Upload
vothu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISA KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KOPERASI SYARIAH DITINJAU DARI PERSPEKTIF
ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Disusun Oleh:
ERSHAD SELESA
NIM: 103046128257
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
ABSTRAKSI
Koperasi sebagaimana amanat dalam penjelasan Undang-undang Dasar
1945 sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan koperasi
sebagai penopang utama keberadaan usaha rakyat kecil dan memang koperasi
bersentuhan langsung dengan perekonomian rakyat akar rumput dibandingkan
dengan lembaga keuangan lainnya. Karena itulah para founding father negeri ini
concern terhadap perkembangan koperasi di Indonesia, terutama perhatian besar
yang diberikan kepada wakil presiden RI yang pertama Mochammad Hatta.
Dalam perjalanannya sampai saat ini pertumbuhan dan perkembangan koperasi
masih jalan ditempat. Semenjak Orde Baru pemerintah telah beralih perhatiannya
kepada industri besar berbasis korporasi dengan asumsi korporasi memberikan
sumbangan besar bagi pemasukan negara. Akibatnya tahun 1998 pemerintah baru
merasakan betapa rapuhnya industri berbasis korporasi yang diagung-agungkan.
Lahirnya era reformasi memberikan berkah tersendiri bagi industri dengan
pola syariah. Dimulai dengan lahir dan perkembangan pesat Bank syariah,
kemudian bisa dikatakan itu sebagai stimulus lahirnya lembaga-lembaga
keuangan syariah tak terkecuali koperasi syariah. Pada kenyataannya, koperasi
syariah mampu bersaing dengan koperasi konvensional dan para lintah darat.
Pertumbuhannya pun sangat signifikan jika dibandingkan dengan koperasi
konvensional. Bahkan ditengah rontoknya koperasi-koperasi konvensional akibat
ketidakberdayaannya menghadapi kendala-kendala teknis maupun non teknis,
koperasi syariah mampu bertahan walaupun sebelumnya status badan usaha
koperasi masih diperdebatkan.
Pemerintah memberikan solusi berupa keputusan menteri koperasi dan
UKM yang disingkat Kepmenegkop sebagai “batu loncatan” bagi landasan hukum
kegiatan koperasi syariah. Setelah ada keputusan menteri ini, bukan berarti
keputusan tersebut luput dari pengkajian bagi sarjana-sarjana muslim untuk
meneliti dan menelaah lebih lanjut kesesuaian antara konsep Islam dengan
rumusan keputusan pemerintah yang terangkum dalam keputusan menteri
tersebut.
Penelitian yang dilakukan dalam keputusan menteri ini dilakukan dengan
metode kualitatif, yakni memberikan sejumlah kesimpulan dalam bentuk kalimat
yang menggambarkan gejala-gejala yang ada. Penellitian dalam bentuk skripsi ini
juga bertujuan memahami apa isi kandungan keputusan tersebut, karena selama
ini belum ada aturan yang jelas mengenai koperasi syariah di Tanah Air.
Selama penelitian dilakukan, penulis menemukan sejumlah penemuan
berbanding lurus antara prinsip-prinsip Islam dalam pengembangan ekonomi
dengan isi kandungan dari keputusan ini. Meskipun demikian, keputusan menteri
ini masih ditemukan pula sejumlah kekurangan yang substansial dan harus
diperbaiki oleh pembuat kebijakan supaya tidak mengurangi isi kualitas dari
keputusan ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siapapun meyakini bahwa sektor usaha kecil dan menengah memainkan
peran yang sangat signifikan dalam pembangunan bangsa dan memberikan
kontribusi besar di setiap pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang,
tidak terkecuali Indonesia. Pada kenyataannya hampir 90 persen penduduk
Indonesia bergelut dalam aktivitas ekonomi di sektor usaha kecil dan menengah
dan 70 persennya terdapat pada sektor pertanian. Sumbangan besar ini
mencerminkan betapa UKM menjadi acuan utama pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan untuk mencapai kesejateraan masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi berbasis sektor usaha kecil dan menengah (UKM) sangat
erat dengan ekonomi kerakyatan karena di dalamnya terdapat sistem ekonomi
yang berbasis kekuatan rakyat. Pembangunan ekonomi berorientasi pada
kerakyatan sejatinya melahirkan ketahanan ekonomi di segala bidang.
Saat ini, rapuhnya fundamental perekonomian nasional menuntut
penanganan serius karena tantangan ke depan yang semakin berat. Globalisasi dan
isu-isu perdagangan bebas merupakan tantangan eksternal Indonesia ke depan, di
samping masalah-masalah dalam negeri seperti krisis multidimensi yang
berkepanjangan, otonomi daerah, serta isu-isu disintegrasi bangsa. Ada dua
pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis ekonomi 10 tahun silam.1 Pertama,
pembangunan ekonomi yang tidak berbasis pada kekuatan sendiri, melainkan
bertumpu pada utang dan impor, ternyata sangat rentan terhadap perubahan faktor
eksternal dan membawa negara ke dalam krisis yang berkepanjangan. Kedua,
pendekatan pembangunan yang serba sentralistik, sergam dan hanya berpusat
pada pemerintah ternyata tidak menghasilkan struktur sosial ekonomi yang
memiliki fondasi yang kokoh, tetapi cendrung menghasilkan struktur yang
didominasi usaha skala besar (yang dihuni oleh sekelompok kecil orang) dengan
kinerja sangat rapuh. Dua pelajaran yang sangat berharga ini harus dapat
diaktualisasikan ke dalam rancangan strategis dan kebijakan pembangunan
berikutnya agar tidak terjerumus kesalahan yang sama.
Salah satu bentuk aktualisasi tersebut adalah dengan munculnya wacana
pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah yang memang
merepresentasikan kedua pelajaran diatas. UKM menjadi perwujudan konkret dari
kegiatan ekonomi rakyat yang bertumpu pada kekuatan sendiri, terdesentralisasi,
beragam dan merupakan kelompok usaha yang mampu menjadi buffer saat
perekonomian Indonesia dilanda krisis. Keragaman usaha UKM seperti, peternak
kecil, petani gurem, nelayan, tukang sayur, industri rumah tangga, usaha
kerajinan, koperasi, pedagang kecil/ eceran, sopir angkot dan seterusnya adalah
pelaku ekonomi yang memberi andil cukup besar dalam menggerakkan denyut
nadi kehidupan masyarakat.
1 Amran Husen, Strategi Penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dalam Ahmad Erani Yustika, ed., “Perekonomian Indonesia ; Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan” (Malang: Bayumedia, 2005) h.39
Di beberapa negara seperti Italia di mana kontribusi UKM terhadap
ekspornya lebih besar usaha besar pada 1998, yakni mencapai 78 persen. Di
kawasan APEC, kontribusi UKM dalam Product Domestic Bruto (PDB) berkisar
antara 30 – 70 persen. Di samping dalam pembentukan PDB, UKM juga berperan
besar dalam penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 42,3 juta UKM yang ada di
Indonesia, mampu meyerap lebih dari 79 juta tenaga kerja atau 99,4 persen dan
untuk kawasan APEC sendiri, UKM mampu menyerap tenaga kerja hingga 50
persen.2
Sebagai usaha kecil, UKM kerap kali terjebak dalam pelbagai permasalahan
yang mengancam eksistensinya, baik permasalahan internal maupun eksternal.
Permasalahan internal UKM meliputi3:
a. Rendahnya profesionalisme tenaga pengelola UKM,
b. Keterbatasan permodalan dan kurangnya akses terhadap perbankan dan
pasar,
c. Kemampuan penguasaan teknologi yang masih kurang.
Adapun pemasalahan eksternal yang dihadapi UKM yakni:
a. Iklim usaha yang kurang menguntungkan bagi pengembangan usaha kecil,
b. Kebijakan pemerintah yang belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,
2 “Kontribusi UKM Sangat Besar dalam Perekonomian,” Harian umum Republika, Jumat 22 September 2006
3 Jafar Mohammad Hafsah, Kemitraan Usaha; Konsep dan Strategi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 25
c. Kurangnya dukungan, dan
d. Masih kurangnya pembinaan, bimbingan manajemen dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
Jika permasalahan-permasalahan demikian tidak teratasi dengan baik, maka
kegagalan dan kepailitan usaha akan terus terjadi yang selanjutnya berdampak
negatif bagi perekonomian bangsa. Oleh karena itu, peranan pemerintah yang
berpihak pada UKM dan peranan lembaga keuangan mikro (LKM) menjadi
penopang utama saat permasalahan-permasalahan tersebut timbul kepermukaan.
Dalam hal peran pemerintah, kebutuhan UKM yang harus penuhi pemerintah
berupa kebijakan yang berpihak kepada sektor usaha mikro, kecil dan menengah.
Selain itu, pemerintah perlu memberikan penyuluhan dan pembinaan sabagai
upaya maintanance kepada UKM untuk terus mempertahankan keberadannya.
Pengembangan UKM tidak bisa lepas dari LKM, karena selama ini LKM
merupakan pihak yang mampu memberikan dukungan kepada UKM.
Berangkat dari fenomena tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan
LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka
pengembangan UKM. LKM yang kerap kali bersentuhan langsung dengan para
pengelola UKM adalah koperasi. Disamping itu, ada pula LKM yang
berlandaskan prinsip syariah seperti Baitul Mal Wattamwil dan koperasi syariah.
Perlu diketahui bahwa lembaga keuangan mikro umum ataupun yang
berlandaskan prinsip syariah merupakan bagian dari UKM itu sendiri. Koperasi
dan UKM ibarat dua sisi mata uang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, dukungan
regulasi berupa kebijakan-kebijakan pemerintah juga dibutuhkan bagi
perkembangan dan pengembangan koperasi.
Meskipun demikian, belum ada ketentuan khusus yang mengatur
operasional koperasi syariah, baik berupa undang-undang ataupun peraturan
pemerintah. Padahal sejauh ini koperasi syariah mampu membantu usaha mikro,
kecil dan menengah dengan jumlah yang cukup signifikan yang disebut-sebut
sebagai pondasi pokok ketahanan perekonomian negara. Atas dasar itulah menjadi
latar belakang saya untuk menyusun karya tulis berjudul “Analisa Kebijakan
Pemerintah tentang Koperasi Syariah Ditinjau dari Perspektif Islam”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Industri usaha kecil dan menengah mencakup banyak hal sektor usaha
kecil dan menengah. Koperasi menjadi salah satu yang terintegrasi ke dalam
bagian unit usaha kecil dan menengah tersebut. Prinsip usahanya pun ada yang
bersifat umum dan adapula yang menggunakan prinsip syariah seperti Baitul Mal
Wattamwil dan Koperasi Syariah. Dalam hal ini, pembatasan masalah pada
penelitian ini tertuju pada sektor usaha koperasi syariah.
