya baru muncul tanda-tanda tertentu yang bisa dilihat dari luar. Diantaranya
adalah sakit kepala atau pusing, muka merah, serasa mau pingsan, tinnitus (terdengar suara
mendenging dalam telinga), keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal,
dan penglihatan menjadi kabur. Maka apabila tanda-tanda tersebut mulai terlihat, penderita
harus segera dibawa ke dokter untuk mendapatkan perawatan medis. Jika dibiarkan maka
akan berakibat fatal (Sudarmoko, 2015).
II.2.6 Faktor Penyebab Hipertensi
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan hipertensi yang berperan dalam
menimbulkan komplikasi kardiovaskular, berbagai faktor resiko ini dapat dibagi atas
(Sudarmoko, 2015) :
1. Faktor yang tidak dapat diubah yaitu riwayat keluarga, jenis kelamin, usia, pekerjaan
pendidikan sosio ekonomi, lingkungan.
2. Faktor yang bisa diubah yaitu lipid darah (terutama kolesterol) yang tinggi, kebiasaan
merokok, diabetes mellitus, obesitas, inaktivitas fisik, asam urat darah yang tinggi dan
penggunaan estrogen sintetik.
Dengan melihat faktor-faktor pemicu dari hipertensi di atas, maka orang yang
mempunyai risiko menderita hipertensi adalah :
1. Pria dengan usia di atas 35 tahun dan wanita di atas usia 45 tahun atau setelah masa
menopause.
2. Orang yang riwayat keluarganya ada yang menderita hipertensi.
3. Orang dengan kebiasaan merokok dan pecandu minuman keras.
4. Penderita obesitas atau kegemukan.
5. Penderita diabetes mellitus.
6. Orang dewasa yang jarang berolahraga.
9
II.2.7 Komplikasi Hipertensi
Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan
organ (target organ damage) pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer
(Syarief, 2012).
1. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung.
2. Pada otak dapat terjadi stroke karena pecahnya pembuluh darah serebral.
3. Pada ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal.
4. Pada mata dapat terjadi retinopati hipertensif berupa bercak-bercak pendarahan pada
retina dan edema papil nervus optikus.
Selain itu hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya arteriosclerosis dengan akibat
penyakit jantung koroner (angina pectoris sampai infark miokard ) dan stroke iskemik.
II.2.8 Tujuan Terapi
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas
kardiovaskuler. Target tekanan darah bila tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg,
sedangkan pada pasien dengan diabetes mellitus atau kelainan ginjal, tekanan darah harus
diturunkan dibawah 130/80 mmHg (Syarief, 2012).
Untuk hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan tanpa target organ damage (TOD)
perubahan pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan
penyerta (compelling indication), seperti gagal jantung, pasca infark miokard, penyakit
jantung koroner, diabetes mellitus dan riwayat stroke, maka terapi farmakologi harus dimulai
lebih dini mulai dari hipertensi tingkat 1. Untuk pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes,
pengobatan dimulai pada tahap prehipertensi dengan target TD <130/80 mmHg (Syarief,
2012).
II.3 Terapi Hipertensi
Pencegahan hipertensi dapat dilakukan dengan terapi non-farmakologi dan dengan
terapi farmakologi (Novyanti, 2015). Terapi non farmakologi yaitu dengan mengubah life
style atau modifikasi gaya hidup agar tidak menimbulkan penyakit penyerta lain yang lebih
berbahaya. Sedangkan terapi farmakologi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi.
10
Tabel II.3
Penanganan Tekanan Darah Tinggi
Penanganan Tekanan Darah Tinggi
Non Obat (Non Farmakologi) Terapi Obat (Farmakologis)
Diet Sehat :
1. Diet rendah garam (Mengurangi
asupan natrium hingga lebih kecil
sama dengan 2,4 g/hari (6g/hari
NaCl).
2. Diet Kegemukan (Melakukan diet
makanan yang diambil dari DASH
(Dietary Approaches to Stop
Hypertension).
3. Diet rendah kolesterol dan lemak
terbatas
4. Diet Tinggi Serat
Mengonsumsi obat antihipertensi
Gaya Hidup yang baik :
1. Olahraga secara teratur
2. Menghindari rokok dan alkohol
3. Hidup santai dan tidak emosional
Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan pada terapi
modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.
II.3.1 Terapi Farmakologi
Dikenal 5 kelompok lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk
pengobatan hipertensi, yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (ß-blocker),
penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-Inhibitor), penghambat reseptor
angiotensin (Angiotensin-receptor blocker), antagonis kalsium. Selain itu dikenal juga tiga
kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu : penghambat saraf adrenergik, agonis α-2
sentral, dan vasodilator (Syarief, 2012).
1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik
11
belum terkalahkan dengan obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar
kasus hipertensi ringan dan sedang.
Macam-macam diuretik :
a. Golongan tiazid
Yang paling sering digunakan ialah HCT dikarenakan tiazid ditoleransi dengan baik,
harganya murah, dapat diberikan satu kali sehari sehingga dapat menimbulkan
kepatuhan pasien saat meminum obat, dan efek antihipertensinya bertahan pada
pemakaian jangka panjang (Syarief, 2012).
Tiazid efektif untuk hipertensi dengan kadar renin rendah misalnya pada orang tua.
Efek samping : dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat
berbahaya bagi pasien digitalis, namun efek ini dapat dihindari bila tiazid diberikan
dalam dosis rendah atau dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium atau ACE-
Inhibitor.
Informasi Obat : Pada penderita diabetes melitus, thiazide dapat menimbulkan
hiperglikemia karena mengurangi resistensi insulin, sedangkan pada pasien pria
gangguan fungsi seksual cukup mengganggu dengan penurunan libido atau impoten.
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Mula kerjanya lebih kuat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid,
contoh diuretik kuat (furosemide, torasemide,bumetanide). Waktu paruhnya pendek
sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari, penggunaannya jarang untuk
hipertensi kecuali pada pasien gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Syarief,
2012).
Efek samping : menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah.
c. Diuretik Hemat Kalium
Merupakan antihipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Efek hipotensi akan
terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan diuretik tiazid atau diuretik kuat.
Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang
disebabkan oleh diuretik lainnya, contoh obat spironolactone (Sukandar dkk, 2013).
Efek samping : dapat menyebabkan hyperkalemia terutama pada penyakit ginjal
kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan inhibitor ACE,ARB,AINS atau
suplemen kalium secara bersamaan.
2. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Mekanisme ACE Inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi
vasodillatasi dan penurunan sekresi aldosterone. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosterone akan menyebabkan
12
eksresi air dan natrium juga retensi kalium. ACE-Inhibitor diduga berperan menghambat
pembentukan angiotensin II secara lokal di endotel pembuluh darah. Pemberian diuretik
dan pembatasan asupan garam akan memperkuat efek antihipertensinya.
ACE-Inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat ini juga
menunjukan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga
sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dyslipidemia dan obesitas. Efek samping yang
mungkin ditimbulkan hipotensi, batuk kering merupakan efek yang paling sering terjadi
(malam hari) diduga efek samping ini ada hubungannya dengan peningkatan kadar
bradikinin, hiperkalemia, kerusakan ginjal. Contoh obat yang bekerja langsung misalnya
kaptopril dan lisinopril sedangkan prodrug contohnya enalapril, kuinapril, perindopril,
ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril.
Perhatian dan Kontraindikasi :
ACE-Inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil dikarenakan bersifat teratogenik.
Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-Inhibitor dieksresi melalui
ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Pemberian bersama diuretik hemat
kalium akan menimbulkan hiperkalemia.
3. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Reseptor Blocker, ARB)
Golongan ini sering disebut penyekat reseptor angiotensin, menghambat kerja hormon
yang bertanggung jawab atas penyempitan arteri dan membuat ginjal menahan lebih
banyak natrium dan air. Aksi kerja ini sama dengan ACE-Inhibitor. ARB menimbulkan
efek yang mirip dengan pemberian ACE-Inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk
kering dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACE-Inhibitor. ARB sangat
efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi
seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tetapi kurang efektif pada hipertensi
dengan aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung, penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound, pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
darah (Syarief, 2012).
Efek samping : hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi seperti
hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosis hepatitis. Hiperkalemia
bisa terjadi dalam keadaan tertentu terutama bila dikombinasikan dengan obat-obat yang
cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS juga bila asupan
kalium berlebihan.
Kontraindikasi :
13
Seperti ACE-Inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada kehamilan trimester 2 dan trimester
3 dan harus segera dihentikan bila pemakaiannya ternyata hamil, juga tidak dianjurkan
untuk ibu menyusui karena eksresinya kedalam air susu ibu belum diketahui.
Contoh Obat : kandesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, telmisartan, valsartan.
4. Antagonis Kalsium (Calcium Chanel blocker)
CCB mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri,
memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk menurunkan tekanan darah.
Golongan obat ini diresepkan untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada
yang disebut sebagai angina pectoris. Penggolongan Antagonis-Ca secara kimiawi dapat
dibagi dalam 2 kelompok yaitu :
a. Derivat dihidropiridin : Efek vasodilatasinya amat kuat, maka terutama digunakan
sebagai obat hipertensi.
b. Derivat non dihidropiridin : Verapamil, diltiazem, dan bepridil (cordium)
CCB mempunyai indikasi khusus yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes,
tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data menunjukan dihidropiridin tidak
memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung dibandingkan dengan terapi
konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi.
Dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi.
Dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila diuretik tiazid
tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan tekanan darah
sistolik meningkat.
Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) dapat menurunkan denyut jantung.
Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab
terhadap kecendrungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada
pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan anorexia, dan hipotensi. Verapamil
menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan diltiazem
harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena
meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu dikombinasi
dengan penyekat beta, dihidropiridine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan
resiko heart block (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula
darah, maupun asam urat.
Efek samping : sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri, edema perifer
terutama terjadi oleh dihidropiridin, bradiaritmia dan gangguan konduksi oleh verapamil
14
(verapamil dan diltiazem tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardia),
konstipasi dan retensi urin akibat relaksasi otot polos saluran cerna dan kandung kemih
terutama terjadi dengan verapamil, kadang juga terjadi refluks esophagus, hyperplasia
gusi dapat terjadi pada semua antagonis kalsium.
Contoh Obat : Amlodipin, bepridil, diltiazem, felodipin, nifedipin, nimodipin, nisoldipin,
verapamil.
5. ß-Blocker
Obat golongan penyekat beta, bertugas untuk melambatkan detak jantung dan pompa
darah, sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Berbagai mekanisme penurunan
tekanan darah akibat pemberian ß-blocker, dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor ß1,
antara lain (Syarief, 2012) :
a. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung.
b. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan
produksi angiotensin II.
Penurunan TD oleh ß-blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai
terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh
penurunan TD lebih lanjut selama 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat golongan ini tidak
menimbulkan retensi air dan garam.
Penggunaan golongan ini digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan
sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah
infark miokard akut), ß-blocker lebih efektif pada pasien usia muda dibanding dengan usia
lanjut.
Penggunaan : Semua ß-blocker diintroduksi sebagai obat angina pectoris dan anti aritmia.
Indikasi pada penyakit kardiovaskular dan penggunaan lain :
Dari berbagai ß-blocker, atenolol merupakan obat yang sering dipilih dikarenakan obat ini
bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan
efek samping sentral dan cukup diberikan sehari sehingga diharapkan akan meningkatkan
kepatuhan pasien. Labetolol dan karvedilol memiliki efek vasodilatasi karena selain
menghambat resptor ß, obat ini juga menghambat reseptor α. Secara teoritis sifat ini akan
memperkuat efek antihipertensi.
Efek samping : efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi pada
propranolol dan oksprenolol, gangguan fungsi seksual sering terjadi terutama yang
nonselektif.