Posisi koperasi dirasakan begitu strategis bagi pengembangan UKM,
terlebih koperasi yang benar-benar berlandaskan prinsip syariah dalam
menjalankan usahanya. Walaupun selama ini belum terlihat dukungan regulasi
yang signifikan kepada koperasi berprinsip syariah dari pemerintah dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan dan kualitas koperasi syariah. Koperasi syariah
ataupun koperasi pada umumnya merupakan bagian dari unit Usaha kecil dan
menengah yang juga membutuhkan sokongan dari pemerintah dan lembaga
keuangan yang lebih besar. Sokongan tersebut berupa kebijakan yang dapat
membantu pelakasanaan tugas pokok koperasi yang harus diberikan pemerintah,
dan dukungan permodalan merupakan kebutuhan penting koperasi yang harus
ditopang oleh sektor perbankan. Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah:
1. Prinsip-prinsip apa yang digariskan Islam dalam pengembangan ekonomi?
2. Kebijakan apa yang diterbitkan pemerintah dalam pengembangan UKM di
sektor usaha koperasi syariah?
3. Bagaimana kesesuaian antara kebijakan pemerintah dalam pengembangan
sektor usaha koperasi syariah dengan prinsip-prinsip pengembangan
ekonomi yang digariskan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan antara lain:
1. Memahami kebijakan pemerintah tentang pengembangan koperasi syariah
yang selama ini belum terakomodasi oleh peraturan pemerintah dan
perundang-undangan
2. Mengetahui relevansi antara prinsip-prinsip Islam secara garis besar
dengan kebijakan tersebut dari segi teori dan praktik.
3. Memberikan informasi kepada publik mengenai perkembangan koperasi
syariah di Indonesia.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan laju usaha kecil dan menengah di sektor koperasi
syariah.
2. Memberi masukan konsruktif kepada instansi terkait bagi pengembangan
koperasi di Indonesia.
D. Kerangka Teori
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan
pemimpin diantara kamu...” (An-Nisa’ : 59)
Pemerintah sebagai penguasa yang telah diberi amanah oleh Allah SWT
untuk memimpin bumi, bertanggung jawab terhadap rakyatnya baik secara materi
maupun non-materi. Pada umumnya campur tangan pemerintah dalam kegiatan
ekonomi adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan, penyusunan,
penerangan dan peraturan untuk mewujudkan kelancaran, keadilan dan
kesimbangan dalam masyarakat.
Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang diteguhkan
kedudukannya dimuka bumi dengan firman-Nya:
☺ ☺
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat makruf dan mencegah perbutan munkar” (Al-Hajj: 41).
Yang dimaksud dengan diteguhkan di bumi adalah bagi orang-orang yang
beriman yaitu kekuasan di tangan mereka. Pengaruh dari diteguhkan tampak pada
ditegakkannya hak Allah yang paling menonjol, shalat, terpeliharanya hak
menusia terutama bagi fakir miskin yaitu hak mereka bagian dari zakat,
tersebarnya kebaikan dan ditentangnya kebatilan dan kerusakan. Tampaklah
bahwa peran negara di lapangan ekonomi mantap dan kokoh dalam menjaga
norma dan kewajiban, yaitu dalam semua bidang tanpa kecuali.
Negara bertugas menegakkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap individu dan mencegah mereka dari segala perbuatan haram atau yang
merugikan orang lain maupun pribadi4
4Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 252
E. Metode Penelitian
Bagian ini menguraikan secara detail cara kerja dan prosedur pelaksanaan
penelitian.
A. Jenis penelitian
1. Studi Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan pengkajian terhadap teori-
teori dengan mempelajari buku-buku, literatur-literatur, surat kabar,
internet, bahan dokumentasi dan sebagainya yang berhubungan dengan
tema penulisan yang menjelaskan mengenai pengertian koperasi dan
segala macamnya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dalam
penanganan koperasi syariah, serta penjelasan-penjelasan dari maksud
dari kebijakan-kebijakan tersebut.
B. Pendekatan Penelitian
Skripsi ini mendeskripsikan kesesuaian antara teori yang ada
dengan kondisi ril di lapangan. Dengan demikian, pendekatan yang
dilakukan pada penelitian ini mengarah kepada pendekatan empiris dengan
kajian politik ekonomi.
C. Data Penelitian
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Primer,
yakni data yang diperoleh dari kebijakan pemerintah yang terkait pada
pembahasan penelitian ini. Adapun Data Sekunder yang diperoleh
diperoleh melalui data yang telah diteliti sebelumnya dan dikumpulkan
berkaitan dengan permasalah penelitian ini.
2. Jenis Data
Adapun jenis penelitian ini dikatagorikan jenis penelitian kualitatif,
karena lebih mendeskripsikan teori-teori sosial dan normatif. Selain
itu, analisa yang dilakukan adalah memaparkan secara terperinci
tentang kebijakan-kebijakan pemerintah kemudian analisis untuk
mengetahui ada atau tidaknya kesesuaian antara prinsip-prinsip
pengembangan UKM dalam perspektif pemerintahan Islam dengan
kebijakan-kebijakan yang ada dalam bentuk pernyataan dan
kesimpulan sehingga penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian
kualitatif
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode
studi dokumentasi naskah (studi pustaka).
D. Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini terfokus kepada kebijakan yang telah
dikeluarkan pemerintah melalui Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah.
E. Teknik Pengolahan Data
Karena jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, maka
teknik pengolahan data dimulai dengan melakukan pengkodean data,
untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi.5
F. Metode Analisa
Analisa dalam penelitian ini menggunakan model analisis isi
dengan mendeskripsikan teori-teori yang ada kemudian disesuaikan dengan
kenyataan yang ada dan analisis wacana dengan memberikan pernyataan
peneliti dari gejala dan masalah yang ada.
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berpedomen pada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
H. Sistematika Penulisan
5 Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Buku Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.28
Penulisan skripsi ini mengacu kepada pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007. Urutan penulisan penelitian pada skripsi ini, penulis membaginya menjadi 5
bab, yakni:
1. BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian metodologi penelitian, studi kepustakaan, kerangka
teori dan sistematika penulisan.
2. BAB II : LANDASAN TEORI
Berisi tentang pemaparan teoritis dan normatif tentang hubungan Islam
dan Ekonomi, peran dan tanggung jawab negara pada pembangunan
ekonomi skala mikro di sektor lembaga usaha koperasi syariah yang
didalamnya terdapat peran negara dalam pengembangan usaha koperasi
syariah dan prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang digariskan
Islam.
BAB III : GAMBARAN UMUM
Bab ini menjelaskan secara teoritis mengenai pengertian koperasi syariah.
Selain itu mendeskripsikan latar belakang munculnya kebijakan koperasi
syariah dan Kebijakan pemerintah tentang koperasi syariah.
3. BAB IV: ANALISA KEBIJAKAN PEMERINTAH
Pada bab ini dideskripsikan mengenai perkembangan Koperasi syariah
setelah diterbitkannya keputusan menteri koperasi dan UKM dan analisa
kesesuaain antara prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang digariskan
Islam.
4. BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang diperoleh penulis
melalui hasil penelitian di karya skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA
MIKRO PADA SEKTOR USAHA KOPERASI SYARIAH
A. Islam dan Ekonomi
Menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata
salima yang berarti “selamat sentosa.” Dari asal kata itu dibentuk kata aslama
yang artinya “memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa,” dan berarti juga
“menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.” Seseorang yang bersikap
sebagaimana yang dimaksud oleh pengertian Islam tersebut disebut muslim, yaitu
orang yang menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah
SWT.6 Secara terminolgis, Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui seorang Rasul. Atau lebih tegas lagi Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat melalui Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul.7
Adapun kata Ekonomi berasal dari bahasa yunani, yakni dari kata oikos
yang berarti rumah tangga (household) dan Nomos yang berarti aturan, kaidah
atau pengelolaan. Secara sederhana, ekonomi dapat diartikan sebagai kaidah-
kaidah, aturan-aturan, atau cara pengelolaan suatu rumah tangga. Ekonomi pada
6 Abuddin Nata, “Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I)”,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992, Ed. Revisi), h. 23, review buku Khursid Ahmad, Islam its Meaning and Message, (London: Islamic Council of Europe, 1976) h. 21
7 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Pres, 1979), h. 17
umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk
produksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk
dikonsumsi. Dengan demikian bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor
dalam perilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan
konsumsi.8 Menurut Jean Baptiste Say (1767-1832), ekonomi adalah ilmu yang
mempelajari tentang kesejahteraan.9
Manusia hidup dalam suatu kelompok masyarakat, yang secera
keseluruhan membentuk sebuah sistem. Sistem tersebut secara sederhana
membentuk dapat diartikan sebagai interaksi, atau kaitan, atau hubungan dari
unsur-unsur yang lebih kecil membentuk suatu kesatuan yang lebih kompleks
sifatnya. Manusia juga memeliki kebutuhan yang beraneka ragam seperti belitan
dikehidupan keluarga, keinginan, agama, kewajiaban dan kontak sosial dengan
teman-temannya. Pada akhirnya, manusia harus memenuhi kebutuhan akhirnya
dan berusaha keras untuk mendapatkan kebutuhan ekonominya demi memenuhi
segala keinginannya.
Masalah utama pada dasarnya terletak pada bermulanya kelangkaan
(scarcity) barang dan sumber daya yang dibutuhkan manusia, di sisi lain
kebutuhan manusia tidak terbatas sehingga yang muncul adalah persaingan
(competition) untuk mendapatkan barang dan sumber daya tersebut. Manusia
8 Paul A. Samuelson, Economics (New York: McGraw-Hill Book Co., 1973), h.3 9 Mehr Muhammad Nawaz Khan, Islamic and Other Economic System (Lahore: Islamic
Book Service, 1989) h.10
tidak pernah merasa puas atas apa yang diperoleh dan dicapai. Apabila keinginan
sebelumnya sudah terepenuhi, maka keinginan-keinginan yang lain akan muncul.
Dengan ditandainya keterbatasan dan kelangkaan sumber daya yang tersedia,
manusia harus menentukan pilihan-pilihannya (choice) dalam menentukan
kebutuhannya yang kompleks.
Semua urusan dan kebutuhan manusia sebenarnya sudah diatur oleh Islam
yang terangkum dalam kitab suci Al-Quran, yakni Allah telah memfasilitasi itu
semua melalui sumber daya alam yang melimpah ruah. Islam memandang bahwa
bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada manusia sebagai
khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Pernyataan ini ditegaskan dalam Al-Quran yang berbunyi:
☺
⌧ ☺
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan” (Lukman: 20)
Di samping itu, Islam juga sebagai agama terakhir yang sudah
disempurnakan Allah SWT, artinya hanya agama Islam-lah yang menjadi satu-
satunya agama yang diridhai Allah sebagai agama yang harus diikuti oleh seluruh
makhluk hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
☺ ☺
☺
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Al- Maaidah: 3)
Tujuan agama Islam secara umum adalah membawa manusia kepada
kehidupan baik, sejahtera lahir dan batin sehingga memperoleh kedamaian dan
ketentraman hidup di dunia dan akhirat. Agama Islam berpedoman kepada Al-
Quran karim dan Sunah Rasul. Membicarakan ajaran Islam tidak dapat dilepaskan
hubungan kedua pedoman utama tersebut. Oleh karena itu, ajaran Islam sebagai
suatu syariah yang dibawa oleh Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri.