15
Semua ß-blocker dikontraindikasikan pada asma bronkial. Bila harus diberikan untuk
pasien diabetes maka penghambat selektif ß1 lebih baik dengan ß-blocker non selektif,
karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor ß2 yang
memperantarai di otot rangka.
6. α-blocker
Kelompok obat ini secara selektif menghambat senyawa darah khusus yang menyebabkan
arteri mengalami penyempitan. Penghambatan tersebut memungkinkan peningkatan aliran
darah dan penurunan tekanan darah dengan merelaksasi arteri. Alfa bocker memiliki
beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL dan
trigliserida, juga meningkatkan HDL) mengurangi resistensi insulin sehingga cocok untuk
pasien hipertensi dengan dyslipidemia dan atau diabetes mellitus. Efek Samping yang
mungkin ditimbulkan ialah hipotensi ortostatik pada pemberian dosis awal atau pada
peningkatan dosis terutama obat yang kerjanya singkat seperti prazosin. Pasien dengan
deplesi cairan (dehidrasi dan puasa) dan usia lanjut lebih mudah mengalami fenomena
dosis pertama ini. Sebaiknya pengobatan dimulai dengan dosis kecil dan diberikan
sebelum tidur. Efek samping lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat,
mual dan lain-lain. Contoh Obat : prazosin, terazosin, bunazosin, doksazosin (Syarief,
2012).
7. Antihipertensi Tambahan
a. Zat-zat dengan kerja pusat
Agonis α2-adrenergik menstimulasi reseptor α2 adrenergik yang banyak sekali
terdapat di susunan saraf (otak dan medulla). Akibat perangsangan ini melalui suatu
mekanisme feedback negatif, antara lain aktivitas saraf adrenergik perifer dikurangi.
Pelepasan Na menurun dengan efek menurunnya daya tahan pembuluh perifer dan
tekanan darah. Efek ini sebetulnya adalah paradoksal, karena banyak pembuluh
memiliki reseptor α2 tersebut yang justru menimbulkan vasokontriksi. Mekanisme
efek hipotensifnya yang belum tepat belum dipahami secara menyeluruh, hanya
diketahui bahwa aktifitas SSP ditekan oleh aktivasi reseptor tersebut (Sukandar,
2013).
Penggunaanya khusus pada semua bentuk hipertensi, biasanya dikombinasi dengan
diuretikum. Berhubungan banyak efek sampingnya, maka zat ini bukan merupakan
pilihan pertama, melainkan hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi
lainnya kurang efektif. Klonidin juga digunakan pada migraine dan pada climacterium
untuk melawan gejalanya. Efek sampingnya yang sering terjadi berupa efek sentral,
antara lain sedasi, mulut kering, sukar tidur, hidung mampet, pusing, penglihatan
16
buram, bradycardia, impotensi, depresi dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering dan
hebat pada klonidin dan jarang pada moxonidin, metildopa dan guanfasin. Hipertensi
rebound pada penghentian mendadak dapat terjadi, terutama pada klonidin dan
reserpin serta lebih jarang pada obat-obat lainnya. Metildopa dapat digunakan oleh
wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan obat-obat lainnya belum memiliki cukup
data (Syarief, 2012).
b. Vasodilator langsung
Vasodilator adalah zat-zat yang berkhasiat vasodilasi langsung terhadap arteriole dan
dengan demikian menurunkan tensi darah tinggi. Penggunaannya khusus sebagai obat-
obat pilihan ketiga, terutama dengan ß-blocker dan diuretikum. Bila kombinasi kedua
obat terakhir ini kurang memberikan hasil. Kombinasi tersebut menguntungkan karena
efek samping vasodilator berupa tachycardia dan retensi garam juga air ditiadakan
oleh masing-masing ß-blocker dan diuretika. Kini “triple theraphy” tersebut sudah
banyak diganti dengan obat-obat hipertensi baru (Antagonis Ca, penghambat ACE,
AT II blockers). Senyawa yang termasuk kelompok vasodilator yaitu : hidralazin,
minoksidil, natrium nitropusid , diazoksida (Syarief, 2012).
II.3.2 Kombinasi Antara Berbagai Obat Antihipertensi
Hasil Kombinasi antara obat antihipertensi lainnya dapat dilihat pada tabel ini :
Tabel II.4
Tabel Kombinasi Antara Berbagai Antihipertensi
Diuretika ß-blocker Penghambat
ACE
Antagonis
Kalsium
α-blocker
Diuretika *** + + - +
ß-blocker + *** + + +
Penghambat
ACE
+ + *** + +
Antagonis
Kalsium
- + + *** +
α-blocker + + + + ***
Sumber Tabel : (Farmakologi dan Terapi, 2010)
Keterangan : + Hasil baik (sinergis)
*** Hati-hati pada gangguan fungsi jantung atau gangguan
konduksi, terutama dengan verapamil atau diltiazem
17
- Tidak dianjurkan , karena penambahan efek hanya sedikit atau
tidak ada
Rasional kombinasi obat antihipertensi (Direktorat Bina farmasi Klinik, 2006)
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan :
1. Mempunyai efek aditif
2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya “fixed-dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut :
1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-Inhibitor) dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II dengan diuretik
3. Penyekat beta dengan diuretik
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik
II.3.3 Pemilihan Obat Antihipertensi
Gambar II.3
Algoritma Penanganan Hipertensi Secara Farmakologi
Sumber : ISO Farmakoterapi Buku I, Cetakan ketiga 2013
Obat Pilihan
Pertama
Tanpa Penyakit Penyerta
Dengan Penyakit Penyerta
Hipertensi tahap I
(TDS 140-159 atau
TDD 90-99 mmHg)
Hipertensi tahap II
(TDS ≥160 atau TDD
≥100 mmHg)
Obat yang spesifik
untuk penyakit
penyerta
Obat antihipertensi
(diuretik, Inhibitor
ACE, ARB, ß-blocker)
Diuretik tiazida umumnya.
Dapat dipertimbangkan ACE
Inhibitor,ARB,ß-blocker,
CCB/Kombinasi
Kombinasi 2 obat pada
umumnya. Biasanya
Diuretik tiazida dengan
ACE Inhibitor atau
ARB atau ß-blocker
18
Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan
penyakit penyerta. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan
diuretik thiazide, penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi yang
salah satunya diuretik thiazide kecuali terdapat kontraindikasi. Terdapat enam penyakit
penyerta yang spesifik dengan obat antihipertensi serta memberikan keuntungan yang unik.
Tabel II.5
Penyakit Penyerta dalam Hipertensi
No. Nama Penyakit Obat Antihipertensi
1. Gagal jantung 1. Diuretik dan ACE Inhibitor (tahap
pertama)
2. ß-Blocker (tahap kedua)
3. ARB (Antagonis Angiotensin II
Receptor Blocker), diuretik hemat
kalium (terapi alternatif tahap ketiga)
2. Paska Infark Miokardial 1. ß-Blocker dan ACE Inhibitor (tahap
pertama)
2. Diuretik Hemat kalium (tahap kedua)
3. Resiko Tinggi Penyakit Koroner 1. ß-Bloker (tahap pertama)
2. ACE Inhibitor, ARB, dan diuretik
(tahap kedua)
4. Diabetes Mellitus 1. ACE Inhibitor atau ARB (tahap
pertama)
2. Diuretik (tahap kedua)
3. ß-Bloker, CCB (Calcium Chanel
Bloker). (Tahap ketiga)
5. Gagal Ginjal Kronik ACE Inhibitor atau ARB
6. Pencegahan Stroke berulang Diuretik dan ACE Inhibitor
Diuretik, ß-bloker, ACE Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker, dan Calcium
Chanel Blocker (CCB) merupakan agen primer berdasarkan pada data kerusakan organ target
atau morbiditas dan kematian kardiovaskular. α-blocker, α2-antagonis sentral, inhibitor
adrenergik, dan vasodilator merupakan alternatif yang dapat digunakan penderita setelah
mendapatkan obat pilihan pertama (Sukandar dkk, 2013).
19
Tabel II.6
Anti Hipertensi Lini Pertama
No. Jenis Obat
Dosis Hipertensi (mg/hari)awal
Sediaan
Awal Maksimal Frekuensi
pemberian
1. Diuretik
a. Diuretik Tiazid
Hidroklortiazid
Klortalidon
Indapamid
Bendroflumetiazid
Metolazon
Metolazon rapid acting
Xipamid
b. Diuretik Kuat
Furosemid
Torsemid
Bumetanid
Asam etakrinat
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid
Spironolakton
Triamteren
12,5
12,5
1,25
2,5
2,5
0,5
10
20
2,5
0,5
25
5
25
25
25
25
2,5
5
5
1
20
80
10
4
100
10
100
300
1x
1x
1x
1x
1x
1x
1x
2-3x
1-2x
2-3x
2-3x
1-2x
1x
1x
Tab 25 dan 50 mg
Tab 50 mg
Tab 2,5 mg
Tab 5 mg
Tab 2,5;5 dan 10 mg
Tab 2,5 mg
Tab 2,5 mg
Tab 40 mg,amp 20 mg
Tab 5,10,20,100mg
Ampul 10 mg/ml
(2 dan 5 ml)
Tab 0,5;1 dan 2 mg
Tab 25 dan 50 mg
Tab 5 mg
Tab 25 dan 100 mg
Tab 50 dan 100 mg
2. Beta-Bloker
a. Kardioselektif
Asebutolol
Atenolol
Bisoprolol
Metoprolol
- Biasa
- Lepas lambat
b. Nonselektif
Alprenolol
Karteolol
Nadolol
Oksprenolol
- Biasa
- Lepas lambat
Pindolol
Propranolol
Timolol
Karvedilol
Labetalol
200
25
2,5
50
100
100
2,5
20
80
80
5
40
20
12,5
100
800
100
10
200
200
200
10
160
320
320
40
160
40
50
300
1-2x
1x
1x
1-2x
1x
2x
2-3x
1x
2x
1x
2x
2-3x
2x
1x
2x
Cap 200 mg, tab 400 mg
Tab 50 mg,100 mg
Tab 5 mg
Tab 50mg, 100 mg
Tab 100 mg
Tab 50 mg
Tab 5 mg
Tab 40 mg,80 mg
Tab 40 mg, 80 mg
Tab 80 mg, 160 mg
Tab 5 mg, 10 mg
Tab 10 mg, 40 mg
Tab 10 mg, 20 mg
Tab 25 mg
Tab 100 mg
3. Alfa-Bloker
Prazosin
Tetrazosin
Bunazosin
Doksazosin
0,5
1-2
1,5
1-2
4
4
3
4
1-2x
1x
3x
1x
Tab 1 dan 2 mg
Tab 1 dan 2 mg
Tab 0,5 dan 1 mg
Tab 1 dan 2 mg
4. ACE-Inhibitor
Kaptopril
Benazepril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Perindopril
Quinapril
Ramipril
25
10
2,5
10
10
4
10
2,5
100
40
40
40
40
8
40
20
2-3x
1-2x
1-2x
1x
1x
1-2x
1x
1x
Tab 12,5 dan 25 mg
Tab 5 dan 10 mg
Tab 5 dan 10 mg
Tab 10 mg
Tab 5dan 10 mg
Tab 4 mg
Tab 5,10, dan 20 mg
Tab 10 mg
20
Trandolapril
Imidapril
1
2,5
4
10
1x
1x
Tab 5 dan 10 mg
5. ARB
Losartan
Valsartan
Irbesartan
Telmisartan
Candesartan
25
80
150
20
8
100
320
300
80
32
1-2x
1x
1x
1x
1x
Tab 50 mg
Tab 40 dan 80 mg
Tab 75 dan 150 mg
Tab 20,40 dan 80 mg
Tab 4,8 dan 16 mg
6. Antagonis Kalsium
Nifedipin
Nifedipin (long acting)
Amlodipin
Felodipin
Isradipin
Nisoldipin
Verapamil
Diltiazem
Diltiazem SR
Verapamil SR
30
2,5
2,5
2,5
10
80
90
120
240
60
10
20
10
40
320
180
540
480
3-4x
1x
1x
1x
2x
1x
2-3x
3x
1x
1-2x
Tab 10 mg
Tab 30,60 dan 90 mg
Tab 5 dan 10 mg
Tab 2,5;5 dan 10 mg
Tab 2,5 dan 5 mg
Tab 10,20,30, 40 mg
Tab 40,80,120 mg
Tab 30,60 mg, amp 50 mg
Tab 90 dan 180 mg
Tab 240 mg
Tabel II.7
Antihipertensi Lini Kedua
No. Nama Obat Dosis Hipertensi (mg/hari) awal
Sediaan Awal Maksimal Frekuensi
1. Adrenolitik sentral (α2 agonis)
Metildopa
Klonidin
Guanfesin
250
0,075
0,5
1000
0,6
2
2x
2x
1x
Tab 125,250 mg
Tab 0,075;0,15 mg
Tablet 1 mg
2. Penghambat saraf adrenergic
Reserpine
Rauwolfia
Guanetidin
Guanadrel
0,05
25
10
10
0,25
100
50
50
1x
1x
1x
2x
Tab 0,1;0,25 mg
Tab 50;100 mg
Tab 10;25 mg
Tab 10;25 mg
3. Vasodilator langsung
Hidralazin
Minoksidil
25