Syariah ini bukan hanya menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal.
Karakter istimewa ini diperlukan, sebab tidak akan ada syariah lain yang datang
untuk menyempurnakannya.
Komprehensif berarti syariah Islam mengintegralkan seluruh aspek
kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah berkaitan
dngan interaksi vertikal antara makhluk dengan Sang Pencipta. Sedangkan,
muamalah diturunkan untuk menjadi rules of game dalam kehidupan antar
makhluk.
Universal bermakna bahwa ajaran Islam dapat diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat sampai Hari Akhir. Universalitas ini nampak jelas terutama
pada bidang muamalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah
tidak membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam
ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali ra., “Dalam bidang muamalah
kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.” Dalam
sektor ekonmi misalnya, larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan
keuntungan, pengenaan zakat, dan lain-lain yang merupakan bagian dari prinsip
pelaksanaan aktifitas ekonomi. Adapun variabelnya diantaranya adalah aplikasi
prinsip jual-beli dalam modal kerja, penerapan asa mudharabah dalam investasi,
atau penerapan ba’i salam dalam pembangunan suatu proyek. Sifat muamalah itu
menjadi acuan utama dalam aktifitas ekonomi karena Islam mengenal hal yang
diistilahkan sebagai Prinsiples and variabels (tsawabit wa mutaghayyirat).
Ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara otomatis
tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Terlebih lagi Al-Quran dan As-Sunah
sebagai sumber hukum dari semua perkara, memberikan porsi yang cukup besar
dalam membahas berbagai hal berkaitan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi
dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan
Islam sebagai agama. Misalnya, dalam mekanisme zakat, yang merupakan salah
satu rukun atau pilar utama agama, dimana urgensi zakat dapat dipersamakan
dengan empat pilar utama lainnya yaitu dua kalimat syahadat, salat lima waktu,
puasa dan haji. Mengabaikan zakat sama saja dengan mengamputasi Islam
sebagai agama, karena zakat menjadi salah satu rukunnya.
Demikian sebaliknya, dalam aktifitas ekonomi, zakat menjadi pilar penting
agar mekanisme atau proses ekonomi dapat terus berlangsung. Zakat pada
dasarnya menjaga agar daya beli masyarakat khususnya golongan bawah
(mustahik) selalu ada, atau zakat memberikan kesempatan pada masyarakat yang
tidak memiliki akses pada ekonomi, sehingga semua elemen masyarakat terlibat
dapat aktif dalam aktifitas ekonomi. Dengan kata lain, zakat adalah satu instrumen
ekonomi yang menjaga agar tingkat minimum permintaan yang dubutuhkan oleh
pasar agar pasar berjalan selalu terpelihara. Zakat juga secara tidak langsung
mampu menekan atau bahkan menghindarkan masyarakat dari masalah-masalah
sosial lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, dan konflik
sosial10.
Berdasarkan alasan ini, mustahil mendikotomikan Islam dan ekonomi,
karena ekonomi menjadi salah satu sistem berkehidupan yang diatur oleh agama,
agar harmonisasi, keseimbangan dan kesejahteraan dapat dicapai dan terjaga
keberlangsungannya. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk mengejar
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan di akhirat tntu saja menjadi
acuan utama dalam ajaran Islam. Sedangkan kesejahteraan dunia adalah tidak bsa
dilepas dari terwujudnya hidup yang meliputi kesejahteraan harta. Jelas sekali
bahwa miskin, bodoh, terbelakang dan semacamnya tidak akan disebut baik dalam
hidupnya. Dan ini semua tidak menjadi cita-cita Islam secara doktrinal. Dalil lain
yang lebih cocok dan sering dijadikan dalil untuk berusaha memperoleh
kesejahteraan dunia adalah:
10 Ali sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern), (ttp. : Paradigma & Aa Publishing, 2007), h.10
☺ ☯
☺
⌧
☺ “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Oleh karena itu, permasalahan ekonomi dalam Islam lebih terletak pada
perputaran harta dibandingkan dengan masalah kelangkaan dan pilihan. Orientasi
ekonomi tidak sempit hanya tertuju pada pencapaian materi, tetapi juga
pencapaian spiritual.
Sebagaimana keterangan di atas, Islam mempunyai pandangan yang jelas
mengenai harta dan kegiatan ekonomi, pandangan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut11:
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi adalah Allah.
Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan
amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan keteentuan Allah.
11 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta: Tazkia Institute, 2001), h.42 review materi Pelatihan Perbankan Syariah TAZKIA oleh Dr. H Didin Hafiduddin
☺
⌧ ⌦ ⌧
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Al-Hadid: 7)
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai:
a. Titipan dari Allah dan manusia sebagai pemegang amanah.
b. perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan
baik dan tidak berlebih-lebihan.
c. Ujian keimanan terutama menyangkut soal cara mendapatkannya dan
memanfaatkannya.
d. Bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah Allah dan melaksanakan
muamalah sesama manusia melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah.
3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha atau mata
pencaharian (ma’isyah) yang halal sesuai dengan aturan-Nya.
4. Islam melarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan
kematian, melupakan dzikrullah, melupakan salat dan zakat dan memusatkan
kekayaan pada sekelompok orang saja.
5. Islam melarang menepuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba,
perjudian, jual-beli barang yang dilarang atau haram, mencuri, merampok,
penggasaban, curang dalam takaran, melalui cara-cara yang batil dan
merugikan, dan melalui suap-menyuap.
sumber: M. Syafi’i Antonio
B. Peran Dan Tanggung Jawab Negara dalam Pengembangan Usaha
Koperasi Syariah Ditinjau dari Perspektif Islam
Pemberdayan ekonomi rakyat akan terasa makin penting, jika kenyataan
menunjukan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya berbasis ekonomi rakyat,
yakni kegiatan ekonomi yang didominasi unit usaha kecil, mikro dan menengah.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, Usaha Kecil Menengah (UKM)
ISLAM COMPREHENSIVE WAY OF LIFE
ISLAM
AQIDAH SYARIAH AKHLAQ
IBADAH MUAMALAH
SPECIAL PUBLIC RIGHTS
CRIMINAL CIVIL LAWS INTERIOR EXTERIOR
INTERNTIONAL RELATION
CONSTITUEECONOMY ADMINISTRATIV
FINANCE
BANKING MORTAGAINSURANCE LEASING VENTURE
selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena
sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam
kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. UKM akan terasa
semakin kokoh bilamana akan Lembaga Keuangan Mikro terlibat di dalamnya.
Terutama lembaga mikro yang berprinsip syariah. Lembaga syariah yang disebut-
sebut dekat dengan usaha akar rumput ini adalah Koperasi Syariah. Karena
perannya sangat strategis, yakni menopang keberlangsungan usaha mikro yang
posisinya juga sebagai badan usaha mikro itu sendiri yang diakui pemerintah.
Dengan demikian, peran dan Tanggung Jawab yang besar untuk memberdayakan
perekonomian umat adalah bagian dari kewajiban negara yang harus
dilaksanakan.
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan pemimpin diantara kamu...” (An-Nisa’ : 59)
Pemerintah sebagai penguasa yang telah diberi amanah oleh Allah SWT
untuk memimpin bumi, bertanggung jawab terhadap rakyatnya baik secara materi
maupun non-materi. Pada umumnya campur tangan pemerintah dalam kegiatan
ekonomi adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan, penyusunan,
penerangan dan peraturan untuk mewujudkan kelancaran, keadilan dan
kesimbangan dalam masyarakat.
Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang diteguhkan
kedudukannya dimuka bumi dengan firman-Nya:
☺ ☺
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah perbutan munkar” (Al-Hajj: 41).
Yang dimaksud dengan diteguhkan di bumi adalah bagi orang-orang yang
beriman yaitu kekuasan di tangan mereka. Pengaruh dari diteguhkan tampak pada
ditegakkannya hak Allah yang paling menonjol, shalat, terpeliharanya hak
menusia terutama bagi fakir miskin yaitu hak mereka bagian dari zakat,
tersebarnya kebaikan dan ditentangnya kebatilan dan kerusakan. Negara bertugas
menegakkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu dan
mencegah mereka dari segala perbuatan haram atau yang merugikan orang lain
maupun pribadi.12 Tampaklah bahwa peran negara di lapangan ekonomi mantap
dan kokoh dalam menjaga norma dan kewajiban, yaitu dalam semua bidang tanpa
kecuali. Rasulullah dan para Khalifah Rasyidin sebagai seorang kepala negara
sekaligus agama adalah contoh nyata.
Ibnu Taimiyah menyatakan pemerintahan merupakan institusi yang sangat
dibutuhkan. Dia memberi alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan
12 Qardhawi, Norma dan Etika Eknomi Islam, h. 378
negara itu sebagai kewajiban agama. Sabda Rasulullah SAW: “Jika tiga orang
melakukan perjalanan bersama, mereka harus mengangkat seorang diantara
mereka sebagai pemimpin.” Ketika mengutip hadits tersebut, dia menjelaskan:
“Jika seorang pemimpin dibutuhkan dalam perjalanan ⎯ yang secara temporer yang dilakukan dan hanya terdiri beberapa orang ⎯ sungguh merupakan perintah untuk memiliki seorang pemimpin pula untuk mengatur sebuah asosiasi banyak orang yang sangat besar”13
Dia lebih jauh menyatakan bahwa kewajiban bagi setiap bagi setiap
muslim untuk mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Tugas itu
tidak bisa disempurnakan pelaksanaannya tanpa kekuatan dan otoritas
kepemimpinan. melaksanakan kewajiban agama, menegakkan keadilan,
memberantas kemiskianan, memerangi kemungkaran dan menjamin adanya
supremasi hukum bagi seluruh warga negara. Semua tugas tersebut tak mungkin
ditangani dengan baik tanpa adanya pemerintahan dan kekuasaan.14
Campur tangan pemerintah terhadap pengembangan usaha kecil dan
menengah erat kaitannya dengan pemberantasan kemiskinan, dan menjadi
kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk mampu mencapai kondisi
finansial yang lebih baik. Hal demikian sudah menjadi konsensus umum bahwa
siapapun yang tak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi harus
dibantu dengan sejumlah uang agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Tidak menjadi persoalan apakah mereka itu para peminta-minta atau tentara,
pedagang, tukang ataupun petani. Misalnya seorang pedagang kecil yang hasil
13 Ibnu Taimiyah, “Al-Siyasah al-Syar’iyyah,” (Kairo: Dar Al-Shab, 1971), h.184 14 Abdul Azim Islahi, The Economic Concept of Ibn Taimiyah, (UK: The Islamic
Foundation, 1982) h. 173
dagangannya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya, atau petani yang
keterbatasan modal untuk melakukan produksi. Maka semuanya berhak atas
bantuan sedekah yang sumbernya dari anggaran negara.15 Negara juga harus
berupaya agar penduduk mampu memliki standar hidup lebih baik dan membantu
penduduknya agar bisa hidup mandiri.
Selama para pedagang atau usahawan kecil mengalami kesulitan untuk
mengembangkan usahanya maka peranan pemerintah sangat diperlukan yang
wujudnya bisa dalam bentuk investasi, pembinaan, dan pengawasan. Jika peranan
ini dilaksanakan dengan baik, maka kemiskinan dapat segera diatasi karena
peranan jenis sangat ampuh mendidik masyarakat untuk mandiri dan produktif.
C. Prinsip-prinsip Pengembangan Ekonomi yang Digariskan Islam
Kesempurnaan ajaran Islam mengatur hubungan antar manusia,
memberikan arahan jelas dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Salah satunya
adalah seperti yang terdapat dalam kaidah ushul fikih yang bunyinya, “Semua
aktiftas muamalah hukumnya adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.”
Karena itu, segala aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penzaliman terhadap
stakeholder atau sebaliknya hukumnya menjadi haram dan dilarang karena
perbuatan zalim dalam Islam adalah dosa. Terkait dengan itu semua, Islam
memberikan garis besar dalam dalam melakukan tindakan ekonomi yang
terangkum dalam prinsip-prinsip Islam dalam pengembangan ekonomi.
15Ibid, h. 181
Dalam hal falsafah dan keyakinan, maka prinsip yang harus diperhatikan
adalah:
a. Prinsip Ketauhidan
Batu pondasi Islam adalah tauhid (keimanan) karena pada konsep ini
konsep ini bermuara semua pandangan dunia dan strateginya. Tauhid
mengandung arti bahwa alam semesta didesain dan diciptakan oleh Tuhan Yang
Mahakuasa, yang bersifat esa dan unik dan ia tidak terjadi karena aksiden. Segala
sesuatu yang diciptakan memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan arti dan
signifikansi bagi eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu
bagiannya.16
Semua aktifitas yang dilakukan manusia harus tergambar sebagai usaha
untuk mencari kebahagiaan hidup. Tidak hanya kebahagiaan hidup di dunia saja
tetapi juga kebahagiaan setelah kematian. Gambaran tersebut hanya bisa tercapai
dari sikap ketauhidan manusia kepada penciptanya. Termasuk peran pemerintah
saat menjalankan roda pemerintahan tidak terlepas dari aktifitas untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Mensejahterakan kehidupan rakyat adalah salah satu usaha
untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Tetapi kehidupan yang bahagia menjadi
semu bila tidak disertai ketauhidan dan ketundukkan kepada penciptanya.
Menjalankan nilai-nilai spiritual, norma dan etika merupakan bagian dari bentuk
manifestasi prinsip ketauhidan.
16 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: GIP – Tazkia Institute, 2000), h. 204
Nilai tauhid yang dijunjung manusia bersifat universal dan komprehensif,
berlaku kepada semua makhluk hidup, penguasa, ulama, rakyat kecil, bahkan
pengusaha. Maka, sangat berbeda orientasi seseorang yang berusaha dilandasi
dengan prinsip ketauhidan dengan mencari keuntungan yang sifatnya
materialistis. Jika usaha yang materialistis dihadapkan pada kerugiaan dan
bencana, timbul kegelisahan dan tekanan batin. Akan tetapi, usaha yang dilandasi
nilai keimanan masih memiliki revers dalam rohaninya, tidak mudah kecewa atau
kecil hati karena sandarannya tetap ada, yaitu keimanan.17
Tauhid disini tidak hanya diartikah untuk mengesakan Allah, melainkan
juga meyakini bahwa Allah SWT telah mengutus para utusannya di muka bumi
dalam rangka mengemban risalah dakwah Islam. Keyakinan terhadap sifat-sifat
kenabian menjadi kewajiban yang harus diusahakan bagi kehidupan individu,
masyarakat, dan penguasa dalam rangka menyempurnakan prinsip tauhid ini.
Termasuk diartikan meyakini kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya sampai saat
ini yang semuanya terintegrasi dalam rukun Iman.
b. Khilafah
Khilafah dalam arti ini bukan dalam pengertian lembaga pemerintahan
Islam, tetapi pendelegasian manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Firman
Allah SWT:
17 Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 116
☺
⌧
Artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah : 30)
Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Al-An’am: 165)
Ayat ini mengandung dua hal. Pertama, segala yang ada di alam semesta
termasuk manusia adalah kepunyaan Allah yang memiliki kedaulatan sepenuhnya
dan sempurna atas makhluk-makhlukNya yang lain. Manusia diciptakan Allah
untuk menjadi wakilNya di muka bumi dan diberi kelebihan yang tidak ada pada
binatang dan tumbuhan, bahkan manusia sendiri yang mampu memanfaatkannya.
Kedua, Allah mengamanatkan kekayaan dan kekuasaaan ke tangan manusia
dengan tingkat derajat yang berlainan. Ada yang mendapat bagian yang lebih
banyak atau sebaliknya. Amanat itu dimaksudkan sebagai cobaan bagi manusia
yang kelak akan menentukan nasib setiappribadi pada hari kiamat.
Dalam hal prinsip khilafah, pemerintah atau penguasa (umara’) adalah
bagian perwujudan dari salah satu wakil Allah untuk memanfaatkan sumber daya
yang Allah sediakan di bumi. Pemerintah diberikan kewenangan untuk mnegatur
suatu wilayah tertentu, mengatur kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik
dan bermartabat. Kewenangan tersebut merupakan amanat Tuhan yang
dianugrahkan kepada manusia. Maka, amanat tersebut menjadi kewajiban bagi
manusia untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Pengaturan tersebut tidak hanya dalam konteks kelembagaan pemerintah,
tetapi juga kelembagaan dalam cakupan yang lebih kecil seperti organisasi,
keluarga, anggota masyarakat dan lain sebagainya. Termasuk kepemimpinan
manusia dalam mengorganisasikan lembaga ekonomi mikro seperti koperasi,
keberadaan prinsip khilafah tidak bisa dinafikkan oleh para pengelola dan juga
pemerintah.
Kebijakan yang dikeluarkan dalam menjalankan aktifitas pemerintahan
merupakan bagian kecil peran khilafah yang dimainkan manusia dalam rangka
mengatur kehidupan masyarakat banyak. Belum lagi peran manusia dalam
memimpin dan mengatur sebuah institusi, termasuk pula institusi lembaga
keuangan mikro semacam koperasi syariah yang banyak memainkan peran
khilafah dalam mengembangkan lembaga keuangan ini.
Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan pemerintah mengenai nilai
dasar Islam dalam kegiatan ekonomi antara lain:
a. Keadilan
Nilai keadilan adalah instrumen yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran
Islam. Prinsip keadilan salah satu nilai yang begitu penting dalam menjalankan
roda pemerintahan. Supremasi hukum suatu negara dinilai mampu tegak jika
nilai-nilai keadilan dijunjung tinggi oleh pemerintah. Maka, dalam setiap
kebijakan dan keputusan yang dibuat pemerintah sudah seharusnya terkandung
instrumen keadilan.
Kata adil adalah kata yang terbanyak disebut dalam Al-Quran lebih dari
seribu kali, setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Karena itu, dalam
Islam keadilan adalah titik tolak sekaligus sekaligus proses dan tujuan semua
tindakan manusia.18 Ini berarti bahwa nilai kata itu sangat penting dalam ajaran
Islam terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik dan ekonomi. Dalam
hubungan ini perlu dikemukakan bahwa (a) keadilan itu harus diterapkan di
semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi
misalnya, keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantasan
keborosan sebagaimana dalam surat Al-Israa ayat 16:
⌧
“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Israa’: 16)
18 Mohammad Daud Adi, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988) h.8 reviem buku Sri-Edi Swasono, Pandangan Islam dalam Sistem Ekonomi Indonesia, (Jakarta: UI-Press) h. 11
Orang yang mutraf, yakni orang yang boros, bekerja tidak efisien, mencari
kemewahan dan berfoya-foya dalam kemaksiatan. Lalu berlakulah keadilan Allah
dengan menghancurkan suatu negeri akibat perbuatan penghuni negeri tersebut.
(b) Keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil
kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui
zakat, infak dan sedekah terutama kepada orang-orang miskin.
Watak utama nilai keadilan yang dikemukakan diatas adalah bawha
masyarakat ekonomi haruslah masyarakat yang memiliki sifat makmur dalam
keadilan dan adil dalam kemakmuran. Penyimpangan dari watak ini akan
menimbulkan bencana bagi masyarakat bersangkutan.19
Menurut Umer Chapra, penegakkan keadilan merupakan salah satu tujuan
pokok Allah menurunkan para Rasul. Al-Quran menempatkan posisi keadilan
paling dekat kepada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan merupakan hal yan paling
penting karena berfungsi sebagai batu loncatan bagi semua amal shalaeh termasuk
keadilan. Rasulullah SAW menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan
mutlak” dan memperingatkan “takutlah kepada kedzaliman karena kedzaliman
akan menyebabkan kegelapan pada hari kiamat.” Ini merupakan keniscayaan
karena kedzaliman menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam
konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan dan pada
gilirannya hanya akan mengantarkan pada kegelapan di dunia dan di akhirat.20
19 Mohammad Daud Adi, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h.8 20 M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001) h. 56-57
Jomo K.S, berpendapat bahwa ada dua prinsip dalam penegakkan keadilan
dalam Islam, yaitu Pertama, kesamaan (equality). Tidak ada perbedaan dalam diri
manusia, ia punya hak yang sama dalam Islam. Ketidaksamaan dalam ekonomi
akan menimbulkan jurang pemisah yang akan mempengaruhi kondisi makro.
Kedua, keseksamaan (fairness). Konsep ini akan bertumpu pada penegakkan
kesehatan dalam persaingan ekonomi dengan meniadakan diskriminasi dan segala
bentuk kecurangan lainnya. Prinsip pertama memberikan perhatian pada hasil dari
suatu proses itu sendiri. Persamaan pada gilirinnya akan menciptakan keadilan
dalam pendistribusian kekayaan dan pendapatan. Dan keseksamaan akan
menciptakan persaingan yang sehat dalam mendapatkan kekayaan.21
Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi dan tidak didzalimi.”
pengakkan keadilan bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Dan keadilan juga
menjadi nilai mutlak yang harus diterapkan oleh pemerintah dalam menjalankan
roda pemerintahan. Semua dilakukan sesuai dengan sesuai kadar usahanya dan
secara proporsional.
b. Kepemilkan
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep ownership. Prinsip ini adalah
nilai terjemahan dari nilai tauhid, karena pada hakekatnya pemilik primer alam
jagat raya ini hanyalah Allah. Sedangkan manusia diberi amanah untuk
mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik sekunder. Dengan
21 Jomo KS, Alternatif Ekonomi Islam: Perspektif Kritis dan Haluan Baru, (Selanngor : Daarul Ihsan, 1992) h. 20
demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan,
yakni supaya tidak ada proses pendzaliman segolongan yang lain, maka cabang-
cabang produksi yang penting dan yang berkaitan dengan hajat orang banyak
dikuasai negara. Karenanya, kepemilikan negara dan nasionalisasi dalam Islam
diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat tempat dalam Islam, baik
campuran swasta-negara, swasta domestik-asing, atau negara-asing, semua konsep
ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai Islam.22
Dalam kebijakan ekonomi, pemerintah perlu mengatur kepemilikan suatu
usaha, apakah berkaitan dengan modal, saham, maupun investasi. Tak terkecuali
kebijakan ekonomi di sektor usaha kecil dan menengah dan lembaga keuangan
mikro.