2,5
100
40
2-4x
1-2x
Tab 25,50 mg
Tab 2,5 mg;10 mg
Tabel II.8
Sebab Sebab Kegalan Terapi Antihipertensi
No. Sebab-Sebab
1. Ketidakpatuhan penderita : biaya pengobatan, instruksi tidak jelas,
efek samping obat, dan frekuensi pemberian yang tidak praktis
2. Obatnya sendiri : dosis terlalu rendah, kombinasi yang tidak
cocok, terjadi toleransi, interaksi dengan obat lain
3. Adanya kondisi lain : obesitas, diet tinggi natrium atau alkohol,
retensi cairan, kerusakan ginjal yang progresif, kurangnya
pemberian diuretik, hipertensi akselerasi/maligna
4. Hipertensi sekunder (renal,endokrin, obat-obat penyebab
hipertensi)
5. Pseudohipertensi
Sumber Tabel : Farmakologi dan Terapi edisi 4, 2010
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini digunakan untuk menganalisis pengobatan hipertensi dengan resep
dokter, yang diambil secara retrospektif (pengambilan data yang sudah ada). Penelitian ini
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penetapan kriteria penderita, penetapan kriteria obat,
pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan pembahasan, serta pengambilan kesimpulan
dan saran.
22
BAB IV
DESAIN PENELITIAN
IV.1 PENETAPAN KRITERIA PASIEN
a. Kriteria Inklusi
Kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmojo,2002)
Kriteria inklusi dalam penelitian adalah pasien berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang mendapatkan resep obat antihipertensi.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakli dalam sampel penelitian
yang tidak memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmojo,2002)
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang tidak mendapatkan resep obat antihipertensi.
IV.2 PENETAPAN KRITERIA OBAT
Kriteria obat dalam penelitian ini adalah semua obat hipertensi yang terdapat di dalam
resep yang ada di salah satu apotek swasta di kota Bandung.
IV.3 SUMBER DATA
Sumber data diambil dari resep di apotek bulan februari sampai juli 2015, serta buku
rekap resep meliputi tanggal, nomor resep, nama pasien, nama obat serta jumlahnya,
nama dokter, serta dosis pemakaian obat tersebut.
IV.4 ANALISA DATA
Analisis data penelitian terdiri atas :
1. Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif yaitu analisa data untuk mengetahui pola penggunaan obat
berdasarkan jenis kelamin, usia, nama obat dan jumlah obat. Semua data
kuantitatif yang terkumpul dijumlahkan dan dihitung presentasenya.
2. Analisa Kualitatif
Analisa kualitatif dalam penelitian ini melakukan analisis mengenai kombinasi
antar golongan obat antihipertensi.
23
IV.5 PENGAMBILAN KESIMPULAN
Dari hasil analisis kualitatif dan analisa kuantitatif dapat diambil kesimpulan
mengenai pola penggunaan obat antihipertensi di salah satu apotek swasta kota
Bandung.
24
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap lembar resep yang diterima di apotek pada bulan Februari-
Juli 2015 di salah satu apotek swasta di kota Bandung. Adapun sebanyak jumlah resep yang
mengandung obat antihipertensi dapat dilihat pada tabel berikut :
V.1 Distribusi Resep Antihipertensi selama 6 bulan
Berdasarkan tabel V.1 mengenai distribusi resep antihipertensi selama 6 bulan di
apotek swasta kota Bandung, resep hipertensi paling banyak ditemukan pada bulan februari
sebanyak 14 resep (21,53%) dari total 1823 lembar resep pada bulan februari sampai bulan
juli 2015.
Tabel V.1
Distribusi Resep Antihipertensi selama 6 bulan
Bulan Jumlah Lembar Resep Sampel Resep
AntiHipertensi
Presentase
(%)
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
315
296
317
318
272
305
14
8
12
13
8
10
21,53
12,31
18,46
20
12,31
15,39
Total 1823 65 100%
Ket : Perhitungan presentase = Jumlah Resep antihipertensi perbulan x 100 %
Total resep antihipertensi 6 bulan
V.2 Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan tabel V.2 mengenai penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin di salah
satu apotek swasta di kota Bandung , bahwa penderita hipertensi dengan jenis kelamin
perempuan sebanyak 39 resep (60%), laki-laki sebanyak 26 resep (40%).
Tabel V.2
Penggunaan Obat berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Lembar Resep Presentase (%)
Perempuan
Laki-Laki
39
26
60
40
Total 65 100 %
25
Gambar V.2
Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin
Prevalensi hipertensi pada pria sama dengan wanita, namun wanita terlindung dari
penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause
dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah terjadinya aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita pada usia premenopuse. Pada premenopuse wanita mulai kehilangan
sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai
dengan umur wanita secara alami, yang umumnya terjadi pada umur wanita 45-55 tahun
(Anggraeni dkk, 2009).