Kepemilikan modal dalam aktifitas usaha merupakan perkara yang rawan
dari tindak kecurangan (gharar). Pemerintah memang harus campur tangan dalam
rangka melakukan upaya preventif dari tindakan tersebut. Islam memberikan
kewenangan kepada pemerintah/ khalifah untuk mengatur urusan ini.
Sebagaimana firman Allah SWT:
☺
“Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” ( Al-A’raaf: 181)
22 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.25-26
Selain itu, Islam juga mengatur bagaimana cara mendapatkan hak milik
yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusaiaan. Seperti ayat dibawah ini:
⌧ ☺
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( An-Nisaa’ 29)
Dengan demikian, negara berkewajiban melindungi kepemilikan
seseorang atau golongan dari usaha-usaha yang memungkinkan terjadinya
pelanggaran hukum khususnya dalam aktifitas ekonomi.
c. Kebebasan Berusaha
Dalam aktifitas ekonomi, Islam bukanlah sistem ekonomi yang
mengadopsi nilai-nilai kapitalis dan nilai-nilai sosialis/marxis. Islam lebih
mengutamakan kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun pribadi tanpa
melanggar nilai-nilai etika. Karena pada hakekatnya kemaslahatan akan
melahirkan kesimbangan ekonomi.
Oleh karena itu, semampu mungkin pemerintah bersama masyarakatnya
harus dapat menyerap nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah dalam bermuamalah
jika mengharapkan lahirnya kemaslahatan ekonomi, yakni siddiq, amanah,
fathanah, dan tabligh.
Keempat nilai-nilai kenabian ini bila digabungkan dengan nilai keadilan
dan nilai khalifah akan melahirkan prinsip freedom of act (kebebasan berusaha).23
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Pemerintah bertugas memberi ruang seluas-luasnya kepada publik untuk
beraktifitas ekonomi sesuai dengan pilihannya tanpa menanggalkan ketentuan
hukum yang berlaku. Karena dalam kaidah hukum Islam, bahwa semua aktifitas
muamalah itu diperbolehkan kecuali ada hukum yang melarangnya.
Pemerintah juga mesti menjamin setiap individu memiliki kebebasan
dalam mengembangkan harta dan usahanya, namun dengan cara yang baik sesuai
dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku. Adapun dalam Islam kebebasan
yang digariskan adalah:24
1. Memperhatikan halal dan haram dalam ketentuan hukum-hukum Islam,
seperti memberikan manusia kebebasan untuk memanfaatkan potensi alam
untuk kehidupan hajat hidup masyarakat, tetapi tidak dibenarkan
memanfaatkan potensi alam dengan cara merusak lingkungan.
2. Komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariat Islam,
diantaranya komitmen terhadap kewajiban zakat dan kewajiban nafkah
lainnya.
23 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, cet. II., (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h. 67
24 Ali Fikri, Prinsip-prinsip Dasar dalam Ekonomi Islam, dalam Mustafa Kamal, ed., Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997), h. 114-117
3. Tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila
dan lemah.
4. Hak untuk berserikat dengan partner kerja.
5. Tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan orang
banyak.
Seperti itulah rambu-rambu yang digariskan, kebebasan seseorang dalam
memiliki dan memperlakukan usaha ekonominya dibingkai dengan ketentuan-
ketentuan syariat. Bukanlah ini berarti Islam merampas kebebasan individu dalam
memiliki harta dan usaha, tetapi menunjukkan bahwa kebebasan dalam Islam
bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang dimaknai kebebasan
bertanggung jawab dan bermartabat. Walaupun demikian, bukan berarti Islam
memasung hak untuk berusaha dan memenuhi kekayaan yang diinginkan. Bukan
berarti pula menggunakan prinsip “sama rata sama rasa” di mana seseorang
dibatasi cita-citanya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Bukan pula setiap
individu sebebas-bebasnya melakukan aktifitas ekonomi dengan memaksimalkan
sumber daya yang ada, tapi di sisi lain khalayak ramai dirugikan.
d. Kebersamaan
Kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan merupakan doktrin
dalam melakukan aktifitas kehidupan yang diapresiasi oleh ajaran Islam. Dalam
kerangka ekonomi, kebersamaan disini bermaksud kebersamaan yang timbal balik
antara sesama anggota masyarakat dan pemerintah dengan masyarakat baik dalam
kondisi lapang maupun sempit untuk mewujudkan kesejahteraan atau dalam
mengantisipasi suatu bahaya.25
Ada bebarapa hal yang perlu digaris bawahi dalam kebersamaan dalam
perspektif Islam:
1. Mewujudkan kebahagiaan, baik untuk pribadi maupun masyarakat dalam
batas yang sama secara konsisten dan stabil.
2. Kepentingan pribadi tidak diperbolehkan merugikan kepentingan
masyarakat. Prioritas harus tetap berada pada kepentingan masyarakat.
3. Kebersamaan ini adalah sebuah fenomena yang memperlihatkan kesatuan,
keakraban, saling tolong-menolong dan saling melengkapi antara
pemimpin dan dipimpin.
4. Tidak dibedakan seseorang atas yang lainnya dan tidak pula ada
keistimewaan antara yang memberikan tanggungan dengan yang diberikan
tanggungan.
Prinsip kebersamaan akan semakin terasa jika aktifitas ekonomi dilandasi
dengan konsep kemitraan (partnership). Dan prinsip ini erat kaitannya dengan
konsep koperasi syariah yang memang mengedepankan asas kebersamaan antar
sesama anggota koperasi. maka, sangatlah penting pemerintah memasukkan
25 Ibid, h. 118
elemen ini di kebijakannya dalam pengembangan koperasi syariah di Indonesia
mengingat kerjasama bagiann dari lingkungan kehidupan koperasi.
e. Kerjasama
Dengan diterapkannya prinsip kebersamaan dengan baik, maka sikap
mental kerjasama dalam bisnis dan usaha akan terus terjaga. Karena aktifitas
bisnis yang baik menurut Islam adalah bisnis yang dilandasi dengan nilai
kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi yang menjadi catatan bagi para
pelaku usaha bahwa kerjasama yang saling menguntungkan bukan kerjasama
yang menghalalkan segala cara dan bukan pula kerjasama dalam kemufasadatan
dan permusuhan. Allah SWT berfirman:
.....
.......
“.....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.....”( Al-Maaidah 2)
Dari badan usaha yang ada, koperasi menjadi garapan usaha yang paling
cocok dengan prinsip kebersamaan yang selanjutnya berbuah mental kerjasama
bisnis. Keja sama dan gotong-royong ini sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi.
Pertama, modal awal koperasi dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya.
Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara.
Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu
lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya. Kedua,
permodalan itu sendiri tidak merupakan satu-satunya ukuran dalam pembagian
sisa hasil usaha. Modal dalam koperasi diberi bunga terbatas dalam jumlah yang
sesuai dengan keputusan rapat anggota. Sisa hasil usaha koperasi sebagian besar
dibagikan kepada anggota berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam
pemanfaatan jasa koperasi. Misalnya, dalam koperasi konsumsi, semakin banyak
membeli, seorang anggota akan mendapatkan semakin banyak keuntungan. Hal
ini dimaksudkan untuk lebih merangsang peran anggota dalam perkoperasian itu.
Karena itu dikatakan bahwa koperasi adalah perkumpulan orang, bukan
perkumpulan modal.26
Ekonomi yang berdasarkan saling membantu dan kerja sama ini dengan
sendirinya melahirkan kebaikan (falah) di mana Islam menjunjung tinggi sebuah
usaha yang dilandasi dengan nilai-nilai kebaikan.27 Hal ini sudah ditegaskan pula
dalam surat Al-Maidah ayat 2 diatas.
Kerja sama antar pemerintah dan masyarakat memiliki posisi yang sangat
penting dan strategis. Pemerintahan yang baik dan masyarakat yang patuh akan
terciptanya hubungan harmonis antara penguasa dan rakyat. Hubungan yang
bersinergi ini akan menciptakan percepatan kemakmuran dan kesejahteraan
bangsa. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu mengakomodasi prinsip
kerjasama dalam hal pengembangan usaha koperasi terutama koperasi syariah
26 Koperasi Syariah (Syirkah Ta’awuniyyah) dalam Pandangan Islam, artikel diakses tanggal 25 Januari 2008 dari http://eksyar.blogspot.com/2006/12/koperasi-sirkah-taawuniyah-dalam.html
27 Ahmad Dimyati, Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam Pembangunan Koperasi, (Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989) h. 67
yang fenomenal selama 3 tahun terakhir. Apalagi sektor usaha kecil memiliki
hubungan ketergantungan finansial dengan lembaga keuangan mikro ini. Di satu
sisi lembaga keuangan mikro syariah seperti koperasi syariah juga membutuhkan
kebijakan pemerintah supaya operasionalnya berjalan secara efektif.
Itulah Islam yang menggariskan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan
pemerintah dalam setiap mengeluarkan kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan
dalam pengembangan lembaga keuangan mikro seperti koperasi syariah tidak
luput dari perhatian konsep ekonomi Islam. Namun, prinsip-tersebut belum cukup
lengkap karena teori dan sistem menuntut adanya konsistensi secara
berkesinambungan. Dengan kata lain, harus ada individu beriman yang beretika,
berakhlak secara profesional dalam hal ekonomi dan mengawasi aktifitas
perekonomian.
Berkaitan dengan kontiyuitas dari penerapan prinsip-prinsip tersebut,
maka sangat dituntut bagi pemerintah menjadi “wasit” yang mengawasi
sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Dengan demikian prinsip selanjutnya
adalah:
a. Prinsip Code of Ethics
Etika atau akhlak adalah salah satu karakteristik dan nilai tambah ketika
Islam membahas aktifitas ekonomi dan aktiftas muamalah lainnya. Bahkan Jack
Austri di bukunya Islam dan pengembangan ekonomi sebagaimana yang
dikatakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Islam adalah gabungan
antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya
terdapat ikatan yang sangat erat yang tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan
bahwa orang-orang Islam tidak bisa menerima ekonomi kapitalis. Dan ekonomi
yang kekuatannya berdasarkan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah
ekonomi yang berdasarkan etika.28
Peran etika ini yang akan menentukan pantas atau tidaknya suatu tindakan
ekonomi yang akan dilakukan. Dan yang terpenting fungsi etika adalah mencegah
manusia dari kebinasaan akibat menumpuk-numpuk harta dan membelanjakannya
yang tidak sesuai dengan prinsip etika Islam. Hal ini ditegaskan dalam Firman
Allah:
☺
☺
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah :195)
Ayat tersebut semestinya menjadi acuan bagi pemimpin dan pengusa
untuk kembali menanamkan nilai etika bila tidak ingin terjatuh ke lembah
kehancuran. Tidak hanya pada aspek ekonomi saja, melainkan di lini kehidupan
manusia. Tapi setidaknya pemerintah mesti memperhatikan etika dalam kebijakan
ekonomi, termasuk unsur etika yang termuat dalam kebijakan pengembangan
lembaga keuangan mikro.