V.3 Penggunaan obat berdasarkan usia
Berdasarkan tabel V.3 mengenai penggunaan obat berdasarkan usia di salah satu
apotek swasta kota Bandung didapatkan hasil dengan rentang umur 20-30 tahun sebanyak 2
resep (3,1%), 41- 50 tahun sebanyak 5 resep (7,6%), 51-60 tahun sebanyak 5 resep (7,6%),
61-70 tahun sebanyak 6 resep (9,2%), >70 tahun sebanyak 6 resep (9,2%), serta tanpa
keterangan atau tidak tercantum umur pasien sebanyak 41 resep (63,7%).
Prevalensi orang lanjut usia lebih rentan terkena hipertensi dikarenakan orang lanjut
usia kerap mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada aorta, yaitu arteri yang
membawa darah dari jantung yang menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh
darah dan semakin tingginya tekanan darah (Kowalski, 2010). Akibat dari berkurangnya
kelenturan dengan mengerasnya arteri-arteri ini menjadikannya semakin kaku. Arteri dan
aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding yang kini tidak elastis, tidak dapat lagi
mengubah aliran yang keluar dari jantung menjadi aliran yang lancar (Wolff, 2008).
40%
60%
Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan
26
Tabel V.3
Penggunaan obat berdasarkan usia
Usia (tahun) Jumlah Lembar Resep Presentase (%)
26-35 (dewasa awal)
36-45 (dewasa akhir)
46-55 (Lansia awal)
56-65 (Lansia akhir)
>65 (Manula)
Tanpa Keterangan (tidak
tercantum umur pasien)
2
2
6
6
8
41
3,08
3,08
9,23
9,23
12,31
63,07
Total 65 100%
Ket : Kategori umur berdasarkan Depkes RI,2009
V.4 Golongan obat dan nama obat antihipertensi
Berdasarkan tabel V.4 mengenai golongan obat dan nama obat antihipertensi di salah
satu apotek swasta kota Bandung, bahwa terapi yang banyak diresepkan oleh dokter ialah obat
antihipertensi golongan diuretik sebanyak 25 resep (26,59%) dengan obat diuretik yang paling
banyak diresepkan ialah furosemide sebanyak 14 resep (56%), Antagonis Reseptor
Angiotensin II (ARB) sebanyak 20 resep (21,28%) dengan obat yang banyak dipakai
candesartan sebanyak 7 resep (35%), dan golongan antagonis kalsium (CCB) sebanyak 37
resep (39,36%) dengan obat yang paling banyak diresepkan ialah amlodipine sebanyak 36
resep (97,29%).
Tabel V.4
Penggunaan Obat berdasarkan
golongan obat dan nama obat antihipertensi
Golongan Obat Jumlah R/ Presentase (%)
1. Diuretik
a. Furosemide
b. HCT
c. Spironolactone
25
14
6
5
26,59
56
24
20
2. ß- Blocker
a. Karvedilol
b. Bisoprolol
4
1
3
4,25
25
75
3. ACE-Inhibitor
a. Captopril
b. Lisinopril
8
6
2
8,51
75
25
4. Antagonis Reseptor 20 21,28
27
Angiotensin II (ARB)
a. Irbesartan
b. Candesartan
c. Valsartan
d. Losartan
e. Telmisartan
5
7
4
3
1
25
35
20
15
5
5. Antagonis Kalsium (CCB)
a. Amlodipine
b. Diltiazem
37
36
1
39,36
97,29
2,7
Total 94 100%
Golongan obat diuretik sering diresepkan oleh dokter dikarenakan golongan obat
diuretik meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga dapat menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluller, akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Golongan diuretik digunakan untuk hipertensi ringan dan sedang. Golongan diuretik sering
diresepkan sebagai pilihan pertama pada hipertensi tahap 1 dengan tekanan darah diastolik
140-159 atau tekanan darah sistolik 90-99 mmHg (Sukandar, 2013). Pada penelitian didapat
furosemide merupakan diuretik terbanyak yang diresepkan dokter, furosemide termasuk
diuretik kuat dengan mekanisme kerja menghambat kotransport Na+, K
+,Cl
- dan menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dari diuretik thiazide. Furosemide
sebaiknya digunakan dalam hal-hal tertentu, biasanya pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal jantung, waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan
pemberian 2 sampai 3 kali sehari (Syarief, 2012).
Golongan Antagonis Reseptor Blocker juga sering diresepkan mengingat golongan ini
disebut sebagai penyekat reseptor angiotensin, mekanisme menghambat kerja hormon yang
bertanggung jawab atas penyempitan arteri dengan melebarnya pembuluh darah, darah bisa
mengalir lebih mudah sehingga tekanan darah pun menurun. Golongan ARB digunakan
sebagai first line pada hipertensi tahap 1 tanpa penyakit penyerta dengan TDS 140-159 atau
TDD 90-99 mmHg juga digunakan sebagai terapi tahap pertama pada hipertensi dengan
diabetes mellitus dan untuk penderita gagal jantung (Sukandar, 2013). Obat yang banyak
diresepkan adalah candesartan, candesartan selain digunakan untuk hipertensi juga digunakan
untuk menangani gagal jantung. Golongan ARB seperti candesartan ini hanya diberikan satu
kali sehari sehingga akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat, maka akan
tercapai juga penggunaan obat yang rasional (Kowalski, 2010).