28 Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, h. 55
Aktifitas ekonomi di sektor ril yang berlandaskan etika akan semakin
meneguhkan hakekat aktifitas ekonomi yang sebenarnya, yakni kokohnya
pondasi ekonomi bangsa yang bermartabat. Gambaran seperti ini merupakan
cerminan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan pernah
diwujudkan oleh pemerintahan Islam di abad IX.
b. Prinsip Pengawasan
Salah satu karakteristik unik yang juga merupakan bentuk orisinil dari
sistem Islam dalam mengelola pemerintahan adalah keberadaan mengenai
mekanisme pengawasan. Kebaradaan lembaga pengawasan menyiratkan
bagaimana Islam memandang bahwa pasar begitu penting dalam aktifitas
ekonomi. Pasar merupakan jantung aktifitas ekonomi, dan pasarlah yang
dijadikan alat oleh manusia dalam mencapai kesejahteraan demi menjaga
manusia agar selalu aman untuk memaksimalkan Ibadah kepada Allah.
Namum, dengan segala konsekuansi negatif yang juga dapat terjadi pada
aktifitas ekonomi di pasar, maka pengawasan pasar menjadi sebuah syarat
yang sangat vital dalam memastikan tujuan tersebut dapat tercapai.29
Oleh karena itu, Pemerintah memiliki peranan penting untuk
mewujudkan kebaikan bagi masyarakat banyak dan mencegah atau melarang
terjadinya tindak kecurangan sehingga merugikan orang banyak. Dengan
adanya prinsip pengawasan, pemerintah berhak sepenuhnya mengambil alih
29 Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern), h. 392-293
kebijakan ekonomi yang bersifat mengkondisikan keadaan perekonomian saat
terjadi ketidakstabilan. Lebih luas lagi, fungsi pengawasan tidak hanya
terbatas kepada pengontrolan kondisi pasar, tetapi juga menyadiakan
infrastruktur untuk perkembangan pasar, arbitrase (peradilan) dan lembaga
pembinaan usaha.30
Kehadiran prinsip pengawasan dalam menjadikan persaingan usaha
dan aktifitas ekonomi akan terasa sehat. Kerena di sana akan selalu ada
kegiatan kontrol dan evaluasi. Pengawasan ataupun pengontrolan akan
mencegah semua pihak untuk bertindak zalim pelaku usaha lain. Dan dalam
pengawasan akan berlaku pula tindakan reward dan punishment jika terjadi
sebuah pelanggaran. Jadi prinsip ini pada dasarnya untuk mencegah dan
mengatasi orang-orang melakukan tindakan-tindakan tercela yang dilarang
agama Islam.
30 Ibid, h. 400
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KOPERASI SYARIAH
A. Pengertian Koperasi Syariah
Dilihat dari segi bahasa, secara umum koperasi berasal dari kata-kata latin
yaitu, cum yang berarti dengan, dan apareri yang berarti bekerja. Dari dua kata
ini dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah co dan operation yang dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah cooperation veregening yang berarti
bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.31
Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau
organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama
dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar
sukarela secara kekeluargaan.
Istilah bekerja sama berdasarkan atas asas kekeluargaan, secara otentik
juga digunakan dalam konstitusi negara UUD 1945 sebagai tipologi sistem
perekonomian nasional. Dalam penjelasannya, istilah usaha bersama berdasarkan
atas asas kekeluargaan disebut koperasi. Dalam Undang-undang 25 Tahun 1992
dinyatakan bahwa yang dimaksud koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
31 R. T. Sutantya Rahardja Hadikusma, Hukum Koperasi Indonesia, cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) , h. 1
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.32
Koperasi dalam fikih Islam dikenal dengan Syirkah Ta’awuniyyah atau
semakna dengan kata al-Ikhtilat, yaitu perserikatan/ perkongsian dalam ekonomi
yang beroreintasi kepada kebersamaan. Adapun dilihat dari segi Istilah, koperasi
adalah akad antara orang-orang untuk berserikat modal dan keuntungan.33 Jejak
koperasi berdasarkan prinsip syariah telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur
tengah dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf
Islam Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M.
Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law, ia
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha
semacam koperasi, di antaranya dengan Sai bin Syarik di Madinah.34
Sedangkan Syirkah atau Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
atau dua orang pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesapakatan.35
32 Undang-undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 1, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007),h. 12
33 Junaedi B. SM., Islam dan Intreprenedrialisme : Suatu Studi Fiqh Ekonomi Bisnis Modern, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 147.
34 “Koperasi dalam Islam,” Artikel diakses tanggal 25 Februari 2008 dari http://setiadi.wordpress.com/2007/02/07/koperasi-dalam-islam/
35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujyahidwa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Daarul Qalam, 1988), h. 253-257.
Dilihat dari segi falsafah atau etika yang mendasari gagasan koperasi
banyak terdapat segi-segi yang mendukung persamaan dan dapat diberi rujukan
dari segi ajaran Islam. Persamaan falsafah atau etik itu ditemukan dalam
penekanan pentingnya kerjasama dan tolong-menolong (ta’awun), persaudaraan
(ukhuwah) dan pandangan hidup demokrasi (musyawarah) seperti dalam Al-
Quran menyuruh manusia bekerja sama dan tolong menolong dengan menegaskan
bahwa kerja sama dan tolong-menolong itu hanyalah dilakukan dalam kebaikan
dan mencerminkan ketakwaan kepada Tuhan.
Determinasi institusional badan usaha koperasi dalam perspektif yuridis
konstitusional di atas, secara esensial banyak mengandung aspek-aspek yang
mejadi titik taut dengan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perkoperasian.
Bahkan, hampir secara totalitas memiliki kesamaan prinsip yang justru
“bersenyawa” dengan sistem operasional prinsip syariah. Secara esesnsial titik
temu dimaksud antara lain terletak pada:36
a. Eksistensi badan usaha koperasi sebagai suatu konsep sistem gerakan ekonomi
kerakyatan sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan dan demokrasi
ekonomi, secara eksklusif berperan dalam membangun dan mengembangkan
kemampuan potensial ekonomi dan memajukan kesejahteraan anggotanya,
melainkan juga berperan serta dalam mewujudkan kualitas kesejahteraan
ekonomi dan sosial masyarakat yang maju, adil dan makmur.
36Faisal, dkk, Prospek Operasional Prinsip Syariah dalam Kegiatan Usaha Perkoperasian; Analisis Upaya Konversi Intan Sejatera Bandar Lampung Menjadi Koperasi Berdasarkan Prinsip Syariah, Laporan Penelitian, (Bandar Lampung: IAIN Raden Intan, 2003), h. 149-150
b. Karakteristik badan usaha koperasi tidak sekedar menjadi persekutuan orang,
melainkan sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi persekutuan
sosial dan modal.
c. Sistem pengelolaan usaha berdasarkan prinsip open management
d. Konstruksi skim permodalan yang meniscayakan keikutsertaan seluruh
anggotanya sebagai pilar utama usaha pemupukan modal, selain tetap
dimungkinkan skim permodalan berasal dari pinjaman dan penyertaan.
e. Sistem pemberian jasa yang terbatas terhadap modal dan sistem pembagian
sisa hasil usaha yang dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota
f. Spesifikasi kegiatan usaha yang berkaitan langung dengan kepentingan
anggota, untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota selain tetap
diniscayakan melakukan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan menjalankan kegiatan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi
rakyat.
Secara garis besar antara koperasi konvensional dan koperasi syariah
mempunyai pengertian yang sama, yaitu:
a. Badan Usaha/ lembaga (untuk kerja sama)
b. Terdiri dari anggota
c. Mempunyai landasan hukum
d. Tidak ada paksaan
e. Modal bersama berdasarkan profit and loss sharing
Perbedaan antara keduanya yaitu:
Pertama, Koperasi syariah/ Koperasi dalam Islam belum memiliki hukum
formal atau material. Belum ada yurisprudensia-nya berdasarkan fikih sosial yang
berkembang di Indonesia.
Kedua, perbedaan pokok antara Koperasi Simpan Pinjam (KJKS) dengan
Koperasi Simpan Pinjam Syariah atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJK)
adalah adanya larangan untuk membayar dan dan menerima bunga pada
KJKS/UJK Syariah. Karena bunga melekat pada pinjaman, maka KJK Syariah
tidak menggunakan skema pinjaman dalam penyaluran dananya. Pinjaman hanya
digunakan sebagai aktifitas sosial tanpa meminta imbalan, karena setiap pinjaman
yang disertai dengan imbalan adalah riba.
Ketiga, dalam menanggung resiko perbedaan antara keduanya yaitu jika
pada KJKS Konvensional menerapkan bahwa resiko dalam menjalankan usaha
berada pada anggota, dan tidak ikut menanggung kerugian jika ussahanya merugi,
maka pada KJKS ikut menanggung dan berbagi kerugian kapada anggotanya yang
usahanya mengalami kerugian secara proporsional.37
37Siti Irma Fatimah, “Analisa Strategi Koperasi Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Studi pada Kopontren Al-Iklash Subang” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h.78
B. Latar Belakang Munculnya Kebijakan dan Peraturan Perundang-
Undangan Koperasi
Pada perekonomian modern dewasa ini, telah banyak diperlihatkan
kegagalan yang dialami sistem ekonomi yang dianut. Sisitem ekonomi
kapitalis yang berporos pada begitu besar peran pemerintah terhadap
kehidupan rakyat, kemudian runtuh dengan tumbangnya rezim komunis Uni
Sovyet. Selian itu, bisa dilihat sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan
kekayaan terpusat pada segelintir orang dan menyebabkan semakin besar gap
antara kaya dan miskin, yang diharapkan membawa kemakmuran banyak
orang ternyata semakin menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial-
ekonomi.
Agama Islam yang di dalamnya terdapat pedoman hidup yang
komprehensif telah ‘mewanti-wanti’ umat Islam untuk menjaga kesimbangan.
Dengan konsep keseimbangan inilah yang melahirkan pemerataan pendapatan,
karena kesejahteraan itu muncul berawal adanya pemerataan pendapatan.
Sebagaimana firman Allah SWT:
.....
⌧
“.... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Pemerintah memandang koperasi syariah suatu yang penting untuk
menuju efektifitas, intensif, proporsional dan pemerataan pendapatan dalam
rangka mengurangi konsentrasi kekayaan hanya pada satu kalangan saja. Di
samping itu, ternyata perkembangan koperasi syariah sangat signifikan
mengingat kontribusinya yang cukup besar di tengah masyarakat, maka
pemerintah memandang perlu membuat kebijkan khusus tentang koperasi
syariah.
Koperasi di Indonesia sudah ada sewaktu di masa penjajahan Hindia
Belanda. Dahaulu dinamakan hulp end spaarbank (bank simpanan) yang
fungsinya menolong para pegawai negeri/ kaum priyayi yang terjerat utang
dari kaum lintah darat. Namun, perkembangan koperasi pada waktu itu
kurang memuaskan karena adanya hambatan dari pemerintah Belanda,
terlebih gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan dibantu Sarekat
Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia bersamaan dengan
lahirnya kebangkitan nasional. Pemerintah Belanda khawatir koperasi makin
tumbuh dan berkembang dikalangan bumiputra. Agar perkembangan koperasi
tidak meluas, pada tahu 1915 pemerintah Belanda mengeluarkan undang-
undang koperasi yang pertama kali di Indonesia yang disebut sebagai
verordening op de cooperatieve verenegingen (koninkklijk Besluit, 7 April
1915, stb. 431). Selanjutnya, Belanda membentuk komisi atau panitia
koperasi atas desakan pemuka masyarakat sehingga melahirkan Undang-
undang Koperasi Tahun 1927 yang disebut Regeling Inlandsche Cooperatieve
Verenegingen (stb. 1927-91). Kemudian tahun 1933 Belanda kembali
mengeluarkan peraturan koperasi, yaitu algemene regeling op de
cooperatieve verenegingen (stb. 1933 – 108) sebagai pengganti UU Koperasi
Tahun 1927. Ternyata peraturan baru ini tidak ada bedanya dengan peraturan
koperasi Tahun 1915 yang sama sekali tidak cocok dengan kondisi rakyat
Indonesia. Akibatnya, koperasi pada zaman Belanda semakin bertambah
mundur.38
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah Orde Lama
memberlakukan sejumlah undang-undang dan peraturan baru, antara lain
sebagai berikut:39
1. Undang-undang Tahun 1949 yang masih menggunakan bahasa Belanda
kembali diberlakukan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen (stb.
1949 – 179). Tetapi, perubahannya tidak disertai dengan pencabutan stb.
1933 – 108, sehingga pada tahun 1949 di Indonesia terdapat dualisme
peraturan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen 1949 yang hanya
berlaku bagi golongan bumipoetra dan Algemene Regeling op de
Cooperatieve Verenegingen 1933 (stb. 1933 – 108) yang berlaku bagi
golongan rakayat termasuk golongan bumipoetra.
2. Undang-undang Koperasi Tahun 1958 yang dibuat berdasarkan UUD
Sementara 1950 pasal 38 dimana isinya sama dengan ketentuan pasal 33
38 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, “Perkoperasian; Sejarah, Teori & Parktek,” cet.II, (Bogor: Ghalia Indoensia, 2004), h. 21-22
39 Ibid, 24-26
UUD 1945. Kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan
pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1959 sebagai peraturan pelaksana dari
UU Nomor 79 Tahun 1958. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa
pemerintah bersikap sebagai pembina, pengawas perkembangan koperasi
Indonesia.
3. Pada tahun 1960, keluar Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1960 yag
isinya “bahwa untuk mendorong pertumbuhan gerakan koperasi harus
ada kerja sama antara jawatan dengan masyarakat, dalam satu lembaga
disebut Badan Penggerak Koperasi (Bapengkop).” Bapengkop bertugas
untuk mengadakan kordinasi dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, untuk
menumbuhkan gerakan koperasi secara teratur, baik dari tingkat pusat
sampai ke daerah-daerah.
4. Pada tanggal 2 – 10 Agustus 1965 diselenggrakan Musyawarah Nasional
II Koperasi Indonesia, yang musyawarah sebelumnya tanggal 24 April
1961 belum dapat memberikan hasil maksimal untuk kemajuan koperasi,
sehingga pada musyawarak II telah melahirkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1965 tentang perkoperasian.
Besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan koperasi
berdampak pada ketergantungan koperasi terhadap bantuan pemerintah,
sehingga banyak sekali diantara pengurus koperasi menjadi kehilangan
inisatif untuk menciptakan lapangan usaha bagi kelangsungan hidup koperasi.
Selain itu, masa-masa transisi perpindahan rezim dari Orde Lama ke Orde
Baru telah banyak menimbulkan disorientasi kegiatan operasional koperasi
dari prinsip-prinsip semestinya. Koperasi telah dijadikan alat perjuangan dari
partai-partai politik yang berkuasa. Kondisi ini menyebabkan anggota
koperasi kehilangan kepercayaan kepada pengurus, karena pengurus tidak
lebih hanya motor penggerak atas kendali dari partai politik yang menguasai
koperasi.
Setelah tumbangnya rezim Orde Lama, pemerintah Orde Baru di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mulai menertibkan koperasi-
koperasi yang ada. Diantara kebijakan pemerintah Orde Baru antara lain:
1. Diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-
pokok Perkoperasian
2. Diberlakukannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973 mengenai
pembentukan BUUD (Badan Usaha Unit Desa)
3. Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 1978 tentang Badan
Usaha Unit Desa (BUUD)/ Koperasi Unit Desa (KUD)
4. Dikeluarkannya Inpres Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan KUD
5. Tanggal 21 Okrober 1992 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang
Nommor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pemberlakukan undang-
undang ini dimaksudkan untuk lebih menyesuaikan perkembangan
keadaan.
Pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kondisi perekonomian
Indonesia mengalami kacau balau. Banyak perusahaan besar yang berbasis
konglomerasi gulung tikar akibat melonjaknya mata uang dollar terhadap
rupiah dan kenaikan suku bunga yang berlipat-lipat. Tetapi, apa yang terjadi
dengan koperasi dan UKM malah sebaliknya, mereka mampu bertahan dari
kondisi krisis hingga pemerintah menyadari kesalahannya selama ini.
Akhirnya, pemerintah melalui presiden BJ. Habibie telah menetapkan Inpres
Nomor 18 Tahun 1998 tentang pengembangan koperasi. Inpres ini merupakan
antiklimaks dari pemberlakuan Inpres Nomor 4 Tahun 1984 di mana KUD
merupakan koperasi satu-satunya menjadi gugur dengan semestinya. Dengan
demikian, pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batas wilayah
kerja, dan koperasi diberikan kesempatan untuk lebih mandiri dan bebas
melakukan aktifitas usahanya.
Perubahan rezim ke era reformasi tidak hanya meninggalkan
problematika krisis multidemiensi, tetapi juga menyadarkan masyarakat
mengenai pentingnya bertransaksi sesuai syariah. Indikasinya adalah
dikeluarkannya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Karena undang-
undang inilah dimulainya fase bisnis lembaga keuangan syariah sebagaimana
bunyi undang-undang tersebut pasal 1 yakni, “Pengertian bank umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lintas pembayaran.” Terlebih lagi saat Bank Muamalat Indonesia
(BMI) mampu bertahan dari badai krisis, sehingga banyak pebisnis lembaga
keuangan berupaya melebarkan sayap bisnisnya dengan menggarap industri
perbankan syariah. Lahirnya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
memberikan snowball effect bagi lembaga-lembaga keuangan yang selama ini
terpinggirkan untuk “unjuk gigi” terhadap eksistensi dan perkembangannya di
kancah perekonomian nasional. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, tren bisnis
syariah telah merambah pula ke lambaga-lembaga keuangan lainnya, baik
lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non-bank. Seperti BPR
Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah,
Reksa Dana Syariah, Koperasi Syariah/ BMT bahkan Hotel Syariah dan
lembaga keuangan lainnya yang menggunakan prinsip syariah.
Ada beberapa aspek yang melatarbelakangi lahirnya Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Pada aspek ekonomi,
pemerintah memandang pentingnya dikeluarkan Kepmenegkop Nomor:
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 dalam rangka mendorong pertumbuhan dan
pemberdayaan usaha mikro dan kecil dan koperasi khususnya yang bergerak
dalam pembiayaan syariah.
Dari aspek sosial-politik adalah, koperasi syariah mempunyai peran
besar dalam menuntaskan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini bisa dilihat
dari peran Maal-nya yang sangat potensial untuk memberdayakan
perekonomian umat sehingga pemerintah menilai perlu mengakomodasi
bentuk badan hukum koperasi syariah dalam kebijakan menteri koperasi dan
usaha kecil dan menengah agar ada kepastian hukum mengingat bahwa
selama ini belum tersedia undang-undang atau peraturan pemerintah yang
mengatur operasional koperasi syariah.
Dari aspek keagamaan adalah, agama Islam adalah yang mempunyai
perhatian penuh terhadap masalah perekonomian baik dari segi pengarahan,
pengaturan dan penerapan. Selain itu, dikeluarkan fatwa haram Bunga bank
oleh majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2003 semakin menambah mantap
keyakinan umat Islam untuk terus bertransaksi secara Halal dan Thayibah
dalam setiap aktifitas ekonominya.
C. Kebijakan Pemerintah prihal Koperasi Syariah
Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah
pertama di Indonesia pada akhir tahun 1990 merupakan momen terpenting
dalam sejarah Indonesia yang membidani lahirnya lembaga-lembaga
keuangan syariah lainnya tak terkecuali koperasi syariah atau Baitul Mal wa
Tamwil (BMT). Berdirinya Bank Muamalat Indonesia juga membawa angin
segar tumbuh berkembangnya industri keuangan mikro syariah untuk
mengakomodasi keinginan sebagian besar umat Islam bertansaksi secara
halal. Di Indonesia koperasi syariah/ BMT berdiri pada tahun 1992 yang
kemudian di dukung Presiden RI yang meluncurkan BMT sebagai gerakan
nasional pada tahun 1996. Sejak itu, Koperasi Syariah/ BMT menapak
momentumnya dengan berkembang secara nasional.40 Selanjutnya, sampai
saat ini koperasi syariah semakin bertambah jumlahnya, di satu sisi regulasi
khusus yang mengatur koperasi syariah baik berupa peraturan pemerintah
ataupun undang-undang tidak menjelaskan secara rinci dan definitif. Maka
perlu ada kebijakan tersendiri yang mengatur koperasi syariah atau BMT
yang berbadan hukum koperasi, dalam hal ini Departmen Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah mengeluarkan kebijakan mengenai petunjuk
pelaksanaan KJKS/ UJKS.
Kelahiran Bank Muamalat Indonesia dan bermunculannya berbagai
Bank syariah di era reformasi, memberikan berkah tersendiri bagi lembaga
keuangan lainnya, seperti lembaga keuangan mikro syariah semacam
Koperasi Syariah. Sehingga “memaksa” pemerintah memberikan kesempatan
lembaga keuangan mikro ini berperan di sektor ekonomi akar rumput. Upaya
pemerintah sejauh ini adalah memberikan tata cara pelaksanaan koperasi
syariah yang terangkum dalam Keputusan Menteri Koperasi dan UKM
(Kepmenegkop) Republik Indonesia Nomor 91//Kep/M.KUKM.IX/2004.