Golongan antihipertensi Antagonis Kalsium paling banyak diresepkan oleh dokter
dikarenakan golongan antagonis kalsium digunakan sebagai pilihan pertama hipertensi tahap
1 dengan tekanan darah sistolik 140-159 atau tekanan darah diastolik 90-99 mHg, antagonis
28
kalsium lebih efektif digunakan pada lanjut usia (Sukandar, 2013). Golongan obat
antihipertensi antagonis kalsium bertujuan untuk mengganggu jalan masuk kalsium menuju
sel otot jantung dan arteri, sehingga memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk
menurunkan tekanan darah (Kowalski, 2010). Obat golongan antagonis kalsium yang paling
banyak diresepkan adalah amlodipine dengan mekanisme kerjanya melemaskan dinding dan
melebarkan diameter pembuluh darah. Efeknya akan memperlancar aliran darah menuju
jantung dan mengurangi tekanan darah dalam pembuluh. Amlodipin memiliki waktu paruh
yang panjang sehingga cukup diberikan satu kali sehari, hal ini juga akan meningkatkan
kepatuhan pasien dalam meminum obat (Syarief, 2012).
V.5 Penggunaan Obat Berdasarkan Terapi Obat Antihipertensi
Berdasarkan tabel V.5 mengenai penggunaan obat berdasarkan terapi obat
antihipertensi di salah satu apotek swasta di kota Bandung , jumlah terapi obat kombinasi
antihipertensi sebanyak 26 resep (40%) dan terapi tunggal antihipertensi sebanyak 39 resep
(60%).
Tabel V.5
Penggunaan obat berdasarkan terapi obat antihipertensi
Terapi Obat Jumlah Lembar Resep Presentase (%)
Kombinasi
Tunggal
26
39
40
60
Total 65 100%
Penggunaan satu macam obat antihipertensi untuk pengobatan hipertensi dapat
direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran.
Setengah penderita tekanan darah tinggi tahap I dan II dapat mengendalikan tekanan darah
mereka dengan satu obat saja, jika satu obat tidak efektif maka dapat ditingkatkan dosisnya,
alternatif lainnya adalah mencoba obat yang berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada
obat yang telah diminum (kombinasi). Terapi kombinasi biasanya dipilih obat-obat yang
dapat meningkatkan efektivitas masing-masing obat atau mengurangi efek samping masing-
masing obat. Terapi kombinasi ditujukan untuk pasien yang nilai tekanan darah sasaranya
sulit tercapai seperti penderita diabetes dan gagal ginjal kronik, monoterapi digunakan untuk
penderita hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran <140/90 mmHg (Gardner,2007).
Dalam ALLHAT (Antihipersensitive and Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack
Trial) disebut bahwa 60% penderita hipertensi mencapai tekanan darah terkontrol pada
tekanan darah <140/90 mmHg dengan penggunaan lebih dari dua obat antihipertensi, hanya
29
30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan monoterapi. Dalam JNC-8 direkomendasikan
terapi kombinasi awal pada pasien hipertensi stadium 2 dengan peningkatan tekanan darah
untuk sistolik lebih dari 20 mmHg dan untuk tekanan darah diastolik lebih dari 10 mmHg
diatas tekanan darah tujuan. Terapi kombinasi rasional dimulai dengan pemilihan kombinasi
dua obat yang mekanisme penurunan tekanan darahnya aditif, tolerabilitas yang sangat baik
dan mampu menurunkan kejadian kardiovaskular dalam uji klinik jangka panjang seperti
golongan ACE-Inhibitor, Antagonis angiotensin II receptor blocker Calcium chanel blocker
dan diuretik dosis rendah.
V.6 Penggunaan Obat Berdasarkan Terapi Kombinasi Antihipertensi
Berdasarkan tabel V.6 mengenai penggunaan obat berdasarkan terapi kombinasi
antihipertensi di salah satu apotek swasta kota Bandung, bahwa terapi kombinasi yang paling
banyak digunakan ialah terapi kombinasi antara antagonis kalsium dan antagonis reseptor
angiotensin II sebanyak 7 resep (10,79%) juga terapi kombinasi antara antagonis kalsium dan
diuretik sebanyak 6 resep (9,23%).
Tabel V.6
Penggunaan obat berdasarkan terapi kombinasi antihipertensi
No Terapi Kombinasi Antihipertensi
Jumlah
Lembar
Resep
%
Efek
1 Antagonis Kalsium + Antagonis Reseptor
Angiotensin II
7 10,79 sinergis
2 ACE Inhibitor + Diuretik 2 3,07 fix-dose combination
3 Antagonis Reseptor Angiotensin II + ß-
Blocker + Diuretik
1 1,54 -
4 Antagonis Reseptor Angiotensin II +
Diuretik
3 4,62 fix-dose combination
5 Diuretik + Diuretik 1 1,54 Sinergis
6 Antagonis Kalsium + Diuretik 6 9,23 fix-dose combination
7 Antagonis Reseptor Angiotensin II + ß-
Blocker
1 1,54 -
8 ß-Blocker + Diuretik 1 1,54 fix-dose combination
9 ACE Inhibitor + Antagonis Kalsium 2 3,07 fix- dose combination
10 Antagonis Kalsium + Diuretik + ß-Blocker 1 1,54 Sinergis
11 Antagonis Kalsium + Antagonis Reseptor
Angiotensin II + Diuretik
1 1,54 Sinergis
30
12 Tanpa Kombinasi 39 60
Total 65 100%
Gambar V.6
Terapi Kombinasi menurut ESH (European Society of Hypertension) 2003
Ket : kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang
paling efektif (sinergis), garis putus tidak dianjurkan
Kombinasi antara antagonis kalsium dan antagonis angiotensin II receptor blocker
menimbulkan efek yang sinergis dikarenakan mekanisme kerja yang berbeda. Kekurangan
antagonis kalsium seperti merangsang SRAA (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron) dan
tidak bermanfaat pada kasus gagal jantung dapat ditutupi dengan kelebihan ARB ( Antagonis
Angiotensin II Receptor Blocker), yaitu menghambat SRAA dan bermanfaat pada gagal
jantung. ARB ( Antagonis Angiotensin II Receptor Blocker) kurang bermanfaat pada
penderita iskemia jantung, sebaliknya justru CCB (Calcium chanel blocker) mengurangi
resiko iskemia jantung. CCB menyebabkan arteriodilatasi tanpa disertai venodilatasi sehingga
memicu kebocoran plasma lalu edema perifer, dengan adanya ARB yang menyebabkan
venodilatasi maka tekanan vena dan arteri akan sama sehingga edema perifer tidak terjadi.
Selain menurunkan tekanan darah, kombinasi ARB dan CCB juga berhasil mengurangi efek
samping. Terapi kombinasi renin-angiotensin system blocker (ARB) dengan calcium channel
blocker (CCB) memberikan manfaat nyata dalam hal penurunan tekanan darah dan
tolerabilitas. Penurunan tekanan darah yang dihasilkan terapi kombinasi ini lebih besar
dibandingkan monoterapi masing-masing obat dan ditoleransi dengan lebih baik. Terapi
kombinasi dengan mekanisme kerja yang saling melengkapi akan menambah manfaat
masing-masing obat sambil mengurangi efek samping dari monoterapi dosis tinggi (Basile
JN, 2008).
Sedangkan untuk kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik merupakan suatu
kombinasi yang sinergis dimana dengan mekanisme yang berbeda antagonis kalsium
mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri, ini akan membatasi
31
penyempitan arteri sehingga aliran darah akan mengalir lebih lancar dan efektif menurunkan
tekanan darah (Kowalski, 2010). Selain itu mekanisme diuretik yang bekerja meningkatkan
eksresi natrium air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler
(Syarief, 2012). Efek kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik disebut sebagai fixed-
dose combination dikarenakan efeknya yang nyata, namun dalam terapi hipertensi bila obat
antihipertensi dikombinasikan dengan diuretik harus lebih hati-hati dikarenakan efek diuretik
yaitu sangat hipotensif atau cepat menurunkan volume darah oleh karenanya dalam
pemakaian harus tetap dipantau (Direktorat Bina Farmasi Komunitas&Klinik, 2006).
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai studi penggunaan obat
antihipertensi di salah satu apotek swasta di kota Bandung dapat diambil kesimpulan :
1. Berdasarkan resep yang masuk dari bulan februari sampai dengan juli 2015 terdapat
65 resep antihipertensi dari 1823 resep.
2. Presentase peresepan obat antihipertensi, 60% pasien perempuan lebih banyak
mendapat resep obat antihipertensi dibanding dengan pasien berjenis kelamin laki-laki
(40%).
3. Pasien dengan usia diatas 45 tahun paling banyak mendapatkan obat antihipertensi ,
dimana 12,31% pasien berumur >65 tahun lebih banyak mendapatkan obat
antihipertensi.
4. Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan golongan obat dan nama obatnya didapat
bahwa golongan obat diuretik sebanyak (26,59%) dengan nama obat yang sering
diresepkan furosemide sebesar (56%), golongan antagonis angiotensin II receptor
blocker (21,28%) dengan nama obat yang paling banyak diresepkan adalah cadesartan
(35%) , golongan antagonis kalsium (39,36%) dengan obat yang sering diresepkan
amlodipine (97,29%).
5. Pada penelitian didapatkan terapi tunggal atau monoterapi masih banyak diresepkan
(60%), dengan terapi kombinasi yang paling banyak ditemukan antara antagonis
kalsium dengan antagonis receptor angiotensin II (10,79%) serta kombinasi antara
antagonis kalsium dengan diuretik (9,23%). Kombinasi antara ARB (Antagonis
Angiotensin II Receptor Blocker) dan CCB (Calcium Chanel Blocker) menghasilkan
efek yang sinergis, sedangkan kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik
menghasilkan fixed combination.
VI.2 Saran
Penyakit hipertensi yang merupakan salah satu faktor penyebab gangguan jantung,
gagal ginjal serta penyakit lainnya. Mengingat bahaya dari penyakit hipertensi yang bukan
hanya beresiko terhadap usia lanjut tetapi juga pada usia muda, untuk itu perlu disadari akan
pentingnya menjaga pola hidup dan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu naiknya
tekanan darah.
33
Selain itu pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan apabila gejala hipertensi
dirasakan. Kontrol rutin bagi yang berusia diatas 40 tahun, atau usia 20-30 tahunan bagi
mereka yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi membantu mengetahui penyakit ini
lebih awal. Bagi tenaga kesehatan khususnya Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian perlu
meningkatkan Pharmaceutical Care untuk terapi hipertensi, memperhatikan peresepan,
pemberian informasi mengenai obat kepada pasien untuk memastikan kerasionalan
pengobatan dan menunjang keberhasilan terapi.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggraeni,dkk.(2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi
Pada Pasien Yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari
sampai Juni 2008. Diakses pada 11 Agustus 2015 lewat
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/02/files-of-drsmed-faktor-yang-
berhubungan-dengan-kejadian-hipertensi.pdf
2. Basile.JN. 2008. Rationale for fixed dose combination therapy to reach lower blood
pressure goals. South Med J.2008;101(9) : 918-924. Diakses dari www.medscape.com
tanggal 29 Agustus 2015
3. Syarif,A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B., dkk. (2012).
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hal 341-360
4. Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas dan Klinik.(2006).Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi.Jakarta:2006
5. Sudarmoko, A. (2015). Sehat Tanpa Hipertensi.Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka Hal 3-
9
6. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit J.I., Adnyana I.K., Setyadi A.P., Kusnandar.(2013).
ISO Farmakoterapi Buku I. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan Hal 119-133
7. Gardner, F. S. 2007. Smart Treatment for High Blood Pressure. Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher. Hal 53-60
8. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Himmelfarb CD, Handler J, et al. 2014.
Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report
From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
Diakses dari http://csc.cma.org.cn/attachment/2014315/1394884955972.pdf pada tanggal
2 September 2015
9. Kowalski, R.E.(2010).Terapi Hipertensi.Bandung: PT.Mizan Pustaka Hal 69-73
10. National Institute of Health. The seventh report of The Joint National Commite on
prevention, detection, evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH publication
2003.
11. Novyanti,S.KM. (2015). Hipertensi Kenali, Cegah&Obati.Yogyakarta:Notebook. Hal 51-
93
12. Riset Kesehatan Dasar (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI. Jakarta.