Tindakan tersebut dilakukan karena sampai saat ini belum ada peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan koperasi syariah secara definif. Dan
sudah seharusnya pemerintah melakukan tindakan ini untuk memastikan
status hukum lembaga keuangan koperasi walaupun baru setingkat keputusan
menteri.
40 Zainul Arifin, “Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,” (Jakarta: Alvabet, 2000), h. 172
Koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakat maupun sebagai badan
usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan
makmur berlandaskan sesuai dengan konstitusi. Agar koperasi berfungsi
secara maksimal sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945 maka
perlu dibentuk Undang-undang koperasi.
Fungsi maksimal itu diperlukan karena koperasi perlu lebih
membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan
prinsip koperasi sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian
nasional.
Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Hal ini menjelakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama yang didirikan berdasarkan asas kekeluargaan sangat
cocok dengan kondisi perekonomian di Indoensia mengingat komposisi
masyarakat Indonesia sangat kental dengan lingkungan kultural. Bangun
usaha yang sesuai dengan lingkungan seperti ini ternyata adalah koperasi.
Atas dasar itulah, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Seiring berjalanya waktu, usaha
koperasi merambah ke unit usaha syariah sehingga lahir lembaga Koperasi
Jasa Keuangan Syariah atau Unit Jasa Keuangan. Perlahan tapi pasti, unit
syariah dalam usaha koperasi juga tumbuh berkembang. Namun, regulasi
yang mengatur koperasi syariah baik dalam bentuk undang-undang maupun
peraturan pemerintah belum tersedia. Maka diterbitkan keputusan Menteri
yang dikomandoi oleh Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004.
Selanjutnya akan dipaparkan gambaran umum singkat bab dan pasal
demi pasal Kepmenegkop: 91/Kep/M.KUKM/IX/200441
• Bab I pasal 1 mengenai ketentuan umum, menjelaskan apa yang dimaksud
koperasi, Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan
Syariah (UJKS), simpanan, simpanan wadiah yad dhamanah, simpanan
mudharabah al-muthlaqah, simpanan mudharabah berjangka, pembiayaan,
pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah, piutang murabahah,
piutang salam, piutang istisna, piutang ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik,
qardh, nisbah, marjin, dewan pengawas syariah, standar operasional
prosedur, menteri dan pejabat.
• Bab II pasal 2 dijelaskan tentang tujuan pengembangan Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah secara rinci.
• Bab III tentang persyaratan dan tata cara pendirian Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah. Pada bab ini dibagi 2
bagian. Bagian pertama menjelaskan mengenai persyaratan dan tata cara
pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang terdiri dari pasal 3, 4,
41 Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, (Jakarta: Kepmenegkop, 2006), h.1-42
dan 5. Adapun pada bagian kedua menjelaskan mengenai tata cara
pendirian Unit Jasa Keuangan Syariah yang terdiri dari pasal 6, 7, dan 8.
Pasal 9 termasuk pada bab ini yang menjelaskan larangan Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah untuk mengubah prinsip
usahanya menjadi usaha kegiatan konvensional.
• Bab IV pasal 10, 11, 12 dan 13 tentang persyaratan pembukaan jaringan
kantor Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah.
• Bab V tentang pengelolaan. Bab ini terdiri dari 4 bagian. Pada bagian
pertama menjelaskan pengelolaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang
terdiri dari pasal 14 dan 15. Bagian kedua menjelaskan pengelolaan Unit
Jasa Keuangan Syariah yang terdiri pasal 16 dan pasal 17. Pada bagian
ketiga menjelaskan mengenai penyelenggaraan Unit Jasa Keuangan
Syariah oleh KSP/ USP Koperasi di pasal 18. Dan bagian terakhir
menjelaskan penggunaan nama di pasal 19.
• Bab VI pasal 20 tentang pembagian SHU Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah.
• Bab VII pasal 21 mengenai permodalan.
• Bab VIII tentang produk dan layanan. Bab ini terbagi menjadi 4 bagian.
Bagian pertama menjelaskan tabungan dan simpanan di pasal 22. Bagian
kedua menjelaskan pembiayaan di pasal 23. Bagian ketiga menjelaskan
kegiatan maal Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan
Syariah di pasal 24. Dan bagian terakhir menjelaskan prinsip kerajasiaan
yang terdiri dari pasal 25 dan 26.
• Bab IX pasal 27 dan 28 tentang pengendalian resiko.
• Bab X pasal 29 tentang kelebihan dana.
• Bab XI pasal 31 dan 32 tentang pembinaan.
• Bab XII tentang laporan keuangan. Bab ini dibagi menjadi 4 bagian.
Bagian pertama mengenai kewajiaban laporan keuangan di pasal 33.
Bagian kedua mengenai bentuk penyajian Laporan Keuangan di pasal 34.
Bagian ketiga mengenai audit di pasal 35. Bab terakhir mengenai
penilaian kesehatan yang terdiri dari pasal 36 dan 37.
• Bab XIII pasal 39, 39, 40, 41, 42 dan 43 tentang sanksi.
• Bab XIV tentang pembubaran Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa
Keuangan Syariah. Bab ini terbagi menjadi 2 bagian. Pada bagian pertama
menjelaskan pembubaran oleh angota yang terdiri dari pasal 44 dan 45.
Bagian kedua menjelaskan pembubaran oleh pemerintah yang terdiri dari
pasal 46, 47, 48 dan 49.
• Bab XV pasal 50 tentang ketentuan peralihan dimana KSP/ USP yang
ingin mengkonversikan kegiatan usahanya menjadi unit syariah harus
dengan ketentuan yang berlaku pada pasal ini.
• Bab XVI pasal 51 merupakan ketentuan penutup.
Dengan dikeluarkannya keputusan ini, keberadaan koperasi syariah
bisa dipertanggung jawabkan status hukumnya mengingat selama ini belum
tersedianya kebijakan yang mengatur koperasi syariah. Pemerintah memang
sudah seharusnya memberikan kepastian hukum bagi kelangsungan usaha
koperasi syariah sehingga mampu mengembangkan iklim yang kondusif
untuk mendorong perkembangan kegiatan usaha dengan pola syariah ke
depan. Karena koperasi syariah jauh sebelum keputusan ini diterbitkan telah
ambil bagian dalam penyuksesan perekonomian mikro.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ajaran Islam telah menggariskan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh para
penguasa negara dalam pengembangan ekonomi. Prinsip-prinsip itu antara
lain, Prinsip yang berkaitan dengan Falsafah Islam dalam bermuamalah adalah
Tauhid dan Khilafah. Adapun, Prinsip yang relevan dengan pemenuhan nilai
dasar Islam pada pengembangan ekonomi dalam Islam adalah Keadilan,
Kepemilikan, Kebebasan berusaha, Kebersamaan dan Kerjasama. Sedangkan
Prinsip yang berkaitan dengan konsistensi antara teori dan praktik adalah
Etika/ akhlak (code of ethics) dan Pengawasan.
2. Kebijakan yang mengatur koperasi syariah baru diterbitkan pada tahun 2004
melalui Keputusan Menteri Koperasi dan UKM (Kepmenegkop) Nomor
91/Kep/M.KUKM/IV/2004 tentang petunjuk pelaksanaan KJKS/UJKS.
Dengan kebijakan ini landasan operasional koperasi syariah di Indonesia
setidaknya mempunyai kepastian hukum dan dilegalkan pemerintah.
3. Dari Kepmenegkop Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang petunjuk
pelasanaan koperasi jasa keuangan syariah, kesesuaian antara prinsip yang
digariskan Islam dengan keputusan tersebut sepenuhnya terakomodasi oleh
pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah berupaya semaksimal mungkin
memuat prinsip-prinsip tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antara teori
dan praktik dalam pengembangan koperasi syariah. Namun, dalam beberapa
hal Keputusan Menteri ini masih terdapat kekurangan dimana kekurangan
tersebut sangat substansi seperti payung hukum Kepmen yang masih
dipertanyakan, ketiadaan aspek syariah dan ketidakjelasan kedudukan dan
peran Dewan Pengaswas Syariah.
B. Saran
1. Pemerintah semestinya memberikan porsi perhatian yang lebih besar pada
usaha mikro di sektor koperasi syariah, mengingat banyak koperasi
konvensional mulai tumbang.
2. Walaupun sudah ada kepastian hukum, landasan konstitusi operasional
koperasi syariah masih belum kuat karena keputusan tersebut belum di
undang-undangkan oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya membuat undang-
undang yang berkaitan dengan koperasi syariah atau mengamendemen
undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian dengan
memasukkan aspek kesyariahan.
3. Pemerintah perlu menjelaskan lebih rinci mengenai kedudukan, posisi, peran
dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam keputusan menteri terkait
pengembangan koperasi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim dan Terjemahnya
A. Samuelson, Paul, Economic, New York: McGraw-Hill Book Corporation, 1973
Al-Kaaf, Abdullah Zaky, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Pres, 2001, cet. VIII
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta: Tazkia Institute, 2001
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat; Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: GIP – Tazkia Institute, 2000
Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Dimyati, Ahmad, Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam Pembangunan Koperasi, Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989
Daud Adi, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988
Edi Sadewo, Sri, Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Orde Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI Press, 1987
Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian; Sejarah, Teori & Parktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, cet.II
Hadikusuma, R. T. Sutantya Rahardja, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. II
HR, Syaukani., Konsep & Implementasi Ekonomi Kerakyatan Era Otonomi Daerah Studi Kasus: Kabupaten Kutai Kertanegara, Jakarta: Nuansa Madani, 2004
Islahi, Abdul Azim, The Economic Concept of Ibn Taimiyah, UK: The Islamic Foundation, 1982
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam; (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Kamal, Mustafa (ed), Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, cet. II
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Jakarta: Kemenegkop, 2006
Khair, Mohd. Jamaluddin, The Role of Government In an Islamic Economy, Kuala Lumpur: A.S. Noorden, 1991, First Edition.
Madjid, Baihaqi Abd. & Saifuddin A. Rasyid (ed), Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah (Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia), Jakarta: PINBUK, 2000
Muhammad Nawaz Khan, Mehr, Prof., Islamic and Other Economic System, Lahore: Islamic Book Service, 1989
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Pres, 1979
Nata, Abuddin, Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992
Partomo, Tiktik MS. dan Drs. Abd. Rahman Soejoeno, Ekonomi Skala Kecil/ Menengah & Koperasi, Bogor : Ghalia Indonesia,, 2004, cet.II
Pusat Pengkajian & Pengembangan Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Al-Iqtishadiyyah Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Jakarta: P3EI,Vol.I No.I 2004
Sakti, Ali, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern), ttp. : Paradigma & Aqsa Publishing, 2007
Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997
-------, Pokok-pokok Hukum Perkoperasian, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007
------,UUD 1945 Setelah Amendemen Keempat Tahun 2002, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Yustika, Ahmad Erani (ed), Perekonomian Indonesia Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan, Malang: Bayumedia, 2005
Dokumen Elektronik: